Rabu, 16 April 2025

Pemikiran Harun Nasution: Rasionalisasi dan Pembaruan Pemikiran Islam

Pemikiran Harun Nasution

Rasionalisasi dan Pembaruan Pemikiran Islam


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pemikiran Harun Nasution sebagai salah satu tokoh utama dalam pembaruan pemikiran Islam modern di Indonesia. Fokus utama pembahasan terletak pada upayanya dalam merasionalisasi teologi Islam dan mereformasi sistem pendidikan tinggi Islam agar lebih ilmiah, rasional, dan kontekstual. Dengan menghidupkan kembali warisan rasionalisme Islam klasik, khususnya melalui pendekatan Mu’tazilah dan filsafat Islam, Harun Nasution mengusulkan sebuah paradigma baru dalam memahami agama: agama yang mampu berdialog dengan akal dan ilmu pengetahuan modern. Tulisan ini juga menyoroti interpretasi Nasution terhadap tokoh-tokoh klasik seperti Ibn Rusyd dan Muhammad Abduh, serta kontribusinya dalam mengintegrasikan ilmu keislaman dan ilmu modern dalam kurikulum perguruan tinggi Islam. Selain memetakan pengaruh pemikirannya dalam bidang akademik dan sosial, artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap pendekatannya yang dianggap terlalu rasional atau liberal oleh sebagian kalangan. Kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran Harun Nasution tetap relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti radikalisme, eksklusivisme agama, dan krisis epistemologis dalam studi Islam.

Kata Kunci: Harun Nasution; rasionalisasi Islam; teologi modern; pendidikan Islam; Mu’tazilah; filsafat Islam; integrasi ilmu; reformasi keagamaan.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat dan Teologi Islam Modern dalam Pemikiran Harun Nasution


1.           Pendahuluan

Pemikiran Islam modern di Indonesia merupakan respons atas dinamika zaman yang ditandai oleh tantangan modernitas, kemajuan ilmu pengetahuan, serta kompleksitas kehidupan sosial-politik umat Islam. Dalam konteks ini, Harun Nasution (1919–1998) tampil sebagai salah satu pelopor pembaruan pemikiran Islam yang berupaya mentransformasikan studi keislaman agar lebih rasional, terbuka, dan kontekstual terhadap perkembangan zaman. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengusung pentingnya pendekatan rasional dalam memahami agama dan sebagai pelopor revitalisasi teologi Islam berbasis pemikiran rasional-rasionalis dalam dunia akademik Indonesia.

Latar belakang pemikiran Harun Nasution tidak dapat dilepaskan dari perjumpaannya dengan pemikiran teologi klasik, khususnya aliran Mu’tazilah, serta pengaruh filsafat Barat dan modernisme Islam selama masa studinya di Universitas McGill, Kanada. Ia mengkritik kuatnya dominasi pemikiran tradisionalis dan apologetik dalam pendidikan Islam, yang menurutnya menghambat kemajuan umat Islam dalam merespons tantangan intelektual modern. Baginya, kebekuan pemikiran teologis dan minimnya peran akal dalam diskursus keislaman merupakan faktor utama kemunduran umat Islam di berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, maupun keilmuan.¹

Melalui karyanya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” dan “Theology of Unity”, Harun Nasution mengajukan ide tentang perlunya revitalisasi pemikiran teologis yang berbasis akal dan metode ilmiah.² Ia meyakini bahwa Islam harus dipahami melalui pendekatan filosofis dan rasional agar ajarannya tidak semata-mata dipertahankan secara dogmatis, tetapi dapat menjawab kebutuhan zaman dan membentuk manusia yang berpikir kritis dan bertanggung jawab secara moral.³

Pembaruan pemikiran Islam yang digagas Harun Nasution mencakup tiga aspek utama: rasionalisasi teologi, reformasi pendidikan Islam, dan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum.⁴ Ia menekankan perlunya membangun kesadaran intelektual di kalangan Muslim, terutama melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, dengan membuka ruang bagi pendekatan filsafat, ilmu kalam, dan ilmu sosial-humaniora dalam studi Islam.⁵ Oleh karena itu, pemikirannya tidak hanya menyentuh aspek teologis, tetapi juga filosofis dan metodologis dalam memahami Islam secara menyeluruh dan progresif.

Kajian terhadap pemikiran Harun Nasution menjadi penting dalam memahami bagaimana konstruksi teologi Islam modern dikembangkan di Indonesia. Ia tidak hanya merepresentasikan kecenderungan rasional dalam Islam, tetapi juga membuka wacana baru mengenai Islam sebagai sistem pemikiran yang dinamis dan dapat terus direkonstruksi secara ilmiah dan kontekstual.⁶ Artikel ini akan mengkaji secara sistematis kontribusi pemikiran Harun Nasution dalam upaya rasionalisasi dan pembaruan pemikiran Islam, serta implikasinya terhadap perkembangan studi keislaman di Indonesia.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 12.

[2]                Harun Nasution, Theology of Unity (Jakarta: Indonesian Islamic Foundation, 1982), 5–8.

[3]                Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 37.

[4]                M. Amin Abdullah, “Islam as a Discursive Tradition in Indonesia: A Philosophical Perspective,” Journal of Indonesian Islam 6, no. 1 (2012): 33–36.

[5]                Komaruddin Hidayat, “Rasionalisasi Teologi Islam: Gagasan Harun Nasution dan Relevansinya,” Studia Islamika 2, no. 3 (1995): 9–13.

[6]                Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 45.


2.           Biografi Intelektual Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga Muslim yang cukup taat, yang memberikan dasar pendidikan agama sejak dini. Pendidikan formalnya dimulai di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan kemudian melanjutkan ke Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sebuah lembaga pendidikan Islam reformis yang berpengaruh dalam membentuk pemikiran awalnya.¹

Pada usia muda, Harun Nasution telah menunjukkan minat yang besar terhadap pemikiran rasional dan filsafat. Perjalanan intelektualnya mengalami titik balik penting ketika ia menempuh studi di Timur Tengah, khususnya di Universitas Al-Azhar, Mesir. Namun, pengalaman akademik di Al-Azhar tidak sepenuhnya memuaskan dahaga intelektualnya karena sistem pendidikannya yang pada saat itu masih bersifat tradisional dan tekstual.² Hal ini justru mendorongnya untuk mencari pendekatan yang lebih rasional dan sistematis dalam memahami Islam.

Titik kulminasi perkembangan intelektual Harun Nasution terjadi ketika ia melanjutkan studi ke jenjang doktoral di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada. Di bawah bimbingan Wilfred Cantwell Smith dan Fazlur Rahman, ia terpapar pada pendekatan ilmiah dalam studi Islam, yang mengintegrasikan sejarah, filsafat, dan ilmu sosial.³ Pengaruh dari para pemikir rasionalis dan modernis ini sangat besar dalam membentuk pandangan intelektual Harun yang kemudian dikenal luas di Indonesia sebagai pelopor Islam rasional.

Disertasi doktoralnya yang berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology (1968) menunjukkan perhatian besarnya terhadap pemikiran Muhammad Abduh, seorang reformis Islam Mesir yang menekankan pentingnya akal dalam beragama.⁴ Dari sinilah terlihat bahwa proyek intelektual Harun Nasution sangat dipengaruhi oleh semangat modernisme Islam dan pemikiran filsafat Islam klasik, terutama rasionalisme Mu’tazilah.

Sekembalinya ke Indonesia, Harun Nasution mengabdikan diri sebagai akademisi dan reformis pendidikan Islam. Ia menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1973–1984), dan melalui posisinya ini ia berperan besar dalam memperkenalkan studi filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf secara metodologis ke dalam kurikulum pendidikan tinggi Islam di Indonesia.⁵ Ia memperjuangkan pendekatan keilmuan yang integratif, rasional, dan terbuka terhadap disiplin ilmu non-keislaman sebagai bagian dari pembaruan studi Islam yang kontekstual dan ilmiah.

Karya-karyanya, seperti Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, dan Akidah Islam, tidak hanya menjadi rujukan utama dalam studi Islam rasional di Indonesia, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pelopor pemikiran Islam modern yang mendorong pengembangan intelektualisme dan nalar kritis di kalangan umat Islam.⁶ Dengan demikian, biografi intelektual Harun Nasution tidak hanya mencerminkan perjalanan pendidikan, tetapi juga menunjukkan transisi penting dari pendekatan tekstual-tradisional ke pendekatan rasional-filosofis dalam memahami ajaran Islam.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan atas Karya Harun Nasution (Jakarta: Paramadina, 1995), 15.

[2]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 22.

[3]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 88–89.

[4]                Harun Nasution, The Place of Reason in Abduh’s Theology (Montreal: McGill University, 1968), vii–ix.

[5]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 17.

[6]                Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam: Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 63–64.


3.           Konteks Historis dan Pemikiran

Pemikiran Harun Nasution tidak lahir dalam ruang hampa, tetapi merupakan respons terhadap dinamika sosial, politik, dan keagamaan umat Islam, baik secara global maupun dalam konteks Indonesia. Abad ke-20 merupakan masa ketika umat Islam secara luas menghadapi tekanan modernisasi, kolonialisme, serta kebangkitan ilmu pengetahuan dan filsafat Barat yang menantang otoritas tradisional keagamaan. Dalam situasi ini, banyak pemikir Muslim—termasuk Harun Nasution—merasa penting untuk merumuskan kembali cara umat Islam memahami agamanya secara lebih rasional dan kontekstual.¹

Secara historis, Indonesia mengalami gelombang perubahan besar sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Dominasi pendidikan tradisional berbasis pesantren atau madrasah sering kali menekankan aspek dogmatis dan formalistik dalam beragama, sementara akses terhadap pendekatan kritis-rasional masih sangat terbatas.² Hal ini mendorong munculnya kebutuhan akan pembaruan pemikiran Islam yang dapat menjawab tantangan intelektual dan sosial-politik modern. Harun Nasution, dalam konteks ini, tampil sebagai pelopor gagasan reformasi teologis yang mengusung integrasi antara iman dan akal sebagai basis untuk membangun kesadaran intelektual Islam yang progresif.

Pemikiran Nasution juga dipengaruhi oleh munculnya gerakan modernisme Islam di dunia Muslim, khususnya di Mesir dan India, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Sir Sayyid Ahmad Khan.³ Mereka mengembangkan pendekatan baru terhadap teks keagamaan dengan memprioritaskan akal, kontekstualisasi sejarah, serta adaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Harun Nasution mengadopsi semangat ini melalui kerangka berpikir filsafat Islam klasik, terutama rasionalisme Mu’tazilah, yang ia nilai memiliki relevansi besar dalam meneguhkan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan rasionalitas dan sains.⁴

Dalam konteks Indonesia, Harun Nasution mengusung misi besar untuk mengubah paradigma keilmuan di perguruan tinggi Islam. Ia menilai bahwa pendidikan Islam di Indonesia terlalu didominasi oleh pendekatan fiqh sentris yang konservatif, sehingga menghasilkan lulusan yang tidak memiliki daya analitis dan nalar kritis yang cukup.⁵ Sebagai tanggapan terhadap hal tersebut, ia memperkenalkan pendekatan filsafat, teologi rasional, dan sejarah pemikiran Islam sebagai instrumen untuk mendorong pembaruan berpikir di lingkungan akademik.

Pemikiran Nasution juga harus dibaca dalam kerangka transisi keilmuan dari tradisi ke modernitas. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menuntut umat Islam untuk tidak semata-mata bersandar pada otoritas masa lalu, tetapi juga mengembangkan metodologi baru yang dialogis terhadap realitas sosial-kultural kontemporer. Ia menegaskan bahwa pemikiran Islam harus bersifat dinamis dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan substansi keimanannya.⁶ Dalam hal ini, Harun Nasution tidak sekadar berusaha memodernkan Islam, tetapi juga menyusun kembali dasar-dasar teologi Islam agar selaras dengan prinsip-prinsip rasionalitas dan humanisme.

Dengan latar belakang tersebut, jelas bahwa konteks historis pemikiran Harun Nasution sangat terkait erat dengan kebutuhan akan revitalisasi cara berpikir keislaman yang mampu menghadirkan Islam sebagai kekuatan transformatif di tengah perubahan zaman. Kontribusinya tidak hanya terletak pada tawaran teologis, tetapi juga pada pembentukan tradisi akademik baru dalam studi Islam di Indonesia.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 34.

[2]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 41–42.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–17.

[4]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 96.

[5]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 21.

[6]                M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 74.


4.           Rasionalisasi dalam Pemikiran Teologis

Salah satu kontribusi paling signifikan Harun Nasution dalam lanskap pemikiran Islam Indonesia adalah gagasannya mengenai rasionalisasi teologi Islam. Baginya, teologi Islam (ilmu kalam) yang berkembang dalam masyarakat Muslim Indonesia telah kehilangan daya hidup intelektualnya karena cenderung mengabaikan peran akal dan lebih menekankan pada aspek-aspek dogmatis.¹ Hal ini menurutnya merupakan warisan dari dominasi pemikiran tradisional yang berkembang sejak abad pertengahan, terutama dari aliran Asy‘ariyah, yang dikenal membatasi peran akal dalam menjelaskan prinsip-prinsip keimanan.²

Sebagai bentuk koreksi terhadap kecenderungan tersebut, Harun Nasution menawarkan suatu pendekatan teologis yang berbasis pada rasionalisme, yang menurutnya dapat ditemukan secara historis dalam pemikiran Mu‘tazilah. Ia memandang bahwa Mu‘tazilah adalah aliran teologi Islam yang paling rasional, karena mereka mengedepankan akal dalam menafsirkan ajaran agama dan dalam menjawab persoalan-persoalan metafisis. Dalam perspektif Mu‘tazilah, akal tidak hanya mampu memahami realitas, tetapi juga dapat membedakan antara yang baik dan buruk secara moral sebelum adanya wahyu.³

Harun Nasution tidak serta-merta mengajak umat Islam untuk menjadi penganut Mu‘tazilah secara ideologis, tetapi ia menilai pendekatan rasional mereka sangat relevan dalam rangka membangun kembali kerangka teologis yang mampu berdialog dengan tantangan zaman modern.⁴ Ia juga menekankan pentingnya menyelaraskan antara iman dan akal agar tidak terjadi dikotomi antara keyakinan keagamaan dan rasionalitas ilmiah. Bagi Nasution, akal adalah alat penting yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk memahami ajaran Islam secara mendalam dan kontekstual.⁵

Dalam kerangka itu, ia mengembangkan teologi Islam rasional melalui karyanya Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, yang menjadi buku teks penting di berbagai perguruan tinggi Islam. Dalam buku ini, ia membandingkan berbagai aliran dalam ilmu kalam secara objektif dan analitis, serta mendorong pembaca untuk memahami dinamika teologis Islam melalui perspektif kritis dan historis.⁶ Ia juga memperkenalkan istilah “teologi Islam modern” sebagai bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan berpikir umat Islam masa kini yang hidup di tengah arus globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan.⁷

Harun Nasution juga menolak pendekatan teologis apologetik yang kerap digunakan oleh sebagian kalangan untuk membentengi umat Islam dari pengaruh Barat. Menurutnya, pendekatan apologetik tidak mendorong perkembangan intelektual yang sehat, karena lebih bersifat reaktif ketimbang solutif. Dalam pandangannya, umat Islam harus berani bersikap kritis terhadap warisan intelektual masa lalu dan membuka ruang bagi pengembangan pemikiran baru yang lebih rasional dan kontekstual.⁸

Rasionalisasi teologi yang ditawarkan oleh Harun Nasution pada akhirnya bertujuan untuk membangun tradisi keilmuan Islam yang terbuka, dinamis, dan mampu menghadirkan Islam sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam kehidupan modern. Melalui upaya ini, ia telah meletakkan fondasi penting bagi kebangkitan pemikiran Islam di Indonesia yang bercorak filosofis, ilmiah, dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 67.

[2]                Mulyadhi Kartanegara, Menalar Tuhan: Sebuah Telaah terhadap Argumen-Argumen Kalam (Bandung: Mizan, 2006), 55.

[3]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 121.

[4]                Azyumardi Azra, “Pemikiran Neo-Mu‘tazilah dalam Islam Kontemporer,” Millah 1, no. 1 (2001): 25–27.

[5]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 22.

[6]                Harun Nasution, Teologi Islam, 9–15.

[7]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 102–104.

[8]                Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 45–46.


5.           Pembaruan Studi Islam dan Integrasi Ilmu

Salah satu warisan intelektual paling monumental dari Harun Nasution adalah proyek reformasi pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam. Sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1973–1984), Harun Nasution tidak hanya menjadi administrator pendidikan, tetapi juga arsitek perubahan paradigma dalam studi Islam. Ia menilai bahwa sistem pendidikan Islam saat itu terlalu tekstual, sempit dalam pendekatan, dan miskin analisis kritis, sehingga menghasilkan lulusan yang kurang siap menghadapi tantangan zaman modern.¹

Untuk menjawab masalah tersebut, Harun Nasution menggagas integrasi ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu rasional dan modern, termasuk filsafat, sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya. Ia memperjuangkan model pendidikan Islam yang berbasis pada nalar ilmiah, tanpa melepaskan fondasi keimanan dan nilai-nilai spiritualitas Islam.² Baginya, studi Islam tidak cukup jika hanya dilihat dari sudut pandang fikih atau tafsir normatif saja, melainkan harus dipahami secara multidisipliner agar dapat menjawab kompleksitas persoalan umat kontemporer.

Pembaruan ini diwujudkan melalui perombakan kurikulum dan pengembangan keilmuan di IAIN yang kemudian menjadi model nasional. Harun Nasution memperkenalkan mata kuliah seperti filsafat Islam, ilmu kalam, dan pemikiran Islam kontemporer, yang sebelumnya belum mendapat tempat penting dalam kurikulum.³ Ia juga mendorong penulisan karya ilmiah yang berbasis analisis kritis dan penggunaan metodologi ilmiah yang ketat dalam studi Islam. Dengan demikian, ia membentuk atmosfer akademik baru yang lebih terbuka dan reflektif.

Salah satu prinsip mendasar dari pembaruan ini adalah keyakinan bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, sebuah pandangan yang ia warisi dari pemikiran klasik Islam sekaligus dari para reformis modern seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman.⁴ Dalam pandangannya, seluruh ilmu adalah manifestasi dari pengetahuan Ilahi yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk kemajuan umat manusia. Dengan kata lain, ilmu modern bukanlah ancaman terhadap iman, melainkan alat untuk memperdalam pemahaman agama secara rasional dan kontekstual.⁵

Konsep integrasi keilmuan yang diperjuangkan Harun Nasution juga menjadi cikal bakal munculnya pendekatan interdisipliner dalam studi Islam yang dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir-pemikir setelahnya, seperti M. Amin Abdullah dengan konsep “jembatan epistemologis” antara ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial.⁶ Inilah kontribusi besar Harun Nasution dalam menyiapkan fondasi epistemologis bagi reformasi intelektual di dunia pendidikan tinggi Islam di Indonesia.

Dengan pembaruan ini, Harun Nasution membuka jalan bagi lahirnya generasi baru intelektual Muslim Indonesia yang tidak hanya kuat dalam tradisi keilmuan klasik, tetapi juga tanggap terhadap isu-isu kontemporer seperti HAM, demokrasi, pluralisme, dan kemajuan teknologi.⁷ Maka, pembaruan studi Islam dan integrasi ilmu yang digagasnya bukan hanya berfungsi sebagai strategi akademik, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam membangun peradaban Islam yang responsif, kritis, dan transformatif.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan atas Karya Harun Nasution (Jakarta: Paramadina, 1995), 27.

[2]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 68.

[3]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 18–20.

[4]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 53.

[5]                Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam: Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 65.

[6]                M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 82–85.

[7]                A. Khudori Soleh, “Integrasi Ilmu dalam Wacana Pendidikan Islam: Telaah atas Gagasan Harun Nasution dan M. Amin Abdullah,” Millah 6, no. 1 (2006): 93–95.


6.           Tafsir Terhadap Pemikiran Klasik dan Modern

Sebagai pemikir rasionalis dalam konteks Islam Indonesia modern, Harun Nasution menampilkan pendekatan hermeneutis yang khas terhadap warisan pemikiran klasik Islam sekaligus pemikiran Islam modern. Ia tidak memposisikan tradisi sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan, tetapi sebagai bahan refleksi kritis yang dapat diinterpretasi ulang dalam konteks zaman. Tafsirnya terhadap pemikiran Islam klasik dan modern menunjukkan keterbukaan intelektual serta komitmen terhadap nilai-nilai rasionalitas, kemanusiaan, dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks pemikiran klasik, Harun Nasution secara khusus tertarik pada warisan rasionalisme Islam, terutama yang berkembang dalam tradisi Mu’tazilah dan filsafat Islam klasik seperti pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.¹ Ia menilai bahwa para tokoh tersebut telah menampilkan wajah Islam yang bersahabat dengan akal, logika, dan pemikiran sistematis, yang kemudian meredup seiring berkembangnya dominasi teologi Asy‘ariyah yang lebih menekankan otoritas wahyu dan irasionalisme.² Dalam pandangannya, rasionalisme klasik tersebut harus direvitalisasi agar umat Islam masa kini tidak terperangkap dalam pola pikir fatalistik dan taklid.³

Salah satu tokoh yang mendapat perhatian serius dari Harun Nasution adalah Ibn Rusyd (Averroes), yang ia anggap sebagai model pemikir Islam yang sukses menyelaraskan antara filsafat Yunani dan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.⁴ Ia melihat bahwa Ibn Rusyd tidak hanya berhasil mempertahankan prinsip rasionalitas, tetapi juga memformulasikan pendekatan yang berimbang antara akal dan wahyu dalam kerangka pemikiran teologis dan filosofis. Gagasan ini sangat memengaruhi cara Harun membingkai ulang pentingnya nalar dalam beragama di era modern.

Selain para filsuf klasik, Harun Nasution juga mengapresiasi pemikiran tokoh-tokoh teologi rasional seperti Qadi Abdul Jabbar dan al-Nazham, yang menekankan keadilan Tuhan (al-‘adl) dan kebebasan kehendak manusia dalam beragama.⁵ Melalui pembacaan ini, ia menunjukkan bahwa rasionalitas dan tanggung jawab moral bukanlah hal baru dalam Islam, tetapi telah menjadi bagian dari khazanah pemikiran klasik yang perlu dihidupkan kembali.

Adapun dalam menafsirkan pemikiran Islam modern, Harun Nasution sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh reformis seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman. Dari Muhammad Abduh, ia mengadopsi prinsip bahwa agama harus mampu berdialog dengan akal dan realitas sosial.⁶ Dalam disertasinya di McGill University, Harun secara khusus mengkaji posisi akal dalam teologi Muhammad Abduh sebagai wujud keterbukaan terhadap pendekatan modern dalam studi keislaman.⁷ Ia memandang bahwa Abduh telah berhasil membuka jalan bagi pembaharuan pemikiran Islam yang kontekstual tanpa harus mengorbankan otoritas teks suci.

Sedangkan dari Fazlur Rahman, Harun Nasution mengadopsi pendekatan historis dan hermeneutis dalam memahami wahyu dan perkembangan pemikiran Islam. Rahman, dengan teori double movement-nya, memberikan pengaruh besar dalam menekankan pentingnya pembacaan kontekstual terhadap Al-Qur’an dan sejarah pemikiran Islam.⁸ Bagi Harun, pendekatan semacam ini penting dalam membentuk paradigma baru studi Islam yang bersifat ilmiah, historis, dan dialogis dengan tantangan kontemporer.

Melalui tafsir kritis terhadap kedua kutub—klasik dan modern—Harun Nasution merumuskan model pemikiran Islam yang integratif dan progresif. Ia tidak terjebak dalam glorifikasi masa lalu ataupun pengagungan Barat secara membabi buta, melainkan membangun suatu sintesis yang kreatif. Gagasannya ini mendorong pembaca Muslim untuk tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga mengembangkan keberanian epistemologis untuk menafsirkan kembali nilai-nilai dasar Islam secara rasional, ilmiah, dan relevan dengan kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 45–46.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 131.

[3]                Mulyadhi Kartanegara, Menalar Tuhan: Sebuah Telaah terhadap Argumen-Argumen Kalam (Bandung: Mizan, 2006), 72.

[4]                Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan atas Karya Harun Nasution (Jakarta: Paramadina, 1995), 60.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2000), 118–120.

[6]                Komaruddin Hidayat, “Rasionalisme Teologis dalam Pemikiran Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 27.

[7]                Harun Nasution, The Place of Reason in Abduh’s Theology (Montreal: McGill University, 1968), ix–x.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–10.


7.           Pengaruh dan Kritik Terhadap Pemikirannya

Pemikiran rasional Harun Nasution telah memberikan dampak signifikan dalam dunia intelektual Islam di Indonesia, khususnya dalam transformasi cara berpikir dan pendekatan keilmuan di lingkungan pendidikan tinggi Islam. Salah satu warisan utamanya adalah penguatan posisi akal dan nalar ilmiah dalam studi keislaman yang sebelumnya lebih dominan didasarkan pada pendekatan tradisional dan normatif-dogmatis.¹ Gagasannya telah mendorong kemunculan generasi intelektual Muslim yang lebih kritis, terbuka, dan berorientasi pada pengembangan pemikiran Islam kontekstual di era modern.

Pengaruh Harun Nasution sangat nyata dalam pembaruan kurikulum IAIN (kini UIN), yang membuka ruang bagi integrasi ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, sosiologi agama, dan pemikiran Islam kontemporer.² Reformasi pendidikan Islam ini kemudian menjadi model bagi banyak perguruan tinggi Islam lainnya di Indonesia. Ia juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh pembaru berikutnya seperti M. Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawar-Rachman, dan Azyumardi Azra, yang mengembangkan paradigma studi Islam berbasis interdisipliner dan integratif.³

Namun, meskipun mendapat apresiasi luas dari kalangan akademisi, pemikiran Harun Nasution juga tidak lepas dari kritik, baik dari pihak tradisionalis maupun kelompok neo-konservatif. Kritik utama datang dari kalangan yang menilai pendekatan rasionalis Harun terlalu mengagungkan akal dan terlalu dekat dengan pemikiran rasional Barat, bahkan dianggap membuka peluang bagi relativisme agama.⁴ Sebagian menganggap bahwa upaya revitalisasi rasionalisme Mu‘tazilah yang dilakukan Harun berpotensi menggerus aspek spiritualitas dan transendensi Islam, karena terlalu menekankan logika dan otonomi akal.⁵

Selain itu, pendekatannya dalam mengajarkan teologi Islam secara historis-komparatif, yang menempatkan semua aliran pemikiran kalam dalam posisi sejajar untuk ditelaah secara analitis, dianggap sebagian kalangan sebagai berbahaya bagi aqidah mahasiswa. Pendekatan ini dikritik karena tidak secara eksplisit membela satu mazhab tertentu (misalnya Asy‘ariyah) yang secara tradisional dianggap sebagai arus utama dalam teologi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah.⁶

Namun demikian, Harun Nasution sendiri menegaskan bahwa pendekatan akademik tidak boleh bersifat apologetik atau dogmatis. Ia berpendapat bahwa kajian ilmu kalam harus diarahkan pada pemahaman yang objektif dan rasional, sehingga mahasiswa tidak hanya menerima ajaran secara pasif, tetapi mampu memahami dinamika sejarah pemikiran Islam secara kritis.⁷ Hal ini penting dalam konteks pendidikan tinggi, di mana pembentukan nalar ilmiah dan intelektual menjadi tujuan utama.

Beberapa kalangan juga mengkritik Harun karena dianggap kurang memberikan basis epistemologis yang kokoh untuk membangun sintesis antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu modern. Dalam pandangan mereka, proyek integrasi yang ditawarkannya masih bersifat normatif dan belum cukup memberikan kerangka konseptual yang matang, sebagaimana kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh M. Amin Abdullah dengan pendekatan integrasi-interkoneksi.⁸

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Harun Nasution telah menjadi pelopor penting dalam membuka jalan bagi revitalisasi pemikiran Islam Indonesia modern. Ia meletakkan dasar bagi pendekatan keislaman yang berbasis rasionalitas, historisitas, dan kesadaran akademik. Karyanya tetap relevan untuk dikaji dalam konteks pembangunan pemikiran Islam yang ilmiah, kritis, dan tetap menghargai nilai-nilai spiritual.


Footnotes

[1]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 14–16.

[2]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 57–58.

[3]                Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam: Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 68.

[4]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 40.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2000), 122–123.

[6]                M. Quraish Shihab, “Menyikapi Perbedaan Teologis dalam Tradisi Islam,” Millah 2, no. 1 (2002): 11–12.

[7]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), x–xii.

[8]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 104–105.


8.           Relevansi Pemikirannya di Era Kontemporer

Pemikiran Harun Nasution tetap memiliki signifikansi tinggi dalam menjawab tantangan intelektual, sosial, dan keagamaan umat Islam di era kontemporer. Dalam situasi di mana kebangkitan spiritual sering kali berjalan beriringan dengan kembalinya konservatisme teologis, gagasan-gagasannya tentang rasionalisasi Islam, integrasi ilmu, dan pembaruan pendidikan keagamaan menjadi sangat relevan. Ia menekankan bahwa kemajuan umat Islam tidak hanya tergantung pada semangat beragama, tetapi juga pada cara berpikir yang ilmiah, terbuka, dan kritis.¹

Di tengah derasnya arus informasi global, berkembangnya populisme agama, dan meningkatnya kecenderungan eksklusivisme dalam beragama, pendekatan Harun Nasution yang menekankan keselarasan antara wahyu dan akal dapat menjadi titik tolak penting untuk mengembangkan Islam sebagai kekuatan transformasi sosial yang rasional dan inklusif.² Ia mendorong umat Islam untuk tidak hanya beragama secara ritualistik, tetapi juga membangun kesadaran etis dan intelektual yang mendalam terhadap ajaran Islam serta aplikasinya dalam konteks sosial-politik modern.³

Krisis epistemologis yang terjadi dalam studi Islam kontemporer—di mana ilmu-ilmu keislaman sering kali terfragmentasi dan terisolasi dari realitas sosial—juga menegaskan kembali urgensi pemikiran Harun Nasution. Model integrasi ilmu yang ia gagas tetap menjadi referensi utama dalam pengembangan kurikulum perguruan tinggi Islam, terutama dalam upaya menciptakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan tradisi keislaman dan ilmu-ilmu sosial-humaniora.⁴

Dalam bidang teologi, pemikirannya berkontribusi terhadap pengembangan kalam kontekstual, yaitu suatu pendekatan terhadap teologi Islam yang tidak hanya mengulang rumusan klasik, tetapi juga memperhatikan tantangan dan kebutuhan zaman.⁵ Ini sangat penting untuk merespons isu-isu kontemporer seperti demokrasi, pluralisme agama, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Bagi Harun, konsep-konsep tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan justru dapat dimaknai secara konstruktif melalui pendekatan rasional dan historis terhadap sumber-sumber keagamaan.⁶

Lebih dari itu, pendekatan intelektual Harun Nasution dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap fundamentalisme dan sikap taklid buta, yang kerap menghambat kemajuan umat Islam. Dalam era di mana ideologi keagamaan sering digunakan untuk melegitimasi kekerasan dan polarisasi sosial, pentingnya pemikiran rasional yang humanistik dan dialogis menjadi semakin krusial. Harun memberikan dasar bahwa keimanan tidak harus bertentangan dengan pemikiran rasional, dan bahwa Islam mampu memberikan solusi yang ilmiah dan etis terhadap berbagai permasalahan kehidupan modern.⁷

Relevansi pemikiran Harun Nasution juga terlihat dari pengaruhnya dalam pengembangan studi Islam berbasis riset, yang terus menjadi prioritas di banyak universitas Islam. Ia telah menanamkan tradisi berpikir kritis dan analitis dalam menghadapi khazanah keislaman, sehingga mahasiswa dan akademisi tidak hanya menjadi pewaris pasif ajaran agama, tetapi juga aktor aktif dalam mengembangkan pemikiran Islam yang dinamis dan responsif.⁸

Dengan demikian, di tengah kompleksitas zaman yang ditandai oleh digitalisasi, disrupsi nilai, dan tantangan ideologis, pemikiran Harun Nasution tetap menjadi inspirasi penting untuk membangun paradigma Islam yang rasional, inklusif, dan progresif—yakni Islam yang hadir bukan sekadar sebagai identitas, tetapi sebagai energi pembebas dan pencerah bagi masyarakat.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 59.

[2]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 23–24.

[3]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 39–40.

[4]                M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 101–103.

[5]                Syafiq Hasyim, “Contemporary Islamic Theological Responses to Democracy and Pluralism in Indonesia,” Studia Islamika 11, no. 3 (2004): 387–390.

[6]                Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 78–79.

[7]                A. Khudori Soleh, “Rasionalisasi Islam: Gagasan Harun Nasution dalam Menanggapi Gerakan Keagamaan Radikal,” Millah 5, no. 2 (2005): 123–125.

[8]                Nizar Ali, “Pembaruan Pendidikan Tinggi Islam: Dari Tradisional ke Akademik,” Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 (2014): 45–47.


9.           Kesimpulan

Pemikiran Harun Nasution merupakan tonggak penting dalam sejarah intelektual Islam modern di Indonesia. Melalui pendekatan rasional terhadap teologi dan filsafat Islam, ia berhasil mereformulasi paradigma berpikir keislaman yang sebelumnya lebih bersifat dogmatis dan apologetik menjadi lebih terbuka, kritis, dan kontekstual.¹ Ia menghidupkan kembali semangat rasionalisme dalam tradisi Islam klasik, khususnya melalui rehabilitasi pemikiran Mu’tazilah, dan mengintegrasikannya dengan prinsip-prinsip modernitas, termasuk pendekatan ilmiah dan historis terhadap teks dan sejarah Islam.²

Kontribusi terbesarnya terletak pada upaya sistematisnya dalam melakukan rasionalisasi pemikiran teologis, reformasi kurikulum pendidikan tinggi Islam, serta dorongannya terhadap integrasi antara ilmu keislaman dan ilmu modern. Pemikiran-pemikirannya membuka ruang bagi perkembangan studi Islam yang tidak hanya normatif, tetapi juga analitis dan multidisipliner. Dengan demikian, Harun telah meletakkan fondasi bagi transformasi epistemologis dalam pendidikan dan pemikiran Islam di Indonesia.³

Meskipun pemikirannya menuai kritik dari kalangan tradisionalis dan konservatif—terutama karena pendekatannya yang menekankan rasionalitas dan penilaian kritis terhadap warisan klasik—tetapi semangat pembaruannya tetap relevan hingga kini. Dalam era kontemporer yang sarat dengan tantangan ideologis, disinformasi keagamaan, dan polarisasi sosial, pendekatan Islam rasional ala Harun Nasution mampu menawarkan kerangka keilmuan yang moderat, dialogis, dan solutif.⁴

Lebih jauh, relevansi pemikirannya tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi juga dalam praktik sosial keagamaan. Gagasannya menegaskan bahwa Islam bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga sistem nilai yang rasional, humanis, dan dapat diartikulasikan secara ilmiah dalam berbagai ruang kehidupan modern.⁵ Oleh karena itu, pemikiran Harun Nasution tidak hanya menjadi warisan intelektual, tetapi juga inspirasi bagi generasi Muslim masa kini untuk mengembangkan Islam sebagai kekuatan pembebas, pencerah, dan transformatif.

Melalui keberaniannya dalam mereformasi cara berpikir keagamaan, Harun Nasution telah membuka jalan bagi munculnya generasi intelektual Muslim Indonesia yang berpikir kritis, inklusif, dan progresif. Warisan pemikirannya terus hidup dalam wacana akademik, praktik pendidikan Islam, serta pencarian akan wajah Islam yang ramah terhadap akal, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 14.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 121–123.

[3]                M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 102–104.

[4]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 41.

[5]                Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam: Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 63.


Daftar Pustaka

Abdullah, M. A. (1999). Studi agama: Normativitas atau historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, M. A. (2006). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika dalam studi Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.

Ali, N. (2014). Pembaruan pendidikan tinggi Islam: Dari tradisional ke akademik. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 37–52.

Azra, A. (1995). Pergolakan pemikiran Islam: Catatan atas karya Harun Nasution. Jakarta: Paramadina.

Azra, A. (2000). Islam substantif: Menggagas paradigma baru beragama. Bandung: Mizan.

Hasyim, S. (2004). Contemporary Islamic theological responses to democracy and pluralism in Indonesia. Studia Islamika, 11(3), 367–393.

Hidayat, K. (1996). Menghidupkan rasionalisme dalam studi keislaman: Warisan intelektual Harun Nasution. Studia Islamika, 3(2), 9–27.

Kartanegara, M. (2006). Menalar Tuhan: Sebuah telaah terhadap argumen-argumen kalam. Bandung: Mizan.

Madjid, N. (2000). Islam doktrin dan peradaban: Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

Munawar-Rachman, B. (1999). Reformasi Islam: Paradigma baru fikih Indonesia. Bandung: Mizan.

Munawar-Rachman, B. (2001). Islam pluralis: Wacana kesetaraan kaum beriman. Jakarta: Paramadina.

Nasution, H. (1968). The place of reason in Abduh’s theology (Doctoral dissertation, McGill University). Montreal: McGill University.

Nasution, H. (1985). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (Jilid I). Jakarta: UI Press.

Nasution, H. (1986). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (Jilid II). Jakarta: UI Press.

Nasution, H. (1995). Islam rasional: Gagasan dan pemikiran. Bandung: Mizan.

Nasution, H. (1996). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. Jakarta: UI Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Shihab, M. Q. (2002). Menyikapi perbedaan teologis dalam tradisi Islam. Millah: Jurnal Studi Agama, 2(1), 1–14.

Soleh, A. K. (2005). Rasionalisasi Islam: Gagasan Harun Nasution dalam menanggapi gerakan keagamaan radikal. Millah: Jurnal Studi Agama, 5(2), 119–133.

Soleh, A. K. (2006). Integrasi ilmu dalam wacana pendidikan Islam: Telaah atas gagasan Harun Nasution dan M. Amin Abdullah. Millah: Jurnal Studi Agama, 6(1), 85–100.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar