Senin, 07 April 2025

Kurikulum Merdeka: Konsep, Implementasi, dan Tantangan dalam Transformasi Pendidikan Indonesia

Kurikulum Merdeka

Konsep, Implementasi, dan Tantangan dalam Transformasi Pendidikan Indonesia


Alihkan ke: Komponen Mata Pelajaran Kurikulum Merdeka Jenjang SLTA.

Deep Learning dalam TeknologiDeep Learning dalam PendidikanDeep Learning dalam Kurikulum Merdeka.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai Kurikulum Merdeka 2022 sebagai upaya transformasi pendidikan di Indonesia yang menekankan pembelajaran yang fleksibel, kontekstual, dan berpusat pada peserta didik. Melalui pendekatan berbasis projek, diferensiasi, serta penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila, Kurikulum Merdeka hadir untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21 dan merespons krisis pembelajaran pasca pandemi COVID-19. Artikel ini menguraikan landasan yuridis kurikulum, konsep filosofisnya, struktur dan strategi implementasi, serta tanggapan dan dampak yang ditimbulkan dari penerapannya di lapangan. Selain itu, artikel ini menyajikan perbandingan antara Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013, serta menyoroti tantangan implementatif yang dihadapi oleh guru, sekolah, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan pendekatan analisis kualitatif deskriptif berbasis sumber ilmiah dan regulatif, tulisan ini diakhiri dengan prospek dan rekomendasi kebijakan strategis guna memastikan keberhasilan Kurikulum Merdeka dalam jangka panjang. Temuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa keberhasilan Kurikulum Merdeka sangat ditentukan oleh kualitas pelatihan guru, dukungan infrastruktur, serta komitmen kolektif dalam membangun budaya belajar yang transformatif.

Kata Kunci: Kurikulum Merdeka, pendidikan Indonesia, Profil Pelajar Pancasila, pembelajaran berbasis projek, transformasi pendidikan, guru, asesmen formatif, kebijakan kurikulum.


PEMBAHASAN

Kurikulum Merdeka Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membentuk sumber daya manusia yang unggul, adaptif, dan siap menghadapi tantangan global abad ke-21. Di Indonesia, sistem pendidikan nasional terus mengalami dinamika, salah satunya melalui pembaruan kurikulum sebagai bentuk respons terhadap perubahan zaman. Salah satu transformasi signifikan adalah lahirnya Kurikulum Merdeka yang mulai diperkenalkan secara terbatas pada tahun 2021 dan kemudian diimplementasikan secara lebih luas pada tahun 2022.

Latar belakang lahirnya Kurikulum Merdeka tidak terlepas dari kebutuhan akan pembelajaran yang lebih fleksibel, humanis, dan kontekstual, terutama sebagai respons terhadap dampak pandemi COVID-19 yang mengubah wajah pendidikan secara drastis. Pembelajaran daring yang bersifat darurat telah mengungkap kelemahan dari pendekatan kurikulum sebelumnya, seperti beban materi yang terlalu padat, pendekatan pembelajaran yang seragam, dan rendahnya otonomi guru dalam merancang pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk merumuskan pendekatan kurikulum yang baru dan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal serta perkembangan global1.

Kurikulum Merdeka dirancang dengan menekankan pada tiga pilar utama: pembelajaran berbasis projek, fleksibilitas struktur kurikulum, dan penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila. Kurikulum ini merupakan bagian dari inisiatif kebijakan “Merdeka Belajar” yang dicanangkan oleh Menteri Nadiem Anwar Makarim sejak awal masa jabatannya. Dalam konteks ini, Kurikulum Merdeka tidak hanya menjadi produk teknokratis, tetapi juga cerminan dari paradigma baru dalam pendidikan Indonesia yang menekankan kemerdekaan berpikir, keberagaman, dan pembelajaran sepanjang hayat2.

Secara filosofis, Kurikulum Merdeka mengadopsi pendekatan student-centered learning yang menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pendidikan. Kurikulum ini memberikan ruang bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat, bakat, dan ritme perkembangan mereka, sejalan dengan teori perkembangan belajar dari tokoh-tokoh seperti Vygotsky dan Piaget3. Selain itu, aspek pembelajaran berbasis kompetensi dan karakter juga mencerminkan pengaruh pendekatan pendidikan progresif seperti yang dikembangkan oleh John Dewey, yang menekankan pentingnya pengalaman nyata dan konteks sosial dalam proses belajar4.

Dalam tulisan ini, akan dibahas secara menyeluruh konsep dasar, regulasi, dan filosofi Kurikulum Merdeka; implementasi dan strategi penerapannya di lapangan; serta tantangan yang dihadapi dalam proses transformasi ini. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang arah baru pendidikan Indonesia dalam rangka menciptakan generasi yang unggul, adaptif, dan berdaya saing global.


Footnotes

[1]                Muhadjir Effendy, Pandemi dan Pendidikan: Merancang Ulang Masa Depan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2021), 58.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7.

[3]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86; Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (London: Routledge, 2001), 103.

[4]                John Dewey, Experience and Education (New York: Collier Books, 1938), 33.


2.           Landasan Yuridis Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka sebagai kebijakan pendidikan nasional tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berlandaskan pada sejumlah regulasi dan kerangka hukum yang sah. Dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, setiap kebijakan pendidikan harus memiliki dasar yuridis yang kuat agar pelaksanaannya memiliki legitimasi serta kepastian hukum.

Secara umum, dasar hukum penyelenggaraan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 36 UU Sisdiknas menyatakan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik1. Ketentuan ini memberikan ruang legal bagi pengembangan kurikulum yang adaptif dan kontekstual seperti Kurikulum Merdeka.

Secara khusus, peluncuran Kurikulum Merdeka memperoleh legitimasi formal melalui sejumlah regulasi teknis dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Beberapa regulasi penting antara lain:

·                     Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 5 Tahun 2022 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang menjadi acuan dasar capaian pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan2.

·                     Permendikbudristek No. 7 Tahun 2022 tentang Struktur Kurikulum pada Jenjang Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah, yang memuat ketentuan teknis mengenai jumlah jam pelajaran, pengorganisasian mata pelajaran, serta keberadaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)3.

·                     Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) No. 033/H/KR/2022 yang berisi Capaian Pembelajaran untuk setiap fase pendidikan, sebagai pengganti Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum 20134.

Selain itu, Kurikulum Merdeka juga merupakan bagian dari kebijakan nasional bertajuk Merdeka Belajar yang dimulai sejak tahun 2019. Inisiatif ini tertuang dalam berbagai “Episode Merdeka Belajar”, khususnya Episode 15 yang secara eksplisit memperkenalkan opsi penggunaan Kurikulum Merdeka sebagai salah satu alternatif kurikulum transformatif pasca pandemi COVID-195.

Lebih jauh, pengembangan Kurikulum Merdeka juga sejalan dengan arah pembangunan pendidikan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, yang menekankan pada peningkatan kualitas pendidikan melalui transformasi pembelajaran dan penguatan kompetensi abad ke-216. Kesesuaian ini menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka bukan hanya sebuah inisiatif sektoral dari Kemendikbudristek, tetapi merupakan bagian dari strategi nasional pembangunan sumber daya manusia Indonesia.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka memiliki dasar hukum yang kokoh dan komprehensif, baik dari sisi peraturan perundang-undangan nasional maupun kebijakan internal kementerian terkait. Ini menjadi landasan penting dalam menjamin kontinuitas, keberlanjutan, serta legitimasi implementasi kurikulum ini di seluruh satuan pendidikan di Indonesia.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sekretariat Negara, 2003), pasal 36 ayat 2.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Permendikbudristek No. 5 Tahun 2022 tentang Standar Kompetensi Lulusan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 3–4.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Permendikbudristek No. 7 Tahun 2022 tentang Struktur Kurikulum (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–7.

[4]                Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Keputusan Kepala BSKAP No. 033/H/KR/2022 tentang Capaian Pembelajaran (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 2.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, “Merdeka Belajar Episode 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar,” 2022, https://kurikulum.kemdikbud.go.id/.

[6]                Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 233.


3.           Konsep Dasar dan Filosofi Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka dirancang sebagai respon terhadap kebutuhan mendesak akan reformasi pendidikan yang lebih kontekstual, humanis, dan berpijak pada realitas pembelajaran di lapangan. Konsep utamanya berakar pada prinsip bahwa peserta didik adalah subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan sekadar objek yang harus menerima materi secara pasif. Kurikulum ini mencoba menggeser paradigma pembelajaran dari yang bersifat teacher-centered menjadi student-centered, dengan menekankan pada pembelajaran yang bermakna, reflektif, dan kolaboratif1.

Secara umum, Kurikulum Merdeka bertumpu pada tiga prinsip utama:

1)                  Pembelajaran berbasis projek,

2)                  Fleksibilitas dalam pengaturan kurikulum, dan

3)                  Fokus pada penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila2.

3.1.       Pembelajaran Berbasis Projek

Salah satu pembaruan fundamental dalam Kurikulum Merdeka adalah penerapan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Melalui projek ini, peserta didik tidak hanya diajak memahami teori, tetapi juga mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, seperti gotong royong, kebhinnekaan global, dan kemandirian. Pendekatan ini merepresentasikan konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky, di mana proses belajar terjadi melalui interaksi sosial dan pengalaman nyata dalam konteks budaya tertentu3.

3.2.       Fleksibilitas Kurikulum

Kurikulum Merdeka memberikan ruang yang lebih besar bagi satuan pendidikan dan guru untuk menyesuaikan isi dan metode pembelajaran sesuai dengan konteks lokal, kebutuhan siswa, dan ketersediaan sumber daya. Fleksibilitas ini terlihat pada struktur kurikulum yang tidak lagi kaku, seperti pengurangan jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran yang dapat diatur berdasarkan fase belajar siswa. Hal ini mengacu pada prinsip diferensiasi dalam pembelajaran, yang selama ini telah diadvokasi dalam berbagai literatur pedagogi modern sebagai strategi penting dalam memenuhi kebutuhan belajar individual4.

3.3.       Penguatan Karakter melalui Profil Pelajar Pancasila

Filosofi utama dari Kurikulum Merdeka adalah pembangunan karakter yang holistik. Dalam hal ini, Kurikulum Merdeka menjadikan Profil Pelajar Pancasila sebagai arah dan tujuan jangka panjang dari pendidikan nasional. Enam dimensi utama dalam profil ini — yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif — merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur bangsa yang diselaraskan dengan tuntutan abad ke-215.

Pendekatan ini tidak terlepas dari gagasan pendidikan karakter integral, yang menekankan pentingnya mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Gagasan ini sejalan dengan teori pendidikan holistik seperti yang dikembangkan oleh Ron Miller dan Jack Miller, yang menyatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga membentuk kesadaran dan integritas moral6.


3.4.       Filosofi Kurikulum Merdeka

Filosofi pendidikan yang mendasari Kurikulum Merdeka berpijak pada semangat kemerdekaan dalam belajar, yaitu memberi ruang bagi peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berpikir bebas, bertanggung jawab, dan berkontribusi bagi masyarakat. Hal ini berakar dari pemikiran progresivisme pendidikan seperti yang dikembangkan oleh John Dewey, yang menganggap pendidikan sebagai proses sosial yang hidup dan terus berkembang seiring pengalaman7. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna hanya dapat terjadi ketika peserta didik terlibat secara aktif dalam proses belajar, dan bukan sekadar menerima instruksi dari luar.

Lebih lanjut, Kurikulum Merdeka tidak memisahkan antara pengetahuan akademik dengan nilai-nilai kehidupan. Tujuan akhirnya bukan hanya mencetak lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, spiritualitas yang kuat, serta keterampilan abad ke-21 seperti kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah kompleks.

Dengan demikian, Kurikulum Merdeka menandai pergeseran penting dalam filosofi pendidikan nasional dari pendekatan strukturalistik dan berbasis konten menuju pendekatan yang lebih humanistik, transformatif, dan berorientasi pada peserta didik.


Footnotes

[1]                Ahmad Rifa'i, Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia: Antara Wacana dan Implementasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), 74–75.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku Saku Kurikulum Merdeka: Untuk Guru dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10.

[3]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86.

[4]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 12–14.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 6.

[6]                Jack Miller, The Holistic Curriculum (Toronto: University of Toronto Press, 2007), 23.

[7]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 39.


4.           Struktur Kurikulum Merdeka

Struktur Kurikulum Merdeka dirancang untuk memberikan ruang fleksibilitas dalam pembelajaran, sekaligus memastikan ketercapaian kompetensi dasar yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam perancangannya, kurikulum ini mengelompokkan jenjang pendidikan ke dalam enam fase belajar yang bersifat lintas kelas, yakni Fase A hingga Fase F. Setiap fase merepresentasikan tahapan perkembangan kognitif dan sosial peserta didik, serta menjadi acuan dalam penyusunan capaian pembelajaran (CP) pada tiap mata pelajaran1.

4.1.       Fase Pembelajaran dan Jenjang Pendidikan

Kurikulum Merdeka membagi jenjang pendidikan sebagai berikut:

·                     Fase A: Kelas 1–2 SD/MI

·                     Fase B: Kelas 3–4 SD/MI

·                     Fase C: Kelas 5–6 SD/MI

·                     Fase D: Kelas 7–9 SMP/MTs

·                     Fase E: Kelas 10 SMA/MA/SMK

·                     Fase F: Kelas 11–12 SMA/MA/SMK

Pendekatan berbasis fase ini memungkinkan satuan pendidikan menyusun pembelajaran secara lebih menyeluruh dan berkesinambungan, serta memberikan ruang bagi peserta didik untuk belajar sesuai tahap perkembangannya, tanpa terikat secara kaku pada batasan kelas tahunan seperti pada kurikulum sebelumnya2.

4.2.       Komponen Struktur Kurikulum

Struktur Kurikulum Merdeka terdiri atas dua komponen utama, yakni:

1)                  Intrakurikuler (mata pelajaran inti)

2)                  Kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Komponen intrakurikuler mencakup mata pelajaran yang disusun dengan pendekatan capaian pembelajaran (CP), bukan lagi berdasarkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) sebagaimana pada Kurikulum 2013. CP dirumuskan berdasarkan hasil analisis berbagai standar internasional serta penyesuaian dengan konteks nasional dan kebutuhan abad ke-213.

Sementara itu, P5 merupakan kegiatan kokurikuler yang wajib dilaksanakan oleh satuan pendidikan sebagai bagian dari pembentukan karakter peserta didik. Projek ini tidak terikat oleh struktur mata pelajaran tertentu dan dapat mengintegrasikan tema lintas disiplin seperti kewirausahaan, perubahan iklim, gaya hidup berkelanjutan, dan kebhinekaan global4.

4.3.       Fleksibilitas Jumlah dan Jadwal Mata Pelajaran

Salah satu karakteristik Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitas dalam alokasi waktu pembelajaran. Tidak seperti Kurikulum 2013 yang menetapkan jam pelajaran mingguan yang kaku, Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur alokasi waktu secara fleksibel dalam satu tahun ajaran. Misalnya, sekolah dapat mengatur P5 dalam bentuk bloking (misalnya satu bulan penuh) atau dispersi (disisipkan setiap minggu), sesuai dengan kesiapan satuan pendidikan dan kebutuhan peserta didik5.

4.4.       Struktur Khusus untuk Kelas X SMA/MA

Pada jenjang SMA, kelas X di Kurikulum Merdeka bersifat eksploratif, di mana peserta didik belum memilih jurusan (seperti IPA, IPS, atau Bahasa) seperti pada kurikulum sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki kesempatan mengenali minat, potensi, dan bakat sebelum mendalami kelompok mata pelajaran tertentu pada kelas XI dan XII6. Adapun mata pelajaran seperti Informatika, Prakarya, dan Bahasa Daerah dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik sekolah.

4.5.       Struktur Khusus untuk SMK

Pada jenjang SMK, Kurikulum Merdeka menekankan link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Struktur kurikulum di SMK terbagi atas mata pelajaran umum dan kejuruan, dengan komposisi yang memungkinkan lebih banyak waktu untuk praktik industri. Bahkan, pada beberapa program keahlian, pembelajaran di industri bisa mencapai 50% dari total jam belajar, sesuai dengan prinsip pembelajaran berbasis dunia kerja7.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18.

[2]                Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Keputusan Kepala BSKAP No. 033/H/KR/2022 tentang Capaian Pembelajaran (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 3.

[3]                Muhamad Ali, “Perbandingan Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka dengan Kompetensi Dasar Kurikulum 2013,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 12, no. 2 (2022): 115.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6.

[5]                Sri Wahyuni, “Fleksibilitas Waktu Pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka: Studi Implementasi di Sekolah Penggerak,” Jurnal Inovasi Kurikulum 19, no. 3 (2022): 310.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 4.

[7]                Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kurikulum SMK Pusat Keunggulan Tahun 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12.


5.           Implementasi dan Strategi Penerapan

Implementasi Kurikulum Merdeka di Indonesia merupakan langkah transformatif yang membutuhkan kesiapan ekosistem pendidikan secara menyeluruh, termasuk guru, kepala sekolah, peserta didik, dan kebijakan pendukung. Dalam konteks ini, strategi penerapan Kurikulum Merdeka tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga pedagogis, kultural, dan teknologis. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengadopsi pendekatan bertahap dan berbasis pilihan, guna memberi ruang adaptasi kepada satuan pendidikan.

5.1.       Model Bertahap dan Opsi Implementasi

Implementasi Kurikulum Merdeka diawali pada tahun 2021 melalui Program Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan, kemudian diperluas pada tahun 2022 ke sekolah-sekolah yang memilih secara sukarela untuk mengadopsi kurikulum ini. Terdapat tiga opsi yang disediakan Kemendikbudristek, yakni:

1)                  Menerapkan Kurikulum Merdeka secara menyeluruh,

2)                  Menerapkan sebagian komponen, atau

3)                  Tetap menggunakan Kurikulum 20131.

Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas pemerintah dalam mendorong reformasi pendidikan, sekaligus memperhatikan tingkat kesiapan satuan pendidikan yang berbeda-beda. Sebagai bentuk dukungan, Kemendikbudristek menyediakan berbagai panduan teknis, pelatihan, serta platform pembelajaran digital.

5.2.       Peran Guru, Kepala Sekolah, dan Komunitas Belajar

Keberhasilan implementasi Kurikulum Merdeka sangat ditentukan oleh kesiapan dan peran aktif guru serta kepala sekolah. Guru tidak lagi diposisikan sebagai pelaksana kurikulum secara mekanis, melainkan sebagai perancang dan fasilitator pembelajaran yang kontekstual dan berpusat pada peserta didik2. Dalam kerangka ini, pelatihan profesional menjadi kunci.

Kemendikbudristek memperkenalkan konsep Komunitas Belajar, yakni forum kolaboratif antarguru dalam satuan pendidikan maupun lintas sekolah, yang bertujuan meningkatkan kompetensi pedagogis dan berbagi praktik baik dalam menerapkan Kurikulum Merdeka3.

5.3.       Platform Merdeka Mengajar (PMM)

Sebagai bagian dari strategi digitalisasi pendidikan, pemerintah meluncurkan Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang menjadi pusat sumber daya daring bagi guru. Platform ini menyediakan:

·                     Video pelatihan mandiri,

·                     Perangkat ajar seperti modul ajar dan asesmen,

·                     Fitur refleksi dan komunitas guru4.

PMM memperkuat prinsip teacher agency, yakni kemandirian guru dalam memilih, mengadaptasi, dan menerapkan perangkat ajar yang sesuai dengan konteks lokal dan karakteristik siswa5.

5.4.       Asesmen Formatif dan Sumatif dalam Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka mendorong praktik asesmen yang bersifat formatif sebagai bagian integral dari pembelajaran. Asesmen tidak lagi berfokus pada penilaian hasil akhir (summatif) semata, tetapi digunakan untuk memantau proses belajar dan memberikan umpan balik yang konstruktif. Pendekatan ini selaras dengan prinsip assessment for learning yang banyak diadopsi dalam praktik pendidikan modern6.

Guru diberikan keleluasaan dalam merancang instrumen asesmen yang beragam, seperti observasi, portofolio, jurnal refleksi, dan tes kinerja. Tujuan akhirnya bukan hanya menilai capaian kognitif, tetapi juga perkembangan karakter, keterampilan sosial, dan kreativitas siswa.

5.5.       Pendekatan Diferensiasi dan Pembelajaran Inklusif

Dalam praktik pembelajaran, Kurikulum Merdeka mengedepankan strategi diferensiasi, yakni upaya menyesuaikan pembelajaran dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik. Ini menjadi fondasi dalam membangun pendidikan yang adil dan inklusif, terutama bagi siswa dengan latar belakang yang beragam7. Guru didorong untuk menerapkan pendekatan yang adaptif, baik dalam penyampaian materi, pemberian tugas, maupun dalam merancang lingkungan belajar.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–7.

[2]                Linda B. Darling-Hammond et al., Powerful Teaching and Learning: What We Know About Teaching for Understanding (San Francisco: Jossey-Bass, 2008), 29.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Komunitas Belajar: Menumbuhkan Budaya Refleksi dan Kolaborasi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 2.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Platform Merdeka Mengajar: Panduan Penggunaan untuk Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10.

[5]                Pak Tee Ng, “Teacher Agency and Professionalism: Between the Need for Reform and the Fear of Accountability,” Educational Research for Policy and Practice 14, no. 2 (2015): 167.

[6]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2011), 41–44.

[7]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 20.


6.           Dampak dan Respon terhadap Kurikulum Merdeka

Sejak diterapkan secara bertahap mulai tahun 2021 dan diperluas pada tahun 2022, Kurikulum Merdeka telah memberikan berbagai dampak nyata dalam praktik pendidikan di Indonesia. Respon terhadap kurikulum ini bervariasi, baik dari pihak sekolah, guru, peserta didik, hingga para pemerhati dan peneliti pendidikan. Di satu sisi, banyak pihak melihat Kurikulum Merdeka sebagai langkah progresif dalam menciptakan pembelajaran yang lebih relevan dan kontekstual. Namun di sisi lain, terdapat juga kekhawatiran terkait kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur pendidikan.

6.1.       Dampak Positif di Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan

Berdasarkan laporan awal dari Kemendikbudristek dan hasil kajian lembaga independen seperti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka menunjukkan peningkatan dalam inovasi pembelajaran, partisipasi siswa, dan penguatan karakter. Guru-guru di sekolah penggerak melaporkan bahwa pembelajaran berbasis projek (P5) membantu siswa membangun keterampilan abad ke-21 seperti kolaborasi, empati, dan pemecahan masalah1.

Di SMK, pelaksanaan kurikulum yang lebih terintegrasi dengan dunia kerja juga membawa dampak positif dalam meningkatkan kesiapan kerja lulusan dan kualitas praktik industri. Kolaborasi dengan mitra dunia usaha dan dunia industri (DUDI) semakin diperkuat, sejalan dengan prinsip link and match dalam pendidikan vokasi2.

6.2.       Respon Guru: Antusias, tapi Beragam

Guru menjadi elemen kunci dalam keberhasilan implementasi Kurikulum Merdeka. Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada akhir 2022 menunjukkan bahwa mayoritas guru menyambut baik fleksibilitas dan pendekatan diferensiasi dalam kurikulum baru ini, terutama dalam hal kebebasan memilih dan mengembangkan perangkat ajar3. Namun demikian, sejumlah guru juga menyampaikan tantangan dalam memahami capaian pembelajaran, merancang projek P5, serta memanfaatkan Platform Merdeka Mengajar secara optimal.

Kesenjangan pemahaman ini menunjukkan perlunya penguatan pelatihan yang berkelanjutan dan bersifat kontekstual, bukan hanya sekadar sosialisasi administratif. Dalam hal ini, pendekatan continuous professional development (CPD) perlu lebih dimasifkan, baik melalui pelatihan daring maupun komunitas belajar4.

6.3.       Respon Siswa dan Orang Tua: Meningkatnya Motivasi, tapi Butuh Adaptasi

Dari sisi peserta didik, sebagian besar siswa merasa lebih nyaman dengan pendekatan pembelajaran yang lebih interaktif dan tidak hanya berorientasi pada ujian. Banyak siswa melaporkan bahwa kegiatan projek memberikan mereka ruang untuk mengekspresikan ide, bekerja dalam tim, dan menjawab persoalan nyata di lingkungan sekitar5.

Namun, orang tua pada beberapa wilayah masih menunjukkan kebingungan terhadap perubahan struktur kurikulum, terutama terkait hilangnya penjurusan pada kelas X SMA, perubahan istilah seperti “fase belajar”, dan peran asesmen formatif dalam evaluasi hasil belajar. Ini menandakan pentingnya komunikasi yang lebih terbuka dan literasi kurikulum di tingkat komunitas pendidikan6.

6.4.       Penguatan Budaya Sekolah dan Kolaborasi

Kurikulum Merdeka mendorong tumbuhnya budaya reflektif dan kolaboratif di sekolah. Praktik refleksi pembelajaran, diskusi rutin antarguru, dan pelibatan siswa dalam proses belajar menciptakan iklim sekolah yang lebih demokratis dan partisipatif. Kepala sekolah yang adaptif memfasilitasi proses ini melalui manajemen berbasis visi pembelajaran, bukan sekadar administratif7.

Namun, keberhasilan ini belum merata. Sekolah-sekolah di daerah terpencil dengan keterbatasan akses digital dan minimnya pelatihan menghadapi hambatan yang lebih besar. Pemerataan infrastruktur dan pendampingan menjadi isu penting dalam meratakan dampak positif kurikulum ini di seluruh wilayah Indonesia.


Footnotes

[1]                Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Laporan Riset Formatif Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Penggerak (Jakarta: PSPK, 2022), 12–14.

[2]                Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Evaluasi Kurikulum SMK Pusat Keunggulan Tahun 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2023), 8.

[3]                Litbang Kompas, “Mayoritas Guru Antusias Sambut Kurikulum Merdeka,” Harian Kompas, 15 Desember 2022.

[4]                Triyanto, “Pengembangan Profesionalisme Guru dalam Implementasi Kurikulum Merdeka,” Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 29, no. 1 (2023): 67–68.

[5]                Wahyu Setiawan, “Dampak Projek Profil Pelajar Pancasila terhadap Motivasi Belajar Siswa SMA,” Jurnal Psikopedagogia 12, no. 2 (2023): 89–91.

[6]                Anisah Marwah, “Persepsi Orang Tua Terhadap Implementasi Kurikulum Merdeka: Studi Kasus di Kabupaten Sleman,” Jurnal Ilmu Pendidikan 21, no. 1 (2023): 45–47.

[7]                Ahmad Yani, “Kepemimpinan Pembelajaran Kepala Sekolah dalam Era Kurikulum Merdeka,” Manajer Pendidikan 16, no. 2 (2023): 123–125.


7.           Tantangan dan Kendala Implementasi

Meskipun Kurikulum Merdeka dipandang sebagai langkah reformasi penting dalam sistem pendidikan nasional, proses implementasinya tidak luput dari berbagai tantangan. Kompleksitas sistem pendidikan di Indonesia—dengan karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi yang sangat beragam—membuat pelaksanaan kurikulum ini menghadapi hambatan yang tidak sederhana. Tantangan-tantangan tersebut muncul dalam berbagai aspek, mulai dari kesiapan sumber daya manusia, sarana prasarana, hingga resistensi kultural terhadap perubahan.

7.1.       Kesiapan Guru dan Kepala Sekolah

Salah satu tantangan utama dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah kesiapan guru sebagai pelaksana utama kurikulum di ruang kelas. Tidak semua guru memahami secara utuh konsep baru seperti pembelajaran berbasis projek, capaian pembelajaran (CP), dan asesmen formatif. Banyak guru juga merasa kesulitan dalam menyusun modul ajar yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan peserta didik1.

Selain itu, kepemimpinan kepala sekolah memainkan peran penting dalam mendukung budaya sekolah yang adaptif dan reflektif. Namun, belum semua kepala sekolah menunjukkan kompetensi kepemimpinan pembelajaran yang memadai. Dalam banyak kasus, kepala sekolah lebih fokus pada aspek administratif daripada memfasilitasi transformasi pedagogis2.

7.2.       Keterbatasan Sarana dan Prasarana

Implementasi Kurikulum Merdeka sangat menuntut akses terhadap teknologi, literatur digital, dan fasilitas pembelajaran yang fleksibel. Namun, di berbagai daerah, terutama kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal), keterbatasan infrastruktur masih menjadi masalah akut. Hasil studi oleh Balitbang Kemendikbud menunjukkan bahwa hanya sekitar 60% sekolah dasar di Indonesia yang memiliki akses internet yang memadai untuk mengakses Platform Merdeka Mengajar3.

Tidak hanya itu, kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang bersifat lintas disiplin dan kontekstual juga membutuhkan ruang belajar non-klasikal, alat peraga, dan koneksi dengan komunitas lokal. Sayangnya, tidak semua sekolah memiliki sumber daya tersebut, terutama di wilayah dengan keterbatasan anggaran dan dukungan eksternal.

7.3.       Resistensi Kultural terhadap Perubahan

Reformasi kurikulum tidak hanya menuntut penyesuaian teknis, tetapi juga perubahan paradigma berpikir di kalangan pendidik dan masyarakat. Tidak sedikit guru yang masih terbiasa dengan pendekatan satu arah, buku teks sebagai sumber utama, dan evaluasi berbasis ujian. Perubahan menuju pembelajaran yang fleksibel, partisipatif, dan kontekstual masih dianggap “tidak biasa” atau bahkan “mengganggu” rutinitas4.

Hal serupa juga terjadi di kalangan orang tua siswa. Beberapa dari mereka merasa bingung atau bahkan ragu dengan sistem pembelajaran tanpa penjurusan di kelas X atau asesmen formatif yang tidak langsung menghasilkan angka nilai. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan literasi kurikulum tidak hanya di kalangan guru, tetapi juga masyarakat luas.

7.4.       Ketimpangan Kapasitas Antarsatuan Pendidikan

Implementasi Kurikulum Merdeka menunjukkan gejala kesenjangan antarwilayah dan antarjenis sekolah. Sekolah-sekolah unggulan di perkotaan yang memiliki akses terhadap pelatihan, teknologi, dan kolaborasi lintas jaringan tampak lebih siap dibandingkan dengan sekolah-sekolah di pedesaan atau pinggiran kota. Ketimpangan ini berdampak pada inkonsistensi mutu implementasi kurikulum5.

Program seperti Sekolah Penggerak memang menjadi upaya awal untuk mengatasi kesenjangan tersebut, namun jangkauannya masih terbatas. Perlu strategi yang lebih inklusif dan afirmatif, terutama bagi sekolah-sekolah dengan indeks kesiapan rendah.

7.5.       Kebutuhan Pendampingan dan Monitoring Berkelanjutan

Transformasi kurikulum membutuhkan sistem pendampingan yang terstruktur, kolaboratif, dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, banyak guru dan kepala sekolah merasa bahwa pelatihan yang disediakan bersifat satu arah, terlalu umum, atau tidak sesuai dengan konteks lapangan6. Monitoring dan evaluasi sejauh ini juga masih bersifat administratif, belum menyentuh kualitas implementasi secara substansial di ruang-ruang kelas.


Footnotes

[1]                Triyanto, “Kompetensi Guru dalam Implementasi Kurikulum Merdeka: Studi Empiris di Jawa Tengah,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 12, no. 2 (2022): 45–47.

[2]                Ahmad Yani, “Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah dalam Implementasi Kurikulum Baru,” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 10, no. 1 (2023): 66.

[3]                Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Laporan Pemetaan Kesiapan Sekolah dalam Mengakses Platform Digital Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 21.

[4]                Marlina Sari, “Tantangan Kultural dalam Penerapan Kurikulum Merdeka: Perspektif Guru Sekolah Dasar,” Jurnal Ilmu Pendidikan 23, no. 1 (2023): 31.

[5]                Anwar Sadat, “Ketimpangan Implementasi Kurikulum Merdeka antar Wilayah: Studi Komparatif Perkotaan dan Perdesaan,” Jurnal Transformasi Pendidikan 5, no. 2 (2023): 101–103.

[6]                Nurul Huda, “Evaluasi Program Pelatihan Kurikulum Merdeka: Sebuah Analisis Kritis,” Jurnal Evaluasi Pendidikan 11, no. 1 (2023): 56–57.


8.           Analisis Perbandingan dengan Kurikulum Sebelumnya

Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons terhadap dinamika global, kebutuhan pendidikan nasional, dan tantangan dalam implementasi Kurikulum 2013 (K-13). Untuk memahami posisi strategis Kurikulum Merdeka, penting dilakukan analisis komparatif antara kurikulum ini dan pendahulunya, terutama dalam aspek pendekatan pembelajaran, struktur kurikulum, penilaian, serta peran pendidik.

8.1.       Pendekatan dan Filosofi Pembelajaran

Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan ilmiah (scientific approach), sedangkan Kurikulum Merdeka mengedepankan pendekatan yang lebih fleksibel dan berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centered learning)1. Filosofi Kurikulum Merdeka selaras dengan pendidikan progresif yang mengutamakan otonomi belajar, kebebasan berpikir, dan pembelajaran kontekstual sesuai kebutuhan dan minat siswa2.

Perubahan ini mencerminkan pergeseran dari kurikulum berbasis konten menuju kurikulum berbasis kompetensi dan karakter. Jika Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pencapaian standar isi dan proses, maka Kurikulum Merdeka lebih fokus pada pengembangan Profil Pelajar Pancasila sebagai tujuan akhir pendidikan3.

8.2.       Struktur dan Organisasi Kurikulum

Kurikulum 2013 mengatur struktur pembelajaran berdasarkan kelas dan jenjang, dengan alokasi waktu dan mata pelajaran yang seragam. Sementara itu, Kurikulum Merdeka membagi jenjang pendidikan ke dalam enam fase pembelajaran (Fase A–F), dan memberi kebebasan lebih kepada sekolah dalam menyusun jadwal serta pemilihan perangkat ajar4.

Selain itu, Kurikulum Merdeka memperkenalkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sebagai kegiatan kokurikuler yang bersifat wajib namun fleksibel, sesuatu yang tidak terdapat dalam Kurikulum 2013. Hal ini memberikan ruang bagi integrasi pembelajaran lintas disiplin dan penguatan nilai-nilai karakter secara kontekstual5.

8.3.       Penilaian dan Asesmen

Sistem asesmen dalam Kurikulum 2013 lebih terfokus pada penilaian berbasis kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan), dengan struktur penilaian yang cenderung administratif dan kuantitatif. Di sisi lain, Kurikulum Merdeka mengutamakan asesmen formatif dan sumatif yang bersifat fleksibel dan reflektif, serta bertujuan untuk mendukung proses belajar, bukan sekadar mengukur hasil6.

Asesmen dalam Kurikulum Merdeka tidak dibatasi oleh model tertentu, sehingga guru dapat menggunakan portofolio, observasi, jurnal refleksi, atau projek sebagai bentuk asesmen alternatif. Ini sejalan dengan pendekatan assessment as learning, yang menempatkan peserta didik sebagai agen aktif dalam proses evaluasi pembelajarannya7.

8.4.       Peran Guru dan Otonomi Pembelajaran

Pada Kurikulum 2013, perangkat ajar (RPP dan silabus) disediakan secara terpusat dan standar, sedangkan dalam Kurikulum Merdeka, guru diberi kebebasan untuk memilih, memodifikasi, atau bahkan menyusun sendiri perangkat ajar, baik berupa modul ajar maupun projek. Ini memberikan ruang teacher agency yang lebih luas, namun juga menuntut kompetensi profesional dan kemandirian pedagogis yang lebih tinggi8.

Guru dalam Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi perancang pembelajaran yang responsif terhadap kebutuhan belajar siswa, bukan sekadar pelaksana instruksi. Hal ini memperkuat peran guru sebagai pemimpin pembelajaran dan fasilitator proses pendidikan yang bermakna.


8.5.       Perbandingan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka

·                     Pendekatan Pembelajaran:

Kurikulum 2013: Menggunakan pendekatan tematik-integratif dengan scientific approach (mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan).

Kurikulum Merdeka: Mengedepankan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, berbasis projek, serta menerapkan strategi diferensiasi sesuai kebutuhan siswa.

·                     Struktur Kurikulum:

Kurikulum 2013: Disusun berdasarkan jenjang kelas dengan struktur yang kaku dan seragam.

Kurikulum Merdeka: Menggunakan struktur berbasis fase pembelajaran (Fase A–F) yang lebih fleksibel dan memperhatikan tahapan perkembangan siswa.

·                     Sistem Penilaian:

Kurikulum 2013: Menekankan penilaian kompetensi dalam tiga ranah (sikap, pengetahuan, keterampilan), dengan sistem dokumentasi administratif yang kompleks.

Kurikulum Merdeka: Menekankan asesmen formatif dan reflektif sebagai bagian dari proses pembelajaran, bukan sekadar pengukuran hasil akhir.

·                     Perangkat Ajar:

Kurikulum 2013: Perangkat ajar disediakan oleh pemerintah secara terpusat (RPP, silabus).

Kurikulum Merdeka: Guru memiliki kebebasan tinggi untuk memilih, memodifikasi, atau membuat perangkat ajar sendiri (modul ajar, projek, asesmen) sesuai konteks dan kebutuhan.

·                     Penguatan Karakter:

Kurikulum 2013: Belum memiliki program khusus untuk pembentukan karakter yang terintegrasi.

Kurikulum Merdeka: Memiliki Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sebagai program wajib yang menanamkan nilai-nilai karakter melalui tema kontekstual dan lintas disiplin.


Footnotes

[1]                Ahmad Susanto, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2017), 156.

[2]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 65.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 4–6.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18–20.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–7.

[6]                Wibowo Setiadi, “Redesain Sistem Asesmen dalam Kurikulum Merdeka: Antara Peluang dan Tantangan,” Jurnal Evaluasi Pendidikan 12, no. 1 (2023): 34–35.

[7]                Lorna Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2013), 5–6.

[8]                Pak Tee Ng, “Teacher Agency and Professionalism: Between the Need for Reform and the Fear of Accountability,” Educational Research for Policy and Practice 14, no. 2 (2015): 171.


9.           Prospek dan Rekomendasi

Kurikulum Merdeka merupakan titik awal dari transformasi pendidikan jangka panjang di Indonesia yang berpijak pada penguatan karakter, pengembangan kompetensi abad ke-21, dan fleksibilitas dalam pembelajaran. Meskipun implementasinya masih dalam proses adaptasi dan evaluasi, prospek kurikulum ini dinilai menjanjikan, terutama dalam menyiapkan peserta didik menghadapi dunia yang dinamis dan disruptif. Namun, untuk mencapai tujuan ideal tersebut, dibutuhkan strategi penguatan yang sistematis dan berbasis bukti (evidence-based policy).

9.1.       Prospek Kurikulum Merdeka ke Depan

·                     Transformasi Budaya Belajar:

Kurikulum Merdeka membuka peluang bagi lahirnya budaya belajar baru yang lebih partisipatif, kolaboratif, dan reflektif. Dengan pendekatan berbasis projek dan diferensiasi, peserta didik memiliki ruang untuk mengembangkan kemampuan metakognitif, empati, dan kemandirian, yang sebelumnya kurang tereksplorasi dalam kurikulum nasional1.

·                     Penguatan Ekosistem Digital Pendidikan:

Keberadaan Platform Merdeka Mengajar (PMM), komunitas belajar daring, dan sumber daya digital menjadi fondasi kuat dalam membangun sistem pendidikan yang adaptif terhadap era digital. Jika dikelola secara berkelanjutan, ekosistem ini dapat mendorong pertumbuhan profesionalisme guru serta pemerataan akses terhadap pembelajaran bermutu2.

·                     Kesiapan terhadap Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0:

Melalui integrasi karakter dan kompetensi abad ke-21, Kurikulum Merdeka turut mempersiapkan peserta didik menjadi warga dunia yang cakap berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, serta literat terhadap teknologi dan data. Ini sejalan dengan agenda global UNESCO dalam mempersiapkan generasi pembelajar seumur hidup (lifelong learners)3.

9.2.       Rekomendasi Strategis untuk Pemerintah dan Pemangku Kepentingan

Untuk memastikan keberhasilan Kurikulum Merdeka dalam jangka panjang, berikut beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan:

9.2.1.    Penguatan Kapasitas Guru dan Kepala Sekolah secara Berkelanjutan

Pelatihan guru tidak cukup dilakukan satu kali, tetapi harus melalui pendekatan pendampingan berkelanjutan (continuous mentoring). Model pelatihan berbasis praktik, reflektif, dan kolaboratif perlu diperluas, misalnya melalui lesson study, coaching and mentoring, serta komunitas praktik profesional4.

9.2.2.      Perluasan dan Pemerataan Infrastruktur Pendidikan

Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi dalam meningkatkan akses internet, perangkat TIK, serta ruang pembelajaran yang mendukung kegiatan berbasis projek. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesenjangan digital antarwilayah dan antarjenis sekolah5.

9.2.3.      Peningkatan Literasi Kurikulum bagi Pemangku Kepentingan

Tidak hanya guru, orang tua, pengawas, dan masyarakat juga perlu diberi pemahaman mendalam mengenai filosofi dan tujuan Kurikulum Merdeka. Literasi kurikulum ini dapat dibangun melalui program sosialisasi, forum diskusi publik, dan pelibatan orang tua dalam kegiatan sekolah6.

9.2.4.      Penguatan Sistem Monitoring dan Evaluasi yang Inklusif

Evaluasi kurikulum harus mengacu pada indikator proses dan dampak, tidak sekadar administratif. Perlu pendekatan evaluasi partisipatif yang melibatkan guru, siswa, dan komunitas pendidikan untuk mendapatkan umpan balik otentik terkait kualitas implementasi kurikulum di lapangan7.

9.2.5.      Pelembagaan Kurikulum sebagai Gerakan Nasional

Kurikulum Merdeka sebaiknya tidak hanya diposisikan sebagai kebijakan sektoral Kemendikbudristek, tetapi menjadi bagian dari agenda besar pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menekankan pembangunan manusia unggul dan berkarakter8.


Footnotes

[1]                Ahmad Susanto, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2017), 164.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Platform Merdeka Mengajar: Panduan untuk Pendidik dan Kepala Sekolah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–10.

[3]                UNESCO, Education for Sustainable Development: Learning Objectives (Paris: UNESCO, 2017), 23.

[4]                Nurul Huda, “Model Pendampingan Berkelanjutan dalam Implementasi Kurikulum Baru,” Jurnal Inovasi Pendidikan 14, no. 2 (2023): 93–94.

[5]                Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Peta Digitalisasi Sekolah Indonesia (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 19.

[6]                Marwah Anisah, “Peran Literasi Kurikulum bagi Orang Tua dalam Pendidikan Abad ke-21,” Jurnal Ilmu Pendidikan 21, no. 2 (2023): 112.

[7]                Triyanto, “Evaluasi Partisipatif sebagai Alat Perbaikan Implementasi Kurikulum Merdeka,” Jurnal Evaluasi Pendidikan 12, no. 1 (2023): 60.

[8]                Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Rancangan RPJPN 2025–2045: Indonesia Emas (Jakarta: Bappenas, 2023), 131–132.


10.       Penutup

Kurikulum Merdeka merupakan manifestasi dari visi transformasi pendidikan nasional menuju sistem pembelajaran yang lebih humanistik, adaptif, dan berorientasi pada penguatan karakter serta kompetensi abad ke-21. Dalam konteks perubahan global yang ditandai oleh disrupsi teknologi, krisis ekologi, dan kompleksitas sosial-budaya, pendidikan Indonesia dituntut untuk menyiapkan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang tangguh dan bernalar kritis1.

Berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang cenderung kaku dan terstandar, Kurikulum Merdeka menekankan pada prinsip fleksibilitas, otonomi, serta pembelajaran yang diferensiatif dan bermakna. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk berkembang sesuai minat, bakat, dan ritme belajar mereka, sekaligus memberikan kesempatan bagi guru untuk menjadi desainer pembelajaran yang kreatif dan kontekstual2.

Namun, pelaksanaan Kurikulum Merdeka tidak lepas dari berbagai tantangan, baik dari sisi kesiapan guru dan kepala sekolah, keterbatasan infrastruktur, hingga ketimpangan kapasitas antarwilayah. Oleh karena itu, keberhasilan kurikulum ini sangat bergantung pada konsistensi dukungan kebijakan, komitmen pemangku kepentingan, serta partisipasi aktif masyarakat dalam membangun ekosistem pendidikan yang kolaboratif dan inklusif3.

Meskipun masih berada pada fase awal implementasi, Kurikulum Merdeka menyimpan potensi besar untuk menjadi platform pembelajaran nasional yang relevan dengan kebutuhan zaman, selama ia terus dievaluasi secara reflektif, dikembangkan berbasis bukti, dan dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif. Sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO, masa depan pendidikan adalah masa depan kolektif yang harus dibangun melalui sinergi antara kebijakan, praktik, dan komunitas belajar4.

Dengan demikian, Kurikulum Merdeka bukan sekadar perangkat teknis pendidikan, melainkan sebuah visi kebudayaan pendidikan Indonesia yang bertujuan mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki integritas moral, kepekaan sosial, dan kapasitas untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Keberhasilan kurikulum ini akan menjadi cermin dari keberhasilan bangsa dalam menyiapkan masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berdaya saing global.


Footnotes

[1]                OECD, The Future of Education and Skills 2030: OECD Learning Compass 2030 (Paris: OECD Publishing, 2019), 9.

[2]                Ahmad Susanto, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2017), 175–176.

[3]                Nurul Huda, “Kesiapan Implementasi Kurikulum Merdeka dalam Perspektif Manajemen Pendidikan,” Jurnal Administrasi Pendidikan 17, no. 2 (2023): 101.

[4]                UNESCO, Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education (Paris: UNESCO, 2021), 23.


Daftar Pustaka

Ahmad Susanto. (2017). Pengembangan kurikulum: Teori dan praktik. Kencana.

Anisah, M. (2023). Persepsi orang tua terhadap implementasi Kurikulum Merdeka: Studi kasus di Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu Pendidikan, 21(1), 45–47.

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan. (2022). Laporan pemetaan kesiapan sekolah dalam mengakses platform digital pendidikan. Kemendikbudristek.

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan. (2022). Peta digitalisasi sekolah Indonesia. Kemendikbudristek.

Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan. (2022). Keputusan Kepala BSKAP No. 033/H/KR/2022 tentang Capaian Pembelajaran. Kemendikbudristek.

Dewey, J. (1938). Experience and education. Macmillan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. (2022). Evaluasi kurikulum SMK Pusat Keunggulan tahun 2022. Kemendikbudristek.

Earl, L. M. (2013). Assessment as learning: Using classroom assessment to maximize student learning. Corwin Press.

Huda, N. (2023). Evaluasi program pelatihan Kurikulum Merdeka: Sebuah analisis kritis. Jurnal Evaluasi Pendidikan, 11(1), 56–57.

Huda, N. (2023). Kesiapan implementasi Kurikulum Merdeka dalam perspektif manajemen pendidikan. Jurnal Administrasi Pendidikan, 17(2), 101–104.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Profil pelajar Pancasila. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022a). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022b). Struktur kurikulum Sekolah Menengah Atas dalam Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022c). Platform Merdeka Mengajar: Panduan penggunaan untuk guru dan kepala sekolah. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022d). Modul proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022e). Panduan komunitas belajar: Menumbuhkan budaya refleksi dan kolaborasi. Kemendikbudristek.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2023). Rancangan RPJPN 2025–2045: Indonesia emas. Bappenas.

Litbang Kompas. (2022, Desember 15). Mayoritas guru antusias sambut Kurikulum Merdeka. Harian Kompas.

Marlina, S. (2023). Tantangan kultural dalam penerapan Kurikulum Merdeka: Perspektif guru sekolah dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan, 23(1), 31–33.

Ng, P. T. (2015). Teacher agency and professionalism: Between the need for reform and the fear of accountability. Educational Research for Policy and Practice, 14(2), 167–179. https://doi.org/10.1007/s10671-015-9179-8

OECD. (2019). The future of education and skills 2030: OECD learning compass 2030. OECD Publishing.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretariat Negara.

Sari, W. (2022). Fleksibilitas waktu pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka: Studi implementasi di sekolah penggerak. Jurnal Inovasi Kurikulum, 19(3), 310–312.

Setiawan, W. (2023). Dampak projek Profil Pelajar Pancasila terhadap motivasi belajar siswa SMA. Jurnal Psikopedagogia, 12(2), 89–91.

Setiadi, W. (2023). Redesain sistem asesmen dalam Kurikulum Merdeka: Antara peluang dan tantangan. Jurnal Evaluasi Pendidikan, 12(1), 34–35.

Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.

Tomlinson, C. A. (2017). How to differentiate instruction in academically diverse classrooms (3rd ed.). ASCD.

Triyanto. (2022). Kompetensi guru dalam implementasi Kurikulum Merdeka: Studi empiris di Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 12(2), 45–47.

Triyanto. (2023). Evaluasi partisipatif sebagai alat perbaikan implementasi Kurikulum Merdeka. Jurnal Evaluasi Pendidikan, 12(1), 60.

UNESCO. (2017). Education for sustainable development: Learning objectives. UNESCO Publishing.

UNESCO. (2021). Reimagining our futures together: A new social contract for education. UNESCO Publishing.

Wahyuni, S. (2022). Fleksibilitas waktu pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka: Studi implementasi di sekolah penggerak. Jurnal Inovasi Kurikulum, 19(3), 310–313.

Wiliam, D. (2011). Embedded formative assessment. Solution Tree Press.

Yani, A. (2023). Kepemimpinan transformasional kepala sekolah dalam implementasi kurikulum baru. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 10(1), 66–69.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar