Pemikiran Karl Jaspers
Eksistensi, Transendensi, dan Komunikasi dalam Filsafat
Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsuf Jerman Karl Jaspers (1883–1969) yang dikenal sebagai salah satu tokoh
utama dalam tradisi eksistensialisme modern. Melalui pendekatan filsafat yang
berakar pada pengalaman konkret manusia, Jaspers mengembangkan konsep-konsep
kunci seperti Existenz, Grenzsituationen (pengalaman batas), das
Umgreifende (Yang Melingkupi), dan keyakinan filsafat sebagai bentuk
spiritualitas non-dogmatis. Pemikirannya tidak hanya mengkritik batas-batas
rasionalitas dan dogma agama, tetapi juga menawarkan dasar etis untuk membangun
komunikasi eksistensial dan dialog antarmanusia. Artikel ini menelusuri latar
belakang intelektual Jaspers, fondasi konseptual pemikirannya, relasi kritisnya
dengan pemikir lain (seperti Kierkegaard, Heidegger, Kant, dan Arendt), serta
relevansi aktual pemikirannya dalam menjawab tantangan kontemporer seperti
krisis makna, spiritualitas lintas agama, dan tanggung jawab global. Di samping
itu, artikel ini juga menyajikan kritik terhadap pendekatan non-sistematis
Jaspers, serta memberikan apresiasi atas kontribusinya dalam membangun
spiritualitas humanistik dan etika komunikasi di tengah dunia yang plural.
Kata Kunci: Karl Jaspers, Eksistensialisme, Pengalaman Batas,
Transendensi, Keyakinan Filsafat, Komunikasi Eksistensial, Spiritualitas
Humanistik, Pluralisme, Filsafat Agama.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Karl Jaspers
1.
Pendahuluan
Abad ke-20 menandai
fase transisi penting dalam lanskap filsafat modern, ketika pemikiran
rasionalistik dan sistematik yang diwariskan dari tradisi pencerahan Eropa
menghadapi tantangan eksistensial yang muncul dari pengalaman krisis dunia
modern—perang dunia, kehampaan spiritual, dan krisis makna manusia. Dalam
konteks ini, filsafat eksistensial hadir sebagai tanggapan terhadap keresahan
manusia yang tak terjawab oleh rasionalisme klasik. Salah satu tokoh sentral
dalam arus pemikiran ini adalah Karl Jaspers (1883–1969),
filsuf Jerman yang dikenal karena upayanya mengembangkan filsafat eksistensial
dalam ranah metafisika, etika, dan spiritualitas manusia modern.
Karl Jaspers awalnya
dikenal sebagai psikiater, yang kemudian beralih menjadi filsuf setelah
menyadari keterbatasan ilmu kedokteran jiwa dalam menjelaskan dimensi terdalam
keberadaan manusia. Karyanya yang monumental, Philosophie (1932), menjadi tonggak
penting dalam sejarah pemikiran eksistensial yang menempatkan eksistensi
manusia, pengalaman batas, dan keterbukaan terhadap Transendensi sebagai titik
sentral filsafat. Ia menolak gagasan bahwa manusia dapat dipahami sepenuhnya
melalui pendekatan objektif-positivistik, dan sebaliknya menekankan bahwa
keberadaan manusia hanya dapat ditangkap secara utuh melalui pengalaman
subjektif dan refleksi filosofis yang mendalam.¹
Dalam pemikiran
Jaspers, filsafat bukanlah sekadar sistem pengetahuan, melainkan sebuah
cara hidup dan kegiatan eksistensial yang
membawa manusia untuk menghadapi dirinya sendiri dalam keterbatasan dan
keterbukaannya kepada realitas yang melampaui—yang disebutnya sebagai das
Umgreifende (Yang Melingkupi).² Oleh karena itu, Jaspers menolak
absolutisme sistematik dan menawarkan suatu pendekatan reflektif dan terbuka
yang memungkinkan dialog antarindividu, antarbudaya, dan bahkan antaragama,
yang baginya merupakan bentuk tertinggi dari komunikasi eksistensial.³
Lebih jauh, Jaspers
memperkenalkan konsep Grenzsituationen atau pengalaman
batas, yakni pengalaman-pengalaman eksistensial seperti
kematian, penderitaan, kesalahan, dan perjuangan, yang membuka jalan bagi
manusia untuk menyadari keterbatasannya dan mengarah kepada Transendensi.⁴
Dalam konteks ini, keimanan filosofis (philosophischer
Glaube) yang diusung Jaspers tidak bertujuan menggantikan agama,
tetapi menjadi sebuah bentuk keyakinan reflektif yang memungkinkan manusia
mengalami spiritualitas secara bebas, rasional, dan otentik.⁵
Artikel ini
bertujuan untuk membahas secara sistematis dan mendalam pokok-pokok pemikiran
Karl Jaspers mengenai eksistensi, Transendensi, dan komunikasi, serta
menjelaskan relevansinya dalam menjawab tantangan eksistensial manusia
kontemporer. Dengan mengkaji akar filosofis, konsep-konsep utama, serta
kontribusinya terhadap filsafat agama dan dialog kemanusiaan, tulisan ini
berusaha menunjukkan bahwa pemikiran Jaspers tetap signifikan dalam membentuk
horizon filsafat humanistik pada era global saat ini.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Philosophy, Vol. 1: General Introduction and
Existenzphilosophie, trans. E. B. Ashton (Chicago: University of Chicago
Press, 1969), 19–22.
[2]
Richard Wisser, “Karl Jaspers’ Concept of the Encompassing (das
Umgreifende),” Philosophy Today 13, no. 4 (Winter 1969): 248–251.
[3]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 13–18.
[4]
Robert Hinz, “Karl Jaspers and the Limit-Situation,” Philosophy
Today 16, no. 2 (Summer 1972): 142–149.
[5]
Karl Jaspers, Philosophical Faith and Revelation, trans. E. B.
Ashton (New York: Harper & Row, 1967), 27–34.
2.
Biografi Intelektual Karl Jaspers
Karl Theodor Jaspers
lahir pada 23 Februari 1883 di Oldenburg, Jerman, dari keluarga kelas menengah
yang berakar kuat pada tradisi hukum dan birokrasi. Ayahnya seorang pengacara,
sementara ibunya berasal dari keluarga petani kaya, yang memberinya latar
belakang budaya borjuis dan nilai-nilai kerja keras. Sejak usia muda, Jaspers
menunjukkan ketertarikan pada pemikiran reflektif dan masalah-masalah
kemanusiaan, meskipun awal karier akademiknya justru berada dalam dunia
kedokteran.¹
Pada tahun 1901,
Jaspers memulai studi kedokteran di Universitas Heidelberg dan kemudian
melanjutkan ke Universitas Berlin dan Göttingen. Ia memperoleh gelar doktornya
di bidang kedokteran pada 1909 dan mulai bekerja di klinik psikiatri
Heidelberg, tempat ia terlibat dalam pengamatan klinis dan penelitian empiris.
Ketidakpuasan Jaspers terhadap pendekatan empiris-positivistik dalam psikiatri
mendorongnya untuk mencari metode pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap
realitas kejiwaan manusia.² Karyanya yang pertama dan berpengaruh dalam bidang
ini adalah Allgemeine
Psychopathologie (1913), yang merevolusi psikiatri Jerman dengan
memperkenalkan pendekatan fenomenologis dan hermeneutis ke dalam pemahaman
penyakit jiwa.³
Meskipun awalnya
bukan seorang filsuf profesional, Jaspers secara bertahap berpaling ke dunia
filsafat. Ia mulai mengajar di Universitas Heidelberg dan pada tahun 1921 resmi
menjadi profesor filsafat. Peralihan ini bukan sekadar perubahan disiplin,
tetapi mencerminkan krisis intelektual pribadi yang mengantarnya pada pencarian
makna keberadaan manusia dalam horizon yang lebih luas daripada yang ditawarkan
ilmu-ilmu empirik.⁴ Melalui kontak intelektual dengan pemikir seperti Max Weber
dan Edmund Husserl, Jaspers memperluas wawasannya dalam filsafat ilmu,
epistemologi, dan fenomenologi. Namun, yang paling membentuk orientasi
eksistensialnya adalah ketertarikannya terhadap tokoh-tokoh spiritual dunia
seperti Socrates, Buddha, Confucius, dan Yesus, yang kemudian ia sebut sebagai
tokoh-tokoh “axial age” (Achsenzeit).⁵
Karya filsafat
besarnya, Philosophie
(1932), menandai fase kematangan intelektual Jaspers. Dalam trilogi ini, ia
membangun suatu sistem filsafat eksistensial yang terbuka, dinamis, dan berakar
pada pengalaman manusia yang konkret. Ia menolak filsafat yang dogmatis dan
sistematis ala Hegelian, dan lebih memilih filsafat sebagai proses
pencarian, bukan hasil akhir.⁶ Selama era Nazi, Jaspers
mengalami pengucilan akademik karena istrinya adalah seorang Yahudi dan karena
pandangan humanistiknya yang berseberangan dengan ideologi totaliter. Ia
dilarang mengajar pada 1937 dan akhirnya diberhentikan dari posisinya pada
1938.⁷
Pasca Perang Dunia
II, Jaspers kembali berkontribusi secara aktif dalam kehidupan intelektual
Jerman, terutama dalam proses denazifikasi dan pembangunan kembali nilai-nilai
kemanusiaan dan rasionalitas. Ia menekankan pentingnya pendidikan filosofis
untuk mencegah kembalinya totalitarianisme dan memperjuangkan komunikasi
sebagai dasar kehidupan etis dan politik. Pada 1948, ia meninggalkan Jerman dan
menerima posisi sebagai profesor di Universitas Basel, Swiss, tempat ia
melanjutkan karyanya hingga akhir hayatnya pada 26 Februari 1969.⁸
Kehidupan dan
perjalanan intelektual Jaspers mencerminkan pencarian otentik akan makna hidup,
kebenaran, dan Transendensi. Ia tidak hanya menyumbangkan teori-teori penting
dalam filsafat eksistensial, tetapi juga menunjukkan bagaimana filsafat dapat
menjadi kompas moral dalam menghadapi penderitaan, krisis, dan keterasingan manusia
dalam dunia modern.
Footnotes
[1]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 3–5.
[2]
Brian R. Clack, An Introduction to the Philosophy of Karl Jaspers
(Aldershot: Ashgate, 1999), 1–3.
[3]
Karl Jaspers, General Psychopathology, trans. J. Hoenig and M.
W. Hamilton (Chicago: University of Chicago Press, 1963), xi–xii.
[4]
Leonard H. Ehrlich, “Karl Jaspers: From Psychopathology to Philosophy,”
The Review of Metaphysics 29, no. 4 (June 1976): 620–622.
[5]
Karl Jaspers, The Origin and Goal of History, trans. Michael
Bullock (New Haven: Yale University Press, 1953), 1–5.
[6]
Jaspers, Philosophy, Vol. 1, 18–21.
[7]
Hannah Arendt, “Karl Jaspers: A Laudatio,” in Men in Dark Times
(New York: Harcourt, 1968), 73–74.
[8]
Charles Frederic Wallraff, Karl Jaspers: An Introduction to His
Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 1970), 28–30.
3.
Konsep Dasar Filsafat Karl Jaspers
Filsafat Karl
Jaspers tidak dibangun sebagai suatu sistem metafisika tertutup, melainkan
sebagai jalan pencarian eksistensial yang terbuka dan dinamis. Ia berangkat
dari keyakinan bahwa filsafat harus mengakar dalam pengalaman manusia konkret
dan mengarah pada pemahaman tentang keberadaan (Existenz) yang autentik.
Gagasan-gagasannya tidak hanya menjawab pertanyaan metafisis tradisional,
tetapi juga mengintegrasikan pemahaman tentang keterbatasan manusia, pengalaman
batas, dan keterbukaan terhadap Transendensi. Tiga fondasi utama dalam
pemikirannya adalah: eksistensi, Grenzsituationen
(pengalaman batas), dan das Umgreifende (Yang
Melingkupi), yang semuanya berujung pada bentuk komunikasi eksistensial yang
mendalam.
3.1.
Eksistensi dan Dasein
Bagi Jaspers,
manusia hidup dalam dua dimensi utama: Dasein dan Existenz.
Dasein
mengacu pada keberadaan manusia sebagai objek di dunia—sebagai makhluk biologis
dan sosial dalam waktu dan ruang—yang tunduk pada hukum kausalitas.¹ Sementara
itu, Existenz
adalah keberadaan sejati manusia yang tidak dapat direduksi ke dalam kategori
ilmiah atau empiris. Existenz adalah “diriku yang
sejati” (mein
eigentliches Selbst) yang hanya dapat diungkapkan melalui refleksi,
pilihan bebas, dan perjuangan eksistensial.²
Keberadaan sebagai Existenz
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan selesai, tetapi sesuatu yang harus
direalisasikan melalui kesadaran dan kebebasan. Jaspers menegaskan bahwa
manusia tidak otomatis menjadi Existenz, melainkan menjadi melalui
pengalaman batas yang mengguncang dan mendorongnya untuk melampaui dirinya.³
Oleh karena itu, filsafat adalah panggilan menuju eksistensi autentik, bukan
sekadar aktivitas spekulatif.
3.2.
Pengalaman Batas (Grenzsituationen) dan
Transendensi
Salah satu
kontribusi orisinal Jaspers dalam filsafat eksistensial adalah gagasan tentang Grenzsituationen
atau pengalaman
batas. Ini adalah situasi-situasi hidup yang tidak dapat
dielakkan dan yang menggugah kesadaran terdalam manusia—seperti kematian, penderitaan,
perjuangan, kesalahan, dan rasa bersalah.⁴ Dalam pengalaman batas, manusia
tidak lagi dapat mengandalkan kekuatan rasio atau ilmu pengetahuan untuk
memberikan jawaban. Sebaliknya, ia didorong untuk menghadapi keterbatasan
eksistensialnya dan mencari makna yang melampaui dunia objektif.
Pengalaman batas
membuka manusia kepada realitas yang disebut Jaspers sebagai das
Umgreifende atau Yang Melingkupi—suatu realitas
transenden yang tidak bisa ditangkap secara objektif tetapi bisa dialami secara
eksistensial.⁵ Das Umgreifende mencakup berbagai
bentuk keberadaan (seperti dunia, diri, dan kesadaran), namun selalu melampaui
batas-batas rasionalitas. Oleh karena itu, Transendensi bukanlah suatu objek
metafisis yang dapat dibuktikan, melainkan horizon keterbukaan dan misteri yang
mendorong manusia untuk terus mencari.⁶
3.3.
Kebenaran Filsafat dan Komunikasi Eksistensial
Jaspers menolak
klaim bahwa filsafat dapat mencapai kebenaran absolut melalui metode sistematik
seperti dalam filsafat idealisme Jerman. Sebaliknya, baginya, kebenaran
dalam filsafat bersifat eksistensial dan komunikatif. Kebenaran
bukanlah hasil akhir, melainkan proses pencarian yang melibatkan kejujuran,
keberanian, dan keterbukaan antarpribadi.⁷
Dalam pandangannya, komunikasi
eksistensial adalah inti dari hubungan manusia dan juga kunci
pemahaman filosofis. Filsafat bukan sekadar aktivitas soliter, tetapi dialog
otentik antara individu yang mencari eksistensi sejati bersama.⁸ Komunikasi ini
bukan sekadar pertukaran informasi, melainkan bentuk keterlibatan eksistensial
yang saling memperkaya dan membuka ruang transendensi bersama. Hal ini yang
kemudian menjadikan Jaspers sebagai salah satu perintis filsafat komunikasi dan
pluralisme spiritual dalam filsafat kontemporer.
Dengan demikian,
struktur dasar filsafat Jaspers menyatukan dimensi eksistensial, metafisis, dan
dialogis dalam satu kerangka pemikiran yang berakar pada pengalaman manusia
konkret dan bertujuan untuk membuka kesadaran menuju realitas transenden.
Keunikan pendekatannya tidak hanya terletak pada kontennya, tetapi pada cara ia
mengajak manusia untuk mengalami filsafat sebagai perjalanan eksistensial yang
terbuka, jujur, dan komunikatif.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Philosophy, Vol. 1: General Introduction and
Existenzphilosophie, trans. E. B. Ashton (Chicago: University of Chicago
Press, 1969), 25–28.
[2]
Brian R. Clack, An Introduction to the Philosophy of Karl Jaspers
(Aldershot: Ashgate, 1999), 45–47.
[3]
Leonard H. Ehrlich, “Karl Jaspers: From Psychopathology to Philosophy,”
The Review of Metaphysics 29, no. 4 (1976): 624–626.
[4]
Robert Hinz, “Karl Jaspers and the Limit-Situation,” Philosophy
Today 16, no. 2 (1972): 142–145.
[5]
Richard Wisser, “Karl Jaspers’ Concept of the Encompassing (das
Umgreifende),” Philosophy Today 13, no. 4 (1969): 248–251.
[6]
Charles Frederic Wallraff, Karl Jaspers: An Introduction to His
Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 1970), 48–50.
[7]
Jaspers, Philosophy, Vol. 2: Existenzphilosophie, 121–124.
[8]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 32–36.
4.
Filsafat Agama dan Keyakinan Filsafat
Karl Jaspers
memberikan kontribusi penting dalam diskursus filsafat agama melalui pendekatan
eksistensial yang berpijak pada kebebasan, transendensi, dan komunikasi
antariman. Berbeda dengan filsuf teistik tradisional yang berusaha membuktikan
keberadaan Tuhan secara metafisik dan logis, Jaspers justru menekankan
pengalaman batiniah dan kesadaran akan keterbatasan manusia sebagai jalan
menuju Transendensi. Dalam hal ini, ia memperkenalkan istilah “keyakinan
filsafat” (der philosophische Glaube)—sebuah
bentuk keimanan reflektif yang berbeda dari dogma agama, tetapi tetap membuka
ruang spiritualitas yang otentik dan mendalam.¹
4.1.
Kritik terhadap Dogmatisme Agama dan
Rasionalisme Teistik
Dalam karya Philosophical
Faith and Revelation (1962), Jaspers membedakan secara tegas antara
iman
filosofis dan iman wahyu. Ia mengkritik
dogmatisme agama yang memutlakkan simbol-simbol keagamaan sebagai kebenaran
final dan eksklusif, karena menurutnya hal ini justru membatasi kebebasan eksistensial
manusia dan menghalangi keterbukaan menuju Transendensi.² Jaspers menolak klaim
bahwa agama yang benar adalah satu-satunya jalan keselamatan, sebab baginya
kebenaran transendental tidak dapat dimonopoli oleh satu sistem kepercayaan
tertentu.
Di sisi lain, ia
juga menolak pendekatan rasionalistik yang berusaha membuktikan Tuhan melalui
argumen logis seperti dalam filsafat skolastik. Baginya, Transendensi tidak
dapat dibuktikan secara objektif karena ia melampaui dunia empiris dan
rasional.³ Oleh karena itu, pengalaman religius yang sejati bukanlah soal
kepastian dogmatis atau rasional, melainkan keterbukaan batin terhadap misteri
yang tidak bisa dijangkau sepenuhnya.
4.2.
Konsep Keyakinan Filsafat (Philosophical Faith)
“Keyakinan filsafat”
adalah bentuk keimanan non-dogmatis yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan
manusia dan pencarian akan makna hidup yang lebih tinggi. Jaspers menekankan
bahwa keimanan ini tidak bersifat institusional, tetapi merupakan hasil
refleksi personal dalam menghadapi pengalaman batas seperti penderitaan,
kematian, dan rasa bersalah.⁴ Dalam hal ini, keyakinan filsafat merupakan
respons eksistensial terhadap das Umgreifende—suatu realitas
transenden yang tidak dapat ditentukan secara konseptual, namun dapat dialami
sebagai kehadiran yang melingkupi.
Keunikan pendekatan
Jaspers terletak pada keterbukaannya terhadap berbagai tradisi religius. Ia
menyebut tokoh-tokoh seperti Buddha, Confucius, Socrates, dan Yesus sebagai tokoh-tokoh
aksial (Achsenzeit), yaitu figur-figur
historis yang melampaui batas kebudayaan masing-masing dan membawa pesan
universal mengenai eksistensi dan Transendensi.⁵ Dengan demikian, keimanan
filosofis menjadi jembatan untuk membangun dialog antariman, bukan sumber
konflik ideologis.
4.3.
Agama sebagai Simbolisme Eksistensial
Jaspers memandang
agama sebagai sistem simbolik yang memiliki nilai eksistensial apabila dihayati
secara reflektif dan personal. Ia tidak menolak praktik keagamaan, tetapi
menekankan bahwa makna terdalamnya harus dicari dalam pengalaman pribadi yang
otentik, bukan dalam penyerahan buta terhadap institusi atau doktrin.⁶
Simbol-simbol agama seperti Tuhan, wahyu, dan keselamatan hanya bermakna
apabila ditafsirkan sebagai ekspresi dari relasi eksistensial manusia dengan
Transendensi.
Dalam pandangannya,
simbol keagamaan memiliki kekuatan untuk menyampaikan pengalaman batiniah,
namun menjadi berbahaya jika diklaim sebagai satu-satunya kebenaran. Oleh
karena itu, Jaspers mengajak pembaca filsafat untuk bersikap simbolis,
reflektif, dan pluralis terhadap agama, agar keimanan tidak
menjadi sumber dominasi, melainkan ruang untuk kebebasan spiritual dan
komunikasi universal.⁷
Dengan demikian,
filsafat agama dalam pemikiran Jaspers menempati posisi unik: ia menolak
fundamentalisme dogmatis, sekaligus menolak ateisme positivistik. Ia menawarkan
jalan tengah yang berbasis pada refleksi eksistensial dan komunikasi
antarmanusia sebagai fondasi spiritualitas kontemporer. Keyakinan filsafat
adalah iman yang lahir dari kebebasan dan pencarian, bukan dari warisan dan
penyerahan.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Philosophical Faith and Revelation, trans. E. B.
Ashton (New York: Harper & Row, 1962), 3–6.
[2]
Ibid., 9–12.
[3]
Brian R. Clack, An Introduction to the Philosophy of Karl Jaspers
(Aldershot: Ashgate, 1999), 76–78.
[4]
Leonard H. Ehrlich, “Karl Jaspers and the Concept of Philosophical
Faith,” The Journal of Religion 42, no. 3 (July 1962): 189–192.
[5]
Karl Jaspers, The Origin and Goal of History, trans. Michael
Bullock (New Haven: Yale University Press, 1953), 1–7.
[6]
Richard Wisser, “Karl Jaspers on Religion and Transcendence,” Philosophy
Today 13, no. 4 (1969): 252–256.
[7]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 45–48.
5.
Karl Jaspers dan Relasi dengan Pemikir Lain
Meskipun Karl
Jaspers dikenal sebagai tokoh yang merumuskan sistem filsafatnya secara
orisinal, pemikirannya berdialog secara produktif dengan sejumlah filsuf besar
dari berbagai zaman. Relasi pemikirannya dengan tokoh-tokoh seperti Søren
Kierkegaard, Martin Heidegger, Immanuel
Kant, dan Hannah Arendt memperlihatkan
karakter intertekstual dan historis dari filsafat Jaspers, serta memperkuat
posisinya sebagai salah satu penggagas filsafat eksistensial yang bercorak
metafisis dan dialogis.
5.1.
Søren Kierkegaard: Keunikan Eksistensial dan
Lompatan Iman
Søren Kierkegaard
sering disebut sebagai “bapak
eksistensialisme” karena penekanannya pada subjektivitas, kecemasan,
dan keimanan personal. Jaspers sangat menghargai Kierkegaard karena telah
menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dialami secara personal, bukan
ditentukan oleh logika atau objektivitas ilmiah.¹ Meskipun demikian, Jaspers
menolak lompatan iman (leap of faith) ala Kierkegaard
sebagai bentuk irasionalitas religius. Baginya, iman harus tetap dijaga dalam
kesadaran reflektif dan kebebasan berpikir.²
Kierkegaard menjadi
inspirasi utama dalam pembentukan konsep Jaspers mengenai “pengalaman batas”
dan “keputusan eksistensial”, tetapi Jaspers lebih menekankan
keterbukaan transendensial universal daripada pengkhususan teologis pada
tradisi Kristen.³ Dengan demikian, ia mengadopsi semangat eksistensial
Kierkegaard tanpa mengikutinya secara teologis.
5.2.
Martin Heidegger: Eksistensialisme Ontologis
vs. Eksistensialisme Transendensial
Relasi Jaspers
dengan Martin Heidegger cukup kompleks. Keduanya adalah figur sentral dalam
eksistensialisme Jerman, dan sempat menjalin persahabatan intelektual sebelum
hubungan mereka memburuk karena perbedaan politik dan filosofi. Heidegger dalam
Sein und
Zeit (1927) merumuskan eksistensialisme dalam kerangka ontologis:
ia mengkaji struktur dasar Dasein sebagai cara berada manusia di dunia.⁴
Jaspers, meskipun
menghargai pendekatan fenomenologis Heidegger, mengambil arah yang berbeda. Ia
lebih menekankan Transendensi dan komunikasi
ketimbang analisis ontologis struktural.⁵ Jaspers juga menolak keterlibatan
Heidegger dalam ideologi Nazi, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip
dasar filsafat sebagai jalan menuju kebebasan dan kemanusiaan.⁶
Secara filosofis,
perbedaan mendasar mereka terletak pada orientasi: Heidegger lebih ontologis
dan historis, sedangkan Jaspers lebih eksistensial dan transendensial. Namun
keduanya sama-sama berusaha menggali makna terdalam dari eksistensi manusia
dalam dunia yang terpecah.
5.3.
Immanuel Kant: Rasio Batas dan Dimensi
Transendental
Pemikiran Jaspers
sangat dipengaruhi oleh filsafat kritis Immanuel Kant. Jaspers menyerap konsep
Kant mengenai batas rasio dan menafsirkannya
dalam konteks eksistensial.⁷ Seperti Kant, Jaspers percaya bahwa ada
batas-batas tertentu yang tidak dapat dilewati oleh rasio manusia, dan bahwa
kesadaran akan keterbatasan ini membuka ruang bagi dimensi transendental.
Namun, jika Kant
berhenti pada kritik terhadap metafisika spekulatif, Jaspers melanjutkan dengan
mengafirmasi bahwa keterbatasan rasio justru mengantar manusia pada pengalaman
spiritual dan komunikasi eksistensial.⁸ Dalam pengaruh Kantian ini, terlihat
bagaimana Jaspers membangun landasan bagi “keyakinan filosofis” yang
bersifat transenden tetapi non-dogmatis.
5.4.
Hannah Arendt: Etika Komunikasi dan Dunia
Bersama
Hannah Arendt, salah
satu murid dan sahabat intelektual Jaspers, sangat dipengaruhi oleh
pemikirannya, terutama dalam hal etika komunikasi dan tanggung jawab politik.
Arendt memuji Jaspers karena menjadikan komunikasi sebagai fondasi moral dan
eksistensial dalam masyarakat plural.⁹
Mereka berdua
meyakini bahwa kebebasan dan tanggung jawab pribadi tidak dapat dijaga kecuali
melalui ruang dialogis yang terbuka. Arendt mengembangkan warisan Jaspers ini
dalam pemikirannya tentang ruang publik (the public sphere) dan tindakan
politis sebagai bentuk pengungkapan diri (self-disclosure) yang otentik.¹⁰
Hubungan mereka mencerminkan kontinuitas antara filsafat eksistensial dan teori
politik humanistik.
Dengan demikian,
Karl Jaspers berdialog secara kritis dan kreatif dengan berbagai pemikir besar
untuk membentuk suatu filsafat yang bercorak eksistensial, transendensial, dan komunikatif.
Ia menyerap inspirasi dari Kierkegaard dan Kant, berdiskusi secara kritis
dengan Heidegger, dan mewariskan semangat humanistik kepada Arendt. Relasi ini
memperkuat posisi Jaspers sebagai filsuf lintas arus yang menjembatani
eksistensialisme dengan spiritualitas dan etika dialogis.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Reason and Existenz, trans. William Earle (New
York: Noonday Press, 1955), 28–30.
[2]
Brian R. Clack, An Introduction to the Philosophy of Karl Jaspers
(Aldershot: Ashgate, 1999), 87–90.
[3]
Leonard H. Ehrlich, “The Influence of Kierkegaard on Karl Jaspers,” The
Journal of Religion 40, no. 2 (1960): 89–91.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–35.
[5]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 66–70.
[6]
Hannah Arendt, “Karl Jaspers: A Laudatio,” in Men in Dark Times
(New York: Harcourt, 1968), 76–78.
[7]
Karl Jaspers, Philosophy, Vol. 1, trans. E. B. Ashton
(Chicago: University of Chicago Press, 1969), 114–117.
[8]
Charles Frederic Wallraff, Karl Jaspers: An Introduction to His
Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 1970), 62–64.
[9]
Hannah Arendt, “Karl Jaspers: Citizen of the World,” Social
Research 44, no. 1 (1977): 145–149.
[10]
Dana Villa, Arendt and Heidegger: The Fate of the Political
(Princeton: Princeton University Press, 1995), 98–101.
6.
Relevansi Pemikiran Karl Jaspers di Era Kontemporer
Meskipun Karl
Jaspers hidup dalam konteks krisis peradaban Eropa pada paruh pertama abad
ke-20, pemikirannya tetap memiliki daya resonansi yang tinggi dalam menjawab
problematika dunia kontemporer. Pandangan-pandangannya tentang eksistensi,
Transendensi, dan komunikasi eksistensial menjadi fondasi etis dan spiritual
dalam menghadapi tantangan modern seperti krisis makna, dehumanisasi teknologi,
fundamentalisme ideologis, dan polarisasi sosial. Filsafat Jaspers tidak hanya
bernilai teoretis, melainkan juga menawarkan pedoman praktis untuk membangun
kehidupan pribadi yang otentik serta masyarakat yang plural dan dialogis.
6.1.
Eksistensialisme Jaspers dan Krisis Makna
Modern
Dunia modern, dengan
seluruh capaian teknologinya, seringkali gagal menjawab pertanyaan terdalam
tentang makna hidup dan identitas manusia. Di tengah dominasi ilmu pengetahuan
dan kalkulasi teknis, manusia mengalami alienasi dan kehilangan orientasi
spiritual. Dalam konteks inilah, pemikiran Jaspers tentang Existenz
dan Grenzsituationen
menjadi sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa manusia hanya dapat menemukan
eksistensinya secara otentik ketika berani menghadapi keterbatasan—seperti
penderitaan, kematian, dan kegagalan—sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih
dalam akan diri dan kehidupan.¹
Filsafat Jaspers
mengajak individu modern untuk tidak tenggelam dalam rutinitas fungsional yang
hampa, melainkan membangun kesadaran eksistensial melalui refleksi, kebebasan,
dan tanggung jawab personal. Hal ini menjadi penting di tengah budaya konsumsi
dan hiburan yang sering kali menumpulkan kepekaan spiritual dan mereduksi
manusia menjadi makhluk yang hanya mencari kenyamanan.²
6.2.
Transendensi dan Spiritualitas Non-Dogmatis
Dalam dunia global
yang ditandai oleh pluralitas agama dan kepercayaan, pendekatan Jaspers
terhadap Transendensi sebagai das Umgreifende—yakni realitas yang
tidak dapat diobjektivikasi tetapi dapat dialami secara eksistensial—membuka
ruang untuk spiritualitas yang inklusif dan reflektif.³ Melalui konsep keyakinan
filsafat, Jaspers menawarkan bentuk keimanan yang tidak terikat
oleh dogma tetapi tetap berakar pada kebutuhan batiniah manusia untuk melampaui
dirinya.
Model spiritualitas
ini sangat relevan dalam menjawab gejala fundamentalisme dan skeptisisme
nihilistik yang sama-sama lahir dari kegagalan memahami
realitas transendental secara bijak. Di satu sisi, dogmatisme agama mereduksi
Transendensi menjadi sistem tertutup; di sisi lain, nihilisme menolak segala
bentuk makna transenden. Jaspers menawarkan jalan ketiga: spiritualitas
reflektif yang terbuka terhadap pluralitas simbol dan penghormatan terhadap
misteri.⁴
6.3.
Komunikasi Eksistensial dan Dialog Antarbudaya
Salah satu warisan
paling penting dari filsafat Jaspers adalah komunikasi eksistensial sebagai
dasar etika dan perdamaian. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh
polarisasi politik, konflik identitas, dan penyebaran informasi yang massif
namun dangkal, gagasan Jaspers mengenai komunikasi sebagai bentuk relasi batin
yang jujur dan reflektif sangat diperlukan.⁵
Komunikasi dalam
pengertian Jaspers bukan sekadar pertukaran pendapat, melainkan perjumpaan antar-keberadaan
yang saling membuka diri dalam pencarian kebenaran. Hal ini memiliki dampak
besar bagi etika global, pendidikan, dan dialog antaragama. Gagasan ini juga
mendasari pentingnya pendidikan filsafat sebagai
sarana membentuk individu yang berpikir kritis, terbuka, dan bertanggung jawab
secara moral di tengah dunia yang pluralistik.⁶
6.4.
Humanisme dan Tanggung Jawab Global
Jaspers meyakini
bahwa filsafat harus menjadi dasar untuk membangun kesadaran
etis global. Ia menolak segala bentuk totalitarianisme—baik
yang bersumber dari ideologi politik maupun agama—karena keduanya menutup
kemungkinan dialog dan membunuh keberadaan personal. Dalam bukunya The
Question of German Guilt (1947), ia menegaskan pentingnya tanggung
jawab moral kolektif dalam membangun kembali kemanusiaan pasca-krisis.⁷
Pandangan ini
memiliki relevansi mendalam dalam konteks globalisasi, perubahan iklim, dan
konflik kemanusiaan masa kini. Dunia memerlukan kesadaran baru yang tidak hanya
didasarkan pada kepentingan politik atau ekonomi, tetapi pada penghargaan
terhadap martabat manusia dan keterbukaan terhadap keberagaman. Pemikiran
Jaspers memberikan fondasi normatif untuk membangun tatanan dunia yang lebih
adil, manusiawi, dan spiritual.
Dengan demikian,
pemikiran Karl Jaspers tetap hidup dan berdaya guna dalam menghadapi tantangan
eksistensial dan etis dunia modern. Filsafatnya merupakan undangan untuk
kembali ke inti kemanusiaan: kebebasan, tanggung jawab, komunikasi, dan
keterbukaan terhadap yang melampaui.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Philosophy, Vol. 2: Existenzphilosophie, trans.
E. B. Ashton (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 95–97.
[2]
Brian R. Clack, An Introduction to the Philosophy of Karl Jaspers
(Aldershot: Ashgate, 1999), 105–108.
[3]
Richard Wisser, “Karl Jaspers on Religion and Transcendence,” Philosophy
Today 13, no. 4 (1969): 253–255.
[4]
Karl Jaspers, Philosophical Faith and Revelation, trans. E. B.
Ashton (New York: Harper & Row, 1962), 33–38.
[5]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 122–127.
[6]
Leonard H. Ehrlich, “Communication and Humanism in Jaspers’ Thought,” The
Journal of Philosophy 56, no. 3 (1959): 88–90.
[7]
Karl Jaspers, The Question of German Guilt, trans. E. B.
Ashton (New York: Capricorn Books, 1961), 25–28.
7.
Kritik dan Apresiasi terhadap Pemikiran Jaspers
Filsafat Karl
Jaspers telah meninggalkan jejak intelektual yang kuat dalam sejarah filsafat
eksistensial dan spiritualitas modern. Dengan pendekatan yang
unik—menggabungkan pengalaman eksistensial, keterbukaan terhadap Transendensi,
serta semangat komunikasi antarpribadi dan antarbudaya—Jaspers memberikan
kontribusi penting dalam membentuk wajah filsafat abad ke-20. Namun,
sebagaimana pemikir besar lainnya, pemikiran Jaspers tidak luput dari kritik.
Sejumlah filsuf dan pemikir kontemporer menyoroti keterbatasan sistematik
maupun implikatif dari gagasan-gagasannya, di samping memberikan apresiasi
mendalam atas kontribusi intelektual dan moralnya.
7.1.
Kritik terhadap Ketidaksistematisan dan
Ketidakjelasan Epistemologis
Salah satu kritik
utama terhadap pemikiran Jaspers datang dari kalangan filsuf analitik dan
eksistensialis lainnya yang menuntut kejelasan sistematik dan fondasi
epistemologis yang kokoh. Jaspers secara eksplisit menolak membangun sistem
filosofis tertutup, karena menurutnya setiap sistem akan membatasi ruang
kebebasan dan pencarian manusia.¹ Namun, pendekatan ini dianggap oleh sebagian
kritikus sebagai terlalu longgar, sehingga menyulitkan pembaca untuk membentuk
gambaran konseptual yang kohesif mengenai struktur pemikirannya.
Sebagai contoh,
konsep-konsep seperti das Umgreifende (Yang Melingkupi)
dan Grenzsituationen
(pengalaman batas) sering dikritik karena bersifat ambigu dan tidak dapat diuji
secara konseptual.² Walaupun Jaspers bermaksud menjaga keterbukaan makna agar
sesuai dengan watak eksistensial manusia, pendekatan ini dinilai mengaburkan
batas antara refleksi filosofis dengan intuisi religius atau mistis.³ Dengan
demikian, meskipun secara eksistensial mengena, pemikirannya dianggap kurang
memenuhi standar argumentatif rasional yang biasa digunakan dalam tradisi filsafat
sistematis.
7.2.
Kritik atas Pandangan Agama dan Transendensi
Kritik lain
diarahkan pada pandangan Jaspers mengenai agama dan Transendensi. Meskipun ia
berupaya menjaga posisi tengah antara dogmatisme religius dan reduksionisme
ateistik, beberapa pemikir agama menilai bahwa pendekatan philosophical
faith milik Jaspers terlalu abstrak dan tidak memiliki akar
komunitas atau wahyu yang kuat.⁴ Teolog seperti Paul Tillich, misalnya,
mengkritik pandangan Jaspers karena mengabaikan pentingnya simbolisme keagamaan
yang hidup dalam praktik kolektif dan liturgis.⁵
Sementara itu, dari
sisi sekularisme filosofis, Jaspers dianggap terlalu dekat dengan religiositas
tanpa mendefinisikan ulang Tuhan dalam kerangka modern. Ia tetap mempertahankan
kategori Transendensi sebagai entitas misterius tanpa dapat dibuktikan atau
dirumuskan secara tegas, yang bagi kalangan filsuf ateistik seperti Sartre atau
positivis logis dianggap tidak bermakna secara filosofis.⁶
7.3.
Apresiasi terhadap Spiritualitas Humanistik dan
Komunikasi Eksistensial
Di sisi lain, banyak
pemikir kontemporer memberikan apresiasi mendalam terhadap warisan filsafat
Jaspers, terutama dalam konteks spiritualitas humanistik dan etika komunikasi.
Pandangannya tentang komunikasi eksistensial sebagai bentuk tertinggi relasi
manusia menjadi dasar bagi pengembangan filsafat dialogis, hermeneutik, dan
bahkan teori pendidikan humanistik.⁷ Dalam era krisis identitas dan konflik
global, semangat keterbukaan dan penghargaan terhadap pluralitas yang diajarkan
Jaspers menjadi relevan dan dibutuhkan.
Filsuf seperti
Hans-Georg Gadamer dan Jürgen Habermas mengakui pengaruh penting pemikiran
Jaspers, terutama dalam merumuskan filsafat dialog dan etika diskursus.⁸ Selain
itu, dalam konteks interreligius dan pendidikan lintas budaya, Jaspers dianggap
pelopor dalam membangun common ground antara iman,
filsafat, dan tanggung jawab etis.
7.4.
Nilai Abadi Pemikiran Jaspers dalam Dunia
Kontemporer
Terlepas dari kritik
yang ada, pemikiran Jaspers tetap memberikan fondasi penting bagi pembentukan
kesadaran filsafat yang bebas dari dogma, terbuka terhadap transendensi, dan
berakar dalam keberadaan manusia konkret. Ia menolak baik absolutisme metafisis
maupun relativisme nihilistik, dan justru menawarkan alternatif: filsafat
sebagai jalan pencarian personal, spiritual, dan dialogis.
Nilai abadi
pemikirannya terletak pada keberanian untuk menjadikan eksistensi
manusia sebagai pusat filsafat, serta pada komitmennya terhadap
martabat
manusia, kebebasan batin, dan kesediaan untuk berdialog di tengah dunia yang
plural.⁹ Dalam hal ini, Jaspers bukan hanya seorang pemikir,
tetapi juga seorang guru moral dan spiritual bagi zaman modern.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Philosophy, Vol. 1: General Introduction and
Existenzphilosophie, trans. E. B. Ashton (Chicago: University of Chicago
Press, 1969), 6–9.
[2]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 57–59.
[3]
Charles Frederic Wallraff, Karl Jaspers: An Introduction to His
Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 1970), 55–56.
[4]
Leonard H. Ehrlich, “Karl Jaspers and the Concept of Philosophical
Faith,” The Journal of Religion 42, no. 3 (1962): 193–195.
[5]
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row,
1957), 17–20.
[6]
Richard Wisser, “Karl Jaspers and the Idea of Transcendence,” Philosophy
Today 13, no. 4 (1969): 254–256.
[7]
Leonard H. Ehrlich, “Communication and Humanism in Jaspers’ Thought,” The
Journal of Philosophy 56, no. 3 (1959): 85–88.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), xvi–xvii.
[9]
Hannah Arendt, “Karl Jaspers: Citizen of the World,” Social Research
44, no. 1 (1977): 145–149.
8.
Penutup
Filsafat Karl
Jaspers menandai salah satu pencapaian paling penting dalam tradisi
eksistensialisme modern, karena ia berhasil merumuskan suatu pendekatan
filosofis yang menempatkan manusia sebagai makhluk bebas, bertanggung jawab,
dan terbuka terhadap dimensi Transendensi. Dalam konteks zaman yang ditandai
oleh krisis spiritual, konflik ideologis, dan dehumanisasi teknologi, pemikiran
Jaspers memberikan kontribusi yang tidak ternilai dalam menghidupkan kembali
panggilan filsafat sebagai pencarian akan makna hidup,
bukan sekadar sistem pengetahuan abstrak.
Melalui gagasan
tentang Existenz,
Jaspers mengajak manusia untuk menyadari keterbatasannya dan menghadapi
realitas secara autentik. Pengalaman batas (Grenzsituationen) menjadi titik
tolak bagi transformasi eksistensial menuju kesadaran akan das
Umgreifende, suatu realitas transendental yang tidak bisa
diobjektivasi tetapi dapat diresapi dalam kesadaran.¹ Konsep ini menempatkan
spiritualitas bukan pada kepastian dogmatis, melainkan pada keterbukaan
terhadap misteri dan refleksi batin yang mendalam.²
Dalam dimensi etika
dan sosial, filsafat komunikasi eksistensial Jaspers menjadi dasar untuk membangun
relasi antarmanusia yang otentik dan penuh penghormatan. Komunikasi, menurut
Jaspers, bukan hanya medium pertukaran informasi, tetapi cara manusia
menghadirkan eksistensinya dalam dunia yang bersama.³ Pandangan ini sangat
relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti intoleransi,
fundamentalisme, dan polarisasi wacana publik.
Lebih dari itu,
Jaspers menegaskan pentingnya pendidikan filosofis untuk
membentuk individu yang mampu berpikir bebas, bertanggung jawab secara moral,
dan bersedia berdialog dalam keragaman.⁴ Ia percaya bahwa hanya dengan
kesadaran eksistensial dan keterbukaan spiritual, manusia modern dapat
membangun masa depan yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Pada akhirnya,
warisan Karl Jaspers tidak hanya terletak pada kekuatan gagasannya, tetapi pada
keteladanan
etis dan spiritual yang ia tunjukkan sebagai seorang filsuf
yang menolak tunduk pada totalitarianisme dan terus menghidupi kebebasan
berpikir dalam kondisi paling sulit.⁵ Dalam dunia yang semakin kompleks dan
terpolarisasi, pemikirannya tetap menjadi sumber inspirasi untuk membangun
dialog, kebijaksanaan, dan keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya.
Footnotes
[1]
Karl Jaspers, Philosophy, Vol. 2: Existenzphilosophie, trans.
E. B. Ashton (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 99–101.
[2]
Karl Jaspers, Philosophical Faith and Revelation, trans. E. B.
Ashton (New York: Harper & Row, 1962), 33–36.
[3]
Paul Arthur Schilpp, ed., The Philosophy of Karl Jaspers (La
Salle, IL: Open Court, 1957), 130–135.
[4]
Leonard H. Ehrlich, “Communication and Humanism in Jaspers’ Thought,” The
Journal of Philosophy 56, no. 3 (1959): 85–88.
[5]
Hannah Arendt, “Karl Jaspers: A Laudatio,” in Men in Dark Times
(New York: Harcourt, 1968), 73–78.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1968). Men
in dark times. Harcourt Brace Jovanovich.
Arendt, H. (1977). Karl
Jaspers: Citizen of the world. Social Research, 44(1), 145–149.
Clack, B. R. (1999). An
introduction to the philosophy of Karl Jaspers. Ashgate.
Ehrlich, L. H. (1959).
Communication and humanism in Jaspers’ thought. The Journal of Philosophy,
56(3), 85–88. https://doi.org/10.2307/2022160
Ehrlich, L. H. (1960). The
influence of Kierkegaard on Karl Jaspers. The Journal of Religion, 40(2),
89–91. https://doi.org/10.1086/486932
Ehrlich, L. H. (1962). Karl
Jaspers and the concept of philosophical faith. The Journal of Religion, 42(3),
189–195. https://doi.org/10.1086/486924
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
(Original work published 1927)
Jaspers, K. (1953). The
origin and goal of history (M. Bullock, Trans.). Yale University Press.
Jaspers, K. (1955). Reason
and existenz (W. Earle, Trans.). Noonday Press.
Jaspers, K. (1961). The
question of German guilt (E. B. Ashton, Trans.). Capricorn Books.
Jaspers, K. (1962). Philosophical
faith and revelation (E. B. Ashton, Trans.). Harper & Row.
Jaspers, K. (1969). Philosophy,
Vol. 1: General introduction and existenzphilosophie (E. B. Ashton,
Trans.). University of Chicago Press.
Jaspers, K. (1970). Philosophy,
Vol. 2: Existenzphilosophie (E. B. Ashton, Trans.). University of Chicago
Press.
Jaspers, K. (1963). General
psychopathology (J. Hoenig & M. W. Hamilton, Trans.). University of
Chicago Press. (Original work published 1913)
Schilpp, P. A. (Ed.).
(1957). The philosophy of Karl Jaspers. Open Court.
Tillich, P. (1957). Dynamics
of faith. Harper & Row.
Villa, D. (1995). Arendt
and Heidegger: The fate of the political. Princeton University Press.
Wallraff, C. F. (1970). Karl
Jaspers: An introduction to his philosophy. Princeton University Press.
Wisser, R. (1969). Karl
Jaspers’ concept of the Encompassing (das Umgreifende). Philosophy
Today, 13(4), 248–251. https://doi.org/10.5840/philtoday196913430
Wisser, R. (1969). Karl
Jaspers on religion and transcendence. Philosophy Today, 13(4),
252–256. https://doi.org/10.5840/philtoday196913431
Tidak ada komentar:
Posting Komentar