BUMN
Tinjauan Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003
Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.
Korporasi, Koperasi, Perseroan Terbatas.
Abstrak
Artikel ini membahas peran strategis dan tata
kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perekonomian nasional Indonesia berdasarkan
kerangka hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. BUMN berperan sebagai aktor
penting dalam pengelolaan sektor-sektor strategis, penyedia layanan publik,
serta kontributor terhadap pendapatan negara dan stabilitas ekonomi. Melalui
pendekatan normatif dan analitis, artikel ini menelaah bentuk-bentuk BUMN
(Persero dan Perum), peran pembangunan dan sosial-ekonomi yang dijalankannya,
serta tantangan dalam praktik tata kelola dan pengawasan. Pembahasan juga
mencakup dinamika reformasi kelembagaan, termasuk restrukturisasi,
holdingisasi, digitalisasi, dan profesionalisasi manajemen BUMN. Temuan utama
menunjukkan bahwa meskipun BUMN memiliki potensi besar sebagai pilar
pembangunan nasional, realisasi peran tersebut sering kali terhambat oleh
masalah korupsi, intervensi politik, konflik kepentingan fungsi ganda, dan
ketergantungan terhadap dukungan fiskal negara. Oleh karena itu, reformasi
menyeluruh dengan pendekatan good corporate governance dan meritokrasi mutlak
diperlukan agar BUMN dapat bertransformasi menjadi institusi publik yang sehat,
kompetitif, dan berdaya saing global.
Kata Kunci: BUMN,
tata kelola, reformasi, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003, perekonomian nasional,
good corporate governance, holdingisasi, public service obligation.
PEMBAHASAN
Peran Strategis dan Tata Kelola BUMN dalam Perekonomian
Nasional
1.
Pendahuluan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pilar
penting dalam struktur ekonomi nasional Indonesia. Sebagai entitas usaha yang
sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara, BUMN memegang peran
strategis tidak hanya sebagai pelaku ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen
negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, BUMN tidak
hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga mengemban tanggung jawab sosial
dan pelayanan publik sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara, serta bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.1
Dalam rangka memperkuat posisi hukum dan tata
kelola BUMN, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang ini menjadi landasan
normatif dalam pengelolaan, pengawasan, dan restrukturisasi BUMN agar dapat
beroperasi secara profesional, transparan, dan akuntabel. Salah satu tujuan
utama dari regulasi ini adalah agar BUMN dapat meningkatkan nilai perusahaan
dan memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional, khususnya dalam
mendukung kebijakan fiskal dan pembangunan nasional.2
Keberadaan BUMN juga menjadi instrumen negara dalam
mengatasi kegagalan pasar (market failure) pada sektor-sektor vital yang tidak
dapat dijalankan sepenuhnya oleh swasta. Dalam konteks ini, BUMN diharapkan
mampu menyeimbangkan fungsi komersial dan fungsi sosial (public service
obligation/PSO), terutama dalam sektor-sektor seperti energi, pangan,
transportasi, dan infrastruktur.3 Namun demikian, perjalanan BUMN
tidak lepas dari berbagai tantangan, mulai dari praktik tata kelola yang lemah,
inefisiensi operasional, hingga intervensi politik dalam manajemen.4
Kajian terhadap BUMN menjadi semakin relevan
seiring dengan berbagai reformasi yang tengah dilakukan pemerintah melalui
restrukturisasi, holdingisasi, serta penerapan prinsip good corporate
governance (GCG). Oleh karena itu, diperlukan pembahasan yang mendalam dan
objektif mengenai peran strategis dan tata kelola BUMN, tidak hanya dari aspek
yuridis berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003, tetapi juga dari perspektif ekonomi
dan manajemen modern.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran BUMN
dalam pembangunan ekonomi nasional serta menganalisis tata kelola dan tantangan
yang dihadapi dalam implementasinya. Dengan pendekatan normatif dan analitis,
tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan
kebijakan publik yang lebih baik dalam pengelolaan BUMN ke depan.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan (3).
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 70, Pasal 2.
[3]
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik
(Yogyakarta: Andi, 2018), 116–118.
[4]
Sri Edi Swasono, “Relevansi BUMN dalam Menopang
Kedaulatan Ekonomi Nasional,” Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik 5, no.
2 (2014): 117–123.
2.
Pengertian dan Landasan Hukum BUMN
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah salah satu
bentuk entitas usaha yang secara khusus dimiliki oleh negara dan bertujuan
menjalankan fungsi strategis dalam perekonomian nasional. Menurut Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN didefinisikan
sebagai perusahaan yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan.1 Definisi ini menunjukkan bahwa negara memiliki
peran aktif tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelaku ekonomi
yang langsung terlibat dalam aktivitas produksi dan distribusi barang maupun
jasa.
Landasan hukum utama keberadaan BUMN secara
konstitusional terdapat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara. Negara melalui BUMN diberi mandat untuk mengelola sumber daya tersebut
agar sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.2 Dengan
kata lain, BUMN menjadi representasi peran negara dalam mengelola sektor-sektor
strategis seperti energi, pangan, transportasi, dan telekomunikasi.
Selain UUD 1945 dan UU No. 19 Tahun 2003,
keberadaan BUMN juga memiliki payung hukum dalam berbagai regulasi pendukung
lainnya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), serta kebijakan sektoral dari Kementerian BUMN. Di
antaranya adalah Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada
BUMN, yang menegaskan pentingnya prinsip transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi, dan kewajaran dalam pengelolaan BUMN.3
Dalam literatur ekonomi dan hukum, BUMN juga dikaji
sebagai bentuk representasi dari model state capitalism atau kapitalisme
negara, di mana pemerintah turut berperan sebagai pelaku pasar melalui
kepemilikan langsung atas aset-aset produktif nasional.4 Hal ini
berbeda dengan model ekonomi liberal murni, yang menyerahkan seluruh aktivitas
ekonomi kepada mekanisme pasar dan swasta. Sebagaimana dicatat oleh Kurniawan
dalam kajiannya, peran BUMN di Indonesia tidak hanya untuk menghasilkan
keuntungan (profit oriented), melainkan juga untuk memberikan kontribusi sosial
dan menjaga stabilitas ekonomi.5
Dengan dasar hukum yang kuat dan peran strategis
yang melekat padanya, BUMN merupakan instrumen vital dalam menjaga keseimbangan
antara kepentingan ekonomi nasional dan pelayanan publik. Oleh karena itu,
pengelolaan BUMN perlu dilakukan secara profesional dan berdasarkan
prinsip-prinsip hukum publik dan bisnis yang saling melengkapi.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 70, Pasal 1 ayat (1).
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan (3).
[3]
Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik
Indonesia, Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN (Jakarta: Kementerian BUMN, 2011).
[4]
Budi Sulistyo, “Peran BUMN dalam Konteks
Kapitalisme Negara di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi
12, no. 1 (2020): 45–58.
[5]
M. Kurniawan, Ekonomi Publik dan Kebijakan
Pemerintah (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 162.
3.
Bentuk-Bentuk BUMN
Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengklasifikasikan BUMN ke dalam
dua bentuk utama, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero)
dan Perusahaan
Umum (Perum). Keduanya memiliki karakteristik hukum, tujuan
operasional, dan bentuk kepemilikan yang berbeda, meskipun sama-sama berada di
bawah pengelolaan negara.
3.1.
Perusahaan Perseroan (Persero)
Persero
adalah BUMN berbentuk perseroan terbatas (PT) yang
seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara. Persero didirikan
dengan tujuan utama untuk mengejar keuntungan dan
meningkatkan nilai perusahaan. Bentuk ini tunduk pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mengatur
tata kelola korporasi secara modern dan akuntabel.1
Ciri utama Persero
adalah status hukumnya sebagai badan hukum privat, sehingga secara operasional
bersaing langsung dengan perusahaan swasta lainnya di pasar. Meski demikian,
pemerintah tetap memiliki kontrol strategis melalui kepemilikan saham
mayoritas.2 Contoh nyata dari Persero antara lain PT
Pertamina (Persero) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Dalam praktiknya,
Persero tidak menerima penyertaan modal secara langsung dari APBN, melainkan
diharapkan dapat melakukan ekspansi bisnis secara mandiri melalui efisiensi
usaha dan akumulasi laba. Keberadaan Persero juga memungkinkan adanya penawaran
saham kepada publik melalui mekanisme pasar modal (go public), selama tidak
mengurangi mayoritas saham negara.3
3.2.
Perusahaan Umum (Perum)
Perum
adalah bentuk BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi
atas saham. Perum menjalankan kegiatan usaha untuk pelayanan
publik (public service obligation) sekaligus dapat menghasilkan
keuntungan. Dengan kata lain, Perum berada dalam posisi hibrida,
yaitu menjalankan fungsi komersial dan sosial secara bersamaan.4
Karakteristik Perum
adalah fleksibilitas dalam memberikan layanan kepada masyarakat, termasuk pada
sektor-sektor strategis yang tidak sepenuhnya menguntungkan secara finansial
tetapi penting bagi kepentingan umum. Salah satu contoh Perum adalah Perum
Bulog, yang memiliki peran menjaga stabilitas harga dan
distribusi bahan pangan pokok.
Karena fungsi sosial
yang diemban, Perum memungkinkan mendapatkan dukungan dari negara dalam bentuk
penyertaan modal negara (PMN), subsidi, atau penugasan khusus. Namun demikian,
Perum tetap dituntut untuk menjalankan prinsip efisiensi dan akuntabilitas
sebagaimana layaknya entitas bisnis profesional.5
3.3.
Perbedaan Utama antara Persero dan
Perum
Perbedaan antara
Persero dan Perum tidak hanya terletak pada status hukum dan kepemilikan modal,
tetapi juga pada tujuan utama, fleksibilitas organisasi, dan
ruang lingkup operasi. Persero lebih berorientasi pada profit
dan berada dalam lingkungan persaingan bebas, sementara Perum lebih banyak
menjalankan mandat negara untuk pelayanan publik. Perbedaan ini juga tercermin
dalam sistem pengawasan, laporan keuangan, serta mekanisme akuntabilitas yang
diterapkan.6
Secara yuridis,
pemisahan bentuk ini bertujuan agar pengelolaan BUMN menjadi lebih terarah,
akuntabel, dan sesuai dengan karakter sektor yang digarap masing-masing badan
usaha.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
106.
[2]
Munir Fuady, Hukum Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2019), 203.
[3]
Budi Sutrisno, “Evaluasi Kinerja BUMN Berbentuk Persero dalam
Perspektif Ekonomi Pasar,” Jurnal Administrasi Bisnis 7, no. 2 (2018):
112–117.
[4]
Sri Soemantri Martosoewignyo, Hukum Ekonomi dan BUMN
(Yogyakarta: Liberty, 2015), 98.
[5]
Diah S. Moeljono, “Pengelolaan Perum dalam Perspektif Pelayanan Publik
dan Good Governance,” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 14, no. 1
(2016): 35–41.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, Pasal 9–12.
4.
Peran Strategis BUMN dalam Perekonomian
Nasional
BUMN merupakan salah
satu instrumen negara yang memiliki posisi strategis dalam struktur ekonomi
nasional. Peran ini tidak hanya dilandasi oleh urgensi penguasaan negara
terhadap sektor-sektor vital, tetapi juga karena BUMN mampu berfungsi sebagai
agen pembangunan, penggerak stabilitas ekonomi, serta pelaksana kebijakan
publik. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan
pendirian BUMN adalah untuk memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional
dan penerimaan negara, menyelenggarakan kemanfaatan umum, serta menjadi pelopor
kegiatan usaha di sektor-sektor strategis.1
4.1.
Agen Pembangunan Nasional
BUMN seringkali
dijadikan sebagai motor penggerak pembangunan nasional, khususnya pada
sektor-sektor yang belum atau tidak tersentuh oleh swasta karena faktor risiko,
modal besar, atau margin keuntungan rendah. BUMN seperti PT
Wijaya Karya (Persero) Tbk dan PT Hutama Karya (Persero)
terlibat langsung dalam pembangunan infrastruktur strategis seperti jalan tol,
jembatan, dan bendungan, yang menjadi prasyarat penting pertumbuhan ekonomi dan
konektivitas antarwilayah.2 Dalam literatur ekonomi pembangunan,
BUMN dikategorikan sebagai "development agent" yang memainkan peran
penting dalam akselerasi industrialisasi dan modernisasi ekonomi negara
berkembang.3
4.2.
Penjaga Stabilitas Ekonomi
Dalam situasi krisis
ekonomi, BUMN sering menjadi penyangga stabilitas melalui berbagai intervensi
strategis. Misalnya, Perum Bulog menjaga stabilitas
harga bahan pangan pokok, dan PT Pertamina (Persero) mengatur
pasokan energi nasional agar tidak terlalu bergantung pada fluktuasi pasar
global. Keberadaan BUMN memungkinkan negara menjalankan kebijakan counter-cyclical,
yaitu menyeimbangkan kondisi perekonomian saat sektor swasta cenderung melemah.4
BUMN juga menjadi
penyangga pasar tenaga kerja nasional. Data dari Kementerian BUMN menunjukkan
bahwa sektor BUMN secara langsung maupun tidak langsung menyerap jutaan tenaga
kerja, baik melalui induk usaha maupun jaringan kemitraan dan proyek-proyek
strategis nasional (PSN).5
4.3.
Kontributor Penerimaan Negara
BUMN menjadi salah
satu penyumbang signifikan terhadap penerimaan negara, baik melalui setoran
dividen, pajak, maupun retribusi lainnya. Berdasarkan laporan Kementerian
Keuangan, kontribusi BUMN dalam bentuk dividen pada APBN dari tahun ke tahun
mencapai angka triliunan rupiah.6 Peran ini sangat strategis karena
memungkinkan negara memperoleh pendapatan non-pajak yang stabil, sekaligus
mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri.
4.4.
Pendorong UMKM dan Inklusi Ekonomi
BUMN juga memainkan
peran penting dalam memberdayakan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), serta pembiayaan
inklusif. Program seperti Mekaar oleh PNM dan Ultra Mikro
(UMi) memberikan akses permodalan kepada kelompok usaha kecil
dan perempuan pelaku ekonomi, yang sering kali tidak terlayani oleh lembaga
keuangan formal.7
Dalam perspektif
ekonomi kelembagaan, relasi antara BUMN dan UMKM menciptakan jaringan ekonomi yang
saling menguatkan (mutual reinforcement), sekaligus mendukung pemerataan hasil
pembangunan.8
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, Pasal 2.
[2]
Kementerian BUMN Republik Indonesia, Laporan Kinerja Kementerian
BUMN 2022 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2022), 37.
[3]
Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in
Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 45–50.
[4]
Faisal Basri, “Kebijakan Ekonomi Makro dan Peran BUMN,” Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Publik 10, no. 1 (2019): 12–19.
[5]
Kementerian BUMN Republik Indonesia, Statistik BUMN 2023,
diakses 10 April 2025, https://bumn.go.id.
[6]
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, APBN Kita: Laporan
Realisasi Anggaran (Jakarta: Kemenkeu RI, 2024), 55–56.
[7]
Dini Mulyani, “Dampak Program Pembiayaan Ultra Mikro terhadap
Peningkatan Usaha Perempuan,” Jurnal Keuangan dan Pembangunan Daerah
7, no. 2 (2021): 100–107.
[8]
M. Chatib Basri dan Raden Pardede, Ekonomi dan Kebijakan Publik:
Teori dan Praktik di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021),
142–144.
5.
Tata Kelola dan Pengawasan BUMN
Tata kelola yang
baik merupakan fondasi penting dalam mewujudkan BUMN yang profesional, efisien,
dan berintegritas. Mengingat BUMN mengelola sumber daya publik dan memegang
mandat strategis dari negara, maka penerapan Good Corporate Governance (GCG)
menjadi suatu keniscayaan. Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip-prinsip GCG
diatur melalui Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011,
yang kemudian diperbarui dengan PER-09/MBU/2012, serta
diperkuat oleh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.1
5.1.
Prinsip-Prinsip Good Corporate
Governance (GCG)
GCG dalam BUMN
mengacu pada lima prinsip dasar, yakni transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, dan kewajaran (fairness). Transparansi menuntut
keterbukaan informasi yang relevan dan dapat dipercaya. Akuntabilitas
mensyaratkan kejelasan fungsi, struktur, dan tanggung jawab organ perusahaan.
Responsibilitas mengacu pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sementara independensi dan kewajaran menjamin bahwa pengambilan keputusan
dilakukan secara objektif dan tidak diskriminatif.2
Penerapan GCG
bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan, memperkuat daya saing, serta
membangun kepercayaan publik terhadap institusi BUMN. Sejumlah studi empiris
menunjukkan bahwa penerapan GCG secara konsisten berkorelasi positif dengan
kinerja keuangan dan operasional BUMN.3
5.2.
Struktur Organisasi dan Mekanisme
Pengawasan
Secara kelembagaan,
tata kelola BUMN dijalankan oleh Direksi sebagai organ eksekutif
dan Dewan
Komisaris sebagai organ pengawas internal. Keduanya memiliki
peran penting dalam menjamin jalannya perusahaan sesuai dengan tujuan dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Sementara itu, negara sebagai pemilik
modal diwakili oleh Menteri BUMN yang bertindak
sebagai pemegang saham atas nama pemerintah pusat.4
Kementerian BUMN
memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan strategis, melakukan evaluasi
kinerja, hingga mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris. Namun,
agar pengawasan berjalan secara obyektif, penting adanya pemisahan antara
fungsi regulator dan fungsi eksekutor.5
5.3.
Audit, Akuntabilitas, dan Peran
Lembaga Eksternal
BUMN diwajibkan
menyusun laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh akuntan publik independen.
Laporan ini kemudian diawasi oleh lembaga eksternal seperti Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dapat ditindaklanjuti oleh lembaga
penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum atau tindak pidana korupsi.6
Selain itu, beberapa
BUMN yang terdaftar di pasar modal juga tunduk pada pengawasan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal
ini memperkuat lapisan pengawasan dan mendorong transparansi lebih tinggi dalam
pelaporan keuangan maupun aksi korporasi.7
5.4.
Tantangan dalam Pengawasan dan Tata
Kelola
Meskipun kerangka
hukum dan institusional telah tersedia, dalam praktiknya tata kelola BUMN di
Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya adalah intervensi
politik, kurangnya profesionalisme dalam pengangkatan
direksi dan komisaris, serta lemahnya sistem pengendalian internal.
Studi oleh Indra Bastian menunjukkan bahwa salah satu hambatan utama reformasi
BUMN adalah belum optimalnya pemisahan antara kepentingan bisnis dan
kepentingan politik kekuasaan.8
Upaya reformasi
berkelanjutan perlu terus digalakkan, termasuk penguatan kapasitas manajerial,
penerapan sistem merit dalam seleksi pimpinan, serta digitalisasi sistem audit
dan pelaporan.
Footnotes
[1]
Kementerian BUMN Republik Indonesia, Peraturan Menteri BUMN No.
PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN,
diubah terakhir dengan PER-09/MBU/2012 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2012).
[2]
Ria Wibowo, Good Corporate Governance dalam Perspektif Hukum
Perusahaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 47–49.
[3]
Desy Arifiani dan Putri Maharani, “Pengaruh Penerapan GCG terhadap
Kinerja Keuangan BUMN di Indonesia,” Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia 16, no. 2 (2019): 121–134.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, Pasal 14–18.
[5]
Sri Edi Swasono, “Problematika Tata Kelola BUMN dan Solusinya,” Jurnal
Kebijakan Ekonomi Publik 3, no. 1 (2015): 22–27.
[6]
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester II Tahun 2023 (Jakarta: BPK RI, 2024), 33.
[7]
Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan OJK tentang Keterbukaan Emiten
atau Perusahaan Publik, POJK No. 31/POJK.04/2015 (Jakarta: OJK, 2015).
[8]
Indra Bastian, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar
(Yogyakarta: BPFE UGM, 2017), 225–227.
6.
Reformasi dan Transformasi BUMN
Seiring dengan
dinamika global dan meningkatnya tuntutan terhadap efisiensi serta
akuntabilitas dalam pengelolaan sektor publik, pemerintah Indonesia telah
melakukan berbagai upaya reformasi dan transformasi BUMN.
Tujuan utama reformasi ini adalah agar BUMN tidak hanya menjadi pelengkap
pasar, tetapi juga mampu bersaing secara global dan memberikan kontribusi
optimal terhadap pembangunan nasional. Transformasi BUMN menjadi sangat penting
dalam menghadapi tantangan disrupsi digital, perubahan iklim, dan
ketidakpastian ekonomi global.1
6.1.
Efisiensi dan Restrukturisasi Korporasi
Salah satu langkah
awal reformasi BUMN adalah melalui restrukturisasi organisasi dan efisiensi
operasional. Banyak BUMN yang sebelumnya mengalami tumpang
tindih fungsi atau kelebihan beban kerja dan struktur organisasi yang gemuk
(overstaffed). Pemerintah melalui Kementerian BUMN melakukan evaluasi dan
pemangkasan unit-unit yang tidak efisien serta menyederhanakan rantai birokrasi
agar proses pengambilan keputusan lebih cepat dan tepat.2
Restrukturisasi juga
dilakukan terhadap BUMN yang terus merugi, seperti dalam kasus PT
Merpati Nusantara Airlines atau PT Kertas Leces, di mana
pendekatan rasionalisasi dan opsi likuidasi menjadi bagian dari strategi
penyehatan BUMN.3
6.2.
Holdingisasi dan Klasterisasi BUMN
Upaya penting
lainnya adalah pembentukan holding BUMN, yaitu
pengelompokan perusahaan negara ke dalam klaster-klaster strategis berdasarkan
sektor usaha. Holdingisasi bertujuan meningkatkan sinergi antar-BUMN,
memperkuat daya saing global, serta menciptakan efisiensi melalui penggabungan
sumber daya dan pengendalian yang lebih terpusat. Contoh keberhasilan
holdingisasi dapat dilihat dalam Holding Pertambangan (MIND ID)
dan Holding
Perkebunan (PT Perkebunan Nusantara III).4
Menurut studi
Lembaga Manajemen FEB UI, pembentukan holding memungkinkan pengelolaan
portofolio yang lebih fokus, meningkatkan leverage aset, dan memperkuat posisi
tawar di pasar internasional.5 Namun demikian, keberhasilan
holdingisasi juga bergantung pada tata kelola dan integritas manajemen yang
memimpin holding tersebut.
6.3.
Digitalisasi dan Inovasi Teknologi
Transformasi digital
menjadi pilar penting dalam reformasi BUMN. Melalui program BUMN Go
Digital, banyak perusahaan negara mulai mengadopsi teknologi
informasi dalam proses bisnisnya, seperti penggunaan artificial intelligence
(AI), big data, dan platform digital untuk pelayanan publik. Contohnya adalah PT
Telkom Indonesia yang meluncurkan platform MyIndiHome
dan solusi berbasis cloud, serta PT KAI yang merombak sistem
pemesanan tiket secara online untuk meningkatkan pelayanan pelanggan.6
Digitalisasi ini
tidak hanya mempercepat layanan dan efisiensi, tetapi juga membuka peluang bagi
BUMN untuk masuk ke pasar digital yang lebih luas dan kompetitif. Namun,
tantangan yang dihadapi mencakup kesiapan sumber daya manusia (SDM) serta
keamanan data dan sistem informasi.
6.4.
Budaya Kinerja dan Kepemimpinan
Profesional
Reformasi BUMN juga
diarahkan pada perbaikan budaya organisasi dan penguatan kinerja
individu maupun kolektif, melalui penerapan sistem Key
Performance Indicators (KPI), kontrak manajemen, dan mekanisme reward and
punishment yang transparan. Kementerian BUMN menerapkan sistem seleksi yang
lebih profesional dan kompetitif dalam pengangkatan direksi dan komisaris,
dengan melibatkan lembaga independen serta proses asesmen berbasis kompetensi.7
Pendekatan
meritokrasi ini diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik nepotisme, serta
menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat (the right man in the right
place). Hal ini penting karena transformasi kelembagaan hanya akan berhasil
apabila ditopang oleh kepemimpinan yang kuat dan profesional.8
Footnotes
[1]
Erick Thohir, Transformasi BUMN: Kunci Ketahanan dan Daya Saing
Ekonomi Indonesia (Jakarta: Penerbit BUMN Insight, 2022), 17.
[2]
Laksmi Pertiwi, “Restrukturisasi BUMN: Tantangan dan Peluang,” Jurnal
Manajemen Publik 15, no. 1 (2021): 23–30.
[3]
Kementerian BUMN, Laporan Tahunan Kementerian BUMN 2023
(Jakarta: Kementerian BUMN, 2024), 49–52.
[4]
Andi Widjajanto, “Strategi Holdingisasi BUMN dalam Konteks Ekonomi
Global,” Jurnal Ekonomi Strategis 8, no. 2 (2020): 101–108.
[5]
Lembaga Manajemen FEB UI, Kajian Kinerja Holding BUMN dan
Implikasinya terhadap Ekonomi Nasional (Jakarta: FEB UI Press, 2021),
33–35.
[6]
Nur Aini dan Retno Hapsari, “Digitalisasi BUMN sebagai Strategi Inovasi
Pelayanan Publik,” Jurnal Teknologi dan Transformasi Digital 3, no. 1
(2022): 77–84.
[7]
Republik Indonesia, Peraturan Menteri BUMN No. PER-10/MBU/2020
tentang Penataan Pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN (Jakarta:
Kementerian BUMN, 2020).
[8]
Indrawan Nugroho, Corporate Transformation: Dari Manajemen
Konvensional Menuju Organisasi Inovatif (Jakarta: Gramedia, 2021), 61.
7.
Permasalahan dan Tantangan BUMN
Meskipun BUMN
memiliki peran strategis dalam pembangunan dan pengelolaan sektor-sektor vital,
realitas empiris menunjukkan bahwa banyak BUMN masih menghadapi berbagai
permasalahan struktural, manajerial, dan sistemik yang
menghambat efektivitas kinerjanya. Tantangan-tantangan ini memerlukan perhatian
serius agar reformasi BUMN tidak bersifat kosmetik, melainkan substantif dan
berkelanjutan.
7.1.
Masalah Korupsi dan Tata Kelola
Lemah
Salah satu persoalan
klasik yang terus membayangi BUMN adalah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Beberapa kasus besar seperti yang melibatkan PT Jiwasraya, PT
Asabri, dan Garuda Indonesia menunjukkan
bahwa lemahnya tata kelola membuka celah besar terhadap penyalahgunaan wewenang
dan manipulasi laporan keuangan.1
Menurut laporan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), banyak BUMN tidak patuh terhadap prinsip Good
Corporate Governance (GCG), termasuk dalam hal transparansi, manajemen risiko,
dan pengendalian internal.2 Masalah ini bukan hanya menyebabkan
kerugian keuangan negara, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik dan
investor terhadap perusahaan milik negara.
7.2.
Intervensi Politik dalam Pengelolaan
Salah satu tantangan
struktural yang sering dikritik adalah tingginya intervensi politik dalam pengangkatan
direksi dan komisaris, yang kerap tidak berbasis kompetensi
atau meritokrasi. Banyak jabatan strategis diisi oleh figur yang memiliki
kedekatan politik dengan penguasa, bukan oleh profesional yang berpengalaman di
bidang industri terkait.3
Praktik ini
menciptakan risiko besar terhadap independensi manajemen dan menurunkan
kualitas pengambilan keputusan. Selain itu, pengelolaan berbasis politik rentan
terhadap konflik kepentingan serta pengabaian prinsip efisiensi ekonomi.4
7.3.
Beban Ganda: Fungsi Sosial vs.
Fungsi Komersial
BUMN sering kali
dihadapkan pada dilema antara menjalankan fungsi sosial (public
service obligation/PSO) dan mengejar laba (profit oriented).
Pada satu sisi, negara menugaskan BUMN untuk menjaga stabilitas harga,
mendistribusikan barang kebutuhan pokok, atau membangun infrastruktur di daerah
tertinggal. Namun di sisi lain, BUMN dituntut untuk mandiri secara finansial
dan menyetorkan dividen ke kas negara.5
Ketegangan antara
dua fungsi ini dapat menimbulkan konflik internal dalam penyusunan anggaran dan
strategi usaha. Banyak BUMN mengalami kerugian bukan karena kinerja buruk,
tetapi karena penugasan PSO yang tidak diimbangi dengan kompensasi yang memadai
dari negara.6
7.4.
Ketidakefisienan dan Kinerja Rendah
Sejumlah BUMN
mengalami kinerja keuangan yang rendah,
terutama yang bergerak di sektor non-kompetitif atau tidak efisien. Studi oleh
World Bank mencatat bahwa rata-rata pengembalian aset (return on assets/ROA)
BUMN di Indonesia masih berada di bawah standar internasional, menunjukkan
rendahnya efisiensi penggunaan sumber daya.7
Masalah
ketidakefisienan ini diperparah oleh manajemen yang lemah, pengadaan
yang tidak transparan, serta kurangnya inovasi dan adaptasi terhadap
perubahan teknologi. Tanpa pembenahan menyeluruh, BUMN berisiko
menjadi beban fiskal jangka panjang bagi negara.
7.5.
Ketergantungan pada Dukungan Negara
Meskipun diharapkan
dapat bersaing seperti korporasi swasta, sebagian besar BUMN masih sangat
bergantung pada penyertaan modal negara (PMN), insentif fiskal,
dan bantuan politik dalam menyelesaikan persoalan internal. Ketergantungan ini
justru menghambat proses transformasi menuju korporatisasi dan kompetisi pasar
yang sehat.8
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengelolaan BUMN
di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2021), 9–14.
[2]
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
Semester I Tahun 2023 (Jakarta: BPK RI, 2023), 31–36.
[3]
A. Rifai, “Politik Pengangkatan Komisaris BUMN: Antara Meritokrasi dan
Nepotisme,” Jurnal Politik dan Pemerintahan 12, no. 1 (2020): 50–58.
[4]
Denny Indrayana, Menyelamatkan BUMN dari Cengkeraman Politik
(Jakarta: LP3ES, 2019), 45.
[5]
Yudi Latif, “BUMN dan Beban Sosial-Ekonomi: Menakar Efektivitas PSO,” Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Publik 4, no. 2 (2016): 101–108.
[6]
Laksmi Mulyani, “Public Service Obligation dan Risiko Finansial BUMN,” Jurnal
Keuangan Negara 5, no. 1 (2021): 62–70.
[7]
World Bank, State-Owned Enterprises in Indonesia: Reform for
Efficiency and Competitiveness (Washington, D.C.: World Bank, 2021), 27.
[8]
Sutan Remy Sjahdeini, BUMN dalam Sistem Ekonomi Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2022), 120–123.
8.
Kesimpulan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran
krusial dalam struktur ekonomi Indonesia, baik sebagai pelaku utama dalam
sektor-sektor strategis, penggerak pembangunan nasional, maupun penyangga
stabilitas ekonomi dan sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003, BUMN tidak hanya dituntut untuk menghasilkan keuntungan bagi negara,
tetapi juga menjalankan fungsi pelayanan publik dalam rangka mewujudkan amanat
konstitusi Pasal 33 UUD 1945.1
Secara umum, keberadaan BUMN di Indonesia
merepresentasikan upaya negara untuk menjaga kedaulatan ekonomi,
terutama di sektor-sektor yang tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Peran ini semakin penting di tengah tantangan globalisasi,
disrupsi teknologi, dan krisis ekonomi yang membutuhkan intervensi aktif
negara dalam menjaga keberlanjutan pembangunan nasional.2
Namun demikian, pengelolaan BUMN masih menghadapi
berbagai tantangan mendasar, seperti lemahnya tata kelola
(governance), intervensi politik dalam manajemen, kinerja
keuangan yang belum optimal, serta konflik peran antara fungsi sosial
dan fungsi komersial.3 Kasus-kasus korupsi, inefisiensi, dan
beban fiskal dari BUMN yang terus merugi menunjukkan perlunya pembenahan
menyeluruh dan berkelanjutan.
Upaya reformasi yang dilakukan melalui restrukturisasi
kelembagaan, holdingisasi, digitalisasi proses bisnis, serta peningkatan
profesionalisme sumber daya manusia, telah menunjukkan arah yang positif,
namun belum sepenuhnya tuntas.4 Reformasi BUMN harus dilandasi oleh
prinsip Good Corporate Governance (GCG), meritokrasi dalam pengangkatan
pimpinan, serta transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dalam pengelolaan
keuangan dan aset negara.5
Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari
seluruh pemangku kepentingan—terutama pemerintah, legislatif, dan
masyarakat—untuk memperkuat fungsi pengawasan, menjaga independensi
manajemen, serta mewujudkan BUMN yang sehat, profesional, dan berdaya
saing global. Dengan transformasi kelembagaan yang tepat dan tata kelola
yang baik, BUMN dapat menjadi pilar utama pembangunan ekonomi nasional yang
inklusif dan berkelanjutan.6
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 70.
[2]
Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder:
Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press,
2002), 56–58.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian
Sistem Pengelolaan BUMN di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2021), 11–13.
[4]
Kementerian BUMN Republik Indonesia, Laporan
Tahunan Kementerian BUMN 2023 (Jakarta: Kementerian BUMN, 2024), 21–29.
[5]
Ria Wibowo, Good Corporate Governance dalam
Perspektif Hukum Perusahaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 51–54.
[6]
Sutan Remy Sjahdeini, BUMN dalam Sistem Ekonomi Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2022), 135–137.
Daftar Pustaka
Bastian, I. (2017). Akuntansi
sektor publik: Suatu pengantar. Yogyakarta: BPFE UGM.
Basri, F. (2019). Kebijakan
ekonomi makro dan peran BUMN. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik,
10(1), 12–19.
Chang, H.-J. (2002). Kicking
away the ladder: Development strategy in historical perspective. London:
Anthem Press.
Indrayana, D. (2019). Menyelamatkan
BUMN dari cengkeraman politik. Jakarta: LP3ES.
Kementerian Badan Usaha
Milik Negara Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri BUMN No.
PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN.
Jakarta: Kementerian BUMN.
Kementerian Badan Usaha
Milik Negara Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri BUMN No.
PER-10/MBU/2020 tentang Penataan Pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN.
Jakarta: Kementerian BUMN.
Kementerian Badan Usaha
Milik Negara Republik Indonesia. (2022). Laporan kinerja Kementerian BUMN
2022. Jakarta: Kementerian BUMN.
Kementerian Badan Usaha
Milik Negara Republik Indonesia. (2024). Laporan tahunan Kementerian BUMN
2023. Jakarta: Kementerian BUMN.
Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. (2024). APBN Kita: Laporan realisasi anggaran.
Jakarta: Kementerian Keuangan.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2021). Kajian sistem pengelolaan BUMN di Indonesia. Jakarta:
KPK RI.
Laksmi, M. (2021). Public
service obligation dan risiko finansial BUMN. Jurnal Keuangan Negara,
5(1), 62–70.
Mardiasmo. (2018). Akuntansi
sektor publik. Yogyakarta: Andi.
Moeljono, D. S. (2016).
Pengelolaan Perum dalam perspektif pelayanan publik dan good governance. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, 14(1), 35–41.
Mulyani, D. (2021). Dampak
program pembiayaan ultra mikro terhadap peningkatan usaha perempuan. Jurnal
Keuangan dan Pembangunan Daerah, 7(2), 100–107.
Nugroho, I. (2021). Corporate
transformation: Dari manajemen konvensional menuju organisasi inovatif.
Jakarta: Gramedia.
Otoritas Jasa Keuangan.
(2015). POJK No. 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Emiten atau Perusahaan
Publik. Jakarta: OJK.
Pertiwi, L. (2021).
Restrukturisasi BUMN: Tantangan dan peluang. Jurnal Manajemen Publik,
15(1), 23–30.
Republik Indonesia. (1945).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. (2003).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.
Republik Indonesia. (2007).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.
Rifai, A. (2020). Politik
pengangkatan komisaris BUMN: Antara meritokrasi dan nepotisme. Jurnal
Politik dan Pemerintahan, 12(1), 50–58.
Sjahdeini, S. R. (2022). BUMN
dalam sistem ekonomi Indonesia. Jakarta: Kencana.
Soemantri, S. (2015). Hukum
ekonomi dan BUMN. Yogyakarta: Liberty.
Sutrisno, B. (2018).
Evaluasi kinerja BUMN berbentuk persero dalam perspektif ekonomi pasar. Jurnal
Administrasi Bisnis, 7(2), 112–117.
Swasono, S. E. (2014).
Relevansi BUMN dalam menopang kedaulatan ekonomi nasional. Jurnal Ekonomi
dan Kebijakan Publik, 5(2), 117–123.
Swasono, S. E. (2015).
Problematika tata kelola BUMN dan solusinya. Jurnal Kebijakan Ekonomi
Publik, 3(1), 22–27.
Widjajanto, A. (2020).
Strategi holdingisasi BUMN dalam konteks ekonomi global. Jurnal Ekonomi
Strategis, 8(2), 101–108.
Wibowo, R. (2018). Good
corporate governance dalam perspektif hukum perusahaan. Jakarta: Sinar
Grafika.
World Bank. (2021). State-owned
enterprises in Indonesia: Reform for efficiency and competitiveness.
Washington, D.C.: The World Bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar