Regenerative Economy
Paradigma Baru untuk Keadilan Sosial dan Ketahanan
Ekologis
Alihkan ke: Ilmu
Ekonomi.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep ekonomi regeneratif
sebagai paradigma baru yang menjawab krisis ekologis dan ketimpangan sosial
yang ditinggalkan oleh sistem ekonomi linear dan kapitalistik. Melalui
pendekatan interdisipliner, artikel ini menguraikan definisi, prinsip dasar,
dan pilar operasional ekonomi regeneratif yang berakar pada pandangan sistem
kehidupan (living systems). Berbeda dari pendekatan ekonomi konvensional maupun
ekonomi sirkular, ekonomi regeneratif mengedepankan prinsip restoratif,
keseimbangan ekologis, keadilan sosial, serta partisipasi komunitas. Artikel
ini juga menampilkan studi kasus implementasi di berbagai sektor—seperti
pertanian, energi, industri, dan tata kota—yang menunjukkan bahwa ekonomi
regeneratif tidak hanya mungkin, tetapi telah berhasil dijalankan dalam
berbagai konteks lokal dan global. Selanjutnya, dibahas pula tantangan dan
kritik terhadap pendekatan ini, mulai dari kooptasi kapitalistik hingga
hambatan epistemologis. Dalam kerangka filsafat dan etika lingkungan, ekonomi
regeneratif menegaskan pentingnya paradigma ekosentris dan etika kehidupan
sebagai dasar moral dari sistem ekonomi masa depan. Artikel ini
merekomendasikan perubahan paradigma, reformasi kebijakan, dan transformasi
pendidikan ekonomi untuk mendorong transisi sistemik menuju peradaban yang
adil, lestari, dan berpihak pada kehidupan.
Kata Kunci: Ekonomi Regeneratif; Keberlanjutan; Ekologi; Etika
Lingkungan; Transformasi Sistem; Keadilan Sosial; Filsafat Ekonomi; Sistem
Kehidupan.
PEMBAHASAN
Telaah Ekonomi Regeneratif Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Selama beberapa dekade terakhir, dunia telah
menyaksikan meningkatnya krisis ekologis dan sosial akibat penerapan sistem
ekonomi global yang eksploitatif, terfragmentasi, dan cenderung merusak. Model
ekonomi linear—yang berbasis pada prinsip "ambil, buat, buang"—telah
mendorong eksploitasi sumber daya alam secara masif, menciptakan jejak karbon
yang tidak terkendali, serta memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi antarwilayah
dan antargenerasi. Laporan-laporan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa aktivitas
ekonomi manusia menjadi penyebab utama dari perusakan ekosistem, pemanasan
global, dan hilangnya keanekaragaman hayati secara cepat dan meluas.1
Dalam konteks tersebut, munculnya konsep ekonomi
regeneratif menjadi respons terhadap kegagalan sistem ekonomi konvensional
dalam menciptakan keberlanjutan yang sejati. Ekonomi regeneratif bukan sekadar
transformasi teknis atau estetika dari sistem yang ada, tetapi merupakan pergeseran
paradigma mendasar tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dan
berinteraksi dengan alam sebagai sistem yang hidup dan saling terhubung.2
Konsep ini mengajak kita untuk memikirkan kembali relasi ekonomi bukan hanya
dalam kerangka produksi dan konsumsi, tetapi juga dalam kerangka restorasi
ekologi, keadilan sosial, dan pembangunan komunitas yang resilien.3
Perlu dipahami bahwa istilah “regeneratif”
tidak hanya merujuk pada kemampuan untuk memperbaiki atau mengembalikan
kerusakan lingkungan, tetapi lebih jauh lagi, mengacu pada sistem yang secara
aktif meningkatkan kapasitas kehidupan, baik secara ekologis maupun sosial.
Sebagaimana dijelaskan oleh John Fullerton, ekonomi regeneratif berakar pada
prinsip universal dari sistem hidup, seperti keberagaman, interdependensi, dan
kemampuan untuk beradaptasi secara dinamis dalam menghadapi perubahan.4
Prinsip-prinsip tersebut merepresentasikan arah baru bagi pembangunan ekonomi
global yang tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan, tetapi pada keselarasan antara
manusia dan bumi.
Sebagai paradigma baru, ekonomi regeneratif juga
menawarkan sintesis antara gagasan keberlanjutan (sustainability) dengan
pendekatan holistik dan sistemik. Dalam pandangan Kate Raworth,
paradigma ekonomi abad ke-21 harus mampu bergerak melampaui model ekonomi
neoklasik yang mengabaikan batas-batas ekologis dan fondasi sosial. Model “donat”
yang ia gagas menekankan bahwa sistem ekonomi harus beroperasi di antara dua
batas: batas ekologis bumi dan dasar sosial kemanusiaan, sehingga
kehidupan dapat berlangsung secara adil dan berkelanjutan bagi semua makhluk
hidup.5
Mengingat urgensi dan kompleksitas tantangan global
saat ini, pembahasan mengenai ekonomi regeneratif menjadi sangat relevan.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis pengertian, prinsip,
penerapan, serta tantangan dari ekonomi regeneratif, sekaligus menyoroti
relevansinya sebagai alternatif transformatif untuk mewujudkan keadilan
sosial dan ketahanan ekologis di masa depan.
Footnotes
[1]
Intergovernmental Science-Policy Platform on
Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), Global Assessment Report on
Biodiversity and Ecosystem Services (Bonn: IPBES Secretariat, 2019), 6–12.
[2]
John Fullerton, Regenerative Capitalism: How
Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital
Institute, 2015), 4–5.
[3]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative
Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 16–18.
[4]
Fullerton, Regenerative Capitalism, 6–9.
[5]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 39–44.
2.
Konsep Dasar Ekonomi Regeneratif
2.1.
Definisi dan
Prinsip-Prinsip Umum
Ekonomi regeneratif adalah suatu pendekatan sistemik dalam merancang
dan menjalankan aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat, memulihkan,
dan memperbarui sistem kehidupan alam dan sosial secara berkelanjutan. Tidak
seperti ekonomi linear yang bersifat ekstraktif dan berujung pada penumpukan
limbah, ekonomi regeneratif berupaya menciptakan sistem yang menghasilkan
lebih banyak kehidupan daripada yang dikonsumsinya.1 Ekonomi ini
memandang bahwa kemakmuran sejati bukan diukur dari pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB), melainkan dari kemampuan suatu sistem ekonomi untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan ekologis, kesejahteraan komunitas, serta keberagaman
budaya dan biologis.2
Secara filosofis, ekonomi regeneratif berangkat
dari pemahaman bahwa bumi adalah sistem hidup (living system) yang kompleks dan
saling terhubung, bukan sekadar kumpulan sumber daya yang dapat dieksploitasi.
Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar ekonomi regeneratif mencakup pemikiran
holistik, pendekatan sistemik, keanekaragaman, ketahanan adaptif, serta
penghormatan terhadap batas-batas ekologis dan sosial.3 Dengan
demikian, ekonomi regeneratif tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga
mengakar dalam keadilan sosial dan keseimbangan relasi antara manusia dengan
alam.
John Fullerton, salah satu penggagas utama konsep
ini, menyusun delapan prinsip universal yang menjadi landasan ekonomi
regeneratif. Prinsip-prinsip tersebut mencakup:
1)
Hakikat hidup sebagai sistem holistik dan saling terhubung,
2)
Keseimbangan dalam keragaman,
3)
Ketahanan adaptif,
4)
Keadilan komunitas,
5)
Pertumbuhan yang saling menguatkan,
6)
Peran penting dari informasi dan transparansi,
7)
Circularity energi dan sumber daya, serta
8)
Inklusivitas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.4
Prinsip-prinsip ini tidak bersifat teknokratis,
melainkan menyentuh ranah nilai, etika, dan tatanan sosial.
2.2.
Perbandingan dengan Model
Ekonomi Lain
Dalam lanskap teori ekonomi kontemporer, ekonomi
regeneratif memiliki kedekatan dengan dua model transformatif lainnya, yakni ekonomi sirkular (circular economy) dan ekonomi berkelanjutan (sustainable economy). Namun, ekonomi regeneratif berbeda secara fundamental dalam aspek
tujuannya. Jika ekonomi sirkular berfokus pada efisiensi dan daur ulang untuk
meminimalkan limbah, maka ekonomi regeneratif bertujuan menciptakan sistem
ekonomi yang memperkaya dan memperbaiki kehidupan itu sendiri.5
Dalam hal ini, ekonomi regeneratif bukan hanya tentang "mengurangi
dampak", tetapi tentang "menghasilkan dampak positif".
Lebih lanjut, Kate Raworth dalam Doughnut
Economics mengajukan kerangka visual yang merepresentasikan prinsip-prinsip
ekonomi regeneratif dalam bentuk dua batasan: batas ekologis (ceiling) dan
fondasi sosial (social foundation). Menurutnya, ekonomi yang sehat harus
beroperasi dalam ruang aman dan adil bagi umat manusia—tidak merusak ekosistem,
dan tidak membiarkan ada satu pun orang tertinggal dalam pemenuhan hak
dasarnya.6 Model ini menekankan bahwa keberlanjutan tidak bisa
dipisahkan dari keadilan sosial, suatu prinsip sentral dalam ekonomi
regeneratif.
Dengan demikian, ekonomi regeneratif tidak hanya
menawarkan pendekatan teknis untuk menyelesaikan krisis lingkungan, tetapi juga
menyediakan kerangka normatif untuk mendesain ulang tatanan ekonomi global
berdasarkan prinsip-prinsip etika, keadilan, dan kehidupan bersama. Ia
merupakan kritik sekaligus koreksi terhadap reduksionisme ekonomi arus utama
yang mendewakan pertumbuhan, efisiensi, dan eksploitasi sumber daya tanpa
mempertimbangkan daya dukung bumi dan martabat manusia.
Footnotes
[1]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative
Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 16–20.
[2]
Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating
an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers,
2018), 45–49.
[3]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 336–339.
[4]
John Fullerton, Regenerative Capitalism: How
Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital
Institute, 2015), 8–13.
[5]
Martin Geissdoerfer et al., “The Circular Economy –
A New Sustainability Paradigm?” Journal of Cleaner Production 143
(2017): 759–765.
[6]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 44–53.
3.
Pilar dan Prinsip Operasional Ekonomi
Regeneratif
3.1.
Prinsip-Prinsip Universal
Ekonomi Regeneratif
Ekonomi regeneratif dibangun di atas landasan
filosofis dan ilmiah yang mengakui bahwa sistem ekonomi adalah bagian integral
dari sistem kehidupan yang lebih luas. Dalam konteks ini, John Fullerton—pendiri
Capital Institute—merumuskan delapan prinsip universal yang menjadi
acuan utama dalam mendesain sistem ekonomi yang regeneratif. Prinsip-prinsip
ini bukan sekadar instrumen kebijakan, tetapi merupakan kerangka etik dan
ekologis yang bersifat sistemik dan lintas sektor.1
1)
In Right Relationship (Hubungan yang Benar)
Menempatkan
ekonomi dalam konteks keterhubungannya dengan manusia, masyarakat, dan biosfer.
Ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi harus beroperasi dalam hubungan yang
harmonis dengan sistem-sistem kehidupan lainnya.2
2)
Views Wealth Holistically (Pandangan Holistik terhadap Kekayaan)
Kekayaan
tidak hanya dipahami sebagai akumulasi modal finansial, tetapi juga mencakup
kekayaan sosial, budaya, ekologis, dan spiritual. Sistem regeneratif menghargai
keberagaman bentuk kekayaan yang menopang kehidupan secara utuh.
3)
Innovative, Adaptive, Responsive (Inovatif dan Adaptif)
Sistem
ekonomi regeneratif harus mampu berkembang dan beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan dan sosial. Fleksibilitas ini meniru karakteristik sistem kehidupan
yang tangguh (resilient).3
4)
Empowered Participation (Partisipasi yang Diberdayakan)
Prinsip ini
menekankan keterlibatan aktif dan bermakna dari semua pemangku kepentingan
dalam proses pengambilan keputusan, sehingga tercipta keadilan distribusi dan
inklusivitas dalam sistem ekonomi.4
5)
Honors Community and Place (Menghormati Komunitas dan Tempat)
Sistem
ekonomi yang regeneratif selalu berbasis tempat (place-based) dan memperkuat ikatan
sosial serta kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya.
6)
Edge Effect Abundance (Kelimpahan dari Keberagaman dan Perbatasan)
Dalam
ekologi, batas antar sistem biologis sering kali menjadi wilayah paling subur.
Prinsip ini mengajarkan bahwa keberagaman dan interaksi antar sistem
menghasilkan inovasi dan ketahanan.
7)
Robust Circulatory Flow (Sirkulasi Energi dan Sumber Daya yang Sehat)
Mengganti
paradigma ekstraksi dan pembuangan dengan sistem sirkulasi sumber daya (energi,
air, bahan baku) yang memperkuat kehidupan, bukan mengurasnya.5
8)
Seeks Balance (Mencari Keseimbangan)
Prinsip ini
menyarankan bahwa sistem ekonomi regeneratif harus mencari keseimbangan antara
efisiensi dan redundansi, pertumbuhan dan stabilitas, serta eksplorasi dan
konservasi.
Prinsip-prinsip tersebut menunjukkan bahwa ekonomi
regeneratif bersifat interdisipliner, etis, dan berorientasi
pada kehidupan. Ia bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga visi peradaban
baru yang berakar pada prinsip ekologi dan spiritualitas relasional.
3.2.
Penerapan Prinsip
Regeneratif dalam Skala Mikro dan Makro
Secara operasional, prinsip-prinsip di atas dapat
diterapkan pada berbagai skala, mulai dari unit mikro seperti perusahaan dan
komunitas lokal, hingga level makro seperti kebijakan nasional dan
arsitektur ekonomi global. Dalam konteks mikro, praktik ekonomi regeneratif
tercermin dalam model perusahaan regeneratif (regenerative enterprise)
yang tidak hanya mengejar profit, tetapi juga mengukur keberhasilannya melalui
dampak positif terhadap komunitas dan lingkungan. Contohnya adalah penerapan triple
bottom line yang menggabungkan dimensi people, planet, profit,
bahkan lebih lanjut dengan prinsip regeneration.6
Di sisi makro, penerapan ekonomi regeneratif
menuntut reformasi kebijakan fiskal, insentif pasar, serta desain ulang
indikator pembangunan. Banyak negara dan kota telah mulai bereksperimen dengan
pendekatan ini, seperti model Doughnut yang diadopsi oleh kota
Amsterdam, yang mengintegrasikan batas ekologis dan fondasi sosial ke dalam
strategi pembangunan kota.7
Prinsip operasional ini juga diperkuat dengan
pendekatan systems thinking, sebagaimana dijelaskan oleh Fritjof Capra,
yang menekankan pentingnya melihat dunia sebagai jaringan hubungan yang dinamis
dan saling terkait, bukan sebagai entitas mekanistik yang terpisah.8
Dengan demikian, ekonomi regeneratif merupakan upaya menyusun ulang sistem
ekonomi agar selaras dengan pola dan prinsip yang ditemukan dalam alam itu
sendiri.
Footnotes
[1]
John Fullerton, Regenerative Capitalism: How
Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital
Institute, 2015), 7–14.
[2]
Ibid., 8.
[3]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 394–400.
[4]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative
Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 102–108.
[5]
Fullerton, Regenerative Capitalism, 12–13.
[6]
Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating
an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers,
2018), 120–128.
[7]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 198–204.
[8]
Capra and Luisi, The Systems View of Life,
335–337.
4.
Implementasi Ekonomi Regeneratif dalam Berbagai
Sektor
Implementasi ekonomi regeneratif tidak hanya
terbatas pada tingkat konsep dan teori, melainkan telah diterapkan dalam
berbagai sektor kehidupan dengan pendekatan yang kontekstual dan berbasis
sistem. Prinsip-prinsip regeneratif menjadi kerangka operasional dalam
mendesain ulang cara produksi, konsumsi, dan distribusi dalam bidang pertanian,
energi, industri, serta perencanaan kota dan wilayah. Berikut ini adalah
uraian tentang penerapan nyata ekonomi regeneratif dalam beberapa sektor
strategis.
4.1.
Pertanian Regeneratif
(Regenerative Agriculture)
Sektor pertanian merupakan salah satu medan utama
dari penerapan ekonomi regeneratif, terutama dalam menghadapi krisis degradasi
tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan emisi karbon dari praktik
agrikultur industri. Pertanian regeneratif merupakan pendekatan holistik
dalam pengelolaan pertanian yang bertujuan untuk membangun kembali kesuburan
tanah, meningkatkan kapasitas serapan karbon, serta memperkuat sistem pangan
lokal yang berkeadilan.1 Praktik-praktik dalam pertanian
regeneratif mencakup penanaman tanaman penutup (cover crops), rotasi tanaman,
penggembalaan adaptif, dan pengurangan input sintetis.
Menurut studi Christopher J. Rhodes, pertanian
regeneratif terbukti mampu meningkatkan soil organic carbon (SOC),
memperkuat biodiversitas mikroba tanah, dan memitigasi dampak perubahan iklim
secara signifikan.2 Selain itu, model ini memperkuat kedaulatan
pangan dan memperkecil ketergantungan petani terhadap perusahaan agrikultur
besar yang mengeksploitasi input pertanian berbasis kimia.
4.2.
Energi dan Infrastruktur
Ekonomi regeneratif dalam sektor energi menekankan
pada pengembangan energi terbarukan yang terdesentralisasi dan berbasis
komunitas, bukan hanya transisi dari energi fosil ke energi hijau. Transisi
energi regeneratif tidak hanya mengejar efisiensi teknologis, tetapi juga
memperhitungkan dimensi sosial-ekologis dari produksi dan distribusi energi.3
Sebagai contoh, berbagai komunitas di Jerman
melalui inisiatif Energiegenossenschaften (koperasi energi) telah
menunjukkan bahwa pengelolaan energi surya dan angin secara kolektif oleh
masyarakat dapat meningkatkan kemandirian energi sekaligus memperkuat ekonomi
lokal.4 Pendekatan ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga
demokratis dan inklusif.
4.3.
Industri dan Dunia Usaha
Dalam dunia usaha, ekonomi regeneratif diwujudkan
melalui pembentukan perusahaan regeneratif yang mendesain seluruh proses
bisnisnya berdasarkan prinsip sistem hidup. Perusahaan-perusahaan ini tidak
hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga berkomitmen terhadap kesehatan
ekosistem dan keberdayaan komunitas.
Model bisnis regeneratif sering kali mengadopsi
kerangka B Corporation, yaitu entitas bisnis yang secara legal terikat
untuk mempertimbangkan dampak keputusan mereka terhadap pekerja, pelanggan,
komunitas, dan lingkungan.5 Prinsip seperti net-positive impact,
closed-loop production, dan stakeholder capitalism menjadi
pedoman dalam operasional perusahaan regeneratif.
4.4.
Perencanaan Kota dan
Wilayah
Di sektor tata kota dan perencanaan wilayah,
ekonomi regeneratif mendorong lahirnya ekonomi lokal yang resilien,
inklusif, dan berbasis ekologi. Kota tidak hanya dilihat sebagai pusat
ekonomi dan konsumsi, tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang terintegrasi
dengan alam. Contoh paling menonjol adalah penerapan kerangka Doughnut
Economy di kota Amsterdam, yang secara eksplisit memasukkan batas ekologis
dan keadilan sosial ke dalam kebijakan pembangunan kota.6
Pendekatan ini memadukan analisis ekologi
perkotaan, perencanaan partisipatif, dan transisi energi sebagai satu kesatuan
sistem. Dengan demikian, ekonomi regeneratif dalam konteks urban bukan hanya
tentang green city, tetapi tentang living city—kota yang hidup,
menyembuhkan, dan memperkuat kehidupan manusia dan alam secara bersama.
Kesimpulan
Antarsektor
Dari berbagai contoh di atas, terlihat bahwa
implementasi ekonomi regeneratif bersifat lintas sektoral dan berbasis konteks.
Kunci keberhasilannya bukan hanya pada inovasi teknologi atau insentif pasar,
tetapi pada perubahan paradigma: dari ekonomi yang eksploitatif dan linier
menuju ekonomi yang melindungi, memperbaiki, dan memperkaya kehidupan.
Ekonomi regeneratif, dalam wujudnya yang paling konkret, menjadi praxis
ekologis yang menegaskan bahwa ekonomi dan ekologi tidak saling
bertentangan, melainkan saling memperkuat dalam sistem kehidupan yang
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative
Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 127–132.
[2]
Christopher J. Rhodes, “The Imperative for
Regenerative Agriculture,” Science Progress 100, no. 1 (2017): 80–129.
[3]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 391–395.
[4]
P. Bauwens, B. Gotchev, and L. Holstenkamp, “What
Drives the Development of Community Energy in Europe? The Case of Wind Power
Cooperatives,” Energy Research & Social Science 13 (2016): 136–147.
[5]
Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating
an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers,
2018), 132–138.
[6]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 204–210.
5.
Studi Kasus dan Praktik Nyata
Ekonomi regeneratif
tidak hanya hadir sebagai kerangka konseptual, tetapi telah menjelma dalam
berbagai praktik nyata di lapangan yang
menunjukkan keberhasilannya dalam memulihkan ekosistem, memberdayakan
masyarakat lokal, serta membangun model ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Studi-studi kasus berikut menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip regeneratif
dapat diimplementasikan secara kontekstual di berbagai wilayah dunia, baik di
negara berkembang (Global South) maupun negara maju (Global North).
5.1.
Ladang Pertanian
Regeneratif di Kenya: Restorasi Ekologi dan Keadilan Sosial
Salah satu contoh
menonjol dari penerapan ekonomi regeneratif di Global South adalah proyek regenerative
agriculture yang dilakukan oleh organisasi Green
Belt Movement di Kenya, diprakarsai oleh peraih Nobel
Perdamaian Wangari Maathai. Program ini
tidak hanya bertujuan menanam pohon dan merehabilitasi lahan yang rusak, tetapi
juga memperkuat
peran perempuan dalam mengelola lingkungan dan ekonomi komunitas.1
Melalui pendekatan
agroekologi berbasis masyarakat, lahan-lahan tandus direstorasi menjadi kawasan
pertanian produktif, meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi erosi, serta
meningkatkan ketahanan pangan lokal. Dalam studi yang dilakukan oleh Gathuru
Mburu dan kawan-kawan, praktik-praktik ini secara nyata meningkatkan
biodiversitas, menyimpan karbon dalam tanah, serta menghasilkan pendapatan baru
bagi petani kecil, khususnya perempuan.2 Dengan kata lain,
pendekatan regeneratif ini membangun keseimbangan antara keadilan
ekologis dan keadilan gender.
5.2.
Ekonomi Regeneratif di
Australia: Proyek Pemulihan Lahan di Savory Institute
Australia menghadapi
tantangan besar dalam bentuk degradasi lahan dan kekeringan. Menanggapi hal
tersebut, Savory Institute mengembangkan
proyek pemulihan padang rumput melalui metode Holistic Planned Grazing—sebuah
teknik penggembalaan adaptif yang meniru pergerakan hewan liar secara alami
untuk memulihkan siklus air dan nutrisi tanah.3
Studi longitudinal
menunjukkan bahwa metode ini berhasil memulihkan vegetasi asli, meningkatkan
kapasitas tanah dalam menyerap air, dan meningkatkan produktivitas lahan secara
berkelanjutan.4 Lebih jauh lagi, proyek ini membuktikan bahwa pemulihan
ekologis dan keuntungan ekonomi tidak harus saling bertentangan,
melainkan bisa berjalan berdampingan ketika manajemen lahan dilakukan
berdasarkan prinsip ekosistem hidup.
5.3.
Amsterdam dan Model Doughnut
Economy: Regenerasi Urban di Global North
Di wilayah Global
North, kota
Amsterdam di Belanda menjadi pionir dalam menerapkan kerangka Doughnut
Economics sebagai dasar kebijakan pembangunan kota. Pada tahun
2020, Amsterdam mengadopsi model ini untuk mengarahkan strategi pembangunan
pasca-COVID-19 dengan prinsip bahwa setiap kebijakan harus menjaga keseimbangan
antara batas
ekologis global dan fondasi sosial lokal.5
Dalam
implementasinya, kota ini menerapkan prinsip circular design dalam industri
konstruksi, memprioritaskan penggunaan material daur ulang,
mengurangi limbah, serta menciptakan sistem transportasi berbasis energi
bersih. Di bidang sosial, kota ini mengembangkan inisiatif perumahan terjangkau
dan distribusi pangan yang adil berbasis komunitas. Dalam evaluasi yang
dilakukan oleh Doughnut Economics Action Lab (DEAL), pendekatan ini berhasil
menciptakan kebijakan lintas sektor yang kolaboratif, regeneratif,
dan berorientasi pada kehidupan manusia serta bumi.6
5.4.
Analisis Dampak dan
Pembelajaran Global
Ketiga studi kasus
di atas mengungkapkan bahwa praktik ekonomi regeneratif:
·
Efektif dalam
memulihkan ekosistem yang rusak, baik di pedesaan maupun perkotaan;
·
Menghasilkan dampak
sosial yang signifikan, termasuk penguatan ekonomi komunitas, peran
perempuan, dan demokratisasi akses terhadap sumber daya;
·
Bersifat
kontekstual, artinya menyesuaikan prinsip-prinsip regeneratif dengan
ekosistem lokal, budaya masyarakat, dan struktur sosial-politik setempat.
Selain itu,
pendekatan regeneratif menekankan pentingnya kolaborasi lintas aktor:
masyarakat sipil, pemerintah lokal, sektor swasta, dan lembaga penelitian.
Dengan cara ini, regenerasi tidak hanya menjadi proyek lingkungan, tetapi gerakan
sosial dan ekonomi yang transformatif.
Footnotes
[1]
Wangari Maathai, The Green Belt Movement: Sharing the Approach and
the Experience (New York: Lantern Books, 2003), 21–36.
[2]
Gathuru Mburu et al., “Community-Based Approaches to Sustainable Land
Management: The Case of Green Belt Movement in Kenya,” International
Journal of Environmental Studies 71, no. 3 (2014): 359–373.
[3]
Allan Savory and Jody Butterfield, Holistic Management: A
Commonsense Revolution to Restore Our Environment (Washington, DC: Island
Press, 2016), 154–168.
[4]
T. Teague et al., “The Role of Ruminants in Reducing Agriculture’s
Carbon Footprint in North America,” Journal of Soil and Water Conservation
71, no. 2 (2016): 156–164.
[5]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a
21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green
Publishing, 2017), 210–215.
[6]
Doughnut Economics Action Lab (DEAL), “Amsterdam City Doughnut: A Tool
for Transformative Action,” 2020, https://doughnuteconomics.org.
6.
Tantangan dan Kritik terhadap Ekonomi
Regeneratif
Meskipun ekonomi regeneratif menawarkan pendekatan
inovatif dan holistik untuk menyelesaikan krisis ekologis dan sosial,
implementasinya tidak lepas dari berbagai tantangan struktural, politik, dan
epistemologis. Selain itu, kritik juga muncul dari kalangan akademisi dan
aktivis yang menyoroti kemungkinan kooptasi ide regeneratif oleh sistem
kapitalisme itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mewujudkan transformasi
sistemik yang sesungguhnya, penting untuk memahami secara kritis keterbatasan
dan hambatan yang dihadapi ekonomi regeneratif.
6.1.
Tantangan Implementasi
Struktural
Salah satu tantangan utama dalam implementasi
ekonomi regeneratif adalah keberadaan struktur ekonomi-politik global yang
masih dikuasai oleh paradigma kapitalistik dan ekstraktif. Sistem
insentif fiskal, subsidi energi fosil, serta model pertumbuhan ekonomi berbasis
PDB masih menjadi kerangka dominan dalam kebijakan nasional dan internasional.1
Dalam konteks ini, pendekatan regeneratif sering kali terhambat oleh ketidaksesuaian
dengan sistem regulasi, infrastruktur pasar, dan sistem keuangan yang belum
mendukung inovasi regeneratif.
Selain itu, terdapat tantangan teknologi dan
pembiayaan, terutama di negara-negara berkembang, di mana keterbatasan
sumber daya dan akses terhadap teknologi ramah lingkungan masih menjadi kendala
serius.2 Banyak komunitas lokal memiliki kapasitas sosial dan
ekologi yang kuat, tetapi kekurangan dukungan kelembagaan dan modal untuk
mengembangkan sistem regeneratif secara berkelanjutan.
6.2.
Risiko Kooptasi oleh
Kapitalisme Hijau
Kritik tajam terhadap ekonomi regeneratif datang
dari kalangan kritis yang memperingatkan akan bahaya kooptasi konsep
regeneratif oleh apa yang disebut sebagai “kapitalisme hijau” (green
capitalism). Dalam kritik ini, perusahaan-perusahaan besar dapat mengadopsi
istilah “regeneratif” secara dangkal, sebagai bagian dari strategi greenwashing
atau pemolesan citra lingkungan, tanpa mengubah secara fundamental struktur
eksploitasi dan ketimpangan yang mereka ciptakan.3
Sebagaimana dikemukakan oleh David Bollier,
terdapat risiko bahwa “narasi regeneratif” hanya menjadi kosmetik
retoris yang digunakan untuk mempertahankan dominasi pasar dan sistem
kepemilikan privat atas sumber daya bersama (commons).4 Maka dari
itu, pendekatan regeneratif yang sejati harus berakar pada transformasi
nilai, struktur kepemilikan, dan penguatan demokrasi ekonomi, bukan sekadar
inovasi teknis dalam bisnis-as-usual.
6.3.
Hambatan Epistemologis dan
Budaya
Selain tantangan struktural dan kooptasi, ekonomi
regeneratif juga menghadapi hambatan epistemologis, yaitu dominasi paradigma
mekanistik-reduksionistik dalam ilmu ekonomi arus utama. Paradigma ini
cenderung melihat ekonomi sebagai sistem tertutup yang dapat dikalkulasi secara
linear dan statis, padahal sistem kehidupan bersifat dinamis, kompleks, dan
adaptif.5
Fritjof Capra menunjukkan bahwa pergeseran menuju
ekonomi regeneratif memerlukan transformasi cara berpikir, dari cara
pandang fragmentatif menuju systems thinking dan kosmologi relasional.6
Namun, perubahan paradigma ini seringkali sulit diterima dalam sistem
pendidikan dan kelembagaan ekonomi modern yang masih mengandalkan kurikulum dan
indikator kuantitatif semata.
6.4.
Kesenjangan Akses dan
Ketidakmerataan Global
Ekonomi regeneratif juga dihadapkan pada realitas
global yang timpang. Banyak praktik regeneratif berkembang di kawasan Global
North dengan sumber daya, teknologi, dan kapasitas kelembagaan yang memadai,
sementara komunitas di Global South masih bergelut dengan krisis multidimensi.
Jika tidak diantisipasi, hal ini berisiko menciptakan "kolonialisme
ekologis baru", di mana narasi dan praktik regeneratif yang
dikembangkan di Utara justru mendominasi arah transisi global, tanpa mengakui
pengetahuan lokal dan inisiatif masyarakat adat yang telah lama menerapkan
prinsip hidup yang regeneratif.7
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi regeneratif
yang adil harus memastikan partisipasi setara, pengakuan terhadap kearifan
lokal, dan distribusi sumber daya yang merata.
Kesimpulan Sementara
Tantangan dan kritik terhadap ekonomi regeneratif
bukanlah alasan untuk menolaknya, tetapi justru menjadi panggilan untuk
memperdalam, memperluas, dan memurnikan pendekatan ini dari kooptasi dan bias
struktural. Agar ekonomi regeneratif menjadi transformatif, dibutuhkan komitmen
serius untuk perubahan nilai, tata kelola, dan kerangka epistemologis
yang lebih inklusif dan berpihak pada kehidupan.
Footnotes
[1]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 77–85.
[2]
Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating
an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers,
2018), 151–154.
[3]
Peter Dauvergne, Environmentalism of the Rich
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 112–118.
[4]
David Bollier, Think Like a Commoner: A Short
Introduction to the Life of the Commons (Gabriola Island: New Society
Publishers, 2014), 65–70.
[5]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 26–31.
[6]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 273–278.
[7]
Ashish Kothari, Federico Demaria, and Arturo
Escobar, Pluriverse: A Post-Development Dictionary (New Delhi: Tulika
Books, 2019), xxv–xxvii.
7.
Ekonomi Regeneratif dalam Kerangka Filsafat dan
Etika Lingkungan
Ekonomi regeneratif tidak hanya merupakan
alternatif teknis terhadap model ekonomi konvensional, tetapi juga mencerminkan
suatu transformasi filosofis dan etis tentang relasi antara manusia,
alam, dan kehidupan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, ekonomi regeneratif
melampaui batasan ekonomi sebagai ilmu rasional tentang alokasi sumber daya,
dan masuk ke dalam wilayah filsafat lingkungan dan etika ekologis yang
lebih dalam. Ia mengundang kita untuk merefleksikan kembali makna kemakmuran,
nilai kehidupan, dan posisi manusia dalam tatanan kosmik.
7.1.
Paradigma Ekosentrisme dan
Relasi Manusia-Alam
Dalam sejarah filsafat Barat, relasi antara manusia
dan alam sering kali dibangun dalam kerangka antroposentrisme, yaitu
pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas alam.
Pandangan ini berakar sejak zaman modern, terutama melalui warisan filsafat
Descartes dan Bacon, yang menganggap alam sebagai objek mati yang dapat
dimanipulasi demi kepentingan manusia.1
Sebaliknya, ekonomi regeneratif selaras dengan
paradigma ekosentrisme, yaitu pandangan yang mengakui nilai intrinsik
dari seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis, terlepas dari manfaatnya bagi
manusia. Dalam paradigma ini, manusia tidak berada di atas alam, melainkan sebagai
bagian dari jejaring kehidupan yang saling bergantung dan berinteraksi
secara dinamis.2 Ekonomi regeneratif, dengan demikian, memperlakukan
alam bukan sebagai "sumber daya", tetapi sebagai mitra
hidup yang harus dijaga, dipulihkan, dan dihormati.
7.2.
Prinsip Kehidupan sebagai
Nilai Etis Tertinggi
Dalam kerangka etika lingkungan, ekonomi
regeneratif memprioritaskan kehidupan (life-centered ethics) sebagai
prinsip etis tertinggi. Hal ini selaras dengan pemikiran Albert Schweitzer
tentang "reverence for life", yaitu bahwa segala bentuk
kehidupan memiliki hak untuk eksis dan berkembang.3 Etika ini menolak
logika utilitarian semata dan menuntut tanggung jawab moral manusia terhadap
semua makhluk hidup.
Fritjof Capra menjelaskan bahwa sistem kehidupan
beroperasi bukan berdasarkan kontrol hierarkis, melainkan koordinasi
jaringan, di mana nilai utama bukan efisiensi atau akumulasi, tetapi keseimbangan,
keberagaman, dan keberlanjutan.4 Dengan demikian, ekonomi
regeneratif bukan hanya bersifat ekologis secara teknis, tetapi juga etis
secara fundamental, karena ia berakar pada penghargaan terhadap kehidupan sebagai
dasar dari semua aktivitas ekonomi.
7.3.
Inspirasi Kosmologi
Tradisional dan Spiritualitas Ekologis
Selain bersumber dari filsafat lingkungan modern,
ekonomi regeneratif juga mendapatkan kekuatan dari kosmologi tradisional dan
spiritualitas lokal yang selama ini mempertahankan pandangan holistik
terhadap dunia. Banyak masyarakat adat telah sejak lama mengembangkan sistem
ekonomi yang selaras dengan ritme alam, seperti dalam konsep sumak kawsay
(kehidupan yang baik) di Andes, atau adat hutan di berbagai komunitas di
Nusantara.5
Kosmologi tradisional tersebut menegaskan bahwa
bumi adalah entitas hidup yang memiliki kehendak, memori, dan batas-batas
sakral. Dalam pandangan ini, tindakan ekonomi harus dijalankan dengan rasa
hormat, kesadaran spiritual, dan tanggung jawab antargenerasi. Oleh karena
itu, integrasi nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas ekologis merupakan
bagian penting dari konstruksi etika regeneratif yang menyeluruh.6
7.4.
Kritik terhadap
Rasionalisme Ekonomi Modern
Ekonomi regeneratif juga merupakan kritik filosofis
terhadap rasionalisme ekonomi modern yang terlampau menekankan pada
rasionalitas instrumental dan angka-angka kuantitatif (seperti pertumbuhan PDB
dan laba modal), namun mengabaikan dimensi eksistensial dan kultural dari
kehidupan.7 Dalam ekonomi regeneratif, pertumbuhan tidak dilihat
sebagai tujuan, melainkan sebagai proses perkembangan organik yang harus
mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan keutuhan sosial.
Dengan demikian, ekonomi regeneratif mengusulkan
model ekonomi yang berakar pada ontologi kehidupan, epistemologi sistemik,
dan etika kesalingterkaitan. Ini merupakan langkah besar dalam membangun
ekonomi yang bukan hanya berkelanjutan, tetapi juga bermakna secara
filosofis dan bermartabat secara etis.
Footnotes
[1]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980),
69–83.
[2]
J. Baird Callicott, “The Conceptual Foundations of
the Land Ethic,” in Companion to A Sand County Almanac, ed. J. Baird
Callicott (Madison: University of Wisconsin Press, 1987), 186–202.
[3]
Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought:
An Autobiography (New York: Henry Holt and Company, 1998), 156–157.
[4]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 280–286.
[5]
Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development
54, no. 4 (2011): 441–447.
[6]
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice,
Sustainability, and Peace (Cambridge, MA: South End Press, 2005), 42–48.
[7]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 46–49.
8.
Kesimpulan dan Rekomendasi
8.1.
Kesimpulan
Ekonomi regeneratif menghadirkan suatu paradigma
alternatif yang radikal dan komprehensif terhadap sistem ekonomi global
yang telah terbukti gagal menjaga keseimbangan ekologis dan keadilan sosial.
Sebagai pendekatan yang berakar pada prinsip sistem kehidupan, ekonomi
regeneratif menempatkan pemulihan dan peningkatan kapasitas hidup sebagai inti
dari aktivitas ekonomi. Ia menolak logika pertumbuhan linier yang eksploitatif
dan menggantinya dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang berorientasi pada
pemulihan (restoratif), keberagaman, keseimbangan, dan partisipasi
kolektif.1
Dari sisi filosofis dan etis, ekonomi regeneratif
menegaskan pentingnya ontologi relasional dan etika kehidupan,
yang mengakui bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian
dari jaringan kehidupan yang saling terkait dan saling bergantung. Dengan
demikian, keberhasilan ekonomi tidak diukur dari besarnya akumulasi modal,
tetapi dari kapasitasnya untuk memelihara kehidupan dan menciptakan keadilan.2
Melalui studi-studi kasus di berbagai
sektor—pertanian, energi, industri, dan tata kota—terlihat bahwa ekonomi
regeneratif bukanlah utopia, melainkan praktik nyata yang tengah
bertumbuh secara organik di berbagai belahan dunia. Proyek-proyek seperti
pertanian regeneratif di Kenya, pemulihan lahan di Australia, dan kerangka doughnut
economy di Amsterdam menunjukkan bahwa regenerasi ekologis dapat berjalan
seiring dengan pemberdayaan sosial dan inovasi ekonomi.3
Namun, di tengah potensi besarnya, ekonomi
regeneratif juga menghadapi tantangan serius, mulai dari hambatan struktural
dan kooptasi kapitalistik, hingga resistensi budaya dan epistemologis dari
paradigma ekonomi arus utama. Oleh karena itu, ekonomi regeneratif memerlukan komitmen
transformatif, baik dari pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta,
hingga institusi pendidikan, untuk mewujudkannya secara utuh dan berkelanjutan.4
8.2.
Rekomendasi
Berdasarkan uraian sebelumnya, berikut beberapa
rekomendasi untuk mempercepat transisi menuju ekonomi regeneratif yang adil dan
tangguh:
1)
Reformasi Paradigma dan Pendidikan Ekonomi
Sistem
pendidikan tinggi perlu memperluas horizon keilmuan ekonomi dengan memasukkan
pendekatan transdisipliner, systems thinking, serta dimensi etika dan
ekologis ke dalam kurikulum. Hal ini penting untuk membentuk generasi ekonom
yang tidak hanya piawai menghitung, tetapi juga mampu berpikir holistik dan
relasional.5
2)
Desain Kebijakan yang Inklusif dan Ekologis
Pemerintah
perlu mengembangkan kebijakan publik yang mendukung praktik regeneratif,
melalui insentif fiskal, pajak karbon, perlindungan terhadap lahan komunitas,
serta pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam menjaga ekosistemnya.6
3)
Penguatan Ekonomi Lokal dan Komunitas
Pembangunan
ekonomi regeneratif harus dimulai dari akar rumput—yaitu dari komunitas lokal
yang memiliki pengetahuan ekologis dan relasi sosial yang kuat. Dukungan
terhadap koperasi energi, pertanian komunitas, dan bisnis sosial harus
diperluas sebagai pilar ekonomi regeneratif.
4)
Demokratisasi Akses terhadap Sumber Daya dan Teknologi
Untuk
menghindari kesenjangan dan kolonialisme ekologis baru, akses terhadap teknologi
bersih, modal sosial, serta ruang partisipasi politik harus dibuka bagi semua,
terutama kelompok marginal di Global South.7
5)
Koordinasi Global dan Solidaritas Antarbangsa
Diperlukan
kerangka kerja internasional yang mendukung prinsip regeneratif lintas batas,
termasuk dalam hal perdagangan adil, pemulihan ekologis transnasional, serta
tanggung jawab kolektif dalam menghadapi krisis iklim global.
Penutup
Ekonomi regeneratif bukan sekadar solusi teknis,
melainkan jalan hidup baru yang berakar pada kesadaran akan keterhubungan semua
makhluk hidup. Dalam dunia yang semakin rapuh akibat krisis multidimensi,
regenerasi bukanlah pilihan tambahan, melainkan syarat mutlak bagi
keberlanjutan kehidupan. Oleh karena itu, sudah saatnya ekonomi diarahkan
bukan untuk menaklukkan alam, tetapi untuk menjaga dan merayakan kehidupan
bersama.
Footnotes
[1]
John Fullerton, Regenerative Capitalism: How
Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital
Institute, 2015), 7–14.
[2]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems
View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 332–340.
[3]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea
Green Publishing, 2017), 204–215.
[4]
Peter Dauvergne, Environmentalism of the Rich
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 120–125.
[5]
Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative
Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 276–282.
[6]
Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating
an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers,
2018), 151–162.
[7]
Ashish Kothari, Federico Demaria, and Arturo Escobar,
Pluriverse: A Post-Development Dictionary (New Delhi: Tulika Books,
2019), xxi–xxix.
Daftar Pustaka
Bauwens, P., Gotchev, B.,
& Holstenkamp, L. (2016). What drives the development of community energy
in Europe? The case of wind power cooperatives. Energy Research &
Social Science, 13, 136–147. https://doi.org/10.1016/j.erss.2015.12.016
Bollier, D. (2014). Think
like a commoner: A short introduction to the life of the commons. New
Society Publishers.
Callicott, J. B. (1987).
The conceptual foundations of the land ethic. In J. B. Callicott (Ed.), Companion
to A Sand County Almanac (pp. 186–202). University of Wisconsin Press.
Capra, F., & Luisi, P.
L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge
University Press.
Dauvergne, P. (2016). Environmentalism
of the rich. MIT Press.
Doughnut Economics Action
Lab. (2020). Amsterdam City Doughnut: A tool for transformative action.
https://doughnuteconomics.org
Fullerton, J. (2015). Regenerative
capitalism: How universal principles and patterns will shape our new economy.
Capital Institute.
Gudynas, E. (2011). Buen
Vivir: Today’s tomorrow. Development, 54(4), 441–447. https://doi.org/10.1057/dev.2011.86
Klein, N. (2014). This
changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Kothari, A., Demaria, F.,
& Escobar, A. (Eds.). (2019). Pluriverse: A post-development dictionary.
Tulika Books.
Lovins, H., Wallis, S.,
Wijkman, A., & Fullerton, J. (2018). A finer future: Creating an
economy in service to life. New Society Publishers.
Maathai, W. (2003). The
Green Belt Movement: Sharing the approach and the experience. Lantern
Books.
Mburu, G., Muturi, G. M.,
& Gichuki, N. N. (2014). Community-based approaches to sustainable land
management: The case of Green Belt Movement in Kenya. International Journal
of Environmental Studies, 71(3), 359–373. https://doi.org/10.1080/00207233.2014.891207
Merchant, C. (1980). The
death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. Harper
& Row.
Raworth, K. (2017). Doughnut
economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. Chelsea
Green Publishing.
Rhodes, C. J. (2017). The
imperative for regenerative agriculture. Science Progress, 100(1),
80–129. https://doi.org/10.3184/003685017X14876775256165
Savory, A., &
Butterfield, J. (2016). Holistic management: A commonsense revolution to
restore our environment (2nd ed.). Island Press.
Schweitzer, A. (1998). Out
of my life and thought: An autobiography (A. B. Lemke, Trans.). Henry Holt
and Company. (Original work published 1933)
Shiva, V. (2005). Earth
democracy: Justice, sustainability, and peace. South End Press.
Teague, W. R., Apfelbaum,
S., Lal, R., Kreuter, U. P., Rowntree, J., Davies, C. A., ... & Byck, P.
(2016). The role of ruminants in reducing agriculture’s carbon footprint in
North America. Journal of Soil and Water Conservation, 71(2), 156–164.
https://doi.org/10.2489/jswc.71.2.156
Wahl, D. C. (2016). Designing
regenerative cultures. Triarchy Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar