Tarekat dalam Tasawuf
Jalan Spiritual Menuju Hakikat dan Ma’rifat
Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.
Thariqah
dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits.
Abstrak
Artikel ini mengkaji tarekat sebagai salah satu
elemen penting dalam tradisi tasawuf Islam yang berperan sebagai jalan ruhani
dalam menapaki tahapan Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Ma’rifat. Melalui
pendekatan kualitatif dan studi pustaka terhadap literatur klasik dan
kontemporer, artikel ini menelaah definisi, landasan teologis, sejarah
perkembangan, metodologi praktik, hingga pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap
tarekat. Pembahasan menunjukkan bahwa tarekat memiliki legitimasi kuat dalam
Al-Qur’an dan Hadis serta didukung oleh para ulama besar seperti Imam
al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar al-Haitami. Tarekat juga terbukti
relevan dalam konteks modern sebagai sarana penyucian jiwa, pembinaan akhlak,
dan penguatan spiritual umat Islam yang hidup di tengah krisis moral dan
spiritual. Dengan metodologi seperti bai’at, dzikir, khalwat, dan suluk,
tarekat membentuk pribadi yang seimbang secara lahir dan batin. Artikel ini
menegaskan bahwa tarekat yang berlandaskan syariat merupakan warisan spiritual
Islam yang otentik, dinamis, dan kontributif dalam pembinaan umat sepanjang
zaman.
Kata Kunci: Tarekat, Tasawuf, Syariat, Hakikat, Ma’rifat,
Ihsan, Ulama Ahlus Sunnah, Spiritualitas Islam, Dzikir, Suluk.
PEMBAHASAN
Tarekat dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam tradisi Islam, aspek spiritualitas memiliki
kedudukan yang sangat penting dan mendasar. Dimensi ini bukan sekadar pelengkap
ibadah formal, tetapi merupakan inti dari tujuan penciptaan manusia, yaitu
untuk menyembah Allah dengan penuh kesadaran dan kedekatan (taqarrub). Salah
satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui tasawuf, cabang
ilmu dalam Islam yang membahas penyucian jiwa dan pendekatan batin kepada
Allah. Dalam khazanah tasawuf, dikenal empat tahapan utama perjalanan
spiritual: Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan Ma’rifat. Keempatnya
merupakan rangkaian hierarkis yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain.
Tarekat, sebagai fase kedua setelah syari’at, memainkan peran penting sebagai
metode atau jalan praktis bagi seorang Muslim untuk melatih diri secara ruhani.
Kata “tarekat” (الطريقة) secara harfiah
berarti "jalan" atau "metode", yang dalam
konteks tasawuf dimaknai sebagai jalan spiritual menuju pemahaman yang lebih
dalam terhadap hakikat kehidupan dan kedekatan dengan Sang Pencipta.¹ Konsep
ini telah dijelaskan secara mendalam dalam kitab-kitab klasik seperti Ihya’
Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, yang memadukan antara aspek syariat
lahir dan batin, serta Risalah al-Qusyairiyah karya Abu al-Qasim
al-Qusyairi, yang secara sistematis menyusun etika dan praktik para sufi.²
Kemunculan dan perkembangan tarekat tidak dapat
dipisahkan dari semangat awal tasawuf yang lahir pada abad ke-2 Hijriah sebagai
respons terhadap kecenderungan formalisme dalam beragama dan kemewahan hidup
umat Islam saat itu.³ Gerakan ini kemudian berkembang menjadi institusi tarekat
yang lebih terorganisir pada abad ke-6 Hijriah, dengan tokoh-tokoh sentral
seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Qadiriyah,
yang menggabungkan kedalaman spiritual dengan pengabdian sosial.⁴
Meskipun terkadang dipandang kontroversial dalam
sejarah keilmuan Islam, tarekat telah menunjukkan kontribusi signifikan dalam
pendidikan akhlak, penyebaran Islam, serta penguatan spiritualitas umat di
berbagai belahan dunia.⁵ Di Indonesia sendiri, banyak pesantren dan lembaga
keagamaan yang masih menjaga dan melestarikan ajaran tarekat sebagai bagian
integral dari warisan Islam Nusantara.
Oleh karena itu, memahami tarekat secara
komprehensif dan proporsional merupakan langkah penting, bukan hanya untuk
mengenali aspek historis dan spiritualnya, tetapi juga untuk melihat
relevansinya dalam konteks keislaman kontemporer. Dengan pendekatan ilmiah yang
bersandar pada sumber-sumber otentik, artikel ini bertujuan menyajikan
penjelasan mendalam tentang tarekat sebagai jalan ruhani yang menuntun seorang
hamba dari syari’at menuju hakikat dan ma’rifat.
Footnotes
[1]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans.
Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 56.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 4–7.
[3]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 14–16.
[4]
Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 41–43.
[5]
Martin van Bruinessen, “The Origins and Development
of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast Asia,” Studia Islamika 1, no. 1
(1994): 1–23.
2.
Definisi
Tarekat: Kajian Etimologis dan Terminologis
Secara etimologis, istilah tarekat berasal
dari bahasa Arab ṭarīqah (الطريقة),
yang berarti jalan, metode, atau cara. Kata ini merupakan bentuk isim
muannats dari akar kata ṭarīq (طريق),
yang secara umum berarti “jalan” atau “jalan yang dilalui”. Dalam
Al-Qur’an, bentuk akar kata ini digunakan untuk menggambarkan jalan menuju
kebenaran, seperti dalam firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا
فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (subulanā),” (QS. Al-‘Ankabut
[29] ayat 69).¹
Tafsir klasik seperti Tafsir al-Qurtubi
menegaskan bahwa jalan-jalan tersebut merupakan bentuk usaha spiritual yang
berlapis, dimulai dari pemahaman syariat hingga pencapaian hakikat.²
Dalam terminologi tasawuf, tarekat
merujuk kepada metode atau jalan spiritual yang ditempuh oleh seorang salik
(penempuh jalan) untuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela,
mengokohkan adab ruhani, serta mendekatkan diri secara batiniah kepada Allah.³
Tarekat tidak berdiri sendiri sebagai praktik tersendiri, melainkan sebagai lanjutan
dan pendalaman dari syariat yang telah dijalankan secara lahiriah. Menurut
Imam Al-Ghazali, tasawuf sejati harus bermula dari pelaksanaan syariat yang
lurus, dan tarekat adalah proses internalisasi nilai-nilai syariat ke
dalam kehidupan ruhani.⁴
Dalam Risalah al-Qusyairiyah, Abu al-Qasim
al-Qusyairi menjelaskan bahwa ṭarīqah adalah bentuk perilaku dan adab
spiritual yang berlandaskan ketaatan mutlak kepada Allah dan pengosongan jiwa
dari selain-Nya. Ia menekankan bahwa tarekat yang benar tidak boleh
bertentangan dengan syariat, melainkan justru menjadi sarana untuk memperdalam
pemahaman dan kecintaan kepada Allah.⁵ Dengan demikian, tarekat bukanlah
sekadar aktivitas ritual yang eksklusif bagi para sufi, tetapi merupakan proses
pendidikan jiwa yang dapat membawa pelakunya kepada ma’rifatullah —
pengenalan batiniah terhadap Tuhan.
Tokoh tasawuf modern seperti Sayyid Hossein Nasr
juga menegaskan bahwa tarekat adalah lembaga spiritual yang memfasilitasi
pelatihan ruhani secara sistematis dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi melalui sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw.⁶ Ini menunjukkan
bahwa tarekat bukanlah inovasi atau deviasi dari ajaran Islam, tetapi merupakan
bentuk pewarisan otentik dari esensi dakwah Nabi dalam bentuk pembinaan ruhani
yang terstruktur.
Oleh karena itu, dalam kajian ilmiah maupun
pengalaman spiritual umat Islam, tarekat dipahami sebagai jalan menuju
kedekatan dengan Allah yang memadukan aspek syariat lahiriah dengan dimensi
batin yang mendalam. Definisi ini penting ditekankan agar pemahaman terhadap
tarekat tidak terjebak dalam dikotomi antara "sufi" dan "syari’",
melainkan dipahami sebagai dua sisi dari satu kesatuan jalan menuju ridha
Allah.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-‘Ankabut [29] ayat 69.
[2]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an,
jilid 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 343.
[3]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 98.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 6–7.
[5]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans.
Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 47–49.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany:
State University of New York Press, 1991), 76.
3.
Landasan
Tarekat dalam Al-Qur’an dan Hadis
Tarekat sebagai jalan spiritual dalam Islam
bukanlah suatu konsep yang asing atau tidak berdasar. Justru, eksistensinya
berpijak kuat pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang
menjadi fondasi bagi seluruh ilmu dan praktik dalam Islam, termasuk tasawuf.
Para ulama sufi menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi sebagai
titik tolak dalam menyusun prinsip-prinsip perjalanan ruhani yang dikenal
sebagai suluk.
Salah satu ayat yang sering dijadikan dalil utama
adalah firman Allah dalam Surah Al-‘Ankabut [29] ayat 69:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا
فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ
_“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (bermujahadah) untuk
(mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami (subulanā).”_¹
Dalam tafsir klasik, seperti Tafsir al-Baghawi,
dijelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa kesungguhan dalam beribadah dan
menempuh jalan menuju Allah akan dibalas dengan petunjuk yang bertahap, sesuai
maqam spiritual seseorang.² Ulama seperti Imam Al-Qusyairi dan Imam
Al-Ghazali memahami ayat ini sebagai dasar bagi konsep tarekat,
yakni sebuah proses mujahadah dan riyadhah (latihan spiritual) yang menuntun
pelakunya menuju hakikat dan ma’rifat.³
Landasan lainnya ditemukan dalam Surah Al-Fatihah
[01] ayat 6:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus (ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm).”
Ayat ini, yang dibaca berulang kali dalam setiap
rakaat shalat, mengandung permohonan yang mendalam agar Allah membimbing
hamba-Nya kepada jalan yang benar — bukan hanya dalam aspek lahiriah syariat,
tetapi juga dalam kedalaman ruhani. Dalam tafsir Al-Tafsir al-Kabir
karya Fakhruddin al-Razi, disebutkan bahwa ṣirāṭal-mustaqīm
mencakup syariat, tarekat, dan hakikat sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan.⁴
Dari sisi hadis, salah satu rujukan utama tarekat
adalah hadis tentang ihsan, yang diriwayatkan dalam Hadis Jibril:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,
dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”_⁵
Hadis ini menunjukkan dimensi spiritual dalam
ibadah yang menjadi inti dari tarekat: menyucikan niat, menghadirkan
keikhlasan, dan mencapai kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam segala aktivitas.
Para sufi menjadikan konsep ihsan sebagai esensi dari tarekat — karena
tujuan utama suluk adalah mencapai maqam muraqabah dan musyahadah
(kesadaran akan pengawasan dan kehadiran Allah).⁶
Selain itu, hadis Nabi yang menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan tidak pula
kepada tubuh kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal kalian.” (HR. Muslim)⁷
Hadis ini menegaskan bahwa dimensi batin dalam
beragama sangat penting. Praktik tarekat bertujuan memperbaiki hati dan amal,
serta menjauhkan diri dari riya’, ujub, dan penyakit hati lainnya yang bisa
merusak amal lahiriah.
Dengan demikian, baik Al-Qur’an maupun hadis-hadis
Nabi telah memberikan fondasi teologis dan spiritual bagi munculnya konsep
tarekat. Para ulama tidak mengada-adakan jalan ini, tetapi merumuskan dan
merawatnya sebagai respons ruhani yang sistematis terhadap ajaran Islam yang
bersifat menyeluruh, menyentuh dimensi lahir dan batin.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-‘Ankabut [29] ayat 69.
[2]
Al-Baghawi, Ma‘alim at-Tanzil, jilid 3
(Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1985), 301.
[3]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans.
Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 61–63.
[4]
Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir,
jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 187–188.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Iman, no. 8.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 10–12.
[7]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Birr wa al-Silah, no. 2564.
4.
Sejarah
Perkembangan Tarekat
Perkembangan tarekat dalam Islam tidak dapat
dilepaskan dari sejarah pertumbuhan tasawuf itu sendiri. Tarekat lahir
sebagai bentuk institusional dari praktik-praktik spiritual yang telah ada
sejak generasi awal Islam. Pada masa Nabi Muhammad Saw dan para sahabat,
praktik spiritual dilakukan secara alami dalam kehidupan sehari-hari melalui
ibadah, dzikir, dan penghayatan ruhani yang mendalam. Namun seiring berjalannya
waktu, terutama setelah perluasan wilayah kekuasaan Islam dan masuknya pengaruh
budaya asing, muncul kecenderungan materialisme dan kehidupan duniawi yang
berlebihan.¹ Sebagai respons terhadap fenomena ini, muncul kelompok-kelompok
zuhud yang kemudian menjadi cikal bakal gerakan tasawuf.
Pada abad ke-2 hingga ke-4 Hijriah, tasawuf
berkembang sebagai gerakan individual yang menekankan penyucian jiwa (tazkiyatun
nafs), muhasabah, dan penghindaran dari kehidupan duniawi. Tokoh-tokoh awal
seperti Hasan al-Bashri (w. 110 H), Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185
H), dan Sufyan ats-Tsauri menonjol sebagai pelopor pendekatan spiritual
yang mengedepankan cinta ilahi (mahabbah ilahiyyah) dan taubat.² Namun
pada periode ini, tarekat belum terbentuk sebagai lembaga formal.
Baru pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah,
praktik tasawuf mulai mengalami institusionalisasi. Muncullah tarekat sebagai
sistem pembinaan ruhani yang terstruktur, memiliki metode, ajaran, serta
silsilah spiritual (sanad) yang menghubungkan murid dengan guru (murshid)
hingga kepada Rasulullah Saw.³ Salah satu tokoh sentral dalam proses ini adalah
Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H), pendiri Tarekat Qadiriyah,
yang menggabungkan pengajaran fikih, dakwah, dan latihan spiritual dalam satu
kesatuan.⁴ Tarekat ini kemudian menyebar luas ke berbagai wilayah, termasuk
Asia Tengah, Afrika Utara, dan akhirnya ke Asia Tenggara.
Seiring dengan itu, muncul pula tarekat-tarekat
besar lainnya seperti Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Bahauddin
Naqsyband (w. 791 H), Tarekat Syadziliyah oleh Abu al-Hasan
al-Syadzili, dan Tarekat Chishtiyah di wilayah India oleh Mu’inuddin
Chishti.⁵ Setiap tarekat memiliki ciri khas dalam metode dzikir, wirid, dan
pendekatan suluknya, namun semuanya berorientasi pada satu tujuan: mendekatkan
diri kepada Allah melalui pembinaan akhlak, ibadah, dan penyucian hati.
Pada masa kejayaan Islam, terutama era Dinasti
Ayyubiyah, Mamluk, dan Utsmaniyah, tarekat memiliki peran signifikan dalam
membina moral masyarakat, menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah baru, serta
membentuk jaringan pendidikan melalui zawiyah, khanqah, dan pesantren.⁶ Di Nusantara,
tarekat masuk bersamaan dengan penyebaran Islam oleh para ulama dan wali, terutama
melalui jaringan perdagangan dan pendidikan Islam tradisional. Tarekat seperti Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan Tijaniyah menjadi bagian
penting dari spiritualitas Islam di Indonesia.⁷
Meskipun dalam sejarahnya tarekat tidak luput dari
kritik, terutama saat terjadi penyimpangan atau pengkultusan terhadap tokoh,
para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap mengakui eksistensi tarekat yang
berlandaskan syariat sebagai bagian dari khazanah Islam yang sah dan
produktif.⁸ Dengan demikian, tarekat merupakan fenomena historis sekaligus
spiritual yang tumbuh seiring perkembangan peradaban Islam, dan terus memainkan
peran penting dalam pembinaan ruhani umat.
Footnotes
[1]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 14–17.
[2]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short
History (Leiden: Brill, 2000), 40–45.
[3]
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 14–16.
[4]
Hamid Algar, Abd al-Qadir al-Jilani: His Role
and Significance in Sufism (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy,
1973), 23–26.
[5]
Carl W. Ernst, Sufism: An Introduction to the
Mystical Tradition of Islam (Boston: Shambhala Publications, 1997), 89–92.
[6]
Ahmet T. Karamustafa, Sufism: The Formative
Period (Berkeley: University of California Press, 2007), 101–105.
[7]
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan,
1992), 27–35.
[8]
Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf baina al-Tasfiyah
wa al-Tarbiyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 66–68.
5.
Tujuan
dan Fungsi Tarekat dalam Kehidupan Spiritual
Tarekat dalam tradisi tasawuf Islam tidak hanya
berfungsi sebagai sistem latihan spiritual, tetapi juga merupakan jalan
transformasi batin yang dirancang untuk mendekatkan seorang hamba kepada Allah Swt
secara total. Tujuan utama tarekat adalah tazkiyatun nafs (penyucian
jiwa) serta pencapaian ma’rifatullah (pengenalan batiniah terhadap
Allah) melalui disiplin spiritual yang sistematis dan terpandu.¹
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia tidak akan
mampu mencapai kebahagiaan abadi (as-sa’adah) kecuali dengan menyucikan hatinya
dari penyakit-penyakit ruhani seperti hasad, riya’, ujub, dan takabbur. Tarekat
adalah jalan untuk melakukan penyucian ini melalui mujahadah (perjuangan
melawan hawa nafsu), muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah), dan muhasabah
(introspeksi diri).² Dalam kerangka ini, tarekat bertujuan menginternalisasi
nilai-nilai syariat ke dalam kehidupan batin sehingga seseorang tidak hanya
“tampak baik” secara lahiriah, tetapi juga memiliki kualitas ruhani yang luhur.
Selain sebagai sarana penyucian jiwa, tarekat juga
berfungsi sebagai pendidikan spiritual (tarbiyah ruhiyyah). Melalui
bimbingan seorang mursyid, seorang salik (penempuh jalan) dibina secara
bertahap untuk menjalani maqamat (tahapan spiritual) seperti tobat, sabar,
syukur, tawakal, dan ridha.³ Proses ini bukan hanya teori, melainkan pengalaman
ruhani yang aktual. Hal ini tercermin dalam praktik-praktik tarekat seperti
dzikir berjamaah, wirid harian, khalwat (pengasingan diri), dan riyadhah
(latihan spiritual) yang bertujuan membentuk kesadaran ilahiyah yang
terus-menerus.
Fungsi penting lain dari tarekat adalah membentuk
karakter dan akhlak yang mulia. Banyak tokoh sufi seperti Junaid
al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Bustami menekankan bahwa buah dari
perjalanan tarekat adalah terbentuknya insan yang tawadhu’, penuh kasih,
toleran, dan tidak mencintai dunia secara berlebihan.⁴ Dalam konteks ini,
tarekat menjadi sekolah akhlak yang sangat efektif, karena tidak hanya
mengajarkan teori moral, tetapi juga membentuk pengalaman batin yang mendalam
dan transformatif.
Tarekat juga memiliki fungsi sosial yang tidak bisa
diabaikan. Dalam sejarah Islam, banyak tarekat memainkan peran dalam membina
masyarakat, menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah baru, dan menjaga semangat
spiritual umat di tengah krisis moral.⁵ Di Indonesia, tarekat seperti Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah tidak hanya berfungsi sebagai tempat latihan dzikir,
tetapi juga menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan perlawanan terhadap
penjajahan.⁶ Ini menunjukkan bahwa tarekat bukanlah bentuk eskapisme, tetapi
bagian integral dari dinamika keagamaan dan sosial umat Islam.
Dalam pandangan Sayyid Hossein Nasr, tujuan
akhir tarekat adalah tahqiq — yaitu realisasi hakikat keberadaan manusia
sebagai hamba Allah dan pencapaian fana’ (melebur dalam kehendak
Ilahi).⁷ Semua disiplin dalam tarekat mengarah pada pengalaman ruhani ini, yang
dalam istilah tasawuf disebut sebagai musyahadah (penyaksian) terhadap
kehadiran Allah dalam hati dan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, tarekat tidak hanya penting dalam
dimensi keagamaan individual, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam
pembinaan moral, pencerahan spiritual, dan perbaikan sosial. Ia merupakan
sarana untuk menjalani Islam secara menyeluruh — lahir dan batin — menuju
kesempurnaan insan kamil.
Footnotes
[1]
Muhammad Isa Waley, “The Spiritual Path (ṭarīqah)
in Sufism,” Journal of Islamic Studies 9, no. 1 (1998): 43–57.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 5–10.
[3]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah,
trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 72–74.
[4]
William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The
Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 87.
[5]
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 91–95.
[6]
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan,
1992), 63–70.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany:
State University of New York Press, 1991), 99–101.
6.
Metodologi
dan Praktik dalam Tarekat
Tarekat bukan hanya sebuah konsep spiritual
abstrak, tetapi merupakan jalan ruhani yang memiliki metodologi sistematis
dan praktik konkrit yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi
ke generasi melalui silsilah rohani (sanad) yang bersambung hingga
Rasulullah Saw.¹ Praktik-praktik dalam tarekat bertujuan untuk mengantar
seorang salik (penempuh jalan spiritual) meniti tahap-tahap kesucian
jiwa menuju hakikat dan ma’rifat, di bawah bimbingan seorang pembimbing
spiritual yang disebut murshid atau syaikh.
6.1.
Bai‘at dan Peran Murshid
Perjalanan seorang murid dalam tarekat biasanya
dimulai dengan bai‘at, yaitu janji setia kepada seorang murshid untuk
mengikuti bimbingannya dalam menempuh jalan spiritual.² Bai‘at ini tidak hanya
bersifat formal, tetapi menandai awal dari proses tazkiyatun nafs
(penyucian jiwa) melalui ketundukan batin kepada disiplin tarekat. Murshid
memiliki otoritas untuk membimbing murid berdasarkan pengalaman ruhani dan ilmu
yang diwarisinya dari para guru sebelumnya.³ Dalam banyak tarekat, murshid
tidak hanya berfungsi sebagai pembimbing tetapi juga sebagai teladan spiritual
dalam ucapan, akhlak, dan laku hidup.
6.2.
Dzikir dan Wirid Harian
Salah satu metode utama dalam tarekat adalah dzikir,
yaitu pengulangan nama-nama Allah (asmaul husna), kalimat tauhid, atau salawat
secara rutin dan terstruktur.⁴ Setiap tarekat memiliki wirid harian yang
diwariskan dari pendirinya. Misalnya, Tarekat Naqsyabandiyah menekankan dzikir
khafi (dzikir dalam hati), sedangkan Qadiriyah cenderung mengamalkan dzikir
jahr (dzikir dengan suara keras). Dzikir dipandang sebagai cara paling
efektif untuk menyucikan hati dari kelalaian dan menghidupkan kesadaran akan
kehadiran Allah (muraqabah).⁵
Menurut Imam Al-Ghazali, dzikir merupakan
langkah awal yang sangat penting dalam suluk karena hati yang lalai tidak bisa
menjadi wadah bagi cahaya ilahi.⁶ Oleh karena itu, konsistensi dalam berdzikir
menjadi fondasi dalam metodologi tarekat.
6.3.
Khalwat, Riyadhah, dan Muraqabah
Tarekat juga mengajarkan khalwat
(pengasingan diri) sebagai bentuk latihan konsentrasi dan pengendalian hawa
nafsu. Dalam khalwat, seorang salik menjauh dari keramaian untuk merenung,
berdzikir, dan mendekatkan diri secara intens kepada Allah.⁷ Riyadhah,
yakni latihan spiritual seperti berpuasa, menjaga lisan, mengurangi tidur, dan
melatih sabar, juga diterapkan untuk melemahkan dominasi jasmani atas ruhani.⁸
Sementara itu, muraqabah — kesadaran penuh
bahwa Allah senantiasa mengawasi — menjadi salah satu maqam penting yang
dituju. Dalam pandangan Al-Qusyairi, muraqabah merupakan puncak dari
latihan spiritual yang memungkinkan hati menyaksikan keagungan Allah dalam
setiap aspek kehidupan.⁹
6.4.
Suluk: Tahapan Perjalanan Ruhani
Proses keseluruhan dalam tarekat dikenal sebagai suluk,
yaitu perjalanan ruhani yang bertahap dari syariat menuju hakikat. Para ulama
sufi membagi tahapan suluk ke dalam maqamat (tingkatan), seperti tobat, zuhud,
sabar, syukur, tawakal, dan ridha.¹⁰ Setiap maqam bukan sekadar teori,
melainkan kondisi ruhani yang harus dijalani dan diwujudkan dalam laku
kehidupan.
Suluk bukan proses instan, tetapi jalan panjang
yang memerlukan komitmen, kesabaran, dan pengawasan. Murshid berperan mengukur
kesiapan murid untuk naik ke maqam berikutnya. Ini menjadikan metodologi
tarekat sangat personal dan dinamis, tergantung kesiapan spiritual
masing-masing murid.
Dengan demikian, tarekat membentuk sebuah sistem
spiritual yang menyeluruh: mulai dari janji komitmen (bai‘at), praktik rutin
(dzikir dan wirid), latihan batin (khalwat dan riyadhah), hingga kesadaran
ilahiyah yang dalam (muraqabah dan musyahadah). Sistem ini tidak hanya
membentuk pribadi yang saleh secara individual, tetapi juga membawa dampak
positif dalam kehidupan sosial dan akhlak umat.
Footnotes
[1]
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 4–5.
[2]
Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah,
trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 45–46.
[3]
Carl W. Ernst, Sufism: An Introduction to the
Mystical Tradition of Islam (Boston: Shambhala, 1997), 94–96.
[4]
Muhammad Isa Waley, “The Spiritual Path (ṭarīqah)
in Sufism,” Journal of Islamic Studies 9, no. 1 (1998): 50–52.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 77.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 8–10.
[7]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 114.
[8]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short
History (Leiden: Brill, 2000), 69–71.
[9]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, 83.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany:
State University of New York Press, 1991), 105–108.
7.
Tarekat
dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah
Dalam khazanah keilmuan Islam, tarekat mendapat
pengakuan dan legitimasi dari mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah,
khususnya mereka yang berpemahaman moderat dan bermazhab fikih serta akidah
yang mapan. Bagi para ulama ini, tarekat bukan sekadar bentuk ibadah tambahan,
melainkan merupakan jalan spiritual untuk merealisasikan nilai-nilai
syariat secara batiniah dan mencapai kedekatan hakiki dengan Allah Swt.
7.1.
Pandangan Positif Ulama Klasik
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan
bahwa hakikat tasawuf (dan di dalamnya termasuk tarekat) adalah bagian dari
inti ajaran Islam, bahkan menilainya sebagai fardu kifayah untuk umat,
khususnya dalam pembinaan akhlak dan jiwa. Ia menulis:
"لَا
طَرِيقَ إِلَى اللّٰهِ إِلَّا بِالتَّقْوَىٰ وَالتَّوْبَةِ وَالزُّهْدِ
وَالصَّبْرِ وَالشُّكْرِ وَالْإِخْلَاصِ وَالصِّدْقِ، وَكُلُّ ذٰلِكَ مِنَ
الْمَقَامَاتِ الَّتِي هِيَ لُبُّ السُّلُوكِ فِي طَرِيقِ الصُّوفِيَّةِ."
"Tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan takwa, taubat,
zuhud, sabar, syukur, ikhlas, dan kejujuran; semua itu merupakan maqāmāt (tingkatan
spiritual) yang menjadi inti dari perjalanan (sulūk) dalam tarekat
para sufi."_¹
Dengan demikian, tarekat dianggap sebagai cara
untuk merealisasikan maqamat tersebut secara berkesinambungan.
Imam Nawawi (w. 676 H), seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, dalam al-Maqāṣid
dan syarahnya terhadap Sahih Muslim juga menegaskan bahwa dzikir dan
riyadhah (latihan spiritual) adalah ibadah yang dianjurkan dalam syariat.² Ia
tidak pernah mengecam tarekat selama praktiknya tidak keluar dari koridor
Al-Qur’an dan Sunnah.
Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), seorang otoritas besar dalam mazhab
Syafi’i, bahkan menulis risalah khusus berjudul al-Fatawa al-Hadithiyyah,
di mana beliau menyatakan bahwa orang-orang yang mengingkari tasawuf dan
tarekat yang mu’tabarah adalah orang yang tidak memahami esensi syariat.³ Ia
menegaskan bahwa jalan suluk dalam tarekat adalah bentuk pengamalan ihsan
sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Jibril.
7.2.
Batasan dan Kritik Terhadap
Penyimpangan
Meskipun mengakui tarekat sebagai bagian dari
warisan Islam, para ulama Ahlus Sunnah juga menyusun batasan yang tegas
agar tarekat tidak tergelincir ke dalam bentuk-bentuk penyimpangan. Salah satu
kritik utama yang sering mereka sampaikan adalah terhadap praktek-praktek ghuluw
(berlebihan) seperti pengultusan murshid, amalan-amalan yang tidak
bersumber dari syariat, serta keyakinan ekstrem dalam hal fana atau ittihad
yang tidak dipahami secara proporsional.⁴
Imam Ibn Taymiyyah (w. 728 H), meskipun dikenal sebagai pengkritik
beberapa tarekat ekstrem, tetap membela tasawuf dan tarekat yang lurus. Dalam Majmu’
al-Fatawa, ia menulis bahwa praktik sufi seperti dzikir, muraqabah, dan
riyadhah yang sesuai syariat adalah bagian dari jalan para salaf.⁵ Ibn
Taymiyyah bahkan menyebutkan bahwa "Banyak dari orang-orang sufi adalah
wali-wali Allah yang jujur dalam bertakwa, dan Allah memberikan kepada mereka
karamah dan ilham."_⁶
7.3.
Pandangan Ulama Kontemporer
Dalam konteks modern, ulama seperti Syekh Yusuf
al-Qaradawi memposisikan tarekat secara proporsional. Dalam bukunya al-Tasawwuf
baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah, ia menegaskan bahwa tarekat bisa menjadi
wasilah (perantara) yang efektif dalam mendidik ruhani umat, selama tidak
bertentangan dengan syariat.⁷ Ia juga menekankan perlunya tasfiyah
(pemurnian) terhadap praktik-praktik tarekat yang menyimpang dan tarbiyah
(pendidikan) untuk menjadikan tarekat sebagai bagian dari solusi kerohanian
modern.
Syekh Said Ramadhan al-Buthi, seorang ulama tafsir dan fikih asal Suriah,
bahkan menjadikan tasawuf dan tarekat sebagai bagian dari kerangka besar
pendidikan Islam. Dalam Kubral-Yaqiniyyat al-Kauniyyah, ia menyatakan
bahwa tarekat adalah jalan ruhani yang memupuk kecintaan kepada Allah dan
menjauhkan diri dari penyakit hati yang membinasakan.⁸
Kesimpulan
Pandangan Ahlus Sunnah
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah secara umum menerima tarekat sebagai metode pembinaan
spiritual yang sah, selama berada dalam koridor syariat dan tidak melampaui
batas. Mereka memandang tarekat sebagai aplikasi dari dimensi ihsan
dalam Islam, yang berfungsi melengkapi dimensi iman dan Islam. Pengawasan
terhadap murshid, pemahaman terhadap maqamat, serta pembinaan akhlak menjadi
unsur penting yang selalu ditekankan untuk menjaga kemurnian praktik tarekat.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 4–7.
[2]
Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 17
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1996), 25–28.
[3]
Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Hadithiyyah
(Kairo: Maktabah al-Qudsiyyah, n.d.), 232–235.
[4]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short
History (Leiden: Brill, 2000), 102.
[5]
Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 11
(Riyadh: Dar al-Wafa’, 2001), 17–19.
[6]
Ibid., 18.
[7]
Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawwuf baina al-Tasfiyah
wa al-Tarbiyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 62–65.
[8]
Said Ramadhan al-Buthi, Kubral-Yaqiniyyat
al-Kauniyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 124–127.
8.
Relevansi
dan Kontribusi Tarekat dalam Kehidupan Modern
Di tengah dinamika kehidupan modern yang ditandai
oleh krisis spiritual, hedonisme, dan individualisme sekuler,
tarekat kembali menemukan momentumnya sebagai jalan ruhani yang
memberikan ketenangan batin, ketahanan moral, serta integritas spiritual.
Meskipun tarekat lahir dan berkembang dalam konteks tradisional Islam,
nilai-nilai yang dikandungnya tetap aktual dalam menjawab berbagai tantangan
zaman.
8.1.
Menjawab Kekosongan Spiritual Modern
Peradaban modern yang berorientasi pada
materialisme dan kemajuan teknologi telah menghadirkan dehumanisasi dan
krisis eksistensial, di mana manusia kehilangan arah dalam kehidupan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, kehidupan modern telah memisahkan manusia
dari kesadaran metafisik, sehingga diperlukan “jalan kembali” melalui
pendekatan ruhani seperti yang ditawarkan tarekat.¹ Tarekat mengajarkan dzikir,
muraqabah, dan tazkiyah yang mampu menghadirkan kembali makna
dalam hidup dan memperkuat hubungan dengan Tuhan.
Studi empiris juga menunjukkan bahwa praktik
tarekat dapat menurunkan tingkat stres, meningkatkan kesejahteraan
psikologis, dan memperkuat keseimbangan emosional.² Hal ini sejalan
dengan pernyataan William C. Chittick bahwa jalan spiritual sufi
membantu manusia menata batin di tengah dunia yang kacau dan serba cepat.³
8.2.
Pembinaan Akhlak dan Moral Publik
Tarekat sangat menekankan pembinaan akhlak, seperti
kejujuran, kesabaran, ketulusan, dan kasih sayang. Dalam konteks sosial saat
ini, ketika korupsi, kekerasan, dan kebencian berbasis identitas menggejala,
nilai-nilai tarekat dapat menjadi kontribusi konkret dalam membangun etika
sosial dan budaya damai.⁴
Banyak tarekat di dunia Islam — termasuk di
Indonesia — mengajarkan toleransi, hidup berdampingan, dan ukhuwah
insaniyyah. Hal ini diperkuat oleh Martin van Bruinessen yang
mencatat bahwa tarekat-tarekat besar di Nusantara cenderung mempromosikan
moderasi dan persatuan dalam keberagaman.⁵ Tarekat, dalam hal ini, menjadi agen
moderasi beragama yang sangat dibutuhkan di era polarisasi identitas
keagamaan.
8.3.
Penguatan Komunitas dan Pendidikan
Islam Tradisional
Tarekat juga berperan penting dalam penguatan
komunitas Islam melalui lembaga-lembaga seperti pesantren, zawiyah, dan
majelis dzikir. Institusi-institusi ini tidak hanya menjadi pusat
spiritual, tetapi juga sarana pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, serta
jaringan sosial berbasis nilai-nilai Islam.⁶ Di berbagai wilayah, tarekat
terbukti turut membentuk pola kohesi sosial yang kuat antara ulama dan
masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, tarekat seperti Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan Tijaniyah memainkan peran
aktif dalam pendidikan karakter dan penyebaran Islam yang damai.⁷ Mereka tidak
hanya menjadi warisan tradisi, tetapi juga pelaku transformasi sosial yang
adaptif terhadap tantangan globalisasi dan urbanisasi.
8.4.
Tarekat dan Keseimbangan antara
Dunia dan Akhirat
Salah satu sumbangan paling penting tarekat adalah
kemampuannya untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Berbeda
dengan anggapan bahwa tarekat mendorong pelarian dari dunia (world escapism),
banyak tarekat mengajarkan bahwa kehidupan dunia harus dijalani secara
bertanggung jawab — namun dengan hati yang tetap terpaut kepada Allah.⁸
Sebagaimana dijelaskan oleh Hamid Algar,
para sufi besar justru aktif dalam dunia sosial dan politik, sekaligus tetap
menjaga kedalaman spiritual.⁹ Tarekat yang benar justru melahirkan insan yang
tidak silau oleh dunia, tetapi juga tidak melupakannya, sebagaimana ditegaskan
dalam firman Allah:
وَابْتَغِ فِيمَا
آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا
تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) dunia ..." (QS. Al-Qashash
[28] ayat 77).
Kesimpulan
Subbab
Di era modern, tarekat tetap relevan sebagai wadah
penyucian diri, pembinaan akhlak, dan perbaikan sosial. Dengan
nilai-nilainya yang bersumber dari syariat dan dijalani melalui jalan batiniah,
tarekat menjadi jembatan antara dunia dan akhirat, serta sarana spiritual yang
aktual di tengah gempuran arus global yang mengabaikan dimensi ruhani manusia.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997),
39–42.
[2]
Nurul Huda, “Pengaruh Dzikir terhadap Kesehatan
Mental Jamaah Tarekat,” Jurnal Psikologi Islami 5, no. 2 (2019):
101–115.
[3]
William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The
Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 201.
[4]
Zainal Abidin Bagir, “Sufism and the Ethics of
Pluralism in Indonesia,” Studia Islamika 22, no. 2 (2015): 305–329.
[5]
Martin van Bruinessen, Tarekat dan Politik:
Kontribusi Sufi terhadap Moderasi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gading,
2010), 112–115.
[6]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara: Timur
Tengah dan Kepulauan Melayu (Bandung: Mizan, 2004), 91–95.
[7]
Dede Rosyada, “Peran Tarekat dalam Pendidikan Islam
Tradisional,” Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 (2014): 47–59.
[8]
Sa’id Hawwa, Tarbiyah Ruhiyyah (Kairo: Dar
al-Salam, 1998), 54–56.
[9]
Hamid Algar, The Role of the Sufis in the
Politics of Muslim States (Berkeley: University of California Press, 1990),
28–30.
9.
Penutup
Tarekat merupakan bagian integral dari warisan spiritual
Islam yang telah berkembang sejak masa klasik dan terus memainkan peran penting
dalam membentuk dimensi ruhani umat. Dalam tradisi tasawuf, tarekat tidak
berdiri sendiri sebagai aliran atau sekte, melainkan sebagai jalan ruhani
yang berfungsi memfasilitasi perjalanan seorang Muslim menuju kesempurnaan iman
dan akhlak, dengan tujuan akhir ma’rifatullah—mengenal Allah secara
batiniah dan eksistensial.¹
Sebagaimana telah dikaji dalam bagian-bagian
sebelumnya, tarekat memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
serta diakui oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.² Ia bukan inovasi
(bid’ah) dalam pengertian yang tercela, melainkan pengembangan dari ajaran
ihsan sebagaimana termaktub dalam Hadis Jibril, yang merupakan puncak dari
dimensi keberagamaan Islam.³ Praktik-praktik seperti dzikir, muraqabah,
riyadhah, dan suluk bukanlah amalan asing dalam Islam, melainkan bentuk
pendalaman spiritual terhadap syariat yang sudah dipahami secara lahiriah.
Tarekat tidak hanya bermanfaat pada tataran
individu dalam upaya tazkiyatun nafs dan penguatan hubungan vertikal dengan
Allah, tetapi juga memiliki kontribusi signifikan dalam bidang sosial,
pendidikan, dan kebudayaan.⁴ Dalam masyarakat modern yang diwarnai oleh
krisis spiritual, kegersangan moral, dan materialisme yang berlebihan, tarekat
menjadi jalan yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.
Ia menawarkan nilai-nilai kehidupan yang berbasis cinta, kesederhanaan,
toleransi, dan kedekatan kepada Tuhan.
Namun demikian, seperti halnya setiap institusi
keagamaan, tarekat juga tidak luput dari tantangan dan potensi penyimpangan.
Oleh karena itu, para ulama telah menegaskan pentingnya tasfiyah
(pemurnian ajaran dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul) dan tarbiyah
(penguatan aspek pendidikan ruhani) sebagai dua poros penting untuk menjaga
tarekat tetap berada dalam rel syariat.⁵ Dalam konteks ini, peran ulama dan
mursyid yang berilmu, bijaksana, serta memiliki sanad yang otentik menjadi
sangat krusial.
Sebagai penutup, memahami tarekat secara
proporsional dan ilmiah merupakan kebutuhan umat Islam kontemporer.
Tarekat bukan sekadar bagian dari masa lalu, melainkan warisan spiritual yang
terus hidup dan relevan sepanjang zaman. Ketika dijalani dengan bimbingan yang
benar dan niat yang lurus, tarekat mampu menuntun seorang Muslim dari
formalitas ibadah menuju kedalaman makna, dari syariat menuju hakikat, hingga
akhirnya mencapai ma’rifatullah.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3
(Beirut: Dar al-Khair, 1990), 4–10.
[2]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans.
Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 40–42.
[3]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Iman, no. 8 (Hadis Jibril).
[4]
Martin van Bruinessen, Tarekat dan Politik:
Kontribusi Sufi terhadap Moderasi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gading,
2010), 115–120.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawwuf baina al-Tasfiyah
wa al-Tarbiyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 62–68.
Daftar Pustaka
Algar, H. (1973). Abd
al-Qadir al-Jilani: His role and significance in Sufism. Tehran: Imperial
Iranian Academy of Philosophy.
Algar, H. (1990). The
role of the Sufis in the politics of Muslim states. Berkeley: University
of California Press.
Al-Ghazali. (1990). Ihya’
‘Ulumuddin (Vol. 3). Beirut: Dar al-Khair.
Al-Haitami, I. H. (n.d.). Al-Fatawa
al-Hadithiyyah. Kairo: Maktabah al-Qudsiyyah.
Al-Nawawi. (1996). Syarh
Shahih Muslim (Vol. 17). Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
Al-Qaradawi, Y. (2001). Al-Tasawwuf
baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Risalah
al-Qusyairiyah (A. H. Mahmud, Trans.). Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Razi, F. (1999). Al-Tafsir
al-Kabir (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Baghawi. (1985). Ma‘alim
at-Tanzil (Vol. 3). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
Azra, A. (2004). Jaringan
ulama Nusantara: Timur Tengah dan Kepulauan Melayu. Bandung: Mizan.
Bagir, Z. A. (2015). Sufism
and the ethics of pluralism in Indonesia. Studia Islamika, 22(2),
305–329. https://doi.org/10.15408/sdi.v22i2.1921
Bruinessen, M. van. (1992).
Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei historis, geografis, dan
sosiologis. Bandung: Mizan.
Bruinessen, M. van. (2010).
Tarekat dan politik: Kontribusi sufi terhadap moderasi Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Gading.
Chittick, W. C. (1983). The
Sufi path of love: The spiritual teachings of Rumi. Albany, NY: SUNY
Press.
Chittick, W. C. (1989). The
Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination.
Albany, NY: SUNY Press.
Ernst, C. W. (1997). Sufism:
An introduction to the mystical tradition of Islam. Boston, MA: Shambhala.
Hawwa, S. (1998). Tarbiyah
ruhiyyah. Kairo: Dar al-Salam.
Ibn Taymiyyah. (2001). Majmu’
al-Fatawa (Vol. 11). Riyadh: Dar al-Wafa’.
Karamustafa, A. T. (2007). Sufism:
The formative period. Berkeley: University of California Press.
Knysh, A. (2000). Islamic
mysticism: A short history. Leiden: Brill.
Nasr, S. H. (1991). Sufi
essays. Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1997). Man
and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago: ABC International
Group.
Rosyada, D. (2014). Peran
tarekat dalam pendidikan Islam tradisional. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1),
47–59. https://doi.org/10.14421/jpi.2014.31.47-59
Schimmel, A. (1975). Mystical
dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Trimingham, J. S. (1998). The
Sufi orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.
Waley, M. I. (1998). The
spiritual path (ṭarīqah) in Sufism. Journal of Islamic Studies, 9(1),
43–57. https://doi.org/10.1093/jis/9.1.43
Huda, N. (2019). Pengaruh
dzikir terhadap kesehatan mental jamaah tarekat. Jurnal Psikologi Islami, 5(2),
101–115. https://doi.org/10.32505/jpi.v5i2.761
Tidak ada komentar:
Posting Komentar