Senin, 28 April 2025

Hermeneutika Klasik: Telaah Historis atas Tradisi Interpretasi Barat

Hermeneutika Klasik

Telaah Historis atas Tradisi Interpretasi Barat


Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif tentang hermeneutika klasik sebagai fondasi historis dan metodologis dari praktik penafsiran teks, terutama dalam tradisi filologis dan teologis. Dengan pendekatan historis-komparatif dan analisis konseptual, artikel ini menelusuri asal-usul hermeneutika klasik dari filsafat Yunani kuno, kontribusi tokoh-tokoh utama seperti Origenes, Agustinus, dan Thomas Aquinas dalam Kristen, serta al-Ṭabarī, al-Rāzī, dan Ibn ‘Arabī dalam Islam. Artikel ini juga mengurai prinsip-prinsip dasar hermeneutika klasik seperti pendekatan literal, gramatikal, kontekstual, serta otoritas tradisi, serta menjelaskan bagaimana pendekatan klasik memberikan kontribusi terhadap stabilitas makna, keilmuan filologis, dan kesatuan epistemologis dalam studi teks suci maupun karya sastra klasik. Peralihan menuju hermeneutika modern dibahas sebagai transformasi paradigma, namun bukan sebagai pemutusan total. Dalam konteks keilmuan kontemporer, hermeneutika klasik tetap relevan sebagai model interpretasi yang terstruktur, etis, dan berbasis tradisi—menawarkan keseimbangan antara rasionalitas, spiritualitas, dan warisan keilmuan. Dengan demikian, artikel ini menegaskan pentingnya revitalisasi pendekatan klasik dalam studi teks keagamaan dan humaniora modern.

Kata Kunci: Hermeneutika Klasik; Tafsir Teks; Tradisi Filologis; Otoritas Makna; Penafsiran Keagamaan; Teologi; Filsafat Yunani; Tradisi Islam; Interpretasi Kitab Suci; Epistemologi Tradisional.


PEMBAHASAN

Hermeneutika Klasik dalam Lintasan Sejarah Pemikiran


1.           Pendahuluan

Hermeneutika klasik merupakan fondasi dari seluruh tradisi penafsiran teks yang berkembang di Barat maupun Timur, khususnya dalam lingkup filologi dan teologi. Sebelum menjadi suatu disiplin filsafat interpretatif seperti yang dikenal dalam pemikiran kontemporer, hermeneutika awalnya berfungsi sebagai seperangkat aturan dan kaidah dalam memahami makna teks-teks otoritatif, terutama teks-teks suci dan karya sastra klasik. Dalam konteks ini, hermeneutika klasik mengakar pada kebutuhan praktis dan normatif untuk membakukan metode penafsiran yang sahih terhadap teks yang dianggap sebagai representasi kebenaran ilahi atau kearifan tradisional yang luhur1.

Etimologisnya, istilah "hermeneutika" berasal dari bahasa Yunani hermēneuein yang berarti "menafsirkan" atau "menerangkan," serta kata benda hermēneia yang berarti "interpretasi" atau "penjelasan." Kata ini berakar dari mitologi Yunani yang mengacu pada dewa Hermes, sang pembawa pesan para dewa yang bertugas menyampaikan dan menafsirkan kehendak ilahi kepada manusia2. Dalam ranah filsafat Yunani, hermeneutika telah muncul secara implisit dalam pemikiran Plato dan Aristoteles, terutama dalam diskursus mengenai bahasa, makna, dan kebenaran. Namun, sebagai sistem metodologis, hermeneutika berkembang secara eksplisit dalam tradisi penafsiran teks-teks keagamaan, baik dalam konteks Kristen Latin maupun dalam dunia Islam klasik3.

Pada masa patristik dan Abad Pertengahan, hermeneutika berkembang melalui integrasi antara prinsip-prinsip retorika klasik dan teologi sistematik. Para teolog seperti Origenes dan Agustinus memberikan kontribusi besar dalam membangun teori interpretasi spiritual yang membedakan antara makna literal (sensus litteralis) dan makna alegoris atau anagogis dalam teks-teks Kitab Suci4. Di sisi lain, dalam tradisi Islam, hermeneutika klasik berkembang dalam bentuk disiplin ‘ulūm al-tafsīr dan uṣūl al-fiqh, yang memadukan pendekatan linguistik, kontekstual, dan teologis dalam menafsirkan Al-Qur'an dan Hadis5.

Perkembangan hermeneutika klasik bukan sekadar respons terhadap kompleksitas bahasa dan struktur teks, tetapi juga terhadap otoritas makna dan legitimasi penafsiran. Dalam konteks ini, hermeneutika klasik berupaya menjawab dua pertanyaan besar: (1) Bagaimana kita memahami teks yang berasal dari masa lalu, terutama teks yang bersifat sakral atau normatif? (2) Siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan teks tersebut secara sahih? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan hermeneutika tidak hanya sebagai metode gramatikal dan retoris, melainkan sebagai arena epistemologis dan ideologis di mana makna, kuasa, dan kebenaran dipertarungkan6.

Dengan demikian, kajian hermeneutika klasik merupakan langkah penting dalam memahami akar-akar metodologi penafsiran teks yang masih berpengaruh dalam tradisi keilmuan hingga saat ini. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri asal-usul, perkembangan historis, prinsip-prinsip metodologis, serta relevansi kontemporer dari hermeneutika klasik, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Melalui pendekatan historis-komparatif dan analisis konseptual, diharapkan artikel ini dapat memperkaya pemahaman tentang landasan filosofis penafsiran dalam kerangka teologi, filologi, dan budaya intelektual dunia klasik.


Footnotes

[1]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 11.

[2]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 4.

[3]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 3–6.

[4]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 38–45.

[5]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 1–18.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 276–278.


2.           Definisi dan Ruang Lingkup Hermeneutika Klasik

Hermeneutika klasik secara umum dapat dipahami sebagai seni dan kaidah interpretasi teks, terutama teks-teks otoritatif yang bersifat keagamaan, hukum, dan sastra klasik. Dalam konteks historisnya, hermeneutika klasik bukanlah suatu teori filsafat interpretasi seperti dalam hermeneutika modern, melainkan lebih bersifat teknis dan normatif, yang ditujukan untuk membakukan cara memahami makna asli dari suatu teks sebagaimana dimaksud oleh penulisnya, khususnya dalam konteks bahasa, struktur, dan situasi historis tempat teks itu lahir1.

Etimologi kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani hermēneuein (ἐρμηνεύειν), yang berarti “menafsirkan” atau “menerangkan,” dan hermēneia (ἑρμηνεία), yang berarti “penafsiran” atau “terjemahan.” Kata ini erat kaitannya dengan figur mitologis Hermes, dewa pembawa pesan yang menjembatani dunia ilahi dan manusia, sehingga secara simbolik hermeneutika dipahami sebagai proses mediasi antara pesan transenden dan pemahaman manusiawi2. Dalam tradisi filsafat klasik, Aristoteles menggunakan istilah hermēneia dalam karyanya Peri Hermeneias (De Interpretatione) untuk membahas proposisi dan relasi antara bahasa dan logika, meskipun belum dalam pengertian metodologis seperti hermeneutika modern3.

Ruang lingkup hermeneutika klasik sangat erat kaitannya dengan konteks keagamaan dan filologis. Dalam lingkungan Kristen awal hingga Abad Pertengahan, hermeneutika digunakan secara sistematis dalam menafsirkan Kitab Suci. Para Bapa Gereja seperti Origenes dan Agustinus mengembangkan prinsip penafsiran berlapis, seperti literal (sensus litteralis), alegoris, moral (tropologis), dan anagogis, yang mencerminkan pemahaman bahwa teks suci menyimpan beragam tingkatan makna yang hanya dapat diakses melalui bimbingan spiritual dan kaidah penafsiran yang tepat4. Model ini juga menjadi dasar dalam teologi skolastik, terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas yang membedakan antara makna literal dan makna spiritual dengan struktur logika yang sistematik5.

Dalam dunia Islam klasik, meskipun tidak menggunakan istilah “hermeneutika,” terdapat praktik serupa dalam disiplin ‘ulūm al-tafsīr dan uṣūl al-fiqh. Para mufassir seperti al-Ṭabarī menekankan pentingnya konteks linguistik dan riwayat dalam memahami makna Al-Qur’an, sementara al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī membahas secara lebih sistematis aspek-aspek epistemologis dari penafsiran, seperti makna zhāhir dan bāthin, serta peran akal dalam memahami teks ilahi6. Ini menunjukkan bahwa meskipun istilahnya berbeda, semangat metodologis hermeneutika klasik juga hadir kuat dalam peradaban Islam.

Ciri utama hermeneutika klasik adalah fokusnya pada intensionalitas pengarang dan otoritas teks. Penafsiran dianggap sah jika mampu mengungkap makna sebagaimana dimaksud oleh penulis asli (authorial intent), bukan berdasarkan tafsir pembaca seperti dalam hermeneutika kontemporer. Oleh karena itu, hermeneutika klasik sering kali bersifat restriktif dan otoritatif, bergantung pada kerangka tradisi dan institusi keilmuan yang diakui, seperti gereja dalam Kristen atau ulama dan madrasah dalam Islam7.

Dengan demikian, definisi dan ruang lingkup hermeneutika klasik meliputi metodologi interpretasi tekstual yang berakar pada prinsip kebahasaan, historisitas, dan otoritas, dengan orientasi utama pada makna asli dan keteraturan pemahaman. Meskipun belum berkembang sebagai refleksi filsafat interpretasi, kerangka klasik ini meletakkan fondasi penting bagi munculnya hermeneutika modern yang lebih reflektif dan filosofis.


Footnotes

[1]                Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics: The Theory and Practice of Transforming Biblical Reading (Grand Rapids: Zondervan, 1992), 80–81.

[2]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 3–5.

[3]                Aristotle, On Interpretation (Peri Hermeneias), trans. E. M. Edghill, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 40–58.

[4]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 37–52.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.

[6]                Al-Ghazālī, Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Muhammad ‘Abd al-Salām ‘Abd al-Shāfī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 67–79; Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1997), vol. 1.

[7]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 7–10.


3.           Asal-Usul dan Akar Historis Hermeneutika

Asal-usul hermeneutika klasik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan intelektual dunia Yunani Kuno, khususnya dari ranah filsafat, retorika, dan praktik penafsiran mitos maupun puisi epik. Dalam fase awal ini, hermeneutika belum menjadi disiplin otonom, melainkan berperan sebagai bagian dari kajian linguistik dan logika yang berkaitan dengan pemahaman makna ujaran atau teks. Akar filosofisnya ditemukan dalam pemikiran Heraclitus, yang menekankan pentingnya proses pemahaman terhadap logos yang senantiasa tersembunyi dan ambigu. Pandangan ini kelak menjadi landasan bagi pemikiran hermeneutis tentang kompleksitas makna1.

Plato mengembangkan isu ini lebih lanjut dalam Cratylus dan Ion, terutama ketika membahas relasi antara nama dan hakikat benda, serta otoritas para rhapsode dalam menafsirkan puisi Homerik. Bagi Plato, makna sejati berasal dari dunia ide, dan bahasa hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, penafsiran harus diarahkan untuk menyingkap kebenaran metafisis di balik kata-kata yang tampak2. Sebaliknya, Aristoteles dalam Peri Hermeneias (On Interpretation) lebih menekankan pada aspek logika dan struktur bahasa. Ia merumuskan teori proposisi yang menjadi dasar logika formal dan teori tanda, yang kelak sangat memengaruhi pemikiran skolastik dan pendekatan literal dalam hermeneutika kitab suci3.

Tradisi penafsiran dalam dunia Helenistik berkembang dalam bentuk alegorese, yaitu metode penafsiran alegoris terhadap teks-teks mitologi dan sastra klasik. Tokoh seperti Philo dari Alexandria (20 SM–50 M) menjadi penghubung penting antara pemikiran Yunani dan penafsiran teks-teks suci dalam tradisi Yahudi. Philo menggunakan metode alegoris untuk menafsirkan Taurat sebagai ungkapan filsafat Yunani yang terselubung, sehingga memadukan simbolisme agama dengan prinsip rasionalisme Yunani4.

Dalam ranah Kristen awal, Origenes (w. ca. 254 M) meneruskan pendekatan alegoris Philo dan menerapkannya pada Kitab Suci Kristen. Ia membedakan antara makna literal, moral, dan spiritual, yang kelak dikembangkan lebih sistematis oleh Agustinus dan teolog-teolog patristik. Agustinus, dalam De Doctrina Christiana, menggarisbawahi pentingnya cinta kasih (caritas) sebagai prinsip hermeneutik yang mendasari seluruh penafsiran teks suci, dengan pembedaan antara signum (tanda) dan res (realitas yang ditandai)5.

Abad Pertengahan menjadi periode di mana hermeneutika berasimilasi dengan sistem skolastik dalam Gereja Katolik. Para pemikir seperti Thomas Aquinas mengintegrasikan prinsip-prinsip Aristotelian dalam penafsiran kitab suci, dan mempertahankan struktur makna empat lapis: literal, alegoris, tropologis (etik), dan anagogis (eskatologis). Model ini menjadi standar penafsiran teks religius selama berabad-abad dan membentuk kerangka normatif dalam pendidikan teologi dan retorika gerejawi6.

Dalam dunia Islam, meskipun istilah "hermeneutika" tidak dikenal secara terminologis, tradisi penafsiran berkembang pesat sejak masa klasik. Mufassir seperti Ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 923 M) dan al-Zamakhsharī (w. 1144 M) menyusun tafsir berdasarkan kaidah gramatikal, kontekstual, dan riwayat. Sementara itu, pendekatan filosofis dan batini ditawarkan oleh tokoh seperti al-Ghazālī dan Ibn ‘Arabī, yang mengembangkan dimensi spiritual dan esoterik dalam pemaknaan teks wahyu. Diskursus ini menunjukkan bahwa praktik hermeneutis dalam Islam telah mapan dan kompleks jauh sebelum istilah “hermeneutika” diperkenalkan dalam filsafat Barat modern7.

Dengan demikian, akar historis hermeneutika klasik sangat luas dan multidimensi, mencakup interaksi antara pemikiran filsafat, kebudayaan literer, serta kebutuhan teologis untuk menjaga otoritas makna teks. Hermeneutika klasik bukan hanya lahir dari dunia intelektual Barat, tetapi juga memiliki padanan metodologis dalam dunia Islam dan agama-agama besar lain yang menekankan pentingnya penafsiran otoritatif terhadap teks suci.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 159–161.

[2]                Plato, Cratylus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato, vol. 1 (New York: Scribner, 1871), 389–427.

[3]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 40–58.

[4]                David T. Runia, Philo of Alexandria and the Timaeus of Plato (Leiden: Brill, 1986), 102–104.

[5]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 60–79.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.

[7]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 17–33; Walid A. Saleh, “The Etymological Fallacy and Qur’anic Studies: Muhammad, Paradise, and Late Antiquity,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 30 (2005): 167–192.


4.           Hermeneutika dalam Tradisi Patristik dan Abad Pertengahan

Tradisi Patristik dan Abad Pertengahan merupakan periode kunci dalam perkembangan hermeneutika klasik, khususnya dalam kerangka penafsiran kitab suci Kristen. Dalam periode ini, hermeneutika tidak sekadar menjadi aktivitas intelektual, tetapi berfungsi sebagai instrumen utama dalam mendalami wahyu ilahi yang dipercayai mengandung makna-makna transendental, multilevel, dan bersifat normatif. Para Bapa Gereja (Fathers of the Church) dan teolog skolastik berupaya merumuskan prinsip-prinsip penafsiran yang sahih untuk memahami teks suci dengan landasan doktrin yang ortodoks dan otoritatif.

4.1.       Model Alegoris dalam Tradisi Patristik

Pada masa Patristik (± abad ke-2 hingga ke-5 M), metode penafsiran alegoris menjadi sangat dominan. Hermeneutika alegoris bertujuan menyingkap makna tersembunyi (spiritual) di balik teks literal yang sering kali dianggap mengandung keterbatasan linguistik dan historis. Origenes dari Alexandria (185–254 M) merupakan tokoh sentral dalam model ini. Ia mengembangkan skema tiga lapis makna: literal (tubuh teks), moral (jiwa teks), dan spiritual/anagogis (roh teks), yang mencerminkan struktur tubuh-jiwa-roh dalam antropologi Kristen awal1.

Origen meyakini bahwa tidak semua bagian Alkitab dapat dipahami secara harfiah. Sebaliknya, banyak teks dirancang untuk memotivasi penafsiran alegoris guna mengungkap kedalaman makna ilahi. Ia menulis, “Hal-hal yang tampaknya mustahil atau tidak rasional dalam teks justru menantang pembaca untuk mencari makna rohaninya”2. Metode ini diteruskan dan disistematisasi oleh Agustinus (354–430 M), yang dalam De Doctrina Christiana menekankan pentingnya prinsip kasih (caritas) sebagai pedoman penafsiran yang benar dan membedakan antara tanda (signa) dan hal yang ditandai (res)3.

4.2.       Empat Lapisan Makna: Skema Kuadripartit

Tradisi Patristik berkembang lebih lanjut dalam Abad Pertengahan dengan munculnya skema empat lapisan makna (quadruplex sensus scripturae), yaitu:

1)                  Literal (sensus litteralis) – makna faktual dan historis dari teks.

2)                  Alegoris (sensus allegoricus) – makna teologis yang menunjuk kepada Kristus dan Gereja.

3)                  Moral/Tropologis (sensus tropologicus) – ajaran etis untuk perilaku manusia.

4)                  Anagogis (sensus anagogicus) – makna eskatologis yang menunjuk pada kehidupan akhirat4.

Skema ini memungkinkan pembacaan teks yang bersifat kompleks, berlapis, dan teosentris. Penafsiran literal tetap dipertahankan sebagai dasar, tetapi tidak mencukupi tanpa pembacaan rohaniah. Metode ini mencerminkan pandangan bahwa teks suci adalah ciptaan ilahi yang tidak dapat dipahami secara reduktif.

4.3.       Hermeneutika Skolastik dan Sistematisasi Abad Pertengahan

Pada Abad Pertengahan (± abad ke-11 hingga ke-14 M), hermeneutika mengalami sistematisasi lebih lanjut dalam kerangka skolastik, khususnya di bawah pengaruh filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas (1225–1274) menjadi figur utama yang mengintegrasikan logika Aristotelian dan teologi Augustinian dalam struktur penafsiran Kitab Suci. Dalam Summa Theologica, Aquinas menegaskan bahwa makna literal tetap yang utama karena menjadi dasar seluruh makna spiritual. Ia menulis, “Semua makna suci didasarkan pada makna literal”_5.

Meskipun mempertahankan otoritas gereja sebagai penafsir sah Alkitab, Aquinas membuka ruang bagi metode rasional dan sistematis dalam memahami teks, seperti penggunaan logika, definisi konseptual, dan analisis gramatikal. Hal ini mencerminkan sintesis antara iman dan akal (fides et ratio), yang menjadi ciri khas hermeneutika skolastik.

Hermeneutika dalam era ini juga sangat dipengaruhi oleh konteks institusional, yakni universitas dan gereja. Penafsiran bukan hanya urusan individu, tetapi bagian dari otoritas epistemologis yang dilembagakan. Tradisi ini berlangsung hingga Reformasi Protestan, ketika Martin Luther mulai mempertanyakan otoritas institusional dalam menafsirkan Alkitab.

4.4.       Komparasi dengan Tradisi Islam Klasik

Dalam tradisi Islam pada periode yang sama, terjadi perkembangan paralel dalam bidang tafsīr dan uṣūl al-fiqh. Ulama seperti al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī mengembangkan metode interpretasi berbasis maqāṣid (tujuan hukum) dan ta’wīl (pemaknaan mendalam), serta mengadopsi kerangka logika dalam mendekati teks wahyu. Ini menunjukkan bahwa hermeneutika klasik memiliki spektrum luas yang melampaui batas agama dan bahasa, sekaligus mencerminkan dinamika hubungan antara wahyu, rasionalitas, dan institusi ilmiah6.


Footnotes

[1]                Henri de Lubac, Medieval Exegesis: The Four Senses of Scripture, vol. 1, trans. Mark Sebanc (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 109–111.

[2]                Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (Gloucester, MA: Peter Smith, 1973), 286.

[3]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 60–66.

[4]                Beryl Smalley, The Study of the Bible in the Middle Ages (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1964), 29–35.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.

[6]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 117–125; Al-Ghazālī, Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Muhammad ‘Abd al-Salām ‘Abd al-Shāfī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 88–102.


5.           Hermeneutika dalam Dunia Islam Klasik (Komparatif)

Meskipun istilah “hermeneutika” tidak muncul secara eksplisit dalam tradisi keilmuan Islam klasik, praktik-praktik yang sejajar secara metodologis dengan hermeneutika telah berkembang sangat sistematis dan luas dalam bentuk tafsir (penafsiran Al-Qur’an), ta’wil (pemaknaan esoterik), serta uṣūl al-fiqh (prinsip-prinsip penalaran hukum). Ketiga disiplin tersebut menunjukkan bahwa dalam peradaban Islam, penafsiran terhadap teks wahyu tidak hanya merupakan persoalan kebahasaan, tetapi juga menyangkut kerangka epistemologis, ontologis, dan spiritual.

5.1.       Pendekatan Bayani, Burhani, dan ‘Irfani

Dalam kerangka filsafat Islam, pemikiran klasik sering mengkategorikan pendekatan terhadap teks menjadi tiga bentuk utama sebagaimana dipaparkan oleh al-Jābirī: bayani (tekstual-gramatikal), burhani (rasional-logis), dan ‘irfani (intuisi-spiritual)1. Pendekatan bayani menjadi dasar bagi para mufassir seperti al-Ṭabarī (w. 923 M) yang menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks bahasa Arab klasik, sabab al-nuzūl (sebab turunnya ayat), serta riwayat dari Rasul dan sahabat dalam menyusun tafsīr bi al-ma’tsūr2. Tafsir jenis ini bersifat otoritatif karena bersandar pada tradisi (naql) dan menghindari spekulasi yang tidak berdasar.

Sementara itu, pendekatan burhani menampakkan dirinya dalam karya-karya seperti milik Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M) yang menggunakan logika dan filsafat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Karyanya Mafātīḥ al-Ghayb (Tafsir al-Kabīr) adalah contoh monumental yang memadukan rasionalitas logis dengan nuansa teologis yang mendalam, sering kali melibatkan kritik atas pandangan-pandangan mutakallimūn dan filsuf sebelumnya3. Pendekatan ini sejajar dengan hermeneutika skolastik dalam Kristen yang mengintegrasikan logika Aristotelian.

Adapun pendekatan ‘irfani berkembang dalam kalangan sufistik dan filosof mistik seperti Ibn ‘Arabī (w. 1240 M), yang meyakini bahwa teks wahyu memiliki dimensi bāthin (batin/esoterik) yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh orang yang telah mengalami pembersihan spiritual dan kāshf (penyingkapan ruhani). Dalam hermeneutika ‘irfani, teks adalah simbol dari realitas ilahi yang lebih tinggi, dan pemahamannya harus melibatkan aspek pengalaman rohani yang melampaui nalar diskursif4.

5.2.       Prinsip-Prinsip Penafsiran dalam Tafsir Klasik

Tradisi tafsir klasik dalam Islam menetapkan sejumlah prinsip hermeneutis yang mencerminkan keteraturan metodologis tinggi. Di antaranya:

·                     Isti‘māl al-lughah (penggunaan bahasa Arab): karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka pemahaman terhadap morfologi, sintaksis, dan balāghah menjadi syarat utama.

·                     Asbāb al-nuzūl: konteks turunnya ayat menjadi penentu makna spesifik.

·                     Al-Qur’ān yufassiru ba‘ḍuhu ba‘ḍan: prinsip bahwa sebagian ayat menafsirkan sebagian lainnya (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an).

·                     Tafsir dengan Sunnah dan Ijmā‘: menggunakan hadis yang sahih serta kesepakatan ulama sebagai dasar interpretasi5.

Ini sejalan dengan semangat hermeneutika klasik di Barat yang juga menekankan pentingnya konteks historis, otoritas tradisi, dan kesinambungan makna.

5.3.       Ta’wil: Dari Penalaran Teologis hingga Pemaknaan Mistis

Ta’wil dalam tradisi Islam klasik mengandung dua arus besar: pertama, ta’wil teologis yang berkembang di kalangan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah; kedua, ta’wil sufistik yang berkembang dalam literatur esoterik. Dalam tradisi rasionalis seperti Mu‘tazilah, ta’wil digunakan untuk menyesuaikan makna literal teks dengan prinsip akal dan keadilan Tuhan. Misalnya, ayat-ayat tentang sifat-sifat Tuhan yang bersifat antropomorfis ditakwil agar sesuai dengan doktrin tanzīh (penyucian Tuhan dari kemiripan dengan makhluk)6.

Sementara itu, dalam pemikiran Ibn ‘Arabī dan Jalāl al-Dīn al-Rūmī, ta’wil menjadi media untuk mengeksplorasi simbolisme spiritual yang tersembunyi dalam teks. Metode ini dekat dengan hermeneutika eksistensial dalam filsafat Barat, di mana pemahaman teks berkaitan erat dengan transformasi eksistensi subjek pembaca.

5.4.       Komparasi dengan Hermeneutika Kristen

Dalam perspektif komparatif, dapat dicatat bahwa baik tradisi tafsir Islam maupun hermeneutika Kristen klasik memiliki struktur yang paralel. Keduanya mengembangkan prinsip multi-layered meaning, menekankan pentingnya tradisi dan otoritas penafsiran, serta memiliki dinamika internal antara pendekatan literal, rasional, dan spiritual. Yang membedakan keduanya adalah bentuk institusional dan epistemologisnya: tafsir Islam berkembang dalam kerangka madrasah dan otoritas ijmā‘, sedangkan hermeneutika Kristen berada dalam struktur gereja dan otoritas magisterium.


Footnotes

[1]                Muhammad Abed al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1991), 27–45.

[2]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Mahmud Muhammad Syakir (Beirut: Dār al-Fikr, 2000), vol. 1, 25–32.

[3]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1997), vol. 1, 35–42.

[4]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 119–128.

[5]                Musthafa al-Zarqā, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Damaskus: Dār al-Qalam, 1998), 69–73.

[6]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 1 (Berlin: Walter de Gruyter, 1991), 344–350.


6.           Prinsip-Prinsip dan Kaidah Penafsiran Klasik

Hermeneutika klasik, baik dalam tradisi Kristen maupun Islam, berlandaskan pada seperangkat prinsip dan kaidah yang dirancang untuk menjaga integritas makna teks, terutama teks-teks suci yang dianggap memiliki otoritas normatif dan kebenaran transenden. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai panduan metodologis bagi para penafsir agar tidak menyimpang dari maksud pengarang (authorial intent), serta mempertahankan kesinambungan antara teks, tradisi, dan komunitas penafsir. Kaidah-kaidah tersebut menekankan pada aspek linguistik, historis, kontekstual, serta spiritual dari teks.

6.1.       Kaidah Gramatikal dan Semantik

Salah satu prinsip utama dalam hermeneutika klasik adalah pendekatan gramatikal, yang bertujuan menelusuri makna literal dari teks berdasarkan struktur bahasa. Dalam tradisi Kristen, ini tercermin dalam upaya para Bapa Gereja dan teolog skolastik memahami teks Alkitab dalam bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani) sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Latin atau vernakular. Agustinus menekankan pentingnya penguasaan tata bahasa dan sintaksis dalam memahami makna literal Kitab Suci sebelum menyelami makna alegoris atau spiritualnya1.

Dalam tradisi Islam, prinsip serupa diterapkan melalui ilmu nahw (sintaksis), ṣarf (morfologi), dan balāghah (retorika). Para mufassir klasik seperti al-Zamakhsharī dalam al-Kashshāf menggunakan pendekatan linguistik secara mendalam untuk menyingkap aspek semantik dan keindahan retoris dalam Al-Qur’an. Penguasaan terhadap varian makna (musytarak), ambiguitas (mujmal), dan kata yang memiliki banyak arti (mutashābih) dianggap penting dalam menentukan maksud ilahi2.

6.2.       Kaidah Kontekstual-Historis

Kaidah ini mengharuskan penafsir memperhatikan konteks sejarah dan situasi komunikasi ketika teks diturunkan atau ditulis. Dalam hermeneutika Kristen, prinsip ini disebut sensus litteralis historicus, yakni makna literal yang dipahami dalam konteks sejarah konkret. Thomas Aquinas menyatakan bahwa pengabaian terhadap latar historis dapat mengakibatkan penyimpangan dalam penafsiran, terutama dalam memahami nubuat atau simbol dalam Kitab Suci3.

Dalam tafsir Islam, prinsip ini dikenal dengan asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat) dan maqām al-khiṭāb (situasi komunikasi wahyu). Al-Suyūṭī dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan bahwa mengenali latar belakang sosial, politik, atau personal dari ayat sangat penting untuk membedakan antara makna universal dan partikular4. Konteks historis ini juga menentukan apakah suatu ayat bersifat muḥkam (tegas) atau mutashābih (ambigu), serta aplikabilitasnya dalam hukum atau etika.

6.3.       Prinsip Konsistensi dan Kesatuan Teks

Hermeneutika klasik juga menjunjung prinsip kesatuan dan koherensi teks. Dalam teologi Kristen, terdapat keyakinan bahwa seluruh Kitab Suci merupakan satu kesatuan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Oleh karena itu, ayat-ayat yang tampak kontradiktif harus ditafsirkan dalam terang keseluruhan wahyu. Agustinus menulis, “Scripture interprets Scripture”, yang berarti bahwa bagian-bagian Kitab harus saling menjelaskan5.

Prinsip ini sebanding dengan kaidah dalam tafsir Al-Qur’an: al-Qur’ān yufassiru ba‘ḍuhu ba‘ḍan (“sebagian ayat menafsirkan sebagian lainnya”). Para mufassir seperti Ibn Kathīr banyak menggunakan pendekatan ini dalam menjelaskan ayat-ayat yang kompleks dengan merujuk pada ayat-ayat lain yang lebih jelas atau terkait secara tematik6.

6.4.       Prinsip Otoritas dan Tradisi

Dalam hermeneutika klasik, otoritas tafsir tidak diberikan kepada siapa pun secara bebas. Penafsiran yang sah harus tunduk pada kerangka otoritas tradisi, baik itu magisterium gereja dalam Kristen maupun ijmā‘ (konsensus ulama) dalam Islam. Dalam Gereja Katolik, penafsiran Kitab Suci yang menyimpang dari ajaran gereja dianggap sesat. Oleh karena itu, tafsir-teolog seperti Aquinas dan Anselmus menempatkan diri mereka dalam tradisi eksegesis patristik dan ajaran resmi Gereja7.

Dalam Islam, penafsiran teks wahyu diikat oleh metodologi uṣūl al-fiqh dan disaring melalui tradisi keilmuan yang ketat. Munculnya madzhab dalam hukum Islam merupakan wujud konkret dari pembakuan otoritas dalam penafsiran. Kaidah-kaidah seperti lā ijtihāda ma‘a naṣṣ (tidak boleh berijtihad jika teks eksplisit) atau ijtihād fī mawḍi‘ al-nuṣūṣ al-ẓanniyyah (ijtihad dibolehkan dalam teks yang tidak qath‘i) menegaskan ruang dan batasan dalam interpretasi8.

6.5.       Prinsip Teleologis dan Etis

Hermeneutika klasik juga mengandung dimensi tujuan (teleologi) dan etika, yaitu bahwa penafsiran harus membawa manusia pada kebaikan, kebijaksanaan, dan ketundukan kepada kebenaran ilahi. Dalam De Doctrina Christiana, Agustinus menyatakan bahwa interpretasi yang menghasilkan cinta kepada Allah dan sesama adalah interpretasi yang sah9. Demikian pula dalam tafsir sufistik Islam, makna sejati dari teks tidak hanya terletak pada struktur semantiknya, tetapi pada transformasi ruhani pembacanya.


Footnotes

[1]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 35–52.

[2]                Al-Zamakhsharī, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq al-Tanzīl, ed. ‘Abd Allāh al-‘Alī al-Khatīb (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 2009), vol. 1, 12–20.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.

[4]                Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2003), vol. 1, 82–85.

[5]                Augustine, On Christian Doctrine, 65.

[6]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sami bin Muhammad Salamah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), vol. 1, 28.

[7]                Brian Stock, Augustine the Reader: Meditation, Self-Knowledge, and the Ethics of Interpretation (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 101–103.

[8]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 104–108.

[9]                Augustine, On Christian Doctrine, 85–86.


7.           Tokoh-Tokoh Kunci Hermeneutika Klasik

Perkembangan hermeneutika klasik sebagai fondasi bagi teori interpretasi dalam tradisi Barat dan Islam tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para pemikir besar yang meletakkan kaidah, prinsip, dan metodologi penafsiran yang sistematis terhadap teks-teks otoritatif. Tokoh-tokoh ini tidak hanya berperan sebagai komentator teks, tetapi juga sebagai arsitek epistemologis yang membentuk tradisi pengetahuan yang berakar dalam pemahaman teks. Beberapa tokoh penting dalam sejarah hermeneutika klasik meliputi figur-figur dari ranah filsafat Yunani, teologi Kristen, serta keilmuan Islam klasik.

7.1.       Agustinus (354–430 M)

Agustinus dari Hippo adalah salah satu bapak gereja Latin yang paling berpengaruh dalam membentuk kerangka hermeneutika Kristen klasik. Dalam karyanya De Doctrina Christiana, Agustinus mengembangkan teori tentang makna literal dan makna spiritual dari Kitab Suci, serta pentingnya niat pengarang dan konteks dalam menentukan makna teks1. Ia juga menggarisbawahi prinsip caritas (kasih) sebagai pedoman moral dan spiritual dalam menafsirkan, dengan keyakinan bahwa interpretasi yang membawa pada kasih kepada Allah dan sesama adalah interpretasi yang benar2.

Agustinus juga memperkenalkan kerangka semiotik awal, dengan membedakan antara signa (tanda) dan res (realitas yang ditunjuk oleh tanda), yang menjadi fondasi penting bagi teori tanda dalam hermeneutika dan semiotika modern3.

7.2.       Origenes (±185–254 M)

Origenes dari Alexandria adalah pionir dalam penafsiran alegoris dalam tradisi Kristen awal. Ia memperkenalkan struktur tiga lapis dalam memahami teks suci: makna literal, makna moral, dan makna spiritual (anagogis), yang sejajar dengan pemahaman tubuh, jiwa, dan roh dalam antropologi Kristen4. Penafsirannya menekankan bahwa teks Alkitab tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa membedakan lapisan-lapisan makna tersebut, terutama karena banyak teks yang tampak aneh, paradoksal, atau mustahil jika dibaca secara harfiah.

Origen juga menjadi model awal bagi pendekatan hermeneutis yang menggabungkan pengetahuan linguistik, retoris, dan spiritual—suatu metode yang kelak memengaruhi tradisi Patristik dan skolastik.

7.3.       Thomas Aquinas (1225–1274 M)

Sebagai teolog dan filsuf skolastik terkemuka, Thomas Aquinas mengintegrasikan pendekatan rasional Aristotelian dengan teologi Kristen dalam Summa Theologica. Ia mempertahankan pentingnya makna literal (sensus litteralis) sebagai dasar dari segala bentuk makna spiritual dalam Kitab Suci5. Bagi Aquinas, semua penafsiran alegoris, moral, dan anagogis harus berpijak pada makna literal yang dapat diverifikasi secara logis dan gramatikal.

Aquinas juga berperan besar dalam sistematisasi metode penafsiran Alkitab di bawah kerangka logika dan analitik. Ia menjadikan hermeneutika sebagai bagian dari struktur epistemologis teologi dan menjembatani nalar serta iman, sebagaimana tercermin dalam semboyannya yang terkenal: fides et ratio (iman dan akal).

7.4.       Ibn Jarīr al-Ṭabarī (839–923 M)

Dalam tradisi Islam, al-Ṭabarī adalah salah satu mufassir awal dan paling berpengaruh. Karyanya Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān dianggap sebagai model awal tafsīr bi al-ma’tsūr, yaitu penafsiran berbasis riwayat sahih dari Nabi, sahabat, dan tabi‘in6. Al-Ṭabarī menekankan pendekatan linguistik dan kontekstual secara sistematis, dan ia menetapkan metode seleksi riwayat berdasarkan validitas sanad dan koherensi semantik.

Keunggulan metodologis al-Ṭabarī terlihat dari komitmennya pada prinsip ijtihād dalam pemilahan makna yang paling sahih di antara berbagai riwayat, serta kecermatannya dalam menjelaskan perbedaan pandangan secara argumentatif tanpa keluar dari bingkai otoritas tradisi.

7.5.       Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149–1209 M)

Fakhr al-Dīn al-Rāzī membawa hermeneutika Islam ke tingkat reflektif yang lebih tinggi. Dalam Mafātīḥ al-Ghayb, ia menafsirkan Al-Qur’an dengan memadukan pendekatan teologis, filosofis, dan logis. Ia tidak hanya menafsirkan ayat, tetapi juga menyisipkan diskursus panjang tentang kosmologi, epistemologi, dan logika, menjadikan tafsirnya sebagai ensiklopedia intelektual klasik Islam7.

Al-Rāzī memberikan perhatian khusus pada relasi antara akal dan wahyu, serta bagaimana teks suci harus dibaca dalam terang prinsip-prinsip rasional. Pendekatannya mencerminkan hermeneutika skolastik yang paralel dengan Thomas Aquinas dalam tradisi Kristen.

7.6.       Ibn ‘Arabī (1165–1240 M)

Dalam dimensi esoterik dan mistik, Ibn ‘Arabī merupakan representasi dari hermeneutika spiritual (‘irfānī). Ia mengembangkan teori tentang simbolisme teks wahyu yang tidak bisa dijangkau oleh rasio semata, melainkan harus dibaca melalui pengalaman ruhani dan intuisi yang disucikan. Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam dan al-Futūḥāt al-Makkiyya, Ibn ‘Arabī menunjukkan bagaimana Al-Qur’an berbicara kepada setiap individu sesuai dengan maqām (tingkatan spiritual) mereka8.

Bagi Ibn ‘Arabī, teks ilahi bersifat dinamis dan tak terbatas dalam makna—selalu terbuka bagi pembacaan baru yang selaras dengan perjalanan eksistensial dan keterhubungan ruhani dengan Tuhan. Pendekatan ini mirip dengan hermeneutika eksistensial yang akan berkembang berabad-abad kemudian di Barat.


Footnotes

[1]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1958), 60–79.

[2]                Ibid., 83.

[3]                Brian Stock, Augustine the Reader: Meditation, Self-Knowledge, and the Ethics of Interpretation (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 112–115.

[4]                Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (Gloucester, MA: Peter Smith, 1973), 286–290.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.

[6]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Mahmud Muhammad Syakir (Beirut: Dār al-Fikr, 2000), vol. 1, 15–27.

[7]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1997), vol. 1, 35–40.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 131–137.


8.           Peralihan Menuju Hermeneutika Modern

Peralihan dari hermeneutika klasik menuju hermeneutika modern menandai perubahan paradigmatik dalam cara manusia memahami hubungan antara teks, pengarang, pembaca, dan makna. Jika dalam kerangka klasik hermeneutika berfokus pada rekonstruksi maksud pengarang dan makna objektif teks dalam kerangka otoritas tradisi, maka hermeneutika modern mulai menekankan aspek subjektivitas pembaca, kondisi historis pemahaman, dan dinamika dialogis antara subjek dan objek dalam proses penafsiran. Transisi ini berlangsung secara bertahap sejak abad ke-17 dan mencapai bentuk reflektif-filosofisnya pada abad ke-19 dan 20 melalui tokoh-tokoh seperti Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan Gadamer.

8.1.       Konteks Historis dan Tantangan Modernitas

Latar belakang peralihan ini terkait erat dengan munculnya Reformasi Protestan, Pencerahan (Aufklärung), dan rasionalisme modern. Reformasi yang dipelopori Martin Luther pada awal abad ke-16 membuka akses langsung umat terhadap Kitab Suci, dan dengan demikian, menantang otoritas tunggal gereja dalam interpretasi. Luther menekankan prinsip sola scriptura, yang berarti setiap individu dapat menafsirkan Alkitab secara langsung, dengan bantuan akal dan iman1.

Selanjutnya, era Pencerahan menghadirkan semangat kritisisme, historisisme, dan otonomi rasio. Teks tidak lagi dipandang sebagai wahyu transenden yang harus ditafsirkan melalui otoritas keagamaan, melainkan sebagai dokumen historis yang dapat dianalisis secara objektif. Hermeneutika, dalam konteks ini, mengalami sekularisasi dan dijadikan bagian dari studi filologi, hukum, dan ilmu sejarah2.

8.2.       Friedrich Schleiermacher (1768–1834): Hermeneutika sebagai Seni Memahami

Schleiermacher adalah tokoh penting yang meletakkan dasar bagi hermeneutika modern sebagai teori umum pemahaman (Allgemeine Hermeneutik), bukan sekadar metode teologis atau filologis. Ia berpendapat bahwa pemahaman terhadap teks melibatkan dua momen utama: pemahaman gramatikal dan pemahaman psikologis. Yang pertama berkaitan dengan struktur linguistik teks, sementara yang kedua berusaha menangkap "keindividualan" penulis melalui rekonstruksi dunia batinnya3.

Schleiermacher juga mengembangkan konsep lingkaran hermeneutik (hermeneutischer Zirkel), yaitu ide bahwa pemahaman atas bagian teks tergantung pada pemahaman keseluruhan, dan sebaliknya. Proses ini menuntut pembaca untuk terus-menerus bergerak antara bagian dan keseluruhan dalam rangka memperdalam pemahaman. Di sinilah dimensi dialogis dan reflektif dari hermeneutika mulai muncul4.

8.3.       Wilhelm Dilthey (1833–1911): Hermeneutika dan Ilmu Humaniora

Dilthey memperluas cakupan hermeneutika ke dalam ranah ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Ia mengontraskan metode pengetahuan dalam ilmu alam (Erklären, menjelaskan) dengan dalam ilmu budaya dan sejarah (Verstehen, memahami). Hermeneutika menjadi dasar epistemologis bagi pendekatan verstehen, yakni pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam pengalaman manusia historis5.

Dilthey menekankan bahwa teks bukan hanya struktur bahasa, tetapi ekspresi kehidupan batin manusia yang harus dipahami dalam konteks sejarah dan budaya. Dengan demikian, pemahaman tidak bersifat objektif-mekanistik, melainkan historis dan kontekstual. Ini menandai langkah penting menuju kesadaran historis dalam teori interpretasi.

8.4.       Dari Metode ke Ontologi: Heidegger dan Gadamer

Transformasi paling mendalam dalam hermeneutika modern terjadi dalam filsafat fenomenologi dan eksistensialisme. Martin Heidegger (1889–1976) menggeser hermeneutika dari metode interpretasi ke dalam ontologi pemahaman. Dalam Sein und Zeit (1927), ia menegaskan bahwa pemahaman bukanlah tindakan intelektual terhadap objek luar, tetapi mode eksistensial dari Dasein (manusia sebagai ada yang mengerti). Teks, dalam pandangannya, bukan hanya kata-kata yang menunggu dijelaskan, tetapi medan pengungkapan makna dalam keterlemparan historis subjek6.

Murid Heidegger, Hans-Georg Gadamer (1900–2002), dalam Wahrheit und Methode (1960), mengembangkan hermeneutika filosofis yang menekankan dialog antara horizon makna pembaca dan teks. Ia menolak kemungkinan pemahaman “objektif” dan memperkenalkan konsep Fusion der Horizonte (peleburan cakrawala), di mana pemahaman adalah hasil dari pertemuan antara konteks historis pembaca dan dunia teks7.

Gadamer juga menekankan peran praanggapan dan tradisi dalam proses interpretasi. Alih-alih dihindari, tradisi dan bias dianggap sebagai prasyarat yang memungkinkan pemahaman. Di sinilah hermeneutika modern berbeda tajam dari model klasik yang berusaha menanggalkan subjektivitas dalam menafsirkan teks.

8.5.       Implikasi terhadap Tradisi Hermeneutika Klasik

Peralihan menuju hermeneutika modern membawa implikasi besar terhadap otoritas tafsir dan struktur pengetahuan. Jika hermeneutika klasik berfungsi mempertahankan makna yang mapan dan diturunkan secara hierarkis, maka hermeneutika modern membuka ruang bagi pluralitas makna, kontekstualisasi pemahaman, serta otonomi interpretatif pembaca. Tradisi masih memiliki peran penting, tetapi bukan sebagai sumber otoritas absolut, melainkan sebagai mitra dialogis dalam pemahaman.

Namun demikian, pergeseran ini juga menimbulkan kritik, khususnya dari kalangan teolog dan filsuf yang menilai bahwa relativisasi makna dan dekonstruksi otoritas dapat mengaburkan batas antara pemahaman dan penyimpangan. Maka, hermeneutika modern terus bergulat dengan ketegangan antara kebebasan interpretasi dan tanggung jawab makna.


Footnotes

[1]                Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 4th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 126–129.

[2]                Kurt Mueller-Vollmer, The Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the Present (New York: Continuum, 1985), 1–12.

[3]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–25.

[4]                Joel C. Weinsheimer, Philosophical Hermeneutics and Literary Theory (New Haven: Yale University Press, 1991), 23–25.

[5]                Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume IV – Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 236–241.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 306–313.


9.           Relevansi Hermeneutika Klasik dalam Kajian Teks Keagamaan dan Humaniora

Di tengah berkembangnya pendekatan-pendekatan baru dalam studi teks, hermeneutika klasik tetap memegang peran penting dalam kajian keagamaan dan humaniora. Meskipun telah muncul berbagai teori interpretasi kontemporer yang menekankan aspek subjektif, dekonstruktif, atau historis-kritis, prinsip-prinsip hermeneutika klasik terus menjadi fondasi epistemologis dalam memahami teks-teks otoritatif. Nilai utama dari pendekatan klasik terletak pada komitmennya terhadap struktur linguistik, maksud pengarang, serta kontinuitas tradisi penafsiran—unsur-unsur yang krusial dalam menjaga stabilitas makna dan otoritas dalam studi keagamaan maupun humanistik.

9.1.       Stabilitas Makna dan Otoritas dalam Kajian Keagamaan

Salah satu relevansi utama hermeneutika klasik dalam kajian keagamaan adalah kemampuannya mempertahankan stabilitas makna dalam menghadapi pluralitas tafsir. Dalam studi kitab suci, baik dalam tradisi Islam, Kristen, maupun Yudaisme, pendekatan klasik membantu menegakkan parameter interpretasi yang berbasis pada otoritas tradisi dan struktur kebahasaan. Prinsip-prinsip seperti sensus litteralis dalam tradisi Kristen atau tafsīr bi al-ma’tsūr dalam Islam, menyediakan landasan metodologis yang dapat mencegah relativisme interpretatif yang tak terkendali.1

Lebih jauh, hermeneutika klasik memberikan kerangka yang kuat untuk memahami teks sebagai bagian dari wahyu ilahi yang terikat pada komunitas keimanan. Ini menjadi sangat relevan dalam konteks pendidikan keagamaan, di mana pemahaman terhadap teks harus dibarengi dengan pembentukan etika keberimanan dan disiplin ilmiah. Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, stabilitas makna dalam tradisi religius memungkinkan “pemeliharaan identitas historis komunitas melalui teks yang selalu diperbaharui dalam pembacaan”.2

9.2.       Keunggulan Filologis dalam Studi Humaniora

Dalam bidang humaniora, hermeneutika klasik memberikan kontribusi besar terhadap pendekatan filologis, yang menjadi dasar dalam studi sastra, sejarah, dan filsafat. Prinsip analisis linguistik, studi kontekstual, serta perhatian terhadap struktur retoris dan stilistik dari teks tetap menjadi praktik yang esensial dalam studi teks-teks klasik. Pendekatan ini misalnya terlihat dalam studi tragedi Yunani, epos Latin, karya-karya Shakespeare, hingga manuskrip Islam klasik, di mana pemahaman atas bentuk gramatikal dan nuansa semantik sangat menentukan interpretasi makna.

Anthony Grafton menunjukkan bahwa kebangkitan kembali studia humanitatis pada era Renaisans sepenuhnya mengandalkan prinsip-prinsip hermeneutika klasik yang diwarisi dari tradisi skolastik dan retorika kuno3. Prinsip-prinsip ini—seperti exegesis, lectio, dan interpretatio—tetap berfungsi sebagai instrumen penting dalam studi teks klasik hingga hari ini.

9.3.       Keseimbangan antara Nalar, Tradisi, dan Spiritualitas

Keunggulan lain dari hermeneutika klasik adalah kemampuannya menyatukan tiga elemen kunci dalam studi teks keagamaan: nalar, tradisi, dan spiritualitas. Dalam pendekatan ini, teks tidak hanya dibaca secara akademis atau teknis, tetapi juga dalam semangat penghayatan, sebagaimana terlihat dalam karya Agustinus, Aquinas, maupun al-Ghazālī. Penafsiran dalam kerangka klasik bertujuan tidak hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk menginternalisasi nilai, menyempurnakan akhlak, dan menghubungkan diri dengan sumber makna transenden4.

Sebagai contoh, dalam pendidikan pesantren atau madrasah tradisional di dunia Islam, metode tafsir, syarḥ (penjelasan), dan ḥāsyiyah (komentar) tetap menggunakan prinsip-prinsip hermeneutika klasik yang memungkinkan keterpaduan antara kecermatan ilmiah dan kehormatan terhadap teks suci. Pola serupa juga ditemukan dalam pendidikan teologi di gereja Katolik dan ortodoks timur.

9.4.       Fondasi bagi Dialog Antartradisi dan Multikulturalisme

Hermeneutika klasik juga menyediakan perangkat konseptual untuk dialog antaragama dan kajian multikultural. Karena ia berangkat dari kesadaran bahwa teks mengandung kedalaman makna yang menuntut pendekatan hati-hati dan berbasis etika, pendekatan ini memungkinkan pembacaan lintas tradisi yang tidak bersifat relativistik tetapi tetap menghormati keunikan dan keotentikan masing-masing teks dan komunitasnya.

Gadamer menyatakan bahwa “hermeneutika adalah seni mendengarkan”.5 Dengan demikian, dalam dunia global yang sarat keragaman budaya dan keyakinan, hermeneutika klasik mengajarkan pentingnya kesabaran dalam membaca, ketekunan dalam menelusuri makna, serta komitmen pada keterbukaan terhadap yang lain—suatu nilai yang sangat mendesak dalam dunia akademik dan keagamaan kontemporer.


Footnotes

[1]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 38–42.

[2]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 13–14.

[3]                Anthony Grafton, Defenders of the Text: The Traditions of Scholarship in an Age of Science, 1450–1800 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 27–32.

[4]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Muhammad al-Sabbāgh (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2005), vol. 1, 22–30.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 361.


10.       Simpulan

Hermeneutika klasik merupakan tonggak awal dari perkembangan teori dan praktik penafsiran yang berakar kuat dalam tradisi intelektual, teologis, dan filologis berbagai peradaban. Sebagai disiplin yang tumbuh dari kebutuhan untuk memahami teks-teks suci dan karya-karya otoritatif masa lampau, hermeneutika klasik menghadirkan seperangkat kaidah yang berupaya menjamin keterbacaan, ketepatan makna, dan kontinuitas pemahaman dalam kerangka otoritas dan komunitas pembaca.

Sebagaimana diuraikan sepanjang pembahasan artikel ini, hermeneutika klasik berawal dari filsafat Yunani kuno—khususnya dari pemikiran Plato dan Aristoteles—yang kemudian dikembangkan dalam konteks religius oleh tokoh-tokoh seperti Origenes dan Agustinus di dunia Kristen, serta al-Ṭabarī, al-Rāzī, dan Ibn ‘Arabī di dunia Islam. Masing-masing tokoh tersebut memberi kontribusi penting dalam memperkaya dan menginstitusionalisasi metode penafsiran, baik yang bersifat literal, alegoris, rasional, maupun esoterik1.

Prinsip-prinsip utama yang mendasari hermeneutika klasik—seperti penekanan pada makna literal, gramatikal, dan historis; pentingnya maksud pengarang; serta keharusan mengikuti otoritas tradisi—memberikan stabilitas epistemologis dalam proses interpretasi. Meskipun hermeneutika modern telah memperkenalkan paradigma baru yang menekankan subjektivitas pembaca, dinamika sejarah pemahaman, dan dialog antar horizon, fondasi hermeneutika klasik tetap relevan dalam banyak konteks, terutama dalam studi teks-teks keagamaan dan karya-karya warisan budaya dunia2.

Hermeneutika klasik juga memperlihatkan fleksibilitas yang tinggi. Ia tidak membekukan makna, melainkan menyediakan ruang bagi penafsiran yang bertanggung jawab melalui kerangka metodologis yang jelas. Hal ini terlihat dalam pendekatan hermeneutika Islam yang mampu mengakomodasi pelbagai pendekatan—bayani, burhani, dan ‘irfani—tanpa kehilangan prinsip epistemik dasarnya3.

Di tengah tantangan kontemporer berupa relativisme interpretasi, dekonstruksi otoritas, dan fragmentasi makna, kembalinya minat terhadap hermeneutika klasik mencerminkan kebutuhan akan model interpretasi yang etis, terstruktur, dan berpijak pada warisan intelektual yang kokoh. Sebagaimana dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, pemahaman sejati bukan sekadar reproduksi makna, tetapi sebuah perjumpaan yang etis dengan tradisi dan teks yang lain4.

Dengan demikian, hermeneutika klasik bukanlah relik usang dari masa lalu, tetapi warisan metodologis yang masih menawarkan kontribusi besar dalam menjembatani masa lalu dan masa kini, teks dan pembaca, makna dan kehidupan.


Footnotes

[1]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 23–42.

[2]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 48–52.

[3]                Muhammad Abed al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1991), 27–55.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 362–367.


Daftar Pustaka

Al-Ghazālī. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (M. al-Sabbāgh, Ed.). Beirut: Dār Ibn Ḥazm.

Al-Ghazālī. (1993). Al-mustasfā fī ‘ilm al-uṣūl (M. ‘Abd al-Salām ‘Abd al-Shāfī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya.

Al-Jābirī, M. A. (1991). Takwīn al-‘aql al-‘arabī. Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī.

Al-Suyūṭī, J. A. D. (2003). Al-itqān fī ‘ulūm al-Qur’ān (M. A. Ibrāhīm, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Al-Ṭabarī, I. J. (2000). Jāmi‘ al-bayān fī ta’wīl āy al-Qur’ān (M. M. Syākir, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.

Aristotle. (1941). On interpretation (E. M. Edghill, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 40–58). New York: Random House.

Augustine. (1958). On Christian doctrine (D. W. Robertson, Jr., Trans.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: SUNY Press.

Dilthey, W. (1996). Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton: Princeton University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Grafton, A. (1991). Defenders of the text: The traditions of scholarship in an age of science, 1450–1800. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Grondin, J. (1994). Introduction to philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Hallaq, W. B. (1997). A history of Islamic legal theories: An introduction to Sunni uṣūl al-fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Ibn Kathīr. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘aẓīm (S. M. Salamah, Ed.). Riyadh: Dār Ṭayyibah.

Izutsu, T. (2002). Ethico-religious concepts in the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An introduction (4th ed.). Oxford: Wiley-Blackwell.

Mueller-Vollmer, K. (Ed.). (1985). The hermeneutics reader: Texts of the German tradition from the Enlightenment to the present. New York: Continuum.

Origen. (1973). On first principles (G. W. Butterworth, Trans.). Gloucester, MA: Peter Smith.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Runia, D. T. (1986). Philo of Alexandria and the Timaeus of Plato. Leiden: Brill.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Smalley, B. (1964). The study of the Bible in the Middle Ages. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Stock, B. (1996). Augustine the reader: Meditation, self-knowledge, and the ethics of interpretation. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.

Van Ess, J. (1991). Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 1). Berlin: Walter de Gruyter.

Weinsheimer, J. C. (1991). Philosophical hermeneutics and literary theory. New Haven: Yale University Press.

Zamakhsharī, J. (2009). Al-Kashshāf ‘an ḥaqā’iq al-tanzīl (‘A. al-Khatīb, Ed.). Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Zarqā, M. (1998). Uṣūl al-fiqh al-islāmī. Damaskus: Dār al-Qalam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar