Pemikiran Fazlur Rahman
Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Etika
Sosial-Kontekstual
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pemikiran Fazlur Rahman
sebagai tokoh sentral dalam filsafat Islam modern dan kontemporer, dengan fokus
pada pengembangan metode hermeneutika ganda (double movement theory)
sebagai kerangka interpretatif terhadap Al-Qur’an. Dengan mengintegrasikan
pendekatan historis dan etis, Rahman menawarkan strategi pembacaan ulang wahyu
yang menekankan pada pentingnya memahami konteks historis turunnya ayat serta
mentransformasikan nilai-nilai moral universal ke dalam kehidupan sosial
modern. Artikel ini menguraikan secara sistematis aspek-aspek utama pemikiran
Rahman, mulai dari biografi intelektual, fondasi epistemologis, teori
hermeneutika, pandangan tentang wahyu dan sunnah, etika sosial, hingga
kontribusinya dalam reformasi pendidikan Islam. Selain itu, pembahasan ini juga
mengangkat kritik dan penerimaan atas pemikirannya serta menilai relevansi
gagasan Rahman dalam merespons problematika kontemporer seperti pluralisme,
keadilan sosial, dan krisis otoritas keagamaan. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan
Fazlur Rahman membuka jalan bagi pembaruan Islam yang kontekstual, etis, dan
berakar kuat pada tradisi intelektual Islam yang dinamis.
Kata Kunci: Fazlur Rahman; Hermeneutika Ganda; Tafsir
Al-Qur’an; Etika Sosial; Reformasi Pemikiran Islam; Modernitas; Pendidikan
Islam; Wahyu dan Sunnah.
PEMBAHASAN
Hermeneutika Neo-Modernis Fazlur Rahman
1.
Pendahuluan
Dalam dinamika sejarah intelektual Islam, pemikiran
keagamaan tidak pernah berada dalam ruang hampa. Ia senantiasa berinteraksi
dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang mengitarinya. Seiring dengan
menguatnya tantangan modernitas dan globalisasi pada abad ke-20, umat Islam
dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak warisan pemikiran klasik tidak lagi
sepenuhnya relevan untuk menjawab kompleksitas persoalan kontemporer. Dalam
konteks inilah muncul sejumlah pemikir yang berupaya merumuskan kembali
pendekatan terhadap ajaran Islam, di antaranya adalah Fazlur Rahman, seorang
pemikir Muslim asal Pakistan yang kemudian berkarya di Amerika Serikat dan
dikenal luas sebagai arsitek utama dari gagasan neo-modernisme Islam.
Fazlur Rahman (1919–1988) hadir sebagai sosok
penting dalam upaya mengintegrasikan semangat otentik Islam dengan tuntutan
dunia modern. Ia menolak dikotomi antara agama dan akal, serta berusaha
menjembatani tradisi dengan modernitas melalui pendekatan hermeneutis terhadap
Al-Qur’an. Bagi Rahman, stagnasi pemikiran Islam klasik merupakan akibat dari
terlepasnya dimensi etis dan historis dari teks-teks normatif, sehingga perlu adanya
revitalisasi terhadap metode penafsiran yang kontekstual dan dinamis.¹ Dalam
hal ini, hermeneutika bukan hanya metode untuk memahami makna teks, melainkan
instrumen transformasi sosial yang mendorong umat Islam untuk menggali
nilai-nilai universal dari Al-Qur’an dalam menjawab persoalan-persoalan aktual.
Gagasan utama Fazlur Rahman yang dikenal sebagai “double
movement theory” (gerakan ganda), merupakan jantung dari metodologi tafsir
yang ia tawarkan. Teori ini menyerukan dua langkah penting dalam membaca teks
suci: pertama, memahami makna ayat dalam konteks sejarah turunnya
(historisitas); dan kedua, mengekstraksi prinsip moral dari makna tersebut
untuk diterapkan dalam konteks kehidupan modern.² Dengan pendekatan ini, Rahman
mengusulkan agar umat Islam tidak sekadar mengulang pendapat ulama klasik
secara taklid, tetapi justru menghidupkan kembali semangat ijtihad sebagai
instrumen rekonstruksi hukum dan etika Islam dalam kerangka sosial yang terus
berubah.
Lebih dari sekadar pendekatan tekstual, pemikiran
Rahman memiliki dimensi filosofis yang kuat. Ia menolak reduksionisme
legalistik yang menjadikan Islam hanya sebagai sistem hukum, dan
menggantikannya dengan perspektif etis yang menjadikan moralitas sebagai inti
ajaran Islam.³ Dengan demikian, pembaruan yang ia tawarkan bukan bersifat
parsial atau kosmetik, melainkan menyentuh akar epistemologis dalam memahami
wahyu dan realitas.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih
jauh pemikiran Fazlur Rahman dalam konteks filsafat Islam kontemporer, khususnya
pendekatan hermeneutika ganda yang menjadi ciri khasnya. Dengan menelaah secara
kritis fondasi-fondasi epistemologis, metode tafsir, serta orientasi etis dalam
pandangannya, artikel ini berupaya memberikan pemahaman yang utuh terhadap
kontribusi Fazlur Rahman dalam merumuskan kembali peran Islam sebagai kekuatan
moral dalam kehidupan sosial modern.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 4–6.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.
[3]
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for
Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 43–66.
2.
Biografi Intelektual Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 di Hazara,
wilayah barat laut India Britania yang kini menjadi bagian dari Pakistan. Ia
dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat dan memperoleh pendidikan
awal dari ayahnya, seorang ulama yang berafiliasi dengan mazhab Deobandi.
Pendidikan tradisional ini memberikan dasar kuat dalam ilmu-ilmu keislaman klasik
seperti tafsir, hadis, dan fiqh. Namun, kehausannya terhadap ilmu pengetahuan
membawanya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, yang kemudian
mempertemukannya dengan pemikiran filsafat dan modernitas.¹
Rahman menyelesaikan gelar doktornya di Oxford
University pada tahun 1949 dengan disertasi tentang filsafat Ibn Sina, yang
menunjukkan ketertarikannya terhadap rasionalisme Islam klasik.² Karya akademik
awal ini mengindikasikan kecenderungannya untuk membaca ulang warisan
intelektual Islam dalam perspektif filosofis dan sistematis. Ia tidak memandang
filsafat Islam sekadar sebagai perpanjangan tangan filsafat Yunani, melainkan
sebagai ekspresi orisinal dari refleksi intelektual umat Islam terhadap wahyu
dan akal.³
Setelah menyelesaikan studinya, Fazlur Rahman
mengajar di Durham University di Inggris, sebelum kembali ke dunia Islam dengan
menjadi Direktur Lembaga Penelitian Islam (Institute of Islamic Research)
di Pakistan pada awal 1960-an. Dalam posisinya tersebut, ia berupaya mendorong
reformasi pemikiran Islam melalui pendekatan rasional dan kontekstual. Namun,
proyek pembaruannya menuai kritik tajam dari kalangan ulama konservatif di
Pakistan yang menganggap pandangannya menyimpang dari arus utama. Puncaknya,
fatwa kafir sempat dikeluarkan terhadapnya, yang mendorongnya untuk
mengundurkan diri dan kembali ke Barat.⁴
Tahun 1969 menjadi titik balik penting ketika
Rahman menerima tawaran mengajar di University of Chicago sebagai profesor
studi Islam. Di sinilah ia menghasilkan karya-karya penting yang menegaskan
posisinya sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam studi Islam
modern. Melalui pengaruhnya di dunia akademik Barat, ia berhasil membangun
jembatan dialog antara tradisi Islam dan pendekatan kritis kontemporer, tanpa
kehilangan pijakan dalam nilai-nilai dasar Islam.⁵
Sepanjang hidupnya, Fazlur Rahman menekankan
pentingnya penggabungan antara pemahaman tradisional dan pendekatan intelektual
modern. Ia meyakini bahwa kebangkitan umat Islam tidak dapat dicapai kecuali
melalui pembaruan cara berpikir—yakni dengan membaca Al-Qur’an secara
kontekstual, memahami sejarah hukum Islam secara kritis, dan menempatkan etika
sebagai poros utama dalam kehidupan keagamaan.⁶
Rahman wafat pada tahun 1988 di Chicago,
meninggalkan warisan pemikiran yang tidak hanya penting bagi dunia akademik,
tetapi juga bagi agenda reformasi intelektual Islam di seluruh dunia. Meski
sering menuai kontroversi, warisan intelektualnya terus menjadi referensi dalam
perdebatan kontemporer mengenai tafsir, hukum Islam, dan modernitas.⁷
Footnotes
[1]
Charles J. Adams, “Fazlur Rahman: A Biographical
Note,” Islamic Studies 28, no. 1 (1989): 1–9.
[2]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Avicenna’s Treatise on the Soul (Oxford: Oxford University
Press, 1952), vii–viii.
[3]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
222.
[4]
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 126.
[5]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 287–297.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 100–102.
[7]
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for
Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” in Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 43–66.
3.
Latar Belakang Historis dan Epistemologis
Pemikiran Fazlur Rahman lahir dari suatu konteks
historis yang ditandai oleh ketegangan antara warisan keilmuan Islam klasik dan
tantangan zaman modern. Abad ke-19 dan ke-20 merupakan masa krisis bagi dunia
Islam, ditandai dengan kemunduran politik, kolonialisme, serta lemahnya daya
saing umat Islam dalam bidang sains dan peradaban. Dalam situasi tersebut,
muncul dua kecenderungan ekstrem: pertama, sikap apologetik yang berupaya
mempertahankan ajaran Islam secara literal tanpa kritik; dan kedua, sikap
sekularistik yang mengadopsi modernitas Barat secara total tanpa
mempertimbangkan integrasi nilai-nilai Islam.¹ Fazlur Rahman menilai bahwa
kedua sikap ini gagal mengatasi tantangan zaman secara substantif karena
mengabaikan akar epistemologis dari krisis yang dihadapi umat Islam.
Menurut Rahman, stagnasi pemikiran Islam bermula
dari proses kodifikasi hukum Islam (fiqh) yang berkembang pada abad ke-2 hingga
ke-4 Hijriyah, di mana pemahaman terhadap wahyu mengalami transformasi dari
semangat etis-normatif menuju pendekatan legalistik-formal.² Peralihan ini
menyebabkan nilai-nilai universal Al-Qur’an tereduksi dalam kerangka teknis
hukum yang statis, dan menghilangkan fleksibilitas ijtihad yang awalnya menjadi
ciri khas dinamika keilmuan Islam.³ Dalam perspektif epistemologisnya, Rahman
menekankan bahwa wahyu (Al-Qur’an) harus dibaca sebagai respons terhadap
konteks sosial-moral tertentu, bukan sebagai kumpulan pernyataan hukum yang
terlepas dari realitas sejarah.
Pentingnya dimensi sejarah dalam memahami teks suci
menjadi pusat dari kerangka berpikir Rahman. Ia menolak pendekatan
skripturalistik yang mendewakan bentuk literal teks tanpa memahami konteks
sosial-politik ketika teks tersebut diturunkan.⁴ Sebagai gantinya, Rahman
menawarkan pendekatan hermeneutika historis yang berpijak pada kesadaran bahwa
setiap teks lahir dalam ruang dan waktu tertentu, namun mengandung
prinsip-prinsip moral universal yang dapat diekstraksi dan diterapkan dalam
konteks modern.⁵ Di sinilah terlihat pengaruh dari filsafat hermeneutik Barat,
terutama pemikiran Hans-Georg Gadamer, yang juga mengedepankan pentingnya
dialog antara teks dan pembaca dalam kerangka historisitas pemahaman.⁶
Selain kritik terhadap stagnasi hukum, Rahman juga
mengkritik dualisme dalam sistem pendidikan Islam. Menurutnya, keterputusan
antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu rasional merupakan penyebab utama
disintegrasi intelektual dalam dunia Islam modern. Pendidikan tradisional
menekankan hafalan dan pelestarian warisan klasik tanpa inovasi, sementara
pendidikan sekuler kehilangan spiritualitas dan nilai-nilai moral Islam.⁷ Maka,
salah satu misi utama dalam reformasi pemikiran Islam versi Rahman adalah
rekonstruksi epistemologi Islam yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan
pengalaman historis umat manusia secara harmonis.
Dari segi epistemologi, Fazlur Rahman menolak
dikotomi antara rasionalitas dan spiritualitas. Ia mengembangkan paradigma
pengetahuan yang bersifat teo-humanistik, yaitu mengakui wahyu sebagai
sumber nilai normatif dan akal sebagai alat untuk memahami serta
mengaktualisasikannya dalam masyarakat.⁸ Dengan pendekatan ini, ia menghidupkan
kembali tradisi ijtihad sebagai upaya kolektif umat Islam dalam menanggapi
dinamika kehidupan kontemporer dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar
ajaran Islam.
Secara keseluruhan, pendekatan historis dan
epistemologis Fazlur Rahman memberikan fondasi kritis sekaligus konstruktif
bagi proyek pembaruan Islam. Ia berupaya merekonstruksi metodologi tafsir,
mendobrak stagnasi intelektual, dan menyusun ulang struktur keilmuan Islam agar
lebih responsif terhadap realitas zaman tanpa kehilangan otentisitas
nilai-nilainya. Pemikiran Rahman menunjukkan bahwa pembaruan Islam tidak cukup
dilakukan pada tataran hukum atau kelembagaan, melainkan harus dimulai dari
transformasi cara berpikir umat Islam terhadap wahyu dan realitas.⁹
Footnotes
[1]
John L. Esposito, Islam and Politics, 4th
ed. (Syracuse: Syracuse University Press, 1998), 192.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 17–20.
[3]
Ibid., 21–23.
[4]
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for
Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” in Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 44–45.
[5]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xi.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004),
295–297.
[7]
Charles J. Adams, “The Idea of Education in the
Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.
[8]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 288.
[9]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
225–226.
4.
Hermeneutika Ganda: Metodologi Tafsir Fazlur
Rahman
Salah satu kontribusi terbesar Fazlur Rahman dalam
wacana pemikiran Islam kontemporer adalah pengembangan metodologi tafsir
Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah hermeneutika ganda atau double
movement theory. Metode ini lahir dari keprihatinan Rahman terhadap
pendekatan literalistik dan atomistik dalam penafsiran Al-Qur’an yang banyak
berkembang dalam tradisi tafsir klasik maupun modern.¹ Menurutnya, umat Islam
tidak cukup hanya memahami teks suci secara tekstual, tetapi juga harus
menelusuri konteks historisnya dan mengekstrak prinsip-prinsip moral yang
terkandung di dalamnya untuk kemudian diaplikasikan secara kreatif dalam
konteks kontemporer.²
Secara metodologis, pendekatan hermeneutika ganda
Rahman terdiri atas dua gerakan interpretatif utama:
1)
Gerakan pertama adalah
kembali ke masa turunnya wahyu untuk merekonstruksi konteks historis-sosial
dari ayat-ayat Al-Qur’an. Langkah ini bertujuan untuk memahami pesan Tuhan
sebagaimana dimaksudkan dalam konteks situasi masyarakat Arab abad ke-7.
Menurut Rahman, pendekatan ini menuntut keterampilan dalam ilmu sejarah,
antropologi, serta pemahaman terhadap kondisi sosial-budaya Arab awal.³
2)
Gerakan kedua adalah
menafsirkan makna normatif dari teks tersebut dan mentransformasikannya menjadi
prinsip moral yang bersifat universal. Prinsip inilah yang kemudian harus
diaplikasikan secara kontekstual untuk menjawab tantangan kehidupan modern.⁴
Dengan pendekatan ini, Rahman tidak hanya
menekankan aspek tafsir sebagai proses tekstual, tetapi juga sebagai
proses etis dan historis yang bersifat terus-menerus. Ia menolak sikap taqlid
terhadap warisan tafsir klasik yang hanya meniru pendapat masa lalu tanpa
mempertimbangkan dinamika zaman.⁵ Hermeneutika Rahman sangat menekankan
keterlibatan aktif dari subjek pembaca yang bertanggung jawab secara moral dan
sosial terhadap realitas umat Islam kontemporer.
Rahman juga mengkritik metode naskh
(penghapusan ayat) yang digunakan dalam tafsir hukum klasik sebagai bentuk
pembacaan tidak progresif terhadap wahyu. Ia menilai bahwa metode tersebut
mengabaikan kemungkinan bahwa ayat-ayat hukum dapat mengandung semangat
perubahan yang evolusioner, bukan sekadar aturan tetap.⁶ Dengan demikian,
ayat-ayat Al-Qur’an harus dibaca sebagai bagian dari proyek moral dan sosial,
bukan sebagai dokumen legal yang kaku.
Metodologi hermeneutika ganda ini sejalan dengan
tujuan besar Rahman untuk menghidupkan kembali ijtihad dalam skala
sosial. Ia ingin membangun sebuah kerangka tafsir yang mampu mendukung
perubahan sosial dengan berlandaskan pada nilai-nilai universal Islam seperti
keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.⁷ Oleh karena itu, pendekatan Rahman bukan
sekadar reinterpretasi terhadap Al-Qur’an, tetapi merupakan proyek pembaruan
epistemologis yang berupaya mengintegrasikan wahyu, akal, dan realitas dalam
satu kesatuan yang utuh.
Dalam wacana filsafat tafsir, pendekatan Rahman
juga menunjukkan kedekatan dengan teori hermeneutika filosofis Barat, meskipun
tidak identik. Beberapa akademisi melihat adanya pengaruh dari Hans-Georg
Gadamer, khususnya dalam hal pentingnya “dialog historis” antara teks
dan pembaca, serta perlunya mempertimbangkan horizon pemahaman yang
berkembang.⁸ Namun, Rahman tetap mengakar kuat dalam tradisi keislaman dan
bertujuan membangun metodologi yang relevan secara teologis dan operasional
bagi umat Islam.
Aplikasi dari metode ini dapat dilihat dalam cara
Rahman membaca isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, hak-hak perempuan,
kebebasan beragama, dan sistem ekonomi Islam.⁹ Dalam semua isu tersebut, Rahman
menekankan bahwa nilai-nilai dasar Al-Qur’an dapat membimbing masyarakat Muslim
modern menuju sistem etis yang inklusif dan responsif, asalkan disertai dengan
metode pembacaan yang mendalam, historis, dan kritis.
Dengan demikian, hermeneutika ganda Fazlur Rahman
bukan hanya memberikan arah baru bagi studi Al-Qur’an, tetapi juga menawarkan
paradigma pemikiran Islam yang relevan untuk masa kini dan masa depan. Metode
ini mendorong keterlibatan intelektual umat Islam untuk menggali nilai-nilai
transformatif dari teks wahyu, sekaligus meneguhkan posisi Islam sebagai agama
yang adaptif, etis, dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 6–8.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.
[3]
Abdullah Saeed, “Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach,” The Muslim World 92, no. 3–4 (2002): 329–348.
[4]
Rahman, Islam and Modernity, 147–148.
[5]
Ebrahim Moosa, “Fazlur Rahman,” in The Oxford
Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford
University Press, 2009).
[6]
Rahman, Major Themes of the Qur’an, 4–5.
[7]
Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004),
13–14.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004),
269–272.
[9]
Charles J. Adams, “The Idea of Reform in the
Thought of Fazlur Rahman,” in Voices of Resurgent Islam, ed. John L.
Esposito (New York: Oxford University Press, 1983), 121–134.
5.
Pandangan Fazlur Rahman tentang Wahyu dan
Sunnah
Pandangan Fazlur Rahman tentang wahyu dan sunnah
menempati posisi sentral dalam keseluruhan kerangka pemikirannya mengenai
rekonstruksi pemikiran Islam. Bagi Rahman, wahyu bukanlah sekadar serangkaian
proposisi legal-formal yang diturunkan dalam ruang hampa, melainkan merupakan
suatu komunikasi dinamis antara Tuhan dan manusia, yang berlangsung
dalam konteks historis tertentu, dengan tujuan membimbing umat menuju kehidupan
yang bermoral dan adil.¹ Oleh karena itu, pemahaman terhadap wahyu menuntut
pendekatan yang tidak hanya tekstual tetapi juga historis dan etis.
Dalam perspektif Rahman, Al-Qur’an harus dibaca
sebagai sumber utama nilai moral, bukan sekadar kitab hukum. Ia menolak
pendekatan yang memandang wahyu hanya sebagai objek legalitas, sebab menurutnya
hal ini telah menyebabkan deformasi terhadap pesan normatif Al-Qur’an.² Dalam Islam
and Modernity, Rahman menyatakan bahwa wahyu Al-Qur’an adalah respons
terhadap berbagai persoalan moral, sosial, dan spiritual masyarakat Arab pada
masa Nabi, yang harus ditransformasikan ke dalam prinsip-prinsip universal yang
relevan untuk semua zaman.³
Sebagai bagian dari upaya hermeneutikanya, Rahman
menekankan pentingnya membedakan antara isi wahyu yang bersifat
moral-transenden dan bentuk-bentuk sosial-historis yang menyertai
penyampaiannya. Ini berarti bahwa nilai-nilai inti dalam wahyu dapat dan harus
ditarik keluar dari bentuk-bentuk historisnya, agar dapat diterapkan secara
kontekstual dalam kehidupan modern.⁴ Pendekatan ini tidak hanya memerlukan
pemahaman terhadap teks, tetapi juga pemahaman terhadap struktur sosial,
politik, dan budaya dari masyarakat yang menjadi objek pesan wahyu tersebut.
Adapun mengenai sunnah, Rahman mengambil sikap
kritis terhadap kecenderungan tradisionalis yang memposisikan sunnah secara
eksklusif sebagai sekumpulan teks hadis yang dibakukan oleh generasi-generasi
berikutnya. Ia menekankan bahwa sunnah sejati adalah praksis hidup Nabi
Muhammad yang bersumber dari respon etis dan spiritual beliau terhadap
wahyu dalam konteks kehidupan nyata.⁵ Menurutnya, reduksi terhadap sunnah
sebagai kumpulan literal hadis telah menjauhkan umat dari substansi moral dan
spiritual dari teladan Nabi.
Rahman memandang bahwa banyak hadis—meskipun
dihormati sebagai sumber penting—merupakan produk perkembangan sejarah Islam
yang panjang, dan karenanya perlu dikaji secara kritis melalui pendekatan
historis dan kontekstual.⁶ Dengan demikian, sunnah tidak seharusnya dipahami
secara tekstualistik, melainkan harus ditafsirkan ulang melalui kacamata
prinsip moral Al-Qur’an yang menjadi fondasi ajaran kenabian itu sendiri.
Implikasi dari pandangan ini sangat signifikan
dalam kerangka pembaruan hukum Islam. Bagi Rahman, pemahaman terhadap wahyu dan
sunnah tidak boleh terjebak pada pembekuan teks, melainkan harus diarahkan pada
penggalian nilai-nilai moral yang dapat menjadi dasar bagi rekonstruksi hukum
Islam yang adil, kontekstual, dan sesuai dengan semangat zaman.⁷ Oleh karena
itu, Rahman mengajukan gagasan bahwa ijtihad kontemporer harus berpijak
pada prinsip etika wahyu, bukan semata pada analogi dari preseden hukum klasik.
Dalam kerangka filsafat Islam modern, pandangan
Fazlur Rahman ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan normatif-tekstual
menuju pendekatan normatif-moral yang berakar dalam tradisi tetapi terbuka
terhadap pemaknaan ulang. Pandangannya mengenai wahyu dan sunnah menegaskan
bahwa Islam adalah agama yang berorientasi pada keadilan sosial dan
transformasi etis, yang hanya dapat diwujudkan apabila umat Islam mengembangkan
pemahaman yang dinamis dan bertanggung jawab terhadap warisan wahyu.⁸
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 6–8.
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 19–22.
[3]
Rahman, Islam and Modernity, 147–148.
[4]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.
[5]
Ebrahim Moosa, “Fazlur Rahman,” in The Oxford
Encyclopedia of the Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford: Oxford
University Press, 2009).
[6]
Charles J. Adams, “The Idea of the Sunnah in the
Thought of Fazlur Rahman,” in Approaches to Islam in Religious Studies,
ed. Richard C. Martin (Tucson: University of Arizona Press, 1985), 79–92.
[7]
Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004),
14–16.
[8]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
224–225.
6.
Etika Sosial dan Moral dalam Islam
Dalam kerangka pemikiran Fazlur Rahman, Islam tidak
hanya merupakan sistem kepercayaan spiritual, tetapi lebih dari itu—ia adalah sistem
etika sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang adil, bermoral, dan
berorientasi pada kesejahteraan bersama.⁽¹⁾ Berangkat dari pemahaman bahwa
Al-Qur’an adalah kitab yang memuat respons terhadap tantangan moral dan sosial
masyarakat Arab abad ke-7, Rahman menekankan bahwa pesan universal Islam harus
dipahami sebagai prinsip-prinsip etika yang dapat diterapkan secara
transformatif dalam realitas sosial masa kini.
Bagi Rahman, misi utama wahyu adalah menumbuhkan
kesadaran moral kolektif dalam masyarakat, yang mencakup tanggung jawab
terhadap keadilan, keseimbangan sosial, dan solidaritas kemanusiaan.⁽²⁾ Dalam Major
Themes of the Qur’an, ia menjelaskan bahwa tema-tema besar Al-Qur’an bukan
berpusat pada rincian hukum, melainkan pada prinsip-prinsip moral seperti
keadilan (‘adl), belas kasih (rahmah), kejujuran (sidq),
dan amanah.⁽³⁾ Prinsip-prinsip inilah yang menjadi fondasi etika sosial Islam,
dan harus menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan publik dan norma sosial.
Dalam pandangan Rahman, kegagalan umat Islam
kontemporer dalam membangun masyarakat etis bersumber dari pendekatan
legalistik terhadap Islam yang mengabaikan aspek moral dan sosial dari syariat.
Ia mengkritik pemikiran fiqh klasik yang terlalu fokus pada formulasi hukum
formal, tanpa memperhatikan dinamika masyarakat dan perkembangan konteks
historis.⁽⁴⁾ Sebagai respons terhadap problem tersebut, Rahman menawarkan
pendekatan etika normatif yang bersumber dari prinsip-prinsip Al-Qur’an,
yang harus diolah melalui refleksi kontekstual dan ijtihad kolektif.
Lebih lanjut, Rahman menekankan bahwa syariah harus
dipahami sebagai proyek etis, bukan hanya sebagai sistem hukum.⁽⁵⁾ Dalam arti
ini, hukum Islam tidak boleh dianggap sebagai norma tetap yang ahistoris,
tetapi sebagai manifestasi dari nilai-nilai moral yang berkembang sesuai
konteks sosial. Oleh karena itu, setiap formulasi hukum atau kebijakan dalam
masyarakat Muslim modern harus dievaluasi berdasarkan sejauh mana ia
mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap
kelompok rentan.
Etika sosial dalam Islam, menurut Rahman, memiliki
implikasi luas dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Dalam konteks
ekonomi, misalnya, ia mengkritik praktik kapitalisme eksploitatif yang tidak
selaras dengan prinsip keadilan distributif dalam Islam.⁽⁶⁾ Ia menganjurkan
pembangunan sistem ekonomi Islam yang menjamin pemerataan, solidaritas sosial,
dan penghapusan kemiskinan struktural. Dalam bidang politik, Rahman mendukung
demokratisasi sebagai bentuk nyata dari nilai musyawarah (shura) dan
partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan.⁽⁷⁾ Sementara dalam
pendidikan, ia menyerukan integrasi antara ilmu agama dan ilmu modern untuk
membentuk manusia Muslim yang holistik dan bertanggung jawab secara sosial.
Sebagai konsekuensi dari pendekatan ini, Fazlur
Rahman meyakini bahwa rekonstruksi pemikiran Islam harus berakar pada proyek
etika sosial. Ia menolak pendekatan apolitis dan individualistik dalam
keberagamaan yang hanya berfokus pada ritus pribadi, seraya menekankan bahwa
keberagamaan sejati adalah yang mendorong transformasi sosial yang adil dan
beradab.⁽⁸⁾ Dengan kata lain, Islam bagi Rahman adalah agama aksi moral (moral
action), bukan sekadar sistem normatif.
Pemikiran etika sosial Fazlur Rahman membuka ruang
bagi pemaknaan Islam sebagai agama yang progresif dan responsif terhadap keadilan
sosial, serta menjadikan teks wahyu sebagai pemandu moral dalam merespons
berbagai problematika kehidupan modern, mulai dari ketimpangan ekonomi,
otoritarianisme, hingga isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 17–18.
[2]
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for
Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,” in Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an, ed. Suha Taji-Farouki (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 43–46.
[3]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 14–19.
[4]
Charles J. Adams, “The Idea of Reform in the
Thought of Fazlur Rahman,” in Voices of Resurgent Islam, ed. John L.
Esposito (New York: Oxford University Press, 1983), 121–122.
[5]
Rahman, Islam and Modernity, 100–102.
[6]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
225–226.
[7]
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 128.
[8]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 290–292.
7.
Pendidikan dan Reformasi Pemikiran Islam
Fazlur Rahman memandang pembenahan sistem
pendidikan Islam sebagai pilar utama dalam proyek reformasi intelektual
umat. Menurutnya, krisis pemikiran yang melanda dunia Islam modern tidak
semata-mata bersumber dari stagnasi fiqh atau dominasi tafsir literal, tetapi
berakar pada disintegrasi epistemologis dalam sistem pendidikan yang
memisahkan antara ilmu agama dan ilmu rasional.¹ Ketimpangan ini menciptakan
keterputusan antara wahyu dan realitas, antara tradisi dan modernitas, serta
antara pemahaman spiritual dan kemampuan analitis umat Islam dalam menjawab
tantangan zaman.
Dalam analisis Rahman, sistem pendidikan
tradisional Islam (terutama di madrasah dan pesantren klasik) cenderung mengabsolutkan
turats (warisan klasik) tanpa kritik historis dan hermeneutis. Di sisi
lain, pendidikan modern sekuler yang diwarisi dari sistem kolonial telah
mengalienasi peserta didik Muslim dari nilai-nilai spiritual Islam,
menjadikannya aktor-aktor rasional tanpa orientasi moral-religius.² Akibatnya,
umat Islam mengalami apa yang oleh Rahman disebut sebagai “split mentality”—keterbelahan
mental antara iman dan akal, antara agama dan ilmu.³
Sebagai solusi, Rahman menawarkan rekonstruksi
sistem pendidikan Islam yang bersifat integratif. Ia menyerukan
penggabungan antara kajian tekstual (naqli) dengan pendekatan rasional (aqli),
antara tradisi keilmuan klasik Islam dengan metode berpikir ilmiah modern.
Pendidikan yang ideal dalam pandangannya adalah yang mampu menghasilkan intelektual
Muslim yang religius, kritis, serta memiliki kapasitas moral dan sosial
untuk memimpin transformasi umat.⁴
Salah satu konsep penting yang diajukan oleh Rahman
adalah perlunya revitalisasi ijtihad dalam pendidikan. Ijtihad, dalam
hal ini, tidak hanya dipahami sebagai proses hukum formal, tetapi sebagai
kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan etis dalam merespons berbagai persoalan
kontemporer.⁵ Maka, kurikulum pendidikan Islam harus mampu melatih nalar
analitik dan etika sosial, bukan sekadar menghafal teks atau menduplikasi
otoritas masa lalu.
Pengalaman Rahman sebagai Direktur Institute of
Islamic Research di Pakistan memperlihatkan visinya dalam membangun pusat
kajian yang mampu mempertemukan ulama tradisional dengan intelektual modern.⁶
Meskipun gagasannya mendapat resistensi kuat dari kalangan konservatif hingga
ia terpaksa meninggalkan Pakistan, pengalaman tersebut memperkuat keyakinannya
bahwa reformasi pemikiran Islam tidak akan berhasil tanpa reformasi sistemik
dalam dunia pendidikan.
Dalam tulisan-tulisannya, Rahman juga mengusulkan
bahwa lembaga pendidikan Islam harus menjadi pusat pengembangan teologi
kontekstual, bukan hanya pengajaran dogmatis. Ia menekankan perlunya
pendekatan problem-based learning dalam memahami Al-Qur’an dan hadis,
yaitu dengan mengaitkan teks-teks keagamaan dengan realitas sosial, politik,
ekonomi, dan budaya umat Islam saat ini.⁷
Lebih jauh, Rahman menegaskan bahwa pendidikan
Islam harus melampaui batas-batas nasional dan sektarian, serta bersifat
universal dan inklusif. Ia mengimpikan lahirnya generasi Muslim global yang
mampu berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas religiusnya.⁸
Visi ini sangat relevan dalam era globalisasi dan kompleksitas kontemporer,
ketika umat Islam dituntut untuk menjadi agen perubahan yang tidak hanya saleh
secara ritual, tetapi juga kuat secara intelektual dan sosial.
Dengan demikian, dalam pandangan Fazlur Rahman,
pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, tetapi media utama
reformasi peradaban. Ia percaya bahwa hanya melalui pendidikan yang
integratif, umat Islam dapat membangun kembali khazanah intelektualnya dan
menyesuaikan ajaran Islam dengan semangat zaman secara kreatif dan bertanggung
jawab.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
130–132.
[2]
Charles J. Adams, “The Idea of Education in the
Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.
[3]
Rahman, Islam and Modernity, 132–133.
[4]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 290–291.
[5]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 26.
[6]
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 127–128.
[7]
Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), 14.
[8]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
226–227.
8.
Kritik dan Penerimaan terhadap Pemikiran Fazlur
Rahman
Pemikiran Fazlur Rahman mengenai rekonstruksi
pemikiran Islam melalui pendekatan hermeneutika etis dan historis telah
memantik respons yang luas dan beragam dari kalangan intelektual, ulama, dan
akademisi, baik di dunia Islam maupun di Barat. Pandangannya yang berani dan
progresif menginspirasi banyak pembaharu Muslim modern, namun juga menuai
resistensi tajam dari kelompok-kelompok tradisionalis dan fundamentalis. Hal
ini menunjukkan bahwa posisi pemikiran Rahman berada di garis depan dalam
perdebatan tentang otoritas, metodologi, dan arah masa depan pemikiran Islam.
Di satu sisi, pemikiran Rahman mendapat
apresiasi besar dari kalangan akademisi dan cendekiawan Muslim progresif.
Mereka melihat Rahman sebagai pelopor penting dalam menjembatani Islam dengan
modernitas tanpa kehilangan keotentikan wahyu. Ebrahim Moosa, misalnya,
menyebut Rahman sebagai salah satu pemikir yang berhasil menggabungkan tradisi
intelektual Islam klasik dengan metodologi ilmiah kontemporer, khususnya dalam
menafsirkan Al-Qur’an secara normatif dan sosial.¹ Abdullah Saeed juga mengakui
kontribusi besar Rahman dalam membentuk kerangka tafsir kontekstual yang memampukan
umat Islam untuk merespons isu-isu keadilan, hak asasi manusia, dan pluralisme
dengan landasan moral dari Al-Qur’an.²
Penerimaan terhadap gagasan Rahman juga tampak
dalam pengaruhnya terhadap pemikir-pemikir kontemporer seperti Khaled Abou El
Fadl, Farid Esack, dan Amina Wadud, yang mengembangkan pendekatan hermeneutik
dan etis dalam kajian gender, hak-hak sipil, dan reformasi hukum Islam.³ Di
lingkungan akademik Barat, karya-karya Rahman sering dijadikan referensi utama
dalam studi Islam, terutama dalam bidang tafsir, etika, dan modernisasi
pemikiran Islam.
Namun, di sisi lain, kritik keras datang dari
kalangan ulama konservatif dan kelompok Islamis, baik di Pakistan maupun di
luar negeri. Ketika menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Research
di Pakistan, Rahman dituduh sebagai agen Westernisasi yang mencoba melemahkan
posisi fiqh dan otoritas tradisi Islam. Fatwa kafir bahkan sempat dikeluarkan
oleh sebagian ulama Pakistan, memaksanya untuk mengundurkan diri dan meninggalkan
negaranya.⁴
Salah satu titik kritik utama terhadap Rahman
adalah pada pemahamannya tentang sunnah dan hadis. Ia dianggap terlalu
merelatifkan otoritas hadis dengan mengutamakan sunnah sebagai praksis etis
Nabi daripada teks-teks hadis yang dibakukan.⁵ Pendekatan ini dituduh
mengaburkan batas antara sejarah dan normativitas, serta membuka ruang bagi
subjektivisme dalam ijtihad.
Kritik lain juga diarahkan pada teori “double
movement” yang dianggap terlalu fleksibel dan berisiko mengabaikan
ketentuan normatif dari teks. Beberapa ulama menyatakan bahwa metode ini dapat
membuka peluang penafsiran liberal yang terlalu mengikuti selera zaman dan
menjauhkan umat dari makna literal Al-Qur’an.⁶
Namun, sebagian akademisi mencoba mengambil posisi
moderat dengan mengakui kelebihan Rahman dalam memberikan alat konseptual untuk
berpikir ulang tentang Islam secara kontekstual, sembari menekankan pentingnya
disiplin ilmiah dalam menghindari penafsiran yang liar.⁷ Dengan kata lain,
pendekatan Rahman diakui membawa nilai metodologis penting, tetapi tetap
memerlukan kehati-hatian dalam aplikasinya.
Terlepas dari kontroversi yang menyertainya,
pemikiran Fazlur Rahman telah membuka ruang penting bagi dialog kritis dalam
studi Islam kontemporer. Ia meletakkan dasar bagi metodologi tafsir yang
etis, progresif, dan kontekstual, yang tetap berpijak pada Al-Qur’an namun
tidak terjebak dalam bentuk-bentuk historis yang kaku. Dengan warisan
intelektualnya, Rahman telah meninggalkan jejak mendalam dalam dunia pemikiran
Islam dan menginspirasi generasi baru pemikir Muslim yang berusaha
mengintegrasikan antara tradisi dan modernitas secara bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 287–297.
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 43–44.
[3]
Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004),
13–16.
[4]
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 127–129.
[5]
Charles J. Adams, “The Idea of the Sunnah in the
Thought of Fazlur Rahman,” in Approaches to Islam in Religious Studies,
ed. Richard C. Martin (Tucson: University of Arizona Press, 1985), 79–92.
[6]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
225–226.
[7]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 49–51.
9.
Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman di Era
Kontemporer
Pemikiran Fazlur Rahman terus menunjukkan
relevansinya dalam menghadapi tantangan dunia Islam modern, terutama dalam
konteks globalisasi, pluralisme, krisis otoritas keagamaan, serta kebutuhan
umat akan penafsiran Al-Qur’an yang responsif dan solutif. Pendekatan
hermeneutika ganda yang ia kembangkan tidak hanya menjadi alternatif
metodologis dalam studi tafsir, tetapi juga menjadi fondasi filosofis untuk
membangun paradigma keislaman yang inklusif, etis, dan progresif dalam
menjawab dinamika sosial-politik umat masa kini.¹
Salah satu relevansi utama pemikiran Rahman adalah
dalam reformulasi hubungan antara wahyu dan realitas sosial. Di tengah
berkembangnya wacana hukum Islam yang rigid dan legalistik, Rahman menawarkan
pendekatan yang menekankan prinsip-prinsip moral Al-Qur’an sebagai fondasi
dalam membentuk sistem etika sosial yang kontekstual.² Dalam masyarakat Muslim
yang berhadapan dengan isu-isu kontemporer seperti keadilan gender,
demokratisasi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia, pendekatan Rahman
memungkinkan pembacaan wahyu yang tidak terperangkap pada bentuk historis
hukum, tetapi berfokus pada tujuan-tujuan etis yang hendak dicapai oleh wahyu
tersebut.
Pandangan Rahman tentang ijtihad sebagai
instrumen rasional dan etis dalam membumikan ajaran Islam menjawab
kebutuhan mendesak akan otoritas interpretatif yang kontekstual. Ia menolak
pemonopolian tafsir oleh elite tradisionalis dan mendorong keterlibatan
intelektual Muslim yang memahami teks dan realitas secara seimbang.³ Dalam
konteks kontemporer, pendekatan ini membuka ruang partisipasi bagi berbagai
kelompok, termasuk perempuan dan minoritas, dalam proses pembacaan ulang ajaran
Islam secara inklusif.
Di bidang pendidikan, relevansi gagasan Rahman
sangat terasa dalam upaya merumuskan kurikulum keislaman yang integratif dan
dialogis. Dalam era disrupsi digital dan derasnya arus informasi, generasi
Muslim membutuhkan pendekatan pendidikan yang tidak hanya menghafal teks,
tetapi juga mengasah nalar kritis, sensitivitas sosial, dan komitmen moral.⁴
Rahman menawarkan basis epistemologis untuk membangun pendidikan Islam yang
mengintegrasikan antara turats dan modernitas, antara wahyu dan akal, antara
nilai dan ilmu.
Pemikiran Rahman juga relevan dalam membangun wacana
Islam yang toleran dan multikultural, khususnya di tengah meningkatnya
ketegangan identitas dan eksklusivisme keagamaan. Ia menekankan bahwa nilai
universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan penghargaan terhadap
martabat manusia bersifat lintas etnik, budaya, dan agama.⁵ Oleh sebab itu,
Islam yang diperjuangkan Rahman bukanlah Islam politik yang eksklusif,
melainkan Islam moral yang transformatif dan terbuka terhadap koeksistensi
damai dalam masyarakat plural.
Di tengah tantangan epistemologis dari modernisme
dan postmodernisme, pemikiran Rahman menjadi jembatan yang menjawab kebutuhan
akan pembacaan tekstual yang tetap berakar dalam tradisi, namun mampu
berdialog dengan dunia modern secara kritis. Ia tidak memosisikan Islam dalam
posisi inferior atau apologetik di hadapan modernitas, tetapi mengusulkan suatu
pendekatan tafsir dan etika yang mampu memadukan otentisitas wahyu dengan
rasionalitas sejarah.⁶
Rahman juga menawarkan arah yang penting dalam
merumuskan Islam sebagai kekuatan peradaban, bukan sekadar sistem hukum
atau ritual. Dalam dunia yang ditandai oleh krisis ekologis, konflik sosial,
dan ketimpangan ekonomi global, pendekatan Rahman mengajak umat Islam untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber etika sosial yang mendorong keterlibatan
aktif dalam transformasi dunia.⁷
Dengan demikian, Fazlur Rahman menghadirkan sebuah
pendekatan yang relevan dan dibutuhkan pada era kontemporer: Islam sebagai
agama moral yang membebaskan, menyejahterakan, dan memanusiakan. Warisan
pemikirannya menjadi sumber inspirasi bagi pembaruan Islam yang rasional, etis,
dan kontekstual, serta menjadi landasan kokoh dalam membangun paradigma
keislaman yang mampu berdialog secara kritis dan konstruktif dengan zaman.
Footnotes
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 25–26.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xi.
[3]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 292–293.
[4]
Charles J. Adams, “The Idea of Education in the
Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.
[5]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[6]
Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004),
227.
[7]
Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004),
14–16.
10.
Kesimpulan
Pemikiran Fazlur Rahman tentang rekonstruksi Islam
melalui pendekatan hermeneutika ganda menandai suatu titik balik penting
dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Di tengah kebuntuan metodologis
yang mengakar dalam tradisi legalistik, serta kegagalan pendekatan modernis
yang sering kehilangan basis spiritual, Rahman menawarkan jalan tengah yang
etis, rasional, dan kontekstual. Gagasannya bukan sekadar reinterpretasi teks,
melainkan proyek pembaruan epistemologis yang menyentuh fondasi cara
berpikir umat Islam terhadap wahyu, sunnah, hukum, dan moralitas sosial.¹
Hermeneutika ganda Rahman—yang terdiri dari dua
gerakan utama: rekonstruksi konteks historis dan formulasi prinsip moral
universal—menjadi kontribusi metodologis paling signifikan dalam
usahanya membumikan Al-Qur’an di tengah dinamika zaman.² Dengan pendekatan ini,
Rahman menghindari dua ekstrem: fundamentalisme tekstual yang menolak konteks,
dan liberalisme interpretatif yang melemahkan otoritas teks. Ia mendorong agar
umat Islam tidak berhenti pada bentuk hukum, melainkan terus menggali pesan
etis yang terkandung di balik teks suci untuk ditransformasikan dalam kehidupan
sosial yang adil dan beradab.³
Rahman juga memberikan kontribusi besar dalam
bidang pendidikan dan reformasi pemikiran Islam, dengan menekankan
pentingnya integrasi antara ilmu agama dan ilmu rasional. Gagasannya tentang
ijtihad yang berbasis moral dan kontekstual, serta perlunya sistem pendidikan
yang mendorong lahirnya intelektual Muslim yang reflektif dan solutif,
menunjukkan bahwa reformasi tidak akan mungkin terwujud tanpa pembenahan
epistemologi pendidikan.⁴
Meskipun pemikirannya menuai kritik dari kalangan
tradisionalis dan sebagian kelompok Islamis yang menilai pendekatannya terlalu
modernis, pengaruhnya tetap besar dalam diskursus Islam global. Karya-karyanya
menjadi inspirasi bagi pemikir seperti Farid Esack, Amina Wadud, Khaled Abou El
Fadl, dan banyak intelektual Muslim lain yang bergerak dalam medan pembaruan
hukum, tafsir gender, pluralisme, dan hak asasi manusia.⁵
Relevansi pemikiran Rahman semakin nyata dalam
konteks dunia Islam yang sedang bergulat dengan tantangan kontemporer:
radikalisme agama, konservatisme intelektual, krisis ekologis, dan ketimpangan
sosial. Dalam konteks ini, warisan intelektual Rahman menjadi sumber
inspirasi moral dan metodologis bagi pembentukan paradigma Islam yang lebih
terbuka, partisipatif, dan progresif.⁶
Dengan demikian, Fazlur Rahman tidak hanya dikenang
sebagai sarjana Muslim yang produktif, tetapi juga sebagai arsitek pemikiran
Islam modern yang mendalam, sistematis, dan visioner. Gagasan-gagasannya
menegaskan bahwa pembaruan Islam bukanlah pengkhianatan terhadap tradisi,
tetapi justru upaya untuk menghidupkan kembali semangat ijtihad dan etika
sosial Al-Qur’an dalam menghadapi realitas yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
6–8.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), x–xii.
[3]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 24–25.
[4]
Charles J. Adams, “The Idea of Education in the
Thought of Fazlur Rahman,” Islamic Studies 23, no. 1 (1984): 1–20.
[5]
Suha Taji-Farouki, ed., Modern Muslim
Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004),
13–16.
[6]
Ebrahim Moosa, “Revitalizing Islamic Thought: The
Legacy of Fazlur Rahman,” The Muslim World 89, no. 3–4 (1999): 287–297.
Daftar Pustaka
Abu-Rabi’, I. M. (2004). Contemporary
Arab thought: Studies in post-1967 Arab intellectual history. Pluto Press.
Adams, C. J. (1983). The
idea of reform in the thought of Fazlur Rahman. In J. L. Esposito (Ed.), Voices
of resurgent Islam (pp. 121–134). Oxford University Press.
Adams, C. J. (1984). The
idea of education in the thought of Fazlur Rahman. Islamic Studies, 23(1),
1–20.
Adams, C. J. (1985). The
idea of the Sunnah in the thought of Fazlur Rahman. In R. C. Martin (Ed.), Approaches
to Islam in religious studies (pp. 79–92). University of Arizona Press.
Esack, F. (1997). Qur’an,
liberation and pluralism: An Islamic perspective of interreligious solidarity
against oppression. Oneworld.
Esposito, J. L. (1992). The
Islamic threat: Myth or reality? Oxford University Press.
Esposito, J. L. (1998). Islam
and politics (4th ed.). Syracuse University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (2nd ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Moosa, E. (1999).
Revitalizing Islamic thought: The legacy of Fazlur Rahman. The Muslim
World, 89(3–4), 287–297. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1999.tb02749.x
Rahman, F. (1952). Avicenna’s
psychology: An English translation of Avicenna’s treatise on the soul.
Oxford University Press.
Rahman, F. (1982). Islam
and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of
Chicago Press.
Rahman, F. (2009). Major
themes of the Qur’an (2nd ed.). University of Chicago Press.
Saeed, A. (2006). Interpreting
the Qur’an: Towards a contemporary approach. Routledge.
Saeed, A. (2004). Fazlur
Rahman: A framework for interpreting the ethico-legal content of the Qur’an. In
S. Taji-Farouki (Ed.), Modern Muslim intellectuals and the Qur’an (pp.
43–66). Oxford University Press.
Taji-Farouki, S. (Ed.).
(2004). Modern Muslim intellectuals and the Qur’an. Oxford University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar