Rabu, 30 April 2025

BUMN: Tinjauan Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003

BUMN

Tinjauan Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.

Korporasi, Koperasi, Perseroan Terbatas.


Abstrak

Artikel ini membahas peran strategis dan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perekonomian nasional Indonesia berdasarkan kerangka hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. BUMN berperan sebagai aktor penting dalam pengelolaan sektor-sektor strategis, penyedia layanan publik, serta kontributor terhadap pendapatan negara dan stabilitas ekonomi. Melalui pendekatan normatif dan analitis, artikel ini menelaah bentuk-bentuk BUMN (Persero dan Perum), peran pembangunan dan sosial-ekonomi yang dijalankannya, serta tantangan dalam praktik tata kelola dan pengawasan. Pembahasan juga mencakup dinamika reformasi kelembagaan, termasuk restrukturisasi, holdingisasi, digitalisasi, dan profesionalisasi manajemen BUMN. Temuan utama menunjukkan bahwa meskipun BUMN memiliki potensi besar sebagai pilar pembangunan nasional, realisasi peran tersebut sering kali terhambat oleh masalah korupsi, intervensi politik, konflik kepentingan fungsi ganda, dan ketergantungan terhadap dukungan fiskal negara. Oleh karena itu, reformasi menyeluruh dengan pendekatan good corporate governance dan meritokrasi mutlak diperlukan agar BUMN dapat bertransformasi menjadi institusi publik yang sehat, kompetitif, dan berdaya saing global.

Kata Kunci: BUMN, tata kelola, reformasi, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003, perekonomian nasional, good corporate governance, holdingisasi, public service obligation.


PEMBAHASAN

Peran Strategis dan Tata Kelola BUMN dalam Perekonomian Nasional


1.           Pendahuluan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pilar penting dalam struktur ekonomi nasional Indonesia. Sebagai entitas usaha yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara, BUMN memegang peran strategis tidak hanya sebagai pelaku ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, BUMN tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga mengemban tanggung jawab sosial dan pelayanan publik sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1

Dalam rangka memperkuat posisi hukum dan tata kelola BUMN, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang ini menjadi landasan normatif dalam pengelolaan, pengawasan, dan restrukturisasi BUMN agar dapat beroperasi secara profesional, transparan, dan akuntabel. Salah satu tujuan utama dari regulasi ini adalah agar BUMN dapat meningkatkan nilai perusahaan dan memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional, khususnya dalam mendukung kebijakan fiskal dan pembangunan nasional.2

Keberadaan BUMN juga menjadi instrumen negara dalam mengatasi kegagalan pasar (market failure) pada sektor-sektor vital yang tidak dapat dijalankan sepenuhnya oleh swasta. Dalam konteks ini, BUMN diharapkan mampu menyeimbangkan fungsi komersial dan fungsi sosial (public service obligation/PSO), terutama dalam sektor-sektor seperti energi, pangan, transportasi, dan infrastruktur.3 Namun demikian, perjalanan BUMN tidak lepas dari berbagai tantangan, mulai dari praktik tata kelola yang lemah, inefisiensi operasional, hingga intervensi politik dalam manajemen.4

Kajian terhadap BUMN menjadi semakin relevan seiring dengan berbagai reformasi yang tengah dilakukan pemerintah melalui restrukturisasi, holdingisasi, serta penerapan prinsip good corporate governance (GCG). Oleh karena itu, diperlukan pembahasan yang mendalam dan objektif mengenai peran strategis dan tata kelola BUMN, tidak hanya dari aspek yuridis berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003, tetapi juga dari perspektif ekonomi dan manajemen modern.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran BUMN dalam pembangunan ekonomi nasional serta menganalisis tata kelola dan tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Dengan pendekatan normatif dan analitis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan kebijakan publik yang lebih baik dalam pengelolaan BUMN ke depan.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan (3).

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Pasal 2.

[3]                Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik (Yogyakarta: Andi, 2018), 116–118.

[4]                Sri Edi Swasono, “Relevansi BUMN dalam Menopang Kedaulatan Ekonomi Nasional,” Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 5, no. 2 (2014): 117–123.


2.           Pengertian dan Landasan Hukum BUMN

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah salah satu bentuk entitas usaha yang secara khusus dimiliki oleh negara dan bertujuan menjalankan fungsi strategis dalam perekonomian nasional. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN didefinisikan sebagai perusahaan yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.1 Definisi ini menunjukkan bahwa negara memiliki peran aktif tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelaku ekonomi yang langsung terlibat dalam aktivitas produksi dan distribusi barang maupun jasa.

Landasan hukum utama keberadaan BUMN secara konstitusional terdapat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Negara melalui BUMN diberi mandat untuk mengelola sumber daya tersebut agar sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.2 Dengan kata lain, BUMN menjadi representasi peran negara dalam mengelola sektor-sektor strategis seperti energi, pangan, transportasi, dan telekomunikasi.

Selain UUD 1945 dan UU No. 19 Tahun 2003, keberadaan BUMN juga memiliki payung hukum dalam berbagai regulasi pendukung lainnya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), serta kebijakan sektoral dari Kementerian BUMN. Di antaranya adalah Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN, yang menegaskan pentingnya prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran dalam pengelolaan BUMN.3

Dalam literatur ekonomi dan hukum, BUMN juga dikaji sebagai bentuk representasi dari model state capitalism atau kapitalisme negara, di mana pemerintah turut berperan sebagai pelaku pasar melalui kepemilikan langsung atas aset-aset produktif nasional.4 Hal ini berbeda dengan model ekonomi liberal murni, yang menyerahkan seluruh aktivitas ekonomi kepada mekanisme pasar dan swasta. Sebagaimana dicatat oleh Kurniawan dalam kajiannya, peran BUMN di Indonesia tidak hanya untuk menghasilkan keuntungan (profit oriented), melainkan juga untuk memberikan kontribusi sosial dan menjaga stabilitas ekonomi.5

Dengan dasar hukum yang kuat dan peran strategis yang melekat padanya, BUMN merupakan instrumen vital dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi nasional dan pelayanan publik. Oleh karena itu, pengelolaan BUMN perlu dilakukan secara profesional dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum publik dan bisnis yang saling melengkapi.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Pasal 1 ayat (1).

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan (3).

[3]                Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia, Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN (Jakarta: Kementerian BUMN, 2011).

[4]                Budi Sulistyo, “Peran BUMN dalam Konteks Kapitalisme Negara di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 12, no. 1 (2020): 45–58.

[5]                M. Kurniawan, Ekonomi Publik dan Kebijakan Pemerintah (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 162.


3.           Bentuk-Bentuk BUMN

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengklasifikasikan BUMN ke dalam dua bentuk utama, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum). Keduanya memiliki karakteristik hukum, tujuan operasional, dan bentuk kepemilikan yang berbeda, meskipun sama-sama berada di bawah pengelolaan negara.

3.1.       Perusahaan Perseroan (Persero)

Persero adalah BUMN berbentuk perseroan terbatas (PT) yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara. Persero didirikan dengan tujuan utama untuk mengejar keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan. Bentuk ini tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mengatur tata kelola korporasi secara modern dan akuntabel.1

Ciri utama Persero adalah status hukumnya sebagai badan hukum privat, sehingga secara operasional bersaing langsung dengan perusahaan swasta lainnya di pasar. Meski demikian, pemerintah tetap memiliki kontrol strategis melalui kepemilikan saham mayoritas.2 Contoh nyata dari Persero antara lain PT Pertamina (Persero) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Dalam praktiknya, Persero tidak menerima penyertaan modal secara langsung dari APBN, melainkan diharapkan dapat melakukan ekspansi bisnis secara mandiri melalui efisiensi usaha dan akumulasi laba. Keberadaan Persero juga memungkinkan adanya penawaran saham kepada publik melalui mekanisme pasar modal (go public), selama tidak mengurangi mayoritas saham negara.3

3.2.       Perusahaan Umum (Perum)

Perum adalah bentuk BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Perum menjalankan kegiatan usaha untuk pelayanan publik (public service obligation) sekaligus dapat menghasilkan keuntungan. Dengan kata lain, Perum berada dalam posisi hibrida, yaitu menjalankan fungsi komersial dan sosial secara bersamaan.4

Karakteristik Perum adalah fleksibilitas dalam memberikan layanan kepada masyarakat, termasuk pada sektor-sektor strategis yang tidak sepenuhnya menguntungkan secara finansial tetapi penting bagi kepentingan umum. Salah satu contoh Perum adalah Perum Bulog, yang memiliki peran menjaga stabilitas harga dan distribusi bahan pangan pokok.

Karena fungsi sosial yang diemban, Perum memungkinkan mendapatkan dukungan dari negara dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN), subsidi, atau penugasan khusus. Namun demikian, Perum tetap dituntut untuk menjalankan prinsip efisiensi dan akuntabilitas sebagaimana layaknya entitas bisnis profesional.5

3.3.       Perbedaan Utama antara Persero dan Perum

Perbedaan antara Persero dan Perum tidak hanya terletak pada status hukum dan kepemilikan modal, tetapi juga pada tujuan utama, fleksibilitas organisasi, dan ruang lingkup operasi. Persero lebih berorientasi pada profit dan berada dalam lingkungan persaingan bebas, sementara Perum lebih banyak menjalankan mandat negara untuk pelayanan publik. Perbedaan ini juga tercermin dalam sistem pengawasan, laporan keuangan, serta mekanisme akuntabilitas yang diterapkan.6

Secara yuridis, pemisahan bentuk ini bertujuan agar pengelolaan BUMN menjadi lebih terarah, akuntabel, dan sesuai dengan karakter sektor yang digarap masing-masing badan usaha.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.

[2]                Munir Fuady, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019), 203.

[3]                Budi Sutrisno, “Evaluasi Kinerja BUMN Berbentuk Persero dalam Perspektif Ekonomi Pasar,” Jurnal Administrasi Bisnis 7, no. 2 (2018): 112–117.

[4]                Sri Soemantri Martosoewignyo, Hukum Ekonomi dan BUMN (Yogyakarta: Liberty, 2015), 98.

[5]                Diah S. Moeljono, “Pengelolaan Perum dalam Perspektif Pelayanan Publik dan Good Governance,” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 14, no. 1 (2016): 35–41.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 9–12.


4.           Peran Strategis BUMN dalam Perekonomian Nasional

BUMN merupakan salah satu instrumen negara yang memiliki posisi strategis dalam struktur ekonomi nasional. Peran ini tidak hanya dilandasi oleh urgensi penguasaan negara terhadap sektor-sektor vital, tetapi juga karena BUMN mampu berfungsi sebagai agen pembangunan, penggerak stabilitas ekonomi, serta pelaksana kebijakan publik. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendirian BUMN adalah untuk memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara, menyelenggarakan kemanfaatan umum, serta menjadi pelopor kegiatan usaha di sektor-sektor strategis.1

4.1.       Agen Pembangunan Nasional

BUMN seringkali dijadikan sebagai motor penggerak pembangunan nasional, khususnya pada sektor-sektor yang belum atau tidak tersentuh oleh swasta karena faktor risiko, modal besar, atau margin keuntungan rendah. BUMN seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan PT Hutama Karya (Persero) terlibat langsung dalam pembangunan infrastruktur strategis seperti jalan tol, jembatan, dan bendungan, yang menjadi prasyarat penting pertumbuhan ekonomi dan konektivitas antarwilayah.2 Dalam literatur ekonomi pembangunan, BUMN dikategorikan sebagai "development agent" yang memainkan peran penting dalam akselerasi industrialisasi dan modernisasi ekonomi negara berkembang.3

4.2.       Penjaga Stabilitas Ekonomi

Dalam situasi krisis ekonomi, BUMN sering menjadi penyangga stabilitas melalui berbagai intervensi strategis. Misalnya, Perum Bulog menjaga stabilitas harga bahan pangan pokok, dan PT Pertamina (Persero) mengatur pasokan energi nasional agar tidak terlalu bergantung pada fluktuasi pasar global. Keberadaan BUMN memungkinkan negara menjalankan kebijakan counter-cyclical, yaitu menyeimbangkan kondisi perekonomian saat sektor swasta cenderung melemah.4

BUMN juga menjadi penyangga pasar tenaga kerja nasional. Data dari Kementerian BUMN menunjukkan bahwa sektor BUMN secara langsung maupun tidak langsung menyerap jutaan tenaga kerja, baik melalui induk usaha maupun jaringan kemitraan dan proyek-proyek strategis nasional (PSN).5

4.3.       Kontributor Penerimaan Negara

BUMN menjadi salah satu penyumbang signifikan terhadap penerimaan negara, baik melalui setoran dividen, pajak, maupun retribusi lainnya. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, kontribusi BUMN dalam bentuk dividen pada APBN dari tahun ke tahun mencapai angka triliunan rupiah.6 Peran ini sangat strategis karena memungkinkan negara memperoleh pendapatan non-pajak yang stabil, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri.

4.4.       Pendorong UMKM dan Inklusi Ekonomi

BUMN juga memainkan peran penting dalam memberdayakan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), serta pembiayaan inklusif. Program seperti Mekaar oleh PNM dan Ultra Mikro (UMi) memberikan akses permodalan kepada kelompok usaha kecil dan perempuan pelaku ekonomi, yang sering kali tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal.7

Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, relasi antara BUMN dan UMKM menciptakan jaringan ekonomi yang saling menguatkan (mutual reinforcement), sekaligus mendukung pemerataan hasil pembangunan.8


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 2.

[2]                Kementerian BUMN Republik Indonesia, Laporan Kinerja Kementerian BUMN 2022 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2022), 37.

[3]                Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 45–50.

[4]                Faisal Basri, “Kebijakan Ekonomi Makro dan Peran BUMN,” Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 10, no. 1 (2019): 12–19.

[5]                Kementerian BUMN Republik Indonesia, Statistik BUMN 2023, diakses 10 April 2025, https://bumn.go.id.

[6]                Kementerian Keuangan Republik Indonesia, APBN Kita: Laporan Realisasi Anggaran (Jakarta: Kemenkeu RI, 2024), 55–56.

[7]                Dini Mulyani, “Dampak Program Pembiayaan Ultra Mikro terhadap Peningkatan Usaha Perempuan,” Jurnal Keuangan dan Pembangunan Daerah 7, no. 2 (2021): 100–107.

[8]                M. Chatib Basri dan Raden Pardede, Ekonomi dan Kebijakan Publik: Teori dan Praktik di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 142–144.


5.           Tata Kelola dan Pengawasan BUMN

Tata kelola yang baik merupakan fondasi penting dalam mewujudkan BUMN yang profesional, efisien, dan berintegritas. Mengingat BUMN mengelola sumber daya publik dan memegang mandat strategis dari negara, maka penerapan Good Corporate Governance (GCG) menjadi suatu keniscayaan. Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip-prinsip GCG diatur melalui Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011, yang kemudian diperbarui dengan PER-09/MBU/2012, serta diperkuat oleh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.1

5.1.       Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

GCG dalam BUMN mengacu pada lima prinsip dasar, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran (fairness). Transparansi menuntut keterbukaan informasi yang relevan dan dapat dipercaya. Akuntabilitas mensyaratkan kejelasan fungsi, struktur, dan tanggung jawab organ perusahaan. Responsibilitas mengacu pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Sementara independensi dan kewajaran menjamin bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif dan tidak diskriminatif.2

Penerapan GCG bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan, memperkuat daya saing, serta membangun kepercayaan publik terhadap institusi BUMN. Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa penerapan GCG secara konsisten berkorelasi positif dengan kinerja keuangan dan operasional BUMN.3

5.2.       Struktur Organisasi dan Mekanisme Pengawasan

Secara kelembagaan, tata kelola BUMN dijalankan oleh Direksi sebagai organ eksekutif dan Dewan Komisaris sebagai organ pengawas internal. Keduanya memiliki peran penting dalam menjamin jalannya perusahaan sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Sementara itu, negara sebagai pemilik modal diwakili oleh Menteri BUMN yang bertindak sebagai pemegang saham atas nama pemerintah pusat.4

Kementerian BUMN memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan strategis, melakukan evaluasi kinerja, hingga mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris. Namun, agar pengawasan berjalan secara obyektif, penting adanya pemisahan antara fungsi regulator dan fungsi eksekutor.5

5.3.       Audit, Akuntabilitas, dan Peran Lembaga Eksternal

BUMN diwajibkan menyusun laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh akuntan publik independen. Laporan ini kemudian diawasi oleh lembaga eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dapat ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum atau tindak pidana korupsi.6

Selain itu, beberapa BUMN yang terdaftar di pasar modal juga tunduk pada pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini memperkuat lapisan pengawasan dan mendorong transparansi lebih tinggi dalam pelaporan keuangan maupun aksi korporasi.7

5.4.       Tantangan dalam Pengawasan dan Tata Kelola

Meskipun kerangka hukum dan institusional telah tersedia, dalam praktiknya tata kelola BUMN di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya adalah intervensi politik, kurangnya profesionalisme dalam pengangkatan direksi dan komisaris, serta lemahnya sistem pengendalian internal. Studi oleh Indra Bastian menunjukkan bahwa salah satu hambatan utama reformasi BUMN adalah belum optimalnya pemisahan antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik kekuasaan.8

Upaya reformasi berkelanjutan perlu terus digalakkan, termasuk penguatan kapasitas manajerial, penerapan sistem merit dalam seleksi pimpinan, serta digitalisasi sistem audit dan pelaporan.


Footnotes

[1]                Kementerian BUMN Republik Indonesia, Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN, diubah terakhir dengan PER-09/MBU/2012 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2012).

[2]                Ria Wibowo, Good Corporate Governance dalam Perspektif Hukum Perusahaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 47–49.

[3]                Desy Arifiani dan Putri Maharani, “Pengaruh Penerapan GCG terhadap Kinerja Keuangan BUMN di Indonesia,” Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia 16, no. 2 (2019): 121–134.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 14–18.

[5]                Sri Edi Swasono, “Problematika Tata Kelola BUMN dan Solusinya,” Jurnal Kebijakan Ekonomi Publik 3, no. 1 (2015): 22–27.

[6]                Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023 (Jakarta: BPK RI, 2024), 33.

[7]                Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan OJK tentang Keterbukaan Emiten atau Perusahaan Publik, POJK No. 31/POJK.04/2015 (Jakarta: OJK, 2015).

[8]                Indra Bastian, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar (Yogyakarta: BPFE UGM, 2017), 225–227.


6.           Reformasi dan Transformasi BUMN

Seiring dengan dinamika global dan meningkatnya tuntutan terhadap efisiensi serta akuntabilitas dalam pengelolaan sektor publik, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya reformasi dan transformasi BUMN. Tujuan utama reformasi ini adalah agar BUMN tidak hanya menjadi pelengkap pasar, tetapi juga mampu bersaing secara global dan memberikan kontribusi optimal terhadap pembangunan nasional. Transformasi BUMN menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan disrupsi digital, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi global.1

6.1.       Efisiensi dan Restrukturisasi Korporasi

Salah satu langkah awal reformasi BUMN adalah melalui restrukturisasi organisasi dan efisiensi operasional. Banyak BUMN yang sebelumnya mengalami tumpang tindih fungsi atau kelebihan beban kerja dan struktur organisasi yang gemuk (overstaffed). Pemerintah melalui Kementerian BUMN melakukan evaluasi dan pemangkasan unit-unit yang tidak efisien serta menyederhanakan rantai birokrasi agar proses pengambilan keputusan lebih cepat dan tepat.2

Restrukturisasi juga dilakukan terhadap BUMN yang terus merugi, seperti dalam kasus PT Merpati Nusantara Airlines atau PT Kertas Leces, di mana pendekatan rasionalisasi dan opsi likuidasi menjadi bagian dari strategi penyehatan BUMN.3

6.2.       Holdingisasi dan Klasterisasi BUMN

Upaya penting lainnya adalah pembentukan holding BUMN, yaitu pengelompokan perusahaan negara ke dalam klaster-klaster strategis berdasarkan sektor usaha. Holdingisasi bertujuan meningkatkan sinergi antar-BUMN, memperkuat daya saing global, serta menciptakan efisiensi melalui penggabungan sumber daya dan pengendalian yang lebih terpusat. Contoh keberhasilan holdingisasi dapat dilihat dalam Holding Pertambangan (MIND ID) dan Holding Perkebunan (PT Perkebunan Nusantara III).4

Menurut studi Lembaga Manajemen FEB UI, pembentukan holding memungkinkan pengelolaan portofolio yang lebih fokus, meningkatkan leverage aset, dan memperkuat posisi tawar di pasar internasional.5 Namun demikian, keberhasilan holdingisasi juga bergantung pada tata kelola dan integritas manajemen yang memimpin holding tersebut.

6.3.       Digitalisasi dan Inovasi Teknologi

Transformasi digital menjadi pilar penting dalam reformasi BUMN. Melalui program BUMN Go Digital, banyak perusahaan negara mulai mengadopsi teknologi informasi dalam proses bisnisnya, seperti penggunaan artificial intelligence (AI), big data, dan platform digital untuk pelayanan publik. Contohnya adalah PT Telkom Indonesia yang meluncurkan platform MyIndiHome dan solusi berbasis cloud, serta PT KAI yang merombak sistem pemesanan tiket secara online untuk meningkatkan pelayanan pelanggan.6

Digitalisasi ini tidak hanya mempercepat layanan dan efisiensi, tetapi juga membuka peluang bagi BUMN untuk masuk ke pasar digital yang lebih luas dan kompetitif. Namun, tantangan yang dihadapi mencakup kesiapan sumber daya manusia (SDM) serta keamanan data dan sistem informasi.

6.4.       Budaya Kinerja dan Kepemimpinan Profesional

Reformasi BUMN juga diarahkan pada perbaikan budaya organisasi dan penguatan kinerja individu maupun kolektif, melalui penerapan sistem Key Performance Indicators (KPI), kontrak manajemen, dan mekanisme reward and punishment yang transparan. Kementerian BUMN menerapkan sistem seleksi yang lebih profesional dan kompetitif dalam pengangkatan direksi dan komisaris, dengan melibatkan lembaga independen serta proses asesmen berbasis kompetensi.7

Pendekatan meritokrasi ini diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik nepotisme, serta menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat (the right man in the right place). Hal ini penting karena transformasi kelembagaan hanya akan berhasil apabila ditopang oleh kepemimpinan yang kuat dan profesional.8


Footnotes

[1]                Erick Thohir, Transformasi BUMN: Kunci Ketahanan dan Daya Saing Ekonomi Indonesia (Jakarta: Penerbit BUMN Insight, 2022), 17.

[2]                Laksmi Pertiwi, “Restrukturisasi BUMN: Tantangan dan Peluang,” Jurnal Manajemen Publik 15, no. 1 (2021): 23–30.

[3]                Kementerian BUMN, Laporan Tahunan Kementerian BUMN 2023 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2024), 49–52.

[4]                Andi Widjajanto, “Strategi Holdingisasi BUMN dalam Konteks Ekonomi Global,” Jurnal Ekonomi Strategis 8, no. 2 (2020): 101–108.

[5]                Lembaga Manajemen FEB UI, Kajian Kinerja Holding BUMN dan Implikasinya terhadap Ekonomi Nasional (Jakarta: FEB UI Press, 2021), 33–35.

[6]                Nur Aini dan Retno Hapsari, “Digitalisasi BUMN sebagai Strategi Inovasi Pelayanan Publik,” Jurnal Teknologi dan Transformasi Digital 3, no. 1 (2022): 77–84.

[7]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri BUMN No. PER-10/MBU/2020 tentang Penataan Pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN (Jakarta: Kementerian BUMN, 2020).

[8]                Indrawan Nugroho, Corporate Transformation: Dari Manajemen Konvensional Menuju Organisasi Inovatif (Jakarta: Gramedia, 2021), 61.


7.           Permasalahan dan Tantangan BUMN

Meskipun BUMN memiliki peran strategis dalam pembangunan dan pengelolaan sektor-sektor vital, realitas empiris menunjukkan bahwa banyak BUMN masih menghadapi berbagai permasalahan struktural, manajerial, dan sistemik yang menghambat efektivitas kinerjanya. Tantangan-tantangan ini memerlukan perhatian serius agar reformasi BUMN tidak bersifat kosmetik, melainkan substantif dan berkelanjutan.

7.1.       Masalah Korupsi dan Tata Kelola Lemah

Salah satu persoalan klasik yang terus membayangi BUMN adalah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Beberapa kasus besar seperti yang melibatkan PT Jiwasraya, PT Asabri, dan Garuda Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya tata kelola membuka celah besar terhadap penyalahgunaan wewenang dan manipulasi laporan keuangan.1

Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), banyak BUMN tidak patuh terhadap prinsip Good Corporate Governance (GCG), termasuk dalam hal transparansi, manajemen risiko, dan pengendalian internal.2 Masalah ini bukan hanya menyebabkan kerugian keuangan negara, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik dan investor terhadap perusahaan milik negara.

7.2.       Intervensi Politik dalam Pengelolaan

Salah satu tantangan struktural yang sering dikritik adalah tingginya intervensi politik dalam pengangkatan direksi dan komisaris, yang kerap tidak berbasis kompetensi atau meritokrasi. Banyak jabatan strategis diisi oleh figur yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa, bukan oleh profesional yang berpengalaman di bidang industri terkait.3

Praktik ini menciptakan risiko besar terhadap independensi manajemen dan menurunkan kualitas pengambilan keputusan. Selain itu, pengelolaan berbasis politik rentan terhadap konflik kepentingan serta pengabaian prinsip efisiensi ekonomi.4

7.3.       Beban Ganda: Fungsi Sosial vs. Fungsi Komersial

BUMN sering kali dihadapkan pada dilema antara menjalankan fungsi sosial (public service obligation/PSO) dan mengejar laba (profit oriented). Pada satu sisi, negara menugaskan BUMN untuk menjaga stabilitas harga, mendistribusikan barang kebutuhan pokok, atau membangun infrastruktur di daerah tertinggal. Namun di sisi lain, BUMN dituntut untuk mandiri secara finansial dan menyetorkan dividen ke kas negara.5

Ketegangan antara dua fungsi ini dapat menimbulkan konflik internal dalam penyusunan anggaran dan strategi usaha. Banyak BUMN mengalami kerugian bukan karena kinerja buruk, tetapi karena penugasan PSO yang tidak diimbangi dengan kompensasi yang memadai dari negara.6

7.4.       Ketidakefisienan dan Kinerja Rendah

Sejumlah BUMN mengalami kinerja keuangan yang rendah, terutama yang bergerak di sektor non-kompetitif atau tidak efisien. Studi oleh World Bank mencatat bahwa rata-rata pengembalian aset (return on assets/ROA) BUMN di Indonesia masih berada di bawah standar internasional, menunjukkan rendahnya efisiensi penggunaan sumber daya.7

Masalah ketidakefisienan ini diperparah oleh manajemen yang lemah, pengadaan yang tidak transparan, serta kurangnya inovasi dan adaptasi terhadap perubahan teknologi. Tanpa pembenahan menyeluruh, BUMN berisiko menjadi beban fiskal jangka panjang bagi negara.

7.5.       Ketergantungan pada Dukungan Negara

Meskipun diharapkan dapat bersaing seperti korporasi swasta, sebagian besar BUMN masih sangat bergantung pada penyertaan modal negara (PMN), insentif fiskal, dan bantuan politik dalam menyelesaikan persoalan internal. Ketergantungan ini justru menghambat proses transformasi menuju korporatisasi dan kompetisi pasar yang sehat.8


Footnotes

[1]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengelolaan BUMN di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2021), 9–14.

[2]                Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023 (Jakarta: BPK RI, 2023), 31–36.

[3]                A. Rifai, “Politik Pengangkatan Komisaris BUMN: Antara Meritokrasi dan Nepotisme,” Jurnal Politik dan Pemerintahan 12, no. 1 (2020): 50–58.

[4]                Denny Indrayana, Menyelamatkan BUMN dari Cengkeraman Politik (Jakarta: LP3ES, 2019), 45.

[5]                Yudi Latif, “BUMN dan Beban Sosial-Ekonomi: Menakar Efektivitas PSO,” Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 4, no. 2 (2016): 101–108.

[6]                Laksmi Mulyani, “Public Service Obligation dan Risiko Finansial BUMN,” Jurnal Keuangan Negara 5, no. 1 (2021): 62–70.

[7]                World Bank, State-Owned Enterprises in Indonesia: Reform for Efficiency and Competitiveness (Washington, D.C.: World Bank, 2021), 27.

[8]                Sutan Remy Sjahdeini, BUMN dalam Sistem Ekonomi Indonesia (Jakarta: Kencana, 2022), 120–123.


8.           Kesimpulan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran krusial dalam struktur ekonomi Indonesia, baik sebagai pelaku utama dalam sektor-sektor strategis, penggerak pembangunan nasional, maupun penyangga stabilitas ekonomi dan sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, BUMN tidak hanya dituntut untuk menghasilkan keuntungan bagi negara, tetapi juga menjalankan fungsi pelayanan publik dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945.1

Secara umum, keberadaan BUMN di Indonesia merepresentasikan upaya negara untuk menjaga kedaulatan ekonomi, terutama di sektor-sektor yang tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Peran ini semakin penting di tengah tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis ekonomi yang membutuhkan intervensi aktif negara dalam menjaga keberlanjutan pembangunan nasional.2

Namun demikian, pengelolaan BUMN masih menghadapi berbagai tantangan mendasar, seperti lemahnya tata kelola (governance), intervensi politik dalam manajemen, kinerja keuangan yang belum optimal, serta konflik peran antara fungsi sosial dan fungsi komersial.3 Kasus-kasus korupsi, inefisiensi, dan beban fiskal dari BUMN yang terus merugi menunjukkan perlunya pembenahan menyeluruh dan berkelanjutan.

Upaya reformasi yang dilakukan melalui restrukturisasi kelembagaan, holdingisasi, digitalisasi proses bisnis, serta peningkatan profesionalisme sumber daya manusia, telah menunjukkan arah yang positif, namun belum sepenuhnya tuntas.4 Reformasi BUMN harus dilandasi oleh prinsip Good Corporate Governance (GCG), meritokrasi dalam pengangkatan pimpinan, serta transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dalam pengelolaan keuangan dan aset negara.5

Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan—terutama pemerintah, legislatif, dan masyarakat—untuk memperkuat fungsi pengawasan, menjaga independensi manajemen, serta mewujudkan BUMN yang sehat, profesional, dan berdaya saing global. Dengan transformasi kelembagaan yang tepat dan tata kelola yang baik, BUMN dapat menjadi pilar utama pembangunan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.6


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.

[2]                Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 56–58.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengelolaan BUMN di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2021), 11–13.

[4]                Kementerian BUMN Republik Indonesia, Laporan Tahunan Kementerian BUMN 2023 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2024), 21–29.

[5]                Ria Wibowo, Good Corporate Governance dalam Perspektif Hukum Perusahaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 51–54.

[6]                Sutan Remy Sjahdeini, BUMN dalam Sistem Ekonomi Indonesia (Jakarta: Kencana, 2022), 135–137.


Daftar Pustaka

Bastian, I. (2017). Akuntansi sektor publik: Suatu pengantar. Yogyakarta: BPFE UGM.

Basri, F. (2019). Kebijakan ekonomi makro dan peran BUMN. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 10(1), 12–19.

Chang, H.-J. (2002). Kicking away the ladder: Development strategy in historical perspective. London: Anthem Press.

Indrayana, D. (2019). Menyelamatkan BUMN dari cengkeraman politik. Jakarta: LP3ES.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN. Jakarta: Kementerian BUMN.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri BUMN No. PER-10/MBU/2020 tentang Penataan Pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN. Jakarta: Kementerian BUMN.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia. (2022). Laporan kinerja Kementerian BUMN 2022. Jakarta: Kementerian BUMN.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia. (2024). Laporan tahunan Kementerian BUMN 2023. Jakarta: Kementerian BUMN.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). APBN Kita: Laporan realisasi anggaran. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2021). Kajian sistem pengelolaan BUMN di Indonesia. Jakarta: KPK RI.

Laksmi, M. (2021). Public service obligation dan risiko finansial BUMN. Jurnal Keuangan Negara, 5(1), 62–70.

Mardiasmo. (2018). Akuntansi sektor publik. Yogyakarta: Andi.

Moeljono, D. S. (2016). Pengelolaan Perum dalam perspektif pelayanan publik dan good governance. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 14(1), 35–41.

Mulyani, D. (2021). Dampak program pembiayaan ultra mikro terhadap peningkatan usaha perempuan. Jurnal Keuangan dan Pembangunan Daerah, 7(2), 100–107.

Nugroho, I. (2021). Corporate transformation: Dari manajemen konvensional menuju organisasi inovatif. Jakarta: Gramedia.

Otoritas Jasa Keuangan. (2015). POJK No. 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Emiten atau Perusahaan Publik. Jakarta: OJK.

Pertiwi, L. (2021). Restrukturisasi BUMN: Tantangan dan peluang. Jurnal Manajemen Publik, 15(1), 23–30.

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.

Rifai, A. (2020). Politik pengangkatan komisaris BUMN: Antara meritokrasi dan nepotisme. Jurnal Politik dan Pemerintahan, 12(1), 50–58.

Sjahdeini, S. R. (2022). BUMN dalam sistem ekonomi Indonesia. Jakarta: Kencana.

Soemantri, S. (2015). Hukum ekonomi dan BUMN. Yogyakarta: Liberty.

Sutrisno, B. (2018). Evaluasi kinerja BUMN berbentuk persero dalam perspektif ekonomi pasar. Jurnal Administrasi Bisnis, 7(2), 112–117.

Swasono, S. E. (2014). Relevansi BUMN dalam menopang kedaulatan ekonomi nasional. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 5(2), 117–123.

Swasono, S. E. (2015). Problematika tata kelola BUMN dan solusinya. Jurnal Kebijakan Ekonomi Publik, 3(1), 22–27.

Widjajanto, A. (2020). Strategi holdingisasi BUMN dalam konteks ekonomi global. Jurnal Ekonomi Strategis, 8(2), 101–108.

Wibowo, R. (2018). Good corporate governance dalam perspektif hukum perusahaan. Jakarta: Sinar Grafika.

World Bank. (2021). State-owned enterprises in Indonesia: Reform for efficiency and competitiveness. Washington, D.C.: The World Bank.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar