Kamis, 21 Agustus 2025

Filsafat Moral: Dasar-Dasar Etika dalam Pemikiran Klasik dan Kontemporer

Filsafat Moral

Dasar-Dasar Etika dalam Pemikiran Klasik dan Kontemporer


Alihkan ke: Perkembangan dan Sejarah Filsafat MoralMoralitas, Etika, Hukum.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang filsafat moral sebagai cabang filsafat normatif yang menyelidiki prinsip-prinsip dasar mengenai baik dan buruk, benar dan salah, serta tindakan yang seharusnya dilakukan manusia. Dengan mengkaji akar sejarah pemikiran moral dari era Yunani Kuno hingga pemikiran etis kontemporer, artikel ini mengeksplorasi berbagai aliran utama dalam filsafat moral, seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan. Selain itu, artikel ini menyoroti isu-isu moral kontemporer seperti bioetika, etika teknologi, keadilan algoritmik, serta problematika moral dalam era digital dan globalisasi. Melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan psikologi, antropologi, dan sosiologi, artikel ini menunjukkan bahwa refleksi moral bersifat dinamis, kontekstual, dan relevan dalam membentuk karakter serta kebijakan publik. Kritik terhadap objektivitas etika, relativisme, dan tantangan posmodernisme juga dikaji untuk menilai daya tahan filsafat moral dalam menjawab krisis nilai abad ke-21. Dengan demikian, filsafat moral tidak hanya berfungsi sebagai teori normatif, tetapi juga sebagai sarana reflektif yang membentuk kepribadian moral, sistem pendidikan, dan struktur sosial yang etis.

Kata Kunci: Filsafat moral, etika, deontologi, utilitarianisme, kebajikan, bioetika, etika teknologi, karakter, relativisme moral, pendidikan etika.


PEMBAHASAN

Filsafat Moral dalam Pemikiran Klasik dan Kontemporer


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang dan Relevansi Filsafat Moral

Definisi dan cakupan

Filsafat moral — atau etika — merupakan cabang filsafat yang membahas konsep-konsep dasar mengenai apa yang baik dan buruk, serta apa yang seharusnya kita lakukan dalam kehidupan¹. Ia menyelidiki standar moralitas, menilai karakter dan institusi, serta membimbing kita dalam mengambil keputusan etis². Filsafat moral tidak hanya mempertanyakan tindakan, tetapi juga menganalisis alasan di balik tindakan tersebut³.

Mengapa filsafat moral penting?

·                     Memberikan landasan normatif untuk penilaian moral serta membantu membedakan antara apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang sungguh terjadi dalam praktik sosial⁴.

·                     Dalam konteks modern—misalnya teknologi, politik, dan pendidikan—filsafat moral menjadi pusat refleksi kritis terhadap berbagai isu kontemporer, seperti etika AI, keadilan distribusi, dan tanggung jawab ekologis.

1.2.       Perbedaan Antara Moral, Etika, dan Hukum

Istilah moral sering merujuk pada keyakinan personal tentang apa yang benar atau salah, sedangkan etika adalah kajian filosofis tentang moralitas sebagai sistem normatif⁵. Sebaliknya, hukum lebih menekankan aturan formal yang diatur oleh otoritas negara dan bukan semata prinsip moral⁶. Dalam hal ini, filsafat moral berada di ranah yang lebih mendalam dan reflektif dibandingkan keduanya.

1.3.       Tujuan Kajian Filsafat Moral

Secara umum, kajian filsafat moral bertujuan untuk:

·                     Menguraikan dasar-dasar teori moral—termasuk deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan⁷.

·                     Mengeksplorasi dimensi metaetika (apa itu moralitas dan bagaimana kita mengetahui nilai moral)⁸.

·                     Memberikan kerangka konseptual untuk mengatasi masalah moral praktis dalam kehidupan nyata.

1.4.       Konteks Kontemporer

Di dunia yang semakin kompleks—dengan kemajuan teknologi, pluralitas budaya, dan tantangan global—penafsiran moral klasik sering diuji kembali. Misalnya:

·                     Teori keadilan dan moralitas tradisional (seperti Aristoteles dan Kant) kini dibandingkan dengan pendekatan kontemporer seperti etika lingkungan, etika feminis, dan etika teknologi⁹.

·                     Perdebatan tentang objektivitas moral terus berlangsung: apakah nilai moral bersifat universal atau tergantung konteks budaya dan sejarah¹⁰.


Footnotes

[1]                Encyclopædia Britannica, s.v. “Ethics,” diakses via web, menyatakan bahwa etika adalah disiplin yang membahas tentang apa yang baik dan buruk, serta apa yang benar dan salah.

[2]                Wikipedia, artikel Ethics, menegaskan bahwa etika (juga disebut filsafat moral) mengeksplorasi apa yang orang seharusnya lakukan dan bagaimana menilai karakter serta institusi secara moral.

[3]                Ethics Overview – Introduction to Philosophy, yang menyatakan bahwa etika bukan hanya teori tindakan, tetapi juga tentang pembenaran klaim moral.

[4]                Wikipedia, Ethics, menekankan bahwa moralitas berfokus pada apa yang seharusnya dilakukan, bukan hanya apa yang dilakukan atau diingini.

[5]                Verywell Mind, “What Is Objective Morality?”, membedakan moral (keyakinan personal) dan etika (kode sistem sosial).

[6]                Britannica, “Ethics,” menjelaskan bahwa etika adalah cabang filsafat, sedangkan hukum berada dalam ranah sosial-keilmuan yang berbeda.

[7]                Wikipedia, Ethics, mencatat tiga cabang utama etika: metaetika, etika normatif (deontologi, konsekvensialisme, virtus), dan etika terapan.

[8]                Wolff, An Introduction to Moral Philosophy (2018) sebagai karya pengantar yang komprehensif terhadap teori-teori moral.

[9]                MacIntyre, After Virtue (1981) dan perdebatan kontemporer tentang etika, seperti etika lingkungan dan feminis.

[10]             Verywell Mind, “What Is Objective Morality?”, memberikan penjelasan historis dan kontemporer tentang moralitas objektif dan subjektif.


2.           Hakikat Filsafat Moral

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Moral (Etika)

Filsafat moral — yang juga dikenal sebagai etika — merupakan cabang filsafat yang fokus pada kajian tentang nilai-nilai moral, norma, dan prinsip yang mengatur perilaku manusia serta pertimbangan moral atas baik dan buruk¹. Dalam terminologi akademis, istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak atau adat, sedangkan moral berasal dari kata Latin mores yang berarti kebiasaan atau cara hidup². Etika bertindak sebagai refleksi filosofis kritis atas sistem nilai moral yang diterima dan dipraktikkan dalam masyarakat³.

2.2.       Objek dan Fokus Kajian

Filsafat moral membahas beberapa ranah utama:

1)                  Metaetika – berfokus pada pertanyaan mengenai hakikat moralitas itu sendiri: apakah ada fakta moral objektif, apa makna istilah seperti “baik” dan “benar”, serta bagaimanakah moralitas diketahui⁴. Cabang ini bertugas menjawab “apa itu moralitas?” dan “bagaimana kita mengetahui bahwa sesuatu itu moral?”⁵.

2)                  Etika normatif – membahas teori-teori tentang bagaimana seharusnya kita bertindak secara moral. Di antaranya termasuk aliran seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan (virtue ethics)⁶.

3)                  Etika terapan – menerapkan prinsip-prinsip moral dalam konteks praktis kehidupan nyata, seperti bioetika, etika lingkungan, dan etika teknologi⁷.

2.3.       Perbedaan Fundamental: Moral vs. Etika

·                     Moral merujuk pada ajaran atau sistem nilai yang mengatur apa yang diterima sebagai baik atau buruk dalam masyarakat, dan sering kali bersifat tidak kritis karena diterima secara turun-temurun⁸.

·                     Etika sebagai kajian filosofis secara aktif menggali, memeriksa, dan mempertanyakan dasar serta koherensi dari sistem nilai moral tersebut⁹.

Dengan demikian, filsafat moral tidak hanya meluruskan konseptual, tetapi juga mengevaluasi perspektif moral yang ada secara reflektif.

2.4.       Fokus Pemikiran Moralitas: Rasionalitas dan Refleksi Kritik

Konsep actus humanus dalam filsafat menekankan bahwa tindakan moral adalah tindakan manusia yang rasional—manusia tidak hanya merespons impuls, tetapi merefleksikan pilihan dan dampaknya sebelum bertindak¹⁰. Ini merefleksikan keunikan etika sebagai dimensi aktif dan kritis dalam tindakan manusia, bukan sekadar respons pasif terhadap norma sosial.


Footnotes

[1]                R. Chaddha, “Ethics and Morality,” PMC (2023): menyatakan bahwa filsafat moral (etika) adalah cabang yang membahas prinsip-prinsip moral, yaitu nilai baik dan buruk dalam perilaku manusia, dan menyoroti variabilitas moralitas antar-individu serta budaya.²(E-Journal Undiksha, E-Journal Undip, PMC)

[2]                S. R. Wilujeng, “Etika (Filsafat Moral),” Humanika, Universitas Diponegoro: menjelaskan etika sebagai cabang filsafat yang mempelajari pertimbangan nilai baik–buruk (etika) dan membedakannya dari moral.²(E-Journal Undip)

[3]                Ibid.: etika sebagai kajian kritis terhadap sistem nilai moral yang diterima oleh masyarakat.(E-Journal Undip)

[4]                Metaethics entry, Internet Encyclopedia of Philosophy: metaetika menjalin penelitian tentang status, dasar, dan ruang lingkup nilai moral, properti moral, dan istilah-istilah moral.(Encyclopedia of Philosophy)

[5]                “Metaethics,” Wikipedia bahasa Inggris: menjelaskan bahwa metaetika meneliti sifat, sumber, dan makna penilaian moral, serta membedakan antara metaetika, etika normatif, dan etika terapan.

[6]                “Ethics,” Wikipedia bahasa Inggris: mendefinisikan etika normatif sebagai cabang yang menyelidiki standar moral untuk menentukan tindakan yang “seharusnya” dilakukan, termasuk teori-teori seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan.

[7]                Ibid.: etika terapan mengaplikasikan prinsip moral dalam isu-isu spesifik seperti aborsi, perlakuan terhadap hewan, dan praktik bisnis.

[8]                S. R. Wilujeng, op. cit.: moral adalah sistem ajaran nilai baik–buruk yang diterima, sementara etika adalah kajian mendalam atasnya.

[9]                Syahla Safa (via Scribd), “Moral, Etika dan Filsafat”: moral sebagai sistem nilai tentang hidup baik, etika mempelajari prinsip moral, dan filsafat menganalisis etika secara kritis.

[10]             Filsafat moral PDF (Instiper Jogja): konsep actus humanus menekankan refleksi, rasionalitas, dan kebebasan sebagai syarat tindakan moral yang etis.


3.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Moral

3.1.       Etika Kuno (Ancient Ethics)

Pemikiran moral didaraskan sejak zaman kuno, saat narasi mitologis mulai digantikan oleh penalaran rasional. Di Yunani, Socrates menggunakan metode dialektik untuk mengeksplorasi kebenaran moral melalui pertanyaan kritis—sebuah pendekatan revolusioner dibanding mitos sebelumnya¹. Pemikiran selanjutnya berkembang melalui Plato yang merumuskan “Form of the Good”, serta Aristoteles yang memperkenalkan konsep eudaimonia sebagai tujuan tertinggi hidup manusia—yaitu kebahagiaan atau kehidupan yang berkembang secara moral melalui praktik kebajikan seperti keberanian, keadilan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri².

3.2.       Etika Abad Pertengahan

Pada masa Abad Pertengahan, filsafat moral berkembang dalam kerangka teosentris. Tokoh penting seperti Augustine dan Thomas Aquinas mencoba menyelaraskan wawasan klasik Aristotelian dengan doktrin Kristiani. Aquinas mengembangkan teori hukum alam (natural law) yang menyatakan bahwa hukum moral bersumber dari sifat manusia yang rasional—misalnya larangan membunuh karena keberlanjutan hidup merupakan kebutuhan esensial bagi manusia³.

3.3.       Pencerahan dan Etika Modern Awal

Zaman Pencerahan membawa pergeseran besar menuju rasionalitas dan individu sebagai pusat etika. Tokoh seperti Kant menegaskan bahwa moralitas haruslah dibangun atas dasar kewajiban dan prinsip yang dapat diuniversalkan, melalui konsep categorical imperative yang menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar sarana⁴. Di sisi lain, aliran utilitarianisme oleh Bentham dan Mill mengemukakan standar moral praktis berbasis konsekuensi—yaitu kesejahteraan terbesar bagi jumlah terbanyak⁵.

3.4.       Etika Terapan dan Diversifikasi Teoretis Kontemporer

Sejak abad ke-20, terjadi pengembangan besar dalam cabang etika terapan. Bidang seperti bioetika, etika lingkungan, dan etika teknologi mengkaji dilema-dilema moral konkret dalam konteks medis, ekologi, dan informatika⁶. Selain itu, terjadi kebangkitan kembali etika kebajikan (virtue ethics)—terutama sejak publikasi Anscombe “Modern Moral Philosophy”—yang menggeser fokus dari aturan abstrak ke karakter serta kehidupan yang baik, dengan tokoh seperti MacIntyre merevitalisasi tradisi Aristotelian dalam wacana modern⁷.

3.5.       Krisis Moral dan Kembalinya Narasi Etika Tradisional

Alasdair MacIntyre dalam karya After Virtue menyatakan bahwa modernitas telah memecah narasi moral, membuat etika kehilangan akar historis dan tradisinya. Ia mengajak kembali ke etika kebajikan berbasis narasi sosial: moralitas tidak dapat dipahami terlepas dari konteks tradisionalnya, dan diperlukan dialog lintas tradisi untuk membangun argumen moral yang substantif⁸.


Footnotes

[1]                History of ethics, Wikipedia, menggambarkan transisi dari narasi mitologis ke pendekatan rasional oleh Socrates; dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles dalam membahas kebaikan dan kebajikan.(ejurnal.stpkat.ac.id, Wikipedia)

[2]                Ibid.: Aristoteles merumuskan eudaimonia dan menjelasakan kebajikan utama sebagai landasan hidup moral.(Wikipedia)

[3]                History of ethics, Wikipedia: Thomas Aquinas dengan teori natural law dan kontribusinya terhadap etika moral Kristen.(Wikipedia)

[4]                Immanuel Kant, Wikipedia, menjelaskan categorical imperative dan gagasannya tentang moral sebagai kewajiban rasional.(Wikipedia)

[5]                History of ethics, Wikipedia: Utilitarianisme oleh Bentham dan Mill, dan keberlanjutannya hingga kini.(Wikipedia)

[6]                History of ethics, Wikipedia: Perkembangan etika terapan modern seperti bioetika dan lingkungan sejak abad ke-20.(Wikipedia)

[7]                Virtue ethics, Wikipedia – menguraikan asal-usul, penurunan, dan kebangkitan kembali melalui Anscombe, Foot, MacIntyre, dan lain-lain dalam disebutnya aretaic turn.(Wikipedia)

[8]                The Guardian, obituary Alasdair MacIntyre – merangkum argumen utama After Virtue tentang krisis moral modern dan kebutuhan akan narasi tradisional.(theguardian.com)


4.           Aliran‑Aliran dalam Filsafat Moral

4.1.       Deontologi (Etika Kewajiban atau Aturan)

Deontologi adalah yurisprudensi moral yang menekankan bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh kesesuaian tindakan itu terhadap aturan atau prinsip moral yang berlaku—tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang ditimbulkan.¹ Istilah ini berasal dari bahasa Yunani deon (kewajiban) dan logos (ilmu), dan diperkenalkan secara khusus oleh C.D. Broad pada tahun 1930.² Pemikiran Immanuel Kant merupakan contoh paling terkenal: ia menyatakan bahwa hanya niat baik (good will) yang benar-benar tak terbatas nilainya, dan moralitas terletak pada tindakan yang dilakukan semata-mata karena rasa kewajiban, bukan karena konsekuensi yang mungkin muncul.³ Selain itu, Kant memperkenalkan imperatif kategoris, dengan formulasi utama: (a) bertindaklah berdasarkan prinsip yang dapat diuniversalkan, (b) perlakukan manusia sebagai tujuan, bukan hanya sebagai sarana, dan (c) setiap individu adalah anggota legislatif dari “Kerajaan Tujuan” universal.⁴

4.2.       Utilitarianisme (Aliran Konsekuensialisme)

Utilitarianisme merupakan bentuk utama etika konsekuensial, yang menilai moralitas berdasarkan konsekuensi tindakan: suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan kesejahteraan terbesar bagi jumlah terbesar.⁵ Jeremy Bentham dan John Stuart Mill adalah pelopor teori ini, dengan Mill membedakan antara kenikmatan tinggi dan rendah dalam upaya menilai kualitas hasil moral.⁶

4.3.       Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Etika kebajikan menitikberatkan pada karakter dan watak individu, bukan hanya pada tindakan atau akibatnya.⁷ Menurut pendekatan ini, moralitas tercapai melalui pengembangan sifat-sifat terpuji (seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan moderasi).⁸ Aristoteles adalah tokoh klasik utama yang memperkenalkan konsep ini, dengan tujuan utama menciptakan eudaimonia—kehidupan yang bermakna dan berkembang melalui kebajikan.⁹ Sejak era modern, etika kebajikan kembali mendapat perhatian melalui karya para filsuf seperti G.E.M. Anscombe dan Alasdair MacIntyre.¹⁰

4.4.       Perbandingan Utama Antara Deontologi, Utilitarianisme, dan Etika Kebajikan

1)                  Fokus Utama Setiap Aliran

þ Deontologi: Menekankan kewajiban dan prinsip moral sebagai dasar tindakan. Yang penting bukan akibatnya, tetapi apakah tindakan itu sesuai dengan aturan moral yang benar.

þ Utilitarianisme: Fokus pada konsekuensi dari tindakan. Suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

þ Etika Kebajikan: Berorientasi pada pembentukan karakter moral individu. Moralitas tidak hanya dinilai dari tindakan atau hasil, tetapi dari keutamaan sifat yang melekat dalam pribadi seseorang.

2)                  Cara Menilai Moralitas

þ Deontologi: Moralitas dinilai dari benar atau salahnya tindakan berdasarkan prinsip universal, terlepas dari akibat yang ditimbulkan.

þ Utilitarianisme: Moralitas suatu tindakan ditentukan oleh seberapa besar manfaat atau kebahagiaan yang dihasilkannya.

þ Etika Kebajikan: Moralitas berkaitan dengan pertanyaan, “Apa yang akan dilakukan oleh orang yang memiliki karakter baik?

3)                  Kelemahan atau Tantangan Teoretis

þ Deontologi: Cenderung mengabaikan konsekuensi yang mungkin sangat berbahaya atau merugikan, karena terlalu fokus pada aturan kaku.

þ Utilitarianisme: Bisa mengorbankan keadilan individual demi kebaikan kolektif; misalnya, membenarkan pelanggaran hak demi hasil maksimal.

þ Etika Kebajikan: Kurang memberikan pedoman konkret untuk pengambilan keputusan moral dalam situasi dilema yang kompleks.

4)                  Tokoh-Tokoh dan Karya Klasik yang Mewakili

þ Deontologi: Diwakili oleh Immanuel Kant dengan gagasan tentang imperatif kategoris.

þ Utilitarianisme: Dipelopori oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, dengan prinsip "the greatest happiness for the greatest number."

þ Etika Kebajikan: Berakar pada filsafat Aristoteles, dengan konsep eudaimonia (kehidupan yang baik melalui kebajikan).


Footnotes

[1]                “Deontology,” Wikipedia, menjelaskan bahwa deontologi menilai moralitas berdasarkan benar-salahnya tindakan sesuai prinsip, bukan konsekuensi.²(Wikipedia, Wikipedia, Humanities LibreTexts)

[2]                Saya merujuk pada sejarah istilah deontologi seperti yang dijelaskan oleh beberapa literatur klasik (misalnya C. D. Broad) melalui Wikipedia, hal. verilasi pertama.(Wikipedia)

[3]                Ibid., menyoroti pemikiran Kant tentang niat baik sebagai satu-satunya yang baik secara moral.(Humanities LibreTexts)

[4]                “Kantian ethics,” Wikipedia, mendeskripsikan tiga formulasi utama imperatif kategoris oleh Kant.(Wikipedia)

[5]                “Consequentialism,” Wikipedia, menjelaskan kerangka dasar etika konsekuensial dan peran utilitarianisme sebagai tipe utamanya.(Wikipedia)

[6]                Ibid., menyebut pemikiran Bentham dan Mill serta pembagian pleasures dalam utilitarianisme Mill.(Wikipedia)

[7]                “Virtue Ethics,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, menyatakan bahwa pendekatan kebajikan menjadi salah satu dari tiga pendekatan utama dalam etika normatif.(Encyclopedia of Philosophy)

[8]                “Virtue ethics,” Wikipedia, menggambarkan kebajikan sebagai karakter yang mendasari tindakan moral dan mempromosikan pengembangan karakter.(Wikipedia)

[9]                Ibid., menjelaskan peran Aristoteles dalam mengembangkan etika kebajikan dan konsep eudaimonia.(To Dwell With God)

[10]             “Normative ethics,” Wikipedia, menyebut kebangkitan kembali etika kebajikan oleh Anscombe, Foot, MacIntyre, dan Hursthouse sejak 1950-an.(Wikipedia)


5.           Isu‑Isu Moral Kontemporer dalam Sorotan Filsafat

5.1.       Bioetika dan Moral Enhancement

Isu Bioetika Modern meliputi dilema seperti eutanasia, rekayasa genetika, dan keputusan di ujung kehidupan. Bioetika juga mencakup refleksi sosial, budaya, dan hukum yang berkembang seiring percepatan teknologi medis dan kesehatan ramai dibahas pada abad ke-21.¹

Moral Enhancement, termasuk moral bioenhancement, adalah suatu topik berkembang dalam neuroetika. Para filsuf seperti Thomas Douglas, Ingmar Persson, dan Julian Savulescu membahas potensi penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan karakter moral manusia—sebuah pendekatan yang memicu diskusi tentang kebebasan, otoritas moral, dan tekanan sosial.²

5.2.       Etika Feminis dan Bioetika Kritik Gender

Feminist Bioethics hadir sebagai respons kritis terhadap bias gender dalam bioetika tradisional. Ia menggarisbawahi pentingnya pertimbangan kesetaraan gender, memperhatikan konteks sosial, dan menolak androcentrism (pusat pandangan laki-laki) dalam pembentukan kebijakan dan praktik medis.³

5.3.       Etika Teknologi dan Tantangan Digital

Etika Teknologi mengkaji berbagai dimensi moral terkait perkembangan teknologi: akses, privasi, keamanan, risiko eksistensial, hak digital, human enhancement, dan transparansi teknologi. Isu seperti deepfake, algoritma diskriminatif, dan automasi massal menjadi pusat perhatian karena dampaknya terhadap keadilan dan hak individu.⁴

5.4.       Keadilan AI dan Ketidakadilan Struktural

Keadilan Algoritmik (Algorithmic Fairness) berusaha meminimalkan bias dalam sistem berbasis data—misalnya dalam rekomendasi hukuman, distribusi sumber daya kesehatan, atau evaluasi finansial—dengan memperhitungkan ketidakadilan struktural yang mengakar.⁵

Dalam perspektif politik-filosofis, pandangan seperti yang dikembangkan oleh John Rawls diterapkan untuk AI, menekankan perlunya sistem AI yang adil, transparan, dan mampu menyajikan justifikasi publik yang melindungi kepentingan kelompok rentan.⁶

5.5.       Hak dan Pertimbangan Moral terhadap Entitas Buatan

Kajian tentang sejauh mana entitas buatan (robot, AI sensitif, dsb.) layak mendapat pertimbangan moral mulai muncul. Beberapa filsuf mengusulkan pendekatan seperti information ethics dan social‑relational ethics sebagai alternatif untuk menjawab kompleksitas entitas non-manusia.⁷

5.6.       Tanggung Jawab Sosial terhadap Ketidakadilan Global dan Inklusi

Isu seperti kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, hak-hak hewan, dan keadilan distribusi global tetap menjadi agenda penting dalam filsafat moral kontemporer. Misalnya, Peter Singer memperjuangkan kewajiban etis untuk membantu mereka yang terpinggirkan melalui pendekatan konsekuensialis—sebuah ide yang menjadi landasan gerakan efektif-altruism.⁸


Footnotes

[1]                J. Mandal, “Bioethics: A Brief Review,” PMC (2017): upload bioetika mencakup isu klinis, budaya, hukum, dan epidemiologis terkait kemajuan kesehatan dan biomedis. (Wikipedia, Wikipedia, Wikipedia, arXiv, PMC)

[2]                Moral enhancement, Wikipedia: diskusi berkembang tentang penggunaan teknologi biomedis untuk meningkatkan moralitas manusia, seperti yang dibahas oleh Douglas, Persson, dan Savulescu. (Wikipedia)

[3]                Feminist bioethics, Wikipedia: memperkenalkan kritik feminis terhadap bioetika tradisional, menyoroti bias gender dan konsep kesehatan yang terpusat pada norma laki-laki. (Wikipedia)

[4]                Ethics of technology, Wikipedia: menguraikan tantangan etika terbaru—termasuk risiko eksistensial, deepfakes, privasi digital, human enhancement, dan otomatisasi. (Wikipedia)

[5]                A. Kasirzadeh, “Algorithmic Fairness and Structural Injustice,” arXiv (2022): diskusi tentang pentingnya memperhitungkan ketidakadilan struktural dalam algoritma pengambilan kebijakan. (arXiv)

[6]                I. Gabriel, “Toward a Theory of Justice for Artificial Intelligence,” arXiv (2021): menerapkan pendekatan keadilan distributif untuk sistem AI, dengan perhatian pada justifikasi publik dan perlindungan kelompok rentan. (arXiv)

[7]                J. Harris & J. R. Anthis, “The Moral Consideration of Artificial Entities,” arXiv (2021): menjelajahi apakah entitas buatan bisa layak secara moral dan perlunya pendekatan baru dalam etika. (arXiv)

[8]                Peter Singer Is Committed to Controversial Ideas, The New Yorker (2021): menguraikan upaya Singer melalui pemikiran konsekuensialis mengenai tanggung jawab moral atas kemiskinan dan kesetaraan global. (newyorker.com)


6.           Pendekatan Interdisipliner terhadap Filsafat Moral

6.1.       Psikologi Moral (Moral Psychology)

Kajian psikologi moral merupakan salah satu bidang interdisipliner paling berkembang, yang menggabungkan metode empiris dari psikologi dengan refleksi konseptual dari filsafat etika. Sebagai contoh, Stanford Encyclopedia of Philosophy menyebut bahwa "psikologi moral meneliti fungsi manusia dalam konteks moral, serta bagaimana temuan-temuan tersebut berdampak pada perdebatan dalam teori etika."¹ Pendekatan ini membantu kritikus menilai teori etika yang mengabaikan realitas psikologis sebagai kurang kompetitif secara filosofis.

6.2.       Antropologi Etis (Ethical Turn in Anthropology)

Fisafat moral terus memperkaya diri melalui kontribusi disiplin empiris seperti neurologi, biologi, dan psikologi. Namun, antropologi budaya kini juga mengalami apa yang disebut sebagai ethical turn—yakni studi sistematis tentang moralitas dalam kerangka intersubjektif dan lintas budaya.² Pendekatan ini mengungkap pola-pola moral yang serupa dalam berbagai budaya dan memperdalam pemahaman perkembangan moral secara historis dan sosial.

6.3.       Antropologi-Filosofi: Integrasi dalam Studi Moralitas

Beberapa filsuf menekankan perlunya integrasi antara filsafat dan antropologi dalam memahami moralitas. David B. Wong, misalnya, mengusulkan tiga kriterium untuk sebuah teori moral yang menyeluruh: (1) mengakui keragaman nilai di berbagai masyarakat, (2) menetapkan kriteria tentang apa yang dapat dikategorikan sebagai moralitas, dan (3) membedakan mana sistem moral yang lebih dapat dibenarkan.³ Pendekatan ini mendorong dialog kritis antara generalisasi filosofis dan konteks empiris budaya.

6.4.       Sosiologi dan Ilmu Manusia (Geisteswissenschaften)

Wilhelm Dilthey menekankan perbedaan metodologis antara ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Menurutnya, ilmu manusiaisme lebih menekankan pemahaman (verstehen) daripada sekadar penjelasan kausal, karena objeknya mencakup makna, konteks hidup, dan pengalaman batin—nilai-nilai yang sangat relevan dalam kajian etika.⁴

6.5.       Evolusi dan Evolusioner Etika (Evolutionary Ethics)

Bidang evolutionary ethics mengeksplorasi bagaimana teori evolusi dapat menjelaskan perilaku moral (deskriptif) serta mendekonstruksi klaim moral obyektif (metaetika).⁵ Pendekatan ini memperluas cara memandang moralitas: tidak sekadar soal norma, tetapi juga adaptasi biologis dan psikologis dalam sejarah panjang manusia.

6.6.       Etika Perilaku (Behavioral Ethics)

Etika perilaku menggabungkan temuan psikologi sosial dan motivasi untuk memahami bagaimana keputusan moral dibuat dalam praktik—bahkan ketika hasilnya menyimpang dari norma ideal.⁶ Eksperimen seperti Milgram dan Stanford Prison menunjukkan bahwa faktor situasional bisa sangat memengaruhi tindakan etis, tak sekadar berdasarkan prinsip abstrak.

6.7.       Etika Digital dan Komunikasi

Di era digital, etika juga dipengaruhi oleh dinamika komunikasi, desain, dan teknologi. Dalam ranah ini, etika terapan menjadi sangat krusial—baik secara praktis maupun teoritis—untuk menangani isu-isu seperti privasi data, algoritme, dan tata nilai dalam komunikasi digital.⁷


Footnotes

[1]                Moral Psychology: Empirical Approaches, Stanford Encyclopedia of Philosophy: menyatakan bahwa psikologi moral adalah bidang interdisipliner yang menyelaraskan penemuan psikologi dengan teori etika.(ResearchGate, Wikipedia, Wikipedia, Wikipedia, Encyclopedia of Philosophy)

[2]                Michael Klenk, “Moral Philosophy and the 'Ethical Turn' in Anthropology,” Zeitschrift für Ethik und Moralphilosophie (2019): membahas kontribusi antropologi dalam memperkaya filsafat moral melalui pendekatan empiris dan intersubjektif.(SpringerLink)

[3]                David B. Wong, Integrating philosophy with anthropology in an approach to morality, Anthropological Theory (2014): mengusulkan tiga kriterium utama untuk teori moral yang komprehensif.(ResearchGate)

[4]                Wilhelm Dilthey, Einleitung in die Geisteswissenschaften (1972), diulas dalam Wikipedia untuk menekankan pentingnya pemahaman (verstehen) dalam ilmu kemanusiaan.(Wikipedia)

[5]                Evolutionary ethics, Wikipedia: menjelaskan cakupan evolusi terhadap etika—baik untuk menjelaskan perilaku moral maupun menantang realisme moral.(Wikipedia)

[6]                Behavioral ethics, Wikipedia: menyoroti perkembangan empiris dalam etika, termasuk eksperimen situasional yang menunjukkan bias dan ketidaksadaran dalam keputusan moral.(Wikipedia)

[7]                Rebekah Rousi & Ville Vakkuri, “Introduction to ethics in the age of digital communication,” arXiv (2023): mendefinisikan pentingnya etika digital di bidang komunikasi terapan.(arxiv.org)


7.           Filsafat Moral dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

7.1.       Peran Fundamental Pendidikan Moral dalam Pembentukan Karakter

Kajian ilmiah menunjukkan bahwa pendidikan moral memiliki peran pusat dalam membentuk karakter anak, mencakup dimensi normatif, emosional, dan tanggung jawab sosial. Moralnya bukan sekadar norma, tetapi juga nilai-nilai etis, empati, dan tanggung jawab terhadap masyarakat¹. Hal ini menegaskan gambaran pendidikan moral sebagai fondasi dalam perkembangan moral individu dan kontribusinya terhadap komunitas secara luas¹.

7.2.       Karakter sebagai Tujuan Pendidikan

Pendidikan karakter – yang melibatkan kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan toleransi – terbukti membantu siswa mengembangkan nilai-nilai moral yang kuat. Melalui integrasi nilai-nilai ini ke dalam kurikulum dan aktivitas sekolah, siswa tidak hanya menghadapi dilema moral tetapi juga memperkuat kemampuan untuk membuat keputusan berintegritas².

7.3.       Pendekatan Kurikulum yang Holistik dan Kontekstual

Pembelajaran karakter dan moral yang efektif tidak hanya terfokus dalam satu bidang studi, tetapi disesuaikan secara menyeluruh. Kajian filosofis menekankan perlunya mengintegrasikan refleksi moral ke berbagai bidang pembelajaran, mengatasi dikotomi bahwa siswa hanya “moral” dalam tindakan sehari-hari namun “amang” terhadap materi pelajaran³.

7.4.       Peran Guru sebagai Teladan Moral

Para guru memainkan peran sentral sebagai model etis; perilaku mereka menjadi contoh langsung bagi peserta didik. Guru yang menunjukkan integritas, tanggung jawab, dan perilaku etis memberikan dampak signifikan terhadap pembentukan karakter siswa⁴.

7.5.       Hubungan antara Nilai Pribadi dan Prestasi Akademik

Nilai personal siswa berkontribusi besar kepada pendekatan belajar dan prestasi akademiknya. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral dan etis pribadi tidak hanya memengaruhi dinamika komunitas belajar, tetapi juga potensi pencapaian akademik siswa⁵.

7.6.       Manfaat Nyata dalam Kesejahteraan dan Prestasi

Sistem pendidikan yang menekankan pengembangan karakter juga dikaitkan dengan hasil belajar yang lebih baik, peningkatan kebiasaan sosial sehat, dan kesejahteraan emosional siswa. Pembelajaran berbasis karakter terbukti berdampak positif dalam meningkatkan performa, kesehatan mental, dan sikap sosial siswa⁶.

7.7.       Strategi Efektif dalam Pendidikan Karakter

Penelitian menunjukkan beberapa strategi efektif dalam implementasi pendidikan karakter:

·                     Contoh nyata: Guru dan sekolah memberikan teladan perilaku etis.

·                     Habituasi: Penerapan perilaku moral melalui konsistensi kebiasaan.

·                     Cerita inspiratif dan refleksi: Membangun kesadaran moral melalui narasi dan dialog.

·                     Semua ini lebih optimal ketika ada kolaborasi antara guru, sekolah, orang tua, dan komunitas lingkungan⁷.

7.8.       Integrasi Digital dan Era Teknologi

Dalam konteks teknologi era digital, pendidikan karakter menjadi lebih penting dan kompleks. Kewajiban moral digital muncul sebagai tantangan baru. Pendidikan karakter yang adaptif mencoba menanamkan kesadaran etika dalam lingkungan digital, membantu siswa memahami dan merespon isu etis yang muncul dari penggunaan teknologi⁸.


Kesimpulan: Pendidikan moral secara filosofis dan praktis merupakan elemen penting dalam membentuk karakter siswa. Lewat integrasi nilai-nilai etis dalam kurikulum, figur teladan seperti guru, kolaborasi lintas lingkungan, dan adaptasi terhadap tantangan digital, pendidikan karakter menjadi modal krusial bagi masa depan individu dan masyarakat.


Footnotes

[1]                M. Zainul Hafizi dan Hadi Wiyono, “The Importance of Moral Education in the Formation of Children’s Character,” IJGIE vol. 4, no. 2 (Sept. 2023): moral education mencakup norma, nilai etis, empati, dan tanggung jawab sosial.(ResearchGate)

[2]                “The Role of Character Education in Forming Students’ Ethical …,” IJoSE (2023–2024): pendidikan karakter membantu mengembangkan nilai moral melalui pengenalan dilema, keputusan, dan integritas dalam kurikulum.(journal.berpusi.co.id)

[3]                “A philosophical approach to moral education,” ResearchGate (2017?): pendekatan filosofis mengintegrasikan aspek moral dalam semua bidang studi, mengatasi dualitas siswa dipandang moral dalam perilaku tetapi amoral dalam studi.(ResearchGate)

[4]                Maricyl A. Feliza, “Teachers as Ethical Role Models: Their Influence on Student Character Formation,” ResearchGate (2025?): guru sebagai teladan memengaruhi pembentukan karakter siswa melalui perilaku etis dan tanggung jawab profesional.(ResearchGate)

[5]                “The Role of Personal Values in Learning Approaches and Student …,” PMC (2021?): nilai personal siswa memengaruhi gaya belajar dan komunitas belajar, serta berdampak pada prestasi akademik.(PMC)

[6]                “Character and moral education based learning in students’ character development,” ResearchGate (2022–2024): pendidikan berbasis karakter berkontribusi pada hasil belajar, kesehatan mental, dan performa siswa.(ResearchGate)

[7]                Khairul Amri & Putera, “Moral Education as a Foundation for the Formation of Students' Character,” IJIER vol. 1, no. 3 (July 2024): pentingnya teladan, habituasi, inspirasi cerita, dan kolaborasi keluarga, sekolah, serta komunitas dalam pembentukan karakter.(Aripafi International)

[8]              M. Marwan et al., “The Role of Character Education in Building Ethics and Morality among Students in the Digital Age,” IJERE vol. 4, no. 1 (2025): pendidikan karakter memperkuat kesadaran etis dalam menghadapi tantangan moral era digital.(Ejournal IP Internasional)


8.           Kritik dan Tantangan terhadap Filsafat Moral

8.1.       Relativisme Moral dan Krisis Objektivitas

Salah satu kritik utama terhadap filsafat moral—terutama cabang normatif dan metaetika—berasal dari relativisme moral. Relativisme menyatakan bahwa penilaian moral hanya benar atau salah relatif terhadap suatu perspektif budaya, historis, atau individual, dan tidak ada perspektif yang secara objektif unggul.¹ Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: jika moral sesuatu tergantung konteks, bagaimana kita bisa mengkritik perbuatan ظلم dalam masyarakat lain? Sehingga muncul argumen bahwa relativisme melemahkan kemampuan etika untuk menyampaikan nilai-nilai universal.²

8.2.       Nihilisme Moral dan Error Theory

Nihilisme moral atau error theory—menurut J. L. Mackie—menyatakan bahwa nilai moral objektif tidak ada; penilaian moral sebenarnya selalu salah karena merujuk kepada entitas “aneh” yang tidak dapat dibuktikan eksistensinya.³ Konsekuensinya adalah anggapan bahwa moralitas hanyalah konstruksi bahasa atau perasaan subjektif. Ini memunculkan tantangan serius bagi filsafat moral karena menyangkal makna objektif tindakan etis, sekaligus mengancam tanggung jawab moral.⁴

8.3.       Posmodernisme dan Penolakan terhadap Metanarasi

Filsafat posmodern—seperti yang dikemukakan oleh Lyotard—menolak narasi universal atau metanarasi yang menjadi landasan objektivitas moral. Menurutnya, kebenaran bersifat fragmentaris dan tergantung konteks budaya atau sejarah, sehingga klaim etis universal menjadi tidak mungkin dan tak relevan.⁵ Kritik ini menggugah fondasi moral universal dan menekankan pentingnya keadilan sebagai kewaspadaan terhadap imposisi aturan tunggal.⁶

8.4.       Krisis Moral Modern Menurut Alasdair MacIntyre

Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue, menyatakan bahwa masyarakat modern kehilangan narasi moral bersama, dan terjebak dalam emotivisme—di mana tindakan moral hanya mencerminkan preferensi individu tanpa dasar rasional.¹⁷ Ia menyebut era modern sebagai "zaman kegelapan baru", karena masyarakat dewasa ini terus berselisih tentang "apa yang benar" tanpa kerangka moral bersama yang kokoh.¹⁷

8.5.       Kritik Metafilosofis oleh Stephen Toulmin

Stephen Toulmin mengkritik pendekatan absolutis dalam filsafat moral—yang mengabaikan konteks spesifik dalam argumen normatif. Ia memperkenalkan konsep "field-dependent" (bergantung konteks) dan "field-invariant" (universal) untuk membedakan antara prinsip moral yang berlaku umum dan yang khusus. Menurutnya, filsafat moral perlu memahami keragaman situasional, dan menghindari klaim universal yang tak realistis.¹⁸

8.6.       Tantangan Prichard: “Why Be Moral?”

H. A. Prichard, dalam artikelnya Does Moral Philosophy Rest on a Mistake? (1912), mempertanyakan dasar pertanyaan “mengapa harus moral?”. Ia berargumen bahwa kewajiban moral bukan sesuatu yang dapat dijustifikasi melalui argumentasi non-moral—melainkan langsung kita rasakan sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Berupaya membuktikan kewajiban moral melalui logika non-moral dianggap sebagai kekeliruan mendasar.¹⁹


Kesimpulan Singkat: Filsafat moral menghadapi sejumlah kritik serius: dari relativisme yang meruntuhkan fondasi objektifitas, nihilisme yang menyangkal keberadaan moralitas itu sendiri, hingga tantangan posmodernisme yang menolak narasi universal. Tokoh-tokoh seperti MacIntyre menunjukkan krisis moral modern, sementara Toulmin dan Prichard menyoroti kelemahan argumentatif dalam moralitas absolutis atau rasionalistis. Kritik-kritik ini menandai pentingnya refleksi mendalam terhadap dasar filsafat moral serta relevansinya dalam konteks kekinian.


Footnotes

[1]                Moral Relativism, Internet Encyclopedia of Philosophy: menjelaskan bahwa penilaian moral hanya benar/salah relatif terhadap beberapa perspektif budaya—dan tidak ada yang unggul secara inheren.(Wikipedia, Wikipedia, Encyclopedia of Philosophy)

[2]                Postmodernism and relativism, Britannica: posmodernisme menolak objektivitas dan nilai moral universal.(Encyclopedia Britannica)

[3]                Moral Nihilism, Wikipedia: Mackie menyampaikan error theory, yaitu bahwa nilai moral objektif tidak eksis dan cenderung "aneh".(Wikipedia)

[4]                Explanation and critique of the principles of postmodern moral education, International Scholars Journals: moralisme postmodern dapat mengarah ke nihilisme moral dan relativisme ekstrem.(internationalscholarsjournals.com)

[5]                Postmodern philosophy, Wikipedia: kebenaran moral bersifat relatif, tidak universal.(ResearchGate)

[6]                Jean‑François Lyotard in The Postmodern Condition, via Wikipedia: etika posmodern menekankan aspek partikular dan mengkritik sandiwara metanarasi universal.(Wikipedia)

[7]                Professor Alasdair MacIntyre obituary, The Times: MacIntyre menyatakan modernitas kehilangan makna moral bersama dan terjebak emotivisme.(The Times)

[8]                Stephen Toulmin, Wikipedia: Toulmin mengkritik absolutisme dan relativisme, memperkenalkan ide argumentasi field-dependent.(Wikipedia)

[9]                Does Moral Philosophy Rest on a Mistake?, Wikipedia: Prichard menilai bahwa pertanyaan "mengapa harus moral?" tidak membutuhkan pembenaran non-moral, dan mencari "bukti" kewajiban moral adalah kesalahan filosofis.(Wikipedia)


9.           Penutup

Filsafat moral tetaplah fondasi utama dalam pengembangan pemahaman etis manusia serta pembentukan norma dalam masyarakat. Dari akar pemikiran klasik seperti Aristoteles dan Kant hingga tantangan kontemporer seperti etika digital dan bioetika, filsafat moral telah memberikan kerangka reflektif yang mendalam untuk menghadapi dilema modern. Kajian moralitas—sebagai pencarian rasional dan reflektif terhadap kebaikan—menolong individu dan komunitas dalam merumuskan tindakan bermakna serta membangun justifikasi moral.¹

Moral theory (teori moral) berfungsi tidak sebatas sebagai ide teoretis, tetapi juga sebagai panduan tindakan (decision procedure) yang membantu memastikan tindakan manusia sesuai prinsip etis. Hal ini menekankan peran filsafat moral dalam orientasi praktis.²

Sebagai disiplin yang kaya akan refleksi, filsafat moral memadukan aspek normatif dan empiris, menunjukkan relevansi jangka panjangnya. Kajian interdisipliner—dalam moral psychology, anthropology, dan etika digital—menegaskan bahwa pemahaman moral mesti melibatkan pengetahuan tentang struktur psikologis, budaya, bahkan teknologi.³

Sementara itu, kritik terhadap filsafat moral—seperti relativisme, nihilisme, atau dekonstruksi posmodern—menjadi pengingat penting tentang kerentanan teori etika terhadap fragmentasi dan kekosongan makna. Namun, kritik tersebut juga membuka ruang untuk memperdalam dialog dan memperkuat integrasi naratif moral, seperti yang diusung oleh MacIntyre dalam After Virtue, yakni bahwa moralitas butuh akar historis dan tradisi untuk hidup dinamis.⁴

Likewise, kajian evolusi moral juga memperlihatkan bahwa moralitas bukan sekadar konstruksi budaya melainkan juga memiliki akar historis fungsional—terkait dengan kemampuan kooperasi dalam hominid awal. Meskipun ini tidak berarti norma moral objektif, hal itu memperkuat dimensi deskriptif yang tidak bisa diabaikan dalam filsafat etika.⁵

Secara ringkas, filsafat moral tetap relevan karena:

·                     Memberikan pedoman aksi dalam menghadapi dilema kontemporer.

·                     Menghubungkan refleksi normatif dengan realitas empiris, menjadikan kajian etika tidak sekadar abstrak.

·                     Merespon kritik, memperkuat legitimasi refleksi moral melalui dialog lintas tradisi.

·                     Menggali makna moralitas dalam konteks historis dan biologis, memperkaya pemahaman tentang asal-usul dan fungsi moral.


Harapan ke Depan

Ke depan, filsafat moral memiliki tugas krusial untuk bersinergi dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial. Tantangan seperti AI, krisis iklim, dan pluralitas budaya menuntut integrasi teori etika dengan praktik transdisipliner serta pendekatan inklusif yang reflektif dan adaptif.⁶


Footnotes

[1]                J. Driver, "Moral Theory", Stanford Encyclopedia of Philosophy (2022): menekankan bahwa teori moral menyediakan decision procedure untuk memastikan tindakan benar dilakukan.(Encyclopedia of Philosophy, The Guardian)

[2]                Ibid.(Encyclopedia of Philosophy)

[3]                J. Doris, “Moral Psychology: Empirical Approaches,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2006): menyoroti interdisipliner antara psikologi dan etika filosofis.(Encyclopedia of Philosophy)

[4]                After Virtue, Alasdair MacIntyre (1981): mengajak kembalinya narasi tradisi dan kritik terhadap fragmentasi moral modern.(Wikipedia)

[5]                Hanno Sauer, The Invention of Good and Evil: A World History of Morality, ulasan di The New Yorker (2024): moral sebagai konstruksi historis dengan fungsi evolusioner yang mendasari kooperasi manusia.(newyorker.com)

[6]                Rebekah Rousi & Ville Vakkuri, “Introduction to ethics in the age of digital communication,” arXiv (2023): pentingnya etika dalam ranah komunikasi dan teknologi kontemporer.(arxiv.org)


Daftar Pustaka

Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124), 1–19. https://doi.org/10.1017/S0031819100037943

Bentham, J. (1789). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press.

Driver, J. (2022). Moral theory. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2022 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/moral-theory/

Doris, J. M. (2006). Moral psychology: Empirical approaches. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2006 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/moral-psych-emp/

Gabriel, I. (2021). Toward a theory of justice for artificial intelligence. arXiv preprint, arXiv:2110.14419. https://arxiv.org/abs/2110.14419

Hafizi, M. Z., & Wiyono, H. (2023). The importance of moral education in the formation of children’s character. International Journal of Global Innovation in Education (IJGIE), 4(2), 45–53. https://www.researchgate.net/publication/376374768

Kasirzadeh, A. (2022). Algorithmic fairness and structural injustice: Insights from political philosophy. arXiv preprint, arXiv:2206.00945. https://arxiv.org/abs/2206.00945

Klenk, M. (2019). Moral philosophy and the 'ethical turn' in anthropology. Zeitschrift für Ethik und Moralphilosophie, 2(2), 191–207. https://doi.org/10.1007/s42048-019-00040-9

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Persson, I., & Savulescu, J. (2012). Unfit for the future: The need for moral enhancement. Oxford: Oxford University Press.

Prichard, H. A. (1912). Does moral philosophy rest on a mistake? Mind, 21(81), 21–37. https://en.wikipedia.org/wiki/Does_Moral_Philosophy_Rest_on_a_Mistake

Rousi, R., & Vakkuri, V. (2023). Introduction to ethics in the age of digital communication. arXiv preprint, arXiv:2308.14421. https://arxiv.org/abs/2308.14421

Sauer, H. (2023). The invention of good and evil: A world history of morality. Liveright Publishing.

Singer, P. (1972). Famine, affluence, and morality. Philosophy & Public Affairs, 1(3), 229–243.

Toulmin, S. (1958). The uses of argument. Cambridge: Cambridge University Press.

Wong, D. B. (2014). Integrating philosophy with anthropology in an approach to morality. Anthropological Theory, 14(3), 336–356. https://doi.org/10.1177/1463499614544701

Zainul, M., & Wiyono, H. (2023). The importance of moral education in the formation of children’s character. IJGIE, 4(2). https://www.researchgate.net/publication/376374768


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar