Selasa, 29 April 2025

Ekonomi Syariah: Konsep, Prinsip, dan Implementasi dalam Sistem Ekonomi Global Kontemporer

Ekonomi Syariah

Konsep, Prinsip, dan Implementasi dalam Sistem Ekonomi Global Kontemporer


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai ekonomi syariah sebagai salah satu cabang ilmu ekonomi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam. Berbeda dari pendekatan ekonomi konvensional yang bersifat sekuler dan berorientasi pada akumulasi keuntungan, ekonomi syariah menawarkan paradigma yang integral antara aspek spiritual, etika sosial, dan keadilan distributif. Pembahasan diawali dengan eksplorasi konsep dasar dan prinsip-prinsip utama ekonomi syariah, dilanjutkan dengan penelusuran historis perkembangan ekonomi Islam sejak masa klasik hingga era kontemporer.

Artikel ini juga menguraikan berbagai instrumen dan lembaga keuangan syariah seperti perbankan, sukuk, wakaf, dan zakat, serta peranannya dalam menciptakan stabilitas dan pemerataan ekonomi. Lebih lanjut, artikel ini menyoroti implementasi ekonomi syariah dalam konteks global dan nasional, termasuk peran Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dalam pengembangan sistem ekonomi berbasis syariah. Ekonomi syariah juga ditinjau dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan, serta integrasinya dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Meskipun dihadapkan pada tantangan seperti literasi yang rendah, dualisme regulasi, dan kurangnya inovasi digital, ekonomi syariah memiliki prospek besar untuk menjadi sistem alternatif yang solutif dan etis dalam menghadapi dinamika ekonomi global masa kini.

Kata Kunci: Ekonomi syariah; keuangan Islam; pembangunan berkelanjutan; zakat; wakaf; sukuk; keuangan inklusif; sistem ekonomi Islam; SDGs; etika ekonomi.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis tentang Ekonomi Syariah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam dinamika perkembangan ekonomi global, berbagai sistem ekonomi mengalami tekanan dan tantangan yang signifikan, mulai dari ketimpangan distribusi kekayaan, krisis moral dalam transaksi bisnis, hingga instabilitas pasar finansial. Model ekonomi konvensional yang dominan, khususnya kapitalisme, telah menghadapi kritik tajam karena orientasinya yang berlebihan pada akumulasi keuntungan serta kegagalannya dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif. Dalam konteks inilah, ekonomi syariah hadir sebagai sistem alternatif yang menjanjikan solusi berbasis nilai-nilai etika dan spiritual Islam.

Ekonomi syariah bukan sekadar bentuk “ekonomi agama”, melainkan merupakan sistem yang memiliki fondasi normatif dan filosofis yang kuat, berpijak pada prinsip-prinsip tauhid, keadilan (al-‘adl), keseimbangan (tawazun), serta larangan eksploitasi melalui riba, maysir, dan gharar. Tujuannya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga menjamin kemaslahatan umum (maslahah 'ammah) dan keadilan distributif dalam masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh M. Umer Chapra, tujuan utama ekonomi Islam adalah menciptakan kesejahteraan material dan spiritual yang selaras dengan nilai-nilai moral serta etika sosial1.

Perhatian terhadap ekonomi syariah semakin meningkat sejak dekade 1970-an, seiring tumbuhnya kesadaran di kalangan umat Islam untuk membangun sistem ekonomi yang berakar dari syariat. Hal ini kemudian diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah, lembaga zakat, dan wakaf produktif, yang berkembang tidak hanya di negara-negara Muslim tetapi juga di dunia Barat. Bahkan, lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank telah mulai mengakui relevansi keuangan syariah dalam menciptakan stabilitas keuangan global2.

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ekonomi syariah menjadi bagian penting dari kebijakan nasional, terutama dalam mewujudkan sistem keuangan inklusif dan berkeadilan. Pemerintah melalui Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengembangkan berbagai regulasi untuk mendukung ekosistem ekonomi syariah yang berkelanjutan3.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian komprehensif mengenai konsep dasar, prinsip, serta implementasi ekonomi syariah dalam skala nasional dan global. Di dalamnya akan dibahas fondasi teoritik ekonomi syariah, instrumen-instrumen keuangan berbasis syariah, hingga tantangan dan prospek pengembangan ekonomi syariah dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan multidisipliner dan berdasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan artikel ini dapat menjadi kontribusi bermakna dalam memperluas wawasan serta menguatkan posisi ekonomi syariah dalam kancah global.


Footnotes

[1]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 1–5.

[2]                Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice (Singapore: John Wiley & Sons, 2007), 3–6.

[3]                Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 (Jakarta: KNEKS, 2019), 12–15.


2.           Konsep Dasar Ekonomi Syariah

2.1.       Definisi dan Tujuan Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah adalah ilmu yang mempelajari aktivitas ekonomi manusia berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Sistem ini bukan hanya bertujuan mengatur hubungan manusia dengan kekayaan, tetapi juga menata relasi sosial secara etis dan transendental1. Menurut M. Umer Chapra, ekonomi Islam bertujuan “merealisasikan keadilan sosial ekonomi dalam kerangka nilai-nilai spiritual dan moral Islam”. 2

Berbeda dari pendekatan sekular ekonomi konvensional yang bersifat bebas nilai (value-free), ekonomi syariah bersifat value-laden, artinya seluruh aktivitas ekonominya dipandu oleh prinsip-prinsip etik dan hukum Islam yang diturunkan dari wahyu dan rasionalitas (`aql)3.

2.2.       Landasan Normatif Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah berpijak pada empat sumber utama dalam hukum Islam:

1)             Al-Qur’an: memberikan prinsip dasar tentang keadilan (al-‘adl), pelarangan riba, kewajiban zakat, dan pentingnya transaksi yang saling ridha. Contoh ayat kunci adalah QS. Al-Baqarah (2) ayat 275 yang melarang riba dan mendorong perdagangan4.

2)             Sunnah Nabi Saw: memperinci ketentuan praktis dalam muamalah, seperti akad jual beli, pengelolaan utang, serta larangan praktik gharar (ketidakjelasan).

3)             Ijma’ dan Qiyas: sebagai metode deduksi hukum yang memungkinkan pengembangan sistem ekonomi syariah seiring perubahan zaman, termasuk dalam menciptakan produk-produk keuangan modern yang tetap sesuai syariah.

2.3.       Prinsip-Prinsip Fundamental Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah dibangun di atas prinsip-prinsip yang menyeluruh dan integral, antara lain:

·                     Tauhid (Keesaan Tuhan): seluruh aktivitas ekonomi dilakukan dalam kesadaran bertauhid, yang berarti tidak hanya bertujuan duniawi tetapi juga tanggung jawab ukhrawi5.

·                     Keadilan (al-‘adl): ekonomi syariah menekankan distribusi kekayaan yang adil, serta melarang bentuk eksploitasi ekonomi dalam transaksi dan produksi6.

·                     Larangan Riba, Gharar, dan Maysir:

Riba: bunga dalam segala bentuknya dilarang karena dianggap menindas dan menyebabkan akumulasi kekayaan yang tidak adil.

Gharar: ketidakjelasan dalam kontrak (misalnya spekulasi ekstrem) dilarang untuk melindungi para pihak.

Maysir: segala bentuk perjudian atau spekulasi dilarang karena merusak nilai produktivitas7.

·                     Harta sebagai Amanah: kekayaan bukan milik mutlak manusia, melainkan amanah dari Allah yang harus dikelola untuk kebaikan pribadi dan masyarakat (QS. Al-Hadid [57] ayat 7)8.

·                     Kebebasan Berusaha dalam Batas Syariah: individu diberi kebebasan untuk berusaha dan memiliki kekayaan selama tidak bertentangan dengan hukum syariah dan tidak merugikan pihak lain9.

2.4.       Perbedaan dengan Sistem Ekonomi Konvensional

Ekonomi syariah memiliki sejumlah karakteristik utama yang membedakannya secara mendasar dari sistem ekonomi konvensional. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

·                     Paradigma Nilai

Ekonomi Syariah: Berdasarkan nilai-nilai spiritual, etika, dan hukum Islam. Setiap aktivitas ekonomi terikat pada dimensi moral dan transendental.

Ekonomi Konvensional: Bersifat sekuler dan bebas nilai (value-free), aktivitas ekonomi dipisahkan dari norma-norma keagamaan dan moral.

·                     Tujuan Akhir

Ekonomi Syariah: Bertujuan mencapai maslahah atau kesejahteraan kolektif baik dunia maupun akhirat. Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial sangat ditekankan.

Ekonomi Konvensional: Berorientasi pada maksimalisasi keuntungan (profit) dan utilitas individu tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau dampak sosial jangka panjang.

·                     Larangan dalam Aktivitas Ekonomi

Ekonomi Syariah: Secara tegas melarang praktik riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan maysir (spekulasi/judi). Transaksi harus transparan dan adil.

Ekonomi Konvensional: Tidak mengenal larangan moral terhadap bentuk transaksi tertentu selama sesuai dengan hukum positif yang berlaku.

·                     Distribusi Kekayaan

Ekonomi Syariah: Menyediakan mekanisme distribusi kekayaan yang adil melalui instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Sistem ini memperkuat jaminan sosial.

Ekonomi Konvensional: Distribusi kekayaan lebih ditentukan oleh mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah. Ketimpangan ekonomi dapat menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.

·                     Akad dan Kontrak

Ekonomi Syariah: Menggunakan akad-akad (kontrak) berdasarkan prinsip keadilan dan kesepakatan yang sah menurut syariah. Akad tidak boleh mengandung unsur penipuan atau ketidakjelasan.

Ekonomi Konvensional: Kontrak didasarkan pada hukum positif dengan fokus pada kepentingan ekonomi semata dan orientasi keuntungan, selama tidak melanggar hukum negara.

Struktur perbedaan ini menegaskan bahwa ekonomi syariah bukan sekadar variasi dari sistem konvensional, melainkan merupakan pendekatan holistik terhadap kegiatan ekonomi yang menyatu dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan sosial, dan keberlanjutan.


Dengan demikian, ekonomi syariah bukan hanya sistem alternatif, tetapi merupakan kerangka ekonomi komprehensif yang terintegrasi dengan moralitas, spiritualitas, dan keadilan sosial. Dalam praktiknya, ekonomi syariah menuntut pengembangan institusi dan produk-produk ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut—termasuk dalam sektor perbankan, investasi, wakaf, dan distribusi sosial.


Footnotes

[1]                Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature (Leicester: The Islamic Foundation, 1981), 4–6.

[2]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 213–215.

[3]                Abbas Mirakhor dan Hossein Askari, Introduction to Islamic Economics: Theory and Application (Singapore: Wiley, 2009), 5–6.

[4]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2): 275.

[5]                Monzer Kahf, The Foundations of Islamic Economics (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2003), 13.

[6]                Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective: Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 3–18.

[7]                Mervyn K. Lewis and Latifa M. Algaoud, Islamic Banking (Cheltenham: Edward Elgar, 2001), 31–33.

[8]                Al-Qur’an, Surah Al-Hadid (57): 7.

[9]                Habib Ahmed, Role of Islamic Financial Institutions in Infrastructure Development, Islamic Research and Training Institute (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 9–10.


3.           Sejarah Perkembangan Ekonomi Syariah

3.1.       Periode Klasik: Masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin

Ekonomi syariah pada dasarnya telah eksis sejak masa kenabian Muhammad Saw di abad ke-7 Masehi. Aktivitas ekonomi masyarakat Arab saat itu secara bertahap mengalami transformasi besar melalui prinsip-prinsip Islam yang mengatur muamalah. Rasulullah Saw mengatur pasar dengan etika, melarang riba dan penipuan, serta memperkenalkan prinsip keadilan dan transparansi dalam transaksi1. Pada masa Khulafaur Rasyidin, sistem ekonomi negara Islam dikembangkan melalui lembaga Bayt al-Mal sebagai pusat keuangan negara untuk mengelola pendapatan dan distribusi kekayaan, termasuk zakat dan jizyah2.

Kebijakan Umar bin Khattab mengenai tanah Kharaj dan tunjangan tetap (al-‘ata’) menunjukkan bentuk pengelolaan ekonomi negara yang progresif, adil, dan terencana. Negara memainkan peran sentral dalam menjamin keadilan sosial dan kebutuhan dasar masyarakat3.

3.2.       Periode Pertengahan: Dinasti Islam dan Perkembangan Institusi Ekonomi

Masa keemasan peradaban Islam (abad ke-8 hingga ke-13) menyaksikan kemajuan luar biasa dalam bidang ekonomi dan keuangan. Para ulama seperti Abu Yusuf, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun menulis karya-karya monumental yang membahas kebijakan fiskal, pajak, harga, pasar, dan distribusi kekayaan. Dalam Kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menekankan pentingnya keadilan pajak dan kesejahteraan rakyat sebagai indikator keberhasilan negara4.

Di era ini, lembaga-lembaga ekonomi seperti hisbah (pengawasan pasar dan moral ekonomi), wakaf (pendanaan sosial), dan syirkah (kemitraan bisnis) berkembang secara sistematis. Sistem pembayaran dan kredit juga berkembang melalui sistem hawalah dan sakk, yang merupakan cikal bakal cek modern5.

3.3.       Masa Kemunduran dan Pengaruh Kolonialisme

Mulai abad ke-14 hingga awal abad ke-20, dunia Islam mengalami stagnasi dan kemunduran di berbagai bidang, termasuk ekonomi. Faktor-faktor seperti disintegrasi politik, lemahnya inovasi ekonomi, dan dominasi kekuatan kolonial Eropa turut melemahkan institusi-institusi ekonomi Islam. Sistem ekonomi kolonial yang diterapkan di banyak wilayah Muslim lebih berorientasi pada kepentingan eksploitasi sumber daya daripada pemerataan kesejahteraan6.

Di samping itu, sistem keuangan konvensional mulai mengakar dalam kehidupan umat Islam, sementara prinsip-prinsip ekonomi syariah mulai terpinggirkan dari kebijakan publik. Banyak negara Muslim mulai mengadopsi sistem ekonomi kapitalis-sekuler yang tidak mengakomodasi nilai-nilai Islam dalam pengambilan keputusan ekonomi7.

3.4.       Kebangkitan Modern: Reaktualisasi Ekonomi Islam Abad ke-20

Kebangkitan ekonomi syariah sebagai sebuah disiplin ilmiah dan sistem alternatif dimulai sejak pertengahan abad ke-20, seiring dengan munculnya pemikiran intelektual Muslim modern seperti M. Umer Chapra, Khurshid Ahmad, dan Nejatullah Siddiqi. Mereka menyerukan pentingnya merevitalisasi sistem ekonomi Islam sebagai solusi atas krisis kapitalisme dan sosialisme8.

Langkah konkret pertama dalam kebangkitan ekonomi syariah terjadi dengan berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah modern, seperti Mit Ghamr Savings Bank di Mesir pada 1963, dan kemudian berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada 1975, yang menjadi tonggak penguatan institusi keuangan Islam di tingkat global9.

3.5.       Perkembangan Kontemporer: Globalisasi dan Konvergensi Sistem

Sejak tahun 1990-an, ekonomi syariah berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Negara-negara seperti Malaysia, Indonesia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi menjadi pionir dalam pengembangan regulasi dan infrastruktur keuangan syariah. Di sisi lain, negara-negara Barat seperti Inggris, Luxemburg, dan Jerman mulai mengakomodasi produk-produk keuangan syariah sebagai bagian dari keragaman sistem ekonomi global10.

Institusi internasional seperti Bank Dunia dan IMF juga mulai mengakui stabilitas sistem keuangan syariah, terutama setelah krisis keuangan global 2008, di mana bank-bank syariah relatif lebih tahan terhadap gejolak pasar karena tidak terlibat dalam praktik derivatif berisiko tinggi11.


Footnotes

[1]                Afzal-ur-Rahman, Economic Doctrines of Islam: A Study in the Doctrines of Islam and Their Implications for Poverty, Employment and Economic Growth (Lahore: Islamic Publications Ltd., 1980), 34–35.

[2]                Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taymiyyah (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), 21.

[3]                Mustafa A. Rifaat, The Islamic Welfare State and its Role in Economic Development (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 1990), 29–30.

[4]                Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, trans. A.M. El-Ashker and R. Wilson (Reading: Garnet Publishing, 2003), 65–69.

[5]                Timur Kuran, The Long Divergence: How Islamic Law Held Back the Middle East (Princeton: Princeton University Press, 2011), 141–145.

[6]                Ibrahim M. Oweiss, “Islamic Finance: The Legacy of the Prophet,” Middle East Policy 5, no. 1 (1997): 77–80.

[7]                M. Raquibuz Zaman and M. Aslam Khan, “Islamic Economics: Theory and Practice,” Journal of Islamic Banking and Finance 3, no. 1 (1986): 9–12.

[8]                M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000), 4–5.

[9]                Rodney Wilson, Islamic Banking and Finance in the European Union: A Challenge (Cheltenham: Edward Elgar, 2007), 11–12.

[10]             Iqbal, Zamir and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice (Singapore: Wiley, 2007), 9–14.

[11]             International Monetary Fund (IMF), Islamic Finance: Opportunities, Challenges, and Policy Options, IMF Policy Paper (Washington, D.C.: IMF, April 2015), 3.


4.           Instrumen dan Lembaga Ekonomi Syariah

4.1.       Akad dan Instrumen Keuangan Syariah

Instrumen ekonomi syariah dibangun di atas dasar akad (kontrak) yang sah menurut syariah Islam. Akad merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan aktivitas ekonomi tertentu dalam koridor hukum Islam. Tujuan utama dari akad ini adalah menjaga keadilan, menghindari eksploitasi, dan memastikan transparansi dalam transaksi1.

Beberapa jenis akad yang paling umum digunakan dalam ekonomi dan keuangan syariah antara lain:

·                     Mudharabah: kerja sama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib), di mana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal2.

·                     Musyarakah: bentuk kemitraan antara dua pihak atau lebih yang masing-masing menyertakan modal dan berbagi keuntungan maupun kerugian secara proporsional3.

·                     Murabahah: jual beli barang dengan penambahan margin keuntungan yang disepakati. Transaksi ini transparan karena harga pokok dan margin harus diketahui kedua belah pihak4.

·                     Ijarah: akad sewa menyewa barang atau jasa. Dalam praktik perbankan, ijarah banyak digunakan dalam pembiayaan aset produktif5.

·                     Salam dan Istishna’: akad pemesanan barang dengan pembayaran di muka (salam) atau berdasarkan kesepakatan waktu dan spesifikasi (istishna’), yang sangat berguna dalam pembiayaan sektor pertanian dan manufaktur6.

4.2.       Instrumen Sosial dalam Ekonomi Syariah

Selain transaksi komersial, ekonomi syariah juga mengatur instrumen sosial untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam distribusi kekayaan:

·                     Zakat: kewajiban finansial bagi Muslim yang mampu, berfungsi sebagai instrumen redistribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan7.

·                     Infak dan Sedekah: bentuk pemberian sukarela yang melengkapi sistem zakat dalam membantu masyarakat kurang mampu.

·                     Wakaf: penyerahan harta secara permanen untuk tujuan sosial atau keagamaan. Wakaf produktif kini digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi8.

Instrumen-instrumen ini merefleksikan dimensi sosial dari ekonomi Islam yang menekankan solidaritas, tolong-menolong, dan tanggung jawab kolektif.

4.3.       Lembaga Ekonomi Syariah

Implementasi ekonomi syariah dalam praktik membutuhkan dukungan lembaga keuangan dan institusi pengatur. Beberapa lembaga utama yang berperan penting meliputi:

·                     Perbankan Syariah: berfungsi sebagai intermediator keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip syariah dalam operasinya, berbeda dari bank konvensional karena tidak menggunakan bunga (riba) dan menghindari ketidakjelasan (gharar). Produk-produknya mencakup tabungan mudharabah, pembiayaan musyarakah, dan investasi sukuk9.

·                     Asuransi Syariah (Takaful): sistem asuransi berbasis prinsip tolong-menolong (ta’awun) dan pembagian risiko bersama. Peserta menyumbangkan dana ke dalam tabarru’, bukan membayar premi seperti pada sistem konvensional10.

·                     Pasar Modal Syariah: menyediakan instrumen investasi yang sesuai prinsip syariah, seperti saham syariah dan sukuk (obligasi syariah). Pengelolaan investasi dilakukan dengan menghindari sektor-sektor haram dan spekulatif11.

·                     Baitul Maal wa Tamwil (BMT): lembaga keuangan mikro syariah yang berperan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat kecil dan menengah. BMT menjalankan fungsi baitul maal (pengelolaan dana sosial) dan tamwil (pembiayaan usaha produktif)12.

4.4.       Otoritas Pengatur dan Standarisasi Syariah

Untuk menjamin kesesuaian seluruh aktivitas ekonomi dengan prinsip-prinsip Islam, berbagai lembaga pengatur dan standarisasi didirikan, antara lain:

·                     Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI): otoritas tertinggi di Indonesia dalam mengeluarkan fatwa atas produk dan aktivitas keuangan syariah. Fatwa DSN menjadi dasar hukum operasional lembaga keuangan syariah13.

·                     Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI): berperan dalam pengawasan dan pengembangan industri keuangan syariah secara teknis dan sistemik.

·                     AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions): badan internasional yang mengeluarkan standar akuntansi dan syariah untuk lembaga keuangan syariah global.

·                     IFSB (Islamic Financial Services Board): menyusun prinsip kehati-hatian dan stabilitas sistem keuangan Islam di tingkat internasional.


Lembaga dan instrumen ini merupakan bagian dari ekosistem ekonomi syariah yang terus berkembang. Sinergi antara prinsip normatif, instrumen operasional, dan lembaga pengatur menjadi faktor kunci keberhasilan penerapan ekonomi syariah dalam konteks global kontemporer.


Footnotes

[1]                Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Chichester: Wiley, 2007), 58–63.

[2]                M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000), 135.

[3]                Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice (Singapore: John Wiley & Sons, 2007), 94–97.

[4]                Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 116–117.

[5]                Habib Ahmed, Islamic Banking and Finance: Fundamentals and Contemporary Issues (Jeddah: Islamic Development Bank, 2004), 63–65.

[6]                Monzer Kahf, Islamic Economics: The Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis (Jeddah: IRTI, 2006), 76.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah (Jeddah: Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz University, 1999), 68–70.

[8]                Mohd Ma’Sum Billah, Wakaf: Konsep dan Aplikasinya dalam Pembangunan Ekonomi Umat (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2007), 44.

[9]                Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 101–104.

[10]             Rania A. Azmi, “Shariah-Compliant Insurance: Takaful,” Arab Law Quarterly 24, no. 1 (2010): 85–92.

[11]             Rifki Ismal, Islamic Capital Markets: A Comparative Approach (Singapore: Wiley, 2010), 151–153.

[12]             Abdul Ghofur, BMT: Alternatif Lembaga Keuangan Mikro (Yogyakarta: UII Press, 2005), 27–30.

[13]             Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Ekonomi Syariah (Jakarta: DSN-MUI, 2017), xx–xxii.


5.           Implementasi Ekonomi Syariah dalam Konteks Global dan Nasional

5.1.       Implementasi Ekonomi Syariah di Level Global

Implementasi ekonomi syariah telah berkembang secara signifikan di berbagai negara, tidak hanya di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan, tetapi juga di negara-negara Barat. Sistem ini semakin diakui sebagai alternatif yang stabil dan etis terhadap sistem keuangan konvensional, khususnya pasca krisis keuangan global 2008.

·                     Malaysia merupakan salah satu pelopor dalam pengembangan ekonomi syariah secara menyeluruh, mencakup sektor perbankan, pasar modal, asuransi (takaful), dan wakaf. Malaysia membentuk Bank Negara Malaysia Shariah Advisory Council yang berfungsi sebagai otoritas tertinggi dalam urusan syariah keuangan, dan memelopori standar internasional melalui kerja sama dengan IAIS dan IFSB1.

·                     Uni Emirat Arab dan Arab Saudi mengembangkan pusat keuangan syariah berbasis syariah (Islamic finance hubs) di Dubai dan Riyadh, dengan fokus pada sukuk internasional, keuangan properti syariah, serta sektor halal dan logistik global2.

·                     Inggris adalah negara Barat pertama yang menerbitkan sovereign sukuk (obligasi negara berbasis syariah) pada tahun 2014 dan secara aktif mengintegrasikan sistem keuangan Islam ke dalam kebijakan fiskalnya, melalui Financial Services Authority (FSA) dan pengakuan terhadap bank syariah seperti Al Rayan Bank3.

·                     Di tingkat global, lembaga seperti Islamic Development Bank (IsDB) memainkan peran penting dalam pembiayaan pembangunan berbasis prinsip syariah di negara-negara berkembang, termasuk dukungan terhadap infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan4.

5.2.       Implementasi Ekonomi Syariah di Indonesia

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah. Pemerintah Indonesia telah menjadikan ekonomi dan keuangan syariah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.

·                     Pembentukan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada tahun 2020 melalui Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2020 menandai komitmen strategis pemerintah dalam mendorong pertumbuhan sektor ini. KNEKS berfokus pada pengembangan industri produk halal, keuangan syariah, zakat dan wakaf, serta penguatan UMKM berbasis syariah5.

·                     Bank Indonesia dan OJK secara aktif mendukung sistem keuangan syariah melalui kebijakan moneter syariah, pengembangan instrumen sukuk, serta pengawasan perbankan dan asuransi syariah. Hingga 2023, Indonesia telah memiliki lebih dari 14 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah, serta ratusan BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah)6.

·                     Di sektor sosial, Indonesia memanfaatkan wakaf produktif dan digitalisasi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan. Baznas dan lembaga filantropi Islam lainnya telah menjalin kerja sama dengan startup dan fintech syariah untuk memperluas jangkauan layanan7.

·                     Dalam bidang pendidikan dan penguatan ekosistem, berbagai universitas dan institusi pendidikan tinggi telah membuka program studi ekonomi syariah, serta melakukan riset dan pengembangan kurikulum berbasis maqashid syariah8.

5.3.       Tantangan Implementasi dan Arah Pengembangan

Meskipun pertumbuhan ekonomi syariah terus menunjukkan tren positif, masih terdapat sejumlah tantangan baik di tingkat global maupun nasional, antara lain:

·                     Kurangnya literasi ekonomi syariah di masyarakat umum, bahkan di kalangan akademisi dan pelaku usaha sendiri9.

·                     Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang memahami prinsip, produk, dan regulasi keuangan syariah.

·                     Dualisme regulasi dan integrasi antara sistem syariah dan konvensional yang masih memerlukan harmonisasi.

·                     Kurangnya inovasi produk dan digitalisasi layanan yang kompetitif dibandingkan dengan sektor keuangan konvensional.

Untuk mengatasi tantangan ini, arah pengembangan ke depan harus difokuskan pada:

·                     Inovasi berbasis teknologi, seperti pengembangan fintech syariah, blockchain halal, dan e-commerce syariah.

·                     Penguatan regulasi dan harmonisasi standar syariah internasional, seperti adopsi standar dari AAOIFI dan IFSB secara konsisten.

·                     Peningkatan kolaborasi internasional, termasuk kerja sama lintas negara dalam pengembangan pasar modal syariah dan perdagangan halal.

·                     Penguatan peran ekonomi syariah dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui zakat, wakaf, dan pembiayaan inklusif10.


Footnotes

[1]                Bank Negara Malaysia, Shariah Governance Framework for Islamic Financial Institutions (Kuala Lumpur: BNM, 2010), 4–6.

[2]                International Islamic Financial Market (IIFM), IIFM Sukuk Report: A Comprehensive Study of the Global Sukuk Market (Manama: IIFM, 2023), 12–14.

[3]                Rodney Wilson, “Islamic Finance in the United Kingdom: Growth and Challenges,” Journal of Islamic Banking and Finance 30, no. 2 (2013): 31–33.

[4]                Islamic Development Bank, IsDB Annual Report 2023 (Jeddah: IsDB, 2023), 9–12.

[5]                Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 (Jakarta: KNEKS, 2019), 16–18.

[6]                Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2023 (Jakarta: OJK, 2023), 22–26.

[7]                Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Outlook Zakat Indonesia 2022 (Jakarta: BAZNAS RI, 2022), 41–44.

[8]                Azhari Akmal Tarigan, “Peran Pendidikan Ekonomi Syariah dalam Penguatan Ekosistem Keuangan Islam di Indonesia,” Islamic Economic Journal 5, no. 1 (2021): 55–60.

[9]                Ascarya, “Inovasi dan Literasi Keuangan Syariah di Era Digital,” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah 4, no. 1 (2020): 45–47.

[10]             Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective: Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 5–10.


6.           Peran Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Berkelanjutan

6.1.       Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Islam

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam kerangka ekonomi syariah memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar pertumbuhan ekonomi. Ia mencakup dimensi spiritual, sosial, lingkungan, dan ekonomi yang saling berkelindan. Dalam pandangan Islam, pembangunan bukan hanya bertujuan menciptakan kemakmuran duniawi, tetapi juga memastikan kemaslahatan umat dan menjaga keberlanjutan hidup generasi mendatang sebagaimana tercermin dalam prinsip istikhlaf (kepemimpinan manusia di bumi), maslahah, dan tawazun (keseimbangan)1.

Konsep ini sejajar dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang diusung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun pendekatan Islam menekankan integrasi antara etika spiritual dan tanggung jawab sosial. Zubair Hasan menekankan bahwa ekonomi Islam memiliki potensi besar untuk mendukung pencapaian SDGs karena sistemnya menolak eksploitasi, mendorong distribusi kekayaan, dan memprioritaskan kesejahteraan kolektif2.

6.2.       Instrumen Ekonomi Syariah untuk Pembangunan Inklusif dan Adil

Ekonomi syariah menyediakan berbagai instrumen yang secara inheren mendukung pembangunan berkelanjutan dan inklusif:

·                     Zakat sebagai sistem redistribusi kekayaan yang wajib, berfungsi tidak hanya sebagai instrumen filantropi, tetapi juga sebagai mekanisme pemberdayaan ekonomi kelompok miskin dan marjinal3.

·                     Wakaf produktif memiliki potensi besar dalam mendukung sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial. Contohnya, pendirian rumah sakit, sekolah, serta pelatihan keterampilan berbasis dana wakaf telah terbukti meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin secara berkelanjutan4.

·                     Islamic Microfinance (melalui Baitul Maal wa Tamwil/BMT) mendorong partisipasi ekonomi kelompok rentan melalui pembiayaan berbasis prinsip syariah (tanpa bunga dan eksploitatif), serta pendampingan usaha secara holistik5.

·                     Sukuk hijau (Green Sukuk) telah diperkenalkan di beberapa negara, termasuk Indonesia, sebagai bentuk obligasi syariah yang diarahkan untuk membiayai proyek-proyek ramah lingkungan seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan kehutanan lestari6.

6.3.       Keseimbangan antara Kebutuhan Ekonomi dan Lingkungan

Ekonomi syariah menempatkan lingkungan sebagai bagian dari amanah Allah kepada manusia (khalifah fi al-ardh). Oleh karena itu, praktik ekonomi tidak boleh merusak lingkungan atau mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Al-Qur’an secara eksplisit melarang ifsād fī al-ardh (kerusakan di muka bumi), yang menjadi dasar normatif bagi pembangunan berwawasan lingkungan7.

Konsep tawazun dalam ekonomi syariah mencakup keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material, kepentingan individu dan masyarakat, serta antara pembangunan ekonomi dan kelestarian alam. Model pembangunan yang berorientasi pada keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial bertentangan dengan nilai-nilai syariah8.

6.4.       Inklusi Keuangan dan Pengentasan Kemiskinan

Ekonomi syariah juga memiliki potensi besar dalam memperluas inklusi keuangan. Sistem keuangan syariah lebih mudah diterima oleh masyarakat yang selama ini enggan berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional karena alasan agama. Oleh karena itu, penguatan lembaga keuangan mikro syariah, zakat digital, serta layanan perbankan syariah berbasis teknologi dapat mempercepat inklusi dan pemberdayaan ekonomi akar rumput9.

Dalam konteks global, pendekatan ekonomi syariah juga dinilai lebih tangguh terhadap krisis keuangan karena prinsip kehati-hatian dalam investasi dan larangan spekulasi berlebihan. Stabilitas ini menjadi faktor penting dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan10.


Kesimpulan Subbagian

Secara keseluruhan, ekonomi syariah memberikan pendekatan komprehensif terhadap pembangunan berkelanjutan. Melalui integrasi nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi, ekonomi syariah dapat menjadi solusi alternatif untuk menjawab tantangan ketimpangan dan degradasi dalam pembangunan global kontemporer. Dengan optimalisasi instrumen seperti zakat, wakaf, sukuk hijau, dan keuangan mikro syariah, ekonomi syariah mampu mewujudkan pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan bermakna secara etis.


Footnotes

[1]                Muhammad Umer Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid al-Shari'ah (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2008), 9–12.

[2]                Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective: Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 3–18.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, trans. Monzer Kahf (Jeddah: Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz University, 1999), 135–138.

[4]                Mohd Ma’sum Billah, Wakaf: Konsep dan Aplikasinya dalam Pembangunan Ekonomi Umat (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2007), 61–65.

[5]                Habib Ahmed, Role of Islamic Financial Institutions in Infrastructure Development (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 18–22.

[6]                Ministry of Finance Republic of Indonesia, Green Sukuk Framework (Jakarta: MoF, 2020), 3–6.

[7]                Al-Qur’an, Surah Al-A’raf (7): 56.

[8]                Monzer Kahf, Islamic Economics: The Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis (Jeddah: IRTI, 2006), 22–25.

[9]                Ascarya, “Inovasi dan Literasi Keuangan Syariah di Era Digital,” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah 4, no. 1 (2020): 45–48.

[10]             Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice (Singapore: Wiley, 2007), 116–118.


7.           Tantangan dan Prospek Ekonomi Syariah

7.1.       Tantangan Eksternal dan Internal

Meskipun mengalami pertumbuhan yang menjanjikan di berbagai negara, ekonomi syariah masih menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks dan multidimensi. Tantangan ini mencakup aspek ideologis, teknis, institusional, hingga sosial-kultural.

·                     Kurangnya Literasi Ekonomi Syariah

Salah satu hambatan terbesar dalam pengembangan ekonomi syariah adalah rendahnya tingkat literasi masyarakat, termasuk pelaku bisnis dan kalangan akademisi, terhadap prinsip, mekanisme, dan produk-produk keuangan syariah. Studi yang dilakukan oleh OJK menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia tahun 2022 hanya sebesar 9,14%, jauh di bawah literasi keuangan konvensional1.

·                     Dualisme Sistem dan Fragmentasi Regulasi

Di banyak negara, ekonomi syariah beroperasi secara paralel dengan sistem ekonomi konvensional. Dualisme ini sering menimbulkan tumpang tindih regulasi, kurangnya harmonisasi kebijakan, dan tidak optimalnya sinergi antara otoritas syariah dan lembaga keuangan konvensional2.

·                     Kurangnya SDM Berkualitas dan Sertifikasi Profesional

Kekurangan tenaga profesional yang memiliki kompetensi syariah sekaligus pemahaman teknis tentang ekonomi dan keuangan modern merupakan persoalan serius. Keterbatasan ini berdampak pada rendahnya inovasi produk dan efektivitas pengawasan internal di lembaga-lembaga keuangan syariah3.

·                     Standar Syariah yang Belum Terintegrasi Global

Meskipun telah ada badan-badan internasional seperti AAOIFI dan IFSB, namun belum semua negara secara konsisten mengadopsi standar tersebut. Ketidaksamaan interpretasi terhadap prinsip syariah menimbulkan perbedaan dalam produk dan praktik antarnegara4.

·                     Kurangnya Inovasi Produk dan Digitalisasi

Dalam era ekonomi digital, keuangan syariah masih tertinggal dalam hal integrasi teknologi dan inovasi produk berbasis digital. Hal ini menyulitkan daya saingnya di tengah gempuran fintech konvensional yang semakin agresif5.

7.2.       Prospek dan Peluang Strategis Pengembangan Ekonomi Syariah

Di balik tantangan yang dihadapi, ekonomi syariah memiliki prospek besar dalam menjawab kebutuhan sistem ekonomi alternatif yang inklusif, etis, dan berkelanjutan.

·                     Pertumbuhan Pasar Halal Global

Ekonomi syariah memiliki keterkaitan erat dengan industri halal. Menurut laporan State of the Global Islamic Economy, nilai pasar ekonomi halal dunia diperkirakan mencapai lebih dari USD 3 triliun pada tahun 2025, mencakup sektor makanan, fashion, farmasi, pariwisata, dan keuangan6. Hal ini membuka peluang integrasi vertikal antarindustri berbasis syariah.

·                     Dukungan Pemerintah dan Regulasi Inklusif

Banyak negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan bahkan Inggris, telah mengadopsi kebijakan strategis untuk mendorong pertumbuhan sektor keuangan syariah, termasuk penerbitan sukuk negara, pendirian bank syariah, dan insentif pajak7.

·                     Pengembangan Fintech dan Ekonomi Digital Syariah

Fintech berbasis syariah (shariah-compliant fintech) menjadi salah satu sektor yang berkembang pesat, dengan model seperti peer-to-peer lending, crowdfunding wakaf, dan pembayaran zakat digital. Hal ini membantu memperluas inklusi keuangan dan menjangkau segmen masyarakat yang belum terlayani sistem konvensional8.

·                     Peran Ekonomi Syariah dalam Agenda Pembangunan Global

Ekonomi syariah memiliki kesesuaian inheren dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam hal pengentasan kemiskinan, inklusi keuangan, dan pelestarian lingkungan. Penggunaan instrumen seperti green sukuk, wakaf produktif, dan zakat terprogram dapat mendukung agenda pembangunan berkelanjutan secara praktis dan teologis9.

7.3.       Strategi Penguatan dan Akselerasi Ekonomi Syariah

Untuk mengatasi tantangan dan mengoptimalkan peluang, diperlukan strategi sistemik dan multi-level, di antaranya:

·                     Peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah melalui kurikulum pendidikan, media digital, serta program edukasi publik terintegrasi.

·                     Penguatan regulasi dan harmonisasi standar syariah antara otoritas lokal dan internasional, terutama terkait produk-produk investasi, fintech, dan asuransi syariah.

·                     Pengembangan SDM unggul dan profesional bersertifikasi, melalui pelatihan terstandar, sertifikasi kompetensi, dan kerja sama internasional.

·                     Integrasi teknologi dan inovasi digital dalam produk serta layanan keuangan syariah untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan jangkauan pasar.


Kesimpulan Subbagian

Secara keseluruhan, ekonomi syariah berada pada titik krusial antara tantangan struktural dan peluang strategis. Meningkatnya kesadaran global terhadap pentingnya sistem keuangan yang etis dan stabil memberi ruang bagi ekonomi syariah untuk berkembang sebagai sistem alternatif yang menjanjikan. Dengan langkah-langkah pembaruan institusional, penguatan literasi, dan akselerasi inovasi digital, ekonomi syariah dapat memainkan peran signifikan dalam membentuk arah baru ekonomi dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 (Jakarta: OJK, 2022), 18.

[2]                Ascarya, “Sistem Keuangan Ganda dan Tantangannya terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter Syariah,” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah 2, no. 2 (2018): 99–104.

[3]                M. Kabir Hassan and Mervyn K. Lewis, Handbook of Islamic Banking (Cheltenham: Edward Elgar, 2007), 271–275.

[4]                Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance: Convergence, Prospects, and Challenges (Singapore: John Wiley & Sons, 2011), 185–188.

[5]                Habib Ahmed and Tariqullah Khan, “Islamic Financial Services and Financial Stability: A Review,” Journal of Islamic Economics, Banking and Finance 7, no. 1 (2011): 13–16.

[6]                DinarStandard, State of the Global Islamic Economy Report 2022 (Dubai: DinarStandard, 2022), 14–18.

[7]                Rodney Wilson, “Regulatory Challenges Facing Islamic Finance in the West: A UK Perspective,” Journal of Islamic Banking and Finance 31, no. 2 (2014): 21–24.

[8]                Rifki Ismal, Fintech Syariah: Inovasi dan Tantangan dalam Ekonomi Digital (Jakarta: KNEKS Press, 2021), 39–45.

[9]                Zubair Hasan, “Islamic Finance and the SDGs: Potential Synergies,” Islamic Economic Studies 28, no. 1 (2020): 1–14.


8.           Kesimpulan

Ekonomi syariah telah berkembang menjadi salah satu cabang ilmu ekonomi kontemporer yang tidak hanya menawarkan pendekatan alternatif terhadap sistem ekonomi konvensional, tetapi juga membawa paradigma baru yang menyatukan nilai-nilai spiritual, etika sosial, dan keadilan distributif dalam aktivitas ekonomi. Berpijak pada prinsip-prinsip syariah seperti tauhid, keadilan (al-‘adl), keseimbangan (tawazun), serta larangan riba, gharar, dan maysir, ekonomi syariah menegaskan bahwa kesejahteraan sejati tidak hanya diukur dari akumulasi materi, melainkan dari terciptanya kemaslahatan yang menyeluruh bagi umat manusia1.

Secara historis, ekonomi syariah telah memiliki fondasi kuat sejak masa Nabi Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin, yang kemudian berkembang melalui institusi-institusi klasik seperti Bayt al-Mal, hisbah, dan wakaf. Meskipun sempat mengalami stagnasi pada era kolonialisme, kebangkitan ekonomi Islam di abad ke-20 menandai transformasi signifikan dengan munculnya lembaga keuangan syariah modern serta penguatan pemikiran akademik Islam dalam bidang ekonomi2.

Dalam implementasinya, ekonomi syariah kini tidak lagi terbatas pada dunia Muslim, melainkan telah diterima di tingkat global, dengan adopsi produk-produk seperti sukuk, takaful, dan green Islamic finance di berbagai negara, termasuk Inggris dan Jepang. Di Indonesia, peran strategis KNEKS, OJK, dan BI telah memperkuat infrastruktur ekonomi syariah melalui regulasi, edukasi, dan dukungan terhadap UMKM serta literasi masyarakat3.

Lebih dari itu, ekonomi syariah memiliki relevansi tinggi dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. Instrumen seperti zakat, wakaf, keuangan mikro syariah, dan sukuk hijau dapat berfungsi sebagai mekanisme nyata dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs), termasuk pengentasan kemiskinan, peningkatan inklusi keuangan, dan pelestarian lingkungan4. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi syariah tidak hanya merupakan sistem yang saleh secara normatif, tetapi juga solutif secara struktural.

Namun demikian, tantangan seperti rendahnya literasi, kurangnya inovasi teknologi, keterbatasan sumber daya manusia, serta dualisme sistem hukum dan regulasi, masih menjadi kendala serius. Oleh karena itu, strategi jangka panjang perlu difokuskan pada penguatan kapasitas institusi, integrasi sistem digital, harmonisasi standar syariah global, serta kolaborasi lintas sektor dan lintas negara5.

Dengan pendekatan yang terintegrasi antara prinsip normatif dan strategi implementatif, ekonomi syariah dapat menjadi motor penggerak transformasi sosial-ekonomi global yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam dunia yang semakin mencari sistem ekonomi yang lebih etis dan manusiawi, ekonomi syariah memiliki posisi strategis untuk menjadi pusat gravitasi baru dalam tatanan ekonomi dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 213–215.

[2]                Timur Kuran, The Long Divergence: How Islamic Law Held Back the Middle East (Princeton: Princeton University Press, 2011), 143–146.

[3]                Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024 (Jakarta: KNEKS, 2019), 11–18.

[4]                Zubair Hasan, “Sustainable Development from an Islamic Perspective: Meaning, Implications, and Policy Concerns,” Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics 19, no. 1 (2006): 3–18.

[5]                Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance: Convergence, Prospects, and Challenges (Singapore: Wiley, 2011), 185–188.


Daftar Pustaka

Ahmed, H. (2004). Role of Islamic financial institutions in infrastructure development. Islamic Research and Training Institute.

Ahmed, H., & Khan, T. (2011). Islamic financial services and financial stability: A review. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 7(1), 13–16.

Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh az-zakah (M. Kahf, Trans.). Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz University.

Antonio, M. S. (2001). Bank syariah: Dari teori ke praktik. Gema Insani.

Ascarya. (2011). Akad dan produk bank syariah. Rajawali Pers.

Ascarya. (2018). Sistem keuangan ganda dan tantangannya terhadap efektivitas kebijakan moneter syariah. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2(2), 99–104.

Ascarya. (2020). Inovasi dan literasi keuangan syariah di era digital. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 4(1), 45–48.

Bank Negara Malaysia. (2010). Shariah governance framework for Islamic financial institutions. Bank Negara Malaysia.

BAZNAS RI. (2022). Outlook zakat Indonesia 2022. Badan Amil Zakat Nasional.

Billah, M. M. (2007). Wakaf: Konsep dan aplikasinya dalam pembangunan ekonomi umat. IIUM Press.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. The Islamic Foundation.

Chapra, M. U. (2000). The future of economics: An Islamic perspective. The Islamic Foundation.

Chapra, M. U. (2008). The Islamic vision of development in the light of Maqasid al-Shari'ah. Islamic Research and Training Institute.

DinarStandard. (2022). State of the global Islamic economy report 2022. Dubai Islamic Economy Development Centre.

Ghofur, A. (2005). BMT: Alternatif lembaga keuangan mikro. UII Press.

Habib, A. (2004). Islamic banking and finance: Fundamentals and contemporary issues. Islamic Development Bank.

Hasan, Z. (2006). Sustainable development from an Islamic perspective: Meaning, implications, and policy concerns. Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics, 19(1), 3–18.

Hasan, Z. (2020). Islamic finance and the SDGs: Potential synergies. Islamic Economic Studies, 28(1), 1–14.

Hassan, M. K., & Lewis, M. K. (Eds.). (2007). Handbook of Islamic banking. Edward Elgar.

Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2007). An introduction to Islamic finance: Theory and practice. Wiley.

Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2011). Globalization and Islamic finance: Convergence, prospects, and challenges. Wiley.

Ismal, R. (2010). Islamic capital markets: A comparative approach. Wiley.

Ismal, R. (2021). Fintech syariah: Inovasi dan tantangan dalam ekonomi digital. KNEKS Press.

Islamic Development Bank. (2023). IsDB annual report 2023. Islamic Development Bank.

Kahf, M. (2003). The foundations of Islamic economics. Islamic Research and Training Institute.

Kahf, M. (2006). Islamic economics: The contributions of Muslim scholars to economic thought and analysis. Islamic Research and Training Institute.

KNEKS. (2019). Masterplan ekonomi syariah Indonesia 2019–2024. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.

Kuran, T. (2011). The long divergence: How Islamic law held back the Middle East. Princeton University Press.

Ministry of Finance Republic of Indonesia. (2020). Green sukuk framework. Ministry of Finance.

Otoritas Jasa Keuangan. (2022). Survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2022. OJK.

Otoritas Jasa Keuangan. (2023). Laporan perkembangan keuangan syariah Indonesia 2023. OJK.

Rifaat, M. A. (1990). The Islamic welfare state and its role in economic development. Islamic Research and Training Institute.

Siddiqi, M. N. (1981). Muslim economic thinking: A survey of contemporary literature. The Islamic Foundation.

Tarigan, A. A. (2021). Peran pendidikan ekonomi syariah dalam penguatan ekosistem keuangan Islam di Indonesia. Islamic Economic Journal, 5(1), 55–60.

Wilson, R. (2007). Islamic banking and finance in the European Union: A challenge. Edward Elgar.

Wilson, R. (2013). Islamic finance in the United Kingdom: Growth and challenges. Journal of Islamic Banking and Finance, 30(2), 31–33.

Wilson, R. (2014). Regulatory challenges facing Islamic finance in the West: A UK perspective. Journal of Islamic Banking and Finance, 31(2), 21–24.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar