Selasa, 29 April 2025

Kebudayaan: Studi Nilai, Norma, dan Praktik Sosial dalam Kehidupan Manusia

Kebudayaan

Studi Nilai, Norma, dan Praktik Sosial dalam Kehidupan Manusia


Alihkan ke: Ilmu Humaniora.


Abstrak

Artikel ini membahas kebudayaan sebagai fenomena sosial yang kompleks dan multidimensional melalui pendekatan multidisipliner, mencakup perspektif antropologi, sosiologi, studi budaya, dan ilmu komunikasi. Fokus utama terletak pada pemahaman terhadap nilai, norma, dan praktik sosial yang diwariskan dan dimaknai oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Nilai dan norma dianalisis sebagai kerangka pengatur perilaku sosial, sementara praktik budaya ditelaah sebagai ekspresi konkret dari struktur simbolik masyarakat. Proses pewarisan budaya melalui enkulturasi, akulturasi, dan difusi juga dikaji bersama dengan faktor-faktor perubahan budaya seperti globalisasi dan disrupsi digital. Selanjutnya, artikel ini menelaah hubungan erat antara kebudayaan dan identitas sosial dalam kaitannya dengan etnisitas, agama, gender, dan nasionalisme. Di tengah tantangan homogenisasi global, fragmentasi identitas, dan dominasi media digital, artikel ini menegaskan pentingnya kebudayaan sebagai medan negosiasi makna dan sarana untuk membangun masyarakat inklusif dan reflektif. Kajian ini menutup dengan refleksi atas pentingnya peran kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pemajuan kehidupan manusia secara kritis dan kolaboratif.

Kata Kunci: Kebudayaan, nilai, norma, praktik sosial, identitas, globalisasi, perubahan budaya, kajian multidisipliner.


PEMBAHASAN

Kebudayaan dalam Perspektif Multidisipliner


1.           Pendahuluan

Kebudayaan merupakan salah satu konsep sentral dalam kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang terus menjadi fokus perhatian akademik lintas disiplin. Dalam definisi klasiknya, Edward B. Tylor menyatakan bahwa kebudayaan adalah “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”_¹ Definisi ini menegaskan bahwa kebudayaan bukan hanya sekumpulan kebiasaan atau tradisi, melainkan mencerminkan keseluruhan sistem kehidupan manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosial dan simbolik.

Studi tentang kebudayaan mencakup pemahaman terhadap nilai, norma, dan praktik sosial yang berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai dan norma membentuk kerangka berpikir kolektif yang memengaruhi cara individu bertindak dan merespons lingkungan sosial mereka.² Praktik sosial yang beragam seperti ritual, upacara, bahasa, dan ekspresi seni bukan hanya sekadar bentuk kegiatan, melainkan juga merupakan sarana simbolik untuk mentransmisikan makna dan identitas kultural.³ Oleh karena itu, kebudayaan tidak hanya dipahami sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai proses dinamis yang terus berkembang dan menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman.

Dalam perkembangan kajian ilmiah, kebudayaan dianalisis dari berbagai sudut pandang. Antropologi melihat kebudayaan sebagai sistem simbolik yang tertanam dalam pola kehidupan sehari-hari masyarakat.⁴ Sosiologi memfokuskan perhatian pada relasi antara kebudayaan dan struktur sosial, serta peran nilai dan norma dalam menjaga kohesi sosial.⁵ Ilmu komunikasi menyoroti bagaimana simbol dan bahasa digunakan dalam pembentukan makna budaya, sedangkan studi budaya kontemporer (cultural studies) lebih menekankan pada kekuasaan, representasi, dan identitas dalam praktik kebudayaan.⁶ Pendekatan multidisipliner ini memperkaya pemahaman tentang kebudayaan sebagai fenomena yang kompleks dan sarat makna.

Urgensi untuk mengkaji kebudayaan secara holistik semakin relevan di tengah dinamika globalisasi, migrasi, dan perkembangan teknologi informasi. Di satu sisi, terjadi proses homogenisasi budaya yang mengancam keberagaman lokal; di sisi lain, muncul bentuk-bentuk hibriditas budaya yang menantang batas-batas identitas tradisional.⁷ Melalui kajian kebudayaan yang mendalam, kita dapat memahami bagaimana masyarakat beradaptasi, mentransformasikan nilai, dan merespons tantangan zaman dalam kerangka makna yang mereka ciptakan sendiri.

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi kebudayaan sebagai sistem nilai, norma, dan praktik sosial dalam perspektif multidisipliner. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya kebudayaan dalam membentuk struktur sosial, identitas kolektif, dan dinamika perubahan masyarakat manusia.


Footnotes

[1]                Edward B. Tylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom, vol. 1 (London: John Murray, 1871), 1.

[2]                Talcott Parsons dan Edward A. Shils, “Values and Value Orientations in the Theory of Action,” dalam Toward a General Theory of Action (Cambridge: Harvard University Press, 1951), 47–49.

[3]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 89–90.

[4]                Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 26–28.

[5]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2009), 31–34.

[6]                Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–20.

[7]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27–29.


2.           Konsep Dasar Kebudayaan

Kebudayaan merupakan salah satu konstruksi sosial yang paling kompleks dalam kehidupan manusia. Secara etimologis, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhi, yang berarti akal atau budi, menunjukkan keterkaitannya dengan kemampuan manusia untuk berpikir, memahami, dan mencipta.¹ Dalam ilmu antropologi dan sosiologi, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, yang mencakup sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, hukum, adat istiadat, bahasa, teknologi, kesenian, dan segala kebiasaan yang diwariskan secara sosial.²

2.1.       Unsur-Unsur Kebudayaan

Dalam pendekatan antropologi klasik, Koentjaraningrat mengidentifikasi tujuh unsur kebudayaan universal yang terdapat dalam semua masyarakat manusia, yaitu: (1) sistem religi dan kepercayaan, (2) sistem organisasi sosial, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) sistem mata pencaharian, (6) teknologi dan peralatan hidup, serta (7) kesenian.³ Unsur-unsur ini berfungsi sebagai komponen dasar yang membentuk struktur budaya suatu komunitas dan menjadi kerangka untuk memahami keanekaragaman bentuk budaya di dunia.

Unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang dinamis. Misalnya, sistem religi berpengaruh terhadap struktur sosial dan pola perilaku individu, sementara sistem teknologi berkaitan erat dengan pola ekonomi dan cara bertahan hidup. Dalam masyarakat modern, perubahan pada satu unsur—seperti teknologi digital—dapat mengakibatkan transformasi luas pada elemen-elemen budaya lainnya.⁴

2.2.       Kebudayaan Material dan Non-Material

Kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar: kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Kebudayaan material mencakup semua bentuk kebendaan hasil ciptaan manusia, seperti alat, bangunan, pakaian, dan teknologi. Sebaliknya, kebudayaan non-material mencakup gagasan, nilai, norma, kepercayaan, bahasa, serta sistem simbol yang tidak tampak secara fisik tetapi sangat menentukan cara berpikir dan bertindak masyarakat.⁵

Perbedaan ini penting karena menunjukkan bahwa meskipun bentuk material budaya dapat berubah relatif cepat seiring perkembangan teknologi, kebudayaan non-material cenderung lebih lambat berubah karena berakar pada struktur kognitif dan sistem nilai masyarakat.⁶ Kesenjangan antara perubahan teknologi (material) dan nilai sosial (non-material) seringkali menjadi sumber konflik kultural atau disonansi sosial.

2.3.       Hubungan antara Kebudayaan, Masyarakat, dan Individu

Kebudayaan dan masyarakat memiliki hubungan yang inheren: kebudayaan menyediakan kerangka makna yang memungkinkan masyarakat hidup secara terorganisasi, sementara masyarakat merupakan wahana di mana kebudayaan diciptakan, diwariskan, dan dihidupkan kembali. Clifford Geertz menegaskan bahwa budaya adalah sistem simbol yang digunakan manusia untuk menyusun makna dan menavigasi kehidupan sosial mereka.⁷ Dengan demikian, kebudayaan tidak hanya menjadi milik kolektif masyarakat, tetapi juga memengaruhi pembentukan identitas dan kepribadian individu.

Lebih lanjut, individu tidak hanya menjadi penerima pasif kebudayaan, melainkan juga agen aktif dalam menciptakan dan mentransformasikan budaya.⁸ Dalam interaksi sosial, individu menyerap norma dan nilai melalui proses sosialisasi, tetapi juga dapat menjadi pelopor perubahan budaya melalui inovasi, interpretasi ulang, atau resistensi terhadap struktur dominan.

Dengan memahami konsep-konsep dasar kebudayaan secara menyeluruh, kita dapat menangkap hakikat kebudayaan sebagai sistem hidup yang terus berkembang, sekaligus sebagai jalinan nilai, norma, dan simbol yang menyatukan dan membedakan masyarakat manusia.


Footnotes

[1]                Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 167.

[2]                Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 25.

[3]                Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 144–150.

[4]                William A. Haviland, Cultural Anthropology, 12th ed. (Belmont: Thomson Wadsworth, 2005), 42–45.

[5]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2009), 30–31.

[6]                James M. Henslin, Essentials of Sociology: A Down-to-Earth Approach, 11th ed. (Boston: Pearson, 2014), 64.

[7]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.

[8]                Stuart Hall, Cultural Studies: Two Paradigms, dalam Media, Culture & Society 2, no. 1 (1980): 57–72.


3.           Nilai dan Norma dalam Kebudayaan

Nilai dan norma merupakan unsur esensial dalam struktur kebudayaan karena berfungsi sebagai acuan dan pengarah perilaku individu dalam kehidupan sosial. Nilai budaya adalah konsep-konsep abstrak yang dianggap penting dan berharga oleh suatu masyarakat, seperti kejujuran, kerja keras, kesetaraan, atau kesetiaan.¹ Nilai berfungsi sebagai prinsip dasar yang membentuk kerangka moral dan identitas kolektif suatu kelompok sosial. Norma, di sisi lain, adalah aturan-aturan konkret yang berasal dari nilai-nilai tersebut dan menetapkan bagaimana individu seharusnya bertindak dalam situasi tertentu.²

3.1.       Hakikat Nilai Budaya

Dalam teori aksi sosial Talcott Parsons, nilai budaya merupakan komponen dari sistem simbolik yang berperan mengarahkan tindakan manusia dalam masyarakat.³ Nilai tidak hanya mencerminkan preferensi individu, tetapi lebih dari itu, ia menjadi bagian dari struktur sosial yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi. Misalnya, dalam budaya kolektivistik seperti di banyak negara Asia, nilai solidaritas dan harmoni sosial lebih diutamakan dibandingkan dengan nilai individualisme yang dominan dalam masyarakat Barat.⁴

Selain bersifat abstrak dan universal dalam suatu masyarakat, nilai juga memiliki hierarki atau stratifikasi. Clyde Kluckhohn mengidentifikasi bahwa sistem nilai setiap masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan budaya dalam menjawab masalah-masalah pokok kehidupan, seperti sikap terhadap waktu, alam, sesama manusia, dan aktivitas hidup.⁵ Dengan demikian, sistem nilai menjadi fondasi yang menentukan arah kebijakan sosial, pendidikan, dan bahkan tatanan hukum dalam masyarakat.

3.2.       Norma Sosial dan Fungsinya

Norma sosial bertindak sebagai wujud konkret dari nilai-nilai budaya dan hadir dalam bentuk perintah, larangan, atau pedoman yang mengatur perilaku. George Ritzer membagi norma ke dalam empat kategori: folkways (kebiasaan umum), mores (aturan moral), laws (hukum formal), dan taboos (pantangan berat).⁶ Folkways mencakup kebiasaan harian seperti cara berpakaian atau salam, sementara mores berhubungan dengan prinsip moral yang lebih kuat, seperti larangan membunuh atau mencuri. Norma-norma ini ditegakkan melalui mekanisme sanksi sosial yang dapat bersifat positif (penghargaan) maupun negatif (hukuman).

Norma tidak hanya menjaga keteraturan sosial, tetapi juga berperan dalam membentuk identitas dan batasan sosial. Dalam masyarakat majemuk, norma menjadi alat penting dalam mengelola keberagaman dan mencegah konflik horizontal. Namun, norma juga bersifat relatif dan kontekstual, sehingga dapat berubah seiring dinamika sosial, teknologi, dan politik.⁷ Contohnya, norma tentang gender yang dahulu bersifat patriarkal kini mengalami tantangan serius dari gerakan kesetaraan dan feminisme.

3.3.       Internalisasi Nilai dan Proses Sosialisasi Norma

Proses internalisasi nilai dan sosialisasi norma terjadi sejak masa kanak-kanak melalui institusi-institusi sosial seperti keluarga, sekolah, agama, media, dan kelompok sebaya. Melalui interaksi sosial yang berkelanjutan, individu menyerap sistem nilai dan norma sebagai bagian dari identitas pribadi dan kolektif mereka.⁸ Mead dan Cooley menekankan pentingnya self dan looking-glass self dalam proses ini, yakni bagaimana individu memandang dirinya melalui kacamata orang lain.⁹

Dalam masyarakat modern yang multikultural dan berteknologi tinggi, proses internalisasi ini menghadapi tantangan kompleks. Anak-anak dan remaja tidak lagi hanya menyerap nilai dari keluarga atau lingkungan lokal, tetapi juga dari media digital dan interaksi global. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang otoritas normatif dan tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai lokal di tengah arus globalisasi budaya.¹⁰

Dengan memahami fungsi nilai dan norma dalam kebudayaan, kita dapat melihat bagaimana masyarakat membentuk perilaku kolektif dan mengarahkan proses sosial. Nilai dan norma bukan hanya struktur pasif, tetapi juga arena dinamis tempat berlangsungnya negosiasi identitas, kekuasaan, dan perubahan budaya.


Footnotes

[1]                James M. Henslin, Essentials of Sociology: A Down-to-Earth Approach, 11th ed. (Boston: Pearson, 2014), 52.

[2]                Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 91.

[3]                Talcott Parsons dan Edward A. Shils, Toward a General Theory of Action (Cambridge: Harvard University Press, 1951), 52–55.

[4]                Geert Hofstede, Culture's Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks: Sage, 2001), 82–85.

[5]                Clyde Kluckhohn, “Values and Value-Orientations in the Theory of Action,” dalam Toward a General Theory of Action, ed. Talcott Parsons dan Edward A. Shils (Cambridge: Harvard University Press, 1951), 395–397.

[6]                George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, 1975), 61–62.

[7]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2009), 224–227.

[8]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1967), 129–134.

[9]                Charles H. Cooley, Human Nature and the Social Order (New York: Scribner’s, 1902), 179–185.

[10]             Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 32–34.


4.           Pewarisan dan Perubahan Budaya

Kebudayaan bersifat dinamis dan tidak statis. Meskipun diwariskan dari generasi ke generasi, kebudayaan juga mengalami perubahan seiring waktu akibat berbagai faktor internal dan eksternal. Pewarisan budaya dan transformasinya merupakan dua sisi dari proses yang berlangsung simultan dalam kehidupan sosial manusia. Melalui mekanisme sosial tertentu, nilai, norma, dan praktik budaya diturunkan, dipertahankan, ditafsirkan ulang, atau bahkan ditinggalkan.

4.1.       Mekanisme Pewarisan Budaya

Proses utama pewarisan budaya dikenal dengan istilah enkulturasi, yaitu proses di mana individu belajar dan menyerap unsur-unsur budaya yang berlaku dalam masyarakatnya sejak masa kanak-kanak.¹ Enkulturasi terjadi melalui institusi seperti keluarga, sekolah, agama, dan media massa. Melalui proses ini, individu mempelajari bahasa, nilai, norma, dan praktik sosial yang membentuk identitas kultural mereka.²

Selain enkulturasi, terdapat sosialisasi sekunder, yaitu bentuk pewarisan budaya yang berlangsung ketika individu memasuki lingkungan baru seperti dunia kerja, komunitas keagamaan, atau organisasi sosial lainnya.³ Dalam masyarakat yang bersifat multikultural atau dalam konteks pertemuan antarbudaya, pewarisan budaya juga dapat terjadi melalui akulturasi (perpaduan dua budaya tanpa menghilangkan unsur asli) dan asimilasi (penerimaan budaya asing secara menyeluruh yang menggantikan budaya asal).⁴

4.2.       Faktor-Faktor Perubahan Budaya

Meskipun pewarisan budaya bertujuan untuk mempertahankan stabilitas sosial, kenyataannya kebudayaan senantiasa mengalami perubahan. Beberapa faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan budaya antara lain:

·                     Inovasi: penemuan baru dalam bidang teknologi, ide, atau institusi yang mengubah cara hidup masyarakat. Contoh klasik adalah revolusi industri dan, dalam konteks kontemporer, revolusi digital.⁵

·                     Difusi budaya: penyebaran unsur budaya dari satu masyarakat ke masyarakat lain, baik secara damai (melalui perdagangan, media, migrasi) maupun melalui dominasi (kolonialisme dan imperialisme).⁶

·                     Konflik dan krisis sosial: perang, bencana, dan krisis ekonomi sering kali menjadi pendorong transformasi nilai dan norma.

·                     Globalisasi: mempercepat arus informasi, barang, dan manusia lintas batas negara, sehingga terjadi pertemuan dan persilangan budaya secara massif.⁷

4.3.       Kontinuitas, Disonansi, dan Adaptasi Budaya

Dalam proses perubahan, tidak semua unsur budaya berubah secara serempak. Beberapa unsur bersifat resisten (tahan terhadap perubahan), seperti sistem nilai religius atau struktur kekerabatan tradisional. Namun, unsur lain seperti teknologi, gaya hidup, atau pola konsumsi cenderung lebih mudah berubah.⁸ Perbedaan kecepatan perubahan ini dapat menimbulkan cultural lag atau kelambanan budaya, yaitu kesenjangan antara perubahan dalam aspek material dan aspek non-material budaya.⁹

Perubahan budaya juga tidak selalu bersifat linier atau progresif. Dalam beberapa kasus, terjadi revitalisasi budaya, yaitu upaya sadar untuk menghidupkan kembali unsur budaya tradisional yang mulai ditinggalkan, sebagai bentuk resistensi terhadap homogenisasi global.¹⁰ Fenomena ini dapat dilihat dalam gerakan pelestarian bahasa daerah, kebangkitan adat lokal, dan praktik seni tradisional di berbagai belahan dunia.

4.4.       Konteks Global dan Tantangan Pewarisan Budaya

Di era globalisasi, pewarisan budaya menghadapi tantangan yang kompleks. Arus informasi yang cepat melalui media digital menciptakan ruang budaya baru yang bersifat virtual dan lintas batas.¹¹ Anak-anak dan remaja kini lebih banyak terpapar pada nilai dan gaya hidup global daripada budaya lokal mereka sendiri. Ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas budaya lokal dan meningkatnya budaya seragam yang dikendalikan oleh kekuatan pasar global.¹²

Namun, globalisasi juga membuka peluang baru bagi pewarisan budaya melalui digitalisasi, dokumentasi, dan diseminasi budaya lokal ke ranah global. Oleh karena itu, pewarisan dan perubahan budaya tidak boleh dipandang sebagai proses yang saling meniadakan, melainkan sebagai dialektika yang saling membentuk, mengadaptasi, dan memperkaya khazanah kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology (New York: Knopf, 1948), 51.

[2]                William A. Haviland, Cultural Anthropology, 12th ed. (Belmont: Wadsworth, 2005), 32.

[3]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1967), 154–156.

[4]                Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 87.

[5]                Everett M. Rogers, Diffusion of Innovations, 5th ed. (New York: Free Press, 2003), 6–10.

[6]                Ralph Linton, The Study of Man: An Introduction (New York: Appleton-Century-Crofts, 1936), 326.

[7]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27–30.

[8]                James M. Henslin, Essentials of Sociology: A Down-to-Earth Approach, 11th ed. (Boston: Pearson, 2014), 65.

[9]                William F. Ogburn, Social Change with Respect to Culture and Original Nature (New York: B.W. Huebsch, 1922), 200–203.

[10]             Anthony Wallace, “Revitalization Movements,” American Anthropologist 58, no. 2 (1956): 264–281.

[11]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2010), 406–410.

[12]             George Ritzer, The McDonaldization of Society, 8th ed. (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2015), 122–124.


5.           Praktik Sosial dalam Kebudayaan

Praktik sosial merupakan wujud nyata dari kebudayaan yang terartikulasikan dalam tindakan kolektif masyarakat. Ia mencerminkan bagaimana nilai dan norma budaya diterjemahkan ke dalam pola perilaku sehari-hari, baik yang bersifat simbolik, ritualistik, maupun fungsional. Praktik sosial tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya, tetapi juga arena di mana makna budaya dikonstruksi, dinegosiasikan, dan ditransformasikan.¹

Dalam kajian budaya, praktik sosial dianggap sebagai bentuk habitus yang terinternalisasi dalam kesadaran individu dan berfungsi sebagai panduan implisit dalam bertindak.² Pierre Bourdieu menekankan bahwa praktik tidak berdiri sendiri, tetapi lahir dari relasi antara struktur sosial (modal, kelas, kekuasaan) dan disposisi kognitif individu.³ Dengan demikian, praktik sosial tidak hanya mencerminkan budaya, tetapi juga mereproduksi dan mempertahankan relasi kuasa dalam masyarakat.

5.1.       Tradisi, Ritual, dan Simbol sebagai Wujud Praktik Sosial

Tradisi merupakan praktik sosial yang diwariskan secara turun-temurun dan memiliki fungsi memperkuat identitas kolektif. Ia sering kali dikemas dalam bentuk ritual, yaitu tindakan simbolik yang dilakukan secara berulang dan mengikuti aturan tertentu untuk menegaskan nilai-nilai budaya.⁴ Ritual keagamaan, upacara adat, dan perayaan siklus hidup seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian merupakan contoh praktik sosial yang sarat makna simbolik.

Victor Turner melihat ritual sebagai media untuk menciptakan “komunitas emosional” (communitas) dan mengatur transisi status sosial individu dalam struktur sosial.⁵ Dalam kerangka ini, simbol budaya menjadi unsur penting yang menghubungkan dunia empiris dengan makna transendental yang dianut komunitas. Clifford Geertz menggambarkan simbol sebagai “jendela makna” dalam budaya yang memungkinkan manusia memahami pengalaman hidup secara kolektif.⁶

5.2.       Bahasa, Seni, dan Media dalam Pembentukan Praktik Budaya

Bahasa merupakan media utama praktik sosial karena ia mengorganisasi cara manusia berpikir, berkomunikasi, dan mengartikan realitas. Dalam pandangan antropologi linguistik, struktur bahasa merefleksikan struktur budaya, sehingga variasi linguistik menunjukkan variasi cara pandang terhadap dunia.⁷

Selain bahasa, seni dalam berbagai bentuknya—musik, tari, seni rupa, teater, dan sastra—berfungsi sebagai ekspresi budaya yang sarat dengan simbol, narasi kolektif, dan nilai estetik. Seni bukan sekadar hiburan, tetapi juga medium perlawanan, refleksi sosial, dan afirmasi identitas budaya.⁸ Dalam masyarakat modern, media massa dan media digital turut memainkan peran sentral dalam membentuk praktik sosial melalui penyebaran nilai, gaya hidup, dan diskursus dominan.⁹

Contohnya, praktik konsumsi budaya populer melalui platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menunjukkan bagaimana praktik sosial hari ini dikonstruksi melalui interaksi antara pengguna, algoritma, dan representasi visual. Ini menunjukkan bahwa praktik budaya kontemporer tidak hanya terbatas pada ruang fisik tradisional, tetapi juga menjangkau ruang virtual yang transnasional.

5.3.       Studi Kasus: Praktik Sosial Lintas Budaya

Dalam konteks global, praktik sosial dapat dibandingkan antar budaya untuk mengungkap dinamika dan keberagaman budaya manusia. Misalnya, ritual pernikahan tradisional di Indonesia sarat dengan simbol status sosial dan spiritualitas, sedangkan dalam budaya Barat cenderung lebih personal dan bersifat kontraktual.¹⁰ Perbedaan ini mencerminkan sistem nilai yang berbeda, namun juga menunjukkan bahwa praktik sosial tidak bersifat universal, melainkan kontekstual dan historis.

Studi lintas budaya juga mengungkap adanya praktik sosial yang menjadi ruang hibriditas, yakni pertemuan budaya lokal dengan budaya global yang menghasilkan bentuk baru.¹¹ Contohnya adalah festival budaya modern yang menggabungkan unsur adat dengan teknologi dan estetika populer. Hal ini memperlihatkan bahwa praktik sosial merupakan hasil dialog yang terus berlangsung antara tradisi dan inovasi.


Footnotes

[1]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2009), 31–32.

[2]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72–95.

[3]                Ibid., 53.

[4]                Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trans. Karen E. Fields (New York: Free Press, 1995), 42–45.

[5]                Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (Chicago: Aldine, 1969), 94–97.

[6]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 91.

[7]                Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207–210.

[8]                Raymond Williams, Culture and Society: 1780–1950 (New York: Columbia University Press, 1983), 247–249.

[9]                Stuart Hall, Encoding/Decoding, dalam Culture, Media, Language (London: Routledge, 1980), 128–138.

[10]             Jack Goody, The Development of the Family and Marriage in Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 115–118.

[11]             Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 38–39.


6.           Kebudayaan dan Identitas Sosial

Kebudayaan memiliki peran sentral dalam pembentukan identitas sosial, baik pada level individu maupun kolektif. Identitas tidak terbentuk dalam ruang hampa, melainkan dikonstruksi melalui interaksi dengan simbol-simbol budaya, nilai-nilai sosial, serta praktik kolektif yang diwariskan secara historis.¹ Dalam konteks ini, kebudayaan bertindak sebagai kerangka simbolik yang memungkinkan individu memahami siapa dirinya dan bagaimana ia berhubungan dengan kelompok sosialnya.

6.1.       Identitas sebagai Konstruksi Sosial Budaya

Identitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial yang terus-menerus dinegosiasikan melalui relasi simbolik dan diskursif.² Stuart Hall menyatakan bahwa identitas tidak bersifat esensial atau tetap, melainkan bersifat “terbuka”, bersifat historis, dan senantiasa berubah sesuai dengan konteks sosial dan budaya.³ Oleh karena itu, kebudayaan menjadi medan penting di mana identitas terbentuk, dipertanyakan, dan dipertahankan.

Dalam konteks masyarakat multikultural, identitas individu sering kali bersifat ganda atau hibrid. Homi K. Bhabha memperkenalkan konsep “in-betweenness” untuk menggambarkan posisi identitas yang berada di antara dua atau lebih sistem budaya.⁴ Hal ini sangat relevan dalam era globalisasi, di mana individu mengalami interaksi lintas budaya yang intensif dan harus menavigasi antara akar tradisional dan identitas kosmopolitan.

6.2.       Kebudayaan, Etnisitas, dan Identitas Kelompok

Etnisitas adalah salah satu bentuk identitas sosial yang sangat terkait dengan kebudayaan. Ia merujuk pada pengelompokan sosial berdasarkan asal-usul nenek moyang, bahasa, adat, dan kepercayaan yang sama.⁵ Budaya etnis mencakup sistem nilai, simbol, dan praktik sosial yang memperkuat solidaritas internal dan membedakan kelompok dari kelompok lain. Identitas etnis tidak bersifat biologis, melainkan dibentuk melalui pengalaman bersama dan narasi kolektif yang direproduksi secara sosial.⁶

Dalam masyarakat plural, ekspresi identitas etnis sering kali menjadi sumber kebanggaan, namun juga dapat menjadi sumber konflik ketika terjadi ketimpangan representasi atau marginalisasi budaya. Oleh sebab itu, penting untuk mengembangkan pendekatan multikulturalisme inklusif, yaitu pengakuan atas keberagaman budaya sebagai kekayaan sosial yang harus dihargai dan dijamin eksistensinya dalam sistem politik dan pendidikan.⁷

6.3.       Identitas Agama, Gender, dan Bangsa sebagai Dimensi Kultural

Selain etnisitas, identitas sosial juga terbentuk melalui dimensi budaya lainnya, seperti agama, gender, dan kewarganegaraan. Identitas keagamaan, misalnya, tidak hanya mencerminkan keyakinan spiritual, tetapi juga mencakup gaya hidup, sistem etika, dan simbol-simbol yang memperkuat kohesi komunitas.⁸ Dalam banyak masyarakat, agama menjadi fondasi penting dalam pembentukan struktur sosial dan identitas moral kolektif.

Demikian pula, identitas gender bukan sekadar soal biologis, tetapi merupakan produk budaya yang diatur oleh norma dan representasi sosial tertentu. Judith Butler menegaskan bahwa gender adalah performatif—ia diwujudkan melalui tindakan yang diulang dan dibentuk oleh struktur kekuasaan budaya.⁹ Oleh karena itu, identitas gender menjadi bagian penting dari kajian budaya kontemporer, terutama dalam upaya mengkritisi dominasi patriarki dan memperjuangkan keadilan sosial.

Identitas nasional, sebagai bentuk kolektif tertinggi dalam masyarakat modern, juga dibentuk melalui simbol budaya seperti bendera, bahasa nasional, narasi sejarah, dan pendidikan kewarganegaraan.¹⁰ Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai “komunitas terbayang” (imagined community), karena rasa kebersamaan dalam suatu bangsa dibangun melalui proses representasi budaya yang terus-menerus diperkuat oleh media dan institusi.¹¹

6.4.       Tantangan Identitas dalam Era Globalisasi

Di era globalisasi, identitas sosial menghadapi tantangan serius dari proses homogenisasi budaya, dominasi wacana global, dan fragmentasi identitas melalui media digital.¹² Di satu sisi, globalisasi memungkinkan pertukaran budaya yang lebih luas; di sisi lain, ia juga menimbulkan kecemasan akan hilangnya identitas lokal dan munculnya budaya konsumtif transnasional.

Namun, respons terhadap tantangan ini tidak bersifat seragam. Banyak komunitas meresponsnya dengan melakukan revitalisasi budaya lokal, mengembangkan ekspresi identitas alternatif, atau menciptakan bentuk identitas baru yang bersifat lintas budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas tidak bersifat tetap, tetapi terus bertransformasi dalam dialektika antara tradisi dan perubahan.


Footnotes

[1]                Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2009), 31–33.

[2]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1967), 194–198.

[3]                Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” dalam Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford (London: Lawrence & Wishart, 1990), 222.

[4]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 52–55.

[5]                Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives, 3rd ed. (London: Pluto Press, 2010), 10–11.

[6]                Fredrik Barth, “Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference,” dalam Ethnic Groups and Boundaries, ed. Fredrik Barth (Boston: Little, Brown, 1969), 9–38.

[7]                Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 76–80.

[8]                Bryan S. Turner, Religion and Modern Society: Citizenship, Secularisation and the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 12–15.

[9]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 33–36.

[10]             Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin, 1991), 43–47.

[11]             Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983), 6–7.

[12]             George Ritzer, Globalization: The Essentials, 2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 98–102.


7.           Tantangan dan Masa Depan Kajian Kebudayaan

Kajian kebudayaan dewasa ini dihadapkan pada tantangan besar yang muncul akibat perubahan sosial yang cepat, globalisasi, kemajuan teknologi digital, serta dinamika politik identitas. Di sisi lain, perubahan ini juga membuka kemungkinan baru bagi perkembangan ilmu budaya dalam merespons realitas sosial yang semakin kompleks. Oleh karena itu, memahami arah masa depan kajian kebudayaan memerlukan pemetaan terhadap tantangan aktual dan refleksi terhadap strategi pendekatan yang relevan secara teoritis maupun praksis.

7.1.       Tantangan Globalisasi dan Homogenisasi Budaya

Globalisasi telah mengubah lanskap budaya dengan mempercepat arus informasi, barang, jasa, dan manusia lintas batas negara.¹ Fenomena ini telah menciptakan bentuk budaya global yang seragam, ditandai oleh dominasi nilai-nilai konsumtif, komodifikasi simbol budaya, dan ekspansi industri kreatif global yang dikendalikan oleh kekuatan pasar.² George Ritzer menggambarkan proses ini sebagai McDonaldization of society, yakni rasionalisasi budaya yang menghasilkan efisiensi, prediktabilitas, dan kontrol dalam setiap aspek kehidupan, namun sekaligus mengurangi kedalaman makna budaya lokal.³

Homogenisasi ini menimbulkan kekhawatiran akan pengikisan identitas lokal dan pemiskinan kultural, khususnya di negara-negara berkembang yang memiliki keragaman budaya tinggi. Selain itu, relasi budaya dalam globalisasi cenderung tidak setara, di mana budaya dominan dari pusat kapital global menekan ekspresi budaya dari pinggiran.⁴ Dalam konteks ini, kajian kebudayaan perlu berperan sebagai alat kritis untuk mengungkap asimetri kekuasaan dalam hubungan budaya global.

7.2.       Disrupsi Digital dan Mediasi Budaya Baru

Perkembangan teknologi digital telah menciptakan bentuk baru dalam produksi, distribusi, dan konsumsi budaya. Dunia maya kini menjadi ruang kultural yang sangat dinamis, di mana identitas, simbol, dan nilai dibentuk dan dinegosiasikan secara cepat dan luas.⁵ Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, atau YouTube menjadi medium utama praktik budaya digital yang menggabungkan hiburan, politik, dan ekspresi diri.

Namun, disrupsi ini juga menimbulkan tantangan metodologis dalam kajian budaya, karena batas antara produsen dan konsumen budaya semakin kabur (fenomena prosumer), dan dinamika makna budaya menjadi sangat cair dan terfragmentasi.⁶ Selain itu, algoritma digital berpotensi membentuk “ruang gema” (echo chambers) yang memperkuat polarisasi sosial dan mempersempit ruang dialog budaya.⁷ Oleh karena itu, studi kebudayaan di masa depan harus mengembangkan pendekatan digital dan interdisipliner yang adaptif terhadap teknologi.

7.3.       Politik Identitas dan Fragmentasi Sosial

Kebangkitan politik identitas menjadi fenomena global yang turut membentuk pergeseran dalam praktik budaya. Kelompok-kelompok sosial kini lebih aktif dalam memperjuangkan pengakuan terhadap identitas etnis, gender, agama, atau orientasi seksual mereka melalui narasi kultural yang inklusif dan transformatif.⁸ Meskipun ini dapat memperkaya lanskap kebudayaan, namun dalam banyak kasus juga menimbulkan fragmentasi sosial dan konflik antar kelompok.

Kajian kebudayaan di masa depan dituntut untuk mampu menjembatani ketegangan ini dengan membangun pendekatan kritis yang berlandaskan pada keadilan sosial, representasi yang setara, dan penghargaan terhadap perbedaan.⁹ Alih-alih menjadi alat dominasi ideologi, kebudayaan harus dipahami sebagai medan negosiasi dan rekonsiliasi antara berbagai aspirasi identitas yang berbeda.

7.4.       Relevansi Kajian Budaya dalam Isu Global Kontemporer

Selain persoalan identitas dan media, tantangan global lain seperti krisis iklim, migrasi, pandemi, dan ketimpangan ekonomi juga semakin memperjelas pentingnya kebudayaan sebagai dimensi penting dalam pembangunan berkelanjutan.ⁱ⁰ Perspektif budaya dibutuhkan untuk memahami bagaimana komunitas lokal merespons isu-isu tersebut secara kontekstual dan bagaimana strategi pembangunan dapat diadaptasi secara kultural agar efektif dan berkelanjutan.

Lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO telah menekankan pentingnya investasi pada kebudayaan sebagai pilar ketiga pembangunan (selain ekonomi dan ekologi), dengan mendorong pendekatan lintas budaya dan dialog antarperadaban sebagai dasar hidup bersama di era global.¹¹ Kajian budaya di masa depan tidak cukup hanya bersifat akademik, tetapi harus berkontribusi secara nyata dalam penyelesaian masalah-masalah global.


Footnotes

[1]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 32–35.

[2]                Naomi Klein, No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies (New York: Picador, 2002), 66–69.

[3]                George Ritzer, The McDonaldization of Society, 8th ed. (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2015), 16–21.

[4]                Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage Books, 1994), 18–22.

[5]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2010), 387–392.

[6]                Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide (New York: NYU Press, 2006), 135–140.

[7]                Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Press, 2011), 9–15.

[8]                Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University Press, 2009), 57–62.

[9]                Stuart Hall, Cultural Studies 1983: A Theoretical History, ed. Jennifer Daryl Slack (Durham: Duke University Press, 2016), 114–118.

[10]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1989), 45–47.

[11]             UNESCO, Investing in Cultural Diversity and Intercultural Dialogue (Paris: UNESCO Publishing, 2009), 14–15.


8.           Penutup

Kajian terhadap kebudayaan dalam perspektif multidisipliner menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah entitas yang statis, melainkan sistem dinamis yang membentuk dan dibentuk oleh relasi sosial, simbolik, ekonomi, dan politik. Kebudayaan hadir dalam nilai dan norma yang diinternalisasi oleh individu, diwujudkan dalam praktik sosial, diwariskan lintas generasi, dan terus berubah mengikuti arus sejarah dan tantangan global.¹ Dengan kata lain, kebudayaan adalah medan artikulasi makna—di mana identitas, kekuasaan, dan representasi dipertarungkan dan dinegosiasikan.

Melalui pembahasan ini, terlihat bahwa nilai dan norma budaya menjadi fondasi yang membentuk struktur sosial, mengatur perilaku kolektif, dan menjaga kesinambungan komunitas. Praktik sosial menjadi wujud konkret dari kebudayaan yang mengekspresikan gagasan, tradisi, serta kekuatan simbolik yang membentuk jalinan kehidupan bersama.² Sementara itu, proses pewarisan budaya tidak hanya terjadi secara linier, tetapi juga melibatkan adaptasi, resistensi, dan inovasi yang mencerminkan dinamika internal masyarakat serta pengaruh eksternal dari globalisasi dan digitalisasi.³

Identitas sosial yang terbentuk dari interaksi budaya mencerminkan keberagaman cara pandang, sistem nilai, dan ekspresi diri manusia dalam ruang sosial. Etnisitas, agama, gender, dan nasionalitas tidak hanya menjadi kategori identitas, tetapi juga penanda perbedaan budaya yang perlu dikelola secara adil dan inklusif.⁴ Dalam konteks ini, kebudayaan menjadi sarana penting untuk membangun kesadaran multikultural yang saling menghormati dan mendorong solidaritas lintas perbedaan.

Namun, tantangan abad ke-21 memaksa studi kebudayaan untuk terus memperbarui pendekatannya. Globalisasi, komodifikasi budaya, politik identitas, dan revolusi digital menuntut analisis yang tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga reflektif dan praksis. Kajian budaya masa depan harus mampu menjadi jembatan antara akademisi, pembuat kebijakan, dan komunitas masyarakat untuk merancang strategi kebudayaan yang adil, berkelanjutan, dan memberdayakan.⁵

Akhirnya, pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan membuka jalan bagi penciptaan masyarakat yang lebih inklusif, kritis, dan manusiawi. Sebab di dalam kebudayaan—dalam narasi, simbol, dan tindakan sosial yang diwariskan dan dimodifikasi—tercermin upaya manusia untuk memahami dirinya sendiri, orang lain, dan dunia tempat ia hidup.


Footnotes

[1]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 89–90.

[2]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72–74.

[3]                William A. Haviland, Cultural Anthropology, 12th ed. (Belmont: Wadsworth, 2005), 42–45.

[4]                Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” dalam Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford (London: Lawrence & Wishart, 1990), 222–225.

[5]                Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, 5th ed. (London: Sage Publications, 2016), 376–378.


Daftar Pustaka

Anderson, B. (1983). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism. Verso.

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Barth, F. (Ed.). (1969). Ethnic groups and boundaries: The social organization of culture difference. Little, Brown.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice (R. Nice, Trans.). Cambridge University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Castells, M. (2010). The rise of the network society (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

Durkheim, E. (1995). The elementary forms of religious life (K. E. Fields, Trans.). Free Press.

Ferraro, G. P., & Andreatta, S. (2010). Cultural anthropology: An applied perspective (10th ed.). Wadsworth.

Fraser, N. (2009). Scales of justice: Reimagining political space in a globalizing world. Columbia University Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. Basic Books.

Giddens, A. (2009). Sociology (7th ed.). Polity Press.

Goody, J. (1983). The development of the family and marriage in Europe. Cambridge University Press.

Hall, S. (1980). Encoding/decoding. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, media, language (pp. 128–138). Routledge.

Hall, S. (1990). Cultural identity and diaspora. In J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture, difference (pp. 222–237). Lawrence & Wishart.

Hall, S. (2016). Cultural studies 1983: A theoretical history (J. D. Slack, Ed.). Duke University Press.

Haviland, W. A. (2005). Cultural anthropology (12th ed.). Wadsworth.

Henslin, J. M. (2014). Essentials of sociology: A down-to-earth approach (11th ed.). Pearson.

Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where old and new media collide. NYU Press.

Klein, N. (2002). No logo: Taking aim at the brand bullies. Picador.

Kluckhohn, C. (1951). Values and value-orientations in the theory of action. In T. Parsons & E. A. Shils (Eds.), Toward a general theory of action (pp. 395–433). Harvard University Press.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi. Rineka Cipta.

Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.

Linton, R. (1936). The study of man: An introduction. Appleton-Century-Crofts.

Ogburn, W. F. (1922). Social change with respect to culture and original nature. B.W. Huebsch.

Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the internet is hiding from you. Penguin Press.

Parsons, T., & Shils, E. A. (Eds.). (1951). Toward a general theory of action. Harvard University Press.

Ritzer, G. (1975). Sociology: A multiple paradigm science. Allyn and Bacon.

Ritzer, G. (2015). The McDonaldization of society (8th ed.). SAGE Publications.

Ritzer, G. (2015). Globalization: The essentials (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

Said, E. W. (1994). Culture and imperialism. Vintage Books.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace.

Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology and development. Zed Books.

Smith, A. D. (1991). National identity. Penguin.

Turner, B. S. (2011). Religion and modern society: Citizenship, secularisation and the state. Cambridge University Press.

Turner, V. (1969). The ritual process: Structure and anti-structure. Aldine.

UNESCO. (2009). Investing in cultural diversity and intercultural dialogue. UNESCO Publishing.

Williams, R. (1983). Culture and society: 1780–1950. Columbia University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar