Filsafat Moral
Dasar-Dasar Etika dalam
Pemikiran Klasik dan Kontemporer
Alihkan ke: Perkembangan dan Sejarah Filsafat Moral, Moralitas, Etika, Hukum.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang filsafat moral sebagai
cabang filsafat normatif yang menyelidiki prinsip-prinsip dasar mengenai baik
dan buruk, benar dan salah, serta tindakan yang seharusnya dilakukan manusia. Dengan
mengkaji akar sejarah pemikiran moral dari era Yunani Kuno hingga pemikiran
etis kontemporer, artikel ini mengeksplorasi berbagai aliran utama dalam
filsafat moral, seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan. Selain
itu, artikel ini menyoroti isu-isu moral kontemporer seperti bioetika, etika teknologi, keadilan algoritmik, serta problematika moral dalam era digital dan
globalisasi. Melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan psikologi,
antropologi, dan sosiologi, artikel ini menunjukkan bahwa refleksi moral
bersifat dinamis, kontekstual, dan relevan dalam membentuk karakter serta
kebijakan publik. Kritik terhadap objektivitas etika, relativisme, dan
tantangan posmodernisme juga dikaji untuk menilai daya tahan filsafat moral
dalam menjawab krisis nilai abad ke-21. Dengan demikian, filsafat moral tidak
hanya berfungsi sebagai teori normatif, tetapi juga sebagai sarana reflektif
yang membentuk kepribadian moral, sistem pendidikan, dan struktur sosial yang
etis.
Kata Kunci: Filsafat
moral, etika, deontologi, utilitarianisme, kebajikan, bioetika, etika teknologi, karakter, relativisme moral, pendidikan etika.
PEMBAHASAN
Filsafat Moral dalam Pemikiran
Klasik dan Kontemporer
1.
Pendahuluan
1.1. Latar
Belakang dan Relevansi Filsafat Moral
Definisi dan cakupan
Filsafat moral — atau etika — merupakan cabang filsafat yang membahas
konsep-konsep dasar mengenai apa yang baik dan buruk, serta apa yang seharusnya
kita lakukan dalam
kehidupan¹. Ia menyelidiki standar moralitas, menilai karakter dan institusi,
serta membimbing kita dalam mengambil keputusan etis². Filsafat moral tidak
hanya mempertanyakan tindakan, tetapi juga menganalisis alasan di balik
tindakan tersebut³.
Mengapa filsafat moral penting?
·
Memberikan landasan
normatif untuk penilaian moral serta membantu membedakan antara apa yang seharusnya
terjadi dengan apa yang sungguh terjadi dalam praktik sosial⁴.
·
Dalam konteks modern—misalnya teknologi,
politik, dan pendidikan—filsafat moral menjadi pusat refleksi kritis terhadap
berbagai isu kontemporer, seperti etika AI, keadilan distribusi, dan tanggung
jawab ekologis.
1.2. Perbedaan
Antara Moral, Etika, dan Hukum
Istilah moral sering merujuk pada keyakinan personal tentang apa
yang benar atau salah, sedangkan etika adalah kajian filosofis tentang
moralitas sebagai sistem normatif⁵. Sebaliknya, hukum lebih menekankan aturan formal
yang diatur oleh otoritas negara dan bukan semata prinsip moral⁶. Dalam hal
ini, filsafat moral berada di ranah yang lebih mendalam dan reflektif
dibandingkan keduanya.
1.3. Tujuan
Kajian Filsafat Moral
Secara umum, kajian filsafat moral
bertujuan untuk:
·
Menguraikan dasar-dasar teori moral—termasuk
deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan⁷.
·
Mengeksplorasi dimensi metaetika (apa itu
moralitas dan bagaimana kita mengetahui nilai moral)⁸.
·
Memberikan kerangka konseptual untuk mengatasi
masalah moral praktis dalam kehidupan nyata.
1.4. Konteks
Kontemporer
Di dunia yang semakin kompleks—dengan kemajuan teknologi, pluralitas
budaya, dan tantangan global—penafsiran moral klasik sering diuji kembali. Misalnya:
·
Teori keadilan dan moralitas tradisional
(seperti Aristoteles dan Kant) kini dibandingkan dengan pendekatan kontemporer
seperti etika lingkungan, etika feminis, dan etika teknologi⁹.
·
Perdebatan tentang objektivitas moral terus
berlangsung: apakah nilai moral bersifat universal atau tergantung konteks
budaya dan sejarah¹⁰.
Footnotes
[1]
Encyclopædia
Britannica, s.v. “Ethics,” diakses via web, menyatakan bahwa etika adalah
disiplin yang membahas tentang apa yang baik dan buruk, serta apa yang benar
dan salah.
[2]
Wikipedia,
artikel Ethics, menegaskan bahwa etika (juga disebut filsafat moral)
mengeksplorasi apa yang orang seharusnya lakukan dan bagaimana menilai karakter
serta institusi secara moral.
[3]
Ethics Overview – Introduction to Philosophy,
yang menyatakan bahwa etika bukan hanya teori tindakan, tetapi juga tentang
pembenaran klaim moral.
[4]
Wikipedia, Ethics, menekankan bahwa moralitas
berfokus pada apa yang seharusnya dilakukan, bukan hanya apa yang dilakukan
atau diingini.
[5]
Verywell Mind, “What Is Objective Morality?”,
membedakan moral (keyakinan personal) dan etika (kode sistem sosial).
[6]
Britannica, “Ethics,” menjelaskan bahwa etika adalah
cabang filsafat, sedangkan hukum berada dalam ranah sosial-keilmuan yang
berbeda.
[7]
Wikipedia, Ethics,
mencatat tiga cabang utama etika: metaetika, etika normatif (deontologi,
konsekvensialisme, virtus), dan etika terapan.
[8]
Wolff, An Introduction to Moral Philosophy
(2018) sebagai karya pengantar yang komprehensif terhadap teori-teori moral.
[9]
MacIntyre, After
Virtue (1981) dan perdebatan kontemporer tentang etika, seperti etika
lingkungan dan feminis.
[10]
Verywell Mind, “What Is Objective Morality?”,
memberikan penjelasan historis dan kontemporer tentang moralitas objektif dan
subjektif.
2.
Hakikat Filsafat Moral
2.1. Definisi
dan Ruang Lingkup Filsafat Moral (Etika)
Filsafat moral — yang juga dikenal sebagai etika — merupakan cabang
filsafat yang fokus pada kajian tentang nilai-nilai moral, norma, dan prinsip
yang mengatur perilaku manusia serta pertimbangan moral atas baik dan buruk¹.
Dalam terminologi akademis, istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos
yang berarti watak atau adat, sedangkan moral berasal dari kata Latin mores
yang berarti kebiasaan atau cara hidup². Etika bertindak sebagai refleksi
filosofis kritis atas sistem nilai moral yang diterima dan dipraktikkan dalam
masyarakat³.
2.2. Objek dan
Fokus Kajian
Filsafat moral membahas beberapa ranah
utama:
1)
Metaetika – berfokus
pada pertanyaan mengenai hakikat moralitas itu sendiri: apakah ada fakta moral
objektif, apa makna istilah seperti “baik” dan “benar”, serta bagaimanakah
moralitas diketahui⁴. Cabang ini bertugas menjawab “apa itu moralitas?” dan
“bagaimana kita mengetahui bahwa sesuatu itu moral?”⁵.
2)
Etika normatif – membahas teori-teori tentang bagaimana
seharusnya kita bertindak secara moral. Di antaranya termasuk aliran seperti
deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan (virtue ethics)⁶.
3)
Etika terapan – menerapkan prinsip-prinsip moral dalam
konteks praktis kehidupan nyata, seperti bioetika, etika lingkungan, dan etika teknologi⁷.
2.3. Perbedaan
Fundamental: Moral vs. Etika
·
Moral merujuk pada ajaran atau sistem nilai yang
mengatur apa yang diterima sebagai baik atau buruk dalam masyarakat, dan sering
kali bersifat tidak kritis karena diterima secara turun-temurun⁸.
·
Etika sebagai kajian filosofis secara aktif
menggali, memeriksa, dan mempertanyakan dasar serta koherensi dari sistem nilai
moral tersebut⁹.
Dengan demikian, filsafat moral tidak hanya meluruskan konseptual,
tetapi juga mengevaluasi perspektif moral yang ada secara reflektif.
2.4. Fokus
Pemikiran Moralitas: Rasionalitas dan Refleksi Kritik
Konsep actus humanus dalam filsafat menekankan bahwa tindakan
moral adalah tindakan manusia yang rasional—manusia tidak hanya merespons
impuls, tetapi merefleksikan pilihan dan dampaknya sebelum bertindak¹⁰. Ini
merefleksikan keunikan etika sebagai dimensi aktif dan kritis dalam tindakan
manusia, bukan sekadar respons pasif terhadap norma sosial.
Footnotes
[1]
R. Chaddha,
“Ethics and Morality,” PMC (2023): menyatakan bahwa filsafat moral
(etika) adalah cabang yang membahas prinsip-prinsip moral, yaitu nilai baik dan
buruk dalam perilaku manusia, dan menyoroti variabilitas moralitas
antar-individu serta budaya.²(E-Journal
Undiksha, E-Journal
Undip, PMC)
[2]
S. R. Wilujeng,
“Etika (Filsafat Moral),” Humanika, Universitas Diponegoro: menjelaskan
etika sebagai cabang filsafat yang mempelajari pertimbangan nilai baik–buruk
(etika) dan membedakannya dari moral.²(E-Journal
Undip)
[3]
Ibid.: etika
sebagai kajian kritis terhadap sistem nilai moral yang diterima oleh
masyarakat.(E-Journal Undip)
[4]
Metaethics entry, Internet Encyclopedia of
Philosophy: metaetika menjalin penelitian tentang status, dasar, dan ruang
lingkup nilai moral, properti moral, dan istilah-istilah moral.(Encyclopedia of Philosophy)
[5]
“Metaethics,”
Wikipedia bahasa Inggris: menjelaskan bahwa metaetika meneliti sifat,
sumber, dan makna penilaian moral, serta membedakan antara metaetika, etika
normatif, dan etika terapan.
[6]
“Ethics,” Wikipedia
bahasa Inggris: mendefinisikan etika normatif sebagai cabang yang
menyelidiki standar moral untuk menentukan tindakan yang “seharusnya”
dilakukan, termasuk teori-teori seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika
kebajikan.
[7]
Ibid.: etika
terapan mengaplikasikan prinsip moral dalam isu-isu spesifik seperti aborsi,
perlakuan terhadap hewan, dan praktik bisnis.
[8]
S. R. Wilujeng,
op. cit.: moral adalah sistem ajaran nilai baik–buruk yang diterima,
sementara etika adalah kajian mendalam atasnya.
[9]
Syahla Safa
(via Scribd), “Moral, Etika dan Filsafat”: moral sebagai sistem nilai tentang
hidup baik, etika mempelajari prinsip moral, dan filsafat menganalisis etika
secara kritis.
[10]
Filsafat
moral PDF (Instiper Jogja): konsep actus humanus
menekankan refleksi, rasionalitas, dan kebebasan sebagai syarat tindakan moral
yang etis.
3.
Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Moral
3.1. Etika Kuno
(Ancient Ethics)
Pemikiran moral didaraskan sejak zaman kuno, saat narasi mitologis
mulai digantikan oleh penalaran rasional. Di Yunani, Socrates menggunakan
metode dialektik untuk mengeksplorasi kebenaran moral melalui pertanyaan
kritis—sebuah pendekatan revolusioner dibanding mitos sebelumnya¹. Pemikiran
selanjutnya berkembang melalui Plato yang merumuskan “Form of the Good”, serta
Aristoteles yang memperkenalkan konsep eudaimonia sebagai tujuan
tertinggi hidup manusia—yaitu kebahagiaan atau kehidupan yang berkembang secara
moral melalui praktik kebajikan seperti keberanian, keadilan, kebijaksanaan,
dan pengendalian diri².
3.2. Etika Abad
Pertengahan
Pada masa Abad Pertengahan, filsafat moral berkembang dalam kerangka
teosentris. Tokoh penting seperti Augustine dan Thomas Aquinas mencoba
menyelaraskan wawasan klasik Aristotelian dengan doktrin Kristiani. Aquinas
mengembangkan teori hukum alam (natural law) yang menyatakan bahwa hukum
moral bersumber dari sifat manusia yang rasional—misalnya larangan membunuh
karena keberlanjutan hidup merupakan kebutuhan esensial bagi manusia³.
3.3. Pencerahan
dan Etika Modern Awal
Zaman Pencerahan membawa pergeseran besar menuju rasionalitas dan
individu sebagai pusat etika. Tokoh seperti Kant menegaskan bahwa moralitas
haruslah dibangun atas dasar kewajiban dan prinsip yang dapat diuniversalkan,
melalui konsep categorical imperative yang menekankan bahwa manusia
harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar sarana⁴. Di sisi lain, aliran
utilitarianisme oleh Bentham dan Mill mengemukakan standar moral praktis
berbasis konsekuensi—yaitu kesejahteraan terbesar bagi jumlah terbanyak⁵.
3.4. Etika
Terapan dan Diversifikasi Teoretis Kontemporer
Sejak abad ke-20, terjadi pengembangan besar dalam cabang etika terapan. Bidang seperti bioetika, etika lingkungan, dan etika teknologi
mengkaji dilema-dilema moral konkret dalam konteks medis, ekologi, dan
informatika⁶. Selain itu, terjadi kebangkitan kembali etika kebajikan (virtue ethics)—terutama sejak publikasi Anscombe “Modern Moral Philosophy”—yang
menggeser fokus dari aturan abstrak ke karakter serta kehidupan yang baik,
dengan tokoh seperti MacIntyre merevitalisasi tradisi Aristotelian dalam wacana
modern⁷.
3.5. Krisis
Moral dan Kembalinya Narasi Etika Tradisional
Alasdair MacIntyre dalam karya After Virtue menyatakan bahwa
modernitas telah memecah narasi moral, membuat etika kehilangan akar historis
dan tradisinya. Ia mengajak kembali ke etika kebajikan berbasis narasi sosial:
moralitas tidak dapat dipahami terlepas dari konteks tradisionalnya, dan diperlukan
dialog lintas tradisi untuk membangun argumen moral yang substantif⁸.
Footnotes
[1]
History of
ethics, Wikipedia, menggambarkan transisi dari narasi
mitologis ke pendekatan rasional oleh Socrates; dikembangkan oleh Plato dan
Aristoteles dalam membahas kebaikan dan kebajikan.(ejurnal.stpkat.ac.id, Wikipedia)
[2]
Ibid.:
Aristoteles merumuskan eudaimonia dan menjelasakan kebajikan utama
sebagai landasan hidup moral.(Wikipedia)
[3]
History of ethics, Wikipedia: Thomas Aquinas dengan teori natural
law dan kontribusinya terhadap etika moral Kristen.(Wikipedia)
[4]
Immanuel Kant, Wikipedia, menjelaskan categorical
imperative dan gagasannya tentang moral sebagai kewajiban rasional.(Wikipedia)
[5]
History of ethics, Wikipedia: Utilitarianisme oleh Bentham dan Mill,
dan keberlanjutannya hingga kini.(Wikipedia)
[6]
History of ethics, Wikipedia: Perkembangan etika terapan modern seperti
bioetika dan lingkungan sejak abad ke-20.(Wikipedia)
[7]
Virtue ethics, Wikipedia – menguraikan asal-usul, penurunan, dan
kebangkitan kembali melalui Anscombe, Foot, MacIntyre, dan lain-lain dalam
disebutnya aretaic turn.(Wikipedia)
[8]
The Guardian, obituary Alasdair MacIntyre – merangkum
argumen utama After Virtue tentang krisis moral modern dan kebutuhan
akan narasi tradisional.(theguardian.com)
4.
Aliran‑Aliran dalam Filsafat Moral
4.1. Deontologi
(Etika Kewajiban atau Aturan)
Deontologi adalah yurisprudensi moral yang menekankan bahwa moralitas
suatu tindakan ditentukan oleh kesesuaian tindakan itu terhadap aturan atau
prinsip moral yang berlaku—tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang
ditimbulkan.¹ Istilah ini berasal dari bahasa Yunani deon (kewajiban)
dan logos (ilmu), dan diperkenalkan secara khusus oleh C.D. Broad pada
tahun 1930.² Pemikiran Immanuel Kant merupakan contoh paling terkenal: ia
menyatakan bahwa hanya niat baik (good will) yang benar-benar tak
terbatas nilainya, dan moralitas terletak pada tindakan yang dilakukan
semata-mata karena rasa kewajiban, bukan karena konsekuensi yang mungkin
muncul.³ Selain itu, Kant memperkenalkan imperatif kategoris, dengan
formulasi utama: (a) bertindaklah berdasarkan prinsip yang dapat
diuniversalkan, (b) perlakukan manusia sebagai tujuan, bukan hanya sebagai
sarana, dan (c) setiap individu adalah anggota legislatif dari “Kerajaan
Tujuan” universal.⁴
4.2.
Utilitarianisme
(Aliran Konsekuensialisme)
Utilitarianisme merupakan bentuk utama
etika konsekuensial, yang menilai moralitas berdasarkan konsekuensi tindakan:
suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan kesejahteraan terbesar bagi
jumlah terbesar.⁵ Jeremy Bentham dan John Stuart Mill adalah pelopor teori ini,
dengan Mill membedakan antara kenikmatan tinggi dan rendah dalam
upaya menilai kualitas hasil moral.⁶
4.3. Etika Kebajikan (Virtue Ethics)
Etika kebajikan menitikberatkan pada karakter dan watak individu, bukan
hanya pada tindakan atau akibatnya.⁷ Menurut pendekatan ini, moralitas tercapai
melalui pengembangan sifat-sifat terpuji (seperti kebijaksanaan, keberanian,
keadilan, dan moderasi).⁸ Aristoteles adalah tokoh klasik utama yang
memperkenalkan konsep ini, dengan tujuan utama menciptakan eudaimonia—kehidupan
yang bermakna dan berkembang melalui kebajikan.⁹ Sejak era modern, etika kebajikan kembali mendapat perhatian melalui karya para filsuf seperti G.E.M.
Anscombe dan Alasdair MacIntyre.¹⁰
4.4. Perbandingan
Utama Antara Deontologi, Utilitarianisme, dan Etika Kebajikan
1)
Fokus Utama Setiap
Aliran
þ Deontologi: Menekankan kewajiban dan prinsip
moral sebagai dasar tindakan. Yang penting bukan akibatnya, tetapi apakah
tindakan itu sesuai dengan aturan moral yang benar.
þ Utilitarianisme: Fokus pada konsekuensi dari
tindakan. Suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat terbesar bagi
sebanyak mungkin orang.
þ Etika Kebajikan: Berorientasi pada pembentukan
karakter moral individu. Moralitas tidak hanya dinilai dari tindakan atau
hasil, tetapi dari keutamaan sifat yang melekat dalam pribadi seseorang.
2)
Cara Menilai
Moralitas
þ Deontologi: Moralitas dinilai dari benar
atau salahnya tindakan berdasarkan prinsip universal, terlepas dari akibat yang
ditimbulkan.
þ Utilitarianisme: Moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh seberapa besar manfaat atau kebahagiaan yang dihasilkannya.
þ Etika Kebajikan: Moralitas berkaitan dengan
pertanyaan, “Apa yang akan dilakukan oleh orang yang memiliki karakter baik?”
3)
Kelemahan atau
Tantangan Teoretis
þ Deontologi: Cenderung mengabaikan
konsekuensi yang mungkin sangat berbahaya atau merugikan, karena terlalu fokus
pada aturan kaku.
þ Utilitarianisme: Bisa
mengorbankan keadilan individual demi kebaikan kolektif; misalnya, membenarkan pelanggaran hak
demi hasil maksimal.
þ Etika Kebajikan: Kurang memberikan pedoman
konkret untuk pengambilan keputusan moral dalam situasi dilema yang kompleks.
4)
Tokoh-Tokoh dan Karya Klasik yang Mewakili
þ Deontologi: Diwakili oleh Immanuel Kant
dengan gagasan tentang imperatif kategoris.
þ Utilitarianisme: Dipelopori oleh Jeremy Bentham
dan John Stuart Mill, dengan prinsip "the greatest happiness for the greatest
number."
þ Etika Kebajikan: Berakar pada filsafat Aristoteles,
dengan konsep eudaimonia (kehidupan yang baik melalui kebajikan).
Footnotes
[1]
“Deontology,”
Wikipedia, menjelaskan bahwa deontologi menilai moralitas berdasarkan
benar-salahnya tindakan sesuai prinsip, bukan konsekuensi.²(Wikipedia, Wikipedia, Humanities
LibreTexts)
[2]
Saya merujuk
pada sejarah istilah deontologi seperti yang dijelaskan oleh beberapa literatur
klasik (misalnya C. D. Broad) melalui Wikipedia, hal. verilasi pertama.(Wikipedia)
[3]
Ibid.,
menyoroti pemikiran Kant tentang niat baik sebagai satu-satunya yang baik
secara moral.(Humanities LibreTexts)
[4]
“Kantian
ethics,” Wikipedia, mendeskripsikan tiga formulasi utama imperatif
kategoris oleh Kant.(Wikipedia)
[5]
“Consequentialism,”
Wikipedia, menjelaskan kerangka dasar etika konsekuensial dan peran
utilitarianisme sebagai tipe utamanya.(Wikipedia)
[6]
Ibid., menyebut pemikiran Bentham dan Mill serta
pembagian pleasures dalam utilitarianisme Mill.(Wikipedia)
[7]
“Virtue Ethics,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy, menyatakan bahwa pendekatan kebajikan menjadi salah satu dari
tiga pendekatan utama dalam etika normatif.(Encyclopedia of Philosophy)
[8]
“Virtue
ethics,” Wikipedia, menggambarkan kebajikan sebagai karakter yang
mendasari tindakan moral dan mempromosikan pengembangan karakter.(Wikipedia)
[9]
Ibid.,
menjelaskan peran Aristoteles dalam mengembangkan etika kebajikan dan konsep
eudaimonia.(To Dwell With God)
[10]
“Normative ethics,” Wikipedia, menyebut
kebangkitan kembali etika kebajikan oleh Anscombe, Foot, MacIntyre, dan
Hursthouse sejak 1950-an.(Wikipedia)
5.
Isu‑Isu Moral Kontemporer dalam Sorotan
Filsafat
5.1. Bioetika
dan Moral Enhancement
Isu Bioetika Modern meliputi dilema seperti eutanasia, rekayasa genetika, dan keputusan di
ujung kehidupan. Bioetika juga mencakup refleksi sosial, budaya, dan hukum yang
berkembang seiring percepatan teknologi medis dan kesehatan ramai dibahas pada
abad ke-21.¹
Moral Enhancement, termasuk moral bioenhancement, adalah suatu topik berkembang
dalam neuroetika. Para filsuf seperti Thomas Douglas, Ingmar Persson, dan
Julian Savulescu membahas potensi penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan
karakter moral manusia—sebuah pendekatan yang memicu diskusi tentang kebebasan,
otoritas moral, dan tekanan sosial.²
5.2. Etika
Feminis dan Bioetika Kritik Gender
Feminist Bioethics hadir sebagai respons kritis terhadap bias gender dalam bioetika
tradisional. Ia menggarisbawahi pentingnya pertimbangan kesetaraan gender,
memperhatikan konteks sosial, dan menolak androcentrism (pusat pandangan
laki-laki) dalam pembentukan kebijakan dan praktik medis.³
5.3. Etika
Teknologi dan Tantangan Digital
Etika Teknologi mengkaji berbagai dimensi moral terkait perkembangan teknologi: akses,
privasi, keamanan, risiko eksistensial, hak digital, human enhancement, dan
transparansi teknologi. Isu seperti deepfake, algoritma diskriminatif, dan
automasi massal menjadi pusat perhatian karena dampaknya terhadap keadilan dan
hak individu.⁴
5.4. Keadilan
AI dan Ketidakadilan Struktural
Keadilan Algoritmik (Algorithmic Fairness) berusaha meminimalkan bias dalam sistem
berbasis data—misalnya dalam rekomendasi hukuman, distribusi sumber daya
kesehatan, atau evaluasi finansial—dengan memperhitungkan ketidakadilan
struktural yang mengakar.⁵
Dalam perspektif politik-filosofis, pandangan seperti yang dikembangkan
oleh John Rawls diterapkan untuk AI, menekankan perlunya sistem AI yang adil,
transparan, dan mampu menyajikan justifikasi publik yang melindungi kepentingan
kelompok rentan.⁶
5.5. Hak dan
Pertimbangan Moral terhadap Entitas Buatan
Kajian tentang sejauh mana entitas buatan (robot, AI sensitif,
dsb.) layak mendapat pertimbangan moral mulai muncul. Beberapa filsuf
mengusulkan pendekatan seperti information ethics dan social‑relational
ethics sebagai alternatif untuk menjawab kompleksitas entitas non-manusia.⁷
5.6. Tanggung
Jawab Sosial terhadap Ketidakadilan Global dan Inklusi
Isu seperti kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, hak-hak hewan, dan
keadilan distribusi global tetap menjadi agenda penting dalam filsafat moral
kontemporer. Misalnya, Peter Singer memperjuangkan kewajiban etis untuk
membantu mereka yang terpinggirkan melalui pendekatan konsekuensialis—sebuah
ide yang menjadi landasan gerakan efektif-altruism.⁸
Footnotes
[1]
J. Mandal,
“Bioethics: A Brief Review,” PMC (2017): upload bioetika mencakup isu
klinis, budaya, hukum, dan epidemiologis terkait kemajuan kesehatan dan
biomedis. (Wikipedia, Wikipedia, Wikipedia, arXiv, PMC)
[2]
Moral enhancement, Wikipedia: diskusi berkembang tentang
penggunaan teknologi biomedis untuk meningkatkan moralitas manusia, seperti
yang dibahas oleh Douglas, Persson, dan Savulescu. (Wikipedia)
[3]
Feminist bioethics, Wikipedia: memperkenalkan kritik feminis
terhadap bioetika tradisional, menyoroti bias gender dan konsep kesehatan yang
terpusat pada norma laki-laki. (Wikipedia)
[4]
Ethics of technology, Wikipedia: menguraikan tantangan etika
terbaru—termasuk risiko eksistensial, deepfakes, privasi digital, human
enhancement, dan otomatisasi. (Wikipedia)
[5]
A. Kasirzadeh, “Algorithmic Fairness and Structural
Injustice,” arXiv (2022): diskusi tentang pentingnya memperhitungkan
ketidakadilan struktural dalam algoritma pengambilan kebijakan. (arXiv)
[6]
I. Gabriel, “Toward a Theory of Justice for Artificial
Intelligence,” arXiv (2021): menerapkan pendekatan keadilan distributif
untuk sistem AI, dengan perhatian pada justifikasi publik dan perlindungan
kelompok rentan. (arXiv)
[7]
J. Harris & J. R. Anthis, “The Moral Consideration
of Artificial Entities,” arXiv (2021): menjelajahi apakah entitas buatan
bisa layak secara moral dan perlunya pendekatan baru dalam etika. (arXiv)
[8]
Peter Singer Is Committed to Controversial Ideas, The New Yorker (2021):
menguraikan upaya Singer melalui pemikiran konsekuensialis mengenai tanggung
jawab moral atas kemiskinan dan kesetaraan global. (newyorker.com)
6.
Pendekatan Interdisipliner terhadap Filsafat
Moral
6.1. Psikologi
Moral (Moral Psychology)
Kajian psikologi moral merupakan salah satu bidang interdisipliner
paling berkembang, yang menggabungkan metode empiris dari psikologi dengan
refleksi konseptual dari filsafat etika. Sebagai contoh, Stanford Encyclopedia
of Philosophy menyebut bahwa "psikologi moral meneliti fungsi manusia
dalam konteks moral, serta bagaimana temuan-temuan tersebut berdampak pada
perdebatan dalam teori etika."¹ Pendekatan ini membantu kritikus menilai
teori etika yang mengabaikan realitas psikologis sebagai kurang kompetitif
secara filosofis.
6.2.
Antropologi Etis
(Ethical Turn in Anthropology)
Fisafat moral terus memperkaya diri melalui kontribusi disiplin empiris
seperti neurologi, biologi, dan psikologi. Namun, antropologi budaya kini juga
mengalami apa yang disebut sebagai ethical turn—yakni studi sistematis
tentang moralitas dalam kerangka intersubjektif dan lintas budaya.² Pendekatan
ini mengungkap pola-pola moral yang serupa dalam berbagai budaya dan
memperdalam pemahaman perkembangan moral secara historis dan sosial.
6.3. Antropologi-Filosofi:
Integrasi dalam Studi Moralitas
Beberapa filsuf menekankan perlunya integrasi antara filsafat dan
antropologi dalam memahami moralitas. David B. Wong, misalnya, mengusulkan tiga
kriterium untuk sebuah teori moral yang menyeluruh: (1) mengakui keragaman
nilai di berbagai masyarakat, (2) menetapkan kriteria tentang apa yang dapat
dikategorikan sebagai moralitas, dan (3) membedakan mana sistem moral yang
lebih dapat dibenarkan.³ Pendekatan ini mendorong dialog kritis antara
generalisasi filosofis dan konteks empiris budaya.
6.4. Sosiologi
dan Ilmu Manusia (Geisteswissenschaften)
Wilhelm Dilthey menekankan perbedaan metodologis antara ilmu alam (Naturwissenschaften)
dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Menurutnya, ilmu
manusiaisme lebih menekankan pemahaman (verstehen) daripada sekadar penjelasan
kausal, karena objeknya mencakup makna, konteks hidup, dan pengalaman
batin—nilai-nilai yang sangat relevan dalam kajian etika.⁴
6.5.
Evolusi dan
Evolusioner Etika (Evolutionary Ethics)
Bidang evolutionary ethics
mengeksplorasi bagaimana teori evolusi dapat menjelaskan perilaku moral
(deskriptif) serta mendekonstruksi klaim moral obyektif (metaetika).⁵
Pendekatan ini memperluas cara memandang moralitas: tidak sekadar soal norma,
tetapi juga adaptasi biologis dan psikologis dalam sejarah panjang manusia.
6.6.
Etika Perilaku
(Behavioral Ethics)
Etika perilaku menggabungkan temuan
psikologi sosial dan motivasi untuk memahami bagaimana keputusan moral dibuat
dalam praktik—bahkan ketika hasilnya menyimpang dari norma ideal.⁶ Eksperimen
seperti Milgram dan Stanford Prison menunjukkan bahwa faktor situasional bisa
sangat memengaruhi tindakan etis, tak sekadar berdasarkan prinsip abstrak.
6.7. Etika
Digital dan Komunikasi
Di era digital, etika juga dipengaruhi oleh dinamika komunikasi,
desain, dan teknologi. Dalam ranah ini, etika terapan menjadi sangat
krusial—baik secara praktis maupun teoritis—untuk menangani isu-isu seperti
privasi data, algoritme, dan tata nilai dalam komunikasi digital.⁷
Footnotes
[1]
Moral
Psychology: Empirical Approaches, Stanford Encyclopedia of
Philosophy: menyatakan bahwa psikologi moral adalah bidang interdisipliner
yang menyelaraskan penemuan psikologi dengan teori etika.(ResearchGate, Wikipedia, Wikipedia, Wikipedia, Encyclopedia of Philosophy)
[2]
Michael Klenk, “Moral Philosophy and the 'Ethical
Turn' in Anthropology,” Zeitschrift für Ethik und Moralphilosophie
(2019): membahas kontribusi antropologi dalam memperkaya filsafat moral melalui
pendekatan empiris dan intersubjektif.(SpringerLink)
[3]
David B. Wong, Integrating philosophy with
anthropology in an approach to morality, Anthropological Theory
(2014): mengusulkan tiga kriterium utama untuk teori moral yang komprehensif.(ResearchGate)
[4]
Wilhelm Dilthey, Einleitung in die
Geisteswissenschaften (1972), diulas dalam Wikipedia untuk
menekankan pentingnya pemahaman (verstehen) dalam ilmu kemanusiaan.(Wikipedia)
[5]
Evolutionary ethics, Wikipedia: menjelaskan cakupan evolusi
terhadap etika—baik untuk menjelaskan perilaku moral maupun menantang realisme
moral.(Wikipedia)
[6]
Behavioral ethics, Wikipedia: menyoroti perkembangan empiris
dalam etika, termasuk eksperimen situasional yang menunjukkan bias dan
ketidaksadaran dalam keputusan moral.(Wikipedia)
[7]
Rebekah Rousi & Ville Vakkuri, “Introduction to
ethics in the age of digital communication,” arXiv (2023):
mendefinisikan pentingnya etika digital di bidang komunikasi terapan.(arxiv.org)
7.
Filsafat Moral dalam Pendidikan dan
Pembentukan Karakter
7.1. Peran
Fundamental Pendidikan Moral dalam Pembentukan Karakter
Kajian ilmiah menunjukkan bahwa pendidikan moral memiliki peran pusat
dalam membentuk karakter anak, mencakup dimensi normatif, emosional, dan
tanggung jawab sosial. Moralnya bukan sekadar norma, tetapi juga nilai-nilai
etis, empati, dan tanggung jawab terhadap masyarakat¹. Hal ini menegaskan
gambaran pendidikan moral sebagai fondasi dalam perkembangan moral individu dan
kontribusinya terhadap komunitas secara luas¹.
7.2. Karakter
sebagai Tujuan Pendidikan
Pendidikan karakter – yang melibatkan kejujuran, tanggung jawab, kerja
sama, dan toleransi – terbukti membantu siswa mengembangkan nilai-nilai moral
yang kuat. Melalui integrasi nilai-nilai ini ke dalam kurikulum dan aktivitas
sekolah, siswa tidak hanya menghadapi dilema moral tetapi juga memperkuat
kemampuan untuk membuat keputusan berintegritas².
7.3. Pendekatan
Kurikulum yang Holistik dan Kontekstual
Pembelajaran karakter dan moral yang efektif tidak hanya terfokus dalam
satu bidang studi, tetapi disesuaikan secara menyeluruh. Kajian filosofis
menekankan perlunya mengintegrasikan refleksi moral ke berbagai bidang
pembelajaran, mengatasi dikotomi bahwa siswa hanya “moral” dalam tindakan
sehari-hari namun “amang” terhadap materi pelajaran³.
7.4. Peran Guru
sebagai Teladan Moral
Para guru memainkan peran sentral sebagai model etis; perilaku mereka
menjadi contoh langsung bagi peserta didik. Guru yang menunjukkan integritas,
tanggung jawab, dan perilaku etis memberikan dampak signifikan terhadap
pembentukan karakter siswa⁴.
7.5. Hubungan
antara Nilai Pribadi dan Prestasi Akademik
Nilai personal siswa berkontribusi besar kepada pendekatan belajar dan
prestasi akademiknya. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral
dan etis pribadi tidak hanya memengaruhi dinamika komunitas belajar, tetapi
juga potensi pencapaian akademik siswa⁵.
7.6. Manfaat
Nyata dalam Kesejahteraan dan Prestasi
Sistem pendidikan yang menekankan pengembangan karakter juga dikaitkan
dengan hasil belajar yang lebih baik, peningkatan kebiasaan sosial sehat, dan
kesejahteraan emosional siswa. Pembelajaran berbasis karakter terbukti
berdampak positif dalam meningkatkan performa, kesehatan mental, dan sikap
sosial siswa⁶.
7.7. Strategi
Efektif dalam Pendidikan Karakter
Penelitian menunjukkan beberapa strategi efektif dalam implementasi
pendidikan karakter:
·
Contoh nyata: Guru dan sekolah memberikan teladan perilaku
etis.
·
Habituasi: Penerapan perilaku moral melalui konsistensi
kebiasaan.
·
Cerita inspiratif dan refleksi: Membangun kesadaran moral
melalui narasi dan dialog.
·
Semua ini lebih optimal ketika ada kolaborasi
antara guru, sekolah, orang tua, dan komunitas lingkungan⁷.
7.8. Integrasi
Digital dan Era Teknologi
Dalam konteks teknologi era digital, pendidikan karakter menjadi lebih
penting dan kompleks. Kewajiban moral digital muncul sebagai tantangan baru.
Pendidikan karakter yang adaptif mencoba menanamkan kesadaran etika dalam
lingkungan digital, membantu siswa memahami dan merespon isu etis yang muncul
dari penggunaan teknologi⁸.
Kesimpulan:
Pendidikan moral secara filosofis dan praktis merupakan elemen penting dalam
membentuk karakter siswa. Lewat integrasi nilai-nilai etis dalam kurikulum,
figur teladan seperti guru, kolaborasi lintas lingkungan, dan adaptasi terhadap
tantangan digital, pendidikan karakter menjadi modal krusial bagi masa depan
individu dan masyarakat.
Footnotes
[1]
M. Zainul Hafizi dan Hadi Wiyono, “The Importance of
Moral Education in the Formation of Children’s Character,” IJGIE vol. 4,
no. 2 (Sept. 2023): moral education mencakup norma, nilai etis, empati, dan
tanggung jawab sosial.(ResearchGate)
[2]
“The Role of Character Education in Forming Students’
Ethical …,” IJoSE (2023–2024): pendidikan karakter membantu
mengembangkan nilai moral melalui pengenalan dilema, keputusan, dan integritas
dalam kurikulum.(journal.berpusi.co.id)
[3]
“A philosophical approach to moral education,” ResearchGate
(2017?): pendekatan filosofis mengintegrasikan aspek moral dalam semua bidang
studi, mengatasi dualitas siswa dipandang moral dalam perilaku tetapi amoral
dalam studi.(ResearchGate)
[4]
Maricyl A. Feliza, “Teachers as Ethical Role Models:
Their Influence on Student Character Formation,” ResearchGate (2025?):
guru sebagai teladan memengaruhi pembentukan karakter siswa melalui perilaku
etis dan tanggung jawab profesional.(ResearchGate)
[5]
“The Role of Personal Values in Learning Approaches
and Student …,” PMC (2021?): nilai personal siswa memengaruhi gaya
belajar dan komunitas belajar, serta berdampak pada prestasi akademik.(PMC)
[6]
“Character and moral education based learning in
students’ character development,” ResearchGate (2022–2024): pendidikan
berbasis karakter berkontribusi pada hasil belajar, kesehatan mental, dan
performa siswa.(ResearchGate)
[7]
Khairul Amri & Putera, “Moral Education as a
Foundation for the Formation of Students' Character,” IJIER vol. 1,
no. 3 (July 2024): pentingnya teladan, habituasi, inspirasi cerita, dan
kolaborasi keluarga, sekolah, serta komunitas dalam pembentukan karakter.(Aripafi International)
[8]
M. Marwan et al., “The Role of Character Education in
Building Ethics and Morality among Students in the Digital Age,” IJERE
vol. 4, no. 1 (2025): pendidikan karakter memperkuat kesadaran etis dalam
menghadapi tantangan moral era digital.(Ejournal IP Internasional)
8.
Kritik dan Tantangan terhadap Filsafat Moral
8.1. Relativisme
Moral dan Krisis Objektivitas
Salah satu kritik utama terhadap filsafat moral—terutama cabang
normatif dan metaetika—berasal dari relativisme moral. Relativisme menyatakan
bahwa penilaian moral hanya benar atau salah relatif terhadap suatu perspektif
budaya, historis, atau individual, dan tidak ada perspektif yang secara
objektif unggul.¹ Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: jika moral sesuatu
tergantung konteks, bagaimana kita bisa mengkritik perbuatan ظلم dalam masyarakat lain? Sehingga muncul argumen bahwa
relativisme melemahkan kemampuan etika untuk menyampaikan nilai-nilai
universal.²
8.2.
Nihilisme Moral dan
Error Theory
Nihilisme moral atau error theory—menurut
J. L. Mackie—menyatakan bahwa nilai moral objektif tidak ada; penilaian moral
sebenarnya selalu salah karena merujuk kepada entitas “aneh” yang tidak dapat
dibuktikan eksistensinya.³ Konsekuensinya adalah anggapan bahwa moralitas
hanyalah konstruksi bahasa atau perasaan subjektif. Ini memunculkan tantangan serius bagi filsafat
moral karena menyangkal makna objektif tindakan etis, sekaligus mengancam
tanggung jawab moral.⁴
8.3. Posmodernisme
dan Penolakan terhadap Metanarasi
Filsafat posmodern—seperti yang dikemukakan oleh Lyotard—menolak narasi
universal atau metanarasi yang menjadi landasan objektivitas moral. Menurutnya,
kebenaran bersifat fragmentaris dan tergantung konteks budaya atau sejarah,
sehingga klaim etis universal menjadi tidak mungkin dan tak relevan.⁵ Kritik
ini menggugah fondasi moral universal dan menekankan pentingnya keadilan
sebagai kewaspadaan terhadap imposisi aturan tunggal.⁶
8.4.
Krisis Moral Modern
Menurut Alasdair MacIntyre
Alasdair MacIntyre, dalam After
Virtue, menyatakan bahwa masyarakat modern kehilangan narasi moral bersama,
dan terjebak dalam emotivisme—di mana tindakan moral hanya mencerminkan
preferensi individu tanpa dasar rasional.¹⁷ Ia menyebut era modern sebagai
"zaman kegelapan baru", karena masyarakat dewasa ini terus berselisih
tentang "apa yang benar" tanpa kerangka moral bersama yang kokoh.¹⁷
8.5. Kritik
Metafilosofis oleh Stephen Toulmin
Stephen Toulmin mengkritik pendekatan absolutis dalam filsafat
moral—yang mengabaikan konteks spesifik dalam argumen normatif. Ia
memperkenalkan konsep "field-dependent" (bergantung konteks) dan
"field-invariant" (universal) untuk membedakan antara prinsip moral
yang berlaku umum dan yang khusus. Menurutnya, filsafat moral perlu memahami
keragaman situasional, dan menghindari klaim universal yang tak realistis.¹⁸
8.6.
Tantangan Prichard:
“Why Be Moral?”
H. A. Prichard, dalam artikelnya Does
Moral Philosophy Rest on a Mistake? (1912), mempertanyakan dasar pertanyaan
“mengapa harus moral?”. Ia berargumen bahwa kewajiban moral bukan sesuatu yang
dapat dijustifikasi melalui argumentasi non-moral—melainkan langsung kita
rasakan sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Berupaya membuktikan kewajiban
moral melalui logika non-moral dianggap sebagai kekeliruan mendasar.¹⁹
Kesimpulan Singkat: Filsafat
moral menghadapi sejumlah kritik serius: dari relativisme yang meruntuhkan
fondasi objektifitas, nihilisme yang menyangkal keberadaan moralitas itu
sendiri, hingga tantangan posmodernisme yang menolak narasi universal. Tokoh-tokoh seperti MacIntyre
menunjukkan krisis moral modern, sementara Toulmin dan Prichard menyoroti
kelemahan argumentatif dalam moralitas absolutis atau rasionalistis.
Kritik-kritik ini menandai pentingnya refleksi mendalam terhadap dasar filsafat
moral serta relevansinya dalam konteks kekinian.
Footnotes
[1]
Moral Relativism, Internet Encyclopedia of Philosophy:
menjelaskan bahwa penilaian moral hanya benar/salah relatif terhadap beberapa
perspektif budaya—dan tidak ada yang unggul secara inheren.(Wikipedia, Wikipedia, Encyclopedia of Philosophy)
[2]
Postmodernism and relativism, Britannica: posmodernisme
menolak objektivitas dan nilai moral universal.(Encyclopedia Britannica)
[3]
Moral Nihilism, Wikipedia: Mackie menyampaikan error theory,
yaitu bahwa nilai moral objektif tidak eksis dan cenderung "aneh".(Wikipedia)
[4]
Explanation and critique of the principles of
postmodern moral education, International Scholars Journals: moralisme postmodern dapat mengarah ke
nihilisme moral dan relativisme ekstrem.(internationalscholarsjournals.com)
[5]
Postmodern philosophy, Wikipedia: kebenaran moral
bersifat relatif, tidak universal.(ResearchGate)
[6]
Jean‑François Lyotard in The Postmodern Condition,
via Wikipedia: etika posmodern menekankan aspek partikular dan
mengkritik sandiwara metanarasi universal.(Wikipedia)
[7]
Professor Alasdair MacIntyre obituary, The Times: MacIntyre
menyatakan modernitas kehilangan makna moral bersama dan terjebak emotivisme.(The Times)
[8]
Stephen
Toulmin, Wikipedia: Toulmin mengkritik absolutisme
dan relativisme, memperkenalkan ide argumentasi field-dependent.(Wikipedia)
[9]
Does Moral Philosophy Rest on a Mistake?, Wikipedia: Prichard menilai
bahwa pertanyaan "mengapa harus moral?" tidak membutuhkan pembenaran
non-moral, dan mencari "bukti" kewajiban moral adalah kesalahan
filosofis.(Wikipedia)
9.
Penutup
Filsafat moral tetaplah fondasi utama dalam pengembangan pemahaman etis
manusia serta pembentukan norma dalam masyarakat. Dari akar pemikiran klasik
seperti Aristoteles dan Kant hingga tantangan kontemporer seperti etika digital
dan bioetika, filsafat moral telah memberikan kerangka reflektif yang mendalam
untuk menghadapi dilema modern. Kajian moralitas—sebagai pencarian rasional dan
reflektif terhadap kebaikan—menolong individu dan komunitas dalam merumuskan
tindakan bermakna serta membangun justifikasi moral.¹
Moral theory (teori moral) berfungsi tidak
sebatas sebagai ide teoretis, tetapi juga sebagai panduan tindakan (decision
procedure) yang membantu memastikan tindakan manusia sesuai prinsip etis. Hal
ini menekankan peran filsafat moral dalam orientasi praktis.²
Sebagai disiplin yang kaya akan refleksi,
filsafat moral memadukan aspek normatif dan empiris, menunjukkan relevansi
jangka panjangnya. Kajian interdisipliner—dalam moral psychology, anthropology,
dan etika digital—menegaskan bahwa pemahaman moral mesti melibatkan pengetahuan
tentang struktur psikologis, budaya, bahkan teknologi.³
Sementara itu, kritik terhadap filsafat
moral—seperti relativisme, nihilisme, atau dekonstruksi posmodern—menjadi
pengingat penting tentang kerentanan teori etika terhadap fragmentasi dan
kekosongan makna. Namun, kritik tersebut juga membuka ruang untuk memperdalam
dialog dan memperkuat integrasi naratif moral, seperti yang diusung oleh
MacIntyre dalam After Virtue, yakni bahwa moralitas butuh akar historis
dan tradisi untuk hidup dinamis.⁴
Likewise, kajian evolusi moral juga
memperlihatkan bahwa moralitas bukan sekadar konstruksi budaya melainkan juga
memiliki akar historis fungsional—terkait dengan kemampuan kooperasi dalam
hominid awal. Meskipun ini tidak berarti norma moral objektif, hal itu
memperkuat dimensi deskriptif yang tidak bisa diabaikan dalam filsafat etika.⁵
Secara ringkas, filsafat moral tetap relevan
karena:
·
Memberikan pedoman aksi dalam
menghadapi dilema kontemporer.
·
Menghubungkan refleksi
normatif dengan realitas empiris, menjadikan kajian etika tidak sekadar
abstrak.
·
Merespon kritik,
memperkuat legitimasi refleksi moral melalui dialog lintas tradisi.
·
Menggali makna moralitas
dalam konteks historis dan biologis, memperkaya pemahaman
tentang asal-usul dan fungsi moral.
Harapan ke Depan
Ke depan, filsafat moral memiliki tugas
krusial untuk bersinergi dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan
perubahan sosial. Tantangan seperti AI, krisis iklim, dan pluralitas budaya
menuntut integrasi teori etika dengan praktik transdisipliner serta pendekatan
inklusif yang reflektif dan adaptif.⁶
Footnotes
[1]
J. Driver, "Moral
Theory", Stanford Encyclopedia of Philosophy (2022): menekankan
bahwa teori moral menyediakan decision procedure untuk memastikan
tindakan benar dilakukan.(Encyclopedia
of Philosophy, The Guardian)
[2]
Ibid.(Encyclopedia
of Philosophy)
[3]
J. Doris, “Moral Psychology:
Empirical Approaches,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2006):
menyoroti interdisipliner antara psikologi dan etika filosofis.(Encyclopedia of Philosophy)
[4]
After Virtue,
Alasdair MacIntyre (1981): mengajak kembalinya narasi tradisi dan kritik
terhadap fragmentasi moral modern.(Wikipedia)
[5]
Hanno Sauer, The Invention of
Good and Evil: A World History of Morality, ulasan di The New Yorker
(2024): moral sebagai konstruksi historis dengan fungsi evolusioner yang
mendasari kooperasi manusia.(newyorker.com)
[6]
Rebekah Rousi & Ville
Vakkuri, “Introduction to ethics in the age of digital communication,” arXiv
(2023): pentingnya etika dalam ranah komunikasi dan teknologi kontemporer.(arxiv.org)
Daftar Pustaka
Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124),
1–19. https://doi.org/10.1017/S0031819100037943
Bentham, J. (1789). An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation. Oxford: Clarendon Press.
Driver, J. (2022). Moral theory. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Winter 2022 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/moral-theory/
Doris, J. M. (2006). Moral psychology: Empirical approaches. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2006
Edition). https://plato.stanford.edu/entries/moral-psych-emp/
Gabriel, I. (2021). Toward a theory of justice for artificial
intelligence. arXiv preprint, arXiv:2110.14419. https://arxiv.org/abs/2110.14419
Hafizi, M. Z., & Wiyono, H. (2023). The importance of moral
education in the formation of children’s character. International Journal of
Global Innovation in Education (IJGIE), 4(2), 45–53. https://www.researchgate.net/publication/376374768
Kasirzadeh, A. (2022). Algorithmic fairness and structural injustice:
Insights from political philosophy. arXiv preprint, arXiv:2206.00945. https://arxiv.org/abs/2206.00945
Klenk, M. (2019). Moral philosophy and the 'ethical turn' in
anthropology. Zeitschrift für Ethik und Moralphilosophie, 2(2), 191–207.
https://doi.org/10.1007/s42048-019-00040-9
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on
knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota
Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory.
Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and
Bourn.
Persson, I., & Savulescu, J. (2012). Unfit for the future: The
need for moral enhancement. Oxford: Oxford University Press.
Prichard, H. A. (1912). Does moral philosophy rest on a mistake? Mind,
21(81), 21–37. https://en.wikipedia.org/wiki/Does_Moral_Philosophy_Rest_on_a_Mistake
Rousi, R., & Vakkuri, V. (2023). Introduction to ethics in the age
of digital communication. arXiv preprint, arXiv:2308.14421. https://arxiv.org/abs/2308.14421
Sauer, H. (2023). The invention of good and evil: A world history of
morality. Liveright Publishing.
Singer, P. (1972). Famine, affluence, and morality. Philosophy &
Public Affairs, 1(3), 229–243.
Toulmin, S. (1958). The uses of argument. Cambridge: Cambridge
University Press.
Wong, D. B. (2014). Integrating philosophy with anthropology in an
approach to morality. Anthropological Theory, 14(3), 336–356. https://doi.org/10.1177/1463499614544701
Zainul, M., & Wiyono, H. (2023). The importance of moral education
in the formation of children’s character. IJGIE, 4(2). https://www.researchgate.net/publication/376374768
Tidak ada komentar:
Posting Komentar