Mengenal Pemikiran Mujassimah
Antropomorfisme dalam Sejarah Pemikiran Islam
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
kelompok teologis dalam sejarah Islam yang dikenal dengan sebutan Mujassimah,
yaitu mereka yang meyakini bahwa Allah memiliki bentuk jasmani atau menyerupai
makhluk dalam sifat-sifat-Nya. Melalui pendekatan historis dan teologis,
artikel ini menjelaskan pengertian tajsīm dan tasybīh, kemunculan dan
tokoh-tokoh yang teridentifikasi dengan pemikiran Mujassimah, serta
pandangan-pandangan pokok mereka yang berpijak pada pemahaman literal terhadap
ayat-ayat sifat dalam Al-Qur’an dan hadis.
Lebih lanjut, artikel ini menyajikan tanggapan
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, yang
secara tegas menolak pendekatan antropomorfis dan menegaskan pentingnya prinsip
tanzīh, tafwīḍ, dan ta’wīl dalam memahami sifat-sifat Allah. Diulas pula
perbedaan metodologis antara Ahlus Sunnah dan Mujassimah, serta dampak historis
dan warisan pemikiran tajsīm dalam beberapa pendekatan literalis ekstrem hingga
era kontemporer. Penutup artikel menegaskan pentingnya pendidikan aqidah yang
moderat dan berbasis warisan ulama otoritatif untuk menjaga kemurnian tauhid
umat Islam dari pemahaman yang menyimpang.
Kata Kunci: Mujassimah, tajsīm, tasybīh, aqidah Islam, ayat
sifat, Ahlus Sunnah wal Jamaah, tanzīh, tafwīḍ, ta’wīl, antropomorfisme,
pemikiran Islam.
PEMBAHASAN
Pemikiran Kelompok Antropomorfis (Mujassimah atau Musyabbibah)
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, terdapat
beragam aliran teologi (ilmu kalam) yang muncul sebagai respons terhadap
berbagai persoalan filosofis, sosial, dan tafsir terhadap teks-teks keagamaan,
khususnya ayat-ayat sifat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Salah satu aliran yang
menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam adalah kelompok yang dikenal
sebagai Mujassimah atau Musyabbihah, yaitu kelompok yang meyakini
bahwa Allah memiliki bentuk fisik (jism) atau menyerupai makhluk dalam
sifat-sifat-Nya.
Pandangan semacam ini tergolong menyimpang dalam
kerangka aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang secara konsisten menolak
segala bentuk penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah
tidak serupa dengan apapun, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Laisa
kamitslihi syai’un” (QS. Asy-Syura [42] ayat 11). Penafsiran literal
terhadap ayat-ayat sifat tanpa memahami konteks dan prinsip dasar tauhid dapat
menjerumuskan seseorang ke dalam pemahaman yang bertentangan dengan prinsip tanzih
(penyucian Allah dari segala sifat makhluk). Ulama seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal secara tegas menolak
tajsīm dan menyatakan bahwa memahami ayat-ayat mutasyabihat harus dengan metode
tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) atau ta’wil yang sesuai dengan
kaidah bahasa Arab dan prinsip aqidah yang benar.¹
Kajian terhadap pemikiran Mujassimah penting
dilakukan sebagai bagian dari upaya mengenali ragam dinamika pemikiran dalam
sejarah Islam, bukan dalam rangka membenarkan, menghidupkan, atau menganjurkan
keyakinan tersebut. Pendekatan ilmiah terhadap kelompok ini membantu kita
memahami mengapa pandangan tersebut muncul, bagaimana reaksi ulama terhadapnya,
serta bagaimana prinsip-prinsip Ahlus Sunnah dibangun sebagai respons teologis
yang argumentatif dan moderat.
Sebagaimana ditegaskan oleh al-Syahrastani,
dalam al-Milal wa al-Nihal, munculnya kelompok yang memahami ayat-ayat
sifat secara literal dan meyakini bentuk fisik bagi Allah merupakan bagian dari
penyimpangan akibat tidak adanya panduan metodologis dalam memahami nash-nash
mutasyabihat.² Hal ini kemudian menjadi peringatan penting bagi umat Islam
untuk berhati-hati dalam memahami teks-teks agama agar tidak tergelincir dalam
pemikiran yang menyimpang dari prinsip tauhid yang murni.
Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas secara
historis dan konseptual pandangan-pandangan yang diusung oleh Mujassimah,
tokoh-tokoh yang teridentifikasi dengan pemikiran tersebut, serta tanggapan
dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pandangan mereka. Seluruh
pembahasan ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan teologis, menguatkan akidah
yang lurus, serta menegaskan pentingnya menjaga kemurnian tauhid dalam bingkai
tanzih.
Footnotes
[1]
Abu Zahrah, Muhammad. Tārīkh al-Madhāhib
al-Islāmiyyah fī al-Siyāsah wa al-‘Aqīdah wa Tārīkh al-Madhāhib al-Fiqhiyyah
(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 205; Lihat juga: Al-Tahawi, Abu Ja’far. al-‘Aqīdah
al-Tahāwiyyah, ed. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi (Kairo: Maktabah
al-Turats al-Islami, 1991), 9–10.
[2]
Al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 73–74.
2.
Pengertian
Antropomorfisme dalam Konteks Teologi Islam
Dalam konteks teologi Islam, istilah antropomorfisme
merujuk pada keyakinan atau pemahaman yang menetapkan sifat-sifat fisik atau
bentuk jasmani kepada Allah Swt, yang secara harfiah menyerupakan-Nya dengan
makhluk. Pemikiran ini dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah tajsīm (تجسيم), yang berarti “menjadikan sesuatu
sebagai jism (benda)” atau tubuh, dan tasybīh (تشبيه), yang berarti “menyerupakan”.²
Kedua istilah ini secara umum digunakan oleh para ulama teologi untuk menyebut pandangan-pandangan
yang menyimpang dari prinsip tanzīh, yaitu ajaran tentang penyucian
Allah dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk.
Secara konseptual, tajsīm mengimplikasikan
keyakinan bahwa Allah memiliki dimensi fisik, ruang, atau anggota tubuh, sebagaimana
yang dimiliki makhluk. Hal ini bertentangan dengan prinsip utama dalam tauhid,
yaitu bahwa Allah itu laysa kamitslihi syai’un—tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya (QS. Asy-Syura [42] ayat 11).³ Dalam kerangka ini,
setiap upaya untuk memahami ayat-ayat sifat (seperti “tangan Allah”, “wajah
Allah”, “istiwā’ di atas ‘arsy”) secara harfiah tanpa memahami
konteks kebahasaan dan prinsip teologis, berisiko menjerumuskan kepada
pemikiran tajsīm.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Imam
Abu Hanifah, telah menegaskan bahwa siapa pun yang mengatakan bahwa Allah
adalah “jasad” (memiliki tubuh) atau berbentuk, maka ia telah keluar
dari Islam. Dalam al-Fiqh al-Akbar, beliau menulis: “Barang siapa yang
menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.”⁴ Hal ini
menjadi fondasi penting dalam teologi Islam untuk menjaga kemurnian tauhid dan
menghindari segala bentuk penyerupaan Allah dengan makhluk.
Istilah Mujassimah dan Musyabbihah
digunakan oleh para ulama untuk menyebut kelompok atau individu yang menganut
paham tajsīm atau tasybīh. Menurut al-Baghdadi, Mujassimah adalah mereka
yang menetapkan bagi Allah sifat-sifat jasmani, seperti ukuran, bentuk, atau
arah tertentu, sebagaimana makhluk.⁵ Di sisi lain, Musyabbihah lebih
umum merujuk kepada mereka yang menyerupakan sifat-sifat Allah (seperti marah,
turun, mencintai) dengan sifat-sifat manusia, baik dalam makna maupun
implikasi. Meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian,
sebagian ulama membedakan bahwa tajsīm adalah bentuk ekstrem dari tasybīh.
Perlu dicatat bahwa tidak semua yang memahami
ayat-ayat sifat secara tekstual otomatis tergolong Mujassimah. Dalam
sejarahnya, terdapat spektrum pendekatan yang luas dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasyabihat, termasuk pendekatan tafwīḍ (menyerahkan makna hakikinya
kepada Allah) dan ta’wīl (menakwilkan makna simbolik berdasarkan kaidah
bahasa Arab dan prinsip tauhid). Pendekatan ini telah diterapkan oleh ulama
seperti Imam Malik dan Imam al-Nawawi, yang mengatakan:
ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ
بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ itu ma‘lūm, kaifiyyah-nya majhūl, iman
kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‘ah.”_⁶
Dengan memahami pengertian tajsīm dan tasybīh
secara tepat, kita dapat membedakan antara pemahaman yang masih berada dalam
koridor Ahlus Sunnah dengan pemikiran ekstrem yang menyeret kepada penggambaran
fisikal terhadap Allah. Inilah yang menjadi titik tolak kritik keras para ulama
terhadap kelompok Mujassimah, karena mereka dianggap telah melanggar batas
tanzīh dan menyimpang dari prinsip tauhid yang murni.
Footnotes
[1]
Louis Gardet, “God and His Attributes,” dalam Encyclopaedia
of Islam, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2002), vol. 2, 1033–1035.
[2]
Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn
al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977), 207–208.
[3]
Al-Qur'an al-Karim, QS. Asy-Syura: 11.
[4]
Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, ed. Syaikh
Zahid al-Kawthari (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2007), 302.
[5]
Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, 208.
[6]
Ibn Abd al-Barr, al-Tamhīd, vol. 7 (Cairo:
Dar al-Fikr, 1985), 145.
3.
Munculnya
Pemikiran Mujassimah
Pemikiran Mujassimah tidak lahir dalam ruang hampa,
melainkan muncul sebagai bagian dari dinamika pemahaman terhadap teks-teks
keagamaan dalam fase awal perkembangan teologi Islam. Munculnya pemikiran yang cenderung
pada tajsīm (pemberian jasad atau bentuk fisik kepada Allah)
dilatarbelakangi oleh kombinasi faktor internal dan eksternal: keterbatasan
metodologi dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, pengaruh filsafat asing, dan
pertarungan wacana antara kelompok literalis dan rasionalis dalam Islam klasik.
Secara historis, kecenderungan tajsīm mulai
terlihat pada abad ke-2 H/8 M, ketika sebagian kelompok memahami ayat-ayat
sifat Allah secara tekstual ekstrem (dzahir literal) tanpa memperhatikan
prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah aqidah Islam. Dalam buku al-Milal wa
al-Nihal, al-Syahrastani menyebutkan bahwa golongan Mujassimah berkeyakinan
bahwa Allah memiliki tubuh (jism), anggota tubuh seperti tangan, wajah, kaki,
bahkan duduk di atas ‘arsy secara harfiah, sebagaimana makhluk duduk di atas
kursi.¹
Salah satu tokoh awal yang sering dikaitkan dengan
pemikiran ini adalah Hisyam bin al-Hakam, seorang tokoh Syiah Imamiyah
yang hidup pada abad ke-2 H. Ia dituduh oleh para kritikusnya sebagai orang
yang menyatakan bahwa Allah memiliki “bentuk” (ṣurah), bahkan
menyamakannya dengan sosok manusia bercahaya.² Meskipun ia tidak secara
eksplisit diklasifikasikan sebagai Mujassim dalam arti formal, namun
pemikirannya berkontribusi terhadap berkembangnya kecenderungan antropomorfis
dalam kalangan tertentu.
Tokoh lain yang disebut secara eksplisit sebagai
Mujassim adalah Dawud al-Jawaribi, yang hidup pada masa yang sama dan
secara terbuka menyatakan bahwa Allah memiliki tubuh dan ukuran, meskipun tidak
seperti makhluk. Menurut al-Baghdadi, Dawud termasuk tokoh yang paling
jelas mempopulerkan pandangan Mujassimah.³ Ia bahkan berusaha menafsirkan
seluruh ayat-ayat sifat secara dzahir tanpa takwil, dan menolak pendekatan
tafwidh atau simbolik.
Penyebaran pandangan tajsīm juga mendapatkan
momentumnya melalui kecenderungan kelompok Hanbali ekstremis pada abad
ke-3 H yang menolak takwil dan bersikeras memahami ayat-ayat sifat sesuai makna
harfiahnya. Meskipun Imam Ahmad bin Hanbal sendiri dikenal sebagai ulama
yang sangat menjaga prinsip tanzīh dan menghindari tajsīm, sebagian pengikut
fanatiknya kemudian mengembangkan pemahaman yang lebih literalistis yang
menyerempet tajsīm. Hal ini dikritik keras oleh ulama seperti Ibn al-Jawzi,
yang dalam bukunya Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh, menegaskan
bahwa sebagian Hanbali telah menyimpang dari jalan Imam Ahmad dan jatuh dalam
kubangan tasybīh.⁴
Selain faktor internal, pengaruh pemikiran asing,
seperti ajaran dualistik Persia, filsafat Yunani, dan tradisi
Yahudi-Kristen tentang antropomorfisme Tuhan, turut menjadi faktor yang
memperkuat munculnya tajsīm.⁵ Kecenderungan memvisualisasikan Tuhan secara
fisik sudah dikenal dalam tradisi agama-agama sebelumnya, dan ketika umat Islam
tidak dibekali dengan metodologi tafsir yang kokoh, maka potensi terjerumus ke
dalam pandangan yang serupa menjadi terbuka.
Sebagai respons terhadap penyimpangan ini, ulama
Ahlus Sunnah seperti al-Asy‘ari, al-Maturidi, dan para imam
mazhab memberikan klarifikasi dan bantahan ilmiah yang sistematis. Mereka memperkenalkan
prinsip bila kaif (tanpa menanyakan “bagaimana”) dan bila
tasybih (tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk) sebagai metode moderat
untuk menjaga kemurnian tauhid tanpa menolak ayat-ayat sifat.⁶
Dengan demikian, kemunculan Mujassimah dapat dipahami
sebagai fenomena historis yang muncul dalam konteks kebingungan metodologis,
pemahaman literal berlebihan, dan kurangnya fondasi teologis yang seimbang. Hal
ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam agar tidak hanya memahami
ayat-ayat Allah secara tekstual, tetapi juga dengan bimbingan ilmu,
kehati-hatian, dan warisan para ulama salaf yang lurus.
Footnotes
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 73–75.
[2]
Wilferd Madelung, The Development of Early Shī‘ī
Theology (Aldershot: Ashgate Variorum, 1996), 218–220.
[3]
Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn
al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1977), 207.
[4]
Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf
at-Tanzīh (Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1990), 10–12.
[5]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the
Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 215–219.
[6]
Imam al-Tahawi, al-‘Aqidah at-Tahawiyyah,
dengan syarah oleh Ibn Abi al-‘Izz, ed. Ali al-Halabi (Kairo: Dar al-Turath,
1991), 12–15.
4.
Pandangan-Pandangan
Pokok Mujassimah
Kelompok Mujassimah mewakili salah satu
bentuk pemikiran ekstrem dalam teologi Islam, khususnya dalam memahami
ayat-ayat sifat Allah yang bersifat mutasyabihat. Ciri pokok pemikiran
mereka adalah penetapan sifat-sifat fisik bagi Allah, sebagaimana
makhluk, dengan dasar pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis
tanpa proses ta’wil atau tafwidh. Akibatnya, mereka menetapkan bahwa Allah
memiliki jism (tubuh) dan anggota badan, meskipun sebagian dari
mereka menyatakan bahwa “jism Allah” tidak sama dengan jism makhluk.
4.1.
Penetapan Tubuh dan Anggota Badan
bagi Allah
Pandangan utama Mujassimah adalah meyakini bahwa
Allah memiliki bentuk atau tubuh yang terdiri dari anggota seperti wajah,
tangan, kaki, dan bahkan arah tempat. Mereka merujuk pada ayat-ayat
Al-Qur’an seperti:
·
“Yadullāh fawqa aydīhim” (Tangan Allah di atas tangan mereka) – QS. Al-Fath [48] ayat 10
·
“Wajhu rabbika dzū al-jalāli wa al-ikrām” (Wajah Tuhanmu yang penuh keagungan dan kemuliaan)
– QS. Ar-Rahman [55] ayat 27
·
“Ar-Rahmān ‘ala al-‘arsy istawā” (Allah bersemayam di atas ‘arsy) – QS. Taha [20] ayat 5
Mereka memahami ayat-ayat ini secara harfiah,
dengan menyatakan bahwa Allah benar-benar memiliki tangan, wajah, dan berada di
atas langit secara fisik, sebagaimana makhluk duduk di atas kursi atau
bertempat di suatu arah.¹
Tokoh seperti Dawud al-Jawaribi secara tegas
menyatakan bahwa Allah memiliki tubuh dan bentuk yang dapat dibayangkan, walau
berbeda dari makhluk.² Bahkan sebagian ekstremis di antara mereka menyebut
bahwa Allah memiliki ukuran tertentu dan “duduk” di atas ‘arsy-Nya.³
4.2.
Penolakan terhadap Ta’wil dan
Tafwidh
Mujassimah menolak pendekatan ta’wil yang
lazim digunakan oleh para ulama Ahlus Sunnah untuk memahami makna metaforis
ayat-ayat sifat. Mereka menganggap bahwa menakwil berarti menolak firman Allah.
Dalam hal ini, mereka juga menolak pendekatan tafwidh, yaitu menyerahkan
makna hakiki ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah sembari tetap mengimaninya tanpa
menyerupai makhluk.⁴
Sebaliknya, mereka berpegang pada metode pemahaman
literal (dzahir) secara total. Pandangan ini bertentangan dengan metode salaf
shalih, seperti yang diriwayatkan dari Imam Malik bin Anas ketika
menjelaskan ayat istiwa’:
ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ
بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“al-istiwa’ ma’lūm, wa al-kaif majhūl, wa al-imān
bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid’ah” (Istiwa’ itu maknanya diketahui, caranya tidak diketahui, mengimaninya
wajib, dan bertanya tentang caranya adalah bid’ah).⁵
4.3.
Penafsiran Hadis-Hadis Mutasyabihat
secara Fisik
Mereka juga menafsirkan hadis-hadis yang
menggambarkan tindakan Allah dalam bentuk gerakan fisik secara harfiah.
Misalnya:
·
Hadis tentang Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam
terakhir (HR. Bukhari dan Muslim)
·
Hadis tentang Allah meletakkan kaki-Nya di neraka sehingga neraka
berkata: “Cukup, cukup!” (HR. Bukhari)
Mujassimah memahami hadis-hadis ini sebagai bukti
bahwa Allah memiliki anggota tubuh dan gerakan, seperti turun dan
menginjak.⁶ Mereka tidak menerima takwil bahwa “turun” di sini berarti
mendekatkan rahmat atau bahwa makna “kaki” adalah simbol kekuasaan.
4.4.
Konsep Keberadaan Allah dalam Ruang
dan Arah
Mujassimah juga menetapkan bahwa Allah bertempat
di atas langit dan terbatas pada arah tertentu (yaitu arah atas).
Mereka menolak prinsip tanazzuh (penyucian Allah dari tempat dan arah),
padahal ini merupakan salah satu prinsip dasar tauhid. Al-Baghdadi mencatat
bahwa sebagian kelompok bahkan meyakini bahwa Allah memiliki batas (hadd) dan
ukuran tertentu.⁷
4.5.
Penolakan terhadap Kaidah Tanzīh
Pandangan-pandangan ini secara nyata bertentangan
dengan prinsip tanzīh, yaitu penyucian Allah dari segala bentuk
keserupaan dengan makhluk. Dalam aqidah Ahlus Sunnah, tanzīh adalah landasan
utama dalam memahami sifat-sifat Allah, sebagaimana termaktub dalam QS.
Asy-Syura [42] ayat 11: “Laysa kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya). Dalam teologi Islam, tasybīh dipandang sebagai
bentuk penghinaan terhadap keesaan dan keagungan Allah.⁸
Footnotes
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 75–76.
[2]
Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn
al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1977), 207.
[3]
Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf
at-Tanzīh (Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1990), 13–14.
[4]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 99.
[5]
Ibn Abd al-Barr, al-Tamhīd, vol. 7 (Cairo:
Dar al-Fikr, 1985), 145.
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib
al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah wa al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī,
1996), 203–205.
[7]
Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, 208.
[8]
Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed.
Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 43–45.
5.
Tanggapan
Ulama Ahlus Sunnah terhadap Pemikiran Mujassimah
Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah secara konsisten dan
tegas menolak pemikiran tajsīm (penjasadan) dan tasybīh (penyerupaan Allah
dengan makhluk), sebagaimana yang diyakini oleh kelompok Mujassimah. Mereka
memandang bahwa keyakinan tersebut merupakan bentuk penyimpangan serius dari
prinsip dasar tauhid, yaitu tanzīh—menyucikan Allah dari segala
sifat-sifat makhluk. Penolakan terhadap tajsīm ini muncul sejak generasi awal
Islam (salaf) dan terus berlanjut dalam karya-karya teologi (kalām) dan akidah
Ahlus Sunnah di kemudian hari.
5.1.
Imam Abu Hanifah (w. 150 H)
Imam Abu Hanifah secara eksplisit menyatakan bahwa
Allah bukan jism dan tidak boleh disifati dengan sesuatu yang menyerupai
makhluk. Dalam al-Fiqh al-Akbar, beliau menulis:
مَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي الْبَشَرِ
فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ قَالَ: إِنَّ اللهَ جِسْمٌ لَا كَالأَجْسَامِ، فَقَدْ
كَفَرَ.
“Barang siapa menyifati Allah dengan sifat-sifat
manusia, maka ia telah kafir. Barang siapa mengatakan bahwa Allah adalah jism,
bukan seperti jism, maka ia juga telah kafir.”_¹
Pernyataan ini menegaskan bahwa penyifatan Allah
dengan jism, sekalipun disertai dengan penafian keserupaan, tetap tergolong
penyimpangan aqidah.
5.2.
Imam al-Asy‘ari (w. 324 H)
Sebagai pendiri salah satu madzhab teologi utama
dalam Ahlus Sunnah, Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari awalnya berada dalam kubu
Mu’tazilah namun kemudian berpindah dan membela aqidah salaf yang moderat.
Dalam al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah, ia menegaskan bahwa Allah memiliki
sifat, namun tidak serupa dengan makhluk, dan menolak pemahaman harfiah
terhadap ayat-ayat mutasyabihat.²
Ia mengembangkan pendekatan tafwīḍ, yaitu
menyerahkan makna hakiki dari ayat-ayat sifat kepada Allah, sekaligus menolak
metode Mujassimah yang menisbatkan bentuk atau gerakan kepada Allah.
5.3.
Imam al-Maturidi (w. 333 H)
Imam Abu Mansur al-Maturidi menempuh jalan rasional
moderat dalam memahami sifat-sifat Allah. Dalam karyanya Kitab al-Tawḥīd,
ia menolak secara tegas pandangan bahwa Allah memiliki bentuk, arah, atau
tempat. Ia menyatakan:
وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ، وَلَا يَحْوِيهِ مَكَانٌ،
وَلَا يَصِفُهُ بِالْجِهَةِ أَحَدٌ.
“Allah tidak menyerupai sesuatu apapun, tidak diliputi oleh tempat,
dan tidak disifati dengan arah.”_³
Ia menjelaskan bahwa pemahaman literal atas
ayat-ayat sifat dapat mengarah pada tasybīh, sehingga harus dipahami secara
kontekstual, baik dengan ta’wil yang sah ataupun tafwīḍ.
5.4.
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Walaupun sebagian kelompok yang cenderung tajsīm
mengklaim mengikuti Imam Ahmad, banyak riwayat otentik menunjukkan bahwa beliau
tidak mengajarkan tajsīm. Beliau dikenal berpegang pada pemahaman salaf:
mengimani ayat sifat sebagaimana adanya, tanpa menyamakan dan tanpa
mempersoalkan kaifiyyah-nya (caranya).⁴
Dalam riwayat yang sahih, Imam Ahmad menyatakan
bahwa:
اللَّهُ لَا يُدْرِكُهُ وَهْمُ الْمُتَوَهِّمِينَ،
وَلَا يَبْلُغُهُ فَهْمُ الْفَاهِمِينَ، وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِهِ،
وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ، وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
“Allah tidak dapat dijangkau oleh khayalan orang yang berkhayal,
tidak dapat dipahami oleh akal orang yang mencoba memahami-Nya, tidak ada
sesuatu pun dari ciptaan-Nya yang menyerupai-Nya, dan tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”_⁵
Hal ini membantah klaim bahwa beliau setuju dengan
pemikiran Mujassimah, dan justru menunjukkan bahwa beliau menolak segala bentuk
tasybīh.
5.5.
Ibn al-Jawzi (w. 597 H)
Sebagai ulama Hanbali terkemuka, Ibn al-Jawzi
menulis risalah penting berjudul Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyāf at-Tanzīh
untuk membantah pandangan-pandangan tajsīm yang berkembang di kalangan
ekstremis Hanbali. Ia menyatakan bahwa sebagian orang yang mengaku Hanbali
justru merusak ajaran Imam Ahmad dengan pandangan yang menyerupakan Allah
dengan makhluk.⁶
Ibn al-Jawzi menegaskan bahwa ayat-ayat
mutasyabihat tidak boleh dipahami secara zahir jika berujung pada
penyerupaan Allah, dan umat Islam wajib menakwil atau menahan diri dari
penafsiran literal.
5.6.
Al-Ghazali (w. 505 H)
Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn dan Iljām
al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām, Imam al-Ghazali sangat keras menentang
penyifatan Allah dengan anggota tubuh. Ia menegaskan bahwa akidah Ahlus Sunnah
tidak menetapkan Allah sebagai jism, dan pendekatan literal terhadap ayat sifat
hanyalah untuk awam, bukan sebagai dasar akidah.⁷
5.7.
Konsensus Ahlus Sunnah
Dalam Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah, sebuah
referensi penting dalam teologi Sunni, ditegaskan:
مَنْ ظَنَّ أَنَّ اللهَ ذُو جِسْمٍ أَوْ حَدٍّ، فَقَدْ
جَهِلَ الرَّبَّ تَعَالَى.
“Barang siapa yang menyangka bahwa Allah memiliki bentuk atau ukuran,
maka dia belum mengenal Tuhan yang Maha Esa.”_⁸
Pernyataan ini mencerminkan ijmā‘ (konsensus)
para ulama bahwa menyifati Allah dengan jism atau bentuk adalah kekeliruan
teologis yang besar.
Kesimpulan
Sementara
Tanggapan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemikiran
Mujassimah menunjukkan bahwa sejak awal Islam, telah ada upaya aktif dan
argumentatif untuk menjaga kemurnian tauhid. Penolakan terhadap tajsīm dan
tasybīh tidak hanya berupa kecaman, tetapi juga ditunjukkan melalui formulasi
teologi yang rasional dan tekstual, dengan menjaga keseimbangan antara iman
kepada nash dan penyucian Allah dari sifat-sifat makhluk. Hal ini menjadi
pijakan penting dalam membentengi aqidah umat dari penyimpangan ekstrem yang
mengurangi kesucian Tuhan dalam konsep keesaan-Nya.
Footnotes
[1]
Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, ed. Zahid
al-Kawthari (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2007), 302.
[2]
Al-Asy‘ari, Abu al-Hasan. al-Ibānah ‘an Uṣūl
ad-Diyānah, ed. Fawqiyyah Husein Mahmud (Beirut: Dar al-Anṣār, 1999),
14–16.
[3]
Al-Maturidi, Abu Mansur. Kitab al-Tawḥīd,
ed. Fathullah Khalif (Beirut: Dar al-Masyriq, 1970), 85–88.
[4]
Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 11
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1998), 289–290.
[5]
Ibn Qudamah, Lum‘at al-I‘tiqād (Kairo:
Maktabah al-Sunnah, 1995), 13.
[6]
Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh, 10–12.
[7]
Al-Ghazali, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām
(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), 45.
[8]
Al-Tahawi, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah,
ed. Ibn Abi al-‘Izz, (Kairo: Dar al-Turats, 1991), 21.
6.
Perbedaan
Antara Ahlus Sunnah dan Mujassimah dalam Memahami Ayat Sifat
Salah satu perbedaan mendasar antara Ahlus
Sunnah wal Jamaah dan kelompok Mujassimah terletak pada pendekatan
mereka terhadap ayat-ayat sifat (ṣifāt), yaitu ayat-ayat dalam Al-Qur'an
dan hadis yang menyebutkan sifat-sifat Allah, baik yang dzahirnya menyerupai
sifat makhluk maupun yang tidak.
Kelompok Mujassimah cenderung memahami ayat-ayat
ini secara tekstual-literal (ḥarfiyyah), sementara Ahlus Sunnah memiliki
pendekatan yang komprehensif dan kontekstual, berdasarkan prinsip tanzīh
(penyucian Allah dari segala sifat makhluk) dan tafwīḍ (penyerahan makna
hakiki kepada Allah) atau ta’wīl (penakwilan yang sahih menurut kaidah
bahasa Arab dan syariat).
6.1.
Pendekatan Mujassimah: Pemahaman
Literal dan Penyerupaan
Mujassimah memahami ayat-ayat seperti:
·
“Yadullāh fawqa aydīhim” (QS. Al-Fath [48] ayat 10) – “Tangan Allah di atas tangan mereka”
·
“Ar-Raḥmān ‘alā al-‘Arsy istawā” (QS. Ṭaha [20] ayat 5) – “Allah bersemayam di atas ‘Arsy”
·
“Wajhu rabbika” (QS.
Ar-Rahman [55] ayat 27) – “Wajah Tuhanmu”
dalam makna fisikal, yakni bahwa Allah
benar-benar memiliki anggota tubuh seperti tangan, wajah, dan menempati
tempat di atas ‘Arsy sebagaimana makhluk duduk di atas kursi.¹ Pandangan ini
berangkat dari kekhawatiran bahwa penakwilan atau tafwīḍ akan menolak atau
melemahkan kebenaran teks.
Menurut Mujassimah, tidak boleh menakwil ayat-ayat
sifat, karena itu berarti tidak mempercayai nash.² Mereka menetapkan makna
dzahir dari ayat-ayat tersebut, dan sebagian menyatakan bahwa “Allah
memiliki tubuh, tetapi tidak seperti tubuh makhluk”—suatu kontradiksi dalam
logika tauhid.³
6.2.
Pendekatan Ahlus Sunnah: Tanzīh,
Tafwīḍ, dan Ta’wīl
Berbeda dengan itu, Ahlus Sunnah berpegang pada
kaidah bahwa Allah memiliki sifat, tetapi tidak serupa dengan makhluk-Nya
(QS. Asy-Syura [42] ayat 11 – “Laysa kamitslihi syai’un”). Karena itu,
ayat-ayat sifat tidak boleh dipahami secara zahir jika dzahirnya membawa kepada
tasybīh (penyerupaan).
Ulama seperti Imam Malik, saat ditanya
tentang ayat “istawā ‘ala al-‘arsy”, menjawab:
ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ
بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“al-istiwa’ ma‘lūm, wa al-kaif majhūl, wa al-īmān
bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah” – “Istiwa’ itu diketahui (maknanya), cara (kaifiyyah)-nya tidak
diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‘ah.”_⁴
Ahlus Sunnah kemudian menempuh dua pendekatan:
·
Tafwīḍ:
Menyerahkan
makna hakiki kepada Allah sambil tetap meyakini ayat tersebut adalah benar
adanya. Ini adalah pendekatan salaf (ulama generasi awal), seperti Imam
Malik, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya.⁵
·
Ta’wīl:
Menakwil
ayat-ayat sifat ke dalam makna simbolik yang sesuai dengan konteks dan kaidah
bahasa Arab. Misalnya, “tangan Allah” ditakwilkan sebagai kekuasaan-Nya
(qudrah), “wajah Allah” sebagai zat-Nya atau keridhaan-Nya,
dan “turunnya Allah” sebagai datangnya rahmat atau perintah-Nya.
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan khalaf (ulama generasi
kemudian), seperti Imam al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi.⁶
6.3.
Perbedaan dalam Prinsip Tauhid
Ahlus Sunnah memahami bahwa tauhid yang benar
mengharuskan pengakuan terhadap keunikan dan keesaan Allah dalam dzat, sifat,
dan perbuatan. Penetapan sifat seperti “tangan” dan “wajah” dalam makna fisikal
dianggap sebagai pengurangan terhadap keesaan-Nya, dan berpotensi
menyeret kepada tasybīh atau tajsīm, yang ditolak dalam Islam.⁷
Sebaliknya, Mujassimah justru meyakini bahwa
menetapkan makna dzahir adalah bentuk “iman sejati” terhadap nash, padahal cara
ini justru menyalahi prinsip tanzīh dan membawa kepada pemahaman yang
menyerupakan Allah dengan makhluk, walau secara lisan mereka menafikannya.
6.4.
Dampaknya terhadap Keimanan
Perbedaan ini bukan hanya bersifat teoretis,
melainkan sangat mempengaruhi cara seseorang memandang Tuhan. Pemahaman
Mujassimah berpotensi membentuk gambaran Tuhan yang fisikal, sehingga
menjerumuskan kepada pemikiran antropomorfis yang dapat mendistorsi
tauhid. Sebaliknya, pendekatan Ahlus Sunnah menjaga keseimbangan antara penghormatan
terhadap teks wahyu dan penjagaan terhadap kemurnian tauhid.
Footnotes
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 74.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 96–98.
[3]
Al-Baghdadi, ‘Abd al-Qahir. al-Farq bayn
al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1977), 207–208.
[4]
Ibn Abd al-Barr, al-Tamhīd, vol. 7 (Cairo:
Dar al-Fikr, 1985), 145.
[5]
Imam al-Tahawi, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah,
ed. Ibn Abi al-‘Izz (Kairo: Dar al-Turath, 1991), 15–17.
[6]
Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed.
Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 48–50.
[7]
Al-Ghazali, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām
(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), 43–46.
7.
Dampak
dan Warisan Pemikiran Mujassimah
Meskipun pemikiran Mujassimah telah lama ditolak
oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah, warisannya tidak serta-merta hilang dari
wacana pemikiran Islam. Justru dalam beberapa periode sejarah, pemikiran yang
cenderung pada antropomorfisme (tajsīm) kembali mencuat dalam
bentuk-bentuk baru yang lebih terselubung, khususnya dalam kelompok yang
mengedepankan pendekatan literal (tekstual) ekstrem terhadap ayat-ayat sifat.
Oleh karena itu, penting untuk menelusuri dampak historis, teologis, dan
sosial dari pemikiran ini serta jejak-jejaknya dalam perkembangan
pemikiran Islam hingga era kontemporer.
7.1.
Penolakan dan Peringatan dari Ulama
Arus Utama
Sejak awal, para ulama Ahlus Sunnah dari berbagai
mazhab secara tegas mengutuk pemikiran tajsīm sebagai bentuk
penyimpangan aqidah. Mereka tidak hanya menolaknya secara teoritis, tetapi juga
secara institusional dalam forum-forum keulamaan dan pengajaran. Kitab-kitab
teologi klasik seperti al-Tamhīd, al-Ibānah, Kitab al-Tawḥīd,
dan al-Milal wa al-Nihal menjadi bukti bahwa pemikiran ini dianggap
menyimpang dan membahayakan kemurnian tauhid.¹
Bahkan Ibn al-Jawzi, seorang ulama Hanbali,
menyatakan bahwa sebagian pengikut mazhabnya yang menyimpang dengan menetapkan
bentuk dan arah bagi Allah “telah membuka pintu fitnah” dan mencemarkan
nama baik Imam Ahmad bin Hanbal.² Ini menunjukkan bahwa bahaya tajsīm tidak
hanya pada aspek aqidah, tetapi juga merusak warisan intelektual Islam.
7.2.
Pengaruh dalam Lingkungan Literalis
Ekstrem
Dalam sejarah, terutama pada abad ke-5 hingga ke-7
H, muncul kelompok-kelompok yang—meskipun tidak mengklaim sebagai Mujassimah
secara eksplisit—namun dalam praktiknya mengadopsi metode dan pemikiran
serupa. Mereka menolak segala bentuk ta’wil dan tafwīḍ, serta menegaskan
makna dzahir ayat-ayat sifat secara mutlak. Dalam konteks ini, sebagian
kelompok yang mengidentifikasi diri dengan salaf justru menyimpang dari
pendekatan salaf yang sebenarnya.³
Sebagian besar dari kelompok ini berkembang di
kawasan Najd dan menjadi cikal bakal bagi beberapa gerakan revivalis
abad ke-18 yang menggunakan pendekatan literalis ekstrem dalam memahami
nash-nash agama. Walaupun tidak semuanya dapat secara langsung dikategorikan
sebagai Mujassimah, akan tetapi pengaruh metode tajsīm sangat tampak
dalam penggunaan teks secara literal dan penolakan terhadap simbolisme dan
ta’wil.⁴
7.3.
Warisan dalam Literatur Tafsir dan
Hadis
Sebagian karya tafsir dan syarah hadis yang
bersifat ekstrem literalis ikut mewarisi jejak pemikiran Mujassimah. Contohnya,
dalam sebagian syarah hadis tentang sifat Allah (seperti hadis tentang “turunnya
Allah” pada sepertiga malam terakhir), dijumpai pemahaman bahwa Allah
benar-benar turun secara fisik, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
Allah terikat ruang dan gerak.⁵
Beberapa karya ini bahkan menyertakan ilustrasi
makhlukiyah dalam menjelaskan sifat Allah, seperti “duduk” atau “tertawa”,
yang dipahami dalam konteks gerakan fisik sebagaimana makhluk. Ini menjadi
celah bagi masuknya pemikiran antropomorfis dalam tafsir-tafsir populer.
7.4.
Implikasi terhadap Pemahaman
Keagamaan Masyarakat
Di tingkat akar rumput, warisan pemikiran
Mujassimah berkontribusi pada pemahaman yang keliru tentang Tuhan, yaitu
gambaran Allah sebagai sosok fisik yang berada di langit, melihat dengan mata,
atau memiliki tangan yang serupa tangan manusia. Gambaran semacam ini
bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam yang menekankan bahwa Allah tidak
serupa dengan apapun (QS. Asy-Syura [42] ayat 11).
Dampaknya adalah munculnya kecenderungan tajdid
yang menyimpang, yaitu ingin kembali ke “Islam murni” dengan cara
menolak pemikiran rasional dan simbolik yang justru menjadi bagian dari warisan
salafus shalih.⁶ Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan polarisasi dalam
komunitas Muslim, serta mempersempit ruang tafsir dan dialog teologis.
7.5.
Relevansi Kritik Terhadap Mujassimah
di Era Kontemporer
Kritik terhadap pemikiran Mujassimah tetap relevan
hingga hari ini. Di era digital, penyebaran dakwah literal ekstrem melalui
media sosial dan platform daring membuat sebagian masyarakat awam kembali
terpapar pandangan tajsīm. Karena itu, peran lembaga pendidikan Islam,
pesantren, dan madrasah menjadi sangat penting dalam meluruskan pemahaman
keagamaan umat dengan mengajarkan prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah yang
moderat, berakar pada dalil dan tradisi keilmuan otentik.⁷
Kesimpulan
Sementara
Pemikiran Mujassimah, meskipun ditolak secara luas
oleh ulama Ahlus Sunnah, tetap meninggalkan jejak dalam sejarah Islam, baik
dalam bentuk pengaruh metodologis maupun dalam narasi dakwah sebagian kelompok.
Karena itu, kewaspadaan intelektual dan penguatan pendidikan teologi yang
seimbang sangat diperlukan untuk menjaga umat dari penyimpangan yang
mengarah pada penyerupaan Allah dengan makhluk. Warisan para ulama yang
memurnikan tauhid harus terus dihidupkan sebagai benteng utama dari pengaruh
antropomorfisme dalam pemikiran keislaman.
Footnotes
[1]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1993), 73–75.
[2]
Ibn al-Jawzi, Daf‘ Syubah at-Tasybīh bi Akyaf
at-Tanzīh (Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1990), 12–14.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 95–98.
[4]
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib
al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah wa al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī,
1996), 204–207.
[5]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, vol. 3
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1987), 30–32.
[6]
Ahmad al-Katib, "Anthropomorphic Conceptions
of God in Modern Salafi Discourse," Journal of Islamic Thought and
Civilization 5, no. 2 (2015): 112–130.
[7]
Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed.
Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 43–45.
8.
Penutup
Kajian tentang pemikiran Mujassimah dalam
sejarah teologi Islam bukan semata-mata menggali aliran yang telah ditinggalkan
oleh mayoritas umat Islam, melainkan merupakan bentuk kewaspadaan ilmiah
terhadap penyimpangan dalam memahami sifat-sifat Allah yang Maha Suci. Melalui
telaah yang komprehensif, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Mujassimah, yang
menetapkan bentuk fisik dan ciri-ciri jasadiyah bagi Allah, merupakan bentuk
pelanggaran terhadap prinsip dasar tauhid, yakni tanzīh—penyucian Allah
dari segala sifat makhluk.
Para ulama Ahlus Sunnah, baik dari mazhab salaf
maupun khalaf, secara konsisten menolak pandangan antropomorfis ini. Mereka
menegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya,
namun tidak serupa dengan makhluk dalam bentuk, kaifiyyah, maupun hakikatnya,
sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11, “Laysa kamitslihi
syai’un” (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).¹ Pendekatan
moderat Ahlus Sunnah yang menggunakan metode tafwīḍ dan ta’wīl sahih
merupakan jalan tengah yang menjaga keimanan terhadap teks wahyu tanpa
terjerumus dalam tasybīh (penyerupaan) maupun ta‘ṭīl (peniadaan sifat).
Studi historis menunjukkan bahwa meskipun
Mujassimah secara formal tidak lagi menjadi gerakan besar dalam Islam
kontemporer, warisan pemikirannya masih terselip dalam sejumlah pendekatan
keagamaan ekstrem yang memahami ayat-ayat sifat secara literal tanpa
mempertimbangkan prinsip tauhid. Oleh karena itu, urgensi pendidikan aqidah
yang berimbang dan bersumber dari warisan ulama mu’tabar (otoritatif)
sangatlah penting dalam membentengi umat Islam dari potensi penyimpangan pemahaman.²
Lebih dari itu, pembahasan tentang kelompok seperti
Mujassimah hendaknya tidak disalahpahami sebagai upaya mendiskreditkan pihak
tertentu, melainkan sebagai bentuk pencerahan akademik dan penguatan
akidah berdasarkan prinsip ilmiah. Sikap kritis terhadap penyimpangan
tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, selama disampaikan dalam bingkai
ilmiah, etis, dan berdasarkan rujukan yang valid.³
Dengan demikian, pemahaman terhadap fenomena
pemikiran seperti Mujassimah menjadi pelajaran penting bahwa membaca dan
menafsirkan nash agama tidak cukup dengan pendekatan literal semata,
melainkan memerlukan metodologi, pemahaman bahasa, dan penguasaan
prinsip-prinsip dasar aqidah. Hal ini sesuai dengan pesan para ulama bahwa
aqidah bukan hanya tentang “apa yang diyakini”, tetapi juga “bagaimana
cara meyakini” dengan benar dan proporsional.⁴
Semoga pembahasan ini dapat memperluas wawasan
umat, memperkuat keimanan terhadap keagungan Allah yang Maha Sempurna, serta
membentengi dari paham-paham menyimpang yang dapat merusak keutuhan tauhid.
Sebagaimana doa yang sering dibaca oleh para ulama salaf:
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا
اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Allāhumma arinal-ḥaqqa ḥaqqan warzuqnā ittibā‘ah, wa arinal-bāṭila
bāṭilan warzuqnā ijtinābah”
"Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran
dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kebatilan
sebagai kebatilan dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya."_⁵
Footnotes
[1]
Al-Qur’an al-Karīm, QS. Asy-Syura: 11.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 101.
[3]
Al-Ghazali, Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām
(Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 47.
[4]
Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed.
Ahmad Hijazi al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 50–52.
[5]
Dikutip dalam Ibn Qudamah, Lum‘at al-I‘tiqād,
ed. Al-Harbi (Riyadh: Dar al-Watan, 1992), 9.
Daftar Pustaka
Abu Hanifah. (2007). al-Fiqh al-Akbar (Z.
al-Kawthari, Ed.). Beirut: Dar al-Ma'arif.
Abu Zahrah, M. (1996). Tārīkh al-Madhāhib
al-Islāmiyyah fī al-‘Aqīdah wa al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabī.
Al-Asy‘ari, A. H. (1999). al-Ibānah ‘an Uṣūl
ad-Diyānah (F. H. Mahmud, Ed.). Beirut: Dar al-Anṣār.
Al-Baghdadi, ‘A. al-Q. (1977). al-Farq bayn
al-Firaq. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Ghazali, A. H. M. (1962). Iljām al-‘Awām ‘an
‘Ilm al-Kalām. Kairo: Dar al-Ma‘arif.
Al-Maturidi, A. M. (1970). Kitab al-Tawḥīd
(F. Khalif, Ed.). Beirut: Dar al-Masyriq.
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Razi, F. al-D. (2002). Asās al-Taqdīs (A.
H. al-Saqqa, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Syahrastani, M. b. A. (1993). al-Milal wa
al-Nihal (M. S. Kailani, Ed.). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Tahawi, A. J. (1991). Syarḥ al-‘Aqīdah
al-Ṭaḥāwiyyah (I. A. al-‘Izz, Ed.). Kairo: Dar al-Turath.
Gardet, L. (2002). God and His Attributes. In P.
Bearman et al. (Eds.), Encyclopaedia of Islam (Vol. 2, pp. 1033–1035).
Leiden: Brill.
Ibn ‘Abd al-Barr, Y. (1985). al-Tamhīd (Vol.
7). Cairo: Dar al-Fikr.
Ibn al-Jawzi, A. F. (1990). Daf‘ Syubah
at-Tasybīh bi Akyaf at-Tanzīh. Kairo: Maktabah al-Qāhirah.
Ibn Hajar al-‘Asqalani. (1987). Fath al-Bari
(Vol. 3). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Ibn Qudamah. (1992). Lum‘at al-I‘tiqād (A.
al-Harbi, Ed.). Riyadh: Dar al-Watan.
Madelung, W. (1996). The Development of Early
Shī‘ī Theology. Aldershot: Ashgate Variorum.
Nasution, H. (1996). Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Wolfson, H. A. (1976). The Philosophy of the
Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar