Selasa, 01 April 2025

Bonus Demografi: Peluang Emas Menuju Indonesia Emas 2045

Bonus Demografi

Peluang Emas Menuju Indonesia Emas 2045


Abstrak

Bonus demografi merupakan fenomena perubahan struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya proporsi usia produktif (15–64 tahun) dibandingkan usia nonproduktif. Indonesia tengah berada dalam fase bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada periode 2020–2035. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif pengertian, syarat, manfaat, tantangan, serta strategi pemanfaatan bonus demografi, dengan mengacu pada referensi-referensi ilmiah dan data statistik resmi. Studi ini juga membandingkan pengalaman beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang dalam mengelola bonus demografi serta menyoroti proyeksi Indonesia menuju Visi Indonesia Emas 2045. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun bonus demografi memberikan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, keberhasilannya sangat ditentukan oleh kualitas kebijakan publik, investasi pada sumber daya manusia, penciptaan lapangan kerja, serta tata kelola pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu, pengelolaan bonus demografi harus dilakukan secara terencana dan menyeluruh agar dapat menjadi fondasi pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.

Kata kunci: Bonus demografi, usia produktif, pembangunan berkelanjutan, Indonesia Emas 2045, strategi pembangunan, transisi demografi.


PEMBAHASAN

Bonus Demografi Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Perubahan struktur demografi suatu negara sering kali membawa dampak besar terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan utama para perencana pembangunan dewasa ini adalah bonus demografi—suatu kondisi ketika proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan usia nonproduktif (anak-anak dan lansia). Fenomena ini dianggap sebagai peluang emas bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong transformasi sosial yang lebih progresif.¹

Menurut proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia tengah berada dalam fase bonus demografi yang diperkirakan akan mencapai puncaknya antara tahun 2020 hingga 2035.² Pada fase ini, rasio ketergantungan penduduk berada pada titik terendah, yang berarti beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif menjadi lebih ringan, sehingga memberikan potensi lebih besar untuk pertumbuhan ekonomi.³ Namun, bonus demografi bukanlah sebuah jaminan otomatis bagi kemajuan. Tanpa perencanaan yang matang, investasi pada pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja, keunggulan demografis ini justru bisa menjadi beban demografi yang menimbulkan berbagai permasalahan sosial baru, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.⁴

Berbagai negara di dunia telah mengalami fase bonus demografi dengan hasil yang berbeda-beda. Negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok mampu memanfaatkannya untuk mendorong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi pesat. Sebaliknya, beberapa negara di kawasan Afrika mengalami stagnasi karena tidak mampu mengelola sumber daya manusianya secara optimal.⁵ Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar dapat menyusun kebijakan yang tepat dan menyeluruh demi mengubah bonus demografi menjadi momentum menuju Indonesia Emas 2045, yakni visi pembangunan jangka panjang ketika Indonesia diharapkan menjadi negara maju pada usia ke-100 tahun kemerdekaannya.⁶

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif pengertian, syarat, potensi, tantangan, serta strategi pemanfaatan bonus demografi, dengan merujuk pada data dan analisis dari sumber-sumber ilmiah dan institusi kredibel. Dengan pemahaman yang menyeluruh, diharapkan masyarakat dan para pemangku kebijakan dapat mengambil peran aktif dalam mengoptimalkan peluang emas ini demi masa depan Indonesia yang lebih sejahtera dan berdaya saing.


Footnotes

[1]                Gavin W. Jones, Population and Development in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), 123.

[2]                Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Roadmap Bonus Demografi Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2018), 4.

[3]                Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 35.

[4]                Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 85–102.

[5]                David Bloom et al., “Demographic Dividend: New Perspective on the Economic Consequences of Population Change,” Population Matters (New York: RAND Corporation, 2003), 27–30.

[6]                Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045 (Jakarta: Bappenas, 2019), 9.


2.           Pengertian Bonus Demografi

Bonus demografi (demographic dividend) adalah suatu kondisi ketika proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif (0–14 tahun dan 65 tahun ke atas), sehingga rasio ketergantungan penduduk menjadi rendah. Dalam keadaan ini, suatu negara memiliki potensi besar untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, karena jumlah penduduk yang bekerja dan berkontribusi terhadap pembangunan jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk yang menjadi tanggungan.¹

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bonus demografi adalah "suatu keadaan di mana jumlah penduduk usia produktif sangat besar sebagai hasil dari penurunan tingkat kelahiran dan kematian, yang memberikan peluang percepatan pembangunan ekonomi jika penduduk usia produktif tersebut terserap dalam lapangan kerja secara optimal."_² Definisi ini menekankan pentingnya keterkaitan antara struktur demografi dan kebijakan ekonomi dalam mewujudkan manfaat dari kondisi tersebut.

Dalam konteks global, United Nations Population Fund (UNFPA) menjelaskan bahwa demographic dividend merupakan potensi pertumbuhan ekonomi yang muncul dari perubahan struktur umur penduduk, terutama ketika proporsi usia kerja meningkat dan mampu disertai dengan investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja yang memadai.³ Dengan kata lain, bonus demografi bukanlah keuntungan otomatis, melainkan peluang yang harus dikelola dengan strategi yang tepat.

Para ahli demografi juga menekankan bahwa bonus demografi merupakan fase transisi yang tidak berlangsung lama. Bloom dan Canning menyebutnya sebagai window of opportunity—jendela peluang—yang hanya terbuka dalam waktu tertentu dan akan tertutup kembali seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia.⁴ Maka dari itu, waktu menjadi faktor krusial dalam memanfaatkan peluang ini secara optimal.

Karakteristik utama dari bonus demografi adalah menurunnya angka ketergantungan penduduk (dependency ratio). Angka ini dihitung dari perbandingan antara jumlah penduduk usia nonproduktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Ketika rasio ketergantungan turun, setiap individu usia produktif secara statistik menanggung beban lebih sedikit, yang dalam konteks ekonomi dapat diterjemahkan sebagai peningkatan potensi tabungan dan investasi domestik.⁵

Di Indonesia, momentum bonus demografi diperkirakan berlangsung dari sekitar tahun 2020 hingga 2035, ketika jumlah penduduk usia produktif mencapai lebih dari 70% dari total populasi.⁶ Oleh karena itu, pengenalan dan pemahaman terhadap konsep bonus demografi menjadi penting sebagai landasan dalam menyusun kebijakan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan daya saing nasional.


Footnotes

[1]                Gavin W. Jones, Population and Development in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), 125.

[2]                Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Roadmap Bonus Demografi Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2018), 3.

[3]                United Nations Population Fund (UNFPA), State of World Population 2014: The Power of 1.8 Billion (New York: UNFPA, 2014), 11.

[4]                David E. Bloom and David Canning, “Demographic Change and Economic Growth in Asia,” Asian Economic Policy Review 4, no. 1 (2009): 46.

[5]                Nicholas Eberstadt and Apoorva Shah, “Fertility Decline in the Muslim World,” Policy Review no. 171 (2012): 36.

[6]                Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 42.


3.           Syarat Terjadinya Bonus Demografi

Bonus demografi tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses transisi demografi yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Transisi ini terjadi ketika suatu negara mengalami perubahan pola kependudukan dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi lebih rendah, yang berdampak pada perubahan struktur umur penduduk.¹ Tahapan ini menciptakan kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif meningkat secara signifikan dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif.

3.1.       Penurunan Tingkat Kelahiran dan Kematian

Syarat pertama untuk terjadinya bonus demografi adalah penurunan angka kelahiran (fertility rate) dan angka kematian (mortality rate), terutama kematian bayi. Penurunan ini biasanya dipengaruhi oleh peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, serta kesadaran keluarga akan pentingnya perencanaan keluarga.² Dengan tingkat kelahiran yang menurun, jumlah anak yang lahir menjadi lebih sedikit, sehingga mengurangi beban ketergantungan penduduk muda terhadap kelompok usia produktif.³

3.2.       Peningkatan Proporsi Usia Produktif

Bonus demografi hanya dapat tercapai apabila terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun). Proporsi ini menjadi dominan dalam struktur penduduk nasional, yang pada akhirnya dapat memperbesar kapasitas tenaga kerja dan potensi produktivitas ekonomi nasional.⁴ Menurut proyeksi BPS, pada tahun 2030 diperkirakan lebih dari 70% penduduk Indonesia berada dalam rentang usia produktif, yang menjadi momen krusial bagi pembangunan ekonomi.⁵

3.3.       Penurunan Angka Ketergantungan (Dependency Ratio)

Rasio ketergantungan adalah ukuran penting dalam menilai terjadinya bonus demografi. Semakin rendah angka ketergantungan, maka semakin kecil pula beban ekonomi yang ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai kebutuhan kelompok usia muda (0–14 tahun) dan lanjut usia (65 tahun ke atas). Ketika rasio ini mencapai titik minimum, negara memiliki ruang fiskal dan sumber daya yang lebih besar untuk diinvestasikan ke dalam sektor-sektor produktif.⁶

3.4.       Peningkatan Investasi pada Sumber Daya Manusia

Bonus demografi hanya dapat membawa manfaat maksimal jika penduduk usia produktif memiliki kualitas yang tinggi, baik dari segi pendidikan, keterampilan, maupun kesehatan. Investasi dalam pendidikan, pelatihan vokasi, dan pelayanan kesehatan menjadi prasyarat penting agar angkatan kerja mampu memenuhi tuntutan pasar dan berkontribusi optimal terhadap pertumbuhan ekonomi.⁷ Tanpa kualitas SDM yang memadai, bonus demografi justru bisa berbalik menjadi beban demografi karena tingginya pengangguran dan rendahnya produktivitas.⁸

3.5.       Tersedianya Lapangan Kerja yang Memadai

Ketersediaan lapangan kerja yang cukup dan inklusif menjadi syarat penting lainnya. Jika penduduk usia produktif tidak dapat terserap ke dalam dunia kerja, maka potensi bonus demografi akan hilang dan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial seperti pengangguran struktural, kemiskinan, dan ketimpangan sosial.⁹ Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara dunia pendidikan dan dunia kerja, termasuk dukungan kebijakan industri dan UMKM untuk menyerap tenaga kerja usia muda secara produktif.¹⁰

Dengan demikian, terjadinya bonus demografi sangat bergantung pada keberhasilan negara dalam mengelola faktor-faktor fundamental tersebut. Tanpa strategi yang komprehensif dan terarah, keunggulan struktur demografi ini akan menjadi peluang yang terbuang sia-sia.


Footnotes

[1]                David E. Bloom dan Jeffrey G. Williamson, “Demographic Transitions and Economic Miracles in Emerging Asia,” The World Bank Economic Review 12, no. 3 (1998): 424.

[2]                Gavin W. Jones, Family Planning and Population Policy in Indonesia (Jakarta: BKKBN and UNFPA, 2013), 78.

[3]                Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Laporan Tahunan Kependudukan Indonesia 2020 (Jakarta: BKKBN, 2021), 27.

[4]                Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 88.

[5]                Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 44.

[6]                United Nations Population Division, World Population Prospects 2019 (New York: United Nations, 2019), 11.

[7]                Kementerian PPN/Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 33.

[8]                Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “The Demographic Dividend: Opportunity or Challenge?” Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 19, no. 1 (2018): 9.

[9]                David Bloom et al., “Realizing the Demographic Dividend: Is Africa Any Different?” African Development Review 26, no. 2 (2014): 213.

[10]             UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia (Jakarta: UNFPA, 2016), 18.


4.           Manfaat dan Potensi Bonus Demografi

Bonus demografi memberikan peluang luar biasa bagi suatu negara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakatnya. Ketika proporsi penduduk usia produktif mencapai puncaknya, negara memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat, memperkuat fondasi pembangunan berkelanjutan, serta menciptakan transformasi sosial yang progresif. Namun, manfaat-manfaat ini hanya dapat diraih jika penduduk usia produktif tersebut diberdayakan secara optimal melalui kebijakan yang tepat dan inklusif.

4.1.       Pertumbuhan Ekonomi yang Lebih Cepat

Salah satu manfaat utama dari bonus demografi adalah potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Ketika sebagian besar penduduk berada dalam usia produktif dan memiliki akses terhadap lapangan kerja yang memadai, output ekonomi nasional dapat meningkat secara signifikan.¹ Menurut Bloom dan Williamson, peningkatan proporsi usia produktif dapat menyumbang antara sepertiga hingga setengah dari pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur selama periode keemasan mereka.²

4.2.       Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Per Kapita

Dengan jumlah tenaga kerja yang besar dan produktif, negara memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitas nasional. Hal ini berimplikasi langsung pada kenaikan pendapatan per kapita dan pengurangan angka kemiskinan.³ Produktivitas yang tinggi, jika diiringi oleh pertumbuhan sektor industri dan jasa, akan mempercepat transformasi ekonomi dari berbasis pertanian menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi.⁴

4.3.       Peningkatan Tabungan dan Investasi Nasional

Dalam kondisi ideal, penduduk usia produktif cenderung memiliki kecenderungan menabung lebih tinggi daripada usia nonproduktif. Akumulasi tabungan ini dapat menjadi sumber pembiayaan domestik bagi investasi pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, tanpa terlalu bergantung pada modal asing.⁵ Menurut laporan Asian Development Bank, peningkatan tabungan nasional selama periode bonus demografi dapat memperkuat kestabilan makroekonomi dan memperluas kapasitas fiskal negara.⁶

4.4.       Inovasi dan Kewirausahaan Anak Muda

Generasi muda merupakan kekuatan potensial dalam menciptakan inovasi dan membangun kewirausahaan. Bonus demografi mendorong hadirnya gelombang generasi milenial dan generasi Z yang lebih melek teknologi, kreatif, serta adaptif terhadap perubahan.⁷ Kondisi ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi digital dan industri kreatif apabila difasilitasi dengan ekosistem yang mendukung, seperti akses modal, pelatihan keterampilan, dan kebijakan ramah inovasi.⁸

4.5.       Peluang Meningkatkan Kesejahteraan Sosial

Dengan meningkatnya produktivitas dan pendapatan negara, pemerintah memiliki potensi untuk meningkatkan alokasi anggaran bagi sektor-sektor sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.⁹ Hal ini akan menciptakan efek ganda (multiplier effect) terhadap kualitas hidup masyarakat dan memperkuat modal sosial bangsa.

Namun demikian, manfaat-manfaat tersebut tidak akan tercapai tanpa perencanaan strategis yang komprehensif. Bonus demografi adalah potensi yang harus dikapitalisasi melalui investasi besar-besaran dalam kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                John May, “World Population Policies: Their Origin, Evolution, and Impact,” Population and Development Review 38, no. 1 (2012): 92.

[2]                David E. Bloom dan Jeffrey G. Williamson, “Demographic Transitions and Economic Miracles in Emerging Asia,” The World Bank Economic Review 12, no. 3 (1998): 423.

[3]                Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “The Demographic Dividend: Opportunity or Challenge?” Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 19, no. 1 (2018): 10.

[4]                United Nations Population Fund (UNFPA), State of World Population 2014: The Power of 1.8 Billion (New York: UNFPA, 2014), 14.

[5]                David Bloom, David Canning, dan Jaypee Sevilla, The Demographic Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change (Santa Monica, CA: RAND, 2003), 25.

[6]                Asian Development Bank, Asia’s Economic Transformation: Where to, How, and How Fast? (Manila: ADB, 2019), 58.

[7]                Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 90.

[8]                Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 42.

[9]                UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia (Jakarta: UNFPA, 2016), 22.


5.           Tantangan dalam Memanfaatkan Bonus Demografi

Meskipun bonus demografi menawarkan peluang besar bagi kemajuan suatu negara, potensi ini tidak akan otomatis menjadi kenyataan tanpa adanya strategi dan kesiapan sistemik. Bahkan, tanpa pengelolaan yang baik, struktur demografi yang didominasi oleh penduduk usia produktif justru dapat menjadi sumber masalah baru. Oleh karena itu, penting untuk mengenali berbagai tantangan utama dalam memanfaatkan bonus demografi agar tidak berubah menjadi bencana demografi (demographic disaster).

5.1.       Tingginya Pengangguran Usia Produktif

Salah satu tantangan terbesar adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk usia kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Jika pertumbuhan angkatan kerja tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai, maka pengangguran akan meningkat, terutama di kalangan pemuda.¹ Berdasarkan data BPS tahun 2023, tingkat pengangguran terbuka tertinggi masih didominasi oleh kelompok usia 15–24 tahun.² Tingginya pengangguran ini dapat mengurangi daya saing nasional dan memicu berbagai masalah sosial seperti kriminalitas dan ketidakstabilan sosial.

5.2.       Kesenjangan Kualitas Pendidikan dan Keterampilan

Sebagian besar penduduk usia produktif di Indonesia masih belum memiliki keterampilan kerja yang relevan dengan kebutuhan industri modern. Laporan World Bank menunjukkan bahwa mismatch antara dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan penyebab utama rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia.³ Pendidikan vokasional yang belum berkembang optimal dan rendahnya kualitas guru menjadi faktor penghambat peningkatan kualitas SDM.⁴

5.3.       Ketidaksiapan Industri Menyerap Tenaga Kerja

Pertumbuhan sektor industri dan manufaktur belum cukup signifikan untuk menyerap lonjakan jumlah tenaga kerja usia produktif. Struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh sektor informal dan pertanian, yang umumnya memiliki produktivitas rendah.⁵ Tanpa diversifikasi ekonomi dan penguatan sektor padat karya, peluang kerja yang bermutu akan tetap terbatas. Hal ini menjadi hambatan besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

5.4.       Masalah Kesehatan Masyarakat, Khususnya Stunting

Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, menjadi ancaman nyata terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia. Anak-anak yang mengalami stunting berisiko memiliki kemampuan kognitif dan produktivitas yang rendah saat dewasa.⁶ Menurut data Riskesdas tahun 2018, prevalensi stunting di Indonesia masih di atas 30 persen, yang berarti hampir satu dari tiga anak mengalami hambatan perkembangan yang signifikan.⁷ Jika tidak segera ditangani, generasi produktif masa depan akan kehilangan potensi maksimalnya.

5.5.       Ketimpangan Wilayah dalam Akses dan Peluang

Peluang bonus demografi tidak tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Kawasan-kawasan seperti Papua, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah timur Indonesia masih menghadapi keterbatasan infrastruktur, pendidikan, dan akses kesehatan.⁸ Ketimpangan ini menyebabkan efek bonus demografi lebih terasa di wilayah perkotaan dan Pulau Jawa, sementara daerah lainnya tertinggal. Jika tidak diatasi, ketimpangan ini dapat memperlebar jurang sosial-ekonomi antarwilayah.

5.6.       Partisipasi Perempuan dalam Dunia Kerja

Partisipasi perempuan dalam dunia kerja di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal, peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan merupakan salah satu kunci penting dalam mengoptimalkan bonus demografi.⁹ Budaya patriarki, minimnya fasilitas pendukung seperti layanan penitipan anak, dan diskriminasi gender menjadi faktor yang membatasi perempuan untuk berkontribusi di sektor formal.¹⁰

Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan tersebut, jelas bahwa bonus demografi bukanlah berkah otomatis, melainkan potensi yang membutuhkan pengelolaan yang cermat. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama dalam menciptakan ekosistem yang mendukung produktivitas, inovasi, dan pemerataan akses agar peluang ini benar-benar menjadi fondasi menuju Indonesia Emas 2045.


Footnotes

[1]                David E. Bloom et al., The Demographic Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2003), 28.

[2]                Badan Pusat Statistik (BPS), Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 12.

[3]                World Bank, Indonesia’s Rising Divide: Why Inequality is Rising and How to Address It (Washington, DC: World Bank, 2016), 47.

[4]                Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Educating Indonesia's Workforce,” Journal of Southeast Asian Economies 35, no. 3 (2018): 302.

[5]                Kementerian PPN/Bappenas, RPJMN 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 55.

[6]                United Nations Children’s Fund (UNICEF), Reducing Stunting in Children Under 5 Years of Age: A Comprehensive Evaluation of Indonesia’s Nutrition Programs (Jakarta: UNICEF, 2021), 5.

[7]                Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riskesdas 2018: Laporan Nasional (Jakarta: Kemenkes RI, 2019), 65.

[8]                UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia (Jakarta: UNFPA, 2016), 27.

[9]                World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2021 (Geneva: WEF, 2021), 211.

[10]             Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 91.


6.           Strategi Pemanfaatan Bonus Demografi

Agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban demografi, diperlukan strategi nasional yang terencana, inklusif, dan berkelanjutan. Pemanfaatan bonus demografi bergantung pada kemampuan negara dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas serta menciptakan ekosistem yang mampu menyerap tenaga kerja secara produktif.¹ Strategi ini harus mencakup lintas sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga tata kelola pemerintahan.

6.1.       Investasi pada Pendidikan dan Pelatihan Vokasi

Kunci utama pemanfaatan bonus demografi terletak pada peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akses terhadap pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan industri. Pendidikan tidak hanya perlu diperluas secara kuantitatif, tetapi juga ditingkatkan secara kualitas agar mampu melahirkan lulusan yang kompeten, adaptif, dan inovatif.² Menurut laporan Bank Dunia, investasi pada pendidikan anak dan remaja berbanding lurus dengan produktivitas dan daya saing nasional.³ Selain itu, penguatan lembaga pendidikan vokasional sangat penting untuk mempersiapkan tenaga kerja siap pakai di sektor manufaktur, teknologi, dan jasa.

6.2.       Penguatan Sektor Kesehatan Masyarakat

Kualitas kesehatan masyarakat, khususnya sejak usia dini, menentukan kapasitas kognitif dan produktivitas generasi mendatang. Penurunan angka stunting, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak, serta program kesehatan reproduksi adalah strategi krusial dalam mencetak generasi emas.⁴ WHO menekankan bahwa intervensi gizi pada seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) memiliki dampak jangka panjang terhadap kecerdasan dan produktivitas individu.⁵ Di Indonesia, integrasi layanan kesehatan berbasis keluarga, seperti melalui program Posyandu Prima, dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan strategi ini.

6.3.       Penciptaan Lapangan Kerja dan Dukungan terhadap UMKM

Pertumbuhan ekonomi harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor padat karya dan ekonomi kreatif.⁶ Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan UMKM melalui akses pembiayaan, pelatihan manajemen, dan pemasaran digital.⁷ UMKM menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional, sehingga penguatan sektor ini akan berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja usia produktif.⁸ Selain itu, pengembangan infrastruktur dan kawasan industri di luar Pulau Jawa penting untuk mengurangi ketimpangan regional.

6.4.       Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Marjinal

Partisipasi perempuan dalam dunia kerja merupakan komponen penting dalam mengoptimalkan bonus demografi. Pemerintah harus mendorong kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di tempat kerja, menyediakan layanan penitipan anak yang terjangkau, serta menghapuskan hambatan budaya dan struktural.⁹ Selain itu, kelompok marginal seperti penyandang disabilitas dan masyarakat adat juga harus dilibatkan dalam strategi pembangunan agar tidak terjadi eksklusi sosial.¹⁰

6.5.       Pemanfaatan Teknologi Digital dan Inovasi

Revolusi industri 4.0 membuka peluang baru bagi generasi muda untuk berperan dalam ekonomi digital. Pemerintah perlu mendorong transformasi digital di sektor pendidikan dan ekonomi, termasuk melalui pelatihan digital skill, pengembangan startup, serta kebijakan yang ramah terhadap inovasi.¹¹ Digitalisasi juga memungkinkan pemerataan akses informasi dan kesempatan kerja lintas wilayah, sekaligus meningkatkan efisiensi pelayanan publik.

6.6.       Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Implementasi strategi pemanfaatan bonus demografi membutuhkan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Koordinasi antarkementerian, pemda, sektor swasta, dan masyarakat sipil perlu diperkuat melalui regulasi yang jelas dan sistem pengawasan yang efektif.¹² Pendekatan berbasis data dan bukti (evidence-based policy) menjadi landasan utama dalam menyusun dan mengevaluasi kebijakan pembangunan.

Dengan menyusun strategi secara menyeluruh dan terintegrasi, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah bonus demografi menjadi mesin penggerak transformasi menuju Indonesia Emas 2045, yaitu negara yang maju, sejahtera, dan berdaya saing global.


Footnotes

[1]                David E. Bloom, David Canning, dan Jaypee Sevilla, The Demographic Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change (Santa Monica, CA: RAND, 2003), 31.

[2]                Gavin W. Jones, Population and Development in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), 130.

[3]                World Bank, World Development Report 2018: Learning to Realize Education’s Promise (Washington, DC: World Bank, 2018), 12.

[4]                UNICEF Indonesia, Strategies to Reduce Stunting in Indonesia (Jakarta: UNICEF, 2020), 7.

[5]                World Health Organization, Essential Nutrition Actions: Improving Maternal, Newborn, Infant and Young Child Health and Nutrition (Geneva: WHO, 2013), 15.

[6]                Kementerian PPN/Bappenas, RPJMN 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 64.

[7]                Asian Development Bank, Promoting SME Growth in Indonesia (Manila: ADB, 2020), 22.

[8]                Kementerian Koperasi dan UKM RI, Data UMKM Tahun 2022 (Jakarta: Kemenkop UKM, 2023), 3.

[9]                World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2022 (Geneva: WEF, 2022), 118.

[10]             UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia (Jakarta: UNFPA, 2016), 29.

[11]             Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 92.

[12]             Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Demography and Governance in Indonesia: Navigating Toward 2045,” Journal of Southeast Asian Economies 37, no. 2 (2020): 212.


7.           Perbandingan Internasional

Pengalaman negara-negara lain dalam menghadapi bonus demografi memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Beberapa negara berhasil memanfaatkan momentum ini untuk menciptakan economic take-off, sementara yang lain justru gagal karena lemahnya kesiapan struktural. Analisis perbandingan internasional menunjukkan bahwa keberhasilan dalam memanfaatkan bonus demografi sangat dipengaruhi oleh kualitas kebijakan publik, investasi pada sumber daya manusia, serta efisiensi lembaga ekonomi dan pemerintahan.

7.1.       Korea Selatan: Investasi pada Pendidikan dan Teknologi

Korea Selatan adalah contoh sukses pemanfaatan bonus demografi. Pada era 1960–1990, negara ini mengalami ledakan penduduk usia produktif, namun berhasil mengubahnya menjadi tenaga kerja berkualitas melalui investasi besar-besaran dalam pendidikan dan teknologi.¹ Pemerintah Korea menekankan pendidikan berbasis sains dan teknik, serta mendukung transformasi industri dari pertanian ke sektor manufaktur berteknologi tinggi.² Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan meningkat pesat, dari negara miskin pascaperang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

7.2.       Tiongkok: Reformasi Ekonomi dan Urbanisasi

Tiongkok mulai memasuki era bonus demografi pada awal 1980-an, bersamaan dengan dilakukannya reformasi ekonomi dan kebijakan satu anak. Proporsi penduduk usia produktif meningkat secara signifikan dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tahunan di atas 10% selama lebih dari dua dekade.³ Bonus demografi dimaksimalkan melalui industrialisasi, urbanisasi, dan pembukaan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Namun, tantangan muncul ketika proporsi lansia mulai meningkat cepat, sehingga Tiongkok kini menghadapi risiko aging population tanpa perlindungan sosial yang memadai.⁴

7.3.       Jepang: Sukses Awal, Tantangan Penuaan

Jepang juga meraih keuntungan dari bonus demografi pascaperang, khususnya pada era 1950–1980, melalui ekspansi industri dan teknologi tinggi.⁵ Namun, kegagalan dalam mendorong tingkat kelahiran dan mempertahankan jumlah penduduk usia kerja menyebabkan Jepang kini menghadapi tantangan penuaan populasi ekstrem (super-aged society).⁶ Ini menunjukkan bahwa keberhasilan memanfaatkan bonus demografi harus diikuti dengan kebijakan keberlanjutan jangka panjang dalam bidang keluarga, migrasi, dan produktivitas kerja.

7.4.       Negara-Negara Afrika Sub-Sahara: Peluang yang Tertunda

Sebaliknya, banyak negara di kawasan Afrika Sub-Sahara belum mampu memaksimalkan potensi bonus demografi karena lemahnya kapasitas institusi, tingginya tingkat kemiskinan, serta keterbatasan dalam sistem pendidikan dan kesehatan.⁷ Tanpa investasi yang memadai pada sumber daya manusia dan penciptaan lapangan kerja, lonjakan penduduk usia muda justru menimbulkan ketegangan sosial dan ekonomi. Studi oleh Bloom dan Canning menyebut kondisi ini sebagai "the risk of a lost generation" bila tidak segera diatasi.⁸

7.5.       Pelajaran bagi Indonesia

Dari perbandingan tersebut, Indonesia dapat mengambil pelajaran penting: bonus demografi tidak otomatis menghasilkan pertumbuhan, tetapi bergantung pada kebijakan yang responsif dan reformasi struktural yang berkelanjutan. Investasi pada pendidikan, penciptaan lapangan kerja berkualitas, penguatan sektor kesehatan, serta pemerataan pembangunan antarwilayah merupakan syarat mutlak.⁹ Indonesia juga harus mengantisipasi fase pasca-bonus demografi dengan mempersiapkan sistem perlindungan sosial dan ekonomi yang tangguh menghadapi penuaan penduduk.


Footnotes

[1]                Eun Mee Kim, The Four Asian Tigers: Economic Development and the Global Political Economy (Amsterdam: Elsevier, 1997), 86.

[2]                World Bank, Korea’s Development Experience: Lessons for Developing Countries (Washington, DC: World Bank, 2010), 22.

[3]                David E. Bloom, David Canning, dan Pia Malaney, “Demographic Change and Economic Growth in Asia,” Population and Development Review 26 (2000): 290.

[4]                Feng Wang, Yong Cai, dan Baochang Gu, “Population, Policy, and Politics: How Will History Judge China’s One-Child Policy?” Population and Development Review 38, no. 1 (2012): 120.

[5]                Naohiro Ogawa dan Robert D. Retherford, “Shifting Costs of Caring for the Elderly Back to Families in Japan: Will It Work?” Population and Development Review 23, no. 1 (1997): 65.

[6]                Martin Ljunge, “Demographic Change and Long-Term Economic Prospects in Japan,” Asian Economic Policy Review 8, no. 1 (2013): 30–31.

[7]                UNFPA, Demographic Dividend Opportunities in Africa (New York: UNFPA, 2017), 14.

[8]                David Bloom dan David Canning, “Demographics and Development Policy,” Development Outreach 8, no. 1 (2006): 16.

[9]                Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 94.


8.           Proyeksi Indonesia: Menuju Indonesia Emas 2045

Indonesia diproyeksikan akan mengalami momentum puncak bonus demografi pada periode 2020 hingga 2035, ditandai dengan dominasi penduduk usia produktif yang mencapai lebih dari 70% dari total populasi.¹ Momen ini sering disebut sebagai “jendela peluang demografis” (demographic window of opportunity), yang hanya terbuka sekali dalam sejarah suatu bangsa. Bila dimanfaatkan dengan baik, momentum ini diyakini dapat mengantar Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, yaitu visi strategis menjadikan Indonesia sebagai negara maju berpenghasilan tinggi pada satu abad kemerdekaannya.²

8.1.       Proyeksi Demografi dan Struktur Usia Penduduk

Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 diperkirakan mencapai sekitar 318,9 juta jiwa, dengan proporsi usia produktif (15–64 tahun) masih mendominasi.³ Namun, setelah tahun 2035, angka ketergantungan diprediksi mulai meningkat kembali seiring dengan bertambahnya jumlah lansia.⁴ Oleh karena itu, periode 2020–2035 menjadi masa krusial untuk mempersiapkan fondasi ekonomi dan sosial sebelum memasuki era penuaan penduduk.

8.2.       Konteks Visi Indonesia Emas 2045

Dalam dokumen Visi Indonesia 2045, pemerintah menetapkan empat pilar utama pembangunan: (1) pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK, (2) pembangunan ekonomi berkelanjutan, (3) pemerataan pembangunan, dan (4) ketahanan nasional serta tata kelola pemerintahan yang baik.⁵ Bonus demografi dianggap sebagai prasyarat penting untuk mewujudkan keempat pilar tersebut, khususnya dalam menghasilkan tenaga kerja unggul yang mampu bersaing di tingkat global.

8.3.       Peluang Ekonomi dan Transformasi Struktural

Jika dikelola dengan baik, bonus demografi diprediksi mampu menyumbang hingga 2% tambahan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya.⁶ Hal ini dapat dicapai melalui reformasi struktural yang mendorong transformasi ekonomi dari sektor primer ke sektor industri dan jasa bernilai tambah tinggi. Laporan McKinsey Global Institute bahkan menyebut bahwa Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar ke-7 dunia pada 2030 jika reformasi struktural dan pengembangan SDM dilakukan secara konsisten.⁷

8.4.       Tantangan Masa Depan: Menuju Penuaan Populasi

Meski saat ini Indonesia masih menikmati bonus demografi, tren demografi menunjukkan bahwa Indonesia juga akan menghadapi tantangan penuaan penduduk (aging population) di masa mendatang. Data Bappenas menyebutkan bahwa pada tahun 2045, sekitar 15% penduduk Indonesia akan berusia di atas 60 tahun.⁸ Oleh karena itu, selain memanfaatkan bonus demografi, Indonesia juga harus mempersiapkan sistem perlindungan sosial, layanan kesehatan lanjut usia, dan reformasi sistem pensiun.

8.5.       Peran Strategis Generasi Muda

Generasi milenial dan Gen Z yang kini mendominasi penduduk usia produktif harus diberdayakan sebagai aktor utama pembangunan. Mereka perlu dibekali dengan keterampilan abad ke-21, seperti literasi digital, kemampuan berpikir kritis, kewirausahaan, serta pendidikan karakter.⁹ Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama menciptakan ekosistem pendukung untuk menumbuhkan kreativitas, inovasi, dan etos kerja yang kompetitif agar generasi ini mampu menjadi penggerak transformasi Indonesia ke depan.

Dengan arah kebijakan yang tepat, pengelolaan SDM yang berkualitas, serta sinergi lintas sektor, bonus demografi dapat menjadi batu loncatan menuju pencapaian Indonesia Emas 2045. Namun, kegagalan dalam memanfaatkannya justru bisa menjadi hambatan besar dalam pembangunan nasional jangka panjang.


Footnotes

[1]                Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 34.

[2]                Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045: Menuju Negara Maju, Adil, dan Makmur (Jakarta: Bappenas, 2019), 5.

[3]                Ibid., 6.

[4]                Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Demographic Change and Its Implications for Indonesia’s Development,” Journal of Southeast Asian Economies 36, no. 3 (2019): 312.

[5]                Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045, 7–8.

[6]                David E. Bloom dan David Canning, “Demographics and Development Policy,” Development Outreach 8, no. 1 (2006): 17.

[7]                McKinsey Global Institute, The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential (New York: McKinsey & Company, 2012), 3.

[8]                Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 78.

[9]                World Bank, Indonesia Skills Report: Trends in Demand, Gaps, and Supply (Washington, DC: World Bank, 2019), 25.


9.           Kesimpulan

Bonus demografi merupakan peluang strategis sekaligus tantangan besar bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dengan proporsi penduduk usia produktif yang mencapai puncaknya pada periode 2020–2035, Indonesia memiliki jendela peluang demografis yang hanya terjadi sekali dalam sejarah peradaban bangsa.¹ Jika dimanfaatkan secara optimal, bonus demografi dapat menjadi mesin penggerak transformasi menuju Indonesia Emas 2045, yakni cita-cita besar menjadikan Indonesia sebagai negara maju, berdaya saing tinggi, dan sejahtera pada peringatan 100 tahun kemerdekaannya.²

Namun demikian, bonus demografi bukanlah hadiah otomatis yang menghasilkan kemajuan tanpa usaha. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi—seperti Korea Selatan dan Tiongkok—melakukan investasi besar-besaran pada pendidikan, kesehatan, industrialisasi, dan penciptaan lapangan kerja.³ Sebaliknya, kegagalan dalam memenuhi prasyarat dasar seperti kualitas sumber daya manusia, reformasi struktural ekonomi, dan pemerataan pembangunan justru membuat potensi bonus demografi menjadi liabilitas sosial dan ekonomi, sebagaimana terjadi di beberapa negara di Afrika Sub-Sahara.⁴

Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan besar, mulai dari pengangguran usia muda, kesenjangan pendidikan, rendahnya produktivitas tenaga kerja, hingga ancaman penuaan penduduk di masa depan.⁵ Oleh karena itu, strategi pemanfaatan bonus demografi harus dilandasi oleh perencanaan kebijakan lintas sektor yang komprehensif, partisipatif, dan berbasis data. Investasi pada pendidikan vokasi, layanan kesehatan primer, pemberdayaan perempuan, pengembangan UMKM, dan transformasi digital adalah kunci utama untuk menjawab tantangan tersebut.⁶

Selain itu, kualitas tata kelola pemerintahan akan sangat menentukan keberhasilan implementasi berbagai kebijakan strategis tersebut. Good governance, transparansi anggaran, serta sinergi antara pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat sipil perlu diperkuat agar dampak bonus demografi bisa dirasakan secara merata di seluruh pelosok negeri.⁷

Pada akhirnya, generasi muda Indonesia—terutama generasi milenial dan Gen Z—merupakan kunci utama dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Mereka perlu dibekali dengan keterampilan abad ke-21, etos kerja yang tangguh, serta nilai-nilai kebangsaan yang kuat agar mampu menjadi pelaku utama pembangunan nasional.⁸ Dengan komitmen kolektif seluruh elemen bangsa, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah bonus demografi menjadi dividen demografi yang mengantarkan pada kemajuan berkelanjutan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.


Footnotes

[1]                Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 34.

[2]                Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045: Menuju Negara Maju, Adil, dan Makmur (Jakarta: Bappenas, 2019), 5.

[3]                David E. Bloom dan Jeffrey G. Williamson, “Demographic Transitions and Economic Miracles in Emerging Asia,” The World Bank Economic Review 12, no. 3 (1998): 421.

[4]                UNFPA, Demographic Dividend Opportunities in Africa (New York: UNFPA, 2017), 13–15.

[5]                Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Demographic Change and Its Implications for Indonesia’s Development,” Journal of Southeast Asian Economies 36, no. 3 (2019): 309–314.

[6]                World Bank, Indonesia’s Global Workers: Critical Skills for the 21st Century (Washington, DC: World Bank, 2020), 29.

[7]                Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2 (2020): 95.

[8]                World Economic Forum, Future of Jobs Report 2023 (Geneva: WEF, 2023), 38.


Daftar Pustaka

Ananta, A., & Arifin, E. N. (2018). The demographic dividend: Opportunity or challenge? Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 19(1), 1–15.

Ananta, A., & Arifin, E. N. (2019). Demographic change and its implications for Indonesia’s development. Journal of Southeast Asian Economies, 36(3), 309–314.

Asian Development Bank. (2019). Asia’s economic transformation: Where to, how, and how fast? Manila: ADB.

Asian Development Bank. (2020). Promoting SME growth in Indonesia. Manila: ADB.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2021). Laporan tahunan kependudukan Indonesia 2020. Jakarta: BKKBN.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2019). Riskesdas 2018: Laporan nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Badan Pusat Statistik. (2017). Proyeksi penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik. (2023). Keadaan ketenagakerjaan Indonesia Februari 2023. Jakarta: BPS.

Bloom, D. E., & Canning, D. (2006). Demographics and development policy. Development Outreach, 8(1), 14–17.

Bloom, D. E., Canning, D., & Malaney, P. (2000). Demographic change and economic growth in Asia. Population and Development Review, 26, 257–290.

Bloom, D. E., Canning, D., & Sevilla, J. (2003). The demographic dividend: A new perspective on the economic consequences of population change. Santa Monica, CA: RAND Corporation.

Bloom, D. E., & Williamson, J. G. (1998). Demographic transitions and economic miracles in emerging Asia. The World Bank Economic Review, 12(3), 419–455.

Eberstadt, N., & Shah, A. (2012). Fertility decline in the Muslim world. Policy Review, 171, 35–45.

Feng, W., Cai, Y., & Gu, B. (2012). Population, policy, and politics: How will history judge China’s one-child policy? Population and Development Review, 38(1), 115–129.

Jones, G. W. (2013). Family planning and population policy in Indonesia. Jakarta: BKKBN and UNFPA.

Jones, G. W. (2015). Population and development in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2023). Data UMKM tahun 2022. Jakarta: Kemenkop UKM.

Kementerian PPN/Bappenas. (2018). Roadmap bonus demografi Indonesia. Jakarta: Bappenas.

Kementerian PPN/Bappenas. (2019). Visi Indonesia 2045: Menuju negara maju, adil, dan makmur. Jakarta: Bappenas.

Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020–2024. Jakarta: Bappenas.

Kim, E. M. (1997). The four Asian tigers: Economic development and the global political economy. Amsterdam: Elsevier.

Ljunge, M. (2013). Demographic change and long-term economic prospects in Japan. Asian Economic Policy Review, 8(1), 30–45.

McKinsey Global Institute. (2012). The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential. New York: McKinsey & Company.

May, J. (2012). World population policies: Their origin, evolution, and impact. Population and Development Review, 38(1), 85–110.

Ogawa, N., & Retherford, R. D. (1997). Shifting costs of caring for the elderly back to families in Japan: Will it work? Population and Development Review, 23(1), 59–94.

UNFPA. (2014). State of world population 2014: The power of 1.8 billion. New York: UNFPA.

UNFPA. (2016). Harnessing the demographic dividend in Indonesia. Jakarta: UNFPA.

UNFPA. (2017). Demographic dividend opportunities in Africa. New York: UNFPA.

UNICEF. (2020). Strategies to reduce stunting in Indonesia. Jakarta: UNICEF.

UNICEF. (2021). Reducing stunting in children under 5 years of age: A comprehensive evaluation of Indonesia’s nutrition programs. Jakarta: UNICEF.

United Nations Population Division. (2019). World population prospects 2019. New York: United Nations.

World Bank. (2016). Indonesia’s rising divide: Why inequality is rising and how to address it. Washington, DC: World Bank.

World Bank. (2018). World development report 2018: Learning to realize education’s promise. Washington, DC: World Bank.

World Bank. (2019). Indonesia skills report: Trends in demand, gaps, and supply. Washington, DC: World Bank.

World Bank. (2020). Indonesia’s global workers: Critical skills for the 21st century. Washington, DC: World Bank.

World Economic Forum. (2021). Global gender gap report 2021. Geneva: World Economic Forum.

World Economic Forum. (2022). Global gender gap report 2022. Geneva: World Economic Forum.

World Economic Forum. (2023). Future of jobs report 2023. Geneva: World Economic Forum.

World Health Organization. (2013). Essential nutrition actions: Improving maternal, newborn, infant and young child health and nutrition. Geneva: WHO.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar