Selasa, 15 April 2025

Pemikiran Ibnu Khaldun: Kajian Epistemologis atas Pemikirannya dalam Muqaddimah

Pemikiran Ibnu Khaldun

Kajian Epistemologis atas Pemikirannya dalam Muqaddimah


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya Muqaddimah, dengan fokus pada dimensi epistemologis sebagai fondasi ilmu sosial yang orisinal. Ibnu Khaldun merupakan salah satu tokoh pemikir Muslim yang mampu merumuskan teori sosial yang integral, kritis, dan berbasis pada observasi empiris serta refleksi rasional. Artikel ini membahas beberapa aspek utama pemikirannya, seperti landasan epistemologi ilmu, konsep asabiyyah (solidaritas sosial), teori siklus peradaban, serta hubungan antara negara dan ekonomi. Selain itu, artikel ini menelusuri pengaruh Ibnu Khaldun dalam tradisi intelektual Islam dan Barat, serta relevansinya dalam diskursus ilmu sosial kontemporer. Pendekatan analisis yang digunakan bersifat historis-filosofis dan tematik, dengan merujuk pada karya-karya akademik kredibel. Hasil kajian menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun telah meletakkan dasar bagi ilmu sosial modern jauh sebelum kemunculan sosiologi di Barat, dan bahwa kerangka pemikirannya masih sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam membangun paradigma ilmu sosial non-Barat yang kontekstual dan kritis.

Kata Kunci: Ibnu Khaldun; Muqaddimah; Epistemologi Islam; Ilmu Sosial; Asabiyyah; Filsafat Sejarah; Sosiologi Politik; Negara dan Ekonomi; Siklus Peradaban.


PEMBAHASAN

Ibnu Khaldun dan Fondasi Ilmu Sosial


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah pemikiran Islam klasik, Ibnu Khaldun (1332–1406) menempati posisi yang sangat menonjol sebagai seorang ilmuwan multidisipliner yang mengembangkan paradigma historis dan sosiologis yang belum pernah dikenal sebelumnya dalam dunia Islam maupun Barat. Melalui karya monumentalnya al-Muqaddimah, ia membangun suatu pendekatan baru dalam memahami dinamika masyarakat, peradaban, dan sejarah berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan empiris yang sistematis. Sebagian besar sarjana kontemporer bahkan menyebutnya sebagai “bapak ilmu sosial” atau “pelopor sosiologi modern,” jauh sebelum Auguste Comte merumuskan konsep serupa pada abad ke-19.¹

Ibnu Khaldun tidak sekadar menuliskan sejarah sebagai rangkaian peristiwa kronologis, melainkan menyusun sebuah teori ilmu sejarah yang bersandar pada prinsip-prinsip sebab-akibat sosial, struktur kekuasaan, dan transformasi budaya. Dalam hal ini, ia mengembangkan pendekatan ilmiah yang didasarkan pada pengamatan empiris, kausalitas rasional, dan kritik terhadap narasi sejarah yang bersifat fiktif atau legenda.² Dengan demikian, Muqaddimah tidak hanya menjadi mukadimah dari kitab sejarah al-‘Ibar, melainkan juga menjadi fondasi bagi lahirnya disiplin-disiplin modern seperti sosiologi, ilmu politik, ekonomi, dan antropologi.³

Signifikansi pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah juga terletak pada konsep-konsep kunci yang ia rumuskan, seperti ‘asabiyyah (solidaritas sosial), umrān (peradaban), tabi‘ al-‘umrān (hukum-hukum sosial), dan teori siklus kekuasaan. Konsep-konsep ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga analitis dan prediktif, menjadikannya sebagai model awal dari teori sosial yang mendalam.⁴ Berbeda dengan historiografi tradisional, Ibnu Khaldun mengutamakan verifikasi terhadap sumber, kehati-hatian dalam menafsirkan kronik, serta penekanan terhadap dinamika struktural masyarakat sebagai faktor utama dalam perubahan sejarah.⁵

Kajian ini bertujuan untuk mengelaborasi secara mendalam dimensi epistemologis dalam pemikiran Ibnu Khaldun sebagaimana tercermin dalam Muqaddimah. Pembahasan akan difokuskan pada landasan teoritis yang melandasi pendekatannya terhadap ilmu, masyarakat, dan sejarah. Dengan mengintegrasikan pendekatan historis-filosofis dan analisis tematik terhadap teks-teks primer serta referensi ilmiah modern, artikel ini berusaha mengungkap signifikansi pemikiran Ibnu Khaldun dalam konteks keilmuan klasik dan kontribusinya bagi ilmu sosial kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 3.

[2]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by Ibn Khaldun, translated and edited by Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 1:xxxvii–xxxix.

[3]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 5.

[4]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 92–93.

[5]                Robert Irwin, “Islamic Historiography,” in The New Cambridge History of Islam, ed. Chase F. Robinson, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 497.


2.           Biografi Singkat Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun, yang bernama lengkap Abū Zayd ‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad ibn Khaldūn al-Ḥaḍramī, lahir pada tanggal 1 Ramadhan 732 H / 27 Mei 1332 M di kota Tunis, Tunisia.¹ Ia berasal dari keluarga bangsawan Andalusia yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat. Keluarganya bermigrasi ke Maghrib setelah jatuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia, dan menetap di Ifriqiyah (Tunisia modern), yang saat itu merupakan pusat intelektual penting dunia Islam.²

Sejak usia muda, Ibnu Khaldun memperoleh pendidikan yang intensif dalam berbagai cabang ilmu tradisional Islam, termasuk Al-Qur’an, Hadis, Fiqh, Nahwu, Balaghah, dan Logika.³ Ia juga mempelajari ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, matematika, dan astronomi, mengikuti kurikulum ilmiah khas dunia Islam klasik. Salah satu gurunya yang paling berpengaruh adalah al-Ābilī (w. 1356), seorang pemikir yang mengenalkannya pada karya-karya filsuf Muslim dan Yunani seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Aristoteles.⁴

Karier Ibnu Khaldun tidak terbatas pada dunia akademik, tetapi juga merambah ke ranah politik dan administrasi. Ia menjabat sebagai sekretaris istana, duta diplomatik, dan qāḍī (hakim) di berbagai kerajaan Islam di Afrika Utara, seperti Dinasti Marinid di Fez, Hafsid di Tunis, dan Zayyanid di Tlemcen.⁵ Pengalaman politik yang kompleks ini memberinya wawasan empiris tentang kekuasaan, konflik, dan dinamika sosial yang kemudian menjadi bahan reflektif dalam Muqaddimah.

Masa produktif Ibnu Khaldun dalam menulis al-Muqaddimah dimulai ketika ia mengasingkan diri di Qal‘at Bani Salamah, sebuah benteng di wilayah barat Aljazair, pada tahun 1375–1379.⁶ Dalam pengasingan itulah ia menulis pengantar (muqaddimah) yang awalnya dimaksudkan sebagai pembukaan Kitāb al-‘Ibar, tetapi kemudian berdiri sebagai karya tersendiri karena kedalaman analisisnya tentang sejarah, masyarakat, dan peradaban.⁷ Setelah menyelesaikan Muqaddimah, Ibnu Khaldun kembali terlibat dalam berbagai jabatan publik, termasuk sebagai Qāḍī Mālikī tertinggi di Mesir pada era Mamluk. Ia wafat di Kairo pada tahun 1406 M (808 H), meninggalkan warisan intelektual yang terus dikaji hingga saat ini.⁸

Kehidupan Ibnu Khaldun mencerminkan keterkaitan erat antara teori dan pengalaman empiris. Perpaduan antara latar belakang keilmuan, pengalaman birokrasi, dan kontemplasi filosofis menjadikannya unik di antara para pemikir Islam klasik. Sosoknya tidak hanya merepresentasikan ulama, tetapi juga intelektual kritis yang mencoba membangun kerangka ilmiah baru dalam memahami masyarakat dan sejarah manusia secara menyeluruh.


Catatan Kaki

[1]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 1:lv.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 7.

[3]                N. J. Coulson, “A History of Islamic Law,” Edinburgh University Press (1964), 126.

[4]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 45.

[5]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 20.

[6]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 69–71.

[7]                Abdesselam Cheddadi, “Ibn Khaldun,” in Encyclopaedia of Islam, Three, eds. Kate Fleet et al. (Leiden: Brill, 2012), accessed via Brill Online.

[8]                Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 201.


3.           Landasan Epistemologi dalam Pemikiran Ibnu Khaldun

Salah satu keunggulan konseptual Muqaddimah karya Ibnu Khaldun terletak pada kerangka epistemologis yang mendasari pendekatannya terhadap ilmu pengetahuan, sejarah, dan masyarakat. Dalam konteks filsafat ilmu, Ibnu Khaldun menunjukkan kesadaran metodologis yang tinggi terhadap cara memperoleh pengetahuan (epistēmē) yang sahih dan berguna dalam memahami realitas sosial. Ia mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua kategori besar: ‘ulum naqliyyah (ilmu-ilmu yang bersumber dari wahyu seperti tafsir, hadis, dan fikih) dan ‘ulum ‘aqliyyah (ilmu-ilmu rasional seperti logika, filsafat, dan matematika), serta menempatkan sejarah sebagai ilmu empiris yang perlu dianalisis secara kritis dan logis.¹

Ibnu Khaldun mengkritik metode penulisan sejarah tradisional yang cenderung mengandalkan periwayatan tanpa verifikasi rasional. Ia menekankan bahwa pengetahuan sejarah seharusnya tunduk pada prinsip al-tahqīq wa al-taḥqīq (verifikasi dan kritik), serta mempertimbangkan kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang terlibat dalam peristiwa sejarah.² Menurutnya, banyak sejarawan “menyalin” informasi tanpa menguji kelayakan dan rasionalitasnya, sehingga menghasilkan narasi yang bercampur antara fakta dan legenda.³ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun memperkenalkan metode ‘ilm al-‘umrān al-basharī (ilmu tentang peradaban manusia), yaitu suatu bentuk pengetahuan yang menggabungkan pendekatan empiris dan rasional untuk menjelaskan dinamika sosial secara kausal.⁴

Konsep-konsep dasar epistemologi Ibnu Khaldun terkait erat dengan pandangannya tentang sebab-akibat (al-sababiyyah) dan hukum sosial (‘ādāt wa sunan) yang mengatur perkembangan masyarakat. Ia berkeyakinan bahwa fenomena sosial tidak bersifat acak atau semata-mata takdir, tetapi mengikuti pola-pola tertentu yang dapat dikenali dan dipahami secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun telah menyusun bentuk awal dari teori kausalitas sosial jauh sebelum teori-teori serupa berkembang di Barat pada abad modern.⁵

Sumber validitas ilmu, menurut Ibnu Khaldun, juga bergantung pada integrasi antara akal (‘aql) dan pengalaman (‘ibar). Ia menolak pendekatan spekulatif murni dalam filsafat yang terputus dari realitas empiris, seraya menghindari juga literalitas sempit dalam ilmu-ilmu keagamaan yang tidak mempertimbangkan konteks sosial. Dalam kerangka ini, epistemologi Ibnu Khaldun bercorak kritikal dan integratif, menggabungkan rasionalitas, observasi, dan konteks historis secara proporsional.⁶

Selain itu, Ibnu Khaldun memiliki kesadaran bahwa ilmu tidak berkembang dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya. Ia bahkan menyatakan bahwa kemajuan ilmu terjadi pada fase-fase awal peradaban ketika semangat ‘asabiyyah dan stabilitas politik sedang tinggi, sementara kemunduran ilmu terjadi ketika negara memasuki fase dekadensi.⁷ Pandangan ini memperlihatkan aspek sosiologi pengetahuan dalam pemikirannya, yaitu bahwa perkembangan ilmu sangat berkorelasi dengan kondisi masyarakat yang melahirkannya.

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun tidak hanya menata ulang cara memahami sejarah, tetapi juga menyusun dasar metodologi ilmiah yang berbasis pada observasi realitas sosial, prinsip verifikasi, dan teori umum tentang perubahan masyarakat. Oleh karena itu, ia dapat dikatakan telah membangun suatu epistemologi sosial yang menjadi fondasi awal bagi lahirnya ilmu-ilmu sosial modern.


Catatan Kaki

[1]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 1:xxiii–xxv.

[2]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 15–17.

[3]                Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 78.

[4]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 79.

[5]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 106.

[6]                N. J. Coulson, “A History of Islamic Law,” Edinburgh University Press (1964), 127.

[7]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 91–93.


4.           Teori Asabiyyah: Pilar Sosiologi Politik Ibnu Khaldun

Salah satu kontribusi paling orisinal dan revolusioner dari Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah adalah konsep ‘asabiyyah, yang secara sederhana dapat dipahami sebagai “solidaritas kelompok” atau “kohesi sosial.”_¹ Konsep ini menjadi fondasi utama dalam analisis Ibnu Khaldun tentang dinamika kekuasaan, formasi negara, serta naik turunnya peradaban. Bagi Ibnu Khaldun, asabiyyah adalah kekuatan pendorong yang memungkinkan sekelompok masyarakat, khususnya yang hidup dalam lingkungan badui (tribal-nomadik), untuk bersatu dan memperoleh kekuatan politik yang dapat menggulingkan rezim lama dan membangun pemerintahan baru.²

Ibnu Khaldun membedakan antara asabiyyah yang bersumber dari hubungan darah dan asabiyyah yang timbul dari loyalitas atau ikatan ideologis. Ia menekankan bahwa kekuatan asabiyyah paling efektif biasanya tumbuh dalam masyarakat suku (badui) yang belum terkontaminasi oleh kemewahan dan kemerosotan moral kota. Ketika kekuasaan telah diperoleh dan masyarakat menjadi urban (hadhari), kekuatan asabiyyah perlahan melemah karena tergantikan oleh kehidupan yang cenderung individualistis dan materialistis.³

Konsep ini berkaitan erat dengan teori siklus kekuasaan yang digagas oleh Ibnu Khaldun: sebuah model sejarah dinasti yang dimulai dari kekuatan asabiyyah, berlanjut pada konsolidasi politik, kemakmuran, dan pada akhirnya kemerosotan akibat kemewahan serta kehilangan semangat kolektif. Ia mengidentifikasi bahwa setiap dinasti (mulk) memiliki umur rata-rata sekitar tiga generasi—dari pendiri yang kuat, penguasa penerus yang memantapkan struktur, hingga generasi ketiga yang lemah dan memanjakan diri.⁴

Dalam perspektif sosiologi politik, teori asabiyyah dapat dipandang sebagai cikal bakal dari gagasan tentang legitimasi kekuasaan dan basis sosial negara. Ibnu Khaldun memahami negara bukan sekadar sebagai institusi hukum, tetapi sebagai hasil dari konfigurasi kekuatan sosial yang dinamis. Keberlangsungan negara sangat tergantung pada keberadaan solidaritas kolektif yang kuat, yang memungkinkan penguasa mendapatkan dukungan dan ketaatan rakyatnya.⁵

Selain itu, asabiyyah juga memiliki fungsi mobilisasi politik. Dalam konteks perebutan kekuasaan antar kelompok, kekuatan solidaritas menjadi instrumen utama dalam menyatukan aspirasi dan tindakan politik. Ibnu Khaldun menekankan bahwa tanpa asabiyyah, sebuah kekuatan politik tidak akan mampu bertahan atau bahkan terbentuk. Ia menyatakan, “Kekuasaan tidak akan terbentuk kecuali dengan asabiyyah, dan asabiyyah tidak akan kuat kecuali dengan keberpihakan terhadap suatu tujuan bersama.”_⁶

Beberapa sarjana modern, seperti Syed Farid Alatas, menganggap bahwa asabiyyah adalah cikal bakal teori konflik sosial yang dikenal dalam tradisi sosiologi Barat, mirip dengan teori kelas Karl Marx, namun dengan fondasi antropologis yang berbeda.⁷ Ibnu Khaldun menempatkan konflik sebagai sesuatu yang inheren dalam struktur sosial, bukan sekadar deviasi dari norma, tetapi sebagai dinamika permanen yang mengatur sejarah. Dengan demikian, konsep asabiyyah tidak hanya menjelaskan perubahan politik, tetapi juga struktur sosial dan transformasi budaya.

Dalam kerangka epistemologis Ibnu Khaldun, asabiyyah bukan sekadar konsep deskriptif, tetapi juga analitis dan normatif, yang memberikan landasan untuk memahami dan menilai kekuatan kolektif dalam sejarah umat manusia. Konsep ini menunjukkan kejeniusan Ibnu Khaldun dalam merumuskan teori sosiologi politik yang berakar pada observasi empiris dan refleksi mendalam terhadap realitas sejarah.


Catatan Kaki

[1]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 1:xcv–xcvii.

[2]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 102.

[3]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 99–101.

[4]                Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 125–126.

[5]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 118.

[6]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 1, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 285.

[7]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 34–37.


5.           Filsafat Sejarah dan Siklus Peradaban

Ibnu Khaldun dapat dikatakan sebagai perintis dalam membangun filsafat sejarah (philosophy of history), yakni upaya untuk memahami sejarah bukan sekadar sebagai kronik peristiwa, melainkan sebagai ilmu yang menelaah pola, hukum, dan dinamika perubahan sosial. Dalam Muqaddimah, ia mendefinisikan sejarah sebagai suatu “berita tentang masyarakat dan peradaban manusia, serta transformasi kondisi masyarakat dan negara dari satu situasi ke situasi lain.”¹ Definisi ini menunjukkan bahwa bagi Ibnu Khaldun, sejarah memiliki struktur rasional dan mengikuti kaidah-kaidah sosial yang dapat dipelajari dan dipahami secara sistematis.

Filsafat sejarah yang dikembangkan Ibnu Khaldun berakar pada prinsip kausalitas sosial (al-sababiyyah al-ijtima'iyyah), yakni bahwa setiap peristiwa sejarah harus dianalisis berdasarkan sebab-sebab rasional yang bersumber dari struktur sosial, budaya, dan politik masyarakat yang bersangkutan.² Ia menolak pendekatan tradisional yang menjadikan sejarah sebagai kisah kepahlawanan atau kejadian luar biasa tanpa pertimbangan logis. Sebaliknya, ia mengedepankan pendekatan kritikal, yang melihat sejarah sebagai cermin dinamika kolektif manusia dalam konteks ruang dan waktu tertentu.³

Salah satu teori paling orisinal dalam Muqaddimah adalah konsep tentang siklus peradaban (daurat al-ḥaḍārah), yakni model historis yang menggambarkan proses muncul, berkembang, dan runtuhnya dinasti atau negara.⁴ Menurut Ibnu Khaldun, setiap kekuasaan politik melalui fase-fase berikut:

1)                  Tahap pertama (pembentukan): ditandai oleh solidaritas kuat (‘asabiyyah) dan kepemimpinan militan;

2)                  Tahap kedua (konsolidasi): kekuasaan dilembagakan dan mulai mengembangkan struktur administrasi;

3)                  Tahap ketiga (kemakmuran): masyarakat mencapai kemajuan ekonomi dan budaya;

4)                  Tahap keempat (kelemahan): munculnya kemewahan, dekadensi moral, dan melemahnya ‘asabiyyah;

5)                  Tahap kelima (keruntuhan): negara menjadi rapuh, penuh korupsi, dan akhirnya dihancurkan oleh kekuatan baru.⁵

Teori siklus ini tidak bersifat fatalistik, melainkan bersifat sosiologis-historis: peradaban tidak hancur karena takdir, melainkan karena hilangnya energi sosial dan degradasi nilai kolektif yang menjadi pilar peradaban itu sendiri. Ibnu Khaldun menekankan bahwa kehancuran peradaban terjadi ketika kemewahan mengalahkan semangat perjuangan, ketika negara menjadi otoriter dan menjauh dari prinsip keadilan sosial.⁶

Uniknya, Ibnu Khaldun juga melihat sejarah sebagai wahana untuk pembelajaran moral dan intelektual, atau apa yang ia sebut sebagai ‘ibar (pengambilan pelajaran). Dalam konteks ini, sejarah bukan hanya ilmu sosial, melainkan juga sarana untuk membentuk kesadaran etis dan perenungan filosofis tentang jatuh bangunnya peradaban manusia.⁷

Beberapa pemikir modern, seperti Arnold J. Toynbee, secara eksplisit mengakui bahwa Ibnu Khaldun telah meletakkan dasar teori sejarah dan peradaban yang kemudian diadopsi oleh sejarawan-sejarawan Eropa. Toynbee bahkan menyebut Muqaddimah sebagai “the greatest work of its kind ever created by any mind in any time or place.”_⁸

Dengan menggabungkan penjelasan rasional, prinsip kausalitas, dan pemahaman struktural terhadap sejarah, Ibnu Khaldun telah meletakkan dasar dari suatu pendekatan historis yang bukan hanya deskriptif, tetapi juga teoritis. Ia tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga memformulasikan hukum-hukum sosial yang mengatur perubahan masyarakat. Dengan demikian, filsafat sejarah versi Ibnu Khaldun menjadi elemen sentral dalam kerangka epistemologisnya, sekaligus pondasi penting bagi ilmu sosial kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 1 (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 3.

[2]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 23–25.

[3]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 87–88.

[4]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 105.

[5]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah, 1:lvii–lx.

[6]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 123–124.

[7]                Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 132.

[8]                Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford University Press, 1934), 321.


6.           Ekonomi dan Negara: Analisis Sosio-Ekonomi Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun merupakan salah satu pemikir Muslim pertama yang mengembangkan kerangka analitis ekonomi dalam kaitannya dengan struktur negara dan dinamika sosial. Dalam Muqaddimah, ia mengemukakan bahwa kehidupan ekonomi suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan politik yang menaunginya.⁽¹⁾ Negara, menurut Ibnu Khaldun, bukan hanya penjaga keamanan dan hukum, tetapi juga aktor utama dalam distribusi kekayaan, pengelolaan sumber daya, dan pembentukan kemakmuran publik.

Salah satu gagasan fundamental Ibnu Khaldun adalah kaitan antara kerja (al-‘amal) dan kekayaan. Ia menegaskan bahwa segala bentuk kekayaan bersumber dari kerja manusia, baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa.⁽²⁾ Dengan demikian, produktivitas merupakan elemen kunci dalam pertumbuhan ekonomi, dan nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat tenaga kerja serta keahlian yang terlibat dalam produksinya. Gagasan ini menjadikan Ibnu Khaldun sebagai pelopor teori nilai kerja, jauh sebelum konsep serupa dirumuskan oleh Adam Smith dan Karl Marx.⁽³⁾

Ibnu Khaldun juga memperkenalkan konsep sirkulasi kekayaan dan kebijakan fiskal, terutama dalam konteks pajak. Ia berpendapat bahwa tingkat pajak yang terlalu tinggi justru akan menurunkan pendapatan negara, karena akan mengurangi insentif kerja dan aktivitas ekonomi masyarakat. Sebaliknya, pajak yang rendah akan mendorong pertumbuhan produktivitas dan memperluas basis penerimaan negara.⁽⁴⁾ Pernyataannya bahwa “Pada awal kekuasaan, pajak kecil dan pendapatan besar, namun pada akhir kekuasaan, pajak besar dan pendapatan kecil” menunjukkan pemahamannya yang cermat terhadap efek kurva Laffer—sebuah prinsip ekonomi yang baru dikenal secara formal berabad-abad kemudian.⁽⁵⁾

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi. Negara yang adil, aman, dan tertib akan menciptakan lingkungan kondusif bagi perdagangan, pertanian, dan kerajinan. Sebaliknya, negara yang represif dan tidak menegakkan hukum hanya akan menimbulkan ketidakpastian dan mempercepat kehancuran ekonomi.⁽⁶⁾ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kekuasaan politik yang korup dan konsumtif berpotensi menghancurkan struktur produktif masyarakat, dan akhirnya meruntuhkan legitimasi negara itu sendiri.

Ibnu Khaldun tidak melihat negara sebagai entitas netral, melainkan sebagai agen yang aktif dan menentukan dalam kehidupan ekonomi. Ia menjelaskan bagaimana negara bisa menjadi pelindung sekaligus perusak peradaban, tergantung pada apakah pemerintahannya berpijak pada prinsip keadilan, distribusi kekayaan yang merata, dan pembinaan terhadap produktivitas masyarakat.⁽⁷⁾

Analisis sosio-ekonomi Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa ia memiliki pemahaman multidimensi terhadap relasi antara struktur politik, sistem ekonomi, dan dinamika sosial. Dengan menempatkan ekonomi dalam kerangka sosiologis dan historis, Ibnu Khaldun tidak hanya berkontribusi pada pemikiran ekonomi klasik, tetapi juga membuka jalan bagi kajian ekonomi-politik modern yang mengintegrasikan faktor-faktor sosial dan institusional dalam analisisnya.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 2 (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 287.

[2]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 45.

[3]                Muhammad Umar Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 156.

[4]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah, vol. 2, 293–294.

[5]                Fuad Baali, “Ibn Khaldun’s Theory of Taxation and its Relevance Today,” Islamic Economic Studies 5, no. 1 (1997): 59–61.

[6]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 95.

[7]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 115–117.


7.           Pengaruh dan Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun merupakan salah satu pemikir Islam yang pengaruhnya melintasi batas zaman, geografis, dan disiplin ilmu. Sejak masa hidupnya hingga era modern, karya-karyanya, terutama Muqaddimah, telah menarik perhatian intelektual dari berbagai latar belakang—baik dalam tradisi Islam maupun di kalangan pemikir Barat. Pengaruhnya tidak hanya terasa dalam bidang historiografi, tetapi juga dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan antropologi.

7.1.       Pengaruh dalam Tradisi Intelektual Islam

Di dunia Islam, pemikiran Ibnu Khaldun pada awalnya tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya.⁽¹⁾ Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pendekatannya yang kritis terhadap historiografi tradisional dan penekanannya pada metode rasional dalam kajian sosial. Namun, dalam beberapa abad terakhir, terutama sejak kebangkitan pemikiran modern Islam, banyak intelektual Muslim mulai meninjau kembali warisan Ibnu Khaldun dan menjadikannya inspirasi untuk merekonstruksi epistemologi Islam dalam menghadapi tantangan modernitas.⁽²⁾ Pemikir seperti Malek Bennabi, Ali Shariati, dan Syed Naquib al-Attas mengapresiasi kerangka pemikiran Muqaddimah sebagai landasan untuk membangun sains sosial Islam yang kontekstual dan integral.⁽³⁾

7.2.       Resonansi dalam Ilmu Sosial Barat

Ketertarikan dunia Barat terhadap Ibnu Khaldun mulai meningkat sejak diterjemahkannya Muqaddimah ke dalam bahasa Prancis oleh Baron de Slane pada abad ke-19, dan kemudian ke dalam bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal. Sejarawan Inggris, Arnold J. Toynbee, sangat mengagumi Ibnu Khaldun dan menyebutnya sebagai "the greatest sociological mind to appear among the Arabs and indeed in the whole of the Middle Ages."_⁽⁴⁾ Toynbee bahkan mengakui bahwa teori siklus peradaban yang ia kembangkan dalam A Study of History banyak terinspirasi dari kerangka historis Ibnu Khaldun.⁽⁵⁾

Dalam tradisi sosiologi modern, beberapa pemikir mengakui bahwa Ibnu Khaldun telah mengantisipasi konsep-konsep kunci dalam teori konflik, teori elite, dan dinamika sosial. Asabiyyah, misalnya, memiliki kemiripan dengan konsep kohesi sosial dan teori konflik Karl Marx maupun Max Weber, namun dengan akar historis dan antropologis yang khas.⁽⁶⁾ Bahkan, Syed Farid Alatas menekankan bahwa Muqaddimah bisa menjadi dasar bagi formulasi sosiologi non-Barat yang autentik, sebagai upaya dekolonisasi ilmu sosial dari dominasi paradigma Eropa.⁽⁷⁾

7.3.       Relevansi Kontemporer

Relevansi pemikiran Ibnu Khaldun semakin nyata dalam konteks dunia modern yang sedang menghadapi krisis sosial, ekonomi, dan politik. Teori siklus peradaban yang ia kemukakan mencerminkan fenomena pasang surut negara-bangsa, korupsi kekuasaan, dan melemahnya solidaritas sosial.⁽⁸⁾ Dalam konteks negara-negara berkembang, misalnya, analisis Ibnu Khaldun tentang hubungan antara pajak, produksi, dan stabilitas politik tetap relevan dalam kebijakan fiskal kontemporer.

Lebih jauh lagi, pendekatan metodologis Ibnu Khaldun yang menggabungkan observasi empiris, refleksi rasional, dan kerangka historis-kontekstual menjadi sangat penting dalam era post-truth dan informasi digital. Ia mengajarkan perlunya skeptisisme epistemologis yang sehat, yakni tidak menerima informasi begitu saja, tetapi menilai validitasnya berdasarkan hukum sosial dan akal sehat.⁽⁹⁾

Ibnu Khaldun juga membuka ruang bagi pengembangan sosiologi Islam yang bukan sekadar mengadopsi teori Barat, tetapi berpijak pada khazanah keilmuan Islam yang kaya dan kontekstual. Dengan demikian, Muqaddimah menjadi inspirasi bukan hanya dalam konteks sejarah peradaban Islam, tetapi juga dalam membangun pendekatan alternatif terhadap ilmu sosial secara global.


Catatan Kaki

[1]                Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 183.

[2]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 157–158.

[3]                Ibrahim M. Zein, “The Relevance of Ibn Khaldun’s Thought to Contemporary Muslim Reformers,” Islamic Quarterly 45, no. 3 (2001): 205–217.

[4]                Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford University Press, 1934), 321.

[5]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 40.

[6]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 117–118.

[7]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 77–80.

[8]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 123–124.

[9]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 1 (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), xciii–xcv.


8.           Kritik dan Apresiasi terhadap Pemikiran Ibnu Khaldun

Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mendapat tempat yang istimewa dalam sejarah intelektual dunia. Banyak kalangan mengapresiasi orisinalitas dan kedalaman analisisnya, namun di sisi lain, sejumlah kritik juga diajukan baik dari segi metodologi, presisi historis, maupun implikasi teoritis dari konsep-konsep yang ia ajukan.

8.1.       Apresiasi terhadap Orisinalitas dan Kontribusi Ilmiah

Ibnu Khaldun mendapat pengakuan luas sebagai salah satu pemikir yang paling orisinal dalam dunia Islam dan bahkan dalam sejarah intelektual global. Para sarjana seperti Arnold Toynbee menyebutnya sebagai “a genius,” dan menganggap Muqaddimah sebagai “the greatest work of its kind ever created by any mind in any time or place.”¹ Apresiasi ini tidak lepas dari keberhasilannya dalam merumuskan kerangka ilmiah yang integratif antara filsafat, sosiologi, ekonomi, dan sejarah.

Di antara kontribusi besarnya adalah perumusan teori asabiyyah, siklus dinasti, serta pendekatan rasional-empiris dalam historiografi, yang secara keseluruhan meletakkan fondasi bagi apa yang sekarang disebut sebagai sosiologi politik dan filsafat sejarah.² Ia tidak hanya menulis sejarah, tetapi berusaha menjelaskan hukum-hukum sosial yang mengatur transformasi masyarakat.³

8.2.       Kritik Terhadap Keterbatasan Teoritis dan Kontekstual

Meskipun demikian, beberapa kritik akademis telah diajukan terhadap pemikiran Ibnu Khaldun. Pertama, asumsi deterministik dalam teori siklus peradaban dinilai terlalu simplistik. Model lima tahap dinasti yang ia kemukakan dianggap tidak cukup fleksibel untuk menjelaskan dinamika politik yang lebih kompleks dalam berbagai peradaban lain di luar konteks Maghrib abad ke-14.⁴ Para ahli sejarah kontemporer mencatat bahwa teori ini terlalu terikat pada pengalaman politik lokal dan sukar untuk digeneralisasi secara universal.

Kritik kedua datang dari pendekatan gender dan inklusivitas sosial. Dalam Muqaddimah, hampir tidak ditemukan pembahasan tentang peran perempuan, kelompok marjinal, atau struktur sosial yang lebih luas dari komunitas maskulin-elit.⁵ Hal ini mencerminkan keterbatasan historis dalam ruang lingkup pengamatannya, dan menjadi perhatian dalam pengembangan wacana sosiologi inklusif di masa kini.

Ketiga, sebagian sarjana mempersoalkan ketegangan antara posisi normatif dan analitis dalam karya Ibnu Khaldun.⁶ Di satu sisi, ia menggunakan pendekatan ilmiah yang berupaya objektif, tetapi di sisi lain ia tetap mempertahankan pandangan normatif yang berakar pada nilai-nilai agama dan tradisi Islam. Hal ini memunculkan pertanyaan metodologis mengenai batas antara observasi ilmiah dan penilaian moral dalam kerangka analisis sosialnya.

8.3.       Penilaian Kontemporer dalam Wacana Keilmuan

Meskipun terdapat kritik, mayoritas peneliti kontemporer justru melihat pemikiran Ibnu Khaldun sebagai kerangka kerja terbuka yang dapat dikembangkan dan dikritisi lebih lanjut. Syed Farid Alatas, misalnya, berpendapat bahwa Muqaddimah dapat menjadi dasar bagi sosiologi global non-Barat yang berpijak pada pengalaman historis dan budaya dunia Islam.⁷ Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun tidak harus dilihat sebagai tokoh klasik yang tertutup oleh zamannya, melainkan sebagai pelopor pendekatan interdisipliner yang masih sangat relevan bagi wacana kontemporer.

Selain itu, pembacaan ulang atas Muqaddimah oleh para sejarawan, ekonom, dan sosiolog menunjukkan bahwa karya tersebut mengandung kerangka analisis yang mendalam dan fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan akademik lintas zaman dan lintas budaya.⁸ Maka, apresiasi terhadap Ibnu Khaldun hari ini tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga prospektif—yakni bagaimana ide-idenya digunakan untuk membangun teori sosial yang lebih adil, inklusif, dan kontekstual.


Catatan Kaki

[1]                Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford University Press, 1934), 321.

[2]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 11–12.

[3]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 97–99.

[4]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 129–130.

[5]                Zayn Kassam, “Ibn Khaldun’s Approach to History: A Feminist Critique,” Islamic Studies Journal 36, no. 2 (1997): 239–255.

[6]                Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 171–173.

[7]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 81–83.

[8]                Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 137.


9.           Kesimpulan

Ibnu Khaldun merupakan sosok pemikir yang kehadirannya dalam sejarah intelektual Islam dan dunia secara luas menandai paradigma baru dalam memahami realitas sosial dan sejarah. Melalui Muqaddimah, ia berhasil menyusun suatu sistem pemikiran yang bersifat interdisipliner dan mendalam, yang tidak hanya menyentuh ranah historiografi, tetapi juga menyentuh filsafat, sosiologi, ekonomi, dan teori politik. Ia menghadirkan kerangka epistemologi yang berpijak pada integrasi antara akal, pengalaman empiris, dan kesadaran akan dinamika struktural masyarakat.⁽¹⁾

Salah satu kekuatan terbesar dari pemikiran Ibnu Khaldun terletak pada kemampuannya mengidentifikasi pola-pola sosial dan politik secara sistematis. Konsep asabiyyah, teori siklus peradaban, serta analisis hubungan antara negara, ekonomi, dan moralitas kolektif menunjukkan bahwa ia tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga memformulasikan hukum-hukum sosial yang bersifat prediktif dan analitis.⁽²⁾ Dalam hal ini, Ibnu Khaldun dapat dianggap sebagai perintis ilmu sosial jauh sebelum kelahiran sosiologi sebagai disiplin formal di Barat.⁽³⁾

Dari sudut pandang epistemologis, Ibnu Khaldun juga menunjukkan kesadaran metodologis yang sangat maju. Ia menolak pendekatan dogmatis dan naratif belaka dalam sejarah, dan menggantinya dengan metode kritis, analisis kausal, serta perhatian terhadap faktor sosial-ekonomi. Pemikirannya tentang ilmu—yang dibagi antara ilmu wahyu (naqliyyah) dan ilmu akal (‘aqliyyah)—menunjukkan sikap ilmiah yang tidak anti-religius namun tetap rasional dan empiris.⁽⁴⁾

Dalam konteks kontemporer, pemikiran Ibnu Khaldun tetap relevan untuk dijadikan fondasi dalam membangun pendekatan ilmu sosial yang kontekstual, kritis, dan berbasis pada tradisi intelektual non-Barat. Teorinya memberikan kerangka alternatif terhadap dominasi paradigma Barat dalam ilmu sosial, seraya menawarkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang relasi antara kekuasaan, budaya, ekonomi, dan moralitas.⁽⁵⁾

Meskipun demikian, pemikiran Ibnu Khaldun tetap tidak luput dari keterbatasan. Beberapa teorinya—terutama terkait siklus dinasti—terlihat deterministik dan terlalu terikat pada konteks Maghrib abad ke-14.⁽⁶⁾ Namun, keterbatasan tersebut tidak mengurangi nilai historis dan teoritis dari Muqaddimah sebagai warisan agung pemikiran Islam dan dunia.

Secara keseluruhan, Muqaddimah merupakan mahakarya yang mempertemukan observasi empiris, analisis rasional, dan visi filosofis dalam satu kesatuan narasi ilmiah. Ibnu Khaldun bukan hanya pelopor dalam sejarah intelektual Islam, tetapi juga tokoh besar yang meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu sosial modern. Maka, pengkajian dan aktualisasi pemikirannya menjadi penting tidak hanya untuk memahami masa lalu, tetapi juga untuk membangun sistem keilmuan masa depan yang lebih integral, inklusif, dan kritis.


Catatan Kaki

[1]                Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen & Unwin Ltd., 1957), 91–93.

[2]                Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory (Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 13–15.

[3]                Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford University Press, 1934), 321.

[4]                Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 1:xxiii–xxv.

[5]                Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 73.

[6]                Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), 129.


Daftar Pustaka

Alatas, S. F. (2013). Applying Ibn Khaldun: The recovery of a lost tradition in sociology. Routledge.

Alatas, S. F. (2014). Ibn Khaldun and contemporary sociology: A study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in light of contemporary social theory. ISEAS Publishing.

Al-Azmeh, A. (1981). Ibn Khaldun in modern scholarship: A study in Orientalism. Third World Centre for Research and Publishing.

Baali, F. (1997). Ibn Khaldun’s theory of taxation and its relevance today. Islamic Economic Studies, 5(1), 59–81.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. The Islamic Foundation.

Fromherz, A. J. (2010). Ibn Khaldun: Life and times. Edinburgh University Press.

Irwin, R. (2018). Ibn Khaldun: An intellectual biography. Princeton University Press.

Kassam, Z. (1997). Ibn Khaldun’s approach to history: A feminist critique. Islamic Studies Journal, 36(2), 239–255.

Mahdi, M. (1957). Ibn Khaldun’s philosophy of history: A study in the philosophic foundation of the science of culture. George Allen & Unwin Ltd.

Rosenthal, F. (Trans.). (1967). The Muqaddimah: An introduction to history by Ibn Khaldun (3 vols.). Princeton University Press.

Toynbee, A. J. (1934). A study of history (Vol. 3). Oxford University Press.

Zein, I. M. (2001). The relevance of Ibn Khaldun’s thought to contemporary Muslim reformers. Islamic Quarterly, 45(3), 205–217.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar