Sabtu, 26 April 2025

Marhaenisme: Ideologi, Sejarah, dan Relevansinya dalam Konteks Sosial-Politik Indonesia

Marhaenisme

Ideologi, Sejarah, dan Relevansinya dalam Konteks Sosial-Politik Indonesia


Alihkan ke: Pemikiran Ir. Soekarno.


Abstrak

Marhaenisme merupakan konstruksi ideologi khas Indonesia yang dikembangkan oleh Soekarno sebagai respons terhadap ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat kolonial dan awal kemerdekaan. Berakar dari kombinasi sosialisme, nasionalisme, dan nilai-nilai religius, Marhaenisme menempatkan rakyat kecil—kaum Marhaen—sebagai subjek utama perjuangan emansipatoris. Artikel ini membahas secara komprehensif konsep dasar Marhaenisme, akar filsafatnya, prinsip-prinsip pokoknya, serta implementasinya dalam politik Indonesia, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin. Melalui perbandingan dengan Marxisme-Leninisme, sosialisme demokratis, dan nasionalisme ekonomi Asia-Afrika, terungkap karakter khas Marhaenisme sebagai adaptasi kreatif terhadap konteks lokal. Artikel ini juga mengkaji kritik-kritik terhadap Marhaenisme, baik dari perspektif internal maupun eksternal, serta menilai relevansi prinsip-prinsip Marhaenisme dalam menghadapi tantangan ketimpangan sosial, globalisasi, dan krisis representasi politik di Indonesia masa kini. Dengan pendekatan historis-analitis, artikel ini menegaskan bahwa Marhaenisme tetap memiliki relevansi sebagai inspirasi ideologis untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil, mandiri, dan berdaulat.

Kata Kunci: Marhaenisme; Soekarno; Ideologi Indonesia; Sosialisme Nasional; Ketimpangan Sosial; Demokrasi Terpimpin; Anti-Imperialisme.


PEMBAHASAN

Menelusuri Marhaenisme Berdasarkan Referensi Kredibel


1.          Pendahuluan

Marhaenisme merupakan salah satu ideologi khas Indonesia yang dirumuskan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pada masa perjuangan kemerdekaan. Lahir dari realitas sosial masyarakat agraris Indonesia, Marhaenisme menawarkan suatu bentuk ideologi kerakyatan yang berfokus pada emansipasi rakyat kecil, terutama kaum tani dan buruh, dari penindasan ekonomi, sosial, dan politik1. Berbeda dari sosialisme Barat yang berbasis pada industrialisasi proletar, Marhaenisme menekankan pentingnya pemberdayaan individu rakyat yang memiliki alat produksi sendiri namun tetap hidup dalam kemiskinan struktural2.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Marhaenisme tidak hanya menjadi konsep ideologis, tetapi juga bertransformasi menjadi fondasi bagi gerakan nasionalis dalam menghadapi kolonialisme dan imperialisme. Soekarno memformulasikan Marhaenisme sebagai adaptasi lokal dari gagasan-gagasan sosialisme dan Marxisme, dengan mempertimbangkan karakteristik sosio-kultural bangsa Indonesia3. Ideologi ini berupaya mengharmonisasikan nilai-nilai nasionalisme, sosialisme, dan religiositas dalam satu kerangka perjuangan bangsa untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Urgensi membahas Marhaenisme dewasa ini menjadi semakin relevan mengingat tantangan-tantangan kontemporer seperti ketimpangan sosial, marginalisasi ekonomi, dan krisis identitas kebangsaan yang masih menghantui Indonesia. Dengan memahami Marhaenisme secara historis dan filosofis, diharapkan dapat ditemukan inspirasi bagi solusi alternatif dalam menghadapi masalah-masalah struktural tersebut4. Terlebih, di tengah arus globalisasi yang cenderung mendiktekan sistem kapitalisme neoliberal, refleksi terhadap konsep-konsep kerakyatan seperti Marhaenisme menjadi penting untuk memperkuat kemandirian nasional dan memperjuangkan keadilan sosial5.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan telaah komprehensif terhadap Marhaenisme: mulai dari pengertian dasarnya, akar-akar filosofisnya, prinsip-prinsip pokoknya, implementasi historisnya, kritik-kritiknya, hingga relevansinya di era kontemporer. Dengan pendekatan historis-analitis, pembahasan ini diharapkan mampu memperkaya khazanah pemikiran politik Indonesia serta memberikan sumbangan bagi wacana pembangunan bangsa yang berbasis pada prinsip keadilan sosial.


Footnotes

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 59–60.

[2]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 28.

[3]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 94–96.

[4]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 275.

[5]                Baskara T. Wardaya, Memori Ketidakadilan: Rekonstruksi Identitas dan Solidaritas Baru (Yogyakarta: Galangpress, 2007), 122.


2.          Konsep Dasar Marhaenisme

2.1.       Definisi Marhaenisme

Marhaenisme merupakan suatu paham yang dikembangkan oleh Soekarno berdasarkan realitas sosial Indonesia, yakni mayoritas rakyat yang memiliki alat produksi sendiri, seperti cangkul atau sawah, namun hidup dalam keterbatasan ekonomi1. Berbeda dari proletariat dalam konsepsi Marxisme klasik, kaum Marhaen adalah petani, buruh kecil, nelayan, dan pedagang kecil yang meskipun secara formal memiliki alat produksi, tetap berada dalam posisi rentan secara ekonomi. Oleh karena itu, Marhaenisme tidak hanya berorientasi pada penghapusan kapitalisme dan imperialisme, tetapi juga pada penguatan kemandirian ekonomi rakyat2.

Menurut Soekarno, Marhaenisme adalah sistem perjuangan untuk membebaskan rakyat dari segala bentuk penindasan dengan mengedepankan keadilan sosial, nasionalisme, dan kedaulatan ekonomi3. Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa Marhaenisme adalah “ajaran untuk membebaskan Marhaen dari kemiskinan, ketertindasan, dan penghisapan oleh kekuatan kapitalisme dan imperialisme”4.

2.2.       Asal Usul Istilah "Marhaen"

Istilah "Marhaen" berasal dari pengalaman pribadi Soekarno saat bertemu seorang petani kecil bernama Marhaen di daerah Bandung pada tahun 1926. Marhaen tersebut memiliki sebidang tanah kecil dan alat produksi sederhana, namun tetap hidup dalam kemiskinan5. Pertemuan ini mengilhami Soekarno untuk menggunakan istilah "Marhaen" sebagai simbol kondisi umum rakyat Indonesia yang mengalami eksploitasi meskipun memiliki alat produksi sendiri.

Soekarno memilih nama "Marhaen" untuk menggambarkan suatu golongan masyarakat yang berbeda dari proletariat di negara-negara Barat. Bila proletariat di Barat tidak memiliki alat produksi sama sekali dan hanya menjual tenaga kerja, maka Marhaen di Indonesia memiliki alat produksi tetapi tetap mengalami ketidakadilan sosial dan ekonomi6. Ini menjadi dasar bagi Soekarno untuk mengembangkan teori revolusi sosial yang khas Indonesia, berbeda dari model revolusi sosialis Eropa.

Melalui pengangkatan istilah "Marhaen", Soekarno ingin menekankan bahwa perjuangan di Indonesia bukan hanya perjuangan kelas semata, tetapi juga perjuangan untuk membangun keadilan ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat kecil dan pemilik alat produksi sederhana7.


Footnotes

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 61–62.

[2]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 30–32.

[3]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 95.

[4]                Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 44.

[5]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 276.

[6]                Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal Prisma, No. 5 (1980): 14–15.

[7]                Robert Cribb dan Audrey Kahin, Historical Dictionary of Indonesia (Lanham: Scarecrow Press, 2004), 265.


3.          Marhaenisme dan Akar Filsafatnya

3.1.       Pengaruh Sosialisme dan Marxisme

Marhaenisme sebagai ideologi politik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat sosialisme dan Marxisme, terutama dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme. Soekarno sendiri mengakui bahwa Marxisme memberinya landasan konseptual tentang bagaimana sistem kapitalis menghasilkan ketimpangan sosial dan ekonomi1. Namun, Soekarno dengan sadar melakukan modifikasi terhadap ajaran Marx agar sesuai dengan kondisi sosial Indonesia yang berbeda dengan masyarakat industri Eropa.

Dalam konteks Marxisme klasik, proletariat adalah kelas pekerja tanpa kepemilikan alat produksi yang hidup dari menjual tenaga kerja kepada kapitalis2. Sedangkan di Indonesia kolonial, mayoritas rakyat kecil, seperti petani dan pedagang kecil, justru memiliki alat produksi minimal tetapi tetap hidup dalam kondisi tertindas. Oleh sebab itu, Soekarno menolak transplantasi mentah-mentah teori revolusi proletariat-Marxisme dan menggantinya dengan perjuangan berbasis "kaum Marhaen", yaitu mereka yang memiliki alat produksi namun tetap dieksploitasi dalam sistem kolonial kapitalistik3.

Dalam pemikiran Soekarno, Marhaenisme adalah bentuk sosialisme nasional yang mempertahankan prinsip emansipasi rakyat sambil tetap memperhitungkan nilai-nilai budaya lokal4. Ia menolak ateisme yang melekat dalam banyak interpretasi Marxisme Eropa dan mengedepankan keselarasan antara semangat revolusioner dengan religiositas masyarakat Indonesia.

3.2.       Nasionalisme, Islamisme, dan Marhaenisme

Marhaenisme tidak hanya dibangun dari ide-ide sosialisme, tetapi juga merupakan sintesis dari nasionalisme dan nilai-nilai religius. Soekarno melihat nasionalisme bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk mencapai emansipasi manusia Indonesia dari belenggu kolonialisme5. Baginya, nasionalisme harus diintegrasikan dengan sosialisme agar tidak menjadi chauvinistik atau eksklusif, dan harus didasari nilai-nilai kemanusiaan universal yang banyak terkandung dalam agama, khususnya Islam6.

Dalam banyak pidatonya, Soekarno menekankan bahwa ajaran Islam tentang keadilan sosial, penghapusan penindasan, dan solidaritas sesama manusia sangat sejalan dengan tujuan Marhaenisme7. Hal ini tampak dalam upaya Soekarno merumuskan “Nasionalisme + Islamisme + Marxisme” sebagai tiga kekuatan besar yang harus dipadukan untuk membangun Indonesia merdeka8.

Melalui Marhaenisme, Soekarno berupaya menghindarkan Indonesia dari polarisasi ideologis antara nasionalisme sempit, sosialisme ateistik, dan fanatisme keagamaan yang kaku. Ia menawarkan jalan ketiga yang menggabungkan semangat pembebasan sosial dengan nilai-nilai spiritual dan nasional, sehingga Marhaenisme menjadi proyek ideologis yang "Indonesia sentris" dan bukan sekadar imitasi dari model Barat9.


Footnotes

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 75.

[2]                Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 48.

[3]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 31–33.

[4]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 99.

[5]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 278.

[6]                Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 110–112.

[7]                Soekarno, Islam Sontoloyo (Jakarta: Media Pressindo, 2005), 17–18.

[8]                Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), 104.

[9]                Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal Prisma, No. 5 (1980): 16.


4.          Prinsip-Prinsip Pokok Marhaenisme

Marhaenisme sebagai sebuah ideologi nasionalistik-sosialis khas Indonesia dibangun di atas sejumlah prinsip pokok yang mencerminkan visi Soekarno tentang pembebasan rakyat kecil dari segala bentuk ketertindasan. Prinsip-prinsip ini bukan hanya merupakan adaptasi dari sosialisme Eropa, tetapi merupakan sintesis kreatif yang disesuaikan dengan realitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial.

4.1.       Emansipasi Rakyat Kecil

Salah satu prinsip utama Marhaenisme adalah emansipasi atau pembebasan rakyat kecil dari berbagai bentuk penindasan ekonomi, politik, dan sosial1. Soekarno menegaskan bahwa revolusi Indonesia haruslah revolusi sosial yang bertujuan membebaskan kaum Marhaen—yaitu petani kecil, buruh, dan pedagang kecil—dari struktur ketidakadilan yang dibangun oleh kapitalisme kolonial2. Emansipasi ini tidak hanya berarti perubahan status ekonomi, tetapi juga pemberdayaan dalam aspek politik dan budaya, sehingga rakyat menjadi subjek dalam proses pembangunan bangsa.

4.2.       Penguasaan Alat Produksi

Dalam Marhaenisme, penguasaan alat produksi oleh rakyat merupakan syarat mutlak untuk mencapai keadilan sosial3. Soekarno berpandangan bahwa ketimpangan sosial terjadi ketika alat-alat produksi, seperti tanah, pabrik, dan alat perdagangan, dikuasai oleh segelintir elit kapitalis. Oleh karena itu, ia menganjurkan model ekonomi di mana setiap individu memiliki akses langsung terhadap alat produksi atau, dalam beberapa hal, pengelolaannya dilakukan secara kolektif melalui koperasi4. Konsep ini bertujuan menghindari ketergantungan terhadap kapitalisme asing maupun kapitalisme pribumi yang eksploitatif.

4.3.       Keadilan Sosial

Prinsip keadilan sosial adalah fondasi moral dari Marhaenisme. Soekarno merumuskan bahwa keadilan sosial berarti terciptanya distribusi kekayaan dan kesempatan yang adil di seluruh lapisan masyarakat5. Dalam konteks ini, Marhaenisme menolak sistem sosial yang memungkinkan penumpukan kekayaan di tangan minoritas dan mengabaikan kesejahteraan mayoritas. Ide keadilan sosial ini kemudian menjadi salah satu sila dalam Pancasila, yang dirumuskan Soekarno sebagai ideologi dasar negara Indonesia6.

4.4.       Anti-Imperialisme dan Anti-Kolonialisme

Marhaenisme juga berakar kuat pada prinsip anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Soekarno memandang bahwa imperialisme adalah bentuk paling parah dari kapitalisme internasional yang menghisap kekayaan negara-negara terjajah untuk keuntungan bangsa-bangsa penjajah7. Oleh sebab itu, perjuangan Marhaenisme tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga bagian dari solidaritas global dengan bangsa-bangsa tertindas di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Prinsip ini mendorong Soekarno untuk aktif memimpin gerakan Non-Blok dan Konferensi Asia-Afrika8.

Dalam konteks Marhaenisme, anti-imperialisme tidak hanya bersifat politik tetapi juga ekonomi dan budaya. Soekarno menekankan pentingnya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan nasional9. Dengan demikian, Marhaenisme bukan sekadar ideologi pembebasan dari penjajahan asing, melainkan juga pembebasan dari dominasi ekonomi global yang melanggengkan ketidakadilan struktural.


Footnotes

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 80.

[2]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 279–280.

[3]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 32–33.

[4]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 97–98.

[5]                Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), 107.

[6]                Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 115.

[7]                Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 52–53.

[8]                Baskara T. Wardaya, Memori Ketidakadilan: Rekonstruksi Identitas dan Solidaritas Baru (Yogyakarta: Galangpress, 2007), 125.

[9]                Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal Prisma, No. 5 (1980): 17.


5.          Implementasi Marhaenisme dalam Politik Indonesia

Marhaenisme, sebagai ideologi kerakyatan yang dikembangkan oleh Soekarno, tidak hanya berhenti pada tataran konseptual, tetapi juga diupayakan untuk diimplementasikan dalam praktik politik nasional. Implementasi Marhaenisme tampak jelas dalam berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang diambil oleh Soekarno, baik melalui gerakan politiknya sendiri maupun lewat instrumen negara.

5.1.       Marhaenisme dalam Pidato dan Tindakan Politik Soekarno

Pidato-pidato Soekarno pada era pra-kemerdekaan hingga masa kepresidenannya sarat dengan muatan ideologi Marhaenisme. Salah satu manifestasi awalnya dapat dilihat dalam pidato "Indonesia Menggugat" (1930), di mana Soekarno mengartikulasikan perlunya rakyat kecil untuk membebaskan diri dari sistem kapitalisme kolonial1. Setelah Indonesia merdeka, Marhaenisme semakin eksplisit dalam pidato kenegaraan Soekarno, terutama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965), di mana ia menekankan pentingnya revolusi sosial untuk menghapuskan ketimpangan sosial dan ekonomi2.

Dalam tindakan politiknya, Soekarno mendorong konsolidasi kekuatan rakyat kecil melalui pembentukan organisasi-organisasi massa seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang walaupun berafiliasi ke kiri, tetap sejalan dengan gagasan emansipasi rakyat kecil ala Marhaenisme3.

5.2.       PNI dan Marhaenisme

Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada tahun 1927 secara eksplisit mengadopsi Marhaenisme sebagai asas perjuangan politiknya. PNI berupaya memperjuangkan kemerdekaan nasional melalui jalan non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial dan berlandaskan pada prinsip nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme kerakyatan4.

Dalam Manifesto Politik (Manipol) 1945 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Manipol-Usdek (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) tahun 1959, terlihat bagaimana PNI dan Soekarno berusaha mensintesiskan Marhaenisme ke dalam ideologi resmi negara5. PNI bahkan secara terbuka menyatakan bahwa partai mereka adalah “partai Marhaenis” yang berjuang demi rakyat kecil melawan kapitalisme dan imperialisme.

5.3.       Penerapan Marhaenisme dalam Konsep Ekonomi Terpimpin

Ekonomi Terpimpin merupakan salah satu upaya konkret untuk menerapkan prinsip-prinsip Marhaenisme dalam sistem ekonomi Indonesia. Konsep ini menolak liberalisme ekonomi dan mendorong peran negara dalam mengendalikan sumber-sumber daya ekonomi strategis untuk kesejahteraan rakyat6.

Di bawah Ekonomi Terpimpin, negara mengambil alih berbagai perusahaan asing dan nasionalisasi aset-aset kolonial, sebagai bentuk nyata dari prinsip penguasaan alat produksi oleh rakyat, walaupun dalam praktiknya pengelolaan tetap dilakukan oleh birokrasi negara7. Selain itu, pembentukan koperasi dan pemberian dukungan terhadap usaha kecil dan pertanian rakyat menjadi instrumen penting untuk memberdayakan kaum Marhaen dalam struktur ekonomi nasional.

Namun demikian, implementasi Ekonomi Terpimpin menghadapi berbagai kendala, seperti inefisiensi birokrasi, korupsi, dan resistensi dari kelompok-kelompok yang masih terikat pada sistem kapitalistik, sehingga cita-cita Marhaenisme dalam bidang ekonomi tidak sepenuhnya tercapai8.


Footnotes

[1]                Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 41–43.

[2]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 284.

[3]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 55–57.

[4]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 105–106.

[5]                Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959 (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1966), 97.

[6]                Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), 128–130.

[7]                Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), 68–69.

[8]                Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986), 45.


6.          Perbandingan Marhaenisme dengan Ideologi Lain

Untuk memahami kekhasan Marhaenisme sebagai ideologi, penting untuk membandingkannya dengan beberapa ideologi besar lain yang memiliki hubungan historis dan filosofis dengannya, yaitu Marxisme-Leninisme, Sosialisme Demokratis, dan nasionalisme ekonomi negara-negara berkembang di Asia-Afrika. Melalui perbandingan ini dapat terlihat karakter asli Marhaenisme sebagai adaptasi kreatif terhadap kondisi Indonesia.

6.1.       Marxisme-Leninisme

Marhaenisme memiliki hubungan historis dan teoretis dengan Marxisme, terutama dalam hal kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme. Soekarno mengadopsi gagasan dasar Marxis bahwa ketimpangan sosial disebabkan oleh kepemilikan alat produksi yang timpang dan bahwa revolusi rakyat merupakan jalan pembebasan1. Namun, perbedaan utama terletak pada subjek revolusi. Dalam Marxisme-Leninisme, proletariat industri menjadi agen utama perubahan, sedangkan dalam Marhaenisme, agen perubahan adalah kaum Marhaen—rakyat kecil yang memiliki alat produksi namun tetap tertindas2.

Selain itu, Marhaenisme menolak ateisme yang melekat dalam banyak varian Marxisme-Leninisme. Soekarno berupaya mensintesiskan nilai-nilai agama ke dalam perjuangan sosial, sementara Marxisme-Leninisme pada umumnya menganggap agama sebagai instrumen "candu rakyat"3. Dalam hal pendekatan politik, Marxisme-Leninisme menekankan kediktatoran proletariat, sedangkan Marhaenisme mengusung konsep demokrasi kerakyatan dengan cita-cita musyawarah4.

6.2.       Sosialisme Demokratis

Sosialisme demokratis, seperti yang berkembang di Eropa Barat (misalnya di Swedia dan Inggris), mengedepankan demokrasi parlementer dan ekonomi campuran sebagai sarana mencapai keadilan sosial5. Dalam beberapa aspek, Marhaenisme mirip dengan sosialisme demokratis dalam hal penghargaan terhadap demokrasi politik dan ekonomi kerakyatan. Namun, Marhaenisme lebih radikal dalam menolak liberalisme ekonomi dan lebih menekankan pada mobilisasi massa untuk perubahan struktural6.

Sementara sosialisme demokratis cenderung berkembang dalam masyarakat industri maju, Marhaenisme lahir dari realitas masyarakat agraris yang terjajah. Oleh karena itu, Marhaenisme mengintegrasikan isu-isu dekolonisasi dan perjuangan nasional dalam skema sosialismenya, sesuatu yang kurang menonjol dalam sosialisme demokratis Barat7.

6.3.       Nasionalisme Ekonomi Asia-Afrika

Dalam dekade 1950–1960-an, banyak negara Asia dan Afrika yang baru merdeka mengembangkan bentuk nasionalisme ekonomi, yang menekankan kemandirian nasional dan penolakan terhadap dominasi ekonomi asing. Pemikiran Marhaenisme dalam banyak hal paralel dengan gerakan seperti Nasserisme di Mesir atau African Socialism di Tanzania8.

Namun, Marhaenisme memiliki distingsi tersendiri karena sifat integratifnya: ia bukan hanya menolak dominasi asing, tetapi juga berupaya membangun struktur sosial baru yang adil berdasarkan kepemilikan alat produksi oleh rakyat kecil9. Selain itu, Marhaenisme memberikan bobot yang lebih besar kepada peran ideologi budaya dan agama dalam membentuk kesadaran nasional dan sosial.


Footnotes

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 74–75.

[2]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 31–32.

[3]                Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, trans. Joseph O'Malley (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 131.

[4]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 284.

[5]                Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European Left in the Twentieth Century (New York: The New Press, 1996), 112–115.

[6]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 96–97.

[7]                Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (Cambridge: Polity Press, 1998), 23–24.

[8]                Ali Mazrui, Political Values and the Educated Class in Africa (London: Heinemann, 1978), 87–88.

[9]                Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal Prisma, No. 5 (1980): 18.


7.          Kritik terhadap Marhaenisme

Meskipun Marhaenisme dianggap sebagai sumbangan ideologis orisinal dari Soekarno untuk bangsa Indonesia, ideologi ini tidak luput dari kritik, baik dari kalangan intelektual kiri, kelompok liberal, maupun dari segi pelaksanaannya dalam kebijakan negara. Kritik terhadap Marhaenisme menyasar pada aspek teoritik, aplikatif, dan efektivitasnya dalam menjawab tantangan sosial-politik kontemporer.

7.1.       Kritik Internal: Keterbatasan Teoretik dan Ketidakkonsistenan

Sebagian kalangan intelektual kiri menganggap Marhaenisme sebagai bentuk “sosialisme setengah hati” karena tidak secara eksplisit mengadopsi kerangka dialektika historis dan determinisme ekonomi sebagaimana dalam Marxisme ortodoks1. Soekarno dianggap terlalu kompromistis dengan elemen-elemen nasionalisme dan religiositas yang menurut kalangan Marxis justru memperlemah perjuangan kelas2.

Lebih lanjut, beberapa pengamat menyebutkan bahwa Marhaenisme bersifat eklektik dan kurang sistematis sebagai suatu bangunan filsafat sosial-politik. Ide-ide yang digabungkan dari Marxisme, Islamisme, dan nasionalisme belum sepenuhnya disintesiskan dalam kerangka logika ideologis yang koheren. Akibatnya, interpretasi terhadap Marhaenisme sering kali bersifat subjektif dan kontekstual3.

7.2.       Kritik Eksternal: Perspektif Liberalisme dan Kapitalisme

Dari sudut pandang liberal dan kapitalis, Marhaenisme dikritik sebagai ideologi yang terlalu memprioritaskan intervensi negara dalam kehidupan ekonomi, yang pada gilirannya berpotensi mengekang kebebasan individu dan dinamika pasar4. Kebijakan ekonomi yang terinspirasi oleh Marhaenisme, seperti nasionalisasi perusahaan asing dan pengutamaan koperasi, dianggap menurunkan efisiensi ekonomi dan menumbuhkan birokrasi yang korup.

Kritik lainnya adalah kecenderungan Marhaenisme untuk meromantisasi rakyat kecil tanpa memperhitungkan tantangan-tantangan struktural dan globalisasi ekonomi yang semakin kompleks. Dalam kerangka neoliberalisme global, pendekatan Marhaenisme dinilai terlalu proteksionis dan tertinggal dari dinamika pasar bebas5.

7.3.       Problematika Implementasi: Kesenjangan antara Ide dan Praktik

Secara historis, implementasi Marhaenisme mengalami kendala serius, terutama ketika diterapkan melalui sistem Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin pada masa akhir kekuasaan Soekarno. Banyak kebijakan yang dijiwai semangat Marhaenisme justru terjebak dalam birokratisasi dan militerisasi negara, sehingga berlawanan dengan cita-cita emansipasi rakyat6.

Lemahnya kelembagaan ekonomi rakyat seperti koperasi, serta buruknya tata kelola dan pengawasan, menyebabkan berbagai program Marhaenis gagal mencapai targetnya. Misalnya, upaya nasionalisasi ekonomi justru membuka peluang bagi lahirnya oligarki baru di kalangan elite militer dan birokrat7.

Di sisi lain, personifikasi ideologi Marhaenisme pada sosok Soekarno juga menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap kharisma pemimpin. Ketika Soekarno lengser, tidak ada institusi ideologis yang mampu melanjutkan dan mengembangkan Marhaenisme secara sistematis, sehingga ideologi ini kemudian meredup di era Orde Baru8.


Footnotes

[1]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 33–34.

[2]                D. N. Aidit, Marxisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jajasan Pembaruan, 1964), 12.

[3]                Daniel Dhakidae, “Marhaenisme: Ideologi yang Membumi,” Prisma, No. 5 (1980): 19.

[4]                Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986), 61.

[5]                Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), 85.

[6]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 289.

[7]                Richard Tanter, State and Civil Society in Indonesia (Monash University, Working Paper No. 42, 1990), 14.

[8]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 210–212.


8.          Relevansi Marhaenisme dalam Konteks Kontemporer

Meskipun Marhaenisme dirumuskan dalam konteks kolonial dan awal kemerdekaan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap menawarkan perspektif alternatif yang penting untuk menghadapi tantangan sosial-politik dan ekonomi Indonesia di era kontemporer. Dalam konteks globalisasi, neoliberalisme, serta krisis multidimensi yang menimpa rakyat kecil, Marhaenisme masih memiliki daya hidup sebagai wacana dan praksis emansipatoris.

8.1.       Marhaenisme dan Ketimpangan Sosial-Ekonomi

Indonesia saat ini menghadapi persoalan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks gini ratio Indonesia masih berada di atas 0,38 yang menandakan ketimpangan distribusi pendapatan yang signifikan1. Dalam situasi ini, prinsip Marhaenisme yang menekankan keadilan sosial dan penguasaan alat produksi oleh rakyat kecil menjadi sangat relevan.

Marhaenisme menyerukan perlawanan terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif dan mendorong terciptanya sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan pada akumulasi modal oleh segelintir elit2. Konsep penguatan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta redistribusi sumber daya produksi secara adil, merupakan aspek-aspek Marhaenisme yang sesuai dengan kebutuhan kebijakan sosial-ekonomi hari ini3.

8.2.       Gerakan Sosial Modern dan Marhaenisme

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak buruh, petani, nelayan, dan masyarakat adat mengandung semangat yang senada dengan prinsip Marhaenisme. Misalnya, gerakan petani atas konflik agraria dan penggusuran, serta protes buruh terhadap fleksibilisasi tenaga kerja dalam UU Cipta Kerja, mencerminkan resistensi kaum Marhaen modern terhadap kapitalisme neoliberal4.

Marhaenisme dapat menjadi kerangka ideologis yang memperkuat agenda-agenda gerakan rakyat tersebut dengan mengedepankan prinsip keadilan struktural, pemberdayaan rakyat, dan penguatan demokrasi partisipatoris. Dalam konteks ini, Marhaenisme tidak hanya hidup dalam diskursus akademik atau retorika politik, tetapi juga sebagai energi moral yang menggerakkan aksi kolektif rakyat tertindas5.

8.3.       Revitalisasi Marhaenisme dalam Politik Indonesia

Meskipun banyak partai politik saat ini mengklaim berpihak kepada rakyat kecil, tidak banyak yang secara eksplisit menghidupkan kembali semangat Marhaenisme sebagai landasan ideologis. Namun demikian, beberapa inisiatif lokal maupun program pemerintah yang berpihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan pembangunan desa berbasis partisipasi masyarakat, bisa dibaca sebagai cerminan semangat Marhaenisme dalam praktik pemerintahan modern6.

Untuk menghidupkan kembali Marhaenisme secara substantif, diperlukan pembacaan ulang terhadap karya-karya Soekarno dan reinterpretasi prinsip-prinsipnya dalam kerangka kebijakan publik masa kini. Hal ini mencakup pemajuan pendidikan kritis, ekonomi rakyat berbasis koperasi, dan penguatan lembaga demokrasi akar rumput7.

Lebih dari itu, revitalisasi Marhaenisme menuntut pengembangan platform ideologis yang berani menantang hegemoni neoliberalisme dan menawarkan model pembangunan alternatif yang berakar pada nilai-nilai keadilan sosial, gotong royong, dan kedaulatan rakyat.


Footnotes

[1]                Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023, diakses 24 April 2025, https://www.bps.go.id.

[2]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 84.

[3]                George Junus Aditjondro, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Upaya Merongrong Negara Kesejahteraan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 93.

[4]                Dwi P. Susetiawan, “Dinamika Gerakan Petani di Indonesia: Studi atas Gerakan Petani Pasca-Reformasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 22, no. 1 (2020): 91–112.

[5]                Daniel Dhakidae, “Marhaenisme: Ideologi yang Membumi,” Jurnal Prisma, No. 5 (1980): 20.

[6]                Eva-Lotta E. Hedman, In the Name of Civil Society: From Free Election Movements to People Power in the Philippines (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2006), 119.

[7]                Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 56.


9.          Kesimpulan

Marhaenisme merupakan sumbangan ideologis yang penting dari Soekarno dalam merespons tantangan kolonialisme, kapitalisme, dan ketimpangan sosial di Indonesia. Sebagai bentuk sosialisme nasional yang khas, Marhaenisme tidak hanya mengadopsi gagasan sosialisme dan Marxisme Barat, tetapi juga menyesuaikannya dengan kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang agraris dan religius1. Dengan menempatkan rakyat kecil—petani, buruh, dan pedagang kecil—sebagai subjek utama revolusi sosial, Marhaenisme menghadirkan paradigma emansipasi yang berakar pada realitas rakyat Indonesia2.

Prinsip-prinsip pokok Marhaenisme, seperti emansipasi rakyat kecil, penguasaan alat produksi, keadilan sosial, serta anti-imperialisme dan anti-kolonialisme, membentuk kerangka perjuangan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Implementasinya dalam politik nasional, terutama melalui peran Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kebijakan Ekonomi Terpimpin, menunjukkan upaya konkret untuk mewujudkan cita-cita Marhaenisme meskipun menghadapi berbagai kendala struktural dan politik3.

Dari sisi teoretik dan praktis, Marhaenisme tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan kiri yang menganggapnya tidak radikal, maupun dari kaum liberal yang menilainya terlalu intervensionis4. Problematika implementasi di masa Demokrasi Terpimpin juga menunjukkan bahwa transformasi ideologi ke dalam kebijakan negara memerlukan kelembagaan yang kuat, tata kelola yang baik, dan partisipasi rakyat yang otentik5.

Namun demikian, Marhaenisme tetap relevan hingga kini. Di tengah realitas ketimpangan sosial, dominasi kapitalisme global, dan marginalisasi rakyat kecil, nilai-nilai Marhaenisme tentang keadilan sosial, kedaulatan ekonomi rakyat, serta emansipasi politik masih sangat diperlukan. Gerakan sosial kontemporer yang memperjuangkan hak-hak buruh, petani, dan komunitas adat mencerminkan semangat Marhaenisme yang hidup dalam praksis sehari-hari6. Selain itu, revitalisasi Marhaenisme dalam bentuk kebijakan ekonomi kerakyatan dan demokrasi partisipatoris dapat menjadi alternatif bagi pembangunan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan7.

Dengan demikian, Marhaenisme bukan hanya bagian dari sejarah ideologi Indonesia, melainkan juga inspirasi yang terus hidup untuk mewujudkan cita-cita bangsa: masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.


Footnotes

[1]                Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno, 1964), 75–76.

[2]                George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 275–277.

[3]                J. D. Legge, Sukarno: A Political Biography (Sydney: Allen & Unwin, 1972), 95–97.

[4]                Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 33–34.

[5]                Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986), 68–69.

[6]                Dwi P. Susetiawan, “Dinamika Gerakan Petani di Indonesia: Studi atas Gerakan Petani Pasca-Reformasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 22, no. 1 (2020): 105.

[7]                Daniel Dhakidae, "Marhaenisme: Ideologi yang Membumi," dalam Jurnal Prisma, No. 5 (1980): 20–21.


Daftar Pustaka

Aditjondro, G. J. (2001). Korupsi, kolusi, dan nepotisme: Upaya merongrong negara kesejahteraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aidit, D. N. (1964). Marxisme dan revolusi Indonesia. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Badan Pusat Statistik. (2023). Profil kemiskinan di Indonesia Maret 2023. Retrieved April 24, 2025, from https://www.bps.go.id

Crouch, H. (1978). The army and politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Dhakidae, D. (1980). Marhaenisme: Ideologi yang membumi. Prisma, (5), 14–21.

Giddens, A. (1998). The third way: The renewal of social democracy. Cambridge: Polity Press.

Hatta, M. (1979). Memoir. Jakarta: Tintamas.

Hedman, E.-L. E. (2006). In the name of civil society: From free election movements to people power in the Philippines. Honolulu: University of Hawai‘i Press.

Kahin, G. M. (1952). Nationalism and revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Legge, J. D. (1972). Sukarno: A political biography. Sydney: Allen & Unwin.

Marx, K., & Engels, F. (1992). The communist manifesto (D. McLellan, Ed.). Oxford: Oxford University Press. (Original work published 1848)

Marx, K. (1970). Contribution to the critique of Hegel’s philosophy of right (J. O'Malley, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press. (Original work published 1844)

Mazrui, A. (1978). Political values and the educated class in Africa. London: Heinemann.

Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of capital. Sydney: Allen & Unwin.

Soekarno. (1964a). Di bawah bendera revolusi. Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno.

Soekarno. (1964b). Indonesia menggugat. Jakarta: Panitia Penerbitan Buku-Buku Bung Karno.

Soekarno. (2005). Islam sontoloyo. Jakarta: Media Pressindo. (Asli diterbitkan sebelum 1965)

Susetiawan, D. P. (2020). Dinamika gerakan petani di Indonesia: Studi atas gerakan petani pasca-reformasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 22(1), 91–112.

Tanter, R. (1990). State and civil society in Indonesia (Working Paper No. 42). Clayton, Victoria: Monash University.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar