Sabtu, 12 April 2025

Ekonomi Regeneratif: Paradigma Baru untuk Keadilan Sosial dan Ketahanan Ekologis

Regenerative Economy

Paradigma Baru untuk Keadilan Sosial dan Ketahanan Ekologis


Alihkan ke: Ilmu Ekonomi.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep ekonomi regeneratif sebagai paradigma baru yang menjawab krisis ekologis dan ketimpangan sosial yang ditinggalkan oleh sistem ekonomi linear dan kapitalistik. Melalui pendekatan interdisipliner, artikel ini menguraikan definisi, prinsip dasar, dan pilar operasional ekonomi regeneratif yang berakar pada pandangan sistem kehidupan (living systems). Berbeda dari pendekatan ekonomi konvensional maupun ekonomi sirkular, ekonomi regeneratif mengedepankan prinsip restoratif, keseimbangan ekologis, keadilan sosial, serta partisipasi komunitas. Artikel ini juga menampilkan studi kasus implementasi di berbagai sektor—seperti pertanian, energi, industri, dan tata kota—yang menunjukkan bahwa ekonomi regeneratif tidak hanya mungkin, tetapi telah berhasil dijalankan dalam berbagai konteks lokal dan global. Selanjutnya, dibahas pula tantangan dan kritik terhadap pendekatan ini, mulai dari kooptasi kapitalistik hingga hambatan epistemologis. Dalam kerangka filsafat dan etika lingkungan, ekonomi regeneratif menegaskan pentingnya paradigma ekosentris dan etika kehidupan sebagai dasar moral dari sistem ekonomi masa depan. Artikel ini merekomendasikan perubahan paradigma, reformasi kebijakan, dan transformasi pendidikan ekonomi untuk mendorong transisi sistemik menuju peradaban yang adil, lestari, dan berpihak pada kehidupan.

Kata Kunci: Ekonomi Regeneratif; Keberlanjutan; Ekologi; Etika Lingkungan; Transformasi Sistem; Keadilan Sosial; Filsafat Ekonomi; Sistem Kehidupan.


PEMBAHASAN

Telaah Ekonomi Regeneratif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Selama beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan meningkatnya krisis ekologis dan sosial akibat penerapan sistem ekonomi global yang eksploitatif, terfragmentasi, dan cenderung merusak. Model ekonomi linear—yang berbasis pada prinsip "ambil, buat, buang"—telah mendorong eksploitasi sumber daya alam secara masif, menciptakan jejak karbon yang tidak terkendali, serta memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi antarwilayah dan antargenerasi. Laporan-laporan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi manusia menjadi penyebab utama dari perusakan ekosistem, pemanasan global, dan hilangnya keanekaragaman hayati secara cepat dan meluas.1

Dalam konteks tersebut, munculnya konsep ekonomi regeneratif menjadi respons terhadap kegagalan sistem ekonomi konvensional dalam menciptakan keberlanjutan yang sejati. Ekonomi regeneratif bukan sekadar transformasi teknis atau estetika dari sistem yang ada, tetapi merupakan pergeseran paradigma mendasar tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dan berinteraksi dengan alam sebagai sistem yang hidup dan saling terhubung.2 Konsep ini mengajak kita untuk memikirkan kembali relasi ekonomi bukan hanya dalam kerangka produksi dan konsumsi, tetapi juga dalam kerangka restorasi ekologi, keadilan sosial, dan pembangunan komunitas yang resilien.3

Perlu dipahami bahwa istilah “regeneratif” tidak hanya merujuk pada kemampuan untuk memperbaiki atau mengembalikan kerusakan lingkungan, tetapi lebih jauh lagi, mengacu pada sistem yang secara aktif meningkatkan kapasitas kehidupan, baik secara ekologis maupun sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh John Fullerton, ekonomi regeneratif berakar pada prinsip universal dari sistem hidup, seperti keberagaman, interdependensi, dan kemampuan untuk beradaptasi secara dinamis dalam menghadapi perubahan.4 Prinsip-prinsip tersebut merepresentasikan arah baru bagi pembangunan ekonomi global yang tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan, tetapi pada keselarasan antara manusia dan bumi.

Sebagai paradigma baru, ekonomi regeneratif juga menawarkan sintesis antara gagasan keberlanjutan (sustainability) dengan pendekatan holistik dan sistemik. Dalam pandangan Kate Raworth, paradigma ekonomi abad ke-21 harus mampu bergerak melampaui model ekonomi neoklasik yang mengabaikan batas-batas ekologis dan fondasi sosial. Model “donat” yang ia gagas menekankan bahwa sistem ekonomi harus beroperasi di antara dua batas: batas ekologis bumi dan dasar sosial kemanusiaan, sehingga kehidupan dapat berlangsung secara adil dan berkelanjutan bagi semua makhluk hidup.5

Mengingat urgensi dan kompleksitas tantangan global saat ini, pembahasan mengenai ekonomi regeneratif menjadi sangat relevan. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis pengertian, prinsip, penerapan, serta tantangan dari ekonomi regeneratif, sekaligus menyoroti relevansinya sebagai alternatif transformatif untuk mewujudkan keadilan sosial dan ketahanan ekologis di masa depan.


Footnotes

[1]                Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services (Bonn: IPBES Secretariat, 2019), 6–12.

[2]                John Fullerton, Regenerative Capitalism: How Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital Institute, 2015), 4–5.

[3]                Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 16–18.

[4]                Fullerton, Regenerative Capitalism, 6–9.

[5]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 39–44.


2.           Konsep Dasar Ekonomi Regeneratif

2.1.       Definisi dan Prinsip-Prinsip Umum

Ekonomi regeneratif adalah suatu pendekatan sistemik dalam merancang dan menjalankan aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat, memulihkan, dan memperbarui sistem kehidupan alam dan sosial secara berkelanjutan. Tidak seperti ekonomi linear yang bersifat ekstraktif dan berujung pada penumpukan limbah, ekonomi regeneratif berupaya menciptakan sistem yang menghasilkan lebih banyak kehidupan daripada yang dikonsumsinya.1 Ekonomi ini memandang bahwa kemakmuran sejati bukan diukur dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan dari kemampuan suatu sistem ekonomi untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan ekologis, kesejahteraan komunitas, serta keberagaman budaya dan biologis.2

Secara filosofis, ekonomi regeneratif berangkat dari pemahaman bahwa bumi adalah sistem hidup (living system) yang kompleks dan saling terhubung, bukan sekadar kumpulan sumber daya yang dapat dieksploitasi. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar ekonomi regeneratif mencakup pemikiran holistik, pendekatan sistemik, keanekaragaman, ketahanan adaptif, serta penghormatan terhadap batas-batas ekologis dan sosial.3 Dengan demikian, ekonomi regeneratif tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga mengakar dalam keadilan sosial dan keseimbangan relasi antara manusia dengan alam.

John Fullerton, salah satu penggagas utama konsep ini, menyusun delapan prinsip universal yang menjadi landasan ekonomi regeneratif. Prinsip-prinsip tersebut mencakup:

1)                  Hakikat hidup sebagai sistem holistik dan saling terhubung,

2)                  Keseimbangan dalam keragaman,

3)                  Ketahanan adaptif,

4)                  Keadilan komunitas,

5)                  Pertumbuhan yang saling menguatkan,

6)                  Peran penting dari informasi dan transparansi,

7)                  Circularity energi dan sumber daya, serta

8)                  Inklusivitas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.4

Prinsip-prinsip ini tidak bersifat teknokratis, melainkan menyentuh ranah nilai, etika, dan tatanan sosial.

2.2.       Perbandingan dengan Model Ekonomi Lain

Dalam lanskap teori ekonomi kontemporer, ekonomi regeneratif memiliki kedekatan dengan dua model transformatif lainnya, yakni ekonomi sirkular (circular economy) dan ekonomi berkelanjutan (sustainable economy). Namun, ekonomi regeneratif berbeda secara fundamental dalam aspek tujuannya. Jika ekonomi sirkular berfokus pada efisiensi dan daur ulang untuk meminimalkan limbah, maka ekonomi regeneratif bertujuan menciptakan sistem ekonomi yang memperkaya dan memperbaiki kehidupan itu sendiri.5 Dalam hal ini, ekonomi regeneratif bukan hanya tentang "mengurangi dampak", tetapi tentang "menghasilkan dampak positif".

Lebih lanjut, Kate Raworth dalam Doughnut Economics mengajukan kerangka visual yang merepresentasikan prinsip-prinsip ekonomi regeneratif dalam bentuk dua batasan: batas ekologis (ceiling) dan fondasi sosial (social foundation). Menurutnya, ekonomi yang sehat harus beroperasi dalam ruang aman dan adil bagi umat manusia—tidak merusak ekosistem, dan tidak membiarkan ada satu pun orang tertinggal dalam pemenuhan hak dasarnya.6 Model ini menekankan bahwa keberlanjutan tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial, suatu prinsip sentral dalam ekonomi regeneratif.

Dengan demikian, ekonomi regeneratif tidak hanya menawarkan pendekatan teknis untuk menyelesaikan krisis lingkungan, tetapi juga menyediakan kerangka normatif untuk mendesain ulang tatanan ekonomi global berdasarkan prinsip-prinsip etika, keadilan, dan kehidupan bersama. Ia merupakan kritik sekaligus koreksi terhadap reduksionisme ekonomi arus utama yang mendewakan pertumbuhan, efisiensi, dan eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan daya dukung bumi dan martabat manusia.


Footnotes

[1]                Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 16–20.

[2]                Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers, 2018), 45–49.

[3]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 336–339.

[4]                John Fullerton, Regenerative Capitalism: How Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital Institute, 2015), 8–13.

[5]                Martin Geissdoerfer et al., “The Circular Economy – A New Sustainability Paradigm?” Journal of Cleaner Production 143 (2017): 759–765.

[6]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 44–53.


3.           Pilar dan Prinsip Operasional Ekonomi Regeneratif

3.1.       Prinsip-Prinsip Universal Ekonomi Regeneratif

Ekonomi regeneratif dibangun di atas landasan filosofis dan ilmiah yang mengakui bahwa sistem ekonomi adalah bagian integral dari sistem kehidupan yang lebih luas. Dalam konteks ini, John Fullerton—pendiri Capital Institute—merumuskan delapan prinsip universal yang menjadi acuan utama dalam mendesain sistem ekonomi yang regeneratif. Prinsip-prinsip ini bukan sekadar instrumen kebijakan, tetapi merupakan kerangka etik dan ekologis yang bersifat sistemik dan lintas sektor.1

1)                  In Right Relationship (Hubungan yang Benar)

Menempatkan ekonomi dalam konteks keterhubungannya dengan manusia, masyarakat, dan biosfer. Ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi harus beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem-sistem kehidupan lainnya.2

2)                  Views Wealth Holistically (Pandangan Holistik terhadap Kekayaan)

Kekayaan tidak hanya dipahami sebagai akumulasi modal finansial, tetapi juga mencakup kekayaan sosial, budaya, ekologis, dan spiritual. Sistem regeneratif menghargai keberagaman bentuk kekayaan yang menopang kehidupan secara utuh.

3)                  Innovative, Adaptive, Responsive (Inovatif dan Adaptif)

Sistem ekonomi regeneratif harus mampu berkembang dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan sosial. Fleksibilitas ini meniru karakteristik sistem kehidupan yang tangguh (resilient).3

4)                  Empowered Participation (Partisipasi yang Diberdayakan)

Prinsip ini menekankan keterlibatan aktif dan bermakna dari semua pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga tercipta keadilan distribusi dan inklusivitas dalam sistem ekonomi.4

5)                  Honors Community and Place (Menghormati Komunitas dan Tempat)

Sistem ekonomi yang regeneratif selalu berbasis tempat (place-based) dan memperkuat ikatan sosial serta kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya.

6)                  Edge Effect Abundance (Kelimpahan dari Keberagaman dan Perbatasan)

Dalam ekologi, batas antar sistem biologis sering kali menjadi wilayah paling subur. Prinsip ini mengajarkan bahwa keberagaman dan interaksi antar sistem menghasilkan inovasi dan ketahanan.

7)                  Robust Circulatory Flow (Sirkulasi Energi dan Sumber Daya yang Sehat)

Mengganti paradigma ekstraksi dan pembuangan dengan sistem sirkulasi sumber daya (energi, air, bahan baku) yang memperkuat kehidupan, bukan mengurasnya.5

8)                  Seeks Balance (Mencari Keseimbangan)

Prinsip ini menyarankan bahwa sistem ekonomi regeneratif harus mencari keseimbangan antara efisiensi dan redundansi, pertumbuhan dan stabilitas, serta eksplorasi dan konservasi.

Prinsip-prinsip tersebut menunjukkan bahwa ekonomi regeneratif bersifat interdisipliner, etis, dan berorientasi pada kehidupan. Ia bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga visi peradaban baru yang berakar pada prinsip ekologi dan spiritualitas relasional.

3.2.       Penerapan Prinsip Regeneratif dalam Skala Mikro dan Makro

Secara operasional, prinsip-prinsip di atas dapat diterapkan pada berbagai skala, mulai dari unit mikro seperti perusahaan dan komunitas lokal, hingga level makro seperti kebijakan nasional dan arsitektur ekonomi global. Dalam konteks mikro, praktik ekonomi regeneratif tercermin dalam model perusahaan regeneratif (regenerative enterprise) yang tidak hanya mengejar profit, tetapi juga mengukur keberhasilannya melalui dampak positif terhadap komunitas dan lingkungan. Contohnya adalah penerapan triple bottom line yang menggabungkan dimensi people, planet, profit, bahkan lebih lanjut dengan prinsip regeneration.6

Di sisi makro, penerapan ekonomi regeneratif menuntut reformasi kebijakan fiskal, insentif pasar, serta desain ulang indikator pembangunan. Banyak negara dan kota telah mulai bereksperimen dengan pendekatan ini, seperti model Doughnut yang diadopsi oleh kota Amsterdam, yang mengintegrasikan batas ekologis dan fondasi sosial ke dalam strategi pembangunan kota.7

Prinsip operasional ini juga diperkuat dengan pendekatan systems thinking, sebagaimana dijelaskan oleh Fritjof Capra, yang menekankan pentingnya melihat dunia sebagai jaringan hubungan yang dinamis dan saling terkait, bukan sebagai entitas mekanistik yang terpisah.8 Dengan demikian, ekonomi regeneratif merupakan upaya menyusun ulang sistem ekonomi agar selaras dengan pola dan prinsip yang ditemukan dalam alam itu sendiri.


Footnotes

[1]                John Fullerton, Regenerative Capitalism: How Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital Institute, 2015), 7–14.

[2]                Ibid., 8.

[3]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 394–400.

[4]                Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 102–108.

[5]                Fullerton, Regenerative Capitalism, 12–13.

[6]                Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers, 2018), 120–128.

[7]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 198–204.

[8]                Capra and Luisi, The Systems View of Life, 335–337.


4.           Implementasi Ekonomi Regeneratif dalam Berbagai Sektor

Implementasi ekonomi regeneratif tidak hanya terbatas pada tingkat konsep dan teori, melainkan telah diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan dengan pendekatan yang kontekstual dan berbasis sistem. Prinsip-prinsip regeneratif menjadi kerangka operasional dalam mendesain ulang cara produksi, konsumsi, dan distribusi dalam bidang pertanian, energi, industri, serta perencanaan kota dan wilayah. Berikut ini adalah uraian tentang penerapan nyata ekonomi regeneratif dalam beberapa sektor strategis.

4.1.       Pertanian Regeneratif (Regenerative Agriculture)

Sektor pertanian merupakan salah satu medan utama dari penerapan ekonomi regeneratif, terutama dalam menghadapi krisis degradasi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan emisi karbon dari praktik agrikultur industri. Pertanian regeneratif merupakan pendekatan holistik dalam pengelolaan pertanian yang bertujuan untuk membangun kembali kesuburan tanah, meningkatkan kapasitas serapan karbon, serta memperkuat sistem pangan lokal yang berkeadilan.1 Praktik-praktik dalam pertanian regeneratif mencakup penanaman tanaman penutup (cover crops), rotasi tanaman, penggembalaan adaptif, dan pengurangan input sintetis.

Menurut studi Christopher J. Rhodes, pertanian regeneratif terbukti mampu meningkatkan soil organic carbon (SOC), memperkuat biodiversitas mikroba tanah, dan memitigasi dampak perubahan iklim secara signifikan.2 Selain itu, model ini memperkuat kedaulatan pangan dan memperkecil ketergantungan petani terhadap perusahaan agrikultur besar yang mengeksploitasi input pertanian berbasis kimia.

4.2.       Energi dan Infrastruktur

Ekonomi regeneratif dalam sektor energi menekankan pada pengembangan energi terbarukan yang terdesentralisasi dan berbasis komunitas, bukan hanya transisi dari energi fosil ke energi hijau. Transisi energi regeneratif tidak hanya mengejar efisiensi teknologis, tetapi juga memperhitungkan dimensi sosial-ekologis dari produksi dan distribusi energi.3

Sebagai contoh, berbagai komunitas di Jerman melalui inisiatif Energiegenossenschaften (koperasi energi) telah menunjukkan bahwa pengelolaan energi surya dan angin secara kolektif oleh masyarakat dapat meningkatkan kemandirian energi sekaligus memperkuat ekonomi lokal.4 Pendekatan ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga demokratis dan inklusif.

4.3.       Industri dan Dunia Usaha

Dalam dunia usaha, ekonomi regeneratif diwujudkan melalui pembentukan perusahaan regeneratif yang mendesain seluruh proses bisnisnya berdasarkan prinsip sistem hidup. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga berkomitmen terhadap kesehatan ekosistem dan keberdayaan komunitas.

Model bisnis regeneratif sering kali mengadopsi kerangka B Corporation, yaitu entitas bisnis yang secara legal terikat untuk mempertimbangkan dampak keputusan mereka terhadap pekerja, pelanggan, komunitas, dan lingkungan.5 Prinsip seperti net-positive impact, closed-loop production, dan stakeholder capitalism menjadi pedoman dalam operasional perusahaan regeneratif.

4.4.       Perencanaan Kota dan Wilayah

Di sektor tata kota dan perencanaan wilayah, ekonomi regeneratif mendorong lahirnya ekonomi lokal yang resilien, inklusif, dan berbasis ekologi. Kota tidak hanya dilihat sebagai pusat ekonomi dan konsumsi, tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang terintegrasi dengan alam. Contoh paling menonjol adalah penerapan kerangka Doughnut Economy di kota Amsterdam, yang secara eksplisit memasukkan batas ekologis dan keadilan sosial ke dalam kebijakan pembangunan kota.6

Pendekatan ini memadukan analisis ekologi perkotaan, perencanaan partisipatif, dan transisi energi sebagai satu kesatuan sistem. Dengan demikian, ekonomi regeneratif dalam konteks urban bukan hanya tentang green city, tetapi tentang living city—kota yang hidup, menyembuhkan, dan memperkuat kehidupan manusia dan alam secara bersama.


Kesimpulan Antarsektor

Dari berbagai contoh di atas, terlihat bahwa implementasi ekonomi regeneratif bersifat lintas sektoral dan berbasis konteks. Kunci keberhasilannya bukan hanya pada inovasi teknologi atau insentif pasar, tetapi pada perubahan paradigma: dari ekonomi yang eksploitatif dan linier menuju ekonomi yang melindungi, memperbaiki, dan memperkaya kehidupan. Ekonomi regeneratif, dalam wujudnya yang paling konkret, menjadi praxis ekologis yang menegaskan bahwa ekonomi dan ekologi tidak saling bertentangan, melainkan saling memperkuat dalam sistem kehidupan yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 127–132.

[2]                Christopher J. Rhodes, “The Imperative for Regenerative Agriculture,” Science Progress 100, no. 1 (2017): 80–129.

[3]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 391–395.

[4]                P. Bauwens, B. Gotchev, and L. Holstenkamp, “What Drives the Development of Community Energy in Europe? The Case of Wind Power Cooperatives,” Energy Research & Social Science 13 (2016): 136–147.

[5]                Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers, 2018), 132–138.

[6]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 204–210.


5.           Studi Kasus dan Praktik Nyata

Ekonomi regeneratif tidak hanya hadir sebagai kerangka konseptual, tetapi telah menjelma dalam berbagai praktik nyata di lapangan yang menunjukkan keberhasilannya dalam memulihkan ekosistem, memberdayakan masyarakat lokal, serta membangun model ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Studi-studi kasus berikut menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip regeneratif dapat diimplementasikan secara kontekstual di berbagai wilayah dunia, baik di negara berkembang (Global South) maupun negara maju (Global North).

5.1.       Ladang Pertanian Regeneratif di Kenya: Restorasi Ekologi dan Keadilan Sosial

Salah satu contoh menonjol dari penerapan ekonomi regeneratif di Global South adalah proyek regenerative agriculture yang dilakukan oleh organisasi Green Belt Movement di Kenya, diprakarsai oleh peraih Nobel Perdamaian Wangari Maathai. Program ini tidak hanya bertujuan menanam pohon dan merehabilitasi lahan yang rusak, tetapi juga memperkuat peran perempuan dalam mengelola lingkungan dan ekonomi komunitas.1

Melalui pendekatan agroekologi berbasis masyarakat, lahan-lahan tandus direstorasi menjadi kawasan pertanian produktif, meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi erosi, serta meningkatkan ketahanan pangan lokal. Dalam studi yang dilakukan oleh Gathuru Mburu dan kawan-kawan, praktik-praktik ini secara nyata meningkatkan biodiversitas, menyimpan karbon dalam tanah, serta menghasilkan pendapatan baru bagi petani kecil, khususnya perempuan.2 Dengan kata lain, pendekatan regeneratif ini membangun keseimbangan antara keadilan ekologis dan keadilan gender.

5.2.       Ekonomi Regeneratif di Australia: Proyek Pemulihan Lahan di Savory Institute

Australia menghadapi tantangan besar dalam bentuk degradasi lahan dan kekeringan. Menanggapi hal tersebut, Savory Institute mengembangkan proyek pemulihan padang rumput melalui metode Holistic Planned Grazing—sebuah teknik penggembalaan adaptif yang meniru pergerakan hewan liar secara alami untuk memulihkan siklus air dan nutrisi tanah.3

Studi longitudinal menunjukkan bahwa metode ini berhasil memulihkan vegetasi asli, meningkatkan kapasitas tanah dalam menyerap air, dan meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan.4 Lebih jauh lagi, proyek ini membuktikan bahwa pemulihan ekologis dan keuntungan ekonomi tidak harus saling bertentangan, melainkan bisa berjalan berdampingan ketika manajemen lahan dilakukan berdasarkan prinsip ekosistem hidup.

5.3.       Amsterdam dan Model Doughnut Economy: Regenerasi Urban di Global North

Di wilayah Global North, kota Amsterdam di Belanda menjadi pionir dalam menerapkan kerangka Doughnut Economics sebagai dasar kebijakan pembangunan kota. Pada tahun 2020, Amsterdam mengadopsi model ini untuk mengarahkan strategi pembangunan pasca-COVID-19 dengan prinsip bahwa setiap kebijakan harus menjaga keseimbangan antara batas ekologis global dan fondasi sosial lokal.5

Dalam implementasinya, kota ini menerapkan prinsip circular design dalam industri konstruksi, memprioritaskan penggunaan material daur ulang, mengurangi limbah, serta menciptakan sistem transportasi berbasis energi bersih. Di bidang sosial, kota ini mengembangkan inisiatif perumahan terjangkau dan distribusi pangan yang adil berbasis komunitas. Dalam evaluasi yang dilakukan oleh Doughnut Economics Action Lab (DEAL), pendekatan ini berhasil menciptakan kebijakan lintas sektor yang kolaboratif, regeneratif, dan berorientasi pada kehidupan manusia serta bumi.6

5.4.       Analisis Dampak dan Pembelajaran Global

Ketiga studi kasus di atas mengungkapkan bahwa praktik ekonomi regeneratif:

·                     Efektif dalam memulihkan ekosistem yang rusak, baik di pedesaan maupun perkotaan;

·                     Menghasilkan dampak sosial yang signifikan, termasuk penguatan ekonomi komunitas, peran perempuan, dan demokratisasi akses terhadap sumber daya;

·                     Bersifat kontekstual, artinya menyesuaikan prinsip-prinsip regeneratif dengan ekosistem lokal, budaya masyarakat, dan struktur sosial-politik setempat.

Selain itu, pendekatan regeneratif menekankan pentingnya kolaborasi lintas aktor: masyarakat sipil, pemerintah lokal, sektor swasta, dan lembaga penelitian. Dengan cara ini, regenerasi tidak hanya menjadi proyek lingkungan, tetapi gerakan sosial dan ekonomi yang transformatif.


Footnotes

[1]                Wangari Maathai, The Green Belt Movement: Sharing the Approach and the Experience (New York: Lantern Books, 2003), 21–36.

[2]                Gathuru Mburu et al., “Community-Based Approaches to Sustainable Land Management: The Case of Green Belt Movement in Kenya,” International Journal of Environmental Studies 71, no. 3 (2014): 359–373.

[3]                Allan Savory and Jody Butterfield, Holistic Management: A Commonsense Revolution to Restore Our Environment (Washington, DC: Island Press, 2016), 154–168.

[4]                T. Teague et al., “The Role of Ruminants in Reducing Agriculture’s Carbon Footprint in North America,” Journal of Soil and Water Conservation 71, no. 2 (2016): 156–164.

[5]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 210–215.

[6]                Doughnut Economics Action Lab (DEAL), “Amsterdam City Doughnut: A Tool for Transformative Action,” 2020, https://doughnuteconomics.org.


6.           Tantangan dan Kritik terhadap Ekonomi Regeneratif

Meskipun ekonomi regeneratif menawarkan pendekatan inovatif dan holistik untuk menyelesaikan krisis ekologis dan sosial, implementasinya tidak lepas dari berbagai tantangan struktural, politik, dan epistemologis. Selain itu, kritik juga muncul dari kalangan akademisi dan aktivis yang menyoroti kemungkinan kooptasi ide regeneratif oleh sistem kapitalisme itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mewujudkan transformasi sistemik yang sesungguhnya, penting untuk memahami secara kritis keterbatasan dan hambatan yang dihadapi ekonomi regeneratif.

6.1.       Tantangan Implementasi Struktural

Salah satu tantangan utama dalam implementasi ekonomi regeneratif adalah keberadaan struktur ekonomi-politik global yang masih dikuasai oleh paradigma kapitalistik dan ekstraktif. Sistem insentif fiskal, subsidi energi fosil, serta model pertumbuhan ekonomi berbasis PDB masih menjadi kerangka dominan dalam kebijakan nasional dan internasional.1 Dalam konteks ini, pendekatan regeneratif sering kali terhambat oleh ketidaksesuaian dengan sistem regulasi, infrastruktur pasar, dan sistem keuangan yang belum mendukung inovasi regeneratif.

Selain itu, terdapat tantangan teknologi dan pembiayaan, terutama di negara-negara berkembang, di mana keterbatasan sumber daya dan akses terhadap teknologi ramah lingkungan masih menjadi kendala serius.2 Banyak komunitas lokal memiliki kapasitas sosial dan ekologi yang kuat, tetapi kekurangan dukungan kelembagaan dan modal untuk mengembangkan sistem regeneratif secara berkelanjutan.

6.2.       Risiko Kooptasi oleh Kapitalisme Hijau

Kritik tajam terhadap ekonomi regeneratif datang dari kalangan kritis yang memperingatkan akan bahaya kooptasi konsep regeneratif oleh apa yang disebut sebagai “kapitalisme hijau” (green capitalism). Dalam kritik ini, perusahaan-perusahaan besar dapat mengadopsi istilah “regeneratif” secara dangkal, sebagai bagian dari strategi greenwashing atau pemolesan citra lingkungan, tanpa mengubah secara fundamental struktur eksploitasi dan ketimpangan yang mereka ciptakan.3

Sebagaimana dikemukakan oleh David Bollier, terdapat risiko bahwa “narasi regeneratif” hanya menjadi kosmetik retoris yang digunakan untuk mempertahankan dominasi pasar dan sistem kepemilikan privat atas sumber daya bersama (commons).4 Maka dari itu, pendekatan regeneratif yang sejati harus berakar pada transformasi nilai, struktur kepemilikan, dan penguatan demokrasi ekonomi, bukan sekadar inovasi teknis dalam bisnis-as-usual.

6.3.       Hambatan Epistemologis dan Budaya

Selain tantangan struktural dan kooptasi, ekonomi regeneratif juga menghadapi hambatan epistemologis, yaitu dominasi paradigma mekanistik-reduksionistik dalam ilmu ekonomi arus utama. Paradigma ini cenderung melihat ekonomi sebagai sistem tertutup yang dapat dikalkulasi secara linear dan statis, padahal sistem kehidupan bersifat dinamis, kompleks, dan adaptif.5

Fritjof Capra menunjukkan bahwa pergeseran menuju ekonomi regeneratif memerlukan transformasi cara berpikir, dari cara pandang fragmentatif menuju systems thinking dan kosmologi relasional.6 Namun, perubahan paradigma ini seringkali sulit diterima dalam sistem pendidikan dan kelembagaan ekonomi modern yang masih mengandalkan kurikulum dan indikator kuantitatif semata.

6.4.       Kesenjangan Akses dan Ketidakmerataan Global

Ekonomi regeneratif juga dihadapkan pada realitas global yang timpang. Banyak praktik regeneratif berkembang di kawasan Global North dengan sumber daya, teknologi, dan kapasitas kelembagaan yang memadai, sementara komunitas di Global South masih bergelut dengan krisis multidimensi. Jika tidak diantisipasi, hal ini berisiko menciptakan "kolonialisme ekologis baru", di mana narasi dan praktik regeneratif yang dikembangkan di Utara justru mendominasi arah transisi global, tanpa mengakui pengetahuan lokal dan inisiatif masyarakat adat yang telah lama menerapkan prinsip hidup yang regeneratif.7

Oleh karena itu, pembangunan ekonomi regeneratif yang adil harus memastikan partisipasi setara, pengakuan terhadap kearifan lokal, dan distribusi sumber daya yang merata.


Kesimpulan Sementara

Tantangan dan kritik terhadap ekonomi regeneratif bukanlah alasan untuk menolaknya, tetapi justru menjadi panggilan untuk memperdalam, memperluas, dan memurnikan pendekatan ini dari kooptasi dan bias struktural. Agar ekonomi regeneratif menjadi transformatif, dibutuhkan komitmen serius untuk perubahan nilai, tata kelola, dan kerangka epistemologis yang lebih inklusif dan berpihak pada kehidupan.


Footnotes

[1]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 77–85.

[2]                Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers, 2018), 151–154.

[3]                Peter Dauvergne, Environmentalism of the Rich (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 112–118.

[4]                David Bollier, Think Like a Commoner: A Short Introduction to the Life of the Commons (Gabriola Island: New Society Publishers, 2014), 65–70.

[5]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 26–31.

[6]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 273–278.

[7]                Ashish Kothari, Federico Demaria, and Arturo Escobar, Pluriverse: A Post-Development Dictionary (New Delhi: Tulika Books, 2019), xxv–xxvii.


7.           Ekonomi Regeneratif dalam Kerangka Filsafat dan Etika Lingkungan

Ekonomi regeneratif tidak hanya merupakan alternatif teknis terhadap model ekonomi konvensional, tetapi juga mencerminkan suatu transformasi filosofis dan etis tentang relasi antara manusia, alam, dan kehidupan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, ekonomi regeneratif melampaui batasan ekonomi sebagai ilmu rasional tentang alokasi sumber daya, dan masuk ke dalam wilayah filsafat lingkungan dan etika ekologis yang lebih dalam. Ia mengundang kita untuk merefleksikan kembali makna kemakmuran, nilai kehidupan, dan posisi manusia dalam tatanan kosmik.

7.1.       Paradigma Ekosentrisme dan Relasi Manusia-Alam

Dalam sejarah filsafat Barat, relasi antara manusia dan alam sering kali dibangun dalam kerangka antroposentrisme, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa atas alam. Pandangan ini berakar sejak zaman modern, terutama melalui warisan filsafat Descartes dan Bacon, yang menganggap alam sebagai objek mati yang dapat dimanipulasi demi kepentingan manusia.1

Sebaliknya, ekonomi regeneratif selaras dengan paradigma ekosentrisme, yaitu pandangan yang mengakui nilai intrinsik dari seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis, terlepas dari manfaatnya bagi manusia. Dalam paradigma ini, manusia tidak berada di atas alam, melainkan sebagai bagian dari jejaring kehidupan yang saling bergantung dan berinteraksi secara dinamis.2 Ekonomi regeneratif, dengan demikian, memperlakukan alam bukan sebagai "sumber daya", tetapi sebagai mitra hidup yang harus dijaga, dipulihkan, dan dihormati.

7.2.       Prinsip Kehidupan sebagai Nilai Etis Tertinggi

Dalam kerangka etika lingkungan, ekonomi regeneratif memprioritaskan kehidupan (life-centered ethics) sebagai prinsip etis tertinggi. Hal ini selaras dengan pemikiran Albert Schweitzer tentang "reverence for life", yaitu bahwa segala bentuk kehidupan memiliki hak untuk eksis dan berkembang.3 Etika ini menolak logika utilitarian semata dan menuntut tanggung jawab moral manusia terhadap semua makhluk hidup.

Fritjof Capra menjelaskan bahwa sistem kehidupan beroperasi bukan berdasarkan kontrol hierarkis, melainkan koordinasi jaringan, di mana nilai utama bukan efisiensi atau akumulasi, tetapi keseimbangan, keberagaman, dan keberlanjutan.4 Dengan demikian, ekonomi regeneratif bukan hanya bersifat ekologis secara teknis, tetapi juga etis secara fundamental, karena ia berakar pada penghargaan terhadap kehidupan sebagai dasar dari semua aktivitas ekonomi.

7.3.       Inspirasi Kosmologi Tradisional dan Spiritualitas Ekologis

Selain bersumber dari filsafat lingkungan modern, ekonomi regeneratif juga mendapatkan kekuatan dari kosmologi tradisional dan spiritualitas lokal yang selama ini mempertahankan pandangan holistik terhadap dunia. Banyak masyarakat adat telah sejak lama mengembangkan sistem ekonomi yang selaras dengan ritme alam, seperti dalam konsep sumak kawsay (kehidupan yang baik) di Andes, atau adat hutan di berbagai komunitas di Nusantara.5

Kosmologi tradisional tersebut menegaskan bahwa bumi adalah entitas hidup yang memiliki kehendak, memori, dan batas-batas sakral. Dalam pandangan ini, tindakan ekonomi harus dijalankan dengan rasa hormat, kesadaran spiritual, dan tanggung jawab antargenerasi. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas ekologis merupakan bagian penting dari konstruksi etika regeneratif yang menyeluruh.6

7.4.       Kritik terhadap Rasionalisme Ekonomi Modern

Ekonomi regeneratif juga merupakan kritik filosofis terhadap rasionalisme ekonomi modern yang terlampau menekankan pada rasionalitas instrumental dan angka-angka kuantitatif (seperti pertumbuhan PDB dan laba modal), namun mengabaikan dimensi eksistensial dan kultural dari kehidupan.7 Dalam ekonomi regeneratif, pertumbuhan tidak dilihat sebagai tujuan, melainkan sebagai proses perkembangan organik yang harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan keutuhan sosial.

Dengan demikian, ekonomi regeneratif mengusulkan model ekonomi yang berakar pada ontologi kehidupan, epistemologi sistemik, dan etika kesalingterkaitan. Ini merupakan langkah besar dalam membangun ekonomi yang bukan hanya berkelanjutan, tetapi juga bermakna secara filosofis dan bermartabat secara etis.


Footnotes

[1]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 69–83.

[2]                J. Baird Callicott, “The Conceptual Foundations of the Land Ethic,” in Companion to A Sand County Almanac, ed. J. Baird Callicott (Madison: University of Wisconsin Press, 1987), 186–202.

[3]                Albert Schweitzer, Out of My Life and Thought: An Autobiography (New York: Henry Holt and Company, 1998), 156–157.

[4]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 280–286.

[5]                Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development 54, no. 4 (2011): 441–447.

[6]                Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (Cambridge, MA: South End Press, 2005), 42–48.

[7]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 46–49.


8.           Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1.       Kesimpulan

Ekonomi regeneratif menghadirkan suatu paradigma alternatif yang radikal dan komprehensif terhadap sistem ekonomi global yang telah terbukti gagal menjaga keseimbangan ekologis dan keadilan sosial. Sebagai pendekatan yang berakar pada prinsip sistem kehidupan, ekonomi regeneratif menempatkan pemulihan dan peningkatan kapasitas hidup sebagai inti dari aktivitas ekonomi. Ia menolak logika pertumbuhan linier yang eksploitatif dan menggantinya dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang berorientasi pada pemulihan (restoratif), keberagaman, keseimbangan, dan partisipasi kolektif.1

Dari sisi filosofis dan etis, ekonomi regeneratif menegaskan pentingnya ontologi relasional dan etika kehidupan, yang mengakui bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang saling terkait dan saling bergantung. Dengan demikian, keberhasilan ekonomi tidak diukur dari besarnya akumulasi modal, tetapi dari kapasitasnya untuk memelihara kehidupan dan menciptakan keadilan.2

Melalui studi-studi kasus di berbagai sektor—pertanian, energi, industri, dan tata kota—terlihat bahwa ekonomi regeneratif bukanlah utopia, melainkan praktik nyata yang tengah bertumbuh secara organik di berbagai belahan dunia. Proyek-proyek seperti pertanian regeneratif di Kenya, pemulihan lahan di Australia, dan kerangka doughnut economy di Amsterdam menunjukkan bahwa regenerasi ekologis dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan sosial dan inovasi ekonomi.3

Namun, di tengah potensi besarnya, ekonomi regeneratif juga menghadapi tantangan serius, mulai dari hambatan struktural dan kooptasi kapitalistik, hingga resistensi budaya dan epistemologis dari paradigma ekonomi arus utama. Oleh karena itu, ekonomi regeneratif memerlukan komitmen transformatif, baik dari pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, hingga institusi pendidikan, untuk mewujudkannya secara utuh dan berkelanjutan.4

8.2.       Rekomendasi

Berdasarkan uraian sebelumnya, berikut beberapa rekomendasi untuk mempercepat transisi menuju ekonomi regeneratif yang adil dan tangguh:

1)                  Reformasi Paradigma dan Pendidikan Ekonomi

Sistem pendidikan tinggi perlu memperluas horizon keilmuan ekonomi dengan memasukkan pendekatan transdisipliner, systems thinking, serta dimensi etika dan ekologis ke dalam kurikulum. Hal ini penting untuk membentuk generasi ekonom yang tidak hanya piawai menghitung, tetapi juga mampu berpikir holistik dan relasional.5

2)                  Desain Kebijakan yang Inklusif dan Ekologis

Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan publik yang mendukung praktik regeneratif, melalui insentif fiskal, pajak karbon, perlindungan terhadap lahan komunitas, serta pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam menjaga ekosistemnya.6

3)                  Penguatan Ekonomi Lokal dan Komunitas

Pembangunan ekonomi regeneratif harus dimulai dari akar rumput—yaitu dari komunitas lokal yang memiliki pengetahuan ekologis dan relasi sosial yang kuat. Dukungan terhadap koperasi energi, pertanian komunitas, dan bisnis sosial harus diperluas sebagai pilar ekonomi regeneratif.

4)                  Demokratisasi Akses terhadap Sumber Daya dan Teknologi

Untuk menghindari kesenjangan dan kolonialisme ekologis baru, akses terhadap teknologi bersih, modal sosial, serta ruang partisipasi politik harus dibuka bagi semua, terutama kelompok marginal di Global South.7

5)                  Koordinasi Global dan Solidaritas Antarbangsa

Diperlukan kerangka kerja internasional yang mendukung prinsip regeneratif lintas batas, termasuk dalam hal perdagangan adil, pemulihan ekologis transnasional, serta tanggung jawab kolektif dalam menghadapi krisis iklim global.


Penutup

Ekonomi regeneratif bukan sekadar solusi teknis, melainkan jalan hidup baru yang berakar pada kesadaran akan keterhubungan semua makhluk hidup. Dalam dunia yang semakin rapuh akibat krisis multidimensi, regenerasi bukanlah pilihan tambahan, melainkan syarat mutlak bagi keberlanjutan kehidupan. Oleh karena itu, sudah saatnya ekonomi diarahkan bukan untuk menaklukkan alam, tetapi untuk menjaga dan merayakan kehidupan bersama.


Footnotes

[1]                John Fullerton, Regenerative Capitalism: How Universal Principles and Patterns Will Shape Our New Economy (Capital Institute, 2015), 7–14.

[2]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 332–340.

[3]                Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2017), 204–215.

[4]                Peter Dauvergne, Environmentalism of the Rich (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 120–125.

[5]                Daniel Christian Wahl, Designing Regenerative Cultures (Axminster: Triarchy Press, 2016), 276–282.

[6]                Hunter Lovins et al., A Finer Future: Creating an Economy in Service to Life (Gabriola Island: New Society Publishers, 2018), 151–162.

[7]                Ashish Kothari, Federico Demaria, and Arturo Escobar, Pluriverse: A Post-Development Dictionary (New Delhi: Tulika Books, 2019), xxi–xxix.


Daftar Pustaka

Bauwens, P., Gotchev, B., & Holstenkamp, L. (2016). What drives the development of community energy in Europe? The case of wind power cooperatives. Energy Research & Social Science, 13, 136–147. https://doi.org/10.1016/j.erss.2015.12.016

Bollier, D. (2014). Think like a commoner: A short introduction to the life of the commons. New Society Publishers.

Callicott, J. B. (1987). The conceptual foundations of the land ethic. In J. B. Callicott (Ed.), Companion to A Sand County Almanac (pp. 186–202). University of Wisconsin Press.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.

Dauvergne, P. (2016). Environmentalism of the rich. MIT Press.

Doughnut Economics Action Lab. (2020). Amsterdam City Doughnut: A tool for transformative action. https://doughnuteconomics.org

Fullerton, J. (2015). Regenerative capitalism: How universal principles and patterns will shape our new economy. Capital Institute.

Gudynas, E. (2011). Buen Vivir: Today’s tomorrow. Development, 54(4), 441–447. https://doi.org/10.1057/dev.2011.86

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Kothari, A., Demaria, F., & Escobar, A. (Eds.). (2019). Pluriverse: A post-development dictionary. Tulika Books.

Lovins, H., Wallis, S., Wijkman, A., & Fullerton, J. (2018). A finer future: Creating an economy in service to life. New Society Publishers.

Maathai, W. (2003). The Green Belt Movement: Sharing the approach and the experience. Lantern Books.

Mburu, G., Muturi, G. M., & Gichuki, N. N. (2014). Community-based approaches to sustainable land management: The case of Green Belt Movement in Kenya. International Journal of Environmental Studies, 71(3), 359–373. https://doi.org/10.1080/00207233.2014.891207

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. Harper & Row.

Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. Chelsea Green Publishing.

Rhodes, C. J. (2017). The imperative for regenerative agriculture. Science Progress, 100(1), 80–129. https://doi.org/10.3184/003685017X14876775256165

Savory, A., & Butterfield, J. (2016). Holistic management: A commonsense revolution to restore our environment (2nd ed.). Island Press.

Schweitzer, A. (1998). Out of my life and thought: An autobiography (A. B. Lemke, Trans.). Henry Holt and Company. (Original work published 1933)

Shiva, V. (2005). Earth democracy: Justice, sustainability, and peace. South End Press.

Teague, W. R., Apfelbaum, S., Lal, R., Kreuter, U. P., Rowntree, J., Davies, C. A., ... & Byck, P. (2016). The role of ruminants in reducing agriculture’s carbon footprint in North America. Journal of Soil and Water Conservation, 71(2), 156–164. https://doi.org/10.2489/jswc.71.2.156

Wahl, D. C. (2016). Designing regenerative cultures. Triarchy Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar