Hermeneutika Modern
Pendekatan Holistik terhadap Makna
melalui Dimensi Linguistik dan Psikologis
Alihkan ke: Metode
Hermeneutika dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan hermeneutika modern dengan menekankan pendekatan holistik yang
mengintegrasikan dimensi linguistik dan psikologis dalam proses pemahaman makna
teks. Dengan menelusuri kontribusi pemikir seperti Schleiermacher, Dilthey,
Gadamer, dan Ricoeur, artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan proses
dialektis yang melibatkan bahasa sebagai medium ekspresi dan pengalaman
subjektif sebagai horizon pemaknaan. Dimensi linguistik dianalisis sebagai
struktur simbolik yang membentuk makna dalam konteks sosial dan historis,
sementara dimensi psikologis menyoroti peran intensi, kesadaran, dan pengalaman
penafsir. Artikel ini juga mengulas kritik terhadap pendekatan holistik,
termasuk dari perspektif post-strukturalis dan hermeneutika kritis, serta
menyajikan relevansi hermeneutika modern dalam konteks kontemporer seperti pendidikan,
studi agama, budaya populer, dan era digital. Dengan demikian, artikel ini
menggarisbawahi pentingnya hermeneutika sebagai kerangka interpretatif yang
reflektif, dialogis, dan manusiawi dalam menghadapi kompleksitas makna di era
modern.
Kata Kunci: Hermeneutika modern; pemahaman holistik; bahasa dan
makna; psikologi interpretatif; Schleiermacher; Gadamer; Ricoeur; fusi horizon;
kritik post-struktural; interpretasi teks.
PEMBAHASAN
Telaah Metode Hermeneutika Modern dalam Memahami Teks
secara Holistik
1.
Pendahuluan
Hermeneutika sebagai
seni dan teori penafsiran telah mengalami evolusi signifikan sejak masa klasik
hingga era modern. Awalnya dikembangkan sebagai metode untuk memahami teks-teks
suci dan hukum kuno, hermeneutika kemudian berkembang menjadi pendekatan filosofis
yang mencakup pemahaman terhadap segala bentuk ekspresi makna manusia, termasuk
bahasa, budaya, dan pengalaman subjektif. Dalam konteks kontemporer,
hermeneutika tidak hanya dipandang sebagai alat interpretasi, tetapi juga
sebagai kerangka epistemologis yang menekankan keterlibatan aktif pembaca dalam
proses pemahaman teks1.
Transformasi
hermeneutika dari pendekatan normatif menuju pendekatan reflektif dan
eksistensial dimulai secara signifikan melalui pemikiran Friedrich
Schleiermacher (1768–1834), yang menekankan pentingnya memahami baik struktur
linguistik teks maupun kejiwaan pengarang. Schleiermacher mengajukan bahwa
setiap teks mengandung makna ganda—baik gramatikal maupun psikologis—dan bahwa
penafsiran yang utuh membutuhkan rekonstruksi intensi batin pengarang melalui
empati dan imajinasi2. Pandangan ini menjadi dasar bagi pendekatan
holistik dalam hermeneutika modern, yang mempertemukan antara aspek linguistik
dan psikologis dalam pembacaan teks.
Lebih lanjut,
Wilhelm Dilthey (1833–1911) memperluas cakupan hermeneutika dari teks-teks
religius dan sastra ke seluruh wilayah Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu
kemanusiaan). Bagi Dilthey, pemahaman (Verstehen) terhadap tindakan manusia,
dokumen sejarah, dan ekspresi budaya memerlukan pendekatan hermeneutik yang
mengintegrasikan dimensi pengalaman dan konteks kehidupan3. Dimensi
ini semakin diperdalam dalam pemikiran Hans-Georg Gadamer, yang menekankan
bahwa pemahaman selalu merupakan hasil dari dialog antara “horizon”
pembaca dan “horizon” teks, yang dimediasi oleh bahasa sebagai medium
universal interpretasi4.
Di sisi lain,
dimensi linguistik dalam hermeneutika diperkuat oleh perkembangan linguistik
struktural dan post-struktural, yang memandang bahasa bukan hanya sebagai
sarana komunikasi, tetapi sebagai struktur pemaknaan yang membentuk realitas.
Tokoh seperti Ferdinand de Saussure dan Jacques Derrida menyoroti ketidakhadiran
makna tetap dalam teks dan pentingnya konstelasi tanda dalam produksi makna5.
Pendekatan ini mendorong pemahaman terhadap teks tidak sebagai entitas statis,
melainkan sebagai medan dinamika semantik yang terbuka terhadap pembacaan
plural.
Demikian pula, aspek
psikologis dalam hermeneutika modern membuka jalan bagi pemahaman terhadap
proses kognitif dan afektif yang terlibat dalam penafsiran. Kontribusi
psikologi fenomenologis dan humanistik, seperti yang dikembangkan oleh Carl
Rogers dan Maurice Merleau-Ponty, memberikan wawasan tentang kesadaran, niat,
dan struktur pengalaman personal dalam proses memahami teks sebagai ekspresi
eksistensial6.
Dengan demikian,
pendekatan holistik dalam hermeneutika modern menuntut integrasi antara dimensi
linguistik dan psikologis dalam rangka memperoleh pemahaman yang utuh dan
transformatif terhadap makna. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi
kerangka konseptual, tokoh kunci, serta implikasi metodologis dari pendekatan
ini sebagai kontribusi terhadap diskursus ilmu pengetahuan humaniora dan
filsafat interpretasi.
Footnotes
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 14–17.
[2]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–9.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 110–123.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 2004), 301–305.
[5]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 7–10; Ferdinand de
Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert
Sechehaye (Chicago: Open Court, 1986), 66–78.
[6]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton
Mifflin, 1961), 45–50; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), 179–188.
2.
Evolusi Hermeneutika: Dari Tradisional ke
Modern
Hermeneutika
memiliki sejarah panjang yang berakar pada upaya manusia untuk memahami
teks-teks yang dianggap otoritatif, seperti kitab suci dan hukum. Dalam fase
awalnya, hermeneutika bersifat normatif dan teknis, terutama berfokus pada
metodologi penafsiran teks-teks keagamaan. Di lingkungan Yudaisme dan Kristen
awal, hermeneutika digunakan untuk menginterpretasikan Kitab Suci, dengan
menekankan kesesuaian antara teks dan doktrin serta metode alegoris untuk
mengungkap makna tersembunyi1.
Pada masa klasik dan
pertengahan, penafsiran dipandu oleh otoritas agama dan prinsip-prinsip
gramatikal serta retoris yang ketat. Tokoh seperti Origen dan Agustinus
memberikan kontribusi penting dengan memperkenalkan pendekatan alegoris dan
tipologis dalam pembacaan Alkitab, yang berimplikasi pada pembentukan struktur
makna bertingkat (literal, moral, alegoris, dan anagogis)2. Namun
demikian, pendekatan ini cenderung menempatkan makna dalam kerangka dogmatik,
dan bukan sebagai hasil dari proses dinamis antara teks dan pembaca.
Transformasi besar
terjadi pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ketika hermeneutika
mengalami perluasan ranah dari sekadar teknik tafsir menjadi refleksi filosofis
tentang pemahaman. Friedrich Schleiermacher menjadi pelopor dalam memformulasikan
hermeneutika sebagai teori universal interpretasi. Ia menekankan bahwa setiap
teks merupakan ekspresi dari keindividualan pengarang dan sistem bahasa yang
digunakannya. Oleh karena itu, proses pemahaman harus mencakup dua dimensi: gramatikal
(struktur bahasa) dan psikologis (niat dan kesadaran
pengarang)3.
Konsep hermeneutika
Schleiermacher menandai pergeseran dari fokus pada norma-norma penafsiran
menuju pemahaman sebagai rekonstruksi kreatif atas dunia batin pengarang.
Baginya, memahami lebih baik dari pengarang sendiri (“den Autor besser
verstehen, als er sich selbst verstanden hat”) menjadi ideal penafsiran, yang
mencerminkan keterlibatan aktif pembaca dalam membangun makna4.
Penerus pemikiran
ini, Wilhelm Dilthey, membawa hermeneutika ke wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia
mengembangkan hermeneutika sebagai metode utama dalam memahami pengalaman
historis dan kehidupan batin manusia. Dilthey membedakan antara pendekatan eksplanatif
dalam ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dan pendekatan verstehen
dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya (Geisteswissenschaften). Dalam kerangka ini,
pemahaman menjadi proses internalisasi makna yang diwujudkan dalam ekspresi
manusia melalui bahasa, tindakan, dan karya budaya5.
Perkembangan berikutnya
terjadi melalui filsafat eksistensial dan fenomenologi, terutama melalui Martin
Heidegger, murid dari Edmund Husserl. Heidegger merevolusi hermeneutika dengan
mengalihkan fokus dari teks atau pengarang kepada eksistensi penafsir itu
sendiri. Dalam Being and Time (1927), ia
menekankan bahwa pemahaman adalah bentuk eksistensial dari keberadaan manusia
(Dasein), yang selalu sudah berada dalam dunia dan memiliki prapemahaman
(Vorverständnis) terhadap segala sesuatu yang ditafsirkannya6.
Dengan demikian, pemahaman tidak lagi netral atau objektif, melainkan bersifat
historis, kontekstual, dan terbuka.
Pemikiran Heidegger
ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Hans-Georg Gadamer, yang menyatakan
bahwa pemahaman adalah peristiwa dialogis antara
horizon masa lalu (teks) dan horizon masa kini (penafsir). Ia mengusulkan
konsep “fusi horizon” (Horizontverschmelzung) untuk
menggambarkan proses integrasi makna yang terjadi dalam dialog antara pembaca
dan teks. Gadamer menolak pandangan bahwa pemahaman dapat dilepaskan dari
prakonsepsi dan sejarah pribadi penafsir. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa
tradisi dan bahasa adalah medium yang membentuk cara kita menginterpretasi dunia7.
Dengan demikian,
evolusi hermeneutika dari pendekatan tradisional menuju modern ditandai oleh
pergeseran metodologis dan filosofis yang mendalam: dari penekanan pada
norma-norma eksegetis dan autoritas eksternal menuju penegasan atas pengalaman,
subjektivitas, dan konteks historis pembaca. Transformasi ini membuka jalan
bagi integrasi dimensi linguistik dan psikologis dalam penafsiran, sebagaimana
akan dibahas lebih lanjut dalam bagian-bagian berikutnya.
Footnotes
[1]
Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics
and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 7–12.
[2]
Henri de Lubac, Medieval Exegesis: The Four Senses of Scripture,
trans. Mark Sebanc (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 23–29.
[3]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–10.
[4]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 78–81.
[5]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 90–97.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 2004), 272–278.
3.
Hermeneutika Linguistik: Bahasa sebagai Medium
Pemahaman
Dalam konteks
hermeneutika modern, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi
semata, melainkan sebagai medium fundamental bagi terbentuknya pemahaman dan
makna. Pandangan ini secara filosofis ditegaskan dalam hermeneutika linguistik,
yang memfokuskan diri pada bagaimana struktur, dinamika, dan penggunaan bahasa
berperan dalam proses interpretasi. Perkembangan pemikiran ini tidak hanya
bersumber dari tradisi hermeneutika klasik, tetapi juga dari pengaruh
strukturalisme, post-strukturalisme, dan filsafat bahasa abad ke-20.
Hans-Georg Gadamer
memainkan peran sentral dalam menjembatani hermeneutika filosofis dan dimensi
linguistik. Dalam Truth and Method, Gadamer
menyatakan bahwa "Being that can be understood is
language" (Sein, das verstanden werden kann, ist Sprache),
sebuah proposisi yang menandaskan bahwa pemahaman manusia terhadap dunia
dimediasi sepenuhnya oleh bahasa1. Dengan demikian, bukan hanya teks
yang dipahami melalui bahasa, tetapi juga eksistensi dan pengalaman manusia
sendiri. Dalam pandangan Gadamer, bahasa adalah "medium universal dari
pengalaman hermeneutik", karena setiap bentuk pengungkapan makna
senantiasa hadir dalam wujud linguistik2.
Gagasan Gadamer
tersebut merupakan elaborasi dari pendekatan linguistik dalam hermeneutika yang
sebelumnya telah dirintis oleh Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher
menekankan pentingnya analisis gramatikal dalam interpretasi teks, yaitu
memahami struktur kalimat, makna kata, dan konvensi linguistik yang berlaku
pada masa teks ditulis3. Namun, Gadamer melampaui pendekatan
normatif ini dan memperkenalkan gagasan “permainan bahasa” (Sprachspiel)
dalam konteks pemahaman dialogis, yang kemudian mendapat penguatan dari
filsafat bahasa Ludwig Wittgenstein.
Dalam arus
strukturalisme, Ferdinand de Saussure menempatkan bahasa sebagai sistem tanda (langue)
yang otonom dari niat personal penuturnya. Ia menekankan bahwa makna suatu
tanda linguistik muncul dari relasinya dengan tanda-tanda lain dalam sistem
bahasa, bukan dari referensi langsung pada dunia luar4. Pandangan
ini menjadi fondasi bagi pendekatan semiotik dalam hermeneutika, yang
menekankan bahwa setiap teks adalah jaringan tanda-tanda yang saling merujuk
dan tidak pernah benar-benar selesai dimaknai.
Lebih lanjut,
pendekatan post-struktural yang dikembangkan oleh Jacques Derrida menggugat
asumsi tentang stabilitas makna dalam teks. Dalam karyanya Of
Grammatology, Derrida mengembangkan konsep “différance”, yaitu
penundaan dan pergeseran makna dalam proses interpretasi. Ia menunjukkan bahwa
bahasa memiliki sifat dekonstruktif, sehingga makna tidak pernah hadir secara
penuh atau final5. Bagi Derrida, teks selalu mengandung "jejak" makna lain yang tersembunyi
di balik struktur permukaannya, dan karena itu, setiap pembacaan adalah juga
sebuah penulisan ulang yang terbuka dan plural.
Konsepsi semacam ini
menggeser hermeneutika dari paradigma representasional menuju paradigma
performatif, di mana pembacaan bukan sekadar mengungkap makna tersembunyi,
tetapi juga menciptakan makna baru dalam konteks sosial dan historis tertentu.
Dalam hal ini, Michel Foucault dan Paul Ricoeur turut memberikan kontribusi
penting melalui pendekatan wacana dan simbolik. Ricoeur, misalnya, membedakan
antara sense
(makna tekstual) dan reference (makna duniawi), serta
mengembangkan teori tentang “surplus of meaning” dalam teks, yang menunjukkan
bahwa teks kaya akan kemungkinan makna yang melampaui intensi awal pengarang6.
Selain itu,
pendekatan linguistik dalam hermeneutika juga mendapat penguatan dari bidang
analisis wacana dan pragmatik. Pendekatan ini memandang teks sebagai bagian
dari praktik komunikatif yang melibatkan relasi kekuasaan, norma sosial, dan
strategi retoris. Dalam kajian-kajian seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas
dan Norman Fairclough, bahasa menjadi instrumen kritis dalam memahami dinamika
sosial dan ideologis di balik teks7.
Dengan demikian,
hermeneutika linguistik tidak hanya menelaah teks sebagai struktur bahasa,
tetapi juga sebagai medan interaksi sosial, eksistensial, dan historis. Bahasa
menjadi jembatan antara dunia teks dan dunia pembaca, antara struktur dan
pengalaman, serta antara makna dan interpretasi. Dalam pendekatan holistik,
dimensi linguistik ini tidak dapat dipisahkan dari dimensi psikologis yang
menyertainya, karena pemahaman atas bahasa senantiasa dipengaruhi oleh
kesadaran, intensi, dan horizon pengalaman subjek penafsir.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 2004), 470.
[2]
Ibid., 385–390.
[3]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–17.
[4]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (Chicago: Open Court,
1986), 65–70.
[5]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 26–27.
[6]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 16–22.
[7]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge:
Polity Press, 1992), 8–12; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
135–145.
4.
Dimensi Psikologis dalam Hermeneutika: Memahami
Subjektivitas dan Pengalaman
Jika dimensi
linguistik dalam hermeneutika menyoroti bagaimana bahasa membentuk makna, maka
dimensi psikologis menekankan pada peran subjek penafsir dan pengalaman batin
dalam proses memahami teks. Pendekatan ini memandang pemahaman
bukan sekadar sebagai aktivitas kognitif atas struktur linguistik, tetapi
sebagai keterlibatan eksistensial yang melibatkan kesadaran, intuisi, empati,
dan horizon pengalaman pembaca. Hermeneutika modern, khususnya yang diwarisi
dari Schleiermacher dan Dilthey, menempatkan dimensi psikologis sebagai unsur
fundamental dalam membongkar makna tersembunyi dari suatu teks.
4.1.
Schleiermacher dan
Rekonstruksi Psikologis
Friedrich
Schleiermacher memformulasikan pendekatan hermeneutik yang menekankan rekonstruksi
psikologis terhadap intensi pengarang. Menurutnya, untuk
memahami teks secara utuh, seorang penafsir harus menelusuri kembali proses
kreatif dan keadaan batin pengarang saat menyusun teks tersebut. Ia menyatakan
bahwa “setiap ucapan merupakan ekspresi dari suatu individu yang unik”
sehingga interpretasi yang berhasil bukan hanya menangkap struktur kalimat,
tetapi juga menghayati kembali pengalaman psikis
sang pengarang1.
Bagi Schleiermacher,
pemahaman bersifat dialogis: antara analisis gramatikal dan psikologis.
Penafsir harus mengembangkan semacam empati aktif (Einfühlung) yang
memungkinkan dirinya untuk “menghidupi kembali” pengalaman batin
penulis, seringkali hingga mengerti lebih dalam daripada sang pengarang itu
sendiri2. Pandangan ini memunculkan hermeneutika sebagai proses
kreatif dan reflektif yang erat kaitannya dengan kapasitas afektif dan
imajinatif subjek penafsir.
4.2.
Wilhelm Dilthey dan
Struktur Pengalaman
Wilhelm Dilthey
melanjutkan gagasan Schleiermacher dengan menempatkan pemahaman sebagai
aktivitas rekonstruksi terhadap struktur pengalaman hidup
manusia. Menurut Dilthey, dunia batin manusia dapat dipahami melalui ekspresi
objektifnya dalam bentuk karya sastra, sejarah, seni, atau tindakan sosial.
Oleh karena itu, hermeneutika bukan hanya membaca kata, tetapi juga membaca
dunia kehidupan (Lebenswelt) yang melatarbelakanginya3.
Dilthey membedakan
antara pendekatan eksplanasi (Erklären) dalam ilmu alam dan pemahaman
(Verstehen) dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Pemahaman, dalam perspektif ini,
memerlukan keterlibatan emosional dan historis dari subjek. Teks adalah
ekspresi dari “kehidupan yang dialami”, dan penafsir perlu mengaktualisasikan
pengalaman tersebut dalam dirinya sendiri agar mampu memaknainya secara autentik4.
4.3.
Hermeneutika
Fenomenologis dan Subjektivitas
Dimensi psikologis
dalam hermeneutika semakin diperdalam oleh pendekatan fenomenologis, terutama
dalam pemikiran Maurice Merleau-Ponty. Dalam Phenomenology
of Perception, Merleau-Ponty menekankan bahwa pengalaman manusia
tidak bisa dipisahkan dari tubuh (embodiment), persepsi, dan niat eksistensial.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap teks melibatkan kesadaran subjek yang berada
dalam dunia dan yang memahami makna melalui pengalaman konkret dan keterlibatan
langsung5.
Begitu pula Paul
Ricoeur, dalam pendekatan simbolik dan naratifnya,
mengembangkan gagasan bahwa teks menyimpan dimensi eksistensial dan bahwa
pemahaman terhadap simbol dan narasi tidak mungkin berlangsung tanpa
keterlibatan subyektivitas pembaca. Ia menyatakan bahwa interpretasi adalah “penafsiran
diri melalui pertemuan dengan teks” (the interpretation of the self by means of the
detour of the text)—suatu aktivitas reflektif yang mengarah pada
transformasi pemahaman diri6.
4.4.
Psikologi Humanistik
dan Perspektif Empatik
Dalam pendekatan
psikologi kontemporer, Carl R. Rogers dari aliran
humanistik juga menekankan pentingnya empati dan pemahaman dalam komunikasi
antarpribadi. Ia mengembangkan konsep "pemahaman empatik"
(empathetic understanding) sebagai kemampuan untuk memahami dunia subjektif
orang lain seakan-akan dunia itu adalah milik kita sendiri, tanpa kehilangan jarak
objektif7. Prinsip ini sangat resonan dengan prinsip hermeneutik
tentang pembacaan teks sebagai pemahaman terhadap dunia orang lain—baik
pengarang maupun tokoh-tokoh dalam teks.
Pendekatan
psikologis dalam hermeneutika memberikan dasar untuk memahami teks bukan hanya
secara rasional-linguistik, tetapi juga secara eksistensial dan afektif.
Proses interpretasi menjadi semacam perjalanan subjektif yang menuntut
keterbukaan, refleksi diri, dan kesadaran akan keterlibatan personal. Pemahaman
atas teks menjadi juga pemahaman atas diri, karena keduanya terikat dalam
horizon pengalaman yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–11.
[2]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 82–87.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 108–117.
[4]
Ibid., 120–124.
[5]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), 58–66.
[6]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–117.
[7]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton
Mifflin, 1961), 29–34.
5.
Integrasi Pendekatan Linguistik dan Psikologis:
Menuju Pemahaman Holistik
Pendekatan hermeneutika
modern tidak lagi memperlakukan aspek linguistik dan psikologis sebagai dua
wilayah yang terpisah, melainkan sebagai unsur yang saling berkelindan dalam proses
memahami teks secara utuh. Integrasi ini menandai pergeseran
paradigma dari hermeneutika teknis menuju pendekatan holistik,
di mana bahasa dipahami sebagai bentuk ekspresi dari kesadaran subjek, dan
pengalaman batin memperoleh struktur serta artikulasi melalui bahasa. Dengan
demikian, pemahaman adalah hasil dari interaksi dialektis antara struktur
simbolik bahasa dan kesadaran subjektif penafsir.
Hans-Georg Gadamer,
melalui konsep fusion of horizons (Horizontverschmelzung),
mengartikulasikan bahwa pemahaman terjadi ketika horizon pembaca (yang dibentuk
oleh pengalaman, prapemahaman, dan konteks historisnya) berinteraksi dan
menyatu dengan horizon teks yang juga merupakan produk sejarah, bahasa, dan
intensi pengarang1. Dalam kerangka ini, bahasa bukan sekadar alat
untuk menyampaikan makna, tetapi ruang dialogis di mana makna
itu diciptakan, dinegosiasikan, dan dipahami secara kontekstual. Subjek
penafsir tidak berdiri netral, melainkan terlibat secara eksistensial dan
afektif dalam proses pemaknaan.
Paul Ricoeur juga
menegaskan pentingnya integrasi ini melalui pendekatan hermeneutika
simbolik dan naratif. Ia menggabungkan inspirasi dari
linguistik struktural dan fenomenologi eksistensial untuk menunjukkan bahwa
makna tidak hadir secara langsung dalam bahasa, melainkan melalui proses
distansiasi dan refleksi. Bagi Ricoeur, bahasa menyediakan struktur
simbolik yang memungkinkan subjek menafsirkan dunia dan dirinya
sendiri melalui narasi yang mengartikulasikan pengalaman hidup2.
Proses ini tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga emosional dan etis.
Ricoeur menyebut
bahwa interpretasi adalah perjalanan “melalui teks kepada diri” (via text
to self)—sebuah proses mediatif di mana pembaca menafsirkan teks
dan sekaligus memahami ulang keberadaan dirinya dalam cahaya makna yang
ditawarkan teks tersebut3. Dalam hal ini, pendekatan linguistik
memberikan kerangka simbolik, sementara pendekatan psikologis menyuplai
kedalaman eksistensial dari proses pemahaman. Keduanya bertemu dalam pengalaman
interpretatif yang transformatif.
Model integratif ini
juga dapat dijelaskan melalui spiral hermeneutika, sebuah
gagasan bahwa proses pemahaman tidak berlangsung secara linear, melainkan
bersifat sirkular-dinamis antara bagian
dan keseluruhan, antara struktur dan subjektivitas. Setiap kali seorang
penafsir berhadapan dengan teks, ia membawa prapemahaman tertentu
(Vorverständnis), yang lalu diolah melalui interaksi dengan struktur bahasa
teks, menghasilkan horizon baru yang lebih dalam. Proses ini berulang dan
memperkaya pemahaman seiring waktu4.
Contoh konkret dari
integrasi ini dapat ditemukan dalam studi sastra dan teologi. Dalam penafsiran
teks sastra, misalnya, struktur naratif dan pilihan bahasa penulis tidak dapat
dipisahkan dari keadaan batin dan motif eksistensialnya. Demikian pula dalam
penafsiran teks-teks suci, pemahaman tidak bisa dilepaskan dari pengalaman spiritual
pembaca yang membentuk horizon keagamaannya. Anthony C. Thiselton menunjukkan
bahwa hanya dengan menggabungkan pendekatan linguistik (analisis teks, konteks,
struktur wacana) dan psikologis (pengalaman iman, niat batin, dan
prapemahaman), seseorang dapat mendekati makna teks secara utuh5.
Lebih jauh lagi,
integrasi ini relevan dalam kajian interdisipliner, termasuk dalam psikologi
sastra, psikologi agama, dan bahkan terapi naratif, di mana teks berfungsi
sebagai media reflektif yang
memungkinkan individu memahami, merevisi, dan menyembuhkan pengalaman hidupnya
melalui proses interpretasi. Interpretasi dalam konteks ini menjadi bukan
sekadar pencarian makna, tetapi juga tindakan eksistensial yang
melibatkan rekonstruksi identitas dan makna hidup.
Dengan demikian,
pendekatan holistik dalam hermeneutika modern menuntut kesadaran bahwa
pemahaman selalu merupakan proses ko-konstitusi antara bahasa dan kesadaran,
antara simbol dan pengalaman, antara teks dan subjek. Integrasi antara dimensi
linguistik dan psikologis menjadi syarat mutlak bagi interpretasi yang
bermakna, mendalam, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 2004), 302–307.
[2]
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-disciplinary Studies of
the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (Toronto:
University of Toronto Press, 1977), 5–12.
[3]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 71–75.
[4]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 32–36.
[5]
Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics
and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 85–92.
6.
Kritik dan Tantangan terhadap Pendekatan
Holistik
Meskipun pendekatan
holistik dalam hermeneutika modern menawarkan sintesis yang kaya antara dimensi
linguistik dan psikologis dalam memahami makna, pendekatan ini tidak lepas dari
kritik, baik dari kalangan post-strukturalis, hermeneutika
kritis, maupun dari sudut pandang epistemologis
dan etis. Kritik-kritik ini menyoroti keterbatasan pendekatan
holistik dalam menjamin objektivitas makna, kemungkinan relativisme
interpretatif, serta ketegangan antara struktur teks dan subjektivitas
penafsir.
6.1.
Kritik
Post-Strukturalis: Dekonstruksi terhadap Otoritas Makna
Kalangan
post-strukturalis, khususnya Jacques Derrida, mempertanyakan gagasan bahwa makna
dapat dicapai secara koheren melalui integrasi antara bahasa dan subjek. Dalam Of
Grammatology, Derrida memperkenalkan konsep différance,
yang menyatakan bahwa makna selalu tertunda (deferred) dan tidak pernah hadir
sepenuhnya dalam teks. Struktur bahasa, menurut Derrida, tidak menyimpan makna
tetap, tetapi justru menghasilkan ketidakstabilan melalui relasi antar-tanda
yang bersifat arbitrer1. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang
berupaya menyatukan horizon makna antara teks dan pembaca dianggap masih
menyisakan ilusi keutuhan dan stabilitas makna.
Derrida juga menolak
asumsi hermeneutika klasik tentang “intensi pengarang” sebagai pusat
pemaknaan, dan menggugat dominasi subjek dalam proses interpretasi. Dalam
pandangan dekonstruktif, teks memiliki otonomi, dan pembacaan yang mencoba
menyelamatkan “makna asli” justru mengabaikan pluralitas potensi makna yang
tersembunyi dalam ambiguitas bahasa2.
6.2.
Tantangan dari
Hermeneutika Kritis: Dimensi Ideologi dan Kekuasaan
Pendekatan holistik
juga dikritik oleh tokoh-tokoh hermeneutika kritis seperti
Jürgen Habermas, yang menekankan bahwa pemahaman tidak dapat dilepaskan dari
konteks kekuasaan dan struktur ideologi yang mendasarinya. Dalam The
Theory of Communicative Action, Habermas mengingatkan bahwa proses
interpretasi dapat terjebak dalam distorsi sistematik jika tidak disertai
dengan kesadaran kritis terhadap kepentingan sosial dan historis yang
beroperasi di balik teks3.
Habermas mengkritik
Gadamer karena terlalu menekankan tradisi dan konsensus historis tanpa cukup
mempertimbangkan potensi dominasi ideologis dalam wacana. Bagi Habermas,
pendekatan holistik yang terlalu mengandalkan harmoni antara horizon teks dan
pembaca dapat mengabaikan konflik dan ketimpangan dalam hubungan sosial yang
dibingkai oleh bahasa4. Oleh karena itu, interpretasi yang etis
harus mengintegrasikan dimensi emansipatoris—yakni usaha untuk membongkar dominasi
dan membuka ruang bagi kesetaraan komunikasi.
6.3.
Relativisme dan
Problematika Kebenaran
Kritik lainnya
terhadap pendekatan holistik terletak pada potensi relativisme
interpretatif. Ketika makna ditentukan melalui dialog antara
horizon pembaca dan teks, dan ketika dimensi psikologis dan pengalaman
subyektif dijadikan elemen utama dalam interpretasi, maka muncul pertanyaan
mengenai kriteria validitas atau kebenaran tafsir.
Jika setiap pemahaman adalah hasil fusi horizon yang bersifat personal dan
historis, apakah masih mungkin berbicara tentang interpretasi yang “benar”
atau “lebih sahih”?
Paul Ricoeur mencoba
menjawab tantangan ini dengan membedakan antara interpretasi yang bersifat “suspektif”
(hermeneutika kecurigaan) dan “rekonstruktif” (hermeneutika
kepercayaan). Ia menekankan bahwa interpretasi yang bertanggung jawab harus
mempertimbangkan baik pluralitas makna maupun keterbatasan subjek, serta
mengembangkan etik interpretasi yang terbuka
terhadap alteritas dan kesementaraan makna5.
Namun demikian,
tantangan tetap ada, terutama dalam ruang publik atau pendidikan, ketika interpretasi
subjektif bertabrakan dengan kebutuhan akan kesepakatan makna bersama. Dalam
konteks ini, pendekatan holistik dituntut untuk mengembangkan kriteria
evaluatif, bukan untuk menekan kebebasan interpretasi, tetapi
untuk menjaga integritas penafsiran dalam komunitas ilmiah dan sosial.
6.4.
Ketegangan antara
Struktur dan Subjektivitas
Pendekatan holistik
juga menghadapi ketegangan inheren antara struktur bahasa sebagai sistem
objektif dan pengalaman pembaca sebagai entitas subjektif. Dalam praktiknya, interpretasi
dapat condong terlalu jauh ke aspek personal (psikologis) sehingga mengabaikan
batas-batas struktur linguistik teks, atau sebaliknya, terlalu fokus pada
struktur sehingga menegasikan peran pengalaman dan intuisi interpretator.
Ketegangan ini menunjukkan bahwa pemahaman holistik menuntut keseimbangan
dinamis yang tidak selalu mudah dicapai dalam praktik.
Anthony C. Thiselton
menekankan bahwa interpretasi yang bertanggung jawab harus bersifat inter-subjektif,
yakni terbuka terhadap koreksi dalam komunitas interpretatif dan tetap berpijak
pada struktur gramatikal serta konteks historis teks6. Dalam hal
ini, pendekatan holistik harus bersikap reflektif dan sadar batas, tidak
mengklaim keutuhan mutlak, tetapi justru menghargai kompleksitas proses
pemahaman sebagai sesuatu yang selalu terbuka dan berkembang.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 27–30.
[2]
Ibid., 158–162.
[3]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 314–322.
[4]
Ibid., 335–339.
[5]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 27–29.
[6]
Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand
Rapids: Zondervan, 1992), 87–90.
7.
Relevansi Hermeneutika Modern dalam Konteks
Kontemporer
Dalam dunia yang
ditandai oleh kompleksitas makna, pluralitas
perspektif, dan pergeseran epistemologis,
hermeneutika modern tetap menunjukkan daya hidupnya sebagai pendekatan yang
mampu menjembatani antara subjek dan teks, antara struktur dan pengalaman,
serta antara tradisi dan transformasi. Dengan mengintegrasikan pendekatan
linguistik dan psikologis secara holistik, hermeneutika tidak hanya relevan
sebagai teori interpretasi, tetapi juga sebagai kerangka pemikiran kritis dalam berbagai ranah
kehidupan kontemporer: pendidikan, agama, budaya, hingga ruang
publik digital.
7.1.
Relevansi dalam
Pendidikan dan Ilmu Humaniora
Dalam konteks
pendidikan, hermeneutika modern memberikan landasan metodologis yang kuat bagi
pengembangan pendidikan kritis dan reflektif.
Pendekatan hermeneutik mendorong siswa dan mahasiswa untuk tidak sekadar
menerima teks sebagai informasi objektif, tetapi mengolahnya sebagai dialog
antara teks dan pengalaman mereka sendiri. Proses ini melatih keterampilan
interpretatif yang lebih dalam, seperti empati, analisis kontekstual, dan
kesadaran historis1.
Paul Ricoeur
menyebut kegiatan membaca sebagai tindakan membentuk identitas naratif, yakni
upaya pembaca untuk merekonstruksi pemahamannya tentang diri dan dunia melalui
teks. Oleh karena itu, literasi hermeneutik bukan hanya kemampuan membaca,
tetapi juga kemampuan menjadi subjek yang memahami dan
dimengerti dalam dunia sosial yang penuh makna2.
Di bidang humaniora,
hermeneutika juga berperan dalam mengatasi krisis objektivitas dalam ilmu-ilmu
budaya. Ketika interpretasi tidak lagi dapat dipisahkan dari konteks
sosial-budaya, hermeneutika menawarkan model pemahaman yang transformatif—yakni
menghubungkan
analisis linguistik (struktur teks) dengan kesadaran historis dan eksistensial
dari penafsir.
7.2.
Relevansi dalam
Studi Agama dan Dialog Lintas Iman
Hermeneutika telah
lama menjadi metode utama dalam studi agama, khususnya dalam penafsiran kitab
suci dan teks-teks spiritual. Dalam konteks pluralisme agama dan tantangan
tafsir literalistik, hermeneutika modern menyediakan pendekatan alternatif yang
lebih dialogis dan kontekstual. Dengan mengakui horizon historis pembaca dan
teks, hermeneutika mendorong pendekatan yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman
makna dalam teks keagamaan3.
Hans-Georg Gadamer
menekankan bahwa pemahaman teologis tidak pernah terjadi dalam ruang hampa,
melainkan dalam horizon tradisi yang hidup. Oleh karena itu, dialog antaragama
memerlukan pemahaman bahwa teks keagamaan tidak selalu dapat dipahami secara
seragam, tetapi harus ditafsirkan dengan memperhatikan horizon-horizon budaya
dan pengalaman yang berbeda-beda4. Dalam konteks ini, hermeneutika
menjadi sarana membangun dialog lintas iman yang tidak mendominasi,
melainkan saling memperkaya.
7.3.
Relevansi dalam
Kajian Sosial dan Budaya Populer
Di era globalisasi
dan media digital, teks-teks budaya (film, musik, media sosial) menjadi arena
utama pembentukan identitas, ideologi, dan pemahaman publik. Hermeneutika
modern, dengan fokusnya pada pemaknaan kontekstual dan subjektivitas pembaca,
menjadi alat analisis yang sangat berguna untuk menelaah fenomena-fenomena
tersebut.
Misalnya, dalam analisis
wacana media, pendekatan hermeneutik membantu mengungkap cara narasi tertentu
dibentuk untuk mempertahankan struktur kekuasaan atau membentuk opini publik.
Norman Fairclough dan tokoh analisis wacana kritis lainnya memanfaatkan prinsip
hermeneutika untuk membongkar ideologi yang tersembunyi di balik narasi
populer dan bahasa visual5.
7.4.
Relevansi dalam Era
Digital dan Teknologi Kecerdasan Buatan
Dalam era digital
dan kecerdasan buatan, tantangan terhadap pemahaman semakin kompleks. Algoritma
dan sistem pembelajaran mesin dapat menganalisis teks, namun pemahaman yang
dihasilkan bersifat statistikal dan reduktif. Hermeneutika menegaskan
pentingnya pengalaman manusiawi dan konteks eksistensial
dalam membentuk makna, sesuatu yang tidak dapat digantikan
sepenuhnya oleh mesin.
Ricoeur dan Gadamer
telah menunjukkan bahwa pemahaman tidak hanya bersifat mekanistik, tetapi juga dialektis
dan reflektif, melibatkan subjektivitas, waktu, dan horizon
sejarah. Oleh karena itu, dalam desain teknologi komunikasi dan pendidikan
berbasis AI, hermeneutika dapat berperan sebagai kritik normatif terhadap
kecenderungan teknologis yang mengabaikan kompleksitas kemanusiaan6.
Footnotes
[1]
David E. Cooper, “Hermeneutics and Education,” Journal of
Philosophy of Education 17, no. 1 (1983): 3–14.
[2]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–121.
[3]
Werner G. Jeanrond, Text and Interpretation as Categories of
Theological Thinking (New York: Crossroad, 1988), 97–103.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 2004), 371–374.
[5]
Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study
of Language (London: Longman, 1995), 19–25.
[6]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 121–124.
8.
Kesimpulan
Hermeneutika modern
telah berkembang dari sekadar metode penafsiran teks keagamaan dan hukum
menjadi suatu kerangka filosofis yang holistik
dalam memahami makna, bahasa, dan pengalaman manusia. Melalui integrasi antara
pendekatan linguistik, yang menyoroti
struktur dan fungsi bahasa dalam teks, dan pendekatan psikologis,
yang menekankan kesadaran, intensi, dan horizon subjek penafsir, hermeneutika
menawarkan pendekatan interpretatif yang kaya, reflektif, dan manusiawi.
Pemahaman dalam konteks ini bukan sekadar reproduksi makna, tetapi juga rekonstruksi
yang kreatif dan kontekstual.
Tokoh-tokoh utama
dalam hermeneutika modern seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey,
Hans-Georg Gadamer, dan Paul Ricoeur telah menunjukkan bahwa proses pemahaman
adalah peristiwa
dialektis antara teks dan subjek, antara bahasa dan pengalaman,
serta antara masa lalu dan masa kini. Schleiermacher mengajarkan bahwa
penafsiran membutuhkan pemahaman mendalam terhadap intensi pengarang dan sistem
linguistik yang digunakan1. Dilthey memperluas horizon hermeneutika
ke dalam ranah ilmu-ilmu kemanusiaan, dengan menjadikan pengalaman hidup
sebagai inti dari interpretasi2. Sementara itu, Gadamer dan Ricoeur
menekankan peran tradisi, prapemahaman, dan simbolisme
naratif dalam pembentukan makna yang selalu terbuka dan historis3.
Integrasi dimensi
linguistik dan psikologis ini menghasilkan pendekatan holistik
yang tidak hanya mampu menjelaskan makna teks secara struktural, tetapi juga
menggambarkan dinamika eksistensial subjek penafsir. Namun, seperti telah
diuraikan dalam bagian sebelumnya, pendekatan ini juga menghadapi berbagai
kritik. Kalangan post-strukturalis seperti Derrida memperingatkan terhadap
ilusi stabilitas makna, sementara hermeneutika kritis Habermas menekankan
pentingnya membongkar distorsi ideologis dalam proses pemahaman4. Di
sisi lain, tantangan relativisme interpretatif dan ketegangan antara struktur
dan subjektivitas menunjukkan bahwa pemahaman yang utuh menuntut keseimbangan
antara kebebasan interpretasi dan tanggung jawab epistemik.
Meskipun demikian,
relevansi hermeneutika modern semakin kuat dalam dunia kontemporer. Dalam
pendidikan, pendekatan ini mendorong lahirnya pemikiran reflektif dan
partisipatif; dalam studi agama, ia membuka ruang dialog yang inklusif; dalam
analisis budaya dan media, ia menjadi alat untuk memahami dinamika wacana; dan
dalam era teknologi digital, hermeneutika berfungsi sebagai pengingat bahwa makna
tidak dapat direduksi hanya pada algoritma atau data, tetapi
berkaitan erat dengan konteks manusia dan sejarahnya5.
Sebagai penutup,
pendekatan holistik dalam hermeneutika modern tidak menawarkan jawaban final
atas makna, melainkan mengajak kita untuk terlibat secara aktif dan sadar dalam proses
pemahaman. Ia menempatkan kita, sebagai subjek penafsir, di
tengah medan dialog antara teks, tradisi, dan pengalaman hidup yang senantiasa
berubah. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, pendekatan
hermeneutik ini menghadirkan cara berpikir yang terbuka, mendalam, dan berakar
pada kemanusiaan kita.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–17.
[2]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 115–122.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 2004), 302–315; Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 70–76.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 27–30; Jürgen
Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 320–326.
[5]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 123–127.
Daftar Pustaka
Cooper, D. E. (1983).
Hermeneutics and education. Journal of Philosophy of Education, 17(1),
3–14. https://doi.org/10.1111/j.1467-9752.1983.tb00374.x
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dilthey, W. (1996). Hermeneutics
and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds., Vol. 4).
Princeton University Press.
Fairclough, N. (1995). Critical
discourse analysis: The critical study of language. Longman.
Fairclough, N. (1992). Discourse
and social change. Polity Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (2nd ed.). Continuum.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action: Reason and the rationalization of society
(T. McCarthy, Trans., Vol. 1). Beacon Press.
Jeanrond, W. G. (1988). Text
and interpretation as categories of theological thinking. Crossroad.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology
of perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1970). Freud
and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale
University Press.
Ricoeur, P. (1977). The
rule of metaphor: Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in
language (R. Czerny, Trans.). University of Toronto Press.
Ricoeur, P. (1984). Time
and narrative (Vol. 1). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself
as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The
just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation
theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University
Press.
Rogers, C. R. (1961). On
becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
Saussure, F. de. (1986). Course
in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin,
Trans.). Open Court Publishing. (Original work published 1916)
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics
and criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press.
Thiselton, A. C. (1980). The
two horizons: New Testament hermeneutics and philosophical description.
Eerdmans.
Thiselton, A. C. (1992). New
horizons in hermeneutics. Zondervan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar