Syari’at dalam Tasawuf
Fondasi Perjalanan Spiritual Menuju Hakikat dan
Ma’rifat
Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.
Abstrak
Artikel ini membahas kedudukan dan urgensi syari’at
dalam struktur ajaran tasawuf, khususnya dalam perspektif Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Melalui telaah terhadap literatur klasik seperti Ihya’ ‘Ulumuddin
karya Al-Ghazali, Risalah al-Qusyairiyah karya Al-Qusyairi, serta
didukung oleh penjelasan para ulama kontemporer dan hasil kajian akademik,
artikel ini menunjukkan bahwa syari’at bukan sekadar hukum lahiriah, melainkan
fondasi esensial dalam perjalanan spiritual menuju thariqat, hakikat, dan
ma’rifat. Syari’at berfungsi sebagai jalan disiplin spiritual (tazkiyatun
nafs), alat penyaring klaim-klaim spiritual yang menyimpang, serta panduan
hidup yang relevan dalam menghadapi tantangan modern. Penyimpangan terhadap
syari’at dalam praktik tasawuf ekstrem ditegaskan sebagai bentuk dekonstruksi
terhadap ajaran Islam itu sendiri. Melalui integrasi syari’at dan tasawuf,
Islam tidak hanya tampil sebagai agama hukum, tetapi juga sebagai jalan ruhani
yang membangun keutuhan pribadi dan masyarakat. Artikel ini merekomendasikan
penguatan kembali pemahaman syari’at dalam konteks pendidikan spiritual agar
umat Islam dapat meniti jalan kesucian dengan benar, seimbang, dan bertanggung
jawab.
Kata Kunci: Syari’at, Tasawuf, Thariqat, Hakikat, Ma’rifat,
Tazkiyatun Nafs, Ahlus Sunnah, Spiritualitas Islam.
PEMBAHASAN
Syari’at dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah pemikiran Islam, tasawuf merupakan
cabang ilmu yang berperan besar dalam membimbing perjalanan spiritual seorang
Muslim menuju kedekatan hakiki dengan Allah Swt. Salah satu elemen mendasar
dalam struktur ajaran tasawuf adalah pemahaman terhadap empat tahapan
spiritual, yakni syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.
Keempat konsep ini tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk sebuah kesinambungan
proses transformasi diri seorang hamba, dimulai dari pengamalan hukum-hukum lahiriah
(syari’at), hingga mencapai makrifatullah, yaitu pengetahuan batin yang
mendalam tentang Tuhan. Dalam tradisi tasawuf klasik, Syari’at selalu
diposisikan sebagai pondasi awal yang harus dikuatkan sebelum seseorang
melangkah ke tahapan yang lebih dalam. Tanpa syari’at, perjalanan spiritual
hanya akan menjadi ilusi dan mudah terjebak dalam penyimpangan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin
menegaskan bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari syari’at, karena
segala amal batin harus dibangun di atas ketaatan lahiriah yang benar. Ia
menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan mengikuti jejak
Rasulullah dalam syari’at yang sempurna.¹ Al-Qusyairi dalam Risalah
al-Qusyairiyah juga memperingatkan bahaya pendekatan spiritual yang
mengabaikan syari’at, karena akan menyeret seorang sufi pada kesesatan yang
membahayakan akidah.² Oleh sebab itu, dalam pandangan para sufi muktabar, syari’at
bukanlah tahapan rendah, melainkan awal yang luhur dan syarat mutlak bagi
siapa pun yang hendak menempuh jalan spiritual.
Dalam konteks kehidupan keislaman kontemporer,
munculnya fenomena yang memisahkan antara “syari’at” dan “hakikat”
menjadi tantangan tersendiri. Sebagian kelompok cenderung melihat syari’at
sebagai formalitas ritual semata, yang tidak perlu dilanjutkan ketika seseorang
telah mencapai “kedekatan” dengan Allah. Padahal, pandangan seperti ini
ditolak tegas oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka menegaskan
bahwa semakin tinggi maqam seorang sufi, semakin dalam pula pengamalan syari’atnya,
bukan malah meninggalkannya.³ Bahkan tokoh sufi besar seperti Imam Junaid
al-Baghdadi berkata, _“Semua jalan tertutup bagi manusia kecuali bagi mereka
yang mengikuti jejak Rasulullah.”_⁴
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara
mendalam kedudukan syari’at sebagai landasan utama dalam tasawuf, dengan
mengacu pada sumber-sumber yang otoritatif seperti tafsir klasik, hadits,
kitab-kitab tasawuf, dan pandangan para ulama. Melalui penjelasan ini,
diharapkan pembaca memperoleh pemahaman yang utuh bahwa syari’at bukan sekadar
kumpulan aturan, tetapi merupakan manifestasi cinta dan penghambaan yang
otentik kepada Allah Swt. Pengamalan syari’at yang benar akan membuka jalan
menuju thariqat yang lurus, hakikat yang jernih, dan ma’rifat yang sahih.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 22.
[2]
Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani,
2004), 59.
[3]
Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar
Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 98.
[4]
Harith al-Muhasibi, Adab al-Nufus, ed. Abd
al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1992), 44.
2.
Definisi
dan Makna Syari’at
Secara etimologis, kata “syari’at” (الشرِيعة) berasal dari akar kata syara’a
yang berarti “jalan menuju sumber air” atau “jalan yang jelas dan
terang”⁽¹⁾. Dalam pengertian ini, syari’at mengandung makna sebagai jalan
atau tuntunan yang membawa manusia menuju kehidupan yang bersih, suci, dan
penuh kesejukan ruhani, sebagaimana air menjadi kebutuhan utama bagi
kehidupan jasmani.
Dalam terminologi Islam, syari’at didefinisikan
sebagai seluruh aturan dan hukum yang diturunkan Allah Swt. melalui wahyu
kepada Rasulullah Saw., baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, maupun
akhlak. Para ulama ushul fiqh, seperti Imam Al-Amidi, menyatakan bahwa:
الشَّرِيعَةُ: مَا نُزِّلَ عَلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَكُونَ قَاعِدَةً لِلنَّاسِ فِي حَيَاتِهِمْ
Syari’at adalah “segala
sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Saw untuk dijadikan pedoman (kaidah
dasar) bagi kehidupan manusia.”_⁽²⁾
Oleh karena itu, syari’at mencakup aspek lahiriah
dari ajaran Islam yang dapat diamati dan dipraktikkan secara konkret oleh umat.
Dalam konteks tasawuf, syari’at memiliki
kedudukan sentral sebagai pijakan awal yang menentukan validitas seluruh
perjalanan spiritual. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang hamba tidak
akan mungkin sampai kepada Allah tanpa memulai perjalanannya dengan syari’at,
karena hanya melalui syari’at-lah seseorang dapat mengetahui mana yang halal
dan haram, mana yang benar dan sesat.⁽³⁾ Ia menegaskan bahwa hakikat tasawuf
bukanlah meninggalkan syari’at, tetapi menghayatinya secara batin dan
menyeluruh.
Senada dengan itu, Al-Qusyairi dalam Risalah
al-Qusyairiyah menegaskan bahwa seluruh jalan spiritual harus tunduk
kepada syari’at. Ia menulis, “Setiap ilmu hakikat yang tidak didukung
syari’at adalah kufur dan zindiq.”_⁽⁴⁾ Dalam pandangannya, seorang salik (penempuh
jalan spiritual) yang mengklaim telah mencapai maqam tinggi tetapi meninggalkan
shalat, puasa, atau kewajiban syari’at lainnya, telah tersesat jauh dari ajaran
tasawuf yang benar. Hal ini juga ditegaskan oleh Junaid al-Baghdadi yang
berkata:
طَرِيقُنَا هٰذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَقْرَأِ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيثَ،
وَلَمْ يَتَفَقَّهْ، فَلَا يُقْتَدَى بِهِ فِي طَرِيقِنَا هٰذَا.
“Jalan kami ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa yang
tidak membaca Al-Qur’an, tidak menulis hadits, dan tidak mempelajari ilmu
fikih, maka ia tidak layak diikuti dalam jalan kami ini.”_⁽⁵⁾
Syari’at dalam tasawuf juga dipahami sebagai penataan
lahir untuk mendidik batin, sebagaimana dijelaskan dalam karya Tanwir
al-Qulub oleh Imam Syaikh Amin al-Kurdi. Beliau menyatakan bahwa syari’at
adalah jalan pengamalan lahiriah yang menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai
thariqat dan hakikat, karena syari’at menjaga manusia dari godaan hawa
nafsu dan penyelewengan batin.⁽⁶⁾
Dengan demikian, syari’at bukanlah sekadar hukum
lahiriah yang kaku, melainkan merupakan sistem kehidupan yang dirancang Allah
untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan ruhani, melalui pengamalan
ibadah, muamalah, dan akhlak yang konsisten. Ia adalah jalan lurus
(ṣirāṭ al-mustaqīm) yang tidak hanya mencakup kewajiban formal, tetapi juga
nilai-nilai etika dan spiritual yang luhur.
Footnotes
[1]
Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2006), 266.
[2]
Sayf al-Din al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 104.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 33.
[4]
Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani,
2004), 59.
[5]
Harith al-Muhasibi, Adab al-Nufus, ed. Abd
al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1992), 58.
[6]
Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 9.
3.
Kedudukan
Syari’at dalam Struktur Empat Tahapan Tasawuf
Dalam khazanah tasawuf klasik, dikenal konsep empat
tahapan utama dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, yaitu Syari’at,
Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat. Keempat tahap ini merupakan satu kesatuan
yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Syari’at
menjadi fondasi awal yang menuntun seorang hamba agar menapaki tahapan
spiritual secara sah dan aman dari kesesatan. Tanpa syari’at, perjalanan menuju
Allah berisiko menjadi ilusi subjektif yang justru menjauhkan pelaku dari
kebenaran sejati.
Imam Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah
menyebutkan bahwa syari’at adalah perintah dan larangan lahiriah yang
ditetapkan Allah melalui wahyu, sementara thariqat adalah jalan penyucian
diri untuk menghayati syari’at secara batin. Hakikat adalah pancaran cahaya
ketuhanan yang dianugerahkan Allah kepada orang yang telah ikhlas dan bersih
jiwanya, sedangkan ma’rifat adalah puncak kedekatan dan pengetahuan intuitif
terhadap Allah.⁽¹⁾ Al-Qusyairi menegaskan bahwa tahapan-tahapan ini hanya bisa
dilalui secara berurutan, dimulai dari komitmen total terhadap syari’at.
Para sufi besar, seperti Imam Junaid al-Baghdadi
dan Syaikh Abu Yazid al-Bustami, menyamakan hubungan antar keempat tahapan ini
dengan tubuh manusia: Syari’at adalah kulit, Thariqat adalah daging,
Hakikat adalah tulang, dan Ma’rifat adalah ruh.⁽²⁾ Makna simbolik ini
menunjukkan bahwa tanpa kulit (syari’at), daging dan tulang tidak dapat
menjaga struktur tubuh. Artinya, seorang sufi tidak akan sampai pada
hakikat dan ma’rifat kecuali setelah menegakkan syari’at secara lahir dan
batin.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin
menekankan bahwa siapa pun yang ingin sampai kepada Allah Swt. harus
terlebih dahulu menundukkan diri sepenuhnya kepada hukum-hukum syari’at.
Syari’at adalah pagar penjaga hati dari penyimpangan dan hawa nafsu. Ia
menyebut bahwa thariqat tanpa syari’at adalah seperti menanam benih di tanah
gersang—mustahil tumbuh dan menghasilkan buah ruhani.⁽³⁾
Konsep ini juga dijelaskan oleh Syaikh Amin
al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub, yang membagi tahapan tasawuf menjadi:
1)
Syari’at: penegakan
hukum-hukum Islam secara lahiriah (ibadah, halal-haram).
2)
Thariqat: penyucian
diri dari akhlak tercela dan mujahadah melawan hawa nafsu.
3)
Hakikat: pancaran
makrifat dari Allah ke dalam hati.
4)
Ma’rifat: kesaksian
batin terhadap keagungan dan keesaan Allah secara langsung dalam qalbu.⁽⁴⁾
Dari semua penjelasan tersebut, tampak jelas bahwa syari’at
adalah gerbang awal dan syarat mutlak untuk melanjutkan perjalanan menuju Allah.
Siapa pun yang mengabaikan tahap ini, meski mengklaim telah “ma’rifat”,
sebenarnya telah tertipu oleh bisikan nafsu. Dalam istilah Ibn ‘Ajibah, mereka
adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan mempermainkan makna
hakikat tanpa dasar yang benar.⁽⁵⁾
Dengan demikian, dalam struktur empat tahapan
tasawuf, syari’at memiliki kedudukan yang esensial dan mendasar. Ia
menjadi pondasi atas mana seluruh struktur spiritual dibangun. Tidak ada
thariqat yang benar tanpa syari’at yang kokoh, tidak ada hakikat tanpa thariqat
yang lurus, dan tidak ada ma’rifat tanpa hati yang bersih oleh hakikat. Inilah
integrasi ruhani yang menjadi ciri khas tasawuf Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Footnotes
[1]
Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani,
2004), 43.
[2]
Nasr Seyyed Hossein, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 132.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 29–30.
[4]
Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 15.
[5]
Ahmad ibn 'Ajibah, Iqaz al-Himam fi Sharh
al-Hikam, ed. Abd al-Salam al-Majdhub (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1985), 66.
4.
Dalil-dalil
Al-Qur’an dan Hadits tentang Urgensi Syari’at
Urgensi syari’at
dalam Islam ditegaskan secara eksplisit dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan
hadits Nabi Muhammad Saw. Dalam konteks tasawuf, penekanan pada syari’at ini
menjadi dasar untuk menolak segala bentuk klaim spiritualitas yang mengabaikan
atau bahkan menyalahi aturan syari’at Islam yang telah disyariatkan oleh Allah
dan diteladankan oleh Rasulullah Saw.
4.1. Dalil-dalil dari Al-Qur’an
Salah satu dalil
utama tentang urgensi syari’at terdapat dalam firman Allah:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ
الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syari’at (aturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syari’at itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.
Al-Jatsiyah [45] ayat 18)⁽¹⁾
Ayat ini dengan
tegas menunjukkan bahwa syari’at adalah jalan yang telah ditetapkan Allah, dan
mengikutinya adalah bentuk ketundukan kepada kebenaran. Menurut Tafsir
al-Alusi, ayat ini menunjukkan bahwa syari’at adalah pembeda utama antara jalan para
nabi dan jalan para pengikut hawa nafsu.⁽²⁾
Firman lainnya:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا ۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan (syari’at) dan jalan yang terang.” (QS. Al-Ma’idah [05] ayat
48)⁽³⁾
Dalam ayat ini,
syari’at diposisikan sebagai petunjuk hidup yang bersifat fungsional dan
kontekstual bagi setiap umat. Ini menandakan bahwa penegakan
syari’at merupakan manifestasi konkret dari kehendak Ilahi dalam kehidupan
manusia.
Selain itu, QS. Al-Baqarah
[02] ayat 2 menyatakan bahwa:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di
dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
Imam Fakhruddin
ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa petunjuk
dalam ayat ini adalah syari’at, karena ia mengatur semua aspek kehidupan
manusia untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat.⁽⁴⁾
4.2. Dalil-dalil dari Hadits
Sabda Nabi Muhammad Saw:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami
ini (agama) sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR.
Bukhari dan Muslim)⁽⁵⁾
Hadits ini
menunjukkan bahwa agama memiliki struktur baku yang tidak boleh
dilanggar, dan syari’at adalah bagian esensial dari struktur
itu. Menurut Imam Nawawi, hadits ini adalah landasan prinsip bahwa setiap bentuk ibadah dan
praktik keagamaan harus bersandar pada syari’at, dan segala
penyimpangan merupakan bid’ah yang tertolak.⁽⁶⁾
Hadits lain
menyebutkan:
إِنَّ الحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الحَرَامَ
بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ،
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara syubhat...” (HR.
Bukhari dan Muslim)⁽⁷⁾
Hadits ini
memberikan batasan moral dan hukum dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
Dalam perspektif tasawuf, kewaspadaan terhadap hal-hal syubhat
(meragukan) merupakan bagian dari penempaan diri secara spiritual,
yang hanya bisa tercapai melalui disiplin terhadap syari’at.
Imam Junaid
al-Baghdadi berkata:
كُلُّ الطُّرُقِ مُغْلَقَةٌ عَلَى الْخَلْقِ
إِلَّا عَلَى مَنِ اقْتَفَى أَثَرَ الرَّسُولِ ﷺ وَاتَّبَعَ سُنَّتَهُ، وَزَمَّ نَفْسَهُ بِالشَّرِيعَةِ،
فَإِنَّ طَرِيقَ اللّٰهِ لَا يُوصَلُ إِلَيْهَا إِلَّا بِهَا.
“Semua jalan tertutup bagi makhluk kecuali bagi
orang yang mengikuti jejak Rasulullah Saw, meneladani sunnahnya, dan
mengendalikan dirinya dengan syari’at; karena sesungguhnya jalan menuju Allah tidak
akan bisa ditempuh kecuali dengannya (syari’at).”_⁽⁸⁾
Pernyataan ini
menunjukkan bahwa tasawuf sejati tidak pernah melepaskan diri
dari syari’at, bahkan menjadikannya sebagai alat ukur utama
dalam menilai validitas pengalaman spiritual seseorang.
Kesimpulan Sementara
Baik Al-Qur’an
maupun hadits secara eksplisit menekankan bahwa syari’at adalah poros utama dari kehidupan
keagamaan yang sahih. Dalam kerangka tasawuf, ketaatan terhadap
syari’at menjadi tanda awal kesungguhan seorang salik dalam meniti jalan menuju
Allah. Klaim spiritualitas yang tidak berpijak pada syari’at adalah ilusi yang
justru menjauhkan pelakunya dari hakikat dan ma’rifat sejati.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Jatsiyah [45] ayat 18.
[2]
Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
vol. 25 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1995), 141.
[3]
Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Ma’idah [05] ayat 48.
[4]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’
al-Turats al-‘Arabi, 1999), 8.
[5]
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, hadits no.
2697; Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, hadits no. 1718.
[6]
Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, vol. 12
(Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 16.
[7]
Ibid., vol. 11, 27.
[8]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf,
trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 65.
5.
Syari’at
sebagai Jalan Disiplin Spiritual (Tazkiyatun Nafs)
Dalam tradisi tasawuf, tazkiyatun nafs atau
penyucian jiwa menempati posisi sentral dalam upaya mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Tazkiyah bukan sekadar proses batiniah yang bersifat mistik, tetapi
merupakan praktik nyata yang dilandasi oleh ketaatan terhadap syari’at.
Syari’at dalam hal ini berfungsi sebagai sistem disiplin spiritual yang
membimbing seorang Muslim dalam mengendalikan hawa nafsu, membentuk akhlak, dan
menumbuhkan kedekatan dengan Allah secara bertahap dan terarah.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa syari’at adalah
metode konkret dalam proses pembersihan jiwa, karena melalui syari’at seseorang
dituntun untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan yang secara
langsung berdampak pada kebersihan hati. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia
menulis bahwa ibadah lahiriah seperti shalat, puasa, dan zakat bukan hanya
bentuk kepatuhan hukum, tetapi sarana penyucian diri dari sifat-sifat tercela
seperti kesombongan, kikir, dan hawa nafsu.⁽¹⁾
Al-Qur’an sendiri menunjukkan hubungan erat antara
syari’at dan penyucian jiwa dalam firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
(10)” (QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10)
Tazkiyatun nafs, sebagaimana ditafsirkan oleh para
mufassir seperti Al-Alusi, tidak mungkin terwujud tanpa pengamalan syari’at,
karena syari’at-lah yang menetapkan cara-cara menyucikan diri secara benar dan
terjaga dari penyimpangan.⁽²⁾
Para sufi klasik juga memahami bahwa hawa nafsu
adalah penghalang utama dalam perjalanan spiritual, dan syari’at merupakan
tameng yang paling efektif untuk mengendalikannya. Syekh Ibn ‘Athaillah
al-Iskandari dalam Al-Hikam mengatakan:
لَا تَتْرُكِ ٱلشَّرِيعَةَ رَجَاءَ
ٱلْحَقِيقَةِ، فَإِنَّهُ مَا تَوَصَّلَ أَحَدٌ إِلَى ٱلْحَقِيقَةِ إِلَّا
بِٱلشَّرِيعَةِ.
"Janganlah engkau meninggalkan syari’at dengan harapan mencapai
hakikat, karena tidak seorang pun sampai kepada hakikat kecuali melalui
syari’at."_⁽³⁾
Dalam pandangan beliau, disiplin spiritual yang
tidak berpijak pada syari’at hanyalah bentuk ego yang dibungkus dengan kedok
spiritualitas.
Disiplin syari’at juga mencakup aspek muamalah dan
adab, yang menjadi medan latihan diri dalam interaksi sosial. Shalat
mengajarkan keteraturan dan kekhusyukan, puasa mendidik pengendalian diri,
zakat menumbuhkan empati sosial, dan haji mengajarkan kesatuan umat serta
kesabaran.⁽⁴⁾ Semua aspek ini bukan hanya ritual formal, tetapi latihan konkret
dalam tazkiyah. Dalam tasawuf, syari’at dipandang sebagai latihan rutin
(riyadhah) untuk menjinakkan nafsu dan menumbuhkan mahabbah (cinta) kepada
Allah.
Penekanan ini juga dijelaskan oleh Syaikh Amin
al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub, bahwa orang yang istiqamah dalam
syari’at akan mengalami tahapan demi tahapan penyucian hati, dari sekadar
menjalankan perintah menjadi menikmati ketaatan, hingga akhirnya mencapai
keikhlasan total.⁽⁵⁾
Dalam konteks ini, penting pula untuk memahami
bahwa tazkiyatun nafs melalui syari’at bukan sekadar proses individu, tetapi
juga membentuk tatanan sosial yang adil dan beradab. Seorang sufi yang
benar tidak hanya menjadi pribadi yang tenang dan jujur, tetapi juga menjadi
agen kebajikan dan keteladanan bagi masyarakat.⁽⁶⁾
Dengan demikian, syari’at adalah instrumen utama
dalam disiplin spiritual Islam. Ia tidak mengekang kebebasan, melainkan
membimbing kebebasan agar tidak menjadi liar dan merusak. Dalam tasawuf sejati,
tidak ada pemurnian jiwa tanpa komitmen terhadap syari’at. Disiplin yang
diajarkan syari’at itulah yang menjadi fondasi kokoh bagi munculnya kedalaman
batin, kejernihan akal, dan kelembutan hati dalam perjalanan menuju hakikat dan
ma’rifat.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 47–49.
[2]
Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1995),
215.
[3]
Ibn ‘Athaillah al-Iskandari, Al-Hikam
al-‘Ata’iyyah, trans. Yusuf Muhammad (Bandung: Mizan, 2004), 24.
[4]
Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar
Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 88–90.
[5]
Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 23.
[6]
Abdul Hadi W. M., Tasawuf: Studi tentang Jalan
Spiritual Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 112.
6.
Penyimpangan
dan Reduksi Syari’at dalam Praktik Tasawuf yang Menyimpang
Meskipun tasawuf sejati merupakan manifestasi dari
spiritualitas Islam yang luhur dan berbasis kuat pada syari’at, dalam sejarah
perkembangan Islam terdapat pula fenomena penyimpangan dan reduksi terhadap
syari’at dalam praktik tasawuf yang melenceng dari manhaj Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Penyimpangan ini terjadi ketika sebagian kelompok atau individu
mengklaim telah mencapai maqam ruhani tertentu sehingga merasa tidak lagi
terikat pada kewajiban syari’at, seperti shalat, puasa, atau zakat. Klaim
semacam ini merupakan bentuk ekstremisme spiritual yang bertentangan secara
fundamental dengan prinsip-prinsip Islam.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin
mengecam keras kelompok sufi semu yang menganggap bahwa syari’at hanya
berlaku bagi kalangan awam, sementara para "arif billah"
dibebaskan dari aturan hukum lahiriah. Ia menyebut pandangan ini sebagai bentuk
penyimpangan batiniah yang lebih berbahaya dari kemunafikan, karena
merusak substansi ajaran Islam dari dalam.⁽¹⁾ Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap
maqam dalam tasawuf justru harus memperkuat komitmen terhadap syari’at, bukan
menggugurkannya.
Reduksi terhadap syari’at ini juga pernah menjadi
perhatian serius dalam Risalah al-Qusyairiyah. Al-Qusyairi
memperingatkan bahwa klaim hakikat tanpa syari’at adalah jalan menuju
kekufuran dan zindiq, karena menjadikan perasaan batin sebagai standar
kebenaran, bukan wahyu dan sunnah. Ia menulis:
كُلُّ حَقِيقَةٍ لا تُشْهَدُ الشَّرِيعَةُ
عَلَيْهَا فَإِنَّهَا كُفْرٌ
"Setiap orang yang membuka pintu hakikat dengan menutup pintu
syari’at, maka ia telah jatuh dalam kekafiran."_⁽²⁾
Dalam beberapa naskah Risalah al-Qusyairiyah
dituliskan:
مَن فَتَحَ لَهُ طَرِيقُ الْحَقِيقَةِ وَلَمْ
يُقَيِّدْ نَفْسَهُ بِقُيُودِ الشَّرِيعَةِ، فَهُوَ زِنْدِيقٌ.
"Barang siapa yang dibukakan baginya jalan hakikat namun tidak
membatasi dirinya dengan syari’at, maka ia adalah seorang zindiq."
Penyimpangan ini juga pernah muncul dalam sejarah
Islam pada beberapa kelompok Bāṭiniyyah dan antinomianisme sufi ekstrem
yang menafsirkan syari’at secara esoterik hingga mengabaikan bentuk
lahiriahnya. Menurut Annemarie Schimmel, kelompok semacam ini meyakini bahwa “hakikat
batin” membebaskan mereka dari kewajiban syari’at, sehingga terjadi
dekonstruksi atas hukum Islam yang sistematis dan berbahaya.⁽³⁾
Fenomena tersebut juga dikritik oleh Ibn Taymiyyah,
yang meskipun dikenal sebagai pengkritik tasawuf ekstrem, tetap mengakui dan
menghargai tasawuf yang berpijak pada syari’at. Ia mengatakan bahwa sufi
yang sejati adalah mereka yang mengikuti jalan Nabi Saw, baik dalam batin
maupun zahir.⁽⁴⁾ Kritik Ibn Taymiyyah ditujukan kepada sufi-sufi palsu yang
“mengaku” telah sampai kepada Allah tapi justru meninggalkan syari’at
dan menjadikan mimpi atau ilham sebagai dalil hukum.
Dalam perkembangan kontemporer, gejala serupa
muncul dalam bentuk spiritualisme liberal yang memisahkan antara
religiositas dan keberagamaan. Praktik-praktik pseudo-sufi seperti meditasi
“islami” tanpa syari’at, klaim ma’rifat tanpa ibadah, dan relativisme kebenaran
dalam spiritualitas menjadi bentuk modern dari penyimpangan tersebut. Azyumardi
Azra menyebut fenomena ini sebagai “kosmetika spiritual”, yang berbahaya
karena menyamarkan penyimpangan dengan bahasa cinta dan kedamaian.⁽⁵⁾
Padahal, dalam tasawuf yang autentik, semakin
tinggi maqam seorang salik, semakin dalam pula pengamalan syari’atnya. Hal
ini ditegaskan oleh pernyataan Imam Junaid al-Baghdadi:
طَرِيقُنَا هٰذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَحْفَظِ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيثَ،
وَلَمْ يَفْقَهِ الدِّينَ، فَلَا يَصْلُحُ لِهٰذَا الْأَمْرِ.
"Jalan kami ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa
tidak menghafal Al-Qur’an, tidak menulis (mempelajari) hadits, dan tidak memahami ilmu fikih, maka ia tidak
layak (untuk menempuh) jalan ini."_⁽⁶⁾
Dengan demikian, setiap klaim hakikat dan ma’rifat
yang tidak berdiri di atas syari’at sejatinya adalah penyelewengan spiritual
yang menyesatkan. Penolakan terhadap syari’at dalam nama "hakikat"
bukanlah kedalaman rohani, tetapi kebodohan yang dibungkus dengan
kesombongan spiritual. Tasawuf sejati tidak pernah memisahkan antara hukum
dan cinta, antara lahir dan batin, antara syari’at dan hakikat.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 35–37.
[2]
Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani,
2004), 64.
[3]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 212–215.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10
(Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah, 1995), 510–512.
[5]
Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar
Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 117.
[6]
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, 67.
7.
Integrasi
Syari’at dan Tasawuf dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah
Dalam tradisi keilmuan Islam, terutama dalam mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tasawuf bukanlah jalan yang terpisah dari syari’at,
tetapi merupakan dimensi batiniah dari pengamalan syari’at itu sendiri. Para
ulama Ahlus Sunnah sejak generasi awal telah menegaskan bahwa tidak ada
jalan menuju kedekatan dengan Allah (taqarrub ilallah) kecuali melalui komitmen
total terhadap syari’at yang dilandasi dengan pemurnian niat, pengendalian
nafsu, dan kesucian hati. Dengan kata lain, tasawuf dan syari’at adalah dua
sisi dari satu keping mata uang Islam yang utuh.
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M), salah satu
tokoh besar dalam tradisi Ahlus Sunnah, menegaskan bahwa tasawuf sejati
harus berpijak pada syari’at. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis:
مَن ظَنَّ أَنَّ التَّصَوُّفَ هُوَ تَرْكُ
الشَّرِيعَةِ، فَقَدْ كَفَرَ، فَإِنَّ الشَّرِيعَةَ أَصْلٌ، وَالطَّرِيقَةَ
فِرَاعٌ، وَالْحَقِيقَةَ ثَمَرَةٌ.
"Barang siapa beranggapan bahwa tasawuf adalah meninggalkan
syari’at, maka sungguh ia telah keluar dari agama. Syari’at adalah permulaan
jalan, thariqat adalah penghayatan, dan hakikat adalah buahnya."_⁽¹⁾
Dengan ini, Al-Ghazali menunjukkan struktur
integratif antara lahir dan batin dalam Islam, yang menolak dikotomi antara
hukum dan spiritualitas.
Hal senada disampaikan oleh Imam Junaid al-Baghdadi
(w. 910 M), yang disebut sebagai “Imam al-Thāifah” (pemimpin para sufi).
Ia berkata:
كُلُّ الطُّرُقِ مُغْلَقَةٌ عَلَى الْخَلْقِ
إِلَّا عَلَى مَنِ اقْتَفَى أَثَرَ الرَّسُولِ ﷺ فِي الشَّرِيعَةِ
" Semua jalan (menuju Allah) tertutup bagi makhluk, kecuali
bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam (urusan) syari’at."_⁽²⁾
Pernyataan ini mencerminkan prinsip utama tasawuf
Ahlus Sunnah: ketaatan lahiriah terhadap syari’at adalah prasyarat sah bagi
pengalaman batin yang mendalam.
Para ulama lain seperti Imam Malik bin Anas (w. 795
M) juga menyampaikan prinsip serupa. Ia berkata:
مَن تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنَّدَقَ،
وَمَن تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَن جَمَعَ بَيْنَهُمَا
فَقَدْ تَحَقَّقَ
"Barang siapa yang bertasawuf tanpa fiqh, maka ia menjadi zindiq (sesat); barang siapa berfiqh tanpa tasawuf,
maka ia menjadi fasik; dan barang siapa menggabungkan keduanya, maka ia telah
mencapai kebenaran."_⁽³⁾
Pandangan ini menunjukkan bahwa fiqh (syari’at)
dan tasawuf adalah dua ilmu yang saling menyempurnakan, bukan bertentangan.
Dalam karya Tanwir al-Qulub, Syekh Amin
al-Kurdi secara sistematis menyatukan dimensi-dimensi syari’at dan tasawuf. Ia
menyatakan bahwa syari’at mengatur hubungan lahiriah antara manusia dan
Allah serta sesama, sedangkan tasawuf memperhalus hubungan batiniah dengan-Nya.
Oleh karena itu, tasawuf tanpa syari’at adalah angan-angan kosong, dan
syari’at tanpa tasawuf berisiko menjadi rutinitas tanpa ruh.⁽⁴⁾
Selain itu, integrasi ini juga diteorisasikan dalam
pendekatan kontemporer oleh tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud
(mantan Syaikh Al-Azhar). Dalam bukunya Tasawuf Islami, ia menjelaskan
bahwa syari’at adalah mekanisme transformasi spiritual yang memungkinkan
terjadinya tazkiyatun nafs dan tahapan menuju ma’rifat. Menurutnya, syari’at
bukan hanya hukum eksternal, tetapi juga memiliki dimensi ruhani yang mendalam.⁽⁵⁾
Dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya
dalam lingkungan pesantren dan tarekat muktabarah (seperti Naqsyabandiyah,
Qadiriyah, dan Syadziliyah), prinsip integrasi ini diwujudkan dalam kehidupan
nyata. Para murid tarekat diwajibkan menegakkan syari’at secara disiplin,
sebelum diperkenankan menapaki latihan-latihan batiniah. Bahkan, mursyid atau
guru spiritual tidak dianggap sah jika tidak menguasai ilmu-ilmu syari’at dan
mempraktikkannya dengan benar.⁽⁶⁾
Dengan demikian, pandangan ulama Ahlus Sunnah
menegaskan bahwa tasawuf yang tidak berdiri di atas pondasi syari’at adalah
sesat, sementara syari’at yang tidak diresapi ruh tasawuf menjadi kering dan
mekanistik. Keduanya harus berjalan beriringan, agar menghasilkan pribadi
Muslim yang saleh lahir dan batin, serta seimbang antara ibadah, akhlak, dan
kesadaran ketuhanan.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 33–34.
[2]
Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani,
2004), 65.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf bayna al-Falsafah
wa al-Syari’ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), 45.
[4]
Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 8–9.
[5]
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Islami (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1973), 22–23.
[6]
Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar
Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 121–122.
8.
Relevansi
Syari’at dalam Kehidupan Muslim Modern
Dalam era modern yang ditandai oleh pluralisme
nilai, sekularisasi, dan gelombang spiritualitas non-agamis, peran syari’at
seringkali dipertanyakan bahkan dikerdilkan hanya sebagai simbol formalistik.
Namun, dalam pandangan Islam—terutama dalam kerangka tasawuf Ahlus Sunnah—syari’at
tetap memiliki relevansi yang mendasar sebagai sistem yang membentuk
pribadi, masyarakat, dan tatanan sosial yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah.
Syari’at bukan hanya kumpulan aturan legalistik,
tetapi merupakan pedoman hidup komprehensif (syumul) yang mencakup
dimensi ritual (ʿibādah), sosial (muʿāmalah), etika (akhlāq), hingga
spiritualitas (tazkiyah). Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. M. Quraish
Shihab yang menyatakan bahwa syari’at adalah sistem ilahi yang membimbing
manusia untuk membangun hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan
lingkungan hidup.⁽¹⁾ Dalam konteks ini, penerapan syari’at dalam kehidupan
modern tidak berarti menolak kemajuan, tetapi mengarahkan kemajuan agar
tetap dalam koridor nilai-nilai ketuhanan.
Dalam tasawuf, relevansi syari’at tidak pernah
surut, bahkan justru menjadi penyeimbang dari arus spiritualisme
kontemporer yang cenderung menafikan bentuk-bentuk ibadah lahiriah. Banyak
aliran spiritual baru yang menekankan inner peace tanpa keterikatan pada
hukum dan nilai moral yang baku. Fenomena ini ditanggapi oleh ulama seperti
Syekh Abdul Halim Mahmud yang menegaskan bahwa spiritualitas yang tercerabut
dari syari’at akan jatuh dalam relativisme, tidak memiliki arah dan
objektivitas, serta mudah tergelincir dalam nafsu yang dibungkus mistik.⁽²⁾
Secara praktis, syari’at menjadi alat ukur
objektif dalam menghadapi tantangan etika modern seperti krisis moral,
eksploitasi ekonomi, disintegrasi keluarga, dan degradasi lingkungan. Misalnya,
prinsip-prinsip fiqih seperti keadilan (`adl), kemaslahatan (maṣlaḥah), dan
tidak menimbulkan kerusakan (lā ḍarar) menjadi dasar bagi solusi atas
problematika kontemporer.⁽³⁾ Di sinilah letak aktualisasi syari’at sebagai sumber
transformasi sosial dan spiritual yang tidak kaku, tetapi dinamis dan
aplikatif.
Lebih dari itu, syari’at dalam perspektif tasawuf
berperan membentuk kepribadian Muslim yang seimbang (tawāzun) antara
aspek lahir dan batin, antara akal dan hati, serta antara dunia dan akhirat.
Dalam konteks ini, syari’at menjadi alat tazkiyah modern yang
mengajarkan keteraturan (ṣalāh), kesabaran (ṣabr), tanggung jawab (amānah), dan
kejujuran (ṣidq) di tengah hiruk-pikuk dunia yang seringkali memuja kebebasan
tanpa arah.⁽⁴⁾
Para sufi Ahlus Sunnah juga telah membuktikan bahwa
syari’at dapat dihidupkan dalam berbagai konteks sosial dan budaya,
tanpa kehilangan substansinya. Tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyah,
Qadiriyah, dan Syadziliyah menunjukkan bahwa kedisiplinan syari’at justru
memperkuat nilai-nilai spiritual dan sosial, bukan sebaliknya. Dalam
tradisi pesantren di Indonesia, misalnya, integrasi syari’at dan tasawuf
melahirkan sosok-sosok yang tidak hanya saleh secara individu, tetapi juga
aktif membangun masyarakat.⁽⁵⁾
Dengan demikian, di tengah era modern yang serba
cepat dan kompleks, syari’at tetap relevan sebagai panduan yang mampu
menjaga keseimbangan antara nilai spiritual, etika, dan sosial. Ia adalah
tali penghubung antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu, antara manusia
dan Tuhannya. Maka, menegakkan syari’at bukanlah bentuk kemunduran, tetapi
justru kunci kebangkitan rohani dan peradaban.
Footnotes
[1]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 389.
[2]
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Islami (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1973), 29–30.
[3]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of
Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic
Thought, 2008), 56–59.
[4]
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat
Tidak Jadi Buih (Jakarta: Mizan, 2000), 95–96.
[5]
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren
dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995),
211–212.
9.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa syari’at merupakan fondasi yang tidak tergantikan dalam seluruh
struktur ajaran tasawuf, khususnya dalam kerangka pemikiran ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Syari’at bukan hanya pintu masuk ke dalam jalan spiritual
(thariqat), tetapi juga penjaga utama dari kesesatan dan penyimpangan
batiniah, yang sering muncul dari klaim-klaim spiritualitas tanpa dasar
hukum yang sah.
Dalam pemahaman tasawuf klasik, sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dan Al-Qusyairi, syari’at adalah manifestasi
nyata dari kehendak Allah yang harus diamalkan oleh setiap Muslim, baik
pada level awam maupun sufi. Syari’at mengatur lahiriah manusia agar sejalan
dengan nilai-nilai ruhaniah yang akan dicapai melalui thariqat, hakikat, dan
ma’rifat.⁽¹⁾ Maka, perjalanan spiritual tanpa landasan syari’at adalah kosong
dan berbahaya, sebagaimana dikritik oleh para sufi otoritatif terhadap
kelompok-kelompok yang menyimpang dari jalan Rasulullah Saw.⁽²⁾
Syari’at juga terbukti memiliki daya relevansi
yang tinggi dalam konteks kehidupan Muslim modern, terutama sebagai sistem
etika dan spiritual yang mampu menjawab tantangan zaman seperti krisis moral,
disorientasi spiritual, dan dekadensi sosial. Dalam perspektif tasawuf, syari’at
tidak hanya menata relasi vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga relasi
horizontal antarsesama manusia dan lingkungan.⁽³⁾
Integrasi antara syari’at dan tasawuf dalam
pandangan ulama Ahlus Sunnah menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama hukum
(law-based), melainkan agama spiritual yang bercahaya karena hukum itu
dijalankan dengan cinta, ihsan, dan penghayatan batin. Imam Junaid
al-Baghdadi, Imam Malik, Imam Al-Ghazali, dan para tokoh tasawuf lainnya telah
meletakkan fondasi yang kuat untuk membangun tasawuf yang lurus, sehat, dan
menyatu dengan prinsip syari’at.⁽⁴⁾
Oleh karena itu, upaya menghidupkan kembali
spiritualitas Islam tidak dapat dilepaskan dari penguatan syari’at, baik
melalui pendidikan, pengamalan kolektif, maupun pembinaan pribadi. Di tengah
kecenderungan sebagian masyarakat untuk mencari spiritualitas instan yang bebas
dari aturan, tasawuf yang bersumber dari syari’at menawarkan jalan tengah: sebuah
kedalaman ruhani yang tidak tercerabut dari akar-akar wahyu.
Penegakan syari’at yang dipadu dengan semangat
tasawuf akan melahirkan pribadi Muslim yang seimbang, adil, lembut, dan
berkomitmen terhadap nilai-nilai ilahiah. Inilah wajah Islam yang rahmatan lil
‘alamin, yang tidak hanya menampakkan ketaatan, tetapi juga menghadirkan
keindahan akhlak dan ketenangan batin di tengah dunia modern yang penuh
hiruk-pikuk.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 29–35; Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta:
Pustaka Amani, 2004), 59–67.
[2]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 212–215; Ibn
Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah, 1995),
510–512.
[3]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of
Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic
Thought, 2008), 56–59.
[4]
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Islami (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1973), 22–30; Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf bayna
al-Falsafah wa al-Syari’ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), 45.
Daftar Pustaka
Al-Alusi, S. (1995). Ruh al-Ma’ani fi Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim (Vols. 25 & 30). Beirut: Dar Ihya’ al-Turats
al-‘Arabi.
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ‘Ulumuddin
(Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Kurdi, A. (2000). Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qaradawi, Y. (2002). Al-Tasawuf bayna
al-Falsafah wa al-Syari’ah. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qusyairi, A. K. (2004). Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (N. Ramadhan, Trans.). Jakarta: Pustaka
Amani.
Al-Razi, F. (1999). Tafsir al-Kabir (Vol.
2). Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as
Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International
Institute of Islamic Thought.
Azra, A. (2000). Islam Substantif: Agar Umat
Tidak Jadi Buih. Jakarta: Mizan.
Azra, A. (2019). Tasawuf dan Tarekat: Akar
Spiritual Islam di Dunia Modern. Jakarta: Prenada Media.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Ibn ‘Ajibah, A. (1985). Iqaz al-Himam fi Sharh
al-Hikam (A. al-Majdhub, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’rifah.
Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari. (2004). Al-Hikam
al-‘Ata’iyyah (Y. Muhammad, Trans.). Bandung: Mizan.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu‘ al-Fatawa
(Vol. 10). Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah.
Mahmud, A. H. (1973). Tasawuf Islami. Kairo:
Dar al-Ma’arif.
Muhasibi, H. (1992). Adab al-Nufus (A. F.
Abu Ghuddah, Ed.). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of
Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Shihab, M. Q. (2007). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar