Kamis, 17 April 2025

Aliran Sosial-Politik: Konsep, Tokoh, dan Relevansinya

Aliran Sosial-Politik

Konsep, Tokoh, dan Relevansinya


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.

Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Marxisme, Anarkisme, Konservatisme, Libertarianisme, Fasisme, Feminisme, Poskolonialisme, Kosmopolitanisme.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran-aliran utama dalam filsafat sosial-politik dengan pendekatan historis-kritis dan analisis komparatif. Pembahasan mencakup delapan aliran penting: liberalisme, sosialisme dan Marxisme, konservatisme, anarkisme, komunitarianisme, feminisme sosial-politik, ekologisme politik, dan kosmopolitanisme. Setiap aliran dianalisis berdasarkan konsep inti, tokoh sentral, serta kontribusinya dalam membentuk wacana sosial-politik global. Artikel ini juga menyoroti persamaan dan perbedaan konseptual antaraliran melalui kategori seperti pemahaman tentang individu dan komunitas, konsep keadilan, peran negara, serta pendekatan terhadap perubahan sosial. Selanjutnya, artikel menegaskan relevansi kontemporer dari pemikiran-pemikiran ini dalam merespons tantangan abad ke-21, termasuk krisis demokrasi, ketimpangan global, perubahan iklim, migrasi transnasional, dan transformasi teknologi digital. Dengan menyajikan kajian teoretis yang terintegrasi dan reflektif, artikel ini bertujuan memperkuat fondasi pemikiran kritis dalam memahami dinamika sosial-politik mutakhir serta merumuskan arah perubahan sosial yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Filsafat sosial-politik; liberalisme; Marxisme; konservatisme; anarkisme; komunitarianisme; feminisme; ekologisme; kosmopolitanisme; keadilan sosial; pemikiran politik kontemporer.


PEMBAHASAN

Menelusuri Aliran-Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat sosial-politik merupakan cabang filsafat yang membahas secara kritis mengenai dasar-dasar normatif dan konseptual dari kehidupan sosial dan politik manusia. Dalam ranah ini, para filsuf mengeksplorasi konsep-konsep seperti keadilan, kebebasan, kekuasaan, hak, kewajiban, negara, serta hubungan antara individu dan komunitas. Pemikiran dalam bidang ini tidak hanya bersifat spekulatif, melainkan juga berkaitan erat dengan persoalan konkret dalam kehidupan masyarakat, seperti distribusi kekayaan, legitimasi kekuasaan, dan struktur institusi sosial1.

Filsafat sosial-politik memiliki akar sejarah yang panjang, setidaknya sejak masa Yunani Kuno ketika Plato dan Aristoteles mulai merumuskan gagasan tentang tatanan sosial yang ideal dan bentuk pemerintahan yang baik. Plato, dalam The Republic, membayangkan masyarakat adil yang dibentuk oleh pembagian kerja berdasarkan kodrat dan pendidikan filosofis para penguasa2. Sementara itu, Aristoteles dalam Politics menekankan pentingnya polis (negara kota) sebagai medium utama bagi manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai makhluk politik (zoon politikon)3.

Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat sosial-politik mengalami transformasi yang signifikan terutama pada era modern, ketika muncul gagasan kontrak sosial sebagai dasar legitimasi kekuasaan negara. Tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau menawarkan kerangka teoritis yang berbeda mengenai hubungan antara individu dan negara, serta tentang hak-hak dasar yang melekat pada manusia4. Pada era kontemporer, diskursus filsafat politik menjadi semakin kompleks dengan munculnya berbagai aliran seperti liberalisme, sosialisme, anarkisme, komunitarianisme, hingga feminisme dan ekologisme, yang masing-masing menawarkan perspektif unik mengenai keadilan dan tatanan sosial yang ideal5.

Kajian terhadap beragam aliran dalam filsafat sosial-politik sangat penting, mengingat pemikiran-pemikiran tersebut tidak hanya membentuk fondasi teoretis bagi berbagai sistem pemerintahan dan kebijakan publik, tetapi juga turut memengaruhi arah perubahan sosial dalam masyarakat. Di tengah tantangan global seperti ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, dan konflik identitas, pendekatan filosofis terhadap masalah sosial-politik menjadi sangat relevan untuk memahami akar persoalan serta merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan6.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis aliran-aliran utama dalam filsafat sosial-politik dengan menyoroti konsep-konsep kunci, tokoh-tokoh sentral, serta relevansi pemikiran mereka dalam konteks kontemporer. Melalui pendekatan ini, pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai keragaman perspektif filosofis dalam menjawab persoalan sosial dan politik yang terus berkembang.


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 1–5.

[2]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV.

[3]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1253a.

[4]                John Dunn, Western Political Theory in the Face of the Future (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 21–45.

[5]                David Miller, Political Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 5–10.

[6]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 3–6.


2.           Latar Historis dan Perkembangan Filsafat Sosial-Politik

Filsafat sosial-politik sebagai bidang refleksi kritis mengenai struktur dan nilai-nilai dalam kehidupan bersama telah berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia. Setiap era peradaban melahirkan konteks sosial dan politik yang memicu lahirnya pemikiran-pemikiran filosofis baru. Meskipun akar filsafat sosial-politik dapat ditelusuri hingga masa pra-Sokrates, struktur sistematis dari pemikiran ini mulai dibangun secara eksplisit dalam karya-karya Plato dan Aristoteles.

2.1.       Era Klasik: Konsep Keadilan dan Negara Ideal

Plato (427–347 SM) dalam The Republic mengembangkan konsep polis ideal yang diatur oleh para filsuf-raja sebagai penjaga kebenaran dan keadilan. Baginya, masyarakat adil hanya dapat tercapai jika setiap kelas sosial melaksanakan fungsinya secara harmonis berdasarkan kapasitas alami mereka1. Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, mengkritik dan menyempurnakan gagasan tersebut melalui pendekatan yang lebih empiris. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politikon) yang hanya dapat merealisasikan potensinya dalam kehidupan berkomunitas. Negara (polis) menurutnya bukan sekadar alat kekuasaan, tetapi ruang etis untuk mencapai kebaikan bersama2.

2.2.       Abad Pertengahan: Sintesis antara Teologi dan Politik

Pada abad pertengahan, filsafat sosial-politik mengalami kristalisasi dalam kerangka teologis, terutama di tangan filsuf Kristen seperti Augustinus dan Thomas Aquinas. Augustinus dalam The City of God membedakan antara civitas Dei (kota Allah) dan civitas terrena (kota duniawi), dan menekankan bahwa tatanan politik di dunia adalah refleksi imperfek dari kehendak ilahi3. Sementara itu, Thomas Aquinas mensintesiskan filsafat Aristoteles dengan ajaran Kristen, menyatakan bahwa hukum moral dan hukum kodrat menjadi dasar keabsahan hukum positif yang mengatur masyarakat manusia4.

2.3.       Era Modern: Kontrak Sosial dan Fondasi Rasional Negara

Transformasi besar terjadi pada abad ke-17 dan ke-18 dengan munculnya pemikiran modern yang menempatkan rasio dan individu sebagai pusat. Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) memandang negara sebagai hasil kontrak sosial yang dibentuk untuk menghindari kekacauan alami (state of nature) yang brutal dan penuh konflik. Ia membela negara absolut sebagai jaminan stabilitas dan ketertiban5. Berbeda dengan Hobbes, John Locke mengembangkan pandangan liberal yang mengedepankan hak-hak alamiah seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan. Ia berargumen bahwa negara harus dibatasi oleh hukum untuk melindungi kebebasan warga6.

Selanjutnya, Jean-Jacques Rousseau menawarkan perspektif revolusioner dengan menekankan pentingnya volonté générale (kehendak umum) sebagai sumber legitimasi negara demokratis. Dalam The Social Contract, Rousseau menegaskan bahwa kebebasan sejati hanya dapat terwujud dalam ketaatan terhadap hukum yang dibuat sendiri secara kolektif oleh warga negara7.

2.4.       Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20: Kritik terhadap Kapitalisme dan Negara Liberal

Perkembangan kapitalisme industri dan dominasi liberalisme di Barat memicu reaksi kritis dari para pemikir sosialis dan Marxis. Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The Communist Manifesto (1848) menegaskan bahwa negara bukanlah institusi netral, melainkan alat dominasi kelas borjuis terhadap proletariat. Mereka menyerukan revolusi untuk menghapuskan kepemilikan privat dan membentuk masyarakat tanpa kelas8. Pemikiran ini berkembang ke dalam berbagai arah, seperti Marxisme ortodoks, neo-Marxisme, dan teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang mengevaluasi bagaimana ideologi dan institusi budaya turut melanggengkan struktur penindasan9.

2.5.       Era Kontemporer: Pluralisme, Identitas, dan Kompleksitas Global

Pada abad ke-20 hingga kini, filsafat sosial-politik semakin kompleks dengan lahirnya beragam aliran baru seperti komunitarianisme, feminisme, dan ekologisme. Tokoh seperti John Rawls dengan A Theory of Justice (1971) menghidupkan kembali filsafat politik normatif dengan mengusulkan prinsip keadilan distributif berbasis veil of ignorance10. Di sisi lain, komunitarian seperti Michael Sandel mengkritik pandangan liberal yang terlalu menekankan individu, dengan menegaskan pentingnya nilai-nilai komunitas dalam membentuk identitas moral11. Feminisme politik memperluas cakupan keadilan dengan menyoroti struktur patriarki dan ketimpangan gender dalam institusi sosial12.

Globalisasi juga turut memicu filsuf seperti Thomas Pogge dan Kwame Anthony Appiah untuk merumuskan kosmopolitanisme baru yang menekankan keadilan lintas negara, solidaritas global, serta hak-hak individu di tengah tatanan dunia yang saling terhubung13.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV.

[2]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1253a.

[3]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics, 2003), Book XIX.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 90–97.

[5]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. C.B. Macpherson (Harmondsworth: Penguin Books, 1985), Part I.

[6]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Book II.

[7]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I.

[8]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2004).

[9]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).

[10]             John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).

[11]             Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

[12]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997).

[13]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002); Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006).


3.                Klasifikasi Aliran-Aliran dalam Filsafat Sosial-Politik

Dalam menelusuri ragam pemikiran dalam filsafat sosial-politik, penting untuk memahami bahwa setiap aliran muncul sebagai respons terhadap kondisi historis, sosial, dan moral tertentu. Masing-masing menawarkan kerangka konseptual tersendiri untuk menjawab pertanyaan fundamental tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan negara. Dari liberalisme yang menekankan kebebasan individu, hingga sosialisme yang memperjuangkan keadilan kolektif, dan dari anarkisme yang menolak kekuasaan hierarkis hingga feminisme yang mengangkat isu ketimpangan gender, keberagaman aliran ini mencerminkan kompleksitas dinamika sosial dan politik umat manusia. Bagian berikut akan menguraikan secara sistematis beberapa aliran utama dalam filsafat sosial-politik, beserta konsep inti dan tokoh-tokoh sentral yang membentuknya.

3.1.       Liberalisme

Liberalisme merupakan salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern yang menekankan nilai-nilai kebebasan individu, kesetaraan hak, dan supremasi hukum. Inti dari liberalisme adalah keyakinan bahwa setiap individu memiliki hak-hak dasar yang melekat secara moral dan harus dijamin perlindungannya oleh institusi sosial maupun negara. Konsepsi ini berakar pada pandangan bahwa manusia adalah agen rasional yang otonom dan berdaulat atas dirinya sendiri, serta memiliki kapasitas untuk mengejar kebahagiaan dan makna hidupnya tanpa paksaan dari luar.1

Liberalisme klasik berkembang pada abad ke-17 dan ke-18 seiring dengan kemunculan negara modern dan revolusi intelektual di Eropa. John Locke, yang dianggap sebagai “bapak liberalisme,” mengemukakan bahwa hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti adalah hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dicabut, bahkan oleh negara sekalipun.2 Dalam Two Treatises of Government, Locke menegaskan bahwa negara hanya sah apabila didirikan atas dasar persetujuan rakyat dan bertugas untuk melindungi hak-hak tersebut. Pemikiran ini menjadi dasar teori kontrak sosial dalam liberalisme dan mengilhami banyak konstitusi negara modern, termasuk Amerika Serikat.

Pada abad ke-19, liberalisme mengalami transformasi melalui pemikiran tokoh seperti John Stuart Mill yang dalam On Liberty memperluas gagasan kebebasan tidak hanya sebagai perlindungan dari tirani negara, tetapi juga dari tirani mayoritas sosial. Mill memperkenalkan prinsip harm, yaitu bahwa kekuasaan hanya dapat dibenarkan untuk membatasi kebebasan seseorang jika tindakannya merugikan orang lain.3 Dalam hal ini, liberalisme memberikan ruang penting bagi pluralisme, kebebasan berpendapat, dan toleransi terhadap perbedaan.

Memasuki abad ke-20, liberalisme berkembang menjadi bentuk liberalisme egalitarian, terutama melalui karya monumental John Rawls, A Theory of Justice. Rawls mereformulasi prinsip keadilan dalam kerangka liberal dengan memperkenalkan konsep justice as fairness, yaitu keadilan yang dibangun melalui posisi asal (original position) dan tabir ketidaktahuan (veil of ignorance).4 Ia berargumen bahwa ketimpangan sosial hanya dapat dibenarkan jika memberi keuntungan paling besar kepada mereka yang paling tidak diuntungkan. Dengan demikian, liberalisme Rawlsian menyeimbangkan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial.

Kendati demikian, liberalisme tidak lepas dari kritik. Kaum komunitarian seperti Michael Sandel dan Alasdair MacIntyre menilai bahwa liberalisme terlalu menekankan individu secara abstrak dan mengabaikan dimensi sosial serta historis dari identitas manusia.5 Kritik lain datang dari perspektif feminis dan postkolonial yang mempersoalkan netralitas liberalisme terhadap struktur dominasi gender dan kekuasaan global. Meskipun demikian, liberalisme tetap menjadi kerangka dominan dalam diskursus politik kontemporer dan menjadi fondasi bagi banyak sistem demokrasi liberal di dunia.

3.2.       Sosialisme dan Marxisme

Sosialisme dan Marxisme merupakan dua aliran dalam filsafat sosial-politik yang muncul sebagai respons terhadap ketimpangan ekonomi, eksploitasi kelas, dan dinamika ketidakadilan struktural yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Kedua aliran ini sama-sama menekankan pentingnya keadilan sosial, kepemilikan kolektif atas alat produksi, serta peran negara atau masyarakat dalam menjamin kesejahteraan bersama. Namun, meskipun memiliki semangat egalitarian yang sama, sosialisme dan Marxisme berbeda dalam pendekatan teoritis dan strategi politiknya.

Sosialisme, dalam bentuk awalnya, dapat ditelusuri pada pemikiran sosial humanistik sejak akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Para pemikir seperti Henri de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen dikenal sebagai sosialisme utopis karena mereka membayangkan masyarakat ideal yang bebas dari penindasan dan kesenjangan tanpa menyediakan dasar ilmiah atau historis bagi perubahan tersebut.6 Sosialisme utopis menekankan kerja sama, kepemilikan bersama, dan solidaritas sosial dalam menciptakan harmoni masyarakat, namun kurang memiliki strategi revolusioner yang konkret.

Berbeda dengan sosialisme utopis, Karl Marx dan Friedrich Engels mengembangkan sosialisme ilmiah yang kemudian dikenal sebagai Marxisme. Dalam The Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa seluruh sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, dan bahwa transformasi sosial hanya dapat terjadi melalui revolusi proletariat terhadap dominasi kelas borjuis.7 Marxisme memandang kapitalisme bukan hanya sebagai sistem ekonomi yang eksploitatif, tetapi juga sebagai struktur sosial yang secara sistematis menciptakan alienasi, ketimpangan, dan subordinasi terhadap kelas pekerja.

Landasan teoretis Marxisme mencakup tiga elemen utama: materialisme historis, teori nilai kerja, dan dialektika. Materialisme historis menyatakan bahwa perkembangan sejarah manusia ditentukan oleh kekuatan produksi dan hubungan produksi, serta bahwa perubahan sosial terjadi melalui konflik antar kelas.8 Teori nilai kerja menganggap bahwa nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah kerja manusia yang terkandung di dalamnya, dan bahwa surplus value (nilai lebih) yang diambil oleh kapitalis dari pekerja merupakan bentuk eksploitasi.9 Sementara itu, metode dialektika—diadaptasi dari Hegel—digunakan Marx untuk menunjukkan bahwa perubahan sosial bersifat kontradiktif dan progresif menuju tahap historis selanjutnya.

Marxisme berkembang menjadi berbagai varian, termasuk Marxisme-Leninisme, Trotskisme, dan neo-Marxisme. Lenin, dalam konteks Rusia awal abad ke-20, menekankan pentingnya partai pelopor (vanguard party) dan peran negara proletar dalam menjalankan diktatoriat proletariat sebagai transisi menuju masyarakat tanpa kelas.10 Sementara itu, Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer dan Herbert Marcuse menyoroti dimensi ideologis dan kultural dari dominasi kapitalisme modern, termasuk bagaimana media dan budaya massa menginternalisasi struktur kekuasaan.11

Meskipun mendapat kritik karena kecenderungannya pada determinisme ekonomi dan kegagalan rezim-rezim komunis dalam sejarah modern, banyak ide Marxis tetap relevan dalam analisis ketimpangan global, eksklusi sosial, dan kritik terhadap neoliberalisme. Marxisme juga memberi inspirasi bagi berbagai gerakan sosial, termasuk gerakan buruh, anti-kolonial, dan anti-globalisasi, yang mencari tatanan dunia yang lebih adil dan setara.

3.3.       Konservatisme

Konservatisme adalah aliran dalam filsafat sosial-politik yang menekankan pentingnya pelestarian tradisi, stabilitas sosial, tatanan moral, serta kewaspadaan terhadap perubahan sosial yang terlalu cepat atau radikal. Aliran ini tidak membentuk satu sistem filsafat yang kaku, melainkan bersifat reflektif terhadap realitas historis dan kultural yang telah teruji. Konservatisme percaya bahwa struktur sosial dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun memiliki fungsi vital dalam menjaga keteraturan dan identitas masyarakat, serta bahwa eksperimen sosial yang sembrono justru dapat mengarah pada kekacauan.12

Akar konservatisme modern dapat ditelusuri pada pemikiran Edmund Burke (1729–1797), seorang negarawan dan filsuf asal Inggris yang dikenal melalui karyanya Reflections on the Revolution in France (1790). Dalam kritiknya terhadap Revolusi Prancis, Burke menolak pemutusan hubungan radikal dengan tradisi dan menganggap revolusi sebagai bentuk arogansi rasionalisme yang merusak tatanan sosial alami. Ia berargumen bahwa masyarakat seharusnya dipandang sebagai kontrak antargenerasi—antara yang hidup, yang telah mati, dan yang belum lahir—yang menuntut penghormatan terhadap kebijaksanaan sejarah.13

Konservatisme menolak pandangan atomistik tentang individu sebagaimana dipromosikan dalam liberalisme. Sebaliknya, konservatisme memandang manusia sebagai makhluk sosial yang identitasnya terbentuk dalam komunitas, institusi, dan warisan budaya tertentu. Dalam hal ini, lembaga-lembaga seperti keluarga, agama, dan negara bukan sekadar struktur fungsional, melainkan entitas moral yang membentuk karakter dan stabilitas sosial.14

Tokoh konservatif kontemporer seperti Roger Scruton memperluas argumen Burke dengan menekankan pentingnya “rasa memiliki” dan keterikatan terhadap tempat, budaya, serta simbol kolektif. Dalam How to Be a Conservative, Scruton mengkritik relativisme moral dan ideologi transnasional yang mengikis fondasi etika lokal dan nasional. Ia menegaskan bahwa konservatisme bukanlah penolakan terhadap perubahan, melainkan penolakan terhadap perubahan yang dilakukan tanpa rasa tanggung jawab terhadap warisan nilai dan institusi yang telah teruji oleh waktu.15

Meskipun kerap dipandang sebagai aliran yang reaksioner atau anti-kemajuan, konservatisme sebenarnya menawarkan kerangka etis yang mengajak pada kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan sosial dan politik. Prinsip dasarnya adalah bahwa reformasi yang sejati harus bersifat evolusioner, bukan revolusioner, dan bahwa solusi terhadap masalah sosial harus memperhatikan kearifan tradisi serta keseimbangan antara kebaruan dan kontinuitas.16

Dalam konteks kontemporer, konservatisme menghadapi tantangan dari dinamika globalisasi, multikulturalisme, dan perubahan nilai dalam masyarakat. Namun demikian, prinsip-prinsip konservatif masih memainkan peran penting dalam banyak masyarakat, terutama dalam membentuk argumen moral terhadap liberalisasi ekonomi yang ekstrem, pergeseran budaya, dan pelemahan institusi keluarga serta agama. Oleh karena itu, konservatisme tetap menjadi bagian integral dalam dialog politik modern, sebagai pengimbang terhadap dorongan-dorongan progresif yang berisiko kehilangan orientasi terhadap akar historis dan etis suatu masyarakat.

3.4.       Anarkisme

Anarkisme merupakan aliran filsafat sosial-politik yang berpijak pada prinsip penolakan terhadap semua bentuk otoritas yang dipaksakan—terutama negara—dan memperjuangkan masyarakat yang bebas, egaliter, serta dikelola secara sukarela oleh individu dan komunitas tanpa dominasi hierarkis. Bertentangan dengan anggapan umum yang menyamakan anarkisme dengan kekacauan (chaos), filsafat ini justru mengedepankan tatanan sosial berbasis kerja sama, solidaritas, dan kebebasan sejati di luar kerangka koersif negara atau kapitalisme.17

Secara historis, akar pemikiran anarkisme dapat ditelusuri sejak awal abad ke-19, meskipun prinsip-prinsipnya telah tersirat dalam berbagai bentuk perlawanan terhadap tirani sejak zaman kuno. Pierre-Joseph Proudhon (1809–1865), yang terkenal dengan pernyataannya "La propriété, c’est le vol!" (Kepemilikan adalah pencurian), merupakan tokoh anarkis pertama yang secara terbuka menolak lembaga negara dan kepemilikan pribadi sebagai bentuk dominasi.18 Dalam karyanya What Is Property?, ia membela sistem kepemilikan kolektif dan organisasi ekonomi berbasis asosiasi pekerja sebagai alternatif atas kapitalisme dan negara borjuis.

Sementara itu, Mikhail Bakunin, tokoh anarkis Rusia abad ke-19, menekankan peran revolusi dalam menghancurkan otoritas negara dan institusi keagamaan yang dianggapnya sebagai alat penindasan. Ia menolak sentralisasi dan diktatoriat proletariat yang dipromosikan oleh Marx, serta menekankan spontanitas massa dalam menciptakan kebebasan sosial.19 Dalam God and the State, Bakunin mengembangkan kritik mendalam terhadap institusi-institusi ideologis yang melegitimasi kekuasaan represif.

Emma Goldman, anarkis Amerika berdarah Rusia, memperluas cakupan anarkisme ke isu-isu feminisme, kebebasan seksual, dan kritik terhadap industrialisasi modern. Ia menegaskan bahwa kebebasan politik sejati tidak dapat dipisahkan dari pembebasan personal dan sosial, serta bahwa perjuangan anarkis mencakup aspek-aspek psikologis dan budaya, bukan semata-mata struktural.20

Secara konseptual, anarkisme berpijak pada tiga prinsip utama: anti-otoritarianisme, solidaritas sukarela, dan otonomi individu. Berbeda dari liberalisme yang mengakui negara sebagai penjaga kebebasan individu, anarkisme memandang negara sebagai struktur dominasi yang tidak sah karena ia bersandar pada kekuasaan koersif dan pemaksaan hukum. Dalam pandangan anarkis, hubungan sosial yang sehat hanya dapat dibentuk melalui interaksi sukarela dan institusi yang dikelola secara horizontal oleh komunitas-komunitas bebas.21

Anarkisme memiliki berbagai varian aliran, antara lain anarkisme individualis (dipelopori oleh Max Stirner), anarkisme kolektivis (Bakunin), anarkisme mutualis (Proudhon), anarko-komunisme (Peter Kropotkin), hingga anarko-sindikalisme (Rudolf Rocker). Meskipun berbeda dalam strategi dan fokus, seluruh aliran tersebut sepakat menolak hierarki yang tidak sah dan memperjuangkan pembentukan masyarakat yang terbebas dari dominasi politik, ekonomi, dan kultural.

Dalam konteks kontemporer, anarkisme kembali mendapatkan perhatian melalui gerakan-gerakan akar rumput seperti Occupy Wall Street, gerakan anti-globalisasi, dan jaringan koperasi serta komunitas otonom yang menolak sistem representasi formal. Kehadiran teknologi komunikasi digital juga memberikan ruang baru bagi praktik-praktik anarkis dalam bentuk organisasi non-hierarkis dan desentralisasi informasi.22

3.5.       Komunitarianisme

Komunitarianisme adalah aliran dalam filsafat sosial-politik yang menekankan pentingnya komunitas, nilai-nilai bersama, dan identitas sosial dalam pembentukan individu serta penataan masyarakat. Sebagai reaksi terhadap liberalisme individualistik, komunitarianisme menolak gagasan bahwa manusia adalah subjek otonom yang sepenuhnya terlepas dari konteks sosial, budaya, dan historisnya. Sebaliknya, komunitarianisme berpandangan bahwa individu dibentuk melalui relasi sosial dan komitmen moral dalam komunitas, sehingga setiap pemahaman tentang keadilan atau hak harus mempertimbangkan keterkaitan sosial dan nilai kolektif.23

Perdebatan antara komunitarianisme dan liberalisme mencuat terutama pada akhir abad ke-20, dipicu oleh kritik terhadap pemikiran John Rawls dalam A Theory of Justice. Salah satu tokoh utama komunitarianisme, Michael Sandel, dalam karyanya Liberalism and the Limits of Justice, menilai bahwa Rawls gagal memahami karakter manusia sebagai makhluk yang “tertanam dalam” (embedded) dalam jaringan sosial dan komunitasnya.24 Bagi Sandel, keadilan tidak dapat dimaknai secara netral atau universal, melainkan harus berpijak pada nilai-nilai dan praktik moral yang berkembang dalam suatu masyarakat tertentu.

Alasdair MacIntyre, tokoh komunitarian lainnya, menyampaikan kritik terhadap proyek modernitas yang menurutnya telah menghancurkan fondasi moral tradisional. Dalam After Virtue, ia menekankan pentingnya kembalinya etika keutamaan (virtue ethics) dan tradisi naratif dalam komunitas sebagai sarana pembentukan karakter moral. Baginya, moralitas tidak dapat dipisahkan dari praktik sosial yang diwariskan secara historis dan melekat pada institusi sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama.25

Selain itu, Charles Taylor, dalam esainya Atomism dan karya lainnya seperti Sources of the Self, menegaskan bahwa identitas pribadi terbentuk melalui pengakuan dan partisipasi dalam komunitas budaya. Ia mengkritik liberalisme karena gagal menyadari bahwa kebebasan individu hanya bermakna dalam kerangka relasi sosial yang mendukungnya.26

Secara normatif, komunitarianisme mendorong pentingnya dialog publik, partisipasi warga, dan penguatan identitas kolektif dalam proses politik. Dalam pandangan komunitarian, kebijakan publik tidak boleh hanya berlandaskan hak-hak individual yang abstrak, melainkan harus mempertimbangkan kebaikan bersama (common good) yang muncul dari interaksi sosial dan sejarah komunitas tertentu. Dengan demikian, komunitarianisme menempatkan pentingnya civic virtue, tanggung jawab sosial, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai lokal sebagai bagian dari kehidupan demokratis yang sehat.27

Namun, komunitarianisme juga tidak luput dari kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa penekanan terhadap nilai-nilai komunal dapat mengarah pada konservatisme budaya atau relativisme moral yang mengabaikan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Meskipun demikian, komunitarianisme telah membuka ruang diskusi yang penting mengenai hubungan antara individu dan masyarakat, serta memberikan koreksi terhadap liberalisme yang terlalu menekankan otonomi personal.

Dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai oleh krisis identitas, disintegrasi sosial, dan meningkatnya polarisasi politik, komunitarianisme menawarkan wacana alternatif untuk membangun solidaritas sosial melalui revitalisasi nilai-nilai komunal dan semangat partisipatif dalam kehidupan politik.

3.6.       Feminisme Sosial-Politik

Feminisme sosial-politik merupakan aliran dalam filsafat yang mengkaji, mengkritik, dan mengusulkan transformasi terhadap struktur sosial dan politik yang dianggap menopang ketidaksetaraan gender. Sebagai gerakan intelektual dan politik, feminisme tidak hanya berupaya mengangkat suara perempuan, tetapi juga mengungkap dan mendekonstruksi relasi kuasa patriarkal yang melekat dalam institusi-institusi sosial, hukum, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, feminisme sosial-politik bertujuan membentuk masyarakat yang lebih setara dan inklusif, baik dari segi representasi maupun akses terhadap sumber daya dan hak-hak dasar.28

Secara historis, perkembangan feminisme sosial-politik terbagi ke dalam beberapa gelombang utama. Gelombang pertama (abad ke-19 hingga awal abad ke-20) berfokus pada perjuangan hak-hak sipil dan politik perempuan, khususnya hak untuk memilih (suffrage). Tokoh seperti Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Woman (1792), menyuarakan pentingnya pendidikan dan rasionalitas bagi perempuan sebagai dasar kesetaraan.29 Gelombang kedua (dari tahun 1960-an hingga 1980-an) memperluas cakupan isu ke ranah sosial dan personal, seperti ketimpangan dalam keluarga, dunia kerja, dan seksualitas. Simone de Beauvoir, melalui The Second Sex, mengungkap bagaimana perempuan dibentuk sebagai “yang lain” dalam sistem simbolik laki-laki dan menyatakan bahwa "seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan".30

Feminisme sosial-politik mencakup berbagai aliran, antara lain:

·                     Feminisme liberal, yang memperjuangkan kesetaraan hukum dan kebebasan individu dalam kerangka institusi demokratis yang ada. Fokus utamanya adalah reformasi hukum dan kebijakan publik agar bersifat non-diskriminatif terhadap perempuan.31

·                     Feminisme radikal, yang melihat patriarki sebagai sistem dominasi struktural yang harus dibongkar secara fundamental, termasuk kritik terhadap institusi keluarga, seksualitas normatif, dan relasi kekuasaan dalam tubuh dan reproduksi.32

·                     Feminisme sosialis dan Marxis, yang menggabungkan kritik terhadap kapitalisme dan patriarki, dan memandang bahwa ketertindasan perempuan berakar pada relasi produksi dan pembagian kerja seksual dalam sistem ekonomi.33

·                     Feminisme interseksional dan postkolonial, yang menunjukkan bahwa pengalaman perempuan tidak bersifat tunggal, tetapi beragam tergantung pada ras, kelas, etnis, orientasi seksual, dan konteks geopolitik. Kimberlé Crenshaw memperkenalkan konsep interseksionalitas untuk menggambarkan bagaimana berbagai bentuk penindasan saling bertaut dan memperkuat.34

Dalam wacana filsafat politik kontemporer, feminisme telah memperluas cakupan ke dalam kritik terhadap netralitas hukum dan negara. Iris Marion Young, dalam Justice and the Politics of Difference, menolak gagasan keadilan distributif yang abstrak dan menekankan pentingnya pengakuan terhadap perbedaan, serta perlunya struktur representasi yang lebih inklusif.35 Di sisi lain, Nancy Fraser menawarkan kerangka keadilan dua dimensi yang menggabungkan keadilan redistributif dan pengakuan budaya sebagai syarat keadilan sosial yang utuh.36

Feminisme sosial-politik juga mempersoalkan cara pandang liberalisme dan komunitarianisme dalam memahami individu dan komunitas. Dalam perspektif feminis, individu bukanlah entitas otonom yang netral gender, melainkan subjek yang dibentuk oleh relasi sosial yang bercorak gender dan kekuasaan. Oleh karena itu, demokrasi yang sejati harus memperhitungkan suara dan pengalaman perempuan sebagai bagian integral dari kehidupan politik.

Meskipun feminisme sering kali dipertentangkan dengan tradisi filsafat Barat yang didominasi laki-laki, kehadirannya justru memperkaya khazanah filsafat sosial-politik dengan pendekatan yang reflektif, intersubjektif, dan kritis terhadap eksklusi sistemik. Dalam konteks global saat ini, feminisme tidak hanya menjadi alat analisis terhadap ketimpangan gender, tetapi juga instrumen penting dalam menata ulang struktur sosial-politik agar lebih adil, partisipatif, dan manusiawi.

3.7.       Ekologisme Politik

Ekologisme politik adalah aliran dalam filsafat sosial-politik yang memandang bahwa masalah lingkungan bukan sekadar isu teknis atau ilmiah, tetapi merupakan persoalan etis dan struktural yang terkait dengan cara manusia mengorganisasi masyarakat, ekonomi, dan kekuasaan. Aliran ini menolak pandangan antroposentris (manusia sebagai pusat) yang mendominasi modernitas Barat dan menuntut perubahan mendalam dalam sistem nilai, relasi sosial, serta institusi politik guna mewujudkan keberlanjutan ekologis dan keadilan lingkungan.37

Ekologisme politik lahir dari keresahan terhadap dampak destruktif industrialisasi, eksploitasi sumber daya alam secara masif, serta ketimpangan distribusi risiko lingkungan antara negara kaya dan miskin atau antara komunitas dominan dan terpinggirkan. Ia bukan hanya menuntut perlindungan terhadap alam, melainkan juga mendesak adanya transformasi paradigma pembangunan dan demokrasi agar lebih inklusif terhadap suara non-manusia dan komunitas ekologis secara keseluruhan.38

Salah satu tokoh sentral dalam aliran ini adalah Arne Naess, filsuf Norwegia yang mengembangkan konsep deep ecology (ekologi mendalam). Naess membedakan antara ekologi dangkal (yang fokus pada pengelolaan lingkungan untuk kepentingan manusia) dan ekologi mendalam yang menekankan nilai intrinsik dari semua bentuk kehidupan dan menuntut perubahan radikal dalam cara manusia memandang dan berinteraksi dengan alam.39 Ia mempromosikan prinsip biosentrisme, kesetaraan ekologis, dan pembentukan identitas ekologi diri (ecological self) sebagai dasar etika lingkungan baru.

Sementara itu, Murray Bookchin menawarkan pendekatan berbeda melalui konsep ekologi sosial. Bookchin menolak spiritualisme dan mistisisme dalam ekologi mendalam, dan menekankan bahwa krisis ekologi adalah produk dari struktur sosial hierarkis dan kapitalisme. Ia berpandangan bahwa untuk menyelamatkan bumi, manusia harus menciptakan masyarakat egaliter, desentralisasi politik, serta bentuk demokrasi langsung yang berlandaskan solidaritas ekologis dan rasionalitas etis.40 Baginya, pembebasan manusia dan pembebasan alam merupakan proses yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Ekologisme politik juga memperkenalkan gagasan keadilan ekologis (ecological justice), yaitu tuntutan bahwa tanggung jawab dan hak atas lingkungan harus didistribusikan secara adil di antara semua makhluk hidup, generasi sekarang dan mendatang. Pandangan ini berkembang melalui interseksi dengan teori feminisme ekologi (ecofeminism), Marxisme ekologis, serta teori kosmopolitanisme lingkungan. Para pemikir seperti Robyn Eckersley dan Andrew Dobson menekankan bahwa bentuk demokrasi lingkungan yang sejati harus melibatkan partisipasi aktif warga dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada ekosistem mereka.41

Dalam praktik politik, ekologisme politik terwujud dalam gerakan hijau (Green Politics), advokasi terhadap environmental citizenship, dan pengembangan kebijakan berbasis keberlanjutan yang menekankan prinsip pencegahan, regenerasi, dan tanggung jawab bersama. Ia menantang kerangka pembangunan neoliberal yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keseimbangan ekologi, dan justru mengajukan paradigma alternatif seperti steady-state economy, degrowth, dan resilience politics sebagai pendekatan sistemik terhadap krisis lingkungan global.42

Di tengah ancaman perubahan iklim, punahnya keanekaragaman hayati, serta memburuknya kondisi ekologis planet ini, ekologisme politik hadir sebagai kritik filosofis dan solusi normatif terhadap kegagalan sistem sosial-politik modern dalam menjaga keberlanjutan kehidupan. Dengan mengintegrasikan dimensi etika, politik, dan ekologi, aliran ini mendorong rekonstruksi tatanan sosial-politik global yang lebih adil terhadap manusia, makhluk hidup lain, dan bumi itu sendiri.

3.8.       Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme adalah aliran dalam filsafat sosial-politik yang berpandangan bahwa setiap manusia adalah anggota komunitas moral universal yang melampaui batas-batas negara, kebangsaan, etnis, atau agama. Ia menekankan prinsip solidaritas global, tanggung jawab lintas batas, dan keadilan transnasional. Dalam kerangka ini, semua individu dipandang sebagai warga dunia (citizens of the world) yang memiliki hak dan martabat yang sama, serta terikat dalam relasi etis satu sama lain tanpa memandang perbedaan identitas partikular.43

Akar kosmopolitanisme dapat ditelusuri dalam filsafat Stoik, yang mengajarkan bahwa seluruh umat manusia adalah bagian dari satu komunitas moral berdasarkan nalar universal (logos). Pemikiran ini kemudian dihidupkan kembali secara sistematis oleh Immanuel Kant, khususnya dalam esainya Perpetual Peace (1795). Kant mengusulkan konsep “hukum kosmopolitan” sebagai kerangka bagi federasi negara-negara republik yang hidup damai dan menghormati hak-hak universal manusia. Bagi Kant, perdamaian abadi hanya dapat tercapai jika negara-negara mengakui martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar alat kebijakan geopolitik.44

Dalam perkembangan kontemporer, kosmopolitanisme muncul sebagai respons terhadap globalisasi dan ketidakadilan global. Thomas Pogge, dalam World Poverty and Human Rights, berargumen bahwa tatanan internasional saat ini berkontribusi secara aktif terhadap kemiskinan struktural di negara-negara berkembang. Pogge menuntut tanggung jawab moral dari negara-negara maju dan lembaga internasional untuk mereformasi struktur global agar lebih adil terhadap mereka yang terpinggirkan.45 Pandangan ini dikenal sebagai cosmopolitan justice, yaitu keadilan yang berlaku tidak hanya di dalam negara, tetapi juga dalam relasi antarnegara dan individu global.

Kosmopolitanisme juga berkembang dalam bentuk kosmopolitanisme budaya, yang dibela oleh Kwame Anthony Appiah. Dalam Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers, Appiah menolak nasionalisme sempit dan menekankan pentingnya dialog lintas budaya untuk memahami dan menghormati keberagaman nilai dan praktik kehidupan. Ia menawarkan prinsip ganda: universalisme moral dan penghargaan terhadap perbedaan, sebagai dasar etika kosmopolitan.46

Di bidang demokrasi, kosmopolitanisme melahirkan gagasan tentang demokrasi transnasional atau demokrasi global, yang memperluas prinsip representasi dan partisipasi politik ke tingkat internasional. Tokoh seperti David Held menyarankan pembentukan lembaga-lembaga global yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel sebagai cara untuk mengatasi defisit demokrasi dalam tata kelola global.47

Kendati menjanjikan visi etis yang inklusif, kosmopolitanisme menghadapi kritik dari berbagai arah. Kaum komunitarian menuduhnya mengabaikan keterikatan emosional dan historis individu terhadap komunitas lokal dan nasional. Selain itu, skeptisisme juga muncul terhadap efektivitas kosmopolitanisme dalam menghadapi struktur kekuasaan internasional yang timpang dan realitas politik global yang diwarnai oleh kepentingan nasional dan ekonomi.

Meski demikian, dalam dunia yang semakin saling terhubung melalui migrasi, perdagangan, internet, dan krisis bersama seperti perubahan iklim, kosmopolitanisme tetap menawarkan kerangka moral dan politik yang relevan. Ia menyerukan tanggung jawab kolektif lintas batas, solidaritas kemanusiaan universal, dan pengakuan bahwa keadilan sejati tidak dapat dibatasi oleh garis-garis negara bangsa.


Penutup Bagian

Ragam aliran dalam filsafat sosial-politik mencerminkan kompleksitas cara manusia memahami, mengorganisasi, dan mengkritisi tatanan kehidupan bersama. Setiap aliran—mulai dari liberalisme yang menekankan kebebasan individu, sosialisme dan Marxisme yang menyoroti keadilan kolektif dan ketimpangan kelas, konservatisme yang mengedepankan stabilitas tradisi, hingga anarkisme yang menolak segala bentuk otoritas koersif—menawarkan lensa filosofis yang unik terhadap realitas sosial dan politik. Demikian pula, komunitarianisme menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai komunal dalam pembentukan identitas, feminisme sosial-politik membuka ruang untuk pembacaan kritis atas relasi gender dalam institusi sosial, sementara ekologisme politik dan kosmopolitanisme memperluas cakrawala etika politik ke ranah lingkungan dan komunitas global.

Keseluruhan aliran ini tidak hanya bersaing dalam wacana normatif, tetapi juga saling melengkapi dalam memperkaya refleksi kritis atas bentuk-bentuk kekuasaan, keadilan, dan kewargaan. Pemahaman yang komprehensif terhadap keberagaman pemikiran ini memungkinkan kita membangun pandangan politik yang lebih inklusif, reflektif, dan kontekstual terhadap tantangan zaman. Dalam dunia yang terus berubah dan menghadapi krisis multidimensi, filsafat sosial-politik tidak hanya menjadi medan teoritis, tetapi juga sarana etis dan praktis untuk menata kehidupan bersama secara lebih manusiawi dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 9–12.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Book II, §§ 4–15.

[3]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), Chapter I–II.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–56.

[5]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 1–10.

[6]                Gareth Stedman Jones, An End to Poverty? A Historical Debate (London: Profile Books, 2004), 58–73.

[7]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2004), 14–18.

[8]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), Preface.

[9]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 125–177.

[10]             Vladimir Ilyich Lenin, The State and Revolution, trans. Robert Service (London: Penguin Classics, 2009), Chapter II.

[11]             Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–136.

[12]             Roger Scruton, The Meaning of Conservatism, 3rd ed. (New York: St. Martin’s Press, 2001), 3–10.

[13]             Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France, ed. J.G.A. Pocock (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 19–25.

[14]             Samuel P. Huntington, “Conservatism as an Ideology,” The American Political Science Review 51, no. 2 (June 1957): 454–473.

[15]             Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury, 2014), 1–12.

[16]             Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot, 7th ed. (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 8–15.

[17]             Ruth Kinna, Anarchism: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 1–10.

[18]             Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R. Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 13–17.

[19]             Mikhail Bakunin, God and the State, trans. Benjamin Tucker (New York: Dover Publications, 1970), 7–14.

[20]             Emma Goldman, Anarchism and Other Essays, ed. Hippolyte Havel (New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 55–72.

[21]             Todd May, The Political Philosophy of Poststructuralist Anarchism (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1994), 29–35.

[22]             Uri Gordon, Anarchy Alive!: Anti-Authoritarian Politics from Practice to Theory (London: Pluto Press, 2008), 101–113.

[23]             Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 18–27.

[24]             Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 1–11.

[25]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 204–225.

[26]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 27–51.

[27]             Robert Bellah et al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1996), 284–295.

[28]             Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature (Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1983), 5–11.

[29]             Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed. Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), 85–91.

[30]             Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 267.

[31]             Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York: Basic Books, 1989), 12–18.

[32]             Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 93–105.

[33]             Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory (New Brunswick: Rutgers University Press, 1983), 42–56.

[34]             Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[35]             Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 15–39.

[36]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–25.

[37]             Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 25–40.

[38]             Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 15–33.

[39]             Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[40]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Oakland: AK Press, 2005), 50–72.

[41]             Robyn Eckersley, “The Politics of Nature: Reflections on Green Political Thought,” in Debating the Earth: The Environmental Politics Reader, eds. John S. Dryzek and David Schlosberg (Oxford: Oxford University Press, 2005), 353–366.

[42]             Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle: Agenda Publishing, 2018), 20–39.

[43]             Gillian Brock and Harry Brighouse, The Political Philosophy of Cosmopolitanism (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 1–9.

[44]             Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 107–108.

[45]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2008), 29–47.

[46]             Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 57–76.

[47]             David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995), 11–31.


4.           Perbandingan Antara Aliran-Aliran Sosial-Politik

Meskipun setiap aliran dalam filsafat sosial-politik berdiri dengan fondasi konseptual yang khas, perbandingan antartokoh dan kerangka pemikirannya memperlihatkan pola-pola yang saling berhubungan maupun bertentangan secara tajam. Beberapa kategori utama seperti pandangan terhadap individu dan komunitas, konsep keadilan, posisi terhadap negara, serta pendekatan terhadap perubahan sosial, menjadi titik tolak untuk memahami dinamika antara aliran-aliran ini secara lebih sistematis.

4.1.       Pandangan tentang Individu dan Komunitas

Liberalisme menempatkan individu sebagai unit dasar kehidupan politik dan moral. Dalam kerangka liberal, individu dipandang sebagai agen otonom yang memiliki hak-hak alamiah yang harus dilindungi dari intervensi negara maupun komunitas1. Sebaliknya, komunitarianisme menolak gagasan individu sebagai entitas yang netral secara sosial, dan menegaskan bahwa identitas moral individu terbentuk melalui nilai dan relasi dalam komunitas tempat ia hidup2.

Demikian pula, feminisme sosial-politik dan ekologisme menyoroti bagaimana identitas dan agensi individu terbentuk melalui struktur sosial dan relasi kekuasaan yang lebih luas, baik itu gender, lingkungan, atau relasi kultural3. Dalam hal ini, terjadi pergeseran dari perspektif atomistik menuju pemahaman yang lebih intersubjektif dan kontekstual terhadap subjek moral dan politik.

4.2.       Konsepsi tentang Keadilan dan Ketimpangan

Keadilan dalam liberalisme dipahami sebagai hak dan kebebasan yang setara untuk semua warga negara, sering kali dalam bingkai prosedural dan legal-formal4. Dalam versi egalitariannya, seperti yang dikembangkan oleh John Rawls, keadilan mencakup distribusi sumber daya dengan prinsip manfaat terbesar bagi yang paling tidak beruntung5.

Sebaliknya, sosialisme dan Marxisme menilai keadilan sebagai pembebasan dari eksploitasi kelas dan pemenuhan kebutuhan dasar secara kolektif. Keadilan, dalam pandangan ini, bukan hanya soal distribusi, tetapi transformasi struktur kepemilikan dan kontrol atas alat produksi6.

Kosmopolitanisme memperluas wacana keadilan melampaui batas negara, dengan menuntut tanggung jawab global terhadap ketimpangan antarnegara. Sementara itu, ekologisme menambahkan dimensi intergenerasional dan non-antropocentris dalam konsepsi keadilan—yakni memperhitungkan hak dan kelangsungan kehidupan semua makhluk serta generasi mendatang7.

4.3.       Peran Negara dan Kekuasaan

Sebagian besar aliran memberikan posisi yang berbeda terhadap negara. Konservatisme melihat negara sebagai pelindung stabilitas dan pewaris nilai-nilai tradisional yang harus dijaga keberlanjutannya8. Sebaliknya, anarkisme menolak legitimasi negara dan segala bentuk otoritas hierarkis, dengan mengusulkan tatanan sosial berbasis relasi horizontal dan kesukarelaan9.

Liberal dan sosialis sama-sama mengakui fungsi negara, namun dengan tujuan berbeda. Bagi liberalisme, negara berperan sebagai penjaga hak individu dan pengatur hukum minimal. Sementara sosialisme melihat negara sebagai alat transisi menuju masyarakat tanpa kelas, meskipun varian Marxis-Leninis menyokong penggunaan negara untuk menjalankan diktatoriat proletariat dalam periode revolusioner10.

Kosmopolitanisme dan ekologisme memunculkan tantangan baru terhadap konsep negara dengan menuntut kerjasama global, kelembagaan transnasional, dan akuntabilitas ekologis yang melampaui batas kedaulatan nasional.

4.4.       Strategi Perubahan Sosial dan Kritik terhadap Status Quo

Aliran-aliran ini juga berbeda dalam pendekatan terhadap perubahan sosial. Konservatisme menekankan evolusi bertahap yang berakar pada kearifan tradisional dan skeptis terhadap rekayasa sosial yang ambisius. Sebaliknya, Marxisme, feminisme radikal, dan anarkisme mendorong transformasi struktural yang menyasar akar dominasi dan ketimpangan.

Ekologisme dan komunitarianisme menawarkan pendekatan transformatif yang bersifat normatif namun tidak selalu revolusioner. Keduanya mendukung perubahan melalui refleksi etis, penguatan komunitas, dan pengembangan kesadaran ekologis atau kewargaan yang bertanggung jawab11.


Kesimpulan Perbandingan

Perbandingan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu aliran pun yang mampu menjawab seluruh kompleksitas sosial-politik secara tuntas. Masing-masing menyumbang perspektif penting: liberalisme menekankan kebebasan individu, sosialisme mengejar keadilan sosial, konservatisme mengingatkan pentingnya stabilitas, anarkisme mengkritisi otoritas koersif, komunitarianisme mengangkat nilai lokal dan kebersamaan, feminisme mengungkap relasi gender yang timpang, ekologisme memperluas cakupan keadilan ke alam, dan kosmopolitanisme menyajikan etika global. Dalam konteks dunia yang saling terhubung dan menghadapi krisis multidimensi, integrasi wacana-wacana ini menjadi penting sebagai landasan reflektif bagi pembaruan sosial-politik yang berkeadilan, berkelanjutan, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–5.

[2]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–25.

[3]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 19–29.

[4]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 6–18.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–56.

[6]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2004), 14–18.

[7]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 58–74.

[8]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France, ed. J.G.A. Pocock (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 23–31.

[9]                Ruth Kinna, Anarchism: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 42–55.

[10]             Vladimir Ilyich Lenin, The State and Revolution, trans. Robert Service (London: Penguin Classics, 2009), 13–29.

[11]             Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 43–60.


5.           Relevansi Pemikiran Sosial-Politik dalam Konteks Kontemporer

Di tengah lanskap global yang ditandai oleh krisis multidimensi—mulai dari ketimpangan ekonomi, disintegrasi sosial, kerusakan lingkungan, hingga tantangan globalisasi dan otoritarianisme—pemikiran filsafat sosial-politik menjadi sangat relevan sebagai kerangka analisis normatif dan kritis. Berbagai aliran yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya tidak hanya mewakili posisi ideologis masa lalu, tetapi terus bertransformasi dan berinteraksi dalam menghadapi problematika zaman kini.

5.1.       Ketimpangan Global dan Keadilan Sosial

Kapitalisme global yang semakin terkonsentrasi telah menghasilkan kesenjangan ekonomi ekstrem, baik di dalam negara maupun antarnegara. Pandangan sosialisme dan Marxisme, yang menyoroti eksploitasi dalam struktur produksi, mendapatkan aktualitas baru dalam kritik terhadap neoliberalisme dan rezim pasar bebas. Thomas Piketty, dalam analisis ekonominya, menunjukkan bahwa akumulasi kapital tanpa regulasi menyebabkan ketimpangan yang mengancam stabilitas demokrasi1. Dalam konteks ini, gagasan redistribusi, kepemilikan kolektif, dan solidaritas sosial yang ditawarkan oleh aliran-aliran kiri tetap menjadi alternatif penting dalam wacana kebijakan publik global.

5.2.       Krisis Demokrasi dan Identitas Politik

Meningkatnya polarisasi politik, populisme sayap kanan, serta melemahnya institusi demokrasi liberal telah menghidupkan kembali perdebatan tentang relasi antara individu, negara, dan komunitas. Komunitarianisme, dengan tekanannya pada common good, partisipasi publik, dan nilai-nilai lokal, menawarkan kerangka etis untuk merawat kohesi sosial dalam masyarakat pluralistik2. Di sisi lain, feminisme sosial-politik telah menyoroti bagaimana demokrasi formal sering kali gagal mewakili suara kelompok marginal, termasuk perempuan, minoritas etnis, dan gender non-normatif. Oleh karena itu, demokrasi yang substantif membutuhkan restrukturisasi representasi dan partisipasi yang lebih inklusif3.

5.3.       Krisis Iklim dan Politik Ekologis

Perubahan iklim merupakan tantangan eksistensial abad ke-21. Gagasan ekologisme politik, terutama yang dikembangkan dalam tradisi deep ecology dan ekologi sosial, menyerukan reformulasi mendalam terhadap sistem produksi, konsumsi, dan struktur politik global yang bersifat eksploitatif terhadap alam4. Gerakan seperti Green New Deal, ekonomi degrowth, dan aktivisme iklim transnasional menunjukkan bahwa wacana ekopolitis tidak lagi berada di pinggiran, melainkan menjadi pusat perdebatan kebijakan internasional. Di sini, aliran ekologisme politik berperan penting dalam menggeser paradigma pembangunan dari pertumbuhan linear menuju keberlanjutan dan regenerasi ekosistem.

5.4.       Kewargaan Global dan Etika Transnasional

Globalisasi telah mendorong pergerakan manusia, barang, dan informasi lintas batas, namun tidak disertai dengan kerangka keadilan global yang memadai. Kosmopolitanisme menjadi penting dalam menanggapi masalah-masalah transnasional seperti migrasi, pengungsi, kemiskinan global, dan konflik internasional. Konsep “warga dunia” yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh seperti Kwame Anthony Appiah dan Thomas Pogge menawarkan perspektif moral bahwa tanggung jawab terhadap hak dan martabat manusia tidak boleh dibatasi oleh kewarganegaraan atau batas teritorial5. Dalam kerangka ini, tuntutan terhadap reformasi institusi internasional dan pembentukan demokrasi global menjadi wacana strategis bagi keadilan internasional.

5.5.       Teknologi, Digitalisasi, dan Otoritas Baru

Kemajuan teknologi digital telah melahirkan bentuk-bentuk kekuasaan baru yang sering kali tak terlihat namun sangat menentukan kehidupan sosial. Algoritma, pengumpulan data, dan otoritas korporasi teknologi menimbulkan tantangan etis yang kompleks. Pemikiran liberal klasik yang menekankan privasi individu perlu ditinjau ulang dalam konteks pengawasan digital dan ekonomi perhatian (attention economy). Sementara itu, pendekatan anarkisme dan komunitarianisme yang menekankan otonomi komunitas dan kontrol desentralistik terhadap informasi menjadi relevan dalam menghadapi dominasi struktur digital global6.


Kesimpulan Relevansi

Pemikiran sosial-politik tidaklah selesai dalam lembaran sejarah atau wacana teoretis, tetapi terus hidup dan berkembang seiring dengan tantangan zaman. Aliran-aliran filsafat sosial-politik, dengan keunikan konseptual dan cita-cita normatif masing-masing, memberikan kerangka reflektif yang mendalam bagi transformasi sosial yang lebih adil, lestari, dan manusiawi. Dalam dunia yang semakin kompleks, saling terhubung, dan rentan terhadap krisis global, keberanian untuk membaca kembali dan mengembangkan pemikiran-pemikiran ini merupakan langkah awal bagi pembaruan etik-politik yang transformatif.


Footnotes

[1]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 271–302.

[2]                Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–73.

[3]                Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 5–21.

[4]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 61–83.

[5]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 83–102; Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2008), 143–163.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 97–122.


6.           Penutup

Filsafat sosial-politik merupakan medan pemikiran yang kaya, reflektif, dan dinamis dalam merespons kompleksitas kehidupan kolektif manusia. Melalui eksplorasi terhadap berbagai aliran seperti liberalisme, sosialisme dan Marxisme, konservatisme, anarkisme, komunitarianisme, feminisme sosial-politik, ekologisme politik, dan kosmopolitanisme, kita melihat bahwa masing-masing pendekatan menyajikan paradigma tersendiri dalam memahami konsep kunci seperti keadilan, kebebasan, kekuasaan, dan kewargaan. Pemikiran-pemikiran tersebut tidak hanya lahir dari kondisi historis dan sosial tertentu, tetapi juga terus berevolusi dalam menjawab tantangan zaman modern dan kontemporer.

Setiap aliran memiliki kekuatan dan keterbatasannya. Liberalisme, misalnya, unggul dalam membela kebebasan individu dan hak-hak asasi, tetapi kerap dikritik karena mengabaikan dimensi struktural ketimpangan1. Marxisme menawarkan kritik tajam terhadap eksploitasi dan kapitalisme global, namun beberapa penerapannya dalam praktik historis memunculkan tantangan otoritarianisme2. Konservatisme menekankan pentingnya tradisi dan keteraturan, namun juga berisiko mempertahankan struktur hierarkis yang tidak adil3. Anarkisme menyodorkan alternatif relasi sosial yang egaliter dan bebas dominasi, tetapi sering diragukan efektivitas implementatifnya dalam skala besar4.

Sementara itu, aliran-aliran seperti komunitarianisme, feminisme, ekologisme, dan kosmopolitanisme telah memperkaya wacana sosial-politik dengan memasukkan dimensi identitas, keberagaman, relasi ekologis, serta etika lintas batas. Feminisme, misalnya, telah mendekonstruksi struktur dominasi gender yang sebelumnya terabaikan dalam filsafat politik arus utama, sementara ekologisme politik telah memaksa kita untuk memikirkan kembali hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka keadilan intergenerasional5. Kosmopolitanisme, di sisi lain, mendorong kesadaran bahwa keadilan dan tanggung jawab moral tidak boleh dibatasi oleh batas-batas negara bangsa6.

Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis multidimensi—ketimpangan global, degradasi lingkungan, krisis representasi demokratis, dan transformasi teknologi digital—pemikiran filsafat sosial-politik menjadi instrumen krusial untuk menavigasi arah perubahan sosial. Ia bukan sekadar kumpulan teori abstrak, tetapi tawaran normatif dan praktis yang memandu kita dalam merumuskan struktur kehidupan bersama yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan7.

Oleh karena itu, pembelajaran dan pengembangan pemikiran sosial-politik seharusnya tidak berhenti pada penguasaan konsep, melainkan berlanjut pada refleksi kritis dan praksis transformatif. Upaya membaca ulang, mendialogkan antaraliran, serta menyusun sintesis pemikiran yang kontekstual dengan tantangan zaman menjadi bagian penting dari usaha membangun masyarakat global yang lebih bermartabat dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–9.

[2]                David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave Macmillan, 1998), 113–129.

[3]                Roger Scruton, The Meaning of Conservatism, 3rd ed. (New York: St. Martin’s Press, 2001), 12–27.

[4]                Ruth Kinna, Anarchism: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld Publications, 2005), 91–103.

[5]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 33–45; Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 85–98.

[6]                Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 101–119.

[7]                Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 220–242.


Daftar Pustaka

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. W. W. Norton.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original work published c. 1274)

Aristotle. (1984). Politics (C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.

Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Bellah, R. N., Madsen, R., Sullivan, W. M., Swidler, A., & Tipton, S. M. (1996). Habits of the heart: Individualism and commitment in American life (2nd ed.). University of California Press.

Bookchin, M. (2005). The ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. AK Press.

Brock, G., & Brighouse, H. (Eds.). (2005). The political philosophy of cosmopolitanism. Cambridge University Press.

Burke, E. (1987). Reflections on the revolution in France (J. G. A. Pocock, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1790)

Crenshaw, K. (1991). Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299. https://doi.org/10.2307/1229039

De Beauvoir, S. (1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Eckersley, R. (1992). Environmentalism and political theory: Toward an ecocentric approach. State University of New York Press.

Eckersley, R. (2005). The politics of nature: Reflections on green political thought. In J. S. Dryzek & D. Schlosberg (Eds.), Debating the Earth: The environmental politics reader (pp. 353–366). Oxford University Press.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Goldman, E. (1910). Anarchism and other essays (H. Havel, Ed.). Mother Earth Publishing Association.

Held, D. (1995). Democracy and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance. Stanford University Press.

Hobbes, T. (1985). Leviathan (C. B. Macpherson, Ed.). Penguin Books. (Original work published 1651)

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Huntington, S. P. (1957). Conservatism as an ideology. The American Political Science Review, 51(2), 454–473. https://doi.org/10.2307/1952202

Jaggar, A. M. (1983). Feminist politics and human nature. Rowman & Littlefield.

Kallis, G. (2018). Degrowth. Agenda Publishing.

Kant, I. (1983). Perpetual peace and other essays (T. Humphrey, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1795)

Kinna, R. (2005). Anarchism: A beginner’s guide. Oneworld Publications.

Kirk, R. (2001). The conservative mind: From Burke to Eliot (7th ed.). Regnery Publishing.

Kymlicka, W. (2002). Contemporary political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.

Lenin, V. I. (2009). The state and revolution (R. Service, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1917)

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Harvard University Press.

Marx, K. (1970). A contribution to the critique of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Progress Publishers. (Original work published 1859)

Marx, K., & Engels, F. (2004). The Communist manifesto (S. Moore, Trans.). International Publishers. (Original work published 1848)

May, T. (1994). The political philosophy of poststructuralist anarchism. Pennsylvania State University Press.

Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1859)

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long‐range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1–4), 95–100. https://doi.org/10.1080/00201747308601682

Okin, S. M. (1989). Justice, gender, and the family. Basic Books.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Pogge, T. (2008). World poverty and human rights (2nd ed.). Polity Press.

Proudhon, P.-J. (1994). What is property? (D. R. Kelley & B. G. Smith, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1840)

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.

Scruton, R. (2001). The meaning of conservatism (3rd ed.). St. Martin’s Press.

Scruton, R. (2014). How to be a conservative. Bloomsbury.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining the politics of recognition (pp. 25–73). Princeton University Press.

Vogel, L. (1983). Marxism and the oppression of women: Toward a unitary theory. Rutgers University Press.

Wollstonecraft, M. (1992). A vindication of the rights of woman (M. Brody, Ed.). Penguin Books. (Original work published 1792)

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy. Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar