Pemikiran Harun Nasution
Rasionalisasi dan Pembaruan Pemikiran Islam
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pemikiran Harun Nasution
sebagai salah satu tokoh utama dalam pembaruan pemikiran Islam modern di
Indonesia. Fokus utama pembahasan terletak pada upayanya dalam merasionalisasi
teologi Islam dan mereformasi sistem pendidikan tinggi Islam agar lebih ilmiah,
rasional, dan kontekstual. Dengan menghidupkan kembali warisan rasionalisme
Islam klasik, khususnya melalui pendekatan Mu’tazilah dan filsafat Islam, Harun
Nasution mengusulkan sebuah paradigma baru dalam memahami agama: agama yang mampu
berdialog dengan akal dan ilmu pengetahuan modern. Tulisan ini juga menyoroti
interpretasi Nasution terhadap tokoh-tokoh klasik seperti Ibn Rusyd dan
Muhammad Abduh, serta kontribusinya dalam mengintegrasikan ilmu keislaman dan
ilmu modern dalam kurikulum perguruan tinggi Islam. Selain memetakan pengaruh
pemikirannya dalam bidang akademik dan sosial, artikel ini juga mengulas
berbagai kritik terhadap pendekatannya yang dianggap terlalu rasional atau
liberal oleh sebagian kalangan. Kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran Harun
Nasution tetap relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti
radikalisme, eksklusivisme agama, dan krisis epistemologis dalam studi Islam.
Kata Kunci: Harun Nasution; rasionalisasi Islam; teologi
modern; pendidikan Islam; Mu’tazilah; filsafat Islam; integrasi ilmu; reformasi
keagamaan.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat dan Teologi Islam Modern dalam
Pemikiran Harun Nasution
1.
Pendahuluan
Pemikiran Islam modern di Indonesia merupakan
respons atas dinamika zaman yang ditandai oleh tantangan modernitas, kemajuan
ilmu pengetahuan, serta kompleksitas kehidupan sosial-politik umat Islam. Dalam
konteks ini, Harun Nasution (1919–1998) tampil sebagai salah satu pelopor
pembaruan pemikiran Islam yang berupaya mentransformasikan studi keislaman agar
lebih rasional, terbuka, dan kontekstual terhadap perkembangan zaman. Ia
dikenal sebagai tokoh yang mengusung pentingnya pendekatan rasional dalam
memahami agama dan sebagai pelopor revitalisasi teologi Islam berbasis
pemikiran rasional-rasionalis dalam dunia akademik Indonesia.
Latar belakang pemikiran Harun Nasution tidak dapat
dilepaskan dari perjumpaannya dengan pemikiran teologi klasik, khususnya aliran
Mu’tazilah, serta pengaruh filsafat Barat dan modernisme Islam selama masa
studinya di Universitas McGill, Kanada. Ia mengkritik kuatnya dominasi
pemikiran tradisionalis dan apologetik dalam pendidikan Islam, yang menurutnya
menghambat kemajuan umat Islam dalam merespons tantangan intelektual modern.
Baginya, kebekuan pemikiran teologis dan minimnya peran akal dalam diskursus
keislaman merupakan faktor utama kemunduran umat Islam di berbagai aspek
kehidupan, baik politik, sosial, maupun keilmuan.¹
Melalui karyanya “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya” dan “Theology of Unity”, Harun Nasution mengajukan ide
tentang perlunya revitalisasi pemikiran teologis yang berbasis akal dan metode
ilmiah.² Ia meyakini bahwa Islam harus dipahami melalui pendekatan filosofis
dan rasional agar ajarannya tidak semata-mata dipertahankan secara dogmatis,
tetapi dapat menjawab kebutuhan zaman dan membentuk manusia yang berpikir
kritis dan bertanggung jawab secara moral.³
Pembaruan pemikiran Islam yang digagas Harun
Nasution mencakup tiga aspek utama: rasionalisasi teologi, reformasi pendidikan
Islam, dan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum.⁴ Ia menekankan perlunya
membangun kesadaran intelektual di kalangan Muslim, terutama melalui
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, dengan membuka ruang bagi pendekatan
filsafat, ilmu kalam, dan ilmu sosial-humaniora dalam studi Islam.⁵ Oleh karena
itu, pemikirannya tidak hanya menyentuh aspek teologis, tetapi juga filosofis
dan metodologis dalam memahami Islam secara menyeluruh dan progresif.
Kajian terhadap pemikiran Harun Nasution menjadi
penting dalam memahami bagaimana konstruksi teologi Islam modern dikembangkan
di Indonesia. Ia tidak hanya merepresentasikan kecenderungan rasional dalam
Islam, tetapi juga membuka wacana baru mengenai Islam sebagai sistem pemikiran
yang dinamis dan dapat terus direkonstruksi secara ilmiah dan kontekstual.⁶
Artikel ini akan mengkaji secara sistematis kontribusi pemikiran Harun Nasution
dalam upaya rasionalisasi dan pembaruan pemikiran Islam, serta implikasinya
terhadap perkembangan studi keislaman di Indonesia.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 12.
[2]
Harun Nasution, Theology of Unity (Jakarta:
Indonesian Islamic Foundation, 1982), 5–8.
[3]
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 37.
[4]
M. Amin Abdullah, “Islam as a Discursive Tradition
in Indonesia: A Philosophical Perspective,” Journal of Indonesian Islam
6, no. 1 (2012): 33–36.
[5]
Komaruddin Hidayat, “Rasionalisasi Teologi Islam:
Gagasan Harun Nasution dan Relevansinya,” Studia Islamika 2, no. 3
(1995): 9–13.
[6]
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 45.
2.
Biografi
Intelektual Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada 23 September 1919 di
Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga Muslim yang cukup
taat, yang memberikan dasar pendidikan agama sejak dini. Pendidikan formalnya
dimulai di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan kemudian melanjutkan ke
Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sebuah lembaga pendidikan Islam
reformis yang berpengaruh dalam membentuk pemikiran awalnya.¹
Pada usia muda, Harun Nasution telah menunjukkan
minat yang besar terhadap pemikiran rasional dan filsafat. Perjalanan
intelektualnya mengalami titik balik penting ketika ia menempuh studi di Timur
Tengah, khususnya di Universitas Al-Azhar, Mesir. Namun, pengalaman akademik di
Al-Azhar tidak sepenuhnya memuaskan dahaga intelektualnya karena sistem
pendidikannya yang pada saat itu masih bersifat tradisional dan tekstual.² Hal
ini justru mendorongnya untuk mencari pendekatan yang lebih rasional dan
sistematis dalam memahami Islam.
Titik kulminasi perkembangan intelektual Harun
Nasution terjadi ketika ia melanjutkan studi ke jenjang doktoral di Institute of
Islamic Studies, McGill University, Kanada. Di bawah bimbingan Wilfred Cantwell
Smith dan Fazlur Rahman, ia terpapar pada pendekatan ilmiah dalam studi Islam,
yang mengintegrasikan sejarah, filsafat, dan ilmu sosial.³ Pengaruh dari para
pemikir rasionalis dan modernis ini sangat besar dalam membentuk pandangan
intelektual Harun yang kemudian dikenal luas di Indonesia sebagai pelopor Islam
rasional.
Disertasi doktoralnya yang berjudul The Place of
Reason in Abduh’s Theology (1968) menunjukkan perhatian besarnya terhadap
pemikiran Muhammad Abduh, seorang reformis Islam Mesir yang menekankan
pentingnya akal dalam beragama.⁴ Dari sinilah terlihat bahwa proyek intelektual
Harun Nasution sangat dipengaruhi oleh semangat modernisme Islam dan pemikiran
filsafat Islam klasik, terutama rasionalisme Mu’tazilah.
Sekembalinya ke Indonesia, Harun Nasution
mengabdikan diri sebagai akademisi dan reformis pendidikan Islam. Ia menjabat
sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
(1973–1984), dan melalui posisinya ini ia berperan besar dalam memperkenalkan
studi filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf secara metodologis ke dalam kurikulum
pendidikan tinggi Islam di Indonesia.⁵ Ia memperjuangkan pendekatan keilmuan
yang integratif, rasional, dan terbuka terhadap disiplin ilmu non-keislaman
sebagai bagian dari pembaruan studi Islam yang kontekstual dan ilmiah.
Karya-karyanya, seperti Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, dan Akidah Islam, tidak
hanya menjadi rujukan utama dalam studi Islam rasional di Indonesia, tetapi
juga memperkuat posisinya sebagai pelopor pemikiran Islam modern yang mendorong
pengembangan intelektualisme dan nalar kritis di kalangan umat Islam.⁶ Dengan
demikian, biografi intelektual Harun Nasution tidak hanya mencerminkan
perjalanan pendidikan, tetapi juga menunjukkan transisi penting dari pendekatan
tekstual-tradisional ke pendekatan rasional-filosofis dalam memahami ajaran
Islam.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam:
Catatan atas Karya Harun Nasution (Jakarta: Paramadina, 1995), 15.
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 22.
[3]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD,
2006), 88–89.
[4]
Harun Nasution, The Place of Reason in Abduh’s
Theology (Montreal: McGill University, 1968), vii–ix.
[5]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika
3, no. 2 (1996): 17.
[6]
Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam:
Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 63–64.
3.
Konteks
Historis dan Pemikiran
Pemikiran Harun Nasution tidak lahir dalam ruang
hampa, tetapi merupakan respons terhadap dinamika sosial, politik, dan
keagamaan umat Islam, baik secara global maupun dalam konteks Indonesia. Abad
ke-20 merupakan masa ketika umat Islam secara luas menghadapi tekanan
modernisasi, kolonialisme, serta kebangkitan ilmu pengetahuan dan filsafat Barat
yang menantang otoritas tradisional keagamaan. Dalam situasi ini, banyak
pemikir Muslim—termasuk Harun Nasution—merasa penting untuk merumuskan kembali
cara umat Islam memahami agamanya secara lebih rasional dan kontekstual.¹
Secara historis, Indonesia mengalami gelombang
perubahan besar sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Dominasi
pendidikan tradisional berbasis pesantren atau madrasah sering kali menekankan
aspek dogmatis dan formalistik dalam beragama, sementara akses terhadap
pendekatan kritis-rasional masih sangat terbatas.² Hal ini mendorong munculnya
kebutuhan akan pembaruan pemikiran Islam yang dapat menjawab tantangan
intelektual dan sosial-politik modern. Harun Nasution, dalam konteks ini,
tampil sebagai pelopor gagasan reformasi teologis yang mengusung integrasi
antara iman dan akal sebagai basis untuk membangun kesadaran intelektual Islam
yang progresif.
Pemikiran Nasution juga dipengaruhi oleh munculnya
gerakan modernisme Islam di dunia Muslim, khususnya di Mesir dan India, yang
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Sir Sayyid Ahmad Khan.³ Mereka mengembangkan pendekatan baru terhadap teks
keagamaan dengan memprioritaskan akal, kontekstualisasi sejarah, serta adaptasi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Harun Nasution mengadopsi
semangat ini melalui kerangka berpikir filsafat Islam klasik, terutama
rasionalisme Mu’tazilah, yang ia nilai memiliki relevansi besar dalam
meneguhkan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan rasionalitas dan sains.⁴
Dalam konteks Indonesia, Harun Nasution mengusung
misi besar untuk mengubah paradigma keilmuan di perguruan tinggi Islam. Ia
menilai bahwa pendidikan Islam di Indonesia terlalu didominasi oleh pendekatan
fiqh sentris yang konservatif, sehingga menghasilkan lulusan yang tidak
memiliki daya analitis dan nalar kritis yang cukup.⁵ Sebagai tanggapan terhadap
hal tersebut, ia memperkenalkan pendekatan filsafat, teologi rasional, dan
sejarah pemikiran Islam sebagai instrumen untuk mendorong pembaruan berpikir di
lingkungan akademik.
Pemikiran Nasution juga harus dibaca dalam kerangka
transisi keilmuan dari tradisi ke modernitas. Perkembangan ilmu pengetahuan
yang pesat menuntut umat Islam untuk tidak semata-mata bersandar pada otoritas
masa lalu, tetapi juga mengembangkan metodologi baru yang dialogis terhadap
realitas sosial-kultural kontemporer. Ia menegaskan bahwa pemikiran Islam harus
bersifat dinamis dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa
kehilangan substansi keimanannya.⁶ Dalam hal ini, Harun Nasution tidak sekadar
berusaha memodernkan Islam, tetapi juga menyusun kembali dasar-dasar teologi
Islam agar selaras dengan prinsip-prinsip rasionalitas dan humanisme.
Dengan latar belakang tersebut, jelas bahwa konteks
historis pemikiran Harun Nasution sangat terkait erat dengan kebutuhan akan
revitalisasi cara berpikir keislaman yang mampu menghadirkan Islam sebagai
kekuatan transformatif di tengah perubahan zaman. Kontribusinya tidak hanya
terletak pada tawaran teologis, tetapi juga pada pembentukan tradisi akademik
baru dalam studi Islam di Indonesia.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas
Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 34.
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 41–42.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 15–17.
[4]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 96.
[5]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika
3, no. 2 (1996): 21.
[6]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 74.
4.
Rasionalisasi
dalam Pemikiran Teologis
Salah satu kontribusi paling signifikan Harun
Nasution dalam lanskap pemikiran Islam Indonesia adalah gagasannya mengenai rasionalisasi
teologi Islam. Baginya, teologi Islam (ilmu kalam) yang berkembang dalam
masyarakat Muslim Indonesia telah kehilangan daya hidup intelektualnya karena
cenderung mengabaikan peran akal dan lebih menekankan pada aspek-aspek
dogmatis.¹ Hal ini menurutnya merupakan warisan dari dominasi pemikiran
tradisional yang berkembang sejak abad pertengahan, terutama dari aliran
Asy‘ariyah, yang dikenal membatasi peran akal dalam menjelaskan prinsip-prinsip
keimanan.²
Sebagai bentuk koreksi terhadap kecenderungan
tersebut, Harun Nasution menawarkan suatu pendekatan teologis yang berbasis
pada rasionalisme, yang menurutnya dapat ditemukan secara historis dalam
pemikiran Mu‘tazilah. Ia memandang bahwa Mu‘tazilah adalah aliran
teologi Islam yang paling rasional, karena mereka mengedepankan akal dalam
menafsirkan ajaran agama dan dalam menjawab persoalan-persoalan metafisis.
Dalam perspektif Mu‘tazilah, akal tidak hanya mampu memahami realitas, tetapi
juga dapat membedakan antara yang baik dan buruk secara moral sebelum adanya
wahyu.³
Harun Nasution tidak serta-merta mengajak umat
Islam untuk menjadi penganut Mu‘tazilah secara ideologis, tetapi ia menilai
pendekatan rasional mereka sangat relevan dalam rangka membangun kembali
kerangka teologis yang mampu berdialog dengan tantangan zaman modern.⁴ Ia juga
menekankan pentingnya menyelaraskan antara iman dan akal agar tidak terjadi
dikotomi antara keyakinan keagamaan dan rasionalitas ilmiah. Bagi Nasution,
akal adalah alat penting yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk memahami ajaran
Islam secara mendalam dan kontekstual.⁵
Dalam kerangka itu, ia mengembangkan teologi
Islam rasional melalui karyanya Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah,
Analisa Perbandingan, yang menjadi buku teks penting di berbagai perguruan
tinggi Islam. Dalam buku ini, ia membandingkan berbagai aliran dalam ilmu kalam
secara objektif dan analitis, serta mendorong pembaca untuk memahami dinamika
teologis Islam melalui perspektif kritis dan historis.⁶ Ia juga memperkenalkan
istilah “teologi Islam modern” sebagai bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan berpikir
umat Islam masa kini yang hidup di tengah arus globalisasi dan kemajuan ilmu
pengetahuan.⁷
Harun Nasution juga menolak pendekatan teologis
apologetik yang kerap digunakan oleh sebagian kalangan untuk membentengi umat
Islam dari pengaruh Barat. Menurutnya, pendekatan apologetik tidak mendorong
perkembangan intelektual yang sehat, karena lebih bersifat reaktif ketimbang
solutif. Dalam pandangannya, umat Islam harus berani bersikap kritis terhadap
warisan intelektual masa lalu dan membuka ruang bagi pengembangan pemikiran
baru yang lebih rasional dan kontekstual.⁸
Rasionalisasi teologi yang ditawarkan oleh Harun
Nasution pada akhirnya bertujuan untuk membangun tradisi keilmuan Islam yang
terbuka, dinamis, dan mampu menghadirkan Islam sebagai kekuatan moral dan
intelektual dalam kehidupan modern. Melalui upaya ini, ia telah meletakkan
fondasi penting bagi kebangkitan pemikiran Islam di Indonesia yang bercorak
filosofis, ilmiah, dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 67.
[2]
Mulyadhi Kartanegara, Menalar Tuhan: Sebuah
Telaah terhadap Argumen-Argumen Kalam (Bandung: Mizan, 2006), 55.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 121.
[4]
Azyumardi Azra, “Pemikiran Neo-Mu‘tazilah dalam
Islam Kontemporer,” Millah 1, no. 1 (2001): 25–27.
[5]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika
3, no. 2 (1996): 22.
[6]
Harun Nasution, Teologi Islam, 9–15.
[7]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD,
2006), 102–104.
[8]
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 45–46.
5.
Pembaruan
Studi Islam dan Integrasi Ilmu
Salah satu warisan intelektual paling monumental
dari Harun Nasution adalah proyek reformasi pendidikan Islam di Indonesia,
khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam. Sebagai Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (1973–1984), Harun Nasution tidak hanya menjadi
administrator pendidikan, tetapi juga arsitek perubahan paradigma dalam studi
Islam. Ia menilai bahwa sistem pendidikan Islam saat itu terlalu tekstual, sempit
dalam pendekatan, dan miskin analisis kritis, sehingga menghasilkan lulusan
yang kurang siap menghadapi tantangan zaman modern.¹
Untuk menjawab masalah tersebut, Harun Nasution
menggagas integrasi ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu rasional dan modern,
termasuk filsafat, sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu-ilmu kemanusiaan
lainnya. Ia memperjuangkan model pendidikan Islam yang berbasis pada nalar
ilmiah, tanpa melepaskan fondasi keimanan dan nilai-nilai spiritualitas
Islam.² Baginya, studi Islam tidak cukup jika hanya dilihat dari sudut pandang
fikih atau tafsir normatif saja, melainkan harus dipahami secara
multidisipliner agar dapat menjawab kompleksitas persoalan umat kontemporer.
Pembaruan ini diwujudkan melalui perombakan
kurikulum dan pengembangan keilmuan di IAIN yang kemudian menjadi model
nasional. Harun Nasution memperkenalkan mata kuliah seperti filsafat Islam,
ilmu kalam, dan pemikiran Islam kontemporer, yang sebelumnya belum mendapat
tempat penting dalam kurikulum.³ Ia juga mendorong penulisan karya ilmiah yang
berbasis analisis kritis dan penggunaan metodologi ilmiah yang ketat dalam
studi Islam. Dengan demikian, ia membentuk atmosfer akademik baru yang lebih
terbuka dan reflektif.
Salah satu prinsip mendasar dari pembaruan ini
adalah keyakinan bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum,
sebuah pandangan yang ia warisi dari pemikiran klasik Islam sekaligus dari para
reformis modern seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman.⁴ Dalam pandangannya,
seluruh ilmu adalah manifestasi dari pengetahuan Ilahi yang harus dimanfaatkan
secara optimal untuk kemajuan umat manusia. Dengan kata lain, ilmu modern
bukanlah ancaman terhadap iman, melainkan alat untuk memperdalam pemahaman
agama secara rasional dan kontekstual.⁵
Konsep integrasi keilmuan yang diperjuangkan Harun
Nasution juga menjadi cikal bakal munculnya pendekatan interdisipliner dalam
studi Islam yang dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir-pemikir setelahnya,
seperti M. Amin Abdullah dengan konsep “jembatan epistemologis” antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial.⁶ Inilah kontribusi besar Harun Nasution dalam
menyiapkan fondasi epistemologis bagi reformasi intelektual di dunia pendidikan
tinggi Islam di Indonesia.
Dengan pembaruan ini, Harun Nasution membuka jalan
bagi lahirnya generasi baru intelektual Muslim Indonesia yang tidak hanya kuat
dalam tradisi keilmuan klasik, tetapi juga tanggap terhadap isu-isu kontemporer
seperti HAM, demokrasi, pluralisme, dan kemajuan teknologi.⁷ Maka, pembaruan
studi Islam dan integrasi ilmu yang digagasnya bukan hanya berfungsi sebagai
strategi akademik, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam membangun
peradaban Islam yang responsif, kritis, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam:
Catatan atas Karya Harun Nasution (Jakarta: Paramadina, 1995), 27.
[2]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 68.
[3]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika
3, no. 2 (1996): 18–20.
[4]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 53.
[5]
Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam:
Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 65.
[6]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 82–85.
[7]
A. Khudori Soleh, “Integrasi Ilmu dalam Wacana
Pendidikan Islam: Telaah atas Gagasan Harun Nasution dan M. Amin Abdullah,” Millah
6, no. 1 (2006): 93–95.
6.
Tafsir
Terhadap Pemikiran Klasik dan Modern
Sebagai pemikir rasionalis dalam konteks Islam
Indonesia modern, Harun Nasution menampilkan pendekatan hermeneutis yang khas
terhadap warisan pemikiran klasik Islam sekaligus pemikiran Islam modern. Ia
tidak memposisikan tradisi sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan, tetapi
sebagai bahan refleksi kritis yang dapat diinterpretasi ulang dalam konteks
zaman. Tafsirnya terhadap pemikiran Islam klasik dan modern menunjukkan
keterbukaan intelektual serta komitmen terhadap nilai-nilai rasionalitas,
kemanusiaan, dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks pemikiran klasik, Harun Nasution
secara khusus tertarik pada warisan rasionalisme Islam, terutama yang
berkembang dalam tradisi Mu’tazilah dan filsafat Islam klasik
seperti pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.¹ Ia
menilai bahwa para tokoh tersebut telah menampilkan wajah Islam yang bersahabat
dengan akal, logika, dan pemikiran sistematis, yang kemudian meredup seiring
berkembangnya dominasi teologi Asy‘ariyah yang lebih menekankan otoritas wahyu
dan irasionalisme.² Dalam pandangannya, rasionalisme klasik tersebut harus
direvitalisasi agar umat Islam masa kini tidak terperangkap dalam pola pikir
fatalistik dan taklid.³
Salah satu tokoh yang mendapat perhatian serius
dari Harun Nasution adalah Ibn Rusyd (Averroes), yang ia anggap sebagai
model pemikir Islam yang sukses menyelaraskan antara filsafat Yunani dan prinsip-prinsip
dasar ajaran Islam.⁴ Ia melihat bahwa Ibn Rusyd tidak hanya berhasil
mempertahankan prinsip rasionalitas, tetapi juga memformulasikan pendekatan
yang berimbang antara akal dan wahyu dalam kerangka pemikiran teologis dan
filosofis. Gagasan ini sangat memengaruhi cara Harun membingkai ulang
pentingnya nalar dalam beragama di era modern.
Selain para filsuf klasik, Harun Nasution juga
mengapresiasi pemikiran tokoh-tokoh teologi rasional seperti Qadi Abdul
Jabbar dan al-Nazham, yang menekankan keadilan Tuhan (al-‘adl) dan
kebebasan kehendak manusia dalam beragama.⁵ Melalui pembacaan ini, ia
menunjukkan bahwa rasionalitas dan tanggung jawab moral bukanlah hal baru dalam
Islam, tetapi telah menjadi bagian dari khazanah pemikiran klasik yang perlu dihidupkan
kembali.
Adapun dalam menafsirkan pemikiran Islam modern,
Harun Nasution sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh reformis seperti Muhammad
Abduh dan Fazlur Rahman. Dari Muhammad Abduh, ia mengadopsi prinsip
bahwa agama harus mampu berdialog dengan akal dan realitas sosial.⁶ Dalam
disertasinya di McGill University, Harun secara khusus mengkaji posisi akal
dalam teologi Muhammad Abduh sebagai wujud keterbukaan terhadap pendekatan
modern dalam studi keislaman.⁷ Ia memandang bahwa Abduh telah berhasil membuka
jalan bagi pembaharuan pemikiran Islam yang kontekstual tanpa harus
mengorbankan otoritas teks suci.
Sedangkan dari Fazlur Rahman, Harun Nasution
mengadopsi pendekatan historis dan hermeneutis dalam memahami wahyu dan
perkembangan pemikiran Islam. Rahman, dengan teori double movement-nya,
memberikan pengaruh besar dalam menekankan pentingnya pembacaan kontekstual
terhadap Al-Qur’an dan sejarah pemikiran Islam.⁸ Bagi Harun, pendekatan semacam
ini penting dalam membentuk paradigma baru studi Islam yang bersifat ilmiah,
historis, dan dialogis dengan tantangan kontemporer.
Melalui tafsir kritis terhadap kedua kutub—klasik
dan modern—Harun Nasution merumuskan model pemikiran Islam yang integratif dan
progresif. Ia tidak terjebak dalam glorifikasi masa lalu ataupun pengagungan
Barat secara membabi buta, melainkan membangun suatu sintesis yang kreatif.
Gagasannya ini mendorong pembaca Muslim untuk tidak hanya menghormati tradisi,
tetapi juga mengembangkan keberanian epistemologis untuk menafsirkan kembali
nilai-nilai dasar Islam secara rasional, ilmiah, dan relevan dengan kehidupan
modern.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 45–46.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 131.
[3]
Mulyadhi Kartanegara, Menalar Tuhan: Sebuah
Telaah terhadap Argumen-Argumen Kalam (Bandung: Mizan, 2006), 72.
[4]
Azyumardi Azra, Pergolakan Pemikiran Islam:
Catatan atas Karya Harun Nasution (Jakarta: Paramadina, 1995), 60.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 2000), 118–120.
[6]
Komaruddin Hidayat, “Rasionalisme Teologis dalam
Pemikiran Harun Nasution,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 27.
[7]
Harun Nasution, The Place of Reason in Abduh’s
Theology (Montreal: McGill University, 1968), ix–x.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 6–10.
7.
Pengaruh
dan Kritik Terhadap Pemikirannya
Pemikiran rasional Harun Nasution telah memberikan
dampak signifikan dalam dunia intelektual Islam di Indonesia, khususnya dalam
transformasi cara berpikir dan pendekatan keilmuan di lingkungan pendidikan
tinggi Islam. Salah satu warisan utamanya adalah penguatan posisi akal dan
nalar ilmiah dalam studi keislaman yang sebelumnya lebih dominan didasarkan
pada pendekatan tradisional dan normatif-dogmatis.¹ Gagasannya telah mendorong
kemunculan generasi intelektual Muslim yang lebih kritis, terbuka, dan berorientasi
pada pengembangan pemikiran Islam kontekstual di era modern.
Pengaruh Harun Nasution sangat nyata dalam
pembaruan kurikulum IAIN (kini UIN), yang membuka ruang bagi integrasi
ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, sosiologi agama, dan pemikiran Islam
kontemporer.² Reformasi pendidikan Islam ini kemudian menjadi model bagi banyak
perguruan tinggi Islam lainnya di Indonesia. Ia juga menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh pembaru berikutnya seperti M. Amin Abdullah, Komaruddin
Hidayat, Budhy Munawar-Rachman, dan Azyumardi Azra, yang
mengembangkan paradigma studi Islam berbasis interdisipliner dan integratif.³
Namun, meskipun mendapat apresiasi luas dari
kalangan akademisi, pemikiran Harun Nasution juga tidak lepas dari kritik, baik
dari pihak tradisionalis maupun kelompok neo-konservatif. Kritik utama datang
dari kalangan yang menilai pendekatan rasionalis Harun terlalu mengagungkan
akal dan terlalu dekat dengan pemikiran rasional Barat, bahkan dianggap membuka
peluang bagi relativisme agama.⁴ Sebagian menganggap bahwa upaya
revitalisasi rasionalisme Mu‘tazilah yang dilakukan Harun berpotensi menggerus
aspek spiritualitas dan transendensi Islam, karena terlalu menekankan logika
dan otonomi akal.⁵
Selain itu, pendekatannya dalam mengajarkan teologi
Islam secara historis-komparatif, yang menempatkan semua aliran pemikiran kalam
dalam posisi sejajar untuk ditelaah secara analitis, dianggap sebagian kalangan
sebagai berbahaya bagi aqidah mahasiswa. Pendekatan ini dikritik karena
tidak secara eksplisit membela satu mazhab tertentu (misalnya Asy‘ariyah) yang
secara tradisional dianggap sebagai arus utama dalam teologi Ahlus Sunnah wal
Jama‘ah.⁶
Namun demikian, Harun Nasution sendiri menegaskan
bahwa pendekatan akademik tidak boleh bersifat apologetik atau dogmatis. Ia
berpendapat bahwa kajian ilmu kalam harus diarahkan pada pemahaman yang
objektif dan rasional, sehingga mahasiswa tidak hanya menerima ajaran secara
pasif, tetapi mampu memahami dinamika sejarah pemikiran Islam secara kritis.⁷
Hal ini penting dalam konteks pendidikan tinggi, di mana pembentukan nalar
ilmiah dan intelektual menjadi tujuan utama.
Beberapa kalangan juga mengkritik Harun karena
dianggap kurang memberikan basis epistemologis yang kokoh untuk
membangun sintesis antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu modern. Dalam
pandangan mereka, proyek integrasi yang ditawarkannya masih bersifat normatif
dan belum cukup memberikan kerangka konseptual yang matang, sebagaimana
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh M. Amin Abdullah dengan pendekatan
integrasi-interkoneksi.⁸
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
Harun Nasution telah menjadi pelopor penting dalam membuka jalan bagi revitalisasi
pemikiran Islam Indonesia modern. Ia meletakkan dasar bagi pendekatan
keislaman yang berbasis rasionalitas, historisitas, dan kesadaran akademik.
Karyanya tetap relevan untuk dikaji dalam konteks pembangunan pemikiran Islam
yang ilmiah, kritis, dan tetap menghargai nilai-nilai spiritual.
Footnotes
[1]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika
3, no. 2 (1996): 14–16.
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 57–58.
[3]
Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam:
Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 68.
[4]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas
Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 40.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 2000), 122–123.
[6]
M. Quraish Shihab, “Menyikapi Perbedaan Teologis
dalam Tradisi Islam,” Millah 2, no. 1 (2002): 11–12.
[7]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), x–xii.
[8]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD,
2006), 104–105.
8.
Relevansi
Pemikirannya di Era Kontemporer
Pemikiran Harun Nasution tetap memiliki
signifikansi tinggi dalam menjawab tantangan intelektual, sosial, dan keagamaan
umat Islam di era kontemporer. Dalam situasi di mana kebangkitan spiritual
sering kali berjalan beriringan dengan kembalinya konservatisme teologis,
gagasan-gagasannya tentang rasionalisasi Islam, integrasi ilmu, dan
pembaruan pendidikan keagamaan menjadi sangat relevan. Ia menekankan bahwa
kemajuan umat Islam tidak hanya tergantung pada semangat beragama, tetapi juga
pada cara berpikir yang ilmiah, terbuka, dan kritis.¹
Di tengah derasnya arus informasi global,
berkembangnya populisme agama, dan meningkatnya kecenderungan eksklusivisme
dalam beragama, pendekatan Harun Nasution yang menekankan keselarasan antara
wahyu dan akal dapat menjadi titik tolak penting untuk mengembangkan Islam
sebagai kekuatan transformasi sosial yang rasional dan inklusif.² Ia mendorong
umat Islam untuk tidak hanya beragama secara ritualistik, tetapi juga membangun
kesadaran etis dan intelektual yang mendalam terhadap ajaran Islam serta
aplikasinya dalam konteks sosial-politik modern.³
Krisis epistemologis yang terjadi dalam studi Islam
kontemporer—di mana ilmu-ilmu keislaman sering kali terfragmentasi dan
terisolasi dari realitas sosial—juga menegaskan kembali urgensi pemikiran Harun
Nasution. Model integrasi ilmu yang ia gagas tetap menjadi referensi utama
dalam pengembangan kurikulum perguruan tinggi Islam, terutama dalam upaya
menciptakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan tradisi
keislaman dan ilmu-ilmu sosial-humaniora.⁴
Dalam bidang teologi, pemikirannya berkontribusi
terhadap pengembangan kalam kontekstual, yaitu suatu pendekatan terhadap
teologi Islam yang tidak hanya mengulang rumusan klasik, tetapi juga
memperhatikan tantangan dan kebutuhan zaman.⁵ Ini sangat penting untuk
merespons isu-isu kontemporer seperti demokrasi, pluralisme agama, keadilan
sosial, dan hak asasi manusia. Bagi Harun, konsep-konsep tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan justru dapat dimaknai secara konstruktif
melalui pendekatan rasional dan historis terhadap sumber-sumber keagamaan.⁶
Lebih dari itu, pendekatan intelektual Harun
Nasution dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap fundamentalisme
dan sikap taklid buta, yang kerap menghambat kemajuan umat Islam. Dalam era
di mana ideologi keagamaan sering digunakan untuk melegitimasi kekerasan dan
polarisasi sosial, pentingnya pemikiran rasional yang humanistik dan dialogis
menjadi semakin krusial. Harun memberikan dasar bahwa keimanan tidak harus bertentangan
dengan pemikiran rasional, dan bahwa Islam mampu memberikan solusi yang ilmiah
dan etis terhadap berbagai permasalahan kehidupan modern.⁷
Relevansi pemikiran Harun Nasution juga terlihat
dari pengaruhnya dalam pengembangan studi Islam berbasis riset, yang
terus menjadi prioritas di banyak universitas Islam. Ia telah menanamkan
tradisi berpikir kritis dan analitis dalam menghadapi khazanah keislaman,
sehingga mahasiswa dan akademisi tidak hanya menjadi pewaris pasif ajaran
agama, tetapi juga aktor aktif dalam mengembangkan pemikiran Islam yang dinamis
dan responsif.⁸
Dengan demikian, di tengah kompleksitas zaman yang
ditandai oleh digitalisasi, disrupsi nilai, dan tantangan ideologis, pemikiran
Harun Nasution tetap menjadi inspirasi penting untuk membangun paradigma Islam
yang rasional, inklusif, dan progresif—yakni Islam yang hadir bukan sekadar
sebagai identitas, tetapi sebagai energi pembebas dan pencerah bagi masyarakat.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), 59.
[2]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman,” Studia Islamika 3, no. 2 (1996): 23–24.
[3]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas
Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 39–40.
[4]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 101–103.
[5]
Syafiq Hasyim, “Contemporary Islamic Theological
Responses to Democracy and Pluralism in Indonesia,” Studia Islamika 11,
no. 3 (2004): 387–390.
[6]
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 78–79.
[7]
A. Khudori Soleh, “Rasionalisasi Islam: Gagasan
Harun Nasution dalam Menanggapi Gerakan Keagamaan Radikal,” Millah 5,
no. 2 (2005): 123–125.
[8]
Nizar Ali, “Pembaruan Pendidikan Tinggi Islam: Dari
Tradisional ke Akademik,” Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 (2014): 45–47.
9.
Kesimpulan
Pemikiran Harun Nasution merupakan tonggak penting
dalam sejarah intelektual Islam modern di Indonesia. Melalui pendekatan
rasional terhadap teologi dan filsafat Islam, ia berhasil mereformulasi
paradigma berpikir keislaman yang sebelumnya lebih bersifat dogmatis dan
apologetik menjadi lebih terbuka, kritis, dan kontekstual.¹ Ia menghidupkan
kembali semangat rasionalisme dalam tradisi Islam klasik, khususnya melalui
rehabilitasi pemikiran Mu’tazilah, dan mengintegrasikannya dengan prinsip-prinsip
modernitas, termasuk pendekatan ilmiah dan historis terhadap teks dan sejarah
Islam.²
Kontribusi terbesarnya terletak pada upaya
sistematisnya dalam melakukan rasionalisasi pemikiran teologis,
reformasi kurikulum pendidikan tinggi Islam, serta dorongannya terhadap integrasi
antara ilmu keislaman dan ilmu modern. Pemikiran-pemikirannya membuka ruang
bagi perkembangan studi Islam yang tidak hanya normatif, tetapi juga analitis
dan multidisipliner. Dengan demikian, Harun telah meletakkan fondasi bagi
transformasi epistemologis dalam pendidikan dan pemikiran Islam di Indonesia.³
Meskipun pemikirannya menuai kritik dari kalangan
tradisionalis dan konservatif—terutama karena pendekatannya yang menekankan
rasionalitas dan penilaian kritis terhadap warisan klasik—tetapi semangat
pembaruannya tetap relevan hingga kini. Dalam era kontemporer yang sarat dengan
tantangan ideologis, disinformasi keagamaan, dan polarisasi sosial, pendekatan
Islam rasional ala Harun Nasution mampu menawarkan kerangka keilmuan yang
moderat, dialogis, dan solutif.⁴
Lebih jauh, relevansi pemikirannya tidak hanya
dalam konteks akademik, tetapi juga dalam praktik sosial keagamaan. Gagasannya
menegaskan bahwa Islam bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga sistem
nilai yang rasional, humanis, dan dapat diartikulasikan secara ilmiah dalam
berbagai ruang kehidupan modern.⁵ Oleh karena itu, pemikiran Harun Nasution
tidak hanya menjadi warisan intelektual, tetapi juga inspirasi bagi generasi
Muslim masa kini untuk mengembangkan Islam sebagai kekuatan pembebas, pencerah,
dan transformatif.
Melalui keberaniannya dalam mereformasi cara
berpikir keagamaan, Harun Nasution telah membuka jalan bagi munculnya generasi
intelektual Muslim Indonesia yang berpikir kritis, inklusif, dan progresif.
Warisan pemikirannya terus hidup dalam wacana akademik, praktik pendidikan
Islam, serta pencarian akan wajah Islam yang ramah terhadap akal, ilmu
pengetahuan, dan kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Komaruddin Hidayat, “Menghidupkan Rasionalisme
dalam Studi Keislaman: Warisan Intelektual Harun Nasution,” Studia Islamika
3, no. 2 (1996): 14.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1996), 121–123.
[3]
M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika dalam Studi Islam (Yogyakarta: IRCiSoD,
2006), 102–104.
[4]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Menggagas
Paradigma Baru Beragama (Bandung: Mizan, 2000), 41.
[5]
Budhy Munawar-Rachman, Reformasi Islam:
Paradigma Baru Fikih Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 63.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. A. (1999). Studi agama:
Normativitas atau historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. A. (2006). Islam sebagai ilmu:
Epistemologi, metodologi, dan etika dalam studi Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ali, N. (2014). Pembaruan pendidikan tinggi Islam:
Dari tradisional ke akademik. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 37–52.
Azra, A. (1995). Pergolakan pemikiran Islam:
Catatan atas karya Harun Nasution. Jakarta: Paramadina.
Azra, A. (2000). Islam substantif: Menggagas
paradigma baru beragama. Bandung: Mizan.
Hasyim, S. (2004). Contemporary Islamic theological
responses to democracy and pluralism in Indonesia. Studia Islamika, 11(3),
367–393.
Hidayat, K. (1996). Menghidupkan rasionalisme dalam
studi keislaman: Warisan intelektual Harun Nasution. Studia Islamika, 3(2),
9–27.
Kartanegara, M. (2006). Menalar Tuhan: Sebuah
telaah terhadap argumen-argumen kalam. Bandung: Mizan.
Madjid, N. (2000). Islam doktrin dan peradaban:
Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Munawar-Rachman, B. (1999). Reformasi Islam:
Paradigma baru fikih Indonesia. Bandung: Mizan.
Munawar-Rachman, B. (2001). Islam pluralis:
Wacana kesetaraan kaum beriman. Jakarta: Paramadina.
Nasution, H. (1968). The place of reason in
Abduh’s theology (Doctoral dissertation, McGill University). Montreal:
McGill University.
Nasution, H. (1985). Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya (Jilid I). Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (1986). Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya (Jilid II). Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (1995). Islam rasional: Gagasan dan
pemikiran. Bandung: Mizan.
Nasution, H. (1996). Teologi Islam:
Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. Jakarta: UI Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Shihab, M. Q. (2002). Menyikapi perbedaan teologis
dalam tradisi Islam. Millah: Jurnal Studi Agama, 2(1), 1–14.
Soleh, A. K. (2005). Rasionalisasi Islam: Gagasan
Harun Nasution dalam menanggapi gerakan keagamaan radikal. Millah: Jurnal
Studi Agama, 5(2), 119–133.
Soleh, A. K. (2006). Integrasi ilmu dalam wacana
pendidikan Islam: Telaah atas gagasan Harun Nasution dan M. Amin Abdullah. Millah:
Jurnal Studi Agama, 6(1), 85–100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar