Hermeneutika Kritis
Menafsirkan Teks dalam Bingkai Emansipasi dan Keadilan Sosial
Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
hermeneutika kritis sebagai pendekatan interpretatif yang menggabungkan antara
pemahaman makna dan kritik terhadap ideologi dalam konteks sosial, budaya, dan
politik. Berakar pada tradisi hermeneutika filosofis dan teori kritis Mazhab
Frankfurt, hermeneutika kritis bertujuan membongkar relasi kuasa dan struktur
dominasi yang tersembunyi dalam praktik penafsiran. Kajian ini menyoroti
landasan konseptual hermeneutika kritis, pemikiran tokoh-tokoh sentral seperti
Jürgen Habermas, Paul Ricoeur, Michel Foucault, dan Jacques Derrida, serta
prinsip-prinsip utama seperti dekonstruksi ideologi, dialog emansipatoris, dan
kesadaran historis. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi metodologi
hermeneutika kritis yang interdisipliner dan reflektif, serta aplikasinya dalam
studi ilmu sosial dan humaniora—khususnya dalam analisis media, tafsir agama,
pendidikan kritis, dan studi identitas. Bagian akhir artikel mengulas berbagai
kritik dan tantangan terhadap hermeneutika kritis, sekaligus menegaskan
relevansinya dalam menghadapi krisis makna, disinformasi, dan ketimpangan
sosial di era kontemporer. Dengan pendekatan reflektif dan transformatif,
hermeneutika kritis tidak hanya menjadi metode ilmiah, tetapi juga sarana untuk
membentuk masyarakat yang lebih adil, dialogis, dan sadar ideologi.
Kata Kunci: Hermeneutika Kritis; Kritik Ideologi; Jürgen
Habermas; Paul Ricoeur; Interpretasi; Emansipasi; Teori Sosial; Transformasi
Sosial; Humaniora; Etika Dialogis.
PEMBAHASAN
Hermeneutika Kritis dalam Studi Agama dan Budaya
1.
Pendahuluan
Hermeneutika, yang
secara etimologis berasal dari kata Yunani hermēneuein (menafsirkan atau
menerangkan), telah berkembang dari sebuah metode interpretasi teks-teks klasik
dan kitab suci menjadi suatu pendekatan filosofis yang mencakup pemahaman
terhadap makna dalam konteks historis, linguistik, dan sosial. Sejak masa
klasik, hermeneutika telah digunakan dalam upaya menafsirkan pesan-pesan yang
dianggap kompleks atau sakral, namun dalam perkembangannya menuju era modern
dan kontemporer, pendekatan ini mengalami perluasan fungsi dan ranah
epistemologisnya. Terutama dalam abad ke-20, hermeneutika tidak lagi
semata-mata berkutat pada penafsiran teks, melainkan juga bergeser menjadi
instrumen kritik sosial dan ideologis yang ditujukan untuk membongkar relasi
kuasa yang tersembunyi di balik produksi makna.
Transformasi
hermeneutika menjadi sebuah pendekatan kritis tidak terlepas dari pengaruh
teori kritis, terutama pemikiran para filsuf dari Mazhab Frankfurt seperti
Jürgen Habermas, yang memperluas cakrawala interpretasi dengan memasukkan
dimensi emansipatoris ke dalam praktik hermeneutis. Dalam perspektif ini,
pemahaman terhadap teks tidak cukup berhenti pada reproduksi makna yang diwariskan oleh tradisi, tetapi harus
disertai dengan kemampuan untuk mengkritisi struktur-struktur dominan yang
sering kali tersembunyi di balik wacana yang tampak netral atau universal.
Hermeneutika kritis berupaya untuk melampaui keterbatasan hermeneutika
filosofis (seperti yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer), dengan
menambahkan dimensi reflektif terhadap kekuasaan, ideologi, dan konteks
sosial-politik dari setiap proses interpretasi.1
Dalam pendekatan
hermeneutika kritis, makna bukanlah entitas statis yang dapat diakses secara
langsung oleh subjek penafsir, melainkan sesuatu yang terbentuk melalui
interaksi antara teks, pembaca, dan konteks historis. Oleh karena itu, setiap
penafsiran mengandung dimensi diskursif yang dipengaruhi oleh struktur sosial
dan relasi kuasa. Dalam hal ini, hermeneutika menjadi alat penting untuk mengungkap “kepentingan” yang
tersembunyi dalam produksi dan penyebaran makna, baik dalam teks-teks sastra, agama,
maupun kebijakan politik dan budaya populer.2
Pendekatan ini juga
bersifat transformatif, dalam arti bahwa ia tidak hanya bertujuan untuk
memahami realitas sebagaimana adanya, tetapi juga untuk mengubahnya. Seperti
yang ditegaskan oleh Ricoeur, tugas hermeneutika adalah menyatukan hermeneutika
kepercayaan dan hermeneutika kecurigaan, yaitu
mengakui adanya makna yang dalam, sembari bersikap kritis terhadap kekuasaan
dan ideologi yang mungkin tersembunyi dalam narasi yang kita terima sebagai
kebenaran.3
Dengan demikian,
kajian tentang hermeneutika kritis bukan hanya relevan dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam ilmu sosial, studi budaya,
teologi, hingga pendidikan kritis. Dalam dunia yang dipenuhi oleh narasi yang
saling bersaing dan terkadang manipulatif, hermeneutika kritis menawarkan
perangkat metodologis yang tajam untuk mengurai dan menilai secara kritis
berbagai bentuk makna dan pengetahuan yang beredar di masyarakat.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 294–310.
[2]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth, TX: Texas Christian University Press, 1976), 16–18.
[3]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.
2.
Landasan
Konseptual Hermeneutika Kritis
Hermeneutika kritis
merupakan perkembangan konseptual dari tradisi hermeneutika klasik dan
filosofis yang memperluas ruang lingkup penafsiran ke dalam wilayah kritik
sosial dan ideologis. Dalam pengertiannya yang paling mendasar, hermeneutika
merujuk pada teori dan praktik interpretasi, terutama terhadap teks. Namun,
dalam ranah kontemporer, hermeneutika tidak
lagi dibatasi pada pemahaman terhadap teks dalam arti sempit, melainkan
mencakup upaya menafsirkan makna dalam konteks relasi sosial, struktur kuasa,
dan ideologi yang bekerja di balik bahasa dan komunikasi.1
Secara
epistemologis, hermeneutika kritis mengambil posisi di antara dua kutub: di
satu sisi, hermeneutika filosofis yang menekankan pemahaman dan tradisi
(seperti dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer), dan di sisi lain, pendekatan kritis yang mengutamakan pembebasan
dari dominasi ideologis (seperti yang diusung oleh Jürgen Habermas). Gadamer
memandang bahwa pemahaman tidak bisa lepas dari pra-anggapan dan horizon historis,
serta berlangsung dalam dialog antara pembaca dan teks.2
Namun, Habermas mengkritik pendekatan ini karena dinilai kurang memperhitungkan
kekuatan ideologis yang bisa menyelubungi tradisi dan memengaruhi proses
pemahaman secara tidak disadari.3
Dalam konteks inilah
hermeneutika kritis mengambil bentuknya: sebuah pendekatan yang tidak hanya
berusaha memahami makna, tetapi juga mempertanyakan asal-usul, kepentingan, dan
fungsi sosial dari makna tersebut. Sejalan dengan pemikiran Mazhab Frankfurt generasi kedua, hermeneutika
kritis menekankan pentingnya kesadaran emansipatoris, yaitu
kemampuan untuk mengenali bentuk-bentuk dominasi dan ketimpangan yang
terinternalisasi dalam praktik diskursif maupun budaya sehari-hari.4
Hermeneutika kritis
juga berakar pada tradisi hermeneutika kecurigaan yang
dikenalkan oleh Paul Ricoeur, yang mengajak pembaca untuk tidak hanya mempercayai teks tetapi juga mencurigai
intensi dan struktur makna di balik teks. Ricoeur menegaskan bahwa hermeneutika
yang sehat harus memadukan kepercayaan terhadap makna yang dalam dengan
skeptisisme terhadap dominasi simbolik yang mungkin tersembunyi dalam bahasa.5
Dengan demikian, pemahaman bukanlah titik akhir, melainkan awal dari proses
kritik yang bertujuan membongkar relasi kuasa, bias ideologis, dan kepentingan
tersembunyi.
Secara metodologis,
hermeneutika kritis bersifat interdisipliner dan reflektif. Ia meminjam
pendekatan dari sosiologi, linguistik, teori komunikasi, dan analisis ideologi. Di tangan Habermas, hermeneutika
dikaitkan erat dengan teori tindakan komunikatif, yang
menekankan bahwa komunikasi sejati harus bebas dari distorsi dan
dominasi—sebuah prasyarat bagi terciptanya konsensus yang rasional dan
demokratis.6
Dengan kata lain,
hermeneutika kritis berupaya menggabungkan antara interpretasi dan kritik,
pemahaman dan emansipasi. Dalam proses ini, ia tidak hanya menjadi alat
analisis tekstual, tetapi juga sarana untuk membangun kesadaran kritis terhadap
struktur sosial yang membentuk dan mengarahkan makna dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itu, landasan konseptual hermeneutika kritis tidak hanya bersifat
teoritis, tetapi juga praksis—mengarah pada transformasi sosial yang berbasis
pada pemahaman mendalam dan kritik ideologis yang tajam.
Footnotes
[1]
Georgia Warnke, Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford:
Stanford University Press, 1987), 13–17.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 266–274.
[3]
Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in Contemporary
Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, ed. Josef
Bleicher (London: Routledge, 1980), 181–211.
[4]
David Ingram, Critical Theory and Philosophy (New York:
Paragon House, 1990), 55–60.
[5]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–38.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2:
Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987),
88–102.
3.
Tokoh-Tokoh
Sentral dalam Hermeneutika Kritis
Hermeneutika kritis sebagai
pendekatan filsafat dan teori sosial lahir dari interaksi dinamis antara
hermeneutika filosofis dan teori kritis. Beberapa tokoh sentral telah memainkan
peran penting dalam
merumuskan, memperluas, dan memperdalam arah metodologis serta agenda emansipatoris
dari hermeneutika kritis. Di antara para tokoh tersebut, Jürgen
Habermas, Paul Ricoeur, serta secara
kontekstual Michel Foucault dan Jacques
Derrida, menempati posisi strategis dalam mengembangkan
pendekatan ini.
3.1.
Jürgen Habermas:
Rasionalitas Komunikatif dan Emansipasi
Jürgen Habermas
adalah figur sentral dalam pengembangan hermeneutika kritis yang berasal dari
tradisi Teori Kritis Frankfurt. Ia dikenal sebagai pemikir yang berupaya
mengintegrasikan hermeneutika dengan teori sosial melalui konsep tindakan
komunikatif. Habermas mengkritik hermeneutika filosofis—terutama
gagasan fusion
of horizons dari Hans-Georg Gadamer—karena dianggap gagal
mengungkap dominasi ideologis yang seringkali tersembunyi dalam tradisi.1
Menurut Habermas,
pemahaman autentik hanya mungkin terjadi dalam ruang komunikasi yang bebas dari
distorsi, yang ia sebut sebagai ideal speech situation. Di sinilah
hermeneutika harus bersifat kritis, yakni berperan membebaskan individu dari bentuk-bentuk dominasi sistemik melalui
pengungkapan kepentingan tersembunyi dalam proses komunikasi dan interpretasi.2
Dalam kerangka ini, hermeneutika tidak hanya menjadi sarana pemahaman, tetapi
juga sarana transformasi sosial melalui pencapaian konsensus rasional dan
dialogis.
3.2.
Paul Ricoeur:
Dialektika antara Kepercayaan dan Kecurigaan
Paul Ricoeur memosisikan
dirinya di antara dua kutub ekstrem: hermeneutika pemahaman (Gadamer) dan
hermeneutika kritik (Marx, Nietzsche, Freud). Ia memperkenalkan gagasan tentang
hermeneutika
ganda—yakni gabungan antara hermeneutika kepercayaan (faith)
dan hermeneutika
kecurigaan (suspicion).3 Ricoeur
menegaskan bahwa setiap pemahaman mengandung kemungkinan disorientasi makna akibat kekuatan simbolik
atau ideologis yang bekerja secara implisit dalam teks dan diskursus.
Ricoeur menekankan
pentingnya simbol dan narasi dalam membentuk struktur pemahaman. Melalui konsep
tindakan
simbolik dan mimesis naratif, ia menunjukkan bahwa penafsiran selalu terjadi dalam proses
mediasi antara teks, pembaca, dan dunia yang direpresentasikan.4
Dengan demikian, Ricoeur memperluas cakupan hermeneutika kritis ke dalam ranah
antropologis dan etis—memahami manusia melalui bahasa, simbol, dan narasi
sebagai medan perjuangan makna.
3.3.
Michel Foucault:
Kritik Diskursus dan Kekuasaan Pengetahuan
Meskipun tidak
secara eksplisit mengembangkan “hermeneutika” dalam pengertian klasik,
pemikiran Michel Foucault memberikan kontribusi penting bagi arah kritis
hermeneutika melalui analisis diskursus. Foucault
menolak anggapan bahwa makna adalah hasil komunikasi bebas; sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana regime
of truth dibentuk oleh relasi kuasa yang melekat pada institusi dan
praktik diskursif.5
Dalam hermeneutika
kritis yang diinspirasi Foucault, penafsiran terhadap teks atau praktik budaya
harus memperhatikan kondisi-kondisi historis yang memungkinkan munculnya
diskursus tertentu. Ia memandang bahwa “pemahaman” sering kali adalah hasil dari normalisasi
kekuasaan yang menyusup secara halus melalui bahasa, pengetahuan, dan institusi
sosial.6
3.4.
Jacques Derrida:
Dekonstruksi dan Ketegangan Makna
Jacques Derrida,
pelopor dekonstruksi, turut memberi warna pada hermeneutika kritis dengan menekankan
bahwa makna selalu bersifat tertunda (différance)
dan tidak pernah hadir secara utuh dalam teks. Ia mengkritik asumsi tentang
keutuhan makna dalam interpretasi dan menekankan bahwa setiap teks membawa
potensi untuk subversi internal terhadap dirinya sendiri.7
Pendekatan Derrida
membongkar struktur oposisi biner dalam bahasa dan menantang otoritas penafsir
tunggal. Dalam konteks hermeneutika kritis, dekonstruksi menjadi metode untuk
menguak cara-cara pengetahuan dan nilai dikonstruksikan secara arbitrer untuk
mendukung hegemoni tertentu.8
Para tokoh ini secara
kolektif membentuk fondasi konseptual dan metodologis bagi hermeneutika kritis
sebagai disiplin yang tidak hanya berorientasi pada makna dan pemahaman, tetapi juga pada keadilan,
emansipasi, dan kesadaran ideologis dalam praktik interpretatif. Melalui
sintesis antara pemikiran mereka, hermeneutika kritis menjadi pendekatan yang
mampu membaca teks dan dunia secara bersamaan, sambil membuka ruang bagi
transformasi sosial yang lebih reflektif dan etis.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans.
Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge, MA: MIT Press, 1988),
151–154.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 287–301.
[3]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–38.
[4]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
52–64.
[5]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on
Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972),
215–220.
[6]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–138.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 65–73.
[8]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.
4.
Prinsip-Prinsip
Hermeneutika Kritis
Hermeneutika kritis
tidak hanya berurusan dengan proses pemahaman atas makna, tetapi juga
menyematkan orientasi normatif terhadap emansipasi, kritik
ideologi, dan transformasi sosial.
Prinsip-prinsipnya mengintegrasikan wawasan dari hermeneutika filosofis dan
teori kritis, menjadikan penafsiran sebagai kegiatan yang bersifat reflektif
dan transformatif. Dengan demikian,
hermeneutika kritis berfungsi sebagai alat untuk menyelidiki bagaimana makna
diproduksi, didistribusikan, dan sering kali dimanipulasi dalam konteks
sosial-politik tertentu.
4.1.
Dekonstruksi dan
Kritik Ideologi
Salah satu prinsip
utama hermeneutika kritis adalah kecurigaan terhadap makna yang tampak natural
dan objektif. Dalam perspektif ini, interpretasi tidak cukup
hanya memulihkan maksud pengarang atau menelusuri makna tekstual, melainkan
harus membongkar struktur ideologis
yang menyusun makna tersebut. Paul Ricoeur menyebut pendekatan ini sebagai
bagian dari hermeneutika kecurigaan, yaitu
pembacaan yang skeptis terhadap pretensi netralitas dalam teks atau wacana
sosial.1
Kritik terhadap
ideologi dalam hermeneutika kritis mengacu pada kesadaran bahwa teks, simbol,
dan praktik diskursif sering kali mencerminkan dominasi kekuasaan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Jürgen Habermas, banyak struktur sosial dan komunikasi publik
yang secara sistemik menyamarkan hubungan kekuasaan melalui representasi yang
tampak sah dan netral.2 Oleh karena itu, salah
satu tugas utama hermeneutika kritis adalah mengungkap dan menganalisis distorsi ideologis
dalam sistem makna yang beroperasi di masyarakat.
4.2.
Dialog dan
Emansipasi
Hermeneutika kritis
menempatkan dialog sebagai medium emansipasi.
Berbeda dengan komunikasi manipulatif yang bertujuan dominasi, hermeneutika
kritis mendasarkan diri pada prinsip tindakan komunikatif (communicative
action) yang bertujuan membangun pengertian yang bebas dari tekanan, hierarki,
dan ketimpangan struktural.3 Dalam kerangka ini,
pemahaman bukan semata produk dari subjektivitas penafsir, melainkan hasil dari
proses intersubjektif yang terbuka terhadap koreksi dan pengujian rasional oleh
pihak lain.
Habermas menekankan
pentingnya situasi komunikasi yang ideal,
yakni kondisi di mana semua peserta
diskusi memiliki kesempatan yang setara untuk berbicara, bertanya, dan
menyanggah. Dalam konteks interpretasi, prinsip ini diterjemahkan menjadi
penolakan terhadap otoritarianisme makna, dan membuka jalan bagi penafsiran
yang berakar pada rasionalitas partisipatoris.4
4.3.
Historisitas dan
Praksis Sosial
Prinsip hermeneutika
kritis berikutnya adalah pengakuan terhadap historisitas makna dan
keterkaitannya dengan praksis sosial. Teks dan wacana dipahami
sebagai produk dari konteks sejarah tertentu, dan karena itu pemahaman atasnya
membutuhkan kesadaran terhadap
kondisi-kondisi historis dan sosial yang membentuknya. Gadamer menyebut ini
sebagai horizon
sejarah (historical horizon), meski Habermas mengkritiknya karena
terlalu menerima tradisi secara pasif tanpa cukup kritis terhadap muatan
ideologisnya.5
Prinsip historisitas
ini menuntut bahwa interpretasi tidak boleh dipisahkan dari kondisi material, struktur sosial, dan dinamika
kekuasaan yang membentuknya. Oleh karena itu, hermeneutika kritis menekankan
pentingnya refleksi historis dan kesadaran praksis
dalam memahami serta mentransformasi realitas sosial melalui makna.6
4.4.
Integrasi
Pengetahuan Interdisipliner
Hermeneutika kritis
menolak pendekatan reduksionis dalam memahami teks atau realitas sosial. Ia
menuntut pendekatan interdisipliner yang
menggabungkan wawasan dari filsafat,
teori sosial, linguistik, analisis wacana, serta ilmu budaya. Pendekatan ini
memperkaya kerangka interpretasi dengan berbagai perspektif kritis yang saling
melengkapi.
Sebagai contoh,
analisis diskursus ala Foucault menyoroti bagaimana institusi dan relasi
kekuasaan mengatur wacana, sedangkan
pendekatan dekonstruktif Derrida mengungkap keretakan makna dalam struktur
bahasa. Gabungan dari berbagai metode ini memperluas cakupan dan kedalaman
hermeneutika kritis dalam mengungkap dimensi ideologis dan struktur kuasa dalam
sistem pengetahuan.7
Simpulan Subbab
Keempat prinsip ini—dekonstruksi
ideologi, dialog emansipatoris, historisitas praksis, dan interdisiplinaritas—membentuk
fondasi dari hermeneutika kritis sebagai pendekatan interpretatif yang tidak
hanya mencari makna, tetapi juga memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan
kesadaran kritis. Hermeneutika kritis menempatkan interpretasi sebagai
aktivitas politik dan etis, yang menuntut keterlibatan reflektif dari penafsir
dalam memahami dan membentuk dunia.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–36.
[2]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–317.
[3]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2:
Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987),
86–92.
[4]
Maeve Cooke, “Habermas, Rationality and Postmetaphysical Thinking,” European
Journal of Philosophy 8, no. 2 (2000): 228–229.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 301–305.
[6]
David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven:
Yale University Press, 1987), 142–146.
[7]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on
Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972),
216; Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 71–74.
5.
Metodologi
dalam Hermeneutika Kritis
Metodologi hermeneutika
kritis menandai pergeseran penting dari pendekatan interpretasi yang bersifat
deskriptif-kultural menuju pendekatan reflektif-kritis yang bertujuan
membongkar struktur makna sekaligus mendorong transformasi sosial. Sebagai pendekatan interdisipliner,
hermeneutika kritis tidak hanya mengandalkan pemahaman linguistik dan tekstual,
melainkan juga mengintegrasikan dimensi historis, sosial, ideologis, dan
politis dari proses penafsiran.
5.1.
Tiga Tahap Proses
Interpretasi Kritis: Deskripsi, Interpretasi, dan Kritik
Dalam kerangka
hermeneutika kritis, proses interpretasi umumnya berjalan melalui tiga tahap:
·
Deskripsi:
Tahap awal ini berfokus pada pemaparan teks
sebagaimana adanya, termasuk konteks linguistik, struktur naratif, dan ekspresi
simbolik yang terkandung di dalamnya.
·
Interpretasi:
Pada tahap ini, makna teks dianalisis dalam
hubungannya dengan horizon pembaca serta konteks historis dan budaya di mana
teks itu ditulis dan dibaca.
·
Kritik:
Tahap akhir yang khas dalam hermeneutika kritis,
yakni pembongkaran terhadap kemungkinan adanya distorsi ideologis atau dominasi
dalam struktur makna yang dihasilkan teks maupun dalam cara teks itu diterima
di masyarakat.1
Proses tiga tahap
ini memperlihatkan bahwa interpretasi bukan sekadar upaya pemahaman pasif, melainkan tindakan aktif yang
bersifat reflektif dan transformatif.
5.2.
Relasi Teks,
Penulis, Pembaca, dan Konteks Sosial
Hermeneutika kritis mengakui bahwa teks tidak memiliki makna
tunggal dan tetap. Makna muncul melalui relasi dinamis antara:
·
Penulis
sebagai subjek historis yang mengkonstruksi makna;
·
Teks
sebagai medium simbolik yang terbuka terhadap berbagai penafsiran;
·
Pembaca
sebagai partisipan aktif dengan horizon historis dan ideologis tertentu;
·
Konteks
sosial sebagai kerangka yang membentuk dan mengkondisikan semua
aspek di atas.2
Habermas menekankan
bahwa pemahaman hanya dapat
dinilai valid apabila terjadi dalam situasi komunikasi yang bebas dari distorsi
(undistorted
communication), di mana pembaca tidak sekadar mengafirmasi makna teks, tetapi juga mengujinya secara kritis
dalam terang realitas sosial yang lebih luas.3
5.3.
Integrasi Metode
Interdisipliner
Sebagai metodologi
yang terbuka, hermeneutika kritis mengadopsi dan mengadaptasi berbagai pendekatan dari disiplin ilmu lain, seperti:
·
Sosiologi
pengetahuan, yang memeriksa bagaimana struktur sosial membentuk
cara berpikir;
·
Analisis
wacana, yang mengungkap relasi kuasa dalam bahasa;
·
Dekonstruksi,
yang mengkritik asumsi keutuhan dan koherensi makna;
·
Analisis
ideologi, yang mengurai kepentingan tersembunyi dalam produksi
dan reproduksi makna.4
Pendekatan ini
mencerminkan bahwa pemahaman terhadap teks atau fenomena sosial tidak dapat
dilepaskan dari konteks kekuasaan dan relasi hegemonik yang menyertainya. Oleh
karena itu, hermeneutika kritis tidak sekadar menghasilkan makna, tetapi juga
berperan dalam membebaskan kesadaran dari
dominasi simbolik maupun struktural.
5.4.
Keterlibatan Etis
dan Kesadaran Reflektif
Unsur penting dalam
metodologi hermeneutika kritis adalah keterlibatan etis penafsir. Interpretasi
bukan aktivitas netral; ia selalu membawa konsekuensi epistemologis dan
politis. Oleh sebab itu, setiap proses penafsiran harus disertai dengan kesadaran
reflektif terhadap posisi, nilai, dan kepentingan yang dibawa
oleh penafsir itu sendiri.
Paul Ricoeur
menekankan pentingnya refleksi ganda dalam penafsiran: refleksi atas makna teks
dan refleksi atas diri penafsir itu
sendiri sebagai subjek historis dan etis.5 Di sini,
hermeneutika kritis tidak hanya menjadi metode akademik, tetapi juga sarana
pendidikan kesadaran sosial dan moral.
Simpulan Subbab
Metodologi
hermeneutika kritis adalah metodologi yang bersifat dinamis, dialogis, dan
transformatif. Ia tidak berhenti pada reproduksi makna, melainkan bergerak
menuju pembongkaran
ideologi, emansipasi kesadaran, dan transformasi
sosial. Dengan merangkul pendekatan interdisipliner dan etika
reflektif, hermeneutika kritis menghadirkan paradigma penafsiran yang peka
terhadap konteks kekuasaan dan bertanggung jawab secara sosial.
Footnotes
[1]
David Rasmussen, Reading Habermas (Cambridge: Basil Blackwell,
1990), 45–48.
[2]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 92–95.
[3]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press,
1990), 65–69.
[4]
John B. Thompson, Ideology and Modern Culture: Critical Social
Theory in the Era of Mass Communication (Cambridge: Polity Press, 1990),
27–33.
[5]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–92.
6.
Hermeneutika
Kritis dan Analisis Ideologi
Salah satu
kontribusi utama hermeneutika kritis dalam teori interpretasi kontemporer
adalah kemampuannya untuk menyatukan antara proses pemahaman dan kritik
terhadap struktur dominasi ideologis. Tidak seperti pendekatan
hermeneutika tradisional yang cenderung berfokus pada intensi pengarang atau
makna teks secara internal, hermeneutika kritis berupaya mengungkap kekuatan
ideologis tersembunyi yang membentuk dan mengarahkan produksi
serta pemahaman makna dalam masyarakat.
6.1.
Ideologi sebagai
Struktur Makna dan Kekuasaan
Dalam kerangka
hermeneutika kritis, ideologi tidak hanya dipahami sebagai kumpulan
gagasan palsu atau menyesatkan, melainkan sebagai sistem
representasi yang secara halus membentuk persepsi sosial, nilai, dan praktik
hidup sehari-hari. Seperti dijelaskan
oleh John B. Thompson, ideologi mencakup dimensi simbolik dari praktik sosial
yang melayani fungsi mempertahankan relasi kekuasaan yang asimetris.1
Dengan demikian,
setiap proses penafsiran harus mempertanyakan bukan hanya “apa makna teks?”,
tetapi juga “kepentingan siapa yang diuntungkan dari makna ini?”, serta
“struktur kekuasaan apa yang menopang dan direproduksi oleh makna tersebut?”. Hermeneutika kritis
memposisikan interpretasi sebagai tindakan reflektif-politik yang mampu
membongkar bentuk dominasi simbolik yang sering kali tersembunyi di balik
bahasa yang tampak netral atau objektif.
6.2.
Kritik Ideologi
dalam Tradisi Teori Kritis
Dalam tradisi Teori
Kritis Frankfurt, terutama melalui pemikiran Habermas, kritik terhadap
ideologi diformulasikan dalam kerangka rasionalitas komunikatif.
Habermas menyatakan bahwa komunikasi dalam masyarakat modern sering kali
dikolonisasi oleh sistem, yakni oleh kekuatan ekonomi dan administratif yang mengubah bahasa menjadi
alat manipulasi alih-alih mediasi makna yang rasional.2
Oleh karena itu, tugas hermeneutika kritis adalah mendeteksi distorsi dalam komunikasi,
termasuk dalam wacana keilmuan, agama, media, maupun politik.
Melalui pendekatan
ini, interpretasi menjadi bentuk aksi emansipatoris: ia tidak
hanya bertujuan memahami dunia, tetapi juga mengubahnya dengan mengungkap dan mengkritisi struktur
ideologis yang menyamarkan realitas ketimpangan.3
6.3.
Ideologi dalam
Teks-teks Agama dan Budaya Populer
Hermeneutika kritis
juga menunjukkan kegunaannya dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dan budaya
populer, yang sering kali menjadi sarana internalisasi ideologi. Dalam teks keagamaan, misalnya,
makna sering dibingkai oleh otoritas tafsir yang hegemonik, dan karenanya berpotensi
menutupi pluralitas makna
serta meredam potensi emansipatoris ajaran agama itu sendiri.
Dalam budaya
populer—film, musik, iklan, media sosial—hermeneutika kritis mengungkap
bagaimana representasi gender, ras, kelas, dan kekuasaan disajikan secara implisit
dan berulang, sehingga membentuk pemahaman
kolektif yang tampaknya alamiah. Stuart Hall, dalam kerangka teori budaya
kritis, menyebut ini sebagai encoding/decoding, yakni bagaimana
makna disusun dengan kode tertentu oleh produsen wacana dan ditafsirkan
(kadang-kadang secara pasif) oleh audiens.4
6.4.
Dekonstruksi
Ideologi: Membuka Ruang Emansipasi
Dengan membongkar
ideologi yang tersemat dalam teks dan wacana, hermeneutika kritis membuka jalan
bagi emansipasi dan resistensi. Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, tugas
hermeneutika bukan hanya untuk memahami makna yang tampak, tetapi juga untuk menemukan
makna di balik makna—yakni, struktur simbolik yang memproduksi
dominasi atau keterasingan.5
Dekonstruksi dalam
konteks ini bukan sekadar pembongkaran struktur teks, tetapi juga pembebasan
pembaca dari dominasi penafsiran yang hegemonik. Dengan kesadaran
ini, pembaca menjadi agen aktif yang mampu membentuk makna secara etis dan
kritis, serta berkontribusi terhadap pembentukan masyarakat yang lebih adil dan
terbuka.
Simpulan Subbab
Hermeneutika kritis
menyediakan perangkat konseptual dan metodologis yang efektif untuk mengurai ideologi sebagai dimensi
tersembunyi dari bahasa dan makna. Ia menjadikan interpretasi sebagai sarana
untuk mengkritik,
mendekonstruksi, dan mentransformasikan struktur dominasi yang
melekat pada produksi makna. Dalam konteks ini, hermeneutika tidak hanya menjadi sarana epistemologis, tetapi
juga alat
pembebasan sosial dan etika politik.
Footnotes
[1]
John B. Thompson, Ideology and Modern Culture: Critical Social
Theory in the Era of Mass Communication (Cambridge: Polity Press, 1990),
56–59.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2:
Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987),
318–324.
[3]
David Held, Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas
(Berkeley: University of California Press, 1980), 342–347.
[4]
Stuart Hall, “Encoding/Decoding,” in Culture, Media, Language,
ed. Stuart Hall et al. (London: Routledge, 1980), 128–138.
[5]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–35.
7.
Aplikasi
Hermeneutika Kritis dalam Studi Ilmu Sosial dan Humaniora
Hermeneutika kritis
tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki signifikansi
praktis dalam berbagai cabang ilmu sosial dan humaniora.
Karakter reflektif, emansipatoris, dan interdisipliner dari pendekatan ini menjadikannya
alat yang kuat untuk menganalisis
wacana, struktur ideologi, dan relasi kuasa dalam fenomena
sosial dan kultural. Dalam konteks ini, hermeneutika kritis menjadi medium
untuk membongkar narasi dominan serta membuka ruang dialogis bagi penafsiran
alternatif yang lebih inklusif dan transformatif.
7.1.
Analisis Wacana
Media dan Politik
Salah satu bidang
penerapan utama hermeneutika kritis adalah analisis wacana media, terutama
dalam konteks produksi dan reproduksi ideologi dalam berita, opini, iklan, dan
program hiburan. Media massa sering kali menyampaikan pesan-pesan yang tampak
netral, padahal sarat dengan bias ideologis yang memperkuat struktur kekuasaan
tertentu. Teun A. van Dijk, misalnya, menunjukkan
bagaimana representasi minoritas dalam media Eropa secara sistematis
dipengaruhi oleh struktur dominasi budaya dan politik yang lebih luas.1
Melalui hermeneutika
kritis, peneliti dapat mengurai lapisan makna dalam teks media, mempertanyakan asumsi yang diambil sebagai
"kebenaran", serta mengungkap strategi linguistik dan simbolik
yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan atau mendiskreditkan kelompok
tertentu.
7.2.
Tafsir Keagamaan dan
Kajian Teks Suci
Dalam studi agama,
hermeneutika kritis memberikan kerangka metodologis yang penting untuk
menafsirkan teks-teks keagamaan secara kontekstual dan emansipatoris.
Ia menolak absolutisme tafsir tunggal dan membuka ruang untuk menafsirkan teks
suci dalam relasi dengan konteks historis, sosial, dan politik umat. Paul Ricoeur menekankan bahwa teks keagamaan
menyimpan makna ganda yang hanya dapat dipahami dengan menggabungkan pendekatan
simbolik, naratif, dan kritik ideologi.2
Hermeneutika kritis
menjadi relevan, misalnya, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang gender,
kekuasaan, dan hubungan sosial, yang secara historis telah digunakan untuk
mempertahankan struktur patriarkal atau eksklusif dalam komunitas beragama. Pendekatan ini berupaya
mengembalikan teks kepada visi keadilan dan pembebasan yang menjadi inti
spiritual dari ajaran agama itu sendiri.3
7.3.
Pendidikan Kritis
dan Kesadaran Emansipatoris
Dalam dunia
pendidikan, hermeneutika kritis berpadu dengan pedagogi kritis ala Paulo
Freire, yang menekankan pentingnya kesadaran reflektif dan tindakan
transformasional. Proses belajar tidak sekadar transmisi
pengetahuan, tetapi juga proses dialogis yang memungkinkan peserta didik
memahami dan menantang struktur sosial
yang menindas.
Pendidikan berbasis
hermeneutika kritis mengajarkan siswa untuk membaca dunia sebagaimana membaca
teks—yakni, dengan mempertanyakan asumsi, menelusuri asal-usul ideologi, dan membayangkan kemungkinan
perubahan.4 Dalam kerangka ini, guru
bukan otoritas mutlak, melainkan fasilitator dialog dan kesadaran kolektif.
7.4.
Kajian Gender, Ras,
dan Kelas dalam Humaniora
Hermeneutika kritis
sangat relevan dalam kajian identitas dan perbedaan,
seperti dalam studi gender, ras, dan kelas. Dengan membongkar narasi dominan
yang membingkai perbedaan sebagai deviasi atau subordinasi, pendekatan ini
memfasilitasi rekonstruksi makna yang lebih setara dan adil.
Misalnya, dalam
kajian feminis, hermeneutika kritis digunakan untuk mengungkap bagaimana teks,
budaya populer, dan institusi pendidikan menyebarluaskan wacana seksis yang
membatasi peran perempuan. Demikian pula, dalam studi rasial dan postkolonial,
hermeneutika kritis menyoroti bagaimana struktur bahasa dan representasi membentuk ketimpangan kolonial
dan rasisme struktural.5
7.5.
Penelitian
Sosial-Reflektif Berbasis Komunitas
Terakhir,
hermeneutika kritis dapat diterapkan dalam penelitian tindakan partisipatoris
(participatory action research), yaitu pendekatan penelitian
yang tidak hanya menghasilkan pemahaman akademik, tetapi juga memberdayakan
komunitas yang diteliti. Dalam pendekatan ini, peneliti dan partisipan bersama-sama
menafsirkan realitas sosial mereka dan mengidentifikasi langkah-langkah
transformasi yang mungkin dilakukan.
Pendekatan ini
sangat berguna dalam konteks marginalisasi sosial, seperti komunitas adat,
petani miskin, atau kelompok minoritas yang kerap tidak terdengar suaranya
dalam wacana akademik dominan.6 Hermeneutika kritis dalam konteks ini menjadi sarana untuk
mengartikulasikan makna pengalaman dan mengadvokasi keadilan sosial.
Simpulan Subbab
Aplikasi
hermeneutika kritis dalam ilmu sosial dan humaniora menunjukkan daya gunanya
yang luas dan mendalam: dari analisis wacana hingga tafsir agama, dari
pendidikan hingga studi identitas, dan dari teori hingga praktik pembebasan. Dengan menjadikan interpretasi
sebagai alat kritik dan transformasi, hermeneutika kritis tidak hanya
mengungkap makna tersembunyi, tetapi juga membuka ruang untuk perubahan yang berlandaskan
kesadaran dan keadilan.
Footnotes
[1]
Teun A. van Dijk, Ideology: A Multidisciplinary Approach (London:
Sage Publications, 1998), 142–148.
[2]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 43–49.
[3]
Elisabeth Schüssler Fiorenza, Rhetoric and Ethic: The Politics of
Biblical Studies (Minneapolis: Fortress Press, 1999), 65–73.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 81–89.
[5]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of
Freedom (New York: Routledge, 1994), 24–29.
[6]
Orlando Fals Borda and Muhammad Anisur Rahman, Action and
Knowledge: Breaking the Monopoly with Participatory Action-Research (New
York: Apex Press, 1991), 35–40.
8.
Kritik
dan Tantangan terhadap Hermeneutika Kritis
Meskipun
hermeneutika kritis telah memberikan kontribusi besar dalam ranah filsafat,
teori sosial, dan studi humaniora, pendekatan ini tidak lepas dari kritik dan
tantangan metodologis, epistemologis, maupun praksis. Kritik tersebut datang
baik dari kubu hermeneutika filosofis yang lebih tradisional maupun dari pendekatan
postmodern dan pragmatis. Diskusi ini penting untuk mempertajam dan memperkaya
pemahaman terhadap batas-batas dan potensi pengembangan lebih lanjut dari
hermeneutika kritis.
8.1.
Ketegangan antara
Pemahaman dan Kritik
Salah satu kritik
utama terhadap hermeneutika kritis adalah adanya ketegangan
antara orientasi pemahaman (hermeneutis) dan dorongan untuk kritik (ideologis).
Hans-Georg Gadamer, misalnya, mengkritik Jürgen Habermas karena terlalu
menekankan dimensi kritis sehingga mengabaikan dimensi dialogis dan kepercayaan
yang menjadi dasar komunikasi autentik.1 Menurut Gadamer, penafsiran tidak dapat
direduksi menjadi proyek demistifikasi terhadap kekuasaan, karena selalu ada
unsur keterbukaan terhadap “yang lain” yang tak dapat dikontrol oleh
rasionalitas kritis.
Habermas sendiri
merespons kritik ini dengan membedakan antara pemahaman teknis dan pemahaman
komunikatif. Namun, ketegangan ini tetap menjadi perdebatan terbuka
mengenai batas intervensi kritik terhadap horizon pemahaman yang bersifat historis dan kontekstual.
8.2.
Problematika
Netralitas dan Otoritas Kritik
Kritik lainnya
berasal dari pertanyaan epistemologis: siapa yang berhak mengajukan kritik ideologi?
Jika semua wacana sarat dengan bias ideologis, termasuk wacana akademik, bagaimana kita dapat membedakan kritik yang
valid dari bentuk lain dominasi simbolik?
Beberapa pemikir
post-strukturalis seperti Michel Foucault mempertanyakan asumsi rasionalitas
universal yang digunakan oleh teori kritis. Foucault menyarankan agar kritik
lebih bersifat genealogis, yaitu membongkar sejarah pembentukan pengetahuan dan kekuasaan daripada
berpura-pura berada di luar sistem yang dikritik.2 Dengan
kata lain, tidak ada posisi “di luar ideologi” yang sepenuhnya netral.
8.3.
Tantangan dari
Relativisme Postmodern
Hermeneutika kritis
juga menghadapi tantangan dari pendekatan postmodern yang menolak klaim
terhadap makna tunggal, rasionalitas universal, atau
narasi besar. Jacques Derrida, misalnya, melalui pendekatan
dekonstruksinya, menunjukkan bahwa setiap teks mengandung ketegangan internal dan
penundaan makna (différance),
sehingga setiap usaha untuk menstabilkan makna berisiko menjadi hegemonik.3
Bagi pendekatan ini,
proyek emansipatoris dalam hermeneutika kritis bisa saja berubah menjadi bentuk
dominasi baru jika tidak diawasi secara reflektif. Oleh karena itu, hermeneutika kritis ditantang untuk mengakui
pluralitas makna dan menjaga keterbukaan terhadap alternatif
interpretasi.
8.4.
Tantangan Metodologis
dalam Praktik Penelitian
Dalam praktik
ilmiah, hermeneutika kritis sering dikritik karena kesulitan
dalam operasionalisasi konsep-konsepnya. Kategori seperti “distorsi
ideologis”, “rasionalitas komunikatif”, atau “emansipasi”
sulit diukur secara empiris dalam kerangka penelitian sosial konvensional. Hal ini membuat beberapa peneliti
ragu untuk mengadopsi hermeneutika kritis sebagai kerangka metodologis utama
dalam studi lapangan.
Sebagian peneliti,
seperti Nancy Fraser, mengusulkan integrasi hermeneutika kritis dengan
pendekatan normatif yang lebih eksplisit, agar prinsip-prinsip emansipatoris
tidak kehilangan kekuatan transformatifnya di tengah pluralisme nilai dalam
masyarakat global saat ini.4
8.5.
Tantangan dalam
Konteks Global dan Lintas Budaya
Dalam dunia yang
semakin plural dan terhubung secara global, hermeneutika kritis juga dihadapkan
pada pertanyaan tentang relevansi universalitas nilai-nilai yang
dikandungnya. Apakah konsep seperti “komunikasi tanpa
dominasi” atau “rasionalitas diskursif” dapat diterapkan secara
lintas budaya tanpa mengabaikan
konteks lokal atau jatidiri komunitas tertentu?
Beberapa pemikir
dekolonial dan postkolonial memperingatkan bahwa proyek emansipatoris ala Barat
dapat menjadi bentuk hegemoni epistemologis baru yang mengabaikan epistemologi
masyarakat non-Barat.5 Oleh karena itu,
hermeneutika kritis ditantang untuk mengadopsi pendekatan dialogis antarbudaya
dan memperluas konsep emansipasi dalam kerangka etika global yang pluralis.
Simpulan Subbab
Kritik dan tantangan
terhadap hermeneutika kritis tidak melemahkan pendekatan ini, melainkan justru
mendorong pengembangan yang lebih reflektif, kontekstual, dan inklusif. Ketegangan antara pemahaman dan kritik,
antara emansipasi dan relativisme, serta antara teori dan praktik, menjadi
medan produktif bagi hermeneutika kritis untuk terus memperbaharui diri sebagai
pendekatan interpretatif yang tetap relevan di tengah kompleksitas sosial dan
epistemologis kontemporer.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 359–367.
[2]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–138.
[3]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[4]
Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics:
Redistribution, Recognition, and Participation,” in Redistribution or
Recognition?, ed. Nancy Fraser and Axel Honneth (London: Verso, 2003),
7–34.
[5]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011),
68–73.
9.
Relevansi
Hermeneutika Kritis dalam Konteks Kontemporer
Dalam dunia
kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial, derasnya arus informasi,
polarisasi politik, dan krisis makna, hermeneutika kritis tampil sebagai pendekatan
yang semakin relevan dan urgen. Ia tidak hanya menawarkan
kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial dan kultural, tetapi juga
menghadirkan etika interpretasi yang berorientasi pada pembebasan, keadilan,
dan transformasi sosial.
Relevansi hermeneutika kritis menjadi semakin nyata dalam berbagai medan
kontemporer: dari ruang publik digital hingga pendidikan, dari isu-isu
identitas hingga politik global.
9.1.
Menjawab Tantangan
Disinformasi dan Krisis Makna
Era digital ditandai
oleh banjir
informasi dan disinformasi, yang menciptakan kebingungan
epistemologis dan memperlemah kepercayaan terhadap institusi pengetahuan. Dalam
konteks ini, hermeneutika kritis membantu membongkar konstruksi wacana,
mengidentifikasi strategi manipulasi
simbolik, serta membekali masyarakat dengan keterampilan literasi kritis.
Habermas dalam
karyanya tentang ruang publik (public sphere) menyatakan bahwa
komunikasi rasional yang bebas dari distorsi adalah prasyarat utama bagi
demokrasi deliberatif yang sehat.1
Hermeneutika kritis mendorong warga untuk tidak hanya menerima informasi,
tetapi juga menafsirkannya secara reflektif dan mempertanyakan otoritas di
baliknya—sebuah kemampuan yang sangat dibutuhkan di tengah era “post-truth”.
9.2.
Relevansi dalam
Gerakan Sosial dan Politik Emansipatoris
Hermeneutika kritis
telah mengilhami berbagai gerakan sosial kontemporer yang
berjuang untuk kesetaraan, pengakuan, dan keadilan sosial. Pendekatan ini
memberikan dasar teoritis bagi gerakan feminis, hak minoritas, lingkungan hidup, serta keadilan rasial dan ekonomi,
dengan menyoroti bagaimana ideologi dominan beroperasi melalui bahasa, budaya,
dan kebijakan publik.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Nancy Fraser, keadilan dalam era global menuntut pendekatan
yang menggabungkan redistribusi ekonomi dan pengakuan identitas,
yang hanya mungkin dipahami melalui analisis wacana dan struktur simbolik yang kompleks.2
Hermeneutika kritis memungkinkan pembacaan
terhadap struktur sosial tidak hanya sebagai sistem material, tetapi juga
sebagai sistem makna yang bisa dinegosiasi dan ditransformasikan.
9.3.
Penguatan Pendidikan
Kritis dan Literasi Kultural
Dalam ranah
pendidikan, hermeneutika kritis memainkan peran penting dalam mendorong pembelajaran
yang reflektif, partisipatif, dan transformatif. Melalui model
pedagogi kritis sebagaimana dikembangkan oleh Paulo Freire, siswa tidak lagi diposisikan sebagai
penerima pasif, melainkan sebagai subjek aktif yang menafsirkan dunia dan
mengintervensinya.
Kurikulum berbasis
hermeneutika kritis mendorong peserta didik untuk membaca teks sosial dan
budaya secara mendalam, mempertanyakan struktur nilai, dan membayangkan alternatif terhadap status quo. Hal ini
sejalan dengan misi pendidikan sebagai proses pembentukan warga demokratis yang
mampu berpikir kritis dan bertindak etis.3
9.4.
Konstruksi Etika
Global dan Dialog Antarbudaya
Dalam masyarakat
multikultural dan global, hermeneutika kritis membantu mengembangkan kerangka
etika dialogis antarbudaya yang tidak hanya mengedepankan toleransi,
tetapi juga keterbukaan terhadap kritik dan transformasi timbal balik.
Interpretasi lintas budaya bukanlah sekadar perbandingan, melainkan usaha saling memahami dan membongkar
prasangka ideologis masing-masing pihak.
Habermas menekankan
bahwa rasionalitas komunikatif dapat menjadi dasar bagi pembentukan etika
global yang tidak bersifat imperialistik, karena bertumpu pada kesediaan untuk
mendengar dan berdialog dalam ruang publik transnasional.4
Dalam konteks konflik identitas
dan radikalisme, hermeneutika kritis menawarkan pendekatan yang menolak
absolutisme makna dan membuka ruang bagi rekonsiliasi melalui pemahaman
reflektif.
9.5.
Transformasi Praktik
Keilmuan dan Produksi Pengetahuan
Relevansi
hermeneutika kritis juga tampak dalam transformasi paradigma
keilmuan yang lebih sadar akan bias epistemologis dan relasi
kuasa dalam produksi pengetahuan.
Di era pascakolonial dan dekolonisasi epistemik, hermeneutika kritis mengajak
ilmuwan untuk merefleksikan posisi mereka, membuka ruang bagi narasi yang
terpinggirkan, dan membangun pengetahuan yang inklusif serta kontekstual.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Boaventura de Sousa Santos, epistemologi modern harus bergeser
dari “epistemologi utara” menuju “epistemologi selatan”, yakni
pendekatan pengetahuan yang memperhitungkan pengalaman dan makna dari masyarakat non-Barat.5
Hermeneutika kritis memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan dalam proses
ini.
Simpulan Subbab
Hermeneutika kritis
tetap sangat relevan di tengah dinamika zaman yang diwarnai oleh disinformasi,
polarisasi, ketidaksetaraan, dan pluralitas budaya. Sebagai pendekatan
interpretatif yang sekaligus reflektif dan emansipatoris, ia menawarkan bukan
hanya pemahaman yang lebih mendalam atas realitas, tetapi juga alat untuk mengubah realitas secara etis dan
kolektif. Dalam dunia yang terus berubah, hermeneutika kritis
menegaskan bahwa setiap makna selalu terhubung dengan kekuasaan—dan setiap
interpretasi yang sadar akan hal itu dapat menjadi langkah awal menuju
pembebasan.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas
Burger and Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 198–205.
[2]
Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice
in a 'Post-Socialist' Age,” New Left Review 212 (1995): 68–93.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 66–69.
[4]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 41–52.
[5]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 188–191.
10. Simpulan
Hermeneutika kritis
muncul sebagai respons terhadap keterbatasan hermeneutika tradisional yang
terlalu menekankan pemahaman terhadap teks dalam kerangka historis dan
linguistik, tanpa cukup memperhatikan dimensi ideologis dan kekuasaan dalam
produksi makna. Dengan menggabungkan kekuatan reflektif dari hermeneutika filosofis
dan kekuatan
emansipatoris dari teori kritis, pendekatan ini menawarkan
sebuah paradigma interpretatif yang tidak hanya memahami realitas, tetapi juga
berusaha mentransformasikannya secara sadar dan etis.
Sebagaimana
ditekankan oleh Jürgen Habermas, penafsiran yang ideal haruslah berlangsung
dalam kerangka komunikasi yang bebas dari distorsi, yang memungkinkan
pembentukan konsensus berdasarkan argumentasi rasional dan setara.1 Dalam konteks ini, hermeneutika kritis
berfungsi sebagai sarana untuk mendeteksi dan mendekonstruksi kepentingan
tersembunyi, dominasi simbolik, serta bentuk-bentuk hegemoni yang terselubung
dalam wacana sosial, budaya, dan politik.
Lebih jauh lagi,
hermeneutika kritis memperluas cakrawala epistemologis kita dengan
mengintegrasikan kesadaran historis, analisis ideologi, dan
etika diskursif. Pendekatan ini memungkinkan keterlibatan aktif
pembaca dalam proses interpretasi sebagai subjek historis yang mampu
merefleksikan posisi, nilai, dan horizonnya sendiri. Dalam semangat ini, Ricoeur mengingatkan bahwa tugas
hermeneutika bukan hanya memulihkan makna, tetapi juga mengungkap
struktur tersembunyi yang membentuknya, seraya menegosiasikan
kemungkinan makna baru yang lebih adil dan manusiawi.2
Relevansi
hermeneutika kritis semakin meningkat dalam dunia kontemporer yang diwarnai
oleh polarisasi ideologis, krisis otoritas, dan kemunculan wacana-wacana
eksklusif yang mengklaim kebenaran tunggal. Dalam situasi seperti ini,
hermeneutika kritis mengajukan sebuah etika interpretasi yang pluralis dan
terbuka terhadap perbedaan, sekaligus teguh dalam komitmen terhadap keadilan
dan kebebasan. Hal ini penting, sebagaimana ditegaskan oleh Boaventura de Sousa Santos, untuk menanggapi
tantangan epistemologis dari dunia pascakolonial dan membangun sistem
pengetahuan yang lebih inklusif dan dialogis.3
Namun demikian,
seperti telah dibahas sebelumnya, hermeneutika kritis juga menghadapi berbagai
kritik, baik dari hermeneutika tradisional maupun pendekatan postmodern. Ketegangan
antara klaim normatif dan relativisme budaya, antara kritik ideologi dan
keterbukaan makna, menjadi medan dialektis yang memaksa hermeneutika kritis
untuk terus memperbarui pendekatannya. Justru dalam ketegangan inilah letak
kekuatan hermeneutika kritis: ia bersifat self-corrective, senantiasa
terbuka untuk dialog, dan sadar
akan keterbatasannya sendiri.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa hermeneutika kritis merupakan pendekatan
interpretatif yang transformatif dan etis, yang tidak hanya penting
secara teoritis dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, tetapi juga strategis secara
praksis dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih reflektif, adil, dan
bebas. Dalam dunia yang terus berubah, hermeneutika kritis memberikan kita alat
untuk tidak hanya memahami realitas, tetapi juga untuk membentuknya
kembali secara sadar dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 286–289.
[2]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–36.
[3]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 180–183.
Daftar Pustaka
de Sousa Santos, B. (2014). Epistemologies of
the South: Justice against epistemicide. Routledge.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Fals Borda, O., & Rahman, M. A. (1991). Action
and knowledge: Breaking the monopoly with participatory action-research.
Apex Press.
Fiorenza, E. S. (1999). Rhetoric and ethic: The
politics of biblical studies. Fortress Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge and the discourse on language (A. M. Sheridan Smith, Trans.).
Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Fraser, N. (1995). From redistribution to
recognition? Dilemmas of justice in a “post-socialist” age. New Left Review,
212, 68–93.
Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution
or recognition? A political-philosophical exchange. Verso.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The theory of communicative
action, Volume 2: Lifeworld and system: A critique of functionalist reason
(T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Habermas, J. (1991). The structural
transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois
society (T. Burger & F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Held, D. (1980). Introduction to critical
theory: Horkheimer to Habermas. University of California Press.
hooks, b. (1994). Teaching to transgress:
Education as the practice of freedom. Routledge.
Ingram, D. (1987). Habermas and the dialectic of
reason. Yale University Press.
Ingram, D. (1990). Critical theory and
philosophy. Paragon House.
Rasmussen, D. (1990). Reading Habermas.
Basil Blackwell.
Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An
essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative, Volume 1
(K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Thompson, J. B. (1990). Ideology and modern culture:
Critical social theory in the era of mass communication. Polity Press.
van Dijk, T. A. (1998). Ideology: A
multidisciplinary approach. Sage Publications.
Warnke, G. (1987). Gadamer: Hermeneutics,
tradition and reason. Stanford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar