Pemikiran Ibnu Khaldun
Kajian Epistemologis atas Pemikirannya dalam Muqaddimah
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran Ibnu
Khaldun dalam karya monumentalnya Muqaddimah, dengan fokus pada dimensi
epistemologis sebagai fondasi ilmu sosial yang orisinal. Ibnu Khaldun merupakan
salah satu tokoh pemikir Muslim yang mampu merumuskan teori sosial yang
integral, kritis, dan berbasis pada observasi empiris serta refleksi rasional.
Artikel ini membahas beberapa aspek utama pemikirannya, seperti landasan
epistemologi ilmu, konsep asabiyyah (solidaritas sosial), teori siklus
peradaban, serta hubungan antara negara dan ekonomi. Selain itu, artikel ini
menelusuri pengaruh Ibnu Khaldun dalam tradisi intelektual Islam dan Barat,
serta relevansinya dalam diskursus ilmu sosial kontemporer. Pendekatan analisis
yang digunakan bersifat historis-filosofis dan tematik, dengan merujuk pada
karya-karya akademik kredibel. Hasil kajian menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun
telah meletakkan dasar bagi ilmu sosial modern jauh sebelum kemunculan
sosiologi di Barat, dan bahwa kerangka pemikirannya masih sangat relevan untuk
dijadikan acuan dalam membangun paradigma ilmu sosial non-Barat yang
kontekstual dan kritis.
Kata Kunci: Ibnu Khaldun; Muqaddimah; Epistemologi Islam; Ilmu Sosial;
Asabiyyah; Filsafat Sejarah; Sosiologi Politik; Negara dan Ekonomi; Siklus
Peradaban.
PEMBAHASAN
Ibnu Khaldun dan Fondasi Ilmu Sosial
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan
sejarah pemikiran Islam klasik, Ibnu Khaldun (1332–1406) menempati posisi yang
sangat menonjol sebagai seorang ilmuwan multidisipliner yang mengembangkan
paradigma historis dan sosiologis yang belum pernah dikenal sebelumnya dalam
dunia Islam maupun Barat. Melalui karya monumentalnya al-Muqaddimah,
ia membangun suatu pendekatan baru dalam memahami dinamika masyarakat,
peradaban, dan sejarah berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan empiris yang
sistematis. Sebagian besar sarjana kontemporer bahkan menyebutnya sebagai “bapak
ilmu sosial” atau “pelopor sosiologi modern,” jauh sebelum
Auguste Comte merumuskan konsep serupa pada abad ke-19.¹
Ibnu Khaldun tidak
sekadar menuliskan sejarah sebagai rangkaian peristiwa kronologis, melainkan
menyusun sebuah teori ilmu sejarah yang bersandar
pada prinsip-prinsip sebab-akibat sosial, struktur kekuasaan, dan transformasi
budaya. Dalam hal ini, ia mengembangkan pendekatan ilmiah yang didasarkan pada
pengamatan empiris, kausalitas rasional, dan kritik terhadap narasi sejarah
yang bersifat fiktif atau legenda.² Dengan demikian, Muqaddimah
tidak hanya menjadi mukadimah dari kitab sejarah al-‘Ibar, melainkan juga menjadi
fondasi bagi lahirnya disiplin-disiplin modern seperti sosiologi, ilmu politik,
ekonomi, dan antropologi.³
Signifikansi
pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah juga terletak pada
konsep-konsep kunci yang ia rumuskan, seperti ‘asabiyyah (solidaritas sosial), umrān
(peradaban), tabi‘ al-‘umrān (hukum-hukum
sosial), dan teori siklus kekuasaan. Konsep-konsep ini tidak hanya bersifat
deskriptif, tetapi juga analitis dan prediktif, menjadikannya sebagai model
awal dari teori sosial yang mendalam.⁴ Berbeda dengan historiografi
tradisional, Ibnu Khaldun mengutamakan verifikasi terhadap sumber,
kehati-hatian dalam menafsirkan kronik, serta penekanan terhadap dinamika
struktural masyarakat sebagai faktor utama dalam perubahan sejarah.⁵
Kajian ini bertujuan
untuk mengelaborasi secara mendalam dimensi epistemologis dalam pemikiran Ibnu
Khaldun sebagaimana tercermin dalam Muqaddimah. Pembahasan akan
difokuskan pada landasan teoritis yang melandasi pendekatannya terhadap ilmu,
masyarakat, dan sejarah. Dengan mengintegrasikan pendekatan historis-filosofis
dan analisis tematik terhadap teks-teks primer serta referensi ilmiah modern,
artikel ini berusaha mengungkap signifikansi pemikiran Ibnu Khaldun dalam
konteks keilmuan klasik dan kontribusinya bagi ilmu sosial kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 3.
[2]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by
Ibn Khaldun, translated and edited by Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1967), 1:xxxvii–xxxix.
[3]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study
of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 5.
[4]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 92–93.
[5]
Robert Irwin, “Islamic Historiography,” in The New Cambridge
History of Islam, ed. Chase F. Robinson, vol. 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2010), 497.
2.
Biografi
Singkat Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, yang
bernama lengkap Abū Zayd ‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad ibn
Khaldūn al-Ḥaḍramī, lahir pada tanggal 1 Ramadhan 732 H / 27
Mei 1332 M di kota Tunis, Tunisia.¹ Ia berasal dari keluarga bangsawan
Andalusia yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat. Keluarganya bermigrasi ke
Maghrib setelah jatuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia, dan menetap di Ifriqiyah
(Tunisia modern), yang saat itu merupakan pusat intelektual penting dunia
Islam.²
Sejak usia muda,
Ibnu Khaldun memperoleh pendidikan yang intensif dalam berbagai cabang ilmu
tradisional Islam, termasuk Al-Qur’an, Hadis, Fiqh, Nahwu, Balaghah, dan
Logika.³ Ia juga mempelajari ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, matematika,
dan astronomi, mengikuti kurikulum ilmiah khas dunia Islam klasik. Salah satu
gurunya yang paling berpengaruh adalah al-Ābilī (w. 1356), seorang pemikir yang
mengenalkannya pada karya-karya filsuf Muslim dan Yunani seperti al-Fārābī, Ibn
Sīnā, dan Aristoteles.⁴
Karier Ibnu Khaldun
tidak terbatas pada dunia akademik, tetapi juga merambah ke ranah politik dan
administrasi. Ia menjabat sebagai sekretaris istana, duta diplomatik, dan qāḍī
(hakim) di berbagai kerajaan Islam di Afrika Utara, seperti Dinasti Marinid di
Fez, Hafsid di Tunis, dan Zayyanid di Tlemcen.⁵ Pengalaman politik yang
kompleks ini memberinya wawasan empiris tentang kekuasaan, konflik, dan
dinamika sosial yang kemudian menjadi bahan reflektif dalam Muqaddimah.
Masa produktif Ibnu
Khaldun dalam menulis al-Muqaddimah dimulai ketika ia
mengasingkan diri di Qal‘at Bani Salamah, sebuah benteng di wilayah barat
Aljazair, pada tahun 1375–1379.⁶ Dalam pengasingan itulah ia menulis pengantar
(muqaddimah) yang awalnya dimaksudkan sebagai pembukaan Kitāb
al-‘Ibar, tetapi kemudian berdiri sebagai karya tersendiri karena
kedalaman analisisnya tentang sejarah, masyarakat, dan peradaban.⁷ Setelah
menyelesaikan Muqaddimah, Ibnu Khaldun kembali
terlibat dalam berbagai jabatan publik, termasuk sebagai Qāḍī Mālikī tertinggi
di Mesir pada era Mamluk. Ia wafat di Kairo pada tahun 1406 M (808 H),
meninggalkan warisan intelektual yang terus dikaji hingga saat ini.⁸
Kehidupan Ibnu
Khaldun mencerminkan keterkaitan erat antara teori dan pengalaman empiris.
Perpaduan antara latar belakang keilmuan, pengalaman birokrasi, dan kontemplasi
filosofis menjadikannya unik di antara para pemikir Islam klasik. Sosoknya
tidak hanya merepresentasikan ulama, tetapi juga intelektual kritis yang mencoba
membangun kerangka ilmiah baru dalam memahami masyarakat dan sejarah manusia
secara menyeluruh.
Catatan Kaki
[1]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by
Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1967), 1:lv.
[2]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 7.
[3]
N. J. Coulson, “A History of Islamic Law,” Edinburgh University
Press (1964), 126.
[4]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 45.
[5]
Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost
Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 20.
[6]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 69–71.
[7]
Abdesselam Cheddadi, “Ibn Khaldun,” in Encyclopaedia of Islam,
Three, eds. Kate Fleet et al. (Leiden: Brill, 2012), accessed via Brill
Online.
[8]
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 201.
3.
Landasan
Epistemologi dalam Pemikiran Ibnu Khaldun
Salah satu
keunggulan konseptual Muqaddimah karya Ibnu Khaldun
terletak pada kerangka epistemologis yang mendasari pendekatannya terhadap ilmu
pengetahuan, sejarah, dan masyarakat. Dalam konteks filsafat ilmu, Ibnu Khaldun
menunjukkan kesadaran metodologis yang tinggi terhadap cara memperoleh
pengetahuan (epistēmē) yang sahih dan berguna dalam memahami realitas sosial.
Ia mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua kategori besar: ‘ulum
naqliyyah (ilmu-ilmu yang bersumber dari wahyu seperti tafsir,
hadis, dan fikih) dan ‘ulum ‘aqliyyah (ilmu-ilmu
rasional seperti logika, filsafat, dan matematika), serta menempatkan sejarah
sebagai ilmu empiris yang perlu dianalisis secara kritis dan logis.¹
Ibnu Khaldun
mengkritik metode penulisan sejarah tradisional yang cenderung mengandalkan
periwayatan tanpa verifikasi rasional. Ia menekankan bahwa pengetahuan sejarah
seharusnya tunduk pada prinsip al-tahqīq wa al-taḥqīq
(verifikasi dan kritik), serta mempertimbangkan kondisi sosial dan psikologis
masyarakat yang terlibat dalam peristiwa sejarah.² Menurutnya, banyak sejarawan
“menyalin” informasi tanpa menguji kelayakan dan rasionalitasnya,
sehingga menghasilkan narasi yang bercampur antara fakta dan legenda.³ Dalam
hal ini, Ibnu Khaldun memperkenalkan metode ‘ilm al-‘umrān al-basharī (ilmu
tentang peradaban manusia), yaitu suatu bentuk pengetahuan yang menggabungkan
pendekatan empiris dan rasional untuk menjelaskan dinamika sosial secara
kausal.⁴
Konsep-konsep dasar
epistemologi Ibnu Khaldun terkait erat dengan pandangannya tentang sebab-akibat
(al-sababiyyah) dan hukum sosial (‘ādāt wa sunan)
yang mengatur perkembangan masyarakat. Ia berkeyakinan bahwa fenomena sosial
tidak bersifat acak atau semata-mata takdir, tetapi mengikuti pola-pola
tertentu yang dapat dikenali dan dipahami secara ilmiah. Hal ini menunjukkan
bahwa Ibnu Khaldun telah menyusun bentuk awal dari teori
kausalitas sosial jauh sebelum teori-teori serupa berkembang di
Barat pada abad modern.⁵
Sumber validitas
ilmu, menurut Ibnu Khaldun, juga bergantung pada integrasi antara akal
(‘aql) dan pengalaman (‘ibar). Ia menolak
pendekatan spekulatif murni dalam filsafat yang terputus dari realitas empiris,
seraya menghindari juga literalitas sempit dalam ilmu-ilmu keagamaan yang tidak
mempertimbangkan konteks sosial. Dalam kerangka ini, epistemologi Ibnu Khaldun
bercorak kritikal dan integratif,
menggabungkan rasionalitas, observasi, dan konteks historis secara
proporsional.⁶
Selain itu, Ibnu
Khaldun memiliki kesadaran bahwa ilmu tidak berkembang dalam ruang hampa, melainkan
dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya. Ia bahkan menyatakan
bahwa kemajuan ilmu terjadi pada fase-fase awal peradaban ketika semangat ‘asabiyyah
dan stabilitas politik sedang tinggi, sementara kemunduran ilmu terjadi ketika
negara memasuki fase dekadensi.⁷ Pandangan ini memperlihatkan aspek sosiologi
pengetahuan dalam pemikirannya, yaitu bahwa perkembangan ilmu
sangat berkorelasi dengan kondisi masyarakat yang melahirkannya.
Dalam Muqaddimah,
Ibnu Khaldun tidak hanya menata ulang cara memahami sejarah, tetapi juga
menyusun dasar metodologi ilmiah yang berbasis pada observasi realitas sosial,
prinsip verifikasi, dan teori umum tentang perubahan masyarakat. Oleh karena
itu, ia dapat dikatakan telah membangun suatu epistemologi sosial yang menjadi
fondasi awal bagi lahirnya ilmu-ilmu sosial modern.
Catatan Kaki
[1]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by
Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1967), 1:xxiii–xxv.
[2]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study
of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 15–17.
[3]
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 78.
[4]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 79.
[5]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 106.
[6]
N. J. Coulson, “A History of Islamic Law,” Edinburgh University Press
(1964), 127.
[7]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 91–93.
4.
Teori
Asabiyyah: Pilar Sosiologi Politik Ibnu Khaldun
Salah satu
kontribusi paling orisinal dan revolusioner dari Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah
adalah konsep ‘asabiyyah, yang secara
sederhana dapat dipahami sebagai “solidaritas kelompok” atau “kohesi
sosial.”_¹ Konsep ini menjadi fondasi utama dalam analisis Ibnu Khaldun
tentang dinamika kekuasaan, formasi negara, serta naik turunnya peradaban. Bagi
Ibnu Khaldun, asabiyyah adalah kekuatan pendorong
yang memungkinkan sekelompok masyarakat, khususnya yang hidup dalam lingkungan
badui (tribal-nomadik), untuk bersatu dan memperoleh kekuatan politik yang
dapat menggulingkan rezim lama dan membangun pemerintahan baru.²
Ibnu Khaldun
membedakan antara asabiyyah yang bersumber dari
hubungan darah dan asabiyyah yang timbul dari
loyalitas atau ikatan ideologis. Ia menekankan bahwa kekuatan asabiyyah
paling efektif biasanya tumbuh dalam masyarakat suku (badui) yang belum
terkontaminasi oleh kemewahan dan kemerosotan moral kota. Ketika kekuasaan
telah diperoleh dan masyarakat menjadi urban (hadhari), kekuatan asabiyyah
perlahan melemah karena tergantikan oleh kehidupan yang cenderung individualistis
dan materialistis.³
Konsep ini berkaitan
erat dengan teori siklus kekuasaan yang digagas
oleh Ibnu Khaldun: sebuah model sejarah dinasti yang dimulai dari kekuatan asabiyyah,
berlanjut pada konsolidasi politik, kemakmuran, dan pada akhirnya kemerosotan
akibat kemewahan serta kehilangan semangat kolektif. Ia mengidentifikasi bahwa
setiap dinasti (mulk) memiliki umur rata-rata sekitar tiga generasi—dari
pendiri yang kuat, penguasa penerus yang memantapkan struktur, hingga generasi
ketiga yang lemah dan memanjakan diri.⁴
Dalam perspektif
sosiologi politik, teori asabiyyah dapat dipandang sebagai
cikal bakal dari gagasan tentang legitimasi kekuasaan dan basis sosial negara.
Ibnu Khaldun memahami negara bukan sekadar sebagai institusi hukum, tetapi sebagai
hasil dari konfigurasi kekuatan sosial yang dinamis. Keberlangsungan negara
sangat tergantung pada keberadaan solidaritas kolektif yang kuat, yang
memungkinkan penguasa mendapatkan dukungan dan ketaatan rakyatnya.⁵
Selain itu, asabiyyah
juga memiliki fungsi mobilisasi politik. Dalam konteks perebutan kekuasaan
antar kelompok, kekuatan solidaritas menjadi instrumen utama dalam menyatukan
aspirasi dan tindakan politik. Ibnu Khaldun menekankan bahwa tanpa asabiyyah,
sebuah kekuatan politik tidak akan mampu bertahan atau bahkan terbentuk. Ia
menyatakan, “Kekuasaan tidak akan terbentuk kecuali dengan asabiyyah, dan asabiyyah tidak akan kuat kecuali dengan
keberpihakan terhadap suatu tujuan bersama.”_⁶
Beberapa sarjana
modern, seperti Syed Farid Alatas, menganggap bahwa asabiyyah adalah cikal bakal teori
konflik sosial yang dikenal dalam tradisi sosiologi Barat, mirip dengan teori
kelas Karl Marx, namun dengan fondasi antropologis yang berbeda.⁷ Ibnu Khaldun
menempatkan konflik sebagai sesuatu yang inheren dalam struktur sosial, bukan
sekadar deviasi dari norma, tetapi sebagai dinamika permanen yang mengatur
sejarah. Dengan demikian, konsep asabiyyah tidak hanya menjelaskan
perubahan politik, tetapi juga struktur sosial dan transformasi budaya.
Dalam kerangka
epistemologis Ibnu Khaldun, asabiyyah bukan sekadar konsep
deskriptif, tetapi juga analitis dan normatif, yang
memberikan landasan untuk memahami dan menilai kekuatan kolektif dalam sejarah
umat manusia. Konsep ini menunjukkan kejeniusan Ibnu Khaldun dalam merumuskan
teori sosiologi politik yang berakar pada observasi empiris dan refleksi
mendalam terhadap realitas sejarah.
Catatan Kaki
[1]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by
Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1967), 1:xcv–xcvii.
[2]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 102.
[3]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 99–101.
[4]
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 125–126.
[5]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 118.
[6]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 1,
2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 285.
[7]
Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost
Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 34–37.
5.
Filsafat
Sejarah dan Siklus Peradaban
Ibnu Khaldun dapat
dikatakan sebagai perintis dalam membangun filsafat sejarah (philosophy of
history), yakni upaya untuk memahami sejarah bukan sekadar sebagai kronik
peristiwa, melainkan sebagai ilmu yang menelaah pola, hukum, dan dinamika
perubahan sosial. Dalam Muqaddimah, ia mendefinisikan
sejarah sebagai suatu “berita tentang masyarakat dan peradaban manusia, serta
transformasi kondisi masyarakat dan negara dari satu situasi ke situasi lain.”¹
Definisi ini menunjukkan bahwa bagi Ibnu Khaldun, sejarah memiliki struktur
rasional dan mengikuti kaidah-kaidah sosial yang dapat dipelajari dan dipahami
secara sistematis.
Filsafat sejarah
yang dikembangkan Ibnu Khaldun berakar pada prinsip kausalitas
sosial (al-sababiyyah al-ijtima'iyyah), yakni bahwa setiap
peristiwa sejarah harus dianalisis berdasarkan sebab-sebab rasional yang
bersumber dari struktur sosial, budaya, dan politik masyarakat yang
bersangkutan.² Ia menolak pendekatan tradisional yang menjadikan sejarah
sebagai kisah kepahlawanan atau kejadian luar biasa tanpa pertimbangan logis.
Sebaliknya, ia mengedepankan pendekatan kritikal, yang melihat sejarah
sebagai cermin dinamika kolektif manusia dalam konteks ruang dan waktu
tertentu.³
Salah satu teori
paling orisinal dalam Muqaddimah adalah konsep tentang siklus
peradaban (daurat al-ḥaḍārah), yakni model historis yang
menggambarkan proses muncul, berkembang, dan runtuhnya dinasti atau negara.⁴
Menurut Ibnu Khaldun, setiap kekuasaan politik melalui fase-fase berikut:
1)
Tahap pertama
(pembentukan): ditandai oleh solidaritas kuat (‘asabiyyah)
dan kepemimpinan militan;
2)
Tahap kedua
(konsolidasi): kekuasaan dilembagakan dan mulai mengembangkan
struktur administrasi;
3)
Tahap ketiga
(kemakmuran): masyarakat mencapai kemajuan ekonomi dan budaya;
4)
Tahap keempat
(kelemahan): munculnya kemewahan, dekadensi moral, dan
melemahnya ‘asabiyyah;
5)
Tahap kelima
(keruntuhan): negara menjadi rapuh, penuh korupsi, dan akhirnya
dihancurkan oleh kekuatan baru.⁵
Teori siklus ini
tidak bersifat fatalistik, melainkan bersifat sosiologis-historis: peradaban
tidak hancur karena takdir, melainkan karena hilangnya energi sosial dan
degradasi nilai kolektif yang menjadi pilar peradaban itu sendiri. Ibnu Khaldun
menekankan bahwa kehancuran peradaban terjadi ketika kemewahan mengalahkan
semangat perjuangan, ketika negara menjadi otoriter dan menjauh dari prinsip
keadilan sosial.⁶
Uniknya, Ibnu Khaldun
juga melihat sejarah sebagai wahana untuk pembelajaran moral dan intelektual,
atau apa yang ia sebut sebagai ‘ibar (pengambilan pelajaran).
Dalam konteks ini, sejarah bukan hanya ilmu sosial, melainkan juga sarana untuk
membentuk kesadaran etis dan perenungan filosofis tentang jatuh bangunnya
peradaban manusia.⁷
Beberapa pemikir
modern, seperti Arnold J. Toynbee, secara eksplisit mengakui bahwa Ibnu Khaldun
telah meletakkan dasar teori sejarah dan peradaban yang kemudian diadopsi oleh sejarawan-sejarawan
Eropa. Toynbee bahkan menyebut Muqaddimah sebagai “the greatest
work of its kind ever created by any mind in any time or place.”_⁸
Dengan menggabungkan
penjelasan rasional, prinsip kausalitas, dan pemahaman struktural terhadap
sejarah, Ibnu Khaldun telah meletakkan dasar dari suatu pendekatan historis
yang bukan hanya deskriptif, tetapi juga teoritis. Ia tidak hanya mencatat
sejarah, tetapi juga memformulasikan hukum-hukum sosial
yang mengatur perubahan masyarakat. Dengan demikian, filsafat sejarah versi
Ibnu Khaldun menjadi elemen sentral dalam kerangka epistemologisnya, sekaligus
pondasi penting bagi ilmu sosial kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 1
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), 3.
[2]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study
of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 23–25.
[3]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 87–88.
[4]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 105.
[5]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah, 1:lvii–lx.
[6]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 123–124.
[7]
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 132.
[8]
Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford
University Press, 1934), 321.
6.
Ekonomi
dan Negara: Analisis Sosio-Ekonomi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun
merupakan salah satu pemikir Muslim pertama yang mengembangkan kerangka
analitis ekonomi dalam kaitannya dengan struktur negara dan
dinamika sosial. Dalam Muqaddimah, ia mengemukakan bahwa
kehidupan ekonomi suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan
politik yang menaunginya.⁽¹⁾ Negara, menurut Ibnu Khaldun, bukan hanya penjaga
keamanan dan hukum, tetapi juga aktor utama dalam distribusi kekayaan,
pengelolaan sumber daya, dan pembentukan kemakmuran publik.
Salah satu gagasan
fundamental Ibnu Khaldun adalah kaitan antara kerja (al-‘amal) dan kekayaan.
Ia menegaskan bahwa segala bentuk kekayaan bersumber dari kerja manusia, baik
dalam bentuk produksi barang maupun jasa.⁽²⁾ Dengan demikian, produktivitas
merupakan elemen kunci dalam pertumbuhan ekonomi, dan nilai suatu barang
ditentukan oleh tingkat tenaga kerja serta keahlian yang terlibat dalam
produksinya. Gagasan ini menjadikan Ibnu Khaldun sebagai pelopor teori nilai
kerja, jauh sebelum konsep serupa dirumuskan oleh Adam Smith dan Karl Marx.⁽³⁾
Ibnu Khaldun juga
memperkenalkan konsep sirkulasi kekayaan dan kebijakan fiskal,
terutama dalam konteks pajak. Ia berpendapat bahwa tingkat
pajak yang terlalu tinggi justru akan menurunkan pendapatan negara,
karena akan mengurangi insentif kerja dan aktivitas ekonomi masyarakat.
Sebaliknya, pajak yang rendah akan mendorong pertumbuhan produktivitas dan
memperluas basis penerimaan negara.⁽⁴⁾ Pernyataannya bahwa “Pada awal
kekuasaan, pajak kecil dan pendapatan besar, namun pada akhir kekuasaan, pajak
besar dan pendapatan kecil” menunjukkan pemahamannya yang cermat terhadap efek
kurva Laffer—sebuah prinsip ekonomi yang baru dikenal secara
formal berabad-abad kemudian.⁽⁵⁾
Lebih lanjut, Ibnu
Khaldun menegaskan bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat bagi
pertumbuhan ekonomi. Negara yang adil, aman, dan tertib akan
menciptakan lingkungan kondusif bagi perdagangan, pertanian, dan kerajinan.
Sebaliknya, negara yang represif dan tidak menegakkan hukum hanya akan
menimbulkan ketidakpastian dan mempercepat kehancuran ekonomi.⁽⁶⁾ Dalam hal
ini, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kekuasaan politik yang korup dan konsumtif
berpotensi menghancurkan struktur produktif masyarakat, dan akhirnya
meruntuhkan legitimasi negara itu sendiri.
Ibnu Khaldun tidak
melihat negara sebagai entitas netral, melainkan sebagai agen yang aktif dan
menentukan dalam kehidupan ekonomi. Ia menjelaskan bagaimana negara bisa
menjadi pelindung sekaligus perusak peradaban, tergantung pada apakah
pemerintahannya berpijak pada prinsip keadilan, distribusi kekayaan yang
merata, dan pembinaan terhadap produktivitas masyarakat.⁽⁷⁾
Analisis sosio-ekonomi
Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa ia memiliki pemahaman multidimensi terhadap
relasi antara struktur politik, sistem ekonomi, dan dinamika
sosial. Dengan menempatkan ekonomi dalam kerangka sosiologis
dan historis, Ibnu Khaldun tidak hanya berkontribusi pada pemikiran ekonomi
klasik, tetapi juga membuka jalan bagi kajian ekonomi-politik modern yang
mengintegrasikan faktor-faktor sosial dan institusional dalam analisisnya.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol. 2 (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1967), 287.
[2]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study
of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 45.
[3]
Muhammad Umar Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 156.
[4]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah, vol. 2, 293–294.
[5]
Fuad Baali, “Ibn Khaldun’s Theory of Taxation and its Relevance Today,”
Islamic Economic Studies 5, no. 1 (1997): 59–61.
[6]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 95.
[7]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 115–117.
7.
Pengaruh
dan Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun
merupakan salah satu pemikir Islam yang pengaruhnya melintasi batas zaman,
geografis, dan disiplin ilmu. Sejak masa hidupnya hingga era modern,
karya-karyanya, terutama Muqaddimah, telah menarik perhatian
intelektual dari berbagai latar belakang—baik dalam tradisi Islam maupun di
kalangan pemikir Barat. Pengaruhnya tidak hanya terasa dalam bidang
historiografi, tetapi juga dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan
antropologi.
7.1.
Pengaruh dalam
Tradisi Intelektual Islam
Di dunia Islam,
pemikiran Ibnu Khaldun pada awalnya tidak mendapatkan penghargaan yang
semestinya.⁽¹⁾ Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pendekatannya yang
kritis terhadap historiografi tradisional dan penekanannya pada metode rasional
dalam kajian sosial. Namun, dalam beberapa abad terakhir, terutama sejak
kebangkitan pemikiran modern Islam, banyak intelektual Muslim mulai meninjau
kembali warisan Ibnu Khaldun dan menjadikannya inspirasi untuk merekonstruksi
epistemologi Islam dalam menghadapi tantangan modernitas.⁽²⁾ Pemikir seperti
Malek Bennabi, Ali Shariati, dan Syed Naquib al-Attas mengapresiasi kerangka
pemikiran Muqaddimah
sebagai landasan untuk membangun sains sosial Islam yang kontekstual dan
integral.⁽³⁾
7.2.
Resonansi dalam Ilmu
Sosial Barat
Ketertarikan dunia
Barat terhadap Ibnu Khaldun mulai meningkat sejak diterjemahkannya Muqaddimah
ke dalam bahasa Prancis oleh Baron de Slane pada abad ke-19, dan kemudian ke
dalam bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal. Sejarawan Inggris, Arnold
J. Toynbee, sangat mengagumi Ibnu Khaldun dan menyebutnya
sebagai "the greatest sociological mind to appear among the Arabs and
indeed in the whole of the Middle Ages."_⁽⁴⁾ Toynbee bahkan mengakui
bahwa teori siklus peradaban yang ia kembangkan dalam A Study
of History banyak terinspirasi dari kerangka historis Ibnu
Khaldun.⁽⁵⁾
Dalam tradisi
sosiologi modern, beberapa pemikir mengakui bahwa Ibnu Khaldun telah
mengantisipasi konsep-konsep kunci dalam teori konflik, teori elite, dan dinamika
sosial. Asabiyyah,
misalnya, memiliki kemiripan dengan konsep kohesi sosial dan teori konflik Karl
Marx maupun Max Weber, namun dengan akar historis dan antropologis yang
khas.⁽⁶⁾ Bahkan, Syed Farid Alatas menekankan bahwa Muqaddimah bisa menjadi dasar bagi
formulasi sosiologi non-Barat yang autentik, sebagai upaya dekolonisasi ilmu
sosial dari dominasi paradigma Eropa.⁽⁷⁾
7.3.
Relevansi
Kontemporer
Relevansi pemikiran
Ibnu Khaldun semakin nyata dalam konteks dunia modern yang sedang menghadapi
krisis sosial, ekonomi, dan politik. Teori siklus peradaban yang ia kemukakan
mencerminkan fenomena pasang surut negara-bangsa, korupsi kekuasaan, dan
melemahnya solidaritas sosial.⁽⁸⁾ Dalam konteks negara-negara berkembang,
misalnya, analisis Ibnu Khaldun tentang hubungan antara pajak, produksi, dan
stabilitas politik tetap relevan dalam kebijakan fiskal kontemporer.
Lebih jauh lagi,
pendekatan metodologis Ibnu Khaldun yang menggabungkan observasi empiris,
refleksi rasional, dan kerangka historis-kontekstual menjadi sangat penting
dalam era post-truth dan informasi digital. Ia mengajarkan perlunya skeptisisme
epistemologis yang sehat, yakni tidak menerima informasi begitu
saja, tetapi menilai validitasnya berdasarkan hukum sosial dan akal sehat.⁽⁹⁾
Ibnu Khaldun juga
membuka ruang bagi pengembangan sosiologi Islam yang bukan
sekadar mengadopsi teori Barat, tetapi berpijak pada khazanah keilmuan Islam
yang kaya dan kontekstual. Dengan demikian, Muqaddimah menjadi inspirasi bukan
hanya dalam konteks sejarah peradaban Islam, tetapi juga dalam membangun
pendekatan alternatif terhadap ilmu sosial secara global.
Catatan Kaki
[1]
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 183.
[2]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 157–158.
[3]
Ibrahim M. Zein, “The Relevance of Ibn Khaldun’s Thought to
Contemporary Muslim Reformers,” Islamic Quarterly 45, no. 3 (2001):
205–217.
[4]
Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford
University Press, 1934), 321.
[5]
Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost
Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 40.
[6]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 117–118.
[7]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 77–80.
[8]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 123–124.
[9]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal, vol.
1 (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967), xciii–xcv.
8.
Kritik
dan Apresiasi terhadap Pemikiran Ibnu Khaldun
Pemikiran Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimah mendapat tempat yang
istimewa dalam sejarah intelektual dunia. Banyak kalangan mengapresiasi
orisinalitas dan kedalaman analisisnya, namun di sisi lain, sejumlah kritik
juga diajukan baik dari segi metodologi, presisi historis, maupun implikasi
teoritis dari konsep-konsep yang ia ajukan.
8.1.
Apresiasi terhadap
Orisinalitas dan Kontribusi Ilmiah
Ibnu Khaldun
mendapat pengakuan luas sebagai salah satu pemikir yang paling orisinal dalam
dunia Islam dan bahkan dalam sejarah intelektual global. Para sarjana seperti Arnold
Toynbee menyebutnya sebagai “a genius,” dan menganggap Muqaddimah
sebagai “the greatest work of its kind
ever created by any mind in any time or place.”¹ Apresiasi ini tidak
lepas dari keberhasilannya dalam merumuskan kerangka ilmiah yang integratif
antara filsafat, sosiologi, ekonomi, dan sejarah.
Di antara kontribusi
besarnya adalah perumusan teori asabiyyah, siklus
dinasti, serta pendekatan rasional-empiris dalam historiografi,
yang secara keseluruhan meletakkan fondasi bagi apa yang sekarang disebut
sebagai sosiologi politik dan filsafat
sejarah.² Ia tidak hanya menulis sejarah, tetapi berusaha
menjelaskan hukum-hukum sosial yang
mengatur transformasi masyarakat.³
8.2.
Kritik Terhadap
Keterbatasan Teoritis dan Kontekstual
Meskipun demikian,
beberapa kritik akademis telah diajukan terhadap pemikiran Ibnu Khaldun.
Pertama, asumsi deterministik dalam teori siklus
peradaban dinilai terlalu simplistik. Model lima tahap dinasti
yang ia kemukakan dianggap tidak cukup fleksibel untuk menjelaskan dinamika
politik yang lebih kompleks dalam berbagai peradaban lain di luar konteks
Maghrib abad ke-14.⁴ Para ahli sejarah kontemporer mencatat bahwa teori ini
terlalu terikat pada pengalaman politik lokal dan sukar untuk digeneralisasi
secara universal.
Kritik kedua datang
dari pendekatan
gender dan inklusivitas sosial. Dalam Muqaddimah,
hampir tidak ditemukan pembahasan tentang peran perempuan, kelompok marjinal,
atau struktur sosial yang lebih luas dari komunitas maskulin-elit.⁵ Hal ini
mencerminkan keterbatasan historis dalam ruang lingkup pengamatannya, dan
menjadi perhatian dalam pengembangan wacana sosiologi inklusif di masa kini.
Ketiga, sebagian
sarjana mempersoalkan ketegangan antara posisi normatif dan analitis
dalam karya Ibnu Khaldun.⁶ Di satu sisi, ia menggunakan pendekatan ilmiah yang
berupaya objektif, tetapi di sisi lain ia tetap mempertahankan pandangan
normatif yang berakar pada nilai-nilai agama dan tradisi Islam. Hal ini
memunculkan pertanyaan metodologis mengenai batas antara observasi ilmiah dan
penilaian moral dalam kerangka analisis sosialnya.
8.3.
Penilaian
Kontemporer dalam Wacana Keilmuan
Meskipun terdapat
kritik, mayoritas peneliti kontemporer justru melihat pemikiran Ibnu Khaldun
sebagai kerangka kerja terbuka yang
dapat dikembangkan dan dikritisi lebih lanjut. Syed Farid Alatas, misalnya,
berpendapat bahwa Muqaddimah dapat menjadi dasar bagi
sosiologi global non-Barat yang
berpijak pada pengalaman historis dan budaya dunia Islam.⁷ Dalam konteks ini,
Ibnu Khaldun tidak harus dilihat sebagai tokoh klasik yang tertutup oleh
zamannya, melainkan sebagai pelopor pendekatan interdisipliner yang masih
sangat relevan bagi wacana kontemporer.
Selain itu,
pembacaan ulang atas Muqaddimah oleh para sejarawan,
ekonom, dan sosiolog menunjukkan bahwa karya tersebut mengandung kerangka
analisis yang mendalam dan fleksibel, yang dapat disesuaikan
dengan kebutuhan akademik lintas zaman dan lintas budaya.⁸ Maka, apresiasi
terhadap Ibnu Khaldun hari ini tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga
prospektif—yakni bagaimana ide-idenya digunakan untuk membangun teori sosial
yang lebih adil, inklusif, dan kontekstual.
Catatan Kaki
[1]
Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford
University Press, 1934), 321.
[2]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study
of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 11–12.
[3]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 97–99.
[4]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 129–130.
[5]
Zayn Kassam, “Ibn Khaldun’s Approach to History: A Feminist Critique,” Islamic
Studies Journal 36, no. 2 (1997): 239–255.
[6]
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018), 171–173.
[7]
Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost
Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 81–83.
[8]
Allen James Fromherz, Ibn Khaldun: Life and Times (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 137.
9.
Kesimpulan
Ibnu Khaldun
merupakan sosok pemikir yang kehadirannya dalam sejarah intelektual Islam dan
dunia secara luas menandai paradigma baru dalam memahami realitas sosial
dan sejarah. Melalui Muqaddimah, ia berhasil menyusun
suatu sistem pemikiran yang bersifat interdisipliner dan mendalam, yang tidak
hanya menyentuh ranah historiografi, tetapi juga menyentuh filsafat, sosiologi,
ekonomi, dan teori politik. Ia menghadirkan kerangka epistemologi yang berpijak
pada integrasi antara akal, pengalaman empiris, dan kesadaran akan dinamika
struktural masyarakat.⁽¹⁾
Salah satu kekuatan
terbesar dari pemikiran Ibnu Khaldun terletak pada kemampuannya
mengidentifikasi pola-pola sosial dan politik secara sistematis.
Konsep asabiyyah,
teori siklus peradaban, serta analisis hubungan antara negara, ekonomi, dan
moralitas kolektif menunjukkan bahwa ia tidak hanya mencatat sejarah, tetapi
juga memformulasikan
hukum-hukum sosial yang bersifat prediktif dan analitis.⁽²⁾
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun dapat dianggap sebagai perintis ilmu sosial jauh
sebelum kelahiran sosiologi sebagai disiplin formal di Barat.⁽³⁾
Dari sudut pandang
epistemologis, Ibnu Khaldun juga menunjukkan kesadaran metodologis yang sangat maju.
Ia menolak pendekatan dogmatis dan naratif belaka dalam sejarah, dan
menggantinya dengan metode kritis, analisis kausal, serta perhatian terhadap
faktor sosial-ekonomi. Pemikirannya tentang ilmu—yang dibagi antara ilmu wahyu
(naqliyyah)
dan ilmu akal (‘aqliyyah)—menunjukkan sikap ilmiah
yang tidak anti-religius namun tetap rasional dan empiris.⁽⁴⁾
Dalam konteks kontemporer,
pemikiran Ibnu Khaldun tetap relevan untuk dijadikan fondasi dalam membangun
pendekatan ilmu sosial yang kontekstual, kritis, dan berbasis pada tradisi
intelektual non-Barat. Teorinya memberikan kerangka alternatif terhadap
dominasi paradigma Barat dalam ilmu sosial, seraya menawarkan pemahaman yang
lebih menyeluruh tentang relasi antara kekuasaan, budaya, ekonomi, dan
moralitas.⁽⁵⁾
Meskipun demikian,
pemikiran Ibnu Khaldun tetap tidak luput dari keterbatasan. Beberapa
teorinya—terutama terkait siklus dinasti—terlihat deterministik dan terlalu
terikat pada konteks Maghrib abad ke-14.⁽⁶⁾ Namun, keterbatasan tersebut tidak
mengurangi nilai historis dan teoritis dari Muqaddimah sebagai warisan agung
pemikiran Islam dan dunia.
Secara keseluruhan, Muqaddimah
merupakan mahakarya yang mempertemukan observasi empiris, analisis rasional, dan visi
filosofis dalam satu kesatuan narasi ilmiah. Ibnu Khaldun bukan
hanya pelopor dalam sejarah intelektual Islam, tetapi juga tokoh besar yang
meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu sosial modern. Maka, pengkajian dan
aktualisasi pemikirannya menjadi penting tidak hanya untuk memahami masa lalu,
tetapi juga untuk membangun sistem keilmuan masa depan yang lebih integral,
inklusif, dan kritis.
Catatan Kaki
[1]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin Ltd., 1957), 91–93.
[2]
Syed Farid Alatas, Ibn Khaldun and Contemporary Sociology: A Study
of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in Light of Contemporary Social Theory
(Singapore: ISEAS Publishing, 2014), 13–15.
[3]
Arnold J. Toynbee, A Study of History, vol. 3 (London: Oxford
University Press, 1934), 321.
[4]
Franz Rosenthal, The Muqaddimah: An Introduction to History by
Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal, 3 vols. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1967), 1:xxiii–xxv.
[5]
Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost
Tradition in Sociology (London: Routledge, 2013), 73.
[6]
Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A Study in
Orientalism (London: Third World Centre for Research and Publishing,
1981), 129.
Daftar Pustaka
Alatas, S. F. (2013). Applying Ibn Khaldun: The
recovery of a lost tradition in sociology. Routledge.
Alatas, S. F. (2014). Ibn Khaldun and contemporary
sociology: A study of Ibn Khaldun’s Muqaddimah in light of contemporary social
theory. ISEAS Publishing.
Al-Azmeh, A. (1981). Ibn Khaldun in modern
scholarship: A study in Orientalism. Third World Centre for Research and
Publishing.
Baali, F. (1997). Ibn Khaldun’s theory of taxation
and its relevance today. Islamic Economic Studies, 5(1), 59–81.
Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic
challenge. The Islamic Foundation.
Fromherz, A. J. (2010). Ibn Khaldun: Life and
times. Edinburgh University Press.
Irwin, R. (2018). Ibn Khaldun: An intellectual
biography. Princeton University Press.
Kassam, Z. (1997). Ibn Khaldun’s approach to
history: A feminist critique. Islamic Studies Journal, 36(2), 239–255.
Mahdi, M. (1957). Ibn Khaldun’s philosophy of
history: A study in the philosophic foundation of the science of culture.
George Allen & Unwin Ltd.
Rosenthal, F. (Trans.). (1967). The Muqaddimah:
An introduction to history by Ibn Khaldun (3 vols.). Princeton University
Press.
Toynbee, A. J. (1934). A study of history
(Vol. 3). Oxford University Press.
Zein, I. M. (2001). The relevance of Ibn Khaldun’s
thought to contemporary Muslim reformers. Islamic Quarterly, 45(3),
205–217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar