Minggu, 27 April 2025

Inkompatibilisme: Analisis Filosofis terhadap Ketidaksesuaian antara Determinisme dan Kehendak Bebas

Inkompatibilisme

Analisis Filosofis terhadap Ketidaksesuaian antara Determinisme dan Kehendak Bebas


Alihkan ke: Free Will.


Abstrak

Masalah kehendak bebas dan determinisme telah lama menjadi pusat perdebatan dalam filsafat. Artikel ini mengkaji inkompatibilisme, yaitu posisi filosofis yang menyatakan bahwa determinisme dan kehendak bebas secara logis tidak dapat dikompromikan. Dengan merujuk pada karya-karya utama dari Peter van Inwagen, Robert Kane, Derk Pereboom, dan para pemikir kontemporer lainnya, pembahasan ini mencakup definisi dasar inkompatibilisme, argumen-argumen utama seperti Consequence Argument, Self-Ownership Argument, dan Principle of Alternative Possibilities, serta berbagai varian inkompatibilisme seperti libertarianisme dan determinisme keras. Kritik-kritik terhadap inkompatibilisme dari perspektif kompatibilisme, skeptisisme kehendak bebas, dan temuan neurosains juga dianalisis secara mendalam. Selain itu, artikel ini menyoroti implikasi etis dan sosial dari inkompatibilisme terhadap konsep tanggung jawab moral, sistem hukum, dan kebijakan sosial. Akhirnya, dengan meninjau perkembangan debat kontemporer, artikel ini menegaskan bahwa inkompatibilisme tetap memainkan peran sentral dalam diskursus tentang agensi manusia, tanggung jawab moral, dan nilai kebebasan dalam masyarakat modern.

Kata Kunci: Inkompatibilisme; Kehendak Bebas; Determinisme; Tanggung Jawab Moral; Libertarianisme; Determinisme Keras; Agensi; Neurosains; Etika; Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

Menelusuri Inkompatibilisme Berdasarkan Referensi Kredibel


1.          Pendahuluan

Permasalahan mengenai kehendak bebas telah menjadi salah satu tema sentral dalam filsafat Barat sejak zaman kuno. Perdebatan ini menyentuh pertanyaan mendasar tentang apakah manusia benar-benar memiliki kendali atas tindakan mereka, atau apakah setiap peristiwa, termasuk tindakan manusia, telah ditentukan sebelumnya oleh rantai sebab-akibat yang tak terelakkan. Dalam konteks ini, inkompatibilisme muncul sebagai salah satu posisi filosofis yang paling berpengaruh, dengan klaim pokok bahwa determinisme dan kehendak bebas adalah dua konsep yang secara logis tidak dapat dipadukan: jika determinisme benar, maka kehendak bebas mustahil ada, dan sebaliknya.

Definisi inkompatibilisme yang umum diterima adalah pandangan bahwa seseorang hanya dapat bertindak dengan bebas jika ada alternatif nyata terhadap tindakan yang diambil; dalam dunia deterministik, alternatif ini tidak tersedia karena semua tindakan sudah ditentukan sebelumnya oleh kondisi masa lalu dan hukum-hukum alam yang tidak dapat diubah.1 Dengan kata lain, inkompatibilisme mempertahankan bahwa prasyarat utama kebebasan adalah kemampuan untuk memilih secara otentik antara berbagai kemungkinan tindakan yang sah. Ini bertentangan dengan kompatibilisme, yang berusaha mempertahankan bahwa kehendak bebas tetap mungkin walaupun dunia sepenuhnya deterministik.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang fisika, biologi, dan ilmu saraf, perdebatan mengenai inkompatibilisme mendapatkan dinamika baru. Temuan seperti eksperimen Benjamin Libet yang menunjukkan bahwa aktivitas otak mendahului kesadaran akan keputusan tindakan, menimbulkan tantangan serius terhadap gagasan tentang kehendak bebas tradisional.2 Di sisi lain, sebagian filsuf seperti Robert Kane berargumen bahwa ketidakpastian pada tingkat kuantum mungkin membuka ruang bagi bentuk kebebasan yang autentik, asalkan individu menjadi agen kausal bagi tindakannya sendiri.3

Debat ini memiliki konsekuensi praktis yang sangat besar, terutama dalam ranah etika dan hukum. Jika inkompatibilisme benar, dan jika determinisme juga benar, maka tampaknya tanggung jawab moral menjadi problematis: sulit untuk mempertahankan bahwa individu pantas dipuji atau disalahkan atas tindakan mereka jika mereka tidak pernah benar-benar memiliki kendali atasnya.4 Konsekuensi ini mengundang perdebatan serius tentang dasar moral penghargaan dan hukuman dalam masyarakat.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji inkompatibilisme secara sistematis: mulai dari definisi dasar, argumen-argumen kunci yang mendukungnya, variasi-variasi posisi inkompatibilis, hingga tantangan-tantangan kritis yang dihadapinya dalam diskursus kontemporer. Dengan pendekatan analitis dan berbasis sumber akademik kredibel, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang posisi filosofis inkompatibilisme serta relevansinya dalam konteks filsafat kehendak bebas modern.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 16–18.

[2]                Benjamin Libet, "Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action," Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529–566.

[3]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 124–130.

[4]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 62–75.


2.          Pengertian Dasar Inkompatibilisme

Inkompatibilisme adalah posisi filosofis yang menyatakan bahwa determinisme dan kehendak bebas adalah dua konsep yang secara logis bertentangan satu sama lain. Menurut inkompatibilis, jika segala sesuatu di dunia, termasuk tindakan manusia, sepenuhnya ditentukan oleh kondisi sebelumnya dan hukum-hukum alam, maka individu tidak dapat dikatakan bertindak dengan bebas dalam pengertian yang autentik.1 Dengan demikian, inkompatibilisme menegaskan bahwa eksistensi kehendak bebas memerlukan ketiadaan determinisme.

Secara lebih formal, inkompatibilisme dapat dirumuskan sebagai klaim bahwa:

1)                  Jika determinisme benar, maka manusia tidak memiliki kehendak bebas.

2)                  Kehendak bebas mensyaratkan adanya alternatif nyata untuk bertindak berbeda dari apa yang dilakukan.

3)                  Karena itu, keberadaan kehendak bebas mengandaikan bahwa determinisme tidak benar.

Peter van Inwagen, salah satu tokoh terkemuka dalam diskursus ini, menegaskan inkompatibilisme melalui apa yang disebutnya Consequence Argument. Ia berargumen bahwa jika tindakan kita adalah konsekuensi dari hukum-hukum alam dan kejadian masa lalu, dan kita tidak memiliki kekuasaan atas hukum-hukum tersebut atau atas masa lalu, maka kita juga tidak memiliki kekuasaan atas konsekuensi tersebut, yaitu tindakan kita sendiri.2 Oleh karena itu, dalam dunia deterministik, tanggung jawab moral atas tindakan seseorang menjadi problematis.

Penting untuk membedakan inkompatibilisme dari dua posisi lain yang berhubungan:

·                     Kompatibilisme, yang menyatakan bahwa kehendak bebas masih mungkin eksis dalam dunia deterministik, dengan menafsirkan kebebasan sebagai kebebasan dari paksaan eksternal, bukan sebagai kemampuan untuk bertindak sebaliknya.3

·                     Skeptisisme kehendak bebas, yang berpendapat bahwa kehendak bebas tidak mungkin ada baik dalam dunia deterministik maupun indeterministik, sehingga manusia tidak pernah benar-benar bertanggung jawab atas tindakan mereka.4

Inkompatibilisme sendiri dapat bercabang menjadi dua sikap utama tergantung pada apa yang dianggap lebih kredibel: mempertahankan kehendak bebas dengan menolak determinisme (seperti dalam libertarianisme), atau menerima determinisme dan menolak eksistensi kehendak bebas (seperti dalam hard determinism). Dalam kedua kasus tersebut, inkompatibilisme tetap mendasari klaim bahwa kehendak bebas dan determinisme tidak bisa secara koheren digabungkan.

Definisi kehendak bebas dalam kerangka inkompatibilisme umumnya lebih ketat daripada dalam kompatibilisme. Robert Kane, seorang libertarian inkompatibilis, menyatakan bahwa kehendak bebas mensyaratkan bahwa dalam beberapa keadaan, individu memiliki kemampuan untuk melakukan "kontrol ultimate" atas keputusan mereka, yaitu bahwa individu sendiri, dan bukan faktor eksternal atau deterministik, adalah sumber akhir tindakan mereka.5 Kontrol ini, menurut Kane, tidak dapat direduksi pada rantai sebab-akibat yang deterministik.

Dengan demikian, inkompatibilisme menawarkan satu model utama dalam memahami hubungan antara kehendak bebas dan determinisme: yaitu, bahwa kebebasan manusia hanya mungkin dalam dunia di mana determinisme tidak berlaku secara universal. Model ini menjadi dasar bagi banyak diskusi lanjutan mengenai tanggung jawab moral, konsep tindakan, dan bahkan kebijakan sosial-hukum modern.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 23–25.

[2]                Ibid., 56–58.

[3]                John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 5–8.

[4]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–4.

[5]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 80–83.


3.          Determinisme: Landasan Problematis Inkompatibilisme

Determinisme merupakan konsep filosofis yang menyatakan bahwa setiap peristiwa atau keadaan, termasuk pilihan dan tindakan manusia, ditentukan sepenuhnya oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya sesuai dengan hukum-hukum alam yang berlaku. Dalam kerangka deterministik, segala sesuatu yang terjadi adalah akibat yang tak terhindarkan dari kondisi-kondisi sebelumnya dan prinsip-prinsip kausalitas universal.1 Ini berarti bahwa mengingat keadaan dunia pada suatu waktu tertentu dan hukum-hukum alam, hanya satu masa depan yang mungkin terbuka.

Dalam diskursus inkompatibilisme, determinisme menjadi pusat perhatian karena ia mengancam premis dasar kehendak bebas: yakni kemampuan agen untuk memilih di antara berbagai alternatif yang mungkin secara nyata. Jika segala tindakan seseorang merupakan konsekuensi yang diperlukan dari faktor-faktor yang berada di luar kontrol individu tersebut—seperti genetik, lingkungan, dan hukum fisika—maka, menurut inkompatibilis, individu tersebut tidak bertindak secara bebas dalam pengertian yang bermakna.2

Ada beberapa varian determinisme yang relevan untuk perdebatan ini:

3.1.       Determinisme Fisik

Determinisme fisik berpandangan bahwa hukum-hukum fisika yang fundamental mengatur perilaku seluruh materi dan energi di alam semesta. Setiap perubahan atau peristiwa fisik, termasuk aktivitas otak manusia yang diyakini menjadi dasar tindakan sadar, terjadi sebagai hasil dari keadaan sebelumnya dan hukum alam.3 Ide ini berasal dari mekanisme Newtonian klasik, meskipun kompleksitas mekanika kuantum di abad ke-20 telah menimbulkan tantangan terhadap pandangan deterministik murni.

3.2.       Determinisme Biologis dan Genetik

Determinisme biologis menekankan bahwa perilaku manusia pada tingkat tertentu ditentukan oleh faktor-faktor biologis, termasuk genetik dan neurologis. Dalam perspektif ini, banyak tindakan manusia yang tampaknya hasil dari pilihan bebas sebenarnya merupakan manifestasi dari predisposisi biologis yang kuat.4 Penemuan-penemuan dalam ilmu saraf, seperti eksperimentasi oleh Benjamin Libet, mendukung ide bahwa keputusan sadar mungkin diprediksi dari aktivitas otak yang tidak disadari sebelum individu merasa "memutuskan".[5]

3.3.       Determinisme Psikologis

Dalam psikologi, determinisme menekankan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari kombinasi faktor lingkungan, pembelajaran, dan pengalaman masa lalu. Dalam pandangan ini, bahkan keputusan moral yang tampaknya bebas pun dibentuk oleh faktor-faktor psikologis yang telah mengakar sebelumnya, memperkuat keraguan terhadap kehendak bebas otonom.5


3.4.       Determinisme dan Tanggung Jawab Moral

Ketidakcocokan antara determinisme dan tanggung jawab moral merupakan inti dari kekhawatiran inkompatibilisme. Jika seseorang tidak dapat bertindak selain dari apa yang telah ditentukan oleh kondisi-kondisi sebelumnya, maka sulit untuk membenarkan penghakiman moral seperti pujian atau celaan terhadap tindakan tersebut.6 Peter van Inwagen menegaskan bahwa jika determinisme benar, maka kita tidak mengontrol hukum-hukum alam atau peristiwa masa lalu, dan akibatnya kita juga tidak mengontrol tindakan-tindakan kita sendiri yang merupakan konsekuensi dari keduanya.7

Sebagian filsuf mencoba mempertahankan ide tanggung jawab dalam dunia deterministik dengan mendefinisikan ulang konsep kontrol atau kehendak bebas itu sendiri (seperti dalam kompatibilisme). Namun inkompatibilis berargumen bahwa usaha tersebut gagal mempertahankan intuisi kita yang paling mendasar tentang kebebasan: bahwa seseorang bebas hanya jika ia bisa bertindak sebaliknya.


Dengan demikian, determinisme, baik fisik, biologis, maupun psikologis, menjadi fondasi utama bagi kekhawatiran inkompatibilisme. Ia menantang gagasan tradisional tentang manusia sebagai agen moral otonom dan membuka ruang bagi perdebatan mendalam tentang eksistensi kehendak bebas serta dasar tanggung jawab dalam sistem etika dan hukum modern.


Footnotes

[1]                Ted Honderich, The Oxford Companion to Philosophy, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2005), 207–208.

[2]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 55–58.

[3]                Carl Hoefer, "Causal Determinism," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/.

[4]                Steven Pinker, The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature (New York: Viking, 2002), 45–50.

[5]                B. F. Skinner, Beyond Freedom and Dignity (New York: Alfred A. Knopf, 1971), 16–30.

[6]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 62–75.

[7]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will, 56–57.


4.          Argumen-Argumen Utama dalam Inkompatibilisme

Inkompatibilisme didukung oleh serangkaian argumen yang kuat untuk menunjukkan bahwa determinisme tidak sejalan dengan eksistensi kehendak bebas yang sejati. Argumen-argumen ini mencoba membuktikan bahwa jika determinisme benar, maka individu tidak memiliki kontrol yang diperlukan untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Tiga argumen utama yang sering diajukan adalah Argumen Konsekuensi, Argumen Otoritas Diri, dan Argumen Alternatif Kemampuan Bertindak.

4.1.       Argumen Konsekuensi (Consequence Argument)

Consequence Argument adalah salah satu pilar utama inkompatibilisme, dikembangkan secara sistematis oleh Peter van Inwagen. Argumen ini menyatakan bahwa jika determinisme benar, maka tindakan-tindakan kita adalah konsekuensi yang diperlukan dari hukum-hukum alam dan peristiwa masa lalu. Namun, kita tidak memiliki kontrol atas hukum-hukum alam maupun masa lalu. Oleh karena itu, kita juga tidak memiliki kontrol atas konsekuensi yang mengikuti dari hukum-hukum dan masa lalu itu—termasuk tindakan kita sendiri.1

Van Inwagen merumuskan premis utama sebagai berikut:

1)                  Tidak seorang pun memiliki kekuasaan terhadap fakta-fakta masa lalu dan hukum-hukum alam.

2)                  Jika seseorang tidak memiliki kekuasaan terhadap fakta-fakta masa lalu dan hukum-hukum alam, maka ia tidak memiliki kekuasaan terhadap konsekuensi logis dari fakta-fakta tersebut.

3)                  Oleh karena itu, jika determinisme benar, kita tidak memiliki kekuasaan terhadap tindakan kita.

Argumen ini menggarisbawahi bahwa determinisme menghilangkan "kontrol sumber" yang diperlukan untuk kebebasan bertindak secara autentik, sehingga menghancurkan fondasi tanggung jawab moral.2

4.2.       Argumen Otoritas Diri (Self-Ownership Argument)

Argumen otoritas diri berfokus pada gagasan bahwa kehendak bebas mensyaratkan bahwa individu adalah sumber otonom dari tindakannya sendiri. Untuk bertindak dengan bebas, seseorang harus menjadi penyebab utama dari tindakan tersebut, bukan sekadar mata rantai dalam deretan sebab-akibat yang ditentukan secara eksternal.3

Robert Kane, dalam karyanya The Significance of Free Will, berargumen bahwa agar tindakan dapat dikatakan bebas, individu harus memiliki ultimate responsibility (tanggung jawab pamungkas). Ini berarti bahwa penyebab tindakan tidak boleh terletak sepenuhnya pada kondisi-kondisi masa lalu atau faktor-faktor eksternal; melainkan individu itu sendiri harus menjadi asal mula yang menentukan.4

Jika determinisme benar, maka semua tindakan pada akhirnya dapat dilacak kembali ke sebab-sebab di luar kontrol individu, menghilangkan basis untuk otoritas diri sejati. Oleh karena itu, inkompatibilisme menegaskan bahwa hanya dalam dunia non-deterministik seseorang dapat memiliki otoritas penuh atas dirinya sendiri.

4.3.       Argumen Alternatif Kemampuan Bertindak (Principle of Alternative Possibilities - PAP)

Argumen ketiga berfokus pada Prinsip Kemungkinan Alternatif (Principle of Alternative Possibilities, disingkat PAP), yaitu bahwa seorang agen bertindak dengan bebas hanya jika ia bisa bertindak lain dari apa yang dilakukannya. Jika seseorang tidak mungkin bertindak lain, maka tindakannya bukanlah hasil dari pilihan bebas, melainkan sesuatu yang secara kausal dipaksakan.5

PAP menjadi pusat perdebatan besar setelah dikritik oleh Harry Frankfurt dalam esai terkenalnya "Alternate Possibilities and Moral Responsibility". Frankfurt menunjukkan bahwa dalam beberapa skenario, seseorang bisa tetap bertanggung jawab bahkan jika ia tidak memiliki kemampuan alternatif, misalnya dalam kasus di mana seseorang bertindak secara sukarela walaupun tidak bisa memilih lain.6

Meskipun demikian, inkompatibilis seperti van Inwagen mempertahankan bahwa dalam kasus umum tanggung jawab moral mensyaratkan kemampuan untuk bertindak sebaliknya. Dengan kata lain, pilihan alternatif yang nyata tetap merupakan prasyarat bagi tindakan bebas dalam kerangka inkompatibilisme.7


Ringkasan

Ketiga argumen ini—Consequence Argument, Self-Ownership Argument, dan Principle of Alternative Possibilities—membentuk kerangka utama inkompatibilisme. Masing-masing argumen menyoroti aspek yang berbeda dari ketegangan antara determinisme dan kehendak bebas, tetapi semuanya mengarah pada kesimpulan yang sama: bahwa kebebasan autentik menuntut adanya pelepasan dari rantai sebab-akibat deterministik. Tanpa kebebasan ini, ide tentang individu sebagai agen moral sepenuhnya otonom menjadi sangat diragukan.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 56–58.

[2]                Ibid., 58–60.

[3]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 82–85.

[4]                Ibid., 86–90.

[5]                John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 13–17.

[6]                Harry G. Frankfurt, "Alternate Possibilities and Moral Responsibility," Journal of Philosophy 66, no. 23 (1969): 829–839.

[7]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will, 114–118.


5.          Variasi dalam Inkompatibilisme

Meskipun inkompatibilisme secara umum mengajukan bahwa determinisme dan kehendak bebas tidak dapat keduanya benar, terdapat variasi internal dalam bagaimana para filsuf inkompatibilis memahami dan mengembangkan konsekuensi dari posisi tersebut. Dua jalur besar dalam inkompatibilisme adalah libertarianisme dan determinisme keras (hard determinism). Selain itu, terdapat bentuk-bentuk alternatif seperti fatalisme, yang berkaitan erat namun memiliki nuansa berbeda.

5.1.       Libertarianisme (Free Will Libertarianism)

Libertarianisme dalam konteks kehendak bebas adalah posisi inkompatibilis yang berpendirian bahwa kehendak bebas memang ada, dan karena itu, determinisme harus ditolak.1 Menurut libertarian, agar seseorang bertindak secara bebas, tindakannya haruslah tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi sebelumnya. Dengan kata lain, harus ada unsur indeterminisme dalam proses pengambilan keputusan.

Robert Kane, salah satu pembela libertarianisme kontemporer, mengembangkan teori tentang tindakan-tindakan penentu diri (self-forming actions, disingkat SFA), di mana dalam momen-momen ketidakpastian moral kritis, individu berkontribusi secara kausal dalam membentuk karakter dan niatnya melalui keputusan bebas.2 Dalam kerangka ini, indeterminisme bukanlah gangguan terhadap tanggung jawab moral, melainkan prasyarat bagi agen untuk menjadi sumber akhir dari tindakannya.

Libertarianisme terbagi lagi menjadi dua pendekatan utama:

·                     Event-causal libertarianism, yang mengandalkan kejadian-kejadian indeterministik sebagai bagian dari penjelasan aksi bebas (seperti dalam teori Kane).

·                     Agent-causal libertarianism, yang berargumen bahwa agen, bukan sekadar peristiwa, adalah penyebab utama yang tidak direduksi menjadi urutan sebab-akibat biasa.3 Tokoh penting dalam pendekatan ini adalah Timothy O’Connor.

Libertarianisme menawarkan satu-satunya rute bagi inkompatibilis yang ingin mempertahankan eksistensi kehendak bebas tanpa menafikan prinsip tanggung jawab moral.

5.2.       Determinisme Keras (Hard Determinism)

Sebaliknya, determinisme keras menerima bahwa determinisme benar dan bahwa kehendak bebas tidak ada.4 Hard determinists menolak kehendak bebas tradisional sebagai ilusi dan menyatakan bahwa seluruh perilaku manusia, pikiran, dan tindakan adalah hasil dari sebab-sebab deterministik yang tidak berada dalam kendali individu.

Filsuf seperti Derk Pereboom dalam Living Without Free Will mengembangkan versi determinisme keras modern yang disebut "hard incompatibilism". Menurut Pereboom, bahkan jika dunia tidak sepenuhnya deterministik, kekebasan agen tetap mustahil karena faktor-faktor kausal yang tidak dikendalikan agen (baik deterministik maupun indeterministik) tetap menggagalkan kehendak bebas dalam arti yang kuat.5

Implikasi dari determinisme keras mencakup pendekatan yang berbeda terhadap hukuman, di mana fokus bergeser dari retribusi (pembalasan) ke pencegahan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial.

5.3.       Fatalisme

Fatalisme adalah pandangan bahwa hasil-hasil tertentu akan terjadi tanpa menghiraukan apa pun yang dilakukan manusia. Berbeda dengan determinisme, fatalisme mengklaim bahwa upaya atau niat manusia tidak berpengaruh sama sekali terhadap hasil yang sudah "ditakdirkan".6

Dalam konteks inkompatibilisme, fatalisme sering disamakan dengan determinisme keras, tetapi ada perbedaan konseptual penting. Determinisme menyatakan bahwa tindakan manusia merupakan bagian dari rantai sebab-akibat yang menentukan hasil, sedangkan fatalisme menganggap bahwa hasil tertentu akan terjadi bahkan jika tindakan manusia tidak diperlukan untuk mencapainya.

Filsuf klasik seperti Richard Taylor membahas fatalisme dalam kaitannya dengan masalah "logika masa depan"—yaitu bahwa kebenaran proposisi tentang masa depan bisa berarti masa depan sudah tetap, menggugat ide kebebasan.7 Meski demikian, banyak inkompatibilis modern lebih fokus pada masalah kausal daripada semata-mata logika masa depan.


Ringkasan

Variasi dalam inkompatibilisme memperlihatkan keragaman respons terhadap ketegangan antara determinisme dan kehendak bebas. Libertarianisme mempertahankan kehendak bebas dengan menolak determinisme; determinisme keras menolak kehendak bebas sambil menerima determinisme; sementara fatalisme menawarkan perspektif ekstrem bahwa hasil-hasil tertentu tidak bergantung pada usaha manusia. Ketiga varian ini menunjukkan bahwa inkompatibilisme bukan satu posisi tunggal, melainkan payung bagi berbagai pendekatan filosofis yang berupaya mempertahankan koherensi logis antara konsep kehendak bebas dan determinisme.


Footnotes

[1]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.

[2]                Ibid., 124–130.

[3]                Timothy O’Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University Press, 2000), 10–15.

[4]                Ted Honderich, How Free Are You? The Determinism Problem (Oxford: Oxford University Press, 1993), 14–20.

[5]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 83–90.

[6]                Richard Taylor, Metaphysics, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1992), 50–55.

[7]                Ibid., 60–65.


6.          Kritik terhadap Inkompatibilisme

Meskipun inkompatibilisme memiliki banyak pendukung dan argumennya tampak intuitif kuat, posisi ini juga menghadapi sejumlah kritik serius, baik dari para pendukung kompatibilisme maupun dari skeptisisme kehendak bebas. Kritik-kritik ini mempertanyakan asumsi-asumsi dasar inkompatibilisme tentang kebebasan, kontrol, dan tanggung jawab moral.

6.1.       Tantangan dari Kompatibilisme

Salah satu kritik utama terhadap inkompatibilisme datang dari para kompatibilis, yang berargumen bahwa inkompatibilisme menerapkan standar kebebasan yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Kompatibilis seperti John Martin Fischer dan Daniel Dennett menyatakan bahwa kehendak bebas tidak harus bergantung pada kemampuan untuk bertindak sebaliknya (alternative possibilities), melainkan pada kapasitas untuk bertindak berdasarkan alasan dan refleksi internal.1

Menurut Fischer, bahkan dalam dunia deterministik, seseorang masih dapat bertindak dengan kontrol responsif terhadap alasan, yang cukup untuk membenarkan atribusi tanggung jawab moral.2 Dalam kerangka ini, tanggung jawab tidak bergantung pada indeterminisme, tetapi pada struktur internal agen dalam merespons alasan.

Daniel Dennett, dalam Elbow Room, menegaskan bahwa banyak dari ketakutan tentang hilangnya kehendak bebas dalam dunia deterministik berasal dari kesalahpahaman tentang apa yang benar-benar kita inginkan dari kebebasan: yang kita inginkan adalah kemampuan untuk bertindak secara fleksibel dan adaptif, bukan kemampuan metafisik untuk "mengubah masa lalu" atau "melanggar hukum alam".[3]

Dengan demikian, kompatibilisme menyerang inkompatibilisme di titik krusial: bahwa inkompatibilisme mensyaratkan bentuk kebebasan yang tidak perlu dan tidak sesuai dengan pengalaman moral kita sehari-hari.

6.2.       Tantangan dari Skeptisisme Kehendak Bebas

Selain dari kompatibilisme, inkompatibilisme juga dikritik dari sudut pandang skeptisisme kehendak bebas. Skeptis seperti Galen Strawson berargumen bahwa inkompatibilisme benar dalam menilai bahwa kehendak bebas tidak cocok dengan determinisme, tetapi mereka salah berharap bahwa indeterminisme bisa menyelamatkan kehendak bebas.3

Menurut Strawson, tidak peduli apakah dunia deterministik atau indeterministik, kita tidak dapat menjadi penyebab mutlak dari diri kita sendiri (causa sui), sehingga kita tidak benar-benar bertanggung jawab atas tindakan kita dalam pengertian yang paling dalam.4 Oleh karena itu, bahkan libertarian inkompatibilis gagal mempertahankan kehendak bebas yang sejati.

Skeptisisme ini menantang inkompatibilisme untuk menjelaskan bagaimana indeterminisme, yang tampaknya menambahkan unsur acak atau kebetulan ke dalam proses, justru dapat meningkatkan otonomi agen alih-alih menguranginya.

6.3.       Tantangan dari Temuan Neurosains

Perkembangan dalam ilmu saraf kognitif, terutama penelitian oleh Benjamin Libet, John-Dylan Haynes, dan rekan-rekan mereka, telah digunakan untuk menyerang gagasan tradisional tentang kehendak bebas. Eksperimen-eksperimen ini menunjukkan bahwa aktivitas otak yang berkaitan dengan keputusan tindakan muncul sebelum individu menyadari niat mereka untuk bertindak.5

Temuan semacam itu menimbulkan keraguan terhadap ide bahwa individu sepenuhnya mengontrol keputusan mereka melalui proses sadar. Ini memperumit posisi inkompatibilisme libertarian, yang sering mengandalkan intuisi tentang kesadaran diri sebagai sumber kontrol agen.

Namun, penting dicatat bahwa interpretasi eksperimental ini tetap kontroversial. Beberapa filsuf, seperti Alfred Mele, berargumen bahwa eksperimen Libet tidak benar-benar membuktikan tidak adanya kehendak bebas karena keputusan mikro dalam eksperimen laboratorium mungkin tidak mewakili keputusan yang lebih kompleks dan reflektif dalam kehidupan nyata.6

6.4.       Kompleksitas dalam Definisi Kehendak Bebas

Kritik lain terhadap inkompatibilisme berpusat pada gagasan bahwa inkompatibilisme menggunakan definisi kehendak bebas yang terlalu sempit dan absolutis. Kehendak bebas, menurut kritik ini, harus dipahami sebagai fenomena bertingkat, bukan sebagai konsep dikotomis (ada atau tidak ada sama sekali).

Sebagian besar kompatibilis dan bahkan beberapa inkompatibilis moderat mengusulkan bahwa berbagai derajat kebebasan dapat diterima, bergantung pada konteks dan kriteria rasionalitas tertentu.7 Menuntut bentuk kebebasan absolut, seperti yang kadang diasumsikan dalam inkompatibilisme klasik, bisa membuat seluruh konsep kehendak bebas menjadi mustahil dicapai atau dipertahankan.


Ringkasan

Kritik terhadap inkompatibilisme menyoroti beberapa ketegangan internal dan tantangan eksternal terhadap posisi tersebut. Dari kompatibilisme, inkompatibilisme dituduh menerapkan standar yang tidak realistis tentang kebebasan; dari skeptisisme, inkompatibilisme ditantang untuk menunjukkan bagaimana indeterminisme bisa menyelamatkan agensi manusia; dari ilmu saraf, inkompatibilisme dihadapkan pada data empiris yang memperumit konsep kontrol sadar. Semua ini menunjukkan bahwa meskipun inkompatibilisme merupakan posisi filosofis yang kuat dan berpengaruh, ia tetap rentan terhadap tantangan kritis dari berbagai arah.


Footnotes

[1]                John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 5–10.

[2]                Ibid., 55–58.

[3]                Galen Strawson, "The Impossibility of Moral Responsibility," Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.

[4]                Ibid., 6–8.

[5]                Benjamin Libet, "Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action," Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529–566.

[6]                Alfred R. Mele, Free Will and Luck (New York: Oxford University Press, 2006), 50–65.

[7]                Manuel Vargas, Building Better Beings: A Theory of Moral Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2013), 100–110.


7.          Implikasi Etis dan Sosial

Posisi inkompatibilisme dalam filsafat kehendak bebas membawa dampak yang luas terhadap pemahaman kita tentang tanggung jawab moral, keadilan pidana, pengembangan kebijakan sosial, dan konsep otonomi individu. Jika inkompatibilisme benar dan determinisme mendominasi realitas, maka konsekuensi etis dan sosialnya mengharuskan kita merekonstruksi banyak aspek fundamental dalam sistem nilai dan institusi sosial kita.

7.1.       Tanggung Jawab Moral

Salah satu implikasi paling signifikan dari inkompatibilisme adalah terhadap konsep tanggung jawab moral. Dalam paradigma inkompatibilisme, untuk dapat dimintai pertanggungjawaban secara moral, seseorang harus memiliki kebebasan sejati—yakni kemampuan untuk bertindak lain daripada yang ia lakukan. Jika determinisme benar, dan semua tindakan adalah hasil dari faktor-faktor di luar kendali individu, maka penghargaan dan hukuman moral atas tindakan seseorang menjadi dipertanyakan.1

Derk Pereboom, dalam Living Without Free Will, berpendapat bahwa dalam dunia deterministik, konsep retributif dari hukuman tidak dapat dipertahankan secara moral. Ia menyarankan agar pendekatan terhadap keadilan pidana harus bergeser dari pembalasan (retribusi) ke pencegahan, rehabilitasi, dan perlindungan masyarakat.2 Menurutnya, ini tidak hanya lebih sesuai dengan realitas ontologis tetapi juga lebih etis dan manusiawi.

7.2.       Implikasi terhadap Sistem Hukum

Sistem hukum modern, terutama dalam tradisi barat, sangat bergantung pada asumsi bahwa individu adalah agen moral otonom yang mampu membuat pilihan bebas. Jika inkompatibilisme benar, asumsi ini perlu ditinjau kembali.

Sebagai contoh, argumen inkompatibilisme mendukung reformasi sistem peradilan pidana menuju model yang lebih menekankan rehabilitasi daripada pembalasan. Pereboom mengusulkan apa yang disebut model "quarantine" terhadap pelaku kekerasan, analog dengan pengarantinaan penyakit berbahaya: tujuan utamanya adalah perlindungan masyarakat, bukan menghukum pelaku karena dianggap "layak" dihukum.3

Lebih jauh, inkompatibilisme mengundang pertanyaan tentang keadilan sosial yang lebih luas, seperti bagaimana sistem ekonomi dan pendidikan harus disusun jika individu tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalan mereka.

7.3.       Kebijakan Sosial dan Etika Publik

Dalam konteks kebijakan sosial, inkompatibilisme mengimplikasikan bahwa banyak bentuk disparitas sosial dan kriminalitas harus dipahami dalam kerangka faktor-faktor struktural dan deterministik. Ini menimbulkan keharusan moral untuk mengatasi ketidakadilan struktural daripada sekadar menyalahkan individu atas kegagalan mereka.

Sebagai contoh, filsuf seperti Bruce Waller dalam Against Moral Responsibility berargumen bahwa kesadaran akan determinisme sosial dan biologis harus mendorong reformasi sosial progresif: investasi dalam pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan perawatan kesehatan mental, ketimbang memperparah disparitas melalui sistem hukuman yang keras.4

Inkompatibilisme juga berpotensi meningkatkan empati sosial, karena ia mendorong pemahaman bahwa perilaku devian atau merugikan sering kali berakar pada kondisi-kondisi di luar kendali individu.

7.4.       Reinterpretasi Konsep Otonomi

Dalam kerangka inkompatibilisme, otonomi pribadi tidak lagi dapat dipahami semata-mata sebagai kebebasan metafisik untuk "memilih sebaliknya," melainkan lebih sebagai kapasitas untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai, aspirasi, dan refleksi diri yang relatif stabil.

Hal ini membuka kemungkinan redefinisi konsep otonomi sebagai kompatibel dengan pengaruh deterministik, selama agen tersebut bertindak berdasarkan struktur nilai dan identitas dirinya sendiri, meskipun terbentuk dalam konteks kausalitas yang luas.5


Ringkasan

Implikasi etis dan sosial dari inkompatibilisme sangatlah mendalam: ia menantang dasar-dasar tanggung jawab moral tradisional, menuntut reformasi dalam sistem hukum, mempengaruhi kebijakan sosial, dan mendefinisikan ulang konsep otonomi. Dengan memandang individu sebagai bagian dari jaringan sebab-akibat yang kompleks, inkompatibilisme menawarkan dasar filosofis untuk pendekatan yang lebih penuh empati dan rekonstruktif terhadap kesalahan moral, kejahatan, dan ketidakadilan sosial.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 135–140.

[2]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 110–120.

[3]                Ibid., 123–128.

[4]                Bruce Waller, Against Moral Responsibility (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 180–195.

[5]                Manuel Vargas, Building Better Beings: A Theory of Moral Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120–130.


8.          Debat Kontemporer tentang Inkompatibilisme

Perkembangan filsafat kehendak bebas dalam beberapa dekade terakhir memperlihatkan bahwa inkompatibilisme tetap menjadi salah satu posisi yang paling berpengaruh sekaligus kontroversial. Namun, karakter debat kontemporer seputar inkompatibilisme telah mengalami transformasi signifikan, memperkaya nuansa diskusi melalui pendekatan baru, respons terhadap temuan ilmiah, serta pembaharuan dalam teori moral dan metafisika.

8.1.       Inkompatibilisme Moderat vs. Ekstrem

Dalam debat kontemporer, salah satu perbedaan penting di antara para inkompatibilis adalah antara posisi moderat dan ekstrem.

·                     Inkompatibilis moderat cenderung berpendapat bahwa tanggung jawab moral dapat tetap dipertahankan dalam tingkat tertentu meskipun determinisme benar, asalkan kontrol deliberatif atau niat rasional tetap ada. Posisi ini diwakili oleh filsuf seperti Manuel Vargas yang mengusulkan teori "revisionisme tanggung jawab moral".1

·                     Inkompatibilis ekstrem, seperti Galen Strawson, berpendapat bahwa semua bentuk tanggung jawab moral—termasuk yang paling minimalis sekalipun—gagal jika inkompatibilisme diterima, sebab manusia tidak bisa menjadi penyebab pamungkas dari dirinya sendiri (causa sui).2

Perbedaan ini menunjukkan bahwa dalam ranah inkompatibilisme sendiri, ada variasi dalam bagaimana konsep tanggung jawab dan agensi dievaluasi.

8.2.       Integrasi Ilmu Pengetahuan dalam Debat Inkompatibilisme

Perkembangan dalam ilmu saraf, psikologi kognitif, dan fisika kuantum telah memperkaya (dan mempersulit) lanskap debat inkompatibilisme.

Sebagian filsuf, seperti Alfred Mele, mengkritik penggunaan terburu-buru hasil eksperimen neuroscientific (misalnya eksperimen Benjamin Libet) untuk menolak kehendak bebas. Mele berargumen bahwa eksperimen tersebut tidak cukup kuat untuk mendukung determinisme psikologis atau menyangkal inkompatibilisme libertarian, karena keputusan laboratorium yang diukur terlalu sederhana dibandingkan keputusan-keputusan penting dalam kehidupan nyata.3

Di sisi lain, filsuf seperti Derk Pereboom dan Gregg Caruso lebih terbuka terhadap pengaruh data ilmiah dalam memperkuat bentuk inkompatibilisme yang skeptis terhadap kebebasan dan tanggung jawab tradisional.4

8.3.       Evolusi Libertarianisme Inkompatibilis

Libertarianisme inkompatibilis juga berkembang dalam dua arah:

·                     Event-causal libertarianism tetap mempertahankan bahwa kejadian indeterministik di tingkat keputusan individu memungkinkan tanggung jawab moral. Robert Kane, sebagai tokoh sentral, mengembangkan teori tentang "self-forming actions" (SFA) yang terjadi dalam kondisi ketidakpastian kausal.5

·                     Agent-causal libertarianism menyempurnakan ide bahwa agen itu sendiri (bukan sekadar kejadian acak) adalah penyebab tidak ditentukan dari tindakan bebas. Timothy O’Connor dan Randolph Clarke berusaha membangun model metafisik yang lebih stabil untuk agent causation tanpa harus bergantung pada kekacauan atau kebetulan murni.6

Debat di antara kedua kubu ini terus berlangsung, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mengintegrasikan konsep penyebab agen ke dalam kerangka ilmiah modern menjadi fokus utama.

8.4.       Debat Terkait Nilai Kehendak Bebas

Dalam filsafat moral kontemporer, muncul juga pertanyaan baru: Seandainya kehendak bebas inkompatibilis itu tidak ada, seberapa pentingkah ia bagi nilai manusia?

Daniel Dennett dan Manuel Vargas, dari sisi kompatibilisme revisionis, berargumen bahwa sebagian besar nilai yang kita asosiasikan dengan kehendak bebas—seperti harga diri, otonomi, dan pencapaian moral—dapat dipertahankan tanpa memerlukan inkompatibilisme.7

Sebaliknya, libertarian inkompatibilis seperti Robert Kane menekankan bahwa tanpa kebebasan yang sejati dalam memilih alternatif moral, nilai seperti keberanian moral, keadilan, dan cinta sejati kehilangan maknanya yang terdalam.8

Perdebatan ini menunjukkan bahwa bukan hanya soal apakah kehendak bebas eksis, tetapi juga apakah ia penting secara moral dan eksistensial.


Ringkasan

Debat kontemporer tentang inkompatibilisme memperlihatkan medan diskusi yang sangat dinamis: dari pertentangan antara inkompatibilisme moderat dan ekstrem, dialog antara filsafat dan ilmu pengetahuan, evolusi libertarianisme ke arah model agent-causal yang lebih kuat, hingga refleksi nilai-nilai kehendak bebas dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, inkompatibilisme tetap menjadi posisi filosofis yang aktif diperdebatkan dan diperbaharui seiring dengan perkembangan pemikiran metafisik, moral, dan ilmiah.


Footnotes

[1]                Manuel Vargas, Building Better Beings: A Theory of Moral Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2013), 3–10.

[2]                Galen Strawson, "The Impossibility of Moral Responsibility," Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.

[3]                Alfred R. Mele, Free Will and Luck (New York: Oxford University Press, 2006), 50–75.

[4]                Derk Pereboom, Free Will, Agency, and Meaning in Life (Oxford: Oxford University Press, 2014), 15–20.

[5]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 123–130.

[6]                Timothy O’Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University Press, 2000), 90–105.

[7]                Daniel C. Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 135–140.

[8]                Robert Kane, Ethics and the Quest for Wisdom (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 45–55.


9.          Kesimpulan

Pembahasan tentang inkompatibilisme menegaskan bahwa ketegangan antara determinisme dan kehendak bebas tetap menjadi salah satu masalah paling fundamental dalam filsafat. Inkompatibilisme, melalui argumen-argumen seperti Consequence Argument, Self-Ownership Argument, dan Principle of Alternative Possibilities, berupaya menunjukkan bahwa determinisme meniadakan kemungkinan kehendak bebas yang sejati, yaitu kebebasan yang mensyaratkan kemampuan untuk bertindak lain daripada yang dilakukan.1

Berbagai varian inkompatibilisme—termasuk libertarianisme, determinisme keras, dan fatalisme—mencerminkan perbedaan dalam respons terhadap dilema ini. Libertarianisme inkompatibilis mempertahankan eksistensi kehendak bebas dengan menolak determinisme dan berupaya membangun teori agen-kausalitas, sebagaimana dikembangkan oleh Robert Kane dan Timothy O’Connor.2 Sebaliknya, determinisme keras, seperti yang diartikulasikan oleh Derk Pereboom, menolak keberadaan kehendak bebas sepenuhnya dan mengadvokasi revisi konsepsi tentang tanggung jawab moral dan hukuman.3

Kritik-kritik terhadap inkompatibilisme—baik dari kompatibilisme, skeptisisme kehendak bebas, maupun dari temuan neurosains—menyoroti kompleksitas mendalam masalah ini. Para kompatibilis mengusulkan bahwa kontrol deliberatif dan respons terhadap alasan sudah cukup untuk mempertahankan tanggung jawab moral, bahkan dalam dunia deterministik.4 Sementara itu, skeptis seperti Galen Strawson berpendapat bahwa baik determinisme maupun indeterminisme sama-sama gagal menyediakan dasar untuk kehendak bebas sejati.5

Implikasi etis dan sosial dari inkompatibilisme memperluas perdebatan ini ke ranah hukum, kebijakan sosial, dan pemikiran moral. Jika inkompatibilisme benar, maka sistem penghargaan dan hukuman tradisional harus direvisi untuk mencerminkan keterbatasan kontrol individu atas tindakannya, dan harus lebih berfokus pada pencegahan dan rehabilitasi daripada pada pembalasan.6

Debat kontemporer tentang inkompatibilisme menunjukkan bahwa diskursus ini terus berkembang. Integrasi antara filsafat dan ilmu pengetahuan memperkaya analisis konseptual dan memberikan tantangan-tantangan baru. Libertarianisme berupaya memperhalus konsep agensi dalam dunia yang secara ilmiah dijelaskan, sementara kompatibilisme revisionis mencoba mempertahankan nilai-nilai moral tradisional dalam kerangka kausalitas yang ketat.

Pada akhirnya, inkompatibilisme tetap mempertahankan daya tarik filosofisnya karena ia mempertanyakan salah satu aspek paling mendasar dari keberadaan manusia: apakah kita benar-benar bebas dalam arti yang berarti, ataukah kita hanyalah hasil dari jaringan sebab-akibat yang tidak kita pilih? Pertanyaan ini, yang melibatkan refleksi tentang kebebasan, tanggung jawab, dan nilai manusia, memastikan bahwa inkompatibilisme akan terus menjadi medan perdebatan aktif dalam filsafat moral, metafisika, dan ilmu kognitif.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 55–60.

[2]                Robert Kane, The Significance of Free Will (New York: Oxford University Press, 1996), 123–130; Timothy O’Connor, Persons and Causes: The Metaphysics of Free Will (New York: Oxford University Press, 2000), 90–105.

[3]                Derk Pereboom, Living Without Free Will (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 83–90.

[4]                John Martin Fischer, The Metaphysics of Free Will: An Essay on Control (Oxford: Blackwell, 1994), 5–10.

[5]                Galen Strawson, "The Impossibility of Moral Responsibility," Philosophical Studies 75, no. 1–2 (1994): 5–24.

[6]                Derk Pereboom, Free Will, Agency, and Meaning in Life (Oxford: Oxford University Press, 2014), 130–140.


Daftar Pustaka

Caruso, G. D. (2021). Rejecting moral responsibility: The case for hard incompatibilism. Cambridge University Press.

Dennett, D. C. (1984). Elbow room: The varieties of free will worth wanting. MIT Press.

Dennett, D. C. (2003). Freedom evolves. Viking.

Fischer, J. M. (1994). The metaphysics of free will: An essay on control. Blackwell.

Hoefer, C. (2016). Causal determinism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2016 Edition). Stanford University. https://plato.stanford.edu/entries/determinism-causal/

Kane, R. (1996). The significance of free will. Oxford University Press.

Kane, R. (2010). Ethics and the quest for wisdom. Cambridge University Press.

Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain Sciences, 8(4), 529–566.

Mele, A. R. (2006). Free will and luck. Oxford University Press.

O'Connor, T. (2000). Persons and causes: The metaphysics of free will. Oxford University Press.

Pereboom, D. (2001). Living without free will. Cambridge University Press.

Pereboom, D. (2014). Free will, agency, and meaning in life. Oxford University Press.

Pinker, S. (2002). The blank slate: The modern denial of human nature. Viking.

Skinner, B. F. (1971). Beyond freedom and dignity. Alfred A. Knopf.

Strawson, G. (1994). The impossibility of moral responsibility. Philosophical Studies, 75(1–2), 5–24.

Taylor, R. (1992). Metaphysics (4th ed.). Prentice-Hall.

van Inwagen, P. (1983). An essay on free will. Clarendon Press.

Vargas, M. (2013). Building better beings: A theory of moral responsibility. Oxford University Press.

Waller, B. (2011). Against moral responsibility. MIT Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar