Senin, 28 April 2025

Hermeneutika Kritis: Menafsirkan Teks dalam Bingkai Emansipasi dan Keadilan Sosial

Hermeneutika Kritis

Menafsirkan Teks dalam Bingkai Emansipasi dan Keadilan Sosial


Alihkan ke: Matode Haermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang hermeneutika kritis sebagai pendekatan interpretatif yang menggabungkan antara pemahaman makna dan kritik terhadap ideologi dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Berakar pada tradisi hermeneutika filosofis dan teori kritis Mazhab Frankfurt, hermeneutika kritis bertujuan membongkar relasi kuasa dan struktur dominasi yang tersembunyi dalam praktik penafsiran. Kajian ini menyoroti landasan konseptual hermeneutika kritis, pemikiran tokoh-tokoh sentral seperti Jürgen Habermas, Paul Ricoeur, Michel Foucault, dan Jacques Derrida, serta prinsip-prinsip utama seperti dekonstruksi ideologi, dialog emansipatoris, dan kesadaran historis. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi metodologi hermeneutika kritis yang interdisipliner dan reflektif, serta aplikasinya dalam studi ilmu sosial dan humaniora—khususnya dalam analisis media, tafsir agama, pendidikan kritis, dan studi identitas. Bagian akhir artikel mengulas berbagai kritik dan tantangan terhadap hermeneutika kritis, sekaligus menegaskan relevansinya dalam menghadapi krisis makna, disinformasi, dan ketimpangan sosial di era kontemporer. Dengan pendekatan reflektif dan transformatif, hermeneutika kritis tidak hanya menjadi metode ilmiah, tetapi juga sarana untuk membentuk masyarakat yang lebih adil, dialogis, dan sadar ideologi.

Kata Kunci: Hermeneutika Kritis; Kritik Ideologi; Jürgen Habermas; Paul Ricoeur; Interpretasi; Emansipasi; Teori Sosial; Transformasi Sosial; Humaniora; Etika Dialogis.


PEMBAHASAN

Hermeneutika Kritis dalam Studi Agama dan Budaya


1.           Pendahuluan

Hermeneutika, yang secara etimologis berasal dari kata Yunani hermēneuein (menafsirkan atau menerangkan), telah berkembang dari sebuah metode interpretasi teks-teks klasik dan kitab suci menjadi suatu pendekatan filosofis yang mencakup pemahaman terhadap makna dalam konteks historis, linguistik, dan sosial. Sejak masa klasik, hermeneutika telah digunakan dalam upaya menafsirkan pesan-pesan yang dianggap kompleks atau sakral, namun dalam perkembangannya menuju era modern dan kontemporer, pendekatan ini mengalami perluasan fungsi dan ranah epistemologisnya. Terutama dalam abad ke-20, hermeneutika tidak lagi semata-mata berkutat pada penafsiran teks, melainkan juga bergeser menjadi instrumen kritik sosial dan ideologis yang ditujukan untuk membongkar relasi kuasa yang tersembunyi di balik produksi makna.

Transformasi hermeneutika menjadi sebuah pendekatan kritis tidak terlepas dari pengaruh teori kritis, terutama pemikiran para filsuf dari Mazhab Frankfurt seperti Jürgen Habermas, yang memperluas cakrawala interpretasi dengan memasukkan dimensi emansipatoris ke dalam praktik hermeneutis. Dalam perspektif ini, pemahaman terhadap teks tidak cukup berhenti pada reproduksi makna yang diwariskan oleh tradisi, tetapi harus disertai dengan kemampuan untuk mengkritisi struktur-struktur dominan yang sering kali tersembunyi di balik wacana yang tampak netral atau universal. Hermeneutika kritis berupaya untuk melampaui keterbatasan hermeneutika filosofis (seperti yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer), dengan menambahkan dimensi reflektif terhadap kekuasaan, ideologi, dan konteks sosial-politik dari setiap proses interpretasi.1

Dalam pendekatan hermeneutika kritis, makna bukanlah entitas statis yang dapat diakses secara langsung oleh subjek penafsir, melainkan sesuatu yang terbentuk melalui interaksi antara teks, pembaca, dan konteks historis. Oleh karena itu, setiap penafsiran mengandung dimensi diskursif yang dipengaruhi oleh struktur sosial dan relasi kuasa. Dalam hal ini, hermeneutika menjadi alat penting untuk mengungkap “kepentingan” yang tersembunyi dalam produksi dan penyebaran makna, baik dalam teks-teks sastra, agama, maupun kebijakan politik dan budaya populer.2

Pendekatan ini juga bersifat transformatif, dalam arti bahwa ia tidak hanya bertujuan untuk memahami realitas sebagaimana adanya, tetapi juga untuk mengubahnya. Seperti yang ditegaskan oleh Ricoeur, tugas hermeneutika adalah menyatukan hermeneutika kepercayaan dan hermeneutika kecurigaan, yaitu mengakui adanya makna yang dalam, sembari bersikap kritis terhadap kekuasaan dan ideologi yang mungkin tersembunyi dalam narasi yang kita terima sebagai kebenaran.3

Dengan demikian, kajian tentang hermeneutika kritis bukan hanya relevan dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam ilmu sosial, studi budaya, teologi, hingga pendidikan kritis. Dalam dunia yang dipenuhi oleh narasi yang saling bersaing dan terkadang manipulatif, hermeneutika kritis menawarkan perangkat metodologis yang tajam untuk mengurai dan menilai secara kritis berbagai bentuk makna dan pengetahuan yang beredar di masyarakat.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 294–310.

[2]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth, TX: Texas Christian University Press, 1976), 16–18.

[3]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.


2.           Landasan Konseptual Hermeneutika Kritis

Hermeneutika kritis merupakan perkembangan konseptual dari tradisi hermeneutika klasik dan filosofis yang memperluas ruang lingkup penafsiran ke dalam wilayah kritik sosial dan ideologis. Dalam pengertiannya yang paling mendasar, hermeneutika merujuk pada teori dan praktik interpretasi, terutama terhadap teks. Namun, dalam ranah kontemporer, hermeneutika tidak lagi dibatasi pada pemahaman terhadap teks dalam arti sempit, melainkan mencakup upaya menafsirkan makna dalam konteks relasi sosial, struktur kuasa, dan ideologi yang bekerja di balik bahasa dan komunikasi.1

Secara epistemologis, hermeneutika kritis mengambil posisi di antara dua kutub: di satu sisi, hermeneutika filosofis yang menekankan pemahaman dan tradisi (seperti dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer), dan di sisi lain, pendekatan kritis yang mengutamakan pembebasan dari dominasi ideologis (seperti yang diusung oleh Jürgen Habermas). Gadamer memandang bahwa pemahaman tidak bisa lepas dari pra-anggapan dan horizon historis, serta berlangsung dalam dialog antara pembaca dan teks.2 Namun, Habermas mengkritik pendekatan ini karena dinilai kurang memperhitungkan kekuatan ideologis yang bisa menyelubungi tradisi dan memengaruhi proses pemahaman secara tidak disadari.3

Dalam konteks inilah hermeneutika kritis mengambil bentuknya: sebuah pendekatan yang tidak hanya berusaha memahami makna, tetapi juga mempertanyakan asal-usul, kepentingan, dan fungsi sosial dari makna tersebut. Sejalan dengan pemikiran Mazhab Frankfurt generasi kedua, hermeneutika kritis menekankan pentingnya kesadaran emansipatoris, yaitu kemampuan untuk mengenali bentuk-bentuk dominasi dan ketimpangan yang terinternalisasi dalam praktik diskursif maupun budaya sehari-hari.4

Hermeneutika kritis juga berakar pada tradisi hermeneutika kecurigaan yang dikenalkan oleh Paul Ricoeur, yang mengajak pembaca untuk tidak hanya mempercayai teks tetapi juga mencurigai intensi dan struktur makna di balik teks. Ricoeur menegaskan bahwa hermeneutika yang sehat harus memadukan kepercayaan terhadap makna yang dalam dengan skeptisisme terhadap dominasi simbolik yang mungkin tersembunyi dalam bahasa.5 Dengan demikian, pemahaman bukanlah titik akhir, melainkan awal dari proses kritik yang bertujuan membongkar relasi kuasa, bias ideologis, dan kepentingan tersembunyi.

Secara metodologis, hermeneutika kritis bersifat interdisipliner dan reflektif. Ia meminjam pendekatan dari sosiologi, linguistik, teori komunikasi, dan analisis ideologi. Di tangan Habermas, hermeneutika dikaitkan erat dengan teori tindakan komunikatif, yang menekankan bahwa komunikasi sejati harus bebas dari distorsi dan dominasi—sebuah prasyarat bagi terciptanya konsensus yang rasional dan demokratis.6

Dengan kata lain, hermeneutika kritis berupaya menggabungkan antara interpretasi dan kritik, pemahaman dan emansipasi. Dalam proses ini, ia tidak hanya menjadi alat analisis tekstual, tetapi juga sarana untuk membangun kesadaran kritis terhadap struktur sosial yang membentuk dan mengarahkan makna dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, landasan konseptual hermeneutika kritis tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis—mengarah pada transformasi sosial yang berbasis pada pemahaman mendalam dan kritik ideologis yang tajam.


Footnotes

[1]                Georgia Warnke, Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 13–17.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 266–274.

[3]                Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, ed. Josef Bleicher (London: Routledge, 1980), 181–211.

[4]                David Ingram, Critical Theory and Philosophy (New York: Paragon House, 1990), 55–60.

[5]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–38.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 88–102.


3.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Hermeneutika Kritis

Hermeneutika kritis sebagai pendekatan filsafat dan teori sosial lahir dari interaksi dinamis antara hermeneutika filosofis dan teori kritis. Beberapa tokoh sentral telah memainkan peran penting dalam merumuskan, memperluas, dan memperdalam arah metodologis serta agenda emansipatoris dari hermeneutika kritis. Di antara para tokoh tersebut, Jürgen Habermas, Paul Ricoeur, serta secara kontekstual Michel Foucault dan Jacques Derrida, menempati posisi strategis dalam mengembangkan pendekatan ini.

3.1.       Jürgen Habermas: Rasionalitas Komunikatif dan Emansipasi

Jürgen Habermas adalah figur sentral dalam pengembangan hermeneutika kritis yang berasal dari tradisi Teori Kritis Frankfurt. Ia dikenal sebagai pemikir yang berupaya mengintegrasikan hermeneutika dengan teori sosial melalui konsep tindakan komunikatif. Habermas mengkritik hermeneutika filosofis—terutama gagasan fusion of horizons dari Hans-Georg Gadamer—karena dianggap gagal mengungkap dominasi ideologis yang seringkali tersembunyi dalam tradisi.1

Menurut Habermas, pemahaman autentik hanya mungkin terjadi dalam ruang komunikasi yang bebas dari distorsi, yang ia sebut sebagai ideal speech situation. Di sinilah hermeneutika harus bersifat kritis, yakni berperan membebaskan individu dari bentuk-bentuk dominasi sistemik melalui pengungkapan kepentingan tersembunyi dalam proses komunikasi dan interpretasi.2 Dalam kerangka ini, hermeneutika tidak hanya menjadi sarana pemahaman, tetapi juga sarana transformasi sosial melalui pencapaian konsensus rasional dan dialogis.

3.2.       Paul Ricoeur: Dialektika antara Kepercayaan dan Kecurigaan

Paul Ricoeur memosisikan dirinya di antara dua kutub ekstrem: hermeneutika pemahaman (Gadamer) dan hermeneutika kritik (Marx, Nietzsche, Freud). Ia memperkenalkan gagasan tentang hermeneutika ganda—yakni gabungan antara hermeneutika kepercayaan (faith) dan hermeneutika kecurigaan (suspicion).3 Ricoeur menegaskan bahwa setiap pemahaman mengandung kemungkinan disorientasi makna akibat kekuatan simbolik atau ideologis yang bekerja secara implisit dalam teks dan diskursus.

Ricoeur menekankan pentingnya simbol dan narasi dalam membentuk struktur pemahaman. Melalui konsep tindakan simbolik dan mimesis naratif, ia menunjukkan bahwa penafsiran selalu terjadi dalam proses mediasi antara teks, pembaca, dan dunia yang direpresentasikan.4 Dengan demikian, Ricoeur memperluas cakupan hermeneutika kritis ke dalam ranah antropologis dan etis—memahami manusia melalui bahasa, simbol, dan narasi sebagai medan perjuangan makna.

3.3.       Michel Foucault: Kritik Diskursus dan Kekuasaan Pengetahuan

Meskipun tidak secara eksplisit mengembangkan “hermeneutika” dalam pengertian klasik, pemikiran Michel Foucault memberikan kontribusi penting bagi arah kritis hermeneutika melalui analisis diskursus. Foucault menolak anggapan bahwa makna adalah hasil komunikasi bebas; sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana regime of truth dibentuk oleh relasi kuasa yang melekat pada institusi dan praktik diskursif.5

Dalam hermeneutika kritis yang diinspirasi Foucault, penafsiran terhadap teks atau praktik budaya harus memperhatikan kondisi-kondisi historis yang memungkinkan munculnya diskursus tertentu. Ia memandang bahwa “pemahaman” sering kali adalah hasil dari normalisasi kekuasaan yang menyusup secara halus melalui bahasa, pengetahuan, dan institusi sosial.6

3.4.       Jacques Derrida: Dekonstruksi dan Ketegangan Makna

Jacques Derrida, pelopor dekonstruksi, turut memberi warna pada hermeneutika kritis dengan menekankan bahwa makna selalu bersifat tertunda (différance) dan tidak pernah hadir secara utuh dalam teks. Ia mengkritik asumsi tentang keutuhan makna dalam interpretasi dan menekankan bahwa setiap teks membawa potensi untuk subversi internal terhadap dirinya sendiri.7

Pendekatan Derrida membongkar struktur oposisi biner dalam bahasa dan menantang otoritas penafsir tunggal. Dalam konteks hermeneutika kritis, dekonstruksi menjadi metode untuk menguak cara-cara pengetahuan dan nilai dikonstruksikan secara arbitrer untuk mendukung hegemoni tertentu.8


Para tokoh ini secara kolektif membentuk fondasi konseptual dan metodologis bagi hermeneutika kritis sebagai disiplin yang tidak hanya berorientasi pada makna dan pemahaman, tetapi juga pada keadilan, emansipasi, dan kesadaran ideologis dalam praktik interpretatif. Melalui sintesis antara pemikiran mereka, hermeneutika kritis menjadi pendekatan yang mampu membaca teks dan dunia secara bersamaan, sambil membuka ruang bagi transformasi sosial yang lebih reflektif dan etis.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 151–154.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287–301.

[3]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–38.

[4]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–64.

[5]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 215–220.

[6]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–138.

[7]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 65–73.

[8]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.


4.           Prinsip-Prinsip Hermeneutika Kritis

Hermeneutika kritis tidak hanya berurusan dengan proses pemahaman atas makna, tetapi juga menyematkan orientasi normatif terhadap emansipasi, kritik ideologi, dan transformasi sosial. Prinsip-prinsipnya mengintegrasikan wawasan dari hermeneutika filosofis dan teori kritis, menjadikan penafsiran sebagai kegiatan yang bersifat reflektif dan transformatif. Dengan demikian, hermeneutika kritis berfungsi sebagai alat untuk menyelidiki bagaimana makna diproduksi, didistribusikan, dan sering kali dimanipulasi dalam konteks sosial-politik tertentu.

4.1.       Dekonstruksi dan Kritik Ideologi

Salah satu prinsip utama hermeneutika kritis adalah kecurigaan terhadap makna yang tampak natural dan objektif. Dalam perspektif ini, interpretasi tidak cukup hanya memulihkan maksud pengarang atau menelusuri makna tekstual, melainkan harus membongkar struktur ideologis yang menyusun makna tersebut. Paul Ricoeur menyebut pendekatan ini sebagai bagian dari hermeneutika kecurigaan, yaitu pembacaan yang skeptis terhadap pretensi netralitas dalam teks atau wacana sosial.1

Kritik terhadap ideologi dalam hermeneutika kritis mengacu pada kesadaran bahwa teks, simbol, dan praktik diskursif sering kali mencerminkan dominasi kekuasaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas, banyak struktur sosial dan komunikasi publik yang secara sistemik menyamarkan hubungan kekuasaan melalui representasi yang tampak sah dan netral.2 Oleh karena itu, salah satu tugas utama hermeneutika kritis adalah mengungkap dan menganalisis distorsi ideologis dalam sistem makna yang beroperasi di masyarakat.

4.2.       Dialog dan Emansipasi

Hermeneutika kritis menempatkan dialog sebagai medium emansipasi. Berbeda dengan komunikasi manipulatif yang bertujuan dominasi, hermeneutika kritis mendasarkan diri pada prinsip tindakan komunikatif (communicative action) yang bertujuan membangun pengertian yang bebas dari tekanan, hierarki, dan ketimpangan struktural.3 Dalam kerangka ini, pemahaman bukan semata produk dari subjektivitas penafsir, melainkan hasil dari proses intersubjektif yang terbuka terhadap koreksi dan pengujian rasional oleh pihak lain.

Habermas menekankan pentingnya situasi komunikasi yang ideal, yakni kondisi di mana semua peserta diskusi memiliki kesempatan yang setara untuk berbicara, bertanya, dan menyanggah. Dalam konteks interpretasi, prinsip ini diterjemahkan menjadi penolakan terhadap otoritarianisme makna, dan membuka jalan bagi penafsiran yang berakar pada rasionalitas partisipatoris.4

4.3.       Historisitas dan Praksis Sosial

Prinsip hermeneutika kritis berikutnya adalah pengakuan terhadap historisitas makna dan keterkaitannya dengan praksis sosial. Teks dan wacana dipahami sebagai produk dari konteks sejarah tertentu, dan karena itu pemahaman atasnya membutuhkan kesadaran terhadap kondisi-kondisi historis dan sosial yang membentuknya. Gadamer menyebut ini sebagai horizon sejarah (historical horizon), meski Habermas mengkritiknya karena terlalu menerima tradisi secara pasif tanpa cukup kritis terhadap muatan ideologisnya.5

Prinsip historisitas ini menuntut bahwa interpretasi tidak boleh dipisahkan dari kondisi material, struktur sosial, dan dinamika kekuasaan yang membentuknya. Oleh karena itu, hermeneutika kritis menekankan pentingnya refleksi historis dan kesadaran praksis dalam memahami serta mentransformasi realitas sosial melalui makna.6

4.4.       Integrasi Pengetahuan Interdisipliner

Hermeneutika kritis menolak pendekatan reduksionis dalam memahami teks atau realitas sosial. Ia menuntut pendekatan interdisipliner yang menggabungkan wawasan dari filsafat, teori sosial, linguistik, analisis wacana, serta ilmu budaya. Pendekatan ini memperkaya kerangka interpretasi dengan berbagai perspektif kritis yang saling melengkapi.

Sebagai contoh, analisis diskursus ala Foucault menyoroti bagaimana institusi dan relasi kekuasaan mengatur wacana, sedangkan pendekatan dekonstruktif Derrida mengungkap keretakan makna dalam struktur bahasa. Gabungan dari berbagai metode ini memperluas cakupan dan kedalaman hermeneutika kritis dalam mengungkap dimensi ideologis dan struktur kuasa dalam sistem pengetahuan.7


Simpulan Subbab

Keempat prinsip ini—dekonstruksi ideologi, dialog emansipatoris, historisitas praksis, dan interdisiplinaritas—membentuk fondasi dari hermeneutika kritis sebagai pendekatan interpretatif yang tidak hanya mencari makna, tetapi juga memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan kesadaran kritis. Hermeneutika kritis menempatkan interpretasi sebagai aktivitas politik dan etis, yang menuntut keterlibatan reflektif dari penafsir dalam memahami dan membentuk dunia.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–36.

[2]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–317.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 86–92.

[4]                Maeve Cooke, “Habermas, Rationality and Postmetaphysical Thinking,” European Journal of Philosophy 8, no. 2 (2000): 228–229.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 301–305.

[6]                David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 142–146.

[7]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 216; Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 71–74.


5.           Metodologi dalam Hermeneutika Kritis

Metodologi hermeneutika kritis menandai pergeseran penting dari pendekatan interpretasi yang bersifat deskriptif-kultural menuju pendekatan reflektif-kritis yang bertujuan membongkar struktur makna sekaligus mendorong transformasi sosial. Sebagai pendekatan interdisipliner, hermeneutika kritis tidak hanya mengandalkan pemahaman linguistik dan tekstual, melainkan juga mengintegrasikan dimensi historis, sosial, ideologis, dan politis dari proses penafsiran.

5.1.       Tiga Tahap Proses Interpretasi Kritis: Deskripsi, Interpretasi, dan Kritik

Dalam kerangka hermeneutika kritis, proses interpretasi umumnya berjalan melalui tiga tahap:

·                     Deskripsi:

Tahap awal ini berfokus pada pemaparan teks sebagaimana adanya, termasuk konteks linguistik, struktur naratif, dan ekspresi simbolik yang terkandung di dalamnya.

·                     Interpretasi:

Pada tahap ini, makna teks dianalisis dalam hubungannya dengan horizon pembaca serta konteks historis dan budaya di mana teks itu ditulis dan dibaca.

·                     Kritik:

Tahap akhir yang khas dalam hermeneutika kritis, yakni pembongkaran terhadap kemungkinan adanya distorsi ideologis atau dominasi dalam struktur makna yang dihasilkan teks maupun dalam cara teks itu diterima di masyarakat.1

Proses tiga tahap ini memperlihatkan bahwa interpretasi bukan sekadar upaya pemahaman pasif, melainkan tindakan aktif yang bersifat reflektif dan transformatif.

5.2.       Relasi Teks, Penulis, Pembaca, dan Konteks Sosial

Hermeneutika kritis mengakui bahwa teks tidak memiliki makna tunggal dan tetap. Makna muncul melalui relasi dinamis antara:

·                     Penulis sebagai subjek historis yang mengkonstruksi makna;

·                     Teks sebagai medium simbolik yang terbuka terhadap berbagai penafsiran;

·                     Pembaca sebagai partisipan aktif dengan horizon historis dan ideologis tertentu;

·                     Konteks sosial sebagai kerangka yang membentuk dan mengkondisikan semua aspek di atas.2

Habermas menekankan bahwa pemahaman hanya dapat dinilai valid apabila terjadi dalam situasi komunikasi yang bebas dari distorsi (undistorted communication), di mana pembaca tidak sekadar mengafirmasi makna teks, tetapi juga mengujinya secara kritis dalam terang realitas sosial yang lebih luas.3

5.3.       Integrasi Metode Interdisipliner

Sebagai metodologi yang terbuka, hermeneutika kritis mengadopsi dan mengadaptasi berbagai pendekatan dari disiplin ilmu lain, seperti:

·                     Sosiologi pengetahuan, yang memeriksa bagaimana struktur sosial membentuk cara berpikir;

·                     Analisis wacana, yang mengungkap relasi kuasa dalam bahasa;

·                     Dekonstruksi, yang mengkritik asumsi keutuhan dan koherensi makna;

·                     Analisis ideologi, yang mengurai kepentingan tersembunyi dalam produksi dan reproduksi makna.4

Pendekatan ini mencerminkan bahwa pemahaman terhadap teks atau fenomena sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks kekuasaan dan relasi hegemonik yang menyertainya. Oleh karena itu, hermeneutika kritis tidak sekadar menghasilkan makna, tetapi juga berperan dalam membebaskan kesadaran dari dominasi simbolik maupun struktural.

5.4.       Keterlibatan Etis dan Kesadaran Reflektif

Unsur penting dalam metodologi hermeneutika kritis adalah keterlibatan etis penafsir. Interpretasi bukan aktivitas netral; ia selalu membawa konsekuensi epistemologis dan politis. Oleh sebab itu, setiap proses penafsiran harus disertai dengan kesadaran reflektif terhadap posisi, nilai, dan kepentingan yang dibawa oleh penafsir itu sendiri.

Paul Ricoeur menekankan pentingnya refleksi ganda dalam penafsiran: refleksi atas makna teks dan refleksi atas diri penafsir itu sendiri sebagai subjek historis dan etis.5 Di sini, hermeneutika kritis tidak hanya menjadi metode akademik, tetapi juga sarana pendidikan kesadaran sosial dan moral.


Simpulan Subbab

Metodologi hermeneutika kritis adalah metodologi yang bersifat dinamis, dialogis, dan transformatif. Ia tidak berhenti pada reproduksi makna, melainkan bergerak menuju pembongkaran ideologi, emansipasi kesadaran, dan transformasi sosial. Dengan merangkul pendekatan interdisipliner dan etika reflektif, hermeneutika kritis menghadirkan paradigma penafsiran yang peka terhadap konteks kekuasaan dan bertanggung jawab secara sosial.


Footnotes

[1]                David Rasmussen, Reading Habermas (Cambridge: Basil Blackwell, 1990), 45–48.

[2]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 92–95.

[3]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 65–69.

[4]                John B. Thompson, Ideology and Modern Culture: Critical Social Theory in the Era of Mass Communication (Cambridge: Polity Press, 1990), 27–33.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–92.


6.           Hermeneutika Kritis dan Analisis Ideologi

Salah satu kontribusi utama hermeneutika kritis dalam teori interpretasi kontemporer adalah kemampuannya untuk menyatukan antara proses pemahaman dan kritik terhadap struktur dominasi ideologis. Tidak seperti pendekatan hermeneutika tradisional yang cenderung berfokus pada intensi pengarang atau makna teks secara internal, hermeneutika kritis berupaya mengungkap kekuatan ideologis tersembunyi yang membentuk dan mengarahkan produksi serta pemahaman makna dalam masyarakat.

6.1.       Ideologi sebagai Struktur Makna dan Kekuasaan

Dalam kerangka hermeneutika kritis, ideologi tidak hanya dipahami sebagai kumpulan gagasan palsu atau menyesatkan, melainkan sebagai sistem representasi yang secara halus membentuk persepsi sosial, nilai, dan praktik hidup sehari-hari. Seperti dijelaskan oleh John B. Thompson, ideologi mencakup dimensi simbolik dari praktik sosial yang melayani fungsi mempertahankan relasi kekuasaan yang asimetris.1

Dengan demikian, setiap proses penafsiran harus mempertanyakan bukan hanya “apa makna teks?”, tetapi juga “kepentingan siapa yang diuntungkan dari makna ini?”, serta “struktur kekuasaan apa yang menopang dan direproduksi oleh makna tersebut?”. Hermeneutika kritis memposisikan interpretasi sebagai tindakan reflektif-politik yang mampu membongkar bentuk dominasi simbolik yang sering kali tersembunyi di balik bahasa yang tampak netral atau objektif.

6.2.       Kritik Ideologi dalam Tradisi Teori Kritis

Dalam tradisi Teori Kritis Frankfurt, terutama melalui pemikiran Habermas, kritik terhadap ideologi diformulasikan dalam kerangka rasionalitas komunikatif. Habermas menyatakan bahwa komunikasi dalam masyarakat modern sering kali dikolonisasi oleh sistem, yakni oleh kekuatan ekonomi dan administratif yang mengubah bahasa menjadi alat manipulasi alih-alih mediasi makna yang rasional.2 Oleh karena itu, tugas hermeneutika kritis adalah mendeteksi distorsi dalam komunikasi, termasuk dalam wacana keilmuan, agama, media, maupun politik.

Melalui pendekatan ini, interpretasi menjadi bentuk aksi emansipatoris: ia tidak hanya bertujuan memahami dunia, tetapi juga mengubahnya dengan mengungkap dan mengkritisi struktur ideologis yang menyamarkan realitas ketimpangan.3

6.3.       Ideologi dalam Teks-teks Agama dan Budaya Populer

Hermeneutika kritis juga menunjukkan kegunaannya dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dan budaya populer, yang sering kali menjadi sarana internalisasi ideologi. Dalam teks keagamaan, misalnya, makna sering dibingkai oleh otoritas tafsir yang hegemonik, dan karenanya berpotensi menutupi pluralitas makna serta meredam potensi emansipatoris ajaran agama itu sendiri.

Dalam budaya populer—film, musik, iklan, media sosial—hermeneutika kritis mengungkap bagaimana representasi gender, ras, kelas, dan kekuasaan disajikan secara implisit dan berulang, sehingga membentuk pemahaman kolektif yang tampaknya alamiah. Stuart Hall, dalam kerangka teori budaya kritis, menyebut ini sebagai encoding/decoding, yakni bagaimana makna disusun dengan kode tertentu oleh produsen wacana dan ditafsirkan (kadang-kadang secara pasif) oleh audiens.4

6.4.       Dekonstruksi Ideologi: Membuka Ruang Emansipasi

Dengan membongkar ideologi yang tersemat dalam teks dan wacana, hermeneutika kritis membuka jalan bagi emansipasi dan resistensi. Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, tugas hermeneutika bukan hanya untuk memahami makna yang tampak, tetapi juga untuk menemukan makna di balik makna—yakni, struktur simbolik yang memproduksi dominasi atau keterasingan.5

Dekonstruksi dalam konteks ini bukan sekadar pembongkaran struktur teks, tetapi juga pembebasan pembaca dari dominasi penafsiran yang hegemonik. Dengan kesadaran ini, pembaca menjadi agen aktif yang mampu membentuk makna secara etis dan kritis, serta berkontribusi terhadap pembentukan masyarakat yang lebih adil dan terbuka.


Simpulan Subbab

Hermeneutika kritis menyediakan perangkat konseptual dan metodologis yang efektif untuk mengurai ideologi sebagai dimensi tersembunyi dari bahasa dan makna. Ia menjadikan interpretasi sebagai sarana untuk mengkritik, mendekonstruksi, dan mentransformasikan struktur dominasi yang melekat pada produksi makna. Dalam konteks ini, hermeneutika tidak hanya menjadi sarana epistemologis, tetapi juga alat pembebasan sosial dan etika politik.


Footnotes

[1]                John B. Thompson, Ideology and Modern Culture: Critical Social Theory in the Era of Mass Communication (Cambridge: Polity Press, 1990), 56–59.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 318–324.

[3]                David Held, Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas (Berkeley: University of California Press, 1980), 342–347.

[4]                Stuart Hall, “Encoding/Decoding,” in Culture, Media, Language, ed. Stuart Hall et al. (London: Routledge, 1980), 128–138.

[5]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–35.


7.           Aplikasi Hermeneutika Kritis dalam Studi Ilmu Sosial dan Humaniora

Hermeneutika kritis tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki signifikansi praktis dalam berbagai cabang ilmu sosial dan humaniora. Karakter reflektif, emansipatoris, dan interdisipliner dari pendekatan ini menjadikannya alat yang kuat untuk menganalisis wacana, struktur ideologi, dan relasi kuasa dalam fenomena sosial dan kultural. Dalam konteks ini, hermeneutika kritis menjadi medium untuk membongkar narasi dominan serta membuka ruang dialogis bagi penafsiran alternatif yang lebih inklusif dan transformatif.

7.1.       Analisis Wacana Media dan Politik

Salah satu bidang penerapan utama hermeneutika kritis adalah analisis wacana media, terutama dalam konteks produksi dan reproduksi ideologi dalam berita, opini, iklan, dan program hiburan. Media massa sering kali menyampaikan pesan-pesan yang tampak netral, padahal sarat dengan bias ideologis yang memperkuat struktur kekuasaan tertentu. Teun A. van Dijk, misalnya, menunjukkan bagaimana representasi minoritas dalam media Eropa secara sistematis dipengaruhi oleh struktur dominasi budaya dan politik yang lebih luas.1

Melalui hermeneutika kritis, peneliti dapat mengurai lapisan makna dalam teks media, mempertanyakan asumsi yang diambil sebagai "kebenaran", serta mengungkap strategi linguistik dan simbolik yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan atau mendiskreditkan kelompok tertentu.

7.2.       Tafsir Keagamaan dan Kajian Teks Suci

Dalam studi agama, hermeneutika kritis memberikan kerangka metodologis yang penting untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara kontekstual dan emansipatoris. Ia menolak absolutisme tafsir tunggal dan membuka ruang untuk menafsirkan teks suci dalam relasi dengan konteks historis, sosial, dan politik umat. Paul Ricoeur menekankan bahwa teks keagamaan menyimpan makna ganda yang hanya dapat dipahami dengan menggabungkan pendekatan simbolik, naratif, dan kritik ideologi.2

Hermeneutika kritis menjadi relevan, misalnya, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang gender, kekuasaan, dan hubungan sosial, yang secara historis telah digunakan untuk mempertahankan struktur patriarkal atau eksklusif dalam komunitas beragama. Pendekatan ini berupaya mengembalikan teks kepada visi keadilan dan pembebasan yang menjadi inti spiritual dari ajaran agama itu sendiri.3

7.3.       Pendidikan Kritis dan Kesadaran Emansipatoris

Dalam dunia pendidikan, hermeneutika kritis berpadu dengan pedagogi kritis ala Paulo Freire, yang menekankan pentingnya kesadaran reflektif dan tindakan transformasional. Proses belajar tidak sekadar transmisi pengetahuan, tetapi juga proses dialogis yang memungkinkan peserta didik memahami dan menantang struktur sosial yang menindas.

Pendidikan berbasis hermeneutika kritis mengajarkan siswa untuk membaca dunia sebagaimana membaca teks—yakni, dengan mempertanyakan asumsi, menelusuri asal-usul ideologi, dan membayangkan kemungkinan perubahan.4 Dalam kerangka ini, guru bukan otoritas mutlak, melainkan fasilitator dialog dan kesadaran kolektif.

7.4.       Kajian Gender, Ras, dan Kelas dalam Humaniora

Hermeneutika kritis sangat relevan dalam kajian identitas dan perbedaan, seperti dalam studi gender, ras, dan kelas. Dengan membongkar narasi dominan yang membingkai perbedaan sebagai deviasi atau subordinasi, pendekatan ini memfasilitasi rekonstruksi makna yang lebih setara dan adil.

Misalnya, dalam kajian feminis, hermeneutika kritis digunakan untuk mengungkap bagaimana teks, budaya populer, dan institusi pendidikan menyebarluaskan wacana seksis yang membatasi peran perempuan. Demikian pula, dalam studi rasial dan postkolonial, hermeneutika kritis menyoroti bagaimana struktur bahasa dan representasi membentuk ketimpangan kolonial dan rasisme struktural.5

7.5.       Penelitian Sosial-Reflektif Berbasis Komunitas

Terakhir, hermeneutika kritis dapat diterapkan dalam penelitian tindakan partisipatoris (participatory action research), yaitu pendekatan penelitian yang tidak hanya menghasilkan pemahaman akademik, tetapi juga memberdayakan komunitas yang diteliti. Dalam pendekatan ini, peneliti dan partisipan bersama-sama menafsirkan realitas sosial mereka dan mengidentifikasi langkah-langkah transformasi yang mungkin dilakukan.

Pendekatan ini sangat berguna dalam konteks marginalisasi sosial, seperti komunitas adat, petani miskin, atau kelompok minoritas yang kerap tidak terdengar suaranya dalam wacana akademik dominan.6 Hermeneutika kritis dalam konteks ini menjadi sarana untuk mengartikulasikan makna pengalaman dan mengadvokasi keadilan sosial.


Simpulan Subbab

Aplikasi hermeneutika kritis dalam ilmu sosial dan humaniora menunjukkan daya gunanya yang luas dan mendalam: dari analisis wacana hingga tafsir agama, dari pendidikan hingga studi identitas, dan dari teori hingga praktik pembebasan. Dengan menjadikan interpretasi sebagai alat kritik dan transformasi, hermeneutika kritis tidak hanya mengungkap makna tersembunyi, tetapi juga membuka ruang untuk perubahan yang berlandaskan kesadaran dan keadilan.


Footnotes

[1]                Teun A. van Dijk, Ideology: A Multidisciplinary Approach (London: Sage Publications, 1998), 142–148.

[2]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 43–49.

[3]                Elisabeth Schüssler Fiorenza, Rhetoric and Ethic: The Politics of Biblical Studies (Minneapolis: Fortress Press, 1999), 65–73.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 81–89.

[5]                bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 24–29.

[6]                Orlando Fals Borda and Muhammad Anisur Rahman, Action and Knowledge: Breaking the Monopoly with Participatory Action-Research (New York: Apex Press, 1991), 35–40.


8.           Kritik dan Tantangan terhadap Hermeneutika Kritis

Meskipun hermeneutika kritis telah memberikan kontribusi besar dalam ranah filsafat, teori sosial, dan studi humaniora, pendekatan ini tidak lepas dari kritik dan tantangan metodologis, epistemologis, maupun praksis. Kritik tersebut datang baik dari kubu hermeneutika filosofis yang lebih tradisional maupun dari pendekatan postmodern dan pragmatis. Diskusi ini penting untuk mempertajam dan memperkaya pemahaman terhadap batas-batas dan potensi pengembangan lebih lanjut dari hermeneutika kritis.

8.1.       Ketegangan antara Pemahaman dan Kritik

Salah satu kritik utama terhadap hermeneutika kritis adalah adanya ketegangan antara orientasi pemahaman (hermeneutis) dan dorongan untuk kritik (ideologis). Hans-Georg Gadamer, misalnya, mengkritik Jürgen Habermas karena terlalu menekankan dimensi kritis sehingga mengabaikan dimensi dialogis dan kepercayaan yang menjadi dasar komunikasi autentik.1 Menurut Gadamer, penafsiran tidak dapat direduksi menjadi proyek demistifikasi terhadap kekuasaan, karena selalu ada unsur keterbukaan terhadap “yang lain” yang tak dapat dikontrol oleh rasionalitas kritis.

Habermas sendiri merespons kritik ini dengan membedakan antara pemahaman teknis dan pemahaman komunikatif. Namun, ketegangan ini tetap menjadi perdebatan terbuka mengenai batas intervensi kritik terhadap horizon pemahaman yang bersifat historis dan kontekstual.

8.2.       Problematika Netralitas dan Otoritas Kritik

Kritik lainnya berasal dari pertanyaan epistemologis: siapa yang berhak mengajukan kritik ideologi? Jika semua wacana sarat dengan bias ideologis, termasuk wacana akademik, bagaimana kita dapat membedakan kritik yang valid dari bentuk lain dominasi simbolik?

Beberapa pemikir post-strukturalis seperti Michel Foucault mempertanyakan asumsi rasionalitas universal yang digunakan oleh teori kritis. Foucault menyarankan agar kritik lebih bersifat genealogis, yaitu membongkar sejarah pembentukan pengetahuan dan kekuasaan daripada berpura-pura berada di luar sistem yang dikritik.2 Dengan kata lain, tidak ada posisi “di luar ideologi” yang sepenuhnya netral.

8.3.       Tantangan dari Relativisme Postmodern

Hermeneutika kritis juga menghadapi tantangan dari pendekatan postmodern yang menolak klaim terhadap makna tunggal, rasionalitas universal, atau narasi besar. Jacques Derrida, misalnya, melalui pendekatan dekonstruksinya, menunjukkan bahwa setiap teks mengandung ketegangan internal dan penundaan makna (différance), sehingga setiap usaha untuk menstabilkan makna berisiko menjadi hegemonik.3

Bagi pendekatan ini, proyek emansipatoris dalam hermeneutika kritis bisa saja berubah menjadi bentuk dominasi baru jika tidak diawasi secara reflektif. Oleh karena itu, hermeneutika kritis ditantang untuk mengakui pluralitas makna dan menjaga keterbukaan terhadap alternatif interpretasi.

8.4.       Tantangan Metodologis dalam Praktik Penelitian

Dalam praktik ilmiah, hermeneutika kritis sering dikritik karena kesulitan dalam operasionalisasi konsep-konsepnya. Kategori seperti “distorsi ideologis”, “rasionalitas komunikatif”, atau “emansipasi” sulit diukur secara empiris dalam kerangka penelitian sosial konvensional. Hal ini membuat beberapa peneliti ragu untuk mengadopsi hermeneutika kritis sebagai kerangka metodologis utama dalam studi lapangan.

Sebagian peneliti, seperti Nancy Fraser, mengusulkan integrasi hermeneutika kritis dengan pendekatan normatif yang lebih eksplisit, agar prinsip-prinsip emansipatoris tidak kehilangan kekuatan transformatifnya di tengah pluralisme nilai dalam masyarakat global saat ini.4

8.5.       Tantangan dalam Konteks Global dan Lintas Budaya

Dalam dunia yang semakin plural dan terhubung secara global, hermeneutika kritis juga dihadapkan pada pertanyaan tentang relevansi universalitas nilai-nilai yang dikandungnya. Apakah konsep seperti “komunikasi tanpa dominasi” atau “rasionalitas diskursif” dapat diterapkan secara lintas budaya tanpa mengabaikan konteks lokal atau jatidiri komunitas tertentu?

Beberapa pemikir dekolonial dan postkolonial memperingatkan bahwa proyek emansipatoris ala Barat dapat menjadi bentuk hegemoni epistemologis baru yang mengabaikan epistemologi masyarakat non-Barat.5 Oleh karena itu, hermeneutika kritis ditantang untuk mengadopsi pendekatan dialogis antarbudaya dan memperluas konsep emansipasi dalam kerangka etika global yang pluralis.


Simpulan Subbab

Kritik dan tantangan terhadap hermeneutika kritis tidak melemahkan pendekatan ini, melainkan justru mendorong pengembangan yang lebih reflektif, kontekstual, dan inklusif. Ketegangan antara pemahaman dan kritik, antara emansipasi dan relativisme, serta antara teori dan praktik, menjadi medan produktif bagi hermeneutika kritis untuk terus memperbaharui diri sebagai pendekatan interpretatif yang tetap relevan di tengah kompleksitas sosial dan epistemologis kontemporer.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 359–367.

[2]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–138.

[3]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[4]                Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics: Redistribution, Recognition, and Participation,” in Redistribution or Recognition?, ed. Nancy Fraser and Axel Honneth (London: Verso, 2003), 7–34.

[5]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011), 68–73.


9.           Relevansi Hermeneutika Kritis dalam Konteks Kontemporer

Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial, derasnya arus informasi, polarisasi politik, dan krisis makna, hermeneutika kritis tampil sebagai pendekatan yang semakin relevan dan urgen. Ia tidak hanya menawarkan kerangka konseptual untuk memahami dinamika sosial dan kultural, tetapi juga menghadirkan etika interpretasi yang berorientasi pada pembebasan, keadilan, dan transformasi sosial. Relevansi hermeneutika kritis menjadi semakin nyata dalam berbagai medan kontemporer: dari ruang publik digital hingga pendidikan, dari isu-isu identitas hingga politik global.

9.1.       Menjawab Tantangan Disinformasi dan Krisis Makna

Era digital ditandai oleh banjir informasi dan disinformasi, yang menciptakan kebingungan epistemologis dan memperlemah kepercayaan terhadap institusi pengetahuan. Dalam konteks ini, hermeneutika kritis membantu membongkar konstruksi wacana, mengidentifikasi strategi manipulasi simbolik, serta membekali masyarakat dengan keterampilan literasi kritis.

Habermas dalam karyanya tentang ruang publik (public sphere) menyatakan bahwa komunikasi rasional yang bebas dari distorsi adalah prasyarat utama bagi demokrasi deliberatif yang sehat.1 Hermeneutika kritis mendorong warga untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga menafsirkannya secara reflektif dan mempertanyakan otoritas di baliknya—sebuah kemampuan yang sangat dibutuhkan di tengah era “post-truth”.

9.2.       Relevansi dalam Gerakan Sosial dan Politik Emansipatoris

Hermeneutika kritis telah mengilhami berbagai gerakan sosial kontemporer yang berjuang untuk kesetaraan, pengakuan, dan keadilan sosial. Pendekatan ini memberikan dasar teoritis bagi gerakan feminis, hak minoritas, lingkungan hidup, serta keadilan rasial dan ekonomi, dengan menyoroti bagaimana ideologi dominan beroperasi melalui bahasa, budaya, dan kebijakan publik.

Sebagaimana dinyatakan oleh Nancy Fraser, keadilan dalam era global menuntut pendekatan yang menggabungkan redistribusi ekonomi dan pengakuan identitas, yang hanya mungkin dipahami melalui analisis wacana dan struktur simbolik yang kompleks.2 Hermeneutika kritis memungkinkan pembacaan terhadap struktur sosial tidak hanya sebagai sistem material, tetapi juga sebagai sistem makna yang bisa dinegosiasi dan ditransformasikan.

9.3.       Penguatan Pendidikan Kritis dan Literasi Kultural

Dalam ranah pendidikan, hermeneutika kritis memainkan peran penting dalam mendorong pembelajaran yang reflektif, partisipatif, dan transformatif. Melalui model pedagogi kritis sebagaimana dikembangkan oleh Paulo Freire, siswa tidak lagi diposisikan sebagai penerima pasif, melainkan sebagai subjek aktif yang menafsirkan dunia dan mengintervensinya.

Kurikulum berbasis hermeneutika kritis mendorong peserta didik untuk membaca teks sosial dan budaya secara mendalam, mempertanyakan struktur nilai, dan membayangkan alternatif terhadap status quo. Hal ini sejalan dengan misi pendidikan sebagai proses pembentukan warga demokratis yang mampu berpikir kritis dan bertindak etis.3

9.4.       Konstruksi Etika Global dan Dialog Antarbudaya

Dalam masyarakat multikultural dan global, hermeneutika kritis membantu mengembangkan kerangka etika dialogis antarbudaya yang tidak hanya mengedepankan toleransi, tetapi juga keterbukaan terhadap kritik dan transformasi timbal balik. Interpretasi lintas budaya bukanlah sekadar perbandingan, melainkan usaha saling memahami dan membongkar prasangka ideologis masing-masing pihak.

Habermas menekankan bahwa rasionalitas komunikatif dapat menjadi dasar bagi pembentukan etika global yang tidak bersifat imperialistik, karena bertumpu pada kesediaan untuk mendengar dan berdialog dalam ruang publik transnasional.4 Dalam konteks konflik identitas dan radikalisme, hermeneutika kritis menawarkan pendekatan yang menolak absolutisme makna dan membuka ruang bagi rekonsiliasi melalui pemahaman reflektif.

9.5.       Transformasi Praktik Keilmuan dan Produksi Pengetahuan

Relevansi hermeneutika kritis juga tampak dalam transformasi paradigma keilmuan yang lebih sadar akan bias epistemologis dan relasi kuasa dalam produksi pengetahuan. Di era pascakolonial dan dekolonisasi epistemik, hermeneutika kritis mengajak ilmuwan untuk merefleksikan posisi mereka, membuka ruang bagi narasi yang terpinggirkan, dan membangun pengetahuan yang inklusif serta kontekstual.

Sebagaimana dikemukakan oleh Boaventura de Sousa Santos, epistemologi modern harus bergeser dari “epistemologi utara” menuju “epistemologi selatan”, yakni pendekatan pengetahuan yang memperhitungkan pengalaman dan makna dari masyarakat non-Barat.5 Hermeneutika kritis memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan dalam proses ini.


Simpulan Subbab

Hermeneutika kritis tetap sangat relevan di tengah dinamika zaman yang diwarnai oleh disinformasi, polarisasi, ketidaksetaraan, dan pluralitas budaya. Sebagai pendekatan interpretatif yang sekaligus reflektif dan emansipatoris, ia menawarkan bukan hanya pemahaman yang lebih mendalam atas realitas, tetapi juga alat untuk mengubah realitas secara etis dan kolektif. Dalam dunia yang terus berubah, hermeneutika kritis menegaskan bahwa setiap makna selalu terhubung dengan kekuasaan—dan setiap interpretasi yang sadar akan hal itu dapat menjadi langkah awal menuju pembebasan.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas Burger and Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 198–205.

[2]                Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a 'Post-Socialist' Age,” New Left Review 212 (1995): 68–93.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 66–69.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 41–52.

[5]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 188–191.


10.       Simpulan

Hermeneutika kritis muncul sebagai respons terhadap keterbatasan hermeneutika tradisional yang terlalu menekankan pemahaman terhadap teks dalam kerangka historis dan linguistik, tanpa cukup memperhatikan dimensi ideologis dan kekuasaan dalam produksi makna. Dengan menggabungkan kekuatan reflektif dari hermeneutika filosofis dan kekuatan emansipatoris dari teori kritis, pendekatan ini menawarkan sebuah paradigma interpretatif yang tidak hanya memahami realitas, tetapi juga berusaha mentransformasikannya secara sadar dan etis.

Sebagaimana ditekankan oleh Jürgen Habermas, penafsiran yang ideal haruslah berlangsung dalam kerangka komunikasi yang bebas dari distorsi, yang memungkinkan pembentukan konsensus berdasarkan argumentasi rasional dan setara.1 Dalam konteks ini, hermeneutika kritis berfungsi sebagai sarana untuk mendeteksi dan mendekonstruksi kepentingan tersembunyi, dominasi simbolik, serta bentuk-bentuk hegemoni yang terselubung dalam wacana sosial, budaya, dan politik.

Lebih jauh lagi, hermeneutika kritis memperluas cakrawala epistemologis kita dengan mengintegrasikan kesadaran historis, analisis ideologi, dan etika diskursif. Pendekatan ini memungkinkan keterlibatan aktif pembaca dalam proses interpretasi sebagai subjek historis yang mampu merefleksikan posisi, nilai, dan horizonnya sendiri. Dalam semangat ini, Ricoeur mengingatkan bahwa tugas hermeneutika bukan hanya memulihkan makna, tetapi juga mengungkap struktur tersembunyi yang membentuknya, seraya menegosiasikan kemungkinan makna baru yang lebih adil dan manusiawi.2

Relevansi hermeneutika kritis semakin meningkat dalam dunia kontemporer yang diwarnai oleh polarisasi ideologis, krisis otoritas, dan kemunculan wacana-wacana eksklusif yang mengklaim kebenaran tunggal. Dalam situasi seperti ini, hermeneutika kritis mengajukan sebuah etika interpretasi yang pluralis dan terbuka terhadap perbedaan, sekaligus teguh dalam komitmen terhadap keadilan dan kebebasan. Hal ini penting, sebagaimana ditegaskan oleh Boaventura de Sousa Santos, untuk menanggapi tantangan epistemologis dari dunia pascakolonial dan membangun sistem pengetahuan yang lebih inklusif dan dialogis.3

Namun demikian, seperti telah dibahas sebelumnya, hermeneutika kritis juga menghadapi berbagai kritik, baik dari hermeneutika tradisional maupun pendekatan postmodern. Ketegangan antara klaim normatif dan relativisme budaya, antara kritik ideologi dan keterbukaan makna, menjadi medan dialektis yang memaksa hermeneutika kritis untuk terus memperbarui pendekatannya. Justru dalam ketegangan inilah letak kekuatan hermeneutika kritis: ia bersifat self-corrective, senantiasa terbuka untuk dialog, dan sadar akan keterbatasannya sendiri.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika kritis merupakan pendekatan interpretatif yang transformatif dan etis, yang tidak hanya penting secara teoritis dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, tetapi juga strategis secara praksis dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih reflektif, adil, dan bebas. Dalam dunia yang terus berubah, hermeneutika kritis memberikan kita alat untuk tidak hanya memahami realitas, tetapi juga untuk membentuknya kembali secara sadar dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 286–289.

[2]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–36.

[3]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 180–183.


Daftar Pustaka

de Sousa Santos, B. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Routledge.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Fals Borda, O., & Rahman, M. A. (1991). Action and knowledge: Breaking the monopoly with participatory action-research. Apex Press.

Fiorenza, E. S. (1999). Rhetoric and ethic: The politics of biblical studies. Fortress Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge and the discourse on language (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Fraser, N. (1995). From redistribution to recognition? Dilemmas of justice in a “post-socialist” age. New Left Review, 212, 68–93.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical exchange. Verso.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action, Volume 2: Lifeworld and system: A critique of functionalist reason (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger & F. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Held, D. (1980). Introduction to critical theory: Horkheimer to Habermas. University of California Press.

hooks, b. (1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.

Ingram, D. (1987). Habermas and the dialectic of reason. Yale University Press.

Ingram, D. (1990). Critical theory and philosophy. Paragon House.

Rasmussen, D. (1990). Reading Habermas. Basil Blackwell.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative, Volume 1 (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Thompson, J. B. (1990). Ideology and modern culture: Critical social theory in the era of mass communication. Polity Press.

van Dijk, T. A. (1998). Ideology: A multidisciplinary approach. Sage Publications.

Warnke, G. (1987). Gadamer: Hermeneutics, tradition and reason. Stanford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar