Kurikulum Merdeka
Konsep, Implementasi, dan Tantangan dalam Transformasi
Pendidikan Indonesia
Alihkan ke: Komponen Mata Pelajaran Kurikulum
Merdeka Jenjang SLTA.
Deep Learning dalam Teknologi, Deep Learning dalam Pendidikan, Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
Kurikulum Merdeka 2022 sebagai upaya transformasi pendidikan di Indonesia yang
menekankan pembelajaran yang fleksibel, kontekstual, dan berpusat pada peserta
didik. Melalui pendekatan berbasis projek, diferensiasi, serta penguatan
karakter melalui Profil Pelajar Pancasila, Kurikulum Merdeka hadir untuk
menjawab tantangan pendidikan abad ke-21 dan merespons krisis pembelajaran
pasca pandemi COVID-19. Artikel ini menguraikan landasan yuridis kurikulum,
konsep filosofisnya, struktur dan strategi implementasi, serta tanggapan dan
dampak yang ditimbulkan dari penerapannya di lapangan. Selain itu, artikel ini
menyajikan perbandingan antara Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013, serta
menyoroti tantangan implementatif yang dihadapi oleh guru, sekolah, dan
pemangku kepentingan lainnya. Dengan pendekatan analisis kualitatif deskriptif
berbasis sumber ilmiah dan regulatif, tulisan ini diakhiri dengan prospek dan
rekomendasi kebijakan strategis guna memastikan keberhasilan Kurikulum Merdeka
dalam jangka panjang. Temuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa keberhasilan
Kurikulum Merdeka sangat ditentukan oleh kualitas pelatihan guru, dukungan
infrastruktur, serta komitmen kolektif dalam membangun budaya belajar yang
transformatif.
Kata Kunci: Kurikulum Merdeka, pendidikan Indonesia, Profil Pelajar Pancasila, pembelajaran berbasis projek, transformasi pendidikan, guru,
asesmen formatif, kebijakan kurikulum.
PEMBAHASAN
Kurikulum Merdeka Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan
fondasi utama dalam membentuk sumber daya manusia yang unggul, adaptif, dan
siap menghadapi tantangan global abad ke-21. Di Indonesia, sistem pendidikan
nasional terus mengalami dinamika, salah satunya melalui pembaruan kurikulum
sebagai bentuk respons terhadap perubahan zaman. Salah satu transformasi
signifikan adalah lahirnya Kurikulum Merdeka yang mulai
diperkenalkan secara terbatas pada tahun 2021 dan kemudian diimplementasikan
secara lebih luas pada tahun 2022.
Latar belakang
lahirnya Kurikulum Merdeka tidak terlepas dari kebutuhan akan pembelajaran yang
lebih fleksibel, humanis, dan kontekstual, terutama sebagai respons terhadap
dampak pandemi COVID-19 yang mengubah wajah pendidikan secara drastis.
Pembelajaran daring yang bersifat darurat telah mengungkap kelemahan dari pendekatan
kurikulum sebelumnya, seperti beban materi yang terlalu padat, pendekatan
pembelajaran yang seragam, dan rendahnya otonomi guru dalam merancang
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini mendorong
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)
untuk merumuskan pendekatan kurikulum yang baru dan lebih responsif terhadap
kebutuhan lokal serta perkembangan global1.
Kurikulum Merdeka
dirancang dengan menekankan pada tiga pilar utama: pembelajaran berbasis
projek, fleksibilitas struktur kurikulum, dan penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila. Kurikulum ini merupakan bagian dari
inisiatif kebijakan “Merdeka Belajar” yang dicanangkan oleh Menteri
Nadiem Anwar Makarim sejak awal masa jabatannya. Dalam konteks ini, Kurikulum
Merdeka tidak hanya menjadi produk teknokratis, tetapi juga cerminan dari
paradigma baru dalam pendidikan Indonesia yang menekankan kemerdekaan berpikir,
keberagaman, dan pembelajaran sepanjang hayat2.
Secara filosofis,
Kurikulum Merdeka mengadopsi pendekatan student-centered learning yang
menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pendidikan.
Kurikulum ini memberikan ruang bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat,
bakat, dan ritme perkembangan mereka, sejalan dengan teori perkembangan belajar
dari tokoh-tokoh seperti Vygotsky dan Piaget3. Selain itu, aspek
pembelajaran berbasis kompetensi dan karakter juga mencerminkan pengaruh
pendekatan pendidikan progresif seperti yang dikembangkan oleh John Dewey, yang
menekankan pentingnya pengalaman nyata dan konteks sosial dalam proses belajar4.
Dalam tulisan ini,
akan dibahas secara menyeluruh konsep dasar, regulasi, dan filosofi Kurikulum
Merdeka; implementasi dan strategi penerapannya di lapangan; serta tantangan
yang dihadapi dalam proses transformasi ini. Dengan demikian, artikel ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang arah baru pendidikan
Indonesia dalam rangka menciptakan generasi yang unggul, adaptif, dan berdaya
saing global.
Footnotes
[1]
Muhadjir Effendy, Pandemi dan Pendidikan:
Merancang Ulang Masa Depan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2021), 58.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7.
[3]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The
Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86; Jean Piaget, The
Psychology of Intelligence (London:
Routledge, 2001), 103.
[4]
John Dewey, Experience and
Education (New York: Collier Books,
1938), 33.
2.
Landasan
Yuridis Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka
sebagai kebijakan pendidikan nasional tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan
berlandaskan pada sejumlah regulasi dan kerangka hukum yang sah. Dalam konteks
negara hukum seperti Indonesia, setiap kebijakan pendidikan harus memiliki
dasar yuridis yang kuat agar pelaksanaannya memiliki legitimasi serta kepastian
hukum.
Secara umum, dasar
hukum penyelenggaraan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Pasal 36 UU Sisdiknas menyatakan bahwa pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dan prinsip
diversifikasi sesuai dengan potensi daerah, satuan pendidikan, dan peserta
didik1. Ketentuan ini memberikan ruang legal bagi pengembangan
kurikulum yang adaptif dan kontekstual seperti Kurikulum Merdeka.
Secara khusus,
peluncuran Kurikulum Merdeka memperoleh legitimasi formal melalui sejumlah
regulasi teknis dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek). Beberapa regulasi penting antara lain:
·
Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 5
Tahun 2022 tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yang menjadi acuan dasar capaian pembelajaran
pada setiap jenjang pendidikan2.
·
Permendikbudristek
No. 7 Tahun 2022 tentang Struktur Kurikulum pada
Jenjang Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah, yang
memuat ketentuan teknis mengenai jumlah jam pelajaran, pengorganisasian mata
pelajaran, serta keberadaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila
(P5)3.
·
Keputusan
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) No.
033/H/KR/2022 yang berisi Capaian Pembelajaran
untuk setiap fase pendidikan, sebagai pengganti Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar dalam Kurikulum 20134.
Selain itu,
Kurikulum Merdeka juga merupakan bagian dari kebijakan nasional bertajuk Merdeka
Belajar yang dimulai sejak tahun 2019. Inisiatif ini tertuang
dalam berbagai “Episode Merdeka Belajar”, khususnya Episode
15 yang secara eksplisit memperkenalkan opsi penggunaan
Kurikulum Merdeka sebagai salah satu alternatif kurikulum transformatif pasca
pandemi COVID-195.
Lebih jauh,
pengembangan Kurikulum Merdeka juga sejalan dengan arah pembangunan pendidikan
dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2020–2024, yang menekankan pada peningkatan kualitas
pendidikan melalui transformasi pembelajaran dan penguatan kompetensi abad
ke-216. Kesesuaian ini menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka bukan
hanya sebuah inisiatif sektoral dari Kemendikbudristek, tetapi merupakan bagian
dari strategi nasional pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka memiliki dasar hukum yang kokoh dan
komprehensif, baik dari sisi peraturan perundang-undangan nasional maupun
kebijakan internal kementerian terkait. Ini menjadi landasan penting dalam
menjamin kontinuitas, keberlanjutan, serta legitimasi implementasi kurikulum
ini di seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sekretariat Negara, 2003), pasal 36 ayat 2.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Permendikbudristek No. 5 Tahun 2022 tentang Standar Kompetensi
Lulusan (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 3–4.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Permendikbudristek No. 7 Tahun 2022 tentang Struktur Kurikulum (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–7.
[4]
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Keputusan Kepala BSKAP No. 033/H/KR/2022 tentang Capaian
Pembelajaran (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 2.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Merdeka
Belajar Episode 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar,” 2022,
https://kurikulum.kemdikbud.go.id/.
[6]
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 233.
3.
Konsep
Dasar dan Filosofi Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka
dirancang sebagai respon terhadap kebutuhan mendesak akan reformasi pendidikan
yang lebih kontekstual, humanis, dan berpijak pada realitas pembelajaran di
lapangan. Konsep utamanya berakar pada prinsip bahwa peserta
didik adalah subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan
sekadar objek yang harus menerima materi secara pasif. Kurikulum ini mencoba
menggeser paradigma pembelajaran dari yang bersifat teacher-centered
menjadi student-centered, dengan
menekankan pada pembelajaran yang bermakna, reflektif, dan kolaboratif1.
Secara umum,
Kurikulum Merdeka bertumpu pada tiga prinsip utama:
1)
Pembelajaran berbasis
projek,
2)
Fleksibilitas dalam
pengaturan kurikulum, dan
3)
Fokus pada penguatan
karakter melalui Profil Pelajar Pancasila2.
3.1.
Pembelajaran
Berbasis Projek
Salah satu pembaruan
fundamental dalam Kurikulum Merdeka adalah penerapan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Melalui projek ini,
peserta didik tidak hanya diajak memahami teori, tetapi juga mengaplikasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, seperti gotong royong,
kebhinnekaan global, dan kemandirian. Pendekatan ini merepresentasikan konstruktivisme
sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky, di mana proses belajar
terjadi melalui interaksi sosial dan pengalaman nyata dalam konteks budaya
tertentu3.
3.2.
Fleksibilitas
Kurikulum
Kurikulum Merdeka
memberikan ruang yang lebih besar bagi satuan pendidikan dan guru untuk
menyesuaikan isi dan metode pembelajaran sesuai dengan konteks
lokal, kebutuhan siswa, dan ketersediaan sumber daya.
Fleksibilitas ini terlihat pada struktur kurikulum yang tidak lagi kaku,
seperti pengurangan jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran yang dapat diatur
berdasarkan fase belajar siswa. Hal ini mengacu pada prinsip diferensiasi
dalam pembelajaran, yang selama ini telah diadvokasi dalam
berbagai literatur pedagogi modern sebagai strategi penting dalam memenuhi
kebutuhan belajar individual4.
3.3.
Penguatan Karakter
melalui Profil Pelajar Pancasila
Filosofi utama dari
Kurikulum Merdeka adalah pembangunan karakter yang holistik. Dalam hal ini,
Kurikulum Merdeka menjadikan Profil Pelajar Pancasila
sebagai arah dan tujuan jangka panjang dari pendidikan nasional. Enam dimensi
utama dalam profil ini — yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif —
merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur bangsa yang diselaraskan dengan
tuntutan abad ke-215.
Pendekatan ini tidak
terlepas dari gagasan pendidikan karakter integral,
yang menekankan pentingnya mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta
didik, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Gagasan ini sejalan
dengan teori pendidikan holistik seperti yang dikembangkan oleh Ron Miller dan
Jack Miller, yang menyatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya
mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga membentuk kesadaran dan integritas
moral6.
3.4.
Filosofi Kurikulum
Merdeka
Filosofi pendidikan
yang mendasari Kurikulum Merdeka berpijak pada semangat kemerdekaan
dalam belajar, yaitu memberi ruang bagi peserta didik untuk menjadi
manusia seutuhnya yang berpikir bebas, bertanggung jawab, dan
berkontribusi bagi masyarakat. Hal ini berakar dari pemikiran progresivisme
pendidikan seperti yang dikembangkan oleh John Dewey, yang menganggap
pendidikan sebagai proses sosial yang hidup dan terus berkembang seiring
pengalaman7. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna hanya
dapat terjadi ketika peserta didik terlibat secara aktif dalam proses belajar,
dan bukan sekadar menerima instruksi dari luar.
Lebih lanjut,
Kurikulum Merdeka tidak memisahkan antara pengetahuan akademik dengan
nilai-nilai kehidupan. Tujuan akhirnya bukan hanya mencetak lulusan yang cerdas
secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, spiritualitas yang
kuat, serta keterampilan abad ke-21 seperti kolaborasi, kreativitas, dan
pemecahan masalah kompleks.
Dengan demikian,
Kurikulum Merdeka menandai pergeseran penting dalam filosofi pendidikan
nasional dari pendekatan strukturalistik dan berbasis konten menuju pendekatan
yang lebih humanistik, transformatif, dan berorientasi pada peserta didik.
Footnotes
[1]
Ahmad Rifa'i, Paradigma Baru
Pendidikan di Indonesia: Antara Wacana dan Implementasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), 74–75.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku Saku Kurikulum Merdeka: Untuk Guru dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10.
[3]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The
Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86.
[4]
Carol Ann Tomlinson, How
to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 12–14.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 6.
[6]
Jack Miller, The Holistic Curriculum (Toronto: University of Toronto Press, 2007), 23.
[7]
John Dewey, Democracy and
Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 39.
4.
Struktur
Kurikulum Merdeka
Struktur Kurikulum
Merdeka dirancang untuk memberikan ruang fleksibilitas dalam pembelajaran,
sekaligus memastikan ketercapaian kompetensi dasar yang relevan dengan
perkembangan zaman. Dalam perancangannya, kurikulum ini mengelompokkan
jenjang pendidikan ke dalam enam fase belajar yang bersifat
lintas kelas, yakni Fase A hingga Fase F. Setiap fase merepresentasikan tahapan
perkembangan kognitif dan sosial peserta didik, serta menjadi acuan dalam
penyusunan capaian pembelajaran (CP) pada tiap mata pelajaran1.
4.1.
Fase Pembelajaran
dan Jenjang Pendidikan
Kurikulum Merdeka
membagi jenjang pendidikan sebagai berikut:
·
Fase
A: Kelas 1–2 SD/MI
·
Fase
B: Kelas 3–4 SD/MI
·
Fase
C: Kelas 5–6 SD/MI
·
Fase
D: Kelas 7–9 SMP/MTs
·
Fase
E: Kelas 10 SMA/MA/SMK
·
Fase
F: Kelas 11–12 SMA/MA/SMK
Pendekatan berbasis
fase ini memungkinkan satuan pendidikan menyusun pembelajaran secara lebih
menyeluruh dan berkesinambungan, serta memberikan ruang bagi peserta didik
untuk belajar
sesuai tahap perkembangannya, tanpa terikat secara kaku pada
batasan kelas tahunan seperti pada kurikulum sebelumnya2.
4.2.
Komponen Struktur
Kurikulum
Struktur Kurikulum
Merdeka terdiri atas dua komponen utama, yakni:
1)
Intrakurikuler (mata
pelajaran inti)
2)
Kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)
Komponen
intrakurikuler mencakup mata pelajaran yang disusun dengan pendekatan capaian
pembelajaran (CP), bukan lagi berdasarkan Kompetensi Inti (KI) dan
Kompetensi Dasar (KD) sebagaimana pada Kurikulum 2013. CP dirumuskan
berdasarkan hasil analisis berbagai standar internasional serta penyesuaian
dengan konteks nasional dan kebutuhan abad ke-213.
Sementara itu, P5
merupakan kegiatan kokurikuler yang wajib dilaksanakan oleh satuan pendidikan
sebagai bagian dari pembentukan karakter peserta didik. Projek ini tidak
terikat oleh struktur mata pelajaran tertentu dan dapat mengintegrasikan tema
lintas disiplin seperti kewirausahaan, perubahan iklim, gaya hidup
berkelanjutan, dan kebhinekaan global4.
4.3.
Fleksibilitas Jumlah
dan Jadwal Mata Pelajaran
Salah satu
karakteristik Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitas dalam alokasi waktu pembelajaran.
Tidak seperti Kurikulum 2013 yang menetapkan jam pelajaran mingguan yang kaku,
Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur alokasi
waktu secara fleksibel dalam satu tahun ajaran. Misalnya, sekolah dapat
mengatur P5 dalam bentuk bloking (misalnya satu bulan penuh)
atau dispersi
(disisipkan setiap minggu), sesuai dengan kesiapan satuan pendidikan dan kebutuhan
peserta didik5.
4.4.
Struktur Khusus
untuk Kelas X SMA/MA
Pada jenjang SMA, kelas X
di Kurikulum Merdeka bersifat eksploratif, di mana peserta
didik belum memilih jurusan (seperti IPA, IPS, atau Bahasa) seperti pada
kurikulum sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki kesempatan
mengenali minat, potensi, dan bakat sebelum mendalami kelompok mata pelajaran
tertentu pada kelas XI dan XII6. Adapun mata pelajaran seperti
Informatika, Prakarya, dan Bahasa Daerah dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan
dan karakteristik sekolah.
4.5.
Struktur Khusus
untuk SMK
Pada jenjang SMK,
Kurikulum Merdeka menekankan link and match antara dunia
pendidikan dan dunia kerja. Struktur kurikulum di SMK terbagi atas mata
pelajaran umum dan kejuruan, dengan komposisi yang memungkinkan
lebih banyak waktu untuk praktik industri. Bahkan, pada beberapa program
keahlian, pembelajaran di industri bisa mencapai 50% dari
total jam belajar, sesuai dengan prinsip pembelajaran berbasis
dunia kerja7.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18.
[2]
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Keputusan Kepala BSKAP No. 033/H/KR/2022 tentang Capaian
Pembelajaran (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 3.
[3]
Muhamad Ali, “Perbandingan Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka
dengan Kompetensi Dasar Kurikulum 2013,” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 12, no. 2
(2022): 115.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6.
[5]
Sri Wahyuni, “Fleksibilitas Waktu Pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka:
Studi Implementasi di Sekolah Penggerak,” Jurnal
Inovasi Kurikulum 19, no. 3 (2022):
310.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 4.
[7]
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kurikulum SMK Pusat Keunggulan Tahun 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12.
5.
Implementasi
dan Strategi Penerapan
Implementasi
Kurikulum Merdeka di Indonesia merupakan langkah transformatif yang membutuhkan
kesiapan ekosistem pendidikan secara menyeluruh, termasuk guru, kepala sekolah,
peserta didik, dan kebijakan pendukung. Dalam konteks ini, strategi penerapan
Kurikulum Merdeka tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga pedagogis,
kultural, dan teknologis. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengadopsi pendekatan
bertahap dan berbasis pilihan, guna memberi ruang adaptasi kepada satuan
pendidikan.
5.1.
Model Bertahap dan
Opsi Implementasi
Implementasi
Kurikulum Merdeka diawali pada tahun 2021 melalui Program
Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan, kemudian diperluas
pada tahun 2022 ke sekolah-sekolah yang memilih secara sukarela untuk
mengadopsi kurikulum ini. Terdapat tiga opsi yang disediakan Kemendikbudristek,
yakni:
1)
Menerapkan Kurikulum
Merdeka secara menyeluruh,
2)
Menerapkan sebagian
komponen, atau
3)
Tetap menggunakan
Kurikulum 20131.
Pendekatan ini
menunjukkan fleksibilitas pemerintah dalam mendorong reformasi pendidikan,
sekaligus memperhatikan tingkat kesiapan satuan pendidikan yang berbeda-beda.
Sebagai bentuk dukungan, Kemendikbudristek menyediakan berbagai panduan teknis,
pelatihan, serta platform pembelajaran digital.
5.2.
Peran Guru, Kepala
Sekolah, dan Komunitas Belajar
Keberhasilan
implementasi Kurikulum Merdeka sangat ditentukan oleh kesiapan dan peran aktif
guru serta kepala sekolah. Guru tidak lagi diposisikan sebagai pelaksana
kurikulum secara mekanis, melainkan sebagai perancang dan fasilitator pembelajaran
yang kontekstual dan berpusat pada peserta didik2. Dalam kerangka
ini, pelatihan profesional menjadi kunci.
Kemendikbudristek
memperkenalkan konsep Komunitas Belajar, yakni forum
kolaboratif antarguru dalam satuan pendidikan maupun lintas sekolah, yang
bertujuan meningkatkan kompetensi pedagogis dan berbagi praktik baik dalam
menerapkan Kurikulum Merdeka3.
5.3.
Platform Merdeka
Mengajar (PMM)
Sebagai bagian dari
strategi digitalisasi pendidikan, pemerintah meluncurkan Platform
Merdeka Mengajar (PMM) yang menjadi pusat sumber daya daring
bagi guru. Platform ini menyediakan:
·
Video
pelatihan mandiri,
·
Perangkat
ajar seperti modul ajar dan asesmen,
·
Fitur
refleksi dan komunitas guru4.
PMM memperkuat
prinsip teacher
agency, yakni kemandirian guru dalam memilih, mengadaptasi, dan
menerapkan perangkat ajar yang sesuai dengan konteks lokal dan karakteristik
siswa5.
5.4.
Asesmen Formatif dan
Sumatif dalam Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka
mendorong praktik asesmen yang bersifat formatif
sebagai bagian integral dari pembelajaran. Asesmen tidak lagi berfokus pada
penilaian hasil akhir (summatif) semata, tetapi digunakan untuk memantau
proses belajar dan memberikan umpan balik yang konstruktif.
Pendekatan ini selaras dengan prinsip assessment for learning yang
banyak diadopsi dalam praktik pendidikan modern6.
Guru diberikan
keleluasaan dalam merancang instrumen asesmen yang beragam, seperti observasi,
portofolio, jurnal refleksi, dan tes kinerja. Tujuan akhirnya bukan hanya
menilai capaian kognitif, tetapi juga perkembangan karakter, keterampilan
sosial, dan kreativitas siswa.
5.5.
Pendekatan
Diferensiasi dan Pembelajaran Inklusif
Dalam praktik
pembelajaran, Kurikulum Merdeka mengedepankan strategi diferensiasi,
yakni upaya menyesuaikan pembelajaran dengan kesiapan belajar, minat, dan
profil belajar peserta didik. Ini menjadi fondasi dalam membangun pendidikan
yang adil dan inklusif, terutama bagi siswa dengan latar belakang yang beragam7.
Guru didorong untuk menerapkan pendekatan yang adaptif, baik dalam penyampaian
materi, pemberian tugas, maupun dalam merancang lingkungan belajar.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–7.
[2]
Linda B. Darling-Hammond et al., Powerful
Teaching and Learning: What We Know About Teaching for Understanding (San Francisco: Jossey-Bass, 2008), 29.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Komunitas Belajar: Menumbuhkan Budaya Refleksi dan
Kolaborasi (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 2.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Platform Merdeka Mengajar: Panduan Penggunaan untuk Guru dan
Kepala Sekolah (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 10.
[5]
Pak Tee Ng, “Teacher Agency and Professionalism: Between the Need for
Reform and the Fear of Accountability,” Educational
Research for Policy and Practice 14,
no. 2 (2015): 167.
[6]
Dylan Wiliam, Embedded Formative
Assessment (Bloomington, IN:
Solution Tree Press, 2011), 41–44.
[7]
Carol Ann Tomlinson, The
Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 20.
6.
Dampak
dan Respon terhadap Kurikulum Merdeka
Sejak diterapkan
secara bertahap mulai tahun 2021 dan diperluas pada tahun 2022, Kurikulum
Merdeka telah memberikan berbagai dampak nyata dalam praktik pendidikan di
Indonesia. Respon terhadap kurikulum ini bervariasi, baik dari
pihak sekolah, guru, peserta didik, hingga para pemerhati dan peneliti
pendidikan. Di satu sisi, banyak pihak melihat Kurikulum Merdeka sebagai langkah
progresif dalam menciptakan pembelajaran yang lebih relevan dan
kontekstual. Namun di sisi lain, terdapat juga kekhawatiran terkait kesiapan
sumber daya manusia dan infrastruktur pendidikan.
6.1.
Dampak Positif di
Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan
Berdasarkan laporan
awal dari Kemendikbudristek dan hasil kajian lembaga independen seperti Pusat
Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka
menunjukkan peningkatan dalam inovasi pembelajaran, partisipasi siswa, dan
penguatan karakter. Guru-guru di sekolah penggerak melaporkan
bahwa pembelajaran berbasis projek (P5) membantu siswa membangun keterampilan
abad ke-21 seperti kolaborasi, empati, dan pemecahan masalah1.
Di SMK, pelaksanaan
kurikulum yang lebih terintegrasi dengan dunia kerja juga membawa dampak positif
dalam meningkatkan kesiapan kerja lulusan dan kualitas praktik
industri. Kolaborasi dengan mitra dunia usaha dan dunia
industri (DUDI) semakin diperkuat, sejalan dengan prinsip link and
match dalam pendidikan vokasi2.
6.2.
Respon Guru:
Antusias, tapi Beragam
Guru menjadi elemen
kunci dalam keberhasilan implementasi Kurikulum Merdeka. Hasil survei nasional
yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada akhir 2022 menunjukkan bahwa mayoritas
guru menyambut baik fleksibilitas dan pendekatan diferensiasi dalam kurikulum
baru ini, terutama dalam hal kebebasan memilih dan
mengembangkan perangkat ajar3. Namun demikian, sejumlah guru juga
menyampaikan tantangan dalam memahami capaian pembelajaran,
merancang projek P5, serta memanfaatkan Platform Merdeka Mengajar secara optimal.
Kesenjangan
pemahaman ini menunjukkan perlunya penguatan pelatihan yang berkelanjutan dan
bersifat kontekstual, bukan hanya sekadar sosialisasi administratif. Dalam hal
ini, pendekatan continuous professional development
(CPD) perlu lebih dimasifkan, baik melalui pelatihan daring maupun komunitas
belajar4.
6.3.
Respon Siswa dan
Orang Tua: Meningkatnya Motivasi, tapi Butuh Adaptasi
Dari sisi peserta
didik, sebagian besar siswa merasa lebih nyaman dengan pendekatan pembelajaran
yang lebih interaktif dan tidak hanya berorientasi pada ujian.
Banyak siswa melaporkan bahwa kegiatan projek memberikan mereka ruang untuk
mengekspresikan ide, bekerja dalam tim, dan menjawab persoalan nyata di
lingkungan sekitar5.
Namun, orang tua
pada beberapa wilayah masih menunjukkan kebingungan terhadap perubahan struktur
kurikulum, terutama terkait hilangnya penjurusan pada kelas X
SMA, perubahan istilah seperti “fase belajar”, dan peran asesmen formatif dalam
evaluasi hasil belajar. Ini menandakan pentingnya komunikasi yang lebih terbuka
dan literasi kurikulum di tingkat komunitas pendidikan6.
6.4.
Penguatan Budaya
Sekolah dan Kolaborasi
Kurikulum Merdeka
mendorong tumbuhnya budaya reflektif dan kolaboratif
di sekolah. Praktik refleksi pembelajaran, diskusi rutin antarguru, dan pelibatan
siswa dalam proses belajar menciptakan iklim sekolah yang lebih demokratis dan
partisipatif. Kepala sekolah yang adaptif memfasilitasi proses ini melalui
manajemen berbasis visi pembelajaran, bukan sekadar administratif7.
Namun, keberhasilan
ini belum merata. Sekolah-sekolah di daerah terpencil dengan keterbatasan akses
digital dan minimnya pelatihan menghadapi hambatan yang lebih besar. Pemerataan
infrastruktur dan pendampingan menjadi isu penting dalam meratakan dampak
positif kurikulum ini di seluruh wilayah Indonesia.
Footnotes
[1]
Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Laporan Riset Formatif Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah
Penggerak (Jakarta: PSPK, 2022),
12–14.
[2]
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Evaluasi Kurikulum SMK Pusat Keunggulan Tahun 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2023), 8.
[3]
Litbang Kompas, “Mayoritas Guru Antusias Sambut Kurikulum Merdeka,” Harian Kompas, 15
Desember 2022.
[4]
Triyanto, “Pengembangan Profesionalisme Guru dalam Implementasi
Kurikulum Merdeka,” Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran 29, no. 1 (2023):
67–68.
[5]
Wahyu Setiawan, “Dampak Projek Profil Pelajar Pancasila terhadap
Motivasi Belajar Siswa SMA,” Jurnal
Psikopedagogia 12, no. 2 (2023):
89–91.
[6]
Anisah Marwah, “Persepsi Orang Tua Terhadap Implementasi Kurikulum
Merdeka: Studi Kasus di Kabupaten Sleman,” Jurnal
Ilmu Pendidikan 21, no. 1 (2023):
45–47.
[7]
Ahmad Yani, “Kepemimpinan Pembelajaran Kepala Sekolah dalam Era
Kurikulum Merdeka,” Manajer Pendidikan 16, no. 2 (2023): 123–125.
7.
Tantangan
dan Kendala Implementasi
Meskipun Kurikulum
Merdeka dipandang sebagai langkah reformasi penting dalam sistem pendidikan
nasional, proses implementasinya tidak luput dari berbagai tantangan.
Kompleksitas sistem pendidikan di Indonesia—dengan karakteristik geografis,
sosial, dan ekonomi yang sangat beragam—membuat pelaksanaan kurikulum ini
menghadapi hambatan yang tidak sederhana. Tantangan-tantangan tersebut muncul
dalam berbagai aspek, mulai dari kesiapan sumber daya manusia, sarana
prasarana, hingga resistensi kultural terhadap perubahan.
7.1.
Kesiapan Guru dan
Kepala Sekolah
Salah satu tantangan
utama dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah kesiapan
guru sebagai pelaksana utama kurikulum di ruang kelas. Tidak
semua guru memahami secara utuh konsep baru seperti pembelajaran berbasis
projek, capaian pembelajaran (CP), dan asesmen formatif. Banyak guru juga
merasa kesulitan dalam menyusun modul ajar yang sesuai dengan konteks dan
kebutuhan peserta didik1.
Selain itu, kepemimpinan
kepala sekolah memainkan peran penting dalam mendukung budaya
sekolah yang adaptif dan reflektif. Namun, belum semua kepala sekolah
menunjukkan kompetensi kepemimpinan pembelajaran yang memadai. Dalam banyak
kasus, kepala sekolah lebih fokus pada aspek administratif daripada memfasilitasi
transformasi pedagogis2.
7.2.
Keterbatasan Sarana
dan Prasarana
Implementasi
Kurikulum Merdeka sangat menuntut akses terhadap teknologi, literatur digital,
dan fasilitas pembelajaran yang fleksibel. Namun, di berbagai
daerah, terutama kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal), keterbatasan
infrastruktur masih menjadi masalah akut. Hasil studi oleh Balitbang
Kemendikbud menunjukkan bahwa hanya sekitar 60% sekolah dasar di Indonesia yang
memiliki akses internet yang memadai untuk mengakses Platform Merdeka Mengajar3.
Tidak hanya itu,
kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang bersifat lintas
disiplin dan kontekstual juga membutuhkan ruang belajar non-klasikal,
alat peraga, dan koneksi dengan komunitas lokal. Sayangnya, tidak semua sekolah
memiliki sumber daya tersebut, terutama di wilayah dengan keterbatasan anggaran
dan dukungan eksternal.
7.3.
Resistensi Kultural
terhadap Perubahan
Reformasi kurikulum
tidak hanya menuntut penyesuaian teknis, tetapi juga perubahan
paradigma berpikir di kalangan pendidik dan masyarakat. Tidak
sedikit guru yang masih terbiasa dengan pendekatan satu arah, buku teks sebagai
sumber utama, dan evaluasi berbasis ujian. Perubahan menuju pembelajaran yang
fleksibel, partisipatif, dan kontekstual masih dianggap “tidak biasa” atau
bahkan “mengganggu” rutinitas4.
Hal serupa juga
terjadi di kalangan orang tua siswa. Beberapa dari mereka merasa bingung atau
bahkan ragu dengan sistem pembelajaran tanpa penjurusan di kelas X atau asesmen
formatif yang tidak langsung menghasilkan angka nilai. Hal ini menunjukkan
perlunya peningkatan literasi kurikulum tidak hanya di kalangan guru, tetapi
juga masyarakat luas.
7.4.
Ketimpangan
Kapasitas Antarsatuan Pendidikan
Implementasi
Kurikulum Merdeka menunjukkan gejala kesenjangan antarwilayah dan antarjenis sekolah.
Sekolah-sekolah unggulan di perkotaan yang memiliki akses terhadap pelatihan,
teknologi, dan kolaborasi lintas jaringan tampak lebih siap dibandingkan dengan
sekolah-sekolah di pedesaan atau pinggiran kota. Ketimpangan ini berdampak pada
inkonsistensi mutu implementasi kurikulum5.
Program seperti
Sekolah Penggerak memang menjadi upaya awal untuk mengatasi kesenjangan
tersebut, namun jangkauannya masih terbatas. Perlu strategi yang lebih inklusif
dan afirmatif, terutama bagi sekolah-sekolah dengan indeks kesiapan rendah.
7.5.
Kebutuhan
Pendampingan dan Monitoring Berkelanjutan
Transformasi
kurikulum membutuhkan sistem pendampingan yang terstruktur,
kolaboratif, dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, banyak
guru dan kepala sekolah merasa bahwa pelatihan yang disediakan bersifat satu
arah, terlalu umum, atau tidak sesuai dengan konteks lapangan6.
Monitoring dan evaluasi sejauh ini juga masih bersifat administratif, belum
menyentuh kualitas implementasi secara substansial di ruang-ruang kelas.
Footnotes
[1]
Triyanto, “Kompetensi Guru dalam Implementasi Kurikulum Merdeka: Studi
Empiris di Jawa Tengah,” Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan 12, no. 2 (2022): 45–47.
[2]
Ahmad Yani, “Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah dalam
Implementasi Kurikulum Baru,” Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam 10, no. 1
(2023): 66.
[3]
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Laporan Pemetaan Kesiapan Sekolah dalam Mengakses Platform
Digital Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 21.
[4]
Marlina Sari, “Tantangan Kultural dalam Penerapan Kurikulum Merdeka:
Perspektif Guru Sekolah Dasar,” Jurnal
Ilmu Pendidikan 23, no. 1 (2023):
31.
[5]
Anwar Sadat, “Ketimpangan Implementasi Kurikulum Merdeka antar Wilayah:
Studi Komparatif Perkotaan dan Perdesaan,” Jurnal
Transformasi Pendidikan 5, no. 2
(2023): 101–103.
[6]
Nurul Huda, “Evaluasi Program Pelatihan Kurikulum Merdeka: Sebuah
Analisis Kritis,” Jurnal Evaluasi
Pendidikan 11, no. 1 (2023): 56–57.
8.
Analisis
Perbandingan dengan Kurikulum Sebelumnya
Kurikulum Merdeka
hadir sebagai respons terhadap dinamika global, kebutuhan pendidikan nasional,
dan tantangan dalam implementasi Kurikulum 2013 (K-13). Untuk memahami posisi
strategis Kurikulum Merdeka, penting dilakukan analisis komparatif antara
kurikulum ini dan pendahulunya, terutama dalam aspek pendekatan pembelajaran,
struktur kurikulum, penilaian, serta peran pendidik.
8.1.
Pendekatan dan
Filosofi Pembelajaran
Kurikulum 2013
menekankan pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan ilmiah (scientific
approach), sedangkan Kurikulum Merdeka mengedepankan pendekatan yang lebih
fleksibel dan berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
(student-centered learning)1. Filosofi Kurikulum
Merdeka selaras dengan pendidikan progresif yang mengutamakan otonomi belajar,
kebebasan berpikir, dan pembelajaran kontekstual sesuai kebutuhan dan minat
siswa2.
Perubahan ini
mencerminkan pergeseran dari kurikulum berbasis konten menuju kurikulum
berbasis kompetensi dan karakter. Jika Kurikulum 2013 lebih menekankan pada
pencapaian standar isi dan proses, maka Kurikulum Merdeka lebih fokus pada pengembangan Profil Pelajar Pancasila sebagai tujuan akhir pendidikan3.
8.2.
Struktur dan
Organisasi Kurikulum
Kurikulum 2013
mengatur struktur pembelajaran berdasarkan kelas dan jenjang, dengan alokasi
waktu dan mata pelajaran yang seragam. Sementara itu, Kurikulum Merdeka membagi
jenjang pendidikan ke dalam enam fase pembelajaran (Fase A–F),
dan memberi kebebasan lebih kepada sekolah dalam menyusun jadwal serta
pemilihan perangkat ajar4.
Selain itu,
Kurikulum Merdeka memperkenalkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)
sebagai kegiatan kokurikuler yang bersifat wajib namun fleksibel, sesuatu yang
tidak terdapat dalam Kurikulum 2013. Hal ini memberikan ruang bagi integrasi
pembelajaran lintas disiplin dan penguatan nilai-nilai karakter secara
kontekstual5.
8.3.
Penilaian dan
Asesmen
Sistem asesmen dalam
Kurikulum 2013 lebih terfokus pada penilaian berbasis kompetensi (pengetahuan,
sikap, dan keterampilan), dengan struktur penilaian yang cenderung
administratif dan kuantitatif. Di sisi lain, Kurikulum Merdeka mengutamakan asesmen
formatif dan sumatif yang bersifat fleksibel dan reflektif,
serta bertujuan untuk mendukung proses belajar, bukan sekadar
mengukur hasil6.
Asesmen dalam
Kurikulum Merdeka tidak dibatasi oleh model tertentu, sehingga guru dapat
menggunakan portofolio, observasi, jurnal refleksi, atau projek sebagai bentuk
asesmen alternatif. Ini sejalan dengan pendekatan assessment as learning, yang menempatkan
peserta didik sebagai agen aktif dalam proses evaluasi pembelajarannya7.
8.4.
Peran Guru dan
Otonomi Pembelajaran
Pada Kurikulum 2013,
perangkat ajar (RPP dan silabus) disediakan secara terpusat dan standar,
sedangkan dalam Kurikulum Merdeka, guru diberi kebebasan untuk memilih, memodifikasi, atau
bahkan menyusun sendiri perangkat ajar, baik berupa modul ajar
maupun projek. Ini memberikan ruang teacher agency yang lebih luas,
namun juga menuntut kompetensi profesional dan kemandirian pedagogis yang lebih
tinggi8.
Guru dalam Kurikulum
Merdeka diharapkan menjadi perancang pembelajaran yang responsif terhadap
kebutuhan belajar siswa, bukan sekadar pelaksana instruksi. Hal
ini memperkuat peran guru sebagai pemimpin pembelajaran dan fasilitator proses
pendidikan yang bermakna.
8.5.
Perbandingan
Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka
·
Pendekatan Pembelajaran:
Kurikulum 2013: Menggunakan
pendekatan tematik-integratif dengan scientific approach (mengamati, menanya,
menalar, mencoba, dan mengomunikasikan).
Kurikulum Merdeka:
Mengedepankan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik,
berbasis projek, serta menerapkan strategi diferensiasi sesuai kebutuhan siswa.
·
Struktur Kurikulum:
Kurikulum 2013: Disusun
berdasarkan jenjang kelas dengan struktur yang kaku dan seragam.
Kurikulum Merdeka: Menggunakan
struktur berbasis fase pembelajaran (Fase A–F) yang lebih fleksibel dan
memperhatikan tahapan perkembangan siswa.
·
Sistem Penilaian:
Kurikulum 2013: Menekankan
penilaian kompetensi dalam tiga ranah (sikap, pengetahuan, keterampilan),
dengan sistem dokumentasi administratif yang kompleks.
Kurikulum Merdeka: Menekankan asesmen
formatif dan reflektif sebagai bagian dari proses pembelajaran, bukan
sekadar pengukuran hasil akhir.
·
Perangkat Ajar:
Kurikulum 2013: Perangkat
ajar disediakan oleh pemerintah secara terpusat (RPP, silabus).
Kurikulum Merdeka: Guru
memiliki kebebasan tinggi untuk memilih, memodifikasi, atau membuat perangkat
ajar sendiri (modul ajar, projek, asesmen) sesuai konteks dan kebutuhan.
·
Penguatan Karakter:
Kurikulum 2013: Belum
memiliki program khusus untuk pembentukan karakter yang terintegrasi.
Kurikulum Merdeka: Memiliki Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sebagai program wajib yang
menanamkan nilai-nilai karakter melalui tema kontekstual dan lintas disiplin.
Footnotes
[1]
Ahmad Susanto, Pengembangan Kurikulum:
Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana,
2017), 156.
[2]
John Dewey, Experience and
Education (New York: Macmillan,
1938), 65.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 4–6.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18–20.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–7.
[6]
Wibowo Setiadi, “Redesain Sistem Asesmen dalam Kurikulum Merdeka:
Antara Peluang dan Tantangan,” Jurnal
Evaluasi Pendidikan 12, no. 1 (2023):
34–35.
[7]
Lorna Earl, Assessment as Learning:
Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2013), 5–6.
[8]
Pak Tee Ng, “Teacher Agency and Professionalism: Between the Need for
Reform and the Fear of Accountability,” Educational
Research for Policy and Practice 14,
no. 2 (2015): 171.
9.
Prospek
dan Rekomendasi
Kurikulum Merdeka
merupakan titik awal dari transformasi pendidikan jangka panjang
di Indonesia yang berpijak pada penguatan karakter, pengembangan kompetensi
abad ke-21, dan fleksibilitas dalam pembelajaran. Meskipun implementasinya
masih dalam proses adaptasi dan evaluasi, prospek kurikulum ini dinilai
menjanjikan, terutama dalam menyiapkan peserta didik menghadapi dunia yang
dinamis dan disruptif. Namun, untuk mencapai tujuan ideal tersebut, dibutuhkan
strategi penguatan yang sistematis dan berbasis bukti (evidence-based policy).
9.1.
Prospek Kurikulum
Merdeka ke Depan
·
Transformasi
Budaya Belajar:
Kurikulum Merdeka membuka peluang bagi lahirnya
budaya belajar baru yang lebih partisipatif, kolaboratif, dan reflektif. Dengan
pendekatan berbasis projek dan diferensiasi, peserta didik memiliki ruang untuk
mengembangkan kemampuan metakognitif, empati, dan
kemandirian, yang sebelumnya kurang tereksplorasi dalam
kurikulum nasional1.
·
Penguatan
Ekosistem Digital Pendidikan:
Keberadaan Platform Merdeka
Mengajar (PMM), komunitas belajar daring, dan sumber daya
digital menjadi fondasi kuat dalam membangun sistem pendidikan yang adaptif
terhadap era digital. Jika dikelola secara berkelanjutan, ekosistem ini dapat
mendorong pertumbuhan profesionalisme guru serta pemerataan akses terhadap
pembelajaran bermutu2.
·
Kesiapan
terhadap Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0:
Melalui integrasi karakter dan kompetensi abad
ke-21, Kurikulum Merdeka turut mempersiapkan peserta didik menjadi warga dunia
yang cakap berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, serta literat terhadap
teknologi dan data. Ini sejalan dengan agenda global UNESCO dalam mempersiapkan
generasi pembelajar seumur hidup (lifelong learners)3.
9.2.
Rekomendasi
Strategis untuk Pemerintah dan Pemangku Kepentingan
Untuk memastikan
keberhasilan Kurikulum Merdeka dalam jangka panjang, berikut beberapa
rekomendasi yang perlu dipertimbangkan:
9.2.1.
Penguatan
Kapasitas Guru dan Kepala Sekolah secara Berkelanjutan
Pelatihan guru tidak
cukup dilakukan satu kali, tetapi harus melalui pendekatan pendampingan
berkelanjutan (continuous mentoring). Model pelatihan berbasis
praktik, reflektif, dan kolaboratif perlu diperluas, misalnya melalui lesson
study, coaching and mentoring, serta komunitas praktik profesional4.
9.2.2.
Perluasan
dan Pemerataan Infrastruktur Pendidikan
Pemerintah pusat dan
daerah perlu bersinergi dalam meningkatkan akses internet, perangkat TIK, serta
ruang pembelajaran yang mendukung kegiatan berbasis projek. Hal ini penting
untuk menghindari terjadinya kesenjangan digital
antarwilayah dan antarjenis sekolah5.
9.2.3.
Peningkatan
Literasi Kurikulum bagi Pemangku Kepentingan
Tidak hanya guru, orang
tua, pengawas, dan masyarakat juga perlu diberi pemahaman
mendalam mengenai filosofi dan tujuan Kurikulum Merdeka. Literasi kurikulum ini
dapat dibangun melalui program sosialisasi, forum diskusi publik, dan pelibatan
orang tua dalam kegiatan sekolah6.
9.2.4.
Penguatan
Sistem Monitoring dan Evaluasi yang Inklusif
Evaluasi kurikulum
harus mengacu pada indikator proses dan dampak, tidak sekadar administratif.
Perlu pendekatan evaluasi partisipatif yang
melibatkan guru, siswa, dan komunitas pendidikan untuk mendapatkan umpan balik
otentik terkait kualitas implementasi kurikulum di lapangan7.
9.2.5.
Pelembagaan
Kurikulum sebagai Gerakan Nasional
Kurikulum Merdeka
sebaiknya tidak hanya diposisikan sebagai kebijakan sektoral Kemendikbudristek,
tetapi menjadi bagian dari agenda besar pembangunan nasional.
Hal ini sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
yang menekankan pembangunan manusia unggul dan berkarakter8.
Footnotes
[1]
Ahmad Susanto, Pengembangan Kurikulum:
Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana,
2017), 164.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Platform Merdeka Mengajar: Panduan untuk Pendidik dan Kepala
Sekolah (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 8–10.
[3]
UNESCO, Education for
Sustainable Development: Learning Objectives (Paris: UNESCO, 2017), 23.
[4]
Nurul Huda, “Model Pendampingan Berkelanjutan dalam Implementasi
Kurikulum Baru,” Jurnal Inovasi
Pendidikan 14, no. 2 (2023): 93–94.
[5]
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Peta Digitalisasi Sekolah Indonesia (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 19.
[6]
Marwah Anisah, “Peran Literasi Kurikulum bagi Orang Tua dalam
Pendidikan Abad ke-21,” Jurnal Ilmu Pendidikan 21, no. 2 (2023): 112.
[7]
Triyanto, “Evaluasi Partisipatif sebagai Alat Perbaikan Implementasi
Kurikulum Merdeka,” Jurnal Evaluasi
Pendidikan 12, no. 1 (2023): 60.
[8]
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Rancangan RPJPN 2025–2045: Indonesia Emas (Jakarta: Bappenas, 2023), 131–132.
10. Penutup
Kurikulum Merdeka
merupakan manifestasi dari visi transformasi pendidikan nasional menuju sistem
pembelajaran yang lebih humanistik, adaptif, dan berorientasi pada penguatan
karakter serta kompetensi abad ke-21. Dalam konteks perubahan global yang
ditandai oleh disrupsi teknologi, krisis ekologi, dan kompleksitas
sosial-budaya, pendidikan Indonesia dituntut untuk menyiapkan peserta didik
sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang tangguh dan
bernalar kritis1.
Berbeda dengan
kurikulum sebelumnya yang cenderung kaku dan terstandar, Kurikulum Merdeka
menekankan pada prinsip fleksibilitas, otonomi, serta pembelajaran yang
diferensiatif dan bermakna. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peserta didik
untuk berkembang sesuai minat, bakat, dan ritme belajar mereka, sekaligus
memberikan kesempatan bagi guru untuk menjadi desainer pembelajaran yang
kreatif dan kontekstual2.
Namun, pelaksanaan
Kurikulum Merdeka tidak lepas dari berbagai tantangan, baik dari sisi kesiapan
guru dan kepala sekolah, keterbatasan infrastruktur, hingga ketimpangan
kapasitas antarwilayah. Oleh karena itu, keberhasilan kurikulum ini sangat
bergantung pada konsistensi dukungan kebijakan, komitmen pemangku kepentingan,
serta partisipasi aktif masyarakat dalam membangun ekosistem pendidikan yang
kolaboratif dan inklusif3.
Meskipun masih
berada pada fase awal implementasi, Kurikulum Merdeka menyimpan potensi besar
untuk menjadi platform pembelajaran nasional yang relevan
dengan kebutuhan zaman, selama ia terus dievaluasi secara
reflektif, dikembangkan berbasis bukti, dan dilaksanakan dengan pendekatan
partisipatif. Sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO, masa depan pendidikan adalah
masa depan kolektif yang harus dibangun melalui sinergi antara kebijakan,
praktik, dan komunitas belajar4.
Dengan demikian,
Kurikulum Merdeka bukan sekadar perangkat teknis pendidikan, melainkan sebuah visi
kebudayaan pendidikan Indonesia yang bertujuan mencetak
generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki
integritas moral, kepekaan sosial, dan kapasitas untuk menjadi agen perubahan dalam
masyarakat. Keberhasilan kurikulum ini akan menjadi cermin dari keberhasilan
bangsa dalam menyiapkan masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berdaya
saing global.
Footnotes
[1]
OECD, The Future of Education
and Skills 2030: OECD Learning Compass 2030 (Paris: OECD Publishing, 2019), 9.
[2]
Ahmad Susanto, Pengembangan Kurikulum:
Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana,
2017), 175–176.
[3]
Nurul Huda, “Kesiapan Implementasi Kurikulum Merdeka dalam Perspektif
Manajemen Pendidikan,” Jurnal Administrasi
Pendidikan 17, no. 2 (2023): 101.
[4]
UNESCO, Reimagining Our Futures
Together: A New Social Contract for Education (Paris: UNESCO, 2021), 23.
Daftar Pustaka
Ahmad Susanto. (2017). Pengembangan kurikulum:
Teori dan praktik. Kencana.
Anisah, M. (2023). Persepsi orang tua terhadap
implementasi Kurikulum Merdeka: Studi kasus di Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu
Pendidikan, 21(1), 45–47.
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan.
(2022). Laporan pemetaan kesiapan sekolah dalam mengakses platform digital
pendidikan. Kemendikbudristek.
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan.
(2022). Peta digitalisasi sekolah Indonesia. Kemendikbudristek.
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan.
(2022). Keputusan Kepala BSKAP No. 033/H/KR/2022 tentang Capaian
Pembelajaran. Kemendikbudristek.
Dewey, J. (1938). Experience and education.
Macmillan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. (2022). Evaluasi
kurikulum SMK Pusat Keunggulan tahun 2022. Kemendikbudristek.
Earl, L. M. (2013). Assessment as learning:
Using classroom assessment to maximize student learning. Corwin Press.
Huda, N. (2023). Evaluasi program pelatihan
Kurikulum Merdeka: Sebuah analisis kritis. Jurnal Evaluasi Pendidikan, 11(1),
56–57.
Huda, N. (2023). Kesiapan implementasi Kurikulum
Merdeka dalam perspektif manajemen pendidikan. Jurnal Administrasi
Pendidikan, 17(2), 101–104.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2021). Profil pelajar Pancasila. Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022a). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka.
Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022b). Struktur kurikulum Sekolah Menengah Atas dalam Kurikulum
Merdeka. Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022c). Platform Merdeka Mengajar: Panduan penggunaan untuk guru
dan kepala sekolah. Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022d). Modul proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022e). Panduan komunitas belajar: Menumbuhkan budaya refleksi
dan kolaborasi. Kemendikbudristek.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
(2023). Rancangan RPJPN 2025–2045: Indonesia emas. Bappenas.
Litbang Kompas. (2022, Desember 15). Mayoritas guru
antusias sambut Kurikulum Merdeka. Harian Kompas.
Marlina, S. (2023). Tantangan kultural dalam
penerapan Kurikulum Merdeka: Perspektif guru sekolah dasar. Jurnal Ilmu
Pendidikan, 23(1), 31–33.
Ng, P. T. (2015). Teacher agency and
professionalism: Between the need for reform and the fear of accountability. Educational
Research for Policy and Practice, 14(2), 167–179. https://doi.org/10.1007/s10671-015-9179-8
OECD. (2019). The future of education and skills
2030: OECD learning compass 2030. OECD Publishing.
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sekretariat Negara.
Sari, W. (2022). Fleksibilitas waktu pembelajaran
dalam Kurikulum Merdeka: Studi implementasi di sekolah penggerak. Jurnal
Inovasi Kurikulum, 19(3), 310–312.
Setiawan, W. (2023). Dampak projek Profil Pelajar
Pancasila terhadap motivasi belajar siswa SMA. Jurnal Psikopedagogia, 12(2),
89–91.
Setiadi, W. (2023). Redesain sistem asesmen dalam
Kurikulum Merdeka: Antara peluang dan tantangan. Jurnal Evaluasi Pendidikan,
12(1), 34–35.
Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated
classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.
Tomlinson, C. A. (2017). How to differentiate
instruction in academically diverse classrooms (3rd ed.). ASCD.
Triyanto. (2022). Kompetensi guru dalam implementasi
Kurikulum Merdeka: Studi empiris di Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, 12(2), 45–47.
Triyanto. (2023). Evaluasi partisipatif sebagai
alat perbaikan implementasi Kurikulum Merdeka. Jurnal Evaluasi Pendidikan,
12(1), 60.
UNESCO. (2017). Education for sustainable
development: Learning objectives. UNESCO Publishing.
UNESCO. (2021). Reimagining our futures
together: A new social contract for education. UNESCO Publishing.
Wahyuni, S. (2022). Fleksibilitas waktu
pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka: Studi implementasi di sekolah penggerak. Jurnal
Inovasi Kurikulum, 19(3), 310–313.
Wiliam, D. (2011). Embedded formative assessment.
Solution Tree Press.
Yani, A. (2023). Kepemimpinan transformasional
kepala sekolah dalam implementasi kurikulum baru. Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam, 10(1), 66–69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar