Rabu, 16 April 2025

Pemikiran Fazlur Rahman: Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Etika Sosial-Kontekstual

Pemikiran Fazlur Rahman

Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Etika Sosial-Kontekstual


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pemikiran Fazlur Rahman sebagai tokoh sentral dalam filsafat Islam modern dan kontemporer, dengan fokus pada pengembangan metode hermeneutika ganda (double movement theory) sebagai kerangka interpretatif terhadap Al-Qur’an. Dengan mengintegrasikan pendekatan historis dan etis, Rahman menawarkan strategi pembacaan ulang wahyu yang menekankan pada pentingnya memahami konteks historis turunnya ayat serta mentransformasikan nilai-nilai moral universal ke dalam kehidupan sosial modern. Artikel ini menguraikan secara sistematis aspek-aspek utama pemikiran Rahman, mulai dari biografi intelektual, fondasi epistemologis, teori hermeneutika, pandangan tentang wahyu dan sunnah, etika sosial, hingga kontribusinya dalam reformasi pendidikan Islam. Selain itu, pembahasan ini juga mengangkat kritik dan penerimaan atas pemikirannya serta menilai relevansi gagasan Rahman dalam merespons problematika kontemporer seperti pluralisme, keadilan sosial, dan krisis otoritas keagamaan. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan Fazlur Rahman membuka jalan bagi pembaruan Islam yang kontekstual, etis, dan berakar kuat pada tradisi intelektual Islam yang dinamis.

Kata Kunci: Fazlur Rahman; Hermeneutika Ganda; Tafsir Al-Qur’an; Etika Sosial; Reformasi Pemikiran Islam; Modernitas; Pendidikan Islam; Wahyu dan Sunnah.


PEMBAHASAN

Hermeneutika Neo-Modernis Fazlur Rahman


1.           Pendahuluan

Dalam dinamika sejarah intelektual Islam, pemikiran keagamaan tidak pernah berada dalam ruang hampa. Ia senantiasa berinteraksi dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang mengitarinya. Seiring dengan menguatnya tantangan modernitas dan globalisasi pada abad ke-20, umat Islam dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak warisan pemikiran klasik tidak lagi sepenuhnya relevan untuk menjawab kompleksitas persoalan kontemporer. Dalam konteks inilah muncul sejumlah pemikir yang berupaya merumuskan kembali pendekatan terhadap ajaran Islam, di antaranya adalah Fazlur Rahman, seorang pemikir Muslim asal Pakistan yang kemudian berkarya di Amerika Serikat dan dikenal luas sebagai arsitek utama dari gagasan neo-modernisme Islam.

Fazlur Rahman (1919–1988) hadir sebagai sosok penting dalam upaya mengintegrasikan semangat otentik Islam dengan tuntutan dunia modern. Ia menolak dikotomi antara agama dan akal, serta berusaha menjembatani tradisi dengan modernitas melalui pendekatan hermeneutis terhadap Al-Qur’an. Bagi Rahman, stagnasi pemikiran Islam klasik merupakan akibat dari terlepasnya dimensi etis dan historis dari teks-teks normatif, sehingga perlu adanya revitalisasi terhadap metode penafsiran yang kontekstual dan dinamis.¹ Dalam hal ini, hermeneutika bukan hanya metode untuk memahami makna teks, melainkan instrumen transformasi sosial yang mendorong umat Islam untuk menggali nilai-nilai universal dari Al-Qur’an dalam menjawab persoalan-persoalan aktual.

Gagasan utama Fazlur Rahman yang dikenal sebagai “double movement theory” (gerakan ganda), merupakan jantung dari metodologi tafsir yang ia tawarkan. Teori ini menyerukan dua langkah penting dalam membaca teks suci: pertama, memahami makna ayat dalam konteks sejarah turunnya (historisitas); dan kedua, mengekstraksi prinsip moral dari makna tersebut untuk diterapkan dalam konteks kehidupan modern.² Dengan pendekatan ini, Rahman mengusulkan agar umat Islam tidak sekadar mengulang pendapat ulama klasik secara taklid, tetapi justru menghidupkan kembali semangat ijtihad sebagai instrumen rekonstruksi hukum dan etika Islam dalam kerangka sosial yang terus berubah.

Lebih dari sekadar pendekatan tekstual, pemikiran Rahman memiliki dimensi filosofis yang kuat. Ia menolak reduksionisme legalistik yang menjadikan Islam hanya sebagai sistem hukum, dan menggantikannya dengan perspektif etis yang menjadikan moralitas sebagai inti ajaran Islam.³ Dengan demikian, pembaruan yang ia tawarkan bukan bersifat parsial atau kosmetik, melainkan menyentuh akar epistemologis dalam memahami wahyu dan realitas.

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh pemikiran Fazlur Rahman dalam konteks filsafat Islam kontemporer, khususnya pendekatan hermeneutika ganda yang menjadi ciri khasnya. Dengan menelaah secara kritis fondasi-fondasi epistemologis, metode tafsir, serta orientasi etis dalam pandangannya, artikel ini berupaya memberikan pemahaman yang utuh terhadap kontribusi Fazlur Rahman dalam merumuskan kembali peran Islam sebagai kekuatan moral dalam kehidupan sosial modern.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 4–6.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.

[3]                Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford University Press, 2004), 43–66.


2.           Biografi Intelektual Fazlur Rahman

Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 di Hazara, wilayah barat laut India Britania yang kini menjadi bagian dari Pakistan. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat dan memperoleh pendidikan awal dari ayahnya, seorang ulama yang berafiliasi dengan mazhab Deobandi. Pendidikan tradisional ini memberikan dasar kuat dalam ilmu-ilmu keislaman klasik seperti tafsir, hadis, dan fiqh. Namun, kehausannya terhadap ilmu pengetahuan membawanya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, yang kemudian mempertemukannya dengan pemikiran filsafat dan modernitas.¹

Rahman menyelesaikan gelar doktornya di Oxford University pada tahun 1949 dengan disertasi tentang filsafat Ibn Sina, yang menunjukkan ketertarikannya terhadap rasionalisme Islam klasik.² Karya akademik awal ini mengindikasikan kecenderungannya untuk membaca ulang warisan intelektual Islam dalam perspektif filosofis dan sistematis. Ia tidak memandang filsafat Islam sekadar sebagai perpanjangan tangan filsafat Yunani, melainkan sebagai ekspresi orisinal dari refleksi intelektual umat Islam terhadap wahyu dan akal.³

Setelah menyelesaikan studinya, Fazlur Rahman mengajar di Durham University di Inggris, sebelum kembali ke dunia Islam dengan menjadi Direktur Lembaga Penelitian Islam (Institute of Islamic Research) di Pakistan pada awal 1960-an. Dalam posisinya tersebut, ia berupaya mendorong reformasi pemikiran Islam melalui pendekatan rasional dan kontekstual. Namun, proyek pembaruannya menuai kritik tajam dari kalangan ulama konservatif di Pakistan yang menganggap pandangannya menyimpang dari arus utama. Puncaknya, fatwa kafir sempat dikeluarkan terhadapnya, yang mendorongnya untuk mengundurkan diri dan kembali ke Barat.⁴

Tahun 1969 menjadi titik balik penting ketika Rahman menerima tawaran mengajar di University of Chicago sebagai profesor studi Islam. Di sinilah ia menghasilkan karya-karya penting yang menegaskan posisinya sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam studi Islam modern. Melalui pengaruhnya di dunia akademik Barat, ia berhasil membangun jembatan dialog antara tradisi Islam dan pendekatan kritis kontemporer, tanpa kehilangan pijakan dalam nilai-nilai dasar Islam.⁵

Sepanjang hidupnya, Fazlur Rahman menekankan pentingnya penggabungan antara pemahaman tradisional dan pendekatan intelektual modern. Ia meyakini bahwa kebangkitan umat Islam tidak dapat dicapai kecuali melalui pembaruan cara berpikir—yakni dengan membaca Al-Qur’an secara kontekstual, memahami sejarah hukum Islam secara kritis, dan menempatkan etika sebagai poros utama dalam kehidupan keagamaan.⁶

Rahman wafat pada tahun 1988 di Chicago, meninggalkan warisan pemikiran yang tidak hanya penting bagi dunia akademik, tetapi juga bagi agenda reformasi intelektual Islam di seluruh dunia. Meski sering menuai kontroversi, warisan intelektualnya terus menjadi referensi dalam perdebatan kontemporer mengenai tafsir, hukum Islam, dan modernitas.⁷


Footnotes

[1]                Charles J. Adams, “Fazlur Rahman: A Biographical Note,” Islamic Studies 28, no. 1 (1989): 1–9.

[2]                Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Avicenna’s Treatise on the Soul (Oxford: Oxford University Press, 1952), vii–viii.

[3]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 222.

[4]                John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 126.

[5]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 287–297.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 100–102.

[7]                Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” in Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford University Press, 2004), 43–66.


3.           Latar Belakang Historis dan Epistemologis

Pemikiran Fazlur Rahman lahir dari suatu konteks historis yang ditandai oleh ketegangan antara warisan keilmuan Islam klasik dan tantangan zaman modern. Abad ke-19 dan ke-20 merupakan masa krisis bagi dunia Islam, ditandai dengan kemunduran politik, kolonialisme, serta lemahnya daya saing umat Islam dalam bidang sains dan peradaban. Dalam situasi tersebut, muncul dua kecenderungan ekstrem: pertama, sikap apologetik yang berupaya mempertahankan ajaran Islam secara literal tanpa kritik; dan kedua, sikap sekularistik yang mengadopsi modernitas Barat secara total tanpa mempertimbangkan integrasi nilai-nilai Islam.¹ Fazlur Rahman menilai bahwa kedua sikap ini gagal mengatasi tantangan zaman secara substantif karena mengabaikan akar epistemologis dari krisis yang dihadapi umat Islam.

Menurut Rahman, stagnasi pemikiran Islam bermula dari proses kodifikasi hukum Islam (fiqh) yang berkembang pada abad ke-2 hingga ke-4 Hijriyah, di mana pemahaman terhadap wahyu mengalami transformasi dari semangat etis-normatif menuju pendekatan legalistik-formal.² Peralihan ini menyebabkan nilai-nilai universal Al-Qur’an tereduksi dalam kerangka teknis hukum yang statis, dan menghilangkan fleksibilitas ijtihad yang awalnya menjadi ciri khas dinamika keilmuan Islam.³ Dalam perspektif epistemologisnya, Rahman menekankan bahwa wahyu (Al-Qur’an) harus dibaca sebagai respons terhadap konteks sosial-moral tertentu, bukan sebagai kumpulan pernyataan hukum yang terlepas dari realitas sejarah.

Pentingnya dimensi sejarah dalam memahami teks suci menjadi pusat dari kerangka berpikir Rahman. Ia menolak pendekatan skripturalistik yang mendewakan bentuk literal teks tanpa memahami konteks sosial-politik ketika teks tersebut diturunkan.⁴ Sebagai gantinya, Rahman menawarkan pendekatan hermeneutika historis yang berpijak pada kesadaran bahwa setiap teks lahir dalam ruang dan waktu tertentu, namun mengandung prinsip-prinsip moral universal yang dapat diekstraksi dan diterapkan dalam konteks modern.⁵ Di sinilah terlihat pengaruh dari filsafat hermeneutik Barat, terutama pemikiran Hans-Georg Gadamer, yang juga mengedepankan pentingnya dialog antara teks dan pembaca dalam kerangka historisitas pemahaman.⁶

Selain kritik terhadap stagnasi hukum, Rahman juga mengkritik dualisme dalam sistem pendidikan Islam. Menurutnya, keterputusan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu rasional merupakan penyebab utama disintegrasi intelektual dalam dunia Islam modern. Pendidikan tradisional menekankan hafalan dan pelestarian warisan klasik tanpa inovasi, sementara pendidikan sekuler kehilangan spiritualitas dan nilai-nilai moral Islam.⁷ Maka, salah satu misi utama dalam reformasi pemikiran Islam versi Rahman adalah rekonstruksi epistemologi Islam yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan pengalaman historis umat manusia secara harmonis.

Dari segi epistemologi, Fazlur Rahman menolak dikotomi antara rasionalitas dan spiritualitas. Ia mengembangkan paradigma pengetahuan yang bersifat teo-humanistik, yaitu mengakui wahyu sebagai sumber nilai normatif dan akal sebagai alat untuk memahami serta mengaktualisasikannya dalam masyarakat.⁸ Dengan pendekatan ini, ia menghidupkan kembali tradisi ijtihad sebagai upaya kolektif umat Islam dalam menanggapi dinamika kehidupan kontemporer dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar ajaran Islam.

Secara keseluruhan, pendekatan historis dan epistemologis Fazlur Rahman memberikan fondasi kritis sekaligus konstruktif bagi proyek pembaruan Islam. Ia berupaya merekonstruksi metodologi tafsir, mendobrak stagnasi intelektual, dan menyusun ulang struktur keilmuan Islam agar lebih responsif terhadap realitas zaman tanpa kehilangan otentisitas nilai-nilainya. Pemikiran Rahman menunjukkan bahwa pembaruan Islam tidak cukup dilakukan pada tataran hukum atau kelembagaan, melainkan harus dimulai dari transformasi cara berpikir umat Islam terhadap wahyu dan realitas.⁹


Footnotes

[1]                John L. Esposito, Islam and Politics, 4th ed. (Syracuse: Syracuse University Press, 1998), 192.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–20.

[3]                Ibid., 21–23.

[4]                Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” in Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford University Press, 2004), 44–45.

[5]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xi.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295–297.

[7]                Charles J. Adams, “The Idea of Education in the Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.

[8]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 288.

[9]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 225–226.


4.           Hermeneutika Ganda: Metodologi Tafsir Fazlur Rahman

Salah satu kontribusi terbesar Fazlur Rahman dalam wacana pemikiran Islam kontemporer adalah pengembangan metodologi tafsir Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah hermeneutika ganda atau double movement theory. Metode ini lahir dari keprihatinan Rahman terhadap pendekatan literalistik dan atomistik dalam penafsiran Al-Qur’an yang banyak berkembang dalam tradisi tafsir klasik maupun modern.¹ Menurutnya, umat Islam tidak cukup hanya memahami teks suci secara tekstual, tetapi juga harus menelusuri konteks historisnya dan mengekstrak prinsip-prinsip moral yang terkandung di dalamnya untuk kemudian diaplikasikan secara kreatif dalam konteks kontemporer.²

Secara metodologis, pendekatan hermeneutika ganda Rahman terdiri atas dua gerakan interpretatif utama:

1)                  Gerakan pertama adalah kembali ke masa turunnya wahyu untuk merekonstruksi konteks historis-sosial dari ayat-ayat Al-Qur’an. Langkah ini bertujuan untuk memahami pesan Tuhan sebagaimana dimaksudkan dalam konteks situasi masyarakat Arab abad ke-7. Menurut Rahman, pendekatan ini menuntut keterampilan dalam ilmu sejarah, antropologi, serta pemahaman terhadap kondisi sosial-budaya Arab awal.³

2)                  Gerakan kedua adalah menafsirkan makna normatif dari teks tersebut dan mentransformasikannya menjadi prinsip moral yang bersifat universal. Prinsip inilah yang kemudian harus diaplikasikan secara kontekstual untuk menjawab tantangan kehidupan modern.⁴

Dengan pendekatan ini, Rahman tidak hanya menekankan aspek tafsir sebagai proses tekstual, tetapi juga sebagai proses etis dan historis yang bersifat terus-menerus. Ia menolak sikap taqlid terhadap warisan tafsir klasik yang hanya meniru pendapat masa lalu tanpa mempertimbangkan dinamika zaman.⁵ Hermeneutika Rahman sangat menekankan keterlibatan aktif dari subjek pembaca yang bertanggung jawab secara moral dan sosial terhadap realitas umat Islam kontemporer.

Rahman juga mengkritik metode naskh (penghapusan ayat) yang digunakan dalam tafsir hukum klasik sebagai bentuk pembacaan tidak progresif terhadap wahyu. Ia menilai bahwa metode tersebut mengabaikan kemungkinan bahwa ayat-ayat hukum dapat mengandung semangat perubahan yang evolusioner, bukan sekadar aturan tetap.⁶ Dengan demikian, ayat-ayat Al-Qur’an harus dibaca sebagai bagian dari proyek moral dan sosial, bukan sebagai dokumen legal yang kaku.

Metodologi hermeneutika ganda ini sejalan dengan tujuan besar Rahman untuk menghidupkan kembali ijtihad dalam skala sosial. Ia ingin membangun sebuah kerangka tafsir yang mampu mendukung perubahan sosial dengan berlandaskan pada nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.⁷ Oleh karena itu, pendekatan Rahman bukan sekadar reinterpretasi terhadap Al-Qur’an, tetapi merupakan proyek pembaruan epistemologis yang berupaya mengintegrasikan wahyu, akal, dan realitas dalam satu kesatuan yang utuh.

Dalam wacana filsafat tafsir, pendekatan Rahman juga menunjukkan kedekatan dengan teori hermeneutika filosofis Barat, meskipun tidak identik. Beberapa akademisi melihat adanya pengaruh dari Hans-Georg Gadamer, khususnya dalam hal pentingnya “dialog historis” antara teks dan pembaca, serta perlunya mempertimbangkan horizon pemahaman yang berkembang.⁸ Namun, Rahman tetap mengakar kuat dalam tradisi keislaman dan bertujuan membangun metodologi yang relevan secara teologis dan operasional bagi umat Islam.

Aplikasi dari metode ini dapat dilihat dalam cara Rahman membaca isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, hak-hak perempuan, kebebasan beragama, dan sistem ekonomi Islam.⁹ Dalam semua isu tersebut, Rahman menekankan bahwa nilai-nilai dasar Al-Qur’an dapat membimbing masyarakat Muslim modern menuju sistem etis yang inklusif dan responsif, asalkan disertai dengan metode pembacaan yang mendalam, historis, dan kritis.

Dengan demikian, hermeneutika ganda Fazlur Rahman bukan hanya memberikan arah baru bagi studi Al-Qur’an, tetapi juga menawarkan paradigma pemikiran Islam yang relevan untuk masa kini dan masa depan. Metode ini mendorong keterlibatan intelektual umat Islam untuk menggali nilai-nilai transformatif dari teks wahyu, sekaligus meneguhkan posisi Islam sebagai agama yang adaptif, etis, dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–8.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.

[3]                Abdullah Saeed, “Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach,” The Muslim World 92, no. 3–4 (2002): 329–348.

[4]                Rahman, Islam and Modernity, 147–148.

[5]                Ebrahim Moosa, “Fazlur Rahman,” in The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press, 2009).

[6]                Rahman, Major Themes of the Qur’an, 4–5.

[7]                Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 13–14.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–272.

[9]                Charles J. Adams, “The Idea of Reform in the Thought of Fazlur Rahman,” in Voices of Resurgent Islam, ed. John L. Esposito (New York: Oxford University Press, 1983), 121–134.


5.           Pandangan Fazlur Rahman tentang Wahyu dan Sunnah

Pandangan Fazlur Rahman tentang wahyu dan sunnah menempati posisi sentral dalam keseluruhan kerangka pemikirannya mengenai rekonstruksi pemikiran Islam. Bagi Rahman, wahyu bukanlah sekadar serangkaian proposisi legal-formal yang diturunkan dalam ruang hampa, melainkan merupakan suatu komunikasi dinamis antara Tuhan dan manusia, yang berlangsung dalam konteks historis tertentu, dengan tujuan membimbing umat menuju kehidupan yang bermoral dan adil.¹ Oleh karena itu, pemahaman terhadap wahyu menuntut pendekatan yang tidak hanya tekstual tetapi juga historis dan etis.

Dalam perspektif Rahman, Al-Qur’an harus dibaca sebagai sumber utama nilai moral, bukan sekadar kitab hukum. Ia menolak pendekatan yang memandang wahyu hanya sebagai objek legalitas, sebab menurutnya hal ini telah menyebabkan deformasi terhadap pesan normatif Al-Qur’an.² Dalam Islam and Modernity, Rahman menyatakan bahwa wahyu Al-Qur’an adalah respons terhadap berbagai persoalan moral, sosial, dan spiritual masyarakat Arab pada masa Nabi, yang harus ditransformasikan ke dalam prinsip-prinsip universal yang relevan untuk semua zaman.³

Sebagai bagian dari upaya hermeneutikanya, Rahman menekankan pentingnya membedakan antara isi wahyu yang bersifat moral-transenden dan bentuk-bentuk sosial-historis yang menyertai penyampaiannya. Ini berarti bahwa nilai-nilai inti dalam wahyu dapat dan harus ditarik keluar dari bentuk-bentuk historisnya, agar dapat diterapkan secara kontekstual dalam kehidupan modern.⁴ Pendekatan ini tidak hanya memerlukan pemahaman terhadap teks, tetapi juga pemahaman terhadap struktur sosial, politik, dan budaya dari masyarakat yang menjadi objek pesan wahyu tersebut.

Adapun mengenai sunnah, Rahman mengambil sikap kritis terhadap kecenderungan tradisionalis yang memposisikan sunnah secara eksklusif sebagai sekumpulan teks hadis yang dibakukan oleh generasi-generasi berikutnya. Ia menekankan bahwa sunnah sejati adalah praksis hidup Nabi Muhammad yang bersumber dari respon etis dan spiritual beliau terhadap wahyu dalam konteks kehidupan nyata.⁵ Menurutnya, reduksi terhadap sunnah sebagai kumpulan literal hadis telah menjauhkan umat dari substansi moral dan spiritual dari teladan Nabi.

Rahman memandang bahwa banyak hadis—meskipun dihormati sebagai sumber penting—merupakan produk perkembangan sejarah Islam yang panjang, dan karenanya perlu dikaji secara kritis melalui pendekatan historis dan kontekstual.⁶ Dengan demikian, sunnah tidak seharusnya dipahami secara tekstualistik, melainkan harus ditafsirkan ulang melalui kacamata prinsip moral Al-Qur’an yang menjadi fondasi ajaran kenabian itu sendiri.

Implikasi dari pandangan ini sangat signifikan dalam kerangka pembaruan hukum Islam. Bagi Rahman, pemahaman terhadap wahyu dan sunnah tidak boleh terjebak pada pembekuan teks, melainkan harus diarahkan pada penggalian nilai-nilai moral yang dapat menjadi dasar bagi rekonstruksi hukum Islam yang adil, kontekstual, dan sesuai dengan semangat zaman.⁷ Oleh karena itu, Rahman mengajukan gagasan bahwa ijtihad kontemporer harus berpijak pada prinsip etika wahyu, bukan semata pada analogi dari preseden hukum klasik.

Dalam kerangka filsafat Islam modern, pandangan Fazlur Rahman ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan normatif-tekstual menuju pendekatan normatif-moral yang berakar dalam tradisi tetapi terbuka terhadap pemaknaan ulang. Pandangannya mengenai wahyu dan sunnah menegaskan bahwa Islam adalah agama yang berorientasi pada keadilan sosial dan transformasi etis, yang hanya dapat diwujudkan apabila umat Islam mengembangkan pemahaman yang dinamis dan bertanggung jawab terhadap warisan wahyu.⁸


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–8.

[2]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 19–22.

[3]                Rahman, Islam and Modernity, 147–148.

[4]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.

[5]                Ebrahim Moosa, “Fazlur Rahman,” in The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford University Press, 2009).

[6]                Charles J. Adams, “The Idea of the Sunnah in the Thought of Fazlur Rahman,” in Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin (Tucson: University of Arizona Press, 1985), 79–92.

[7]                Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 14–16.

[8]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 224–225.


6.           Etika Sosial dan Moral dalam Islam

Dalam kerangka pemikiran Fazlur Rahman, Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan spiritual, tetapi lebih dari itu—ia adalah sistem etika sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang adil, bermoral, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.⁽¹⁾ Berangkat dari pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang memuat respons terhadap tantangan moral dan sosial masyarakat Arab abad ke-7, Rahman menekankan bahwa pesan universal Islam harus dipahami sebagai prinsip-prinsip etika yang dapat diterapkan secara transformatif dalam realitas sosial masa kini.

Bagi Rahman, misi utama wahyu adalah menumbuhkan kesadaran moral kolektif dalam masyarakat, yang mencakup tanggung jawab terhadap keadilan, keseimbangan sosial, dan solidaritas kemanusiaan.⁽²⁾ Dalam Major Themes of the Qur’an, ia menjelaskan bahwa tema-tema besar Al-Qur’an bukan berpusat pada rincian hukum, melainkan pada prinsip-prinsip moral seperti keadilan (‘adl), belas kasih (rahmah), kejujuran (sidq), dan amanah.⁽³⁾ Prinsip-prinsip inilah yang menjadi fondasi etika sosial Islam, dan harus menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan publik dan norma sosial.

Dalam pandangan Rahman, kegagalan umat Islam kontemporer dalam membangun masyarakat etis bersumber dari pendekatan legalistik terhadap Islam yang mengabaikan aspek moral dan sosial dari syariat. Ia mengkritik pemikiran fiqh klasik yang terlalu fokus pada formulasi hukum formal, tanpa memperhatikan dinamika masyarakat dan perkembangan konteks historis.⁽⁴⁾ Sebagai respons terhadap problem tersebut, Rahman menawarkan pendekatan etika normatif yang bersumber dari prinsip-prinsip Al-Qur’an, yang harus diolah melalui refleksi kontekstual dan ijtihad kolektif.

Lebih lanjut, Rahman menekankan bahwa syariah harus dipahami sebagai proyek etis, bukan hanya sebagai sistem hukum.⁽⁵⁾ Dalam arti ini, hukum Islam tidak boleh dianggap sebagai norma tetap yang ahistoris, tetapi sebagai manifestasi dari nilai-nilai moral yang berkembang sesuai konteks sosial. Oleh karena itu, setiap formulasi hukum atau kebijakan dalam masyarakat Muslim modern harus dievaluasi berdasarkan sejauh mana ia mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.

Etika sosial dalam Islam, menurut Rahman, memiliki implikasi luas dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Dalam konteks ekonomi, misalnya, ia mengkritik praktik kapitalisme eksploitatif yang tidak selaras dengan prinsip keadilan distributif dalam Islam.⁽⁶⁾ Ia menganjurkan pembangunan sistem ekonomi Islam yang menjamin pemerataan, solidaritas sosial, dan penghapusan kemiskinan struktural. Dalam bidang politik, Rahman mendukung demokratisasi sebagai bentuk nyata dari nilai musyawarah (shura) dan partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan.⁽⁷⁾ Sementara dalam pendidikan, ia menyerukan integrasi antara ilmu agama dan ilmu modern untuk membentuk manusia Muslim yang holistik dan bertanggung jawab secara sosial.

Sebagai konsekuensi dari pendekatan ini, Fazlur Rahman meyakini bahwa rekonstruksi pemikiran Islam harus berakar pada proyek etika sosial. Ia menolak pendekatan apolitis dan individualistik dalam keberagamaan yang hanya berfokus pada ritus pribadi, seraya menekankan bahwa keberagamaan sejati adalah yang mendorong transformasi sosial yang adil dan beradab.⁽⁸⁾ Dengan kata lain, Islam bagi Rahman adalah agama aksi moral (moral action), bukan sekadar sistem normatif.

Pemikiran etika sosial Fazlur Rahman membuka ruang bagi pemaknaan Islam sebagai agama yang progresif dan responsif terhadap keadilan sosial, serta menjadikan teks wahyu sebagai pemandu moral dalam merespons berbagai problematika kehidupan modern, mulai dari ketimpangan ekonomi, otoritarianisme, hingga isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–18.

[2]                Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” in Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford University Press, 2004), 43–46.

[3]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 14–19.

[4]                Charles J. Adams, “The Idea of Reform in the Thought of Fazlur Rahman,” in Voices of Resurgent Islam, ed. John L. Esposito (New York: Oxford University Press, 1983), 121–122.

[5]                Rahman, Islam and Modernity, 100–102.

[6]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 225–226.

[7]                John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 128.

[8]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 290–292.


7.           Pendidikan dan Reformasi Pemikiran Islam

Fazlur Rahman memandang pembenahan sistem pendidikan Islam sebagai pilar utama dalam proyek reformasi intelektual umat. Menurutnya, krisis pemikiran yang melanda dunia Islam modern tidak semata-mata bersumber dari stagnasi fiqh atau dominasi tafsir literal, tetapi berakar pada disintegrasi epistemologis dalam sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu rasional.¹ Ketimpangan ini menciptakan keterputusan antara wahyu dan realitas, antara tradisi dan modernitas, serta antara pemahaman spiritual dan kemampuan analitis umat Islam dalam menjawab tantangan zaman.

Dalam analisis Rahman, sistem pendidikan tradisional Islam (terutama di madrasah dan pesantren klasik) cenderung mengabsolutkan turats (warisan klasik) tanpa kritik historis dan hermeneutis. Di sisi lain, pendidikan modern sekuler yang diwarisi dari sistem kolonial telah mengalienasi peserta didik Muslim dari nilai-nilai spiritual Islam, menjadikannya aktor-aktor rasional tanpa orientasi moral-religius.² Akibatnya, umat Islam mengalami apa yang oleh Rahman disebut sebagai “split mentality”—keterbelahan mental antara iman dan akal, antara agama dan ilmu.³

Sebagai solusi, Rahman menawarkan rekonstruksi sistem pendidikan Islam yang bersifat integratif. Ia menyerukan penggabungan antara kajian tekstual (naqli) dengan pendekatan rasional (aqli), antara tradisi keilmuan klasik Islam dengan metode berpikir ilmiah modern. Pendidikan yang ideal dalam pandangannya adalah yang mampu menghasilkan intelektual Muslim yang religius, kritis, serta memiliki kapasitas moral dan sosial untuk memimpin transformasi umat.⁴

Salah satu konsep penting yang diajukan oleh Rahman adalah perlunya revitalisasi ijtihad dalam pendidikan. Ijtihad, dalam hal ini, tidak hanya dipahami sebagai proses hukum formal, tetapi sebagai kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan etis dalam merespons berbagai persoalan kontemporer.⁵ Maka, kurikulum pendidikan Islam harus mampu melatih nalar analitik dan etika sosial, bukan sekadar menghafal teks atau menduplikasi otoritas masa lalu.

Pengalaman Rahman sebagai Direktur Institute of Islamic Research di Pakistan memperlihatkan visinya dalam membangun pusat kajian yang mampu mempertemukan ulama tradisional dengan intelektual modern.⁶ Meskipun gagasannya mendapat resistensi kuat dari kalangan konservatif hingga ia terpaksa meninggalkan Pakistan, pengalaman tersebut memperkuat keyakinannya bahwa reformasi pemikiran Islam tidak akan berhasil tanpa reformasi sistemik dalam dunia pendidikan.

Dalam tulisan-tulisannya, Rahman juga mengusulkan bahwa lembaga pendidikan Islam harus menjadi pusat pengembangan teologi kontekstual, bukan hanya pengajaran dogmatis. Ia menekankan perlunya pendekatan problem-based learning dalam memahami Al-Qur’an dan hadis, yaitu dengan mengaitkan teks-teks keagamaan dengan realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya umat Islam saat ini.⁷

Lebih jauh, Rahman menegaskan bahwa pendidikan Islam harus melampaui batas-batas nasional dan sektarian, serta bersifat universal dan inklusif. Ia mengimpikan lahirnya generasi Muslim global yang mampu berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas religiusnya.⁸ Visi ini sangat relevan dalam era globalisasi dan kompleksitas kontemporer, ketika umat Islam dituntut untuk menjadi agen perubahan yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga kuat secara intelektual dan sosial.

Dengan demikian, dalam pandangan Fazlur Rahman, pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, tetapi media utama reformasi peradaban. Ia percaya bahwa hanya melalui pendidikan yang integratif, umat Islam dapat membangun kembali khazanah intelektualnya dan menyesuaikan ajaran Islam dengan semangat zaman secara kreatif dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 130–132.

[2]                Charles J. Adams, “The Idea of Education in the Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.

[3]                Rahman, Islam and Modernity, 132–133.

[4]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 290–291.

[5]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 26.

[6]                John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 127–128.

[7]                Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 14.

[8]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 226–227.


8.           Kritik dan Penerimaan terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Pemikiran Fazlur Rahman mengenai rekonstruksi pemikiran Islam melalui pendekatan hermeneutika etis dan historis telah memantik respons yang luas dan beragam dari kalangan intelektual, ulama, dan akademisi, baik di dunia Islam maupun di Barat. Pandangannya yang berani dan progresif menginspirasi banyak pembaharu Muslim modern, namun juga menuai resistensi tajam dari kelompok-kelompok tradisionalis dan fundamentalis. Hal ini menunjukkan bahwa posisi pemikiran Rahman berada di garis depan dalam perdebatan tentang otoritas, metodologi, dan arah masa depan pemikiran Islam.

Di satu sisi, pemikiran Rahman mendapat apresiasi besar dari kalangan akademisi dan cendekiawan Muslim progresif. Mereka melihat Rahman sebagai pelopor penting dalam menjembatani Islam dengan modernitas tanpa kehilangan keotentikan wahyu. Ebrahim Moosa, misalnya, menyebut Rahman sebagai salah satu pemikir yang berhasil menggabungkan tradisi intelektual Islam klasik dengan metodologi ilmiah kontemporer, khususnya dalam menafsirkan Al-Qur’an secara normatif dan sosial.¹ Abdullah Saeed juga mengakui kontribusi besar Rahman dalam membentuk kerangka tafsir kontekstual yang memampukan umat Islam untuk merespons isu-isu keadilan, hak asasi manusia, dan pluralisme dengan landasan moral dari Al-Qur’an.²

Penerimaan terhadap gagasan Rahman juga tampak dalam pengaruhnya terhadap pemikir-pemikir kontemporer seperti Khaled Abou El Fadl, Farid Esack, dan Amina Wadud, yang mengembangkan pendekatan hermeneutik dan etis dalam kajian gender, hak-hak sipil, dan reformasi hukum Islam.³ Di lingkungan akademik Barat, karya-karya Rahman sering dijadikan referensi utama dalam studi Islam, terutama dalam bidang tafsir, etika, dan modernisasi pemikiran Islam.

Namun, di sisi lain, kritik keras datang dari kalangan ulama konservatif dan kelompok Islamis, baik di Pakistan maupun di luar negeri. Ketika menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Research di Pakistan, Rahman dituduh sebagai agen Westernisasi yang mencoba melemahkan posisi fiqh dan otoritas tradisi Islam. Fatwa kafir bahkan sempat dikeluarkan oleh sebagian ulama Pakistan, memaksanya untuk mengundurkan diri dan meninggalkan negaranya.⁴

Salah satu titik kritik utama terhadap Rahman adalah pada pemahamannya tentang sunnah dan hadis. Ia dianggap terlalu merelatifkan otoritas hadis dengan mengutamakan sunnah sebagai praksis etis Nabi daripada teks-teks hadis yang dibakukan.⁵ Pendekatan ini dituduh mengaburkan batas antara sejarah dan normativitas, serta membuka ruang bagi subjektivisme dalam ijtihad.

Kritik lain juga diarahkan pada teori “double movement” yang dianggap terlalu fleksibel dan berisiko mengabaikan ketentuan normatif dari teks. Beberapa ulama menyatakan bahwa metode ini dapat membuka peluang penafsiran liberal yang terlalu mengikuti selera zaman dan menjauhkan umat dari makna literal Al-Qur’an.⁶

Namun, sebagian akademisi mencoba mengambil posisi moderat dengan mengakui kelebihan Rahman dalam memberikan alat konseptual untuk berpikir ulang tentang Islam secara kontekstual, sembari menekankan pentingnya disiplin ilmiah dalam menghindari penafsiran yang liar.⁷ Dengan kata lain, pendekatan Rahman diakui membawa nilai metodologis penting, tetapi tetap memerlukan kehati-hatian dalam aplikasinya.

Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, pemikiran Fazlur Rahman telah membuka ruang penting bagi dialog kritis dalam studi Islam kontemporer. Ia meletakkan dasar bagi metodologi tafsir yang etis, progresif, dan kontekstual, yang tetap berpijak pada Al-Qur’an namun tidak terjebak dalam bentuk-bentuk historis yang kaku. Dengan warisan intelektualnya, Rahman telah meninggalkan jejak mendalam dalam dunia pemikiran Islam dan menginspirasi generasi baru pemikir Muslim yang berusaha mengintegrasikan antara tradisi dan modernitas secara bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 287–297.

[2]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 43–44.

[3]                Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 13–16.

[4]                John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 127–129.

[5]                Charles J. Adams, “The Idea of the Sunnah in the Thought of Fazlur Rahman,” in Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin (Tucson: University of Arizona Press, 1985), 79–92.

[6]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 225–226.

[7]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 49–51.


9.           Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman di Era Kontemporer

Pemikiran Fazlur Rahman terus menunjukkan relevansinya dalam menghadapi tantangan dunia Islam modern, terutama dalam konteks globalisasi, pluralisme, krisis otoritas keagamaan, serta kebutuhan umat akan penafsiran Al-Qur’an yang responsif dan solutif. Pendekatan hermeneutika ganda yang ia kembangkan tidak hanya menjadi alternatif metodologis dalam studi tafsir, tetapi juga menjadi fondasi filosofis untuk membangun paradigma keislaman yang inklusif, etis, dan progresif dalam menjawab dinamika sosial-politik umat masa kini.¹

Salah satu relevansi utama pemikiran Rahman adalah dalam reformulasi hubungan antara wahyu dan realitas sosial. Di tengah berkembangnya wacana hukum Islam yang rigid dan legalistik, Rahman menawarkan pendekatan yang menekankan prinsip-prinsip moral Al-Qur’an sebagai fondasi dalam membentuk sistem etika sosial yang kontekstual.² Dalam masyarakat Muslim yang berhadapan dengan isu-isu kontemporer seperti keadilan gender, demokratisasi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia, pendekatan Rahman memungkinkan pembacaan wahyu yang tidak terperangkap pada bentuk historis hukum, tetapi berfokus pada tujuan-tujuan etis yang hendak dicapai oleh wahyu tersebut.

Pandangan Rahman tentang ijtihad sebagai instrumen rasional dan etis dalam membumikan ajaran Islam menjawab kebutuhan mendesak akan otoritas interpretatif yang kontekstual. Ia menolak pemonopolian tafsir oleh elite tradisionalis dan mendorong keterlibatan intelektual Muslim yang memahami teks dan realitas secara seimbang.³ Dalam konteks kontemporer, pendekatan ini membuka ruang partisipasi bagi berbagai kelompok, termasuk perempuan dan minoritas, dalam proses pembacaan ulang ajaran Islam secara inklusif.

Di bidang pendidikan, relevansi gagasan Rahman sangat terasa dalam upaya merumuskan kurikulum keislaman yang integratif dan dialogis. Dalam era disrupsi digital dan derasnya arus informasi, generasi Muslim membutuhkan pendekatan pendidikan yang tidak hanya menghafal teks, tetapi juga mengasah nalar kritis, sensitivitas sosial, dan komitmen moral.⁴ Rahman menawarkan basis epistemologis untuk membangun pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara turats dan modernitas, antara wahyu dan akal, antara nilai dan ilmu.

Pemikiran Rahman juga relevan dalam membangun wacana Islam yang toleran dan multikultural, khususnya di tengah meningkatnya ketegangan identitas dan eksklusivisme keagamaan. Ia menekankan bahwa nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan penghargaan terhadap martabat manusia bersifat lintas etnik, budaya, dan agama.⁵ Oleh sebab itu, Islam yang diperjuangkan Rahman bukanlah Islam politik yang eksklusif, melainkan Islam moral yang transformatif dan terbuka terhadap koeksistensi damai dalam masyarakat plural.

Di tengah tantangan epistemologis dari modernisme dan postmodernisme, pemikiran Rahman menjadi jembatan yang menjawab kebutuhan akan pembacaan tekstual yang tetap berakar dalam tradisi, namun mampu berdialog dengan dunia modern secara kritis. Ia tidak memosisikan Islam dalam posisi inferior atau apologetik di hadapan modernitas, tetapi mengusulkan suatu pendekatan tafsir dan etika yang mampu memadukan otentisitas wahyu dengan rasionalitas sejarah.⁶

Rahman juga menawarkan arah yang penting dalam merumuskan Islam sebagai kekuatan peradaban, bukan sekadar sistem hukum atau ritual. Dalam dunia yang ditandai oleh krisis ekologis, konflik sosial, dan ketimpangan ekonomi global, pendekatan Rahman mengajak umat Islam untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber etika sosial yang mendorong keterlibatan aktif dalam transformasi dunia.⁷

Dengan demikian, Fazlur Rahman menghadirkan sebuah pendekatan yang relevan dan dibutuhkan pada era kontemporer: Islam sebagai agama moral yang membebaskan, menyejahterakan, dan memanusiakan. Warisan pemikirannya menjadi sumber inspirasi bagi pembaruan Islam yang rasional, etis, dan kontekstual, serta menjadi landasan kokoh dalam membangun paradigma keislaman yang mampu berdialog secara kritis dan konstruktif dengan zaman.


Footnotes

[1]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 25–26.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xi.

[3]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 292–293.

[4]                Charles J. Adams, “The Idea of Education in the Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.

[5]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 50.

[6]                Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004), 227.

[7]                Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 14–16.


10.       Kesimpulan

Pemikiran Fazlur Rahman tentang rekonstruksi Islam melalui pendekatan hermeneutika ganda menandai suatu titik balik penting dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Di tengah kebuntuan metodologis yang mengakar dalam tradisi legalistik, serta kegagalan pendekatan modernis yang sering kehilangan basis spiritual, Rahman menawarkan jalan tengah yang etis, rasional, dan kontekstual. Gagasannya bukan sekadar reinterpretasi teks, melainkan proyek pembaruan epistemologis yang menyentuh fondasi cara berpikir umat Islam terhadap wahyu, sunnah, hukum, dan moralitas sosial

Hermeneutika ganda Rahman—yang terdiri dari dua gerakan utama: rekonstruksi konteks historis dan formulasi prinsip moral universal—menjadi kontribusi metodologis paling signifikan dalam usahanya membumikan Al-Qur’an di tengah dinamika zaman.² Dengan pendekatan ini, Rahman menghindari dua ekstrem: fundamentalisme tekstual yang menolak konteks, dan liberalisme interpretatif yang melemahkan otoritas teks. Ia mendorong agar umat Islam tidak berhenti pada bentuk hukum, melainkan terus menggali pesan etis yang terkandung di balik teks suci untuk ditransformasikan dalam kehidupan sosial yang adil dan beradab.³

Rahman juga memberikan kontribusi besar dalam bidang pendidikan dan reformasi pemikiran Islam, dengan menekankan pentingnya integrasi antara ilmu agama dan ilmu rasional. Gagasannya tentang ijtihad yang berbasis moral dan kontekstual, serta perlunya sistem pendidikan yang mendorong lahirnya intelektual Muslim yang reflektif dan solutif, menunjukkan bahwa reformasi tidak akan mungkin terwujud tanpa pembenahan epistemologi pendidikan.⁴

Meskipun pemikirannya menuai kritik dari kalangan tradisionalis dan sebagian kelompok Islamis yang menilai pendekatannya terlalu modernis, pengaruhnya tetap besar dalam diskursus Islam global. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi pemikir seperti Farid Esack, Amina Wadud, Khaled Abou El Fadl, dan banyak intelektual Muslim lain yang bergerak dalam medan pembaruan hukum, tafsir gender, pluralisme, dan hak asasi manusia.⁵

Relevansi pemikiran Rahman semakin nyata dalam konteks dunia Islam yang sedang bergulat dengan tantangan kontemporer: radikalisme agama, konservatisme intelektual, krisis ekologis, dan ketimpangan sosial. Dalam konteks ini, warisan intelektual Rahman menjadi sumber inspirasi moral dan metodologis bagi pembentukan paradigma Islam yang lebih terbuka, partisipatif, dan progresif.⁶

Dengan demikian, Fazlur Rahman tidak hanya dikenang sebagai sarjana Muslim yang produktif, tetapi juga sebagai arsitek pemikiran Islam modern yang mendalam, sistematis, dan visioner. Gagasan-gagasannya menegaskan bahwa pembaruan Islam bukanlah pengkhianatan terhadap tradisi, tetapi justru upaya untuk menghidupkan kembali semangat ijtihad dan etika sosial Al-Qur’an dalam menghadapi realitas yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–8.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.

[3]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 24–25.

[4]                Charles J. Adams, “The Idea of Education in the Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.

[5]                Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 13–16.

[6]                Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 287–297.


Daftar Pustaka

Abu-Rabi’, I. M. (2004). Contemporary Arab thought: Studies in post-1967 Arab intellectual history. Pluto Press.

Adams, C. J. (1983). The idea of reform in the thought of Fazlur Rahman. In J. L. Esposito (Ed.), Voices of resurgent Islam (pp. 121–134). Oxford University Press.

Adams, C. J. (1984). The idea of education in the thought of Fazlur Rahman. Islamic Studies, 23(1), 1–20.

Adams, C. J. (1985). The idea of the Sunnah in the thought of Fazlur Rahman. In R. C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in religious studies (pp. 79–92). University of Arizona Press.

Esack, F. (1997). Qur’an, liberation and pluralism: An Islamic perspective of interreligious solidarity against oppression. Oneworld.

Esposito, J. L. (1992). The Islamic threat: Myth or reality? Oxford University Press.

Esposito, J. L. (1998). Islam and politics (4th ed.). Syracuse University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Moosa, E. (1999). Revitalizing Islamic thought: The legacy of Fazlur Rahman. The Muslim World, 89(3–4), 287–297. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1999.tb02749.x

Rahman, F. (1952). Avicenna’s psychology: An English translation of Avicenna’s treatise on the soul. Oxford University Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Rahman, F. (2009). Major themes of the Qur’an (2nd ed.). University of Chicago Press.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach. Routledge.

Saeed, A. (2004). Fazlur Rahman: A framework for interpreting the ethico-legal content of the Qur’an. In S. Taji-Farouki (Ed.), Modern Muslim intellectuals and the Qur’an (pp. 43–66). Oxford University Press.

Taji-Farouki, S. (Ed.). (2004). Modern Muslim intellectuals and the Qur’an. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar