Aliran Sosial-Politik
Konsep, Tokoh, dan Relevansinya
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme,
Komunisme, Marxisme, Anarkisme, Konservatisme,
Libertarianisme, Fasisme, Feminisme, Poskolonialisme,
Kosmopolitanisme.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara
komprehensif aliran-aliran utama dalam filsafat sosial-politik dengan
pendekatan historis-kritis dan analisis komparatif. Pembahasan mencakup delapan
aliran penting: liberalisme, sosialisme dan Marxisme, konservatisme, anarkisme,
komunitarianisme, feminisme sosial-politik, ekologisme politik, dan
kosmopolitanisme. Setiap aliran dianalisis berdasarkan konsep inti, tokoh
sentral, serta kontribusinya dalam membentuk wacana sosial-politik global.
Artikel ini juga menyoroti persamaan dan perbedaan konseptual antaraliran
melalui kategori seperti pemahaman tentang individu dan komunitas, konsep
keadilan, peran negara, serta pendekatan terhadap perubahan sosial.
Selanjutnya, artikel menegaskan relevansi kontemporer dari pemikiran-pemikiran
ini dalam merespons tantangan abad ke-21, termasuk krisis demokrasi,
ketimpangan global, perubahan iklim, migrasi transnasional, dan transformasi
teknologi digital. Dengan menyajikan kajian teoretis yang terintegrasi dan
reflektif, artikel ini bertujuan memperkuat fondasi pemikiran kritis dalam
memahami dinamika sosial-politik mutakhir serta merumuskan arah perubahan
sosial yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Filsafat sosial-politik; liberalisme; Marxisme;
konservatisme; anarkisme; komunitarianisme; feminisme; ekologisme;
kosmopolitanisme; keadilan sosial; pemikiran politik kontemporer.
PEMBAHASAN
Menelusuri Aliran-Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat sosial-politik
merupakan cabang filsafat yang membahas secara kritis mengenai dasar-dasar
normatif dan konseptual dari kehidupan sosial dan politik manusia. Dalam ranah
ini, para filsuf mengeksplorasi konsep-konsep seperti keadilan, kebebasan,
kekuasaan, hak, kewajiban, negara, serta hubungan antara individu dan
komunitas. Pemikiran dalam bidang ini tidak hanya bersifat spekulatif,
melainkan juga berkaitan erat dengan persoalan konkret dalam kehidupan
masyarakat, seperti distribusi kekayaan, legitimasi kekuasaan, dan struktur
institusi sosial1.
Filsafat sosial-politik
memiliki akar sejarah yang panjang, setidaknya sejak masa Yunani Kuno ketika
Plato dan Aristoteles mulai merumuskan gagasan tentang tatanan sosial yang
ideal dan bentuk pemerintahan yang baik. Plato, dalam The Republic,
membayangkan masyarakat adil yang dibentuk oleh pembagian kerja berdasarkan
kodrat dan pendidikan filosofis para penguasa2. Sementara itu,
Aristoteles dalam Politics menekankan pentingnya polis (negara kota)
sebagai medium utama bagi manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai
makhluk politik (zoon politikon)3.
Dalam perkembangan
selanjutnya, filsafat sosial-politik mengalami transformasi yang signifikan
terutama pada era modern, ketika muncul gagasan kontrak sosial sebagai dasar
legitimasi kekuasaan negara. Tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan
Jean-Jacques Rousseau menawarkan kerangka teoritis yang berbeda mengenai
hubungan antara individu dan negara, serta tentang hak-hak dasar yang melekat
pada manusia4. Pada era kontemporer, diskursus filsafat politik
menjadi semakin kompleks dengan munculnya berbagai aliran seperti liberalisme,
sosialisme, anarkisme, komunitarianisme, hingga feminisme dan ekologisme, yang
masing-masing menawarkan perspektif unik mengenai keadilan dan tatanan sosial
yang ideal5.
Kajian terhadap beragam
aliran dalam filsafat sosial-politik sangat penting, mengingat pemikiran-pemikiran
tersebut tidak hanya membentuk fondasi teoretis bagi berbagai sistem
pemerintahan dan kebijakan publik, tetapi juga turut memengaruhi arah perubahan
sosial dalam masyarakat. Di tengah tantangan global seperti ketimpangan
ekonomi, krisis lingkungan, dan konflik identitas, pendekatan filosofis
terhadap masalah sosial-politik menjadi sangat relevan untuk memahami akar
persoalan serta merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan6.
Artikel ini bertujuan untuk
mengulas secara sistematis aliran-aliran utama dalam filsafat sosial-politik
dengan menyoroti konsep-konsep kunci, tokoh-tokoh sentral, serta relevansi
pemikiran mereka dalam konteks kontemporer. Melalui pendekatan ini, pembaca
diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai keragaman perspektif
filosofis dalam menjawab persoalan sosial dan politik yang terus berkembang.
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 1–5.
[2]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV.
[3]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 1253a.
[4]
John Dunn, Western Political Theory in the Face of the Future
(Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 21–45.
[5]
David Miller, Political Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 5–10.
[6]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 3–6.
2.
Latar Historis dan
Perkembangan Filsafat Sosial-Politik
Filsafat sosial-politik
sebagai bidang refleksi kritis mengenai struktur dan nilai-nilai dalam
kehidupan bersama telah berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia. Setiap
era peradaban melahirkan konteks sosial dan politik yang memicu lahirnya
pemikiran-pemikiran filosofis baru. Meskipun akar filsafat sosial-politik dapat
ditelusuri hingga masa pra-Sokrates, struktur sistematis dari pemikiran ini
mulai dibangun secara eksplisit dalam karya-karya Plato dan Aristoteles.
2.1.
Era Klasik: Konsep Keadilan dan Negara Ideal
Plato (427–347 SM) dalam The
Republic mengembangkan konsep polis ideal yang diatur oleh para
filsuf-raja sebagai penjaga kebenaran dan keadilan. Baginya, masyarakat adil
hanya dapat tercapai jika setiap kelas sosial melaksanakan fungsinya secara
harmonis berdasarkan kapasitas alami mereka1. Aristoteles (384–322
SM), murid Plato, mengkritik dan menyempurnakan gagasan tersebut melalui
pendekatan yang lebih empiris. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk politik (zoon politikon) yang hanya dapat
merealisasikan potensinya dalam kehidupan berkomunitas. Negara (polis)
menurutnya bukan sekadar alat kekuasaan, tetapi ruang etis untuk mencapai
kebaikan bersama2.
2.2.
Abad Pertengahan: Sintesis antara Teologi dan
Politik
Pada abad pertengahan,
filsafat sosial-politik mengalami kristalisasi dalam kerangka teologis,
terutama di tangan filsuf Kristen seperti Augustinus dan Thomas Aquinas.
Augustinus dalam The City of God membedakan antara civitas Dei
(kota Allah) dan civitas terrena (kota duniawi), dan menekankan bahwa
tatanan politik di dunia adalah refleksi imperfek dari kehendak ilahi3.
Sementara itu, Thomas Aquinas mensintesiskan filsafat Aristoteles dengan ajaran
Kristen, menyatakan bahwa hukum moral dan hukum kodrat menjadi dasar keabsahan
hukum positif yang mengatur masyarakat manusia4.
2.3.
Era Modern: Kontrak Sosial dan Fondasi Rasional
Negara
Transformasi besar terjadi
pada abad ke-17 dan ke-18 dengan munculnya pemikiran modern yang menempatkan
rasio dan individu sebagai pusat. Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651)
memandang negara sebagai hasil kontrak sosial yang dibentuk untuk menghindari
kekacauan alami (state of nature) yang brutal dan penuh konflik. Ia membela
negara absolut sebagai jaminan stabilitas dan ketertiban5. Berbeda
dengan Hobbes, John Locke mengembangkan pandangan liberal yang mengedepankan
hak-hak alamiah seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan. Ia berargumen
bahwa negara harus dibatasi oleh hukum untuk melindungi kebebasan warga6.
Selanjutnya, Jean-Jacques
Rousseau menawarkan perspektif revolusioner dengan menekankan pentingnya volonté
générale (kehendak umum) sebagai sumber legitimasi negara demokratis.
Dalam The Social Contract, Rousseau menegaskan bahwa kebebasan sejati
hanya dapat terwujud dalam ketaatan terhadap hukum yang dibuat sendiri secara
kolektif oleh warga negara7.
2.4.
Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20: Kritik terhadap
Kapitalisme dan Negara Liberal
Perkembangan kapitalisme
industri dan dominasi liberalisme di Barat memicu reaksi kritis dari para
pemikir sosialis dan Marxis. Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The
Communist Manifesto (1848) menegaskan bahwa negara bukanlah institusi
netral, melainkan alat dominasi kelas borjuis terhadap proletariat. Mereka
menyerukan revolusi untuk menghapuskan kepemilikan privat dan membentuk
masyarakat tanpa kelas8. Pemikiran ini berkembang ke dalam berbagai
arah, seperti Marxisme ortodoks, neo-Marxisme, dan teori kritis dari Mazhab
Frankfurt yang mengevaluasi bagaimana ideologi dan institusi budaya turut
melanggengkan struktur penindasan9.
2.5.
Era Kontemporer: Pluralisme, Identitas, dan
Kompleksitas Global
Pada abad ke-20 hingga kini,
filsafat sosial-politik semakin kompleks dengan lahirnya beragam aliran baru
seperti komunitarianisme, feminisme, dan ekologisme. Tokoh seperti John Rawls
dengan A Theory of Justice (1971) menghidupkan kembali filsafat
politik normatif dengan mengusulkan prinsip keadilan distributif berbasis veil
of ignorance10. Di sisi lain, komunitarian seperti Michael
Sandel mengkritik pandangan liberal yang terlalu menekankan individu, dengan
menegaskan pentingnya nilai-nilai komunitas dalam membentuk identitas moral11.
Feminisme politik memperluas cakupan keadilan dengan menyoroti struktur
patriarki dan ketimpangan gender dalam institusi sosial12.
Globalisasi juga turut memicu
filsuf seperti Thomas Pogge dan Kwame Anthony Appiah untuk merumuskan
kosmopolitanisme baru yang menekankan keadilan lintas negara, solidaritas
global, serta hak-hak individu di tengah tatanan dunia yang saling terhubung13.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV.
[2]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 1253a.
[3]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Classics, 2003), Book XIX.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q. 90–97.
[5]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. C.B. Macpherson (Harmondsworth:
Penguin Books, 1985), Part I.
[6]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Book II.
[7]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I.
[8]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2004).
[9]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).
[10]
John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999).
[11]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[12]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997).
[13]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002); Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a
World of Strangers (New York: W.W. Norton, 2006).
3.
Klasifikasi Aliran-Aliran
dalam Filsafat Sosial-Politik
Dalam menelusuri ragam
pemikiran dalam filsafat sosial-politik, penting untuk memahami bahwa setiap
aliran muncul sebagai respons terhadap kondisi historis, sosial, dan moral
tertentu. Masing-masing menawarkan kerangka konseptual tersendiri untuk
menjawab pertanyaan fundamental tentang hubungan antara individu, masyarakat,
dan negara. Dari liberalisme yang menekankan kebebasan individu, hingga
sosialisme yang memperjuangkan keadilan kolektif, dan dari anarkisme yang menolak
kekuasaan hierarkis hingga feminisme yang mengangkat isu ketimpangan gender,
keberagaman aliran ini mencerminkan kompleksitas dinamika sosial dan politik
umat manusia. Bagian berikut akan menguraikan secara sistematis beberapa aliran
utama dalam filsafat sosial-politik, beserta konsep inti dan tokoh-tokoh
sentral yang membentuknya.
3.1.
Liberalisme
Liberalisme merupakan salah
satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern yang
menekankan nilai-nilai kebebasan individu, kesetaraan hak, dan supremasi hukum.
Inti dari liberalisme adalah keyakinan bahwa setiap individu memiliki hak-hak
dasar yang melekat secara moral dan harus dijamin perlindungannya oleh
institusi sosial maupun negara. Konsepsi ini berakar pada pandangan bahwa
manusia adalah agen rasional yang otonom dan berdaulat atas dirinya sendiri,
serta memiliki kapasitas untuk mengejar kebahagiaan dan makna hidupnya tanpa
paksaan dari luar.1
Liberalisme klasik berkembang
pada abad ke-17 dan ke-18 seiring dengan kemunculan negara modern dan revolusi
intelektual di Eropa. John Locke, yang dianggap sebagai “bapak liberalisme,”
mengemukakan bahwa hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti adalah hak-hak
alamiah (natural rights) yang tidak dapat dicabut, bahkan oleh negara sekalipun.2
Dalam Two Treatises of Government, Locke menegaskan bahwa negara hanya
sah apabila didirikan atas dasar persetujuan rakyat dan bertugas untuk
melindungi hak-hak tersebut. Pemikiran ini menjadi dasar teori kontrak sosial
dalam liberalisme dan mengilhami banyak konstitusi negara modern, termasuk
Amerika Serikat.
Pada abad ke-19, liberalisme
mengalami transformasi melalui pemikiran tokoh seperti John Stuart Mill yang
dalam On Liberty memperluas gagasan kebebasan tidak hanya sebagai
perlindungan dari tirani negara, tetapi juga dari tirani mayoritas sosial. Mill
memperkenalkan prinsip harm, yaitu bahwa kekuasaan hanya dapat
dibenarkan untuk membatasi kebebasan seseorang jika tindakannya merugikan orang
lain.3 Dalam hal ini, liberalisme memberikan ruang penting bagi
pluralisme, kebebasan berpendapat, dan toleransi terhadap perbedaan.
Memasuki abad ke-20,
liberalisme berkembang menjadi bentuk liberalisme egalitarian,
terutama melalui karya monumental John Rawls, A Theory of Justice.
Rawls mereformulasi prinsip keadilan dalam kerangka liberal dengan
memperkenalkan konsep justice as fairness, yaitu keadilan yang
dibangun melalui posisi asal (original position) dan tabir ketidaktahuan (veil
of ignorance).4 Ia berargumen bahwa ketimpangan sosial hanya dapat
dibenarkan jika memberi keuntungan paling besar kepada mereka yang paling tidak
diuntungkan. Dengan demikian, liberalisme Rawlsian menyeimbangkan antara
kebebasan individu dan tanggung jawab sosial.
Kendati demikian, liberalisme
tidak lepas dari kritik. Kaum komunitarian seperti Michael Sandel dan Alasdair
MacIntyre menilai bahwa liberalisme terlalu menekankan individu secara abstrak
dan mengabaikan dimensi sosial serta historis dari identitas manusia.5
Kritik lain datang dari perspektif feminis dan postkolonial yang mempersoalkan
netralitas liberalisme terhadap struktur dominasi gender dan kekuasaan global.
Meskipun demikian, liberalisme tetap menjadi kerangka dominan dalam diskursus
politik kontemporer dan menjadi fondasi bagi banyak sistem demokrasi liberal di
dunia.
3.2.
Sosialisme dan Marxisme
Sosialisme dan Marxisme
merupakan dua aliran dalam filsafat sosial-politik yang muncul sebagai respons
terhadap ketimpangan ekonomi, eksploitasi kelas, dan dinamika ketidakadilan
struktural yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Kedua aliran ini sama-sama
menekankan pentingnya keadilan sosial, kepemilikan kolektif atas alat produksi,
serta peran negara atau masyarakat dalam menjamin kesejahteraan bersama. Namun,
meskipun memiliki semangat egalitarian yang sama, sosialisme dan Marxisme
berbeda dalam pendekatan teoritis dan strategi politiknya.
Sosialisme, dalam bentuk
awalnya, dapat ditelusuri pada pemikiran sosial humanistik sejak akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19. Para pemikir seperti Henri de Saint-Simon, Charles
Fourier, dan Robert Owen dikenal sebagai sosialisme utopis karena mereka
membayangkan masyarakat ideal yang bebas dari penindasan dan kesenjangan tanpa
menyediakan dasar ilmiah atau historis bagi perubahan tersebut.6
Sosialisme utopis menekankan kerja sama, kepemilikan bersama, dan solidaritas
sosial dalam menciptakan harmoni masyarakat, namun kurang memiliki strategi
revolusioner yang konkret.
Berbeda dengan sosialisme
utopis, Karl Marx dan Friedrich Engels mengembangkan sosialisme ilmiah yang
kemudian dikenal sebagai Marxisme. Dalam The Communist Manifesto, Marx
dan Engels menyatakan bahwa seluruh sejarah manusia adalah sejarah perjuangan
kelas, dan bahwa transformasi sosial hanya dapat terjadi melalui revolusi
proletariat terhadap dominasi kelas borjuis.7 Marxisme memandang
kapitalisme bukan hanya sebagai sistem ekonomi yang eksploitatif, tetapi juga
sebagai struktur sosial yang secara sistematis menciptakan alienasi,
ketimpangan, dan subordinasi terhadap kelas pekerja.
Landasan teoretis Marxisme
mencakup tiga elemen utama: materialisme historis, teori nilai kerja, dan
dialektika. Materialisme historis menyatakan bahwa perkembangan sejarah manusia
ditentukan oleh kekuatan produksi dan hubungan produksi, serta bahwa perubahan
sosial terjadi melalui konflik antar kelas.8 Teori nilai kerja
menganggap bahwa nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah kerja manusia
yang terkandung di dalamnya, dan bahwa surplus value (nilai lebih) yang diambil
oleh kapitalis dari pekerja merupakan bentuk eksploitasi.9 Sementara
itu, metode dialektika—diadaptasi dari Hegel—digunakan Marx untuk menunjukkan
bahwa perubahan sosial bersifat kontradiktif dan progresif menuju tahap
historis selanjutnya.
Marxisme berkembang menjadi
berbagai varian, termasuk Marxisme-Leninisme, Trotskisme, dan neo-Marxisme.
Lenin, dalam konteks Rusia awal abad ke-20, menekankan pentingnya partai
pelopor (vanguard party) dan peran negara proletar dalam menjalankan
diktatoriat proletariat sebagai transisi menuju masyarakat tanpa kelas.10
Sementara itu, Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer dan Herbert Marcuse
menyoroti dimensi ideologis dan kultural dari dominasi kapitalisme modern,
termasuk bagaimana media dan budaya massa menginternalisasi struktur kekuasaan.11
Meskipun mendapat kritik
karena kecenderungannya pada determinisme ekonomi dan kegagalan rezim-rezim
komunis dalam sejarah modern, banyak ide Marxis tetap relevan dalam analisis
ketimpangan global, eksklusi sosial, dan kritik terhadap neoliberalisme.
Marxisme juga memberi inspirasi bagi berbagai gerakan sosial, termasuk gerakan
buruh, anti-kolonial, dan anti-globalisasi, yang mencari tatanan dunia yang
lebih adil dan setara.
3.3.
Konservatisme
Konservatisme adalah aliran
dalam filsafat sosial-politik yang menekankan pentingnya pelestarian tradisi,
stabilitas sosial, tatanan moral, serta kewaspadaan terhadap perubahan sosial
yang terlalu cepat atau radikal. Aliran ini tidak membentuk satu sistem
filsafat yang kaku, melainkan bersifat reflektif terhadap realitas historis dan
kultural yang telah teruji. Konservatisme percaya bahwa struktur sosial dan
nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun memiliki fungsi vital dalam
menjaga keteraturan dan identitas masyarakat, serta bahwa eksperimen sosial
yang sembrono justru dapat mengarah pada kekacauan.12
Akar konservatisme modern
dapat ditelusuri pada pemikiran Edmund Burke
(1729–1797), seorang negarawan dan filsuf asal Inggris yang dikenal melalui
karyanya Reflections on the Revolution in France (1790). Dalam
kritiknya terhadap Revolusi Prancis, Burke menolak pemutusan hubungan radikal
dengan tradisi dan menganggap revolusi sebagai bentuk arogansi rasionalisme
yang merusak tatanan sosial alami. Ia berargumen bahwa masyarakat seharusnya
dipandang sebagai kontrak antargenerasi—antara yang hidup, yang telah mati, dan
yang belum lahir—yang menuntut penghormatan terhadap kebijaksanaan sejarah.13
Konservatisme menolak
pandangan atomistik tentang individu sebagaimana dipromosikan dalam
liberalisme. Sebaliknya, konservatisme memandang manusia sebagai makhluk sosial
yang identitasnya terbentuk dalam komunitas, institusi, dan warisan budaya
tertentu. Dalam hal ini, lembaga-lembaga seperti keluarga, agama, dan negara
bukan sekadar struktur fungsional, melainkan entitas moral yang membentuk
karakter dan stabilitas sosial.14
Tokoh konservatif kontemporer
seperti Roger Scruton memperluas
argumen Burke dengan menekankan pentingnya “rasa memiliki” dan keterikatan
terhadap tempat, budaya, serta simbol kolektif. Dalam How to Be a
Conservative, Scruton mengkritik relativisme moral dan ideologi
transnasional yang mengikis fondasi etika lokal dan nasional. Ia menegaskan
bahwa konservatisme bukanlah penolakan terhadap perubahan, melainkan penolakan
terhadap perubahan yang dilakukan tanpa rasa tanggung jawab terhadap warisan
nilai dan institusi yang telah teruji oleh waktu.15
Meskipun kerap dipandang
sebagai aliran yang reaksioner atau anti-kemajuan, konservatisme sebenarnya
menawarkan kerangka etis yang mengajak pada kehati-hatian dalam merumuskan
kebijakan sosial dan politik. Prinsip dasarnya adalah bahwa reformasi yang
sejati harus bersifat evolusioner, bukan revolusioner, dan bahwa solusi
terhadap masalah sosial harus memperhatikan kearifan tradisi serta keseimbangan
antara kebaruan dan kontinuitas.16
Dalam konteks kontemporer,
konservatisme menghadapi tantangan dari dinamika globalisasi,
multikulturalisme, dan perubahan nilai dalam masyarakat. Namun demikian,
prinsip-prinsip konservatif masih memainkan peran penting dalam banyak
masyarakat, terutama dalam membentuk argumen moral terhadap liberalisasi
ekonomi yang ekstrem, pergeseran budaya, dan pelemahan institusi keluarga serta
agama. Oleh karena itu, konservatisme tetap menjadi bagian integral dalam
dialog politik modern, sebagai pengimbang terhadap dorongan-dorongan progresif
yang berisiko kehilangan orientasi terhadap akar historis dan etis suatu
masyarakat.
3.4.
Anarkisme
Anarkisme merupakan aliran
filsafat sosial-politik yang berpijak pada prinsip penolakan terhadap semua
bentuk otoritas yang dipaksakan—terutama negara—dan memperjuangkan masyarakat
yang bebas, egaliter, serta dikelola secara sukarela oleh individu dan
komunitas tanpa dominasi hierarkis. Bertentangan dengan anggapan umum yang
menyamakan anarkisme dengan kekacauan (chaos), filsafat ini justru
mengedepankan tatanan sosial berbasis kerja sama, solidaritas, dan kebebasan
sejati di luar kerangka koersif negara atau kapitalisme.17
Secara historis, akar
pemikiran anarkisme dapat ditelusuri sejak awal abad ke-19, meskipun
prinsip-prinsipnya telah tersirat dalam berbagai bentuk perlawanan terhadap
tirani sejak zaman kuno. Pierre-Joseph Proudhon
(1809–1865), yang terkenal dengan pernyataannya "La propriété, c’est le
vol!" (Kepemilikan adalah pencurian), merupakan tokoh anarkis pertama
yang secara terbuka menolak lembaga negara dan kepemilikan pribadi sebagai
bentuk dominasi.18 Dalam karyanya What Is Property?, ia
membela sistem kepemilikan kolektif dan organisasi ekonomi berbasis asosiasi
pekerja sebagai alternatif atas kapitalisme dan negara borjuis.
Sementara itu, Mikhail
Bakunin, tokoh anarkis Rusia abad ke-19, menekankan peran
revolusi dalam menghancurkan otoritas negara dan institusi keagamaan yang
dianggapnya sebagai alat penindasan. Ia menolak sentralisasi dan diktatoriat
proletariat yang dipromosikan oleh Marx, serta menekankan spontanitas massa
dalam menciptakan kebebasan sosial.19 Dalam God and the State,
Bakunin mengembangkan kritik mendalam terhadap institusi-institusi ideologis
yang melegitimasi kekuasaan represif.
Emma
Goldman, anarkis Amerika berdarah Rusia, memperluas cakupan
anarkisme ke isu-isu feminisme, kebebasan seksual, dan kritik terhadap
industrialisasi modern. Ia menegaskan bahwa kebebasan politik sejati tidak
dapat dipisahkan dari pembebasan personal dan sosial, serta bahwa perjuangan
anarkis mencakup aspek-aspek psikologis dan budaya, bukan semata-mata
struktural.20
Secara konseptual, anarkisme berpijak pada tiga prinsip utama: anti-otoritarianisme, solidaritas sukarela,
dan otonomi individu. Berbeda dari liberalisme yang mengakui negara sebagai
penjaga kebebasan individu, anarkisme memandang negara sebagai struktur
dominasi yang tidak sah karena ia bersandar pada kekuasaan koersif dan
pemaksaan hukum. Dalam pandangan anarkis, hubungan sosial yang sehat hanya
dapat dibentuk melalui interaksi sukarela dan institusi yang dikelola secara
horizontal oleh komunitas-komunitas bebas.21
Anarkisme memiliki berbagai
varian aliran, antara lain anarkisme individualis
(dipelopori oleh Max Stirner), anarkisme kolektivis
(Bakunin), anarkisme mutualis
(Proudhon), anarko-komunisme (Peter
Kropotkin), hingga anarko-sindikalisme
(Rudolf Rocker). Meskipun berbeda dalam strategi dan fokus, seluruh aliran
tersebut sepakat menolak hierarki yang tidak sah dan memperjuangkan pembentukan
masyarakat yang terbebas dari dominasi politik, ekonomi, dan kultural.
Dalam konteks kontemporer,
anarkisme kembali mendapatkan perhatian melalui gerakan-gerakan akar rumput
seperti Occupy Wall Street, gerakan anti-globalisasi, dan jaringan
koperasi serta komunitas otonom yang menolak sistem representasi formal.
Kehadiran teknologi komunikasi digital juga memberikan ruang baru bagi
praktik-praktik anarkis dalam bentuk organisasi non-hierarkis dan
desentralisasi informasi.22
3.5.
Komunitarianisme
Komunitarianisme adalah
aliran dalam filsafat sosial-politik yang menekankan pentingnya komunitas,
nilai-nilai bersama, dan identitas sosial dalam pembentukan individu serta
penataan masyarakat. Sebagai reaksi terhadap liberalisme individualistik,
komunitarianisme menolak gagasan bahwa manusia adalah subjek otonom yang
sepenuhnya terlepas dari konteks sosial, budaya, dan historisnya. Sebaliknya,
komunitarianisme berpandangan bahwa individu dibentuk melalui relasi sosial dan
komitmen moral dalam komunitas, sehingga setiap pemahaman tentang keadilan atau
hak harus mempertimbangkan keterkaitan sosial dan nilai kolektif.23
Perdebatan antara
komunitarianisme dan liberalisme mencuat terutama pada akhir abad ke-20, dipicu
oleh kritik terhadap pemikiran John Rawls dalam A Theory of Justice.
Salah satu tokoh utama komunitarianisme, Michael Sandel,
dalam karyanya Liberalism and the Limits of Justice, menilai bahwa
Rawls gagal memahami karakter manusia sebagai makhluk yang “tertanam dalam”
(embedded) dalam jaringan sosial dan komunitasnya.24 Bagi
Sandel, keadilan tidak dapat dimaknai secara netral atau universal, melainkan
harus berpijak pada nilai-nilai dan praktik moral yang berkembang dalam suatu
masyarakat tertentu.
Alasdair
MacIntyre, tokoh komunitarian lainnya, menyampaikan kritik
terhadap proyek modernitas yang menurutnya telah menghancurkan fondasi moral
tradisional. Dalam After Virtue, ia menekankan pentingnya kembalinya
etika keutamaan (virtue ethics) dan tradisi naratif dalam komunitas sebagai
sarana pembentukan karakter moral. Baginya, moralitas tidak dapat dipisahkan
dari praktik sosial yang diwariskan secara historis dan melekat pada institusi
sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama.25
Selain itu, Charles
Taylor, dalam esainya Atomism dan karya lainnya
seperti Sources of the Self, menegaskan bahwa identitas pribadi
terbentuk melalui pengakuan dan partisipasi dalam komunitas budaya. Ia
mengkritik liberalisme karena gagal menyadari bahwa kebebasan individu hanya
bermakna dalam kerangka relasi sosial yang mendukungnya.26
Secara normatif,
komunitarianisme mendorong pentingnya dialog publik, partisipasi warga, dan
penguatan identitas kolektif dalam proses politik. Dalam pandangan
komunitarian, kebijakan publik tidak boleh hanya berlandaskan hak-hak
individual yang abstrak, melainkan harus mempertimbangkan kebaikan bersama (common
good) yang muncul dari interaksi sosial dan sejarah komunitas tertentu.
Dengan demikian, komunitarianisme menempatkan pentingnya civic virtue,
tanggung jawab sosial, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai lokal sebagai bagian
dari kehidupan demokratis yang sehat.27
Namun, komunitarianisme juga
tidak luput dari kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa penekanan terhadap
nilai-nilai komunal dapat mengarah pada konservatisme budaya atau relativisme
moral yang mengabaikan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Meskipun
demikian, komunitarianisme telah membuka ruang diskusi yang penting mengenai
hubungan antara individu dan masyarakat, serta memberikan koreksi terhadap
liberalisme yang terlalu menekankan otonomi personal.
Dalam konteks dunia
kontemporer yang ditandai oleh krisis identitas, disintegrasi sosial, dan
meningkatnya polarisasi politik, komunitarianisme menawarkan wacana alternatif
untuk membangun solidaritas sosial melalui revitalisasi nilai-nilai komunal dan
semangat partisipatif dalam kehidupan politik.
3.6.
Feminisme Sosial-Politik
Feminisme sosial-politik
merupakan aliran dalam filsafat yang mengkaji, mengkritik, dan mengusulkan
transformasi terhadap struktur sosial dan politik yang dianggap menopang
ketidaksetaraan gender. Sebagai gerakan intelektual dan politik, feminisme
tidak hanya berupaya mengangkat suara perempuan, tetapi juga mengungkap dan
mendekonstruksi relasi kuasa patriarkal yang melekat dalam institusi-institusi
sosial, hukum, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, feminisme sosial-politik
bertujuan membentuk masyarakat yang lebih setara dan inklusif, baik dari segi
representasi maupun akses terhadap sumber daya dan hak-hak dasar.28
Secara historis, perkembangan
feminisme sosial-politik terbagi ke dalam beberapa gelombang utama. Gelombang
pertama (abad ke-19 hingga awal abad ke-20) berfokus pada perjuangan hak-hak
sipil dan politik perempuan, khususnya hak untuk memilih (suffrage). Tokoh
seperti Mary Wollstonecraft,
dalam A Vindication of the Rights of Woman (1792), menyuarakan pentingnya
pendidikan dan rasionalitas bagi perempuan sebagai dasar kesetaraan.29
Gelombang kedua (dari tahun 1960-an hingga 1980-an) memperluas cakupan isu ke
ranah sosial dan personal, seperti ketimpangan dalam keluarga, dunia kerja, dan
seksualitas. Simone de Beauvoir,
melalui The Second Sex, mengungkap bagaimana perempuan dibentuk
sebagai “yang lain” dalam sistem simbolik laki-laki dan menyatakan bahwa "seseorang
tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan".30
Feminisme sosial-politik
mencakup berbagai aliran, antara lain:
·
Feminisme
liberal, yang memperjuangkan kesetaraan hukum dan kebebasan
individu dalam kerangka institusi demokratis yang ada. Fokus utamanya adalah
reformasi hukum dan kebijakan publik agar bersifat non-diskriminatif terhadap
perempuan.31
·
Feminisme
radikal, yang melihat patriarki sebagai sistem dominasi
struktural yang harus dibongkar secara fundamental, termasuk kritik terhadap
institusi keluarga, seksualitas normatif, dan relasi kekuasaan dalam tubuh dan
reproduksi.32
·
Feminisme
sosialis dan Marxis, yang menggabungkan kritik terhadap
kapitalisme dan patriarki, dan memandang bahwa ketertindasan perempuan berakar
pada relasi produksi dan pembagian kerja seksual dalam sistem ekonomi.33
·
Feminisme
interseksional dan postkolonial, yang menunjukkan bahwa pengalaman
perempuan tidak bersifat tunggal, tetapi beragam tergantung pada ras, kelas,
etnis, orientasi seksual, dan konteks geopolitik. Kimberlé
Crenshaw memperkenalkan konsep interseksionalitas
untuk menggambarkan bagaimana berbagai bentuk penindasan saling bertaut dan
memperkuat.34
Dalam wacana filsafat politik
kontemporer, feminisme telah memperluas cakupan ke dalam kritik terhadap
netralitas hukum dan negara. Iris Marion Young, dalam Justice
and the Politics of Difference, menolak gagasan keadilan distributif yang
abstrak dan menekankan pentingnya pengakuan terhadap perbedaan, serta perlunya
struktur representasi yang lebih inklusif.35 Di sisi lain, Nancy
Fraser menawarkan kerangka keadilan dua dimensi yang
menggabungkan keadilan redistributif dan pengakuan budaya sebagai syarat
keadilan sosial yang utuh.36
Feminisme sosial-politik juga
mempersoalkan cara pandang liberalisme dan komunitarianisme dalam memahami
individu dan komunitas. Dalam perspektif feminis, individu bukanlah entitas
otonom yang netral gender, melainkan subjek yang dibentuk oleh relasi sosial
yang bercorak gender dan kekuasaan. Oleh karena itu, demokrasi yang sejati
harus memperhitungkan suara dan pengalaman perempuan sebagai bagian integral
dari kehidupan politik.
Meskipun feminisme sering
kali dipertentangkan dengan tradisi filsafat Barat yang didominasi laki-laki,
kehadirannya justru memperkaya khazanah filsafat sosial-politik dengan
pendekatan yang reflektif, intersubjektif, dan kritis terhadap eksklusi
sistemik. Dalam konteks global saat ini, feminisme tidak hanya menjadi alat
analisis terhadap ketimpangan gender, tetapi juga instrumen penting dalam
menata ulang struktur sosial-politik agar lebih adil, partisipatif, dan manusiawi.
3.7.
Ekologisme Politik
Ekologisme politik adalah
aliran dalam filsafat sosial-politik yang memandang bahwa masalah lingkungan
bukan sekadar isu teknis atau ilmiah, tetapi merupakan persoalan etis dan
struktural yang terkait dengan cara manusia mengorganisasi masyarakat, ekonomi,
dan kekuasaan. Aliran ini menolak pandangan antroposentris (manusia sebagai pusat) yang mendominasi modernitas Barat dan menuntut perubahan mendalam dalam
sistem nilai, relasi sosial, serta institusi politik guna mewujudkan keberlanjutan
ekologis dan keadilan lingkungan.37
Ekologisme politik lahir dari
keresahan terhadap dampak destruktif industrialisasi, eksploitasi sumber daya
alam secara masif, serta ketimpangan distribusi risiko lingkungan antara negara
kaya dan miskin atau antara komunitas dominan dan terpinggirkan. Ia bukan hanya
menuntut perlindungan terhadap alam, melainkan juga mendesak adanya
transformasi paradigma pembangunan dan demokrasi agar lebih inklusif terhadap
suara non-manusia dan komunitas ekologis secara keseluruhan.38
Salah satu tokoh sentral
dalam aliran ini adalah Arne Naess, filsuf
Norwegia yang mengembangkan konsep deep ecology (ekologi mendalam).
Naess membedakan antara ekologi dangkal (yang fokus pada pengelolaan lingkungan
untuk kepentingan manusia) dan ekologi mendalam yang menekankan nilai intrinsik
dari semua bentuk kehidupan dan menuntut perubahan radikal dalam cara manusia
memandang dan berinteraksi dengan alam.39 Ia mempromosikan prinsip
biosentrisme, kesetaraan ekologis, dan pembentukan identitas ekologi diri (ecological
self) sebagai dasar etika lingkungan baru.
Sementara itu, Murray
Bookchin menawarkan pendekatan berbeda melalui konsep ekologi
sosial. Bookchin menolak spiritualisme dan mistisisme dalam ekologi
mendalam, dan menekankan bahwa krisis ekologi adalah produk dari struktur
sosial hierarkis dan kapitalisme. Ia berpandangan bahwa untuk menyelamatkan
bumi, manusia harus menciptakan masyarakat egaliter, desentralisasi politik,
serta bentuk demokrasi langsung yang berlandaskan solidaritas ekologis dan
rasionalitas etis.40 Baginya, pembebasan manusia dan pembebasan alam
merupakan proses yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Ekologisme politik juga
memperkenalkan gagasan keadilan ekologis
(ecological justice), yaitu tuntutan bahwa tanggung jawab dan hak atas
lingkungan harus didistribusikan secara adil di antara semua makhluk hidup,
generasi sekarang dan mendatang. Pandangan ini berkembang melalui interseksi
dengan teori feminisme ekologi (ecofeminism), Marxisme ekologis, serta teori
kosmopolitanisme lingkungan. Para pemikir seperti Robyn
Eckersley dan Andrew Dobson
menekankan bahwa bentuk demokrasi lingkungan yang sejati harus melibatkan
partisipasi aktif warga dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada
ekosistem mereka.41
Dalam praktik politik,
ekologisme politik terwujud dalam gerakan hijau (Green Politics),
advokasi terhadap environmental citizenship, dan pengembangan
kebijakan berbasis keberlanjutan yang menekankan prinsip pencegahan,
regenerasi, dan tanggung jawab bersama. Ia menantang kerangka pembangunan
neoliberal yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keseimbangan ekologi,
dan justru mengajukan paradigma alternatif seperti steady-state economy,
degrowth, dan resilience politics sebagai pendekatan sistemik
terhadap krisis lingkungan global.42
Di tengah ancaman perubahan
iklim, punahnya keanekaragaman hayati, serta memburuknya kondisi ekologis
planet ini, ekologisme politik hadir sebagai kritik filosofis dan solusi
normatif terhadap kegagalan sistem sosial-politik modern dalam menjaga
keberlanjutan kehidupan. Dengan mengintegrasikan dimensi etika, politik, dan
ekologi, aliran ini mendorong rekonstruksi tatanan sosial-politik global yang
lebih adil terhadap manusia, makhluk hidup lain, dan bumi itu sendiri.
3.8.
Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme adalah
aliran dalam filsafat sosial-politik yang berpandangan bahwa setiap manusia
adalah anggota komunitas moral universal yang melampaui batas-batas negara,
kebangsaan, etnis, atau agama. Ia menekankan prinsip solidaritas global,
tanggung jawab lintas batas, dan keadilan transnasional. Dalam kerangka ini,
semua individu dipandang sebagai warga dunia (citizens of the world)
yang memiliki hak dan martabat yang sama, serta terikat dalam relasi etis satu
sama lain tanpa memandang perbedaan identitas partikular.43
Akar kosmopolitanisme dapat
ditelusuri dalam filsafat Stoik, yang mengajarkan bahwa seluruh umat manusia
adalah bagian dari satu komunitas moral berdasarkan nalar universal (logos).
Pemikiran ini kemudian dihidupkan kembali secara sistematis oleh Immanuel Kant, khususnya dalam esainya Perpetual Peace (1795).
Kant mengusulkan konsep “hukum kosmopolitan” sebagai kerangka bagi federasi
negara-negara republik yang hidup damai dan menghormati hak-hak universal
manusia. Bagi Kant, perdamaian abadi hanya dapat tercapai jika negara-negara
mengakui martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar
alat kebijakan geopolitik.44
Dalam perkembangan
kontemporer, kosmopolitanisme muncul sebagai respons terhadap globalisasi dan
ketidakadilan global. Thomas Pogge, dalam World
Poverty and Human Rights, berargumen bahwa tatanan internasional saat ini
berkontribusi secara aktif terhadap kemiskinan struktural di negara-negara
berkembang. Pogge menuntut tanggung jawab moral dari negara-negara maju dan
lembaga internasional untuk mereformasi struktur global agar lebih adil
terhadap mereka yang terpinggirkan.45 Pandangan ini dikenal sebagai cosmopolitan
justice, yaitu keadilan yang berlaku tidak hanya di dalam negara, tetapi
juga dalam relasi antarnegara dan individu global.
Kosmopolitanisme juga
berkembang dalam bentuk kosmopolitanisme budaya,
yang dibela oleh Kwame Anthony Appiah.
Dalam Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers, Appiah menolak
nasionalisme sempit dan menekankan pentingnya dialog lintas budaya untuk
memahami dan menghormati keberagaman nilai dan praktik kehidupan. Ia menawarkan
prinsip ganda: universalisme moral dan penghargaan terhadap
perbedaan, sebagai dasar etika kosmopolitan.46
Di bidang demokrasi,
kosmopolitanisme melahirkan gagasan tentang demokrasi transnasional
atau demokrasi global, yang memperluas prinsip
representasi dan partisipasi politik ke tingkat internasional. Tokoh seperti David
Held menyarankan pembentukan lembaga-lembaga global yang lebih
demokratis, transparan, dan akuntabel sebagai cara untuk mengatasi defisit
demokrasi dalam tata kelola global.47
Kendati menjanjikan visi etis
yang inklusif, kosmopolitanisme menghadapi kritik dari berbagai arah. Kaum
komunitarian menuduhnya mengabaikan keterikatan emosional dan historis individu
terhadap komunitas lokal dan nasional. Selain itu, skeptisisme juga muncul
terhadap efektivitas kosmopolitanisme dalam menghadapi struktur kekuasaan
internasional yang timpang dan realitas politik global yang diwarnai oleh
kepentingan nasional dan ekonomi.
Meski demikian, dalam dunia
yang semakin saling terhubung melalui migrasi, perdagangan, internet, dan
krisis bersama seperti perubahan iklim, kosmopolitanisme tetap menawarkan
kerangka moral dan politik yang relevan. Ia menyerukan tanggung jawab kolektif
lintas batas, solidaritas kemanusiaan universal, dan pengakuan bahwa keadilan
sejati tidak dapat dibatasi oleh garis-garis negara bangsa.
Penutup Bagian
Ragam aliran dalam filsafat
sosial-politik mencerminkan kompleksitas cara manusia memahami, mengorganisasi,
dan mengkritisi tatanan kehidupan bersama. Setiap aliran—mulai dari liberalisme
yang menekankan kebebasan individu, sosialisme dan Marxisme yang menyoroti
keadilan kolektif dan ketimpangan kelas, konservatisme yang mengedepankan
stabilitas tradisi, hingga anarkisme yang menolak segala bentuk otoritas
koersif—menawarkan lensa filosofis yang unik terhadap realitas sosial dan
politik. Demikian pula, komunitarianisme menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai
komunal dalam pembentukan identitas, feminisme sosial-politik membuka ruang
untuk pembacaan kritis atas relasi gender dalam institusi sosial, sementara
ekologisme politik dan kosmopolitanisme memperluas cakrawala etika politik ke
ranah lingkungan dan komunitas global.
Keseluruhan aliran ini tidak
hanya bersaing dalam wacana normatif, tetapi juga saling melengkapi dalam
memperkaya refleksi kritis atas bentuk-bentuk kekuasaan, keadilan, dan
kewargaan. Pemahaman yang komprehensif terhadap keberagaman pemikiran ini
memungkinkan kita membangun pandangan politik yang lebih inklusif, reflektif,
dan kontekstual terhadap tantangan zaman. Dalam dunia yang terus berubah dan
menghadapi krisis multidimensi, filsafat sosial-politik tidak hanya menjadi
medan teoritis, tetapi juga sarana etis dan praktis untuk menata kehidupan
bersama secara lebih manusiawi dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 9–12.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Book II, §§ 4–15.
[3]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), Chapter I–II.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 52–56.
[5]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 1–10.
[6]
Gareth Stedman Jones, An End to Poverty? A Historical Debate
(London: Profile Books, 2004), 58–73.
[7]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2004), 14–18.
[8]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), Preface.
[9]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 125–177.
[10]
Vladimir Ilyich Lenin, The State and Revolution, trans. Robert
Service (London: Penguin Classics, 2009), Chapter II.
[11]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–136.
[12]
Roger Scruton, The Meaning of Conservatism, 3rd ed. (New York:
St. Martin’s Press, 2001), 3–10.
[13]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France, ed.
J.G.A. Pocock (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 19–25.
[14]
Samuel P. Huntington, “Conservatism as an Ideology,” The American
Political Science Review 51, no. 2 (June 1957): 454–473.
[15]
Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury,
2014), 1–12.
[16]
Russell Kirk, The Conservative Mind: From Burke to Eliot, 7th
ed. (Washington, DC: Regnery Publishing, 2001), 8–15.
[17]
Ruth Kinna, Anarchism: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld
Publications, 2005), 1–10.
[18]
Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R.
Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994),
13–17.
[19]
Mikhail Bakunin, God and the State, trans. Benjamin Tucker
(New York: Dover Publications, 1970), 7–14.
[20]
Emma Goldman, Anarchism and Other Essays, ed. Hippolyte Havel
(New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 55–72.
[21]
Todd May, The Political Philosophy of Poststructuralist Anarchism
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1994), 29–35.
[22]
Uri Gordon, Anarchy Alive!: Anti-Authoritarian Politics from
Practice to Theory (London: Pluto Press, 2008), 101–113.
[23]
Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities
and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 18–27.
[24]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 1–11.
[25]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 204–225.
[26]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 27–51.
[27]
Robert Bellah et al., Habits of the Heart: Individualism and
Commitment in American Life, 2nd ed. (Berkeley: University of California
Press, 1996), 284–295.
[28]
Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature (Totowa,
NJ: Rowman & Littlefield, 1983), 5–11.
[29]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, ed.
Miriam Brody (London: Penguin Books, 1992), 85–91.
[30]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New
York: Vintage Books, 1989), 267.
[31]
Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York:
Basic Books, 1989), 12–18.
[32]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 93–105.
[33]
Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary
Theory (New Brunswick: Rutgers University Press, 1983), 42–56.
[34]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[35]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 15–39.
[36]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–25.
[37]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992),
25–40.
[38]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 15–33.
[39]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A
Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[40]
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Oakland: AK Press, 2005), 50–72.
[41]
Robyn Eckersley, “The Politics of Nature: Reflections on Green
Political Thought,” in Debating the Earth: The Environmental Politics
Reader, eds. John S. Dryzek and David Schlosberg (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 353–366.
[42]
Giorgos Kallis, Degrowth (Newcastle: Agenda Publishing, 2018),
20–39.
[43]
Gillian Brock and Harry Brighouse, The Political Philosophy of
Cosmopolitanism (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 1–9.
[44]
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted
Humphrey (Indianapolis: Hackett Publishing, 1983), 107–108.
[45]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights, 2nd ed.
(Cambridge: Polity Press, 2008), 29–47.
[46]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 57–76.
[47]
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995),
11–31.
4.
Perbandingan Antara Aliran-Aliran
Sosial-Politik
Meskipun setiap aliran dalam
filsafat sosial-politik berdiri dengan fondasi konseptual yang khas,
perbandingan antartokoh dan kerangka pemikirannya memperlihatkan pola-pola yang
saling berhubungan maupun bertentangan secara tajam. Beberapa kategori utama
seperti pandangan terhadap individu dan komunitas, konsep keadilan, posisi
terhadap negara, serta pendekatan terhadap perubahan sosial, menjadi titik
tolak untuk memahami dinamika antara aliran-aliran ini secara lebih sistematis.
4.1.
Pandangan tentang Individu dan Komunitas
Liberalisme menempatkan
individu sebagai unit dasar kehidupan politik dan moral. Dalam kerangka
liberal, individu dipandang sebagai agen otonom yang memiliki hak-hak alamiah
yang harus dilindungi dari intervensi negara maupun komunitas1.
Sebaliknya, komunitarianisme menolak gagasan individu sebagai entitas yang
netral secara sosial, dan menegaskan bahwa identitas moral individu terbentuk
melalui nilai dan relasi dalam komunitas tempat ia hidup2.
Demikian pula, feminisme sosial-politik dan ekologisme menyoroti bagaimana identitas dan agensi individu
terbentuk melalui struktur sosial dan relasi kekuasaan yang lebih luas, baik
itu gender, lingkungan, atau relasi kultural3. Dalam hal ini,
terjadi pergeseran dari perspektif atomistik menuju pemahaman yang lebih
intersubjektif dan kontekstual terhadap subjek moral dan politik.
4.2.
Konsepsi tentang Keadilan dan Ketimpangan
Keadilan dalam liberalisme
dipahami sebagai hak dan kebebasan yang setara untuk semua warga negara, sering
kali dalam bingkai prosedural dan legal-formal4. Dalam versi
egalitariannya, seperti yang dikembangkan oleh John Rawls, keadilan mencakup
distribusi sumber daya dengan prinsip manfaat terbesar bagi yang paling tidak
beruntung5.
Sebaliknya, sosialisme dan
Marxisme menilai keadilan sebagai pembebasan dari eksploitasi kelas dan
pemenuhan kebutuhan dasar secara kolektif. Keadilan, dalam pandangan ini, bukan
hanya soal distribusi, tetapi transformasi struktur kepemilikan dan kontrol
atas alat produksi6.
Kosmopolitanisme memperluas
wacana keadilan melampaui batas negara, dengan menuntut tanggung jawab global
terhadap ketimpangan antarnegara. Sementara itu, ekologisme menambahkan dimensi
intergenerasional dan non-antropocentris dalam konsepsi keadilan—yakni
memperhitungkan hak dan kelangsungan kehidupan semua makhluk serta generasi
mendatang7.
4.3.
Peran Negara dan Kekuasaan
Sebagian besar aliran
memberikan posisi yang berbeda terhadap negara. Konservatisme melihat negara
sebagai pelindung stabilitas dan pewaris nilai-nilai tradisional yang harus
dijaga keberlanjutannya8. Sebaliknya, anarkisme menolak legitimasi
negara dan segala bentuk otoritas hierarkis, dengan mengusulkan tatanan sosial
berbasis relasi horizontal dan kesukarelaan9.
Liberal dan sosialis sama-sama
mengakui fungsi negara, namun dengan tujuan berbeda. Bagi liberalisme, negara
berperan sebagai penjaga hak individu dan pengatur hukum minimal. Sementara
sosialisme melihat negara sebagai alat transisi menuju masyarakat tanpa kelas,
meskipun varian Marxis-Leninis menyokong penggunaan negara untuk menjalankan
diktatoriat proletariat dalam periode revolusioner10.
Kosmopolitanisme dan
ekologisme memunculkan tantangan baru terhadap konsep negara dengan menuntut
kerjasama global, kelembagaan transnasional, dan akuntabilitas ekologis yang
melampaui batas kedaulatan nasional.
4.4.
Strategi Perubahan Sosial dan Kritik terhadap
Status Quo
Aliran-aliran ini juga
berbeda dalam pendekatan terhadap perubahan sosial. Konservatisme menekankan
evolusi bertahap yang berakar pada kearifan tradisional dan skeptis terhadap
rekayasa sosial yang ambisius. Sebaliknya, Marxisme, feminisme radikal, dan
anarkisme mendorong transformasi struktural yang menyasar akar dominasi dan
ketimpangan.
Ekologisme dan
komunitarianisme menawarkan pendekatan transformatif yang bersifat normatif
namun tidak selalu revolusioner. Keduanya mendukung perubahan melalui refleksi
etis, penguatan komunitas, dan pengembangan kesadaran ekologis atau kewargaan
yang bertanggung jawab11.
Kesimpulan Perbandingan
Perbandingan ini menunjukkan
bahwa tidak ada satu aliran pun yang mampu menjawab seluruh kompleksitas
sosial-politik secara tuntas. Masing-masing menyumbang perspektif penting:
liberalisme menekankan kebebasan individu, sosialisme mengejar keadilan sosial,
konservatisme mengingatkan pentingnya stabilitas, anarkisme mengkritisi
otoritas koersif, komunitarianisme mengangkat nilai lokal dan kebersamaan,
feminisme mengungkap relasi gender yang timpang, ekologisme memperluas cakupan
keadilan ke alam, dan kosmopolitanisme menyajikan etika global. Dalam konteks
dunia yang saling terhubung dan menghadapi krisis multidimensi, integrasi
wacana-wacana ini menjadi penting sebagai landasan reflektif bagi pembaruan
sosial-politik yang berkeadilan, berkelanjutan, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–5.
[2]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–25.
[3]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 19–29.
[4]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 6–18.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 52–56.
[6]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 2004), 14–18.
[7]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992),
58–74.
[8]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France, ed.
J.G.A. Pocock (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 23–31.
[9]
Ruth Kinna, Anarchism: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld
Publications, 2005), 42–55.
[10]
Vladimir Ilyich Lenin, The State and Revolution, trans. Robert
Service (London: Penguin Classics, 2009), 13–29.
[11]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 43–60.
5.
Relevansi Pemikiran Sosial-Politik dalam
Konteks Kontemporer
Di tengah lanskap global yang
ditandai oleh krisis multidimensi—mulai dari ketimpangan ekonomi, disintegrasi
sosial, kerusakan lingkungan, hingga tantangan globalisasi dan
otoritarianisme—pemikiran filsafat sosial-politik menjadi sangat relevan
sebagai kerangka analisis normatif dan kritis. Berbagai aliran yang telah
dibahas dalam bagian sebelumnya tidak hanya mewakili posisi ideologis masa
lalu, tetapi terus bertransformasi dan berinteraksi dalam menghadapi
problematika zaman kini.
5.1.
Ketimpangan Global dan Keadilan Sosial
Kapitalisme global yang
semakin terkonsentrasi telah menghasilkan kesenjangan ekonomi ekstrem, baik di
dalam negara maupun antarnegara. Pandangan sosialisme dan Marxisme, yang
menyoroti eksploitasi dalam struktur produksi, mendapatkan aktualitas baru
dalam kritik terhadap neoliberalisme dan rezim pasar bebas. Thomas
Piketty, dalam analisis ekonominya, menunjukkan bahwa akumulasi
kapital tanpa regulasi menyebabkan ketimpangan yang mengancam stabilitas
demokrasi1. Dalam konteks ini, gagasan redistribusi, kepemilikan
kolektif, dan solidaritas sosial yang ditawarkan oleh aliran-aliran kiri tetap
menjadi alternatif penting dalam wacana kebijakan publik global.
5.2.
Krisis Demokrasi dan Identitas Politik
Meningkatnya polarisasi
politik, populisme sayap kanan, serta melemahnya institusi demokrasi liberal
telah menghidupkan kembali perdebatan tentang relasi antara individu, negara,
dan komunitas. Komunitarianisme, dengan tekanannya pada common good,
partisipasi publik, dan nilai-nilai lokal, menawarkan kerangka etis untuk
merawat kohesi sosial dalam masyarakat pluralistik2. Di sisi lain,
feminisme sosial-politik telah menyoroti bagaimana demokrasi formal sering kali
gagal mewakili suara kelompok marginal, termasuk perempuan, minoritas etnis,
dan gender non-normatif. Oleh karena itu, demokrasi yang substantif membutuhkan
restrukturisasi representasi dan partisipasi yang lebih inklusif3.
5.3.
Krisis Iklim dan Politik Ekologis
Perubahan iklim merupakan
tantangan eksistensial abad ke-21. Gagasan ekologisme politik, terutama yang
dikembangkan dalam tradisi deep ecology dan ekologi sosial,
menyerukan reformulasi mendalam terhadap sistem produksi, konsumsi, dan
struktur politik global yang bersifat eksploitatif terhadap alam4.
Gerakan seperti Green New Deal, ekonomi degrowth, dan
aktivisme iklim transnasional menunjukkan bahwa wacana ekopolitis tidak lagi
berada di pinggiran, melainkan menjadi pusat perdebatan kebijakan
internasional. Di sini, aliran ekologisme politik berperan penting dalam
menggeser paradigma pembangunan dari pertumbuhan linear menuju keberlanjutan
dan regenerasi ekosistem.
5.4.
Kewargaan Global dan Etika Transnasional
Globalisasi telah mendorong
pergerakan manusia, barang, dan informasi lintas batas, namun tidak disertai
dengan kerangka keadilan global yang memadai. Kosmopolitanisme menjadi penting
dalam menanggapi masalah-masalah transnasional seperti migrasi, pengungsi,
kemiskinan global, dan konflik internasional. Konsep “warga dunia” yang
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh seperti Kwame Anthony Appiah
dan Thomas Pogge menawarkan perspektif moral bahwa
tanggung jawab terhadap hak dan martabat manusia tidak boleh dibatasi oleh
kewarganegaraan atau batas teritorial5. Dalam kerangka ini, tuntutan
terhadap reformasi institusi internasional dan pembentukan demokrasi global
menjadi wacana strategis bagi keadilan internasional.
5.5.
Teknologi, Digitalisasi, dan Otoritas Baru
Kemajuan teknologi digital
telah melahirkan bentuk-bentuk kekuasaan baru yang sering kali tak terlihat
namun sangat menentukan kehidupan sosial. Algoritma, pengumpulan data, dan
otoritas korporasi teknologi menimbulkan tantangan etis yang kompleks.
Pemikiran liberal klasik yang menekankan privasi individu perlu ditinjau ulang
dalam konteks pengawasan digital dan ekonomi perhatian (attention economy).
Sementara itu, pendekatan anarkisme dan komunitarianisme yang menekankan
otonomi komunitas dan kontrol desentralistik terhadap informasi menjadi relevan
dalam menghadapi dominasi struktur digital global6.
Kesimpulan Relevansi
Pemikiran sosial-politik
tidaklah selesai dalam lembaran sejarah atau wacana teoretis, tetapi terus
hidup dan berkembang seiring dengan tantangan zaman. Aliran-aliran filsafat
sosial-politik, dengan keunikan konseptual dan cita-cita normatif
masing-masing, memberikan kerangka reflektif yang mendalam bagi transformasi
sosial yang lebih adil, lestari, dan manusiawi. Dalam dunia yang semakin
kompleks, saling terhubung, dan rentan terhadap krisis global, keberanian untuk
membaca kembali dan mengembangkan pemikiran-pemikiran ini merupakan langkah
awal bagi pembaruan etik-politik yang transformatif.
Footnotes
[1]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 271–302.
[2]
Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism:
Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton:
Princeton University Press, 1994), 25–73.
[3]
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 5–21.
[4]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 61–83.
[5]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 83–102; Thomas Pogge, World
Poverty and Human Rights, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2008),
143–163.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 97–122.
6.
Penutup
Filsafat sosial-politik
merupakan medan pemikiran yang kaya, reflektif, dan dinamis dalam merespons
kompleksitas kehidupan kolektif manusia. Melalui eksplorasi terhadap berbagai
aliran seperti liberalisme, sosialisme dan Marxisme, konservatisme, anarkisme,
komunitarianisme, feminisme sosial-politik, ekologisme politik, dan
kosmopolitanisme, kita melihat bahwa masing-masing pendekatan menyajikan
paradigma tersendiri dalam memahami konsep kunci seperti keadilan, kebebasan,
kekuasaan, dan kewargaan. Pemikiran-pemikiran tersebut tidak hanya lahir dari
kondisi historis dan sosial tertentu, tetapi juga terus berevolusi dalam
menjawab tantangan zaman modern dan kontemporer.
Setiap aliran memiliki
kekuatan dan keterbatasannya. Liberalisme, misalnya, unggul dalam membela
kebebasan individu dan hak-hak asasi, tetapi kerap dikritik karena mengabaikan
dimensi struktural ketimpangan1. Marxisme menawarkan kritik tajam
terhadap eksploitasi dan kapitalisme global, namun beberapa penerapannya dalam
praktik historis memunculkan tantangan otoritarianisme2.
Konservatisme menekankan pentingnya tradisi dan keteraturan, namun juga
berisiko mempertahankan struktur hierarkis yang tidak adil3.
Anarkisme menyodorkan alternatif relasi sosial yang egaliter dan bebas
dominasi, tetapi sering diragukan efektivitas implementatifnya dalam skala
besar4.
Sementara itu, aliran-aliran
seperti komunitarianisme, feminisme, ekologisme, dan kosmopolitanisme telah
memperkaya wacana sosial-politik dengan memasukkan dimensi identitas,
keberagaman, relasi ekologis, serta etika lintas batas. Feminisme, misalnya,
telah mendekonstruksi struktur dominasi gender yang sebelumnya terabaikan dalam
filsafat politik arus utama, sementara ekologisme politik telah memaksa kita
untuk memikirkan kembali hubungan antara manusia dan alam dalam kerangka
keadilan intergenerasional5. Kosmopolitanisme, di sisi lain,
mendorong kesadaran bahwa keadilan dan tanggung jawab moral tidak boleh
dibatasi oleh batas-batas negara bangsa6.
Dalam konteks kontemporer
yang ditandai oleh krisis multidimensi—ketimpangan global, degradasi
lingkungan, krisis representasi demokratis, dan transformasi teknologi
digital—pemikiran filsafat sosial-politik menjadi instrumen krusial untuk
menavigasi arah perubahan sosial. Ia bukan sekadar kumpulan teori abstrak,
tetapi tawaran normatif dan praktis yang memandu kita dalam merumuskan struktur
kehidupan bersama yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan7.
Oleh karena itu, pembelajaran
dan pengembangan pemikiran sosial-politik seharusnya tidak berhenti pada
penguasaan konsep, melainkan berlanjut pada refleksi kritis dan praksis
transformatif. Upaya membaca ulang, mendialogkan antaraliran, serta menyusun
sintesis pemikiran yang kontekstual dengan tantangan zaman menjadi bagian
penting dari usaha membangun masyarakat global yang lebih bermartabat dan
manusiawi.
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–9.
[2]
David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave Macmillan,
1998), 113–129.
[3]
Roger Scruton, The Meaning of Conservatism, 3rd ed. (New York:
St. Martin’s Press, 2001), 12–27.
[4]
Ruth Kinna, Anarchism: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld
Publications, 2005), 91–103.
[5]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 33–45; Robyn
Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric
Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 85–98.
[6]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W.W. Norton, 2006), 101–119.
[7]
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 220–242.
Daftar Pustaka
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism:
Ethics in a world of strangers. W. W. Norton.
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros. (Original work published c. 1274)
Aristotle. (1984). Politics
(C. Lord, Trans.). University of Chicago Press.
Beauvoir, S. de. (1989). The
second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1949)
Bellah, R. N., Madsen, R.,
Sullivan, W. M., Swidler, A., & Tipton, S. M. (1996). Habits of the
heart: Individualism and commitment in American life (2nd ed.). University
of California Press.
Bookchin, M. (2005). The
ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. AK Press.
Brock, G., & Brighouse,
H. (Eds.). (2005). The political philosophy of cosmopolitanism.
Cambridge University Press.
Burke, E. (1987). Reflections
on the revolution in France (J. G. A. Pocock, Ed.). Hackett Publishing.
(Original work published 1790)
Crenshaw, K. (1991).
Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against
women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299. https://doi.org/10.2307/1229039
De Beauvoir, S. (1989). The
second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books.
Dobson, A. (2007). Green
political thought (4th ed.). Routledge.
Eckersley, R. (1992). Environmentalism
and political theory: Toward an ecocentric approach. State University of
New York Press.
Eckersley, R. (2005). The
politics of nature: Reflections on green political thought. In J. S. Dryzek
& D. Schlosberg (Eds.), Debating the Earth: The environmental politics
reader (pp. 353–366). Oxford University Press.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition.
Routledge.
Goldman, E. (1910). Anarchism
and other essays (H. Havel, Ed.). Mother Earth Publishing Association.
Held, D. (1995). Democracy
and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance.
Stanford University Press.
Hobbes, T. (1985). Leviathan
(C. B. Macpherson, Ed.). Penguin Books. (Original work published 1651)
Horkheimer, M., &
Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press.
Huntington, S. P. (1957).
Conservatism as an ideology. The American Political Science Review, 51(2),
454–473. https://doi.org/10.2307/1952202
Jaggar, A. M. (1983). Feminist
politics and human nature. Rowman & Littlefield.
Kallis, G. (2018). Degrowth.
Agenda Publishing.
Kant, I. (1983). Perpetual
peace and other essays (T. Humphrey, Trans.). Hackett Publishing.
(Original work published 1795)
Kinna, R. (2005). Anarchism:
A beginner’s guide. Oneworld Publications.
Kirk, R. (2001). The
conservative mind: From Burke to Eliot (7th ed.). Regnery Publishing.
Kymlicka, W. (2002). Contemporary
political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.
Lenin, V. I. (2009). The
state and revolution (R. Service, Trans.). Penguin Classics. (Original
work published 1917)
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
(Original work published 1689)
MacIntyre, A. (2007). After
virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
MacKinnon, C. A. (1989). Toward
a feminist theory of the state. Harvard University Press.
Marx, K. (1970). A
contribution to the critique of political economy (S. W. Ryazanskaya,
Trans.). Progress Publishers. (Original work published 1859)
Marx, K., & Engels, F.
(2004). The Communist manifesto (S. Moore, Trans.). International
Publishers. (Original work published 1848)
May, T. (1994). The
political philosophy of poststructuralist anarchism. Pennsylvania State
University Press.
Mill, J. S. (1978). On
liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published
1859)
Naess, A. (1973). The
shallow and the deep, long‐range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1–4),
95–100. https://doi.org/10.1080/00201747308601682
Okin, S. M. (1989). Justice,
gender, and the family. Basic Books.
Piketty, T. (2014). Capital
in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University
Press.
Plato. (1992). The
Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett
Publishing.
Pogge, T. (2008). World
poverty and human rights (2nd ed.). Polity Press.
Proudhon, P.-J. (1994). What
is property? (D. R. Kelley & B. G. Smith, Trans.). Cambridge
University Press. (Original work published 1840)
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Sandel, M. J. (1998). Liberalism
and the limits of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.
Scruton, R. (2001). The
meaning of conservatism (3rd ed.). St. Martin’s Press.
Scruton, R. (2014). How
to be a conservative. Bloomsbury.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1994). The
politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining
the politics of recognition (pp. 25–73). Princeton University Press.
Vogel, L. (1983). Marxism
and the oppression of women: Toward a unitary theory. Rutgers University
Press.
Wollstonecraft, M. (1992). A
vindication of the rights of woman (M. Brody, Ed.). Penguin Books.
(Original work published 1792)
Young, I. M. (1990). Justice
and the politics of difference. Princeton University Press.
Young, I. M. (2000). Inclusion
and democracy. Oxford University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar