Minggu, 06 April 2025

Tarekat dalam Tasawuf: Jalan Spiritual Menuju Hakikat dan Ma’rifat

Tarekat dalam Tasawuf

Jalan Spiritual Menuju Hakikat dan Ma’rifat


Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.

Thariqah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits.


Abstrak

Artikel ini mengkaji tarekat sebagai salah satu elemen penting dalam tradisi tasawuf Islam yang berperan sebagai jalan ruhani dalam menapaki tahapan Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Ma’rifat. Melalui pendekatan kualitatif dan studi pustaka terhadap literatur klasik dan kontemporer, artikel ini menelaah definisi, landasan teologis, sejarah perkembangan, metodologi praktik, hingga pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap tarekat. Pembahasan menunjukkan bahwa tarekat memiliki legitimasi kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis serta didukung oleh para ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar al-Haitami. Tarekat juga terbukti relevan dalam konteks modern sebagai sarana penyucian jiwa, pembinaan akhlak, dan penguatan spiritual umat Islam yang hidup di tengah krisis moral dan spiritual. Dengan metodologi seperti bai’at, dzikir, khalwat, dan suluk, tarekat membentuk pribadi yang seimbang secara lahir dan batin. Artikel ini menegaskan bahwa tarekat yang berlandaskan syariat merupakan warisan spiritual Islam yang otentik, dinamis, dan kontributif dalam pembinaan umat sepanjang zaman.

Kata Kunci: Tarekat, Tasawuf, Syariat, Hakikat, Ma’rifat, Ihsan, Ulama Ahlus Sunnah, Spiritualitas Islam, Dzikir, Suluk.


PEMBAHASAN

Tarekat dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam tradisi Islam, aspek spiritualitas memiliki kedudukan yang sangat penting dan mendasar. Dimensi ini bukan sekadar pelengkap ibadah formal, tetapi merupakan inti dari tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk menyembah Allah dengan penuh kesadaran dan kedekatan (taqarrub). Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui tasawuf, cabang ilmu dalam Islam yang membahas penyucian jiwa dan pendekatan batin kepada Allah. Dalam khazanah tasawuf, dikenal empat tahapan utama perjalanan spiritual: Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan Ma’rifat. Keempatnya merupakan rangkaian hierarkis yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Tarekat, sebagai fase kedua setelah syari’at, memainkan peran penting sebagai metode atau jalan praktis bagi seorang Muslim untuk melatih diri secara ruhani. Kata “tarekat” (الطريقة) secara harfiah berarti "jalan" atau "metode", yang dalam konteks tasawuf dimaknai sebagai jalan spiritual menuju pemahaman yang lebih dalam terhadap hakikat kehidupan dan kedekatan dengan Sang Pencipta.¹ Konsep ini telah dijelaskan secara mendalam dalam kitab-kitab klasik seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, yang memadukan antara aspek syariat lahir dan batin, serta Risalah al-Qusyairiyah karya Abu al-Qasim al-Qusyairi, yang secara sistematis menyusun etika dan praktik para sufi.²

Kemunculan dan perkembangan tarekat tidak dapat dipisahkan dari semangat awal tasawuf yang lahir pada abad ke-2 Hijriah sebagai respons terhadap kecenderungan formalisme dalam beragama dan kemewahan hidup umat Islam saat itu.³ Gerakan ini kemudian berkembang menjadi institusi tarekat yang lebih terorganisir pada abad ke-6 Hijriah, dengan tokoh-tokoh sentral seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Qadiriyah, yang menggabungkan kedalaman spiritual dengan pengabdian sosial.⁴

Meskipun terkadang dipandang kontroversial dalam sejarah keilmuan Islam, tarekat telah menunjukkan kontribusi signifikan dalam pendidikan akhlak, penyebaran Islam, serta penguatan spiritualitas umat di berbagai belahan dunia.⁵ Di Indonesia sendiri, banyak pesantren dan lembaga keagamaan yang masih menjaga dan melestarikan ajaran tarekat sebagai bagian integral dari warisan Islam Nusantara.

Oleh karena itu, memahami tarekat secara komprehensif dan proporsional merupakan langkah penting, bukan hanya untuk mengenali aspek historis dan spiritualnya, tetapi juga untuk melihat relevansinya dalam konteks keislaman kontemporer. Dengan pendekatan ilmiah yang bersandar pada sumber-sumber otentik, artikel ini bertujuan menyajikan penjelasan mendalam tentang tarekat sebagai jalan ruhani yang menuntun seorang hamba dari syari’at menuju hakikat dan ma’rifat.


Footnotes

[1]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 56.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 4–7.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 14–16.

[4]                Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1998), 41–43.

[5]                Martin van Bruinessen, “The Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast Asia,” Studia Islamika 1, no. 1 (1994): 1–23.


2.           Definisi Tarekat: Kajian Etimologis dan Terminologis

Secara etimologis, istilah tarekat berasal dari bahasa Arab ṭarīqah (الطريقة), yang berarti jalan, metode, atau cara. Kata ini merupakan bentuk isim muannats dari akar kata ṭarīq (طريق), yang secara umum berarti “jalan” atau “jalan yang dilalui”. Dalam Al-Qur’an, bentuk akar kata ini digunakan untuk menggambarkan jalan menuju kebenaran, seperti dalam firman Allah:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (subulanā), (QS. Al-‘Ankabut [29] ayat 69).¹

Tafsir klasik seperti Tafsir al-Qurtubi menegaskan bahwa jalan-jalan tersebut merupakan bentuk usaha spiritual yang berlapis, dimulai dari pemahaman syariat hingga pencapaian hakikat.²

Dalam terminologi tasawuf, tarekat merujuk kepada metode atau jalan spiritual yang ditempuh oleh seorang salik (penempuh jalan) untuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, mengokohkan adab ruhani, serta mendekatkan diri secara batiniah kepada Allah.³ Tarekat tidak berdiri sendiri sebagai praktik tersendiri, melainkan sebagai lanjutan dan pendalaman dari syariat yang telah dijalankan secara lahiriah. Menurut Imam Al-Ghazali, tasawuf sejati harus bermula dari pelaksanaan syariat yang lurus, dan tarekat adalah proses internalisasi nilai-nilai syariat ke dalam kehidupan ruhani.⁴

Dalam Risalah al-Qusyairiyah, Abu al-Qasim al-Qusyairi menjelaskan bahwa ṭarīqah adalah bentuk perilaku dan adab spiritual yang berlandaskan ketaatan mutlak kepada Allah dan pengosongan jiwa dari selain-Nya. Ia menekankan bahwa tarekat yang benar tidak boleh bertentangan dengan syariat, melainkan justru menjadi sarana untuk memperdalam pemahaman dan kecintaan kepada Allah.⁵ Dengan demikian, tarekat bukanlah sekadar aktivitas ritual yang eksklusif bagi para sufi, tetapi merupakan proses pendidikan jiwa yang dapat membawa pelakunya kepada ma’rifatullah — pengenalan batiniah terhadap Tuhan.

Tokoh tasawuf modern seperti Sayyid Hossein Nasr juga menegaskan bahwa tarekat adalah lembaga spiritual yang memfasilitasi pelatihan ruhani secara sistematis dan diwariskan dari satu generasi ke generasi melalui sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw.⁶ Ini menunjukkan bahwa tarekat bukanlah inovasi atau deviasi dari ajaran Islam, tetapi merupakan bentuk pewarisan otentik dari esensi dakwah Nabi dalam bentuk pembinaan ruhani yang terstruktur.

Oleh karena itu, dalam kajian ilmiah maupun pengalaman spiritual umat Islam, tarekat dipahami sebagai jalan menuju kedekatan dengan Allah yang memadukan aspek syariat lahiriah dengan dimensi batin yang mendalam. Definisi ini penting ditekankan agar pemahaman terhadap tarekat tidak terjebak dalam dikotomi antara "sufi" dan "syari’", melainkan dipahami sebagai dua sisi dari satu kesatuan jalan menuju ridha Allah.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-‘Ankabut [29] ayat 69.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, jilid 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 343.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 98.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 6–7.

[5]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 47–49.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1991), 76.


3.           Landasan Tarekat dalam Al-Qur’an dan Hadis

Tarekat sebagai jalan spiritual dalam Islam bukanlah suatu konsep yang asing atau tidak berdasar. Justru, eksistensinya berpijak kuat pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang menjadi fondasi bagi seluruh ilmu dan praktik dalam Islam, termasuk tasawuf. Para ulama sufi menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi sebagai titik tolak dalam menyusun prinsip-prinsip perjalanan ruhani yang dikenal sebagai suluk.

Salah satu ayat yang sering dijadikan dalil utama adalah firman Allah dalam Surah Al-‘Ankabut [29] ayat 69:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ

_“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (bermujahadah) untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (subulanā).”_¹

Dalam tafsir klasik, seperti Tafsir al-Baghawi, dijelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa kesungguhan dalam beribadah dan menempuh jalan menuju Allah akan dibalas dengan petunjuk yang bertahap, sesuai maqam spiritual seseorang.² Ulama seperti Imam Al-Qusyairi dan Imam Al-Ghazali memahami ayat ini sebagai dasar bagi konsep tarekat, yakni sebuah proses mujahadah dan riyadhah (latihan spiritual) yang menuntun pelakunya menuju hakikat dan ma’rifat.³

Landasan lainnya ditemukan dalam Surah Al-Fatihah [01] ayat 6:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus (ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm).”

Ayat ini, yang dibaca berulang kali dalam setiap rakaat shalat, mengandung permohonan yang mendalam agar Allah membimbing hamba-Nya kepada jalan yang benar — bukan hanya dalam aspek lahiriah syariat, tetapi juga dalam kedalaman ruhani. Dalam tafsir Al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi, disebutkan bahwa ṣirāṭal-mustaqīm mencakup syariat, tarekat, dan hakikat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.⁴

Dari sisi hadis, salah satu rujukan utama tarekat adalah hadis tentang ihsan, yang diriwayatkan dalam Hadis Jibril:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”_⁵

Hadis ini menunjukkan dimensi spiritual dalam ibadah yang menjadi inti dari tarekat: menyucikan niat, menghadirkan keikhlasan, dan mencapai kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam segala aktivitas. Para sufi menjadikan konsep ihsan sebagai esensi dari tarekat — karena tujuan utama suluk adalah mencapai maqam muraqabah dan musyahadah (kesadaran akan pengawasan dan kehadiran Allah).⁶

Selain itu, hadis Nabi yang menyatakan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan tidak pula kepada tubuh kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal kalian.” (HR. Muslim)⁷

Hadis ini menegaskan bahwa dimensi batin dalam beragama sangat penting. Praktik tarekat bertujuan memperbaiki hati dan amal, serta menjauhkan diri dari riya’, ujub, dan penyakit hati lainnya yang bisa merusak amal lahiriah.

Dengan demikian, baik Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi telah memberikan fondasi teologis dan spiritual bagi munculnya konsep tarekat. Para ulama tidak mengada-adakan jalan ini, tetapi merumuskan dan merawatnya sebagai respons ruhani yang sistematis terhadap ajaran Islam yang bersifat menyeluruh, menyentuh dimensi lahir dan batin.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-‘Ankabut [29] ayat 69.

[2]                Al-Baghawi, Ma‘alim at-Tanzil, jilid 3 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1985), 301.

[3]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 61–63.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 187–188.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no. 8.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 10–12.

[7]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Silah, no. 2564.


4.           Sejarah Perkembangan Tarekat

Perkembangan tarekat dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan tasawuf itu sendiri. Tarekat lahir sebagai bentuk institusional dari praktik-praktik spiritual yang telah ada sejak generasi awal Islam. Pada masa Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, praktik spiritual dilakukan secara alami dalam kehidupan sehari-hari melalui ibadah, dzikir, dan penghayatan ruhani yang mendalam. Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah perluasan wilayah kekuasaan Islam dan masuknya pengaruh budaya asing, muncul kecenderungan materialisme dan kehidupan duniawi yang berlebihan.¹ Sebagai respons terhadap fenomena ini, muncul kelompok-kelompok zuhud yang kemudian menjadi cikal bakal gerakan tasawuf.

Pada abad ke-2 hingga ke-4 Hijriah, tasawuf berkembang sebagai gerakan individual yang menekankan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), muhasabah, dan penghindaran dari kehidupan duniawi. Tokoh-tokoh awal seperti Hasan al-Bashri (w. 110 H), Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185 H), dan Sufyan ats-Tsauri menonjol sebagai pelopor pendekatan spiritual yang mengedepankan cinta ilahi (mahabbah ilahiyyah) dan taubat.² Namun pada periode ini, tarekat belum terbentuk sebagai lembaga formal.

Baru pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah, praktik tasawuf mulai mengalami institusionalisasi. Muncullah tarekat sebagai sistem pembinaan ruhani yang terstruktur, memiliki metode, ajaran, serta silsilah spiritual (sanad) yang menghubungkan murid dengan guru (murshid) hingga kepada Rasulullah Saw.³ Salah satu tokoh sentral dalam proses ini adalah Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H), pendiri Tarekat Qadiriyah, yang menggabungkan pengajaran fikih, dakwah, dan latihan spiritual dalam satu kesatuan.⁴ Tarekat ini kemudian menyebar luas ke berbagai wilayah, termasuk Asia Tengah, Afrika Utara, dan akhirnya ke Asia Tenggara.

Seiring dengan itu, muncul pula tarekat-tarekat besar lainnya seperti Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Bahauddin Naqsyband (w. 791 H), Tarekat Syadziliyah oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, dan Tarekat Chishtiyah di wilayah India oleh Mu’inuddin Chishti.⁵ Setiap tarekat memiliki ciri khas dalam metode dzikir, wirid, dan pendekatan suluknya, namun semuanya berorientasi pada satu tujuan: mendekatkan diri kepada Allah melalui pembinaan akhlak, ibadah, dan penyucian hati.

Pada masa kejayaan Islam, terutama era Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, dan Utsmaniyah, tarekat memiliki peran signifikan dalam membina moral masyarakat, menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah baru, serta membentuk jaringan pendidikan melalui zawiyah, khanqah, dan pesantren.⁶ Di Nusantara, tarekat masuk bersamaan dengan penyebaran Islam oleh para ulama dan wali, terutama melalui jaringan perdagangan dan pendidikan Islam tradisional. Tarekat seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan Tijaniyah menjadi bagian penting dari spiritualitas Islam di Indonesia.⁷

Meskipun dalam sejarahnya tarekat tidak luput dari kritik, terutama saat terjadi penyimpangan atau pengkultusan terhadap tokoh, para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap mengakui eksistensi tarekat yang berlandaskan syariat sebagai bagian dari khazanah Islam yang sah dan produktif.⁸ Dengan demikian, tarekat merupakan fenomena historis sekaligus spiritual yang tumbuh seiring perkembangan peradaban Islam, dan terus memainkan peran penting dalam pembinaan ruhani umat.


Footnotes

[1]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 14–17.

[2]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 40–45.

[3]                J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14–16.

[4]                Hamid Algar, Abd al-Qadir al-Jilani: His Role and Significance in Sufism (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1973), 23–26.

[5]                Carl W. Ernst, Sufism: An Introduction to the Mystical Tradition of Islam (Boston: Shambhala Publications, 1997), 89–92.

[6]                Ahmet T. Karamustafa, Sufism: The Formative Period (Berkeley: University of California Press, 2007), 101–105.

[7]                Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992), 27–35.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 66–68.


5.           Tujuan dan Fungsi Tarekat dalam Kehidupan Spiritual

Tarekat dalam tradisi tasawuf Islam tidak hanya berfungsi sebagai sistem latihan spiritual, tetapi juga merupakan jalan transformasi batin yang dirancang untuk mendekatkan seorang hamba kepada Allah Swt secara total. Tujuan utama tarekat adalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) serta pencapaian ma’rifatullah (pengenalan batiniah terhadap Allah) melalui disiplin spiritual yang sistematis dan terpandu.¹

Menurut Imam Al-Ghazali, manusia tidak akan mampu mencapai kebahagiaan abadi (as-sa’adah) kecuali dengan menyucikan hatinya dari penyakit-penyakit ruhani seperti hasad, riya’, ujub, dan takabbur. Tarekat adalah jalan untuk melakukan penyucian ini melalui mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah), dan muhasabah (introspeksi diri).² Dalam kerangka ini, tarekat bertujuan menginternalisasi nilai-nilai syariat ke dalam kehidupan batin sehingga seseorang tidak hanya “tampak baik” secara lahiriah, tetapi juga memiliki kualitas ruhani yang luhur.

Selain sebagai sarana penyucian jiwa, tarekat juga berfungsi sebagai pendidikan spiritual (tarbiyah ruhiyyah). Melalui bimbingan seorang mursyid, seorang salik (penempuh jalan) dibina secara bertahap untuk menjalani maqamat (tahapan spiritual) seperti tobat, sabar, syukur, tawakal, dan ridha.³ Proses ini bukan hanya teori, melainkan pengalaman ruhani yang aktual. Hal ini tercermin dalam praktik-praktik tarekat seperti dzikir berjamaah, wirid harian, khalwat (pengasingan diri), dan riyadhah (latihan spiritual) yang bertujuan membentuk kesadaran ilahiyah yang terus-menerus.

Fungsi penting lain dari tarekat adalah membentuk karakter dan akhlak yang mulia. Banyak tokoh sufi seperti Junaid al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Bustami menekankan bahwa buah dari perjalanan tarekat adalah terbentuknya insan yang tawadhu’, penuh kasih, toleran, dan tidak mencintai dunia secara berlebihan.⁴ Dalam konteks ini, tarekat menjadi sekolah akhlak yang sangat efektif, karena tidak hanya mengajarkan teori moral, tetapi juga membentuk pengalaman batin yang mendalam dan transformatif.

Tarekat juga memiliki fungsi sosial yang tidak bisa diabaikan. Dalam sejarah Islam, banyak tarekat memainkan peran dalam membina masyarakat, menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah baru, dan menjaga semangat spiritual umat di tengah krisis moral.⁵ Di Indonesia, tarekat seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak hanya berfungsi sebagai tempat latihan dzikir, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan perlawanan terhadap penjajahan.⁶ Ini menunjukkan bahwa tarekat bukanlah bentuk eskapisme, tetapi bagian integral dari dinamika keagamaan dan sosial umat Islam.

Dalam pandangan Sayyid Hossein Nasr, tujuan akhir tarekat adalah tahqiq — yaitu realisasi hakikat keberadaan manusia sebagai hamba Allah dan pencapaian fana’ (melebur dalam kehendak Ilahi).⁷ Semua disiplin dalam tarekat mengarah pada pengalaman ruhani ini, yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai musyahadah (penyaksian) terhadap kehadiran Allah dalam hati dan kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, tarekat tidak hanya penting dalam dimensi keagamaan individual, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam pembinaan moral, pencerahan spiritual, dan perbaikan sosial. Ia merupakan sarana untuk menjalani Islam secara menyeluruh — lahir dan batin — menuju kesempurnaan insan kamil.


Footnotes

[1]                Muhammad Isa Waley, “The Spiritual Path (ṭarīqah) in Sufism,” Journal of Islamic Studies 9, no. 1 (1998): 43–57.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 5–10.

[3]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 72–74.

[4]                William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 87.

[5]                J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1998), 91–95.

[6]                Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992), 63–70.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1991), 99–101.


6.           Metodologi dan Praktik dalam Tarekat

Tarekat bukan hanya sebuah konsep spiritual abstrak, tetapi merupakan jalan ruhani yang memiliki metodologi sistematis dan praktik konkrit yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui silsilah rohani (sanad) yang bersambung hingga Rasulullah Saw.¹ Praktik-praktik dalam tarekat bertujuan untuk mengantar seorang salik (penempuh jalan spiritual) meniti tahap-tahap kesucian jiwa menuju hakikat dan ma’rifat, di bawah bimbingan seorang pembimbing spiritual yang disebut murshid atau syaikh.

6.1.       Bai‘at dan Peran Murshid

Perjalanan seorang murid dalam tarekat biasanya dimulai dengan bai‘at, yaitu janji setia kepada seorang murshid untuk mengikuti bimbingannya dalam menempuh jalan spiritual.² Bai‘at ini tidak hanya bersifat formal, tetapi menandai awal dari proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) melalui ketundukan batin kepada disiplin tarekat. Murshid memiliki otoritas untuk membimbing murid berdasarkan pengalaman ruhani dan ilmu yang diwarisinya dari para guru sebelumnya.³ Dalam banyak tarekat, murshid tidak hanya berfungsi sebagai pembimbing tetapi juga sebagai teladan spiritual dalam ucapan, akhlak, dan laku hidup.

6.2.       Dzikir dan Wirid Harian

Salah satu metode utama dalam tarekat adalah dzikir, yaitu pengulangan nama-nama Allah (asmaul husna), kalimat tauhid, atau salawat secara rutin dan terstruktur.⁴ Setiap tarekat memiliki wirid harian yang diwariskan dari pendirinya. Misalnya, Tarekat Naqsyabandiyah menekankan dzikir khafi (dzikir dalam hati), sedangkan Qadiriyah cenderung mengamalkan dzikir jahr (dzikir dengan suara keras). Dzikir dipandang sebagai cara paling efektif untuk menyucikan hati dari kelalaian dan menghidupkan kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah).⁵

Menurut Imam Al-Ghazali, dzikir merupakan langkah awal yang sangat penting dalam suluk karena hati yang lalai tidak bisa menjadi wadah bagi cahaya ilahi.⁶ Oleh karena itu, konsistensi dalam berdzikir menjadi fondasi dalam metodologi tarekat.

6.3.       Khalwat, Riyadhah, dan Muraqabah

Tarekat juga mengajarkan khalwat (pengasingan diri) sebagai bentuk latihan konsentrasi dan pengendalian hawa nafsu. Dalam khalwat, seorang salik menjauh dari keramaian untuk merenung, berdzikir, dan mendekatkan diri secara intens kepada Allah.⁷ Riyadhah, yakni latihan spiritual seperti berpuasa, menjaga lisan, mengurangi tidur, dan melatih sabar, juga diterapkan untuk melemahkan dominasi jasmani atas ruhani.⁸

Sementara itu, muraqabah — kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa mengawasi — menjadi salah satu maqam penting yang dituju. Dalam pandangan Al-Qusyairi, muraqabah merupakan puncak dari latihan spiritual yang memungkinkan hati menyaksikan keagungan Allah dalam setiap aspek kehidupan.⁹

6.4.       Suluk: Tahapan Perjalanan Ruhani

Proses keseluruhan dalam tarekat dikenal sebagai suluk, yaitu perjalanan ruhani yang bertahap dari syariat menuju hakikat. Para ulama sufi membagi tahapan suluk ke dalam maqamat (tingkatan), seperti tobat, zuhud, sabar, syukur, tawakal, dan ridha.¹⁰ Setiap maqam bukan sekadar teori, melainkan kondisi ruhani yang harus dijalani dan diwujudkan dalam laku kehidupan.

Suluk bukan proses instan, tetapi jalan panjang yang memerlukan komitmen, kesabaran, dan pengawasan. Murshid berperan mengukur kesiapan murid untuk naik ke maqam berikutnya. Ini menjadikan metodologi tarekat sangat personal dan dinamis, tergantung kesiapan spiritual masing-masing murid.

Dengan demikian, tarekat membentuk sebuah sistem spiritual yang menyeluruh: mulai dari janji komitmen (bai‘at), praktik rutin (dzikir dan wirid), latihan batin (khalwat dan riyadhah), hingga kesadaran ilahiyah yang dalam (muraqabah dan musyahadah). Sistem ini tidak hanya membentuk pribadi yang saleh secara individual, tetapi juga membawa dampak positif dalam kehidupan sosial dan akhlak umat.


Footnotes

[1]                J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1998), 4–5.

[2]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 45–46.

[3]                Carl W. Ernst, Sufism: An Introduction to the Mystical Tradition of Islam (Boston: Shambhala, 1997), 94–96.

[4]                Muhammad Isa Waley, “The Spiritual Path (ṭarīqah) in Sufism,” Journal of Islamic Studies 9, no. 1 (1998): 50–52.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 77.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 8–10.

[7]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 114.

[8]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 69–71.

[9]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, 83.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1991), 105–108.


7.           Tarekat dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah

Dalam khazanah keilmuan Islam, tarekat mendapat pengakuan dan legitimasi dari mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mereka yang berpemahaman moderat dan bermazhab fikih serta akidah yang mapan. Bagi para ulama ini, tarekat bukan sekadar bentuk ibadah tambahan, melainkan merupakan jalan spiritual untuk merealisasikan nilai-nilai syariat secara batiniah dan mencapai kedekatan hakiki dengan Allah Swt.

7.1.       Pandangan Positif Ulama Klasik

Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa hakikat tasawuf (dan di dalamnya termasuk tarekat) adalah bagian dari inti ajaran Islam, bahkan menilainya sebagai fardu kifayah untuk umat, khususnya dalam pembinaan akhlak dan jiwa. Ia menulis:

"لَا طَرِيقَ إِلَى اللّٰهِ إِلَّا بِالتَّقْوَىٰ وَالتَّوْبَةِ وَالزُّهْدِ وَالصَّبْرِ وَالشُّكْرِ وَالْإِخْلَاصِ وَالصِّدْقِ، وَكُلُّ ذٰلِكَ مِنَ الْمَقَامَاتِ الَّتِي هِيَ لُبُّ السُّلُوكِ فِي طَرِيقِ الصُّوفِيَّةِ."​

"Tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan takwa, taubat, zuhud, sabar, syukur, ikhlas, dan kejujuran; semua itu merupakan maqāmāt (tingkatan spiritual) yang menjadi inti dari perjalanan (sulūk) dalam tarekat para sufi."_¹

Dengan demikian, tarekat dianggap sebagai cara untuk merealisasikan maqamat tersebut secara berkesinambungan.

Imam Nawawi (w. 676 H), seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, dalam al-Maqāṣid dan syarahnya terhadap Sahih Muslim juga menegaskan bahwa dzikir dan riyadhah (latihan spiritual) adalah ibadah yang dianjurkan dalam syariat.² Ia tidak pernah mengecam tarekat selama praktiknya tidak keluar dari koridor Al-Qur’an dan Sunnah.

Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), seorang otoritas besar dalam mazhab Syafi’i, bahkan menulis risalah khusus berjudul al-Fatawa al-Hadithiyyah, di mana beliau menyatakan bahwa orang-orang yang mengingkari tasawuf dan tarekat yang mu’tabarah adalah orang yang tidak memahami esensi syariat.³ Ia menegaskan bahwa jalan suluk dalam tarekat adalah bentuk pengamalan ihsan sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Jibril.

7.2.       Batasan dan Kritik Terhadap Penyimpangan

Meskipun mengakui tarekat sebagai bagian dari warisan Islam, para ulama Ahlus Sunnah juga menyusun batasan yang tegas agar tarekat tidak tergelincir ke dalam bentuk-bentuk penyimpangan. Salah satu kritik utama yang sering mereka sampaikan adalah terhadap praktek-praktek ghuluw (berlebihan) seperti pengultusan murshid, amalan-amalan yang tidak bersumber dari syariat, serta keyakinan ekstrem dalam hal fana atau ittihad yang tidak dipahami secara proporsional.⁴

Imam Ibn Taymiyyah (w. 728 H), meskipun dikenal sebagai pengkritik beberapa tarekat ekstrem, tetap membela tasawuf dan tarekat yang lurus. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menulis bahwa praktik sufi seperti dzikir, muraqabah, dan riyadhah yang sesuai syariat adalah bagian dari jalan para salaf.⁵ Ibn Taymiyyah bahkan menyebutkan bahwa "Banyak dari orang-orang sufi adalah wali-wali Allah yang jujur dalam bertakwa, dan Allah memberikan kepada mereka karamah dan ilham."_⁶

7.3.       Pandangan Ulama Kontemporer

Dalam konteks modern, ulama seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi memposisikan tarekat secara proporsional. Dalam bukunya al-Tasawwuf baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah, ia menegaskan bahwa tarekat bisa menjadi wasilah (perantara) yang efektif dalam mendidik ruhani umat, selama tidak bertentangan dengan syariat.⁷ Ia juga menekankan perlunya tasfiyah (pemurnian) terhadap praktik-praktik tarekat yang menyimpang dan tarbiyah (pendidikan) untuk menjadikan tarekat sebagai bagian dari solusi kerohanian modern.

Syekh Said Ramadhan al-Buthi, seorang ulama tafsir dan fikih asal Suriah, bahkan menjadikan tasawuf dan tarekat sebagai bagian dari kerangka besar pendidikan Islam. Dalam Kubral-Yaqiniyyat al-Kauniyyah, ia menyatakan bahwa tarekat adalah jalan ruhani yang memupuk kecintaan kepada Allah dan menjauhkan diri dari penyakit hati yang membinasakan.⁸


Kesimpulan Pandangan Ahlus Sunnah

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah secara umum menerima tarekat sebagai metode pembinaan spiritual yang sah, selama berada dalam koridor syariat dan tidak melampaui batas. Mereka memandang tarekat sebagai aplikasi dari dimensi ihsan dalam Islam, yang berfungsi melengkapi dimensi iman dan Islam. Pengawasan terhadap murshid, pemahaman terhadap maqamat, serta pembinaan akhlak menjadi unsur penting yang selalu ditekankan untuk menjaga kemurnian praktik tarekat.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 4–7.

[2]                Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 17 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1996), 25–28.

[3]                Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Hadithiyyah (Kairo: Maktabah al-Qudsiyyah, n.d.), 232–235.

[4]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 102.

[5]                Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 11 (Riyadh: Dar al-Wafa’, 2001), 17–19.

[6]                Ibid., 18.

[7]                Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawwuf baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 62–65.

[8]                Said Ramadhan al-Buthi, Kubral-Yaqiniyyat al-Kauniyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 124–127.


8.           Relevansi dan Kontribusi Tarekat dalam Kehidupan Modern

Di tengah dinamika kehidupan modern yang ditandai oleh krisis spiritual, hedonisme, dan individualisme sekuler, tarekat kembali menemukan momentumnya sebagai jalan ruhani yang memberikan ketenangan batin, ketahanan moral, serta integritas spiritual. Meskipun tarekat lahir dan berkembang dalam konteks tradisional Islam, nilai-nilai yang dikandungnya tetap aktual dalam menjawab berbagai tantangan zaman.

8.1.       Menjawab Kekosongan Spiritual Modern

Peradaban modern yang berorientasi pada materialisme dan kemajuan teknologi telah menghadirkan dehumanisasi dan krisis eksistensial, di mana manusia kehilangan arah dalam kehidupan. Menurut Seyyed Hossein Nasr, kehidupan modern telah memisahkan manusia dari kesadaran metafisik, sehingga diperlukan “jalan kembali” melalui pendekatan ruhani seperti yang ditawarkan tarekat.¹ Tarekat mengajarkan dzikir, muraqabah, dan tazkiyah yang mampu menghadirkan kembali makna dalam hidup dan memperkuat hubungan dengan Tuhan.

Studi empiris juga menunjukkan bahwa praktik tarekat dapat menurunkan tingkat stres, meningkatkan kesejahteraan psikologis, dan memperkuat keseimbangan emosional.² Hal ini sejalan dengan pernyataan William C. Chittick bahwa jalan spiritual sufi membantu manusia menata batin di tengah dunia yang kacau dan serba cepat.³

8.2.       Pembinaan Akhlak dan Moral Publik

Tarekat sangat menekankan pembinaan akhlak, seperti kejujuran, kesabaran, ketulusan, dan kasih sayang. Dalam konteks sosial saat ini, ketika korupsi, kekerasan, dan kebencian berbasis identitas menggejala, nilai-nilai tarekat dapat menjadi kontribusi konkret dalam membangun etika sosial dan budaya damai.⁴

Banyak tarekat di dunia Islam — termasuk di Indonesia — mengajarkan toleransi, hidup berdampingan, dan ukhuwah insaniyyah. Hal ini diperkuat oleh Martin van Bruinessen yang mencatat bahwa tarekat-tarekat besar di Nusantara cenderung mempromosikan moderasi dan persatuan dalam keberagaman.⁵ Tarekat, dalam hal ini, menjadi agen moderasi beragama yang sangat dibutuhkan di era polarisasi identitas keagamaan.

8.3.       Penguatan Komunitas dan Pendidikan Islam Tradisional

Tarekat juga berperan penting dalam penguatan komunitas Islam melalui lembaga-lembaga seperti pesantren, zawiyah, dan majelis dzikir. Institusi-institusi ini tidak hanya menjadi pusat spiritual, tetapi juga sarana pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, serta jaringan sosial berbasis nilai-nilai Islam.⁶ Di berbagai wilayah, tarekat terbukti turut membentuk pola kohesi sosial yang kuat antara ulama dan masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, tarekat seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan Tijaniyah memainkan peran aktif dalam pendidikan karakter dan penyebaran Islam yang damai.⁷ Mereka tidak hanya menjadi warisan tradisi, tetapi juga pelaku transformasi sosial yang adaptif terhadap tantangan globalisasi dan urbanisasi.

8.4.       Tarekat dan Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Salah satu sumbangan paling penting tarekat adalah kemampuannya untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Berbeda dengan anggapan bahwa tarekat mendorong pelarian dari dunia (world escapism), banyak tarekat mengajarkan bahwa kehidupan dunia harus dijalani secara bertanggung jawab — namun dengan hati yang tetap terpaut kepada Allah.⁸

Sebagaimana dijelaskan oleh Hamid Algar, para sufi besar justru aktif dalam dunia sosial dan politik, sekaligus tetap menjaga kedalaman spiritual.⁹ Tarekat yang benar justru melahirkan insan yang tidak silau oleh dunia, tetapi juga tidak melupakannya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia ..." (QS. Al-Qashash [28] ayat 77).


Kesimpulan Subbab

Di era modern, tarekat tetap relevan sebagai wadah penyucian diri, pembinaan akhlak, dan perbaikan sosial. Dengan nilai-nilainya yang bersumber dari syariat dan dijalani melalui jalan batiniah, tarekat menjadi jembatan antara dunia dan akhirat, serta sarana spiritual yang aktual di tengah gempuran arus global yang mengabaikan dimensi ruhani manusia.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 39–42.

[2]                Nurul Huda, “Pengaruh Dzikir terhadap Kesehatan Mental Jamaah Tarekat,” Jurnal Psikologi Islami 5, no. 2 (2019): 101–115.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 201.

[4]                Zainal Abidin Bagir, “Sufism and the Ethics of Pluralism in Indonesia,” Studia Islamika 22, no. 2 (2015): 305–329.

[5]                Martin van Bruinessen, Tarekat dan Politik: Kontribusi Sufi terhadap Moderasi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gading, 2010), 112–115.

[6]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara: Timur Tengah dan Kepulauan Melayu (Bandung: Mizan, 2004), 91–95.

[7]                Dede Rosyada, “Peran Tarekat dalam Pendidikan Islam Tradisional,” Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 (2014): 47–59.

[8]                Sa’id Hawwa, Tarbiyah Ruhiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 1998), 54–56.

[9]                Hamid Algar, The Role of the Sufis in the Politics of Muslim States (Berkeley: University of California Press, 1990), 28–30.


9.           Penutup

Tarekat merupakan bagian integral dari warisan spiritual Islam yang telah berkembang sejak masa klasik dan terus memainkan peran penting dalam membentuk dimensi ruhani umat. Dalam tradisi tasawuf, tarekat tidak berdiri sendiri sebagai aliran atau sekte, melainkan sebagai jalan ruhani yang berfungsi memfasilitasi perjalanan seorang Muslim menuju kesempurnaan iman dan akhlak, dengan tujuan akhir ma’rifatullah—mengenal Allah secara batiniah dan eksistensial.¹

Sebagaimana telah dikaji dalam bagian-bagian sebelumnya, tarekat memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta diakui oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.² Ia bukan inovasi (bid’ah) dalam pengertian yang tercela, melainkan pengembangan dari ajaran ihsan sebagaimana termaktub dalam Hadis Jibril, yang merupakan puncak dari dimensi keberagamaan Islam.³ Praktik-praktik seperti dzikir, muraqabah, riyadhah, dan suluk bukanlah amalan asing dalam Islam, melainkan bentuk pendalaman spiritual terhadap syariat yang sudah dipahami secara lahiriah.

Tarekat tidak hanya bermanfaat pada tataran individu dalam upaya tazkiyatun nafs dan penguatan hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga memiliki kontribusi signifikan dalam bidang sosial, pendidikan, dan kebudayaan.⁴ Dalam masyarakat modern yang diwarnai oleh krisis spiritual, kegersangan moral, dan materialisme yang berlebihan, tarekat menjadi jalan yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Ia menawarkan nilai-nilai kehidupan yang berbasis cinta, kesederhanaan, toleransi, dan kedekatan kepada Tuhan.

Namun demikian, seperti halnya setiap institusi keagamaan, tarekat juga tidak luput dari tantangan dan potensi penyimpangan. Oleh karena itu, para ulama telah menegaskan pentingnya tasfiyah (pemurnian ajaran dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul) dan tarbiyah (penguatan aspek pendidikan ruhani) sebagai dua poros penting untuk menjaga tarekat tetap berada dalam rel syariat.⁵ Dalam konteks ini, peran ulama dan mursyid yang berilmu, bijaksana, serta memiliki sanad yang otentik menjadi sangat krusial.

Sebagai penutup, memahami tarekat secara proporsional dan ilmiah merupakan kebutuhan umat Islam kontemporer. Tarekat bukan sekadar bagian dari masa lalu, melainkan warisan spiritual yang terus hidup dan relevan sepanjang zaman. Ketika dijalani dengan bimbingan yang benar dan niat yang lurus, tarekat mampu menuntun seorang Muslim dari formalitas ibadah menuju kedalaman makna, dari syariat menuju hakikat, hingga akhirnya mencapai ma’rifatullah.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 3 (Beirut: Dar al-Khair, 1990), 4–10.

[2]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, trans. Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 40–42.

[3]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no. 8 (Hadis Jibril).

[4]                Martin van Bruinessen, Tarekat dan Politik: Kontribusi Sufi terhadap Moderasi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gading, 2010), 115–120.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawwuf baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 62–68.


Daftar Pustaka

Algar, H. (1973). Abd al-Qadir al-Jilani: His role and significance in Sufism. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Algar, H. (1990). The role of the Sufis in the politics of Muslim states. Berkeley: University of California Press.

Al-Ghazali. (1990). Ihya’ ‘Ulumuddin (Vol. 3). Beirut: Dar al-Khair.

Al-Haitami, I. H. (n.d.). Al-Fatawa al-Hadithiyyah. Kairo: Maktabah al-Qudsiyyah.

Al-Nawawi. (1996). Syarh Shahih Muslim (Vol. 17). Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.

Al-Qaradawi, Y. (2001). Al-Tasawwuf baina al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qusyairi, A. Q. (2002). Risalah al-Qusyairiyah (A. H. Mahmud, Trans.). Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Razi, F. (1999). Al-Tafsir al-Kabir (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Baghawi. (1985). Ma‘alim at-Tanzil (Vol. 3). Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.

Azra, A. (2004). Jaringan ulama Nusantara: Timur Tengah dan Kepulauan Melayu. Bandung: Mizan.

Bagir, Z. A. (2015). Sufism and the ethics of pluralism in Indonesia. Studia Islamika, 22(2), 305–329. https://doi.org/10.15408/sdi.v22i2.1921

Bruinessen, M. van. (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei historis, geografis, dan sosiologis. Bandung: Mizan.

Bruinessen, M. van. (2010). Tarekat dan politik: Kontribusi sufi terhadap moderasi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gading.

Chittick, W. C. (1983). The Sufi path of love: The spiritual teachings of Rumi. Albany, NY: SUNY Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany, NY: SUNY Press.

Ernst, C. W. (1997). Sufism: An introduction to the mystical tradition of Islam. Boston, MA: Shambhala.

Hawwa, S. (1998). Tarbiyah ruhiyyah. Kairo: Dar al-Salam.

Ibn Taymiyyah. (2001). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 11). Riyadh: Dar al-Wafa’.

Karamustafa, A. T. (2007). Sufism: The formative period. Berkeley: University of California Press.

Knysh, A. (2000). Islamic mysticism: A short history. Leiden: Brill.

Nasr, S. H. (1991). Sufi essays. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago: ABC International Group.

Rosyada, D. (2014). Peran tarekat dalam pendidikan Islam tradisional. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 47–59. https://doi.org/10.14421/jpi.2014.31.47-59

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Trimingham, J. S. (1998). The Sufi orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.

Waley, M. I. (1998). The spiritual path (ṭarīqah) in Sufism. Journal of Islamic Studies, 9(1), 43–57. https://doi.org/10.1093/jis/9.1.43

Huda, N. (2019). Pengaruh dzikir terhadap kesehatan mental jamaah tarekat. Jurnal Psikologi Islami, 5(2), 101–115. https://doi.org/10.32505/jpi.v5i2.761


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar