Selasa, 01 April 2025

Mengenal Pemikiran Mujassimah

Mengenal Pemikiran Mujassimah

Antropomorfisme dalam Sejarah Pemikiran Islam


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang kelompok teologis dalam sejarah Islam yang dikenal dengan sebutan Mujassimah, yaitu mereka yang meyakini bahwa Allah memiliki bentuk jasmani atau menyerupai makhluk dalam sifat-sifat-Nya. Melalui pendekatan historis dan teologis, artikel ini menjelaskan pengertian tajsīm dan tasybīh, kemunculan dan tokoh-tokoh yang teridentifikasi dengan pemikiran Mujassimah, serta pandangan-pandangan pokok mereka yang berpijak pada pemahaman literal terhadap ayat-ayat sifat dalam Al-Qur’an dan hadis.

Lebih lanjut, artikel ini menyajikan tanggapan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, yang secara tegas menolak pendekatan antropomorfis dan menegaskan pentingnya prinsip tanzīh, tafwīḍ, dan ta’wīl dalam memahami sifat-sifat Allah. Diulas pula perbedaan metodologis antara Ahlus Sunnah dan Mujassimah, serta dampak historis dan warisan pemikiran tajsīm dalam beberapa pendekatan literalis ekstrem hingga era kontemporer. Penutup artikel menegaskan pentingnya pendidikan aqidah yang moderat dan berbasis warisan ulama otoritatif untuk menjaga kemurnian tauhid umat Islam dari pemahaman yang menyimpang.

Kata Kunci: Mujassimah, tajsīm, tasybīh, aqidah Islam, ayat sifat, Ahlus Sunnah wal Jamaah, tanzīh, tafwīḍ, ta’wīl, antropomorfisme, pemikiran Islam.


PEMBAHASAN

Pemikiran Kelompok Antropomorfis (Mujassimah atau Musyabbibah)


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, terdapat beragam aliran teologi (ilmu kalam) yang muncul sebagai respons terhadap berbagai persoalan filosofis, sosial, dan tafsir terhadap teks-teks keagamaan, khususnya ayat-ayat sifat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Salah satu aliran yang menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam adalah kelompok yang dikenal sebagai Mujassimah atau Musyabbihah, yaitu kelompok yang meyakini bahwa Allah memiliki bentuk fisik (jism) atau menyerupai makhluk dalam sifat-sifat-Nya.

Pandangan semacam ini tergolong menyimpang dalam kerangka aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang secara konsisten menolak segala bentuk penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan apapun, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Laisa kamitslihi syai’un” (QS. Asy-Syura [42] ayat 11). Penafsiran literal terhadap ayat-ayat sifat tanpa memahami konteks dan prinsip dasar tauhid dapat menjerumuskan seseorang ke dalam pemahaman yang bertentangan dengan prinsip tanzih (penyucian Allah dari segala sifat makhluk). Ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal secara tegas menolak tajsīm dan menyatakan bahwa memahami ayat-ayat mutasyabihat harus dengan metode tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) atau ta’wil yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan prinsip aqidah yang benar.¹

Kajian terhadap pemikiran Mujassimah penting dilakukan sebagai bagian dari upaya mengenali ragam dinamika pemikiran dalam sejarah Islam, bukan dalam rangka membenarkan, menghidupkan, atau menganjurkan keyakinan tersebut. Pendekatan ilmiah terhadap kelompok ini membantu kita memahami mengapa pandangan tersebut muncul, bagaimana reaksi ulama terhadapnya, serta bagaimana prinsip-prinsip Ahlus Sunnah dibangun sebagai respons teologis yang argumentatif dan moderat.

Sebagaimana ditegaskan oleh al-Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal, munculnya kelompok yang memahami ayat-ayat sifat secara literal dan meyakini bentuk fisik bagi Allah merupakan bagian dari penyimpangan akibat tidak adanya panduan metodologis dalam memahami nash-nash mutasyabihat.² Hal ini kemudian menjadi peringatan penting bagi umat Islam untuk berhati-hati dalam memahami teks-teks agama agar tidak tergelincir dalam pemikiran yang menyimpang dari prinsip tauhid yang murni.

Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas secara historis dan konseptual pandangan-pandangan yang diusung oleh Mujassimah, tokoh-tokoh yang teridentifikasi dengan pemikiran tersebut, serta tanggapan dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pandangan mereka. Seluruh pembahasan ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan teologis, menguatkan akidah yang lurus, serta menegaskan pentingnya menjaga kemurnian tauhid dalam bingkai tanzih.


Footnotes

[1]                Abu Zahrah, Muhammad. Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-Siyāsah wa al-‘Aqīdah wa Tārīkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 205; Lihat juga: Al-Tahawi, Abu Ja’far. al-‘Aqīdah al-Tahāwiyyah, ed. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi (Kairo: Maktabah al-Turats al-Islami, 1991), 9–10.

[2]                Al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 73–74.


2.           Pengertian Antropomorfisme dalam Konteks Teologi Islam

Dalam konteks teologi Islam, istilah antropomorfisme merujuk pada keyakinan atau pemahaman yang menetapkan sifat-sifat fisik atau bentuk jasmani kepada Allah Swt, yang secara harfiah menyerupakan-Nya dengan makhluk. Pemikiran ini dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah tajsīm (تجسيم), yang berarti “menjadikan sesuatu sebagai jism (benda)” atau tubuh, dan tasybīh (تشبيه), yang berarti “menyerupakan”.² Kedua istilah ini secara umum digunakan oleh para ulama teologi untuk menyebut pandangan-pandangan yang menyimpang dari prinsip tanzīh, yaitu ajaran tentang penyucian Allah dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk.

Secara konseptual, tajsīm mengimplikasikan keyakinan bahwa Allah memiliki dimensi fisik, ruang, atau anggota tubuh, sebagaimana yang dimiliki makhluk. Hal ini bertentangan dengan prinsip utama dalam tauhid, yaitu bahwa Allah itu laysa kamitslihi syai’un—tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (QS. Asy-Syura [42] ayat 11).³ Dalam kerangka ini, setiap upaya untuk memahami ayat-ayat sifat (seperti “tangan Allah”, “wajah Allah”, “istiwā’ di atas ‘arsy”) secara harfiah tanpa memahami konteks kebahasaan dan prinsip teologis, berisiko menjerumuskan kepada pemikiran tajsīm.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Imam Abu Hanifah, telah menegaskan bahwa siapa pun yang mengatakan bahwa Allah adalah “jasad” (memiliki tubuh) atau berbentuk, maka ia telah keluar dari Islam. Dalam al-Fiqh al-Akbar, beliau menulis: “Barang siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.”⁴ Hal ini menjadi fondasi penting dalam teologi Islam untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindari segala bentuk penyerupaan Allah dengan makhluk.

Istilah Mujassimah dan Musyabbihah digunakan oleh para ulama untuk menyebut kelompok atau individu yang menganut paham tajsīm atau tasybīh. Menurut al-Baghdadi, Mujassimah adalah mereka yang menetapkan bagi Allah sifat-sifat jasmani, seperti ukuran, bentuk, atau arah tertentu, sebagaimana makhluk.⁵ Di sisi lain, Musyabbihah lebih umum merujuk kepada mereka yang menyerupakan sifat-sifat Allah (seperti marah, turun, mencintai) dengan sifat-sifat manusia, baik dalam makna maupun implikasi. Meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian, sebagian ulama membedakan bahwa tajsīm adalah bentuk ekstrem dari tasybīh.

Perlu dicatat bahwa tidak semua yang memahami ayat-ayat sifat secara tekstual otomatis tergolong Mujassimah. Dalam sejarahnya, terdapat spektrum pendekatan yang luas dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, termasuk pendekatan tafwīḍ (menyerahkan makna hakikinya kepada Allah) dan ta’wīl (menakwilkan makna simbolik berdasarkan kaidah bahasa Arab dan prinsip tauhid). Pendekatan ini telah diterapkan oleh ulama seperti Imam Malik dan Imam al-Nawawi, yang mengatakan:

ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Istiwa’ itu ma‘lūm, kaifiyyah-nya majhūl, iman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‘ah.”_⁶

Dengan memahami pengertian tajsīm dan tasybīh secara tepat, kita dapat membedakan antara pemahaman yang masih berada dalam koridor Ahlus Sunnah dengan pemikiran ekstrem yang menyeret kepada penggambaran fisikal terhadap Allah. Inilah yang menjadi titik tolak kritik keras para ulama terhadap kelompok Mujassimah, karena mereka dianggap telah melanggar batas tanzīh dan menyimpang dari prinsip tauhid yang murni.


Footnotes

[1]                Louis Gardet, “God and His Attributes,” dalam Encyclopaedia of Islam, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2002), vol. 2, 1033–1035.

[2]                Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977), 207–208.

[3]                Al-Qur'an al-Karim, QS. Asy-Syura: 11.

[4]                Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, ed. Syaikh Zahid al-Kawthari (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2007), 302.

[5]                Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, 208.

[6]                Ibn Abd al-Barr, al-Tamhīd, vol. 7 (Cairo: Dar al-Fikr, 1985), 145.


3.           Munculnya Pemikiran Mujassimah

Pemikiran Mujassimah tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan muncul sebagai bagian dari dinamika pemahaman terhadap teks-teks keagamaan dalam fase awal perkembangan teologi Islam. Munculnya pemikiran yang cenderung pada tajsīm (pemberian jasad atau bentuk fisik kepada Allah) dilatarbelakangi oleh kombinasi faktor internal dan eksternal: keterbatasan metodologi dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, pengaruh filsafat asing, dan pertarungan wacana antara kelompok literalis dan rasionalis dalam Islam klasik.

Secara historis, kecenderungan tajsīm mulai terlihat pada abad ke-2 H/8 M, ketika sebagian kelompok memahami ayat-ayat sifat Allah secara tekstual ekstrem (dzahir literal) tanpa memperhatikan prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah aqidah Islam. Dalam buku al-Milal wa al-Nihal, al-Syahrastani menyebutkan bahwa golongan Mujassimah berkeyakinan bahwa Allah memiliki tubuh (jism), anggota tubuh seperti tangan, wajah, kaki, bahkan duduk di atas ‘arsy secara harfiah, sebagaimana makhluk duduk di atas kursi.¹

Salah satu tokoh awal yang sering dikaitkan dengan pemikiran ini adalah Hisyam bin al-Hakam, seorang tokoh Syiah Imamiyah yang hidup pada abad ke-2 H. Ia dituduh oleh para kritikusnya sebagai orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki “bentuk” (ṣurah), bahkan menyamakannya dengan sosok manusia bercahaya.² Meskipun ia tidak secara eksplisit diklasifikasikan sebagai Mujassim dalam arti formal, namun pemikirannya berkontribusi terhadap berkembangnya kecenderungan antropomorfis dalam kalangan tertentu.

Tokoh lain yang disebut secara eksplisit sebagai Mujassim adalah Dawud al-Jawaribi, yang hidup pada masa yang sama dan secara terbuka menyatakan bahwa Allah memiliki tubuh dan ukuran, meskipun tidak seperti makhluk. Menurut al-Baghdadi, Dawud termasuk tokoh yang paling jelas mempopulerkan pandangan Mujassimah.³ Ia bahkan berusaha menafsirkan seluruh ayat-ayat sifat secara dzahir tanpa takwil, dan menolak pendekatan tafwidh atau simbolik.

Penyebaran pandangan tajsīm juga mendapatkan momentumnya melalui kecenderungan kelompok Hanbali ekstremis pada abad ke-3 H yang menolak takwil dan bersikeras memahami ayat-ayat sifat sesuai makna harfiahnya. Meskipun Imam Ahmad bin Hanbal sendiri dikenal sebagai ulama yang sangat menjaga prinsip tanzīh dan menghindari tajsīm, sebagian pengikut fanatiknya kemudian mengembangkan pemahaman yang lebih literalistis yang menyerempet tajsīm. Hal ini dikritik keras oleh ulama seperti Ibn al-Jawzi, yang dalam bukunya Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh, menegaskan bahwa sebagian Hanbali telah menyimpang dari jalan Imam Ahmad dan jatuh dalam kubangan tasybīh.⁴

Selain faktor internal, pengaruh pemikiran asing, seperti ajaran dualistik Persia, filsafat Yunani, dan tradisi Yahudi-Kristen tentang antropomorfisme Tuhan, turut menjadi faktor yang memperkuat munculnya tajsīm.⁵ Kecenderungan memvisualisasikan Tuhan secara fisik sudah dikenal dalam tradisi agama-agama sebelumnya, dan ketika umat Islam tidak dibekali dengan metodologi tafsir yang kokoh, maka potensi terjerumus ke dalam pandangan yang serupa menjadi terbuka.

Sebagai respons terhadap penyimpangan ini, ulama Ahlus Sunnah seperti al-Asy‘ari, al-Maturidi, dan para imam mazhab memberikan klarifikasi dan bantahan ilmiah yang sistematis. Mereka memperkenalkan prinsip bila kaif (tanpa menanyakan “bagaimana”) dan bila tasybih (tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk) sebagai metode moderat untuk menjaga kemurnian tauhid tanpa menolak ayat-ayat sifat.⁶

Dengan demikian, kemunculan Mujassimah dapat dipahami sebagai fenomena historis yang muncul dalam konteks kebingungan metodologis, pemahaman literal berlebihan, dan kurangnya fondasi teologis yang seimbang. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam agar tidak hanya memahami ayat-ayat Allah secara tekstual, tetapi juga dengan bimbingan ilmu, kehati-hatian, dan warisan para ulama salaf yang lurus.


Footnotes

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 73–75.

[2]                Wilferd Madelung, The Development of Early Shī‘ī Theology (Aldershot: Ashgate Variorum, 1996), 218–220.

[3]                Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1977), 207.

[4]                Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh (Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1990), 10–12.

[5]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 215–219.

[6]                Imam al-Tahawi, al-‘Aqidah at-Tahawiyyah, dengan syarah oleh Ibn Abi al-‘Izz, ed. Ali al-Halabi (Kairo: Dar al-Turath, 1991), 12–15.


4.           Pandangan-Pandangan Pokok Mujassimah

Kelompok Mujassimah mewakili salah satu bentuk pemikiran ekstrem dalam teologi Islam, khususnya dalam memahami ayat-ayat sifat Allah yang bersifat mutasyabihat. Ciri pokok pemikiran mereka adalah penetapan sifat-sifat fisik bagi Allah, sebagaimana makhluk, dengan dasar pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis tanpa proses ta’wil atau tafwidh. Akibatnya, mereka menetapkan bahwa Allah memiliki jism (tubuh) dan anggota badan, meskipun sebagian dari mereka menyatakan bahwa “jism Allah” tidak sama dengan jism makhluk.

4.1.       Penetapan Tubuh dan Anggota Badan bagi Allah

Pandangan utama Mujassimah adalah meyakini bahwa Allah memiliki bentuk atau tubuh yang terdiri dari anggota seperti wajah, tangan, kaki, dan bahkan arah tempat. Mereka merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:

·                     “Yadullāh fawqa aydīhim” (Tangan Allah di atas tangan mereka) – QS. Al-Fath [48] ayat 10

·                     “Wajhu rabbika dzū al-jalāli wa al-ikrām” (Wajah Tuhanmu yang penuh keagungan dan kemuliaan) – QS. Ar-Rahman [55] ayat 27

·                     “Ar-Rahmān ‘ala al-‘arsy istawā” (Allah bersemayam di atas ‘arsy) – QS. Taha [20] ayat 5

Mereka memahami ayat-ayat ini secara harfiah, dengan menyatakan bahwa Allah benar-benar memiliki tangan, wajah, dan berada di atas langit secara fisik, sebagaimana makhluk duduk di atas kursi atau bertempat di suatu arah.¹

Tokoh seperti Dawud al-Jawaribi secara tegas menyatakan bahwa Allah memiliki tubuh dan bentuk yang dapat dibayangkan, walau berbeda dari makhluk.² Bahkan sebagian ekstremis di antara mereka menyebut bahwa Allah memiliki ukuran tertentu dan “duduk” di atas ‘arsy-Nya.³

4.2.       Penolakan terhadap Ta’wil dan Tafwidh

Mujassimah menolak pendekatan ta’wil yang lazim digunakan oleh para ulama Ahlus Sunnah untuk memahami makna metaforis ayat-ayat sifat. Mereka menganggap bahwa menakwil berarti menolak firman Allah. Dalam hal ini, mereka juga menolak pendekatan tafwidh, yaitu menyerahkan makna hakiki ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah sembari tetap mengimaninya tanpa menyerupai makhluk.⁴

Sebaliknya, mereka berpegang pada metode pemahaman literal (dzahir) secara total. Pandangan ini bertentangan dengan metode salaf shalih, seperti yang diriwayatkan dari Imam Malik bin Anas ketika menjelaskan ayat istiwa’:

ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

“al-istiwa’ ma’lūm, wa al-kaif majhūl, wa al-imān bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid’ah” (Istiwa’ itu maknanya diketahui, caranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentang caranya adalah bid’ah).⁵

4.3.       Penafsiran Hadis-Hadis Mutasyabihat secara Fisik

Mereka juga menafsirkan hadis-hadis yang menggambarkan tindakan Allah dalam bentuk gerakan fisik secara harfiah. Misalnya:

·                     Hadis tentang Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir (HR. Bukhari dan Muslim)

·                     Hadis tentang Allah meletakkan kaki-Nya di neraka sehingga neraka berkata: “Cukup, cukup!” (HR. Bukhari)

Mujassimah memahami hadis-hadis ini sebagai bukti bahwa Allah memiliki anggota tubuh dan gerakan, seperti turun dan menginjak.⁶ Mereka tidak menerima takwil bahwa “turun” di sini berarti mendekatkan rahmat atau bahwa makna “kaki” adalah simbol kekuasaan.

4.4.       Konsep Keberadaan Allah dalam Ruang dan Arah

Mujassimah juga menetapkan bahwa Allah bertempat di atas langit dan terbatas pada arah tertentu (yaitu arah atas). Mereka menolak prinsip tanazzuh (penyucian Allah dari tempat dan arah), padahal ini merupakan salah satu prinsip dasar tauhid. Al-Baghdadi mencatat bahwa sebagian kelompok bahkan meyakini bahwa Allah memiliki batas (hadd) dan ukuran tertentu.⁷

4.5.       Penolakan terhadap Kaidah Tanzīh

Pandangan-pandangan ini secara nyata bertentangan dengan prinsip tanzīh, yaitu penyucian Allah dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk. Dalam aqidah Ahlus Sunnah, tanzīh adalah landasan utama dalam memahami sifat-sifat Allah, sebagaimana termaktub dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11: “Laysa kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya). Dalam teologi Islam, tasybīh dipandang sebagai bentuk penghinaan terhadap keesaan dan keagungan Allah.⁸


Footnotes

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 75–76.

[2]                Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1977), 207.

[3]                Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh (Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1990), 13–14.

[4]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 99.

[5]                Ibn Abd al-Barr, al-Tamhīd, vol. 7 (Cairo: Dar al-Fikr, 1985), 145.

[6]                Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah wa al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 203–205.

[7]                Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, 208.

[8]                Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 43–45.


5.           Tanggapan Ulama Ahlus Sunnah terhadap Pemikiran Mujassimah

Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah secara konsisten dan tegas menolak pemikiran tajsīm (penjasadan) dan tasybīh (penyerupaan Allah dengan makhluk), sebagaimana yang diyakini oleh kelompok Mujassimah. Mereka memandang bahwa keyakinan tersebut merupakan bentuk penyimpangan serius dari prinsip dasar tauhid, yaitu tanzīh—menyucikan Allah dari segala sifat-sifat makhluk. Penolakan terhadap tajsīm ini muncul sejak generasi awal Islam (salaf) dan terus berlanjut dalam karya-karya teologi (kalām) dan akidah Ahlus Sunnah di kemudian hari.

5.1.       Imam Abu Hanifah (w. 150 H)

Imam Abu Hanifah secara eksplisit menyatakan bahwa Allah bukan jism dan tidak boleh disifati dengan sesuatu yang menyerupai makhluk. Dalam al-Fiqh al-Akbar, beliau menulis:

مَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي الْبَشَرِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ قَالَ: إِنَّ اللهَ جِسْمٌ لَا كَالأَجْسَامِ، فَقَدْ كَفَرَ.

Barang siapa menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir. Barang siapa mengatakan bahwa Allah adalah jism, bukan seperti jism, maka ia juga telah kafir.”_¹

Pernyataan ini menegaskan bahwa penyifatan Allah dengan jism, sekalipun disertai dengan penafian keserupaan, tetap tergolong penyimpangan aqidah.

5.2.       Imam al-Asy‘ari (w. 324 H)

Sebagai pendiri salah satu madzhab teologi utama dalam Ahlus Sunnah, Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari awalnya berada dalam kubu Mu’tazilah namun kemudian berpindah dan membela aqidah salaf yang moderat. Dalam al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah, ia menegaskan bahwa Allah memiliki sifat, namun tidak serupa dengan makhluk, dan menolak pemahaman harfiah terhadap ayat-ayat mutasyabihat.²

Ia mengembangkan pendekatan tafwīḍ, yaitu menyerahkan makna hakiki dari ayat-ayat sifat kepada Allah, sekaligus menolak metode Mujassimah yang menisbatkan bentuk atau gerakan kepada Allah.

5.3.       Imam al-Maturidi (w. 333 H)

Imam Abu Mansur al-Maturidi menempuh jalan rasional moderat dalam memahami sifat-sifat Allah. Dalam karyanya Kitab al-Tawḥīd, ia menolak secara tegas pandangan bahwa Allah memiliki bentuk, arah, atau tempat. Ia menyatakan:

وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ، وَلَا يَحْوِيهِ مَكَانٌ، وَلَا يَصِفُهُ بِالْجِهَةِ أَحَدٌ.

Allah tidak menyerupai sesuatu apapun, tidak diliputi oleh tempat, dan tidak disifati dengan arah.”_³

Ia menjelaskan bahwa pemahaman literal atas ayat-ayat sifat dapat mengarah pada tasybīh, sehingga harus dipahami secara kontekstual, baik dengan ta’wil yang sah ataupun tafwīḍ.

5.4.       Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)

Walaupun sebagian kelompok yang cenderung tajsīm mengklaim mengikuti Imam Ahmad, banyak riwayat otentik menunjukkan bahwa beliau tidak mengajarkan tajsīm. Beliau dikenal berpegang pada pemahaman salaf: mengimani ayat sifat sebagaimana adanya, tanpa menyamakan dan tanpa mempersoalkan kaifiyyah-nya (caranya).⁴

Dalam riwayat yang sahih, Imam Ahmad menyatakan bahwa:

اللَّهُ لَا يُدْرِكُهُ وَهْمُ الْمُتَوَهِّمِينَ، وَلَا يَبْلُغُهُ فَهْمُ الْفَاهِمِينَ، وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ، وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.

Allah tidak dapat dijangkau oleh khayalan orang yang berkhayal, tidak dapat dipahami oleh akal orang yang mencoba memahami-Nya, tidak ada sesuatu pun dari ciptaan-Nya yang menyerupai-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”_⁵

Hal ini membantah klaim bahwa beliau setuju dengan pemikiran Mujassimah, dan justru menunjukkan bahwa beliau menolak segala bentuk tasybīh.

5.5.       Ibn al-Jawzi (w. 597 H)

Sebagai ulama Hanbali terkemuka, Ibn al-Jawzi menulis risalah penting berjudul Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyāf at-Tanzīh untuk membantah pandangan-pandangan tajsīm yang berkembang di kalangan ekstremis Hanbali. Ia menyatakan bahwa sebagian orang yang mengaku Hanbali justru merusak ajaran Imam Ahmad dengan pandangan yang menyerupakan Allah dengan makhluk.⁶

Ibn al-Jawzi menegaskan bahwa ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dipahami secara zahir jika berujung pada penyerupaan Allah, dan umat Islam wajib menakwil atau menahan diri dari penafsiran literal.

5.6.       Al-Ghazali (w. 505 H)

Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn dan Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām, Imam al-Ghazali sangat keras menentang penyifatan Allah dengan anggota tubuh. Ia menegaskan bahwa akidah Ahlus Sunnah tidak menetapkan Allah sebagai jism, dan pendekatan literal terhadap ayat sifat hanyalah untuk awam, bukan sebagai dasar akidah.⁷

5.7.       Konsensus Ahlus Sunnah

Dalam Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah, sebuah referensi penting dalam teologi Sunni, ditegaskan:

مَنْ ظَنَّ أَنَّ اللهَ ذُو جِسْمٍ أَوْ حَدٍّ، فَقَدْ جَهِلَ الرَّبَّ تَعَالَى.

Barang siapa yang menyangka bahwa Allah memiliki bentuk atau ukuran, maka dia belum mengenal Tuhan yang Maha Esa.”_⁸

Pernyataan ini mencerminkan ijmā‘ (konsensus) para ulama bahwa menyifati Allah dengan jism atau bentuk adalah kekeliruan teologis yang besar.


Kesimpulan Sementara

Tanggapan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemikiran Mujassimah menunjukkan bahwa sejak awal Islam, telah ada upaya aktif dan argumentatif untuk menjaga kemurnian tauhid. Penolakan terhadap tajsīm dan tasybīh tidak hanya berupa kecaman, tetapi juga ditunjukkan melalui formulasi teologi yang rasional dan tekstual, dengan menjaga keseimbangan antara iman kepada nash dan penyucian Allah dari sifat-sifat makhluk. Hal ini menjadi pijakan penting dalam membentengi aqidah umat dari penyimpangan ekstrem yang mengurangi kesucian Tuhan dalam konsep keesaan-Nya.


Footnotes

[1]                Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, ed. Zahid al-Kawthari (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2007), 302.

[2]                Al-Asy‘ari, Abu al-Hasan. al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah, ed. Fawqiyyah Husein Mahmud (Beirut: Dar al-Anṣār, 1999), 14–16.

[3]                Al-Maturidi, Abu Mansur. Kitab al-Tawḥīd, ed. Fathullah Khalif (Beirut: Dar al-Masyriq, 1970), 85–88.

[4]                Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 11 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1998), 289–290.

[5]                Ibn Qudamah, Lum‘at al-I‘tiqād (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1995), 13.

[6]                Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh, 10–12.

[7]                Al-Ghazali, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), 45.

[8]                Al-Tahawi, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah, ed. Ibn Abi al-‘Izz, (Kairo: Dar al-Turats, 1991), 21.


6.           Perbedaan Antara Ahlus Sunnah dan Mujassimah dalam Memahami Ayat Sifat

Salah satu perbedaan mendasar antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kelompok Mujassimah terletak pada pendekatan mereka terhadap ayat-ayat sifat (ṣifāt), yaitu ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan hadis yang menyebutkan sifat-sifat Allah, baik yang dzahirnya menyerupai sifat makhluk maupun yang tidak.

Kelompok Mujassimah cenderung memahami ayat-ayat ini secara tekstual-literal (ḥarfiyyah), sementara Ahlus Sunnah memiliki pendekatan yang komprehensif dan kontekstual, berdasarkan prinsip tanzīh (penyucian Allah dari segala sifat makhluk) dan tafwīḍ (penyerahan makna hakiki kepada Allah) atau ta’wīl (penakwilan yang sahih menurut kaidah bahasa Arab dan syariat).

6.1.       Pendekatan Mujassimah: Pemahaman Literal dan Penyerupaan

Mujassimah memahami ayat-ayat seperti:

·                     “Yadullāh fawqa aydīhim” (QS. Al-Fath [48] ayat 10) – “Tangan Allah di atas tangan mereka”

·                     “Ar-Raḥmān ‘alā al-‘Arsy istawā” (QS. Ṭaha [20] ayat 5) – “Allah bersemayam di atas ‘Arsy”

·                     “Wajhu rabbika” (QS. Ar-Rahman [55] ayat 27) – “Wajah Tuhanmu”

dalam makna fisikal, yakni bahwa Allah benar-benar memiliki anggota tubuh seperti tangan, wajah, dan menempati tempat di atas ‘Arsy sebagaimana makhluk duduk di atas kursi.¹ Pandangan ini berangkat dari kekhawatiran bahwa penakwilan atau tafwīḍ akan menolak atau melemahkan kebenaran teks.

Menurut Mujassimah, tidak boleh menakwil ayat-ayat sifat, karena itu berarti tidak mempercayai nash.² Mereka menetapkan makna dzahir dari ayat-ayat tersebut, dan sebagian menyatakan bahwa “Allah memiliki tubuh, tetapi tidak seperti tubuh makhluk”—suatu kontradiksi dalam logika tauhid.³

6.2.       Pendekatan Ahlus Sunnah: Tanzīh, Tafwīḍ, dan Ta’wīl

Berbeda dengan itu, Ahlus Sunnah berpegang pada kaidah bahwa Allah memiliki sifat, tetapi tidak serupa dengan makhluk-Nya (QS. Asy-Syura [42] ayat 11 – “Laysa kamitslihi syai’un”). Karena itu, ayat-ayat sifat tidak boleh dipahami secara zahir jika dzahirnya membawa kepada tasybīh (penyerupaan).

Ulama seperti Imam Malik, saat ditanya tentang ayat “istawā ‘ala al-‘arsy”, menjawab:

ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

“al-istiwa’ ma‘lūm, wa al-kaif majhūl, wa al-īmān bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah” – “Istiwa’ itu diketahui (maknanya), cara (kaifiyyah)-nya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‘ah.”_⁴

Ahlus Sunnah kemudian menempuh dua pendekatan:

·                     Tafwīḍ:

Menyerahkan makna hakiki kepada Allah sambil tetap meyakini ayat tersebut adalah benar adanya. Ini adalah pendekatan salaf (ulama generasi awal), seperti Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya.⁵

·                     Ta’wīl:

Menakwil ayat-ayat sifat ke dalam makna simbolik yang sesuai dengan konteks dan kaidah bahasa Arab. Misalnya, “tangan Allah” ditakwilkan sebagai kekuasaan-Nya (qudrah), “wajah Allah” sebagai zat-Nya atau keridhaan-Nya, dan “turunnya Allah” sebagai datangnya rahmat atau perintah-Nya. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan khalaf (ulama generasi kemudian), seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi.⁶

6.3.       Perbedaan dalam Prinsip Tauhid

Ahlus Sunnah memahami bahwa tauhid yang benar mengharuskan pengakuan terhadap keunikan dan keesaan Allah dalam dzat, sifat, dan perbuatan. Penetapan sifat seperti “tangan” dan “wajah” dalam makna fisikal dianggap sebagai pengurangan terhadap keesaan-Nya, dan berpotensi menyeret kepada tasybīh atau tajsīm, yang ditolak dalam Islam.⁷

Sebaliknya, Mujassimah justru meyakini bahwa menetapkan makna dzahir adalah bentuk “iman sejati” terhadap nash, padahal cara ini justru menyalahi prinsip tanzīh dan membawa kepada pemahaman yang menyerupakan Allah dengan makhluk, walau secara lisan mereka menafikannya.

6.4.       Dampaknya terhadap Keimanan

Perbedaan ini bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sangat mempengaruhi cara seseorang memandang Tuhan. Pemahaman Mujassimah berpotensi membentuk gambaran Tuhan yang fisikal, sehingga menjerumuskan kepada pemikiran antropomorfis yang dapat mendistorsi tauhid. Sebaliknya, pendekatan Ahlus Sunnah menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap teks wahyu dan penjagaan terhadap kemurnian tauhid.


Footnotes

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 74.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 96–98.

[3]                Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977), 207–208.

[4]                Ibn Abd al-Barr, al-Tamhīd, vol. 7 (Cairo: Dar al-Fikr, 1985), 145.

[5]                Imam al-Tahawi, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah, ed. Ibn Abi al-‘Izz (Kairo: Dar al-Turath, 1991), 15–17.

[6]                Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 48–50.

[7]                Al-Ghazali, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), 43–46.


7.           Dampak dan Warisan Pemikiran Mujassimah

Meskipun pemikiran Mujassimah telah lama ditolak oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah, warisannya tidak serta-merta hilang dari wacana pemikiran Islam. Justru dalam beberapa periode sejarah, pemikiran yang cenderung pada antropomorfisme (tajsīm) kembali mencuat dalam bentuk-bentuk baru yang lebih terselubung, khususnya dalam kelompok yang mengedepankan pendekatan literal (tekstual) ekstrem terhadap ayat-ayat sifat. Oleh karena itu, penting untuk menelusuri dampak historis, teologis, dan sosial dari pemikiran ini serta jejak-jejaknya dalam perkembangan pemikiran Islam hingga era kontemporer.

7.1.       Penolakan dan Peringatan dari Ulama Arus Utama

Sejak awal, para ulama Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab secara tegas mengutuk pemikiran tajsīm sebagai bentuk penyimpangan aqidah. Mereka tidak hanya menolaknya secara teoritis, tetapi juga secara institusional dalam forum-forum keulamaan dan pengajaran. Kitab-kitab teologi klasik seperti al-Tamhīd, al-Ibānah, Kitab al-Tawḥīd, dan al-Milal wa al-Nihal menjadi bukti bahwa pemikiran ini dianggap menyimpang dan membahayakan kemurnian tauhid.¹

Bahkan Ibn al-Jawzi, seorang ulama Hanbali, menyatakan bahwa sebagian pengikut mazhabnya yang menyimpang dengan menetapkan bentuk dan arah bagi Allah “telah membuka pintu fitnah” dan mencemarkan nama baik Imam Ahmad bin Hanbal.² Ini menunjukkan bahwa bahaya tajsīm tidak hanya pada aspek aqidah, tetapi juga merusak warisan intelektual Islam.

7.2.       Pengaruh dalam Lingkungan Literalis Ekstrem

Dalam sejarah, terutama pada abad ke-5 hingga ke-7 H, muncul kelompok-kelompok yang—meskipun tidak mengklaim sebagai Mujassimah secara eksplisit—namun dalam praktiknya mengadopsi metode dan pemikiran serupa. Mereka menolak segala bentuk ta’wil dan tafwīḍ, serta menegaskan makna dzahir ayat-ayat sifat secara mutlak. Dalam konteks ini, sebagian kelompok yang mengidentifikasi diri dengan salaf justru menyimpang dari pendekatan salaf yang sebenarnya.³

Sebagian besar dari kelompok ini berkembang di kawasan Najd dan menjadi cikal bakal bagi beberapa gerakan revivalis abad ke-18 yang menggunakan pendekatan literalis ekstrem dalam memahami nash-nash agama. Walaupun tidak semuanya dapat secara langsung dikategorikan sebagai Mujassimah, akan tetapi pengaruh metode tajsīm sangat tampak dalam penggunaan teks secara literal dan penolakan terhadap simbolisme dan ta’wil.⁴

7.3.       Warisan dalam Literatur Tafsir dan Hadis

Sebagian karya tafsir dan syarah hadis yang bersifat ekstrem literalis ikut mewarisi jejak pemikiran Mujassimah. Contohnya, dalam sebagian syarah hadis tentang sifat Allah (seperti hadis tentang “turunnya Allah” pada sepertiga malam terakhir), dijumpai pemahaman bahwa Allah benar-benar turun secara fisik, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Allah terikat ruang dan gerak.⁵

Beberapa karya ini bahkan menyertakan ilustrasi makhlukiyah dalam menjelaskan sifat Allah, seperti “duduk” atau “tertawa”, yang dipahami dalam konteks gerakan fisik sebagaimana makhluk. Ini menjadi celah bagi masuknya pemikiran antropomorfis dalam tafsir-tafsir populer.

7.4.       Implikasi terhadap Pemahaman Keagamaan Masyarakat

Di tingkat akar rumput, warisan pemikiran Mujassimah berkontribusi pada pemahaman yang keliru tentang Tuhan, yaitu gambaran Allah sebagai sosok fisik yang berada di langit, melihat dengan mata, atau memiliki tangan yang serupa tangan manusia. Gambaran semacam ini bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam yang menekankan bahwa Allah tidak serupa dengan apapun (QS. Asy-Syura [42] ayat 11).

Dampaknya adalah munculnya kecenderungan tajdid yang menyimpang, yaitu ingin kembali ke “Islam murni” dengan cara menolak pemikiran rasional dan simbolik yang justru menjadi bagian dari warisan salafus shalih.⁶ Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan polarisasi dalam komunitas Muslim, serta mempersempit ruang tafsir dan dialog teologis.

7.5.       Relevansi Kritik Terhadap Mujassimah di Era Kontemporer

Kritik terhadap pemikiran Mujassimah tetap relevan hingga hari ini. Di era digital, penyebaran dakwah literal ekstrem melalui media sosial dan platform daring membuat sebagian masyarakat awam kembali terpapar pandangan tajsīm. Karena itu, peran lembaga pendidikan Islam, pesantren, dan madrasah menjadi sangat penting dalam meluruskan pemahaman keagamaan umat dengan mengajarkan prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah yang moderat, berakar pada dalil dan tradisi keilmuan otentik.⁷


Kesimpulan Sementara

Pemikiran Mujassimah, meskipun ditolak secara luas oleh ulama Ahlus Sunnah, tetap meninggalkan jejak dalam sejarah Islam, baik dalam bentuk pengaruh metodologis maupun dalam narasi dakwah sebagian kelompok. Karena itu, kewaspadaan intelektual dan penguatan pendidikan teologi yang seimbang sangat diperlukan untuk menjaga umat dari penyimpangan yang mengarah pada penyerupaan Allah dengan makhluk. Warisan para ulama yang memurnikan tauhid harus terus dihidupkan sebagai benteng utama dari pengaruh antropomorfisme dalam pemikiran keislaman.


Footnotes

[1]                Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1993), 73–75.

[2]                Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh (Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1990), 12–14.

[3]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 95–98.

[4]                Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah wa al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 204–207.

[5]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, vol. 3 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1987), 30–32.

[6]                Ahmad al-Katib, "Anthropomorphic Conceptions of God in Modern Salafi Discourse," Journal of Islamic Thought and Civilization 5, no. 2 (2015): 112–130.

[7]                Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 43–45.


8.           Penutup

Kajian tentang pemikiran Mujassimah dalam sejarah teologi Islam bukan semata-mata menggali aliran yang telah ditinggalkan oleh mayoritas umat Islam, melainkan merupakan bentuk kewaspadaan ilmiah terhadap penyimpangan dalam memahami sifat-sifat Allah yang Maha Suci. Melalui telaah yang komprehensif, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Mujassimah, yang menetapkan bentuk fisik dan ciri-ciri jasadiyah bagi Allah, merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar tauhid, yakni tanzīh—penyucian Allah dari segala sifat makhluk.

Para ulama Ahlus Sunnah, baik dari mazhab salaf maupun khalaf, secara konsisten menolak pandangan antropomorfis ini. Mereka menegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya, namun tidak serupa dengan makhluk dalam bentuk, kaifiyyah, maupun hakikatnya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11, “Laysa kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).¹ Pendekatan moderat Ahlus Sunnah yang menggunakan metode tafwīḍ dan ta’wīl sahih merupakan jalan tengah yang menjaga keimanan terhadap teks wahyu tanpa terjerumus dalam tasybīh (penyerupaan) maupun ta‘ṭīl (peniadaan sifat).

Studi historis menunjukkan bahwa meskipun Mujassimah secara formal tidak lagi menjadi gerakan besar dalam Islam kontemporer, warisan pemikirannya masih terselip dalam sejumlah pendekatan keagamaan ekstrem yang memahami ayat-ayat sifat secara literal tanpa mempertimbangkan prinsip tauhid. Oleh karena itu, urgensi pendidikan aqidah yang berimbang dan bersumber dari warisan ulama mu’tabar (otoritatif) sangatlah penting dalam membentengi umat Islam dari potensi penyimpangan pemahaman.²

Lebih dari itu, pembahasan tentang kelompok seperti Mujassimah hendaknya tidak disalahpahami sebagai upaya mendiskreditkan pihak tertentu, melainkan sebagai bentuk pencerahan akademik dan penguatan akidah berdasarkan prinsip ilmiah. Sikap kritis terhadap penyimpangan tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, selama disampaikan dalam bingkai ilmiah, etis, dan berdasarkan rujukan yang valid.³

Dengan demikian, pemahaman terhadap fenomena pemikiran seperti Mujassimah menjadi pelajaran penting bahwa membaca dan menafsirkan nash agama tidak cukup dengan pendekatan literal semata, melainkan memerlukan metodologi, pemahaman bahasa, dan penguasaan prinsip-prinsip dasar aqidah. Hal ini sesuai dengan pesan para ulama bahwa aqidah bukan hanya tentang “apa yang diyakini”, tetapi juga “bagaimana cara meyakini” dengan benar dan proporsional.⁴

Semoga pembahasan ini dapat memperluas wawasan umat, memperkuat keimanan terhadap keagungan Allah yang Maha Sempurna, serta membentengi dari paham-paham menyimpang yang dapat merusak keutuhan tauhid. Sebagaimana doa yang sering dibaca oleh para ulama salaf:

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Allāhumma arinal-ḥaqqa ḥaqqan warzuqnā ittibā‘ah, wa arinal-bāṭila bāṭilan warzuqnā ijtinābah

"Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya."_⁵


Footnotes

[1]                Al-Qur’an al-Karīm, QS. Asy-Syura: 11.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 101.

[3]                Al-Ghazali, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 47.

[4]                Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 50–52.

[5]                Dikutip dalam Ibn Qudamah, Lum‘at al-I‘tiqād, ed. Al-Harbi (Riyadh: Dar al-Watan, 1992), 9.


Daftar Pustaka

Abu Hanifah. (2007). al-Fiqh al-Akbar (Z. al-Kawthari, Ed.). Beirut: Dar al-Ma'arif.

Abu Zahrah, M. (1996). Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah wa al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī.

Al-Asy‘ari, A. H. (1999). al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah (F. H. Mahmud, Ed.). Beirut: Dar al-Anṣār.

Al-Baghdadi, ‘A. al-Q. (1977). al-Farq bayn al-Firaq. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Al-Ghazali, A. H. M. (1962). Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām. Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Maturidi, A. M. (1970). Kitab al-Tawḥīd (F. Khalif, Ed.). Beirut: Dar al-Masyriq.

Al-Qur’an al-Karim.

Al-Razi, F. al-D. (2002). Asās al-Taqdīs (A. H. al-Saqqa, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Syahrastani, M. b. A. (1993). al-Milal wa al-Nihal (M. S. Kailani, Ed.). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Al-Tahawi, A. J. (1991). Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah (I. A. al-‘Izz, Ed.). Kairo: Dar al-Turath.

Gardet, L. (2002). God and His Attributes. In P. Bearman et al. (Eds.), Encyclopaedia of Islam (Vol. 2, pp. 1033–1035). Leiden: Brill.

Ibn ‘Abd al-Barr, Y. (1985). al-Tamhīd (Vol. 7). Cairo: Dar al-Fikr.

Ibn al-Jawzi, A. F. (1990). Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh. Kairo: Maktabah al-Qāhirah.

Ibn Hajar al-‘Asqalani. (1987). Fath al-Bari (Vol. 3). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Ibn Qudamah. (1992). Lum‘at al-I‘tiqād (A. al-Harbi, Ed.). Riyadh: Dar al-Watan.

Madelung, W. (1996). The Development of Early Shī‘ī Theology. Aldershot: Ashgate Variorum.

Nasution, H. (1996). Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar