Marhaenisme
Ideologi, Sejarah, dan Relevansinya dalam Konteks
Sosial-Politik Indonesia
Alihkan ke: Pemikiran Ir. Soekarno.
Abstrak
Marhaenisme merupakan konstruksi ideologi khas
Indonesia yang dikembangkan oleh Soekarno sebagai respons terhadap ketimpangan
sosial-ekonomi dalam masyarakat kolonial dan awal kemerdekaan. Berakar dari
kombinasi sosialisme, nasionalisme, dan nilai-nilai religius, Marhaenisme
menempatkan rakyat kecil—kaum Marhaen—sebagai subjek utama perjuangan
emansipatoris. Artikel ini membahas secara komprehensif konsep dasar
Marhaenisme, akar filsafatnya, prinsip-prinsip pokoknya, serta implementasinya
dalam politik Indonesia, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin. Melalui
perbandingan dengan Marxisme-Leninisme, sosialisme demokratis, dan nasionalisme
ekonomi Asia-Afrika, terungkap karakter khas Marhaenisme sebagai adaptasi
kreatif terhadap konteks lokal. Artikel ini juga mengkaji kritik-kritik
terhadap Marhaenisme, baik dari perspektif internal maupun eksternal, serta menilai
relevansi prinsip-prinsip Marhaenisme dalam menghadapi tantangan ketimpangan
sosial, globalisasi, dan krisis representasi politik di Indonesia masa kini.
Dengan pendekatan historis-analitis, artikel ini menegaskan bahwa Marhaenisme
tetap memiliki relevansi sebagai inspirasi ideologis untuk membangun masyarakat
Indonesia yang adil, mandiri, dan berdaulat.
Kata Kunci: Marhaenisme; Soekarno; Ideologi Indonesia;
Sosialisme Nasional; Ketimpangan Sosial; Demokrasi Terpimpin; Anti-Imperialisme.
PEMBAHASAN
Menelusuri Marhaenisme Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Marhaenisme
merupakan salah satu ideologi khas Indonesia yang dirumuskan oleh Presiden
pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pada masa perjuangan kemerdekaan.
Lahir dari realitas sosial masyarakat agraris Indonesia, Marhaenisme menawarkan
suatu bentuk ideologi kerakyatan yang berfokus pada emansipasi rakyat kecil,
terutama kaum tani dan buruh, dari penindasan ekonomi, sosial, dan politik1.
Berbeda dari sosialisme Barat yang berbasis pada industrialisasi proletar,
Marhaenisme menekankan pentingnya pemberdayaan individu rakyat yang memiliki
alat produksi sendiri namun tetap hidup dalam kemiskinan struktural2.
Dalam perjalanan
sejarah Indonesia, Marhaenisme tidak hanya menjadi konsep ideologis, tetapi
juga bertransformasi menjadi fondasi bagi gerakan nasionalis dalam menghadapi
kolonialisme dan imperialisme. Soekarno memformulasikan Marhaenisme sebagai
adaptasi lokal dari gagasan-gagasan sosialisme dan Marxisme, dengan
mempertimbangkan karakteristik sosio-kultural bangsa Indonesia3.
Ideologi ini berupaya mengharmonisasikan nilai-nilai nasionalisme, sosialisme,
dan religiositas dalam satu kerangka perjuangan bangsa untuk mencapai keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Urgensi membahas
Marhaenisme dewasa ini menjadi semakin relevan mengingat tantangan-tantangan
kontemporer seperti ketimpangan sosial, marginalisasi ekonomi, dan krisis
identitas kebangsaan yang masih menghantui Indonesia. Dengan memahami
Marhaenisme secara historis dan filosofis, diharapkan dapat ditemukan inspirasi
bagi solusi alternatif dalam menghadapi masalah-masalah struktural tersebut4.
Terlebih, di tengah arus globalisasi yang cenderung mendiktekan sistem
kapitalisme neoliberal, refleksi terhadap konsep-konsep kerakyatan seperti
Marhaenisme menjadi penting untuk memperkuat kemandirian nasional dan
memperjuangkan keadilan sosial5.
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan telaah komprehensif terhadap Marhaenisme: mulai dari
pengertian dasarnya, akar-akar filosofisnya, prinsip-prinsip pokoknya,
implementasi historisnya, kritik-kritiknya, hingga relevansinya di era
kontemporer. Dengan pendekatan historis-analitis, pembahasan ini diharapkan
mampu memperkaya khazanah pemikiran politik Indonesia serta memberikan
sumbangan bagi wacana pembangunan bangsa yang berbasis pada prinsip keadilan
sosial.
Footnotes
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 59–60.
[2]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 28.
[3]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 94–96.
[4]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 275.
[5]
Baskara T. Wardaya, Memori Ketidakadilan: Rekonstruksi Identitas
dan Solidaritas Baru (Yogyakarta: Galangpress, 2007), 122.
2.
Konsep Dasar Marhaenisme
2.1.
Definisi Marhaenisme
Marhaenisme
merupakan suatu paham yang dikembangkan oleh Soekarno berdasarkan realitas
sosial Indonesia, yakni mayoritas rakyat yang memiliki alat produksi sendiri,
seperti cangkul atau sawah, namun hidup dalam keterbatasan ekonomi1.
Berbeda dari proletariat dalam konsepsi Marxisme klasik, kaum Marhaen adalah
petani, buruh kecil, nelayan, dan pedagang kecil yang meskipun secara formal
memiliki alat produksi, tetap berada dalam posisi rentan secara ekonomi. Oleh
karena itu, Marhaenisme tidak hanya berorientasi pada penghapusan kapitalisme
dan imperialisme, tetapi juga pada penguatan kemandirian ekonomi rakyat2.
Menurut Soekarno,
Marhaenisme adalah sistem perjuangan untuk membebaskan rakyat dari segala
bentuk penindasan dengan mengedepankan keadilan sosial, nasionalisme, dan
kedaulatan ekonomi3. Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa Marhaenisme
adalah “ajaran untuk membebaskan Marhaen dari kemiskinan, ketertindasan, dan
penghisapan oleh kekuatan kapitalisme dan imperialisme”4.
2.2.
Asal Usul Istilah
"Marhaen"
Istilah "Marhaen"
berasal dari pengalaman pribadi Soekarno saat bertemu seorang petani kecil
bernama Marhaen di daerah Bandung pada tahun 1926. Marhaen tersebut memiliki
sebidang tanah kecil dan alat produksi sederhana, namun tetap hidup dalam
kemiskinan5. Pertemuan ini mengilhami Soekarno untuk menggunakan
istilah "Marhaen" sebagai simbol kondisi umum rakyat Indonesia
yang mengalami eksploitasi meskipun memiliki alat produksi sendiri.
Soekarno memilih
nama "Marhaen" untuk menggambarkan suatu golongan masyarakat
yang berbeda dari proletariat di negara-negara Barat. Bila proletariat di Barat
tidak memiliki alat produksi sama sekali dan hanya menjual tenaga kerja, maka
Marhaen di Indonesia memiliki alat produksi tetapi tetap mengalami
ketidakadilan sosial dan ekonomi6. Ini menjadi dasar bagi Soekarno untuk
mengembangkan teori revolusi sosial yang khas Indonesia, berbeda dari model
revolusi sosialis Eropa.
Melalui pengangkatan
istilah "Marhaen", Soekarno ingin menekankan bahwa perjuangan
di Indonesia bukan hanya perjuangan kelas semata, tetapi juga perjuangan untuk
membangun keadilan ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat kecil dan pemilik
alat produksi sederhana7.
Footnotes
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 61–62.
[2]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 30–32.
[3]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 95.
[4]
Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan
Buku-Buku Bung Karno, 1964), 44.
[5]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 276.
[6]
Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal
Prisma, No. 5 (1980): 14–15.
[7]
Robert Cribb dan Audrey Kahin, Historical Dictionary of Indonesia
(Lanham: Scarecrow Press, 2004), 265.
3.
Marhaenisme dan Akar Filsafatnya
3.1.
Pengaruh Sosialisme
dan Marxisme
Marhaenisme sebagai
ideologi politik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat sosialisme dan
Marxisme, terutama dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme.
Soekarno sendiri mengakui bahwa Marxisme memberinya landasan konseptual tentang
bagaimana sistem kapitalis menghasilkan ketimpangan sosial dan ekonomi1.
Namun, Soekarno dengan sadar melakukan modifikasi terhadap ajaran Marx agar
sesuai dengan kondisi sosial Indonesia yang berbeda dengan masyarakat industri
Eropa.
Dalam konteks
Marxisme klasik, proletariat adalah kelas pekerja tanpa kepemilikan alat
produksi yang hidup dari menjual tenaga kerja kepada kapitalis2.
Sedangkan di Indonesia kolonial, mayoritas rakyat kecil, seperti petani dan
pedagang kecil, justru memiliki alat produksi minimal tetapi tetap hidup dalam
kondisi tertindas. Oleh sebab itu, Soekarno menolak transplantasi mentah-mentah
teori revolusi proletariat-Marxisme dan menggantinya dengan perjuangan berbasis
"kaum Marhaen", yaitu mereka yang memiliki alat produksi namun tetap
dieksploitasi dalam sistem kolonial kapitalistik3.
Dalam pemikiran
Soekarno, Marhaenisme adalah bentuk sosialisme nasional yang mempertahankan
prinsip emansipasi rakyat sambil tetap memperhitungkan nilai-nilai budaya lokal4.
Ia menolak ateisme yang melekat dalam banyak interpretasi Marxisme Eropa dan
mengedepankan keselarasan antara semangat revolusioner dengan religiositas
masyarakat Indonesia.
3.2.
Nasionalisme,
Islamisme, dan Marhaenisme
Marhaenisme tidak
hanya dibangun dari ide-ide sosialisme, tetapi juga merupakan sintesis dari
nasionalisme dan nilai-nilai religius. Soekarno melihat nasionalisme bukan
sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk mencapai emansipasi manusia
Indonesia dari belenggu kolonialisme5. Baginya, nasionalisme harus
diintegrasikan dengan sosialisme agar tidak menjadi chauvinistik atau
eksklusif, dan harus didasari nilai-nilai kemanusiaan universal yang banyak
terkandung dalam agama, khususnya Islam6.
Dalam banyak
pidatonya, Soekarno menekankan bahwa ajaran Islam tentang keadilan sosial,
penghapusan penindasan, dan solidaritas sesama manusia sangat sejalan dengan
tujuan Marhaenisme7. Hal ini tampak dalam upaya Soekarno merumuskan
“Nasionalisme + Islamisme + Marxisme” sebagai tiga kekuatan besar yang
harus dipadukan untuk membangun Indonesia merdeka8.
Melalui Marhaenisme,
Soekarno berupaya menghindarkan Indonesia dari polarisasi ideologis antara
nasionalisme sempit, sosialisme ateistik, dan fanatisme keagamaan yang kaku. Ia
menawarkan jalan ketiga yang menggabungkan semangat pembebasan sosial dengan
nilai-nilai spiritual dan nasional, sehingga Marhaenisme menjadi proyek
ideologis yang "Indonesia sentris" dan bukan sekadar imitasi
dari model Barat9.
Footnotes
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 75.
[2]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 48.
[3]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 31–33.
[4]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 99.
[5]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 278.
[6]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang
Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 110–112.
[7]
Soekarno, Islam Sontoloyo (Jakarta: Media Pressindo, 2005),
17–18.
[8]
Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), 104.
[9]
Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal
Prisma, No. 5 (1980): 16.
4.
Prinsip-Prinsip Pokok Marhaenisme
Marhaenisme sebagai
sebuah ideologi nasionalistik-sosialis khas Indonesia dibangun di atas sejumlah
prinsip pokok yang mencerminkan visi Soekarno tentang pembebasan rakyat kecil
dari segala bentuk ketertindasan. Prinsip-prinsip ini bukan hanya merupakan
adaptasi dari sosialisme Eropa, tetapi merupakan sintesis kreatif yang
disesuaikan dengan realitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial.
4.1.
Emansipasi Rakyat
Kecil
Salah satu prinsip
utama Marhaenisme adalah emansipasi atau pembebasan rakyat kecil dari berbagai
bentuk penindasan ekonomi, politik, dan sosial1. Soekarno menegaskan
bahwa revolusi Indonesia haruslah revolusi sosial yang bertujuan membebaskan
kaum Marhaen—yaitu petani kecil, buruh, dan pedagang kecil—dari struktur
ketidakadilan yang dibangun oleh kapitalisme kolonial2. Emansipasi
ini tidak hanya berarti perubahan status ekonomi, tetapi juga pemberdayaan
dalam aspek politik dan budaya, sehingga rakyat menjadi subjek dalam proses
pembangunan bangsa.
4.2.
Penguasaan Alat
Produksi
Dalam Marhaenisme,
penguasaan alat produksi oleh rakyat merupakan syarat mutlak untuk mencapai
keadilan sosial3. Soekarno berpandangan bahwa ketimpangan sosial
terjadi ketika alat-alat produksi, seperti tanah, pabrik, dan alat perdagangan,
dikuasai oleh segelintir elit kapitalis. Oleh karena itu, ia menganjurkan model
ekonomi di mana setiap individu memiliki akses langsung terhadap alat produksi
atau, dalam beberapa hal, pengelolaannya dilakukan secara kolektif melalui
koperasi4. Konsep ini bertujuan menghindari ketergantungan terhadap
kapitalisme asing maupun kapitalisme pribumi yang eksploitatif.
4.3.
Keadilan Sosial
Prinsip keadilan
sosial adalah fondasi moral dari Marhaenisme. Soekarno merumuskan bahwa
keadilan sosial berarti terciptanya distribusi kekayaan dan kesempatan yang
adil di seluruh lapisan masyarakat5. Dalam konteks ini, Marhaenisme
menolak sistem sosial yang memungkinkan penumpukan kekayaan di tangan minoritas
dan mengabaikan kesejahteraan mayoritas. Ide keadilan sosial ini kemudian
menjadi salah satu sila dalam Pancasila, yang dirumuskan Soekarno sebagai
ideologi dasar negara Indonesia6.
4.4.
Anti-Imperialisme
dan Anti-Kolonialisme
Marhaenisme juga
berakar kuat pada prinsip anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Soekarno
memandang bahwa imperialisme adalah bentuk paling parah dari kapitalisme
internasional yang menghisap kekayaan negara-negara terjajah untuk keuntungan
bangsa-bangsa penjajah7. Oleh sebab itu, perjuangan Marhaenisme
tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga bagian dari solidaritas global
dengan bangsa-bangsa tertindas di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Prinsip ini
mendorong Soekarno untuk aktif memimpin gerakan Non-Blok dan Konferensi
Asia-Afrika8.
Dalam konteks
Marhaenisme, anti-imperialisme tidak hanya bersifat politik tetapi juga ekonomi
dan budaya. Soekarno menekankan pentingnya berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri) dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan nasional9.
Dengan demikian, Marhaenisme bukan sekadar ideologi pembebasan dari penjajahan
asing, melainkan juga pembebasan dari dominasi ekonomi global yang
melanggengkan ketidakadilan struktural.
Footnotes
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 80.
[2]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 279–280.
[3]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 32–33.
[4]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 97–98.
[5]
Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), 107.
[6]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang
Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 115.
[7]
Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan
Buku-Buku Bung Karno, 1964), 52–53.
[8]
Baskara T. Wardaya, Memori Ketidakadilan: Rekonstruksi Identitas
dan Solidaritas Baru (Yogyakarta: Galangpress, 2007), 125.
[9]
Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal
Prisma, No. 5 (1980): 17.
5.
Implementasi Marhaenisme dalam
Politik Indonesia
Marhaenisme, sebagai
ideologi kerakyatan yang dikembangkan oleh Soekarno, tidak hanya berhenti pada
tataran konseptual, tetapi juga diupayakan untuk diimplementasikan dalam
praktik politik nasional. Implementasi Marhaenisme tampak jelas dalam berbagai
kebijakan politik dan ekonomi yang diambil oleh Soekarno, baik melalui gerakan
politiknya sendiri maupun lewat instrumen negara.
5.1.
Marhaenisme dalam
Pidato dan Tindakan Politik Soekarno
Pidato-pidato
Soekarno pada era pra-kemerdekaan hingga masa kepresidenannya sarat dengan
muatan ideologi Marhaenisme. Salah satu manifestasi awalnya dapat dilihat dalam
pidato "Indonesia Menggugat" (1930), di mana Soekarno
mengartikulasikan perlunya rakyat kecil untuk membebaskan diri dari sistem
kapitalisme kolonial1. Setelah Indonesia merdeka, Marhaenisme
semakin eksplisit dalam pidato kenegaraan Soekarno, terutama pada masa
Demokrasi Terpimpin (1959–1965), di mana ia menekankan pentingnya revolusi
sosial untuk menghapuskan ketimpangan sosial dan ekonomi2.
Dalam tindakan
politiknya, Soekarno mendorong konsolidasi kekuatan rakyat kecil melalui
pembentukan organisasi-organisasi massa seperti Barisan Tani Indonesia (BTI)
dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang walaupun
berafiliasi ke kiri, tetap sejalan dengan gagasan emansipasi rakyat kecil ala
Marhaenisme3.
5.2.
PNI dan Marhaenisme
Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada tahun 1927 secara eksplisit
mengadopsi Marhaenisme sebagai asas perjuangan politiknya. PNI berupaya
memperjuangkan kemerdekaan nasional melalui jalan non-kooperasi terhadap
pemerintah kolonial dan berlandaskan pada prinsip nasionalisme, demokrasi, dan
sosialisme kerakyatan4.
Dalam Manifesto
Politik (Manipol) 1945 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Manipol-Usdek
(UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia) tahun 1959, terlihat bagaimana PNI dan Soekarno berusaha
mensintesiskan Marhaenisme ke dalam ideologi resmi negara5. PNI
bahkan secara terbuka menyatakan bahwa partai mereka adalah “partai
Marhaenis” yang berjuang demi rakyat kecil melawan kapitalisme dan
imperialisme.
5.3.
Penerapan
Marhaenisme dalam Konsep Ekonomi Terpimpin
Ekonomi Terpimpin
merupakan salah satu upaya konkret untuk menerapkan prinsip-prinsip Marhaenisme
dalam sistem ekonomi Indonesia. Konsep ini menolak liberalisme ekonomi dan
mendorong peran negara dalam mengendalikan sumber-sumber daya ekonomi strategis
untuk kesejahteraan rakyat6.
Di bawah Ekonomi
Terpimpin, negara mengambil alih berbagai perusahaan asing dan nasionalisasi
aset-aset kolonial, sebagai bentuk nyata dari prinsip penguasaan alat produksi
oleh rakyat, walaupun dalam praktiknya pengelolaan tetap dilakukan oleh
birokrasi negara7. Selain itu, pembentukan koperasi dan pemberian
dukungan terhadap usaha kecil dan pertanian rakyat menjadi instrumen penting
untuk memberdayakan kaum Marhaen dalam struktur ekonomi nasional.
Namun demikian,
implementasi Ekonomi Terpimpin menghadapi berbagai kendala, seperti inefisiensi
birokrasi, korupsi, dan resistensi dari kelompok-kelompok yang masih terikat
pada sistem kapitalistik, sehingga cita-cita Marhaenisme dalam bidang ekonomi
tidak sepenuhnya tercapai8.
Footnotes
[1]
Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan
Buku-Buku Bung Karno, 1964), 41–43.
[2]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 284.
[3]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 55–57.
[4]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 105–106.
[5]
Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian
Politics, 1957–1959 (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University,
1966), 97.
[6]
Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), 128–130.
[7]
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 1978), 68–69.
[8]
Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen
& Unwin, 1986), 45.
6.
Perbandingan Marhaenisme dengan
Ideologi Lain
Untuk memahami
kekhasan Marhaenisme sebagai ideologi, penting untuk membandingkannya dengan
beberapa ideologi besar lain yang memiliki hubungan historis dan filosofis
dengannya, yaitu Marxisme-Leninisme, Sosialisme Demokratis, dan nasionalisme
ekonomi negara-negara berkembang di Asia-Afrika. Melalui perbandingan ini dapat
terlihat karakter asli Marhaenisme sebagai adaptasi kreatif terhadap kondisi
Indonesia.
6.1.
Marxisme-Leninisme
Marhaenisme memiliki
hubungan historis dan teoretis dengan Marxisme, terutama dalam hal kritik
terhadap kapitalisme dan imperialisme. Soekarno mengadopsi gagasan dasar Marxis
bahwa ketimpangan sosial disebabkan oleh kepemilikan alat produksi yang timpang
dan bahwa revolusi rakyat merupakan jalan pembebasan1. Namun,
perbedaan utama terletak pada subjek revolusi. Dalam Marxisme-Leninisme,
proletariat industri menjadi agen utama perubahan, sedangkan dalam Marhaenisme,
agen perubahan adalah kaum Marhaen—rakyat kecil yang memiliki alat produksi
namun tetap tertindas2.
Selain itu, Marhaenisme
menolak ateisme yang melekat dalam banyak varian Marxisme-Leninisme. Soekarno
berupaya mensintesiskan nilai-nilai agama ke dalam perjuangan sosial, sementara
Marxisme-Leninisme pada umumnya menganggap agama sebagai instrumen "candu
rakyat"3. Dalam hal pendekatan politik, Marxisme-Leninisme
menekankan kediktatoran proletariat, sedangkan Marhaenisme mengusung konsep
demokrasi kerakyatan dengan cita-cita musyawarah4.
6.2.
Sosialisme
Demokratis
Sosialisme
demokratis, seperti yang berkembang di Eropa Barat (misalnya di Swedia dan
Inggris), mengedepankan demokrasi parlementer dan ekonomi campuran sebagai
sarana mencapai keadilan sosial5. Dalam beberapa aspek, Marhaenisme
mirip dengan sosialisme demokratis dalam hal penghargaan terhadap demokrasi
politik dan ekonomi kerakyatan. Namun, Marhaenisme lebih radikal dalam menolak
liberalisme ekonomi dan lebih menekankan pada mobilisasi massa untuk perubahan
struktural6.
Sementara sosialisme
demokratis cenderung berkembang dalam masyarakat industri maju, Marhaenisme
lahir dari realitas masyarakat agraris yang terjajah. Oleh karena itu,
Marhaenisme mengintegrasikan isu-isu dekolonisasi dan perjuangan nasional dalam
skema sosialismenya, sesuatu yang kurang menonjol dalam sosialisme demokratis
Barat7.
6.3.
Nasionalisme Ekonomi
Asia-Afrika
Dalam dekade
1950–1960-an, banyak negara Asia dan Afrika yang baru merdeka mengembangkan
bentuk nasionalisme ekonomi, yang menekankan kemandirian nasional dan penolakan
terhadap dominasi ekonomi asing. Pemikiran Marhaenisme dalam banyak hal paralel
dengan gerakan seperti Nasserisme di Mesir atau African Socialism di Tanzania8.
Namun, Marhaenisme
memiliki distingsi tersendiri karena sifat integratifnya: ia bukan hanya
menolak dominasi asing, tetapi juga berupaya membangun struktur sosial baru
yang adil berdasarkan kepemilikan alat produksi oleh rakyat kecil9.
Selain itu, Marhaenisme memberikan bobot yang lebih besar kepada peran ideologi
budaya dan agama dalam membentuk kesadaran nasional dan sosial.
Footnotes
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 74–75.
[2]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 31–32.
[3]
Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right, trans. Joseph O'Malley (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 131.
[4]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 284.
[5]
Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European
Left in the Twentieth Century (New York: The New Press, 1996), 112–115.
[6]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 96–97.
[7]
Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy
(Cambridge: Polity Press, 1998), 23–24.
[8]
Ali Mazrui, Political Values and the Educated Class in Africa
(London: Heinemann, 1978), 87–88.
[9]
Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal
Prisma, No. 5 (1980): 18.
7.
Kritik terhadap Marhaenisme
Meskipun Marhaenisme
dianggap sebagai sumbangan ideologis orisinal dari Soekarno untuk bangsa
Indonesia, ideologi ini tidak luput dari kritik, baik dari kalangan intelektual
kiri, kelompok liberal, maupun dari segi pelaksanaannya dalam kebijakan negara.
Kritik terhadap Marhaenisme menyasar pada aspek teoritik, aplikatif, dan
efektivitasnya dalam menjawab tantangan sosial-politik kontemporer.
7.1.
Kritik Internal:
Keterbatasan Teoretik dan Ketidakkonsistenan
Sebagian kalangan
intelektual kiri menganggap Marhaenisme sebagai bentuk “sosialisme setengah
hati” karena tidak secara eksplisit mengadopsi kerangka dialektika historis
dan determinisme ekonomi sebagaimana dalam Marxisme ortodoks1.
Soekarno dianggap terlalu kompromistis dengan elemen-elemen nasionalisme dan
religiositas yang menurut kalangan Marxis justru memperlemah perjuangan kelas2.
Lebih lanjut,
beberapa pengamat menyebutkan bahwa Marhaenisme bersifat eklektik dan kurang
sistematis sebagai suatu bangunan filsafat sosial-politik. Ide-ide yang
digabungkan dari Marxisme, Islamisme, dan nasionalisme belum sepenuhnya
disintesiskan dalam kerangka logika ideologis yang koheren. Akibatnya,
interpretasi terhadap Marhaenisme sering kali bersifat subjektif dan
kontekstual3.
7.2.
Kritik Eksternal:
Perspektif Liberalisme dan Kapitalisme
Dari sudut pandang
liberal dan kapitalis, Marhaenisme dikritik sebagai ideologi yang terlalu
memprioritaskan intervensi negara dalam kehidupan ekonomi, yang pada gilirannya
berpotensi mengekang kebebasan individu dan dinamika pasar4.
Kebijakan ekonomi yang terinspirasi oleh Marhaenisme, seperti nasionalisasi
perusahaan asing dan pengutamaan koperasi, dianggap menurunkan efisiensi
ekonomi dan menumbuhkan birokrasi yang korup.
Kritik lainnya
adalah kecenderungan Marhaenisme untuk meromantisasi rakyat kecil tanpa
memperhitungkan tantangan-tantangan struktural dan globalisasi ekonomi yang
semakin kompleks. Dalam kerangka neoliberalisme global, pendekatan Marhaenisme
dinilai terlalu proteksionis dan tertinggal dari dinamika pasar bebas5.
7.3.
Problematika
Implementasi: Kesenjangan antara Ide dan Praktik
Secara historis,
implementasi Marhaenisme mengalami kendala serius, terutama ketika diterapkan
melalui sistem Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin pada masa akhir
kekuasaan Soekarno. Banyak kebijakan yang dijiwai semangat Marhaenisme justru
terjebak dalam birokratisasi dan militerisasi negara, sehingga berlawanan
dengan cita-cita emansipasi rakyat6.
Lemahnya kelembagaan
ekonomi rakyat seperti koperasi, serta buruknya tata kelola dan pengawasan,
menyebabkan berbagai program Marhaenis gagal mencapai targetnya. Misalnya,
upaya nasionalisasi ekonomi justru membuka peluang bagi lahirnya oligarki baru
di kalangan elite militer dan birokrat7.
Di sisi lain,
personifikasi ideologi Marhaenisme pada sosok Soekarno juga menimbulkan
ketergantungan yang tinggi terhadap kharisma pemimpin. Ketika Soekarno lengser,
tidak ada institusi ideologis yang mampu melanjutkan dan mengembangkan
Marhaenisme secara sistematis, sehingga ideologi ini kemudian meredup di era
Orde Baru8.
Footnotes
[1]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 33–34.
[2]
D. N. Aidit, Marxisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jajasan
Pembaruan, 1964), 12.
[3]
Daniel Dhakidae, “Marhaenisme: Ideologi yang Membumi,” Prisma,
No. 5 (1980): 19.
[4]
Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen
& Unwin, 1986), 61.
[5]
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 1978), 85.
[6]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 289.
[7]
Richard Tanter, State and Civil Society in Indonesia (Monash
University, Working Paper No. 42, 1990), 14.
[8]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 210–212.
8.
Relevansi Marhaenisme dalam Konteks
Kontemporer
Meskipun Marhaenisme
dirumuskan dalam konteks kolonial dan awal kemerdekaan, nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya tetap menawarkan perspektif alternatif yang penting untuk
menghadapi tantangan sosial-politik dan ekonomi Indonesia di era kontemporer.
Dalam konteks globalisasi, neoliberalisme, serta krisis multidimensi yang
menimpa rakyat kecil, Marhaenisme masih memiliki daya hidup sebagai wacana dan
praksis emansipatoris.
8.1.
Marhaenisme dan
Ketimpangan Sosial-Ekonomi
Indonesia saat ini
menghadapi persoalan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), indeks gini ratio Indonesia masih berada di atas
0,38 yang menandakan ketimpangan distribusi pendapatan yang signifikan1.
Dalam situasi ini, prinsip Marhaenisme yang menekankan keadilan sosial dan
penguasaan alat produksi oleh rakyat kecil menjadi sangat relevan.
Marhaenisme
menyerukan perlawanan terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif dan mendorong
terciptanya sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan
pada akumulasi modal oleh segelintir elit2. Konsep penguatan
koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta redistribusi sumber
daya produksi secara adil, merupakan aspek-aspek Marhaenisme yang sesuai dengan
kebutuhan kebijakan sosial-ekonomi hari ini3.
8.2.
Gerakan Sosial
Modern dan Marhaenisme
Dalam beberapa tahun
terakhir, berbagai gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak buruh, petani,
nelayan, dan masyarakat adat mengandung semangat yang senada dengan prinsip
Marhaenisme. Misalnya, gerakan petani atas konflik agraria dan penggusuran,
serta protes buruh terhadap fleksibilisasi tenaga kerja dalam UU Cipta Kerja,
mencerminkan resistensi kaum Marhaen modern terhadap kapitalisme neoliberal4.
Marhaenisme dapat
menjadi kerangka ideologis yang memperkuat agenda-agenda gerakan rakyat
tersebut dengan mengedepankan prinsip keadilan struktural, pemberdayaan rakyat,
dan penguatan demokrasi partisipatoris. Dalam konteks ini, Marhaenisme tidak
hanya hidup dalam diskursus akademik atau retorika politik, tetapi juga sebagai
energi moral yang menggerakkan aksi kolektif rakyat tertindas5.
8.3.
Revitalisasi
Marhaenisme dalam Politik Indonesia
Meskipun banyak
partai politik saat ini mengklaim berpihak kepada rakyat kecil, tidak banyak
yang secara eksplisit menghidupkan kembali semangat Marhaenisme sebagai
landasan ideologis. Namun demikian, beberapa inisiatif lokal maupun program
pemerintah yang berpihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat, seperti Program
Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan pembangunan desa
berbasis partisipasi masyarakat, bisa dibaca sebagai cerminan semangat
Marhaenisme dalam praktik pemerintahan modern6.
Untuk menghidupkan
kembali Marhaenisme secara substantif, diperlukan pembacaan ulang terhadap
karya-karya Soekarno dan reinterpretasi prinsip-prinsipnya dalam kerangka
kebijakan publik masa kini. Hal ini mencakup pemajuan pendidikan kritis,
ekonomi rakyat berbasis koperasi, dan penguatan lembaga demokrasi akar rumput7.
Lebih dari itu,
revitalisasi Marhaenisme menuntut pengembangan platform ideologis yang berani
menantang hegemoni neoliberalisme dan menawarkan model pembangunan alternatif
yang berakar pada nilai-nilai keadilan sosial, gotong royong, dan kedaulatan
rakyat.
Footnotes
[1]
Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023,
diakses 24 April 2025, https://www.bps.go.id.
[2]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 84.
[3]
George Junus Aditjondro, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Upaya
Merongrong Negara Kesejahteraan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 93.
[4]
Dwi P. Susetiawan, “Dinamika Gerakan Petani di Indonesia: Studi atas
Gerakan Petani Pasca-Reformasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 22, no.
1 (2020): 91–112.
[5]
Daniel Dhakidae, “Marhaenisme: Ideologi yang Membumi,” Jurnal
Prisma, No. 5 (1980): 20.
[6]
Eva-Lotta E. Hedman, In the Name of Civil Society: From Free
Election Movements to People Power in the Philippines (Honolulu: University
of Hawai‘i Press, 2006), 119.
[7]
Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan
Buku-Buku Bung Karno, 1964), 56.
9.
Kesimpulan
Marhaenisme
merupakan sumbangan ideologis yang penting dari Soekarno dalam merespons
tantangan kolonialisme, kapitalisme, dan ketimpangan sosial di Indonesia.
Sebagai bentuk sosialisme nasional yang khas, Marhaenisme tidak hanya
mengadopsi gagasan sosialisme dan Marxisme Barat, tetapi juga menyesuaikannya
dengan kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang agraris dan religius1.
Dengan menempatkan rakyat kecil—petani, buruh, dan pedagang kecil—sebagai
subjek utama revolusi sosial, Marhaenisme menghadirkan paradigma emansipasi
yang berakar pada realitas rakyat Indonesia2.
Prinsip-prinsip
pokok Marhaenisme, seperti emansipasi rakyat kecil, penguasaan alat produksi,
keadilan sosial, serta anti-imperialisme dan anti-kolonialisme, membentuk kerangka
perjuangan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Implementasinya dalam
politik nasional, terutama melalui peran Partai Nasional Indonesia (PNI) dan
kebijakan Ekonomi Terpimpin, menunjukkan upaya konkret untuk mewujudkan
cita-cita Marhaenisme meskipun menghadapi berbagai kendala struktural dan
politik3.
Dari sisi teoretik
dan praktis, Marhaenisme tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan kiri yang
menganggapnya tidak radikal, maupun dari kaum liberal yang menilainya terlalu
intervensionis4. Problematika implementasi di masa Demokrasi
Terpimpin juga menunjukkan bahwa transformasi ideologi ke dalam kebijakan
negara memerlukan kelembagaan yang kuat, tata kelola yang baik, dan partisipasi
rakyat yang otentik5.
Namun demikian,
Marhaenisme tetap relevan hingga kini. Di tengah realitas ketimpangan sosial,
dominasi kapitalisme global, dan marginalisasi rakyat kecil, nilai-nilai
Marhaenisme tentang keadilan sosial, kedaulatan ekonomi rakyat, serta
emansipasi politik masih sangat diperlukan. Gerakan sosial kontemporer yang
memperjuangkan hak-hak buruh, petani, dan komunitas adat mencerminkan semangat
Marhaenisme yang hidup dalam praksis sehari-hari6. Selain itu,
revitalisasi Marhaenisme dalam bentuk kebijakan ekonomi kerakyatan dan
demokrasi partisipatoris dapat menjadi alternatif bagi pembangunan nasional
yang lebih adil dan berkelanjutan7.
Dengan demikian,
Marhaenisme bukan hanya bagian dari sejarah ideologi Indonesia, melainkan juga
inspirasi yang terus hidup untuk mewujudkan cita-cita bangsa: masyarakat
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Footnotes
[1]
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 75–76.
[2]
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca: Cornell University Press, 1952), 275–277.
[3]
J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen
& Unwin, 1972), 95–97.
[4]
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca:
Cornell University Press, 1965), 33–34.
[5]
Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen
& Unwin, 1986), 68–69.
[6]
Dwi P. Susetiawan, “Dinamika Gerakan Petani di Indonesia: Studi atas
Gerakan Petani Pasca-Reformasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 22, no.
1 (2020): 105.
[7]
Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal
Prisma, No. 5 (1980): 20–21.
Daftar
Pustaka
Aditjondro, G. J. (2001). Korupsi, kolusi, dan
nepotisme: Upaya merongrong negara kesejahteraan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Aidit, D. N. (1964). Marxisme dan revolusi
Indonesia. Jakarta: Jajasan Pembaruan.
Badan Pusat Statistik. (2023). Profil kemiskinan
di Indonesia Maret 2023. Retrieved April 24, 2025, from https://www.bps.go.id
Crouch, H. (1978). The army and politics in
Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Dhakidae, D. (1980). Marhaenisme: Ideologi yang
membumi. Prisma, (5), 14–21.
Giddens, A. (1998). The third way: The renewal
of social democracy. Cambridge: Polity Press.
Hatta, M. (1979). Memoir. Jakarta: Tintamas.
Hedman, E.-L. E. (2006). In the name of civil
society: From free election movements to people power in the Philippines.
Honolulu: University of Hawai‘i Press.
Kahin, G. M. (1952). Nationalism and revolution
in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Legge, J. D. (1972). Sukarno: A political
biography. Sydney: Allen & Unwin.
Marx, K., & Engels, F. (1992). The communist
manifesto (D. McLellan, Ed.). Oxford: Oxford University Press. (Original
work published 1848)
Marx, K. (1970). Contribution to the critique of
Hegel’s philosophy of right (J. O'Malley, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press. (Original work published 1844)
Mazrui, A. (1978). Political values and the
educated class in Africa. London: Heinemann.
Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of
capital. Sydney: Allen & Unwin.
Soekarno. (1964a). Di bawah bendera revolusi.
Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno.
Soekarno. (1964b). Indonesia menggugat.
Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno.
Soekarno. (2005). Islam sontoloyo. Jakarta:
Media Pressindo. (Asli diterbitkan sebelum 1965)
Susetiawan, D. P. (2020). Dinamika gerakan petani
di Indonesia: Studi atas gerakan petani pasca-reformasi. Jurnal Masyarakat
dan Budaya, 22(1), 91–112.
Tanter, R. (1990). State and civil society in
Indonesia (Working Paper No. 42). Clayton, Victoria: Monash University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar