Sabtu, 05 April 2025

Ashalah al-Mahiyah: Menelaah Primordialitas Esensi dalam Wacana Filsafat Islam

Ashalah al-Mahiyah

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Ashalah al-Wujūd (Primordialitas Eksistensi)


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi) dalam filsafat Islam klasik sebagai salah satu teori ontologis utama sebelum munculnya dominasi teori Ashalah al-Wujūd (primordialitas eksistensi). Melalui pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual, pembahasan ini menelusuri definisi dan relasi antara esensi dan eksistensi, mendalami pokok-pokok pemikiran para pendukung Ashalah al-Mahiyah seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi, serta menelaah argumen filosofis yang mendasari supremasi esensi dalam struktur realitas. Kontraposisi dengan Ashalah al-Wujūd yang digagas oleh Mulla Sadra dikaji secara kritis untuk menunjukkan transformasi paradigma metafisika dalam filsafat Islam. Selain itu, artikel ini juga mengeksplorasi relevansi kontemporer dari perdebatan ini dalam wacana identitas, epistemologi, dan spiritualitas, serta menawarkan sintesis integratif untuk menjembatani dua pendekatan tersebut. Kajian ini menunjukkan bahwa perdebatan antara mahiyah dan wujūd tidak hanya berakar dalam sejarah pemikiran Islam, tetapi juga tetap hidup sebagai fondasi konseptual dalam menjawab tantangan filosofis dan teologis dunia modern.

Kata Kunci: Ashalah al-Mahiyah, Ashalah al-Wujūd, esensi, eksistensi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra, filsafat Islam, ontologi, metafisika.


PEMBAHASAN

Ashalah al-Mahiyah dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah filsafat Islam, kajian ontologi—yaitu studi tentang keberadaan (being)—memegang posisi yang sangat sentral. Salah satu perdebatan klasik dan mendalam dalam ranah ini adalah mengenai mana yang lebih mendasar dalam realitas: esensi (mahiyah) atau eksistensi (wujud). Pertanyaan ini bukan sekadar spekulatif, melainkan memiliki implikasi serius terhadap pemahaman tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Perdebatan ini melahirkan dua kutub besar dalam filsafat Islam, yaitu Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi) dan Ashalah al-Wujud (primordialitas eksistensi).

Konsep Ashalah al-Mahiyah menyatakan bahwa esensi adalah realitas utama dari segala sesuatu, sementara eksistensi hanyalah atribut aksidental yang melekat padanya. Dalam pandangan ini, esensi bersifat tetap, dapat dikenali secara rasional, dan menjadi dasar dari klasifikasi dan pengetahuan. Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Peripatetik (masya’i), khususnya dalam karya-karya Ibnu Sina (Avicenna), dan kemudian dikembangkan secara lebih eksplisit oleh Syihabuddin Suhrawardi, pendiri aliran filsafat iluminasi (hikmah isyraqiyah).¹

Sebaliknya, pandangan Ashalah al-Wujud, yang secara radikal dikembangkan oleh Mulla Sadra (Sadruddin al-Shirazi), menolak supremasi esensi dan menegaskan bahwa eksistensilah yang merupakan realitas paling mendasar dan dinamis.² Namun sebelum munculnya revolusi ontologis Mulla Sadra, paradigma Ashalah al-Mahiyah merupakan kerangka dominan dalam pemikiran filsafat Islam, khususnya dalam upaya menjembatani filsafat dengan teologi (kalam).

Mengangkat kembali pembahasan tentang Ashalah al-Mahiyah menjadi penting, tidak hanya untuk memahami historisitas perkembangan filsafat Islam, tetapi juga untuk membaca ulang dinamika internal pemikiran metafisika Islam secara lebih kritis. Pemahaman terhadap teori ini dapat membuka jalan bagi analisis yang lebih dalam tentang bagaimana umat Islam memaknai keberadaan, serta sejauh mana konsep esensi dapat dijadikan landasan epistemologis dan kosmologis dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer.

Tulisan ini bertujuan untuk menelaah konsep Ashalah al-Mahiyah secara sistematis, mulai dari definisi, argumen filosofis, tokoh-tokoh yang mendukungnya, hingga perbandingannya dengan teori Ashalah al-Wujud. Dengan pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi terhadap wacana keilmuan dalam bidang filsafat Islam secara akademis dan objektif.


Footnotes

[1]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 2–5.

[2]                Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University Press, 1981), 10–14.


2.           Pengertian Mahiyah (Esensi) dan Wujud (Eksistensi)

Dalam filsafat Islam klasik, dua konsep fundamental yang menjadi poros perdebatan ontologis adalah mahiyah (esensi) dan wujud (eksistensi). Keduanya digunakan untuk memahami realitas segala sesuatu yang ada, namun menempati posisi yang berbeda dalam struktur ontologis.

Secara terminologis, mahiyah berasal dari pertanyaan "ma huwa?" (apa itu?), sehingga secara literal berarti “apakah sesuatu itu” atau “hakikat sesuatu”⁽¹⁾. Mahiyah merujuk pada quiddity—yakni sifat dasar atau inti yang membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain. Misalnya, mahiyah dari "kuda" adalah ciri-ciri universal yang membedakan kuda dari makhluk lainnya, tanpa memperhitungkan apakah kuda itu benar-benar eksis atau tidak dalam kenyataan empiris. Dalam hal ini, mahiyah bersifat intelektual dan universal, dapat didefinisikan secara konseptual, serta ada dalam pikiran walaupun belum teraktualkan secara eksternal.⁽²⁾

Sebaliknya, wujud atau eksistensi merupakan aktualitas dari sesuatu, yaitu fakta bahwa sesuatu itu ada dalam realitas konkret. Wujud adalah prinsip kehadiran dalam kenyataan eksternal yang tidak dapat ditangkap oleh definisi konseptual, tetapi hanya dapat diketahui melalui kehadirannya. Mulla Sadra menggambarkan wujud sebagai "sinar aktualitas" yang dengannya segala sesuatu memperoleh realitas aktualnya.⁽³⁾

Menurut Ibnu Sina, seorang tokoh utama filsafat Islam, mahiyah dan wujud adalah dua aspek yang terpisah. Dalam entitas selain Tuhan, mahiyah tidak secara inheren mengandung wujud—artinya, sesuatu bisa dipahami esensinya tanpa memastikan eksistensinya.⁽⁴⁾ Sebagai contoh, kita dapat memikirkan tentang "naga" atau "kuda bersayap" secara esensial, tetapi belum tentu entitas tersebut ada dalam kenyataan. Oleh karena itu, bagi Ibnu Sina, eksistensi merupakan sesuatu yang “ditambahkan” (za'id) pada esensi dan bukan bagian intrinsik darinya.

Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya, para filsuf seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra mengambil sikap yang berbeda dalam memahami relasi antara mahiyah dan wujud. Suhrawardi cenderung memperkukuh posisi mahiyah sebagai pusat realitas dan menganggap wujud sebagai sesuatu yang hanya bersifat konseptual dan tidak nyata secara mandiri⁽⁵⁾. Sebaliknya, Mulla Sadra melakukan revolusi filosofis dengan menegaskan bahwa wujudlah yang nyata secara objektif, sementara mahiyah hanyalah manifestasi konseptual dari realitas wujud itu sendiri.⁽⁶⁾

Dalam konteks Ashalah al-Mahiyah, esensi dipandang sebagai entitas tetap yang mendasari segala hal. Mahiyah bukan hanya sekadar atribut definisional, melainkan dianggap sebagai realitas sejati yang melekat dalam segala bentuk keberadaan. Wujud hanya menjadi sesuatu yang aksidental (aradh), yang menempel pada mahiyah untuk menjadikannya aktual. Konsepsi ini mendasari kerangka pemikiran metafisik Suhrawardi dan sebagian besar pemikir iluminasionis.

Dengan memahami perbedaan mendasar antara mahiyah dan wujud, kita dapat menelusuri lebih dalam mengapa terjadi perdebatan mengenai mana yang lebih fundamental dalam realitas metafisis, dan bagaimana perbedaan pandangan ini berpengaruh terhadap sistem filsafat yang dikembangkan oleh masing-masing pemikir.


Footnotes

[1]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 10.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 86–87.

[3]                Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University Press, 1981), 13.

[4]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 82.

[5]                Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 111–113.

[6]                S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 102.


3.           Konsep Ashalah al-Mahiyah: Pengertian dan Pokok-Pokok Pemikiran

Konsep Ashalah al-Mahiyah (أصالة الماهية), atau primordialitas esensi, merupakan salah satu teori penting dalam wacana metafisika Islam klasik. Istilah ashalah secara etimologis berarti keaslian atau keprimordialan, yakni sesuatu yang berdiri sendiri dan menjadi dasar atau sumber bagi yang lainnya. Dalam konteks filsafat, ketika dikatakan bahwa sesuatu itu ashil, berarti ia merupakan realitas yang independen dan objektif. Dengan demikian, Ashalah al-Mahiyah menyatakan bahwa esensi (mahiyah) adalah unsur yang paling mendasar dalam struktur realitas, sedangkan eksistensi (wujud) hanya merupakan tambahan aksidental atau sesuatu yang bersifat sekunder.¹

Pandangan ini memiliki akar kuat dalam pemikiran filsafat Peripatetik Islam, khususnya dalam filsafat Ibnu Sina (Avicenna). Bagi Ibnu Sina, mahiyah dan wujud adalah dua aspek yang dapat dibedakan secara konseptual dan aktual. Ia menegaskan bahwa dalam entitas kontingen (mumkin al-wujud), esensi tidak mengharuskan eksistensi. Artinya, sesuatu dapat dipahami secara esensial tanpa mengharuskan bahwa ia benar-benar ada. Dengan demikian, eksistensi adalah sesuatu yang “dianugerahkan” kepada esensi dari luar, melalui sebab atau kausalitas.²

Dalam kerangka Ashalah al-Mahiyah, eksistensi dianggap sebagai fenomena mental (i’tibari) yang tidak memiliki realitas objektif. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh Syihabuddin Suhrawardi, pendiri filsafat iluminasi (hikmah isyraqiyah), yang secara eksplisit menolak realitas eksistensi eksternal. Menurut Suhrawardi, yang nyata bukanlah wujud, melainkan mahiyah yang diterangi oleh cahaya nur ilahi. Eksistensi hanyalah suatu abstraksi rasional yang digunakan untuk menjelaskan kondisi keberadaan suatu esensi, tetapi tidak memiliki entitas sendiri di luar pikiran.³

Pokok-pokok pemikiran utama dalam Ashalah al-Mahiyah dapat dirangkum sebagai berikut:

1)                  Esensi bersifat tetap dan dapat didefinisikan secara rasional.

Ia tidak tergantung pada eksistensi dan dapat dibayangkan secara intelektual, bahkan ketika tidak ada realitas aktual yang merepresentasikannya.⁴

2)                  Eksistensi hanyalah aksiden atau tambahan terhadap esensi.

Ia tidak berdiri sendiri, melainkan bergantung pada esensi untuk memperoleh bentuk dan batasnya.⁵

3)                  Esensi merupakan pusat klasifikasi ontologis.

Segala sesuatu dikenali dan diklasifikasikan berdasarkan esensinya, bukan eksistensinya. Dalam pengertian ini, ilmu pengetahuan bersandar pada mahiyah karena ia adalah objek pemikiran yang rasional dan tetap.⁶

4)                  Esensi merupakan entitas yang dijadikan objek pembicaraan dalam logika dan ilmu-ilmu filosofis.

Konsep-konsep universal yang digunakan dalam silogisme logika, definisi, dan argumen teoretis semua bertumpu pada pemahaman tentang esensi.

Secara umum, teori Ashalah al-Mahiyah memberikan penekanan pada stabilitas dan kejelasan konseptual. Dalam dunia yang dipenuhi perubahan, pemikiran ini berusaha menemukan elemen yang tetap dan dapat ditangkap secara rasional. Hal ini sangat kontras dengan pendekatan Mulla Sadra yang menekankan pada eksistensi sebagai unsur yang dinamis dan bergradasi.⁷

Meskipun akhirnya banyak filsuf Islam setelah Mulla Sadra berpindah kepada teori Ashalah al-Wujud, namun pandangan tentang primordialitas esensi tetap menjadi titik awal penting dalam pemahaman ontologi Islam klasik dan memberikan warisan intelektual yang kaya untuk diskursus metafisika.


Footnotes

[1]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 15–16.

[2]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 99–101.

[3]                Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 115–118.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 72.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 25.

[6]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), 83.

[7]                S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 97–98.


4.           Tokoh-Tokoh Pendukung Ashalah al-Mahiyah

Teori Ashalah al-Mahiyah memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat Islam klasik, terutama sebelum munculnya arus besar Transcendent Theosophy (al-ḥikmah al-muta‘āliyah) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra. Tokoh-tokoh utama pendukung teori ini—baik secara eksplisit maupun implisit—adalah para filsuf besar yang mewarisi tradisi filsafat Yunani dan mengintegrasikannya dengan kerangka pemikiran Islam. Dua figur paling berpengaruh dalam mengembangkan teori primordialitas esensi adalah Ibnu Sina (Avicenna) dan Syihabuddin Suhrawardi.

4.1.       Ibnu Sina (980–1037 M)

Ibnu Sina, atau dikenal di Barat sebagai Avicenna, adalah tokoh sentral dalam filsafat Peripatetik Islam yang memberikan fondasi kuat bagi pandangan Ashalah al-Mahiyah. Dalam karyanya Al-Syifa’ dan Al-Najah, Ibnu Sina membedakan secara jelas antara mahiyah dan wujud dalam ontologi. Ia menyatakan bahwa dalam makhluk kontingen (mumkin al-wujud), esensi dapat dibayangkan tanpa eksistensi, dan karena itu eksistensi bukanlah bagian hakiki dari sesuatu, melainkan ditambahkan dari luar melalui kausalitas.¹

Ibnu Sina menegaskan bahwa esensi memiliki status epistemologis yang utama karena ia dapat dikenali, diklasifikasikan, dan digunakan sebagai dasar pengetahuan. Eksistensi tidak dapat ditangkap secara definisional, sementara esensi dapat ditentukan secara konseptual melalui taʿrīf. Dengan kata lain, wujud tidak mempunyai nilai independen sebagai realitas objektif, kecuali jika disandarkan pada esensi.²

Selain itu, dalam kerangka metafisika Ibnu Sina, hanya Tuhan yang eksistensinya identik dengan esensinya (wājib al-wujūd bi dhātih), sedangkan selain-Nya eksistensinya bergantung pada pemberian (ʿaṭāʾ) wujud dari luar dirinya. Ini memperkuat posisi esensi sebagai substratum utama bagi seluruh entitas yang ada.³

4.2.       Syihabuddin Suhrawardi (1154–1191 M)

Tokoh penting berikutnya yang mengukuhkan teori Ashalah al-Mahiyah adalah Syihabuddin Suhrawardi, pendiri filsafat iluminasi (ḥikmat al-ishrāq). Berbeda dari filsafat Peripatetik yang cenderung rasionalistik, Suhrawardi memperkenalkan filsafat yang berlandaskan pada intuisi spiritual dan cahaya sebagai metafora utama realitas. Namun demikian, dalam hal relasi antara esensi dan eksistensi, Suhrawardi mengambil posisi yang tegas: ia menolak realitas independen eksistensi dan mendukung keprimordialan esensi.⁴

Menurut Suhrawardi, eksistensi bukanlah entitas yang nyata secara eksternal, melainkan hanya sebuah konstruksi konseptual yang digunakan oleh para Peripatetik. Ia menyatakan bahwa eksistensi itu bersifat iʿtibārī (konseptual semata) dan tidak memiliki realitas mandiri. Sebaliknya, mahiyah atau hakikat-lah yang benar-benar hadir dalam wujud ontologis sebagai cerminan dari cahaya Tuhan.⁵

Suhrawardi juga mengkritik keras filsafat eksistensialis awal dan menyatakan bahwa "al-wujud lā ḥaqīqata lah" (eksistensi tidak memiliki realitas sejati), sebuah pernyataan yang menandai perbedaan mendasar antara aliran iluminasi dan arus eksistensial dalam filsafat Islam.⁶ Dengan demikian, Suhrawardi memperkuat argumen bahwa segala sesuatu yang eksis pada dasarnya adalah manifestasi dari esensi yang tercerahkan oleh cahaya Ilahi, bukan karena eksistensinya sebagai entitas berdiri sendiri.

4.3.       Tokoh-Tokoh Pendukung Lain (Implisit)

Selain Ibnu Sina dan Suhrawardi, beberapa tokoh seperti Al-Farabi dan Fakhruddin al-Razi juga dianggap secara implisit memberikan landasan bagi paradigma Ashalah al-Mahiyah, meskipun mereka tidak mengembangkan sistematika teorinya secara eksplisit. Al-Farabi, misalnya, sangat menekankan pada struktur mahiyah dalam pembahasan logika dan metafisika, menjadikan esensi sebagai dasar dari segala kategori ilmu dan klasifikasi realitas.⁷


Secara keseluruhan, para pendukung Ashalah al-Mahiyah meletakkan fondasi pemikiran ontologis yang berbasis pada rasionalitas dan stabilitas konsep, menjadikan esensi sebagai inti dari pemahaman metafisis terhadap segala sesuatu. Mereka bersepakat bahwa eksistensi tidak dapat dijadikan realitas primer karena sifatnya yang tidak dapat dijelaskan secara konseptual maupun didefinisikan secara logis.


Footnotes

[1]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 105–107.

[2]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 20–23.

[3]                Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 27.

[4]                Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 112–117.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–94.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 127.

[7]                Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar al-Mashriq, 1969), 45–46.


5.           Argumen-argumen Filosofis Pendukung Ashalah al-Mahiyah

Pandangan Ashalah al-Mahiyah menegaskan bahwa esensi (mahiyah) merupakan entitas yang paling mendasar dalam struktur realitas, sementara eksistensi (wujud) hanya merupakan tambahan konseptual dan tidak memiliki realitas objektif yang independen. Para pendukung pandangan ini, seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi, tidak hanya menyajikan kerangka metafisika, tetapi juga membangun sejumlah argumen filosofis yang kuat untuk mendukung posisi tersebut. Berikut adalah beberapa argumen pokok yang menjadi pilar penegasan terhadap keprimordialan esensi:

5.1.       Argumentasi Konseptual: Esensi Dapat Didefinisikan, Eksistensi Tidak

Salah satu argumen utama para pendukung Ashalah al-Mahiyah adalah bahwa esensi dapat didefinisikan secara rasional, sedangkan eksistensi tidak. Dalam tradisi logika Aristotelian yang diadopsi oleh para filsuf Islam, sesuatu dikatakan real apabila dapat dirumuskan secara konseptual melalui definisi (ḥadd) dan genus-diferensia (jins wa faṣl). Esensi memenuhi kriteria ini karena ia memiliki batasan konseptual yang tetap. Sebaliknya, eksistensi tidak dapat dimasukkan ke dalam definisi karena sifatnya yang tidak terbatas dan tidak dapat diklasifikasi.¹

Menurut Ibnu Sina, eksistensi adalah sesuatu yang "hanya diketahui melalui penyaksian langsung (shuhūd), bukan melalui definisi".² Oleh karena itu, karena ilmu dan klasifikasi ilmiah bersandar pada definisi, maka mahiyahlah yang menjadi dasar segala pengetahuan, bukan wujud.

5.2.       Argumentasi Ontologis: Esensi Terdiri Sebelum Eksistensi

Para pendukung Ashalah al-Mahiyah juga berargumen bahwa secara logis dan ontologis, esensi lebih dahulu hadir daripada eksistensi. Dalam kerangka berpikir mereka, sesuatu dapat dibayangkan (ma‘qūl) secara esensial meskipun tidak benar-benar ada dalam realitas eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa esensi memiliki keberadaan dalam akal (‘aql) tanpa harus eksis secara aktual

Contohnya, konsep seperti “kuda bersayap” atau “gunung emas” dapat dibayangkan dan dikenali esensinya, meskipun tidak ditemukan dalam kenyataan. Eksistensinya mungkin nihil, tetapi esensinya tetap memiliki struktur konseptual yang utuh. Maka, wujud hanyalah status kontingen yang ditambahkan kepada esensi—bukan sesuatu yang inheren.⁴

5.3.       Argumentasi Epistemologis: Mahiyah sebagai Dasar Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan, dalam tradisi klasik, disusun atas dasar klasifikasi dan kategorisasi terhadap objek-objek berdasarkan esensinya. Dalam filsafat Islam, pengetahuan terhadap sesuatu diperoleh melalui pemahaman terhadap esensinya, bukan terhadap eksistensinya. Eksistensi tidak dapat ditangkap secara universal, melainkan hanya partikular dan aktual.⁵

Suhrawardi dengan tegas menolak anggapan bahwa wujud dapat dijadikan objek pengetahuan yang valid. Ia menyatakan bahwa konsep wujud hanyalah abstraksi iʿtibārī dalam pikiran manusia, tanpa keberadaan nyata. Maka, yang menjadi dasar bangunan pengetahuan adalah mahiyah, karena ia terdefinisi dan tetap.⁶

5.4.       Argumentasi Teologis: Tuhan sebagai Wujud Murni

Meskipun Tuhan dalam pandangan filsafat Islam dikategorikan sebagai entitas yang eksistensinya identik dengan esensinya (wājib al-wujūd bi dhātih), para pendukung Ashalah al-Mahiyah justru menggunakannya untuk menegaskan keunikan Tuhan dan keterbatasan makhluk. Mereka menyatakan bahwa hanya Tuhan yang esensinya mengandung eksistensi secara niscaya.⁷

Sebaliknya, semua makhluk lainnya memiliki esensi yang terpisah dari eksistensi. Hal ini memperkuat klaim bahwa esensi adalah dasar dari entitas makhluk, sedangkan eksistensi bergantung pada pemberian Tuhan. Esensi menjadi sesuatu yang tetap, sementara wujud adalah efek kausal dari sumber wujud (Tuhan).⁸


Penutup Sementara

Argumen-argumen filosofis di atas menunjukkan bahwa para pendukung Ashalah al-Mahiyah tidak hanya menyusun teori ini secara spekulatif, tetapi mendasarkannya pada landasan epistemologis, ontologis, dan logis yang kokoh. Meskipun akhirnya teori ini digugat oleh pandangan Ashalah al-Wujud, tetapi kontribusinya dalam membangun sistem filsafat Islam klasik tidak dapat dipandang remeh. Ia memberikan titik tolak penting dalam pemahaman tentang struktur realitas dan cara berpikir filosofis terhadap eksistensi makhluk.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 80.

[2]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 107.

[3]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 24–26.

[4]                Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 28.

[5]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), 88.

[6]                Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 119.

[7]                S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 52.

[8]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 128.


6.           Kontraposisi: Ashalah al-Wujud (Primordialitas Eksistensi)

Sebagai respons kritis terhadap teori Ashalah al-Mahiyah, muncul suatu revolusi filosofis dalam wacana filsafat Islam yang dikenal dengan nama Ashalah al-Wujūd (أصالة الوجود), atau primordialitas eksistensi. Teori ini secara mendalam dikembangkan oleh Sadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra, 1571–1640 M), seorang filsuf besar dari Persia yang menggabungkan unsur-unsur filsafat Peripatetik, iluminasi, dan sufisme ke dalam sistem filsafatnya yang dikenal sebagai al-ḥikmah al-muta‘āliyah (filsafat teosofi transendental).

Dalam kerangka Ashalah al-Wujūd, Sadra menegaskan bahwa yang memiliki realitas sejati adalah eksistensi (wujūd), bukan esensi (mahiyah). Esensi hanyalah konstruksi mental (iʿtibārī) yang tidak memiliki realitas eksternal, sementara eksistensi adalah satu-satunya unsur aktual dalam wujud segala sesuatu.¹

6.1.       Eksistensi sebagai Realitas Dinamis dan Bertingkat (Tashkīk al-Wujūd)

Salah satu pilar utama dalam teori Ashalah al-Wujūd adalah konsep gradasi eksistensi (tashkīk al-wujūd). Mulla Sadra menolak pandangan esensialis yang statis dan sebaliknya memandang eksistensi sebagai realitas yang bertingkat secara hierarkis dan kontinu, mulai dari tingkat eksistensi paling rendah (materi) hingga yang paling sempurna (Tuhan).²

Dalam pandangannya, perbedaan antar makhluk bukanlah karena perbedaan esensi yang tetap, tetapi karena intensitas dan kelembutan eksistensi yang berbeda.³ Oleh karena itu, segala sesuatu adalah wujud, namun berbeda dalam derajat realitasnya—sebuah argumen yang tidak mungkin dijelaskan melalui kerangka mahiyah yang bersifat tetap dan diskret.

6.2.       Kritik terhadap Esensialisme: Mahiyah Tidak Memiliki Realitas Eksternal

Mulla Sadra mengkritik keras posisi Ashalah al-Mahiyah dengan menyatakan bahwa esensi hanyalah representasi mental yang tidak memiliki eksistensi di luar pikiran. Dalam pandangannya, mahiyah tidak pernah eksis secara mandiri tanpa eksistensi. Eksistensi-lah yang mewujudkan dan mengaktualkan esensi dalam dunia nyata.⁴

Ia menjelaskan bahwa ketika kita menyatakan “manusia itu ada”, yang sesungguhnya kita maksud bukanlah bahwa “esensi manusia” itu hadir dalam kenyataan, melainkan bahwa eksistensi tertentu sedang mengaktualkan suatu esensi yang disebut manusia. Jadi, eksistensi bukan tambahan bagi esensi, melainkan fondasi bagi segala realitas.⁵

6.3.       Implikasi Metafisika dan Teologis

Pandangan Ashalah al-Wujūd memiliki implikasi metafisik yang revolusioner dalam tradisi filsafat Islam. Dengan menjadikan eksistensi sebagai realitas utama, Mulla Sadra membangun kosmologi yang berbasis pada intensitas keberadaan, bukan pada kategori-kategori esensi. Segala sesuatu dipandang sebagai bentuk dari realitas wujud yang satu namun bergradasi.⁶

Implikasi teologisnya juga signifikan: Tuhan, sebagai wujūd mutlaq (eksistensi absolut), berada di puncak hierarki eksistensi dan menjadi sumber bagi semua bentuk wujud lainnya. Ini mendukung konsep tauhid secara lebih dinamis dan eksistensial, bukan sekadar teoretis.⁷

6.4.       Ashalah al-Wujūd sebagai Kritik dan Transformasi atas Ashalah al-Mahiyah

Bagi Mulla Sadra, kesalahan mendasar dari pandangan Ashalah al-Mahiyah adalah bahwa ia hanya menyentuh permukaan realitas. Mahiyah bisa didefinisikan, tetapi tidak bisa menghadirkan realitas. Ia menyebut eksistensi sebagai “nur haqiqi” (cahaya hakiki) yang tidak bisa disamakan dengan konsep konseptual seperti esensi.⁸

Dengan kata lain, Sadra menggeser ontologi Islam dari paradigma “esensialisme rasional” menjadi “eksistensialisme spiritual-metafisik”. Ini menjadikan eksistensi bukan hanya lebih fundamental, tapi juga lebih relevan untuk menjelaskan dinamika realitas, perubahan, dan pengalaman transendental manusia.


Kesimpulan Sementara

Teori Ashalah al-Wujūd bukan hanya kritik atas Ashalah al-Mahiyah, tetapi merupakan transformasi mendalam dalam cara berpikir filsafat Islam. Ia membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dinamis, inklusif, dan spiritual tentang realitas. Namun, penting dicatat bahwa meskipun posisi Ashalah al-Mahiyah digugat oleh Mulla Sadra, teori tersebut tetap memiliki nilai historis dan filosofis dalam membentuk dialektika intelektual Islam klasik.


Footnotes

[1]                Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University Press, 1981), 15–16.

[2]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 46–47.

[3]                S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 112.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 283–284.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 91.

[6]                Mulla Sadra, Asfar al-Arba‘ah, ed. Allama Tabrizi (Tehran: Dar al-Ma‘arif al-Islamiyyah, 1981), vol. 1, 37.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 96–97.

[8]                Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of Suhrawardi’s Illuminationism,” Islamic Studies 32, no. 2 (1993): 208.


7.           Perbandingan Kritis: Ashalah al-Mahiyah vs Ashalah al-Wujud

Dalam diskursus filsafat Islam, perdebatan antara dua teori ontologis besar—Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi) dan Ashalah al-Wujūd (primordialitas eksistensi)—mewakili dua paradigma metafisika yang sangat berbeda dalam memahami hakikat realitas. Keduanya berselisih dalam menempatkan mana yang lebih mendasar dalam struktur wujud: esensi yang tetap dan dapat dipahami secara konseptual, atau eksistensi yang aktual dan bersifat dinamis.

Analisis kritis terhadap kedua teori ini penting untuk menunjukkan bagaimana masing-masing memiliki kekuatan argumentatif, kelemahan filosofis, serta implikasi teologis dan epistemologis yang berbeda. Berikut ini adalah komparasi berdasarkan beberapa aspek penting:

7.1.       Ontologi: Mana yang Lebih Mendasar dalam Realitas?

Bagi pendukung Ashalah al-Mahiyah, seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi, esensi merupakan substratum ontologis dari segala sesuatu. Eksistensi hanyalah kondisi tambahan yang tidak inheren dalam sesuatu itu sendiri.¹ Oleh karena itu, realitas dipahami sebagai berbagai esensi yang kadang-kadang “menerima” eksistensi.

Sebaliknya, dalam Ashalah al-Wujūd, sebagaimana ditegaskan oleh Mulla Sadra, eksistensi adalah realitas yang paling fundamental, sedangkan esensi hanyalah abstraksi mental.² Realitas tidak dibentuk oleh struktur esensi yang statis, tetapi oleh eksistensi yang dinamis, bertingkat, dan terus berkembang.⁴

Esensi adalah bayangan wujud dalam akal,” kata Mulla Sadra. Dengan demikian, perbedaan mendasar ini menempatkan wujud sebagai entitas yang benar-benar menghadirkan realitas, bukan sekadar menjadi atributnya.³

7.2.       Epistemologi: Sumber Pengetahuan tentang Realitas

Ashalah al-Mahiyah menekankan pada kemampuan akal untuk mendefinisikan dan memahami hakikat sesuatu (mahiyah). Karena esensi dapat ditangkap secara konseptual dan diklasifikasikan, maka ia menjadi landasan epistemologis dalam ilmu pengetahuan.⁵

Namun, Ashalah al-Wujud menolak keandalan esensi sebagai realitas sejati. Dalam pandangan Mulla Sadra, pengetahuan sejati tentang wujud diperoleh melalui pengalaman intuitif dan eksistensial (kasyf dan shuhūd), bukan hanya dari abstraksi rasional.⁶ Ini merepresentasikan pergeseran dari epistemologi deduktif menuju pendekatan eksistensial dan iluminatif yang lebih dalam.

7.3.       Metafisika: Struktur dan Hirarki Alam Semesta

Dalam teori Ashalah al-Mahiyah, dunia dipahami sebagai kumpulan entitas yang berbeda berdasarkan esensinya. Setiap mahiyah adalah tetap, terpisah, dan dapat diidentifikasi melalui ciri khasnya.⁷ Hal ini menekankan klasifikasi dan pembedaan yang rigid.

Sebaliknya, Ashalah al-Wujūd melihat realitas sebagai satu kesatuan eksistensi yang bergradasi (tashkīk al-wujūd). Dunia bukan terdiri atas entitas-entitas yang diskret, tetapi merupakan gelombang wujud dari Yang Mahatinggi menuju tingkat eksistensi paling rendah.⁸ Ini memungkinkan pendekatan metafisika yang lebih holistik dan kosmologis dalam memaknai keterhubungan antara makhluk dan Tuhan.

7.4.       Teologi: Relasi Tuhan dan Makhluk

Dalam kerangka Ashalah al-Mahiyah, Tuhan adalah satu-satunya entitas yang eksistensinya identik dengan esensinya (wājib al-wujūd bi dhātih). Makhluk tidak demikian; esensinya terpisah dari eksistensinya dan hanya mendapatkan wujud melalui pemberian Tuhan.⁹

Di sisi lain, Ashalah al-Wujūd memperkuat transendensi dan immanensi Tuhan melalui doktrin bahwa segala eksistensi adalah pancaran (tajallī) dari wujud Tuhan. Tuhan adalah “wujud murni” (al-wujūd al-maḥḍ)”, dan seluruh realitas lain adalah partisipasi dalam eksistensi-Nya secara bertingkat.¹⁰ Dengan demikian, pendekatan ini mendekatkan metafisika kepada spiritualitas dan menumbuhkan dimensi sufistik dalam filsafat.

7.5.       Kritik dan Keseimbangan

Meskipun teori Ashalah al-Wujūd dinilai lebih unggul dalam menjelaskan dinamika realitas dan spiritualitas, kritik terhadapnya tetap muncul. Beberapa sarjana menilai pendekatan ini terlalu mistik dan kurang sistematis dalam menjelaskan struktur logis realitas. Sebaliknya, Ashalah al-Mahiyah dianggap terlalu rasional dan abstrak, sehingga tidak memadai untuk menjelaskan keberadaan secara eksistensial.¹¹

Karenanya, sejumlah filsuf dan pemikir kontemporer mencoba merekonsiliasi kedua pendekatan ini, dengan menegaskan pentingnya mahiyah dalam tataran epistemologis dan praktis, serta menjadikan wujud sebagai dasar ontologis dan spiritual.¹²


Kesimpulan Perbandingan

Perbandingan antara Ashalah al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd bukan sekadar pertentangan teknis dalam metafisika Islam, tetapi mencerminkan dua cara pandang yang berbeda dalam memahami realitas: antara pendekatan klasifikatif yang statis dan pendekatan eksistensial yang dinamis. Keduanya memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat Islam dan tetap relevan dalam perdebatan filsafat metafisika kontemporer.


Footnotes

[1]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 105.

[2]                Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University Press, 1981), 16–17.

[3]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 45.

[4]                S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 102–103.

[5]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), 85.

[6]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 285.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 81.

[8]                Mulla Sadra, Asfar al-Arba‘ah, ed. Allama Tabrizi (Tehran: Dar al-Ma‘arif al-Islamiyyah, 1981), vol. 1, 41.

[9]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 26.

[10]             Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of Suhrawardi’s Illuminationism,” Islamic Studies 32, no. 2 (1993): 210.

[11]             Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 30.

[12]             Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Aldershot: Ashgate, 2006), 79–80.


8.           Relevansi Kontemporer

Di tengah pesatnya perkembangan pemikiran filsafat modern dan postmodern, perdebatan klasik antara Ashalah al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd masih memiliki daya hidup filosofis dan signifikansi metodologis yang tidak bisa diabaikan. Meski lahir dari konteks metafisika Islam abad pertengahan, perbedaan antara primordialisasi esensi atau eksistensi menyentuh pertanyaan dasar yang terus dibahas dalam ontologi, epistemologi, etika, bahkan teori identitas dan humanisme dalam filsafat kontemporer.

8.1.       Relevansi dalam Ontologi Modern

Salah satu kontribusi penting dari perdebatan ini adalah bagaimana ia membuka ruang refleksi terhadap struktur dasar realitas. Dalam dunia filsafat Barat kontemporer, misalnya, muncul gagasan eksistensialisme sebagaimana dikembangkan oleh Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre, yang secara implisit memiliki resonansi dengan teori Ashalah al-Wujūd. Sartre, misalnya, menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, suatu ide yang secara ideologis dekat dengan posisi Mulla Sadra.¹

Namun demikian, ada pula arus filsafat analitik yang tetap menekankan pentingnya esensi dan kategorisasi dalam logika dan bahasa, yang lebih dekat dengan pendekatan Ashalah al-Mahiyah dalam menekankan peran konsep dan definisi sebagai dasar ilmu.² Oleh karena itu, kedua pendekatan metafisik ini dapat dianggap sebagai representasi awal dari dikotomi antara rasionalisme struktural dan eksistensialisme ontologis dalam diskursus modern.

8.2.       Relevansi dalam Wacana Identitas dan Manusia

Di era globalisasi dan pascamodernisme, konsep identitas menjadi isu penting, terutama dalam diskursus sosial dan politik. Pendekatan Ashalah al-Mahiyah yang melihat esensi sebagai elemen tetap dapat digunakan untuk membela gagasan fitrah manusia, stabilitas nilai-nilai moral, serta identitas teologis dalam konteks Islam.³ Pandangan ini membantu menjaga konsistensi pemahaman tentang manusia sebagai makhluk yang memiliki esensi bawaan, seperti akal, potensi moral, dan dimensi ruhani.

Sebaliknya, pendekatan Ashalah al-Wujūd dapat mendukung pemahaman manusia sebagai makhluk eksistensial yang terus tumbuh dan membentuk dirinya, sejalan dengan perkembangan spiritual dan pengalaman hidup.⁴ Ini sangat relevan dalam dunia yang cair dan dinamis, di mana identitas bersifat terbuka dan ditentukan secara performatif.

8.3.       Sumbangan bagi Pengembangan Filsafat Islam Kontemporer

Dalam konteks filsafat Islam kontemporer, studi terhadap Ashalah al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd mendorong kebangkitan pendekatan filosofis yang tidak terjebak dalam dualisme lama antara rasionalisme dan sufisme, tetapi justru mengintegrasikannya. Beberapa pemikir modern seperti Muhammad Husayn Tabataba’i, Allama Jafari, dan Murtadha Mutahhari mencoba membangun sistem filsafat integral dengan menjadikan ontologi eksistensial sebagai kerangka besar, namun tetap mempertahankan nilai-nilai esensial Islam.⁵

Bahkan di dunia akademik Barat, pemikiran Mulla Sadra tentang Ashalah al-Wujūd kini banyak diteliti dalam studi perbandingan filsafat eksistensial dan teologi proses.⁶ Sementara itu, penguatan kembali pada pendekatan mahiyah dapat berfungsi sebagai alat kritik terhadap relativisme ekstrem dalam pemikiran pascamodern yang kerap menolak hakikat-hakikat tetap.

8.4.       Refleksi terhadap Krisis Makna dan Etika Global

Dalam realitas global yang penuh ketidakpastian, krisis makna, dan kehampaan eksistensial, ontologi eksistensial Islam yang digagas oleh Ashalah al-Wujūd dapat menjadi alternatif spiritual yang otentik. Ia tidak hanya menjelaskan realitas secara metafisik, tetapi juga menghadirkan pengalaman eksistensi sebagai jalan menuju Tuhan—sebuah sintesis antara filsafat dan tasawuf.⁷

Sementara itu, Ashalah al-Mahiyah tetap memberikan fondasi penting untuk etika normatif, karena esensi memuat makna tetap tentang baik dan buruk, hak dan kewajiban, serta tujuan akhir manusia. Dalam hal ini, keduanya dapat dikontekstualisasikan secara sinergis untuk menjawab tantangan zaman.


Kesimpulan

Teori Ashalah al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd tidak hanya berfungsi sebagai warisan pemikiran historis, tetapi juga sebagai alat analisis konseptual dan kerangka reflektif untuk memahami berbagai persoalan filsafat kontemporer. Dalam dunia modern yang berada di antara pencarian makna dan kegamangan identitas, filsafat Islam klasik menunjukkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan besar tidak harus ditemukan dengan menolak tradisi, melainkan dengan menghidupkannya kembali secara kreatif dan kritis.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Willard Van Orman Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 114–117.

[3]                Murtadha Mutahhari, Man and Faith, trans. M. Qara’i (Qom: Islamic Seminary Publications, 1985), 27–30.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 48.

[5]                Muhammad Husayn Tabataba’i, Nihayah al-Hikmah (Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1984), 61–65.

[6]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realism and the Problem of Knowledge,” Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 27–53.

[7]                S.H. Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 116.


9.           Kesimpulan

Pembahasan mengenai Ashalah al-Mahiyah (primordialitas esensi) membuka cakrawala penting dalam memahami kerangka metafisika filsafat Islam klasik. Teori ini menempatkan esensi (mahiyah) sebagai unsur ontologis utama yang bersifat tetap, dapat dipahami secara rasional, dan menjadi dasar bagi pengetahuan manusia tentang realitas. Berakar kuat dalam pemikiran Ibnu Sina dan dikembangkan secara lebih radikal oleh Suhrawardi, teori ini membentuk kerangka berpikir esensialis yang sangat mempengaruhi diskursus filsafat Islam selama berabad-abad.¹

Melalui argumen-argumen konseptual, ontologis, epistemologis, dan teologis, para pendukung Ashalah al-Mahiyah menegaskan bahwa esensi mendahului eksistensi, baik dalam pemikiran maupun struktur realitas.² Namun, posisi ini tidak bebas dari kritik. Dengan munculnya pemikiran Mulla Sadra, terjadi transformasi besar dalam filsafat Islam melalui gagasan Ashalah al-Wujūd, yang menegaskan bahwa eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya, sedangkan esensi hanyalah abstraksi mental.³

Perbandingan antara kedua teori ini menunjukkan adanya pergeseran dari pendekatan yang statis dan logis menuju pendekatan yang dinamis dan eksistensial. Ashalah al-Mahiyah menawarkan kerangka yang kuat dalam bidang logika, klasifikasi ilmu, dan konsistensi ontologis, sedangkan Ashalah al-Wujūd memberikan pijakan untuk memahami gradasi realitas, transformasi spiritual, dan relasi antara wujud manusia dengan Tuhan.⁴

Dalam konteks kontemporer, kedua teori ini tetap relevan dan saling melengkapi. Ashalah al-Mahiyah penting dalam menjaga keutuhan konsep identitas, fitrah, dan nilai-nilai universal, sementara Ashalah al-Wujūd menyumbangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai dinamika eksistensi manusia, krisis makna, dan spiritualitas. Para pemikir kontemporer seperti Tabataba’i, Mutahhari, dan Kalin menunjukkan bahwa integrasi antara kedua pendekatan ini dapat menjadi dasar untuk membangun filsafat Islam modern yang kontekstual dan responsif terhadap tantangan zaman.⁵

Dengan demikian, studi tentang Ashalah al-Mahiyah tidak hanya penting untuk merekonstruksi sejarah pemikiran filsafat Islam, tetapi juga memberikan fondasi ontologis dan epistemologis yang dapat ditransformasikan ke dalam ranah pemikiran dan praksis kontemporer. Perdebatan klasik ini, alih-alih ditinggalkan, justru dapat menjadi ruang dialektika kreatif bagi pengembangan filsafat Islam yang lebih integral, spiritual, dan relevan secara global.


Footnotes

[1]                Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 100–102.

[2]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 22–26.

[3]                Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University Press, 1981), 17–20.

[4]                S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 111–113.

[5]                Muhammad Husayn Tabataba’i, Nihayah al-Hikmah (Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1984), 77–78; Murtadha Mutahhari, Man and Universe, trans. M. Qara’i (Tehran: Al-Tawhid Publications, 1990), 55; Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realism and the Problem of Knowledge,” Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 45–46.


Daftar Pustaka

Avicenna. (2005). Metaphysics of the Healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Izutsu, T. (2007). The concept and reality of existence. Islamic Book Trust.

Kalin, I. (2003). Mulla Sadra’s realism and the problem of knowledge. Islamic Studies, 42(1), 27–53.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Mulla Sadra. (1981). The wisdom of the throne: A translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah (J. W. Morris, Trans.). Princeton University Press.

Mulla Sadra. (1981). Asfar al-Arba‘ah (A. Tabrizi, Ed.). Dar al-Ma‘arif al-Islamiyyah.

Mutahhari, M. (1985). Man and faith (M. Qara’i, Trans.). Islamic Seminary Publications.

Mutahhari, M. (1990). Man and universe (M. Qara’i, Trans.). Al-Tawhid Publications.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy. Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Quine, W. V. O. (1980). From a logical point of view. Harvard University Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Sheikh, M. S. (1974). Studies in Muslim philosophy. Sh. Muhammad Ashraf.

Suhrawardi, S. al-D. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University Press.

Tabataba’i, M. H. (1984). Nihayah al-hikmah. Dar al-Kitab al-Islami.

Yazdi, M. H. (1980). Existence and quiddity: The controversy in Islamic metaphysics. Islamic Studies, 19(1), 21–35.

Yazdi, M. H. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University of New York Press.

Ziai, H. (1993). The source and nature of authority: A study of Suhrawardi’s illuminationism. Islamic Studies, 32(2), 201–215.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar