Jumat, 22 Agustus 2025

Filsafat Yunani: Asal-Usul, Perkembangan, dan Pengaruhnya terhadap Tradisi Intelektual Dunia

Filsafat Yunani

Asal-Usul, Perkembangan, dan Pengaruhnya terhadap Tradisi Intelektual Dunia


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perjalanan historis dan konseptual filsafat Yunani sebagai fondasi tradisi intelektual dunia. Kajian dimulai dengan penelusuran konteks sosial, politik, dan budaya Yunani kuno, yang menjadi lahan subur bagi kelahiran filsafat sebagai upaya rasional memahami realitas. Periode pra-Sokratik diperlihatkan sebagai tahap awal pencarian prinsip dasar (archē), diikuti dengan perdebatan metafisik tentang perubahan dan ketetapan, hingga teori atomisme. Periode klasik menyoroti kontribusi Sokrates, Plato, dan Aristoteles, yang mengubah orientasi filsafat dari kosmologi ke etika, epistemologi, metafisika, dan politik.

Selanjutnya, periode Hellenistik menandai pergeseran fokus pada etika praktis melalui Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme, yang masing-masing menawarkan jalan menuju ketenangan jiwa. Tema-tema pokok filsafat Yunani—kosmologi, ontologi, epistemologi, etika, dan politik—dianalisis sebagai landasan bagi perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan teori moral. Artikel ini juga menelusuri pengaruh filsafat Yunani terhadap filsafat Romawi, Islam klasik, tradisi Kristen, serta pemikiran modern dan ilmu pengetahuan.

Pada akhirnya, artikel ini menegaskan relevansi kontemporer filsafat Yunani dalam membentuk tradisi berpikir kritis, inspirasi etika dan politik, dialog dengan psikologi dan spiritualitas modern, serta kontribusi dalam wacana global mengenai hak asasi manusia dan kosmopolitanisme. Dengan demikian, filsafat Yunani dipahami bukan sekadar warisan historis, melainkan laboratorium intelektual universal yang terus hidup dan memberi inspirasi lintas zaman dan peradaban.

Kata Kunci: Filsafat Yunani; Pra-Sokratik; Sokrates; Plato; Aristoteles; Stoisisme; Epikureanisme; Skeptisisme; Neoplatonisme; Etika; Metafisika; Epistemologi; Politik; Relevansi Kontemporer.


PEMBAHASAN

Perjalanan Historis dan Konseptual Filsafat Yunani


1.           Pendahuluan

Filsafat Yunani sering dipandang sebagai salah satu fondasi utama tradisi intelektual dunia, bukan hanya karena kedalaman gagasannya, melainkan juga karena cara berpikir baru yang ia perkenalkan: penyelidikan rasional, sistematis, dan argumentatif terhadap realitas, pengetahuan, dan tindakan manusia. Para pemikir awal yang kemudian dikenal sebagai pra-Sokratik “memperkenalkan cara baru untuk menyelidiki dunia dan tempat manusia di dalamnya,”¹ menandai pergeseran bersejarah dari penjelasan mitologis menuju penalaran berbasis logos. Namun, narasi populer “dari mythos ke logos” itu sendiri perlu dibaca secara kritis, sebab para sejarawan pemikiran menegaskan bahwa proses rasionalisasi Yunani berlangsung bertahap, berlapis, dan dipengaruhi faktor sosial-intelektual yang kompleks.²

Secara garis besar, kajian modern mengelompokkan filsafat Yunani ke dalam tiga fase besar: (1) periode pra-Sokratik (abad ke-6–5 SM), dengan fokus pada pencarian archē (prinsip pertama) dan penjelasan kosmologis; (2) periode klasik (abad ke-5–4 SM) dengan Sokrates, Plato, dan Aristoteles, yang meletakkan kerangka etika, politik, metafisika, logika, dan epistemologi; serta (3) periode Helenistik dan Akhir Kuno, yang memunculkan aliran Stoa, Epikureanisme, Skeptisisme, dan akhirnya Neoplatonisme.³ Dalam puncak periode klasik, Plato memformulasikan teori Ide dan suatu visi filsafat sebagai jalan hidup yang menyatukan kebenaran, kebaikan, dan keadilan; pengaruhnya menjangkau etika, politik, dan metafisika.⁴ Aristoteles, murid Plato yang sekaligus penyusunnya yang paling kritis, membangun perangkat konseptual yang luar biasa luas—dari logika silogistik dan teori kausalitas, hingga etika kebajikan dan filsafat alam—yang metodologinya bertumpu pada pengamatan, penyusunan phainomena dan endoxa, serta argumen demonstratif.⁵

Fase Helenistik memperlihatkan diversifikasi arus pemikiran: Stoa menekankan rasionalitas kosmik, tatanan alam, dan etika kebajikan yang selaras dengan logos semesta;⁶ Skeptisisme menyorot keterbatasan pengetahuan dan menawarkan epochē (suspensi penilaian) untuk mencapai ketenangan;⁷ sedangkan Neoplatonisme (terutama melalui Plotinus) mengembangkan metafisika emanasi yang berpengaruh luas bagi tradisi-teologis kemudian.⁸ Dalam rentang beberapa abad berikutnya, gagasan-gagasan Yunani berinteraksi secara kreatif dengan filsafat Islam: melalui gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab dan pengembangan kritis oleh para filsuf seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Ibn Rushd, yang kelak ikut memengaruhi renaisans skolastik Latin melalui arus penerjemahan Arab–Latin.⁹ Jejak transmisi pengetahuan ini dapat ditelusuri dari dunia Islam ke pusat-pusat belajar Eropa pada abad ke-12–13.¹⁰

Tulisan ini memaknai “Filsafat Yunani” sebagai suatu spektrum diskursus yang berangkat dari Ionia, Magna Graecia, dan Athena, lalu berkembang dalam ekumene Helenistik dan Akhir Kuno. Definisi kerja ini mencakup bukan hanya para pra-Sokratik, Plato, dan Aristoteles, tetapi juga sekolah-sekolah Helenistik dan Neoplatonisme, karena keseluruhan jaringan gagasan itulah yang membentuk kerangka konseptual warisan Yunani bagi tradisi intelektual sesudahnya.³ Pendekatan semacam ini sejalan dengan historiografi standar dalam kajian filsafat kuno, yang—melalui karya-karya komprehensif seperti W.K.C. Guthrie dan Frederick Copleston—menyajikan periodisasi seraya menekankan kesinambungan tema besar (kosmologi, ontologi, epistemologi, etika, politik) dan variasi metodologis dari satu generasi pemikir ke generasi berikutnya.¹¹&¹²

Dari sudut metodologi, kajian ini memadukan (a) pendekatan historis-filosofis—membaca teks-teks primer dalam konteks sosial-politik serta lintasan resepsinya; (b) analisis konseptual—mengurai istilah kunci (mis. archē, logos, eudaimonia, aretē, nous, hypostasis) dan struktur argumen; serta (c) perbandingan—menimbang korespondensi dan kontras antar-mazhab (mis. Plato vs. Aristoteles dalam metafisika dan teori pengetahuan; Stoa vs. Epikureanisme dalam etika dan fisika). Kerangka ini juga memperhatikan nuansa bahwa “rasionalitas Yunani” tidak identik dengan eliminasi mitos, sebab bahkan Plato tetap menggunakan muthos untuk tujuan pedagogis dan normatif di dalam dialog-dialognya.¹³&¹⁴

Signifikansi historis filsafat Yunani dapat dilihat pada sedikitnya tiga tataran. Pertama, tataran konseptual: gagasan tentang penjelasan kausal, definisi, deduksi, dan demonstrasi (dalam tradisi Aristotelian) maupun teori bentuk (dalam tradisi Platonik) telah memasok kosakata dan teknik bagi filsafat, teologi, dan sains sepanjang dua milenia.⁴&⁵ Kedua, tataran praksis: etika kebajikan, gagasan eudaimonia, serta pembahasan tentang keadilan, hukum, dan polis memengaruhi teori politik dan etika publik modern.⁴ Ketiga, tataran historis-reseptif: jalur transmisi melalui dunia Islam dan Latin membuktikan bahwa filsafat Yunani adalah tradisi yang terbuka―mampu beradaptasi, ditafsirkan ulang, dan dikritik melintasi bahasa dan peradaban.⁹&¹⁰

Untuk memandu pembahasan, artikel ini akan: (1) memaparkan konteks historis kemunculan filsafat di dunia Yunani dan transisi dari horizon mitologis menuju penalaran filosofis;¹&² (2) mengurai fase-fase utama beserta figur kunci—pra-Sokratik, Sokrates, Plato, Aristoteles, dan aliran-aliran Helenistik hingga Neoplatonisme—seraya menyoroti tema-tema pokok (kosmologi, metafisikaontologi, epistemologi, etika, dan politik);³&⁸ serta (3) menelusuri pengaruh lintas tradisi, khususnya ke dunia Islam dan Barat Latin, untuk menunjukkan bagaimana warisan Yunani membentuk peta intelektual global.⁹&¹⁰ Dengan demikian, “Filsafat Yunani” dipahami bukan sebagai monolit, melainkan sebagai jaringan wacana yang dinamis dan interaktif—suatu laboratorium intelektual yang terus menstimulasi filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan hingga hari ini.³&&


Footnotes

[1]                Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds. thereafter), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/. (plato.stanford.edu)

[2]                K. W. Yu, “From Mythos to Logos: Jean-Pierre Vernant, Max Weber, and the Narrative of Occidental Rationalization,” Modern Intellectual History (Cambridge University Press, 2017), diakses 22 Agustus 2025. (Cambridge University Press & Assessment)

[3]                “Greek Philosophy,” Encyclopaedia Britannica, terakhir diperbarui 2 Agustus 2025, diakses 22 Agustus 2025, https://www.britannica.com/topic/Greek-philosophy. (Encyclopedia Britannica)

[4]                Richard Kraut, “Plato,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2004; rev. eds. thereafter), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/plato/. Lihat juga Eric Brown, “Plato: Ethics and Politics in The Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[5]                “Aristotle,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008; rev. eds. thereafter), diakses 22 Agustus 2025; serta Richard Kraut, “Aristotle’s Ethics,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2001; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[6]                “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi 20 Januari 2023), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[7]                Leo Groarke, “Ancient Skepticism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2009 Edition; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[8]                Christian Wildberg, “Neoplatonism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2016; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025; bandingkan Panagiotis Kalligas, “Plotinus,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (versi 2024), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[9]                Dag Nikolaus Hasse, “Influence of Arabic and Islamic Philosophy on the Latin West,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[10]             “Greek–Arabic Philosophy and Science,” Routledge Encyclopedia of Philosophy (ringkasan di MuslimPhilosophy.com), diakses 22 Agustus 2025. (muslimphilosophy.com)

[11]             W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. 1–6 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962–1981). Lihat edisi digital arsip untuk rujukan umum. (Internet Archive)

[12]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993 [edisi asli 1946]). Lihat akses arsip/kompilasi daring untuk orientasi awal. (Internet Archive, dhspriory.org)

[13]             “Ancient Greek Philosophy,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 22 Agustus 2025. (iep.utm.edu)

[14]             Catalin Partenie, “Plato’s Myths,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2009; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)

[15]             “Ancient Greek Civilization,” Encyclopaedia Britannica, terakhir diperbarui 17 Juli 2025, diakses 22 Agustus 2025. (Encyclopedia Britannica)


2.           Konteks Historis Filsafat Yunani

2.1.       Kondisi Sosial, Politik, dan Budaya Yunani Kuno

Filsafat Yunani lahir dalam konteks kebudayaan polis (kota-negara) yang berkembang pesat pada abad ke-6 hingga ke-4 SM. Polis, seperti Athena, Sparta, dan Miletos, bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga ruang sosial yang memfasilitasi diskusi, perdagangan, serta pertukaran gagasan.¹ Polis memungkinkan warga negara untuk terlibat dalam kehidupan politik secara langsung, terutama di Athena yang menerapkan bentuk demokrasi partisipatif.² Sistem demokrasi ini menciptakan ruang bagi argumentasi, retorika, dan kritik, yang kemudian berpengaruh pada lahirnya filsafat sebagai tradisi rasional.³

Budaya Yunani juga ditandai oleh perayaan seni, olahraga, dan agama. Festival-festival seperti Olimpiade dan pertunjukan drama di teater berfungsi sebagai medium pendidikan publik dan refleksi nilai-nilai sosial.⁴ Pada saat yang sama, agama politeistik Yunani menyediakan mitos-mitos tentang dewa dan asal-usul dunia yang menjadi kerangka awal pemikiran kosmologis. Namun, filsafat kemudian muncul dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang melampaui penjelasan mitologis tersebut.⁵

2.2.       Transisi dari Mythos ke Logos

Salah satu ciri khas awal filsafat Yunani adalah transisi intelektual dari mythos (penjelasan berbasis mitologi) menuju logos (penalaran rasional). Para pemikir pra-Sokratik mulai mempertanyakan prinsip-prinsip dasar realitas, seperti air (Thales), yang dipandang sebagai asal mula segala sesuatu.⁶ Pergeseran ini bukan berarti bahwa mitos lenyap sepenuhnya, melainkan bahwa cara berpikir rasional mulai mendapat ruang dominan dalam menjelaskan fenomena alam.⁷

Jean-Pierre Vernant dan para sejarawan modern menekankan bahwa perubahan ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui interaksi kompleks antara praktik sosial, politik, dan religius.⁸ Misalnya, dalam dialog-dialog Plato, mitos masih digunakan untuk tujuan pedagogis dan etis, menunjukkan bahwa mythos dan logos sering kali berjalan berdampingan.⁹

2.3.       Pengaruh Peradaban Luar (Mesir, Mesopotamia, dan Timur Dekat)

Perkembangan filsafat Yunani tidak dapat dilepaskan dari pengaruh peradaban sebelumnya. Bangsa Yunani melakukan kontak dagang dan kultural dengan Mesir dan Mesopotamia sejak awal. Di Mesir, mereka mempelajari geometri, astronomi, dan aritmetika, yang kemudian berpengaruh pada pemikiran matematis Pythagoras.¹⁰ Dari Mesopotamia, Yunani mewarisi tradisi astronomi dan sistem pencatatan ilmiah yang mendorong kajian rasional terhadap kosmos.¹¹

Kontak dengan Timur Dekat juga memainkan peran signifikan, terutama dalam hal kosmologi dan etika. Misalnya, konsep keteraturan alam (kosmos) yang kemudian dikembangkan oleh para filsuf Ionia mungkin terinspirasi oleh gagasan keteraturan ilahi dalam tradisi Babilonia.¹² Dengan demikian, meskipun filsafat Yunani sering dianggap sebagai fenomena unik Eropa, ia sesungguhnya berdiri di atas fondasi lintas-budaya yang lebih luas.¹³


Footnotes

[1]                “Ancient Greek Civilization,” Encyclopaedia Britannica, terakhir diperbarui 17 Juli 2025, diakses 22 Agustus 2025, https://www.britannica.com/topic/ancient-Greek-civilization.

[2]                Mogens Herman Hansen, The Athenian Democracy in the Age of Demosthenes (Norman: University of Oklahoma Press, 1999), 34–39.

[3]                Josiah Ober, Mass and Elite in Democratic Athens (Princeton: Princeton University Press, 1989), 56–60.

[4]                P. E. Easterling dan J. V. Muir, eds., Greek Religion and Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 21–25.

[5]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 3–7.

[6]                Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.

[7]                K. W. Yu, “From Mythos to Logos: Jean-Pierre Vernant, Max Weber, and the Narrative of Occidental Rationalization,” Modern Intellectual History (2017).

[8]                Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 11–14.

[9]                Catalin Partenie, “Plato’s Myths,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2009; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/plato-myths/.

[10]             Carl B. Boyer, A History of Mathematics, 2nd ed. (New York: Wiley, 1991), 36–38.

[11]             Francesca Rochberg, The Heavenly Writing: Divination, Horoscopy, and Astronomy in Mesopotamian Culture (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 55–60.

[12]             G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 18–21.

[13]             Lloyd P. Gerson, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy, vol. 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 5–9.


3.           Filsafat Pra-Sokratik

3.1.       Pencarian Prinsip Dasar (Archē)

Filsafat Yunani pada periode pra-Sokratik (abad ke-6–5 SM) ditandai oleh usaha untuk mencari archē, yaitu prinsip pertama atau asal-usul segala sesuatu. Para pemikir Ionia di Miletos menjadi pelopor dalam upaya ini. Thales (624–546 SM), yang disebut Aristoteles sebagai “bapak filsafat,” mengajukan air sebagai asal mula realitas, bukan sekadar simbol, tetapi sebagai unsur kosmik yang menopang kehidupan.¹ Anaximandros, muridnya, menolak gagasan bahwa archē berupa unsur empiris; ia memperkenalkan konsep to apeiron (yang tak terbatas) sebagai asal segala sesuatu, yang menunjukkan usaha spekulatif untuk melampaui fenomena konkret.² Anaximenes kemudian kembali ke prinsip material dengan menyatakan udara sebagai archē, yang dapat berubah melalui proses pengembunan dan pengenceran.³

Upaya ini merepresentasikan langkah awal transisi dari penjelasan mitologis menuju penalaran filosofis: fenomena alam tidak lagi dipahami sebagai hasil intervensi dewa-dewa, melainkan sebagai proses yang tunduk pada hukum-hukum rasional.⁴

3.2.       Herakleitos dan Parmenides: Perubahan dan Ketetapan

Di luar mazhab Miletos, perdebatan antara Herakleitos dari Efesos dan Parmenides dari Elea memperlihatkan dialektika tajam mengenai realitas. Herakleitos menekankan perubahan sebagai esensi dunia, menyatakan bahwa “semua mengalir” (panta rhei) dan bahwa api adalah simbol kosmik dari dinamika realitas.⁵ Bagi Herakleitos, konflik dan pertentangan bukanlah penyimpangan, melainkan harmoni tersembunyi yang mengatur kosmos.⁶

Sebaliknya, Parmenides menegaskan bahwa perubahan hanyalah ilusi indrawi. Dalam puisinya, ia menekankan bahwa “yang ada” bersifat abadi, tak berubah, dan tak terbagi.⁷ Bagi Parmenides, jalan kebenaran (aletheia) menolak kemungkinan ketiadaan, sehingga perubahan yang tampak hanyalah hasil persepsi yang menyesatkan.⁸

Pertentangan antara Herakleitos dan Parmenides meletakkan dasar bagi problem metafisika Barat: bagaimana menjelaskan hubungan antara perubahan (fenomena) dan ketetapan (realitas esensial).⁹

3.3.       Mazhab Atomis: Leukippos dan Demokritos

Mazhab atomis, dipelopori Leukippos dan lebih lanjut dikembangkan oleh Demokritos (460–370 SM), berusaha menyelesaikan ketegangan antara perubahan dan ketetapan. Mereka mengajukan bahwa realitas terdiri dari atom-atom yang abadi, tidak dapat dibagi, dan bergerak dalam ruang kosong.¹⁰ Perubahan dipahami sebagai hasil kombinasi dan perpisahan atom, bukan sebagai lahirnya sesuatu dari ketiadaan.¹¹

Pandangan atomis bersifat revolusioner karena menekankan penjelasan mekanis atas fenomena alam. Dalam hal ini, mereka menjadi cikal bakal bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam fisika dan kimia.¹² Meski demikian, Aristoteles dan Plato mengkritik pandangan atomis karena dianggap terlalu materialistis dan reduksionis.¹³

3.4.       Sumbangan Filsafat Alam terhadap Lahirnya Ilmu Pengetahuan

Secara keseluruhan, para filsuf pra-Sokratik menyumbang tiga hal penting bagi tradisi intelektual dunia. Pertama, mereka memperkenalkan cara berpikir rasional tentang alam semesta, menggeser fokus dari mitologi ke penjelasan naturalistik. Kedua, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan metafisik fundamental tentang asal-usul, perubahan, dan keteraturan kosmos, yang menjadi fondasi bagi metafisika selanjutnya. Ketiga, mereka memperkenalkan metodologi spekulatif yang berbasis pada argumentasi logis, sekalipun belum sepenuhnya empiris.¹⁴

Warisan intelektual para pra-Sokratik mempersiapkan jalan bagi Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tanpa perintisan mereka dalam kosmologi dan ontologi, filsafat klasik Yunani tidak akan memiliki kerangka konseptual yang matang untuk mengembangkan logika, etika, dan politik.¹⁵


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, 983b18–27, dalam Jonathan Barnes, ed., The Complete Works of Aristotle, vol. 2 (Princeton: Princeton University Press, 1984).

[2]                G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 103–107.

[3]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 116–120.

[4]                Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.

[5]                Heraclitus, fragmen DK B12, dalam Kathleen Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1948), 25.

[6]                Charles H. Kahn, The Art and Thought of Heraclitus (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 45–50.

[7]                Parmenides, fragmen DK B8, dalam Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers, 41–44.

[8]                Alexander P. D. Mourelatos, The Route of Parmenides (Las Vegas: Parmenides Publishing, 2008), 78–85.

[9]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 157–163.

[10]             Democritus, fragmen DK B68, dalam Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers, 119–121.

[11]             David Furley, Two Studies in the Greek Atomists (Princeton: Princeton University Press, 1967), 33–37.

[12]             Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 211–218.

[13]             Plato, Timaeus, 53a–57d; Aristotle, De Generatione et Corruptione, 315b–316a.

[14]             Richard D. McKirahan, Philosophy Before Socrates, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2010), 12–18.

[15]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 36–42.


4.           Filsafat Klasik (Sokratik dan Pasca-Sokratik)

4.1.       Sokrates: Etika, Dialektika, dan Paradigma Filosofis

Sokrates (469–399 SM) sering disebut sebagai titik balik dalam sejarah filsafat Yunani karena ia menggeser fokus filsafat dari kosmologi pra-Sokratik menuju persoalan etika dan kehidupan manusia.¹ Tidak seperti para pendahulunya, Sokrates tidak meninggalkan karya tulis; ajarannya kita ketahui terutama dari dialog-dialog Plato dan kesaksian Xenophon serta Aristofanes.²

Metode khasnya adalah elenchus atau metode tanya jawab dialektis, yang bertujuan menyingkap kontradiksi dalam pendapat lawan bicara sehingga menghasilkan definisi yang lebih tepat tentang konsep-konsep moral seperti keadilan, kebajikan, atau keberanian.³ Melalui metode ini, Sokrates menekankan pentingnya epimeleia heautou (perhatian terhadap diri) dan keyakinan bahwa “kehidupan yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.”⁴

Secara etis, Sokrates meyakini bahwa kebajikan (aretē) identik dengan pengetahuan, dan bahwa tidak seorang pun berbuat jahat dengan sadar.⁵ Pandangannya menempatkan filsafat sebagai upaya praktis untuk membentuk karakter, bukan sekadar spekulasi teoretis.

4.2.       Plato: Teori Ide, Epistemologi, dan Filsafat Politik

Plato (427–347 SM), murid Sokrates, mengembangkan filsafat dalam kerangka sistematis dengan mendirikan Akademia, salah satu lembaga pendidikan filsafat tertua di dunia Barat.⁶ Gagasan sentralnya adalah teori Ide (Forms), yaitu realitas transenden yang sempurna dan menjadi dasar bagi dunia empiris.⁷

Dalam Republic, Plato membahas epistemologi melalui alegori gua: manusia terjebak dalam dunia bayangan indrawi dan hanya filsafat yang dapat membawanya kepada pengetahuan sejati (epistēmē).⁸ Etika dan politik baginya erat terkait: keadilan merupakan harmoni antara bagian rasional, spirit, dan nafsu dalam jiwa, serta tercermin dalam tatanan negara yang dipimpin oleh filsuf-raja.⁹

Plato juga menekankan pendidikan sebagai jalan menuju kebajikan, menegaskan bahwa filsafat adalah latihan spiritual sekaligus politik.¹⁰ Warisan Plato memengaruhi tradisi metafisika, teori pengetahuan, hingga filsafat politik sepanjang dua milenia.

4.3.       Aristoteles: Logika, Metafisika, dan Ilmu Empiris

Aristoteles (384–322 SM), murid Plato dan guru Alexander Agung, mendirikan sekolah Lykeion. Ia mengembangkan filsafat yang lebih empiris dibanding gurunya, menolak keberadaan Ide yang terpisah dari realitas, dan mengajukan teori substansi: setiap benda terdiri dari bentuk (morphē/ eidos) dan materi (hylē).¹¹

Aristoteles dianggap sebagai bapak logika formal dengan karyanya Organon yang memperkenalkan silogisme.¹² Dalam metafisika, ia memperkenalkan teori empat sebab (material, formal, efisien, final) untuk menjelaskan perubahan dan keberadaan.¹³ Etikanya, terutama dalam Nicomachean Ethics, menekankan kebajikan sebagai jalan tengah (mesotes) yang dicapai melalui kebiasaan, dan tujuan akhir kehidupan adalah kebahagiaan (eudaimonia).¹⁴

Di bidang politik, Aristoteles memandang manusia sebagai zoon politikon (makhluk politik) yang hanya dapat mencapai kesempurnaan dalam komunitas polis.¹⁵ Ia juga mengembangkan studi biologi, fisika, dan retorika, sehingga filsafatnya melintasi batas-batas disiplin ilmu.¹⁶

4.4.       Perbandingan Plato dan Aristoteles

Plato dan Aristoteles sering dipandang sebagai kutub utama dalam filsafat Yunani klasik. Perbedaan mereka terletak pada cara memahami realitas: Plato menekankan dunia transenden Ide sebagai realitas sejati, sedangkan Aristoteles menegaskan bahwa bentuk dan materi bersatu dalam benda-benda konkret.¹⁷ Dalam epistemologi, Plato menekankan pengetahuan rasional murni, sementara Aristoteles mengakui peran penting observasi empiris.¹⁸

Meski berbeda, keduanya sama-sama menegaskan filsafat sebagai upaya memahami realitas secara menyeluruh dan menata kehidupan etis-politis. Perdebatan mereka membentuk dasar tradisi filsafat Barat: kecenderungan idealisme Platonik dan realisme Aristotelian.¹⁹


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 3–7.

[2]                Donald R. Morrison, “Socrates,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2009; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/socrates/.

[3]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–18.

[4]                Plato, Apology 38a, dalam John M. Cooper, ed., Plato: Complete Works (Indianapolis: Hackett, 1997), 24.

[5]                Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 50–56.

[6]                “Plato,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2004; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025.

[7]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 137–142.

[8]                Plato, Republic 514a–520a, dalam Cooper, Plato: Complete Works, 1132–1136.

[9]                Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025.

[10]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–63.

[11]             Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–27.

[12]             Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025.

[13]             Aristotle, Metaphysics V.2, 1013a; lihat Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 42–48.

[14]             Aristotle, Nicomachean Ethics II.6, dalam Terence Irwin, trans., Nicomachean Ethics (Indianapolis: Hackett, 1985), 34–38.

[15]             Aristotle, Politics I.2, 1253a.

[16]             David Charles, Aristotle on Meaning and Essence (Oxford: Oxford University Press, 2000), 9–13.

[17]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 142–150.

[18]             Lloyd P. Gerson, Aristotle and Other Platonists (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 27–31.

[19]             W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. 4 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 13–19.


5.           Filsafat Hellenistik

5.1.       Latar Belakang Periode Hellenistik

Periode Hellenistik (sekitar 323–31 SM) dimulai setelah kematian Aleksander Agung dan ditandai oleh penyebaran budaya Yunani ke wilayah luas, mulai dari Mesir hingga Asia Barat.¹ Pergeseran konteks dari polis ke kerajaan kosmopolitan (seperti Aleksandria dan Antiokhia) mengubah orientasi filsafat. Jika filsafat klasik (Plato dan Aristoteles) menekankan metafisika, epistemologi, dan politik, filsafat Hellenistik lebih berfokus pada etika praktis dan cara mencapai ketenangan jiwa (ataraxia) di tengah ketidakpastian hidup.²

5.2.       Stoisisme: Rasionalitas Kosmik dan Etika Kebajikan

Stoisisme, didirikan oleh Zeno dari Citium (334–262 SM), menekankan bahwa alam semesta diatur oleh logos rasional yang imanen.³ Hidup bahagia dicapai dengan hidup selaras dengan alam, yaitu dengan mengembangkan kebajikan (aretē) dan menerima takdir dengan sikap apatheia (kebebasan dari emosi merusak).⁴

Tokoh penting Stoisisme kemudian termasuk Seneca, Epiktetos, dan Kaisar Marcus Aurelius. Mereka menekankan nilai universalitas moral, bahwa semua manusia adalah warga dunia (kosmopolis), dan dengan demikian Stoisisme menjadi salah satu filsafat etika yang paling berpengaruh dalam membentuk gagasan hukum alam dan etika kosmopolitan.⁵

5.3.       Epikureanisme: Hedonisme Moderat dan Ataraxia

Epikureanisme didirikan oleh Epikuros (341–270 SM), yang mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah memperoleh kebahagiaan melalui kenikmatan (hēdonē) yang bijaksana.⁶ Namun, berbeda dengan stereotip, Epikuros tidak mengajarkan hedonisme vulgar, melainkan hedonisme rasional: kesenangan tertinggi bukanlah kenikmatan fisik berlebihan, melainkan bebas dari rasa takut dan penderitaan, khususnya ketakutan terhadap dewa-dewa dan kematian.⁷

Epikuros juga mengadopsi teori atomisme Demokritos, tetapi menambahkan konsep clinamen (deviasi atom) untuk menjelaskan kebebasan manusia.⁸ Etika Epikurean menekankan persahabatan sebagai sumber kebahagiaan yang paling kokoh.⁹

5.4.       Skeptisisme: Relativitas Pengetahuan dan Epochē

Skeptisisme Yunani, terutama dipelopori oleh Pirho dari Elis (360–270 SM), menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak mungkin dicapai, sebab indra dan rasio sering menipu.¹⁰ Oleh karena itu, filsuf harus menangguhkan penghakiman (epochē) terhadap segala klaim kebenaran.¹¹

Dalam perkembangannya, Skeptisisme terbagi menjadi Skeptisisme Pirhonis dan Akademik (Arkesilaos, Karneades).¹² Tujuannya bukan nihilisme, melainkan pencapaian ketenangan batin melalui kesadaran akan keterbatasan pengetahuan.¹³

5.5.       Neoplatonisme: Mistisisme dan Metafisika Emanasi

Pada abad ke-3 M, muncul Neoplatonisme, terutama melalui Plotinos (204–270 M) yang karyanya dihimpun dalam Enneads.¹⁴ Ia mengembangkan sistem metafisika emanasi: segala sesuatu berasal dari Yang Esa (to hen), memancar ke nous (akal universal), lalu ke psyche (jiwa), hingga dunia materi.¹⁵

Tujuan hidup manusia adalah kembali (epistrophē) menuju Yang Esa melalui kontemplasi filosofis dan penyucian jiwa.¹⁶ Neoplatonisme memiliki pengaruh besar terhadap filsafat Kristen (Agustinus), Islam (al-Farabi, Ibn Sina), dan skolastisisme Latin.¹⁷

5.6.       Signifikansi Filsafat Hellenistik

Filsafat Hellenistik menunjukkan pergeseran filsafat dari pencarian ontologis ke pencarian eksistensial: bagaimana manusia dapat hidup baik, bahagia, dan damai dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Stoisisme memberikan kerangka etika universal, Epikureanisme menekankan kebebasan dari ketakutan, Skeptisisme mengajarkan kerendahan hati intelektual, dan Neoplatonisme membuka jalan bagi mistisisme religius.¹⁸

Warisan ini melampaui dunia Yunani dan memengaruhi peradaban Romawi, Kristen awal, Islam, dan bahkan filsafat modern.¹⁹


Footnotes

[1]                “Hellenistic Age,” Encyclopaedia Britannica, terakhir diperbarui 16 Agustus 2025, diakses 23 Agustus 2025, https://www.britannica.com/event/Hellenistic-Age.

[2]                Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 130–135.

[3]                A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 107–111.

[4]                “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2023), diakses 23 Agustus 2025.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 45–47.

[6]                Diskin Clay, “Epicurus,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2018), diakses 23 Agustus 2025.

[7]                Epikuros, Letter to Menoeceus, dalam Brad Inwood dan L. P. Gerson, eds., The Epicurus Reader (Indianapolis: Hackett, 1994), 28–33.

[8]                David Furley, Two Studies in the Greek Atomists (Princeton: Princeton University Press, 1967), 114–119.

[9]                Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers, 125–129.

[10]             Richard Bett, “Pyrrho,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2011), diakses 23 Agustus 2025.

[11]             Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. Julia Annas dan Jonathan Barnes (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), I.4–12.

[12]             Jonathan Barnes, The Cambridge History of Hellenistic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 446–451.

[13]             Leo Groarke, “Ancient Skepticism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2009), diakses 23 Agustus 2025.

[14]             “Plotinus,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2024), diakses 23 Agustus 2025.

[15]             Plotinus, Enneads, I.6–V.1, trans. A. H. Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966).

[16]             Dominic J. O’Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads (Oxford: Oxford University Press, 1993), 21–27.

[17]             Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 187–191.

[18]             Hadot, What Is Ancient Philosophy?, 144–151.

[19]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 220–230.


6.           Tema-Tema Pokok Filsafat Yunani

6.1.       Kosmologi: Asal-Usul dan Keteraturan Alam

Kosmologi merupakan titik awal filsafat Yunani, terutama di kalangan pra-Sokratik. Mereka berupaya menjelaskan asal-usul (archē) dan keteraturan alam semesta (kosmos) tanpa merujuk pada mitos.¹ Thales memandang air sebagai asal mula segala sesuatu, Anaximandros mengajukan to apeiron (yang tak terbatas), sedangkan Herakleitos menekankan dinamika perubahan sebagai hukum universal.²

Gagasan keteraturan kosmos kemudian mendapat bentuk lebih matang dalam filsafat Plato dan Aristoteles. Plato, melalui Timaeus, menggambarkan dunia sebagai ciptaan rasional seorang demiurgos yang membentuk keteraturan dari kekacauan.³ Aristoteles, sebaliknya, menolak konsep penciptaan demiurgis dan menekankan prinsip sebab-akibat alamiah serta gerak abadi yang ditentukan oleh “Penggerak Tak-Tergerakkan” (unmoved mover).⁴

Kosmologi Yunani menjadi embrio bagi ilmu alam, sebab ia menekankan bahwa alam tunduk pada prinsip rasional yang dapat diselidiki.⁵

6.2.       Ontologi dan Metafisika: Hakikat Realitas

Ontologi Yunani berpusat pada pertanyaan tentang apa yang “ada” (to on). Parmenides menegaskan bahwa realitas sejati bersifat tetap dan abadi, menolak perubahan sebagai ilusi.⁶ Sebaliknya, Herakleitos menekankan bahwa perubahan justru inti realitas. Pertentangan ini membentuk dialektika dasar metafisika Barat.

Plato mengajukan teori Ide (Forms), di mana realitas sejati adalah bentuk-bentuk transenden, sedangkan dunia indrawi hanyalah bayangan.⁷ Aristoteles menolak dualisme tersebut dan mengembangkan teori hylomorfisme: segala sesuatu terdiri dari materi (hylē) dan bentuk (morphē), serta aktualitas dan potensi.⁸

Metafisika Yunani dengan demikian membentuk landasan bagi diskursus filsafat tentang keberadaan, substansi, esensi, dan relasi antara dunia indrawi dan transenden.⁹

6.3.       Epistemologi: Pengetahuan dan Kebenaran

Filsafat Yunani juga menaruh perhatian besar pada epistemologi. Bagi Sokrates, pengetahuan adalah kebajikan, dan filsafat adalah jalan untuk menemukan definisi universal melalui dialektika.¹⁰ Plato membedakan pengetahuan sejati (epistēmē) dari opini (doxa), menegaskan bahwa hanya melalui rasio manusia dapat mengakses dunia Ide.¹¹

Aristoteles lebih empiris: pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi, tetapi ditata oleh intelek dalam bentuk konsep universal.¹² Pada periode Hellenistik, Skeptisisme mempertanyakan kemungkinan pengetahuan pasti, menawarkan epochē (penangguhan penilaian) sebagai jalan menuju ketenangan.¹³

Dengan demikian, epistemologi Yunani menyiapkan perdebatan panjang tentang sumber pengetahuan—apakah rasio, pengalaman, atau kombinasi keduanya.¹⁴

6.4.       Etika: Kebajikan dan Kebahagiaan

Etika merupakan pusat perhatian filsafat klasik dan Hellenistik. Sokrates menekankan bahwa kebajikan identik dengan pengetahuan, dan manusia tidak mungkin berbuat salah secara sadar.¹⁵ Plato menekankan keadilan sebagai harmoni dalam jiwa maupun negara.¹⁶

Aristoteles mengembangkan etika kebajikan: kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir hidup, dicapai melalui praktik kebajikan sebagai jalan tengah (mesotes) yang dibentuk oleh kebiasaan.¹⁷

Mazhab Hellenistik menambahkan variasi: Stoisisme menekankan hidup sesuai dengan alam dan menerima takdir dengan kebajikan; Epikureanisme menekankan kenikmatan sederhana dan kebebasan dari rasa takut; Skeptisisme menekankan ketenangan melalui penangguhan penilaian.¹⁸

Etika Yunani menjadi titik awal diskursus etika normatif, baik dalam filsafat maupun teologi, hingga modernitas.¹⁹

6.5.       Politik: Manusia sebagai Zoon Politikon

Filsafat Yunani memandang manusia sebagai makhluk politik. Dalam Republic, Plato menggambarkan negara ideal yang dipimpin filsuf-raja, dengan struktur masyarakat yang mencerminkan struktur jiwa.²⁰ Aristoteles, lebih realistis, menekankan bahwa polis adalah wadah alami bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan moral dan intelektual.²¹ Ia menyebut manusia sebagai zoon politikon (hewan politik), yang tidak dapat hidup baik di luar komunitas politik.²²

Konsep-konsep Yunani tentang keadilan, hukum alam, dan kewargaan memberi pengaruh besar pada teori politik Romawi, pemikiran politik Kristen abad pertengahan, hingga teori kontrak sosial modern.²³


Footnotes

[1]                Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.

[2]                G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 88–97.

[3]                Plato, Timaeus, 28a–29d, dalam John M. Cooper, ed., Plato: Complete Works (Indianapolis: Hackett, 1997), 1224–1227.

[4]                Aristotle, Metaphysics, XII.6–7, 1071b–1072a, dalam Jonathan Barnes, ed., The Complete Works of Aristotle, vol. 2 (Princeton: Princeton University Press, 1984).

[5]                Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 211–214.

[6]                Parmenides, fragmen DK B8, dalam Kathleen Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1948), 41–44.

[7]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 137–142.

[8]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–25.

[9]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 112–118.

[10]             Hugh H. Benson, Socratic Wisdom (Oxford: Oxford University Press, 2000), 13–18.

[11]             Plato, Republic, VI–VII, dalam Cooper, Plato: Complete Works, 1129–1136.

[12]             Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025.

[13]             Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. Julia Annas dan Jonathan Barnes (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), I.4–12.

[14]             Richard D. McKirahan, Philosophy Before Socrates, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2010), 15–18.

[15]             Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–51.

[16]             Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025.

[17]             Aristotle, Nicomachean Ethics, II.6, dalam Terence Irwin, trans., Nicomachean Ethics (Indianapolis: Hackett, 1985), 34–38.

[18]             A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 90–97.

[19]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 142–148.

[20]             Plato, Republic, IV, dalam Cooper, Plato: Complete Works, 1006–1011.

[21]             Aristotle, Politics, I.2, 1253a.

[22]             David Keyt, “Aristotle’s Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2001; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025.

[23]             Copleston, A History of Philosophy, vol. 1, 142–150.


7.           Pengaruh Filsafat Yunani

7.1.       Terhadap Filsafat Romawi dan Tradisi Latin

Warisan filsafat Yunani diteruskan ke dunia Romawi, terutama melalui penerimaan dan adaptasi gagasan etika. Para pemikir Romawi seperti Cicero (106–43 SM) memadukan Stoisisme dengan hukum Romawi, melahirkan konsep hukum alam (lex naturalis) yang berakar pada logos universal.¹ Seneca (4 SM–65 M) mengembangkan ajaran Stoa dalam bentuk moral praktis tentang pengendalian diri, sedangkan Marcus Aurelius (121–180 M), kaisar sekaligus filsuf, menulis Meditations yang menekankan kosmopolitanisme etis.²

Meski Romawi tidak menghasilkan sistem filsafat baru, mereka memainkan peran penting sebagai mediator dalam mentransmisikan filsafat Yunani ke Barat Latin melalui karya terjemahan dan adaptasi.³

7.2.       Terhadap Filsafat Islam Klasik

Pengaruh filsafat Yunani semakin meluas melalui gerakan penerjemahan besar-besaran pada abad ke-8–10 M di dunia Islam, khususnya di Bayt al-Hikmah Baghdad. Karya Aristoteles, Plato (sering melalui Neoplatonis), Galen, dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.⁴

Al-Kindi (w. 873) disebut sebagai filsuf Arab pertama, yang menekankan pentingnya akal dalam memahami wahyu.⁵ Al-Farabi (w. 950) mengembangkan teori negara utama yang memadukan filsafat politik Plato dan Aristoteles.⁶ Ibn Sina (Avicenna, 980–1037) mengintegrasikan metafisika Aristotelian dengan Neoplatonisme, menghasilkan teori tentang wajib al-wujud (Yang Niscaya Ada).⁷ Ibn Rushd (Averroes, 1126–1198) dikenal sebagai komentator besar Aristoteles, yang menekankan rasionalitas murni dan memengaruhi filsafat skolastik di Barat.⁸

Dengan demikian, filsafat Islam klasik berfungsi sebagai jembatan penting dalam menyebarkan filsafat Yunani ke Eropa Latin.⁹

7.3.       Terhadap Filsafat Kristen dan Skolastisisme

Filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Aristotelianisme, memengaruhi teologi Kristen sejak awal. Agustinus (354–430 M) mengadopsi Neoplatonisme untuk merumuskan doktrin tentang jiwa, kejahatan, dan Tuhan.¹⁰ Ia menegaskan bahwa kebenaran sejati bersumber dari Tuhan, tetapi struktur konseptualnya sangat dipengaruhi Plato dan Plotinos.¹¹

Pada abad ke-13, penerjemahan karya Aristoteles melalui bahasa Arab dan Latin memperluas cakrawala filsafat Kristen. Thomas Aquinas (1225–1274) memadukan Aristotelianisme dengan teologi Kristen, khususnya dalam Summa Theologiae, dengan menekankan bahwa akal dan wahyu saling melengkapi.¹² Aristotelianisme skolastik ini membentuk kerangka utama filsafat Eropa Abad Pertengahan.¹³

7.4.       Terhadap Filsafat Modern dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat Yunani juga menjadi fondasi bagi lahirnya filsafat modern dan ilmu pengetahuan. Kebangkitan kembali minat pada teks-teks klasik pada masa Renaisans menghidupkan kembali Platonisme (misalnya melalui Marsilio Ficino) dan Aristotelianisme.¹⁴

Dalam ilmu pengetahuan, gagasan kosmologi atomis Demokritos dan Epikureanisme menginspirasi teori mekanistik modern (misalnya Gassendi dan Newton).¹⁵ Metode logis Aristoteles menjadi dasar bagi silogistik, meskipun kemudian dikritik oleh Bacon dan Descartes yang mengusulkan metode baru.¹⁶

Dengan demikian, filsafat Yunani tidak hanya memberi warisan teoritis, tetapi juga menyediakan kerangka metodologis yang melahirkan sains modern.¹⁷


Kesimpulan

Pengaruh filsafat Yunani melintasi peradaban: dari Romawi hingga dunia Islam, dari gereja Kristen hingga ilmuwan Renaisans. Ia bukan sekadar “warisan lokal” Yunani, tetapi fondasi universal bagi tradisi intelektual dunia. Melalui proses penerjemahan, interpretasi, dan kritik, filsafat Yunani tetap hidup, berkembang, dan terus memberi inspirasi bagi filsafat, teologi, serta ilmu pengetahuan hingga zaman modern.


Footnotes

[1]                Cicero, On the Laws, trans. Clinton Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.8–10.

[2]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 45–50.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 230–235.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 32–39.

[5]                Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford University Press, 2007), 15–18.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 111–118.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 35–40.

[8]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1988), 25–31.

[9]                Dag Nikolaus Hasse, “Influence of Arabic and Islamic Philosophy on the Latin West,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008; rev. eds.), diakses 25 Agustus 2025.

[10]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.9–13.

[11]             John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–51.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3.

[13]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 67–73.

[14]             Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 21–26.

[15]             Catherine Wilson, Epicureanism at the Origins of Modernity (Oxford: Clarendon Press, 2008), 53–59.

[16]             Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine dan Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), I. aphorism 19–26.

[17]             Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 201–209.


8.           Relevansi Kontemporer Filsafat Yunani

8.1.       Sumbangan terhadap Tradisi Berpikir Kritis dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat Yunani menanamkan tradisi berpikir kritis yang tetap relevan dalam dunia kontemporer. Metode dialektika Sokrates, misalnya, menjadi inspirasi bagi pendekatan pendidikan modern yang menekankan dialog, pertanyaan reflektif, dan pembentukan argumen.¹ Tradisi logika Aristoteles masih diajarkan hingga kini sebagai fondasi penalaran formal, sementara pendekatan empirisnya dianggap sebagai embrio metode ilmiah modern.²

Dalam sains, gagasan-gagasan kosmologi pra-Sokratik dan teori atom Demokritos memberikan dasar bagi perkembangan fisika atom modern.³ Meski tidak identik dengan teori ilmiah kontemporer, warisan ini menunjukkan bahwa upaya rasional memahami alam semesta memiliki akar panjang dalam filsafat Yunani.

8.2.       Inspirasi Etika dan Politik dalam Masyarakat Modern

Etika Yunani, khususnya teori kebajikan Aristoteles, kembali mendapat perhatian dalam filsafat moral kontemporer. Alasdair MacIntyre, melalui After Virtue, menghidupkan kembali gagasan aretē (kebajikan) dan eudaimonia (kebahagiaan) sebagai alternatif atas krisis moral modern yang terlalu menekankan relativisme dan utilitarianisme.⁴ Etika kebajikan kini menjadi salah satu aliran dominan dalam filsafat moral kontemporer.

Dalam ranah politik, konsep Plato tentang keadilan dan Aristoteles tentang manusia sebagai zoon politikon terus memengaruhi diskursus demokrasi, kewargaan, dan hukum.⁵ Gagasan Stoisisme tentang kosmopolis (kewargaan universal) juga kembali mendapat relevansi dalam era globalisasi, ketika solidaritas kemanusiaan lintas batas menjadi semakin penting.⁶

8.3.       Dialog dengan Spiritualitas dan Psikologi Modern

Relevansi filsafat Yunani tidak terbatas pada bidang filsafat akademis, tetapi juga dalam ranah spiritualitas dan psikologi praktis. Stoisisme, misalnya, telah mengalami kebangkitan dalam bentuk Modern Stoicism, yang banyak digunakan dalam psikologi kognitif-behavioral (CBT). Albert Ellis dan Aaron T. Beck, pelopor CBT, mengakui Stoisisme sebagai sumber inspirasi metodologis, khususnya dalam gagasan bahwa penderitaan emosional berakar pada cara kita menilai peristiwa, bukan pada peristiwa itu sendiri.⁷

Demikian pula, konsep Plato tentang jiwa dan etika kontemplatif Neoplatonisme memberi inspirasi pada diskursus spiritualitas modern dan terapi eksistensial, yang berupaya menghubungkan rasionalitas dengan dimensi transendental kehidupan manusia.⁸

8.4.       Kritik Postmodern terhadap Rasionalitas Yunani

Meskipun pengaruhnya luas, filsafat Yunani juga menjadi objek kritik dalam filsafat kontemporer. Pemikir postmodern seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida menilai bahwa tradisi rasionalitas Yunani cenderung menyingkirkan pluralitas wacana dan memusatkan diri pada “metanarasi” kebenaran tunggal.⁹ Foucault, misalnya, membaca praktik epimeleia heautou (perhatian terhadap diri) dalam filsafat kuno sebagai alternatif bagi rasionalitas modern yang bersifat disipliner.¹⁰

Kritik postmodern ini menunjukkan bahwa meskipun filsafat Yunani memberi fondasi kokoh bagi rasionalitas Barat, warisannya tetap perlu dikaji secara kritis agar tidak jatuh dalam dogmatisme intelektual.

8.5.       Relevansi Global dalam Era Modern

Di era globalisasi dan pluralisme, filsafat Yunani menawarkan kerangka universal untuk dialog lintas budaya. Prinsip rasionalitas, pencarian kebajikan, dan gagasan kosmopolitanisme menyediakan titik temu bagi diskursus etika global, hak asasi manusia, dan filsafat politik internasional.¹¹ Oleh karena itu, filsafat Yunani tidak hanya berfungsi sebagai warisan historis, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk membangun peradaban yang lebih adil, rasional, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom (Oxford: Oxford University Press, 2000), 23–29.

[2]                Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 217–220.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 129–135.

[5]                Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.), diakses 25 Agustus 2025.

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 112–115.

[7]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Routledge, 2013), 14–20.

[8]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995), 85–91.

[9]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 280–285.

[10]             Michel Foucault, The Care of the Self, vol. 3 of The History of Sexuality, trans. Robert Hurley (New York: Vintage, 1986), 43–51.

[11]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 30–36.


9.           Penutup

Kajian atas filsafat Yunani menunjukkan bahwa ia bukan sekadar salah satu fase sejarah intelektual kuno, melainkan fondasi yang membentuk arah perkembangan filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Dari masa pra-Sokratik hingga Neoplatonisme, para pemikir Yunani telah memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang realitas (ontologi), pengetahuan (epistemologi), etika, politik, dan keteraturan kosmos (kosmologi).¹

Warisan filsafat Yunani memiliki dua ciri utama. Pertama, transformatif, karena ia mengubah cara manusia memahami dunia dari perspektif mitologis ke penalaran rasional.² Kedua, transmisional, karena gagasan-gagasannya tidak berhenti di Yunani, tetapi diteruskan dan dikembangkan dalam peradaban Romawi, Islam, dan Kristen, lalu memasuki Eropa Latin hingga melahirkan Renaisans dan modernitas.³ Hal ini menjadikan filsafat Yunani sebagai “mata rantai utama” dalam kontinuitas sejarah intelektual global.⁴

Secara substantif, filsafat Yunani telah meninggalkan tiga warisan pokok. Pertama, metode berpikir kritis yang dicontohkan oleh Sokrates dan dikembangkan melalui logika Aristoteles, yang hingga kini menjadi dasar bagi penalaran ilmiah.⁵ Kedua, etos etika dan politik, yang berpusat pada gagasan kebajikan (aretē), kebahagiaan (eudaimonia), dan keadilan (dikaiosynē), yang terus memengaruhi wacana moral dan politik modern.⁶ Ketiga, pandangan kosmopolitan, terutama dalam Stoisisme, yang mengajarkan persaudaraan universal manusia dan menjadi inspirasi bagi konsep hak asasi manusia kontemporer.⁷

Meskipun demikian, relevansi filsafat Yunani tidak boleh dipahami secara statis. Kritik dari pemikir postmodern, seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida, menunjukkan bahwa tradisi rasionalitas Yunani juga membawa kecenderungan eksklusif dan menyingkirkan keragaman wacana.⁸ Karena itu, tugas filsafat kontemporer adalah mendialogkan warisan Yunani dengan tantangan zaman, bukan sekadar mengulanginya.

Akhirnya, filsafat Yunani adalah laboratorium intelektual universal yang telah membentuk identitas filsafat dunia. Seperti dikatakan Pierre Hadot, filsafat Yunani bukan hanya sistem teoretis, melainkan juga “cara hidup” yang bertujuan membentuk manusia yang bijaksana.⁹ Dengan demikian, mempelajari filsafat Yunani tidak hanya berarti menelusuri sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali tradisi refleksi kritis dan etika yang dapat memperkaya kehidupan manusia di era modern.


Footnotes

[1]                Richard D. McKirahan, Philosophy Before Socrates, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2010), 12–15.

[2]                K. W. Yu, “From Mythos to Logos: Jean-Pierre Vernant, Max Weber, and the Narrative of Occidental Rationalization,” Modern Intellectual History (2017).

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 42–48.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 230–235.

[5]                Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 26 Agustus 2025.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, II.6, dalam Terence Irwin, trans., Nicomachean Ethics (Indianapolis: Hackett, 1985), 34–38.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 112–115.

[8]                Michel Foucault, The Care of the Self, vol. 3 of The History of Sexuality, trans. Robert Hurley (New York: Vintage, 1986), 43–51; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 280–285.

[9]                Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–63.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2007). Al-Kindi. Oxford University Press.

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.

Aristotle. (1984). The complete works of Aristotle (J. Barnes, Ed.; Vol. 2). Princeton University Press.

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Aristotle. (2000). Politics (C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.

Barnes, J. (1982). The Presocratic philosophers. Routledge.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Barnes, J. (Ed.). (1999). The Cambridge history of Hellenistic philosophy. Cambridge University Press.

Benson, H. H. (2000). Socratic wisdom. Oxford University Press.

Bett, R. (2011). Pyrrho. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2011 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/pyrrho/

Boyer, C. B. (1991). A history of mathematics (2nd ed.). Wiley.

Brown, E. (2003). Plato’s ethics and politics in The Republic. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2003 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/plato-ethics-politics/

Charles, D. (2000). Aristotle on meaning and essence. Oxford University Press.

Cicero. (1928). On the laws (C. Keyes, Trans.). Harvard University Press.

Clay, D. (2018). Epicurus. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2018 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/epicurus/

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol. 1: Greece and Rome. Image/Doubleday.

Curd, P. (2007). Presocratic philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2007 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Easterling, P. E., & Muir, J. V. (Eds.). (1985). Greek religion and society. Cambridge University Press.

Epictetus. (2000). Outlines of Pyrrhonism (J. Annas & J. Barnes, Trans.). Cambridge University Press.

Epicurus. (1994). The Epicurus reader (B. Inwood & L. P. Gerson, Eds.). Hackett.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Freeman, K. (1948). Ancilla to the Pre-Socratic philosophers. Harvard University Press.

Foucault, M. (1986). The care of the self (R. Hurley, Trans.). Vintage.

Furley, D. (1967). Two studies in the Greek atomists. Princeton University Press.

Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.

Graham, D. W. (2006). Explaining the cosmos: The Ionian tradition of scientific philosophy. Princeton University Press.

Guthrie, W. K. C. (1962–1981). A history of Greek philosophy (Vols. 1–6). Cambridge University Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life (A. I. Davidson, Ed.). Blackwell.

Hadot, P. (2002). What is ancient philosophy? Harvard University Press.

Hansen, M. H. (1999). The Athenian democracy in the age of Demosthenes. University of Oklahoma Press.

Hasse, D. N. (2008). Influence of Arabic and Islamic philosophy on the Latin West. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2008 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/arabic-islamic-influence/

Heraclitus. (1948). In K. Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic philosophers. Harvard University Press.

Irwin, T. (1995). Plato’s ethics. Oxford University Press.

Kahn, C. H. (1979). The art and thought of Heraclitus. Cambridge University Press.

Keyt, D. (2001). Aristotle’s political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2001 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-politics/

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. Columbia University Press.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Oxford University Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

McKirahan, R. D. (2010). Philosophy before Socrates (2nd ed.). Hackett.

Morrison, D. R. (2009). Socrates. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2009 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/socrates/

Mourelatos, A. P. D. (2008). The route of Parmenides. Parmenides Publishing.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

O’Meara, D. J. (1993). Plotinus: An introduction to the Enneads. Oxford University Press.

Parmenides. (1948). In K. Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic philosophers. Harvard University Press.

Partenie, C. (2009). Plato’s myths. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2009 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/plato-myths/

Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett.

Plotinus. (1966). Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Routledge.

Rochberg, F. (2004). The heavenly writing: Divination, horoscopy, and astronomy in Mesopotamian culture. Cambridge University Press.

Rist, J. M. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge University Press.

Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion: Theories in antiquity and their sequel. Duckworth.

Vernant, J. P. (1982). The origins of Greek thought. Cornell University Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Wilson, C. (2008). Epicureanism at the origins of modernity. Clarendon Press.

Yu, K. W. (2017). From mythos to logos: Jean-Pierre Vernant, Max Weber, and the narrative of Occidental rationalization. Modern Intellectual History, 14(3), 1–28.


Glosarium

Aletheia

Istilah Yunani yang berarti “kebenaran” atau “ketaktersembunyian”; digunakan Parmenides untuk menggambarkan jalan menuju pengetahuan sejati.

Apatheia

Konsep Stoisisme tentang kebebasan dari emosi merusak (seperti amarah, ketakutan, dan keserakahan), yang memungkinkan manusia hidup selaras dengan logos.

Archē

Prinsip pertama atau asal mula segala sesuatu yang dicari oleh para filsuf pra-Sokratik.

Arete

Kebajikan atau keunggulan moral yang menjadi tujuan utama etika Yunani, terutama dalam ajaran Sokrates, Plato, dan Aristoteles.

Ataraxia

Ketenangan jiwa yang menjadi tujuan filsafat Hellenistik, khususnya dalam Epikureanisme dan Skeptisisme.

Clinamen

Konsep dalam filsafat Epikurean tentang deviasi atau penyimpangan gerakan atom, yang memungkinkan adanya kebebasan kehendak.

Doxa

Opini atau keyakinan biasa; dalam filsafat Plato dibedakan dari epistēmē (pengetahuan sejati).

Elenchus

Metode tanya jawab Sokrates untuk membongkar kontradiksi dan mencapai definisi yang lebih jelas tentang konsep-konsep etika.

Epimeleia heautou

Istilah Yunani yang berarti “perhatian terhadap diri sendiri”; dalam filsafat kuno dipahami sebagai praktik etika untuk membentuk jiwa.

Epistēmē

Pengetahuan sejati yang bersifat universal dan tetap, berbeda dari opini (doxa).

Eudaimonia

Kebahagiaan atau “hidup baik” yang menjadi tujuan akhir etika Yunani, khususnya dalam filsafat Aristoteles.

Forms (Ide/Idea)

Konsep Plato tentang realitas transenden yang sempurna dan abadi, menjadi dasar bagi segala yang ada di dunia empiris.

Hylē

Materi dalam filsafat Aristoteles; bersama morphē (bentuk) membentuk substansi setiap benda.

Kosmopolis

Gagasan Stoik tentang “kota dunia,” yang menegaskan bahwa semua manusia adalah warga kosmos dan setara secara moral.

Logos

Rasio, prinsip keteraturan, atau hukum alam semesta; dalam Stoisisme dipahami sebagai prinsip kosmik yang mengatur segalanya.

Mesotes

Prinsip etika Aristoteles tentang jalan tengah, yaitu kebajikan sebagai keseimbangan antara dua ekstrem.

Nous

Akal atau intelek; dalam Neoplatonisme dipahami sebagai emanasi pertama dari Yang Esa.

Physis

Alam atau kodrat; istilah sentral dalam kosmologi Yunani untuk menggambarkan hakikat alami sesuatu.

Polis

Kota-negara Yunani kuno, yang menjadi wadah politik, sosial, dan budaya sekaligus konteks utama lahirnya filsafat.

To Hen

The One” atau Yang Esa dalam Neoplatonisme; sumber segala realitas yang melampaui keberadaan dan pemikiran.

Zoon politikon

Ungkapan Aristoteles untuk menyebut manusia sebagai makhluk politik, yang hanya dapat hidup baik dalam komunitas polis.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar