Ilmu
Tinjauan Etimologis, Terminologis, dan Epistemologis
dalam Perspektif Islam dan Akademik
Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep ilmu secara
komprehensif melalui pendekatan etimologis, terminologis, dan epistemologis
dengan menelaah perspektif Islam dan tradisi akademik modern. Kajian diawali
dengan analisis etimologis terhadap kata ‘ilm dalam bahasa Arab yang
mengandung makna pengetahuan yang pasti dan bernilai hakikat. Selanjutnya,
dibahas definisi ilmu menurut para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn
Khaldun, dan Al-Farabi, yang menekankan aspek moral, spiritual, dan fungsional
dari ilmu. Di sisi lain, pandangan modern terhadap ilmu dirinci berdasarkan
prinsip-prinsip ilmiah seperti rasionalitas, objektivitas, dan verifikasi,
sebagaimana dipahami dalam filsafat ilmu Barat.
Artikel ini juga mengkaji konsep ilmu dalam
Al-Qur’an dan hadis, yang menunjukkan bahwa ilmu adalah bagian integral dari
iman dan ibadah, serta memiliki tujuan luhur yakni mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Perbandingan antara konsep ilmu dalam Islam dan Barat menunjukkan
adanya titik temu dalam hal metode, tetapi berbeda dalam orientasi dan nilai.
Islam memandang ilmu dalam kerangka tauhid dan pengabdian, sementara ilmu
modern cenderung bersifat sekular dan pragmatis. Artikel ini menyimpulkan
pentingnya integrasi antara pendekatan keilmuan modern dengan nilai-nilai
spiritual Islam untuk membentuk epistemologi yang utuh, etis, dan
transformatif.
Kata Kunci: Ilmu, Islam, Filsafat Ilmu, Epistemologi, Etimologi,
Terminologi, Al-Qur’an, Hadis, Sekularisme, Integrasi Ilmu.
PEMBAHASAN
Memahami Ilmu Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu merupakan salah
satu konsep fundamental dalam peradaban manusia yang telah menjadi pusat
perhatian dalam berbagai tradisi intelektual, baik Timur maupun Barat. Dalam
Islam, ilmu bahkan menduduki posisi sentral yang tidak dapat dipisahkan dari
misi kerasulan. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw memerintahkan
untuk "iqra’",
yang berarti “bacalah” (QS. Al-‘Alaq [96] ayat 1), sebuah isyarat yang
menunjukkan pentingnya aktivitas intelektual dan pencarian pengetahuan sebagai
fondasi ajaran Islam.¹
Seiring perkembangan
zaman, pemahaman tentang ilmu mengalami perluasan makna, terutama ketika
berhadapan dengan tradisi keilmuan Barat yang melahirkan paradigma baru melalui
filsafat ilmu. Di sisi lain, para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Sina,
dan Al-Farabi telah lebih dahulu merumuskan kerangka konseptual ilmu dalam perspektif
Islam, yang tidak hanya menekankan aspek rasionalitas, tetapi juga orientasi
spiritual dan etis.² Oleh karena itu, membahas ilmu tidak dapat dilepaskan dari
dimensi filosofis, teologis, dan epistemologis yang melingkupinya.
Dalam konteks
pendidikan modern, urgensi pemahaman mendalam tentang ilmu menjadi semakin
penting. Hal ini dikarenakan ilmu tidak hanya dipandang sebagai kumpulan
informasi, tetapi juga sebagai kekuatan yang membentuk cara pandang, nilai, dan
arah hidup individu maupun masyarakat. Harun Nasution menegaskan bahwa
pemahaman terhadap ilmu yang utuh akan menentukan kualitas keberagamaan
seseorang, karena Islam menuntut keterpaduan antara akal dan wahyu.³ Sementara
itu, dalam kerangka ilmiah kontemporer, ilmu diposisikan sebagai produk metodis
yang lahir dari observasi, eksperimentasi, dan verifikasi, sebagaimana
dijelaskan oleh tokoh filsafat ilmu seperti Karl Popper.⁴
Namun demikian,
ketegangan antara definisi ilmu dalam Islam dan Barat tidak dapat dihindari.
Pandangan Barat cenderung bersifat sekular dan empirik, sedangkan dalam Islam,
ilmu mengandung unsur transenden yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.⁵
Hal ini menimbulkan tantangan sekaligus peluang untuk membangun jembatan
pemikiran antara dua tradisi keilmuan tersebut. Maka dari itu, artikel ini akan
mengkaji pengertian ilmu secara etimologis dan terminologis dengan pendekatan
interdisipliner, guna memberikan pemahaman yang komprehensif bagi para pelajar,
akademisi, dan peminat studi Islam.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-‘Alaq [96] ayat 1.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998), 17; lihat pula Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah (Kairo: Maktabah
al-Nahdhah al-Misriyyah, 1968), 24.
[3]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Jakarta: Mizan, 1995), 89.
[4]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans
Freudenthal (New York: Routledge, 2002), 27–30.
[5]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2005), 44–46.
2.
Definisi
Etimologis Ilmu
Secara etimologis,
kata “ilmu”
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata ‘alima–ya‘lamu–‘ilman (علم–يعلم–علما)
yang berarti mengetahui atau memahami sesuatu secara pasti. Akar kata ini
menunjukkan makna yang mengandung kepastian, kejelasan, dan keteraturan dalam
pengetahuan yang diperoleh.¹ Dalam Lisan al-‘Arab, Ibn Manzhur
menjelaskan bahwa ‘ilm adalah lawan dari jahl
(kebodohan) dan merupakan suatu bentuk kesadaran terhadap sesuatu berdasarkan
keyakinan yang benar dan jelas.²
Sementara itu,
Al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an
menjelaskan bahwa ‘ilm mengandung arti "penangkapan
makna suatu objek dalam pikiran, baik secara pasti maupun mendekati kepastian."_³
Dengan kata lain, ‘ilm tidak sekadar mengetahui
secara samar atau bersifat dugaan (zann), tetapi melibatkan tingkat
keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran suatu informasi. Konsep ini sangat
penting dalam Islam karena ilmu dipandang sebagai salah satu bentuk petunjuk
Allah yang membedakan antara kebenaran dan kesesatan.
Makna etimologis ini
memiliki implikasi filosofis yang dalam, karena menunjukkan bahwa ilmu bukan
sekadar hasil proses kognitif, melainkan mencerminkan dimensi epistemologis dan
ontologis. Dalam pemikiran Islam klasik, ilmu memiliki kedudukan yang tidak
hanya membimbing cara berpikir manusia, tetapi juga menjadi sarana utama untuk
mengenal Allah (ma‘rifatullah).⁴ Oleh karena itu, dalam banyak literatur
keislaman, ilmu selalu dikaitkan dengan kedalaman makna, bukan sekadar
akumulasi data atau fakta.
Dalam tinjauan
linguistik Arab, penggunaan kata ‘ilm pun sangat luas. Ia mencakup
segala jenis pengetahuan yang bersifat rasional (‘aqliyyah) maupun wahyu (naqliyyah),
serta dapat digunakan untuk menjelaskan proses belajar (ta‘allum),
hasil dari proses tersebut (ma‘lumat), dan bahkan bidang-bidang
tertentu yang dikhususkan seperti ‘ilm al-nafs (psikologi) atau ‘ilm
al-kalam (teologi).⁵ Ini menunjukkan betapa kaya dan kompleksnya
makna etimologis ilmu dalam khazanah keilmuan Islam.
Pemahaman etimologis
ini menjadi dasar penting dalam membedakan antara ilmu yang benar (haqq) dan
pengetahuan semu yang mungkin bersumber dari persepsi keliru atau informasi
yang tidak terverifikasi. Dalam filsafat ilmu kontemporer, pertanyaan tentang
"apa itu ilmu?" berakar dari penelusuran terhadap makna asal
kata tersebut.⁶ Karenanya, menelusuri akar kata ‘ilm memberikan fondasi awal dalam
merumuskan definisi terminologis dan epistemologis yang akan dibahas pada
bagian selanjutnya.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 650.
[2]
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, jilid 12 (Beirut: Dar Shadir, 1993),
417.
[3]
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed.
Safwan Adnani (Beirut: Dar al-Qalam, 2006), 592.
[4]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 131–132.
[5]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Memahami Hakikat dan Tujuan Hidup
Beragama (Bandung: Mizan, 2004), 52.
[6]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, Hakikat Manusia,
dan Hakikat Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 14–15.
3.
Definisi
Terminologis Ilmu dalam Islam
Dalam khazanah
intelektual Islam, istilah ilmu (علم)
tidak hanya dipahami sebagai aktivitas kognitif, melainkan sebagai sebuah
konsep yang sarat dengan dimensi teologis, spiritual, dan moral. Secara
terminologis, para ulama klasik memberikan beragam definisi ilmu sesuai dengan
latar belakang disiplin keilmuannya, namun secara umum memiliki satu benang
merah: ilmu adalah pengetahuan yang benar (haqq) yang diyakini secara pasti
dan dibangun atas dasar dalil yang sahih.
Imam Al-Ghazali, seorang
teolog dan filsuf besar Islam, dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum al-Din mendefinisikan
ilmu sebagai “sesuatu yang dapat menetap dalam jiwa dan terbentuk sebagai
gambaran yang nyata terhadap objek yang diketahui.”_¹ Dalam pengertian ini,
ilmu bukan sekadar hafalan atau data yang tersimpan dalam memori, melainkan
hasil internalisasi mendalam yang menumbuhkan pemahaman serta kesadaran yang
utuh terhadap realitas.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya
menyatakan bahwa “ilmu adalah suatu hal yang diperoleh melalui proses
belajar dan merupakan hasil dari kemampuan akal dalam menangkap hakikat
sesuatu.”_² Definisi ini memperlihatkan pendekatan rasional dalam memahami
ilmu, namun tetap dalam bingkai keimanan karena menurut Ibn Khaldun, ilmu yang
hakiki tidak akan bertentangan dengan syariat. Ia juga membagi ilmu ke dalam
dua kategori besar: ilmu naqli (berbasis wahyu) dan ilmu aqli (berbasis akal),
dengan penekanan bahwa keduanya memiliki peran yang penting dalam membentuk
peradaban Islam.³
Ulama lain seperti
Al-Farabi dalam karya Tahsil al-Sa‘adah menyatakan bahwa
ilmu adalah “mengetahui sesuatu sebagaimana adanya.”_⁴ Definisi ini
menekankan aspek objektivitas dan korespondensi antara subjek pengetahuan
(manusia) dengan objeknya (realitas), sebuah pendekatan yang juga digunakan
dalam epistemologi modern. Namun, Al-Farabi menambahkan bahwa ilmu yang sejati
harus mampu menuntun manusia pada kebahagiaan (sa‘adah), yang dalam konteks
Islam berarti kedekatan dengan Tuhan.
Para ulama juga
menekankan pentingnya niat dan tujuan
dalam menuntut ilmu. Dalam perspektif Islam, ilmu tidak hanya dinilai dari
kebenarannya, tetapi juga dari manfaatnya (nafi‘) dan orientasinya menuju
Allah Swt.⁵ Oleh karena itu, Al-Zarnuji dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim memperingatkan
bahwa ilmu yang tidak disertai niat yang ikhlas dapat menjadi penyebab
kebinasaan, bukan keselamatan.⁶
Lebih lanjut, ilmu
dalam Islam tidak bersifat bebas nilai, melainkan selalu terkait dengan etika
dan adab. Hal ini ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang
mendefinisikan ilmu sebagai “pengenalan yang benar dan hakiki yang dibangun
atas dasar wahyu dan akal, yang menuntun manusia untuk mengenali tempatnya di
alam dan tunduk kepada Tuhan.”_⁷ Dengan demikian, definisi ilmu dalam Islam
tidak dapat dilepaskan dari integrasi antara akal dan wahyu, antara kognisi dan
spiritualitas.
Sebagai hasil dari
pendekatan integral ini, para ulama membedakan antara ilmu
yang bermanfaat (‘ilm al-nafi‘) dan ilmu
yang tidak bermanfaat (‘ilm ghayr nafi‘), sebagaimana
disabdakan Rasulullah Saw dalam doanya: “Allahumma inni a‘udzu bika min ‘ilmin la
yanfa‘...” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak
bermanfaat).⁸ Penekanan terhadap nilai dan fungsi ilmu dalam kehidupan menjadi
karakteristik utama dalam terminologi ilmu versi Islam, menjadikannya tidak
sekadar pencarian pengetahuan, tetapi juga proses pensucian jiwa dan pembinaan
akhlak.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998), 17.
[2]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Abdullah Muhammad
Darwish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 258.
[3]
Ibid., 262–264.
[4]
Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyyah, 1968), 25.
[5]
Syekh Nawawi al-Bantani, Nashaih al-‘Ibad (Beirut: Dar
al-Fikr, 2002), 12.
[6]
Al-Zarnuji, Ta‘lim al-Muta‘allim Tariq al-Ta‘allum (Mesir:
Maktabah al-Salam, 2005), 4–6.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 15.
[8]
HR. Muslim, No. 2722.
4.
Definisi
Terminologis Ilmu dalam Perspektif Modern
Dalam tradisi
keilmuan modern, istilah ilmu atau science
merujuk pada suatu sistem pengetahuan yang diperoleh melalui metode yang
sistematis, rasional, dan empiris. Ilmu modern dikembangkan atas dasar
observasi, eksperimen, analisis, serta penarikan kesimpulan yang dapat diuji
dan diverifikasi.¹ Definisi ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat
ilmu yang mengalami kemajuan pesat sejak era Renaisans hingga masa kontemporer.
Secara terminologis,
Karl Popper mendefinisikan ilmu sebagai “pengetahuan yang dapat diuji dan
diuji balik (falsifiable), serta dibentuk dari hipotesis-hipotesis yang terbuka
untuk dibantah.”_² Dalam pandangan Popper, ilmu tidak dilihat sebagai
kebenaran mutlak, melainkan sebagai rangkaian teori yang terus diuji melalui
metode deduktif dan konfirmasi empiris. Pendekatan ini menekankan aspek
keterbukaan dan ketidaksempurnaan ilmu, sekaligus menempatkan ilmu sebagai
proses yang dinamis.
Selain Popper,
ilmuwan dan filsuf lain seperti Richard Feynman juga menekankan pentingnya
aspek keraguan dan metode eksperimental dalam ilmu. Menurutnya, ilmu merupakan
suatu cara berpikir yang melibatkan pencarian kebenaran melalui pendekatan
trial and error, bukan sekadar pengumpulan data.³ Artinya, ilmu modern menuntut
adanya skeptisisme metodologis dan kehati-hatian terhadap generalisasi.
Dalam ranah
akademik, ilmu sering kali dirumuskan sebagai a body of knowledge yang diperoleh
melalui proses sistematis, melibatkan pengamatan (observation), pengukuran (measurement),
dan pengujian hipotesis.⁴ Unsur-unsur penting yang membentuk definisi ilmu
dalam perspektif ini mencakup:
·
Objektivitas:
ilmu harus bebas dari bias subjektif.
·
Rasionalitas:
ilmu harus logis dan berdasarkan argumentasi yang sah.
·
Sistematika:
ilmu disusun secara teratur dan saling berkaitan.
·
Verifikasi
dan falsifikasi: ilmu dapat diuji kebenarannya.
·
Kumulatif:
ilmu bersifat berkembang dan dapat diperbaiki dari waktu ke waktu.⁵
Namun demikian, ilmu
dalam pandangan modern cenderung bersifat sekular, dalam arti ia berdiri
di luar kerangka keimanan atau nilai-nilai metafisik. Aspek ini menjadi kritik
utama dari para cendekiawan Muslim kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib
al-Attas, yang menilai bahwa ilmu modern telah kehilangan dimensi spiritual dan
etikanya.⁶ Sementara dalam tradisi Islam, ilmu tidak hanya menjelaskan “bagaimana”
sesuatu terjadi, tetapi juga menjawab “mengapa” dan “untuk apa”
ia diciptakan.
Selain itu, dalam
paradigma Barat modern, istilah ilmu sering dipersempit pada natural
sciences (ilmu alam), dan cabang-cabang ilmu sosial, humaniora,
atau ilmu keagamaan dianggap kurang “ilmiah” karena tidak memenuhi kriteria
empiris yang ketat.⁷ Hal ini memunculkan dikotomi antara scientific
knowledge dan non-scientific knowledge, yang
tidak dikenal dalam epistemologi Islam yang bersifat integral dan komprehensif.
Meski begitu, ilmu
modern tetap memberikan kontribusi besar dalam perkembangan peradaban, terutama
dalam aspek teknologi dan penemuan-penemuan empiris yang meningkatkan kualitas
hidup manusia. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan pendekatan ilmiah
modern ini dengan nilai-nilai etis dan spiritual yang menjadi fondasi ilmu
dalam perspektif Islam.
Footnotes
[1]
Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems in the Logic of
Scientific Explanation (Indianapolis: Hackett Publishing, 1979), 4.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans
Freudenthal (New York: Routledge, 2002), 18–20.
[3]
Richard P. Feynman, The Meaning of It All: Thoughts of a
Citizen-Scientist (New York: Basic Books, 1998), 28.
[4]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 10.
[5]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, Hakikat Manusia,
dan Hakikat Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 16–19.
[6]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 149.
[7]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam in the Postmodern World
(London: Grey Seal, 1998), 74.
5.
Konsep
Ilmu dalam Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an dan hadis
sebagai sumber utama ajaran Islam menempatkan ilmu (الْعِلْم)
dalam posisi yang sangat mulia dan strategis dalam membentuk peradaban dan
kehidupan manusia. Dalam Al-Qur’an, kata ‘ilm dalam berbagai bentuknya
disebutkan lebih dari 750 kali, menunjukkan betapa
sentralnya posisi ilmu dalam Islam.¹ Hal ini menandakan bahwa Islam adalah
agama yang sangat mendorong penggunaan akal, pencarian pengetahuan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
Salah satu ayat yang
sering dikutip dalam konteks keutamaan ilmu adalah firman Allah Swt:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”
(QS. Al-Mujadilah [58] ayat 11).²
Ayat ini secara
eksplisit menyandingkan keutamaan iman dan ilmu, menandakan bahwa keduanya
merupakan fondasi utama dalam Islam. Ilmu bukan hanya sarana intelektual,
tetapi juga jalan menuju peningkatan spiritual dan sosial.
Begitu pula dalam
QS. Az-Zumar [39] ayat 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”_³
Ayat ini
mengisyaratkan perbedaan kualitas eksistensial antara manusia yang berilmu dan
yang tidak. Pengetahuan menjadi tolok ukur kemuliaan manusia, bukan semata
kedudukan, kekayaan, atau kekuasaan.
Dalam hadis,
Rasulullah Saw secara konsisten mendorong umatnya untuk menuntut ilmu. Hadis
yang sangat masyhur menyatakan:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
Muslim.”_⁴
Hadis ini
menunjukkan bahwa ilmu bukan pilihan, tetapi kewajiban yang melekat pada setiap
individu Muslim, tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau latar belakang
sosial. Bahkan, kewajiban tersebut berlaku sejak lahir hingga meninggal dunia,
sebagaimana sabdanya:
اطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
“Tuntutlah ilmu
sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”_⁵
Konsep ilmu dalam
Al-Qur’an dan hadis tidak terbatas pada aspek duniawi atau keilmuan teknis.
Islam mengenal istilah ‘ilm al-nafi‘ (ilmu yang
bermanfaat), yaitu ilmu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah dan
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا
يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu
yang tidak bermanfaat…”_⁶
Doa ini menunjukkan
bahwa dalam Islam, nilai ilmu diukur dari manfaatnya secara moral dan sosial,
bukan hanya dari aspek teoritis atau aplikatif.
Selain itu, konsep
ilmu dalam Al-Qur’an juga menyentuh aspek epistemologis, yaitu bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan. Dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 31-32, Allah
mengajarkan Adam nama-nama benda (pengetahuan dasar) sebagai bekal dalam
menjalankan tugas kekhalifahan.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa ilmu adalah anugerah
Ilahi yang membedakan manusia dari makhluk lain dan menjadi
dasar eksistensi serta fungsi sosialnya.
Konsep ini
ditegaskan pula oleh banyak ulama. Al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat
menyebut bahwa ‘ilm dalam Al-Qur’an merujuk pada
pengetahuan yang benar, diperoleh melalui wahyu, akal, dan pengalaman empirik,
dan bertujuan untuk mengantarkan manusia pada pengenalan terhadap Allah
(ma‘rifatullah).⁸ Oleh karena itu, orientasi ilmu dalam Islam selalu bersifat tauhidi:
mengarah pada pengakuan atas keesaan dan kekuasaan Allah.
Dengan demikian,
ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dan hadis tidak dapat dipisahkan dari nilai
spiritual, etika, dan pengabdian kepada Tuhan. Ilmu menjadi sarana untuk
memahami ciptaan Allah, mengelola bumi secara bertanggung jawab, serta
memperbaiki kualitas hidup manusia dalam kerangka penghambaan.⁹
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2005), 51.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-Mujadilah [58] ayat11.
[3]
Ibid., QS. Az-Zumar [39] ayat9.
[4]
HR. Ibnu Majah, No. 224; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Silsilah
al-Ahadits al-Shahihah, No. 1113.
[5]
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim (Beirut: Dar
al-Fikr, 2003), 195.
[6]
HR. Muslim, No. 2722.
[7]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Baqarah
[2] ayat 31–32.
[8]
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed.
Safwan Adnani (Beirut: Dar al-Qalam, 2006), 592.
[9]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 10–12.
6.
Perbandingan
antara Pengertian Ilmu Menurut Islam dan Barat
Perbandingan antara
pengertian ilmu dalam tradisi Islam dan Barat memperlihatkan adanya perbedaan
mendasar dalam hal paradigma, tujuan, sumber, dan struktur
epistemologis. Meskipun keduanya sama-sama menghargai
rasionalitas dan penalaran, pendekatan yang digunakan memiliki karakteristik
yang berbeda, seiring dengan perbedaan akar filosofis dan pandangan dunia (worldview)
masing-masing tradisi.
6.1.
Titik Temu antara Islam dan
Barat
Baik dalam tradisi
Islam maupun Barat modern, ilmu dipahami sebagai suatu bentuk pengetahuan
yang terorganisir secara sistematis dan didasarkan pada logika
serta bukti yang dapat diverifikasi.¹ Dalam filsafat ilmu, misalnya, penekanan
terhadap metode observasi, eksperimen, dan penalaran logis menjadi prinsip umum
yang juga diterima dalam khazanah ilmiah Islam. Tokoh-tokoh Muslim klasik
seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn al-Haytham telah menggunakan pendekatan rasional
dan empiris dalam kajian ilmu mereka jauh sebelum era ilmuwan Barat seperti
Francis Bacon atau Isaac Newton.²
Selain itu, prinsip keterbukaan
terhadap pencarian kebenaran juga menjadi nilai bersama. Dalam
Islam, mencari ilmu adalah kewajiban (fardhu) yang berlaku sepanjang
hayat, dan dalam tradisi Barat, ilmu diposisikan sebagai upaya tak berkesudahan
untuk memahami alam semesta melalui metode ilmiah yang terbuka dan bisa
dikoreksi.
6.2.
Titik Beda antara Islam dan
Barat
Meski ada titik
temu, perbedaan yang paling mendasar terletak pada orientasi
dan sumber ilmu. Dalam Islam, ilmu bersumber dari wahyu
(naqli) dan akal (‘aqli) yang berada dalam
harmoni. Ilmu dipahami sebagai amanah Ilahi yang bertujuan
menuntun manusia untuk mengenal Allah, menjalankan tugas kekhalifahan, dan
membentuk akhlak yang mulia.³ Sebaliknya, dalam tradisi Barat modern—terutama
sejak era pencerahan (Enlightenment)—ilmu cenderung dilepaskan dari nilai-nilai
metafisis dan agama, bersifat sekular dan independen dari wahyu,
serta hanya mengandalkan rasio dan data empiris.⁴
Syed Muhammad Naquib
al-Attas menegaskan bahwa perbedaan ini bersumber dari pandangan
dunia sekular Barat, yang memisahkan antara ilmu dan nilai,
serta memandang realitas sebagai entitas yang hanya dapat dijelaskan oleh hukum
alam semata.⁵ Dalam Islam, sebaliknya, ilmu tidak bebas nilai; ia terikat
dengan etika,
adab, dan tujuan moral-spiritual. Ilmu harus membawa manfaat
dan mendekatkan manusia kepada kebenaran yang absolut, yaitu Allah Swt.
6.3.
Tujuan Ilmu
Dalam epistemologi
Islam, ilmu bertujuan tidak hanya untuk mengetahui apa dan bagaimana, tetapi juga mengapa
dan untuk
apa.⁶ Tujuan akhir ilmu dalam Islam adalah ma‘rifatullah
(pengenalan terhadap Allah), sedangkan dalam ilmu Barat modern, tujuan utamanya
adalah penguasaan
atas alam (mastery of nature) dan peningkatan kenyamanan hidup
manusia.⁷
Hal ini berdampak
pada arah perkembangan keilmuan di masing-masing tradisi. Dalam Islam, ilmu
dibingkai dalam kerangka tauhid, sedangkan dalam Barat,
ilmu cenderung dibingkai dalam kerangka utilitarianisme dan pragmatisme.
6.4.
Klasifikasi Ilmu
Tradisi Islam
membagi ilmu menjadi ‘ilm naqli (wahyu) dan ‘ilm
‘aqli (rasional), serta mengelompokkan ilmu ke dalam kategori fardhu
‘ain dan fardhu kifayah.⁸ Sementara itu, dalam
tradisi Barat, klasifikasi ilmu umumnya didasarkan pada objek formal dan
metode, seperti natural sciences, social sciences, dan humanities, tanpa
dikaitkan dengan aspek ibadah atau moralitas.
6.5.
Implikasi Perbedaan
Perbedaan tersebut
memunculkan dua konsekuensi penting. Pertama, hilangnya dimensi spiritual dan etik dalam ilmu
Barat modern, yang sering dikritik karena melahirkan ilmu yang
tidak selalu berpihak pada kemanusiaan.⁹ Kedua, perlunya integrasi antara dua pendekatan
tersebut dalam pendidikan kontemporer agar ilmu tidak hanya
bersifat teknis, tetapi juga transformatif secara spiritual dan sosial.
Dengan demikian,
memahami perbedaan dan titik temu antara konsep ilmu dalam Islam dan Barat
merupakan langkah awal dalam membangun kerangka epistemologi yang integral,
yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai ilahiah dan
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 12.
[2]
George Saliba, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 41.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 15–17.
[4]
Stephen Toulmin, Return to Reason (Cambridge: Harvard
University Press, 2001), 30–33.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 132–133.
[6]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, Hakikat Manusia,
dan Hakikat Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 21.
[7]
Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures
(London: Pluto Press, 2003), 45.
[8]
Mulyadhi Kartanegara, Menalar Tuhan: Sebuah Telaah terhadap
Argumen-argumen tentang Eksistensi Tuhan (Bandung: Mizan, 2006), 58.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: SUNY
Press, 1989), 126.
7.
Kesimpulan
Ilmu, dalam
pandangan baik Islam maupun tradisi akademik modern, merupakan elemen yang
sangat esensial dalam membentuk peradaban dan kehidupan manusia. Namun,
pemahaman tentang ilmu tidak dapat dipisahkan dari konteks filosofis, historis,
dan teologis yang melingkupinya. Kajian etimologis menunjukkan bahwa istilah ‘ilm
dalam bahasa Arab mengandung makna “pengetahuan yang pasti,” yang
mencerminkan kedalaman makna dan tujuan ilmu dalam tradisi Islam.¹
Secara terminologis,
para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Al-Farabi memaknai ilmu
sebagai pengetahuan yang mengantarkan manusia kepada pemahaman hakikat realitas
dan kedekatan kepada Allah Swt.² Ilmu dalam Islam bukan hanya sarana
intelektual, tetapi juga media untuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan
pembentukan akhlak. Oleh karena itu, nilai, niat, dan manfaat menjadi bagian
integral dalam pengertian ilmu menurut Islam.³
Sebaliknya, dalam
tradisi Barat modern, ilmu dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui
metode ilmiah yang rasional, empiris, dan dapat diuji ulang (falsifiable).⁴
Ilmu modern bersifat deskriptif, bebas nilai, dan berorientasi pada penguasaan
terhadap alam semesta. Paradigma ini menghasilkan kemajuan teknologi yang luar
biasa, namun sering kali terlepas dari kontrol etika dan spiritualitas.⁵
Perbandingan antara
keduanya menunjukkan titik temu dalam metodologi dan semangat pencarian
kebenaran, namun juga menegaskan adanya perbedaan mendasar dalam hal orientasi
dan fondasi epistemologis. Islam memandang ilmu sebagai bagian dari ibadah dan
pengabdian kepada Tuhan, sedangkan ilmu Barat modern seringkali bergerak dalam
kerangka sekular yang memisahkan antara fakta dan nilai.⁶
Implikasi dari
pembahasan ini sangat signifikan, terutama dalam konteks pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Muslim kontemporer. Diperlukan integrasi
yang bijak antara pendekatan keilmuan modern dengan nilai-nilai wahyu dan
spiritual Islam, agar ilmu tidak kehilangan arah dan mampu berkontribusi
terhadap perbaikan moral, sosial, dan ekologis umat manusia.⁷
Sebagaimana
diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, tugas utama pendidikan dan keilmuan
dalam Islam adalah untuk “menanamkan adab pada diri manusia, dan
menjadikannya mengenali tempat segala sesuatu secara tepat dalam tatanan wujud.”_⁸
Dengan demikian, ilmu sejati bukan sekadar mengetahui, melainkan memahami,
menghayati, dan mengabdi—dalam satu kesatuan tujuan: mencapai ridha Allah Swt.
Footnotes
[1]
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed.
Safwan Adnani (Beirut: Dar al-Qalam, 2006), 592.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998), 17; Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Abdullah Muhammad
Darwish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 258; Al-Farabi, Tahsil
al-Sa‘adah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1968), 25.
[3]
Al-Zarnuji, Ta‘lim al-Muta‘allim Tariq al-Ta‘allum (Mesir:
Maktabah al-Salam, 2005), 5–6.
[4]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans
Freudenthal (New York: Routledge, 2002), 18–20.
[5]
Stephen Toulmin, Return to Reason (Cambridge: Harvard
University Press, 2001), 36–37.
[6]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 149.
[7]
Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures
(London: Pluto Press, 2003), 84.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 12.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of
education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, S. M. N. (2001). Prolegomena to the
metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the
worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Asfahani, A.-R. (2006). Al-Mufradat fi gharib
al-Qur’an (S. Adnani, Ed.). Beirut: Dar al-Qalam.
Al-Farabi. (1968). Tahsil al-sa‘adah. Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah.
Al-Ghazali. (1998). Ihya’ ‘ulum al-din (Vol.
1). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Jazairi, A. B. J. (2003). Minhaj al-Muslim.
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Zarnuji. (2005). Ta‘lim al-muta‘allim tariq
al-ta‘allum. Mesir: Maktabah al-Salam.
Azra, A. (2004). Islam substantif: Memahami
hakikat dan tujuan hidup beragama. Bandung: Mizan.
Departemen Agama RI. (2019). Al-Qur’an dan
terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Feynman, R. P. (1998). The meaning of it all:
Thoughts of a citizen-scientist. New York: Basic Books.
Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An
introduction to the philosophy of science. Chicago: University of Chicago
Press.
Ibn Khaldun. (1992). Muqaddimah Ibn Khaldun
(A. M. Darwish, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Manzhur. (1993). Lisan al-‘Arab (Vol.
12). Beirut: Dar Shadir.
Kartanegara, M. (2005). Integrasi ilmu: Sebuah
rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan.
Kartanegara, M. (2006). Menalar Tuhan: Sebuah
telaah terhadap argumen-argumen tentang eksistensi Tuhan. Bandung: Mizan.
Nagel, E. (1979). The structure of science:
Problems in the logic of scientific explanation. Indianapolis: Hackett
Publishing.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Popper, K. R. (2002). The logic of scientific
discovery (H. Freudenthal, Trans.). New York: Routledge.
Sardar, Z. (1998). Exploring Islam in the
postmodern world. London: Grey Seal.
Sardar, Z. (2003). Islam, postmodernism and
other futures: A Ziauddin Sardar reader. London: Pluto Press.
Tafsir, A. (2014). Filsafat ilmu: Menguak
hakikat ilmu, hakikat manusia, dan hakikat Tuhan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Toulmin, S. (2001). Return to reason.
Cambridge: Harvard University Press.
Wehr, H. (1994). A dictionary of modern written
Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar