Kebudayaan
Studi Nilai, Norma, dan Praktik Sosial dalam Kehidupan
Manusia
Alihkan ke: Ilmu Humaniora.
Abstrak
Artikel ini membahas kebudayaan sebagai fenomena
sosial yang kompleks dan multidimensional melalui pendekatan multidisipliner,
mencakup perspektif antropologi, sosiologi, studi budaya, dan ilmu komunikasi.
Fokus utama terletak pada pemahaman terhadap nilai, norma, dan praktik sosial
yang diwariskan dan dimaknai oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang
berbeda. Nilai dan norma dianalisis sebagai kerangka pengatur perilaku sosial,
sementara praktik budaya ditelaah sebagai ekspresi konkret dari struktur
simbolik masyarakat. Proses pewarisan budaya melalui enkulturasi, akulturasi,
dan difusi juga dikaji bersama dengan faktor-faktor perubahan budaya seperti
globalisasi dan disrupsi digital. Selanjutnya, artikel ini menelaah hubungan
erat antara kebudayaan dan identitas sosial dalam kaitannya dengan etnisitas,
agama, gender, dan nasionalisme. Di tengah tantangan homogenisasi global,
fragmentasi identitas, dan dominasi media digital, artikel ini menegaskan
pentingnya kebudayaan sebagai medan negosiasi makna dan sarana untuk membangun
masyarakat inklusif dan reflektif. Kajian ini menutup dengan refleksi atas pentingnya
peran kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pemajuan kehidupan manusia
secara kritis dan kolaboratif.
Kata Kunci: Kebudayaan, nilai, norma, praktik sosial,
identitas, globalisasi, perubahan budaya, kajian multidisipliner.
PEMBAHASAN
Kebudayaan dalam Perspektif Multidisipliner
1.
Pendahuluan
Kebudayaan merupakan salah satu konsep sentral
dalam kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang terus menjadi fokus perhatian
akademik lintas disiplin. Dalam definisi klasiknya, Edward B. Tylor menyatakan
bahwa kebudayaan adalah “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”_¹ Definisi ini menegaskan
bahwa kebudayaan bukan hanya sekumpulan kebiasaan atau tradisi, melainkan
mencerminkan keseluruhan sistem kehidupan manusia yang diwariskan dari generasi
ke generasi melalui proses sosial dan simbolik.
Studi tentang kebudayaan mencakup pemahaman
terhadap nilai, norma, dan praktik sosial yang berfungsi sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat. Nilai dan norma membentuk kerangka berpikir kolektif
yang memengaruhi cara individu bertindak dan merespons lingkungan sosial
mereka.² Praktik sosial yang beragam seperti ritual, upacara, bahasa, dan
ekspresi seni bukan hanya sekadar bentuk kegiatan, melainkan juga merupakan
sarana simbolik untuk mentransmisikan makna dan identitas kultural.³ Oleh
karena itu, kebudayaan tidak hanya dipahami sebagai warisan masa lalu, tetapi
juga sebagai proses dinamis yang terus berkembang dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan zaman.
Dalam perkembangan kajian ilmiah, kebudayaan
dianalisis dari berbagai sudut pandang. Antropologi melihat kebudayaan sebagai
sistem simbolik yang tertanam dalam pola kehidupan sehari-hari masyarakat.⁴
Sosiologi memfokuskan perhatian pada relasi antara kebudayaan dan struktur
sosial, serta peran nilai dan norma dalam menjaga kohesi sosial.⁵ Ilmu
komunikasi menyoroti bagaimana simbol dan bahasa digunakan dalam pembentukan
makna budaya, sedangkan studi budaya kontemporer (cultural studies) lebih
menekankan pada kekuasaan, representasi, dan identitas dalam praktik
kebudayaan.⁶ Pendekatan multidisipliner ini memperkaya pemahaman tentang
kebudayaan sebagai fenomena yang kompleks dan sarat makna.
Urgensi untuk mengkaji kebudayaan secara holistik
semakin relevan di tengah dinamika globalisasi, migrasi, dan perkembangan
teknologi informasi. Di satu sisi, terjadi proses homogenisasi budaya yang
mengancam keberagaman lokal; di sisi lain, muncul bentuk-bentuk hibriditas
budaya yang menantang batas-batas identitas tradisional.⁷ Melalui kajian
kebudayaan yang mendalam, kita dapat memahami bagaimana masyarakat beradaptasi,
mentransformasikan nilai, dan merespons tantangan zaman dalam kerangka makna
yang mereka ciptakan sendiri.
Dengan latar belakang tersebut, artikel ini
bertujuan untuk mengeksplorasi kebudayaan sebagai sistem nilai, norma, dan
praktik sosial dalam perspektif multidisipliner. Pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya kebudayaan
dalam membentuk struktur sosial, identitas kolektif, dan dinamika perubahan
masyarakat manusia.
Footnotes
[1]
Edward B. Tylor, Primitive Culture: Researches
into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and
Custom, vol. 1 (London: John Murray, 1871), 1.
[2]
Talcott Parsons dan Edward A. Shils, “Values and
Value Orientations in the Theory of Action,” dalam Toward a General Theory
of Action (Cambridge: Harvard University Press, 1951), 47–49.
[3]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures:
Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 89–90.
[4]
Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural
Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth,
2010), 26–28.
[5]
Anthony Giddens, Sociology, 7th ed.
(Cambridge: Polity Press, 2009), 31–34.
[6]
Stuart Hall, Representation: Cultural
Representations and Signifying Practices (London: Sage, 1997), 15–20.
[7]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 27–29.
2.
Konsep
Dasar Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu konstruksi sosial
yang paling kompleks dalam kehidupan manusia. Secara etimologis, kata kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta buddhi, yang berarti akal atau budi,
menunjukkan keterkaitannya dengan kemampuan manusia untuk berpikir, memahami,
dan mencipta.¹ Dalam ilmu antropologi dan sosiologi, kebudayaan didefinisikan
sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, yang mencakup sistem
pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, hukum, adat istiadat, bahasa,
teknologi, kesenian, dan segala kebiasaan yang diwariskan secara sosial.²
2.1.
Unsur-Unsur Kebudayaan
Dalam pendekatan antropologi klasik,
Koentjaraningrat mengidentifikasi tujuh unsur kebudayaan universal yang
terdapat dalam semua masyarakat manusia, yaitu: (1) sistem religi dan
kepercayaan, (2) sistem organisasi sosial, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa,
(5) sistem mata pencaharian, (6) teknologi dan peralatan hidup, serta (7)
kesenian.³ Unsur-unsur ini berfungsi sebagai komponen dasar yang membentuk
struktur budaya suatu komunitas dan menjadi kerangka untuk memahami
keanekaragaman bentuk budaya di dunia.
Unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri,
melainkan saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang dinamis.
Misalnya, sistem religi berpengaruh terhadap struktur sosial dan pola perilaku
individu, sementara sistem teknologi berkaitan erat dengan pola ekonomi dan
cara bertahan hidup. Dalam masyarakat modern, perubahan pada satu unsur—seperti
teknologi digital—dapat mengakibatkan transformasi luas pada elemen-elemen
budaya lainnya.⁴
2.2.
Kebudayaan Material dan Non-Material
Kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua kategori
besar: kebudayaan material dan kebudayaan non-material.
Kebudayaan material mencakup semua bentuk kebendaan hasil ciptaan manusia,
seperti alat, bangunan, pakaian, dan teknologi. Sebaliknya, kebudayaan
non-material mencakup gagasan, nilai, norma, kepercayaan, bahasa, serta sistem
simbol yang tidak tampak secara fisik tetapi sangat menentukan cara berpikir
dan bertindak masyarakat.⁵
Perbedaan ini penting karena menunjukkan bahwa
meskipun bentuk material budaya dapat berubah relatif cepat seiring
perkembangan teknologi, kebudayaan non-material cenderung lebih lambat berubah
karena berakar pada struktur kognitif dan sistem nilai masyarakat.⁶ Kesenjangan
antara perubahan teknologi (material) dan nilai sosial (non-material)
seringkali menjadi sumber konflik kultural atau disonansi sosial.
2.3.
Hubungan antara Kebudayaan,
Masyarakat, dan Individu
Kebudayaan dan masyarakat memiliki hubungan yang
inheren: kebudayaan menyediakan kerangka makna yang memungkinkan masyarakat
hidup secara terorganisasi, sementara masyarakat merupakan wahana di mana
kebudayaan diciptakan, diwariskan, dan dihidupkan kembali. Clifford Geertz
menegaskan bahwa budaya adalah sistem simbol yang digunakan manusia untuk
menyusun makna dan menavigasi kehidupan sosial mereka.⁷ Dengan demikian,
kebudayaan tidak hanya menjadi milik kolektif masyarakat, tetapi juga
memengaruhi pembentukan identitas dan kepribadian individu.
Lebih lanjut, individu tidak hanya menjadi penerima
pasif kebudayaan, melainkan juga agen aktif dalam menciptakan dan
mentransformasikan budaya.⁸ Dalam interaksi sosial, individu menyerap norma dan
nilai melalui proses sosialisasi, tetapi juga dapat menjadi pelopor perubahan
budaya melalui inovasi, interpretasi ulang, atau resistensi terhadap struktur
dominan.
Dengan memahami konsep-konsep dasar kebudayaan
secara menyeluruh, kita dapat menangkap hakikat kebudayaan sebagai sistem hidup
yang terus berkembang, sekaligus sebagai jalinan nilai, norma, dan simbol yang
menyatukan dan membedakan masyarakat manusia.
Footnotes
[1]
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 167.
[2]
Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural
Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth,
2010), 25.
[3]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 144–150.
[4]
William A. Haviland, Cultural Anthropology,
12th ed. (Belmont: Thomson Wadsworth, 2005), 42–45.
[5]
Anthony Giddens, Sociology, 7th ed.
(Cambridge: Polity Press, 2009), 30–31.
[6]
James M. Henslin, Essentials of Sociology: A
Down-to-Earth Approach, 11th ed. (Boston: Pearson, 2014), 64.
[7]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures:
Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 5.
[8]
Stuart Hall, Cultural Studies: Two Paradigms,
dalam Media, Culture & Society 2, no. 1 (1980): 57–72.
3.
Nilai
dan Norma dalam Kebudayaan
Nilai dan norma merupakan unsur esensial dalam
struktur kebudayaan karena berfungsi sebagai acuan dan pengarah perilaku
individu dalam kehidupan sosial. Nilai budaya adalah konsep-konsep abstrak yang
dianggap penting dan berharga oleh suatu masyarakat, seperti kejujuran, kerja
keras, kesetaraan, atau kesetiaan.¹ Nilai berfungsi sebagai prinsip dasar yang
membentuk kerangka moral dan identitas kolektif suatu kelompok sosial. Norma,
di sisi lain, adalah aturan-aturan konkret yang berasal dari nilai-nilai
tersebut dan menetapkan bagaimana individu seharusnya bertindak dalam situasi
tertentu.²
3.1.
Hakikat Nilai Budaya
Dalam teori aksi sosial Talcott Parsons, nilai
budaya merupakan komponen dari sistem simbolik yang berperan mengarahkan
tindakan manusia dalam masyarakat.³ Nilai tidak hanya mencerminkan preferensi
individu, tetapi lebih dari itu, ia menjadi bagian dari struktur sosial yang
terinternalisasi melalui proses sosialisasi. Misalnya, dalam budaya
kolektivistik seperti di banyak negara Asia, nilai solidaritas dan harmoni
sosial lebih diutamakan dibandingkan dengan nilai individualisme yang dominan
dalam masyarakat Barat.⁴
Selain bersifat abstrak dan universal dalam suatu
masyarakat, nilai juga memiliki hierarki atau stratifikasi. Clyde Kluckhohn
mengidentifikasi bahwa sistem nilai setiap masyarakat terbentuk dari
pilihan-pilihan budaya dalam menjawab masalah-masalah pokok kehidupan, seperti
sikap terhadap waktu, alam, sesama manusia, dan aktivitas hidup.⁵ Dengan demikian,
sistem nilai menjadi fondasi yang menentukan arah kebijakan sosial, pendidikan,
dan bahkan tatanan hukum dalam masyarakat.
3.2.
Norma Sosial dan Fungsinya
Norma sosial bertindak sebagai wujud konkret dari
nilai-nilai budaya dan hadir dalam bentuk perintah, larangan, atau pedoman yang
mengatur perilaku. George Ritzer membagi norma ke dalam empat kategori:
folkways (kebiasaan umum), mores (aturan moral), laws (hukum formal), dan
taboos (pantangan berat).⁶ Folkways mencakup kebiasaan harian seperti cara
berpakaian atau salam, sementara mores berhubungan dengan prinsip moral yang
lebih kuat, seperti larangan membunuh atau mencuri. Norma-norma ini ditegakkan
melalui mekanisme sanksi sosial yang dapat bersifat positif (penghargaan)
maupun negatif (hukuman).
Norma tidak hanya menjaga keteraturan sosial,
tetapi juga berperan dalam membentuk identitas dan batasan sosial. Dalam
masyarakat majemuk, norma menjadi alat penting dalam mengelola keberagaman dan
mencegah konflik horizontal. Namun, norma juga bersifat relatif dan
kontekstual, sehingga dapat berubah seiring dinamika sosial, teknologi, dan
politik.⁷ Contohnya, norma tentang gender yang dahulu bersifat patriarkal kini
mengalami tantangan serius dari gerakan kesetaraan dan feminisme.
3.3.
Internalisasi Nilai dan Proses Sosialisasi
Norma
Proses internalisasi nilai dan sosialisasi norma
terjadi sejak masa kanak-kanak melalui institusi-institusi sosial seperti
keluarga, sekolah, agama, media, dan kelompok sebaya. Melalui interaksi sosial
yang berkelanjutan, individu menyerap sistem nilai dan norma sebagai bagian
dari identitas pribadi dan kolektif mereka.⁸ Mead dan Cooley menekankan
pentingnya self dan looking-glass self dalam proses ini, yakni
bagaimana individu memandang dirinya melalui kacamata orang lain.⁹
Dalam masyarakat modern yang multikultural dan
berteknologi tinggi, proses internalisasi ini menghadapi tantangan kompleks.
Anak-anak dan remaja tidak lagi hanya menyerap nilai dari keluarga atau
lingkungan lokal, tetapi juga dari media digital dan interaksi global. Hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang otoritas normatif dan tantangan dalam
mempertahankan nilai-nilai lokal di tengah arus globalisasi budaya.¹⁰
Dengan memahami fungsi nilai dan norma dalam
kebudayaan, kita dapat melihat bagaimana masyarakat membentuk perilaku kolektif
dan mengarahkan proses sosial. Nilai dan norma bukan hanya struktur pasif,
tetapi juga arena dinamis tempat berlangsungnya negosiasi identitas, kekuasaan,
dan perubahan budaya.
Footnotes
[1]
James M. Henslin, Essentials of Sociology: A
Down-to-Earth Approach, 11th ed. (Boston: Pearson, 2014), 52.
[2]
Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural
Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth,
2010), 91.
[3]
Talcott Parsons dan Edward A. Shils, Toward a
General Theory of Action (Cambridge: Harvard University Press, 1951),
52–55.
[4]
Geert Hofstede, Culture's Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations across Nations,
2nd ed. (Thousand Oaks: Sage, 2001), 82–85.
[5]
Clyde Kluckhohn, “Values and Value-Orientations in
the Theory of Action,” dalam Toward a General Theory of Action, ed.
Talcott Parsons dan Edward A. Shils (Cambridge: Harvard University Press,
1951), 395–397.
[6]
George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm
Science (Boston: Allyn and Bacon, 1975), 61–62.
[7]
Anthony Giddens, Sociology, 7th ed.
(Cambridge: Polity Press, 2009), 224–227.
[8]
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1967), 129–134.
[9]
Charles H. Cooley, Human Nature and the Social
Order (New York: Scribner’s, 1902), 179–185.
[10]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 32–34.
4.
Pewarisan
dan Perubahan Budaya
Kebudayaan bersifat dinamis dan tidak statis.
Meskipun diwariskan dari generasi ke generasi, kebudayaan juga mengalami
perubahan seiring waktu akibat berbagai faktor internal dan eksternal.
Pewarisan budaya dan transformasinya merupakan dua sisi dari proses yang berlangsung
simultan dalam kehidupan sosial manusia. Melalui mekanisme sosial tertentu,
nilai, norma, dan praktik budaya diturunkan, dipertahankan, ditafsirkan ulang,
atau bahkan ditinggalkan.
4.1.
Mekanisme Pewarisan Budaya
Proses utama pewarisan budaya dikenal dengan
istilah enkulturasi, yaitu proses di mana individu belajar dan menyerap
unsur-unsur budaya yang berlaku dalam masyarakatnya sejak masa kanak-kanak.¹
Enkulturasi terjadi melalui institusi seperti keluarga, sekolah, agama, dan
media massa. Melalui proses ini, individu mempelajari bahasa, nilai, norma, dan
praktik sosial yang membentuk identitas kultural mereka.²
Selain enkulturasi, terdapat sosialisasi
sekunder, yaitu bentuk pewarisan budaya yang berlangsung ketika individu
memasuki lingkungan baru seperti dunia kerja, komunitas keagamaan, atau
organisasi sosial lainnya.³ Dalam masyarakat yang bersifat multikultural atau
dalam konteks pertemuan antarbudaya, pewarisan budaya juga dapat terjadi
melalui akulturasi (perpaduan dua budaya tanpa menghilangkan unsur asli)
dan asimilasi (penerimaan budaya asing secara menyeluruh yang
menggantikan budaya asal).⁴
4.2.
Faktor-Faktor Perubahan Budaya
Meskipun pewarisan budaya bertujuan untuk
mempertahankan stabilitas sosial, kenyataannya kebudayaan senantiasa mengalami
perubahan. Beberapa faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan budaya
antara lain:
·
Inovasi: penemuan
baru dalam bidang teknologi, ide, atau institusi yang mengubah cara hidup
masyarakat. Contoh klasik adalah revolusi industri dan, dalam konteks
kontemporer, revolusi digital.⁵
·
Difusi budaya: penyebaran
unsur budaya dari satu masyarakat ke masyarakat lain, baik secara damai
(melalui perdagangan, media, migrasi) maupun melalui dominasi (kolonialisme dan
imperialisme).⁶
·
Konflik dan krisis sosial: perang, bencana, dan krisis ekonomi sering kali menjadi pendorong
transformasi nilai dan norma.
·
Globalisasi:
mempercepat arus informasi, barang, dan manusia lintas batas negara, sehingga
terjadi pertemuan dan persilangan budaya secara massif.⁷
4.3.
Kontinuitas, Disonansi, dan Adaptasi
Budaya
Dalam proses perubahan, tidak semua unsur budaya
berubah secara serempak. Beberapa unsur bersifat resisten (tahan
terhadap perubahan), seperti sistem nilai religius atau struktur kekerabatan
tradisional. Namun, unsur lain seperti teknologi, gaya hidup, atau pola
konsumsi cenderung lebih mudah berubah.⁸ Perbedaan kecepatan perubahan ini
dapat menimbulkan cultural lag atau kelambanan budaya, yaitu kesenjangan
antara perubahan dalam aspek material dan aspek non-material budaya.⁹
Perubahan budaya juga tidak selalu bersifat linier
atau progresif. Dalam beberapa kasus, terjadi revitalisasi budaya, yaitu
upaya sadar untuk menghidupkan kembali unsur budaya tradisional yang mulai
ditinggalkan, sebagai bentuk resistensi terhadap homogenisasi global.¹⁰
Fenomena ini dapat dilihat dalam gerakan pelestarian bahasa daerah, kebangkitan
adat lokal, dan praktik seni tradisional di berbagai belahan dunia.
4.4.
Konteks Global dan Tantangan
Pewarisan Budaya
Di era globalisasi, pewarisan budaya menghadapi tantangan
yang kompleks. Arus informasi yang cepat melalui media digital menciptakan
ruang budaya baru yang bersifat virtual dan lintas batas.¹¹ Anak-anak dan
remaja kini lebih banyak terpapar pada nilai dan gaya hidup global daripada
budaya lokal mereka sendiri. Ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya
identitas budaya lokal dan meningkatnya budaya seragam yang dikendalikan
oleh kekuatan pasar global.¹²
Namun, globalisasi juga membuka peluang baru bagi
pewarisan budaya melalui digitalisasi, dokumentasi, dan diseminasi budaya lokal
ke ranah global. Oleh karena itu, pewarisan dan perubahan budaya tidak boleh
dipandang sebagai proses yang saling meniadakan, melainkan sebagai dialektika
yang saling membentuk, mengadaptasi, dan memperkaya khazanah kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Melville J. Herskovits, Man and His Works: The
Science of Cultural Anthropology (New York: Knopf, 1948), 51.
[2]
William A. Haviland, Cultural Anthropology,
12th ed. (Belmont: Wadsworth, 2005), 32.
[3]
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1967), 154–156.
[4]
Gary P. Ferraro dan Susan Andreatta, Cultural
Anthropology: An Applied Perspective, 10th ed. (Belmont, CA: Wadsworth,
2010), 87.
[5]
Everett M. Rogers, Diffusion of Innovations,
5th ed. (New York: Free Press, 2003), 6–10.
[6]
Ralph Linton, The Study of Man: An Introduction
(New York: Appleton-Century-Crofts, 1936), 326.
[7]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 27–30.
[8]
James M. Henslin, Essentials of Sociology: A
Down-to-Earth Approach, 11th ed. (Boston: Pearson, 2014), 65.
[9]
William F. Ogburn, Social Change with Respect to
Culture and Original Nature (New York: B.W. Huebsch, 1922), 200–203.
[10]
Anthony Wallace, “Revitalization Movements,” American
Anthropologist 58, no. 2 (1956): 264–281.
[11]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society,
2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2010), 406–410.
[12]
George Ritzer, The McDonaldization of Society,
8th ed. (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2015), 122–124.
5.
Praktik
Sosial dalam Kebudayaan
Praktik sosial merupakan wujud nyata dari
kebudayaan yang terartikulasikan dalam tindakan kolektif masyarakat. Ia mencerminkan
bagaimana nilai dan norma budaya diterjemahkan ke dalam pola perilaku
sehari-hari, baik yang bersifat simbolik, ritualistik, maupun fungsional.
Praktik sosial tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya, tetapi juga arena
di mana makna budaya dikonstruksi, dinegosiasikan, dan ditransformasikan.¹
Dalam kajian budaya, praktik sosial dianggap
sebagai bentuk habitus yang terinternalisasi dalam kesadaran individu
dan berfungsi sebagai panduan implisit dalam bertindak.² Pierre Bourdieu
menekankan bahwa praktik tidak berdiri sendiri, tetapi lahir dari relasi antara
struktur sosial (modal, kelas, kekuasaan) dan disposisi kognitif individu.³
Dengan demikian, praktik sosial tidak hanya mencerminkan budaya, tetapi juga
mereproduksi dan mempertahankan relasi kuasa dalam masyarakat.
5.1.
Tradisi, Ritual, dan Simbol sebagai
Wujud Praktik Sosial
Tradisi merupakan praktik sosial yang diwariskan
secara turun-temurun dan memiliki fungsi memperkuat identitas kolektif. Ia
sering kali dikemas dalam bentuk ritual, yaitu tindakan simbolik yang
dilakukan secara berulang dan mengikuti aturan tertentu untuk menegaskan
nilai-nilai budaya.⁴ Ritual keagamaan, upacara adat, dan perayaan siklus hidup
seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian merupakan contoh praktik sosial
yang sarat makna simbolik.
Victor Turner melihat ritual sebagai media untuk
menciptakan “komunitas emosional” (communitas) dan mengatur transisi
status sosial individu dalam struktur sosial.⁵ Dalam kerangka ini, simbol
budaya menjadi unsur penting yang menghubungkan dunia empiris dengan makna
transendental yang dianut komunitas. Clifford Geertz menggambarkan simbol
sebagai “jendela makna” dalam budaya yang memungkinkan manusia memahami
pengalaman hidup secara kolektif.⁶
5.2.
Bahasa, Seni, dan Media dalam Pembentukan
Praktik Budaya
Bahasa merupakan media utama praktik sosial karena
ia mengorganisasi cara manusia berpikir, berkomunikasi, dan mengartikan
realitas. Dalam pandangan antropologi linguistik, struktur bahasa merefleksikan
struktur budaya, sehingga variasi linguistik menunjukkan variasi cara pandang
terhadap dunia.⁷
Selain bahasa, seni dalam berbagai
bentuknya—musik, tari, seni rupa, teater, dan sastra—berfungsi sebagai ekspresi
budaya yang sarat dengan simbol, narasi kolektif, dan nilai estetik. Seni bukan
sekadar hiburan, tetapi juga medium perlawanan, refleksi sosial, dan afirmasi
identitas budaya.⁸ Dalam masyarakat modern, media massa dan media digital
turut memainkan peran sentral dalam membentuk praktik sosial melalui penyebaran
nilai, gaya hidup, dan diskursus dominan.⁹
Contohnya, praktik konsumsi budaya populer melalui
platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menunjukkan bagaimana praktik
sosial hari ini dikonstruksi melalui interaksi antara pengguna, algoritma, dan
representasi visual. Ini menunjukkan bahwa praktik budaya kontemporer tidak
hanya terbatas pada ruang fisik tradisional, tetapi juga menjangkau ruang
virtual yang transnasional.
5.3.
Studi Kasus: Praktik Sosial Lintas
Budaya
Dalam konteks global, praktik sosial dapat
dibandingkan antar budaya untuk mengungkap dinamika dan keberagaman budaya
manusia. Misalnya, ritual pernikahan tradisional di Indonesia sarat dengan
simbol status sosial dan spiritualitas, sedangkan dalam budaya Barat cenderung
lebih personal dan bersifat kontraktual.¹⁰ Perbedaan ini mencerminkan sistem
nilai yang berbeda, namun juga menunjukkan bahwa praktik sosial tidak bersifat
universal, melainkan kontekstual dan historis.
Studi lintas budaya juga mengungkap adanya praktik
sosial yang menjadi ruang hibriditas, yakni pertemuan budaya lokal
dengan budaya global yang menghasilkan bentuk baru.¹¹ Contohnya adalah festival
budaya modern yang menggabungkan unsur adat dengan teknologi dan estetika
populer. Hal ini memperlihatkan bahwa praktik sosial merupakan hasil dialog
yang terus berlangsung antara tradisi dan inovasi.
Footnotes
[1]
Anthony Giddens, Sociology, 7th ed.
(Cambridge: Polity Press, 2009), 31–32.
[2]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice,
trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72–95.
[3]
Ibid., 53.
[4]
Emile Durkheim, The Elementary Forms of
Religious Life, trans. Karen E. Fields (New York: Free Press, 1995), 42–45.
[5]
Victor Turner, The Ritual Process: Structure and
Anti-Structure (Chicago: Aldine, 1969), 94–97.
[6]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures:
Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 91.
[7]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the
Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207–210.
[8]
Raymond Williams, Culture and Society: 1780–1950
(New York: Columbia University Press, 1983), 247–249.
[9]
Stuart Hall, Encoding/Decoding, dalam Culture,
Media, Language (London: Routledge, 1980), 128–138.
[10]
Jack Goody, The Development of the Family and
Marriage in Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 115–118.
[11]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture
(London: Routledge, 1994), 38–39.
6.
Kebudayaan
dan Identitas Sosial
Kebudayaan memiliki peran sentral dalam pembentukan
identitas sosial, baik pada level individu maupun kolektif. Identitas
tidak terbentuk dalam ruang hampa, melainkan dikonstruksi melalui interaksi
dengan simbol-simbol budaya, nilai-nilai sosial, serta praktik kolektif yang
diwariskan secara historis.¹ Dalam konteks ini, kebudayaan bertindak sebagai
kerangka simbolik yang memungkinkan individu memahami siapa dirinya dan
bagaimana ia berhubungan dengan kelompok sosialnya.
6.1.
Identitas sebagai Konstruksi Sosial
Budaya
Identitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial
yang terus-menerus dinegosiasikan melalui relasi simbolik dan diskursif.²
Stuart Hall menyatakan bahwa identitas tidak bersifat esensial atau tetap,
melainkan bersifat “terbuka”, bersifat historis, dan senantiasa berubah
sesuai dengan konteks sosial dan budaya.³ Oleh karena itu, kebudayaan menjadi
medan penting di mana identitas terbentuk, dipertanyakan, dan dipertahankan.
Dalam konteks masyarakat multikultural, identitas
individu sering kali bersifat ganda atau hibrid. Homi K. Bhabha memperkenalkan
konsep “in-betweenness” untuk menggambarkan posisi identitas yang berada
di antara dua atau lebih sistem budaya.⁴ Hal ini sangat relevan dalam era
globalisasi, di mana individu mengalami interaksi lintas budaya yang intensif
dan harus menavigasi antara akar tradisional dan identitas kosmopolitan.
6.2.
Kebudayaan, Etnisitas, dan Identitas
Kelompok
Etnisitas adalah salah satu bentuk identitas sosial
yang sangat terkait dengan kebudayaan. Ia merujuk pada pengelompokan sosial
berdasarkan asal-usul nenek moyang, bahasa, adat, dan kepercayaan yang sama.⁵
Budaya etnis mencakup sistem nilai, simbol, dan praktik sosial yang memperkuat
solidaritas internal dan membedakan kelompok dari kelompok lain. Identitas
etnis tidak bersifat biologis, melainkan dibentuk melalui pengalaman bersama
dan narasi kolektif yang direproduksi secara sosial.⁶
Dalam masyarakat plural, ekspresi identitas etnis
sering kali menjadi sumber kebanggaan, namun juga dapat menjadi sumber konflik
ketika terjadi ketimpangan representasi atau marginalisasi budaya. Oleh sebab
itu, penting untuk mengembangkan pendekatan multikulturalisme inklusif,
yaitu pengakuan atas keberagaman budaya sebagai kekayaan sosial yang harus
dihargai dan dijamin eksistensinya dalam sistem politik dan pendidikan.⁷
6.3.
Identitas Agama, Gender, dan Bangsa
sebagai Dimensi Kultural
Selain etnisitas, identitas sosial juga terbentuk
melalui dimensi budaya lainnya, seperti agama, gender, dan kewarganegaraan.
Identitas keagamaan, misalnya, tidak hanya mencerminkan keyakinan spiritual,
tetapi juga mencakup gaya hidup, sistem etika, dan simbol-simbol yang memperkuat
kohesi komunitas.⁸ Dalam banyak masyarakat, agama menjadi fondasi penting dalam
pembentukan struktur sosial dan identitas moral kolektif.
Demikian pula, identitas gender bukan sekadar soal
biologis, tetapi merupakan produk budaya yang diatur oleh norma dan
representasi sosial tertentu. Judith Butler menegaskan bahwa gender adalah
performatif—ia diwujudkan melalui tindakan yang diulang dan dibentuk oleh
struktur kekuasaan budaya.⁹ Oleh karena itu, identitas gender menjadi bagian
penting dari kajian budaya kontemporer, terutama dalam upaya mengkritisi
dominasi patriarki dan memperjuangkan keadilan sosial.
Identitas nasional, sebagai bentuk kolektif
tertinggi dalam masyarakat modern, juga dibentuk melalui simbol budaya seperti
bendera, bahasa nasional, narasi sejarah, dan pendidikan kewarganegaraan.¹⁰
Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai “komunitas terbayang” (imagined
community), karena rasa kebersamaan dalam suatu bangsa dibangun melalui
proses representasi budaya yang terus-menerus diperkuat oleh media dan
institusi.¹¹
6.4.
Tantangan Identitas dalam Era
Globalisasi
Di era globalisasi, identitas sosial menghadapi
tantangan serius dari proses homogenisasi budaya, dominasi wacana global, dan
fragmentasi identitas melalui media digital.¹² Di satu sisi, globalisasi
memungkinkan pertukaran budaya yang lebih luas; di sisi lain, ia juga
menimbulkan kecemasan akan hilangnya identitas lokal dan munculnya budaya
konsumtif transnasional.
Namun, respons terhadap tantangan ini tidak bersifat
seragam. Banyak komunitas meresponsnya dengan melakukan revitalisasi budaya
lokal, mengembangkan ekspresi identitas alternatif, atau menciptakan bentuk
identitas baru yang bersifat lintas budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa
identitas tidak bersifat tetap, tetapi terus bertransformasi dalam dialektika
antara tradisi dan perubahan.
Footnotes
[1]
Anthony Giddens, Sociology, 7th ed.
(Cambridge: Polity Press, 2009), 31–33.
[2]
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1967), 194–198.
[3]
Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,”
dalam Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford
(London: Lawrence & Wishart, 1990), 222.
[4]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture
(London: Routledge, 1994), 52–55.
[5]
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and
Nationalism: Anthropological Perspectives, 3rd ed. (London: Pluto Press,
2010), 10–11.
[6]
Fredrik Barth, “Ethnic Groups and Boundaries: The
Social Organization of Culture Difference,” dalam Ethnic Groups and
Boundaries, ed. Fredrik Barth (Boston: Little, Brown, 1969), 9–38.
[7]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A
Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995),
76–80.
[8]
Bryan S. Turner, Religion and Modern Society:
Citizenship, Secularisation and the State (Cambridge: Cambridge University
Press, 2011), 12–15.
[9]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 33–36.
[10]
Anthony D. Smith, National Identity (London:
Penguin, 1991), 43–47.
[11]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983),
6–7.
[12]
George Ritzer, Globalization: The Essentials,
2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 98–102.
7.
Tantangan
dan Masa Depan Kajian Kebudayaan
Kajian kebudayaan dewasa ini dihadapkan pada
tantangan besar yang muncul akibat perubahan sosial yang cepat, globalisasi,
kemajuan teknologi digital, serta dinamika politik identitas. Di sisi lain,
perubahan ini juga membuka kemungkinan baru bagi perkembangan ilmu budaya dalam
merespons realitas sosial yang semakin kompleks. Oleh karena itu, memahami arah
masa depan kajian kebudayaan memerlukan pemetaan terhadap tantangan aktual dan
refleksi terhadap strategi pendekatan yang relevan secara teoritis maupun
praksis.
7.1.
Tantangan Globalisasi dan
Homogenisasi Budaya
Globalisasi telah mengubah lanskap budaya dengan
mempercepat arus informasi, barang, jasa, dan manusia lintas batas negara.¹
Fenomena ini telah menciptakan bentuk budaya global yang seragam, ditandai oleh
dominasi nilai-nilai konsumtif, komodifikasi simbol budaya, dan ekspansi
industri kreatif global yang dikendalikan oleh kekuatan pasar.² George Ritzer
menggambarkan proses ini sebagai McDonaldization of society, yakni
rasionalisasi budaya yang menghasilkan efisiensi, prediktabilitas, dan kontrol
dalam setiap aspek kehidupan, namun sekaligus mengurangi kedalaman makna budaya
lokal.³
Homogenisasi ini menimbulkan kekhawatiran akan pengikisan
identitas lokal dan pemiskinan kultural, khususnya di negara-negara
berkembang yang memiliki keragaman budaya tinggi. Selain itu, relasi budaya
dalam globalisasi cenderung tidak setara, di mana budaya dominan dari pusat
kapital global menekan ekspresi budaya dari pinggiran.⁴ Dalam konteks ini,
kajian kebudayaan perlu berperan sebagai alat kritis untuk mengungkap asimetri
kekuasaan dalam hubungan budaya global.
7.2.
Disrupsi Digital dan Mediasi Budaya
Baru
Perkembangan teknologi digital telah menciptakan
bentuk baru dalam produksi, distribusi, dan konsumsi budaya. Dunia maya kini
menjadi ruang kultural yang sangat dinamis, di mana identitas, simbol, dan
nilai dibentuk dan dinegosiasikan secara cepat dan luas.⁵ Platform media sosial
seperti TikTok, Instagram, atau YouTube menjadi medium utama praktik budaya
digital yang menggabungkan hiburan, politik, dan ekspresi diri.
Namun, disrupsi ini juga menimbulkan tantangan
metodologis dalam kajian budaya, karena batas antara produsen dan konsumen
budaya semakin kabur (fenomena prosumer), dan dinamika makna budaya menjadi
sangat cair dan terfragmentasi.⁶ Selain itu, algoritma digital berpotensi
membentuk “ruang gema” (echo chambers) yang memperkuat polarisasi sosial
dan mempersempit ruang dialog budaya.⁷ Oleh karena itu, studi kebudayaan di
masa depan harus mengembangkan pendekatan digital dan interdisipliner yang
adaptif terhadap teknologi.
7.3.
Politik Identitas dan Fragmentasi
Sosial
Kebangkitan politik identitas menjadi fenomena
global yang turut membentuk pergeseran dalam praktik budaya. Kelompok-kelompok
sosial kini lebih aktif dalam memperjuangkan pengakuan terhadap identitas
etnis, gender, agama, atau orientasi seksual mereka melalui narasi kultural
yang inklusif dan transformatif.⁸ Meskipun ini dapat memperkaya lanskap kebudayaan,
namun dalam banyak kasus juga menimbulkan fragmentasi sosial dan konflik antar
kelompok.
Kajian kebudayaan di masa depan dituntut untuk
mampu menjembatani ketegangan ini dengan membangun pendekatan kritis yang
berlandaskan pada keadilan sosial, representasi yang setara, dan penghargaan
terhadap perbedaan.⁹ Alih-alih menjadi alat dominasi ideologi, kebudayaan harus
dipahami sebagai medan negosiasi dan rekonsiliasi antara berbagai aspirasi
identitas yang berbeda.
7.4.
Relevansi Kajian Budaya dalam Isu
Global Kontemporer
Selain persoalan identitas dan media, tantangan
global lain seperti krisis iklim, migrasi, pandemi, dan ketimpangan ekonomi
juga semakin memperjelas pentingnya kebudayaan sebagai dimensi penting dalam
pembangunan berkelanjutan.ⁱ⁰ Perspektif budaya dibutuhkan untuk memahami
bagaimana komunitas lokal merespons isu-isu tersebut secara kontekstual dan
bagaimana strategi pembangunan dapat diadaptasi secara kultural agar efektif
dan berkelanjutan.
Lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO telah menekankan
pentingnya investasi pada kebudayaan sebagai pilar ketiga pembangunan (selain
ekonomi dan ekologi), dengan mendorong pendekatan lintas budaya dan dialog
antarperadaban sebagai dasar hidup bersama di era global.¹¹ Kajian budaya di
masa depan tidak cukup hanya bersifat akademik, tetapi harus berkontribusi
secara nyata dalam penyelesaian masalah-masalah global.
Footnotes
[1]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 32–35.
[2]
Naomi Klein, No Logo: Taking Aim at the Brand
Bullies (New York: Picador, 2002), 66–69.
[3]
George Ritzer, The McDonaldization of Society,
8th ed. (Thousand Oaks, CA: SAGE, 2015), 16–21.
[4]
Edward Said, Culture and Imperialism (New
York: Vintage Books, 1994), 18–22.
[5]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society,
2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2010), 387–392.
[6]
Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old
and New Media Collide (New York: NYU Press, 2006), 135–140.
[7]
Eli Pariser, The Filter Bubble: What the
Internet Is Hiding from You (New York: Penguin Press, 2011), 9–15.
[8]
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (New York: Columbia University
Press, 2009), 57–62.
[9]
Stuart Hall, Cultural Studies 1983: A
Theoretical History, ed. Jennifer Daryl Slack (Durham: Duke University
Press, 2016), 114–118.
[10]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and
Development (London: Zed Books, 1989), 45–47.
[11]
UNESCO, Investing in Cultural Diversity and
Intercultural Dialogue (Paris: UNESCO Publishing, 2009), 14–15.
8.
Penutup
Kajian terhadap kebudayaan dalam perspektif
multidisipliner menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah entitas yang statis,
melainkan sistem dinamis yang membentuk dan dibentuk oleh relasi sosial,
simbolik, ekonomi, dan politik. Kebudayaan hadir dalam nilai dan norma yang
diinternalisasi oleh individu, diwujudkan dalam praktik sosial, diwariskan
lintas generasi, dan terus berubah mengikuti arus sejarah dan tantangan
global.¹ Dengan kata lain, kebudayaan adalah medan artikulasi makna—di mana
identitas, kekuasaan, dan representasi dipertarungkan dan dinegosiasikan.
Melalui pembahasan ini, terlihat bahwa nilai dan
norma budaya menjadi fondasi yang membentuk struktur sosial, mengatur perilaku
kolektif, dan menjaga kesinambungan komunitas. Praktik sosial menjadi wujud
konkret dari kebudayaan yang mengekspresikan gagasan, tradisi, serta kekuatan
simbolik yang membentuk jalinan kehidupan bersama.² Sementara itu, proses
pewarisan budaya tidak hanya terjadi secara linier, tetapi juga melibatkan
adaptasi, resistensi, dan inovasi yang mencerminkan dinamika internal
masyarakat serta pengaruh eksternal dari globalisasi dan digitalisasi.³
Identitas sosial yang terbentuk dari interaksi
budaya mencerminkan keberagaman cara pandang, sistem nilai, dan ekspresi diri
manusia dalam ruang sosial. Etnisitas, agama, gender, dan nasionalitas tidak
hanya menjadi kategori identitas, tetapi juga penanda perbedaan budaya yang
perlu dikelola secara adil dan inklusif.⁴ Dalam konteks ini, kebudayaan menjadi
sarana penting untuk membangun kesadaran multikultural yang saling menghormati
dan mendorong solidaritas lintas perbedaan.
Namun, tantangan abad ke-21 memaksa studi
kebudayaan untuk terus memperbarui pendekatannya. Globalisasi, komodifikasi
budaya, politik identitas, dan revolusi digital menuntut analisis yang tidak
hanya bersifat teoritis, tetapi juga reflektif dan praksis. Kajian budaya masa
depan harus mampu menjadi jembatan antara akademisi, pembuat kebijakan, dan
komunitas masyarakat untuk merancang strategi kebudayaan yang adil,
berkelanjutan, dan memberdayakan.⁵
Akhirnya, pemahaman yang mendalam tentang
kebudayaan membuka jalan bagi penciptaan masyarakat yang lebih inklusif,
kritis, dan manusiawi. Sebab di dalam kebudayaan—dalam narasi, simbol, dan
tindakan sosial yang diwariskan dan dimodifikasi—tercermin upaya manusia untuk
memahami dirinya sendiri, orang lain, dan dunia tempat ia hidup.
Footnotes
[1]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures:
Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 89–90.
[2]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice,
trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72–74.
[3]
William A. Haviland, Cultural Anthropology,
12th ed. (Belmont: Wadsworth, 2005), 42–45.
[4]
Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,”
dalam Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford
(London: Lawrence & Wishart, 1990), 222–225.
[5]
Chris Barker, Cultural Studies: Theory and
Practice, 5th ed. (London: Sage Publications, 2016), 376–378.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (1983). Imagined communities:
Reflections on the origin and spread of nationalism. Verso.
Appadurai, A. (1996). Modernity at large:
Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.
Barth, F. (Ed.). (1969). Ethnic groups and
boundaries: The social organization of culture difference. Little, Brown.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The
social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge.
Anchor Books.
Bhabha, H. K. (1994). The location of culture.
Routledge.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of
practice (R. Nice, Trans.). Cambridge University Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Castells, M. (2010). The rise of the network
society (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Durkheim, E. (1995). The elementary forms of
religious life (K. E. Fields, Trans.). Free Press.
Ferraro, G. P., & Andreatta, S. (2010). Cultural
anthropology: An applied perspective (10th ed.). Wadsworth.
Fraser, N. (2009). Scales of justice:
Reimagining political space in a globalizing world. Columbia University
Press.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures: Selected essays. Basic Books.
Giddens, A. (2009). Sociology (7th ed.).
Polity Press.
Goody, J. (1983). The development of the family
and marriage in Europe. Cambridge University Press.
Hall, S. (1980). Encoding/decoding. In S. Hall, D.
Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, media, language (pp.
128–138). Routledge.
Hall, S. (1990). Cultural identity and diaspora. In
J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture, difference (pp.
222–237). Lawrence & Wishart.
Hall, S. (2016). Cultural studies 1983: A
theoretical history (J. D. Slack, Ed.). Duke University Press.
Haviland, W. A. (2005). Cultural anthropology
(12th ed.). Wadsworth.
Henslin, J. M. (2014). Essentials of sociology:
A down-to-earth approach (11th ed.). Pearson.
Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where
old and new media collide. NYU Press.
Klein, N. (2002). No logo: Taking aim at the
brand bullies. Picador.
Kluckhohn, C. (1951). Values and value-orientations
in the theory of action. In T. Parsons & E. A. Shils (Eds.), Toward a
general theory of action (pp. 395–433). Harvard University Press.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu
antropologi. Rineka Cipta.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship:
A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.
Linton, R. (1936). The study of man: An
introduction. Appleton-Century-Crofts.
Ogburn, W. F. (1922). Social change with respect
to culture and original nature. B.W. Huebsch.
Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the
internet is hiding from you. Penguin Press.
Parsons, T., & Shils, E. A. (Eds.). (1951). Toward
a general theory of action. Harvard University Press.
Ritzer, G. (1975). Sociology: A multiple
paradigm science. Allyn and Bacon.
Ritzer, G. (2015). The McDonaldization of
society (8th ed.). SAGE Publications.
Ritzer, G. (2015). Globalization: The essentials
(2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Said, E. W. (1994). Culture and imperialism.
Vintage Books.
Sapir, E. (1921). Language: An introduction to
the study of speech. Harcourt, Brace.
Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology
and development. Zed Books.
Smith, A. D. (1991). National identity.
Penguin.
Turner, B. S. (2011). Religion and modern
society: Citizenship, secularisation and the state. Cambridge University
Press.
Turner, V. (1969). The ritual process: Structure
and anti-structure. Aldine.
UNESCO. (2009). Investing in cultural diversity
and intercultural dialogue. UNESCO Publishing.
Williams, R. (1983). Culture and society:
1780–1950. Columbia University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar