Selasa, 01 April 2025

Ilmu: Tinjauan Etimologis, Terminologis, dan Epistemologis dalam Perspektif Islam dan Akademik

Ilmu

Tinjauan Etimologis, Terminologis, dan Epistemologis dalam Perspektif Islam dan Akademik


Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep ilmu secara komprehensif melalui pendekatan etimologis, terminologis, dan epistemologis dengan menelaah perspektif Islam dan tradisi akademik modern. Kajian diawali dengan analisis etimologis terhadap kata ‘ilm dalam bahasa Arab yang mengandung makna pengetahuan yang pasti dan bernilai hakikat. Selanjutnya, dibahas definisi ilmu menurut para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Al-Farabi, yang menekankan aspek moral, spiritual, dan fungsional dari ilmu. Di sisi lain, pandangan modern terhadap ilmu dirinci berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah seperti rasionalitas, objektivitas, dan verifikasi, sebagaimana dipahami dalam filsafat ilmu Barat.

Artikel ini juga mengkaji konsep ilmu dalam Al-Qur’an dan hadis, yang menunjukkan bahwa ilmu adalah bagian integral dari iman dan ibadah, serta memiliki tujuan luhur yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt. Perbandingan antara konsep ilmu dalam Islam dan Barat menunjukkan adanya titik temu dalam hal metode, tetapi berbeda dalam orientasi dan nilai. Islam memandang ilmu dalam kerangka tauhid dan pengabdian, sementara ilmu modern cenderung bersifat sekular dan pragmatis. Artikel ini menyimpulkan pentingnya integrasi antara pendekatan keilmuan modern dengan nilai-nilai spiritual Islam untuk membentuk epistemologi yang utuh, etis, dan transformatif.

Kata Kunci: Ilmu, Islam, Filsafat Ilmu, Epistemologi, Etimologi, Terminologi, Al-Qur’an, Hadis, Sekularisme, Integrasi Ilmu.


PEMBAHASAN

Memahami Ilmu Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Ilmu merupakan salah satu konsep fundamental dalam peradaban manusia yang telah menjadi pusat perhatian dalam berbagai tradisi intelektual, baik Timur maupun Barat. Dalam Islam, ilmu bahkan menduduki posisi sentral yang tidak dapat dipisahkan dari misi kerasulan. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw memerintahkan untuk "iqra’", yang berarti “bacalah” (QS. Al-‘Alaq [96] ayat 1), sebuah isyarat yang menunjukkan pentingnya aktivitas intelektual dan pencarian pengetahuan sebagai fondasi ajaran Islam.¹

Seiring perkembangan zaman, pemahaman tentang ilmu mengalami perluasan makna, terutama ketika berhadapan dengan tradisi keilmuan Barat yang melahirkan paradigma baru melalui filsafat ilmu. Di sisi lain, para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, dan Al-Farabi telah lebih dahulu merumuskan kerangka konseptual ilmu dalam perspektif Islam, yang tidak hanya menekankan aspek rasionalitas, tetapi juga orientasi spiritual dan etis.² Oleh karena itu, membahas ilmu tidak dapat dilepaskan dari dimensi filosofis, teologis, dan epistemologis yang melingkupinya.

Dalam konteks pendidikan modern, urgensi pemahaman mendalam tentang ilmu menjadi semakin penting. Hal ini dikarenakan ilmu tidak hanya dipandang sebagai kumpulan informasi, tetapi juga sebagai kekuatan yang membentuk cara pandang, nilai, dan arah hidup individu maupun masyarakat. Harun Nasution menegaskan bahwa pemahaman terhadap ilmu yang utuh akan menentukan kualitas keberagamaan seseorang, karena Islam menuntut keterpaduan antara akal dan wahyu.³ Sementara itu, dalam kerangka ilmiah kontemporer, ilmu diposisikan sebagai produk metodis yang lahir dari observasi, eksperimentasi, dan verifikasi, sebagaimana dijelaskan oleh tokoh filsafat ilmu seperti Karl Popper.⁴

Namun demikian, ketegangan antara definisi ilmu dalam Islam dan Barat tidak dapat dihindari. Pandangan Barat cenderung bersifat sekular dan empirik, sedangkan dalam Islam, ilmu mengandung unsur transenden yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.⁵ Hal ini menimbulkan tantangan sekaligus peluang untuk membangun jembatan pemikiran antara dua tradisi keilmuan tersebut. Maka dari itu, artikel ini akan mengkaji pengertian ilmu secara etimologis dan terminologis dengan pendekatan interdisipliner, guna memberikan pemahaman yang komprehensif bagi para pelajar, akademisi, dan peminat studi Islam.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-‘Alaq [96] ayat 1.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 17; lihat pula Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1968), 24.

[3]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1995), 89.

[4]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans Freudenthal (New York: Routledge, 2002), 27–30.

[5]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2005), 44–46.


2.           Definisi Etimologis Ilmu

Secara etimologis, kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata ‘alima–ya‘lamu–‘ilman (علميعلمعلما) yang berarti mengetahui atau memahami sesuatu secara pasti. Akar kata ini menunjukkan makna yang mengandung kepastian, kejelasan, dan keteraturan dalam pengetahuan yang diperoleh.¹ Dalam Lisan al-‘Arab, Ibn Manzhur menjelaskan bahwa ‘ilm adalah lawan dari jahl (kebodohan) dan merupakan suatu bentuk kesadaran terhadap sesuatu berdasarkan keyakinan yang benar dan jelas.²

Sementara itu, Al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menjelaskan bahwa ‘ilm mengandung arti "penangkapan makna suatu objek dalam pikiran, baik secara pasti maupun mendekati kepastian."_³ Dengan kata lain, ‘ilm tidak sekadar mengetahui secara samar atau bersifat dugaan (zann), tetapi melibatkan tingkat keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran suatu informasi. Konsep ini sangat penting dalam Islam karena ilmu dipandang sebagai salah satu bentuk petunjuk Allah yang membedakan antara kebenaran dan kesesatan.

Makna etimologis ini memiliki implikasi filosofis yang dalam, karena menunjukkan bahwa ilmu bukan sekadar hasil proses kognitif, melainkan mencerminkan dimensi epistemologis dan ontologis. Dalam pemikiran Islam klasik, ilmu memiliki kedudukan yang tidak hanya membimbing cara berpikir manusia, tetapi juga menjadi sarana utama untuk mengenal Allah (ma‘rifatullah).⁴ Oleh karena itu, dalam banyak literatur keislaman, ilmu selalu dikaitkan dengan kedalaman makna, bukan sekadar akumulasi data atau fakta.

Dalam tinjauan linguistik Arab, penggunaan kata ‘ilm pun sangat luas. Ia mencakup segala jenis pengetahuan yang bersifat rasional (‘aqliyyah) maupun wahyu (naqliyyah), serta dapat digunakan untuk menjelaskan proses belajar (ta‘allum), hasil dari proses tersebut (ma‘lumat), dan bahkan bidang-bidang tertentu yang dikhususkan seperti ‘ilm al-nafs (psikologi) atau ‘ilm al-kalam (teologi).⁵ Ini menunjukkan betapa kaya dan kompleksnya makna etimologis ilmu dalam khazanah keilmuan Islam.

Pemahaman etimologis ini menjadi dasar penting dalam membedakan antara ilmu yang benar (haqq) dan pengetahuan semu yang mungkin bersumber dari persepsi keliru atau informasi yang tidak terverifikasi. Dalam filsafat ilmu kontemporer, pertanyaan tentang "apa itu ilmu?" berakar dari penelusuran terhadap makna asal kata tersebut.⁶ Karenanya, menelusuri akar kata ‘ilm memberikan fondasi awal dalam merumuskan definisi terminologis dan epistemologis yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Urbana: Spoken Language Services, 1994), 650.

[2]                Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, jilid 12 (Beirut: Dar Shadir, 1993), 417.

[3]                Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed. Safwan Adnani (Beirut: Dar al-Qalam, 2006), 592.

[4]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 131–132.

[5]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Memahami Hakikat dan Tujuan Hidup Beragama (Bandung: Mizan, 2004), 52.

[6]                Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, Hakikat Manusia, dan Hakikat Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 14–15.


3.           Definisi Terminologis Ilmu dalam Islam

Dalam khazanah intelektual Islam, istilah ilmu (علم) tidak hanya dipahami sebagai aktivitas kognitif, melainkan sebagai sebuah konsep yang sarat dengan dimensi teologis, spiritual, dan moral. Secara terminologis, para ulama klasik memberikan beragam definisi ilmu sesuai dengan latar belakang disiplin keilmuannya, namun secara umum memiliki satu benang merah: ilmu adalah pengetahuan yang benar (haqq) yang diyakini secara pasti dan dibangun atas dasar dalil yang sahih.

Imam Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf besar Islam, dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum al-Din mendefinisikan ilmu sebagai “sesuatu yang dapat menetap dalam jiwa dan terbentuk sebagai gambaran yang nyata terhadap objek yang diketahui.”_¹ Dalam pengertian ini, ilmu bukan sekadar hafalan atau data yang tersimpan dalam memori, melainkan hasil internalisasi mendalam yang menumbuhkan pemahaman serta kesadaran yang utuh terhadap realitas.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa “ilmu adalah suatu hal yang diperoleh melalui proses belajar dan merupakan hasil dari kemampuan akal dalam menangkap hakikat sesuatu.”_² Definisi ini memperlihatkan pendekatan rasional dalam memahami ilmu, namun tetap dalam bingkai keimanan karena menurut Ibn Khaldun, ilmu yang hakiki tidak akan bertentangan dengan syariat. Ia juga membagi ilmu ke dalam dua kategori besar: ilmu naqli (berbasis wahyu) dan ilmu aqli (berbasis akal), dengan penekanan bahwa keduanya memiliki peran yang penting dalam membentuk peradaban Islam.³

Ulama lain seperti Al-Farabi dalam karya Tahsil al-Sa‘adah menyatakan bahwa ilmu adalah “mengetahui sesuatu sebagaimana adanya.”_⁴ Definisi ini menekankan aspek objektivitas dan korespondensi antara subjek pengetahuan (manusia) dengan objeknya (realitas), sebuah pendekatan yang juga digunakan dalam epistemologi modern. Namun, Al-Farabi menambahkan bahwa ilmu yang sejati harus mampu menuntun manusia pada kebahagiaan (sa‘adah), yang dalam konteks Islam berarti kedekatan dengan Tuhan.

Para ulama juga menekankan pentingnya niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Dalam perspektif Islam, ilmu tidak hanya dinilai dari kebenarannya, tetapi juga dari manfaatnya (nafi‘) dan orientasinya menuju Allah Swt.⁵ Oleh karena itu, Al-Zarnuji dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim memperingatkan bahwa ilmu yang tidak disertai niat yang ikhlas dapat menjadi penyebab kebinasaan, bukan keselamatan.⁶

Lebih lanjut, ilmu dalam Islam tidak bersifat bebas nilai, melainkan selalu terkait dengan etika dan adab. Hal ini ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mendefinisikan ilmu sebagai “pengenalan yang benar dan hakiki yang dibangun atas dasar wahyu dan akal, yang menuntun manusia untuk mengenali tempatnya di alam dan tunduk kepada Tuhan.”_⁷ Dengan demikian, definisi ilmu dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari integrasi antara akal dan wahyu, antara kognisi dan spiritualitas.

Sebagai hasil dari pendekatan integral ini, para ulama membedakan antara ilmu yang bermanfaat (‘ilm al-nafi‘) dan ilmu yang tidak bermanfaat (‘ilm ghayr nafi‘), sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw dalam doanya: “Allahumma inni a‘udzu bika min ‘ilmin la yanfa‘...” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).⁸ Penekanan terhadap nilai dan fungsi ilmu dalam kehidupan menjadi karakteristik utama dalam terminologi ilmu versi Islam, menjadikannya tidak sekadar pencarian pengetahuan, tetapi juga proses pensucian jiwa dan pembinaan akhlak.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 17.

[2]                Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Abdullah Muhammad Darwish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 258.

[3]                Ibid., 262–264.

[4]                Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1968), 25.

[5]                Syekh Nawawi al-Bantani, Nashaih al-‘Ibad (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 12.

[6]                Al-Zarnuji, Ta‘lim al-Muta‘allim Tariq al-Ta‘allum (Mesir: Maktabah al-Salam, 2005), 4–6.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 15.

[8]                HR. Muslim, No. 2722.


4.           Definisi Terminologis Ilmu dalam Perspektif Modern

Dalam tradisi keilmuan modern, istilah ilmu atau science merujuk pada suatu sistem pengetahuan yang diperoleh melalui metode yang sistematis, rasional, dan empiris. Ilmu modern dikembangkan atas dasar observasi, eksperimen, analisis, serta penarikan kesimpulan yang dapat diuji dan diverifikasi.¹ Definisi ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat ilmu yang mengalami kemajuan pesat sejak era Renaisans hingga masa kontemporer.

Secara terminologis, Karl Popper mendefinisikan ilmu sebagai “pengetahuan yang dapat diuji dan diuji balik (falsifiable), serta dibentuk dari hipotesis-hipotesis yang terbuka untuk dibantah.”_² Dalam pandangan Popper, ilmu tidak dilihat sebagai kebenaran mutlak, melainkan sebagai rangkaian teori yang terus diuji melalui metode deduktif dan konfirmasi empiris. Pendekatan ini menekankan aspek keterbukaan dan ketidaksempurnaan ilmu, sekaligus menempatkan ilmu sebagai proses yang dinamis.

Selain Popper, ilmuwan dan filsuf lain seperti Richard Feynman juga menekankan pentingnya aspek keraguan dan metode eksperimental dalam ilmu. Menurutnya, ilmu merupakan suatu cara berpikir yang melibatkan pencarian kebenaran melalui pendekatan trial and error, bukan sekadar pengumpulan data.³ Artinya, ilmu modern menuntut adanya skeptisisme metodologis dan kehati-hatian terhadap generalisasi.

Dalam ranah akademik, ilmu sering kali dirumuskan sebagai a body of knowledge yang diperoleh melalui proses sistematis, melibatkan pengamatan (observation), pengukuran (measurement), dan pengujian hipotesis.⁴ Unsur-unsur penting yang membentuk definisi ilmu dalam perspektif ini mencakup:

·                     Objektivitas: ilmu harus bebas dari bias subjektif.

·                     Rasionalitas: ilmu harus logis dan berdasarkan argumentasi yang sah.

·                     Sistematika: ilmu disusun secara teratur dan saling berkaitan.

·                     Verifikasi dan falsifikasi: ilmu dapat diuji kebenarannya.

·                     Kumulatif: ilmu bersifat berkembang dan dapat diperbaiki dari waktu ke waktu.⁵

Namun demikian, ilmu dalam pandangan modern cenderung bersifat sekular, dalam arti ia berdiri di luar kerangka keimanan atau nilai-nilai metafisik. Aspek ini menjadi kritik utama dari para cendekiawan Muslim kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang menilai bahwa ilmu modern telah kehilangan dimensi spiritual dan etikanya.⁶ Sementara dalam tradisi Islam, ilmu tidak hanya menjelaskan “bagaimana” sesuatu terjadi, tetapi juga menjawab “mengapa” dan “untuk apa” ia diciptakan.

Selain itu, dalam paradigma Barat modern, istilah ilmu sering dipersempit pada natural sciences (ilmu alam), dan cabang-cabang ilmu sosial, humaniora, atau ilmu keagamaan dianggap kurang “ilmiah” karena tidak memenuhi kriteria empiris yang ketat.⁷ Hal ini memunculkan dikotomi antara scientific knowledge dan non-scientific knowledge, yang tidak dikenal dalam epistemologi Islam yang bersifat integral dan komprehensif.

Meski begitu, ilmu modern tetap memberikan kontribusi besar dalam perkembangan peradaban, terutama dalam aspek teknologi dan penemuan-penemuan empiris yang meningkatkan kualitas hidup manusia. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan pendekatan ilmiah modern ini dengan nilai-nilai etis dan spiritual yang menjadi fondasi ilmu dalam perspektif Islam.


Footnotes

[1]                Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation (Indianapolis: Hackett Publishing, 1979), 4.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans Freudenthal (New York: Routledge, 2002), 18–20.

[3]                Richard P. Feynman, The Meaning of It All: Thoughts of a Citizen-Scientist (New York: Basic Books, 1998), 28.

[4]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 10.

[5]                Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, Hakikat Manusia, dan Hakikat Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 16–19.

[6]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 149.

[7]                Ziauddin Sardar, Exploring Islam in the Postmodern World (London: Grey Seal, 1998), 74.


5.           Konsep Ilmu dalam Al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama ajaran Islam menempatkan ilmu (الْعِلْم) dalam posisi yang sangat mulia dan strategis dalam membentuk peradaban dan kehidupan manusia. Dalam Al-Qur’an, kata ‘ilm dalam berbagai bentuknya disebutkan lebih dari 750 kali, menunjukkan betapa sentralnya posisi ilmu dalam Islam.¹ Hal ini menandakan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal, pencarian pengetahuan, dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.

Salah satu ayat yang sering dikutip dalam konteks keutamaan ilmu adalah firman Allah Swt:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah [58] ayat 11).²

Ayat ini secara eksplisit menyandingkan keutamaan iman dan ilmu, menandakan bahwa keduanya merupakan fondasi utama dalam Islam. Ilmu bukan hanya sarana intelektual, tetapi juga jalan menuju peningkatan spiritual dan sosial.

Begitu pula dalam QS. Az-Zumar [39] ayat 9:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ

Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”_³

Ayat ini mengisyaratkan perbedaan kualitas eksistensial antara manusia yang berilmu dan yang tidak. Pengetahuan menjadi tolok ukur kemuliaan manusia, bukan semata kedudukan, kekayaan, atau kekuasaan.

Dalam hadis, Rasulullah Saw secara konsisten mendorong umatnya untuk menuntut ilmu. Hadis yang sangat masyhur menyatakan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”_⁴

Hadis ini menunjukkan bahwa ilmu bukan pilihan, tetapi kewajiban yang melekat pada setiap individu Muslim, tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau latar belakang sosial. Bahkan, kewajiban tersebut berlaku sejak lahir hingga meninggal dunia, sebagaimana sabdanya:

اطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”_⁵

Konsep ilmu dalam Al-Qur’an dan hadis tidak terbatas pada aspek duniawi atau keilmuan teknis. Islam mengenal istilah ‘ilm al-nafi‘ (ilmu yang bermanfaat), yaitu ilmu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat…”_⁶

Doa ini menunjukkan bahwa dalam Islam, nilai ilmu diukur dari manfaatnya secara moral dan sosial, bukan hanya dari aspek teoritis atau aplikatif.

Selain itu, konsep ilmu dalam Al-Qur’an juga menyentuh aspek epistemologis, yaitu bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 31-32, Allah mengajarkan Adam nama-nama benda (pengetahuan dasar) sebagai bekal dalam menjalankan tugas kekhalifahan.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa ilmu adalah anugerah Ilahi yang membedakan manusia dari makhluk lain dan menjadi dasar eksistensi serta fungsi sosialnya.

Konsep ini ditegaskan pula oleh banyak ulama. Al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat menyebut bahwa ‘ilm dalam Al-Qur’an merujuk pada pengetahuan yang benar, diperoleh melalui wahyu, akal, dan pengalaman empirik, dan bertujuan untuk mengantarkan manusia pada pengenalan terhadap Allah (ma‘rifatullah).⁸ Oleh karena itu, orientasi ilmu dalam Islam selalu bersifat tauhidi: mengarah pada pengakuan atas keesaan dan kekuasaan Allah.

Dengan demikian, ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dan hadis tidak dapat dipisahkan dari nilai spiritual, etika, dan pengabdian kepada Tuhan. Ilmu menjadi sarana untuk memahami ciptaan Allah, mengelola bumi secara bertanggung jawab, serta memperbaiki kualitas hidup manusia dalam kerangka penghambaan.⁹


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2005), 51.

[2]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), QS. Al-Mujadilah [58] ayat11.

[3]                Ibid., QS. Az-Zumar [39] ayat9.

[4]                HR. Ibnu Majah, No. 224; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, No. 1113.

[5]                Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 195.

[6]                HR. Muslim, No. 2722.

[7]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Baqarah [2] ayat 31–32.

[8]                Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed. Safwan Adnani (Beirut: Dar al-Qalam, 2006), 592.

[9]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 10–12.


6.           Perbandingan antara Pengertian Ilmu Menurut Islam dan Barat

Perbandingan antara pengertian ilmu dalam tradisi Islam dan Barat memperlihatkan adanya perbedaan mendasar dalam hal paradigma, tujuan, sumber, dan struktur epistemologis. Meskipun keduanya sama-sama menghargai rasionalitas dan penalaran, pendekatan yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda, seiring dengan perbedaan akar filosofis dan pandangan dunia (worldview) masing-masing tradisi.

6.1.       Titik Temu antara Islam dan Barat

Baik dalam tradisi Islam maupun Barat modern, ilmu dipahami sebagai suatu bentuk pengetahuan yang terorganisir secara sistematis dan didasarkan pada logika serta bukti yang dapat diverifikasi.¹ Dalam filsafat ilmu, misalnya, penekanan terhadap metode observasi, eksperimen, dan penalaran logis menjadi prinsip umum yang juga diterima dalam khazanah ilmiah Islam. Tokoh-tokoh Muslim klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn al-Haytham telah menggunakan pendekatan rasional dan empiris dalam kajian ilmu mereka jauh sebelum era ilmuwan Barat seperti Francis Bacon atau Isaac Newton.²

Selain itu, prinsip keterbukaan terhadap pencarian kebenaran juga menjadi nilai bersama. Dalam Islam, mencari ilmu adalah kewajiban (fardhu) yang berlaku sepanjang hayat, dan dalam tradisi Barat, ilmu diposisikan sebagai upaya tak berkesudahan untuk memahami alam semesta melalui metode ilmiah yang terbuka dan bisa dikoreksi.

6.2.       Titik Beda antara Islam dan Barat

Meski ada titik temu, perbedaan yang paling mendasar terletak pada orientasi dan sumber ilmu. Dalam Islam, ilmu bersumber dari wahyu (naqli) dan akal (‘aqli) yang berada dalam harmoni. Ilmu dipahami sebagai amanah Ilahi yang bertujuan menuntun manusia untuk mengenal Allah, menjalankan tugas kekhalifahan, dan membentuk akhlak yang mulia.³ Sebaliknya, dalam tradisi Barat modern—terutama sejak era pencerahan (Enlightenment)—ilmu cenderung dilepaskan dari nilai-nilai metafisis dan agama, bersifat sekular dan independen dari wahyu, serta hanya mengandalkan rasio dan data empiris.⁴

Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa perbedaan ini bersumber dari pandangan dunia sekular Barat, yang memisahkan antara ilmu dan nilai, serta memandang realitas sebagai entitas yang hanya dapat dijelaskan oleh hukum alam semata.⁵ Dalam Islam, sebaliknya, ilmu tidak bebas nilai; ia terikat dengan etika, adab, dan tujuan moral-spiritual. Ilmu harus membawa manfaat dan mendekatkan manusia kepada kebenaran yang absolut, yaitu Allah Swt.

6.3.       Tujuan Ilmu

Dalam epistemologi Islam, ilmu bertujuan tidak hanya untuk mengetahui apa dan bagaimana, tetapi juga mengapa dan untuk apa.⁶ Tujuan akhir ilmu dalam Islam adalah ma‘rifatullah (pengenalan terhadap Allah), sedangkan dalam ilmu Barat modern, tujuan utamanya adalah penguasaan atas alam (mastery of nature) dan peningkatan kenyamanan hidup manusia.⁷

Hal ini berdampak pada arah perkembangan keilmuan di masing-masing tradisi. Dalam Islam, ilmu dibingkai dalam kerangka tauhid, sedangkan dalam Barat, ilmu cenderung dibingkai dalam kerangka utilitarianisme dan pragmatisme.

6.4.       Klasifikasi Ilmu

Tradisi Islam membagi ilmu menjadi ‘ilm naqli (wahyu) dan ‘ilm ‘aqli (rasional), serta mengelompokkan ilmu ke dalam kategori fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.⁸ Sementara itu, dalam tradisi Barat, klasifikasi ilmu umumnya didasarkan pada objek formal dan metode, seperti natural sciences, social sciences, dan humanities, tanpa dikaitkan dengan aspek ibadah atau moralitas.

6.5.       Implikasi Perbedaan

Perbedaan tersebut memunculkan dua konsekuensi penting. Pertama, hilangnya dimensi spiritual dan etik dalam ilmu Barat modern, yang sering dikritik karena melahirkan ilmu yang tidak selalu berpihak pada kemanusiaan.⁹ Kedua, perlunya integrasi antara dua pendekatan tersebut dalam pendidikan kontemporer agar ilmu tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga transformatif secara spiritual dan sosial.

Dengan demikian, memahami perbedaan dan titik temu antara konsep ilmu dalam Islam dan Barat merupakan langkah awal dalam membangun kerangka epistemologi yang integral, yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai ilahiah dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 12.

[2]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 41.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 15–17.

[4]                Stephen Toulmin, Return to Reason (Cambridge: Harvard University Press, 2001), 30–33.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 132–133.

[6]                Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Menguak Hakikat Ilmu, Hakikat Manusia, dan Hakikat Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), 21.

[7]                Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures (London: Pluto Press, 2003), 45.

[8]                Mulyadhi Kartanegara, Menalar Tuhan: Sebuah Telaah terhadap Argumen-argumen tentang Eksistensi Tuhan (Bandung: Mizan, 2006), 58.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: SUNY Press, 1989), 126.


7.           Kesimpulan

Ilmu, dalam pandangan baik Islam maupun tradisi akademik modern, merupakan elemen yang sangat esensial dalam membentuk peradaban dan kehidupan manusia. Namun, pemahaman tentang ilmu tidak dapat dipisahkan dari konteks filosofis, historis, dan teologis yang melingkupinya. Kajian etimologis menunjukkan bahwa istilah ‘ilm dalam bahasa Arab mengandung makna “pengetahuan yang pasti,” yang mencerminkan kedalaman makna dan tujuan ilmu dalam tradisi Islam.¹

Secara terminologis, para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Al-Farabi memaknai ilmu sebagai pengetahuan yang mengantarkan manusia kepada pemahaman hakikat realitas dan kedekatan kepada Allah Swt.² Ilmu dalam Islam bukan hanya sarana intelektual, tetapi juga media untuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan pembentukan akhlak. Oleh karena itu, nilai, niat, dan manfaat menjadi bagian integral dalam pengertian ilmu menurut Islam.³

Sebaliknya, dalam tradisi Barat modern, ilmu dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang rasional, empiris, dan dapat diuji ulang (falsifiable).⁴ Ilmu modern bersifat deskriptif, bebas nilai, dan berorientasi pada penguasaan terhadap alam semesta. Paradigma ini menghasilkan kemajuan teknologi yang luar biasa, namun sering kali terlepas dari kontrol etika dan spiritualitas.⁵

Perbandingan antara keduanya menunjukkan titik temu dalam metodologi dan semangat pencarian kebenaran, namun juga menegaskan adanya perbedaan mendasar dalam hal orientasi dan fondasi epistemologis. Islam memandang ilmu sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian kepada Tuhan, sedangkan ilmu Barat modern seringkali bergerak dalam kerangka sekular yang memisahkan antara fakta dan nilai.⁶

Implikasi dari pembahasan ini sangat signifikan, terutama dalam konteks pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Muslim kontemporer. Diperlukan integrasi yang bijak antara pendekatan keilmuan modern dengan nilai-nilai wahyu dan spiritual Islam, agar ilmu tidak kehilangan arah dan mampu berkontribusi terhadap perbaikan moral, sosial, dan ekologis umat manusia.⁷

Sebagaimana diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, tugas utama pendidikan dan keilmuan dalam Islam adalah untuk “menanamkan adab pada diri manusia, dan menjadikannya mengenali tempat segala sesuatu secara tepat dalam tatanan wujud.”_⁸ Dengan demikian, ilmu sejati bukan sekadar mengetahui, melainkan memahami, menghayati, dan mengabdi—dalam satu kesatuan tujuan: mencapai ridha Allah Swt.


Footnotes

[1]                Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed. Safwan Adnani (Beirut: Dar al-Qalam, 2006), 592.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 17; Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, ed. Abdullah Muhammad Darwish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 258; Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1968), 25.

[3]                Al-Zarnuji, Ta‘lim al-Muta‘allim Tariq al-Ta‘allum (Mesir: Maktabah al-Salam, 2005), 5–6.

[4]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans Freudenthal (New York: Routledge, 2002), 18–20.

[5]                Stephen Toulmin, Return to Reason (Cambridge: Harvard University Press, 2001), 36–37.

[6]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 149.

[7]                Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures (London: Pluto Press, 2003), 84.

[8]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 12.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, S. M. N. (2001). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Asfahani, A.-R. (2006). Al-Mufradat fi gharib al-Qur’an (S. Adnani, Ed.). Beirut: Dar al-Qalam.

Al-Farabi. (1968). Tahsil al-sa‘adah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah.

Al-Ghazali. (1998). Ihya’ ‘ulum al-din (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Jazairi, A. B. J. (2003). Minhaj al-Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Zarnuji. (2005). Ta‘lim al-muta‘allim tariq al-ta‘allum. Mesir: Maktabah al-Salam.

Azra, A. (2004). Islam substantif: Memahami hakikat dan tujuan hidup beragama. Bandung: Mizan.

Departemen Agama RI. (2019). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Feynman, R. P. (1998). The meaning of it all: Thoughts of a citizen-scientist. New York: Basic Books.

Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An introduction to the philosophy of science. Chicago: University of Chicago Press.

Ibn Khaldun. (1992). Muqaddimah Ibn Khaldun (A. M. Darwish, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Manzhur. (1993). Lisan al-‘Arab (Vol. 12). Beirut: Dar Shadir.

Kartanegara, M. (2005). Integrasi ilmu: Sebuah rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan.

Kartanegara, M. (2006). Menalar Tuhan: Sebuah telaah terhadap argumen-argumen tentang eksistensi Tuhan. Bandung: Mizan.

Nagel, E. (1979). The structure of science: Problems in the logic of scientific explanation. Indianapolis: Hackett Publishing.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery (H. Freudenthal, Trans.). New York: Routledge.

Sardar, Z. (1998). Exploring Islam in the postmodern world. London: Grey Seal.

Sardar, Z. (2003). Islam, postmodernism and other futures: A Ziauddin Sardar reader. London: Pluto Press.

Tafsir, A. (2014). Filsafat ilmu: Menguak hakikat ilmu, hakikat manusia, dan hakikat Tuhan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Toulmin, S. (2001). Return to reason. Cambridge: Harvard University Press.

Wehr, H. (1994). A dictionary of modern written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Urbana: Spoken Language Services.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar