Filsafat Yunani
Asal-Usul, Perkembangan, dan
Pengaruhnya terhadap Tradisi Intelektual Dunia
Alihkan ke: Sejarah
Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perjalanan historis dan konseptual filsafat Yunani sebagai fondasi tradisi
intelektual dunia. Kajian
dimulai dengan penelusuran konteks sosial, politik, dan budaya Yunani kuno,
yang menjadi lahan subur bagi kelahiran filsafat sebagai upaya rasional
memahami realitas. Periode pra-Sokratik diperlihatkan sebagai tahap awal
pencarian prinsip dasar (archē), diikuti dengan perdebatan metafisik
tentang perubahan dan ketetapan, hingga teori atomisme. Periode
klasik menyoroti kontribusi Sokrates, Plato, dan Aristoteles, yang mengubah
orientasi filsafat dari kosmologi ke etika, epistemologi, metafisika, dan
politik.
Selanjutnya, periode Hellenistik menandai
pergeseran fokus pada etika praktis melalui Stoisisme, Epikureanisme,
Skeptisisme, dan Neoplatonisme, yang masing-masing menawarkan jalan menuju
ketenangan jiwa. Tema-tema pokok filsafat Yunani—kosmologi, ontologi,
epistemologi, etika, dan politik—dianalisis sebagai landasan bagi perkembangan
filsafat, ilmu pengetahuan, dan teori moral. Artikel ini juga menelusuri
pengaruh filsafat Yunani terhadap filsafat Romawi, Islam klasik, tradisi
Kristen, serta pemikiran modern dan ilmu pengetahuan.
Pada akhirnya, artikel ini menegaskan
relevansi kontemporer filsafat Yunani dalam membentuk tradisi berpikir kritis,
inspirasi etika dan politik, dialog dengan psikologi dan spiritualitas modern,
serta kontribusi dalam wacana global mengenai hak asasi manusia dan
kosmopolitanisme. Dengan demikian, filsafat Yunani dipahami bukan sekadar
warisan historis, melainkan laboratorium intelektual universal yang terus hidup
dan memberi inspirasi lintas zaman dan peradaban.
Kata Kunci: Filsafat
Yunani; Pra-Sokratik; Sokrates; Plato; Aristoteles; Stoisisme; Epikureanisme;
Skeptisisme; Neoplatonisme; Etika; Metafisika; Epistemologi; Politik; Relevansi
Kontemporer.
PEMBAHASAN
Perjalanan Historis dan Konseptual
Filsafat Yunani
1.
Pendahuluan
Filsafat Yunani sering dipandang
sebagai salah satu fondasi utama tradisi intelektual dunia, bukan hanya karena
kedalaman gagasannya, melainkan juga karena cara berpikir baru yang ia
perkenalkan: penyelidikan rasional, sistematis, dan argumentatif terhadap
realitas, pengetahuan, dan tindakan manusia. Para pemikir awal yang kemudian
dikenal sebagai pra-Sokratik “memperkenalkan cara baru untuk menyelidiki
dunia dan tempat manusia di dalamnya,”¹ menandai pergeseran bersejarah dari
penjelasan mitologis menuju penalaran berbasis logos. Namun, narasi
populer “dari mythos ke logos” itu sendiri perlu dibaca secara
kritis, sebab para sejarawan pemikiran menegaskan bahwa proses rasionalisasi
Yunani berlangsung bertahap, berlapis, dan dipengaruhi faktor
sosial-intelektual yang kompleks.²
Secara garis besar, kajian modern
mengelompokkan filsafat Yunani ke dalam tiga fase besar: (1) periode
pra-Sokratik (abad ke-6–5 SM), dengan fokus pada pencarian archē
(prinsip pertama) dan penjelasan kosmologis; (2) periode klasik (abad ke-5–4
SM) dengan Sokrates, Plato, dan Aristoteles, yang meletakkan kerangka etika,
politik, metafisika, logika, dan epistemologi; serta (3) periode Helenistik dan
Akhir Kuno, yang memunculkan aliran Stoa, Epikureanisme, Skeptisisme, dan
akhirnya Neoplatonisme.³ Dalam puncak periode klasik, Plato memformulasikan
teori Ide dan suatu visi filsafat sebagai jalan hidup yang menyatukan
kebenaran, kebaikan, dan keadilan; pengaruhnya menjangkau etika, politik, dan
metafisika.⁴ Aristoteles, murid Plato yang sekaligus penyusunnya yang paling
kritis, membangun perangkat konseptual yang luar biasa luas—dari logika silogistik dan teori kausalitas, hingga etika kebajikan dan filsafat alam—yang
metodologinya bertumpu pada pengamatan, penyusunan phainomena dan endoxa,
serta argumen demonstratif.⁵
Fase Helenistik memperlihatkan
diversifikasi arus pemikiran: Stoa menekankan rasionalitas kosmik, tatanan
alam, dan etika kebajikan yang selaras dengan logos semesta;⁶ Skeptisisme
menyorot keterbatasan pengetahuan dan menawarkan epochē (suspensi penilaian) untuk mencapai ketenangan;⁷ sedangkan Neoplatonisme (terutama
melalui Plotinus) mengembangkan metafisika emanasi yang berpengaruh luas bagi
tradisi-teologis kemudian.⁸ Dalam rentang beberapa abad berikutnya,
gagasan-gagasan Yunani berinteraksi secara kreatif dengan filsafat Islam:
melalui gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab dan pengembangan kritis oleh
para filsuf seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Ibn Rushd, yang kelak ikut
memengaruhi renaisans skolastik Latin melalui arus penerjemahan Arab–Latin.⁹
Jejak transmisi pengetahuan ini dapat ditelusuri dari dunia Islam ke
pusat-pusat belajar Eropa pada abad ke-12–13.¹⁰
Tulisan ini memaknai “Filsafat
Yunani” sebagai suatu spektrum diskursus yang berangkat dari Ionia, Magna
Graecia, dan Athena, lalu berkembang dalam ekumene Helenistik dan Akhir Kuno.
Definisi kerja ini mencakup bukan hanya para pra-Sokratik, Plato, dan
Aristoteles, tetapi juga sekolah-sekolah Helenistik dan Neoplatonisme, karena
keseluruhan jaringan gagasan itulah yang membentuk kerangka konseptual warisan
Yunani bagi tradisi intelektual sesudahnya.³ Pendekatan semacam ini sejalan
dengan historiografi standar dalam kajian filsafat kuno, yang—melalui
karya-karya komprehensif seperti W.K.C. Guthrie dan Frederick
Copleston—menyajikan periodisasi seraya menekankan kesinambungan tema besar
(kosmologi, ontologi, epistemologi, etika, politik) dan variasi metodologis
dari satu generasi pemikir ke generasi berikutnya.¹¹&¹²
Dari sudut metodologi, kajian ini
memadukan (a) pendekatan historis-filosofis—membaca teks-teks primer dalam
konteks sosial-politik serta lintasan resepsinya; (b) analisis
konseptual—mengurai istilah kunci (mis. archē, logos, eudaimonia,
aretē, nous, hypostasis) dan struktur argumen; serta (c)
perbandingan—menimbang korespondensi dan kontras antar-mazhab (mis. Plato vs. Aristoteles dalam
metafisika dan teori pengetahuan; Stoa vs. Epikureanisme dalam etika dan
fisika). Kerangka ini juga memperhatikan nuansa bahwa “rasionalitas Yunani”
tidak identik dengan eliminasi mitos, sebab bahkan Plato tetap menggunakan muthos
untuk tujuan pedagogis dan normatif di dalam dialog-dialognya.¹³&¹⁴
Signifikansi historis filsafat Yunani dapat dilihat pada sedikitnya
tiga tataran. Pertama, tataran konseptual: gagasan tentang penjelasan kausal,
definisi, deduksi, dan demonstrasi (dalam tradisi Aristotelian) maupun teori bentuk (dalam tradisi Platonik) telah memasok kosakata dan teknik bagi
filsafat, teologi, dan sains sepanjang dua milenia.⁴&⁵ Kedua,
tataran praksis: etika kebajikan, gagasan eudaimonia, serta pembahasan
tentang keadilan, hukum, dan polis memengaruhi teori politik dan etika
publik modern.⁴ Ketiga, tataran historis-reseptif: jalur transmisi melalui
dunia Islam dan Latin membuktikan bahwa filsafat Yunani adalah tradisi yang terbuka―mampu
beradaptasi, ditafsirkan ulang, dan dikritik melintasi bahasa dan peradaban.⁹&¹⁰
Untuk memandu pembahasan, artikel ini akan: (1) memaparkan konteks
historis kemunculan filsafat di dunia Yunani dan transisi dari horizon
mitologis menuju penalaran filosofis;¹&² (2) mengurai fase-fase
utama beserta figur kunci—pra-Sokratik, Sokrates, Plato, Aristoteles, dan
aliran-aliran Helenistik hingga Neoplatonisme—seraya menyoroti tema-tema pokok
(kosmologi, metafisika/ ontologi, epistemologi, etika, dan politik);³&⁸
serta (3) menelusuri pengaruh lintas tradisi, khususnya ke dunia Islam dan
Barat Latin, untuk menunjukkan bagaimana warisan Yunani membentuk peta
intelektual global.⁹&¹⁰ Dengan demikian, “Filsafat Yunani”
dipahami bukan sebagai monolit, melainkan sebagai jaringan wacana yang dinamis
dan interaktif—suatu laboratorium intelektual yang terus menstimulasi
filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan hingga hari ini.³&⁴&⁵
Footnotes
[1]
Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds. thereafter), diakses 22 Agustus
2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.
(plato.stanford.edu)
[2]
K. W. Yu, “From Mythos to Logos: Jean-Pierre Vernant,
Max Weber, and the Narrative of Occidental Rationalization,” Modern
Intellectual History (Cambridge University Press, 2017), diakses 22 Agustus
2025. (Cambridge University
Press & Assessment)
[3]
“Greek Philosophy,” Encyclopaedia Britannica,
terakhir diperbarui 2 Agustus 2025, diakses 22 Agustus 2025, https://www.britannica.com/topic/Greek-philosophy.
(Encyclopedia
Britannica)
[4]
Richard Kraut, “Plato,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2004; rev. eds. thereafter), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/plato/.
Lihat juga Eric Brown, “Plato: Ethics and Politics in The Republic,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[5]
“Aristotle,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2008; rev. eds. thereafter), diakses 22 Agustus 2025; serta Richard Kraut,
“Aristotle’s Ethics,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2001; rev.
eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[6]
“Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(edisi 20 Januari 2023), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[7]
Leo Groarke, “Ancient Skepticism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Spring 2009 Edition; rev. eds.), diakses 22
Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[8]
Christian Wildberg, “Neoplatonism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2016; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025;
bandingkan Panagiotis Kalligas, “Plotinus,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (versi 2024), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[9]
Dag Nikolaus Hasse, “Influence of Arabic and Islamic
Philosophy on the Latin West,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2008; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[10]
“Greek–Arabic Philosophy and Science,” Routledge
Encyclopedia of Philosophy (ringkasan di MuslimPhilosophy.com), diakses 22
Agustus 2025. (muslimphilosophy.com)
[11]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
vol. 1–6 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962–1981). Lihat edisi
digital arsip untuk rujukan umum. (Internet Archive)
[12]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993 [edisi asli
1946]). Lihat akses arsip/kompilasi daring untuk orientasi
awal. (Internet Archive,
dhspriory.org)
[13]
“Ancient Greek Philosophy,” Internet Encyclopedia
of Philosophy, diakses 22 Agustus 2025. (iep.utm.edu)
[14]
Catalin Partenie, “Plato’s Myths,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2009; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025. (plato.stanford.edu)
[15]
“Ancient Greek Civilization,” Encyclopaedia
Britannica, terakhir diperbarui 17 Juli 2025, diakses 22 Agustus 2025. (Encyclopedia
Britannica)
2.
Konteks Historis
Filsafat Yunani
2.1. Kondisi
Sosial, Politik, dan Budaya Yunani Kuno
Filsafat Yunani lahir dalam konteks kebudayaan polis (kota-negara) yang
berkembang pesat pada abad ke-6 hingga ke-4 SM. Polis, seperti Athena, Sparta,
dan Miletos, bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga ruang sosial yang
memfasilitasi diskusi, perdagangan, serta pertukaran gagasan.¹ Polis
memungkinkan warga negara untuk terlibat dalam kehidupan politik secara
langsung, terutama di Athena yang menerapkan bentuk demokrasi partisipatif.²
Sistem demokrasi ini menciptakan ruang bagi argumentasi, retorika, dan kritik,
yang kemudian berpengaruh pada lahirnya filsafat sebagai tradisi rasional.³
Budaya Yunani juga ditandai oleh perayaan seni, olahraga, dan agama.
Festival-festival seperti Olimpiade dan pertunjukan drama di teater berfungsi
sebagai medium pendidikan publik dan refleksi nilai-nilai sosial.⁴ Pada saat
yang sama, agama politeistik Yunani menyediakan mitos-mitos tentang dewa dan
asal-usul dunia yang menjadi kerangka awal pemikiran kosmologis. Namun,
filsafat kemudian muncul dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang
melampaui penjelasan mitologis tersebut.⁵
2.2. Transisi
dari Mythos ke Logos
Salah satu ciri khas awal filsafat Yunani adalah transisi intelektual
dari mythos (penjelasan berbasis mitologi) menuju logos
(penalaran rasional). Para pemikir pra-Sokratik mulai mempertanyakan
prinsip-prinsip dasar realitas, seperti air (Thales), yang dipandang sebagai
asal mula segala sesuatu.⁶ Pergeseran ini bukan berarti bahwa mitos lenyap
sepenuhnya, melainkan bahwa cara berpikir rasional mulai mendapat ruang dominan
dalam menjelaskan fenomena alam.⁷
Jean-Pierre Vernant dan para sejarawan modern menekankan bahwa
perubahan ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui interaksi kompleks
antara praktik sosial, politik, dan religius.⁸ Misalnya, dalam dialog-dialog
Plato, mitos masih digunakan untuk tujuan pedagogis dan etis, menunjukkan bahwa
mythos dan logos sering kali berjalan berdampingan.⁹
2.3. Pengaruh
Peradaban Luar (Mesir, Mesopotamia, dan Timur Dekat)
Perkembangan filsafat Yunani tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
peradaban sebelumnya. Bangsa Yunani melakukan kontak dagang dan kultural dengan
Mesir dan Mesopotamia sejak awal. Di Mesir, mereka mempelajari geometri,
astronomi, dan aritmetika, yang kemudian berpengaruh pada pemikiran matematis
Pythagoras.¹⁰ Dari Mesopotamia, Yunani mewarisi tradisi astronomi dan sistem
pencatatan ilmiah yang mendorong kajian rasional terhadap kosmos.¹¹
Kontak dengan Timur Dekat juga memainkan peran signifikan, terutama
dalam hal kosmologi dan etika. Misalnya, konsep keteraturan alam (kosmos)
yang kemudian dikembangkan oleh para filsuf Ionia mungkin terinspirasi oleh
gagasan keteraturan ilahi dalam tradisi Babilonia.¹² Dengan demikian, meskipun
filsafat Yunani sering dianggap sebagai fenomena unik Eropa, ia sesungguhnya
berdiri di atas fondasi lintas-budaya yang lebih luas.¹³
Footnotes
[1]
“Ancient Greek Civilization,” Encyclopaedia
Britannica, terakhir diperbarui 17 Juli 2025, diakses 22 Agustus 2025, https://www.britannica.com/topic/ancient-Greek-civilization.
[2]
Mogens Herman Hansen, The Athenian Democracy in the
Age of Demosthenes (Norman: University of Oklahoma Press, 1999), 34–39.
[3]
Josiah Ober, Mass and Elite in Democratic Athens
(Princeton: Princeton University Press, 1989), 56–60.
[4]
P. E. Easterling dan J. V. Muir, eds., Greek
Religion and Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 21–25.
[5]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 3–7.
[6]
Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.
[7]
K. W. Yu, “From Mythos to Logos: Jean-Pierre Vernant,
Max Weber, and the Narrative of Occidental Rationalization,” Modern
Intellectual History (2017).
[8]
Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek Thought
(Ithaca: Cornell University Press, 1982), 11–14.
[9]
Catalin Partenie, “Plato’s Myths,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2009; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/plato-myths/.
[10]
Carl B. Boyer, A History of Mathematics, 2nd
ed. (New York: Wiley, 1991), 36–38.
[11]
Francesca Rochberg, The Heavenly Writing:
Divination, Horoscopy, and Astronomy in Mesopotamian Culture (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004), 55–60.
[12]
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 18–21.
[13]
Lloyd P. Gerson, Ancient Philosophy: A New History
of Western Philosophy, vol. 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 5–9.
3.
Filsafat
Pra-Sokratik
3.1. Pencarian
Prinsip Dasar (Archē)
Filsafat Yunani pada periode pra-Sokratik (abad ke-6–5 SM) ditandai
oleh usaha untuk mencari archē, yaitu prinsip pertama atau asal-usul
segala sesuatu. Para pemikir Ionia di Miletos menjadi pelopor dalam upaya ini.
Thales (624–546 SM), yang disebut Aristoteles sebagai “bapak filsafat,”
mengajukan air sebagai asal mula realitas, bukan sekadar simbol, tetapi sebagai
unsur kosmik yang menopang kehidupan.¹ Anaximandros, muridnya, menolak gagasan
bahwa archē berupa unsur empiris; ia memperkenalkan konsep to apeiron
(yang tak terbatas) sebagai asal segala sesuatu, yang menunjukkan usaha
spekulatif untuk melampaui fenomena konkret.² Anaximenes kemudian kembali ke
prinsip material dengan menyatakan udara sebagai archē, yang dapat
berubah melalui proses pengembunan dan pengenceran.³
Upaya ini merepresentasikan langkah awal transisi dari penjelasan
mitologis menuju penalaran filosofis: fenomena alam tidak lagi dipahami sebagai
hasil intervensi dewa-dewa, melainkan sebagai proses yang tunduk pada
hukum-hukum rasional.⁴
3.2. Herakleitos
dan Parmenides: Perubahan dan Ketetapan
Di luar mazhab Miletos, perdebatan antara Herakleitos dari Efesos dan
Parmenides dari Elea memperlihatkan dialektika tajam mengenai realitas.
Herakleitos menekankan perubahan sebagai esensi dunia, menyatakan bahwa “semua
mengalir” (panta rhei) dan bahwa api adalah simbol kosmik dari
dinamika realitas.⁵ Bagi Herakleitos, konflik dan pertentangan bukanlah
penyimpangan, melainkan harmoni tersembunyi yang mengatur kosmos.⁶
Sebaliknya, Parmenides menegaskan bahwa perubahan hanyalah ilusi
indrawi. Dalam puisinya, ia menekankan bahwa “yang ada” bersifat abadi, tak
berubah, dan tak terbagi.⁷ Bagi Parmenides, jalan kebenaran (aletheia)
menolak kemungkinan ketiadaan, sehingga perubahan yang tampak hanyalah hasil
persepsi yang menyesatkan.⁸
Pertentangan antara Herakleitos dan Parmenides meletakkan dasar bagi
problem metafisika Barat: bagaimana menjelaskan hubungan antara perubahan
(fenomena) dan ketetapan (realitas esensial).⁹
3.3. Mazhab
Atomis: Leukippos dan Demokritos
Mazhab atomis, dipelopori Leukippos dan lebih lanjut dikembangkan oleh
Demokritos (460–370 SM), berusaha menyelesaikan ketegangan antara perubahan dan
ketetapan. Mereka mengajukan bahwa realitas terdiri dari atom-atom yang abadi,
tidak dapat dibagi, dan bergerak dalam ruang kosong.¹⁰ Perubahan dipahami
sebagai hasil kombinasi dan perpisahan atom, bukan sebagai lahirnya sesuatu
dari ketiadaan.¹¹
Pandangan atomis bersifat revolusioner karena menekankan penjelasan
mekanis atas fenomena alam. Dalam hal ini, mereka menjadi cikal bakal bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam fisika dan kimia.¹² Meski
demikian, Aristoteles dan Plato mengkritik pandangan atomis karena dianggap
terlalu materialistis dan reduksionis.¹³
3.4. Sumbangan
Filsafat Alam terhadap Lahirnya Ilmu Pengetahuan
Secara keseluruhan, para filsuf pra-Sokratik menyumbang tiga hal
penting bagi tradisi intelektual dunia. Pertama, mereka memperkenalkan cara
berpikir rasional tentang alam semesta, menggeser fokus dari mitologi ke
penjelasan naturalistik. Kedua, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan
metafisik fundamental tentang asal-usul, perubahan, dan keteraturan kosmos,
yang menjadi fondasi bagi metafisika selanjutnya. Ketiga, mereka memperkenalkan
metodologi spekulatif yang berbasis pada argumentasi logis, sekalipun belum
sepenuhnya empiris.¹⁴
Warisan intelektual para pra-Sokratik mempersiapkan jalan bagi
Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tanpa perintisan mereka dalam kosmologi dan
ontologi, filsafat klasik Yunani tidak akan memiliki kerangka konseptual yang
matang untuk mengembangkan logika, etika, dan politik.¹⁵
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, 983b18–27, dalam
Jonathan Barnes, ed., The Complete Works of Aristotle, vol. 2
(Princeton: Princeton University Press, 1984).
[2]
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 103–107.
[3]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 116–120.
[4]
Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds.), diakses 22 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.
[5]
Heraclitus, fragmen DK B12, dalam Kathleen Freeman, Ancilla
to the Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1948), 25.
[6]
Charles H. Kahn, The Art and Thought of Heraclitus
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 45–50.
[7]
Parmenides, fragmen DK B8, dalam Freeman, Ancilla
to the Pre-Socratic Philosophers, 41–44.
[8]
Alexander P. D. Mourelatos, The Route of Parmenides
(Las Vegas: Parmenides Publishing, 2008), 78–85.
[9]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers
(London: Routledge, 1982), 157–163.
[10]
Democritus, fragmen DK B68, dalam Freeman, Ancilla
to the Pre-Socratic Philosophers, 119–121.
[11]
David Furley, Two Studies in the Greek Atomists
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 33–37.
[12]
Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian
Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2006), 211–218.
[13]
Plato, Timaeus, 53a–57d; Aristotle, De
Generatione et Corruptione, 315b–316a.
[14]
Richard D. McKirahan, Philosophy Before Socrates,
2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2010), 12–18.
[15]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 36–42.
4.
Filsafat Klasik (Sokratik dan Pasca-Sokratik)
4.1. Sokrates:
Etika, Dialektika, dan Paradigma Filosofis
Sokrates (469–399 SM) sering disebut sebagai titik balik dalam sejarah
filsafat Yunani karena ia menggeser fokus filsafat dari kosmologi pra-Sokratik
menuju persoalan etika dan kehidupan manusia.¹ Tidak seperti para pendahulunya,
Sokrates tidak meninggalkan karya tulis; ajarannya kita ketahui terutama dari
dialog-dialog Plato dan kesaksian Xenophon serta Aristofanes.²
Metode khasnya adalah elenchus atau metode tanya jawab dialektis, yang bertujuan menyingkap kontradiksi dalam pendapat lawan bicara
sehingga menghasilkan definisi yang lebih tepat tentang konsep-konsep moral
seperti keadilan, kebajikan, atau keberanian.³ Melalui metode ini, Sokrates menekankan
pentingnya epimeleia heautou (perhatian terhadap diri) dan keyakinan
bahwa “kehidupan yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.”⁴
Secara etis, Sokrates meyakini bahwa kebajikan (aretē) identik
dengan pengetahuan, dan bahwa tidak seorang pun berbuat jahat dengan sadar.⁵
Pandangannya menempatkan filsafat sebagai upaya praktis untuk membentuk
karakter, bukan sekadar spekulasi teoretis.
4.2. Plato:
Teori Ide, Epistemologi, dan Filsafat Politik
Plato (427–347 SM), murid Sokrates, mengembangkan filsafat dalam
kerangka sistematis dengan mendirikan Akademia, salah satu lembaga
pendidikan filsafat tertua di dunia Barat.⁶ Gagasan sentralnya adalah teori Ide (Forms), yaitu realitas transenden yang sempurna dan menjadi dasar bagi
dunia empiris.⁷
Dalam Republic, Plato membahas epistemologi melalui alegori gua:
manusia terjebak dalam dunia bayangan indrawi dan hanya filsafat yang dapat
membawanya kepada pengetahuan sejati (epistēmē).⁸ Etika dan politik
baginya erat terkait: keadilan merupakan harmoni antara bagian rasional,
spirit, dan nafsu dalam jiwa, serta tercermin dalam tatanan negara yang
dipimpin oleh filsuf-raja.⁹
Plato juga menekankan pendidikan sebagai jalan menuju kebajikan,
menegaskan bahwa filsafat adalah latihan spiritual sekaligus politik.¹⁰ Warisan
Plato memengaruhi tradisi metafisika, teori pengetahuan, hingga filsafat politik sepanjang dua milenia.
4.3. Aristoteles:
Logika, Metafisika, dan Ilmu Empiris
Aristoteles (384–322 SM), murid Plato dan guru Alexander Agung,
mendirikan sekolah Lykeion. Ia mengembangkan filsafat yang lebih empiris
dibanding gurunya, menolak keberadaan Ide yang terpisah dari realitas, dan
mengajukan teori substansi: setiap benda terdiri dari bentuk (morphē/ eidos)
dan materi (hylē).¹¹
Aristoteles dianggap sebagai bapak logika formal dengan karyanya
Organon yang memperkenalkan silogisme.¹² Dalam metafisika, ia
memperkenalkan teori empat sebab (material, formal, efisien, final) untuk
menjelaskan perubahan dan keberadaan.¹³ Etikanya, terutama dalam Nicomachean
Ethics, menekankan kebajikan sebagai jalan tengah (mesotes) yang
dicapai melalui kebiasaan, dan tujuan akhir kehidupan adalah kebahagiaan (eudaimonia).¹⁴
Di bidang politik, Aristoteles memandang manusia sebagai zoon
politikon (makhluk politik) yang hanya dapat mencapai kesempurnaan dalam
komunitas polis.¹⁵ Ia juga mengembangkan studi biologi, fisika, dan retorika,
sehingga filsafatnya melintasi batas-batas disiplin ilmu.¹⁶
4.4. Perbandingan
Plato dan Aristoteles
Plato dan Aristoteles sering dipandang sebagai kutub utama dalam
filsafat Yunani klasik. Perbedaan mereka terletak pada cara memahami realitas:
Plato menekankan dunia transenden Ide sebagai realitas sejati, sedangkan
Aristoteles menegaskan bahwa bentuk dan materi bersatu dalam benda-benda
konkret.¹⁷ Dalam epistemologi, Plato menekankan pengetahuan rasional murni,
sementara Aristoteles mengakui peran penting observasi empiris.¹⁸
Meski berbeda, keduanya sama-sama menegaskan filsafat sebagai upaya
memahami realitas secara menyeluruh dan menata kehidupan etis-politis.
Perdebatan mereka membentuk dasar tradisi filsafat Barat: kecenderungan
idealisme Platonik dan realisme Aristotelian.¹⁹
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 3–7.
[2]
Donald R. Morrison, “Socrates,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2009; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/socrates/.
[3]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 12–18.
[4]
Plato, Apology 38a, dalam John M. Cooper, ed., Plato:
Complete Works (Indianapolis: Hackett, 1997), 24.
[5]
Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 50–56.
[6]
“Plato,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2004; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025.
[7]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 137–142.
[8]
Plato, Republic 514a–520a, dalam Cooper, Plato:
Complete Works, 1132–1136.
[9]
Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The
Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.),
diakses 23 Agustus 2025.
[10]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–63.
[11]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–27.
[12]
Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 23 Agustus 2025.
[13]
Aristotle, Metaphysics V.2, 1013a; lihat
Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their
Sequel (London: Duckworth, 1988), 42–48.
[14]
Aristotle, Nicomachean Ethics II.6, dalam
Terence Irwin, trans., Nicomachean Ethics (Indianapolis: Hackett, 1985),
34–38.
[15]
Aristotle, Politics I.2, 1253a.
[16]
David Charles, Aristotle on Meaning and Essence
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 9–13.
[17]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 142–150.
[18]
Lloyd P. Gerson, Aristotle and Other Platonists
(Ithaca: Cornell University Press, 2005), 27–31.
[19]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
vol. 4 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 13–19.
5.
Filsafat Hellenistik
5.1. Latar
Belakang Periode Hellenistik
Periode Hellenistik (sekitar 323–31 SM) dimulai setelah kematian
Aleksander Agung dan ditandai oleh penyebaran budaya Yunani ke wilayah luas,
mulai dari Mesir hingga Asia Barat.¹ Pergeseran konteks dari polis ke kerajaan
kosmopolitan (seperti Aleksandria dan Antiokhia) mengubah orientasi filsafat.
Jika filsafat klasik (Plato dan Aristoteles) menekankan metafisika,
epistemologi, dan politik, filsafat Hellenistik lebih berfokus pada etika
praktis dan cara mencapai ketenangan jiwa (ataraxia) di tengah
ketidakpastian hidup.²
5.2. Stoisisme:
Rasionalitas Kosmik dan Etika Kebajikan
Stoisisme, didirikan oleh Zeno dari Citium (334–262 SM), menekankan
bahwa alam semesta diatur oleh logos rasional yang imanen.³ Hidup
bahagia dicapai dengan hidup selaras dengan alam, yaitu dengan mengembangkan
kebajikan (aretē) dan menerima takdir dengan sikap apatheia (kebebasan
dari emosi merusak).⁴
Tokoh penting Stoisisme kemudian termasuk Seneca, Epiktetos, dan Kaisar Marcus Aurelius. Mereka menekankan nilai universalitas moral, bahwa
semua manusia adalah warga dunia (kosmopolis), dan dengan demikian
Stoisisme menjadi salah satu filsafat etika yang paling berpengaruh dalam
membentuk gagasan hukum alam dan etika kosmopolitan.⁵
5.3. Epikureanisme:
Hedonisme Moderat dan Ataraxia
Epikureanisme didirikan oleh Epikuros
(341–270 SM), yang mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah memperoleh kebahagiaan
melalui kenikmatan (hēdonē) yang bijaksana.⁶ Namun, berbeda dengan
stereotip, Epikuros tidak mengajarkan hedonisme vulgar, melainkan hedonisme
rasional: kesenangan tertinggi bukanlah kenikmatan fisik berlebihan, melainkan
bebas dari rasa takut dan penderitaan, khususnya ketakutan terhadap dewa-dewa
dan kematian.⁷
Epikuros juga mengadopsi teori atomisme
Demokritos, tetapi menambahkan konsep clinamen (deviasi atom) untuk
menjelaskan kebebasan manusia.⁸ Etika Epikurean menekankan persahabatan sebagai
sumber kebahagiaan yang paling kokoh.⁹
5.4. Skeptisisme:
Relativitas Pengetahuan dan Epochē
Skeptisisme Yunani, terutama dipelopori
oleh Pirho dari Elis (360–270 SM), menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak
mungkin dicapai, sebab indra dan rasio sering menipu.¹⁰ Oleh karena itu, filsuf
harus menangguhkan penghakiman (epochē) terhadap segala klaim
kebenaran.¹¹
Dalam perkembangannya, Skeptisisme
terbagi menjadi Skeptisisme Pirhonis dan Akademik (Arkesilaos, Karneades).¹²
Tujuannya bukan nihilisme, melainkan pencapaian ketenangan batin melalui
kesadaran akan keterbatasan pengetahuan.¹³
5.5. Neoplatonisme:
Mistisisme dan Metafisika Emanasi
Pada abad ke-3 M, muncul Neoplatonisme,
terutama melalui Plotinos (204–270 M) yang karyanya dihimpun dalam Enneads.¹⁴
Ia mengembangkan sistem metafisika emanasi: segala sesuatu berasal dari Yang
Esa (to hen), memancar ke nous (akal universal), lalu ke psyche
(jiwa), hingga dunia materi.¹⁵
Tujuan hidup manusia adalah kembali (epistrophē)
menuju Yang Esa melalui kontemplasi filosofis dan penyucian jiwa.¹⁶
Neoplatonisme memiliki pengaruh besar terhadap filsafat Kristen (Agustinus),
Islam (al-Farabi, Ibn Sina), dan skolastisisme Latin.¹⁷
5.6. Signifikansi
Filsafat Hellenistik
Filsafat Hellenistik menunjukkan
pergeseran filsafat dari pencarian ontologis ke pencarian eksistensial:
bagaimana manusia dapat hidup baik, bahagia, dan damai dalam dunia yang penuh
ketidakpastian. Stoisisme memberikan kerangka etika universal, Epikureanisme
menekankan kebebasan dari ketakutan, Skeptisisme mengajarkan kerendahan hati
intelektual, dan Neoplatonisme membuka jalan bagi mistisisme religius.¹⁸
Warisan ini melampaui dunia Yunani dan
memengaruhi peradaban Romawi, Kristen awal, Islam, dan bahkan filsafat modern.¹⁹
Footnotes
[1]
“Hellenistic Age,” Encyclopaedia Britannica,
terakhir diperbarui 16 Agustus 2025, diakses 23 Agustus 2025, https://www.britannica.com/event/Hellenistic-Age.
[2]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 130–135.
[3]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987),
107–111.
[4]
“Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2023), diakses 23 Agustus 2025.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory
Hays (New York: Modern Library, 2002), 45–47.
[6]
Diskin Clay, “Epicurus,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2018), diakses 23 Agustus 2025.
[7]
Epikuros, Letter to Menoeceus, dalam Brad
Inwood dan L. P. Gerson, eds., The Epicurus Reader (Indianapolis:
Hackett, 1994), 28–33.
[8]
David Furley, Two Studies in the Greek Atomists
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 114–119.
[9]
Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers,
125–129.
[10]
Richard Bett, “Pyrrho,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2011), diakses 23 Agustus 2025.
[11]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
trans. Julia Annas dan Jonathan Barnes (Cambridge: Cambridge University Press,
2000), I.4–12.
[12]
Jonathan Barnes, The Cambridge History of
Hellenistic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
446–451.
[13]
Leo Groarke, “Ancient Skepticism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2009), diakses 23 Agustus 2025.
[14]
“Plotinus,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2024), diakses 23 Agustus 2025.
[15]
Plotinus, Enneads, I.6–V.1, trans. A. H.
Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966).
[16]
Dominic J. O’Meara, Plotinus: An Introduction to
the Enneads (Oxford: Oxford University Press, 1993), 21–27.
[17]
Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 187–191.
[18]
Hadot, What Is Ancient Philosophy?, 144–151.
[19]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 220–230.
6.
Tema-Tema Pokok
Filsafat Yunani
6.1. Kosmologi:
Asal-Usul dan Keteraturan Alam
Kosmologi merupakan titik awal filsafat Yunani, terutama di kalangan
pra-Sokratik. Mereka berupaya menjelaskan asal-usul (archē) dan
keteraturan alam semesta (kosmos) tanpa merujuk pada mitos.¹ Thales
memandang air sebagai asal mula segala sesuatu, Anaximandros mengajukan to
apeiron (yang tak terbatas), sedangkan Herakleitos menekankan dinamika
perubahan sebagai hukum universal.²
Gagasan keteraturan kosmos kemudian mendapat bentuk lebih matang dalam
filsafat Plato dan Aristoteles. Plato, melalui Timaeus, menggambarkan
dunia sebagai ciptaan rasional seorang demiurgos yang membentuk keteraturan
dari kekacauan.³ Aristoteles, sebaliknya, menolak konsep penciptaan demiurgis
dan menekankan prinsip sebab-akibat alamiah serta gerak abadi yang ditentukan
oleh “Penggerak Tak-Tergerakkan” (unmoved mover).⁴
Kosmologi Yunani menjadi embrio bagi ilmu alam, sebab ia menekankan
bahwa alam tunduk pada prinsip rasional yang dapat diselidiki.⁵
6.2. Ontologi
dan Metafisika: Hakikat Realitas
Ontologi Yunani berpusat pada pertanyaan tentang apa yang “ada” (to
on). Parmenides menegaskan bahwa realitas sejati bersifat tetap dan abadi,
menolak perubahan sebagai ilusi.⁶ Sebaliknya, Herakleitos menekankan bahwa
perubahan justru inti realitas. Pertentangan ini membentuk dialektika dasar
metafisika Barat.
Plato mengajukan teori Ide (Forms), di mana realitas sejati
adalah bentuk-bentuk transenden, sedangkan dunia indrawi hanyalah bayangan.⁷
Aristoteles menolak dualisme tersebut dan mengembangkan teori hylomorfisme:
segala sesuatu terdiri dari materi (hylē) dan bentuk (morphē),
serta aktualitas dan potensi.⁸
Metafisika Yunani dengan demikian membentuk landasan bagi diskursus
filsafat tentang keberadaan, substansi, esensi, dan relasi antara dunia indrawi
dan transenden.⁹
6.3. Epistemologi:
Pengetahuan dan Kebenaran
Filsafat Yunani juga menaruh perhatian besar pada epistemologi. Bagi
Sokrates, pengetahuan adalah kebajikan, dan filsafat adalah jalan untuk
menemukan definisi universal melalui dialektika.¹⁰ Plato membedakan pengetahuan
sejati (epistēmē) dari opini (doxa), menegaskan bahwa hanya
melalui rasio manusia dapat mengakses dunia Ide.¹¹
Aristoteles lebih empiris: pengetahuan diperoleh melalui pengalaman
indrawi, tetapi ditata oleh intelek dalam bentuk konsep universal.¹² Pada
periode Hellenistik, Skeptisisme mempertanyakan kemungkinan pengetahuan pasti,
menawarkan epochē (penangguhan penilaian) sebagai jalan menuju
ketenangan.¹³
Dengan demikian, epistemologi Yunani menyiapkan perdebatan panjang
tentang sumber pengetahuan—apakah rasio, pengalaman, atau kombinasi keduanya.¹⁴
6.4. Etika:
Kebajikan dan Kebahagiaan
Etika merupakan pusat perhatian filsafat klasik dan Hellenistik.
Sokrates menekankan bahwa kebajikan identik dengan pengetahuan, dan manusia
tidak mungkin berbuat salah secara sadar.¹⁵ Plato menekankan keadilan sebagai
harmoni dalam jiwa maupun negara.¹⁶
Aristoteles mengembangkan etika kebajikan: kebahagiaan (eudaimonia)
adalah tujuan akhir hidup, dicapai melalui praktik kebajikan sebagai jalan tengah (mesotes) yang dibentuk oleh kebiasaan.¹⁷
Mazhab Hellenistik menambahkan variasi: Stoisisme menekankan hidup
sesuai dengan alam dan menerima takdir dengan kebajikan; Epikureanisme
menekankan kenikmatan sederhana dan kebebasan dari rasa takut; Skeptisisme
menekankan ketenangan melalui penangguhan penilaian.¹⁸
Etika Yunani menjadi titik awal diskursus etika normatif, baik dalam
filsafat maupun teologi, hingga modernitas.¹⁹
6.5. Politik:
Manusia sebagai Zoon Politikon
Filsafat Yunani memandang manusia
sebagai makhluk politik. Dalam Republic, Plato menggambarkan negara
ideal yang dipimpin filsuf-raja, dengan struktur masyarakat yang mencerminkan
struktur jiwa.²⁰ Aristoteles, lebih realistis, menekankan bahwa polis adalah
wadah alami bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan moral dan intelektual.²¹
Ia menyebut manusia sebagai zoon politikon (hewan politik), yang tidak
dapat hidup baik di luar komunitas politik.²²
Konsep-konsep Yunani tentang keadilan, hukum alam, dan kewargaan
memberi pengaruh besar pada teori politik Romawi, pemikiran politik Kristen
abad pertengahan, hingga teori kontrak sosial modern.²³
Footnotes
[1]
Patricia Curd, “Presocratic Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2007; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025, https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/.
[2]
G. S. Kirk, J. E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 88–97.
[3]
Plato, Timaeus, 28a–29d, dalam John M. Cooper,
ed., Plato: Complete Works (Indianapolis: Hackett, 1997), 1224–1227.
[4]
Aristotle, Metaphysics, XII.6–7, 1071b–1072a,
dalam Jonathan Barnes, ed., The Complete Works of Aristotle, vol. 2
(Princeton: Princeton University Press, 1984).
[5]
Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian
Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2006), 211–214.
[6]
Parmenides, fragmen DK B8, dalam Kathleen Freeman, Ancilla
to the Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1948), 41–44.
[7]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 137–142.
[8]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–25.
[9]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 112–118.
[10]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 13–18.
[11]
Plato, Republic, VI–VII, dalam Cooper, Plato:
Complete Works, 1129–1136.
[12]
Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025.
[13]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
trans. Julia Annas dan Jonathan Barnes (Cambridge: Cambridge University Press,
2000), I.4–12.
[14]
Richard D. McKirahan, Philosophy Before Socrates,
2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2010), 15–18.
[15]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–51.
[16]
Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The
Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.),
diakses 24 Agustus 2025.
[17]
Aristotle, Nicomachean Ethics, II.6, dalam
Terence Irwin, trans., Nicomachean Ethics (Indianapolis: Hackett, 1985),
34–38.
[18]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 90–97.
[19]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 142–148.
[20]
Plato, Republic, IV, dalam Cooper, Plato:
Complete Works, 1006–1011.
[21]
Aristotle, Politics, I.2, 1253a.
[22]
David Keyt, “Aristotle’s Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2001; rev. eds.), diakses 24 Agustus 2025.
[23]
Copleston, A History of Philosophy, vol. 1,
142–150.
7.
Pengaruh Filsafat
Yunani
7.1. Terhadap
Filsafat Romawi dan Tradisi Latin
Warisan filsafat Yunani diteruskan ke dunia Romawi, terutama melalui
penerimaan dan adaptasi gagasan etika. Para pemikir Romawi seperti Cicero
(106–43 SM) memadukan Stoisisme dengan hukum Romawi, melahirkan konsep hukum
alam (lex naturalis) yang berakar pada logos universal.¹ Seneca (4
SM–65 M) mengembangkan ajaran Stoa dalam bentuk moral praktis tentang
pengendalian diri, sedangkan Marcus Aurelius (121–180 M), kaisar sekaligus
filsuf, menulis Meditations yang menekankan kosmopolitanisme etis.²
Meski Romawi tidak menghasilkan sistem filsafat baru, mereka memainkan
peran penting sebagai mediator dalam mentransmisikan filsafat Yunani ke Barat
Latin melalui karya terjemahan dan adaptasi.³
7.2. Terhadap
Filsafat Islam Klasik
Pengaruh filsafat Yunani semakin meluas
melalui gerakan penerjemahan besar-besaran pada abad ke-8–10 M di dunia Islam,
khususnya di Bayt al-Hikmah Baghdad. Karya Aristoteles, Plato (sering melalui
Neoplatonis), Galen, dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.⁴
Al-Kindi (w. 873) disebut sebagai filsuf
Arab pertama, yang menekankan pentingnya akal dalam memahami wahyu.⁵
Al-Farabi (w. 950) mengembangkan teori negara utama yang memadukan filsafat
politik Plato dan Aristoteles.⁶ Ibn Sina (Avicenna, 980–1037) mengintegrasikan
metafisika Aristotelian dengan Neoplatonisme, menghasilkan teori tentang wajib al-wujud (Yang Niscaya Ada).⁷ Ibn Rushd (Averroes, 1126–1198) dikenal
sebagai komentator besar Aristoteles, yang menekankan rasionalitas murni dan
memengaruhi filsafat skolastik di Barat.⁸
Dengan demikian, filsafat Islam klasik berfungsi sebagai jembatan
penting dalam menyebarkan filsafat Yunani ke Eropa Latin.⁹
7.3. Terhadap
Filsafat Kristen dan Skolastisisme
Filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Aristotelianisme, memengaruhi
teologi Kristen sejak awal. Agustinus (354–430 M) mengadopsi Neoplatonisme
untuk merumuskan doktrin tentang jiwa, kejahatan, dan Tuhan.¹⁰ Ia menegaskan
bahwa kebenaran sejati bersumber dari Tuhan, tetapi struktur konseptualnya
sangat dipengaruhi Plato dan Plotinos.¹¹
Pada abad ke-13, penerjemahan karya Aristoteles melalui bahasa Arab dan
Latin memperluas cakrawala filsafat Kristen. Thomas Aquinas (1225–1274)
memadukan Aristotelianisme dengan teologi Kristen, khususnya dalam Summa
Theologiae, dengan menekankan bahwa akal dan wahyu saling melengkapi.¹²
Aristotelianisme skolastik ini membentuk kerangka utama filsafat Eropa Abad
Pertengahan.¹³
7.4. Terhadap
Filsafat Modern dan Ilmu Pengetahuan
Filsafat Yunani juga menjadi fondasi bagi lahirnya filsafat modern dan
ilmu pengetahuan. Kebangkitan kembali minat pada teks-teks klasik pada masa
Renaisans menghidupkan kembali Platonisme (misalnya melalui Marsilio Ficino)
dan Aristotelianisme.¹⁴
Dalam ilmu pengetahuan, gagasan kosmologi atomis Demokritos dan
Epikureanisme menginspirasi teori mekanistik modern (misalnya Gassendi dan
Newton).¹⁵ Metode logis Aristoteles menjadi dasar bagi silogistik, meskipun
kemudian dikritik oleh Bacon dan Descartes yang mengusulkan metode baru.¹⁶
Dengan demikian, filsafat Yunani tidak hanya memberi warisan teoritis,
tetapi juga menyediakan kerangka metodologis yang melahirkan sains modern.¹⁷
Kesimpulan
Pengaruh filsafat Yunani melintasi
peradaban: dari Romawi hingga dunia Islam, dari gereja Kristen hingga ilmuwan
Renaisans. Ia bukan sekadar
“warisan lokal” Yunani, tetapi fondasi universal bagi tradisi
intelektual dunia. Melalui proses penerjemahan, interpretasi, dan kritik,
filsafat Yunani tetap hidup, berkembang, dan terus memberi inspirasi bagi
filsafat, teologi, serta ilmu pengetahuan hingga zaman modern.
Footnotes
[1]
Cicero, On the Laws, trans. Clinton Keyes
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.8–10.
[2]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory
Hays (New York: Modern Library, 2002), 45–50.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 230–235.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 32–39.
[5]
Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 15–18.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 111–118.
[7]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 35–40.
[8]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1988), 25–31.
[9]
Dag Nikolaus Hasse, “Influence of Arabic and Islamic
Philosophy on the Latin West,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2008; rev. eds.), diakses 25 Agustus 2025.
[10]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.9–13.
[11]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–51.
[12]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3.
[13]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 67–73.
[14]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its
Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 21–26.
[15]
Catherine Wilson, Epicureanism at the Origins of
Modernity (Oxford: Clarendon Press, 2008), 53–59.
[16]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine
dan Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), I.
aphorism 19–26.
[17]
Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories
in Antiquity and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 201–209.
8.
Relevansi
Kontemporer Filsafat Yunani
8.1. Sumbangan
terhadap Tradisi Berpikir Kritis dan Ilmu Pengetahuan
Filsafat Yunani menanamkan tradisi berpikir kritis yang tetap relevan
dalam dunia kontemporer. Metode dialektika Sokrates, misalnya, menjadi
inspirasi bagi pendekatan pendidikan modern yang menekankan dialog, pertanyaan
reflektif, dan pembentukan argumen.¹ Tradisi logika Aristoteles masih diajarkan
hingga kini sebagai fondasi penalaran formal, sementara pendekatan empirisnya
dianggap sebagai embrio metode ilmiah modern.²
Dalam sains, gagasan-gagasan kosmologi pra-Sokratik dan teori atom
Demokritos memberikan dasar bagi perkembangan fisika atom modern.³ Meski tidak
identik dengan teori ilmiah kontemporer, warisan ini menunjukkan bahwa upaya
rasional memahami alam semesta memiliki akar panjang dalam filsafat Yunani.
8.2. Inspirasi
Etika dan Politik dalam Masyarakat Modern
Etika Yunani, khususnya teori kebajikan Aristoteles, kembali mendapat
perhatian dalam filsafat moral kontemporer. Alasdair MacIntyre, melalui After
Virtue, menghidupkan kembali gagasan aretē (kebajikan) dan eudaimonia
(kebahagiaan) sebagai alternatif atas krisis moral modern yang terlalu
menekankan relativisme dan utilitarianisme.⁴ Etika kebajikan kini menjadi salah
satu aliran dominan dalam filsafat moral kontemporer.
Dalam ranah politik, konsep Plato tentang keadilan dan Aristoteles
tentang manusia sebagai zoon politikon terus memengaruhi diskursus
demokrasi, kewargaan, dan hukum.⁵ Gagasan Stoisisme tentang kosmopolis
(kewargaan universal) juga kembali mendapat relevansi dalam era globalisasi,
ketika solidaritas kemanusiaan lintas batas menjadi semakin penting.⁶
8.3. Dialog
dengan Spiritualitas dan Psikologi Modern
Relevansi filsafat Yunani tidak terbatas pada bidang filsafat akademis,
tetapi juga dalam ranah spiritualitas dan psikologi praktis. Stoisisme,
misalnya, telah mengalami kebangkitan dalam bentuk Modern Stoicism, yang
banyak digunakan dalam psikologi kognitif-behavioral (CBT). Albert Ellis dan
Aaron T. Beck, pelopor CBT, mengakui Stoisisme sebagai sumber inspirasi
metodologis, khususnya dalam gagasan bahwa penderitaan emosional berakar pada
cara kita menilai peristiwa, bukan pada peristiwa itu sendiri.⁷
Demikian pula, konsep Plato tentang jiwa dan etika kontemplatif
Neoplatonisme memberi inspirasi pada diskursus spiritualitas modern dan terapi
eksistensial, yang berupaya menghubungkan rasionalitas dengan dimensi
transendental kehidupan manusia.⁸
8.4. Kritik
Postmodern terhadap Rasionalitas Yunani
Meskipun pengaruhnya luas, filsafat
Yunani juga menjadi objek kritik dalam filsafat kontemporer. Pemikir postmodern
seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida menilai bahwa tradisi rasionalitas
Yunani cenderung menyingkirkan pluralitas wacana dan memusatkan diri pada
“metanarasi” kebenaran tunggal.⁹ Foucault, misalnya, membaca praktik epimeleia
heautou (perhatian terhadap diri) dalam filsafat kuno sebagai alternatif
bagi rasionalitas modern yang bersifat disipliner.¹⁰
Kritik postmodern ini menunjukkan bahwa
meskipun filsafat Yunani memberi fondasi kokoh bagi rasionalitas Barat,
warisannya tetap perlu dikaji secara kritis agar tidak jatuh dalam dogmatisme
intelektual.
8.5. Relevansi
Global dalam Era Modern
Di era globalisasi dan pluralisme, filsafat Yunani menawarkan kerangka
universal untuk dialog lintas budaya. Prinsip rasionalitas, pencarian
kebajikan, dan gagasan kosmopolitanisme menyediakan titik temu bagi diskursus
etika global, hak asasi manusia, dan filsafat politik internasional.¹¹ Oleh
karena itu, filsafat Yunani tidak hanya berfungsi sebagai warisan historis,
tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk membangun peradaban yang lebih adil,
rasional, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 23–29.
[2]
Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian
Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press,
2006), 217–220.
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 129–135.
[5]
Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The
Republic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. eds.),
diakses 25 Agustus 2025.
[6]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory
Hays (New York: Modern Library, 2002), 112–115.
[7]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Routledge, 2013), 14–20.
[8]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed.
Arnold I. Davidson (Oxford: Blackwell, 1995), 85–91.
[9]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans.
Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 280–285.
[10]
Michel Foucault, The Care of the Self, vol. 3
of The History of Sexuality, trans. Robert Hurley (New York: Vintage,
1986), 43–51.
[11]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
30–36.
9.
Penutup
Kajian atas filsafat Yunani menunjukkan
bahwa ia bukan sekadar salah satu fase sejarah intelektual kuno, melainkan
fondasi yang membentuk arah perkembangan filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Dari masa pra-Sokratik hingga Neoplatonisme, para
pemikir Yunani telah memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
realitas (ontologi), pengetahuan (epistemologi), etika, politik,
dan keteraturan kosmos (kosmologi).¹
Warisan filsafat Yunani memiliki dua
ciri utama. Pertama, transformatif, karena ia mengubah cara manusia
memahami dunia dari perspektif mitologis ke penalaran rasional.² Kedua, transmisional,
karena gagasan-gagasannya tidak berhenti di Yunani, tetapi diteruskan dan
dikembangkan dalam peradaban Romawi, Islam, dan Kristen, lalu memasuki Eropa
Latin hingga melahirkan Renaisans dan modernitas.³ Hal ini menjadikan filsafat
Yunani sebagai “mata rantai utama” dalam kontinuitas sejarah intelektual
global.⁴
Secara substantif, filsafat Yunani
telah meninggalkan tiga warisan pokok. Pertama, metode berpikir kritis
yang dicontohkan oleh Sokrates dan dikembangkan melalui logika Aristoteles,
yang hingga kini menjadi dasar bagi penalaran ilmiah.⁵ Kedua, etos etika dan
politik, yang berpusat pada gagasan kebajikan (aretē), kebahagiaan (eudaimonia),
dan keadilan (dikaiosynē), yang terus memengaruhi wacana moral dan
politik modern.⁶ Ketiga, pandangan kosmopolitan, terutama dalam
Stoisisme, yang mengajarkan persaudaraan universal manusia dan menjadi
inspirasi bagi konsep hak asasi manusia kontemporer.⁷
Meskipun demikian, relevansi filsafat Yunani tidak boleh dipahami
secara statis. Kritik dari pemikir postmodern, seperti Michel Foucault dan
Jacques Derrida, menunjukkan bahwa tradisi rasionalitas Yunani juga membawa
kecenderungan eksklusif dan menyingkirkan keragaman wacana.⁸ Karena itu, tugas
filsafat kontemporer adalah mendialogkan warisan Yunani dengan tantangan zaman, bukan sekadar mengulanginya.
Akhirnya, filsafat Yunani adalah laboratorium
intelektual universal yang telah membentuk identitas filsafat dunia.
Seperti dikatakan Pierre Hadot, filsafat Yunani bukan hanya sistem teoretis,
melainkan juga “cara hidup” yang bertujuan membentuk manusia yang bijaksana.⁹
Dengan demikian, mempelajari filsafat Yunani tidak hanya berarti menelusuri
sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali tradisi refleksi kritis dan etika
yang dapat memperkaya kehidupan manusia di era modern.
Footnotes
[1]
Richard D. McKirahan, Philosophy Before Socrates,
2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2010), 12–15.
[2]
K. W. Yu, “From Mythos to Logos: Jean-Pierre Vernant,
Max Weber, and the Narrative of Occidental Rationalization,” Modern
Intellectual History (2017).
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 42–48.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
vol. 1: Greece and Rome (New York: Image/Doubleday, 1993), 230–235.
[5]
Robin Smith, “Aristotle’s Logic,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2000; rev. eds.), diakses 26 Agustus 2025.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, II.6, dalam
Terence Irwin, trans., Nicomachean Ethics (Indianapolis: Hackett, 1985),
34–38.
[7]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory
Hays (New York: Modern Library, 2002), 112–115.
[8]
Michel Foucault, The Care of the Self, vol. 3
of The History of Sexuality, trans. Robert Hurley (New York: Vintage,
1986), 43–51; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 280–285.
[9]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 59–63.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2007). Al-Kindi.
Oxford University Press.
Annas, J. (1981). An introduction
to Plato’s Republic. Oxford University Press.
Aristotle. (1984). The complete
works of Aristotle (J. Barnes, Ed.; Vol. 2). Princeton University Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.
Aristotle. (2000). Politics
(C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.
Barnes, J. (1982). The Presocratic
philosophers. Routledge.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A
very short introduction. Oxford University Press.
Barnes, J. (Ed.). (1999). The
Cambridge history of Hellenistic philosophy. Cambridge University Press.
Benson, H. H. (2000). Socratic
wisdom. Oxford University Press.
Bett, R. (2011). Pyrrho. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2011
Edition). https://plato.stanford.edu/entries/pyrrho/
Boyer, C. B. (1991). A history of
mathematics (2nd ed.). Wiley.
Brown, E. (2003). Plato’s ethics and
politics in The Republic. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2003 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/plato-ethics-politics/
Charles, D. (2000). Aristotle on
meaning and essence. Oxford University Press.
Cicero. (1928). On the laws
(C. Keyes, Trans.). Harvard University Press.
Clay, D. (2018). Epicurus. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2018
Edition). https://plato.stanford.edu/entries/epicurus/
Copleston, F. (1993). A history of
philosophy, Vol. 1: Greece and Rome. Image/Doubleday.
Curd, P. (2007). Presocratic
philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2007 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/presocratics/
Derrida, J. (1978). Writing and
difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Easterling, P. E., & Muir, J. V.
(Eds.). (1985). Greek religion and society. Cambridge University Press.
Epictetus. (2000). Outlines of
Pyrrhonism (J. Annas & J. Barnes, Trans.). Cambridge University Press.
Epicurus. (1994). The Epicurus
reader (B. Inwood & L. P. Gerson, Eds.). Hackett.
Fakhry, M. (2004). A history of
Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Freeman, K. (1948). Ancilla to the
Pre-Socratic philosophers. Harvard University Press.
Foucault, M. (1986). The care of
the self (R. Hurley, Trans.). Vintage.
Furley, D. (1967). Two studies in
the Greek atomists. Princeton University Press.
Gilson, E. (1994). The Christian
philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna.
Routledge.
Graham, D. W. (2006). Explaining
the cosmos: The Ionian tradition of scientific philosophy. Princeton
University Press.
Guthrie, W. K. C. (1962–1981). A
history of Greek philosophy (Vols. 1–6). Cambridge University Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a
way of life (A. I. Davidson, Ed.). Blackwell.
Hadot, P. (2002). What is ancient
philosophy? Harvard University Press.
Hansen, M. H. (1999). The Athenian
democracy in the age of Demosthenes. University of Oklahoma Press.
Hasse, D. N. (2008). Influence of
Arabic and Islamic philosophy on the Latin West. In E. N. Zalta (Ed.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2008 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/arabic-islamic-influence/
Heraclitus. (1948). In K. Freeman, Ancilla
to the Pre-Socratic philosophers. Harvard University Press.
Irwin, T. (1995). Plato’s ethics.
Oxford University Press.
Kahn, C. H. (1979). The art and
thought of Heraclitus. Cambridge University Press.
Keyt, D. (2001). Aristotle’s
political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of
philosophy (Fall 2001 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-politics/
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance
thought and its sources. Columbia University Press.
Leaman, O. (1988). Averroes and
his philosophy. Oxford University Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N.
(1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University
Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue
(3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations
(G. Hays, Trans.). Modern Library.
McKirahan, R. D. (2010). Philosophy
before Socrates (2nd ed.). Hackett.
Morrison, D. R. (2009). Socrates. In
E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2009
Edition). https://plato.stanford.edu/entries/socrates/
Mourelatos, A. P. D. (2008). The
route of Parmenides. Parmenides Publishing.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
O’Meara, D. J. (1993). Plotinus:
An introduction to the Enneads. Oxford University Press.
Parmenides. (1948). In K. Freeman, Ancilla
to the Pre-Socratic philosophers. Harvard University Press.
Partenie, C. (2009). Plato’s myths.
In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2009
Edition). https://plato.stanford.edu/entries/plato-myths/
Plato. (1997). Plato: Complete
works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett.
Plotinus. (1966). Enneads (A.
H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.
Robertson, D. (2013). Stoicism and
the art of happiness. Routledge.
Rochberg, F. (2004). The heavenly
writing: Divination, horoscopy, and astronomy in Mesopotamian culture.
Cambridge University Press.
Rist, J. M. (1994). Augustine:
Ancient thought baptized. Cambridge University Press.
Sorabji, R. (1988). Matter, space
and motion: Theories in antiquity and their sequel. Duckworth.
Vernant, J. P. (1982). The origins
of Greek thought. Cornell University Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates:
Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.
Wilson, C. (2008). Epicureanism at
the origins of modernity. Clarendon Press.
Yu, K. W. (2017). From mythos
to logos: Jean-Pierre Vernant, Max Weber, and the narrative of
Occidental rationalization. Modern Intellectual History, 14(3), 1–28.
Glosarium
Aletheia
Istilah
Yunani yang berarti “kebenaran” atau “ketaktersembunyian”;
digunakan Parmenides untuk menggambarkan jalan menuju pengetahuan sejati.
Apatheia
Konsep
Stoisisme tentang kebebasan dari emosi merusak (seperti amarah, ketakutan, dan
keserakahan), yang memungkinkan manusia hidup selaras dengan logos.
Archē
Prinsip
pertama atau asal mula segala sesuatu yang dicari oleh para filsuf
pra-Sokratik.
Arete
Kebajikan atau keunggulan moral
yang menjadi tujuan utama etika Yunani, terutama dalam ajaran Sokrates, Plato,
dan Aristoteles.
Ataraxia
Ketenangan jiwa yang menjadi
tujuan filsafat Hellenistik, khususnya dalam Epikureanisme dan Skeptisisme.
Clinamen
Konsep dalam filsafat Epikurean
tentang deviasi atau penyimpangan gerakan atom, yang memungkinkan adanya
kebebasan kehendak.
Doxa
Opini atau keyakinan biasa; dalam
filsafat Plato dibedakan dari epistēmē (pengetahuan sejati).
Elenchus
Metode tanya jawab Sokrates untuk
membongkar kontradiksi dan mencapai definisi yang lebih jelas tentang
konsep-konsep etika.
Epimeleia heautou
Istilah Yunani yang berarti “perhatian
terhadap diri sendiri”; dalam filsafat kuno dipahami sebagai praktik etika
untuk membentuk jiwa.
Epistēmē
Pengetahuan sejati yang bersifat
universal dan tetap, berbeda dari opini (doxa).
Eudaimonia
Kebahagiaan atau “hidup baik”
yang menjadi tujuan akhir etika Yunani, khususnya dalam filsafat Aristoteles.
Forms (Ide/Idea)
Konsep Plato tentang realitas
transenden yang sempurna dan abadi, menjadi dasar bagi segala yang ada di dunia
empiris.
Hylē
Materi dalam filsafat Aristoteles;
bersama morphē (bentuk) membentuk substansi setiap benda.
Kosmopolis
Gagasan Stoik tentang “kota
dunia,” yang menegaskan bahwa semua manusia adalah warga kosmos dan setara
secara moral.
Logos
Rasio, prinsip keteraturan, atau
hukum alam semesta; dalam Stoisisme dipahami sebagai prinsip kosmik yang
mengatur segalanya.
Mesotes
Prinsip etika Aristoteles tentang
jalan tengah, yaitu kebajikan sebagai keseimbangan antara dua ekstrem.
Nous
Akal atau intelek; dalam
Neoplatonisme dipahami sebagai emanasi pertama dari Yang Esa.
Physis
Alam atau kodrat; istilah sentral
dalam kosmologi Yunani untuk menggambarkan hakikat alami sesuatu.
Polis
Kota-negara Yunani kuno, yang
menjadi wadah politik, sosial, dan budaya sekaligus konteks utama lahirnya
filsafat.
To Hen
“The One” atau Yang Esa
dalam Neoplatonisme; sumber segala realitas yang melampaui keberadaan dan
pemikiran.
Zoon politikon
Ungkapan Aristoteles untuk
menyebut manusia sebagai makhluk politik, yang hanya dapat hidup baik dalam
komunitas polis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar