Ekonomi Syariah
Konsep, Prinsip, dan Implementasi dalam Sistem Ekonomi
Global Kontemporer
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif mengenai ekonomi syariah sebagai salah satu cabang ilmu ekonomi
yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam. Berbeda dari pendekatan
ekonomi konvensional yang bersifat sekuler dan berorientasi pada akumulasi
keuntungan, ekonomi syariah menawarkan paradigma yang integral antara aspek
spiritual, etika sosial, dan keadilan distributif. Pembahasan diawali dengan
eksplorasi konsep dasar dan prinsip-prinsip utama ekonomi syariah, dilanjutkan
dengan penelusuran historis perkembangan ekonomi Islam sejak masa klasik hingga
era kontemporer.
Artikel ini juga menguraikan
berbagai instrumen dan lembaga keuangan syariah seperti perbankan, sukuk,
wakaf, dan zakat, serta peranannya dalam menciptakan stabilitas dan pemerataan
ekonomi. Lebih lanjut, artikel ini menyoroti implementasi ekonomi syariah dalam
konteks global dan nasional, termasuk peran Indonesia sebagai negara Muslim
terbesar dalam pengembangan sistem ekonomi berbasis syariah. Ekonomi syariah
juga ditinjau dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, pengentasan
kemiskinan, pelestarian lingkungan, serta integrasinya dengan agenda Sustainable
Development Goals (SDGs). Meskipun dihadapkan pada tantangan seperti
literasi yang rendah, dualisme regulasi, dan kurangnya inovasi digital, ekonomi
syariah memiliki prospek besar untuk menjadi sistem alternatif yang solutif dan
etis dalam menghadapi dinamika ekonomi global masa kini.
Kata Kunci: Ekonomi syariah; keuangan Islam;
pembangunan berkelanjutan; zakat; wakaf; sukuk; keuangan inklusif; sistem
ekonomi Islam; SDGs; etika ekonomi.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis tentang Ekonomi Syariah Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam dinamika perkembangan
ekonomi global, berbagai sistem ekonomi mengalami tekanan dan tantangan yang
signifikan, mulai dari ketimpangan distribusi kekayaan, krisis moral dalam
transaksi bisnis, hingga instabilitas pasar finansial. Model ekonomi konvensional
yang dominan, khususnya kapitalisme, telah menghadapi kritik tajam karena
orientasinya yang berlebihan pada akumulasi keuntungan serta kegagalannya dalam
mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif. Dalam konteks inilah, ekonomi
syariah hadir sebagai sistem alternatif yang menjanjikan solusi
berbasis nilai-nilai etika dan spiritual Islam.
Ekonomi syariah bukan sekadar
bentuk “ekonomi agama”, melainkan merupakan sistem yang memiliki fondasi
normatif dan filosofis yang kuat, berpijak pada prinsip-prinsip tauhid,
keadilan (al-‘adl), keseimbangan (tawazun),
serta larangan eksploitasi melalui riba, maysir, dan gharar.
Tujuannya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga menjamin
kemaslahatan umum (maslahah 'ammah
)
dan keadilan distributif dalam masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh M. Umer
Chapra, tujuan utama ekonomi Islam adalah menciptakan kesejahteraan material
dan spiritual yang selaras dengan nilai-nilai moral serta etika sosial1.
Perhatian terhadap ekonomi
syariah semakin meningkat sejak dekade 1970-an, seiring tumbuhnya kesadaran di
kalangan umat Islam untuk membangun sistem ekonomi yang berakar dari syariat.
Hal ini kemudian diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan
syariah, seperti bank syariah, lembaga zakat, dan wakaf produktif,
yang berkembang tidak hanya di negara-negara Muslim tetapi juga di dunia Barat.
Bahkan, lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank telah mulai
mengakui relevansi keuangan syariah dalam menciptakan stabilitas keuangan
global2.
Dalam konteks Indonesia,
sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ekonomi syariah
menjadi bagian penting dari kebijakan nasional, terutama dalam mewujudkan
sistem keuangan inklusif dan berkeadilan. Pemerintah melalui Komite Nasional
Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah
mengembangkan berbagai regulasi untuk mendukung ekosistem ekonomi syariah yang
berkelanjutan3.
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan kajian komprehensif mengenai konsep dasar, prinsip, serta
implementasi ekonomi syariah dalam skala nasional dan global. Di
dalamnya akan dibahas fondasi teoritik ekonomi syariah, instrumen-instrumen
keuangan berbasis syariah, hingga tantangan dan prospek pengembangan ekonomi
syariah dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan
multidisipliner dan berdasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel,
diharapkan artikel ini dapat menjadi kontribusi bermakna dalam memperluas
wawasan serta menguatkan posisi ekonomi syariah dalam kancah global.
Footnotes
[1]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
The Islamic Foundation, 1992), 1–5.
[2]
Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance:
Theory and Practice (Singapore: John Wiley & Sons, 2007), 3–6.
[3]
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Masterplan
Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 (Jakarta: KNEKS, 2019), 12–15.
2.
Konsep Dasar Ekonomi Syariah
2.1.
Definisi dan Tujuan Ekonomi
Syariah
Ekonomi syariah adalah ilmu
yang mempelajari aktivitas ekonomi manusia berdasarkan prinsip-prinsip syariat
Islam yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin, baik di
dunia maupun di akhirat. Sistem ini bukan hanya bertujuan mengatur hubungan
manusia dengan kekayaan, tetapi juga menata relasi sosial secara etis dan
transendental1. Menurut M. Umer Chapra,
ekonomi Islam bertujuan “merealisasikan keadilan sosial ekonomi dalam
kerangka nilai-nilai spiritual dan moral Islam”.
2
Berbeda dari pendekatan
sekular ekonomi konvensional yang bersifat bebas nilai (value-free), ekonomi
syariah bersifat value-laden, artinya seluruh aktivitas
ekonominya dipandu oleh prinsip-prinsip etik dan hukum Islam yang diturunkan
dari wahyu dan rasionalitas (`aql)3.
2.2.
Landasan Normatif Ekonomi
Syariah
Ekonomi syariah berpijak pada
empat sumber utama dalam hukum Islam:
1)
Al-Qur’an:
memberikan prinsip dasar tentang keadilan (al-‘adl
), pelarangan riba, kewajiban zakat, dan
pentingnya transaksi yang saling ridha. Contoh ayat kunci adalah QS. Al-Baqarah
(2) ayat 275 yang melarang riba dan mendorong perdagangan4.
2)
Sunnah Nabi Saw:
memperinci ketentuan praktis dalam muamalah, seperti akad jual beli,
pengelolaan utang, serta larangan praktik gharar (ketidakjelasan).
3)
Ijma’ dan Qiyas:
sebagai metode deduksi hukum yang memungkinkan pengembangan sistem ekonomi
syariah seiring perubahan zaman, termasuk dalam menciptakan produk-produk
keuangan modern yang tetap sesuai syariah.
2.3.
Prinsip-Prinsip Fundamental
Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah dibangun di
atas prinsip-prinsip yang menyeluruh dan integral, antara lain:
·
Tauhid (Keesaan
Tuhan): seluruh aktivitas ekonomi dilakukan dalam kesadaran bertauhid,
yang berarti tidak hanya bertujuan duniawi tetapi juga tanggung jawab ukhrawi5.
·
Keadilan (al-‘adl
): ekonomi
syariah menekankan distribusi kekayaan yang adil, serta melarang bentuk
eksploitasi ekonomi dalam transaksi dan produksi6.
·
Larangan Riba,
Gharar, dan Maysir:
Riba: bunga dalam segala
bentuknya dilarang karena dianggap menindas dan menyebabkan akumulasi kekayaan
yang tidak adil.
Gharar: ketidakjelasan dalam
kontrak (misalnya spekulasi ekstrem) dilarang untuk melindungi para pihak.
Maysir: segala bentuk perjudian
atau spekulasi dilarang karena merusak nilai produktivitas7.
·
Harta sebagai
Amanah: kekayaan bukan milik mutlak manusia, melainkan amanah dari
Allah yang harus dikelola untuk kebaikan pribadi dan masyarakat (QS. Al-Hadid
[57] ayat 7)8.
·
Kebebasan Berusaha
dalam Batas Syariah: individu diberi kebebasan untuk berusaha dan
memiliki kekayaan selama tidak bertentangan dengan hukum syariah dan tidak
merugikan pihak lain9.
2.4.
Perbedaan dengan Sistem
Ekonomi Konvensional
Ekonomi syariah memiliki
sejumlah karakteristik utama yang membedakannya secara mendasar dari sistem
ekonomi konvensional. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
·
Paradigma Nilai
Ekonomi Syariah: Berdasarkan
nilai-nilai spiritual, etika, dan hukum Islam. Setiap aktivitas ekonomi terikat
pada dimensi moral dan transendental.
Ekonomi Konvensional: Bersifat
sekuler dan bebas nilai (value-free), aktivitas ekonomi dipisahkan dari
norma-norma keagamaan dan moral.
·
Tujuan Akhir
Ekonomi Syariah: Bertujuan
mencapai maslahah atau kesejahteraan kolektif baik dunia maupun
akhirat. Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial sangat ditekankan.
Ekonomi Konvensional: Berorientasi
pada maksimalisasi keuntungan (profit) dan utilitas individu tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai moral atau dampak sosial jangka panjang.
·
Larangan dalam
Aktivitas Ekonomi
Ekonomi Syariah: Secara tegas
melarang praktik riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan maysir
(spekulasi/judi). Transaksi harus transparan dan adil.
Ekonomi Konvensional: Tidak
mengenal larangan moral terhadap bentuk transaksi tertentu selama sesuai dengan
hukum positif yang berlaku.
·
Distribusi Kekayaan
Ekonomi Syariah: Menyediakan
mekanisme distribusi kekayaan yang adil melalui instrumen zakat, infak,
sedekah, dan wakaf. Sistem ini memperkuat jaminan sosial.
Ekonomi Konvensional: Distribusi
kekayaan lebih ditentukan oleh mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah. Ketimpangan
ekonomi dapat menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.
·
Akad dan Kontrak
Ekonomi Syariah: Menggunakan
akad-akad (kontrak) berdasarkan prinsip keadilan dan kesepakatan yang sah
menurut syariah. Akad tidak boleh mengandung unsur penipuan atau ketidakjelasan.
Ekonomi Konvensional: Kontrak
didasarkan pada hukum positif dengan fokus pada kepentingan ekonomi semata dan
orientasi keuntungan, selama tidak melanggar hukum negara.
Struktur perbedaan ini
menegaskan bahwa ekonomi syariah bukan sekadar variasi dari sistem
konvensional, melainkan merupakan pendekatan holistik terhadap kegiatan ekonomi
yang menyatu dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan sosial, dan keberlanjutan.
Dengan demikian, ekonomi
syariah bukan hanya sistem alternatif, tetapi merupakan kerangka ekonomi
komprehensif yang terintegrasi dengan moralitas, spiritualitas, dan keadilan
sosial. Dalam praktiknya, ekonomi syariah menuntut pengembangan institusi dan
produk-produk ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut—termasuk
dalam sektor perbankan, investasi, wakaf, dan distribusi sosial.
Footnotes
[1]
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of
Contemporary Literature (Leicester: The Islamic Foundation, 1981), 4–6.
[2]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
The Islamic Foundation, 1992), 213–215.
[3]
Abbas Mirakhor dan Hossein Askari, Introduction to Islamic
Economics: Theory and Application (Singapore: Wiley, 2009), 5–6.
[4]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2): 275.
[5]
Monzer Kahf, The Foundations of Islamic Economics (Jeddah:
Islamic Research and Training Institute, 2003), 13.
[6]
Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective:
Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz
University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 3–18.
[7]
Mervyn K. Lewis and Latifa M. Algaoud, Islamic Banking
(Cheltenham: Edward Elgar, 2001), 31–33.
[8]
Al-Qur’an, Surah Al-Hadid (57): 7.
[9]
Habib Ahmed, Role of Islamic Financial Institutions in
Infrastructure Development, Islamic Research and Training Institute
(Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 9–10.
3.
Sejarah Perkembangan Ekonomi Syariah
3.1.
Periode Klasik: Masa Nabi
Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin
Ekonomi syariah pada dasarnya
telah eksis sejak masa kenabian Muhammad Saw di abad ke-7 Masehi. Aktivitas
ekonomi masyarakat Arab saat itu secara bertahap mengalami transformasi besar
melalui prinsip-prinsip Islam yang mengatur muamalah. Rasulullah Saw mengatur
pasar dengan etika, melarang riba dan penipuan, serta memperkenalkan prinsip
keadilan dan transparansi dalam transaksi1. Pada
masa Khulafaur Rasyidin, sistem ekonomi negara Islam dikembangkan melalui
lembaga Bayt al-Mal sebagai pusat keuangan negara untuk
mengelola pendapatan dan distribusi kekayaan, termasuk zakat dan jizyah2.
Kebijakan Umar bin Khattab
mengenai tanah Kharaj dan tunjangan tetap (al-‘ata’) menunjukkan bentuk
pengelolaan ekonomi negara yang progresif, adil, dan terencana. Negara
memainkan peran sentral dalam menjamin keadilan sosial dan kebutuhan dasar
masyarakat3.
3.2.
Periode Pertengahan:
Dinasti Islam dan Perkembangan Institusi Ekonomi
Masa keemasan peradaban Islam
(abad ke-8 hingga ke-13) menyaksikan kemajuan luar biasa dalam bidang ekonomi
dan keuangan. Para ulama seperti Abu Yusuf, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun menulis
karya-karya monumental yang membahas kebijakan fiskal, pajak, harga, pasar, dan
distribusi kekayaan. Dalam Kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menekankan
pentingnya keadilan pajak dan kesejahteraan rakyat sebagai indikator
keberhasilan negara4.
Di era ini, lembaga-lembaga
ekonomi seperti hisbah (pengawasan pasar dan moral ekonomi), wakaf
(pendanaan sosial), dan syirkah (kemitraan bisnis) berkembang
secara sistematis. Sistem pembayaran dan kredit juga berkembang melalui sistem hawalah
dan sakk, yang merupakan cikal bakal cek modern5.
3.3.
Masa Kemunduran dan
Pengaruh Kolonialisme
Mulai abad ke-14 hingga awal
abad ke-20, dunia Islam mengalami stagnasi dan kemunduran di berbagai bidang,
termasuk ekonomi. Faktor-faktor seperti disintegrasi politik, lemahnya inovasi
ekonomi, dan dominasi kekuatan kolonial Eropa turut melemahkan
institusi-institusi ekonomi Islam. Sistem ekonomi kolonial yang diterapkan di
banyak wilayah Muslim lebih berorientasi pada kepentingan eksploitasi sumber
daya daripada pemerataan kesejahteraan6.
Di samping itu, sistem
keuangan konvensional mulai mengakar dalam kehidupan umat Islam, sementara
prinsip-prinsip ekonomi syariah mulai terpinggirkan dari kebijakan publik.
Banyak negara Muslim mulai mengadopsi sistem ekonomi kapitalis-sekuler yang
tidak mengakomodasi nilai-nilai Islam dalam pengambilan keputusan ekonomi7.
3.4.
Kebangkitan Modern:
Reaktualisasi Ekonomi Islam Abad ke-20
Kebangkitan ekonomi syariah
sebagai sebuah disiplin ilmiah dan sistem alternatif dimulai sejak pertengahan
abad ke-20, seiring dengan munculnya pemikiran intelektual Muslim modern
seperti M. Umer Chapra, Khurshid Ahmad, dan Nejatullah Siddiqi. Mereka
menyerukan pentingnya merevitalisasi sistem ekonomi Islam sebagai solusi atas
krisis kapitalisme dan sosialisme8.
Langkah konkret pertama dalam
kebangkitan ekonomi syariah terjadi dengan berdirinya lembaga-lembaga keuangan
syariah modern, seperti Mit Ghamr Savings Bank di Mesir pada 1963, dan
kemudian berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada 1975, yang
menjadi tonggak penguatan institusi keuangan Islam di tingkat global9.
3.5.
Perkembangan Kontemporer:
Globalisasi dan Konvergensi Sistem
Sejak tahun 1990-an, ekonomi
syariah berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Negara-negara seperti
Malaysia, Indonesia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi menjadi pionir dalam
pengembangan regulasi dan infrastruktur keuangan syariah. Di sisi lain,
negara-negara Barat seperti Inggris, Luxemburg, dan Jerman mulai mengakomodasi
produk-produk keuangan syariah sebagai bagian dari keragaman sistem ekonomi
global10.
Institusi internasional
seperti Bank Dunia dan IMF juga mulai mengakui stabilitas sistem keuangan
syariah, terutama setelah krisis keuangan global 2008, di mana bank-bank
syariah relatif lebih tahan terhadap gejolak pasar karena tidak terlibat dalam
praktik derivatif berisiko tinggi11.
Footnotes
[1]
Afzal-ur-Rahman, Economic Doctrines of Islam: A Study in the
Doctrines of Islam and Their Implications for Poverty, Employment and Economic
Growth (Lahore: Islamic Publications Ltd., 1980), 34–35.
[2]
Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taymiyyah
(Leicester: The Islamic Foundation, 1988), 21.
[3]
Mustafa A. Rifaat, The Islamic Welfare State and its Role in
Economic Development (Jeddah: Islamic Research and Training Institute,
1990), 29–30.
[4]
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, trans. A.M. El-Ashker and R.
Wilson (Reading: Garnet Publishing, 2003), 65–69.
[5]
Timur Kuran, The Long Divergence: How Islamic Law Held Back the
Middle East (Princeton: Princeton University Press, 2011), 141–145.
[6]
Ibrahim M. Oweiss, “Islamic Finance: The Legacy of the Prophet,” Middle
East Policy 5, no. 1 (1997): 77–80.
[7]
M. Raquibuz Zaman and M. Aslam Khan, “Islamic Economics: Theory and
Practice,” Journal of Islamic Banking and Finance 3, no. 1 (1986):
9–12.
[8]
M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective
(Leicester: The Islamic Foundation, 2000), 4–5.
[9]
Rodney Wilson, Islamic Banking and Finance in the European Union: A
Challenge (Cheltenham: Edward Elgar, 2007), 11–12.
[10]
Iqbal, Zamir and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic
Finance: Theory and Practice (Singapore: Wiley, 2007), 9–14.
[11]
International Monetary Fund (IMF), Islamic Finance: Opportunities,
Challenges, and Policy Options, IMF Policy Paper (Washington, D.C.: IMF,
April 2015), 3.
4.
Instrumen dan Lembaga Ekonomi Syariah
4.1.
Akad dan Instrumen Keuangan
Syariah
Instrumen ekonomi syariah
dibangun di atas dasar akad (kontrak) yang sah menurut syariah
Islam. Akad merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
aktivitas ekonomi tertentu dalam koridor hukum Islam. Tujuan utama dari akad
ini adalah menjaga keadilan, menghindari eksploitasi, dan memastikan
transparansi dalam transaksi1.
Beberapa jenis akad yang
paling umum digunakan dalam ekonomi dan keuangan syariah antara lain:
·
Mudharabah:
kerja sama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib),
di mana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
oleh pemilik modal2.
·
Musyarakah:
bentuk kemitraan antara dua pihak atau lebih yang masing-masing menyertakan
modal dan berbagi keuntungan maupun kerugian secara proporsional3.
·
Murabahah:
jual beli barang dengan penambahan margin keuntungan yang disepakati. Transaksi
ini transparan karena harga pokok dan margin harus diketahui kedua belah pihak4.
·
Ijarah:
akad sewa menyewa barang atau jasa. Dalam praktik perbankan, ijarah banyak
digunakan dalam pembiayaan aset produktif5.
·
Salam dan Istishna’:
akad pemesanan barang dengan pembayaran di muka (salam) atau berdasarkan
kesepakatan waktu dan spesifikasi (istishna’), yang sangat berguna dalam
pembiayaan sektor pertanian dan manufaktur6.
4.2.
Instrumen Sosial dalam
Ekonomi Syariah
Selain transaksi komersial,
ekonomi syariah juga mengatur instrumen sosial untuk menciptakan keseimbangan
dan keadilan dalam distribusi kekayaan:
·
Zakat:
kewajiban finansial bagi Muslim yang mampu, berfungsi sebagai instrumen
redistribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan7.
·
Infak dan Sedekah:
bentuk pemberian sukarela yang melengkapi sistem zakat dalam membantu
masyarakat kurang mampu.
·
Wakaf:
penyerahan harta secara permanen untuk tujuan sosial atau keagamaan. Wakaf
produktif kini digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan
pemberdayaan ekonomi8.
Instrumen-instrumen ini
merefleksikan dimensi sosial dari ekonomi Islam yang menekankan solidaritas,
tolong-menolong, dan tanggung jawab kolektif.
4.3.
Lembaga Ekonomi Syariah
Implementasi ekonomi syariah
dalam praktik membutuhkan dukungan lembaga keuangan dan institusi pengatur.
Beberapa lembaga utama yang berperan penting meliputi:
·
Perbankan Syariah:
berfungsi sebagai intermediator keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip
syariah dalam operasinya, berbeda dari bank konvensional karena tidak
menggunakan bunga (riba) dan menghindari ketidakjelasan (gharar).
Produk-produknya mencakup tabungan mudharabah, pembiayaan musyarakah, dan
investasi sukuk9.
·
Asuransi Syariah
(Takaful): sistem asuransi berbasis prinsip tolong-menolong (ta’awun)
dan pembagian risiko bersama. Peserta menyumbangkan dana ke dalam tabarru’,
bukan membayar premi seperti pada sistem konvensional10.
·
Pasar Modal Syariah:
menyediakan instrumen investasi yang sesuai prinsip syariah, seperti saham
syariah dan sukuk (obligasi syariah). Pengelolaan investasi dilakukan dengan
menghindari sektor-sektor haram dan spekulatif11.
·
Baitul Maal wa
Tamwil (BMT): lembaga keuangan mikro syariah yang berperan dalam
memberdayakan ekonomi masyarakat kecil dan menengah. BMT menjalankan fungsi
baitul maal (pengelolaan dana sosial) dan tamwil (pembiayaan usaha produktif)12.
4.4.
Otoritas Pengatur dan
Standarisasi Syariah
Untuk menjamin kesesuaian
seluruh aktivitas ekonomi dengan prinsip-prinsip Islam, berbagai lembaga
pengatur dan standarisasi didirikan, antara lain:
·
Dewan Syariah
Nasional (DSN-MUI): otoritas tertinggi di Indonesia dalam mengeluarkan
fatwa atas produk dan aktivitas keuangan syariah. Fatwa DSN menjadi dasar hukum
operasional lembaga keuangan syariah13.
·
Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI): berperan
dalam pengawasan dan pengembangan industri keuangan syariah secara teknis dan
sistemik.
·
AAOIFI (Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions): badan
internasional yang mengeluarkan standar akuntansi dan syariah untuk lembaga
keuangan syariah global.
·
IFSB (Islamic
Financial Services Board): menyusun prinsip kehati-hatian dan
stabilitas sistem keuangan Islam di tingkat internasional.
Lembaga dan instrumen ini
merupakan bagian dari ekosistem ekonomi syariah yang terus berkembang. Sinergi
antara prinsip normatif, instrumen operasional, dan lembaga pengatur menjadi
faktor kunci keberhasilan penerapan ekonomi syariah dalam konteks global
kontemporer.
Footnotes
[1]
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Chichester:
Wiley, 2007), 58–63.
[2]
M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective
(Leicester: The Islamic Foundation, 2000), 135.
[3]
Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance:
Theory and Practice (Singapore: John Wiley & Sons, 2007), 94–97.
[4]
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik
(Jakarta: Gema Insani, 2001), 116–117.
[5]
Habib Ahmed, Islamic Banking and Finance: Fundamentals and
Contemporary Issues (Jeddah: Islamic Development Bank, 2004), 63–65.
[6]
Monzer Kahf, Islamic Economics: The Contributions of Muslim
Scholars to Economic Thought and Analysis (Jeddah: IRTI, 2006), 76.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah (Jeddah: Scientific
Publishing Centre, King Abdulaziz University, 1999), 68–70.
[8]
Mohd Ma’Sum Billah, Wakaf: Konsep dan Aplikasinya dalam Pembangunan
Ekonomi Umat (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2007), 44.
[9]
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), 101–104.
[10]
Rania A. Azmi, “Shariah-Compliant Insurance: Takaful,” Arab Law
Quarterly 24, no. 1 (2010): 85–92.
[11]
Rifki Ismal, Islamic Capital Markets: A Comparative Approach
(Singapore: Wiley, 2010), 151–153.
[12]
Abdul Ghofur, BMT: Alternatif Lembaga Keuangan Mikro
(Yogyakarta: UII Press, 2005), 27–30.
[13]
Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Ekonomi Syariah
(Jakarta: DSN-MUI, 2017), xx–xxii.
5.
Implementasi Ekonomi Syariah dalam Konteks
Global dan Nasional
5.1.
Implementasi Ekonomi
Syariah di Level Global
Implementasi ekonomi syariah telah
berkembang secara signifikan di berbagai negara, tidak hanya di kawasan Timur
Tengah dan Asia Selatan, tetapi juga di negara-negara Barat. Sistem ini semakin
diakui sebagai alternatif yang stabil dan etis terhadap sistem keuangan
konvensional, khususnya pasca krisis keuangan global 2008.
·
Malaysia
merupakan salah satu pelopor dalam pengembangan ekonomi syariah secara
menyeluruh, mencakup sektor perbankan, pasar modal, asuransi (takaful), dan
wakaf. Malaysia membentuk Bank Negara Malaysia Shariah Advisory Council
yang berfungsi sebagai otoritas tertinggi dalam urusan syariah keuangan, dan
memelopori standar internasional melalui kerja sama dengan IAIS
dan IFSB1.
·
Uni Emirat Arab dan
Arab Saudi mengembangkan pusat keuangan syariah berbasis syariah
(Islamic finance hubs) di Dubai dan Riyadh, dengan fokus pada sukuk
internasional, keuangan properti syariah, serta sektor halal dan logistik
global2.
·
Inggris
adalah negara Barat pertama yang menerbitkan sovereign sukuk
(obligasi negara berbasis syariah) pada tahun 2014 dan secara aktif
mengintegrasikan sistem keuangan Islam ke dalam kebijakan fiskalnya, melalui
Financial Services Authority (FSA) dan pengakuan terhadap bank syariah seperti
Al Rayan Bank3.
·
Di tingkat global, lembaga
seperti Islamic Development Bank (IsDB) memainkan peran
penting dalam pembiayaan pembangunan berbasis prinsip syariah di negara-negara
berkembang, termasuk dukungan terhadap infrastruktur, pendidikan, dan layanan
kesehatan4.
5.2.
Implementasi Ekonomi
Syariah di Indonesia
Sebagai negara berpenduduk
Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam
pengembangan ekonomi syariah. Pemerintah Indonesia telah menjadikan
ekonomi dan keuangan syariah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
·
Pembentukan Komite
Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada tahun 2020 melalui
Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2020 menandai komitmen strategis pemerintah
dalam mendorong pertumbuhan sektor ini. KNEKS berfokus pada pengembangan
industri produk halal, keuangan syariah, zakat dan wakaf, serta penguatan UMKM
berbasis syariah5.
·
Bank Indonesia dan
OJK secara aktif mendukung sistem keuangan syariah melalui kebijakan
moneter syariah, pengembangan instrumen sukuk, serta pengawasan perbankan dan
asuransi syariah. Hingga 2023, Indonesia telah memiliki lebih dari 14 bank umum
syariah, 20 unit usaha syariah, serta ratusan BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah)6.
·
Di sektor sosial, Indonesia
memanfaatkan wakaf produktif dan digitalisasi zakat
sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan. Baznas
dan lembaga filantropi Islam lainnya telah menjalin kerja sama dengan startup
dan fintech syariah untuk memperluas jangkauan layanan7.
·
Dalam bidang pendidikan dan
penguatan ekosistem, berbagai universitas dan institusi pendidikan tinggi telah
membuka program studi ekonomi syariah, serta melakukan riset dan pengembangan
kurikulum berbasis maqashid syariah8.
5.3.
Tantangan Implementasi dan
Arah Pengembangan
Meskipun pertumbuhan ekonomi
syariah terus menunjukkan tren positif, masih terdapat sejumlah tantangan baik
di tingkat global maupun nasional, antara lain:
·
Kurangnya literasi
ekonomi syariah di masyarakat umum, bahkan di kalangan akademisi dan
pelaku usaha sendiri9.
·
Keterbatasan sumber
daya manusia (SDM) yang memahami prinsip, produk, dan regulasi
keuangan syariah.
·
Dualisme regulasi
dan integrasi antara sistem syariah dan konvensional yang masih memerlukan
harmonisasi.
·
Kurangnya inovasi
produk dan digitalisasi layanan yang kompetitif dibandingkan dengan
sektor keuangan konvensional.
Untuk mengatasi tantangan
ini, arah pengembangan ke depan harus difokuskan pada:
·
Inovasi berbasis
teknologi, seperti pengembangan fintech syariah,
blockchain halal, dan e-commerce syariah.
·
Penguatan regulasi
dan harmonisasi standar syariah internasional, seperti adopsi standar
dari AAOIFI dan IFSB secara konsisten.
·
Peningkatan
kolaborasi internasional, termasuk kerja sama lintas negara dalam
pengembangan pasar modal syariah dan perdagangan halal.
·
Penguatan peran
ekonomi syariah dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
melalui zakat, wakaf, dan pembiayaan inklusif10.
Footnotes
[1]
Bank Negara Malaysia, Shariah Governance Framework for Islamic
Financial Institutions (Kuala Lumpur: BNM, 2010), 4–6.
[2]
International Islamic Financial Market (IIFM), IIFM Sukuk Report: A
Comprehensive Study of the Global Sukuk Market (Manama: IIFM, 2023),
12–14.
[3]
Rodney Wilson, “Islamic Finance in the United Kingdom: Growth and
Challenges,” Journal of Islamic Banking and Finance 30, no. 2 (2013):
31–33.
[4]
Islamic Development Bank, IsDB Annual Report 2023 (Jeddah:
IsDB, 2023), 9–12.
[5]
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Masterplan
Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 (Jakarta: KNEKS, 2019), 16–18.
[6]
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Laporan Perkembangan Keuangan Syariah
Indonesia 2023 (Jakarta: OJK, 2023), 22–26.
[7]
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Outlook Zakat Indonesia 2022
(Jakarta: BAZNAS RI, 2022), 41–44.
[8]
Azhari Akmal Tarigan, “Peran Pendidikan Ekonomi Syariah dalam Penguatan
Ekosistem Keuangan Islam di Indonesia,” Islamic Economic Journal 5,
no. 1 (2021): 55–60.
[9]
Ascarya, “Inovasi dan Literasi Keuangan Syariah di Era Digital,” Jurnal
Ekonomi dan Keuangan Syariah 4, no. 1 (2020): 45–47.
[10]
Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective:
Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz
University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 5–10.
6.
Peran Ekonomi Syariah dalam Pembangunan
Berkelanjutan
6.1.
Konsep Pembangunan
Berkelanjutan dalam Perspektif Islam
Pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) dalam kerangka ekonomi syariah memiliki makna yang
lebih luas daripada sekadar pertumbuhan ekonomi. Ia mencakup dimensi spiritual,
sosial, lingkungan, dan ekonomi yang saling berkelindan. Dalam pandangan Islam,
pembangunan bukan hanya bertujuan menciptakan kemakmuran duniawi, tetapi juga
memastikan kemaslahatan umat dan menjaga keberlanjutan hidup generasi mendatang
sebagaimana tercermin dalam prinsip istikhlaf (kepemimpinan manusia di
bumi), maslahah, dan tawazun (keseimbangan)1.
Konsep ini sejajar dengan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang
diusung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun pendekatan Islam menekankan
integrasi antara etika spiritual dan tanggung jawab sosial. Zubair Hasan
menekankan bahwa ekonomi Islam memiliki potensi besar untuk mendukung
pencapaian SDGs karena sistemnya menolak eksploitasi, mendorong distribusi
kekayaan, dan memprioritaskan kesejahteraan kolektif2.
6.2.
Instrumen Ekonomi Syariah
untuk Pembangunan Inklusif dan Adil
Ekonomi syariah menyediakan
berbagai instrumen yang secara inheren mendukung pembangunan berkelanjutan dan
inklusif:
·
Zakat
sebagai sistem redistribusi kekayaan yang wajib, berfungsi tidak hanya sebagai
instrumen filantropi, tetapi juga sebagai mekanisme pemberdayaan ekonomi
kelompok miskin dan marjinal3.
·
Wakaf produktif
memiliki potensi besar dalam mendukung sektor publik seperti pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur sosial. Contohnya, pendirian rumah sakit, sekolah,
serta pelatihan keterampilan berbasis dana wakaf telah terbukti meningkatkan
kualitas hidup masyarakat miskin secara berkelanjutan4.
·
Islamic
Microfinance (melalui Baitul Maal wa Tamwil/BMT) mendorong partisipasi
ekonomi kelompok rentan melalui pembiayaan berbasis prinsip syariah (tanpa
bunga dan eksploitatif), serta pendampingan usaha secara holistik5.
·
Sukuk hijau (Green
Sukuk) telah diperkenalkan di beberapa negara, termasuk Indonesia,
sebagai bentuk obligasi syariah yang diarahkan untuk membiayai proyek-proyek
ramah lingkungan seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan kehutanan
lestari6.
6.3.
Keseimbangan antara
Kebutuhan Ekonomi dan Lingkungan
Ekonomi syariah menempatkan
lingkungan sebagai bagian dari amanah Allah kepada manusia (khalifah fi
al-ardh). Oleh karena itu, praktik ekonomi tidak boleh merusak lingkungan
atau mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Al-Qur’an secara
eksplisit melarang ifsād fī al-ardh (kerusakan di muka bumi), yang
menjadi dasar normatif bagi pembangunan berwawasan lingkungan7.
Konsep tawazun
dalam ekonomi syariah mencakup keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan
material, kepentingan individu dan masyarakat, serta antara pembangunan ekonomi
dan kelestarian alam. Model pembangunan yang berorientasi pada keuntungan tanpa
mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial bertentangan dengan nilai-nilai
syariah8.
6.4.
Inklusi Keuangan dan
Pengentasan Kemiskinan
Ekonomi syariah juga memiliki
potensi besar dalam memperluas inklusi keuangan. Sistem keuangan syariah lebih
mudah diterima oleh masyarakat yang selama ini enggan berhubungan dengan
lembaga keuangan konvensional karena alasan agama. Oleh karena itu, penguatan
lembaga keuangan mikro syariah, zakat digital, serta layanan perbankan syariah
berbasis teknologi dapat mempercepat inklusi dan pemberdayaan ekonomi akar
rumput9.
Dalam konteks global,
pendekatan ekonomi syariah juga dinilai lebih tangguh terhadap krisis keuangan
karena prinsip kehati-hatian dalam investasi dan larangan spekulasi berlebihan.
Stabilitas ini menjadi faktor penting dalam menciptakan pembangunan yang
berkelanjutan dan berkeadilan10.
Kesimpulan Subbagian
Secara keseluruhan, ekonomi
syariah memberikan pendekatan komprehensif terhadap pembangunan berkelanjutan.
Melalui integrasi nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, pelestarian
lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi, ekonomi syariah dapat menjadi solusi alternatif
untuk menjawab tantangan ketimpangan dan degradasi dalam pembangunan global
kontemporer. Dengan optimalisasi instrumen seperti zakat, wakaf, sukuk hijau,
dan keuangan mikro syariah, ekonomi syariah mampu mewujudkan pertumbuhan yang inklusif,
berkelanjutan, dan bermakna secara etis.
Footnotes
[1]
Muhammad Umer Chapra, The Islamic Vision of Development in the
Light of Maqasid al-Shari'ah (Jeddah: Islamic Research and Training
Institute, 2008), 9–12.
[2]
Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective:
Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz
University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 3–18.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, trans. Monzer Kahf (Jeddah:
Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz University, 1999), 135–138.
[4]
Mohd Ma’sum Billah, Wakaf: Konsep dan Aplikasinya dalam Pembangunan
Ekonomi Umat (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2007), 61–65.
[5]
Habib Ahmed, Role of Islamic Financial Institutions in
Infrastructure Development (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 18–22.
[6]
Ministry of Finance Republic of Indonesia, Green Sukuk Framework
(Jakarta: MoF, 2020), 3–6.
[7]
Al-Qur’an, Surah Al-A’raf (7): 56.
[8]
Monzer Kahf, Islamic Economics: The Contributions of Muslim
Scholars to Economic Thought and Analysis (Jeddah: IRTI, 2006), 22–25.
[9]
Ascarya, “Inovasi dan Literasi Keuangan Syariah di Era Digital,” Jurnal
Ekonomi dan Keuangan Syariah 4, no. 1 (2020): 45–48.
[10]
Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance:
Theory and Practice (Singapore: Wiley, 2007), 116–118.
7.
Tantangan dan Prospek Ekonomi Syariah
7.1.
Tantangan Eksternal dan
Internal
Meskipun mengalami
pertumbuhan yang menjanjikan di berbagai negara, ekonomi syariah masih
menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks dan multidimensi. Tantangan ini mencakup
aspek ideologis, teknis, institusional, hingga sosial-kultural.
·
Kurangnya Literasi
Ekonomi Syariah
Salah satu hambatan terbesar dalam pengembangan
ekonomi syariah adalah rendahnya tingkat literasi masyarakat, termasuk pelaku
bisnis dan kalangan akademisi, terhadap prinsip, mekanisme, dan produk-produk
keuangan syariah. Studi yang dilakukan oleh OJK menunjukkan bahwa tingkat
literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia tahun 2022 hanya sebesar 9,14%,
jauh di bawah literasi keuangan konvensional1.
·
Dualisme Sistem dan
Fragmentasi Regulasi
Di banyak negara, ekonomi syariah beroperasi
secara paralel dengan sistem ekonomi konvensional. Dualisme ini sering
menimbulkan tumpang tindih regulasi, kurangnya harmonisasi kebijakan, dan tidak
optimalnya sinergi antara otoritas syariah dan lembaga keuangan konvensional2.
·
Kurangnya SDM
Berkualitas dan Sertifikasi Profesional
Kekurangan tenaga profesional yang memiliki
kompetensi syariah sekaligus pemahaman teknis tentang ekonomi dan keuangan
modern merupakan persoalan serius. Keterbatasan ini berdampak pada rendahnya
inovasi produk dan efektivitas pengawasan internal di lembaga-lembaga keuangan
syariah3.
·
Standar Syariah
yang Belum Terintegrasi Global
Meskipun telah ada badan-badan internasional
seperti AAOIFI dan IFSB, namun belum semua negara secara konsisten mengadopsi
standar tersebut. Ketidaksamaan interpretasi terhadap prinsip syariah
menimbulkan perbedaan dalam produk dan praktik antarnegara4.
·
Kurangnya Inovasi
Produk dan Digitalisasi
Dalam era ekonomi digital, keuangan syariah masih
tertinggal dalam hal integrasi teknologi dan inovasi produk berbasis digital.
Hal ini menyulitkan daya saingnya di tengah gempuran fintech konvensional yang
semakin agresif5.
7.2.
Prospek dan Peluang
Strategis Pengembangan Ekonomi Syariah
Di balik tantangan yang
dihadapi, ekonomi syariah memiliki prospek besar dalam menjawab kebutuhan
sistem ekonomi alternatif yang inklusif, etis, dan berkelanjutan.
·
Pertumbuhan Pasar
Halal Global
Ekonomi syariah memiliki keterkaitan erat dengan
industri halal. Menurut laporan State of the Global Islamic Economy, nilai
pasar ekonomi halal dunia diperkirakan mencapai lebih dari USD 3 triliun pada
tahun 2025, mencakup sektor makanan, fashion, farmasi, pariwisata, dan keuangan6.
Hal ini membuka peluang integrasi vertikal antarindustri berbasis syariah.
·
Dukungan Pemerintah
dan Regulasi Inklusif
Banyak negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Uni
Emirat Arab, dan bahkan Inggris, telah mengadopsi kebijakan strategis untuk
mendorong pertumbuhan sektor keuangan syariah, termasuk penerbitan sukuk
negara, pendirian bank syariah, dan insentif pajak7.
·
Pengembangan
Fintech dan Ekonomi Digital Syariah
Fintech berbasis syariah (shariah-compliant
fintech) menjadi salah satu sektor yang berkembang pesat, dengan model seperti peer-to-peer
lending, crowdfunding wakaf, dan pembayaran zakat digital. Hal
ini membantu memperluas inklusi keuangan dan menjangkau segmen masyarakat yang
belum terlayani sistem konvensional8.
·
Peran Ekonomi
Syariah dalam Agenda Pembangunan Global
Ekonomi syariah memiliki kesesuaian inheren
dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam
hal pengentasan kemiskinan, inklusi keuangan, dan pelestarian lingkungan.
Penggunaan instrumen seperti green sukuk, wakaf produktif, dan
zakat terprogram dapat mendukung agenda pembangunan berkelanjutan secara
praktis dan teologis9.
7.3.
Strategi Penguatan dan
Akselerasi Ekonomi Syariah
Untuk mengatasi tantangan dan
mengoptimalkan peluang, diperlukan strategi sistemik dan multi-level, di
antaranya:
·
Peningkatan
literasi dan inklusi keuangan syariah melalui kurikulum pendidikan,
media digital, serta program edukasi publik terintegrasi.
·
Penguatan regulasi
dan harmonisasi standar syariah antara otoritas lokal dan
internasional, terutama terkait produk-produk investasi, fintech, dan asuransi
syariah.
·
Pengembangan SDM
unggul dan profesional bersertifikasi, melalui pelatihan terstandar,
sertifikasi kompetensi, dan kerja sama internasional.
·
Integrasi teknologi
dan inovasi digital dalam produk serta layanan keuangan syariah untuk
meningkatkan efisiensi, transparansi, dan jangkauan pasar.
Kesimpulan Subbagian
Secara keseluruhan, ekonomi
syariah berada pada titik krusial antara tantangan struktural dan peluang
strategis. Meningkatnya kesadaran global terhadap pentingnya sistem keuangan
yang etis dan stabil memberi ruang bagi ekonomi syariah untuk berkembang
sebagai sistem alternatif yang menjanjikan. Dengan langkah-langkah pembaruan
institusional, penguatan literasi, dan akselerasi inovasi digital, ekonomi
syariah dapat memainkan peran signifikan dalam membentuk arah baru ekonomi
dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Survei Nasional Literasi dan Inklusi
Keuangan 2022 (Jakarta: OJK, 2022), 18.
[2]
Ascarya, “Sistem Keuangan Ganda dan Tantangannya terhadap Efektivitas
Kebijakan Moneter Syariah,” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah 2, no.
2 (2018): 99–104.
[3]
M. Kabir Hassan and Mervyn K. Lewis, Handbook of Islamic Banking
(Cheltenham: Edward Elgar, 2007), 271–275.
[4]
Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance:
Convergence, Prospects, and Challenges (Singapore: John Wiley & Sons,
2011), 185–188.
[5]
Habib Ahmed and Tariqullah Khan, “Islamic Financial Services and
Financial Stability: A Review,” Journal of Islamic Economics, Banking and
Finance 7, no. 1 (2011): 13–16.
[6]
DinarStandard, State of the Global Islamic Economy Report 2022
(Dubai: DinarStandard, 2022), 14–18.
[7]
Rodney Wilson, “Regulatory Challenges Facing Islamic Finance in the
West: A UK Perspective,” Journal of Islamic Banking and Finance 31,
no. 2 (2014): 21–24.
[8]
Rifki Ismal, Fintech Syariah: Inovasi dan Tantangan dalam Ekonomi
Digital (Jakarta: KNEKS Press, 2021), 39–45.
[9]
Zubair Hasan, “Islamic Finance and the SDGs: Potential Synergies,” Islamic
Economic Studies 28, no. 1 (2020): 1–14.
8.
Kesimpulan
Ekonomi syariah telah
berkembang menjadi salah satu cabang ilmu ekonomi kontemporer yang tidak hanya
menawarkan pendekatan alternatif terhadap sistem ekonomi konvensional, tetapi
juga membawa paradigma baru yang menyatukan nilai-nilai spiritual, etika
sosial, dan keadilan distributif dalam aktivitas ekonomi. Berpijak pada prinsip-prinsip
syariah seperti tauhid, keadilan (al-‘adl), keseimbangan
(tawazun), serta larangan riba, gharar, dan maysir,
ekonomi syariah menegaskan bahwa kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari
akumulasi materi, melainkan dari terciptanya kemaslahatan yang menyeluruh bagi
umat manusia1.
Secara historis, ekonomi
syariah telah memiliki fondasi kuat sejak masa Nabi Muhammad Saw dan Khulafaur
Rasyidin, yang kemudian berkembang melalui institusi-institusi klasik seperti Bayt
al-Mal, hisbah, dan wakaf. Meskipun sempat mengalami
stagnasi pada era kolonialisme, kebangkitan ekonomi Islam di abad ke-20
menandai transformasi signifikan dengan munculnya lembaga keuangan syariah
modern serta penguatan pemikiran akademik Islam dalam bidang ekonomi2.
Dalam implementasinya,
ekonomi syariah kini tidak lagi terbatas pada dunia Muslim, melainkan telah
diterima di tingkat global, dengan adopsi produk-produk seperti sukuk,
takaful, dan green Islamic finance di berbagai negara,
termasuk Inggris dan Jepang. Di Indonesia, peran strategis KNEKS, OJK, dan BI
telah memperkuat infrastruktur ekonomi syariah melalui regulasi, edukasi, dan
dukungan terhadap UMKM serta literasi masyarakat3.
Lebih dari itu, ekonomi
syariah memiliki relevansi tinggi dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan.
Instrumen seperti zakat, wakaf, keuangan mikro syariah, dan sukuk hijau dapat
berfungsi sebagai mekanisme nyata dalam mendukung Sustainable Development
Goals (SDGs), termasuk pengentasan kemiskinan, peningkatan inklusi
keuangan, dan pelestarian lingkungan4. Hal ini menunjukkan bahwa
ekonomi syariah tidak hanya merupakan sistem yang saleh secara normatif, tetapi
juga solutif secara struktural.
Namun demikian, tantangan
seperti rendahnya literasi, kurangnya inovasi teknologi, keterbatasan sumber
daya manusia, serta dualisme sistem hukum dan regulasi, masih menjadi kendala
serius. Oleh karena itu, strategi jangka panjang perlu difokuskan pada
penguatan kapasitas institusi, integrasi sistem digital, harmonisasi standar
syariah global, serta kolaborasi lintas sektor dan lintas negara5.
Dengan pendekatan yang
terintegrasi antara prinsip normatif dan strategi implementatif, ekonomi
syariah dapat menjadi motor penggerak transformasi sosial-ekonomi global yang
lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam dunia yang semakin mencari
sistem ekonomi yang lebih etis dan manusiawi, ekonomi syariah memiliki posisi
strategis untuk menjadi pusat gravitasi baru dalam tatanan ekonomi dunia
kontemporer.
Footnotes
[1]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
The Islamic Foundation, 1992), 213–215.
[2]
Timur Kuran, The Long Divergence: How Islamic Law Held Back the
Middle East (Princeton: Princeton University Press, 2011), 143–146.
[3]
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Masterplan
Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 (Jakarta: KNEKS, 2019), 11–18.
[4]
Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective:
Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz
University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 3–18.
[5]
Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance:
Convergence, Prospects, and Challenges (Singapore: Wiley, 2011), 185–188.
Daftar Pustaka
Ahmed, H. (2004). Role
of Islamic financial institutions in infrastructure development. Islamic
Research and Training Institute.
Ahmed, H., & Khan, T.
(2011). Islamic financial services and financial stability: A review. Journal
of Islamic Economics, Banking and Finance, 7(1), 13–16.
Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh
az-zakah (M. Kahf, Trans.). Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz
University.
Antonio, M. S. (2001). Bank
syariah: Dari teori ke praktik. Gema Insani.
Ascarya. (2011). Akad
dan produk bank syariah. Rajawali Pers.
Ascarya. (2018). Sistem
keuangan ganda dan tantangannya terhadap efektivitas kebijakan moneter syariah.
Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2(2), 99–104.
Ascarya. (2020). Inovasi
dan literasi keuangan syariah di era digital. Jurnal Ekonomi dan Keuangan
Syariah, 4(1), 45–48.
Bank Negara Malaysia.
(2010). Shariah governance framework for Islamic financial institutions.
Bank Negara Malaysia.
BAZNAS RI. (2022). Outlook
zakat Indonesia 2022. Badan Amil Zakat Nasional.
Billah, M. M. (2007). Wakaf:
Konsep dan aplikasinya dalam pembangunan ekonomi umat. IIUM Press.
Chapra, M. U. (1992). Islam
and the economic challenge. The Islamic Foundation.
Chapra, M. U. (2000). The
future of economics: An Islamic perspective. The Islamic Foundation.
Chapra, M. U. (2008). The
Islamic vision of development in the light of Maqasid al-Shari'ah. Islamic
Research and Training Institute.
DinarStandard. (2022). State
of the global Islamic economy report 2022. Dubai Islamic Economy
Development Centre.
Ghofur, A. (2005). BMT:
Alternatif lembaga keuangan mikro. UII Press.
Habib, A. (2004). Islamic
banking and finance: Fundamentals and contemporary issues. Islamic
Development Bank.
Hasan, Z. (2006).
Sustainable development from an Islamic perspective: Meaning, implications, and
policy concerns. Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics,
19(1), 3–18.
Hasan, Z. (2020). Islamic
finance and the SDGs: Potential synergies. Islamic Economic Studies, 28(1),
1–14.
Hassan, M. K., & Lewis,
M. K. (Eds.). (2007). Handbook of Islamic banking. Edward Elgar.
Iqbal, Z., & Mirakhor,
A. (2007). An introduction to Islamic finance: Theory and practice.
Wiley.
Iqbal, Z., & Mirakhor,
A. (2011). Globalization and Islamic finance: Convergence, prospects, and
challenges. Wiley.
Ismal, R. (2010). Islamic
capital markets: A comparative approach. Wiley.
Ismal, R. (2021). Fintech
syariah: Inovasi dan tantangan dalam ekonomi digital. KNEKS Press.
Islamic Development Bank.
(2023). IsDB annual report 2023. Islamic Development Bank.
Kahf, M. (2003). The
foundations of Islamic economics. Islamic Research and Training Institute.
Kahf, M. (2006). Islamic
economics: The contributions of Muslim scholars to economic thought and
analysis. Islamic Research and Training Institute.
KNEKS. (2019). Masterplan
ekonomi syariah Indonesia 2019–2024. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan
Syariah.
Kuran, T. (2011). The
long divergence: How Islamic law held back the Middle East. Princeton
University Press.
Ministry of Finance
Republic of Indonesia. (2020). Green sukuk framework. Ministry of
Finance.
Otoritas Jasa Keuangan.
(2022). Survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2022. OJK.
Otoritas Jasa Keuangan.
(2023). Laporan perkembangan keuangan syariah Indonesia 2023. OJK.
Rifaat, M. A. (1990). The
Islamic welfare state and its role in economic development. Islamic
Research and Training Institute.
Siddiqi, M. N. (1981). Muslim
economic thinking: A survey of contemporary literature. The Islamic
Foundation.
Tarigan, A. A. (2021).
Peran pendidikan ekonomi syariah dalam penguatan ekosistem keuangan Islam di
Indonesia. Islamic Economic Journal, 5(1), 55–60.
Wilson, R. (2007). Islamic
banking and finance in the European Union: A challenge. Edward Elgar.
Wilson, R. (2013). Islamic
finance in the United Kingdom: Growth and challenges. Journal of Islamic
Banking and Finance, 30(2), 31–33.
Wilson, R. (2014).
Regulatory challenges facing Islamic finance in the West: A UK perspective. Journal
of Islamic Banking and Finance, 31(2), 21–24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar