Bonus Demografi
Peluang Emas Menuju Indonesia Emas 2045
Abstrak
Bonus demografi merupakan fenomena perubahan
struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya proporsi usia produktif
(15–64 tahun) dibandingkan usia nonproduktif. Indonesia tengah berada dalam
fase bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada periode
2020–2035. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif pengertian,
syarat, manfaat, tantangan, serta strategi pemanfaatan bonus demografi, dengan
mengacu pada referensi-referensi ilmiah dan data statistik resmi. Studi ini
juga membandingkan pengalaman beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok,
dan Jepang dalam mengelola bonus demografi serta menyoroti proyeksi Indonesia
menuju Visi Indonesia Emas 2045. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun bonus
demografi memberikan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, keberhasilannya sangat ditentukan oleh kualitas kebijakan
publik, investasi pada sumber daya manusia, penciptaan lapangan kerja, serta
tata kelola pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu, pengelolaan bonus
demografi harus dilakukan secara terencana dan menyeluruh agar dapat menjadi
fondasi pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.
Kata kunci: Bonus
demografi, usia produktif, pembangunan berkelanjutan, Indonesia Emas 2045,
strategi pembangunan, transisi demografi.
PEMBAHASAN
Bonus Demografi Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Perubahan struktur
demografi suatu negara sering kali membawa dampak besar terhadap pembangunan
sosial dan ekonomi. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan utama para
perencana pembangunan dewasa ini adalah bonus demografi—suatu kondisi
ketika proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar
dibandingkan dengan usia nonproduktif (anak-anak dan lansia). Fenomena ini
dianggap sebagai peluang emas bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk
memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, serta mendorong transformasi sosial yang lebih progresif.¹
Menurut proyeksi
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia tengah berada
dalam fase bonus demografi yang diperkirakan akan mencapai puncaknya antara
tahun 2020 hingga 2035.² Pada fase ini, rasio ketergantungan penduduk berada
pada titik terendah, yang berarti beban yang ditanggung oleh penduduk usia
produktif menjadi lebih ringan, sehingga memberikan potensi lebih besar untuk
pertumbuhan ekonomi.³ Namun, bonus demografi bukanlah sebuah jaminan otomatis
bagi kemajuan. Tanpa perencanaan yang matang, investasi pada pendidikan,
kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja, keunggulan demografis ini justru bisa
menjadi beban demografi yang menimbulkan berbagai permasalahan sosial baru,
seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.⁴
Berbagai negara di
dunia telah mengalami fase bonus demografi dengan hasil yang berbeda-beda.
Negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok mampu memanfaatkannya untuk mendorong
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi pesat. Sebaliknya, beberapa negara di
kawasan Afrika mengalami stagnasi karena tidak mampu mengelola sumber daya
manusianya secara optimal.⁵ Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia
agar dapat menyusun kebijakan yang tepat dan menyeluruh demi mengubah bonus
demografi menjadi momentum menuju Indonesia Emas 2045, yakni visi
pembangunan jangka panjang ketika Indonesia diharapkan menjadi negara maju pada
usia ke-100 tahun kemerdekaannya.⁶
Oleh karena itu, artikel
ini bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif pengertian, syarat,
potensi, tantangan, serta strategi pemanfaatan bonus demografi, dengan merujuk
pada data dan analisis dari sumber-sumber ilmiah dan institusi kredibel. Dengan
pemahaman yang menyeluruh, diharapkan masyarakat dan para pemangku kebijakan
dapat mengambil peran aktif dalam mengoptimalkan peluang emas ini demi masa
depan Indonesia yang lebih sejahtera dan berdaya saing.
Footnotes
[1]
Gavin W. Jones, Population and Development in Indonesia
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), 123.
[2]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Roadmap Bonus
Demografi Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2018), 4.
[3]
Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil
SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 35.
[4]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 85–102.
[5]
David Bloom et al., “Demographic Dividend: New Perspective on the
Economic Consequences of Population Change,” Population Matters (New
York: RAND Corporation, 2003), 27–30.
[6]
Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045 (Jakarta:
Bappenas, 2019), 9.
2.
Pengertian Bonus Demografi
Bonus demografi
(demographic dividend) adalah suatu kondisi ketika proporsi penduduk usia
produktif (15–64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia
nonproduktif (0–14 tahun dan 65 tahun ke atas), sehingga rasio ketergantungan
penduduk menjadi rendah. Dalam keadaan ini, suatu negara memiliki potensi besar
untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, karena jumlah
penduduk yang bekerja dan berkontribusi terhadap pembangunan jauh lebih banyak
daripada jumlah penduduk yang menjadi tanggungan.¹
Menurut Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bonus demografi adalah "suatu
keadaan di mana jumlah penduduk usia produktif sangat besar sebagai hasil dari
penurunan tingkat kelahiran dan kematian, yang memberikan peluang percepatan
pembangunan ekonomi jika penduduk usia produktif tersebut terserap dalam
lapangan kerja secara optimal."_² Definisi ini menekankan pentingnya
keterkaitan antara struktur demografi dan kebijakan ekonomi dalam mewujudkan
manfaat dari kondisi tersebut.
Dalam konteks
global, United Nations Population Fund (UNFPA) menjelaskan bahwa demographic
dividend merupakan potensi pertumbuhan ekonomi yang muncul dari
perubahan struktur umur penduduk, terutama ketika proporsi usia kerja meningkat
dan mampu disertai dengan investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan kesempatan
kerja yang memadai.³ Dengan kata lain, bonus demografi bukanlah keuntungan
otomatis, melainkan peluang yang harus dikelola dengan strategi yang tepat.
Para ahli demografi
juga menekankan bahwa bonus demografi merupakan fase transisi yang tidak
berlangsung lama. Bloom dan Canning menyebutnya sebagai window
of opportunity—jendela peluang—yang hanya terbuka dalam waktu
tertentu dan akan tertutup kembali seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk
lansia.⁴ Maka dari itu, waktu menjadi faktor krusial dalam memanfaatkan peluang
ini secara optimal.
Karakteristik utama
dari bonus demografi adalah menurunnya angka ketergantungan penduduk
(dependency ratio). Angka ini dihitung dari perbandingan antara jumlah penduduk
usia nonproduktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Ketika rasio
ketergantungan turun, setiap individu usia produktif secara statistik
menanggung beban lebih sedikit, yang dalam konteks ekonomi dapat diterjemahkan
sebagai peningkatan potensi tabungan dan investasi domestik.⁵
Di Indonesia,
momentum bonus demografi diperkirakan berlangsung dari sekitar tahun 2020
hingga 2035, ketika jumlah penduduk usia produktif mencapai lebih dari 70% dari
total populasi.⁶ Oleh karena itu, pengenalan dan pemahaman terhadap konsep
bonus demografi menjadi penting sebagai landasan dalam menyusun kebijakan
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
daya saing nasional.
Footnotes
[1]
Gavin W. Jones, Population and Development in Indonesia
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), 125.
[2]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Roadmap Bonus
Demografi Indonesia (Jakarta: Bappenas, 2018), 3.
[3]
United Nations Population Fund (UNFPA), State of World Population
2014: The Power of 1.8 Billion (New York: UNFPA, 2014), 11.
[4]
David E. Bloom and David Canning, “Demographic Change and Economic
Growth in Asia,” Asian Economic Policy Review 4, no. 1 (2009): 46.
[5]
Nicholas Eberstadt and Apoorva Shah, “Fertility Decline in the Muslim
World,” Policy Review no. 171 (2012): 36.
[6]
Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil
SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 42.
3.
Syarat Terjadinya Bonus Demografi
Bonus demografi
tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses transisi demografi
yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Transisi ini terjadi ketika suatu
negara mengalami perubahan pola kependudukan dari tingkat kelahiran dan
kematian yang tinggi menjadi lebih rendah, yang berdampak pada perubahan
struktur umur penduduk.¹ Tahapan ini menciptakan kondisi di mana proporsi
penduduk usia produktif meningkat secara signifikan dibandingkan dengan
penduduk usia nonproduktif.
3.1.
Penurunan Tingkat
Kelahiran dan Kematian
Syarat pertama untuk
terjadinya bonus demografi adalah penurunan angka kelahiran (fertility rate)
dan angka kematian (mortality rate), terutama kematian bayi. Penurunan ini
biasanya dipengaruhi oleh peningkatan akses terhadap layanan kesehatan,
pendidikan, serta kesadaran keluarga akan pentingnya perencanaan keluarga.²
Dengan tingkat kelahiran yang menurun, jumlah anak yang lahir menjadi lebih
sedikit, sehingga mengurangi beban ketergantungan penduduk muda terhadap
kelompok usia produktif.³
3.2.
Peningkatan Proporsi
Usia Produktif
Bonus demografi
hanya dapat tercapai apabila terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah
penduduk usia produktif (15–64 tahun). Proporsi ini menjadi dominan dalam
struktur penduduk nasional, yang pada akhirnya dapat memperbesar kapasitas
tenaga kerja dan potensi produktivitas ekonomi nasional.⁴ Menurut proyeksi BPS,
pada tahun 2030 diperkirakan lebih dari 70% penduduk Indonesia berada dalam
rentang usia produktif, yang menjadi momen krusial bagi pembangunan ekonomi.⁵
3.3.
Penurunan Angka
Ketergantungan (Dependency Ratio)
Rasio ketergantungan
adalah ukuran penting dalam menilai terjadinya bonus demografi. Semakin rendah
angka ketergantungan, maka semakin kecil pula beban ekonomi yang ditanggung
oleh penduduk usia produktif untuk membiayai kebutuhan kelompok usia muda (0–14
tahun) dan lanjut usia (65 tahun ke atas). Ketika rasio ini mencapai titik
minimum, negara memiliki ruang fiskal dan sumber daya yang lebih besar untuk
diinvestasikan ke dalam sektor-sektor produktif.⁶
3.4.
Peningkatan
Investasi pada Sumber Daya Manusia
Bonus demografi
hanya dapat membawa manfaat maksimal jika penduduk usia produktif memiliki
kualitas yang tinggi, baik dari segi pendidikan, keterampilan, maupun
kesehatan. Investasi dalam pendidikan, pelatihan vokasi, dan pelayanan
kesehatan menjadi prasyarat penting agar angkatan kerja mampu memenuhi tuntutan
pasar dan berkontribusi optimal terhadap pertumbuhan ekonomi.⁷ Tanpa kualitas
SDM yang memadai, bonus demografi justru bisa berbalik menjadi beban demografi
karena tingginya pengangguran dan rendahnya produktivitas.⁸
3.5.
Tersedianya Lapangan
Kerja yang Memadai
Ketersediaan
lapangan kerja yang cukup dan inklusif menjadi syarat penting lainnya. Jika
penduduk usia produktif tidak dapat terserap ke dalam dunia kerja, maka potensi
bonus demografi akan hilang dan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial
seperti pengangguran struktural, kemiskinan, dan ketimpangan sosial.⁹ Oleh
karena itu, perlu adanya sinergi antara dunia pendidikan dan dunia kerja,
termasuk dukungan kebijakan industri dan UMKM untuk menyerap tenaga kerja usia
muda secara produktif.¹⁰
Dengan demikian,
terjadinya bonus demografi sangat bergantung pada keberhasilan negara dalam
mengelola faktor-faktor fundamental tersebut. Tanpa strategi yang komprehensif
dan terarah, keunggulan struktur demografi ini akan menjadi peluang yang
terbuang sia-sia.
Footnotes
[1]
David E. Bloom dan Jeffrey G. Williamson, “Demographic Transitions and
Economic Miracles in Emerging Asia,” The World Bank Economic Review
12, no. 3 (1998): 424.
[2]
Gavin W. Jones, Family Planning and Population Policy in Indonesia
(Jakarta: BKKBN and UNFPA, 2013), 78.
[3]
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Laporan
Tahunan Kependudukan Indonesia 2020 (Jakarta: BKKBN, 2021), 27.
[4]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 88.
[5]
Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil
SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 44.
[6]
United Nations Population Division, World Population Prospects 2019
(New York: United Nations, 2019), 11.
[7]
Kementerian PPN/Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 33.
[8]
Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “The Demographic Dividend:
Opportunity or Challenge?” Journal of Indonesian Social Sciences and
Humanities 19, no. 1 (2018): 9.
[9]
David Bloom et al., “Realizing the Demographic Dividend: Is Africa Any
Different?” African Development Review 26, no. 2 (2014): 213.
[10]
UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia
(Jakarta: UNFPA, 2016), 18.
4.
Manfaat dan Potensi Bonus Demografi
Bonus demografi
memberikan peluang luar biasa bagi suatu negara untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakatnya. Ketika proporsi penduduk usia
produktif mencapai puncaknya, negara memiliki potensi besar untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang cepat, memperkuat fondasi pembangunan berkelanjutan,
serta menciptakan transformasi sosial yang progresif. Namun, manfaat-manfaat
ini hanya dapat diraih jika penduduk usia produktif tersebut diberdayakan
secara optimal melalui kebijakan yang tepat dan inklusif.
4.1.
Pertumbuhan Ekonomi
yang Lebih Cepat
Salah satu manfaat
utama dari bonus demografi adalah potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi. Ketika sebagian besar penduduk berada dalam usia produktif
dan memiliki akses terhadap lapangan kerja yang memadai, output ekonomi
nasional dapat meningkat secara signifikan.¹ Menurut Bloom dan Williamson,
peningkatan proporsi usia produktif dapat menyumbang antara sepertiga hingga
setengah dari pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur selama periode
keemasan mereka.²
4.2.
Peningkatan
Produktivitas dan Pendapatan Per Kapita
Dengan jumlah tenaga
kerja yang besar dan produktif, negara memiliki peluang untuk meningkatkan
produktivitas nasional. Hal ini berimplikasi langsung pada kenaikan pendapatan
per kapita dan pengurangan angka kemiskinan.³ Produktivitas yang tinggi, jika
diiringi oleh pertumbuhan sektor industri dan jasa, akan mempercepat
transformasi ekonomi dari berbasis pertanian menuju ekonomi berbasis
pengetahuan dan teknologi.⁴
4.3.
Peningkatan Tabungan
dan Investasi Nasional
Dalam kondisi ideal,
penduduk usia produktif cenderung memiliki kecenderungan menabung lebih tinggi
daripada usia nonproduktif. Akumulasi tabungan ini dapat menjadi sumber
pembiayaan domestik bagi investasi pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan
kesehatan, tanpa terlalu bergantung pada modal asing.⁵ Menurut laporan Asian
Development Bank, peningkatan tabungan nasional selama periode bonus demografi
dapat memperkuat kestabilan makroekonomi dan memperluas kapasitas fiskal
negara.⁶
4.4.
Inovasi dan
Kewirausahaan Anak Muda
Generasi muda
merupakan kekuatan potensial dalam menciptakan inovasi dan membangun
kewirausahaan. Bonus demografi mendorong hadirnya gelombang generasi milenial
dan generasi Z yang lebih melek teknologi, kreatif, serta adaptif terhadap
perubahan.⁷ Kondisi ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi digital dan
industri kreatif apabila difasilitasi dengan ekosistem yang mendukung, seperti
akses modal, pelatihan keterampilan, dan kebijakan ramah inovasi.⁸
4.5.
Peluang Meningkatkan
Kesejahteraan Sosial
Dengan meningkatnya
produktivitas dan pendapatan negara, pemerintah memiliki potensi untuk
meningkatkan alokasi anggaran bagi sektor-sektor sosial seperti pendidikan,
kesehatan, dan perlindungan sosial.⁹ Hal ini akan menciptakan efek ganda
(multiplier effect) terhadap kualitas hidup masyarakat dan memperkuat modal
sosial bangsa.
Namun demikian,
manfaat-manfaat tersebut tidak akan tercapai tanpa perencanaan strategis yang
komprehensif. Bonus demografi adalah potensi yang harus dikapitalisasi melalui
investasi besar-besaran dalam kualitas sumber daya manusia dan pembangunan
ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
John May, “World Population Policies: Their Origin, Evolution, and
Impact,” Population and Development Review 38, no. 1 (2012): 92.
[2]
David E. Bloom dan Jeffrey G. Williamson, “Demographic Transitions and
Economic Miracles in Emerging Asia,” The World Bank Economic Review
12, no. 3 (1998): 423.
[3]
Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “The Demographic Dividend:
Opportunity or Challenge?” Journal of Indonesian Social Sciences and
Humanities 19, no. 1 (2018): 10.
[4]
United Nations Population Fund (UNFPA), State of World Population
2014: The Power of 1.8 Billion (New York: UNFPA, 2014), 14.
[5]
David Bloom, David Canning, dan Jaypee Sevilla, The Demographic
Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change
(Santa Monica, CA: RAND, 2003), 25.
[6]
Asian Development Bank, Asia’s Economic Transformation: Where to,
How, and How Fast? (Manila: ADB, 2019), 58.
[7]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 90.
[8]
Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 42.
[9]
UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia
(Jakarta: UNFPA, 2016), 22.
5.
Tantangan dalam Memanfaatkan Bonus Demografi
Meskipun bonus
demografi menawarkan peluang besar bagi kemajuan suatu negara, potensi ini tidak
akan otomatis menjadi kenyataan tanpa adanya strategi dan kesiapan sistemik.
Bahkan, tanpa pengelolaan yang baik, struktur demografi yang didominasi oleh
penduduk usia produktif justru dapat menjadi sumber masalah baru. Oleh karena
itu, penting untuk mengenali berbagai tantangan utama dalam memanfaatkan bonus
demografi agar tidak berubah menjadi bencana demografi (demographic
disaster).
5.1.
Tingginya
Pengangguran Usia Produktif
Salah satu tantangan
terbesar adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk
usia kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Jika pertumbuhan
angkatan kerja tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai,
maka pengangguran akan meningkat, terutama di kalangan pemuda.¹ Berdasarkan
data BPS tahun 2023, tingkat pengangguran terbuka tertinggi masih didominasi
oleh kelompok usia 15–24 tahun.² Tingginya pengangguran ini dapat mengurangi
daya saing nasional dan memicu berbagai masalah sosial seperti kriminalitas dan
ketidakstabilan sosial.
5.2.
Kesenjangan Kualitas
Pendidikan dan Keterampilan
Sebagian besar
penduduk usia produktif di Indonesia masih belum memiliki keterampilan kerja
yang relevan dengan kebutuhan industri modern. Laporan World Bank menunjukkan
bahwa mismatch
antara dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan penyebab utama rendahnya
produktivitas tenaga kerja Indonesia.³ Pendidikan vokasional yang belum
berkembang optimal dan rendahnya kualitas guru menjadi faktor penghambat
peningkatan kualitas SDM.⁴
5.3.
Ketidaksiapan
Industri Menyerap Tenaga Kerja
Pertumbuhan sektor
industri dan manufaktur belum cukup signifikan untuk menyerap lonjakan jumlah
tenaga kerja usia produktif. Struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh
sektor informal dan pertanian, yang umumnya memiliki produktivitas rendah.⁵ Tanpa
diversifikasi ekonomi dan penguatan sektor padat karya, peluang kerja yang
bermutu akan tetap terbatas. Hal ini menjadi hambatan besar dalam menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
5.4.
Masalah Kesehatan
Masyarakat, Khususnya Stunting
Stunting atau
kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, menjadi ancaman
nyata terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia. Anak-anak yang mengalami
stunting berisiko memiliki kemampuan kognitif dan produktivitas yang rendah
saat dewasa.⁶ Menurut data Riskesdas tahun 2018, prevalensi stunting di
Indonesia masih di atas 30 persen, yang berarti hampir satu dari tiga anak
mengalami hambatan perkembangan yang signifikan.⁷ Jika tidak segera ditangani,
generasi produktif masa depan akan kehilangan potensi maksimalnya.
5.5.
Ketimpangan Wilayah
dalam Akses dan Peluang
Peluang bonus
demografi tidak tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Kawasan-kawasan
seperti Papua, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah timur Indonesia masih
menghadapi keterbatasan infrastruktur, pendidikan, dan akses kesehatan.⁸
Ketimpangan ini menyebabkan efek bonus demografi lebih terasa di wilayah
perkotaan dan Pulau Jawa, sementara daerah lainnya tertinggal. Jika tidak
diatasi, ketimpangan ini dapat memperlebar jurang sosial-ekonomi antarwilayah.
5.6.
Partisipasi
Perempuan dalam Dunia Kerja
Partisipasi
perempuan dalam dunia kerja di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal,
peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan merupakan salah satu kunci
penting dalam mengoptimalkan bonus demografi.⁹ Budaya patriarki, minimnya
fasilitas pendukung seperti layanan penitipan anak, dan diskriminasi gender
menjadi faktor yang membatasi perempuan untuk berkontribusi di sektor formal.¹⁰
Dengan
mempertimbangkan berbagai tantangan tersebut, jelas bahwa bonus demografi
bukanlah berkah otomatis, melainkan potensi yang membutuhkan pengelolaan yang
cermat. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama dalam
menciptakan ekosistem yang mendukung produktivitas, inovasi, dan pemerataan
akses agar peluang ini benar-benar menjadi fondasi menuju Indonesia Emas 2045.
Footnotes
[1]
David E. Bloom et al., The Demographic Dividend: A New Perspective
on the Economic Consequences of Population Change (Santa Monica, CA: RAND
Corporation, 2003), 28.
[2]
Badan Pusat Statistik (BPS), Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia
Februari 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 12.
[3]
World Bank, Indonesia’s Rising Divide: Why Inequality is Rising and
How to Address It (Washington, DC: World Bank, 2016), 47.
[4]
Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Educating Indonesia's Workforce,”
Journal of Southeast Asian Economies 35, no. 3 (2018): 302.
[5]
Kementerian PPN/Bappenas, RPJMN 2020–2024 (Jakarta: Bappenas,
2020), 55.
[6]
United Nations Children’s Fund (UNICEF), Reducing Stunting in
Children Under 5 Years of Age: A Comprehensive Evaluation of Indonesia’s
Nutrition Programs (Jakarta: UNICEF, 2021), 5.
[7]
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riskesdas 2018:
Laporan Nasional (Jakarta: Kemenkes RI, 2019), 65.
[8]
UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia
(Jakarta: UNFPA, 2016), 27.
[9]
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2021 (Geneva:
WEF, 2021), 211.
[10]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 91.
6.
Strategi Pemanfaatan Bonus Demografi
Agar bonus demografi
tidak berubah menjadi beban demografi, diperlukan strategi nasional yang
terencana, inklusif, dan berkelanjutan. Pemanfaatan bonus demografi bergantung
pada kemampuan negara dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas
serta menciptakan ekosistem yang mampu menyerap tenaga kerja secara produktif.¹
Strategi ini harus mencakup lintas sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan,
ekonomi, hingga tata kelola pemerintahan.
6.1.
Investasi pada
Pendidikan dan Pelatihan Vokasi
Kunci utama
pemanfaatan bonus demografi terletak pada peningkatan kualitas pendidikan
dan perluasan akses terhadap pelatihan vokasi yang relevan
dengan kebutuhan industri. Pendidikan tidak hanya perlu diperluas secara
kuantitatif, tetapi juga ditingkatkan secara kualitas agar mampu melahirkan
lulusan yang kompeten, adaptif, dan inovatif.² Menurut laporan Bank Dunia,
investasi pada pendidikan anak dan remaja berbanding lurus dengan produktivitas
dan daya saing nasional.³ Selain itu, penguatan lembaga pendidikan vokasional
sangat penting untuk mempersiapkan tenaga kerja siap pakai di sektor
manufaktur, teknologi, dan jasa.
6.2.
Penguatan Sektor
Kesehatan Masyarakat
Kualitas kesehatan
masyarakat, khususnya sejak usia dini, menentukan kapasitas kognitif dan produktivitas
generasi mendatang. Penurunan angka stunting, peningkatan akses terhadap
layanan kesehatan ibu dan anak, serta program kesehatan reproduksi adalah
strategi krusial dalam mencetak generasi emas.⁴ WHO menekankan bahwa intervensi
gizi pada seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) memiliki dampak jangka
panjang terhadap kecerdasan dan produktivitas individu.⁵ Di Indonesia,
integrasi layanan kesehatan berbasis keluarga, seperti melalui program Posyandu
Prima, dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan strategi ini.
6.3.
Penciptaan Lapangan
Kerja dan Dukungan terhadap UMKM
Pertumbuhan ekonomi
harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja baru, terutama di
sektor-sektor padat karya dan ekonomi kreatif.⁶ Pemerintah perlu memfasilitasi
pengembangan UMKM melalui akses pembiayaan, pelatihan manajemen, dan pemasaran
digital.⁷ UMKM menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional, sehingga
penguatan sektor ini akan berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja usia
produktif.⁸ Selain itu, pengembangan infrastruktur dan kawasan industri di luar
Pulau Jawa penting untuk mengurangi ketimpangan regional.
6.4.
Pemberdayaan
Perempuan dan Kelompok Marjinal
Partisipasi
perempuan dalam dunia kerja merupakan komponen penting dalam mengoptimalkan
bonus demografi. Pemerintah harus mendorong kebijakan yang mendukung kesetaraan
gender di tempat kerja, menyediakan layanan penitipan anak yang terjangkau,
serta menghapuskan hambatan budaya dan struktural.⁹ Selain itu, kelompok
marginal seperti penyandang disabilitas dan masyarakat adat juga harus
dilibatkan dalam strategi pembangunan agar tidak terjadi eksklusi sosial.¹⁰
6.5.
Pemanfaatan
Teknologi Digital dan Inovasi
Revolusi industri
4.0 membuka peluang baru bagi generasi muda untuk berperan dalam ekonomi
digital. Pemerintah perlu mendorong transformasi digital di sektor pendidikan
dan ekonomi, termasuk melalui pelatihan digital skill, pengembangan startup,
serta kebijakan yang ramah terhadap inovasi.¹¹ Digitalisasi juga memungkinkan
pemerataan akses informasi dan kesempatan kerja lintas wilayah, sekaligus
meningkatkan efisiensi pelayanan publik.
6.6.
Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Implementasi
strategi pemanfaatan bonus demografi membutuhkan tata kelola pemerintahan yang
transparan, akuntabel, dan partisipatif. Koordinasi antarkementerian, pemda,
sektor swasta, dan masyarakat sipil perlu diperkuat melalui regulasi yang jelas
dan sistem pengawasan yang efektif.¹² Pendekatan berbasis data dan bukti
(evidence-based policy) menjadi landasan utama dalam menyusun dan mengevaluasi
kebijakan pembangunan.
Dengan menyusun
strategi secara menyeluruh dan terintegrasi, Indonesia memiliki peluang besar
untuk mengubah bonus demografi menjadi mesin penggerak transformasi menuju Indonesia
Emas 2045, yaitu negara yang maju, sejahtera, dan berdaya saing
global.
Footnotes
[1]
David E. Bloom, David Canning, dan Jaypee Sevilla, The Demographic
Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change
(Santa Monica, CA: RAND, 2003), 31.
[2]
Gavin W. Jones, Population and Development in Indonesia
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2015), 130.
[3]
World Bank, World Development Report 2018: Learning to Realize
Education’s Promise (Washington, DC: World Bank, 2018), 12.
[4]
UNICEF Indonesia, Strategies to Reduce Stunting in Indonesia
(Jakarta: UNICEF, 2020), 7.
[5]
World Health Organization, Essential Nutrition Actions: Improving
Maternal, Newborn, Infant and Young Child Health and Nutrition (Geneva:
WHO, 2013), 15.
[6]
Kementerian PPN/Bappenas, RPJMN 2020–2024 (Jakarta: Bappenas,
2020), 64.
[7]
Asian Development Bank, Promoting SME Growth in Indonesia
(Manila: ADB, 2020), 22.
[8]
Kementerian Koperasi dan UKM RI, Data UMKM Tahun 2022
(Jakarta: Kemenkop UKM, 2023), 3.
[9]
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2022 (Geneva:
WEF, 2022), 118.
[10]
UNFPA Indonesia, Harnessing the Demographic Dividend in Indonesia
(Jakarta: UNFPA, 2016), 29.
[11]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 92.
[12]
Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Demography and Governance in
Indonesia: Navigating Toward 2045,” Journal of Southeast Asian Economies
37, no. 2 (2020): 212.
7.
Perbandingan Internasional
Pengalaman
negara-negara lain dalam menghadapi bonus demografi memberikan pelajaran
berharga bagi Indonesia. Beberapa negara berhasil memanfaatkan momentum ini
untuk menciptakan economic take-off, sementara yang
lain justru gagal karena lemahnya kesiapan struktural. Analisis perbandingan
internasional menunjukkan bahwa keberhasilan dalam memanfaatkan bonus demografi
sangat dipengaruhi oleh kualitas kebijakan publik, investasi pada sumber daya
manusia, serta efisiensi lembaga ekonomi dan pemerintahan.
7.1.
Korea Selatan:
Investasi pada Pendidikan dan Teknologi
Korea Selatan adalah
contoh sukses pemanfaatan bonus demografi. Pada era 1960–1990, negara ini
mengalami ledakan penduduk usia produktif, namun berhasil mengubahnya menjadi
tenaga kerja berkualitas melalui investasi besar-besaran dalam pendidikan dan
teknologi.¹ Pemerintah Korea menekankan pendidikan berbasis sains dan teknik,
serta mendukung transformasi industri dari pertanian ke sektor manufaktur
berteknologi tinggi.² Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan meningkat
pesat, dari negara miskin pascaperang menjadi salah satu kekuatan ekonomi
dunia.
7.2.
Tiongkok: Reformasi
Ekonomi dan Urbanisasi
Tiongkok mulai
memasuki era bonus demografi pada awal 1980-an, bersamaan dengan dilakukannya
reformasi ekonomi dan kebijakan satu anak. Proporsi penduduk usia produktif
meningkat secara signifikan dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tahunan
di atas 10% selama lebih dari dua dekade.³ Bonus demografi dimaksimalkan
melalui industrialisasi, urbanisasi, dan pembukaan pasar tenaga kerja yang
fleksibel. Namun, tantangan muncul ketika proporsi lansia mulai meningkat
cepat, sehingga Tiongkok kini menghadapi risiko aging population tanpa perlindungan
sosial yang memadai.⁴
7.3.
Jepang: Sukses Awal,
Tantangan Penuaan
Jepang juga meraih
keuntungan dari bonus demografi pascaperang, khususnya pada era 1950–1980,
melalui ekspansi industri dan teknologi tinggi.⁵ Namun, kegagalan dalam
mendorong tingkat kelahiran dan mempertahankan jumlah penduduk usia kerja
menyebabkan Jepang kini menghadapi tantangan penuaan populasi ekstrem (super-aged
society).⁶ Ini menunjukkan bahwa keberhasilan memanfaatkan bonus
demografi harus diikuti dengan kebijakan keberlanjutan jangka panjang dalam
bidang keluarga, migrasi, dan produktivitas kerja.
7.4.
Negara-Negara Afrika
Sub-Sahara: Peluang yang Tertunda
Sebaliknya, banyak
negara di kawasan Afrika Sub-Sahara belum mampu memaksimalkan potensi bonus
demografi karena lemahnya kapasitas institusi, tingginya tingkat kemiskinan,
serta keterbatasan dalam sistem pendidikan dan kesehatan.⁷ Tanpa investasi yang
memadai pada sumber daya manusia dan penciptaan lapangan kerja, lonjakan
penduduk usia muda justru menimbulkan ketegangan sosial dan ekonomi. Studi oleh
Bloom dan Canning menyebut kondisi ini sebagai "the risk of a lost
generation" bila tidak segera diatasi.⁸
7.5.
Pelajaran bagi Indonesia
Dari perbandingan
tersebut, Indonesia dapat mengambil pelajaran penting: bonus demografi tidak
otomatis menghasilkan pertumbuhan, tetapi bergantung pada kebijakan yang
responsif dan reformasi struktural yang berkelanjutan. Investasi pada
pendidikan, penciptaan lapangan kerja berkualitas, penguatan sektor kesehatan,
serta pemerataan pembangunan antarwilayah merupakan syarat mutlak.⁹ Indonesia
juga harus mengantisipasi fase pasca-bonus demografi dengan mempersiapkan
sistem perlindungan sosial dan ekonomi yang tangguh menghadapi penuaan
penduduk.
Footnotes
[1]
Eun Mee Kim, The Four Asian Tigers: Economic Development and the
Global Political Economy (Amsterdam: Elsevier, 1997), 86.
[2]
World Bank, Korea’s Development Experience: Lessons for Developing
Countries (Washington, DC: World Bank, 2010), 22.
[3]
David E. Bloom, David Canning, dan Pia Malaney, “Demographic Change and
Economic Growth in Asia,” Population and Development Review 26 (2000):
290.
[4]
Feng Wang, Yong Cai, dan Baochang Gu, “Population, Policy, and Politics:
How Will History Judge China’s One-Child Policy?” Population and
Development Review 38, no. 1 (2012): 120.
[5]
Naohiro Ogawa dan Robert D. Retherford, “Shifting Costs of Caring for
the Elderly Back to Families in Japan: Will It Work?” Population and Development
Review 23, no. 1 (1997): 65.
[6]
Martin Ljunge, “Demographic Change and Long-Term Economic Prospects in
Japan,” Asian Economic Policy Review 8, no. 1 (2013): 30–31.
[7]
UNFPA, Demographic Dividend Opportunities in Africa (New York:
UNFPA, 2017), 14.
[8]
David Bloom dan David Canning, “Demographics and Development Policy,” Development
Outreach 8, no. 1 (2006): 16.
[9]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 94.
8.
Proyeksi Indonesia: Menuju Indonesia Emas 2045
Indonesia
diproyeksikan akan mengalami momentum puncak bonus demografi pada periode
2020 hingga 2035, ditandai dengan dominasi penduduk usia produktif yang
mencapai lebih dari 70% dari total populasi.¹ Momen ini sering disebut sebagai
“jendela
peluang demografis” (demographic window of opportunity),
yang hanya terbuka sekali dalam sejarah suatu bangsa. Bila dimanfaatkan dengan
baik, momentum ini diyakini dapat mengantar Indonesia menuju Indonesia
Emas 2045, yaitu visi strategis menjadikan Indonesia sebagai
negara maju berpenghasilan tinggi pada satu abad kemerdekaannya.²
8.1.
Proyeksi Demografi
dan Struktur Usia Penduduk
Menurut proyeksi
Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 diperkirakan
mencapai sekitar 318,9 juta jiwa, dengan proporsi usia produktif (15–64 tahun)
masih mendominasi.³ Namun, setelah tahun 2035, angka ketergantungan diprediksi
mulai meningkat kembali seiring dengan bertambahnya jumlah lansia.⁴ Oleh karena
itu, periode 2020–2035 menjadi masa krusial untuk mempersiapkan fondasi ekonomi
dan sosial sebelum memasuki era penuaan penduduk.
8.2.
Konteks Visi
Indonesia Emas 2045
Dalam dokumen Visi
Indonesia 2045, pemerintah menetapkan empat pilar utama
pembangunan: (1) pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK, (2) pembangunan
ekonomi berkelanjutan, (3) pemerataan pembangunan, dan (4) ketahanan nasional
serta tata kelola pemerintahan yang baik.⁵ Bonus demografi dianggap sebagai
prasyarat penting untuk mewujudkan keempat pilar tersebut, khususnya dalam
menghasilkan tenaga kerja unggul yang mampu bersaing di tingkat global.
8.3.
Peluang Ekonomi dan
Transformasi Struktural
Jika dikelola dengan
baik, bonus demografi diprediksi mampu menyumbang hingga 2% tambahan
pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya.⁶ Hal ini dapat dicapai melalui reformasi
struktural yang mendorong transformasi ekonomi dari sektor primer ke sektor
industri dan jasa bernilai tambah tinggi. Laporan McKinsey Global Institute
bahkan menyebut bahwa Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar ke-7 dunia
pada 2030 jika reformasi struktural dan pengembangan SDM dilakukan secara
konsisten.⁷
8.4.
Tantangan Masa
Depan: Menuju Penuaan Populasi
Meski saat ini
Indonesia masih menikmati bonus demografi, tren demografi menunjukkan bahwa
Indonesia juga akan menghadapi tantangan penuaan penduduk (aging
population) di masa mendatang. Data Bappenas menyebutkan bahwa pada tahun 2045,
sekitar 15% penduduk Indonesia akan berusia di atas 60 tahun.⁸ Oleh karena itu,
selain memanfaatkan bonus demografi, Indonesia juga harus mempersiapkan sistem
perlindungan sosial, layanan kesehatan lanjut usia, dan reformasi sistem
pensiun.
8.5.
Peran Strategis
Generasi Muda
Generasi milenial
dan Gen Z yang kini mendominasi penduduk usia produktif harus diberdayakan
sebagai aktor utama pembangunan. Mereka perlu dibekali dengan keterampilan
abad ke-21, seperti literasi digital, kemampuan berpikir
kritis, kewirausahaan, serta pendidikan karakter.⁹ Pemerintah dan sektor swasta
harus bekerja sama menciptakan ekosistem pendukung untuk menumbuhkan
kreativitas, inovasi, dan etos kerja yang kompetitif agar generasi ini mampu
menjadi penggerak transformasi Indonesia ke depan.
Dengan arah
kebijakan yang tepat, pengelolaan SDM yang berkualitas, serta sinergi lintas
sektor, bonus demografi dapat menjadi batu loncatan menuju pencapaian Indonesia
Emas 2045. Namun, kegagalan dalam memanfaatkannya justru bisa
menjadi hambatan besar dalam pembangunan nasional jangka panjang.
Footnotes
[1]
Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil
SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 34.
[2]
Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045: Menuju Negara Maju,
Adil, dan Makmur (Jakarta: Bappenas, 2019), 5.
[3]
Ibid., 6.
[4]
Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Demographic Change and Its Implications
for Indonesia’s Development,” Journal of Southeast Asian Economies 36,
no. 3 (2019): 312.
[5]
Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045, 7–8.
[6]
David E. Bloom dan David Canning, “Demographics and Development
Policy,” Development Outreach 8, no. 1 (2006): 17.
[7]
McKinsey Global Institute, The Archipelago Economy: Unleashing
Indonesia’s Potential (New York: McKinsey & Company, 2012), 3.
[8]
Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020–2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), 78.
[9]
World Bank, Indonesia Skills Report: Trends in Demand, Gaps, and
Supply (Washington, DC: World Bank, 2019), 25.
9.
Kesimpulan
Bonus demografi
merupakan peluang strategis sekaligus tantangan besar bagi negara berkembang
seperti Indonesia. Dengan proporsi penduduk usia produktif yang mencapai
puncaknya pada periode 2020–2035, Indonesia memiliki jendela
peluang demografis yang hanya terjadi sekali dalam sejarah
peradaban bangsa.¹ Jika dimanfaatkan secara optimal, bonus demografi dapat
menjadi mesin penggerak transformasi menuju Indonesia Emas 2045, yakni
cita-cita besar menjadikan Indonesia sebagai negara maju, berdaya saing tinggi,
dan sejahtera pada peringatan 100 tahun kemerdekaannya.²
Namun demikian,
bonus demografi bukanlah hadiah otomatis yang menghasilkan kemajuan tanpa
usaha. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil
memanfaatkan bonus demografi—seperti Korea Selatan dan Tiongkok—melakukan
investasi besar-besaran pada pendidikan, kesehatan, industrialisasi, dan
penciptaan lapangan kerja.³ Sebaliknya, kegagalan dalam
memenuhi prasyarat dasar seperti kualitas sumber daya manusia, reformasi
struktural ekonomi, dan pemerataan pembangunan justru membuat potensi bonus
demografi menjadi liabilitas sosial dan ekonomi,
sebagaimana terjadi di beberapa negara di Afrika Sub-Sahara.⁴
Indonesia dihadapkan
pada tantangan-tantangan besar, mulai dari pengangguran usia muda, kesenjangan pendidikan,
rendahnya produktivitas tenaga kerja, hingga ancaman penuaan penduduk di masa
depan.⁵ Oleh karena itu, strategi pemanfaatan bonus demografi
harus dilandasi oleh perencanaan kebijakan lintas sektor yang komprehensif,
partisipatif, dan berbasis data. Investasi pada pendidikan vokasi, layanan kesehatan primer,
pemberdayaan perempuan, pengembangan UMKM, dan transformasi digital
adalah kunci utama untuk menjawab tantangan tersebut.⁶
Selain itu, kualitas
tata kelola pemerintahan akan sangat menentukan keberhasilan implementasi
berbagai kebijakan strategis tersebut. Good governance, transparansi anggaran,
serta sinergi antara pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat sipil
perlu diperkuat agar dampak bonus demografi bisa dirasakan secara merata di
seluruh pelosok negeri.⁷
Pada akhirnya, generasi
muda Indonesia—terutama generasi milenial dan Gen Z—merupakan kunci utama dalam
mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Mereka perlu dibekali
dengan keterampilan abad ke-21, etos kerja yang tangguh, serta nilai-nilai
kebangsaan yang kuat agar mampu menjadi pelaku utama pembangunan nasional.⁸
Dengan komitmen kolektif seluruh elemen bangsa, Indonesia memiliki peluang
besar untuk mengubah bonus demografi menjadi dividen demografi yang
mengantarkan pada kemajuan berkelanjutan dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Footnotes
[1]
Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045: Hasil
SUPAS 2015 (Jakarta: BPS, 2017), 34.
[2]
Kementerian PPN/Bappenas, Visi Indonesia 2045: Menuju Negara Maju,
Adil, dan Makmur (Jakarta: Bappenas, 2019), 5.
[3]
David E. Bloom dan Jeffrey G. Williamson, “Demographic Transitions and
Economic Miracles in Emerging Asia,” The World Bank Economic Review
12, no. 3 (1998): 421.
[4]
UNFPA, Demographic Dividend Opportunities in Africa (New York:
UNFPA, 2017), 13–15.
[5]
Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, “Demographic Change and Its
Implications for Indonesia’s Development,” Journal of Southeast Asian
Economies 36, no. 3 (2019): 309–314.
[6]
World Bank, Indonesia’s Global Workers: Critical Skills for the
21st Century (Washington, DC: World Bank, 2020), 29.
[7]
Nurul Huda dan Ahmad Rizky M., “Demographic Bonus and Development
Strategy in Indonesia,” Journal of Demographic Studies 14, no. 2
(2020): 95.
[8]
World Economic Forum, Future of Jobs Report 2023 (Geneva: WEF,
2023), 38.
Daftar Pustaka
Ananta, A., & Arifin, E. N. (2018). The
demographic dividend: Opportunity or challenge? Journal of Indonesian Social
Sciences and Humanities, 19(1), 1–15.
Ananta, A., & Arifin, E. N. (2019). Demographic
change and its implications for Indonesia’s development. Journal of
Southeast Asian Economies, 36(3), 309–314.
Asian Development Bank. (2019). Asia’s economic
transformation: Where to, how, and how fast? Manila: ADB.
Asian Development Bank. (2020). Promoting SME
growth in Indonesia. Manila: ADB.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). (2021). Laporan tahunan kependudukan Indonesia 2020. Jakarta:
BKKBN.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
(2019). Riskesdas 2018: Laporan nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Badan Pusat Statistik. (2017). Proyeksi penduduk
Indonesia 2015–2045: Hasil SUPAS 2015. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. (2023). Keadaan
ketenagakerjaan Indonesia Februari 2023. Jakarta: BPS.
Bloom, D. E., & Canning, D. (2006).
Demographics and development policy. Development Outreach, 8(1), 14–17.
Bloom, D. E., Canning, D., & Malaney, P.
(2000). Demographic change and economic growth in Asia. Population and
Development Review, 26, 257–290.
Bloom, D. E., Canning, D., & Sevilla, J.
(2003). The demographic dividend: A new perspective on the economic
consequences of population change. Santa Monica, CA: RAND Corporation.
Bloom, D. E., & Williamson, J. G. (1998).
Demographic transitions and economic miracles in emerging Asia. The World
Bank Economic Review, 12(3), 419–455.
Eberstadt, N., & Shah, A. (2012). Fertility
decline in the Muslim world. Policy Review, 171, 35–45.
Feng, W., Cai, Y., & Gu, B. (2012). Population,
policy, and politics: How will history judge China’s one-child policy? Population
and Development Review, 38(1), 115–129.
Jones, G. W. (2013). Family planning and
population policy in Indonesia. Jakarta: BKKBN and UNFPA.
Jones, G. W. (2015). Population and development
in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2023). Data
UMKM tahun 2022. Jakarta: Kemenkop UKM.
Kementerian PPN/Bappenas. (2018). Roadmap bonus
demografi Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Kementerian PPN/Bappenas. (2019). Visi Indonesia
2045: Menuju negara maju, adil, dan makmur. Jakarta: Bappenas.
Kementerian PPN/Bappenas. (2020). Rencana
pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020–2024. Jakarta: Bappenas.
Kim, E. M. (1997). The four Asian tigers:
Economic development and the global political economy. Amsterdam: Elsevier.
Ljunge, M. (2013). Demographic change and long-term
economic prospects in Japan. Asian Economic Policy Review, 8(1), 30–45.
McKinsey Global Institute. (2012). The
archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential. New York: McKinsey
& Company.
May, J. (2012). World population policies: Their
origin, evolution, and impact. Population and Development Review, 38(1),
85–110.
Ogawa, N., & Retherford, R. D. (1997). Shifting
costs of caring for the elderly back to families in Japan: Will it work? Population
and Development Review, 23(1), 59–94.
UNFPA. (2014). State of world population 2014:
The power of 1.8 billion. New York: UNFPA.
UNFPA. (2016). Harnessing the demographic
dividend in Indonesia. Jakarta: UNFPA.
UNFPA. (2017). Demographic dividend
opportunities in Africa. New York: UNFPA.
UNICEF. (2020). Strategies to reduce stunting in
Indonesia. Jakarta: UNICEF.
UNICEF. (2021). Reducing stunting in children
under 5 years of age: A comprehensive evaluation of Indonesia’s nutrition
programs. Jakarta: UNICEF.
United Nations Population Division. (2019). World
population prospects 2019. New York: United Nations.
World Bank. (2016). Indonesia’s rising divide:
Why inequality is rising and how to address it. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2018). World development report
2018: Learning to realize education’s promise. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2019). Indonesia skills report:
Trends in demand, gaps, and supply. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2020). Indonesia’s global workers:
Critical skills for the 21st century. Washington, DC: World Bank.
World Economic Forum. (2021). Global gender gap
report 2021. Geneva: World Economic Forum.
World Economic Forum. (2022). Global gender gap
report 2022. Geneva: World Economic Forum.
World Economic Forum. (2023). Future of jobs
report 2023. Geneva: World Economic Forum.
World Health Organization. (2013). Essential
nutrition actions: Improving maternal, newborn, infant and young child health
and nutrition. Geneva: WHO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar