Ashalah al-Mahiyah
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Ashalah al-Wujūd (Primordialitas
Eksistensi)
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Ashalah
al-Mahiyah (primordialitas esensi) dalam filsafat Islam klasik sebagai
salah satu teori ontologis utama sebelum munculnya dominasi teori Ashalah
al-Wujūd (primordialitas eksistensi). Melalui pendekatan historis-filosofis
dan analisis konseptual, pembahasan ini menelusuri definisi dan relasi antara
esensi dan eksistensi, mendalami pokok-pokok pemikiran para pendukung Ashalah
al-Mahiyah seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi, serta menelaah argumen filosofis
yang mendasari supremasi esensi dalam struktur realitas. Kontraposisi dengan
Ashalah al-Wujūd yang digagas oleh Mulla Sadra dikaji secara kritis untuk
menunjukkan transformasi paradigma metafisika dalam filsafat Islam. Selain itu,
artikel ini juga mengeksplorasi relevansi kontemporer dari perdebatan ini dalam
wacana identitas, epistemologi, dan spiritualitas, serta menawarkan sintesis
integratif untuk menjembatani dua pendekatan tersebut. Kajian ini menunjukkan
bahwa perdebatan antara mahiyah dan wujūd tidak hanya berakar dalam sejarah
pemikiran Islam, tetapi juga tetap hidup sebagai fondasi konseptual dalam
menjawab tantangan filosofis dan teologis dunia modern.
Kata Kunci: Ashalah al-Mahiyah, Ashalah al-Wujūd, esensi,
eksistensi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra, filsafat Islam, ontologi,
metafisika.
PEMBAHASAN
Ashalah al-Mahiyah dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah filsafat Islam, kajian
ontologi—yaitu studi tentang keberadaan (being)—memegang posisi yang sangat
sentral. Salah satu perdebatan klasik dan mendalam dalam ranah ini adalah
mengenai mana yang lebih mendasar dalam realitas: esensi (mahiyah) atau eksistensi
(wujud). Pertanyaan ini bukan sekadar spekulatif, melainkan memiliki
implikasi serius terhadap pemahaman tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Perdebatan ini melahirkan dua kutub besar dalam filsafat Islam, yaitu Ashalah
al-Mahiyah (primordialitas esensi) dan Ashalah al-Wujud
(primordialitas eksistensi).
Konsep Ashalah al-Mahiyah menyatakan bahwa esensi
adalah realitas utama dari segala sesuatu, sementara eksistensi hanyalah
atribut aksidental yang melekat padanya. Dalam pandangan ini, esensi bersifat
tetap, dapat dikenali secara rasional, dan menjadi dasar dari klasifikasi dan
pengetahuan. Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat
Peripatetik (masya’i), khususnya dalam karya-karya Ibnu Sina (Avicenna),
dan kemudian dikembangkan secara lebih eksplisit oleh Syihabuddin Suhrawardi,
pendiri aliran filsafat iluminasi (hikmah isyraqiyah).¹
Sebaliknya, pandangan Ashalah al-Wujud, yang
secara radikal dikembangkan oleh Mulla Sadra (Sadruddin al-Shirazi),
menolak supremasi esensi dan menegaskan bahwa eksistensilah yang merupakan
realitas paling mendasar dan dinamis.² Namun sebelum munculnya revolusi
ontologis Mulla Sadra, paradigma Ashalah al-Mahiyah merupakan kerangka
dominan dalam pemikiran filsafat Islam, khususnya dalam upaya menjembatani
filsafat dengan teologi (kalam).
Mengangkat kembali pembahasan tentang Ashalah
al-Mahiyah menjadi penting, tidak hanya untuk memahami historisitas
perkembangan filsafat Islam, tetapi juga untuk membaca ulang dinamika internal
pemikiran metafisika Islam secara lebih kritis. Pemahaman terhadap teori ini
dapat membuka jalan bagi analisis yang lebih dalam tentang bagaimana umat Islam
memaknai keberadaan, serta sejauh mana konsep esensi dapat dijadikan landasan
epistemologis dan kosmologis dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah konsep Ashalah
al-Mahiyah secara sistematis, mulai dari definisi, argumen filosofis,
tokoh-tokoh yang mendukungnya, hingga perbandingannya dengan teori Ashalah
al-Wujud. Dengan pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual,
diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi terhadap wacana keilmuan
dalam bidang filsafat Islam secara akademis dan objektif.
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 2–5.
[2]
Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A
Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton:
Princeton University Press, 1981), 10–14.
2.
Pengertian
Mahiyah (Esensi) dan Wujud (Eksistensi)
Dalam filsafat Islam klasik, dua konsep fundamental
yang menjadi poros perdebatan ontologis adalah mahiyah (esensi) dan wujud
(eksistensi). Keduanya digunakan untuk memahami realitas segala sesuatu yang
ada, namun menempati posisi yang berbeda dalam struktur ontologis.
Secara terminologis, mahiyah berasal dari
pertanyaan "ma huwa?" (apa itu?), sehingga secara literal
berarti “apakah sesuatu itu” atau “hakikat sesuatu”⁽¹⁾.
Mahiyah merujuk pada quiddity—yakni sifat dasar atau inti yang membuat
sesuatu menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain. Misalnya, mahiyah dari
"kuda" adalah ciri-ciri universal yang membedakan kuda dari makhluk
lainnya, tanpa memperhitungkan apakah kuda itu benar-benar eksis atau tidak
dalam kenyataan empiris. Dalam hal ini, mahiyah bersifat intelektual dan
universal, dapat didefinisikan secara konseptual, serta ada dalam pikiran
walaupun belum teraktualkan secara eksternal.⁽²⁾
Sebaliknya, wujud atau eksistensi merupakan aktualitas
dari sesuatu, yaitu fakta bahwa sesuatu itu ada dalam realitas konkret.
Wujud adalah prinsip kehadiran dalam kenyataan eksternal yang tidak dapat
ditangkap oleh definisi konseptual, tetapi hanya dapat diketahui melalui
kehadirannya. Mulla Sadra menggambarkan wujud sebagai "sinar aktualitas"
yang dengannya segala sesuatu memperoleh realitas aktualnya.⁽³⁾
Menurut Ibnu Sina, seorang tokoh utama
filsafat Islam, mahiyah dan wujud adalah dua aspek yang terpisah.
Dalam entitas selain Tuhan, mahiyah tidak secara inheren mengandung wujud—artinya,
sesuatu bisa dipahami esensinya tanpa memastikan eksistensinya.⁽⁴⁾ Sebagai
contoh, kita dapat memikirkan tentang "naga" atau "kuda
bersayap" secara esensial, tetapi belum tentu entitas tersebut ada
dalam kenyataan. Oleh karena itu, bagi Ibnu Sina, eksistensi merupakan sesuatu
yang “ditambahkan” (za'id) pada esensi dan bukan bagian intrinsik
darinya.
Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya, para
filsuf seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra mengambil sikap yang
berbeda dalam memahami relasi antara mahiyah dan wujud. Suhrawardi cenderung
memperkukuh posisi mahiyah sebagai pusat realitas dan menganggap wujud sebagai
sesuatu yang hanya bersifat konseptual dan tidak nyata secara mandiri⁽⁵⁾.
Sebaliknya, Mulla Sadra melakukan revolusi filosofis dengan menegaskan bahwa
wujudlah yang nyata secara objektif, sementara mahiyah hanyalah manifestasi
konseptual dari realitas wujud itu sendiri.⁽⁶⁾
Dalam konteks Ashalah al-Mahiyah, esensi
dipandang sebagai entitas tetap yang mendasari segala hal. Mahiyah bukan hanya
sekadar atribut definisional, melainkan dianggap sebagai realitas sejati yang
melekat dalam segala bentuk keberadaan. Wujud hanya menjadi sesuatu yang aksidental
(aradh), yang menempel pada mahiyah untuk menjadikannya aktual. Konsepsi ini
mendasari kerangka pemikiran metafisik Suhrawardi dan sebagian besar pemikir
iluminasionis.
Dengan memahami perbedaan mendasar antara mahiyah
dan wujud, kita dapat menelusuri lebih dalam mengapa terjadi perdebatan
mengenai mana yang lebih fundamental dalam realitas metafisis, dan bagaimana
perbedaan pandangan ini berpengaruh terhadap sistem filsafat yang dikembangkan
oleh masing-masing pemikir.
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 10.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
86–87.
[3]
Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A
Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton:
Princeton University Press, 1981), 13.
[4]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 82.
[5]
Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of
Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young
University Press, 1999), 111–113.
[6]
S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His
Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy,
1978), 102.
3.
Konsep
Ashalah al-Mahiyah: Pengertian dan Pokok-Pokok Pemikiran
Konsep Ashalah al-Mahiyah (أصالة الماهية),
atau primordialitas esensi, merupakan salah satu teori penting dalam
wacana metafisika Islam klasik. Istilah ashalah secara etimologis
berarti keaslian atau keprimordialan, yakni sesuatu yang berdiri sendiri dan
menjadi dasar atau sumber bagi yang lainnya. Dalam konteks filsafat, ketika
dikatakan bahwa sesuatu itu ashil, berarti ia merupakan realitas yang
independen dan objektif. Dengan demikian, Ashalah al-Mahiyah menyatakan
bahwa esensi (mahiyah) adalah unsur yang paling mendasar dalam struktur
realitas, sedangkan eksistensi (wujud) hanya merupakan tambahan aksidental
atau sesuatu yang bersifat sekunder.¹
Pandangan ini memiliki akar kuat dalam pemikiran filsafat
Peripatetik Islam, khususnya dalam filsafat Ibnu Sina (Avicenna).
Bagi Ibnu Sina, mahiyah dan wujud adalah dua aspek yang dapat
dibedakan secara konseptual dan aktual. Ia menegaskan bahwa dalam entitas
kontingen (mumkin al-wujud), esensi tidak mengharuskan eksistensi. Artinya,
sesuatu dapat dipahami secara esensial tanpa mengharuskan bahwa ia benar-benar
ada. Dengan demikian, eksistensi adalah sesuatu yang “dianugerahkan” kepada
esensi dari luar, melalui sebab atau kausalitas.²
Dalam kerangka Ashalah al-Mahiyah,
eksistensi dianggap sebagai fenomena mental (i’tibari) yang tidak memiliki
realitas objektif. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh Syihabuddin
Suhrawardi, pendiri filsafat iluminasi (hikmah isyraqiyah), yang secara
eksplisit menolak realitas eksistensi eksternal. Menurut Suhrawardi, yang nyata
bukanlah wujud, melainkan mahiyah yang diterangi oleh cahaya nur ilahi.
Eksistensi hanyalah suatu abstraksi rasional yang digunakan untuk menjelaskan
kondisi keberadaan suatu esensi, tetapi tidak memiliki entitas sendiri di luar
pikiran.³
Pokok-pokok pemikiran utama dalam Ashalah
al-Mahiyah dapat dirangkum sebagai berikut:
1)
Esensi bersifat tetap dan dapat didefinisikan secara rasional.
Ia tidak
tergantung pada eksistensi dan dapat dibayangkan secara intelektual, bahkan
ketika tidak ada realitas aktual yang merepresentasikannya.⁴
2)
Eksistensi hanyalah aksiden atau tambahan terhadap esensi.
Ia tidak
berdiri sendiri, melainkan bergantung pada esensi untuk memperoleh bentuk dan
batasnya.⁵
3)
Esensi merupakan pusat klasifikasi ontologis.
Segala
sesuatu dikenali dan diklasifikasikan berdasarkan esensinya, bukan
eksistensinya. Dalam pengertian ini, ilmu pengetahuan bersandar pada mahiyah
karena ia adalah objek pemikiran yang rasional dan tetap.⁶
4)
Esensi merupakan entitas yang dijadikan objek pembicaraan dalam logika
dan ilmu-ilmu filosofis.
Konsep-konsep
universal yang digunakan dalam silogisme logika, definisi, dan argumen teoretis
semua bertumpu pada pemahaman tentang esensi.
Secara umum, teori Ashalah al-Mahiyah memberikan
penekanan pada stabilitas dan kejelasan konseptual. Dalam dunia yang
dipenuhi perubahan, pemikiran ini berusaha menemukan elemen yang tetap dan
dapat ditangkap secara rasional. Hal ini sangat kontras dengan pendekatan Mulla
Sadra yang menekankan pada eksistensi sebagai unsur yang dinamis dan
bergradasi.⁷
Meskipun akhirnya banyak filsuf Islam setelah Mulla
Sadra berpindah kepada teori Ashalah al-Wujud, namun pandangan tentang
primordialitas esensi tetap menjadi titik awal penting dalam pemahaman ontologi
Islam klasik dan memberikan warisan intelektual yang kaya untuk diskursus
metafisika.
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 15–16.
[2]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005),
99–101.
[3]
Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of
Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young
University Press, 1999), 115–118.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 72.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The
Controversy in Islamic Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980):
25.
[6]
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy
(Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), 83.
[7]
S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His
Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy,
1978), 97–98.
4.
Tokoh-Tokoh
Pendukung Ashalah al-Mahiyah
Teori Ashalah
al-Mahiyah memiliki akar yang kuat dalam tradisi filsafat Islam
klasik, terutama sebelum munculnya arus besar Transcendent Theosophy (al-ḥikmah
al-muta‘āliyah) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra. Tokoh-tokoh utama pendukung
teori ini—baik secara eksplisit maupun implisit—adalah para filsuf besar yang
mewarisi tradisi filsafat Yunani dan mengintegrasikannya dengan kerangka
pemikiran Islam. Dua figur paling berpengaruh dalam mengembangkan teori primordialitas
esensi adalah Ibnu Sina (Avicenna) dan Syihabuddin
Suhrawardi.
4.1. Ibnu Sina (980–1037 M)
Ibnu Sina, atau
dikenal di Barat sebagai Avicenna, adalah tokoh sentral dalam filsafat Peripatetik
Islam yang memberikan fondasi kuat bagi pandangan Ashalah
al-Mahiyah. Dalam karyanya Al-Syifa’ dan Al-Najah,
Ibnu Sina membedakan secara jelas antara mahiyah dan wujud
dalam ontologi. Ia menyatakan bahwa dalam makhluk kontingen (mumkin al-wujud),
esensi dapat dibayangkan tanpa eksistensi, dan karena itu eksistensi bukanlah
bagian hakiki dari sesuatu, melainkan ditambahkan dari luar melalui
kausalitas.¹
Ibnu Sina menegaskan
bahwa esensi memiliki status epistemologis yang utama karena ia dapat dikenali,
diklasifikasikan, dan digunakan sebagai dasar pengetahuan. Eksistensi tidak
dapat ditangkap secara definisional, sementara esensi dapat ditentukan secara
konseptual melalui taʿrīf. Dengan kata lain, wujud
tidak mempunyai nilai independen sebagai realitas objektif, kecuali jika
disandarkan pada esensi.²
Selain itu, dalam
kerangka metafisika Ibnu Sina, hanya Tuhan yang eksistensinya identik dengan
esensinya (wājib al-wujūd bi dhātih), sedangkan selain-Nya eksistensinya
bergantung pada pemberian (ʿaṭāʾ) wujud dari luar dirinya. Ini memperkuat
posisi esensi sebagai substratum utama bagi seluruh entitas yang ada.³
4.2. Syihabuddin Suhrawardi (1154–1191 M)
Tokoh penting
berikutnya yang mengukuhkan teori Ashalah al-Mahiyah adalah Syihabuddin
Suhrawardi, pendiri filsafat iluminasi (ḥikmat
al-ishrāq). Berbeda dari filsafat Peripatetik yang cenderung
rasionalistik, Suhrawardi memperkenalkan filsafat yang berlandaskan pada
intuisi spiritual dan cahaya sebagai metafora utama realitas. Namun demikian,
dalam hal relasi antara esensi dan eksistensi, Suhrawardi mengambil posisi yang
tegas: ia
menolak realitas independen eksistensi dan mendukung keprimordialan esensi.⁴
Menurut Suhrawardi,
eksistensi bukanlah entitas yang nyata secara eksternal, melainkan hanya sebuah
konstruksi konseptual yang digunakan oleh para Peripatetik. Ia menyatakan bahwa
eksistensi itu bersifat iʿtibārī (konseptual semata) dan tidak memiliki
realitas mandiri. Sebaliknya, mahiyah atau hakikat-lah yang
benar-benar hadir dalam wujud ontologis sebagai cerminan dari cahaya Tuhan.⁵
Suhrawardi juga
mengkritik keras filsafat eksistensialis awal dan menyatakan bahwa "al-wujud
lā ḥaqīqata lah" (eksistensi tidak memiliki realitas sejati),
sebuah pernyataan yang menandai perbedaan mendasar antara aliran iluminasi dan
arus eksistensial dalam filsafat Islam.⁶ Dengan demikian, Suhrawardi memperkuat
argumen bahwa segala sesuatu yang eksis pada dasarnya adalah manifestasi dari
esensi yang tercerahkan oleh cahaya Ilahi, bukan karena eksistensinya sebagai
entitas berdiri sendiri.
4.3. Tokoh-Tokoh Pendukung Lain (Implisit)
Selain Ibnu Sina dan
Suhrawardi, beberapa tokoh seperti Al-Farabi dan Fakhruddin
al-Razi juga dianggap secara implisit memberikan landasan bagi
paradigma Ashalah al-Mahiyah, meskipun mereka tidak mengembangkan sistematika
teorinya secara eksplisit. Al-Farabi, misalnya, sangat menekankan pada struktur
mahiyah dalam pembahasan logika dan metafisika, menjadikan esensi sebagai dasar
dari segala kategori ilmu dan klasifikasi realitas.⁷
Secara keseluruhan,
para pendukung Ashalah al-Mahiyah meletakkan fondasi pemikiran ontologis yang
berbasis pada rasionalitas dan stabilitas konsep, menjadikan esensi sebagai
inti dari pemahaman metafisis terhadap segala sesuatu. Mereka bersepakat bahwa
eksistensi tidak dapat dijadikan realitas primer karena sifatnya yang tidak
dapat dijelaskan secara konseptual maupun didefinisikan secara logis.
Footnotes
[1]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 105–107.
[2]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 20–23.
[3]
Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic
Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 27.
[4]
Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination,
trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press,
1999), 112–117.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–94.
[6]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 127.
[7]
Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1969), 45–46.
5.
Argumen-argumen
Filosofis Pendukung Ashalah al-Mahiyah
Pandangan Ashalah
al-Mahiyah menegaskan bahwa esensi (mahiyah) merupakan
entitas yang paling mendasar dalam struktur realitas, sementara eksistensi
(wujud) hanya merupakan tambahan konseptual dan tidak memiliki
realitas objektif yang independen. Para pendukung pandangan ini, seperti Ibnu
Sina dan Suhrawardi, tidak hanya menyajikan kerangka metafisika, tetapi juga
membangun sejumlah argumen filosofis yang kuat
untuk mendukung posisi tersebut. Berikut adalah beberapa argumen pokok yang
menjadi pilar penegasan terhadap keprimordialan esensi:
5.1. Argumentasi Konseptual: Esensi Dapat Didefinisikan,
Eksistensi Tidak
Salah satu argumen
utama para pendukung Ashalah al-Mahiyah adalah bahwa esensi
dapat didefinisikan secara rasional, sedangkan eksistensi
tidak. Dalam tradisi logika Aristotelian yang diadopsi oleh para filsuf Islam,
sesuatu dikatakan real apabila dapat dirumuskan secara konseptual melalui
definisi (ḥadd) dan genus-diferensia (jins wa faṣl). Esensi memenuhi kriteria
ini karena ia memiliki batasan konseptual yang tetap. Sebaliknya, eksistensi
tidak dapat dimasukkan ke dalam definisi karena sifatnya yang tidak terbatas
dan tidak dapat diklasifikasi.¹
Menurut Ibnu
Sina, eksistensi adalah sesuatu yang "hanya
diketahui melalui penyaksian langsung (shuhūd), bukan melalui definisi".²
Oleh karena itu, karena ilmu dan klasifikasi ilmiah bersandar pada definisi,
maka mahiyahlah yang menjadi dasar segala pengetahuan, bukan wujud.
5.2. Argumentasi Ontologis: Esensi Terdiri Sebelum
Eksistensi
Para pendukung
Ashalah al-Mahiyah juga berargumen bahwa secara logis dan ontologis, esensi lebih dahulu hadir
daripada eksistensi. Dalam kerangka berpikir mereka, sesuatu
dapat dibayangkan (ma‘qūl) secara esensial meskipun tidak benar-benar ada dalam
realitas eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa esensi memiliki keberadaan dalam akal (‘aql)
tanpa harus eksis secara aktual.³
Contohnya, konsep
seperti “kuda bersayap” atau “gunung emas” dapat dibayangkan dan
dikenali esensinya, meskipun tidak ditemukan dalam kenyataan. Eksistensinya
mungkin nihil, tetapi esensinya tetap memiliki struktur konseptual yang utuh.
Maka, wujud hanyalah status kontingen yang ditambahkan kepada esensi—bukan
sesuatu yang inheren.⁴
5.3. Argumentasi Epistemologis: Mahiyah sebagai Dasar
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan,
dalam tradisi klasik, disusun atas dasar klasifikasi dan kategorisasi terhadap
objek-objek berdasarkan esensinya. Dalam filsafat Islam, pengetahuan
terhadap sesuatu diperoleh melalui pemahaman terhadap esensinya, bukan terhadap
eksistensinya. Eksistensi tidak dapat ditangkap secara
universal, melainkan hanya partikular dan aktual.⁵
Suhrawardi
dengan tegas menolak anggapan bahwa wujud dapat dijadikan objek pengetahuan
yang valid. Ia menyatakan bahwa konsep wujud hanyalah abstraksi
iʿtibārī dalam pikiran manusia, tanpa keberadaan nyata. Maka,
yang menjadi dasar bangunan pengetahuan adalah mahiyah, karena ia terdefinisi
dan tetap.⁶
5.4. Argumentasi Teologis: Tuhan sebagai Wujud Murni
Meskipun Tuhan dalam
pandangan filsafat Islam dikategorikan sebagai entitas yang eksistensinya
identik dengan esensinya (wājib al-wujūd bi dhātih), para pendukung Ashalah
al-Mahiyah justru menggunakannya untuk menegaskan keunikan
Tuhan dan keterbatasan makhluk. Mereka menyatakan bahwa hanya
Tuhan yang esensinya mengandung eksistensi secara niscaya.⁷
Sebaliknya, semua
makhluk lainnya memiliki esensi yang terpisah dari eksistensi. Hal
ini memperkuat klaim bahwa esensi adalah dasar dari entitas makhluk,
sedangkan eksistensi bergantung pada pemberian Tuhan. Esensi menjadi sesuatu
yang tetap, sementara wujud adalah efek kausal dari sumber wujud (Tuhan).⁸
Penutup Sementara
Argumen-argumen
filosofis di atas menunjukkan bahwa para pendukung Ashalah al-Mahiyah tidak
hanya menyusun teori ini secara spekulatif, tetapi mendasarkannya pada landasan
epistemologis, ontologis, dan logis yang kokoh. Meskipun
akhirnya teori ini digugat oleh pandangan Ashalah al-Wujud, tetapi
kontribusinya dalam membangun sistem filsafat Islam klasik tidak dapat dipandang
remeh. Ia memberikan titik tolak penting dalam pemahaman tentang struktur
realitas dan cara berpikir filosofis terhadap eksistensi makhluk.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 80.
[2]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 107.
[3]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 24–26.
[4]
Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic
Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 28.
[5]
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf, 1974), 88.
[6]
Syihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination,
trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press,
1999), 119.
[7]
S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 52.
[8]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 128.
6.
Kontraposisi:
Ashalah al-Wujud (Primordialitas Eksistensi)
Sebagai respons
kritis terhadap teori Ashalah al-Mahiyah, muncul
suatu revolusi filosofis dalam wacana filsafat Islam yang dikenal dengan nama Ashalah
al-Wujūd (أصالة الوجود), atau primordialitas eksistensi. Teori
ini secara mendalam dikembangkan oleh Sadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra, 1571–1640
M), seorang filsuf besar dari Persia yang menggabungkan
unsur-unsur filsafat Peripatetik, iluminasi, dan sufisme ke dalam sistem
filsafatnya yang dikenal sebagai al-ḥikmah al-muta‘āliyah (filsafat
teosofi transendental).
Dalam kerangka Ashalah
al-Wujūd, Sadra menegaskan bahwa yang memiliki realitas
sejati adalah eksistensi (wujūd), bukan esensi (mahiyah).
Esensi hanyalah konstruksi mental (iʿtibārī) yang tidak memiliki realitas
eksternal, sementara eksistensi adalah satu-satunya unsur aktual dalam wujud
segala sesuatu.¹
6.1. Eksistensi sebagai Realitas Dinamis dan Bertingkat
(Tashkīk al-Wujūd)
Salah satu pilar
utama dalam teori Ashalah al-Wujūd adalah konsep gradasi
eksistensi (tashkīk al-wujūd). Mulla Sadra menolak pandangan
esensialis yang statis dan sebaliknya memandang eksistensi sebagai realitas
yang bertingkat secara hierarkis dan kontinu, mulai dari
tingkat eksistensi paling rendah (materi) hingga yang paling sempurna (Tuhan).²
Dalam pandangannya,
perbedaan antar makhluk bukanlah karena perbedaan esensi yang tetap, tetapi
karena intensitas
dan kelembutan eksistensi yang berbeda.³ Oleh karena itu,
segala sesuatu adalah wujud, namun berbeda dalam derajat realitasnya—sebuah
argumen yang tidak mungkin dijelaskan melalui kerangka mahiyah yang bersifat
tetap dan diskret.
6.2. Kritik terhadap Esensialisme: Mahiyah Tidak
Memiliki Realitas Eksternal
Mulla Sadra
mengkritik keras posisi Ashalah al-Mahiyah dengan menyatakan bahwa esensi
hanyalah representasi mental yang tidak memiliki eksistensi di
luar pikiran. Dalam pandangannya, mahiyah tidak pernah eksis secara mandiri tanpa
eksistensi. Eksistensi-lah yang mewujudkan dan mengaktualkan
esensi dalam dunia nyata.⁴
Ia menjelaskan bahwa
ketika kita menyatakan “manusia itu ada”, yang sesungguhnya kita maksud
bukanlah bahwa “esensi manusia” itu hadir dalam kenyataan, melainkan
bahwa eksistensi tertentu sedang mengaktualkan suatu esensi yang disebut
manusia. Jadi, eksistensi bukan tambahan bagi esensi,
melainkan fondasi bagi segala realitas.⁵
6.3. Implikasi Metafisika dan Teologis
Pandangan Ashalah
al-Wujūd memiliki implikasi metafisik yang revolusioner
dalam tradisi filsafat Islam. Dengan menjadikan eksistensi sebagai realitas
utama, Mulla Sadra membangun kosmologi yang berbasis pada intensitas keberadaan,
bukan pada kategori-kategori esensi. Segala sesuatu dipandang sebagai bentuk
dari realitas wujud yang satu namun bergradasi.⁶
Implikasi
teologisnya juga signifikan: Tuhan, sebagai wujūd mutlaq (eksistensi absolut),
berada di puncak hierarki eksistensi dan menjadi sumber bagi semua bentuk wujud
lainnya. Ini mendukung konsep tauhid secara lebih dinamis dan eksistensial,
bukan sekadar teoretis.⁷
6.4. Ashalah al-Wujūd sebagai Kritik dan Transformasi
atas Ashalah al-Mahiyah
Bagi Mulla Sadra,
kesalahan mendasar dari pandangan Ashalah al-Mahiyah adalah bahwa ia hanya
menyentuh permukaan realitas. Mahiyah bisa didefinisikan, tetapi tidak bisa menghadirkan
realitas. Ia menyebut eksistensi sebagai “nur haqiqi” (cahaya hakiki)
yang tidak bisa disamakan dengan konsep konseptual seperti esensi.⁸
Dengan kata lain,
Sadra menggeser ontologi Islam dari paradigma “esensialisme rasional”
menjadi “eksistensialisme spiritual-metafisik”. Ini menjadikan
eksistensi bukan hanya lebih fundamental, tapi juga lebih relevan untuk
menjelaskan dinamika realitas, perubahan, dan pengalaman transendental manusia.
Kesimpulan Sementara
Teori Ashalah
al-Wujūd bukan hanya kritik atas Ashalah al-Mahiyah, tetapi
merupakan transformasi mendalam dalam cara berpikir
filsafat Islam. Ia membuka jalan bagi pemahaman yang lebih
dinamis, inklusif, dan spiritual tentang realitas. Namun, penting dicatat bahwa
meskipun posisi Ashalah al-Mahiyah digugat oleh Mulla Sadra, teori tersebut
tetap memiliki nilai historis dan filosofis dalam membentuk dialektika
intelektual Islam klasik.
Footnotes
[1]
Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat
al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University
Press, 1981), 15–16.
[2]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 46–47.
[3]
S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 112.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 283–284.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: State University of New York Press, 1992), 91.
[6]
Mulla Sadra, Asfar al-Arba‘ah, ed. Allama Tabrizi (Tehran: Dar
al-Ma‘arif al-Islamiyyah, 1981), vol. 1, 37.
[7]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 96–97.
[8]
Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of
Suhrawardi’s Illuminationism,” Islamic Studies 32, no. 2 (1993): 208.
7.
Perbandingan
Kritis: Ashalah al-Mahiyah vs Ashalah al-Wujud
Dalam diskursus
filsafat Islam, perdebatan antara dua teori ontologis besar—Ashalah
al-Mahiyah (primordialitas esensi) dan Ashalah
al-Wujūd (primordialitas eksistensi)—mewakili dua paradigma
metafisika yang sangat berbeda dalam memahami hakikat realitas. Keduanya
berselisih dalam menempatkan mana yang lebih mendasar dalam struktur wujud: esensi
yang tetap dan dapat dipahami secara konseptual, atau eksistensi
yang aktual dan bersifat dinamis.
Analisis kritis
terhadap kedua teori ini penting untuk menunjukkan bagaimana masing-masing
memiliki kekuatan argumentatif, kelemahan filosofis, serta implikasi teologis
dan epistemologis yang berbeda. Berikut ini adalah komparasi berdasarkan
beberapa aspek penting:
7.1. Ontologi: Mana yang Lebih Mendasar dalam Realitas?
Bagi pendukung
Ashalah al-Mahiyah, seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi, esensi
merupakan substratum ontologis dari segala sesuatu. Eksistensi hanyalah kondisi
tambahan yang tidak inheren dalam sesuatu itu sendiri.¹ Oleh karena itu, realitas
dipahami sebagai berbagai esensi yang kadang-kadang “menerima”
eksistensi.
Sebaliknya, dalam Ashalah
al-Wujūd, sebagaimana ditegaskan oleh Mulla Sadra, eksistensi
adalah realitas
yang paling fundamental, sedangkan esensi hanyalah abstraksi
mental.² Realitas tidak dibentuk oleh struktur esensi yang statis, tetapi oleh
eksistensi yang dinamis, bertingkat, dan terus berkembang.⁴
“Esensi adalah
bayangan wujud dalam akal,” kata Mulla Sadra. Dengan demikian, perbedaan
mendasar ini menempatkan wujud sebagai entitas yang benar-benar menghadirkan
realitas, bukan sekadar menjadi atributnya.³
7.2. Epistemologi: Sumber Pengetahuan tentang Realitas
Ashalah al-Mahiyah
menekankan pada kemampuan akal untuk mendefinisikan dan
memahami hakikat sesuatu (mahiyah). Karena esensi dapat
ditangkap secara konseptual dan diklasifikasikan, maka ia menjadi landasan
epistemologis dalam ilmu pengetahuan.⁵
Namun, Ashalah
al-Wujud menolak keandalan esensi sebagai realitas sejati. Dalam pandangan
Mulla Sadra, pengetahuan sejati tentang wujud diperoleh
melalui pengalaman intuitif dan eksistensial (kasyf dan shuhūd),
bukan hanya dari abstraksi rasional.⁶ Ini merepresentasikan pergeseran dari
epistemologi deduktif menuju pendekatan eksistensial dan iluminatif yang lebih
dalam.
7.3. Metafisika: Struktur dan Hirarki Alam Semesta
Dalam teori Ashalah
al-Mahiyah, dunia dipahami sebagai kumpulan entitas yang berbeda berdasarkan
esensinya. Setiap mahiyah adalah tetap, terpisah, dan dapat diidentifikasi
melalui ciri khasnya.⁷ Hal ini menekankan klasifikasi dan pembedaan yang rigid.
Sebaliknya, Ashalah
al-Wujūd melihat realitas sebagai satu kesatuan eksistensi yang
bergradasi (tashkīk al-wujūd). Dunia bukan terdiri atas
entitas-entitas yang diskret, tetapi merupakan gelombang wujud dari Yang Mahatinggi
menuju tingkat eksistensi paling rendah.⁸ Ini memungkinkan pendekatan
metafisika yang lebih holistik dan kosmologis dalam memaknai keterhubungan
antara makhluk dan Tuhan.
7.4. Teologi: Relasi Tuhan dan Makhluk
Dalam kerangka
Ashalah al-Mahiyah, Tuhan adalah satu-satunya entitas yang
eksistensinya identik dengan esensinya (wājib al-wujūd bi dhātih).
Makhluk tidak demikian; esensinya terpisah dari eksistensinya dan hanya
mendapatkan wujud melalui pemberian Tuhan.⁹
Di sisi lain,
Ashalah al-Wujūd memperkuat transendensi dan immanensi Tuhan
melalui doktrin bahwa segala eksistensi adalah pancaran (tajallī) dari wujud
Tuhan. Tuhan adalah “wujud murni” (al-wujūd al-maḥḍ)”,
dan seluruh realitas lain adalah partisipasi dalam eksistensi-Nya secara
bertingkat.¹⁰ Dengan demikian, pendekatan ini mendekatkan metafisika kepada
spiritualitas dan menumbuhkan dimensi sufistik dalam filsafat.
7.5. Kritik dan Keseimbangan
Meskipun teori
Ashalah al-Wujūd dinilai lebih unggul dalam menjelaskan dinamika realitas dan
spiritualitas, kritik terhadapnya tetap muncul. Beberapa sarjana menilai
pendekatan ini terlalu mistik dan kurang sistematis dalam menjelaskan struktur
logis realitas. Sebaliknya, Ashalah al-Mahiyah dianggap terlalu
rasional dan abstrak, sehingga tidak memadai untuk menjelaskan
keberadaan secara eksistensial.¹¹
Karenanya, sejumlah
filsuf dan pemikir kontemporer mencoba merekonsiliasi kedua pendekatan
ini, dengan menegaskan pentingnya mahiyah dalam tataran epistemologis dan
praktis, serta menjadikan wujud sebagai dasar ontologis dan spiritual.¹²
Kesimpulan Perbandingan
Perbandingan antara Ashalah
al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd bukan sekadar
pertentangan teknis dalam metafisika Islam, tetapi mencerminkan dua cara
pandang yang berbeda dalam memahami realitas: antara pendekatan
klasifikatif yang statis dan pendekatan eksistensial yang dinamis.
Keduanya memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat Islam dan
tetap relevan dalam perdebatan filsafat metafisika kontemporer.
Footnotes
[1]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 105.
[2]
Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A Translation of al-Hikmat
al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton: Princeton University
Press, 1981), 16–17.
[3]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 45.
[4]
S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 102–103.
[5]
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf, 1974), 85.
[6]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 285.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 81.
[8]
Mulla Sadra, Asfar al-Arba‘ah, ed. Allama Tabrizi (Tehran: Dar
al-Ma‘arif al-Islamiyyah, 1981), vol. 1, 41.
[9]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 26.
[10]
Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of
Suhrawardi’s Illuminationism,” Islamic Studies 32, no. 2 (1993): 210.
[11]
Mehdi Ha’iri Yazdi, “Existence and Quiddity: The Controversy in Islamic
Metaphysics,” Islamic Studies 19, no. 1 (1980): 30.
[12]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Aldershot: Ashgate, 2006), 79–80.
8.
Relevansi
Kontemporer
Di tengah pesatnya
perkembangan pemikiran filsafat modern dan postmodern, perdebatan klasik antara
Ashalah
al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd masih memiliki
daya
hidup filosofis dan signifikansi metodologis yang tidak bisa
diabaikan. Meski lahir dari konteks metafisika Islam abad pertengahan,
perbedaan antara primordialisasi esensi atau eksistensi menyentuh pertanyaan
dasar yang terus dibahas dalam ontologi, epistemologi, etika, bahkan teori
identitas dan humanisme dalam filsafat kontemporer.
8.1. Relevansi dalam Ontologi Modern
Salah satu
kontribusi penting dari perdebatan ini adalah bagaimana ia membuka ruang
refleksi terhadap struktur dasar realitas. Dalam
dunia filsafat Barat kontemporer, misalnya, muncul gagasan eksistensialisme
sebagaimana dikembangkan oleh Martin Heidegger dan Jean-Paul
Sartre, yang secara implisit memiliki resonansi dengan teori Ashalah
al-Wujūd. Sartre, misalnya, menyatakan bahwa eksistensi
mendahului esensi, suatu ide yang secara ideologis dekat dengan
posisi Mulla Sadra.¹
Namun demikian, ada
pula arus filsafat analitik yang tetap menekankan pentingnya esensi dan
kategorisasi dalam logika dan bahasa, yang lebih dekat dengan pendekatan Ashalah
al-Mahiyah dalam menekankan peran konsep dan definisi sebagai
dasar ilmu.² Oleh karena itu, kedua pendekatan metafisik ini dapat dianggap
sebagai representasi awal dari dikotomi antara
rasionalisme struktural dan eksistensialisme ontologis dalam
diskursus modern.
8.2. Relevansi dalam Wacana Identitas dan Manusia
Di era globalisasi
dan pascamodernisme, konsep identitas menjadi isu penting,
terutama dalam diskursus sosial dan politik. Pendekatan Ashalah
al-Mahiyah yang melihat esensi sebagai elemen tetap dapat
digunakan untuk membela gagasan fitrah manusia, stabilitas
nilai-nilai moral, serta identitas teologis dalam konteks Islam.³ Pandangan ini
membantu menjaga konsistensi pemahaman tentang manusia sebagai makhluk yang
memiliki esensi bawaan, seperti akal, potensi moral, dan dimensi ruhani.
Sebaliknya,
pendekatan Ashalah al-Wujūd dapat
mendukung pemahaman manusia sebagai makhluk eksistensial yang terus tumbuh dan
membentuk dirinya, sejalan dengan perkembangan spiritual dan
pengalaman hidup.⁴ Ini sangat relevan dalam dunia yang cair dan dinamis, di
mana identitas bersifat terbuka dan ditentukan secara performatif.
8.3. Sumbangan bagi Pengembangan Filsafat Islam
Kontemporer
Dalam konteks
filsafat Islam kontemporer, studi terhadap Ashalah al-Mahiyah dan Ashalah
al-Wujūd mendorong kebangkitan pendekatan filosofis yang
tidak terjebak dalam dualisme lama antara rasionalisme dan sufisme,
tetapi justru mengintegrasikannya. Beberapa pemikir modern seperti Muhammad
Husayn Tabataba’i, Allama Jafari, dan Murtadha
Mutahhari mencoba membangun sistem filsafat integral dengan
menjadikan ontologi eksistensial sebagai kerangka besar, namun tetap
mempertahankan nilai-nilai esensial Islam.⁵
Bahkan di dunia
akademik Barat, pemikiran Mulla Sadra tentang Ashalah
al-Wujūd kini banyak diteliti dalam studi perbandingan filsafat eksistensial
dan teologi proses.⁶ Sementara itu, penguatan kembali pada pendekatan mahiyah
dapat berfungsi sebagai alat kritik terhadap relativisme ekstrem dalam
pemikiran pascamodern yang kerap menolak hakikat-hakikat tetap.
8.4. Refleksi terhadap Krisis Makna dan Etika Global
Dalam realitas
global yang penuh ketidakpastian, krisis makna, dan kehampaan eksistensial, ontologi
eksistensial Islam yang digagas oleh Ashalah al-Wujūd dapat
menjadi alternatif spiritual yang otentik.
Ia tidak hanya menjelaskan realitas secara metafisik, tetapi juga menghadirkan
pengalaman eksistensi sebagai jalan menuju Tuhan—sebuah sintesis antara
filsafat dan tasawuf.⁷
Sementara itu,
Ashalah al-Mahiyah tetap memberikan fondasi penting untuk etika
normatif, karena esensi memuat makna tetap tentang baik dan
buruk, hak dan kewajiban, serta tujuan akhir manusia. Dalam hal ini, keduanya
dapat dikontekstualisasikan secara sinergis untuk menjawab tantangan zaman.
Kesimpulan
Teori Ashalah
al-Mahiyah dan Ashalah al-Wujūd tidak hanya
berfungsi sebagai warisan pemikiran historis, tetapi juga sebagai alat
analisis konseptual dan kerangka reflektif untuk memahami
berbagai persoalan filsafat kontemporer. Dalam dunia modern yang berada di
antara pencarian makna dan kegamangan identitas, filsafat Islam klasik
menunjukkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan besar tidak harus ditemukan
dengan menolak tradisi, melainkan dengan menghidupkannya kembali secara kreatif dan
kritis.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Willard Van Orman Quine, From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 114–117.
[3]
Murtadha Mutahhari, Man and Faith, trans. M. Qara’i (Qom:
Islamic Seminary Publications, 1985), 27–30.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 48.
[5]
Muhammad Husayn Tabataba’i, Nihayah al-Hikmah (Qom: Dar
al-Kitab al-Islami, 1984), 61–65.
[6]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realism and the Problem of Knowledge,” Islamic
Studies 42, no. 1 (2003): 27–53.
[7]
S.H. Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 116.
9.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai Ashalah al-Mahiyah
(primordialitas esensi) membuka cakrawala penting dalam memahami kerangka
metafisika filsafat Islam klasik. Teori ini menempatkan esensi (mahiyah)
sebagai unsur ontologis utama yang bersifat tetap, dapat dipahami secara
rasional, dan menjadi dasar bagi pengetahuan manusia tentang realitas. Berakar
kuat dalam pemikiran Ibnu Sina dan dikembangkan secara lebih radikal
oleh Suhrawardi, teori ini membentuk kerangka berpikir esensialis
yang sangat mempengaruhi diskursus filsafat Islam selama berabad-abad.¹
Melalui argumen-argumen konseptual, ontologis,
epistemologis, dan teologis, para pendukung Ashalah al-Mahiyah menegaskan bahwa
esensi mendahului eksistensi, baik dalam pemikiran maupun struktur
realitas.² Namun, posisi ini tidak bebas dari kritik. Dengan munculnya
pemikiran Mulla Sadra, terjadi transformasi besar dalam filsafat Islam
melalui gagasan Ashalah al-Wujūd, yang menegaskan bahwa eksistensi
adalah realitas yang sesungguhnya, sedangkan esensi hanyalah abstraksi mental.³
Perbandingan antara kedua teori ini menunjukkan
adanya pergeseran dari pendekatan yang statis dan logis menuju pendekatan
yang dinamis dan eksistensial. Ashalah al-Mahiyah menawarkan kerangka yang
kuat dalam bidang logika, klasifikasi ilmu, dan konsistensi ontologis, sedangkan
Ashalah al-Wujūd memberikan pijakan untuk memahami gradasi realitas,
transformasi spiritual, dan relasi antara wujud manusia dengan Tuhan.⁴
Dalam konteks kontemporer, kedua teori ini tetap relevan
dan saling melengkapi. Ashalah al-Mahiyah penting dalam menjaga keutuhan
konsep identitas, fitrah, dan nilai-nilai universal, sementara Ashalah al-Wujūd
menyumbangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai dinamika eksistensi manusia,
krisis makna, dan spiritualitas. Para pemikir kontemporer seperti Tabataba’i,
Mutahhari, dan Kalin menunjukkan bahwa integrasi antara kedua
pendekatan ini dapat menjadi dasar untuk membangun filsafat Islam modern
yang kontekstual dan responsif terhadap tantangan zaman.⁵
Dengan demikian, studi tentang Ashalah al-Mahiyah
tidak hanya penting untuk merekonstruksi sejarah pemikiran filsafat Islam,
tetapi juga memberikan fondasi ontologis dan epistemologis yang dapat
ditransformasikan ke dalam ranah pemikiran dan praksis kontemporer.
Perdebatan klasik ini, alih-alih ditinggalkan, justru dapat menjadi ruang
dialektika kreatif bagi pengembangan filsafat Islam yang lebih integral,
spiritual, dan relevan secara global.
Footnotes
[1]
Avicenna (Ibn Sina), Metaphysics of the Healing,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005),
100–102.
[2]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 22–26.
[3]
Mulla Sadra, The Wisdom of the Throne: A
Translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah, trans. James W. Morris (Princeton:
Princeton University Press, 1981), 17–20.
[4]
S.H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His
Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy,
1978), 111–113.
[5]
Muhammad Husayn Tabataba’i, Nihayah al-Hikmah
(Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1984), 77–78; Murtadha Mutahhari, Man and
Universe, trans. M. Qara’i (Tehran: Al-Tawhid Publications, 1990), 55;
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realism and the Problem of Knowledge,” Islamic
Studies 42, no. 1 (2003): 45–46.
Daftar Pustaka
Avicenna. (2005). Metaphysics of the Healing
(M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.
Izutsu, T. (2007). The concept and reality of
existence. Islamic Book Trust.
Kalin, I. (2003). Mulla Sadra’s realism and the
problem of knowledge. Islamic Studies, 42(1), 27–53.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Mulla Sadra. (1981). The wisdom of the throne: A
translation of al-Hikmat al-‘Arshiyyah (J. W. Morris, Trans.). Princeton
University Press.
Mulla Sadra. (1981). Asfar al-Arba‘ah (A.
Tabrizi, Ed.). Dar al-Ma‘arif al-Islamiyyah.
Mutahhari, M. (1985). Man and faith (M.
Qara’i, Trans.). Islamic Seminary Publications.
Mutahhari, M. (1990). Man and universe (M.
Qara’i, Trans.). Al-Tawhid Publications.
Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his
transcendent theosophy. Imperial Iranian Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
Quine, W. V. O. (1980). From a logical point of
view. Harvard University Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Sheikh, M. S. (1974). Studies in Muslim philosophy.
Sh. Muhammad Ashraf.
Suhrawardi, S. al-D. (1999). The philosophy of
illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University
Press.
Tabataba’i, M. H. (1984). Nihayah al-hikmah.
Dar al-Kitab al-Islami.
Yazdi, M. H. (1980). Existence and quiddity: The
controversy in Islamic metaphysics. Islamic Studies, 19(1), 21–35.
Yazdi, M. H. (1992). The principles of
epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. State University
of New York Press.
Ziai, H. (1993). The source and nature of
authority: A study of Suhrawardi’s illuminationism. Islamic Studies,
32(2), 201–215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar