Minggu, 06 April 2025

Syari’at dalam Tasawuf: Fondasi Perjalanan Spiritual Menuju Hakikat dan Ma’rifat

Syari’at dalam Tasawuf

Fondasi Perjalanan Spiritual Menuju Hakikat dan Ma’rifat


Alihkan ke: Ilmu Tawawuf.


Abstrak

Artikel ini membahas kedudukan dan urgensi syari’at dalam struktur ajaran tasawuf, khususnya dalam perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Melalui telaah terhadap literatur klasik seperti Ihya’ ‘Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah al-Qusyairiyah karya Al-Qusyairi, serta didukung oleh penjelasan para ulama kontemporer dan hasil kajian akademik, artikel ini menunjukkan bahwa syari’at bukan sekadar hukum lahiriah, melainkan fondasi esensial dalam perjalanan spiritual menuju thariqat, hakikat, dan ma’rifat. Syari’at berfungsi sebagai jalan disiplin spiritual (tazkiyatun nafs), alat penyaring klaim-klaim spiritual yang menyimpang, serta panduan hidup yang relevan dalam menghadapi tantangan modern. Penyimpangan terhadap syari’at dalam praktik tasawuf ekstrem ditegaskan sebagai bentuk dekonstruksi terhadap ajaran Islam itu sendiri. Melalui integrasi syari’at dan tasawuf, Islam tidak hanya tampil sebagai agama hukum, tetapi juga sebagai jalan ruhani yang membangun keutuhan pribadi dan masyarakat. Artikel ini merekomendasikan penguatan kembali pemahaman syari’at dalam konteks pendidikan spiritual agar umat Islam dapat meniti jalan kesucian dengan benar, seimbang, dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Syari’at, Tasawuf, Thariqat, Hakikat, Ma’rifat, Tazkiyatun Nafs, Ahlus Sunnah, Spiritualitas Islam.


PEMBAHASAN

Syari’at dalam Tasawuf Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah pemikiran Islam, tasawuf merupakan cabang ilmu yang berperan besar dalam membimbing perjalanan spiritual seorang Muslim menuju kedekatan hakiki dengan Allah Swt. Salah satu elemen mendasar dalam struktur ajaran tasawuf adalah pemahaman terhadap empat tahapan spiritual, yakni syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat. Keempat konsep ini tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk sebuah kesinambungan proses transformasi diri seorang hamba, dimulai dari pengamalan hukum-hukum lahiriah (syari’at), hingga mencapai makrifatullah, yaitu pengetahuan batin yang mendalam tentang Tuhan. Dalam tradisi tasawuf klasik, Syari’at selalu diposisikan sebagai pondasi awal yang harus dikuatkan sebelum seseorang melangkah ke tahapan yang lebih dalam. Tanpa syari’at, perjalanan spiritual hanya akan menjadi ilusi dan mudah terjebak dalam penyimpangan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menegaskan bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari syari’at, karena segala amal batin harus dibangun di atas ketaatan lahiriah yang benar. Ia menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan mengikuti jejak Rasulullah dalam syari’at yang sempurna.¹ Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah juga memperingatkan bahaya pendekatan spiritual yang mengabaikan syari’at, karena akan menyeret seorang sufi pada kesesatan yang membahayakan akidah.² Oleh sebab itu, dalam pandangan para sufi muktabar, syari’at bukanlah tahapan rendah, melainkan awal yang luhur dan syarat mutlak bagi siapa pun yang hendak menempuh jalan spiritual.

Dalam konteks kehidupan keislaman kontemporer, munculnya fenomena yang memisahkan antara “syari’at” dan “hakikat” menjadi tantangan tersendiri. Sebagian kelompok cenderung melihat syari’at sebagai formalitas ritual semata, yang tidak perlu dilanjutkan ketika seseorang telah mencapai “kedekatan” dengan Allah. Padahal, pandangan seperti ini ditolak tegas oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka menegaskan bahwa semakin tinggi maqam seorang sufi, semakin dalam pula pengamalan syari’atnya, bukan malah meninggalkannya.³ Bahkan tokoh sufi besar seperti Imam Junaid al-Baghdadi berkata, _“Semua jalan tertutup bagi manusia kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah.”_⁴

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam kedudukan syari’at sebagai landasan utama dalam tasawuf, dengan mengacu pada sumber-sumber yang otoritatif seperti tafsir klasik, hadits, kitab-kitab tasawuf, dan pandangan para ulama. Melalui penjelasan ini, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman yang utuh bahwa syari’at bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi merupakan manifestasi cinta dan penghambaan yang otentik kepada Allah Swt. Pengamalan syari’at yang benar akan membuka jalan menuju thariqat yang lurus, hakikat yang jernih, dan ma’rifat yang sahih.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 22.

[2]                Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 59.

[3]                Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 98.

[4]                Harith al-Muhasibi, Adab al-Nufus, ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1992), 44.


2.           Definisi dan Makna Syari’at

Secara etimologis, kata “syari’at” (الشرِيعة) berasal dari akar kata syara’a yang berarti “jalan menuju sumber air” atau “jalan yang jelas dan terang”⁽¹⁾. Dalam pengertian ini, syari’at mengandung makna sebagai jalan atau tuntunan yang membawa manusia menuju kehidupan yang bersih, suci, dan penuh kesejukan ruhani, sebagaimana air menjadi kebutuhan utama bagi kehidupan jasmani.

Dalam terminologi Islam, syari’at didefinisikan sebagai seluruh aturan dan hukum yang diturunkan Allah Swt. melalui wahyu kepada Rasulullah Saw., baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, maupun akhlak. Para ulama ushul fiqh, seperti Imam Al-Amidi, menyatakan bahwa:

الشَّرِيعَةُ: مَا نُزِّلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَكُونَ قَاعِدَةً لِلنَّاسِ فِي حَيَاتِهِمْ

Syari’at adalah “segala sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Saw untuk dijadikan pedoman (kaidah dasar) bagi kehidupan manusia.”_⁽²⁾

Oleh karena itu, syari’at mencakup aspek lahiriah dari ajaran Islam yang dapat diamati dan dipraktikkan secara konkret oleh umat.

Dalam konteks tasawuf, syari’at memiliki kedudukan sentral sebagai pijakan awal yang menentukan validitas seluruh perjalanan spiritual. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang hamba tidak akan mungkin sampai kepada Allah tanpa memulai perjalanannya dengan syari’at, karena hanya melalui syari’at-lah seseorang dapat mengetahui mana yang halal dan haram, mana yang benar dan sesat.⁽³⁾ Ia menegaskan bahwa hakikat tasawuf bukanlah meninggalkan syari’at, tetapi menghayatinya secara batin dan menyeluruh.

Senada dengan itu, Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah menegaskan bahwa seluruh jalan spiritual harus tunduk kepada syari’at. Ia menulis, “Setiap ilmu hakikat yang tidak didukung syari’at adalah kufur dan zindiq.”_⁽⁴⁾ Dalam pandangannya, seorang salik (penempuh jalan spiritual) yang mengklaim telah mencapai maqam tinggi tetapi meninggalkan shalat, puasa, atau kewajiban syari’at lainnya, telah tersesat jauh dari ajaran tasawuf yang benar. Hal ini juga ditegaskan oleh Junaid al-Baghdadi yang berkata:

طَرِيقُنَا هٰذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَقْرَأِ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيثَ، وَلَمْ يَتَفَقَّهْ، فَلَا يُقْتَدَى بِهِ فِي طَرِيقِنَا هٰذَا.

“Jalan kami ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa yang tidak membaca Al-Qur’an, tidak menulis hadits, dan tidak mempelajari ilmu fikih, maka ia tidak layak diikuti dalam jalan kami ini.”_⁽⁵⁾

Syari’at dalam tasawuf juga dipahami sebagai penataan lahir untuk mendidik batin, sebagaimana dijelaskan dalam karya Tanwir al-Qulub oleh Imam Syaikh Amin al-Kurdi. Beliau menyatakan bahwa syari’at adalah jalan pengamalan lahiriah yang menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai thariqat dan hakikat, karena syari’at menjaga manusia dari godaan hawa nafsu dan penyelewengan batin.⁽⁶⁾

Dengan demikian, syari’at bukanlah sekadar hukum lahiriah yang kaku, melainkan merupakan sistem kehidupan yang dirancang Allah untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan ruhani, melalui pengamalan ibadah, muamalah, dan akhlak yang konsisten. Ia adalah jalan lurus (ṣirāṭ al-mustaqīm) yang tidak hanya mencakup kewajiban formal, tetapi juga nilai-nilai etika dan spiritual yang luhur.


Footnotes

[1]                Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2006), 266.

[2]                Sayf al-Din al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 104.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 33.

[4]                Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 59.

[5]                Harith al-Muhasibi, Adab al-Nufus, ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1992), 58.

[6]                Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 9.


3.           Kedudukan Syari’at dalam Struktur Empat Tahapan Tasawuf

Dalam khazanah tasawuf klasik, dikenal konsep empat tahapan utama dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, yaitu Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat. Keempat tahap ini merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Syari’at menjadi fondasi awal yang menuntun seorang hamba agar menapaki tahapan spiritual secara sah dan aman dari kesesatan. Tanpa syari’at, perjalanan menuju Allah berisiko menjadi ilusi subjektif yang justru menjauhkan pelaku dari kebenaran sejati.

Imam Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah menyebutkan bahwa syari’at adalah perintah dan larangan lahiriah yang ditetapkan Allah melalui wahyu, sementara thariqat adalah jalan penyucian diri untuk menghayati syari’at secara batin. Hakikat adalah pancaran cahaya ketuhanan yang dianugerahkan Allah kepada orang yang telah ikhlas dan bersih jiwanya, sedangkan ma’rifat adalah puncak kedekatan dan pengetahuan intuitif terhadap Allah.⁽¹⁾ Al-Qusyairi menegaskan bahwa tahapan-tahapan ini hanya bisa dilalui secara berurutan, dimulai dari komitmen total terhadap syari’at.

Para sufi besar, seperti Imam Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Abu Yazid al-Bustami, menyamakan hubungan antar keempat tahapan ini dengan tubuh manusia: Syari’at adalah kulit, Thariqat adalah daging, Hakikat adalah tulang, dan Ma’rifat adalah ruh.⁽²⁾ Makna simbolik ini menunjukkan bahwa tanpa kulit (syari’at), daging dan tulang tidak dapat menjaga struktur tubuh. Artinya, seorang sufi tidak akan sampai pada hakikat dan ma’rifat kecuali setelah menegakkan syari’at secara lahir dan batin.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menekankan bahwa siapa pun yang ingin sampai kepada Allah Swt. harus terlebih dahulu menundukkan diri sepenuhnya kepada hukum-hukum syari’at. Syari’at adalah pagar penjaga hati dari penyimpangan dan hawa nafsu. Ia menyebut bahwa thariqat tanpa syari’at adalah seperti menanam benih di tanah gersang—mustahil tumbuh dan menghasilkan buah ruhani.⁽³⁾

Konsep ini juga dijelaskan oleh Syaikh Amin al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub, yang membagi tahapan tasawuf menjadi:

1)                  Syari’at: penegakan hukum-hukum Islam secara lahiriah (ibadah, halal-haram).

2)                  Thariqat: penyucian diri dari akhlak tercela dan mujahadah melawan hawa nafsu.

3)                  Hakikat: pancaran makrifat dari Allah ke dalam hati.

4)                  Ma’rifat: kesaksian batin terhadap keagungan dan keesaan Allah secara langsung dalam qalbu.⁽⁴⁾

Dari semua penjelasan tersebut, tampak jelas bahwa syari’at adalah gerbang awal dan syarat mutlak untuk melanjutkan perjalanan menuju Allah. Siapa pun yang mengabaikan tahap ini, meski mengklaim telah “ma’rifat”, sebenarnya telah tertipu oleh bisikan nafsu. Dalam istilah Ibn ‘Ajibah, mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan mempermainkan makna hakikat tanpa dasar yang benar.⁽⁵⁾

Dengan demikian, dalam struktur empat tahapan tasawuf, syari’at memiliki kedudukan yang esensial dan mendasar. Ia menjadi pondasi atas mana seluruh struktur spiritual dibangun. Tidak ada thariqat yang benar tanpa syari’at yang kokoh, tidak ada hakikat tanpa thariqat yang lurus, dan tidak ada ma’rifat tanpa hati yang bersih oleh hakikat. Inilah integrasi ruhani yang menjadi ciri khas tasawuf Ahlus Sunnah wal Jama’ah.


Footnotes

[1]                Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 43.

[2]                Nasr Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 132.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 29–30.

[4]                Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 15.

[5]                Ahmad ibn 'Ajibah, Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam, ed. Abd al-Salam al-Majdhub (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1985), 66.


4.           Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang Urgensi Syari’at

Urgensi syari’at dalam Islam ditegaskan secara eksplisit dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Saw. Dalam konteks tasawuf, penekanan pada syari’at ini menjadi dasar untuk menolak segala bentuk klaim spiritualitas yang mengabaikan atau bahkan menyalahi aturan syari’at Islam yang telah disyariatkan oleh Allah dan diteladankan oleh Rasulullah Saw.

4.1.       Dalil-dalil dari Al-Qur’an

Salah satu dalil utama tentang urgensi syari’at terdapat dalam firman Allah:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (aturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah [45] ayat 18)⁽¹⁾

Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa syari’at adalah jalan yang telah ditetapkan Allah, dan mengikutinya adalah bentuk ketundukan kepada kebenaran. Menurut Tafsir al-Alusi, ayat ini menunjukkan bahwa syari’at adalah pembeda utama antara jalan para nabi dan jalan para pengikut hawa nafsu.⁽²⁾

Firman lainnya:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syari’at) dan jalan yang terang.” (QS. Al-Ma’idah [05] ayat 48)⁽³⁾

Dalam ayat ini, syari’at diposisikan sebagai petunjuk hidup yang bersifat fungsional dan kontekstual bagi setiap umat. Ini menandakan bahwa penegakan syari’at merupakan manifestasi konkret dari kehendak Ilahi dalam kehidupan manusia.

Selain itu, QS. Al-Baqarah [02] ayat 2 menyatakan bahwa:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa petunjuk dalam ayat ini adalah syari’at, karena ia mengatur semua aspek kehidupan manusia untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat.⁽⁴⁾

4.2.       Dalil-dalil dari Hadits

Sabda Nabi Muhammad Saw:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)⁽⁵⁾

Hadits ini menunjukkan bahwa agama memiliki struktur baku yang tidak boleh dilanggar, dan syari’at adalah bagian esensial dari struktur itu. Menurut Imam Nawawi, hadits ini adalah landasan prinsip bahwa setiap bentuk ibadah dan praktik keagamaan harus bersandar pada syari’at, dan segala penyimpangan merupakan bid’ah yang tertolak.⁽⁶⁾

Hadits lain menyebutkan:

إِنَّ الحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ،

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara syubhat...” (HR. Bukhari dan Muslim)⁽⁷⁾

Hadits ini memberikan batasan moral dan hukum dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Dalam perspektif tasawuf, kewaspadaan terhadap hal-hal syubhat (meragukan) merupakan bagian dari penempaan diri secara spiritual, yang hanya bisa tercapai melalui disiplin terhadap syari’at.

Imam Junaid al-Baghdadi berkata:

كُلُّ الطُّرُقِ مُغْلَقَةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا عَلَى مَنِ اقْتَفَى أَثَرَ الرَّسُولِ وَاتَّبَعَ سُنَّتَهُ، وَزَمَّ نَفْسَهُ بِالشَّرِيعَةِ، فَإِنَّ طَرِيقَ اللّٰهِ لَا يُوصَلُ إِلَيْهَا إِلَّا بِهَا.

“Semua jalan tertutup bagi makhluk kecuali bagi orang yang mengikuti jejak Rasulullah Saw, meneladani sunnahnya, dan mengendalikan dirinya dengan syari’at; karena sesungguhnya jalan menuju Allah tidak akan bisa ditempuh kecuali dengannya (syari’at).”_⁽⁸⁾

Pernyataan ini menunjukkan bahwa tasawuf sejati tidak pernah melepaskan diri dari syari’at, bahkan menjadikannya sebagai alat ukur utama dalam menilai validitas pengalaman spiritual seseorang.


Kesimpulan Sementara

Baik Al-Qur’an maupun hadits secara eksplisit menekankan bahwa syari’at adalah poros utama dari kehidupan keagamaan yang sahih. Dalam kerangka tasawuf, ketaatan terhadap syari’at menjadi tanda awal kesungguhan seorang salik dalam meniti jalan menuju Allah. Klaim spiritualitas yang tidak berpijak pada syari’at adalah ilusi yang justru menjauhkan pelakunya dari hakikat dan ma’rifat sejati.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Jatsiyah [45] ayat 18.

[2]                Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, vol. 25 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1995), 141.

[3]                Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Ma’idah [05] ayat 48.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1999), 8.

[5]                Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, hadits no. 2697; Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, hadits no. 1718.

[6]                Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 2001), 16.

[7]                Ibid., vol. 11, 27.

[8]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 65.


5.           Syari’at sebagai Jalan Disiplin Spiritual (Tazkiyatun Nafs)

Dalam tradisi tasawuf, tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa menempati posisi sentral dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tazkiyah bukan sekadar proses batiniah yang bersifat mistik, tetapi merupakan praktik nyata yang dilandasi oleh ketaatan terhadap syari’at. Syari’at dalam hal ini berfungsi sebagai sistem disiplin spiritual yang membimbing seorang Muslim dalam mengendalikan hawa nafsu, membentuk akhlak, dan menumbuhkan kedekatan dengan Allah secara bertahap dan terarah.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa syari’at adalah metode konkret dalam proses pembersihan jiwa, karena melalui syari’at seseorang dituntun untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan yang secara langsung berdampak pada kebersihan hati. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis bahwa ibadah lahiriah seperti shalat, puasa, dan zakat bukan hanya bentuk kepatuhan hukum, tetapi sarana penyucian diri dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan, kikir, dan hawa nafsu.⁽¹⁾

Al-Qur’an sendiri menunjukkan hubungan erat antara syari’at dan penyucian jiwa dalam firman Allah:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (10)(QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10)

Tazkiyatun nafs, sebagaimana ditafsirkan oleh para mufassir seperti Al-Alusi, tidak mungkin terwujud tanpa pengamalan syari’at, karena syari’at-lah yang menetapkan cara-cara menyucikan diri secara benar dan terjaga dari penyimpangan.⁽²⁾

Para sufi klasik juga memahami bahwa hawa nafsu adalah penghalang utama dalam perjalanan spiritual, dan syari’at merupakan tameng yang paling efektif untuk mengendalikannya. Syekh Ibn ‘Athaillah al-Iskandari dalam Al-Hikam mengatakan:

لَا تَتْرُكِ ٱلشَّرِيعَةَ رَجَاءَ ٱلْحَقِيقَةِ، فَإِنَّهُ مَا تَوَصَّلَ أَحَدٌ إِلَى ٱلْحَقِيقَةِ إِلَّا بِٱلشَّرِيعَةِ.

"Janganlah engkau meninggalkan syari’at dengan harapan mencapai hakikat, karena tidak seorang pun sampai kepada hakikat kecuali melalui syari’at."_⁽³⁾

Dalam pandangan beliau, disiplin spiritual yang tidak berpijak pada syari’at hanyalah bentuk ego yang dibungkus dengan kedok spiritualitas.

Disiplin syari’at juga mencakup aspek muamalah dan adab, yang menjadi medan latihan diri dalam interaksi sosial. Shalat mengajarkan keteraturan dan kekhusyukan, puasa mendidik pengendalian diri, zakat menumbuhkan empati sosial, dan haji mengajarkan kesatuan umat serta kesabaran.⁽⁴⁾ Semua aspek ini bukan hanya ritual formal, tetapi latihan konkret dalam tazkiyah. Dalam tasawuf, syari’at dipandang sebagai latihan rutin (riyadhah) untuk menjinakkan nafsu dan menumbuhkan mahabbah (cinta) kepada Allah.

Penekanan ini juga dijelaskan oleh Syaikh Amin al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub, bahwa orang yang istiqamah dalam syari’at akan mengalami tahapan demi tahapan penyucian hati, dari sekadar menjalankan perintah menjadi menikmati ketaatan, hingga akhirnya mencapai keikhlasan total.⁽⁵⁾

Dalam konteks ini, penting pula untuk memahami bahwa tazkiyatun nafs melalui syari’at bukan sekadar proses individu, tetapi juga membentuk tatanan sosial yang adil dan beradab. Seorang sufi yang benar tidak hanya menjadi pribadi yang tenang dan jujur, tetapi juga menjadi agen kebajikan dan keteladanan bagi masyarakat.⁽⁶⁾

Dengan demikian, syari’at adalah instrumen utama dalam disiplin spiritual Islam. Ia tidak mengekang kebebasan, melainkan membimbing kebebasan agar tidak menjadi liar dan merusak. Dalam tasawuf sejati, tidak ada pemurnian jiwa tanpa komitmen terhadap syari’at. Disiplin yang diajarkan syari’at itulah yang menjadi fondasi kokoh bagi munculnya kedalaman batin, kejernihan akal, dan kelembutan hati dalam perjalanan menuju hakikat dan ma’rifat.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 47–49.

[2]                Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1995), 215.

[3]                Ibn ‘Athaillah al-Iskandari, Al-Hikam al-‘Ata’iyyah, trans. Yusuf Muhammad (Bandung: Mizan, 2004), 24.

[4]                Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 88–90.

[5]                Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 23.

[6]                Abdul Hadi W. M., Tasawuf: Studi tentang Jalan Spiritual Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 112.


6.           Penyimpangan dan Reduksi Syari’at dalam Praktik Tasawuf yang Menyimpang

Meskipun tasawuf sejati merupakan manifestasi dari spiritualitas Islam yang luhur dan berbasis kuat pada syari’at, dalam sejarah perkembangan Islam terdapat pula fenomena penyimpangan dan reduksi terhadap syari’at dalam praktik tasawuf yang melenceng dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Penyimpangan ini terjadi ketika sebagian kelompok atau individu mengklaim telah mencapai maqam ruhani tertentu sehingga merasa tidak lagi terikat pada kewajiban syari’at, seperti shalat, puasa, atau zakat. Klaim semacam ini merupakan bentuk ekstremisme spiritual yang bertentangan secara fundamental dengan prinsip-prinsip Islam.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin mengecam keras kelompok sufi semu yang menganggap bahwa syari’at hanya berlaku bagi kalangan awam, sementara para "arif billah" dibebaskan dari aturan hukum lahiriah. Ia menyebut pandangan ini sebagai bentuk penyimpangan batiniah yang lebih berbahaya dari kemunafikan, karena merusak substansi ajaran Islam dari dalam.⁽¹⁾ Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap maqam dalam tasawuf justru harus memperkuat komitmen terhadap syari’at, bukan menggugurkannya.

Reduksi terhadap syari’at ini juga pernah menjadi perhatian serius dalam Risalah al-Qusyairiyah. Al-Qusyairi memperingatkan bahwa klaim hakikat tanpa syari’at adalah jalan menuju kekufuran dan zindiq, karena menjadikan perasaan batin sebagai standar kebenaran, bukan wahyu dan sunnah. Ia menulis:

كُلُّ حَقِيقَةٍ لا تُشْهَدُ الشَّرِيعَةُ عَلَيْهَا فَإِنَّهَا كُفْرٌ

"Setiap orang yang membuka pintu hakikat dengan menutup pintu syari’at, maka ia telah jatuh dalam kekafiran."_⁽²⁾

Dalam beberapa naskah Risalah al-Qusyairiyah dituliskan:

مَن فَتَحَ لَهُ طَرِيقُ الْحَقِيقَةِ وَلَمْ يُقَيِّدْ نَفْسَهُ بِقُيُودِ الشَّرِيعَةِ، فَهُوَ زِنْدِيقٌ.

"Barang siapa yang dibukakan baginya jalan hakikat namun tidak membatasi dirinya dengan syari’at, maka ia adalah seorang zindiq."

Penyimpangan ini juga pernah muncul dalam sejarah Islam pada beberapa kelompok Bāṭiniyyah dan antinomianisme sufi ekstrem yang menafsirkan syari’at secara esoterik hingga mengabaikan bentuk lahiriahnya. Menurut Annemarie Schimmel, kelompok semacam ini meyakini bahwa “hakikat batin” membebaskan mereka dari kewajiban syari’at, sehingga terjadi dekonstruksi atas hukum Islam yang sistematis dan berbahaya.⁽³⁾

Fenomena tersebut juga dikritik oleh Ibn Taymiyyah, yang meskipun dikenal sebagai pengkritik tasawuf ekstrem, tetap mengakui dan menghargai tasawuf yang berpijak pada syari’at. Ia mengatakan bahwa sufi yang sejati adalah mereka yang mengikuti jalan Nabi Saw, baik dalam batin maupun zahir.⁽⁴⁾ Kritik Ibn Taymiyyah ditujukan kepada sufi-sufi palsu yang “mengaku” telah sampai kepada Allah tapi justru meninggalkan syari’at dan menjadikan mimpi atau ilham sebagai dalil hukum.

Dalam perkembangan kontemporer, gejala serupa muncul dalam bentuk spiritualisme liberal yang memisahkan antara religiositas dan keberagamaan. Praktik-praktik pseudo-sufi seperti meditasi “islami” tanpa syari’at, klaim ma’rifat tanpa ibadah, dan relativisme kebenaran dalam spiritualitas menjadi bentuk modern dari penyimpangan tersebut. Azyumardi Azra menyebut fenomena ini sebagai “kosmetika spiritual”, yang berbahaya karena menyamarkan penyimpangan dengan bahasa cinta dan kedamaian.⁽⁵⁾

Padahal, dalam tasawuf yang autentik, semakin tinggi maqam seorang salik, semakin dalam pula pengamalan syari’atnya. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Imam Junaid al-Baghdadi:

طَرِيقُنَا هٰذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَحْفَظِ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيثَ، وَلَمْ يَفْقَهِ الدِّينَ، فَلَا يَصْلُحُ لِهٰذَا الْأَمْرِ.

"Jalan kami ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa tidak menghafal Al-Qur’an, tidak menulis (mempelajari) hadits, dan tidak memahami ilmu fikih, maka ia tidak layak (untuk menempuh) jalan ini."_⁽⁶⁾

Dengan demikian, setiap klaim hakikat dan ma’rifat yang tidak berdiri di atas syari’at sejatinya adalah penyelewengan spiritual yang menyesatkan. Penolakan terhadap syari’at dalam nama "hakikat" bukanlah kedalaman rohani, tetapi kebodohan yang dibungkus dengan kesombongan spiritual. Tasawuf sejati tidak pernah memisahkan antara hukum dan cinta, antara lahir dan batin, antara syari’at dan hakikat.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 35–37.

[2]                Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 64.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 212–215.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah, 1995), 510–512.

[5]                Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 117.

[6]                Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, 67.


7.           Integrasi Syari’at dan Tasawuf dalam Pandangan Ulama Ahlus Sunnah

Dalam tradisi keilmuan Islam, terutama dalam mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tasawuf bukanlah jalan yang terpisah dari syari’at, tetapi merupakan dimensi batiniah dari pengamalan syari’at itu sendiri. Para ulama Ahlus Sunnah sejak generasi awal telah menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju kedekatan dengan Allah (taqarrub ilallah) kecuali melalui komitmen total terhadap syari’at yang dilandasi dengan pemurnian niat, pengendalian nafsu, dan kesucian hati. Dengan kata lain, tasawuf dan syari’at adalah dua sisi dari satu keping mata uang Islam yang utuh.

Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M), salah satu tokoh besar dalam tradisi Ahlus Sunnah, menegaskan bahwa tasawuf sejati harus berpijak pada syari’at. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis:

مَن ظَنَّ أَنَّ التَّصَوُّفَ هُوَ تَرْكُ الشَّرِيعَةِ، فَقَدْ كَفَرَ، فَإِنَّ الشَّرِيعَةَ أَصْلٌ، وَالطَّرِيقَةَ فِرَاعٌ، وَالْحَقِيقَةَ ثَمَرَةٌ.

"Barang siapa beranggapan bahwa tasawuf adalah meninggalkan syari’at, maka sungguh ia telah keluar dari agama. Syari’at adalah permulaan jalan, thariqat adalah penghayatan, dan hakikat adalah buahnya."_⁽¹⁾

Dengan ini, Al-Ghazali menunjukkan struktur integratif antara lahir dan batin dalam Islam, yang menolak dikotomi antara hukum dan spiritualitas.

Hal senada disampaikan oleh Imam Junaid al-Baghdadi (w. 910 M), yang disebut sebagai “Imam al-Thāifah” (pemimpin para sufi). Ia berkata:

كُلُّ الطُّرُقِ مُغْلَقَةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا عَلَى مَنِ اقْتَفَى أَثَرَ الرَّسُولِ فِي الشَّرِيعَةِ

" Semua jalan (menuju Allah) tertutup bagi makhluk, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam (urusan) syari’at."_⁽²⁾

Pernyataan ini mencerminkan prinsip utama tasawuf Ahlus Sunnah: ketaatan lahiriah terhadap syari’at adalah prasyarat sah bagi pengalaman batin yang mendalam.

Para ulama lain seperti Imam Malik bin Anas (w. 795 M) juga menyampaikan prinsip serupa. Ia berkata:

مَن تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنَّدَقَ، وَمَن تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَن جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ

"Barang siapa yang bertasawuf tanpa fiqh, maka ia menjadi zindiq (sesat); barang siapa berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasik; dan barang siapa menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai kebenaran."_⁽³⁾

Pandangan ini menunjukkan bahwa fiqh (syari’at) dan tasawuf adalah dua ilmu yang saling menyempurnakan, bukan bertentangan.

Dalam karya Tanwir al-Qulub, Syekh Amin al-Kurdi secara sistematis menyatukan dimensi-dimensi syari’at dan tasawuf. Ia menyatakan bahwa syari’at mengatur hubungan lahiriah antara manusia dan Allah serta sesama, sedangkan tasawuf memperhalus hubungan batiniah dengan-Nya. Oleh karena itu, tasawuf tanpa syari’at adalah angan-angan kosong, dan syari’at tanpa tasawuf berisiko menjadi rutinitas tanpa ruh.⁽⁴⁾

Selain itu, integrasi ini juga diteorisasikan dalam pendekatan kontemporer oleh tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud (mantan Syaikh Al-Azhar). Dalam bukunya Tasawuf Islami, ia menjelaskan bahwa syari’at adalah mekanisme transformasi spiritual yang memungkinkan terjadinya tazkiyatun nafs dan tahapan menuju ma’rifat. Menurutnya, syari’at bukan hanya hukum eksternal, tetapi juga memiliki dimensi ruhani yang mendalam.⁽⁵⁾

Dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya dalam lingkungan pesantren dan tarekat muktabarah (seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah), prinsip integrasi ini diwujudkan dalam kehidupan nyata. Para murid tarekat diwajibkan menegakkan syari’at secara disiplin, sebelum diperkenankan menapaki latihan-latihan batiniah. Bahkan, mursyid atau guru spiritual tidak dianggap sah jika tidak menguasai ilmu-ilmu syari’at dan mempraktikkannya dengan benar.⁽⁶⁾

Dengan demikian, pandangan ulama Ahlus Sunnah menegaskan bahwa tasawuf yang tidak berdiri di atas pondasi syari’at adalah sesat, sementara syari’at yang tidak diresapi ruh tasawuf menjadi kering dan mekanistik. Keduanya harus berjalan beriringan, agar menghasilkan pribadi Muslim yang saleh lahir dan batin, serta seimbang antara ibadah, akhlak, dan kesadaran ketuhanan.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 33–34.

[2]                Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 65.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf bayna al-Falsafah wa al-Syari’ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), 45.

[4]                Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 8–9.

[5]                Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973), 22–23.

[6]                Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat: Akar Spiritual Islam di Dunia Modern (Jakarta: Prenada Media, 2019), 121–122.


8.           Relevansi Syari’at dalam Kehidupan Muslim Modern

Dalam era modern yang ditandai oleh pluralisme nilai, sekularisasi, dan gelombang spiritualitas non-agamis, peran syari’at seringkali dipertanyakan bahkan dikerdilkan hanya sebagai simbol formalistik. Namun, dalam pandangan Islam—terutama dalam kerangka tasawuf Ahlus Sunnah—syari’at tetap memiliki relevansi yang mendasar sebagai sistem yang membentuk pribadi, masyarakat, dan tatanan sosial yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah.

Syari’at bukan hanya kumpulan aturan legalistik, tetapi merupakan pedoman hidup komprehensif (syumul) yang mencakup dimensi ritual (ʿibādah), sosial (muʿāmalah), etika (akhlāq), hingga spiritualitas (tazkiyah). Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. M. Quraish Shihab yang menyatakan bahwa syari’at adalah sistem ilahi yang membimbing manusia untuk membangun hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan hidup.⁽¹⁾ Dalam konteks ini, penerapan syari’at dalam kehidupan modern tidak berarti menolak kemajuan, tetapi mengarahkan kemajuan agar tetap dalam koridor nilai-nilai ketuhanan.

Dalam tasawuf, relevansi syari’at tidak pernah surut, bahkan justru menjadi penyeimbang dari arus spiritualisme kontemporer yang cenderung menafikan bentuk-bentuk ibadah lahiriah. Banyak aliran spiritual baru yang menekankan inner peace tanpa keterikatan pada hukum dan nilai moral yang baku. Fenomena ini ditanggapi oleh ulama seperti Syekh Abdul Halim Mahmud yang menegaskan bahwa spiritualitas yang tercerabut dari syari’at akan jatuh dalam relativisme, tidak memiliki arah dan objektivitas, serta mudah tergelincir dalam nafsu yang dibungkus mistik.⁽²⁾

Secara praktis, syari’at menjadi alat ukur objektif dalam menghadapi tantangan etika modern seperti krisis moral, eksploitasi ekonomi, disintegrasi keluarga, dan degradasi lingkungan. Misalnya, prinsip-prinsip fiqih seperti keadilan (`adl), kemaslahatan (maṣlaḥah), dan tidak menimbulkan kerusakan (lā ḍarar) menjadi dasar bagi solusi atas problematika kontemporer.⁽³⁾ Di sinilah letak aktualisasi syari’at sebagai sumber transformasi sosial dan spiritual yang tidak kaku, tetapi dinamis dan aplikatif.

Lebih dari itu, syari’at dalam perspektif tasawuf berperan membentuk kepribadian Muslim yang seimbang (tawāzun) antara aspek lahir dan batin, antara akal dan hati, serta antara dunia dan akhirat. Dalam konteks ini, syari’at menjadi alat tazkiyah modern yang mengajarkan keteraturan (ṣalāh), kesabaran (ṣabr), tanggung jawab (amānah), dan kejujuran (ṣidq) di tengah hiruk-pikuk dunia yang seringkali memuja kebebasan tanpa arah.⁽⁴⁾

Para sufi Ahlus Sunnah juga telah membuktikan bahwa syari’at dapat dihidupkan dalam berbagai konteks sosial dan budaya, tanpa kehilangan substansinya. Tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah menunjukkan bahwa kedisiplinan syari’at justru memperkuat nilai-nilai spiritual dan sosial, bukan sebaliknya. Dalam tradisi pesantren di Indonesia, misalnya, integrasi syari’at dan tasawuf melahirkan sosok-sosok yang tidak hanya saleh secara individu, tetapi juga aktif membangun masyarakat.⁽⁵⁾

Dengan demikian, di tengah era modern yang serba cepat dan kompleks, syari’at tetap relevan sebagai panduan yang mampu menjaga keseimbangan antara nilai spiritual, etika, dan sosial. Ia adalah tali penghubung antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu, antara manusia dan Tuhannya. Maka, menegakkan syari’at bukanlah bentuk kemunduran, tetapi justru kunci kebangkitan rohani dan peradaban.


Footnotes

[1]                M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 389.

[2]                Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973), 29–30.

[3]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 56–59.

[4]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih (Jakarta: Mizan, 2000), 95–96.

[5]                Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), 211–212.


9.           Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa syari’at merupakan fondasi yang tidak tergantikan dalam seluruh struktur ajaran tasawuf, khususnya dalam kerangka pemikiran ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Syari’at bukan hanya pintu masuk ke dalam jalan spiritual (thariqat), tetapi juga penjaga utama dari kesesatan dan penyimpangan batiniah, yang sering muncul dari klaim-klaim spiritualitas tanpa dasar hukum yang sah.

Dalam pemahaman tasawuf klasik, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dan Al-Qusyairi, syari’at adalah manifestasi nyata dari kehendak Allah yang harus diamalkan oleh setiap Muslim, baik pada level awam maupun sufi. Syari’at mengatur lahiriah manusia agar sejalan dengan nilai-nilai ruhaniah yang akan dicapai melalui thariqat, hakikat, dan ma’rifat.⁽¹⁾ Maka, perjalanan spiritual tanpa landasan syari’at adalah kosong dan berbahaya, sebagaimana dikritik oleh para sufi otoritatif terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dari jalan Rasulullah Saw.⁽²⁾

Syari’at juga terbukti memiliki daya relevansi yang tinggi dalam konteks kehidupan Muslim modern, terutama sebagai sistem etika dan spiritual yang mampu menjawab tantangan zaman seperti krisis moral, disorientasi spiritual, dan dekadensi sosial. Dalam perspektif tasawuf, syari’at tidak hanya menata relasi vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga relasi horizontal antarsesama manusia dan lingkungan.⁽³⁾

Integrasi antara syari’at dan tasawuf dalam pandangan ulama Ahlus Sunnah menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama hukum (law-based), melainkan agama spiritual yang bercahaya karena hukum itu dijalankan dengan cinta, ihsan, dan penghayatan batin. Imam Junaid al-Baghdadi, Imam Malik, Imam Al-Ghazali, dan para tokoh tasawuf lainnya telah meletakkan fondasi yang kuat untuk membangun tasawuf yang lurus, sehat, dan menyatu dengan prinsip syari’at.⁽⁴⁾

Oleh karena itu, upaya menghidupkan kembali spiritualitas Islam tidak dapat dilepaskan dari penguatan syari’at, baik melalui pendidikan, pengamalan kolektif, maupun pembinaan pribadi. Di tengah kecenderungan sebagian masyarakat untuk mencari spiritualitas instan yang bebas dari aturan, tasawuf yang bersumber dari syari’at menawarkan jalan tengah: sebuah kedalaman ruhani yang tidak tercerabut dari akar-akar wahyu.

Penegakan syari’at yang dipadu dengan semangat tasawuf akan melahirkan pribadi Muslim yang seimbang, adil, lembut, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai ilahiah. Inilah wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang tidak hanya menampakkan ketaatan, tetapi juga menghadirkan keindahan akhlak dan ketenangan batin di tengah dunia modern yang penuh hiruk-pikuk.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 29–35; Abdul Karim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, trans. Nawawi Ramadhan (Jakarta: Pustaka Amani, 2004), 59–67.

[2]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 212–215; Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah, 1995), 510–512.

[3]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 56–59.

[4]                Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973), 22–30; Yusuf al-Qaradawi, al-Tasawuf bayna al-Falsafah wa al-Syari’ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), 45.


Daftar Pustaka

Al-Alusi, S. (1995). Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Vols. 25 & 30). Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ‘Ulumuddin (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Kurdi, A. (2000). Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qaradawi, Y. (2002). Al-Tasawuf bayna al-Falsafah wa al-Syari’ah. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qusyairi, A. K. (2004). Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (N. Ramadhan, Trans.). Jakarta: Pustaka Amani.

Al-Razi, F. (1999). Tafsir al-Kabir (Vol. 2). Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Azra, A. (2000). Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Jakarta: Mizan.

Azra, A. (2019). Tasawuf dan Tarekat: Akar Spiritual Islam di Dunia Modern. Jakarta: Prenada Media.

Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Ibn ‘Ajibah, A. (1985). Iqaz al-Himam fi Sharh al-Hikam (A. al-Majdhub, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’rifah.

Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari. (2004). Al-Hikam al-‘Ata’iyyah (Y. Muhammad, Trans.). Bandung: Mizan.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu‘ al-Fatawa (Vol. 10). Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah.

Mahmud, A. H. (1973). Tasawuf Islami. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Muhasibi, H. (1992). Adab al-Nufus (A. F. Abu Ghuddah, Ed.). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Shihab, M. Q. (2007). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar