Hermeneutika Klasik
Telaah Historis atas Tradisi Interpretasi Barat
Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif tentang hermeneutika
klasik sebagai fondasi historis dan metodologis dari praktik penafsiran
teks, terutama dalam tradisi filologis dan teologis. Dengan pendekatan
historis-komparatif dan analisis konseptual, artikel ini menelusuri asal-usul
hermeneutika klasik dari filsafat Yunani kuno, kontribusi tokoh-tokoh utama
seperti Origenes, Agustinus, dan Thomas Aquinas dalam Kristen, serta al-Ṭabarī,
al-Rāzī, dan Ibn ‘Arabī dalam Islam. Artikel ini juga mengurai prinsip-prinsip
dasar hermeneutika klasik seperti pendekatan literal, gramatikal, kontekstual,
serta otoritas tradisi, serta menjelaskan bagaimana pendekatan klasik
memberikan kontribusi terhadap stabilitas makna, keilmuan filologis, dan
kesatuan epistemologis dalam studi teks suci maupun karya sastra klasik.
Peralihan menuju hermeneutika modern dibahas sebagai transformasi paradigma,
namun bukan sebagai pemutusan total. Dalam konteks keilmuan kontemporer,
hermeneutika klasik tetap relevan sebagai model interpretasi yang terstruktur,
etis, dan berbasis tradisi—menawarkan keseimbangan antara rasionalitas, spiritualitas,
dan warisan keilmuan. Dengan demikian, artikel ini menegaskan pentingnya
revitalisasi pendekatan klasik dalam studi teks keagamaan dan humaniora modern.
Kata Kunci: Hermeneutika Klasik; Tafsir Teks; Tradisi
Filologis; Otoritas Makna; Penafsiran Keagamaan; Teologi; Filsafat Yunani;
Tradisi Islam; Interpretasi Kitab Suci; Epistemologi Tradisional.
PEMBAHASAN
Hermeneutika Klasik dalam Lintasan Sejarah Pemikiran
1.
Pendahuluan
Hermeneutika klasik
merupakan fondasi dari seluruh tradisi penafsiran teks yang berkembang di Barat
maupun Timur, khususnya dalam lingkup filologi dan teologi. Sebelum menjadi
suatu disiplin filsafat interpretatif seperti yang dikenal dalam pemikiran
kontemporer, hermeneutika awalnya berfungsi sebagai seperangkat aturan dan
kaidah dalam memahami makna teks-teks otoritatif, terutama teks-teks suci dan
karya sastra klasik. Dalam konteks ini, hermeneutika klasik mengakar pada
kebutuhan praktis dan normatif untuk membakukan metode penafsiran yang sahih
terhadap teks yang dianggap sebagai representasi kebenaran ilahi atau kearifan
tradisional yang luhur1.
Etimologisnya,
istilah "hermeneutika" berasal dari bahasa Yunani hermēneuein yang berarti "menafsirkan"
atau "menerangkan," serta kata benda hermēneia yang berarti "interpretasi"
atau "penjelasan." Kata ini berakar dari mitologi Yunani yang
mengacu pada dewa Hermes, sang pembawa pesan para dewa yang bertugas
menyampaikan dan menafsirkan kehendak ilahi kepada manusia2. Dalam
ranah filsafat Yunani, hermeneutika telah muncul secara implisit dalam
pemikiran Plato dan Aristoteles, terutama dalam diskursus mengenai bahasa,
makna, dan kebenaran. Namun, sebagai sistem metodologis, hermeneutika
berkembang secara eksplisit dalam tradisi penafsiran teks-teks keagamaan, baik
dalam konteks Kristen Latin maupun dalam dunia Islam klasik3.
Pada masa patristik
dan Abad Pertengahan, hermeneutika berkembang melalui integrasi antara
prinsip-prinsip retorika klasik dan teologi sistematik. Para teolog seperti
Origenes dan Agustinus memberikan kontribusi besar dalam membangun teori
interpretasi spiritual yang membedakan antara makna literal (sensus
litteralis) dan makna alegoris atau anagogis dalam teks-teks Kitab
Suci4. Di sisi lain, dalam tradisi Islam, hermeneutika klasik
berkembang dalam bentuk disiplin ‘ulūm al-tafsīr dan uṣūl
al-fiqh, yang memadukan pendekatan linguistik, kontekstual, dan
teologis dalam menafsirkan Al-Qur'an dan Hadis5.
Perkembangan
hermeneutika klasik bukan sekadar respons terhadap kompleksitas bahasa dan
struktur teks, tetapi juga terhadap otoritas makna dan legitimasi penafsiran.
Dalam konteks ini, hermeneutika klasik berupaya menjawab dua pertanyaan besar:
(1) Bagaimana kita memahami teks yang berasal dari masa lalu, terutama teks
yang bersifat sakral atau normatif? (2) Siapakah yang memiliki otoritas untuk
menafsirkan teks tersebut secara sahih? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan
hermeneutika tidak hanya sebagai metode gramatikal dan retoris, melainkan
sebagai arena epistemologis dan ideologis di mana makna, kuasa, dan kebenaran
dipertarungkan6.
Dengan demikian,
kajian hermeneutika klasik merupakan langkah penting dalam memahami akar-akar
metodologi penafsiran teks yang masih berpengaruh dalam tradisi keilmuan hingga
saat ini. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri asal-usul, perkembangan
historis, prinsip-prinsip metodologis, serta relevansi kontemporer dari
hermeneutika klasik, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Melalui pendekatan
historis-komparatif dan analisis konseptual, diharapkan artikel ini dapat
memperkaya pemahaman tentang landasan filosofis penafsiran dalam kerangka
teologi, filologi, dan budaya intelektual dunia klasik.
Footnotes
[1]
Anthony C. Thiselton, The
Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 11.
[2]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 4.
[3]
Richard E. Palmer, Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 3–6.
[4]
Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1958), 38–45.
[5]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 1–18.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 276–278.
2.
Definisi dan Ruang Lingkup
Hermeneutika Klasik
Hermeneutika klasik
secara umum dapat dipahami sebagai seni dan kaidah interpretasi teks, terutama
teks-teks otoritatif yang bersifat keagamaan, hukum, dan sastra klasik. Dalam
konteks historisnya, hermeneutika klasik bukanlah suatu teori filsafat
interpretasi seperti dalam hermeneutika modern, melainkan lebih bersifat teknis
dan normatif, yang ditujukan untuk membakukan cara memahami makna asli dari
suatu teks sebagaimana dimaksud oleh penulisnya, khususnya dalam konteks
bahasa, struktur, dan situasi historis tempat teks itu lahir1.
Etimologi kata “hermeneutika”
berasal dari bahasa Yunani hermēneuein (ἐρμηνεύειν),
yang berarti “menafsirkan” atau “menerangkan,” dan hermēneia (ἑρμηνεία), yang berarti “penafsiran”
atau “terjemahan.” Kata ini erat kaitannya dengan figur mitologis
Hermes, dewa pembawa pesan yang menjembatani dunia ilahi dan manusia, sehingga
secara simbolik hermeneutika dipahami sebagai proses mediasi antara pesan
transenden dan pemahaman manusiawi2. Dalam tradisi filsafat klasik,
Aristoteles menggunakan istilah hermēneia dalam karyanya Peri
Hermeneias (De Interpretatione) untuk membahas proposisi dan relasi
antara bahasa dan logika, meskipun belum dalam pengertian metodologis seperti
hermeneutika modern3.
Ruang lingkup
hermeneutika klasik sangat erat kaitannya dengan konteks keagamaan dan
filologis. Dalam lingkungan Kristen awal hingga Abad Pertengahan, hermeneutika
digunakan secara sistematis dalam menafsirkan Kitab Suci. Para Bapa Gereja
seperti Origenes dan Agustinus mengembangkan prinsip penafsiran berlapis,
seperti literal (sensus litteralis), alegoris, moral
(tropologis),
dan anagogis, yang mencerminkan pemahaman bahwa teks suci menyimpan beragam
tingkatan makna yang hanya dapat diakses melalui bimbingan spiritual dan kaidah
penafsiran yang tepat4. Model ini juga menjadi dasar dalam teologi
skolastik, terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas yang membedakan antara makna
literal dan makna spiritual dengan struktur logika yang sistematik5.
Dalam dunia Islam
klasik, meskipun tidak menggunakan istilah “hermeneutika,” terdapat
praktik serupa dalam disiplin ‘ulūm al-tafsīr dan uṣūl
al-fiqh. Para mufassir seperti al-Ṭabarī menekankan pentingnya
konteks linguistik dan riwayat dalam memahami makna Al-Qur’an, sementara
al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī membahas secara lebih sistematis
aspek-aspek epistemologis dari penafsiran, seperti makna zhāhir dan bāthin,
serta peran akal dalam memahami teks ilahi6. Ini menunjukkan bahwa
meskipun istilahnya berbeda, semangat metodologis hermeneutika klasik juga
hadir kuat dalam peradaban Islam.
Ciri utama
hermeneutika klasik adalah fokusnya pada intensionalitas pengarang dan otoritas
teks. Penafsiran dianggap sah jika mampu mengungkap makna sebagaimana dimaksud
oleh penulis asli (authorial intent), bukan berdasarkan tafsir pembaca seperti
dalam hermeneutika kontemporer. Oleh karena itu, hermeneutika klasik sering
kali bersifat restriktif dan otoritatif, bergantung pada kerangka tradisi dan
institusi keilmuan yang diakui, seperti gereja dalam Kristen atau ulama dan
madrasah dalam Islam7.
Dengan demikian,
definisi dan ruang lingkup hermeneutika klasik meliputi metodologi interpretasi
tekstual yang berakar pada prinsip kebahasaan, historisitas, dan otoritas,
dengan orientasi utama pada makna asli dan keteraturan pemahaman. Meskipun
belum berkembang sebagai refleksi filsafat interpretasi, kerangka klasik ini
meletakkan fondasi penting bagi munculnya hermeneutika modern yang lebih
reflektif dan filosofis.
Footnotes
[1]
Anthony C. Thiselton, New
Horizons in Hermeneutics: The Theory and Practice of Transforming Biblical
Reading (Grand Rapids: Zondervan,
1992), 80–81.
[2]
Jean Grondin, Introduction to
Philosophical Hermeneutics, trans.
Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 3–5.
[3]
Aristotle, On Interpretation (Peri
Hermeneias), trans. E. M. Edghill,
in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
40–58.
[4]
Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1958), 37–52.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.
[6]
Al-Ghazālī, Al-Mustasfā fī ‘Ilm
al-Uṣūl, ed. Muhammad ‘Abd al-Salām
‘Abd al-Shāfī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 67–79; Fakhr al-Dīn
al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1997), vol.
1.
[7]
Richard E. Palmer, Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969),
7–10.
3.
Asal-Usul dan Akar Historis
Hermeneutika
Asal-usul
hermeneutika klasik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan intelektual dunia
Yunani Kuno, khususnya dari ranah filsafat, retorika, dan praktik penafsiran
mitos maupun puisi epik. Dalam fase awal ini, hermeneutika belum menjadi
disiplin otonom, melainkan berperan sebagai bagian dari kajian linguistik dan
logika yang berkaitan dengan pemahaman makna ujaran atau teks. Akar
filosofisnya ditemukan dalam pemikiran Heraclitus, yang menekankan pentingnya
proses pemahaman terhadap logos yang senantiasa tersembunyi dan ambigu.
Pandangan ini kelak menjadi landasan bagi pemikiran hermeneutis tentang
kompleksitas makna1.
Plato mengembangkan
isu ini lebih lanjut dalam Cratylus dan Ion,
terutama ketika membahas relasi antara nama dan hakikat benda, serta otoritas
para rhapsode dalam menafsirkan puisi Homerik. Bagi Plato, makna sejati berasal
dari dunia ide, dan bahasa hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi.
Oleh sebab itu, penafsiran harus diarahkan untuk menyingkap kebenaran metafisis
di balik kata-kata yang tampak2. Sebaliknya, Aristoteles dalam Peri
Hermeneias (On Interpretation) lebih menekankan pada aspek logika
dan struktur bahasa. Ia merumuskan teori proposisi yang menjadi dasar logika
formal dan teori tanda, yang kelak sangat memengaruhi pemikiran skolastik dan
pendekatan literal dalam hermeneutika kitab suci3.
Tradisi penafsiran
dalam dunia Helenistik berkembang dalam bentuk alegorese, yaitu metode
penafsiran alegoris terhadap teks-teks mitologi dan sastra klasik. Tokoh
seperti Philo dari Alexandria (20 SM–50 M) menjadi penghubung penting antara
pemikiran Yunani dan penafsiran teks-teks suci dalam tradisi Yahudi. Philo
menggunakan metode alegoris untuk menafsirkan Taurat sebagai ungkapan filsafat
Yunani yang terselubung, sehingga memadukan simbolisme agama dengan prinsip
rasionalisme Yunani4.
Dalam ranah Kristen
awal, Origenes (w. ca. 254 M) meneruskan pendekatan alegoris Philo dan
menerapkannya pada Kitab Suci Kristen. Ia membedakan antara makna literal,
moral, dan spiritual, yang kelak dikembangkan lebih sistematis oleh Agustinus
dan teolog-teolog patristik. Agustinus, dalam De Doctrina Christiana,
menggarisbawahi pentingnya cinta kasih (caritas) sebagai prinsip
hermeneutik yang mendasari seluruh penafsiran teks suci, dengan pembedaan
antara signum
(tanda) dan res (realitas yang ditandai)5.
Abad Pertengahan
menjadi periode di mana hermeneutika berasimilasi dengan sistem skolastik dalam
Gereja Katolik. Para pemikir seperti Thomas Aquinas mengintegrasikan
prinsip-prinsip Aristotelian dalam penafsiran kitab suci, dan mempertahankan
struktur makna empat lapis: literal, alegoris, tropologis (etik), dan anagogis
(eskatologis). Model ini menjadi standar penafsiran teks religius selama
berabad-abad dan membentuk kerangka normatif dalam pendidikan teologi dan
retorika gerejawi6.
Dalam dunia Islam,
meskipun istilah "hermeneutika" tidak dikenal secara
terminologis, tradisi penafsiran berkembang pesat sejak masa klasik. Mufassir
seperti Ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 923 M) dan al-Zamakhsharī (w. 1144 M) menyusun
tafsir berdasarkan kaidah gramatikal, kontekstual, dan riwayat. Sementara itu,
pendekatan filosofis dan batini ditawarkan oleh tokoh seperti al-Ghazālī dan
Ibn ‘Arabī, yang mengembangkan dimensi spiritual dan esoterik dalam pemaknaan
teks wahyu. Diskursus ini menunjukkan bahwa praktik hermeneutis dalam Islam
telah mapan dan kompleks jauh sebelum istilah “hermeneutika” diperkenalkan
dalam filsafat Barat modern7.
Dengan demikian,
akar historis hermeneutika klasik sangat luas dan multidimensi, mencakup
interaksi antara pemikiran filsafat, kebudayaan literer, serta kebutuhan
teologis untuk menjaga otoritas makna teks. Hermeneutika klasik bukan hanya
lahir dari dunia intelektual Barat, tetapi juga memiliki padanan metodologis
dalam dunia Islam dan agama-agama besar lain yang menekankan pentingnya
penafsiran otoritatif terhadap teks suci.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 159–161.
[2]
Plato, Cratylus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato,
vol. 1 (New York: Scribner, 1871), 389–427.
[3]
Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 40–58.
[4]
David T. Runia, Philo of Alexandria and
the Timaeus of Plato (Leiden: Brill,
1986), 102–104.
[5]
Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1958), 60–79.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.
[7]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur'an (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 17–33; Walid A. Saleh, “The Etymological
Fallacy and Qur’anic Studies: Muhammad, Paradise, and Late Antiquity,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 30 (2005): 167–192.
4.
Hermeneutika dalam Tradisi
Patristik dan Abad Pertengahan
Tradisi Patristik
dan Abad Pertengahan merupakan periode kunci dalam perkembangan hermeneutika
klasik, khususnya dalam kerangka penafsiran kitab suci Kristen. Dalam periode
ini, hermeneutika tidak sekadar menjadi aktivitas intelektual, tetapi berfungsi
sebagai instrumen utama dalam mendalami wahyu ilahi yang dipercayai mengandung
makna-makna transendental, multilevel, dan bersifat normatif. Para Bapa Gereja
(Fathers of the Church) dan teolog skolastik berupaya merumuskan
prinsip-prinsip penafsiran yang sahih untuk memahami teks suci dengan landasan
doktrin yang ortodoks dan otoritatif.
4.1.
Model Alegoris dalam
Tradisi Patristik
Pada masa Patristik
(± abad ke-2 hingga ke-5 M), metode penafsiran alegoris menjadi sangat dominan.
Hermeneutika alegoris bertujuan menyingkap makna tersembunyi (spiritual) di
balik teks literal yang sering kali dianggap mengandung keterbatasan linguistik
dan historis. Origenes dari Alexandria (185–254 M) merupakan tokoh sentral
dalam model ini. Ia mengembangkan skema tiga lapis makna: literal
(tubuh teks), moral (jiwa teks), dan spiritual/anagogis
(roh teks), yang mencerminkan struktur tubuh-jiwa-roh dalam antropologi Kristen
awal1.
Origen meyakini
bahwa tidak semua bagian Alkitab dapat dipahami secara harfiah. Sebaliknya,
banyak teks dirancang untuk memotivasi penafsiran alegoris guna mengungkap
kedalaman makna ilahi. Ia menulis, “Hal-hal yang tampaknya mustahil atau tidak
rasional dalam teks justru menantang pembaca untuk mencari makna rohaninya”2.
Metode ini diteruskan dan disistematisasi oleh Agustinus (354–430 M), yang
dalam De
Doctrina Christiana menekankan pentingnya prinsip kasih (caritas)
sebagai pedoman penafsiran yang benar dan membedakan antara tanda (signa)
dan hal yang ditandai (res)3.
4.2.
Empat Lapisan Makna:
Skema Kuadripartit
Tradisi Patristik
berkembang lebih lanjut dalam Abad Pertengahan dengan munculnya skema empat
lapisan makna (quadruplex sensus scripturae), yaitu:
1)
Literal (sensus
litteralis) – makna faktual dan historis dari teks.
2)
Alegoris (sensus
allegoricus) – makna teologis yang menunjuk kepada Kristus dan
Gereja.
3)
Moral/Tropologis
(sensus tropologicus) – ajaran etis untuk perilaku manusia.
4)
Anagogis (sensus
anagogicus) – makna eskatologis yang menunjuk pada kehidupan
akhirat4.
Skema ini
memungkinkan pembacaan teks yang bersifat kompleks, berlapis, dan teosentris.
Penafsiran literal tetap dipertahankan sebagai dasar, tetapi tidak mencukupi
tanpa pembacaan rohaniah. Metode ini mencerminkan pandangan bahwa teks suci
adalah ciptaan ilahi yang tidak dapat dipahami secara reduktif.
4.3.
Hermeneutika
Skolastik dan Sistematisasi Abad Pertengahan
Pada Abad
Pertengahan (± abad ke-11 hingga ke-14 M), hermeneutika mengalami sistematisasi
lebih lanjut dalam kerangka skolastik, khususnya di bawah pengaruh filsafat
Aristoteles. Thomas Aquinas (1225–1274) menjadi figur utama yang
mengintegrasikan logika Aristotelian dan teologi Augustinian dalam struktur
penafsiran Kitab Suci. Dalam Summa Theologica, Aquinas
menegaskan bahwa makna literal tetap yang utama karena menjadi dasar seluruh
makna spiritual. Ia menulis, “Semua makna suci didasarkan pada makna literal”_5.
Meskipun
mempertahankan otoritas gereja sebagai penafsir sah Alkitab, Aquinas membuka
ruang bagi metode rasional dan sistematis dalam memahami teks, seperti
penggunaan logika, definisi konseptual, dan analisis gramatikal. Hal ini
mencerminkan sintesis antara iman dan akal (fides et ratio), yang menjadi ciri
khas hermeneutika skolastik.
Hermeneutika dalam
era ini juga sangat dipengaruhi oleh konteks institusional, yakni universitas
dan gereja. Penafsiran bukan hanya urusan individu, tetapi bagian dari otoritas
epistemologis yang dilembagakan. Tradisi ini berlangsung hingga Reformasi
Protestan, ketika Martin Luther mulai mempertanyakan otoritas institusional
dalam menafsirkan Alkitab.
4.4.
Komparasi dengan
Tradisi Islam Klasik
Dalam tradisi Islam
pada periode yang sama, terjadi perkembangan paralel dalam bidang tafsīr
dan uṣūl
al-fiqh. Ulama seperti al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī
mengembangkan metode interpretasi berbasis maqāṣid (tujuan hukum) dan ta’wīl
(pemaknaan mendalam), serta mengadopsi kerangka logika dalam mendekati teks
wahyu. Ini menunjukkan bahwa hermeneutika klasik memiliki spektrum luas yang
melampaui batas agama dan bahasa, sekaligus mencerminkan dinamika hubungan
antara wahyu, rasionalitas, dan institusi ilmiah6.
Footnotes
[1]
Henri de Lubac, Medieval Exegesis: The
Four Senses of Scripture, vol. 1,
trans. Mark Sebanc (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 109–111.
[2]
Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (Gloucester, MA: Peter
Smith, 1973), 286.
[3]
Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1958), 60–66.
[4]
Beryl Smalley, The Study of the Bible
in the Middle Ages (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1964), 29–35.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.
[6]
Wael B. Hallaq, The Origins and
Evolution of Islamic Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 117–125; Al-Ghazālī, Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Muhammad ‘Abd al-Salām ‘Abd al-Shāfī (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyya, 1993), 88–102.
5.
Hermeneutika dalam Dunia
Islam Klasik (Komparatif)
Meskipun istilah “hermeneutika”
tidak muncul secara eksplisit dalam tradisi keilmuan Islam klasik,
praktik-praktik yang sejajar secara metodologis dengan hermeneutika telah
berkembang sangat sistematis dan luas dalam bentuk tafsir
(penafsiran Al-Qur’an), ta’wil (pemaknaan esoterik),
serta uṣūl
al-fiqh (prinsip-prinsip penalaran hukum). Ketiga disiplin
tersebut menunjukkan bahwa dalam peradaban Islam, penafsiran terhadap teks
wahyu tidak hanya merupakan persoalan kebahasaan, tetapi juga menyangkut
kerangka epistemologis, ontologis, dan spiritual.
5.1.
Pendekatan Bayani,
Burhani, dan ‘Irfani
Dalam kerangka
filsafat Islam, pemikiran klasik sering mengkategorikan pendekatan terhadap
teks menjadi tiga bentuk utama sebagaimana dipaparkan oleh al-Jābirī: bayani
(tekstual-gramatikal), burhani (rasional-logis), dan ‘irfani
(intuisi-spiritual)1. Pendekatan bayani menjadi dasar bagi para
mufassir seperti al-Ṭabarī (w. 923 M) yang menekankan pentingnya pemahaman
terhadap konteks bahasa Arab klasik, sabab al-nuzūl (sebab turunnya ayat),
serta riwayat dari Rasul dan sahabat dalam menyusun tafsīr bi al-ma’tsūr2.
Tafsir jenis ini bersifat otoritatif karena bersandar pada tradisi (naql) dan
menghindari spekulasi yang tidak berdasar.
Sementara itu,
pendekatan burhani
menampakkan dirinya dalam karya-karya seperti milik Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w.
1209 M) yang menggunakan logika dan filsafat dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Karyanya Mafātīḥ al-Ghayb (Tafsir al-Kabīr)
adalah contoh monumental yang memadukan rasionalitas logis dengan nuansa
teologis yang mendalam, sering kali melibatkan kritik atas pandangan-pandangan
mutakallimūn dan filsuf sebelumnya3. Pendekatan ini sejajar dengan
hermeneutika skolastik dalam Kristen yang mengintegrasikan logika Aristotelian.
Adapun pendekatan ‘irfani
berkembang dalam kalangan sufistik dan filosof mistik seperti Ibn ‘Arabī (w.
1240 M), yang meyakini bahwa teks wahyu memiliki dimensi bāthin
(batin/esoterik) yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh orang yang telah
mengalami pembersihan spiritual dan kāshf (penyingkapan ruhani). Dalam
hermeneutika ‘irfani, teks adalah simbol dari realitas ilahi yang lebih tinggi,
dan pemahamannya harus melibatkan aspek pengalaman rohani yang melampaui nalar
diskursif4.
5.2.
Prinsip-Prinsip
Penafsiran dalam Tafsir Klasik
Tradisi tafsir
klasik dalam Islam menetapkan sejumlah prinsip hermeneutis yang mencerminkan
keteraturan metodologis tinggi. Di antaranya:
·
Isti‘māl
al-lughah (penggunaan bahasa Arab): karena Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab, maka pemahaman terhadap morfologi, sintaksis, dan balāghah
menjadi syarat utama.
·
Asbāb
al-nuzūl: konteks turunnya ayat menjadi penentu makna spesifik.
·
Al-Qur’ān
yufassiru ba‘ḍuhu ba‘ḍan: prinsip bahwa sebagian ayat
menafsirkan sebagian lainnya (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an).
·
Tafsir
dengan Sunnah dan Ijmā‘: menggunakan hadis yang sahih serta
kesepakatan ulama sebagai dasar interpretasi5.
Ini sejalan dengan
semangat hermeneutika klasik di Barat yang juga menekankan pentingnya konteks
historis, otoritas tradisi, dan kesinambungan makna.
5.3.
Ta’wil: Dari
Penalaran Teologis hingga Pemaknaan Mistis
Ta’wil dalam tradisi
Islam klasik mengandung dua arus besar: pertama, ta’wil teologis yang
berkembang di kalangan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah; kedua, ta’wil sufistik yang
berkembang dalam literatur esoterik. Dalam tradisi rasionalis seperti
Mu‘tazilah, ta’wil digunakan untuk menyesuaikan makna literal teks dengan
prinsip akal dan keadilan Tuhan. Misalnya, ayat-ayat tentang sifat-sifat Tuhan
yang bersifat antropomorfis ditakwil agar sesuai dengan doktrin tanzīh
(penyucian Tuhan dari kemiripan dengan makhluk)6.
Sementara itu, dalam
pemikiran Ibn ‘Arabī dan Jalāl al-Dīn al-Rūmī, ta’wil menjadi media untuk
mengeksplorasi simbolisme spiritual yang tersembunyi dalam teks. Metode ini
dekat dengan hermeneutika eksistensial dalam filsafat Barat, di mana pemahaman
teks berkaitan erat dengan transformasi eksistensi subjek pembaca.
5.4.
Komparasi dengan
Hermeneutika Kristen
Dalam perspektif
komparatif, dapat dicatat bahwa baik tradisi tafsir Islam maupun hermeneutika
Kristen klasik memiliki struktur yang paralel. Keduanya mengembangkan prinsip
multi-layered meaning, menekankan pentingnya tradisi dan otoritas penafsiran,
serta memiliki dinamika internal antara pendekatan literal, rasional, dan
spiritual. Yang membedakan keduanya adalah bentuk institusional dan
epistemologisnya: tafsir Islam berkembang dalam kerangka madrasah dan otoritas
ijmā‘, sedangkan hermeneutika Kristen berada dalam struktur gereja dan otoritas
magisterium.
Footnotes
[1]
Muhammad Abed al-Jābirī, Takwīn
al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: al-Markaz
al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1991), 27–45.
[2]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī
Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Mahmud
Muhammad Syakir (Beirut: Dār al-Fikr, 2000), vol. 1, 25–32.
[3]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ
al-Ghayb (Beirut: Dār Iḥyā’
al-Turāth al-‘Arabī, 1997), vol. 1, 35–42.
[4]
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 119–128.
[5]
Musthafa al-Zarqā, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Damaskus: Dār al-Qalam, 1998), 69–73.
[6]
Josef van Ess, Theologie und
Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 1 (Berlin: Walter de Gruyter, 1991), 344–350.
6.
Prinsip-Prinsip dan Kaidah
Penafsiran Klasik
Hermeneutika klasik,
baik dalam tradisi Kristen maupun Islam, berlandaskan pada seperangkat prinsip
dan kaidah yang dirancang untuk menjaga integritas makna teks, terutama
teks-teks suci yang dianggap memiliki otoritas normatif dan kebenaran
transenden. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai panduan metodologis bagi para
penafsir agar tidak menyimpang dari maksud pengarang (authorial intent), serta
mempertahankan kesinambungan antara teks, tradisi, dan komunitas penafsir.
Kaidah-kaidah tersebut menekankan pada aspek linguistik, historis, kontekstual,
serta spiritual dari teks.
6.1.
Kaidah Gramatikal
dan Semantik
Salah satu prinsip
utama dalam hermeneutika klasik adalah pendekatan gramatikal, yang
bertujuan menelusuri makna literal dari teks berdasarkan struktur bahasa. Dalam
tradisi Kristen, ini tercermin dalam upaya para Bapa Gereja dan teolog
skolastik memahami teks Alkitab dalam bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani)
sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Latin atau vernakular. Agustinus
menekankan pentingnya penguasaan tata bahasa dan sintaksis dalam memahami makna
literal Kitab Suci sebelum menyelami makna alegoris atau spiritualnya1.
Dalam tradisi Islam,
prinsip serupa diterapkan melalui ilmu nahw (sintaksis), ṣarf
(morfologi), dan balāghah (retorika). Para mufassir
klasik seperti al-Zamakhsharī dalam al-Kashshāf menggunakan pendekatan
linguistik secara mendalam untuk menyingkap aspek semantik dan keindahan
retoris dalam Al-Qur’an. Penguasaan terhadap varian makna (musytarak),
ambiguitas (mujmal), dan kata yang memiliki
banyak arti (mutashābih) dianggap penting dalam
menentukan maksud ilahi2.
6.2.
Kaidah
Kontekstual-Historis
Kaidah ini
mengharuskan penafsir memperhatikan konteks sejarah dan situasi
komunikasi ketika teks diturunkan atau ditulis. Dalam
hermeneutika Kristen, prinsip ini disebut sensus litteralis historicus, yakni
makna literal yang dipahami dalam konteks sejarah konkret. Thomas Aquinas
menyatakan bahwa pengabaian terhadap latar historis dapat mengakibatkan
penyimpangan dalam penafsiran, terutama dalam memahami nubuat atau simbol dalam
Kitab Suci3.
Dalam tafsir Islam,
prinsip ini dikenal dengan asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya
ayat) dan maqām
al-khiṭāb (situasi komunikasi wahyu). Al-Suyūṭī dalam al-Itqān
fī ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan bahwa mengenali latar belakang
sosial, politik, atau personal dari ayat sangat penting untuk membedakan antara
makna universal dan partikular4. Konteks historis ini juga
menentukan apakah suatu ayat bersifat muḥkam (tegas) atau mutashābih
(ambigu), serta aplikabilitasnya dalam hukum atau etika.
6.3.
Prinsip Konsistensi
dan Kesatuan Teks
Hermeneutika klasik
juga menjunjung prinsip kesatuan dan koherensi teks.
Dalam teologi Kristen, terdapat keyakinan bahwa seluruh Kitab Suci merupakan
satu kesatuan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Oleh karena itu, ayat-ayat
yang tampak kontradiktif harus ditafsirkan dalam terang keseluruhan wahyu.
Agustinus menulis, “Scripture interprets Scripture”,
yang berarti bahwa bagian-bagian Kitab harus saling menjelaskan5.
Prinsip ini
sebanding dengan kaidah dalam tafsir Al-Qur’an: al-Qur’ān yufassiru ba‘ḍuhu
ba‘ḍan (“sebagian ayat menafsirkan sebagian lainnya”).
Para mufassir seperti Ibn Kathīr banyak menggunakan pendekatan ini dalam
menjelaskan ayat-ayat yang kompleks dengan merujuk pada ayat-ayat lain yang
lebih jelas atau terkait secara tematik6.
6.4.
Prinsip Otoritas dan
Tradisi
Dalam hermeneutika
klasik, otoritas tafsir tidak diberikan
kepada siapa pun secara bebas. Penafsiran yang sah harus tunduk pada kerangka
otoritas tradisi, baik itu magisterium gereja dalam Kristen maupun ijmā‘
(konsensus ulama) dalam Islam. Dalam Gereja Katolik, penafsiran Kitab Suci yang
menyimpang dari ajaran gereja dianggap sesat. Oleh karena itu, tafsir-teolog
seperti Aquinas dan Anselmus menempatkan diri mereka dalam tradisi eksegesis
patristik dan ajaran resmi Gereja7.
Dalam Islam,
penafsiran teks wahyu diikat oleh metodologi uṣūl al-fiqh dan disaring melalui
tradisi keilmuan yang ketat. Munculnya madzhab dalam hukum Islam merupakan
wujud konkret dari pembakuan otoritas dalam penafsiran. Kaidah-kaidah seperti lā
ijtihāda ma‘a naṣṣ (tidak boleh berijtihad jika teks eksplisit)
atau ijtihād
fī mawḍi‘ al-nuṣūṣ al-ẓanniyyah (ijtihad dibolehkan dalam teks yang
tidak qath‘i) menegaskan ruang dan batasan dalam interpretasi8.
6.5.
Prinsip Teleologis
dan Etis
Hermeneutika klasik
juga mengandung dimensi tujuan (teleologi) dan etika,
yaitu bahwa penafsiran harus membawa manusia pada kebaikan, kebijaksanaan, dan
ketundukan kepada kebenaran ilahi. Dalam De Doctrina Christiana, Agustinus
menyatakan bahwa interpretasi yang menghasilkan cinta kepada Allah dan sesama
adalah interpretasi yang sah9. Demikian pula dalam tafsir sufistik
Islam, makna sejati dari teks tidak hanya terletak pada struktur semantiknya,
tetapi pada transformasi ruhani pembacanya.
Footnotes
[1]
Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1958), 35–52.
[2]
Al-Zamakhsharī, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq
al-Tanzīl, ed. ‘Abd Allāh al-‘Alī
al-Khatīb (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 2009), vol. 1, 12–20.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.
[4]
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Al-Itqān
fī ‘Ulūm al-Qur’ān, ed. Muhammad Abu
al-Fadl Ibrahim (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2003), vol. 1, 82–85.
[5]
Augustine, On Christian Doctrine, 65.
[6]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sami bin Muhammad Salamah (Riyadh: Dār Ṭayyibah,
1999), vol. 1, 28.
[7]
Brian Stock, Augustine the Reader:
Meditation, Self-Knowledge, and the Ethics of Interpretation (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996),
101–103.
[8]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic
Legal Theories (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 104–108.
[9]
Augustine, On Christian Doctrine, 85–86.
7.
Tokoh-Tokoh Kunci
Hermeneutika Klasik
Perkembangan
hermeneutika klasik sebagai fondasi bagi teori interpretasi dalam tradisi Barat
dan Islam tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para pemikir besar yang
meletakkan kaidah, prinsip, dan metodologi penafsiran yang sistematis terhadap
teks-teks otoritatif. Tokoh-tokoh ini tidak hanya berperan sebagai komentator
teks, tetapi juga sebagai arsitek epistemologis yang membentuk tradisi
pengetahuan yang berakar dalam pemahaman teks. Beberapa tokoh penting dalam
sejarah hermeneutika klasik meliputi figur-figur dari ranah filsafat Yunani,
teologi Kristen, serta keilmuan Islam klasik.
7.1.
Agustinus (354–430
M)
Agustinus dari Hippo
adalah salah satu bapak gereja Latin yang paling berpengaruh dalam membentuk
kerangka hermeneutika Kristen klasik. Dalam karyanya De
Doctrina Christiana, Agustinus mengembangkan teori tentang makna
literal dan makna spiritual dari Kitab Suci, serta pentingnya niat pengarang
dan konteks dalam menentukan makna teks1. Ia juga
menggarisbawahi prinsip caritas (kasih) sebagai pedoman
moral dan spiritual dalam menafsirkan, dengan keyakinan bahwa interpretasi yang
membawa pada kasih kepada Allah dan sesama adalah interpretasi yang benar2.
Agustinus juga
memperkenalkan kerangka semiotik awal, dengan membedakan antara signa
(tanda) dan res (realitas yang ditunjuk oleh
tanda), yang menjadi fondasi penting bagi teori tanda dalam hermeneutika dan
semiotika modern3.
7.2.
Origenes (±185–254
M)
Origenes dari
Alexandria adalah pionir dalam penafsiran alegoris dalam tradisi Kristen awal.
Ia memperkenalkan struktur tiga lapis dalam memahami teks suci: makna
literal, makna moral, dan makna
spiritual (anagogis), yang sejajar dengan pemahaman tubuh,
jiwa, dan roh dalam antropologi Kristen4.
Penafsirannya menekankan bahwa teks Alkitab tidak dapat dipahami sepenuhnya
tanpa membedakan lapisan-lapisan makna tersebut, terutama karena banyak teks
yang tampak aneh, paradoksal, atau mustahil jika dibaca secara harfiah.
Origen juga menjadi
model awal bagi pendekatan hermeneutis yang menggabungkan pengetahuan
linguistik, retoris, dan spiritual—suatu metode yang kelak memengaruhi tradisi
Patristik dan skolastik.
7.3.
Thomas Aquinas
(1225–1274 M)
Sebagai teolog dan
filsuf skolastik terkemuka, Thomas Aquinas mengintegrasikan pendekatan rasional
Aristotelian dengan teologi Kristen dalam Summa Theologica. Ia mempertahankan
pentingnya makna literal (sensus litteralis) sebagai dasar
dari segala bentuk makna spiritual dalam Kitab Suci5. Bagi
Aquinas, semua penafsiran alegoris, moral, dan anagogis harus berpijak pada
makna literal yang dapat diverifikasi secara logis dan gramatikal.
Aquinas juga
berperan besar dalam sistematisasi metode penafsiran Alkitab di bawah kerangka
logika dan analitik. Ia menjadikan hermeneutika sebagai bagian dari struktur
epistemologis teologi dan menjembatani nalar serta iman, sebagaimana tercermin
dalam semboyannya yang terkenal: fides et ratio (iman dan akal).
7.4.
Ibn Jarīr al-Ṭabarī
(839–923 M)
Dalam tradisi Islam,
al-Ṭabarī adalah salah satu mufassir awal dan paling berpengaruh. Karyanya Jāmi‘
al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān dianggap sebagai model awal tafsīr
bi al-ma’tsūr, yaitu penafsiran berbasis riwayat sahih dari Nabi,
sahabat, dan tabi‘in6. Al-Ṭabarī menekankan
pendekatan linguistik dan kontekstual secara sistematis, dan ia menetapkan
metode seleksi riwayat berdasarkan validitas sanad dan koherensi semantik.
Keunggulan
metodologis al-Ṭabarī terlihat dari komitmennya pada prinsip ijtihād
dalam pemilahan makna yang paling sahih di antara berbagai riwayat, serta
kecermatannya dalam menjelaskan perbedaan pandangan secara argumentatif tanpa
keluar dari bingkai otoritas tradisi.
7.5.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
(1149–1209 M)
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
membawa hermeneutika Islam ke tingkat reflektif yang lebih tinggi. Dalam Mafātīḥ
al-Ghayb, ia menafsirkan Al-Qur’an dengan memadukan pendekatan
teologis, filosofis, dan logis. Ia tidak hanya menafsirkan ayat, tetapi juga
menyisipkan diskursus panjang tentang kosmologi, epistemologi, dan logika,
menjadikan tafsirnya sebagai ensiklopedia intelektual klasik Islam7.
Al-Rāzī memberikan
perhatian khusus pada relasi antara akal dan wahyu, serta bagaimana teks suci
harus dibaca dalam terang prinsip-prinsip rasional. Pendekatannya mencerminkan
hermeneutika skolastik yang paralel dengan Thomas Aquinas dalam tradisi
Kristen.
7.6.
Ibn ‘Arabī
(1165–1240 M)
Dalam dimensi
esoterik dan mistik, Ibn ‘Arabī merupakan representasi dari hermeneutika
spiritual (‘irfānī). Ia mengembangkan teori tentang simbolisme teks
wahyu yang tidak bisa dijangkau oleh rasio semata, melainkan harus dibaca
melalui pengalaman ruhani dan intuisi yang disucikan. Dalam Fuṣūṣ
al-Ḥikam dan al-Futūḥāt al-Makkiyya, Ibn ‘Arabī
menunjukkan bagaimana Al-Qur’an berbicara kepada setiap individu sesuai dengan
maqām (tingkatan spiritual) mereka8.
Bagi Ibn ‘Arabī,
teks ilahi bersifat dinamis dan tak terbatas dalam makna—selalu terbuka bagi
pembacaan baru yang selaras dengan perjalanan eksistensial dan keterhubungan
ruhani dengan Tuhan. Pendekatan ini mirip dengan hermeneutika eksistensial yang
akan berkembang berabad-abad kemudian di Barat.
Footnotes
[1]
Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson, Jr. (Indianapolis:
Bobbs-Merrill, 1958), 60–79.
[3]
Brian Stock, Augustine the Reader:
Meditation, Self-Knowledge, and the Ethics of Interpretation (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996),
112–115.
[4]
Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (Gloucester, MA: Peter
Smith, 1973), 286–290.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, Q1, Art. 10.
[6]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī
Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Mahmud
Muhammad Syakir (Beirut: Dār al-Fikr, 2000), vol. 1, 15–27.
[7]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ
al-Ghayb (Beirut: Dār Iḥyā’
al-Turāth al-‘Arabī, 1997), vol. 1, 35–40.
[8]
William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 131–137.
8.
Peralihan Menuju
Hermeneutika Modern
Peralihan dari
hermeneutika klasik menuju hermeneutika modern menandai perubahan paradigmatik
dalam cara manusia memahami hubungan antara teks, pengarang, pembaca, dan
makna. Jika dalam kerangka klasik hermeneutika berfokus pada rekonstruksi maksud
pengarang dan makna objektif teks dalam kerangka otoritas
tradisi, maka hermeneutika modern mulai menekankan aspek subjektivitas
pembaca, kondisi historis pemahaman, dan
dinamika
dialogis antara subjek dan objek dalam proses penafsiran.
Transisi ini berlangsung secara bertahap sejak abad ke-17 dan mencapai bentuk
reflektif-filosofisnya pada abad ke-19 dan 20 melalui tokoh-tokoh seperti
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan Gadamer.
8.1.
Konteks Historis dan
Tantangan Modernitas
Latar belakang
peralihan ini terkait erat dengan munculnya Reformasi Protestan, Pencerahan
(Aufklärung), dan rasionalisme modern. Reformasi
yang dipelopori Martin Luther pada awal abad ke-16 membuka akses langsung umat
terhadap Kitab Suci, dan dengan demikian, menantang otoritas tunggal gereja
dalam interpretasi. Luther menekankan prinsip sola scriptura, yang berarti setiap
individu dapat menafsirkan Alkitab secara langsung, dengan bantuan akal dan
iman1.
Selanjutnya, era
Pencerahan menghadirkan semangat kritisisme, historisisme, dan otonomi rasio.
Teks tidak lagi dipandang sebagai wahyu transenden yang harus ditafsirkan melalui
otoritas keagamaan, melainkan sebagai dokumen historis yang dapat dianalisis
secara objektif. Hermeneutika, dalam konteks ini, mengalami sekularisasi dan
dijadikan bagian dari studi filologi, hukum, dan ilmu sejarah2.
8.2.
Friedrich
Schleiermacher (1768–1834): Hermeneutika sebagai Seni Memahami
Schleiermacher
adalah tokoh penting yang meletakkan dasar bagi hermeneutika modern sebagai teori
umum pemahaman (Allgemeine Hermeneutik), bukan
sekadar metode teologis atau filologis. Ia berpendapat bahwa pemahaman terhadap
teks melibatkan dua momen utama: pemahaman gramatikal dan pemahaman
psikologis. Yang pertama berkaitan dengan struktur linguistik
teks, sementara yang kedua berusaha menangkap "keindividualan"
penulis melalui rekonstruksi dunia batinnya3.
Schleiermacher juga
mengembangkan konsep lingkaran hermeneutik (hermeneutischer
Zirkel), yaitu ide bahwa pemahaman atas bagian teks tergantung pada
pemahaman keseluruhan, dan sebaliknya. Proses ini menuntut pembaca untuk
terus-menerus bergerak antara bagian dan keseluruhan dalam rangka memperdalam
pemahaman. Di sinilah dimensi dialogis dan reflektif dari
hermeneutika mulai muncul4.
8.3.
Wilhelm Dilthey
(1833–1911): Hermeneutika dan Ilmu Humaniora
Dilthey memperluas
cakupan hermeneutika ke dalam ranah ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften).
Ia mengontraskan metode pengetahuan dalam ilmu alam (Erklären,
menjelaskan) dengan dalam ilmu budaya dan sejarah (Verstehen, memahami). Hermeneutika
menjadi dasar epistemologis bagi pendekatan verstehen, yakni pemahaman terhadap
makna yang terkandung dalam pengalaman manusia historis5.
Dilthey menekankan
bahwa teks bukan hanya struktur bahasa, tetapi ekspresi kehidupan batin manusia
yang harus dipahami dalam konteks sejarah dan budaya. Dengan demikian,
pemahaman tidak bersifat objektif-mekanistik, melainkan historis dan
kontekstual. Ini menandai langkah penting menuju kesadaran
historis dalam teori interpretasi.
8.4.
Dari Metode ke
Ontologi: Heidegger dan Gadamer
Transformasi paling
mendalam dalam hermeneutika modern terjadi dalam filsafat fenomenologi dan
eksistensialisme. Martin Heidegger (1889–1976) menggeser hermeneutika dari
metode interpretasi ke dalam ontologi pemahaman. Dalam Sein und
Zeit (1927), ia menegaskan bahwa pemahaman bukanlah tindakan
intelektual terhadap objek luar, tetapi mode eksistensial dari Dasein
(manusia sebagai ada yang mengerti). Teks, dalam pandangannya, bukan hanya
kata-kata yang menunggu dijelaskan, tetapi medan pengungkapan makna dalam
keterlemparan historis subjek6.
Murid Heidegger,
Hans-Georg Gadamer (1900–2002), dalam Wahrheit und Methode (1960),
mengembangkan hermeneutika filosofis yang menekankan dialog
antara horizon makna pembaca dan teks. Ia menolak kemungkinan
pemahaman “objektif” dan memperkenalkan konsep Fusion
der Horizonte (peleburan cakrawala), di mana pemahaman adalah hasil
dari pertemuan antara konteks historis pembaca dan dunia teks7.
Gadamer juga
menekankan peran praanggapan dan tradisi
dalam proses interpretasi. Alih-alih dihindari, tradisi dan bias dianggap
sebagai prasyarat yang memungkinkan pemahaman. Di sinilah hermeneutika modern
berbeda tajam dari model klasik yang berusaha menanggalkan subjektivitas dalam
menafsirkan teks.
8.5.
Implikasi terhadap
Tradisi Hermeneutika Klasik
Peralihan menuju
hermeneutika modern membawa implikasi besar terhadap otoritas tafsir dan
struktur pengetahuan. Jika hermeneutika klasik berfungsi mempertahankan makna
yang mapan dan diturunkan secara hierarkis, maka hermeneutika modern membuka
ruang bagi pluralitas makna, kontekstualisasi
pemahaman, serta otonomi interpretatif pembaca.
Tradisi masih memiliki peran penting, tetapi bukan sebagai sumber otoritas
absolut, melainkan sebagai mitra dialogis dalam pemahaman.
Namun demikian,
pergeseran ini juga menimbulkan kritik, khususnya dari kalangan teolog dan
filsuf yang menilai bahwa relativisasi makna dan dekonstruksi otoritas dapat
mengaburkan batas antara pemahaman dan penyimpangan. Maka, hermeneutika modern
terus bergulat dengan ketegangan antara kebebasan interpretasi dan tanggung
jawab makna.
Footnotes
[1]
Alister E. McGrath, Reformation
Thought: An Introduction, 4th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 126–129.
[2]
Kurt Mueller-Vollmer, The
Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to
the Present (New York: Continuum,
1985), 1–12.
[3]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics
and Criticism, ed. Andrew Bowie
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–25.
[4]
Joel C. Weinsheimer, Philosophical
Hermeneutics and Literary Theory
(New Haven: Yale University Press, 1991), 23–25.
[5]
Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume
IV – Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton
University Press, 1996), 236–241.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 188–195.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 306–313.
9.
Relevansi Hermeneutika
Klasik dalam Kajian Teks Keagamaan dan Humaniora
Di tengah
berkembangnya pendekatan-pendekatan baru dalam studi teks, hermeneutika klasik
tetap memegang peran penting dalam kajian keagamaan dan humaniora. Meskipun
telah muncul berbagai teori interpretasi kontemporer yang menekankan aspek
subjektif, dekonstruktif, atau historis-kritis, prinsip-prinsip hermeneutika
klasik terus menjadi fondasi epistemologis dalam memahami teks-teks otoritatif.
Nilai utama dari pendekatan klasik terletak pada komitmennya terhadap struktur
linguistik, maksud pengarang, serta kontinuitas tradisi penafsiran—unsur-unsur
yang krusial dalam menjaga stabilitas makna dan otoritas dalam studi keagamaan
maupun humanistik.
9.1.
Stabilitas Makna dan
Otoritas dalam Kajian Keagamaan
Salah satu relevansi
utama hermeneutika klasik dalam kajian keagamaan adalah kemampuannya
mempertahankan stabilitas makna dalam
menghadapi pluralitas tafsir. Dalam studi kitab suci, baik dalam tradisi Islam,
Kristen, maupun Yudaisme, pendekatan klasik membantu menegakkan parameter
interpretasi yang berbasis pada otoritas tradisi dan struktur kebahasaan.
Prinsip-prinsip seperti sensus litteralis dalam tradisi
Kristen atau tafsīr bi al-ma’tsūr dalam Islam,
menyediakan landasan metodologis yang dapat mencegah relativisme interpretatif
yang tak terkendali.1
Lebih jauh,
hermeneutika klasik memberikan kerangka yang kuat untuk memahami teks sebagai
bagian dari wahyu ilahi yang terikat pada komunitas keimanan. Ini menjadi
sangat relevan dalam konteks pendidikan keagamaan, di mana pemahaman terhadap
teks harus dibarengi dengan pembentukan etika keberimanan dan disiplin ilmiah.
Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, stabilitas makna dalam tradisi religius
memungkinkan “pemeliharaan identitas historis komunitas melalui teks yang
selalu diperbaharui dalam pembacaan”.2
9.2.
Keunggulan Filologis
dalam Studi Humaniora
Dalam bidang
humaniora, hermeneutika klasik memberikan kontribusi besar terhadap pendekatan filologis,
yang menjadi dasar dalam studi sastra, sejarah, dan filsafat. Prinsip analisis
linguistik, studi kontekstual, serta perhatian terhadap struktur retoris dan
stilistik dari teks tetap menjadi praktik yang esensial dalam studi teks-teks
klasik. Pendekatan ini misalnya terlihat dalam studi tragedi Yunani, epos
Latin, karya-karya Shakespeare, hingga manuskrip Islam klasik, di mana
pemahaman atas bentuk gramatikal dan nuansa semantik sangat menentukan
interpretasi makna.
Anthony Grafton
menunjukkan bahwa kebangkitan kembali studia humanitatis pada era
Renaisans sepenuhnya mengandalkan prinsip-prinsip hermeneutika klasik yang
diwarisi dari tradisi skolastik dan retorika kuno3.
Prinsip-prinsip ini—seperti exegesis, lectio,
dan interpretatio—tetap
berfungsi sebagai instrumen penting dalam studi teks klasik hingga hari ini.
9.3.
Keseimbangan antara
Nalar, Tradisi, dan Spiritualitas
Keunggulan lain dari
hermeneutika klasik adalah kemampuannya menyatukan tiga elemen kunci dalam
studi teks keagamaan: nalar, tradisi,
dan spiritualitas.
Dalam pendekatan ini, teks tidak hanya dibaca secara akademis atau teknis,
tetapi juga dalam semangat penghayatan, sebagaimana terlihat dalam karya
Agustinus, Aquinas, maupun al-Ghazālī. Penafsiran dalam kerangka klasik
bertujuan tidak hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk menginternalisasi
nilai, menyempurnakan akhlak, dan menghubungkan
diri dengan sumber makna transenden4.
Sebagai contoh,
dalam pendidikan pesantren atau madrasah tradisional di dunia Islam, metode tafsir,
syarḥ
(penjelasan), dan ḥāsyiyah (komentar) tetap
menggunakan prinsip-prinsip hermeneutika klasik yang memungkinkan keterpaduan
antara kecermatan ilmiah dan kehormatan terhadap teks suci. Pola serupa juga
ditemukan dalam pendidikan teologi di gereja Katolik dan ortodoks timur.
9.4.
Fondasi bagi Dialog
Antartradisi dan Multikulturalisme
Hermeneutika klasik
juga menyediakan perangkat konseptual untuk dialog antaragama dan kajian
multikultural. Karena ia berangkat dari kesadaran bahwa teks mengandung
kedalaman makna yang menuntut pendekatan hati-hati dan berbasis etika,
pendekatan ini memungkinkan pembacaan lintas tradisi yang tidak bersifat
relativistik tetapi tetap menghormati keunikan dan keotentikan masing-masing
teks dan komunitasnya.
Gadamer menyatakan
bahwa “hermeneutika adalah seni mendengarkan”.5
Dengan demikian, dalam dunia global yang sarat keragaman budaya dan keyakinan,
hermeneutika klasik mengajarkan pentingnya kesabaran dalam membaca, ketekunan
dalam menelusuri makna, serta komitmen pada keterbukaan terhadap yang
lain—suatu nilai yang sangat mendesak dalam dunia akademik dan keagamaan
kontemporer.
Footnotes
[1]
Anthony C. Thiselton, The
Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 38–42.
[2]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 13–14.
[3]
Anthony Grafton, Defenders of the Text:
The Traditions of Scholarship in an Age of Science, 1450–1800 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991),
27–32.
[4]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Muhammad al-Sabbāgh (Beirut: Dār Ibn Ḥazm,
2005), vol. 1, 22–30.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 361.
10.
Simpulan
Hermeneutika klasik
merupakan tonggak awal dari perkembangan teori dan praktik penafsiran yang
berakar kuat dalam tradisi intelektual, teologis, dan filologis berbagai
peradaban. Sebagai disiplin yang tumbuh dari kebutuhan untuk memahami teks-teks
suci dan karya-karya otoritatif masa lampau, hermeneutika klasik menghadirkan
seperangkat kaidah yang berupaya menjamin keterbacaan, ketepatan makna, dan
kontinuitas pemahaman dalam kerangka otoritas dan komunitas pembaca.
Sebagaimana
diuraikan sepanjang pembahasan artikel ini, hermeneutika klasik berawal dari
filsafat Yunani kuno—khususnya dari pemikiran Plato dan Aristoteles—yang
kemudian dikembangkan dalam konteks religius oleh tokoh-tokoh seperti Origenes
dan Agustinus di dunia Kristen, serta al-Ṭabarī, al-Rāzī, dan Ibn ‘Arabī di
dunia Islam. Masing-masing tokoh tersebut memberi kontribusi penting dalam
memperkaya dan menginstitusionalisasi metode penafsiran, baik yang bersifat
literal, alegoris, rasional, maupun esoterik1.
Prinsip-prinsip
utama yang mendasari hermeneutika klasik—seperti penekanan pada makna literal,
gramatikal, dan historis; pentingnya maksud pengarang; serta keharusan
mengikuti otoritas tradisi—memberikan stabilitas epistemologis dalam proses
interpretasi. Meskipun hermeneutika modern telah memperkenalkan paradigma baru
yang menekankan subjektivitas pembaca, dinamika sejarah pemahaman, dan dialog
antar horizon, fondasi hermeneutika klasik tetap relevan dalam banyak konteks,
terutama dalam studi teks-teks keagamaan dan karya-karya warisan budaya dunia2.
Hermeneutika klasik
juga memperlihatkan fleksibilitas yang tinggi. Ia tidak membekukan makna,
melainkan menyediakan ruang bagi penafsiran yang bertanggung jawab melalui
kerangka metodologis yang jelas. Hal ini terlihat dalam pendekatan hermeneutika
Islam yang mampu mengakomodasi pelbagai pendekatan—bayani, burhani, dan
‘irfani—tanpa kehilangan prinsip epistemik dasarnya3.
Di tengah tantangan
kontemporer berupa relativisme interpretasi, dekonstruksi otoritas, dan
fragmentasi makna, kembalinya minat terhadap hermeneutika klasik mencerminkan
kebutuhan akan model interpretasi yang etis, terstruktur, dan berpijak pada
warisan intelektual yang kokoh. Sebagaimana dikemukakan oleh Hans-Georg
Gadamer, pemahaman sejati bukan sekadar reproduksi makna, tetapi sebuah
perjumpaan yang etis dengan tradisi dan teks yang lain4.
Dengan demikian,
hermeneutika klasik bukanlah relik usang dari masa lalu, tetapi warisan
metodologis yang masih menawarkan kontribusi besar dalam menjembatani masa lalu
dan masa kini, teks dan pembaca, makna dan kehidupan.
Footnotes
[1]
Anthony C. Thiselton, The
Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 23–42.
[2]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 48–52.
[3]
Muhammad Abed al-Jābirī, Takwīn
al-‘Aql al-‘Arabī (Beirut: al-Markaz
al-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1991), 27–55.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 362–367.
Daftar Pustaka
Al-Ghazālī. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (M.
al-Sabbāgh, Ed.). Beirut: Dār Ibn Ḥazm.
Al-Ghazālī. (1993). Al-mustasfā fī ‘ilm al-uṣūl
(M. ‘Abd al-Salām ‘Abd al-Shāfī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya.
Al-Jābirī, M. A. (1991). Takwīn al-‘aql
al-‘arabī. Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-‘Arabī.
Al-Suyūṭī, J. A. D. (2003). Al-itqān fī ‘ulūm
al-Qur’ān (M. A. Ibrāhīm, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Al-Ṭabarī, I. J. (2000). Jāmi‘ al-bayān fī
ta’wīl āy al-Qur’ān (M. M. Syākir, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.
Aristotle. (1941). On interpretation (E. M.
Edghill, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp.
40–58). New York: Random House.
Augustine. (1958). On Christian doctrine (D.
W. Robertson, Jr., Trans.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: SUNY Press.
Dilthey, W. (1996). Hermeneutics and the study
of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton: Princeton
University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Grafton, A. (1991). Defenders of the text: The
traditions of scholarship in an age of science, 1450–1800. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Grondin, J. (1994). Introduction to
philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven: Yale
University Press.
Hallaq, W. B. (1997). A history of Islamic legal
theories: An introduction to Sunni uṣūl al-fiqh. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution
of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Ibn Kathīr. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘aẓīm
(S. M. Salamah, Ed.). Riyadh: Dār Ṭayyibah.
Izutsu, T. (2002). Ethico-religious concepts in
the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An
introduction (4th ed.). Oxford: Wiley-Blackwell.
Mueller-Vollmer, K. (Ed.). (1985). The
hermeneutics reader: Texts of the German tradition from the Enlightenment to
the present. New York: Continuum.
Origen. (1973). On first principles (G. W.
Butterworth, Trans.). Gloucester, MA: Peter Smith.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Evanston: Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth: Texas Christian
University Press.
Runia, D. T. (1986). Philo of Alexandria and the
Timaeus of Plato. Leiden: Brill.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Smalley, B. (1964). The study of the Bible in
the Middle Ages. Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Stock, B. (1996). Augustine the reader:
Meditation, self-knowledge, and the ethics of interpretation. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.
Van Ess, J. (1991). Theologie und Gesellschaft
im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 1). Berlin: Walter de Gruyter.
Weinsheimer, J. C. (1991). Philosophical
hermeneutics and literary theory. New Haven: Yale University Press.
Zamakhsharī, J. (2009). Al-Kashshāf ‘an ḥaqā’iq
al-tanzīl (‘A. al-Khatīb, Ed.). Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Zarqā, M. (1998). Uṣūl al-fiqh al-islāmī.
Damaskus: Dār al-Qalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar