Inkompatibilisme
Analisis Filosofis terhadap Ketidaksesuaian antara
Determinisme dan Kehendak Bebas
Alihkan ke: Free Will.
Abstrak
Masalah kehendak bebas dan determinisme telah lama
menjadi pusat perdebatan dalam filsafat. Artikel ini mengkaji inkompatibilisme,
yaitu posisi filosofis yang menyatakan bahwa determinisme dan kehendak bebas
secara logis tidak dapat dikompromikan. Dengan merujuk pada karya-karya utama
dari Peter van Inwagen, Robert Kane, Derk Pereboom, dan para pemikir kontemporer
lainnya, pembahasan ini mencakup definisi dasar inkompatibilisme,
argumen-argumen utama seperti Consequence Argument, Self-Ownership
Argument, dan Principle of Alternative Possibilities, serta berbagai
varian inkompatibilisme seperti libertarianisme dan determinisme keras.
Kritik-kritik terhadap inkompatibilisme dari perspektif kompatibilisme,
skeptisisme kehendak bebas, dan temuan neurosains juga dianalisis secara
mendalam. Selain itu, artikel ini menyoroti implikasi etis dan sosial dari
inkompatibilisme terhadap konsep tanggung jawab moral, sistem hukum, dan
kebijakan sosial. Akhirnya, dengan meninjau perkembangan debat kontemporer,
artikel ini menegaskan bahwa inkompatibilisme tetap memainkan peran sentral
dalam diskursus tentang agensi manusia, tanggung jawab moral, dan nilai
kebebasan dalam masyarakat modern.
Kata Kunci: Inkompatibilisme; Kehendak Bebas; Determinisme;
Tanggung Jawab Moral; Libertarianisme; Determinisme Keras; Agensi; Neurosains;
Etika; Filsafat Kontemporer.
PEMBAHASAN
Menelusuri Inkompatibilisme Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Permasalahan
mengenai kehendak bebas telah menjadi salah satu tema sentral dalam filsafat
Barat sejak zaman kuno. Perdebatan ini menyentuh pertanyaan mendasar tentang
apakah manusia benar-benar memiliki kendali atas tindakan mereka, atau apakah
setiap peristiwa, termasuk tindakan manusia, telah ditentukan sebelumnya oleh
rantai sebab-akibat yang tak terelakkan. Dalam konteks ini, inkompatibilisme
muncul sebagai salah satu posisi filosofis yang paling berpengaruh, dengan
klaim pokok bahwa determinisme dan kehendak bebas adalah dua konsep yang secara
logis tidak dapat dipadukan: jika determinisme benar, maka kehendak bebas
mustahil ada, dan sebaliknya.
Definisi
inkompatibilisme yang umum diterima adalah pandangan bahwa seseorang hanya
dapat bertindak dengan bebas jika ada alternatif nyata terhadap tindakan yang
diambil; dalam dunia deterministik, alternatif ini tidak tersedia karena semua
tindakan sudah ditentukan sebelumnya oleh kondisi masa lalu dan hukum-hukum
alam yang tidak dapat diubah.1 Dengan kata lain, inkompatibilisme
mempertahankan bahwa prasyarat utama kebebasan adalah kemampuan untuk memilih
secara otentik antara berbagai kemungkinan tindakan yang sah. Ini bertentangan
dengan kompatibilisme, yang berusaha mempertahankan bahwa kehendak bebas tetap
mungkin walaupun dunia sepenuhnya deterministik.
Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang fisika, biologi, dan
ilmu saraf, perdebatan mengenai inkompatibilisme mendapatkan dinamika baru.
Temuan seperti eksperimen Benjamin Libet yang menunjukkan bahwa aktivitas otak
mendahului kesadaran akan keputusan tindakan, menimbulkan tantangan serius
terhadap gagasan tentang kehendak bebas tradisional.2 Di sisi lain,
sebagian filsuf seperti Robert Kane berargumen bahwa ketidakpastian pada
tingkat kuantum mungkin membuka ruang bagi bentuk kebebasan yang autentik,
asalkan individu menjadi agen kausal bagi tindakannya sendiri.3
Debat ini memiliki
konsekuensi praktis yang sangat besar, terutama dalam ranah etika dan hukum.
Jika inkompatibilisme benar, dan jika determinisme juga benar, maka tampaknya
tanggung jawab moral menjadi problematis: sulit untuk mempertahankan bahwa
individu pantas dipuji atau disalahkan atas tindakan mereka jika mereka tidak
pernah benar-benar memiliki kendali atasnya.4 Konsekuensi ini
mengundang perdebatan serius tentang dasar moral penghargaan dan hukuman dalam
masyarakat.
Oleh karena itu,
artikel ini bertujuan untuk mengkaji inkompatibilisme secara sistematis: mulai
dari definisi dasar, argumen-argumen kunci yang mendukungnya, variasi-variasi
posisi inkompatibilis, hingga tantangan-tantangan kritis yang dihadapinya dalam
diskursus kontemporer. Dengan pendekatan analitis dan berbasis sumber akademik
kredibel, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang
posisi filosofis inkompatibilisme serta relevansinya dalam konteks filsafat
kehendak bebas modern.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 16–18.
[2]
Benjamin Libet, "Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action," Behavioral and Brain Sciences
8, no. 4 (1985): 529–566.
[3]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 124–130.
[4]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 62–75.
2.
Pengertian Dasar Inkompatibilisme
Inkompatibilisme
adalah posisi filosofis yang menyatakan bahwa determinisme dan kehendak bebas
adalah dua konsep yang secara logis bertentangan satu sama lain. Menurut
inkompatibilis, jika segala sesuatu di dunia, termasuk tindakan manusia,
sepenuhnya ditentukan oleh kondisi sebelumnya dan hukum-hukum alam, maka individu
tidak dapat dikatakan bertindak dengan bebas dalam pengertian yang autentik.1
Dengan demikian, inkompatibilisme menegaskan bahwa eksistensi kehendak bebas
memerlukan ketiadaan determinisme.
Secara lebih formal,
inkompatibilisme dapat dirumuskan sebagai klaim bahwa:
1)
Jika determinisme benar, maka
manusia tidak memiliki kehendak bebas.
2)
Kehendak bebas mensyaratkan adanya
alternatif nyata untuk bertindak berbeda dari apa yang dilakukan.
3)
Karena itu, keberadaan kehendak
bebas mengandaikan bahwa determinisme tidak benar.
Peter van Inwagen,
salah satu tokoh terkemuka dalam diskursus ini, menegaskan inkompatibilisme
melalui apa yang disebutnya Consequence Argument. Ia
berargumen bahwa jika tindakan kita adalah konsekuensi dari hukum-hukum alam
dan kejadian masa lalu, dan kita tidak memiliki kekuasaan atas hukum-hukum
tersebut atau atas masa lalu, maka kita juga tidak memiliki kekuasaan atas
konsekuensi tersebut, yaitu tindakan kita sendiri.2 Oleh karena itu,
dalam dunia deterministik, tanggung jawab moral atas tindakan seseorang menjadi
problematis.
Penting untuk
membedakan inkompatibilisme dari dua posisi lain yang berhubungan:
·
Kompatibilisme,
yang menyatakan bahwa kehendak bebas masih mungkin eksis dalam dunia
deterministik, dengan menafsirkan kebebasan sebagai kebebasan dari paksaan
eksternal, bukan sebagai kemampuan untuk bertindak sebaliknya.3
·
Skeptisisme
kehendak bebas, yang berpendapat bahwa kehendak bebas tidak
mungkin ada baik dalam dunia deterministik maupun indeterministik, sehingga
manusia tidak pernah benar-benar bertanggung jawab atas tindakan mereka.4
Inkompatibilisme
sendiri dapat bercabang menjadi dua sikap utama tergantung pada apa yang
dianggap lebih kredibel: mempertahankan kehendak bebas dengan menolak
determinisme (seperti dalam libertarianisme), atau menerima determinisme dan
menolak eksistensi kehendak bebas (seperti dalam hard determinism). Dalam kedua
kasus tersebut, inkompatibilisme tetap mendasari klaim bahwa kehendak bebas dan
determinisme tidak bisa secara koheren digabungkan.
Definisi kehendak
bebas dalam kerangka inkompatibilisme umumnya lebih ketat daripada dalam
kompatibilisme. Robert Kane, seorang libertarian inkompatibilis, menyatakan
bahwa kehendak bebas mensyaratkan bahwa dalam beberapa keadaan, individu
memiliki kemampuan untuk melakukan "kontrol ultimate" atas
keputusan mereka, yaitu bahwa individu sendiri, dan bukan faktor eksternal atau
deterministik, adalah sumber akhir tindakan mereka.5 Kontrol ini,
menurut Kane, tidak dapat direduksi pada rantai sebab-akibat yang
deterministik.
Dengan demikian,
inkompatibilisme menawarkan satu model utama dalam memahami hubungan antara
kehendak bebas dan determinisme: yaitu, bahwa kebebasan manusia hanya mungkin
dalam dunia di mana determinisme tidak berlaku secara universal. Model ini
menjadi dasar bagi banyak diskusi lanjutan mengenai tanggung jawab moral,
konsep tindakan, dan bahkan kebijakan sosial-hukum modern.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 23–25.
[3]
John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on
Control (Oxford: Blackwell, 1994), 5–8.
[4]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 1–4.
[5]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 80–83.
3.
Determinisme: Landasan Problematis
Inkompatibilisme
Determinisme
merupakan konsep filosofis yang menyatakan bahwa setiap peristiwa atau keadaan,
termasuk pilihan dan tindakan manusia, ditentukan sepenuhnya oleh
peristiwa-peristiwa sebelumnya sesuai dengan hukum-hukum alam yang berlaku.
Dalam kerangka deterministik, segala sesuatu yang terjadi adalah akibat yang
tak terhindarkan dari kondisi-kondisi sebelumnya dan prinsip-prinsip kausalitas
universal.1 Ini berarti bahwa mengingat keadaan dunia pada suatu
waktu tertentu dan hukum-hukum alam, hanya satu masa depan yang mungkin
terbuka.
Dalam diskursus
inkompatibilisme, determinisme menjadi pusat perhatian karena ia mengancam
premis dasar kehendak bebas: yakni kemampuan agen untuk memilih di antara
berbagai alternatif yang mungkin secara nyata. Jika segala tindakan seseorang
merupakan konsekuensi yang diperlukan dari faktor-faktor yang berada di luar
kontrol individu tersebut—seperti genetik, lingkungan, dan hukum fisika—maka,
menurut inkompatibilis, individu tersebut tidak bertindak secara bebas dalam
pengertian yang bermakna.2
Ada beberapa varian
determinisme yang relevan untuk perdebatan ini:
3.1.
Determinisme Fisik
Determinisme fisik
berpandangan bahwa hukum-hukum fisika yang fundamental mengatur perilaku
seluruh materi dan energi di alam semesta. Setiap perubahan atau peristiwa
fisik, termasuk aktivitas otak manusia yang diyakini menjadi dasar tindakan
sadar, terjadi sebagai hasil dari keadaan sebelumnya dan hukum alam.3
Ide ini berasal dari mekanisme Newtonian klasik, meskipun kompleksitas mekanika
kuantum di abad ke-20 telah menimbulkan tantangan terhadap pandangan deterministik
murni.
3.2.
Determinisme
Biologis dan Genetik
Determinisme
biologis menekankan bahwa perilaku manusia pada tingkat tertentu ditentukan
oleh faktor-faktor biologis, termasuk genetik dan neurologis. Dalam perspektif
ini, banyak tindakan manusia yang tampaknya hasil dari pilihan bebas sebenarnya
merupakan manifestasi dari predisposisi biologis yang kuat.4
Penemuan-penemuan dalam ilmu saraf, seperti eksperimentasi oleh Benjamin Libet,
mendukung ide bahwa keputusan sadar mungkin diprediksi dari aktivitas otak yang
tidak disadari sebelum individu merasa "memutuskan".[5]
3.3.
Determinisme
Psikologis
Dalam psikologi,
determinisme menekankan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari kombinasi
faktor lingkungan, pembelajaran, dan pengalaman masa lalu. Dalam pandangan ini,
bahkan keputusan moral yang tampaknya bebas pun dibentuk oleh faktor-faktor
psikologis yang telah mengakar sebelumnya, memperkuat keraguan terhadap
kehendak bebas otonom.5
3.4.
Determinisme dan
Tanggung Jawab Moral
Ketidakcocokan
antara determinisme dan tanggung jawab moral merupakan inti dari kekhawatiran
inkompatibilisme. Jika seseorang tidak dapat bertindak selain dari apa yang
telah ditentukan oleh kondisi-kondisi sebelumnya, maka sulit untuk membenarkan
penghakiman moral seperti pujian atau celaan terhadap tindakan tersebut.6
Peter van Inwagen menegaskan bahwa jika determinisme benar, maka kita tidak
mengontrol hukum-hukum alam atau peristiwa masa lalu, dan akibatnya kita juga
tidak mengontrol tindakan-tindakan kita sendiri yang merupakan konsekuensi dari
keduanya.7
Sebagian filsuf
mencoba mempertahankan ide tanggung jawab dalam dunia deterministik dengan
mendefinisikan ulang konsep kontrol atau kehendak bebas itu sendiri (seperti
dalam kompatibilisme). Namun inkompatibilis berargumen bahwa usaha tersebut
gagal mempertahankan intuisi kita yang paling mendasar tentang kebebasan: bahwa
seseorang bebas hanya jika ia bisa bertindak sebaliknya.
Dengan demikian,
determinisme, baik fisik, biologis, maupun psikologis, menjadi fondasi utama
bagi kekhawatiran inkompatibilisme. Ia menantang gagasan tradisional tentang
manusia sebagai agen moral otonom dan membuka ruang bagi perdebatan mendalam
tentang eksistensi kehendak bebas serta dasar tanggung jawab dalam sistem etika
dan hukum modern.
Footnotes
[1]
Ted Honderich, The Oxford Companion to Philosophy, 2nd ed.
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 207–208.
[2]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 55–58.
[3]
Carl Hoefer, "Causal Determinism," in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Summer 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.
[4]
Steven Pinker, The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature
(New York: Viking, 2002), 45–50.
[5]
B. F. Skinner, Beyond Freedom and Dignity (New York: Alfred A.
Knopf, 1971), 16–30.
[6]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 62–75.
[7]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will, 56–57.
4.
Argumen-Argumen Utama dalam
Inkompatibilisme
Inkompatibilisme
didukung oleh serangkaian argumen yang kuat untuk menunjukkan bahwa
determinisme tidak sejalan dengan eksistensi kehendak bebas yang sejati.
Argumen-argumen ini mencoba membuktikan bahwa jika determinisme benar, maka
individu tidak memiliki kontrol yang diperlukan untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Tiga argumen utama yang sering diajukan adalah Argumen Konsekuensi, Argumen
Otoritas Diri, dan Argumen Alternatif Kemampuan Bertindak.
4.1.
Argumen Konsekuensi
(Consequence Argument)
Consequence
Argument adalah salah satu pilar utama inkompatibilisme,
dikembangkan secara sistematis oleh Peter van Inwagen. Argumen ini menyatakan
bahwa jika determinisme benar, maka tindakan-tindakan kita adalah konsekuensi
yang diperlukan dari hukum-hukum alam dan peristiwa masa lalu. Namun, kita
tidak memiliki kontrol atas hukum-hukum alam maupun masa lalu. Oleh karena itu,
kita juga tidak memiliki kontrol atas konsekuensi yang mengikuti dari
hukum-hukum dan masa lalu itu—termasuk tindakan kita sendiri.1
Van Inwagen
merumuskan premis utama sebagai berikut:
1)
Tidak seorang pun memiliki
kekuasaan terhadap fakta-fakta masa lalu dan hukum-hukum alam.
2)
Jika seseorang tidak memiliki
kekuasaan terhadap fakta-fakta masa lalu dan hukum-hukum alam, maka ia tidak
memiliki kekuasaan terhadap konsekuensi logis dari fakta-fakta tersebut.
3)
Oleh karena itu, jika determinisme
benar, kita tidak memiliki kekuasaan terhadap tindakan kita.
Argumen ini
menggarisbawahi bahwa determinisme menghilangkan "kontrol sumber"
yang diperlukan untuk kebebasan bertindak secara autentik, sehingga
menghancurkan fondasi tanggung jawab moral.2
4.2.
Argumen Otoritas
Diri (Self-Ownership Argument)
Argumen otoritas
diri berfokus pada gagasan bahwa kehendak bebas mensyaratkan bahwa individu
adalah sumber otonom dari tindakannya sendiri. Untuk bertindak dengan bebas,
seseorang harus menjadi penyebab utama dari tindakan
tersebut, bukan sekadar mata rantai dalam deretan sebab-akibat yang ditentukan
secara eksternal.3
Robert Kane, dalam
karyanya The
Significance of Free Will, berargumen bahwa agar tindakan dapat
dikatakan bebas, individu harus memiliki ultimate responsibility
(tanggung jawab pamungkas). Ini berarti bahwa penyebab tindakan tidak boleh
terletak sepenuhnya pada kondisi-kondisi masa lalu atau faktor-faktor
eksternal; melainkan individu itu sendiri harus menjadi asal mula yang
menentukan.4
Jika determinisme
benar, maka semua tindakan pada akhirnya dapat dilacak kembali ke sebab-sebab
di luar kontrol individu, menghilangkan basis untuk otoritas diri sejati. Oleh
karena itu, inkompatibilisme menegaskan bahwa hanya dalam dunia
non-deterministik seseorang dapat memiliki otoritas penuh atas dirinya sendiri.
4.3.
Argumen Alternatif
Kemampuan Bertindak (Principle of Alternative Possibilities - PAP)
Argumen ketiga
berfokus pada Prinsip Kemungkinan Alternatif
(Principle of Alternative Possibilities, disingkat PAP), yaitu bahwa seorang
agen bertindak dengan bebas hanya jika ia bisa bertindak lain dari apa yang
dilakukannya. Jika seseorang tidak mungkin bertindak lain, maka tindakannya
bukanlah hasil dari pilihan bebas, melainkan sesuatu yang secara kausal
dipaksakan.5
PAP menjadi pusat
perdebatan besar setelah dikritik oleh Harry Frankfurt dalam esai terkenalnya
"Alternate Possibilities and Moral Responsibility". Frankfurt
menunjukkan bahwa dalam beberapa skenario, seseorang bisa tetap bertanggung
jawab bahkan jika ia tidak memiliki kemampuan alternatif, misalnya dalam kasus
di mana seseorang bertindak secara sukarela walaupun tidak bisa memilih lain.6
Meskipun demikian,
inkompatibilis seperti van Inwagen mempertahankan bahwa dalam kasus umum
tanggung jawab moral mensyaratkan kemampuan untuk bertindak sebaliknya. Dengan
kata lain, pilihan alternatif yang nyata tetap merupakan prasyarat bagi
tindakan bebas dalam kerangka inkompatibilisme.7
Ringkasan
Ketiga argumen
ini—Consequence Argument, Self-Ownership Argument, dan Principle of Alternative
Possibilities—membentuk kerangka utama inkompatibilisme. Masing-masing argumen
menyoroti aspek yang berbeda dari ketegangan antara determinisme dan kehendak
bebas, tetapi semuanya mengarah pada kesimpulan yang sama: bahwa kebebasan
autentik menuntut adanya pelepasan dari rantai sebab-akibat deterministik.
Tanpa kebebasan ini, ide tentang individu sebagai agen moral sepenuhnya otonom
menjadi sangat diragukan.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 56–58.
[3]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 82–85.
[5]
John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on
Control (Oxford: Blackwell, 1994), 13–17.
[6]
Harry G. Frankfurt, "Alternate Possibilities and Moral
Responsibility," Journal of Philosophy 66, no. 23 (1969): 829–839.
[7]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will, 114–118.
5.
Variasi dalam Inkompatibilisme
Meskipun
inkompatibilisme secara umum mengajukan bahwa determinisme dan kehendak bebas
tidak dapat keduanya benar, terdapat variasi internal dalam bagaimana para
filsuf inkompatibilis memahami dan mengembangkan konsekuensi dari posisi
tersebut. Dua jalur besar dalam inkompatibilisme adalah libertarianisme
dan determinisme
keras (hard determinism). Selain itu, terdapat bentuk-bentuk
alternatif seperti fatalisme, yang berkaitan erat
namun memiliki nuansa berbeda.
5.1.
Libertarianisme
(Free Will Libertarianism)
Libertarianisme
dalam konteks kehendak bebas adalah posisi inkompatibilis yang berpendirian
bahwa kehendak bebas memang ada, dan karena itu, determinisme harus ditolak.1
Menurut libertarian, agar seseorang bertindak secara bebas, tindakannya
haruslah tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi sebelumnya. Dengan kata lain,
harus ada unsur indeterminisme dalam proses pengambilan keputusan.
Robert Kane, salah
satu pembela libertarianisme kontemporer, mengembangkan teori tentang tindakan-tindakan
penentu diri (self-forming actions, disingkat
SFA), di mana dalam momen-momen ketidakpastian moral kritis, individu
berkontribusi secara kausal dalam membentuk karakter dan niatnya melalui
keputusan bebas.2 Dalam kerangka ini, indeterminisme bukanlah
gangguan terhadap tanggung jawab moral, melainkan prasyarat bagi agen untuk
menjadi sumber akhir dari tindakannya.
Libertarianisme
terbagi lagi menjadi dua pendekatan utama:
·
Event-causal
libertarianism, yang mengandalkan kejadian-kejadian
indeterministik sebagai bagian dari penjelasan aksi bebas (seperti dalam teori
Kane).
·
Agent-causal
libertarianism, yang berargumen bahwa agen, bukan sekadar
peristiwa, adalah penyebab utama yang tidak direduksi menjadi urutan
sebab-akibat biasa.3 Tokoh penting dalam pendekatan ini adalah
Timothy O’Connor.
Libertarianisme
menawarkan satu-satunya rute bagi inkompatibilis yang ingin mempertahankan
eksistensi kehendak bebas tanpa menafikan prinsip tanggung jawab moral.
5.2.
Determinisme Keras
(Hard Determinism)
Sebaliknya, determinisme
keras menerima bahwa determinisme benar dan
bahwa kehendak bebas tidak ada.4 Hard determinists menolak kehendak
bebas tradisional sebagai ilusi dan menyatakan bahwa seluruh perilaku manusia,
pikiran, dan tindakan adalah hasil dari sebab-sebab deterministik yang tidak
berada dalam kendali individu.
Filsuf seperti Derk
Pereboom dalam Living Without Free Will
mengembangkan versi determinisme keras modern yang disebut "hard incompatibilism".
Menurut Pereboom, bahkan jika dunia tidak sepenuhnya deterministik, kekebasan
agen tetap mustahil karena faktor-faktor kausal yang tidak dikendalikan agen
(baik deterministik maupun indeterministik) tetap menggagalkan kehendak bebas
dalam arti yang kuat.5
Implikasi dari
determinisme keras mencakup pendekatan yang berbeda terhadap hukuman, di mana
fokus bergeser dari retribusi (pembalasan) ke pencegahan, rehabilitasi, dan
perlindungan sosial.
5.3.
Fatalisme
Fatalisme adalah
pandangan bahwa hasil-hasil tertentu akan terjadi tanpa menghiraukan apa pun
yang dilakukan manusia. Berbeda dengan determinisme, fatalisme mengklaim bahwa
upaya atau niat manusia tidak berpengaruh sama sekali terhadap hasil yang sudah
"ditakdirkan".6
Dalam konteks
inkompatibilisme, fatalisme sering disamakan dengan determinisme keras, tetapi
ada perbedaan konseptual penting. Determinisme menyatakan bahwa tindakan
manusia merupakan bagian dari rantai sebab-akibat yang menentukan hasil,
sedangkan fatalisme menganggap bahwa hasil tertentu akan terjadi bahkan jika
tindakan manusia tidak diperlukan untuk mencapainya.
Filsuf klasik
seperti Richard Taylor membahas fatalisme dalam kaitannya dengan masalah "logika
masa depan"—yaitu bahwa kebenaran proposisi tentang masa depan bisa
berarti masa depan sudah tetap, menggugat ide kebebasan.7 Meski
demikian, banyak inkompatibilis modern lebih fokus pada masalah kausal daripada
semata-mata logika masa depan.
Ringkasan
Variasi dalam
inkompatibilisme memperlihatkan keragaman respons terhadap ketegangan antara
determinisme dan kehendak bebas. Libertarianisme mempertahankan
kehendak bebas dengan menolak determinisme; determinisme keras menolak
kehendak bebas sambil menerima determinisme; sementara fatalisme
menawarkan perspektif ekstrem bahwa hasil-hasil tertentu tidak bergantung pada
usaha manusia. Ketiga varian ini menunjukkan bahwa inkompatibilisme bukan satu
posisi tunggal, melainkan payung bagi berbagai pendekatan filosofis yang
berupaya mempertahankan koherensi logis antara konsep kehendak bebas dan
determinisme.
Footnotes
[1]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 3–6.
[3]
Timothy O’Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will
(New York: Oxford University Press, 2000), 10–15.
[4]
Ted Honderich, How Free Are You? The Determinism Problem
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 14–20.
[5]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 83–90.
[6]
Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1992), 50–55.
6.
Kritik terhadap Inkompatibilisme
Meskipun
inkompatibilisme memiliki banyak pendukung dan argumennya tampak intuitif kuat,
posisi ini juga menghadapi sejumlah kritik serius, baik dari para pendukung
kompatibilisme maupun dari skeptisisme kehendak bebas. Kritik-kritik ini
mempertanyakan asumsi-asumsi dasar inkompatibilisme tentang kebebasan, kontrol,
dan tanggung jawab moral.
6.1.
Tantangan dari
Kompatibilisme
Salah satu kritik
utama terhadap inkompatibilisme datang dari para kompatibilis, yang berargumen
bahwa inkompatibilisme menerapkan standar kebebasan yang terlalu tinggi dan
tidak realistis. Kompatibilis seperti John Martin Fischer dan Daniel Dennett menyatakan
bahwa kehendak bebas tidak harus bergantung pada kemampuan untuk bertindak
sebaliknya (alternative possibilities), melainkan pada kapasitas untuk
bertindak berdasarkan alasan dan refleksi internal.1
Menurut Fischer,
bahkan dalam dunia deterministik, seseorang masih dapat bertindak dengan
kontrol responsif terhadap alasan, yang cukup untuk membenarkan atribusi
tanggung jawab moral.2 Dalam kerangka ini, tanggung jawab tidak
bergantung pada indeterminisme, tetapi pada struktur internal agen dalam
merespons alasan.
Daniel Dennett,
dalam Elbow
Room, menegaskan bahwa banyak dari ketakutan tentang hilangnya
kehendak bebas dalam dunia deterministik berasal dari kesalahpahaman tentang
apa yang benar-benar kita inginkan dari kebebasan: yang kita inginkan adalah
kemampuan untuk bertindak secara fleksibel dan adaptif, bukan kemampuan
metafisik untuk "mengubah masa lalu" atau "melanggar
hukum alam".[3]
Dengan demikian,
kompatibilisme menyerang inkompatibilisme di titik krusial: bahwa
inkompatibilisme mensyaratkan bentuk kebebasan yang tidak perlu dan tidak
sesuai dengan pengalaman moral kita sehari-hari.
6.2.
Tantangan dari
Skeptisisme Kehendak Bebas
Selain dari
kompatibilisme, inkompatibilisme juga dikritik dari sudut pandang skeptisisme
kehendak bebas. Skeptis seperti Galen Strawson berargumen bahwa
inkompatibilisme benar dalam menilai bahwa kehendak bebas tidak cocok dengan
determinisme, tetapi mereka salah berharap bahwa indeterminisme bisa
menyelamatkan kehendak bebas.3
Menurut Strawson,
tidak peduli apakah dunia deterministik atau indeterministik, kita tidak dapat
menjadi penyebab mutlak dari diri kita sendiri (causa sui), sehingga kita tidak
benar-benar bertanggung jawab atas tindakan kita dalam pengertian yang paling
dalam.4 Oleh karena itu, bahkan libertarian inkompatibilis gagal
mempertahankan kehendak bebas yang sejati.
Skeptisisme ini menantang inkompatibilisme untuk menjelaskan bagaimana
indeterminisme, yang tampaknya menambahkan unsur acak atau kebetulan ke dalam
proses, justru dapat meningkatkan otonomi agen alih-alih menguranginya.
6.3.
Tantangan dari
Temuan Neurosains
Perkembangan dalam
ilmu saraf kognitif, terutama penelitian oleh Benjamin Libet, John-Dylan
Haynes, dan rekan-rekan mereka, telah digunakan untuk menyerang gagasan
tradisional tentang kehendak bebas. Eksperimen-eksperimen ini menunjukkan bahwa
aktivitas otak yang berkaitan dengan keputusan tindakan muncul sebelum individu
menyadari niat mereka untuk bertindak.5
Temuan semacam itu
menimbulkan keraguan terhadap ide bahwa individu sepenuhnya mengontrol
keputusan mereka melalui proses sadar. Ini memperumit posisi inkompatibilisme
libertarian, yang sering mengandalkan intuisi tentang kesadaran diri sebagai
sumber kontrol agen.
Namun, penting
dicatat bahwa interpretasi eksperimental ini tetap kontroversial. Beberapa
filsuf, seperti Alfred Mele, berargumen bahwa eksperimen Libet tidak
benar-benar membuktikan tidak adanya kehendak bebas karena keputusan mikro
dalam eksperimen laboratorium mungkin tidak mewakili keputusan yang lebih
kompleks dan reflektif dalam kehidupan nyata.6
6.4.
Kompleksitas dalam
Definisi Kehendak Bebas
Kritik lain terhadap
inkompatibilisme berpusat pada gagasan bahwa inkompatibilisme menggunakan
definisi kehendak bebas yang terlalu sempit dan absolutis. Kehendak bebas,
menurut kritik ini, harus dipahami sebagai fenomena bertingkat, bukan sebagai
konsep dikotomis (ada atau tidak ada sama sekali).
Sebagian besar
kompatibilis dan bahkan beberapa inkompatibilis moderat mengusulkan bahwa
berbagai derajat kebebasan dapat diterima, bergantung pada konteks dan kriteria
rasionalitas tertentu.7 Menuntut bentuk kebebasan absolut, seperti
yang kadang diasumsikan dalam inkompatibilisme klasik, bisa membuat seluruh
konsep kehendak bebas menjadi mustahil dicapai atau dipertahankan.
Ringkasan
Kritik terhadap
inkompatibilisme menyoroti beberapa ketegangan internal dan tantangan eksternal
terhadap posisi tersebut. Dari kompatibilisme, inkompatibilisme dituduh
menerapkan standar yang tidak realistis tentang kebebasan; dari skeptisisme,
inkompatibilisme ditantang untuk menunjukkan bagaimana indeterminisme bisa
menyelamatkan agensi manusia; dari ilmu saraf, inkompatibilisme dihadapkan pada
data empiris yang memperumit konsep kontrol sadar. Semua ini menunjukkan bahwa
meskipun inkompatibilisme merupakan posisi filosofis yang kuat dan berpengaruh,
ia tetap rentan terhadap tantangan kritis dari berbagai arah.
Footnotes
[1]
John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on
Control (Oxford: Blackwell, 1994), 5–10.
[3]
Galen Strawson, "The Impossibility of Moral Responsibility," Philosophical
Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[5]
Benjamin Libet, "Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action," Behavioral and Brain Sciences
8, no. 4 (1985): 529–566.
[6]
Alfred R. Mele, Free Will and Luck (New York: Oxford
University Press, 2006), 50–65.
[7]
Manuel Vargas, Building Better Beings: A Theory of Moral
Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2013), 100–110.
7.
Implikasi Etis dan Sosial
Posisi
inkompatibilisme dalam filsafat kehendak bebas membawa dampak yang luas
terhadap pemahaman kita tentang tanggung jawab moral, keadilan pidana,
pengembangan kebijakan sosial, dan konsep otonomi individu. Jika
inkompatibilisme benar dan determinisme mendominasi realitas, maka konsekuensi
etis dan sosialnya mengharuskan kita merekonstruksi banyak aspek fundamental
dalam sistem nilai dan institusi sosial kita.
7.1.
Tanggung Jawab Moral
Salah satu implikasi
paling signifikan dari inkompatibilisme adalah terhadap konsep tanggung jawab
moral. Dalam paradigma inkompatibilisme, untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban secara moral, seseorang harus memiliki kebebasan
sejati—yakni kemampuan untuk bertindak lain daripada yang ia lakukan. Jika
determinisme benar, dan semua tindakan adalah hasil dari faktor-faktor di luar
kendali individu, maka penghargaan dan hukuman moral atas tindakan seseorang
menjadi dipertanyakan.1
Derk Pereboom, dalam
Living
Without Free Will, berpendapat bahwa dalam dunia deterministik,
konsep retributif dari hukuman tidak dapat dipertahankan secara moral. Ia
menyarankan agar pendekatan terhadap keadilan pidana harus bergeser dari
pembalasan (retribusi) ke pencegahan, rehabilitasi, dan perlindungan
masyarakat.2 Menurutnya, ini tidak hanya lebih sesuai dengan
realitas ontologis tetapi juga lebih etis dan manusiawi.
7.2.
Implikasi terhadap Sistem
Hukum
Sistem hukum modern,
terutama dalam tradisi barat, sangat bergantung pada asumsi bahwa individu
adalah agen moral otonom yang mampu membuat pilihan bebas. Jika
inkompatibilisme benar, asumsi ini perlu ditinjau kembali.
Sebagai contoh, argumen
inkompatibilisme mendukung reformasi sistem peradilan pidana menuju model yang
lebih menekankan rehabilitasi daripada pembalasan. Pereboom mengusulkan apa
yang disebut model "quarantine" terhadap pelaku kekerasan,
analog dengan pengarantinaan penyakit berbahaya: tujuan utamanya adalah
perlindungan masyarakat, bukan menghukum pelaku karena dianggap "layak"
dihukum.3
Lebih jauh, inkompatibilisme
mengundang pertanyaan tentang keadilan sosial yang lebih luas, seperti
bagaimana sistem ekonomi dan pendidikan harus disusun jika individu tidak
sepenuhnya bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalan mereka.
7.3.
Kebijakan Sosial dan
Etika Publik
Dalam konteks
kebijakan sosial, inkompatibilisme mengimplikasikan bahwa banyak bentuk
disparitas sosial dan kriminalitas harus dipahami dalam kerangka faktor-faktor
struktural dan deterministik. Ini menimbulkan keharusan moral untuk mengatasi ketidakadilan
struktural daripada sekadar menyalahkan individu atas kegagalan mereka.
Sebagai contoh,
filsuf seperti Bruce Waller dalam Against Moral Responsibility
berargumen bahwa kesadaran akan determinisme sosial dan biologis harus
mendorong reformasi sosial progresif: investasi dalam pendidikan, pengentasan
kemiskinan, dan perawatan kesehatan mental, ketimbang memperparah disparitas
melalui sistem hukuman yang keras.4
Inkompatibilisme
juga berpotensi meningkatkan empati sosial, karena ia mendorong pemahaman bahwa
perilaku devian atau merugikan sering kali berakar pada kondisi-kondisi di luar
kendali individu.
7.4.
Reinterpretasi
Konsep Otonomi
Dalam kerangka
inkompatibilisme, otonomi pribadi tidak lagi dapat dipahami semata-mata sebagai
kebebasan metafisik untuk "memilih sebaliknya," melainkan
lebih sebagai kapasitas untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai, aspirasi,
dan refleksi diri yang relatif stabil.
Hal ini membuka
kemungkinan redefinisi konsep otonomi sebagai kompatibel dengan pengaruh
deterministik, selama agen tersebut bertindak berdasarkan struktur nilai dan
identitas dirinya sendiri, meskipun terbentuk dalam konteks kausalitas yang
luas.5
Ringkasan
Implikasi etis dan
sosial dari inkompatibilisme sangatlah mendalam: ia menantang dasar-dasar
tanggung jawab moral tradisional, menuntut reformasi dalam sistem hukum,
mempengaruhi kebijakan sosial, dan mendefinisikan ulang konsep otonomi. Dengan
memandang individu sebagai bagian dari jaringan sebab-akibat yang kompleks,
inkompatibilisme menawarkan dasar filosofis untuk pendekatan yang lebih penuh
empati dan rekonstruktif terhadap kesalahan moral, kejahatan, dan ketidakadilan
sosial.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 135–140.
[2]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 110–120.
[4]
Bruce Waller, Against Moral Responsibility (Cambridge, MA: MIT
Press, 2011), 180–195.
[5]
Manuel Vargas, Building Better Beings: A Theory of Moral
Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120–130.
8.
Debat Kontemporer tentang
Inkompatibilisme
Perkembangan
filsafat kehendak bebas dalam beberapa dekade terakhir memperlihatkan bahwa
inkompatibilisme tetap menjadi salah satu posisi yang paling berpengaruh
sekaligus kontroversial. Namun, karakter debat kontemporer seputar inkompatibilisme
telah mengalami transformasi signifikan, memperkaya nuansa diskusi melalui
pendekatan baru, respons terhadap temuan ilmiah, serta pembaharuan dalam teori
moral dan metafisika.
8.1.
Inkompatibilisme
Moderat vs. Ekstrem
Dalam debat kontemporer,
salah satu perbedaan penting di antara para inkompatibilis adalah antara posisi
moderat dan ekstrem.
·
Inkompatibilis
moderat cenderung berpendapat bahwa tanggung jawab moral dapat
tetap dipertahankan dalam tingkat tertentu meskipun determinisme benar, asalkan
kontrol deliberatif atau niat rasional tetap ada. Posisi ini diwakili oleh
filsuf seperti Manuel Vargas yang mengusulkan teori "revisionisme
tanggung jawab moral".1
·
Inkompatibilis
ekstrem, seperti Galen Strawson, berpendapat bahwa semua bentuk
tanggung jawab moral—termasuk yang paling minimalis sekalipun—gagal jika
inkompatibilisme diterima, sebab manusia tidak bisa menjadi penyebab pamungkas
dari dirinya sendiri (causa sui).2
Perbedaan ini
menunjukkan bahwa dalam ranah inkompatibilisme sendiri, ada variasi dalam
bagaimana konsep tanggung jawab dan agensi dievaluasi.
8.2.
Integrasi Ilmu
Pengetahuan dalam Debat Inkompatibilisme
Perkembangan dalam
ilmu saraf, psikologi kognitif, dan fisika kuantum telah memperkaya (dan
mempersulit) lanskap debat inkompatibilisme.
Sebagian filsuf,
seperti Alfred Mele, mengkritik penggunaan terburu-buru hasil eksperimen
neuroscientific (misalnya eksperimen Benjamin Libet) untuk menolak kehendak
bebas. Mele berargumen bahwa eksperimen tersebut tidak cukup kuat untuk
mendukung determinisme psikologis atau menyangkal inkompatibilisme libertarian,
karena keputusan laboratorium yang diukur terlalu sederhana dibandingkan
keputusan-keputusan penting dalam kehidupan nyata.3
Di sisi lain, filsuf seperti Derk Pereboom dan Gregg Caruso lebih terbuka
terhadap pengaruh data ilmiah dalam memperkuat bentuk inkompatibilisme yang
skeptis terhadap kebebasan dan tanggung jawab tradisional.4
8.3.
Evolusi
Libertarianisme Inkompatibilis
Libertarianisme
inkompatibilis juga berkembang dalam dua arah:
·
Event-causal
libertarianism tetap mempertahankan bahwa kejadian
indeterministik di tingkat keputusan individu memungkinkan tanggung jawab
moral. Robert Kane, sebagai tokoh sentral, mengembangkan teori tentang "self-forming
actions" (SFA) yang terjadi dalam kondisi ketidakpastian kausal.5
·
Agent-causal
libertarianism menyempurnakan ide bahwa agen itu sendiri (bukan
sekadar kejadian acak) adalah penyebab tidak ditentukan dari tindakan bebas.
Timothy O’Connor dan Randolph Clarke berusaha membangun model metafisik yang
lebih stabil untuk agent causation tanpa harus bergantung pada kekacauan atau
kebetulan murni.6
Debat di antara
kedua kubu ini terus berlangsung, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
bagaimana mengintegrasikan konsep penyebab agen ke dalam kerangka ilmiah modern
menjadi fokus utama.
8.4.
Debat Terkait Nilai
Kehendak Bebas
Dalam filsafat moral
kontemporer, muncul juga pertanyaan baru: Seandainya kehendak bebas inkompatibilis itu
tidak ada, seberapa pentingkah ia bagi nilai manusia?
Daniel Dennett dan
Manuel Vargas, dari sisi kompatibilisme revisionis, berargumen bahwa sebagian
besar nilai yang kita asosiasikan dengan kehendak bebas—seperti harga diri, otonomi,
dan pencapaian moral—dapat dipertahankan tanpa memerlukan inkompatibilisme.7
Sebaliknya,
libertarian inkompatibilis seperti Robert Kane menekankan bahwa tanpa kebebasan
yang sejati dalam memilih alternatif moral, nilai seperti keberanian moral,
keadilan, dan cinta sejati kehilangan maknanya yang terdalam.8
Perdebatan ini
menunjukkan bahwa bukan hanya soal apakah kehendak bebas eksis, tetapi juga
apakah ia penting secara moral dan eksistensial.
Ringkasan
Debat kontemporer
tentang inkompatibilisme memperlihatkan medan diskusi yang sangat dinamis: dari
pertentangan antara inkompatibilisme moderat dan ekstrem, dialog antara
filsafat dan ilmu pengetahuan, evolusi libertarianisme ke arah model
agent-causal yang lebih kuat, hingga refleksi nilai-nilai kehendak bebas dalam
kehidupan manusia. Dengan demikian, inkompatibilisme tetap menjadi posisi
filosofis yang aktif diperdebatkan dan diperbaharui seiring dengan perkembangan
pemikiran metafisik, moral, dan ilmiah.
Footnotes
[1]
Manuel Vargas, Building Better Beings: A Theory of Moral
Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2013), 3–10.
[2]
Galen Strawson, "The Impossibility of Moral Responsibility," Philosophical
Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[3]
Alfred R. Mele, Free Will and Luck (New York: Oxford
University Press, 2006), 50–75.
[4]
Derk Pereboom, Free Will, Agency, and Meaning in Life (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 15–20.
[5]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 123–130.
[6]
Timothy O’Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will
(New York: Oxford University Press, 2000), 90–105.
[7]
Daniel C. Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003),
135–140.
[8]
Robert Kane, Ethics and the Quest for Wisdom (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 45–55.
9.
Kesimpulan
Pembahasan tentang
inkompatibilisme menegaskan bahwa ketegangan antara determinisme dan kehendak
bebas tetap menjadi salah satu masalah paling fundamental dalam filsafat.
Inkompatibilisme, melalui argumen-argumen seperti Consequence Argument, Self-Ownership
Argument, dan Principle of Alternative Possibilities,
berupaya menunjukkan bahwa determinisme meniadakan kemungkinan kehendak bebas
yang sejati, yaitu kebebasan yang mensyaratkan kemampuan untuk bertindak lain
daripada yang dilakukan.1
Berbagai varian
inkompatibilisme—termasuk libertarianisme, determinisme keras, dan fatalisme—mencerminkan
perbedaan dalam respons terhadap dilema ini. Libertarianisme inkompatibilis
mempertahankan eksistensi kehendak bebas dengan menolak determinisme dan
berupaya membangun teori agen-kausalitas, sebagaimana dikembangkan oleh Robert
Kane dan Timothy O’Connor.2 Sebaliknya, determinisme keras, seperti
yang diartikulasikan oleh Derk Pereboom, menolak keberadaan kehendak bebas
sepenuhnya dan mengadvokasi revisi konsepsi tentang tanggung jawab moral dan
hukuman.3
Kritik-kritik
terhadap inkompatibilisme—baik dari kompatibilisme, skeptisisme kehendak bebas,
maupun dari temuan neurosains—menyoroti kompleksitas mendalam masalah ini. Para
kompatibilis mengusulkan bahwa kontrol deliberatif dan respons terhadap alasan
sudah cukup untuk mempertahankan tanggung jawab moral, bahkan dalam dunia
deterministik.4 Sementara itu, skeptis seperti Galen Strawson
berpendapat bahwa baik determinisme maupun indeterminisme sama-sama gagal
menyediakan dasar untuk kehendak bebas sejati.5
Implikasi etis dan
sosial dari inkompatibilisme memperluas perdebatan ini ke ranah hukum,
kebijakan sosial, dan pemikiran moral. Jika inkompatibilisme benar, maka sistem
penghargaan dan hukuman tradisional harus direvisi untuk mencerminkan
keterbatasan kontrol individu atas tindakannya, dan harus lebih berfokus pada
pencegahan dan rehabilitasi daripada pada pembalasan.6
Debat kontemporer
tentang inkompatibilisme menunjukkan bahwa diskursus ini terus berkembang.
Integrasi antara filsafat dan ilmu pengetahuan memperkaya analisis konseptual
dan memberikan tantangan-tantangan baru. Libertarianisme berupaya memperhalus
konsep agensi dalam dunia yang secara ilmiah dijelaskan, sementara
kompatibilisme revisionis mencoba mempertahankan nilai-nilai moral tradisional
dalam kerangka kausalitas yang ketat.
Pada akhirnya,
inkompatibilisme tetap mempertahankan daya tarik filosofisnya karena ia
mempertanyakan salah satu aspek paling mendasar dari keberadaan manusia: apakah
kita benar-benar bebas dalam arti yang berarti, ataukah kita hanyalah hasil
dari jaringan sebab-akibat yang tidak kita pilih? Pertanyaan ini, yang
melibatkan refleksi tentang kebebasan, tanggung jawab, dan nilai manusia,
memastikan bahwa inkompatibilisme akan terus menjadi medan perdebatan aktif
dalam filsafat moral, metafisika, dan ilmu kognitif.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon
Press, 1983), 55–60.
[2]
Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford
University Press, 1996), 123–130; Timothy O’Connor, Persons and Causes: The
Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University Press, 2000),
90–105.
[3]
Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 83–90.
[4]
John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control
(Oxford: Blackwell, 1994), 5–10.
[5]
Galen Strawson, "The Impossibility of Moral Responsibility," Philosophical
Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.
[6]
Derk Pereboom, Free Will, Agency, and Meaning in Life (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 130–140.
Daftar
Pustaka
Caruso, G. D. (2021). Rejecting moral
responsibility: The case for hard incompatibilism. Cambridge University
Press.
Dennett, D. C. (1984). Elbow room: The varieties
of free will worth wanting. MIT Press.
Dennett, D. C. (2003). Freedom evolves.
Viking.
Fischer, J. M. (1994). The metaphysics of free
will: An essay on control. Blackwell.
Hoefer, C. (2016). Causal determinism. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2016
Edition). Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/
Kane, R. (1996). The significance of free will.
Oxford University Press.
Kane, R. (2010). Ethics and the quest for wisdom.
Cambridge University Press.
Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative
and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain
Sciences, 8(4), 529–566.
Mele, A. R. (2006). Free will and luck.
Oxford University Press.
O'Connor, T. (2000). Persons and causes: The
metaphysics of free will. Oxford University Press.
Pereboom, D. (2001). Living without free will.
Cambridge University Press.
Pereboom, D. (2014). Free will, agency, and
meaning in life. Oxford University Press.
Pinker, S. (2002). The blank slate: The modern
denial of human nature. Viking.
Skinner, B. F. (1971). Beyond freedom and
dignity. Alfred A. Knopf.
Strawson, G. (1994). The impossibility of moral
responsibility. Philosophical Studies, 75(1–2), 5–24.
Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.).
Prentice-Hall.
van Inwagen, P. (1983). An essay on free will.
Clarendon Press.
Vargas, M. (2013). Building better beings: A
theory of moral responsibility. Oxford University Press.
Waller, B. (2011). Against moral responsibility.
MIT Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar