Minggu, 20 April 2025

Hermeneutika Modern: Pendekatan Holistik terhadap Makna melalui Dimensi Linguistik dan Psikologis

Hermeneutika Modern

Pendekatan Holistik terhadap Makna melalui Dimensi Linguistik dan Psikologis


Alihkan ke: Metode Hermeneutika dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan hermeneutika modern dengan menekankan pendekatan holistik yang mengintegrasikan dimensi linguistik dan psikologis dalam proses pemahaman makna teks. Dengan menelusuri kontribusi pemikir seperti Schleiermacher, Dilthey, Gadamer, dan Ricoeur, artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan proses dialektis yang melibatkan bahasa sebagai medium ekspresi dan pengalaman subjektif sebagai horizon pemaknaan. Dimensi linguistik dianalisis sebagai struktur simbolik yang membentuk makna dalam konteks sosial dan historis, sementara dimensi psikologis menyoroti peran intensi, kesadaran, dan pengalaman penafsir. Artikel ini juga mengulas kritik terhadap pendekatan holistik, termasuk dari perspektif post-strukturalis dan hermeneutika kritis, serta menyajikan relevansi hermeneutika modern dalam konteks kontemporer seperti pendidikan, studi agama, budaya populer, dan era digital. Dengan demikian, artikel ini menggarisbawahi pentingnya hermeneutika sebagai kerangka interpretatif yang reflektif, dialogis, dan manusiawi dalam menghadapi kompleksitas makna di era modern.

Kata Kunci: Hermeneutika modern; pemahaman holistik; bahasa dan makna; psikologi interpretatif; Schleiermacher; Gadamer; Ricoeur; fusi horizon; kritik post-struktural; interpretasi teks.


PEMBAHASAN

Telaah Metode Hermeneutika Modern dalam Memahami Teks secara Holistik


1.           Pendahuluan

Hermeneutika sebagai seni dan teori penafsiran telah mengalami evolusi signifikan sejak masa klasik hingga era modern. Awalnya dikembangkan sebagai metode untuk memahami teks-teks suci dan hukum kuno, hermeneutika kemudian berkembang menjadi pendekatan filosofis yang mencakup pemahaman terhadap segala bentuk ekspresi makna manusia, termasuk bahasa, budaya, dan pengalaman subjektif. Dalam konteks kontemporer, hermeneutika tidak hanya dipandang sebagai alat interpretasi, tetapi juga sebagai kerangka epistemologis yang menekankan keterlibatan aktif pembaca dalam proses pemahaman teks1.

Transformasi hermeneutika dari pendekatan normatif menuju pendekatan reflektif dan eksistensial dimulai secara signifikan melalui pemikiran Friedrich Schleiermacher (1768–1834), yang menekankan pentingnya memahami baik struktur linguistik teks maupun kejiwaan pengarang. Schleiermacher mengajukan bahwa setiap teks mengandung makna ganda—baik gramatikal maupun psikologis—dan bahwa penafsiran yang utuh membutuhkan rekonstruksi intensi batin pengarang melalui empati dan imajinasi2. Pandangan ini menjadi dasar bagi pendekatan holistik dalam hermeneutika modern, yang mempertemukan antara aspek linguistik dan psikologis dalam pembacaan teks.

Lebih lanjut, Wilhelm Dilthey (1833–1911) memperluas cakupan hermeneutika dari teks-teks religius dan sastra ke seluruh wilayah Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan). Bagi Dilthey, pemahaman (Verstehen) terhadap tindakan manusia, dokumen sejarah, dan ekspresi budaya memerlukan pendekatan hermeneutik yang mengintegrasikan dimensi pengalaman dan konteks kehidupan3. Dimensi ini semakin diperdalam dalam pemikiran Hans-Georg Gadamer, yang menekankan bahwa pemahaman selalu merupakan hasil dari dialog antara “horizon” pembaca dan “horizon” teks, yang dimediasi oleh bahasa sebagai medium universal interpretasi4.

Di sisi lain, dimensi linguistik dalam hermeneutika diperkuat oleh perkembangan linguistik struktural dan post-struktural, yang memandang bahasa bukan hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi sebagai struktur pemaknaan yang membentuk realitas. Tokoh seperti Ferdinand de Saussure dan Jacques Derrida menyoroti ketidakhadiran makna tetap dalam teks dan pentingnya konstelasi tanda dalam produksi makna5. Pendekatan ini mendorong pemahaman terhadap teks tidak sebagai entitas statis, melainkan sebagai medan dinamika semantik yang terbuka terhadap pembacaan plural.

Demikian pula, aspek psikologis dalam hermeneutika modern membuka jalan bagi pemahaman terhadap proses kognitif dan afektif yang terlibat dalam penafsiran. Kontribusi psikologi fenomenologis dan humanistik, seperti yang dikembangkan oleh Carl Rogers dan Maurice Merleau-Ponty, memberikan wawasan tentang kesadaran, niat, dan struktur pengalaman personal dalam proses memahami teks sebagai ekspresi eksistensial6.

Dengan demikian, pendekatan holistik dalam hermeneutika modern menuntut integrasi antara dimensi linguistik dan psikologis dalam rangka memperoleh pemahaman yang utuh dan transformatif terhadap makna. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi kerangka konseptual, tokoh kunci, serta implikasi metodologis dari pendekatan ini sebagai kontribusi terhadap diskursus ilmu pengetahuan humaniora dan filsafat interpretasi.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 14–17.

[2]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–9.

[3]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 110–123.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 301–305.

[5]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 7–10; Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye (Chicago: Open Court, 1986), 66–78.

[6]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 45–50; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), 179–188.


2.           Evolusi Hermeneutika: Dari Tradisional ke Modern

Hermeneutika memiliki sejarah panjang yang berakar pada upaya manusia untuk memahami teks-teks yang dianggap otoritatif, seperti kitab suci dan hukum. Dalam fase awalnya, hermeneutika bersifat normatif dan teknis, terutama berfokus pada metodologi penafsiran teks-teks keagamaan. Di lingkungan Yudaisme dan Kristen awal, hermeneutika digunakan untuk menginterpretasikan Kitab Suci, dengan menekankan kesesuaian antara teks dan doktrin serta metode alegoris untuk mengungkap makna tersembunyi1.

Pada masa klasik dan pertengahan, penafsiran dipandu oleh otoritas agama dan prinsip-prinsip gramatikal serta retoris yang ketat. Tokoh seperti Origen dan Agustinus memberikan kontribusi penting dengan memperkenalkan pendekatan alegoris dan tipologis dalam pembacaan Alkitab, yang berimplikasi pada pembentukan struktur makna bertingkat (literal, moral, alegoris, dan anagogis)2. Namun demikian, pendekatan ini cenderung menempatkan makna dalam kerangka dogmatik, dan bukan sebagai hasil dari proses dinamis antara teks dan pembaca.

Transformasi besar terjadi pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ketika hermeneutika mengalami perluasan ranah dari sekadar teknik tafsir menjadi refleksi filosofis tentang pemahaman. Friedrich Schleiermacher menjadi pelopor dalam memformulasikan hermeneutika sebagai teori universal interpretasi. Ia menekankan bahwa setiap teks merupakan ekspresi dari keindividualan pengarang dan sistem bahasa yang digunakannya. Oleh karena itu, proses pemahaman harus mencakup dua dimensi: gramatikal (struktur bahasa) dan psikologis (niat dan kesadaran pengarang)3.

Konsep hermeneutika Schleiermacher menandai pergeseran dari fokus pada norma-norma penafsiran menuju pemahaman sebagai rekonstruksi kreatif atas dunia batin pengarang. Baginya, memahami lebih baik dari pengarang sendiri (“den Autor besser verstehen, als er sich selbst verstanden hat”) menjadi ideal penafsiran, yang mencerminkan keterlibatan aktif pembaca dalam membangun makna4.

Penerus pemikiran ini, Wilhelm Dilthey, membawa hermeneutika ke wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia mengembangkan hermeneutika sebagai metode utama dalam memahami pengalaman historis dan kehidupan batin manusia. Dilthey membedakan antara pendekatan eksplanatif dalam ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dan pendekatan verstehen dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya (Geisteswissenschaften). Dalam kerangka ini, pemahaman menjadi proses internalisasi makna yang diwujudkan dalam ekspresi manusia melalui bahasa, tindakan, dan karya budaya5.

Perkembangan berikutnya terjadi melalui filsafat eksistensial dan fenomenologi, terutama melalui Martin Heidegger, murid dari Edmund Husserl. Heidegger merevolusi hermeneutika dengan mengalihkan fokus dari teks atau pengarang kepada eksistensi penafsir itu sendiri. Dalam Being and Time (1927), ia menekankan bahwa pemahaman adalah bentuk eksistensial dari keberadaan manusia (Dasein), yang selalu sudah berada dalam dunia dan memiliki prapemahaman (Vorverständnis) terhadap segala sesuatu yang ditafsirkannya6. Dengan demikian, pemahaman tidak lagi netral atau objektif, melainkan bersifat historis, kontekstual, dan terbuka.

Pemikiran Heidegger ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Hans-Georg Gadamer, yang menyatakan bahwa pemahaman adalah peristiwa dialogis antara horizon masa lalu (teks) dan horizon masa kini (penafsir). Ia mengusulkan konsep “fusi horizon” (Horizontverschmelzung) untuk menggambarkan proses integrasi makna yang terjadi dalam dialog antara pembaca dan teks. Gadamer menolak pandangan bahwa pemahaman dapat dilepaskan dari prakonsepsi dan sejarah pribadi penafsir. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa tradisi dan bahasa adalah medium yang membentuk cara kita menginterpretasi dunia7.

Dengan demikian, evolusi hermeneutika dari pendekatan tradisional menuju modern ditandai oleh pergeseran metodologis dan filosofis yang mendalam: dari penekanan pada norma-norma eksegetis dan autoritas eksternal menuju penegasan atas pengalaman, subjektivitas, dan konteks historis pembaca. Transformasi ini membuka jalan bagi integrasi dimensi linguistik dan psikologis dalam penafsiran, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian-bagian berikutnya.


Footnotes

[1]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 7–12.

[2]                Henri de Lubac, Medieval Exegesis: The Four Senses of Scripture, trans. Mark Sebanc (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 23–29.

[3]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–10.

[4]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 78–81.

[5]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 90–97.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188–195.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 272–278.


3.           Hermeneutika Linguistik: Bahasa sebagai Medium Pemahaman

Dalam konteks hermeneutika modern, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi semata, melainkan sebagai medium fundamental bagi terbentuknya pemahaman dan makna. Pandangan ini secara filosofis ditegaskan dalam hermeneutika linguistik, yang memfokuskan diri pada bagaimana struktur, dinamika, dan penggunaan bahasa berperan dalam proses interpretasi. Perkembangan pemikiran ini tidak hanya bersumber dari tradisi hermeneutika klasik, tetapi juga dari pengaruh strukturalisme, post-strukturalisme, dan filsafat bahasa abad ke-20.

Hans-Georg Gadamer memainkan peran sentral dalam menjembatani hermeneutika filosofis dan dimensi linguistik. Dalam Truth and Method, Gadamer menyatakan bahwa "Being that can be understood is language" (Sein, das verstanden werden kann, ist Sprache), sebuah proposisi yang menandaskan bahwa pemahaman manusia terhadap dunia dimediasi sepenuhnya oleh bahasa1. Dengan demikian, bukan hanya teks yang dipahami melalui bahasa, tetapi juga eksistensi dan pengalaman manusia sendiri. Dalam pandangan Gadamer, bahasa adalah "medium universal dari pengalaman hermeneutik", karena setiap bentuk pengungkapan makna senantiasa hadir dalam wujud linguistik2.

Gagasan Gadamer tersebut merupakan elaborasi dari pendekatan linguistik dalam hermeneutika yang sebelumnya telah dirintis oleh Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher menekankan pentingnya analisis gramatikal dalam interpretasi teks, yaitu memahami struktur kalimat, makna kata, dan konvensi linguistik yang berlaku pada masa teks ditulis3. Namun, Gadamer melampaui pendekatan normatif ini dan memperkenalkan gagasan “permainan bahasa” (Sprachspiel) dalam konteks pemahaman dialogis, yang kemudian mendapat penguatan dari filsafat bahasa Ludwig Wittgenstein.

Dalam arus strukturalisme, Ferdinand de Saussure menempatkan bahasa sebagai sistem tanda (langue) yang otonom dari niat personal penuturnya. Ia menekankan bahwa makna suatu tanda linguistik muncul dari relasinya dengan tanda-tanda lain dalam sistem bahasa, bukan dari referensi langsung pada dunia luar4. Pandangan ini menjadi fondasi bagi pendekatan semiotik dalam hermeneutika, yang menekankan bahwa setiap teks adalah jaringan tanda-tanda yang saling merujuk dan tidak pernah benar-benar selesai dimaknai.

Lebih lanjut, pendekatan post-struktural yang dikembangkan oleh Jacques Derrida menggugat asumsi tentang stabilitas makna dalam teks. Dalam karyanya Of Grammatology, Derrida mengembangkan konsep “différance”, yaitu penundaan dan pergeseran makna dalam proses interpretasi. Ia menunjukkan bahwa bahasa memiliki sifat dekonstruktif, sehingga makna tidak pernah hadir secara penuh atau final5. Bagi Derrida, teks selalu mengandung "jejak" makna lain yang tersembunyi di balik struktur permukaannya, dan karena itu, setiap pembacaan adalah juga sebuah penulisan ulang yang terbuka dan plural.

Konsepsi semacam ini menggeser hermeneutika dari paradigma representasional menuju paradigma performatif, di mana pembacaan bukan sekadar mengungkap makna tersembunyi, tetapi juga menciptakan makna baru dalam konteks sosial dan historis tertentu. Dalam hal ini, Michel Foucault dan Paul Ricoeur turut memberikan kontribusi penting melalui pendekatan wacana dan simbolik. Ricoeur, misalnya, membedakan antara sense (makna tekstual) dan reference (makna duniawi), serta mengembangkan teori tentang “surplus of meaning” dalam teks, yang menunjukkan bahwa teks kaya akan kemungkinan makna yang melampaui intensi awal pengarang6.

Selain itu, pendekatan linguistik dalam hermeneutika juga mendapat penguatan dari bidang analisis wacana dan pragmatik. Pendekatan ini memandang teks sebagai bagian dari praktik komunikatif yang melibatkan relasi kekuasaan, norma sosial, dan strategi retoris. Dalam kajian-kajian seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas dan Norman Fairclough, bahasa menjadi instrumen kritis dalam memahami dinamika sosial dan ideologis di balik teks7.

Dengan demikian, hermeneutika linguistik tidak hanya menelaah teks sebagai struktur bahasa, tetapi juga sebagai medan interaksi sosial, eksistensial, dan historis. Bahasa menjadi jembatan antara dunia teks dan dunia pembaca, antara struktur dan pengalaman, serta antara makna dan interpretasi. Dalam pendekatan holistik, dimensi linguistik ini tidak dapat dipisahkan dari dimensi psikologis yang menyertainya, karena pemahaman atas bahasa senantiasa dipengaruhi oleh kesadaran, intensi, dan horizon pengalaman subjek penafsir.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 470.

[2]                Ibid., 385–390.

[3]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–17.

[4]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (Chicago: Open Court, 1986), 65–70.

[5]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 26–27.

[6]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 16–22.

[7]                Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 8–12; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 135–145.


4.           Dimensi Psikologis dalam Hermeneutika: Memahami Subjektivitas dan Pengalaman

Jika dimensi linguistik dalam hermeneutika menyoroti bagaimana bahasa membentuk makna, maka dimensi psikologis menekankan pada peran subjek penafsir dan pengalaman batin dalam proses memahami teks. Pendekatan ini memandang pemahaman bukan sekadar sebagai aktivitas kognitif atas struktur linguistik, tetapi sebagai keterlibatan eksistensial yang melibatkan kesadaran, intuisi, empati, dan horizon pengalaman pembaca. Hermeneutika modern, khususnya yang diwarisi dari Schleiermacher dan Dilthey, menempatkan dimensi psikologis sebagai unsur fundamental dalam membongkar makna tersembunyi dari suatu teks.

4.1.       Schleiermacher dan Rekonstruksi Psikologis

Friedrich Schleiermacher memformulasikan pendekatan hermeneutik yang menekankan rekonstruksi psikologis terhadap intensi pengarang. Menurutnya, untuk memahami teks secara utuh, seorang penafsir harus menelusuri kembali proses kreatif dan keadaan batin pengarang saat menyusun teks tersebut. Ia menyatakan bahwa “setiap ucapan merupakan ekspresi dari suatu individu yang unik” sehingga interpretasi yang berhasil bukan hanya menangkap struktur kalimat, tetapi juga menghayati kembali pengalaman psikis sang pengarang1.

Bagi Schleiermacher, pemahaman bersifat dialogis: antara analisis gramatikal dan psikologis. Penafsir harus mengembangkan semacam empati aktif (Einfühlung) yang memungkinkan dirinya untuk “menghidupi kembali” pengalaman batin penulis, seringkali hingga mengerti lebih dalam daripada sang pengarang itu sendiri2. Pandangan ini memunculkan hermeneutika sebagai proses kreatif dan reflektif yang erat kaitannya dengan kapasitas afektif dan imajinatif subjek penafsir.

4.2.       Wilhelm Dilthey dan Struktur Pengalaman

Wilhelm Dilthey melanjutkan gagasan Schleiermacher dengan menempatkan pemahaman sebagai aktivitas rekonstruksi terhadap struktur pengalaman hidup manusia. Menurut Dilthey, dunia batin manusia dapat dipahami melalui ekspresi objektifnya dalam bentuk karya sastra, sejarah, seni, atau tindakan sosial. Oleh karena itu, hermeneutika bukan hanya membaca kata, tetapi juga membaca dunia kehidupan (Lebenswelt) yang melatarbelakanginya3.

Dilthey membedakan antara pendekatan eksplanasi (Erklären) dalam ilmu alam dan pemahaman (Verstehen) dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Pemahaman, dalam perspektif ini, memerlukan keterlibatan emosional dan historis dari subjek. Teks adalah ekspresi dari “kehidupan yang dialami”, dan penafsir perlu mengaktualisasikan pengalaman tersebut dalam dirinya sendiri agar mampu memaknainya secara autentik4.

4.3.       Hermeneutika Fenomenologis dan Subjektivitas

Dimensi psikologis dalam hermeneutika semakin diperdalam oleh pendekatan fenomenologis, terutama dalam pemikiran Maurice Merleau-Ponty. Dalam Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty menekankan bahwa pengalaman manusia tidak bisa dipisahkan dari tubuh (embodiment), persepsi, dan niat eksistensial. Dalam hal ini, pemahaman terhadap teks melibatkan kesadaran subjek yang berada dalam dunia dan yang memahami makna melalui pengalaman konkret dan keterlibatan langsung5.

Begitu pula Paul Ricoeur, dalam pendekatan simbolik dan naratifnya, mengembangkan gagasan bahwa teks menyimpan dimensi eksistensial dan bahwa pemahaman terhadap simbol dan narasi tidak mungkin berlangsung tanpa keterlibatan subyektivitas pembaca. Ia menyatakan bahwa interpretasi adalah “penafsiran diri melalui pertemuan dengan teks” (the interpretation of the self by means of the detour of the text)—suatu aktivitas reflektif yang mengarah pada transformasi pemahaman diri6.

4.4.       Psikologi Humanistik dan Perspektif Empatik

Dalam pendekatan psikologi kontemporer, Carl R. Rogers dari aliran humanistik juga menekankan pentingnya empati dan pemahaman dalam komunikasi antarpribadi. Ia mengembangkan konsep "pemahaman empatik" (empathetic understanding) sebagai kemampuan untuk memahami dunia subjektif orang lain seakan-akan dunia itu adalah milik kita sendiri, tanpa kehilangan jarak objektif7. Prinsip ini sangat resonan dengan prinsip hermeneutik tentang pembacaan teks sebagai pemahaman terhadap dunia orang lain—baik pengarang maupun tokoh-tokoh dalam teks.

Pendekatan psikologis dalam hermeneutika memberikan dasar untuk memahami teks bukan hanya secara rasional-linguistik, tetapi juga secara eksistensial dan afektif. Proses interpretasi menjadi semacam perjalanan subjektif yang menuntut keterbukaan, refleksi diri, dan kesadaran akan keterlibatan personal. Pemahaman atas teks menjadi juga pemahaman atas diri, karena keduanya terikat dalam horizon pengalaman yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–11.

[2]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 82–87.

[3]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 108–117.

[4]                Ibid., 120–124.

[5]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), 58–66.

[6]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–117.

[7]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 29–34.


5.           Integrasi Pendekatan Linguistik dan Psikologis: Menuju Pemahaman Holistik

Pendekatan hermeneutika modern tidak lagi memperlakukan aspek linguistik dan psikologis sebagai dua wilayah yang terpisah, melainkan sebagai unsur yang saling berkelindan dalam proses memahami teks secara utuh. Integrasi ini menandai pergeseran paradigma dari hermeneutika teknis menuju pendekatan holistik, di mana bahasa dipahami sebagai bentuk ekspresi dari kesadaran subjek, dan pengalaman batin memperoleh struktur serta artikulasi melalui bahasa. Dengan demikian, pemahaman adalah hasil dari interaksi dialektis antara struktur simbolik bahasa dan kesadaran subjektif penafsir.

Hans-Georg Gadamer, melalui konsep fusion of horizons (Horizontverschmelzung), mengartikulasikan bahwa pemahaman terjadi ketika horizon pembaca (yang dibentuk oleh pengalaman, prapemahaman, dan konteks historisnya) berinteraksi dan menyatu dengan horizon teks yang juga merupakan produk sejarah, bahasa, dan intensi pengarang1. Dalam kerangka ini, bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan makna, tetapi ruang dialogis di mana makna itu diciptakan, dinegosiasikan, dan dipahami secara kontekstual. Subjek penafsir tidak berdiri netral, melainkan terlibat secara eksistensial dan afektif dalam proses pemaknaan.

Paul Ricoeur juga menegaskan pentingnya integrasi ini melalui pendekatan hermeneutika simbolik dan naratif. Ia menggabungkan inspirasi dari linguistik struktural dan fenomenologi eksistensial untuk menunjukkan bahwa makna tidak hadir secara langsung dalam bahasa, melainkan melalui proses distansiasi dan refleksi. Bagi Ricoeur, bahasa menyediakan struktur simbolik yang memungkinkan subjek menafsirkan dunia dan dirinya sendiri melalui narasi yang mengartikulasikan pengalaman hidup2. Proses ini tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga emosional dan etis.

Ricoeur menyebut bahwa interpretasi adalah perjalanan “melalui teks kepada diri” (via text to self)—sebuah proses mediatif di mana pembaca menafsirkan teks dan sekaligus memahami ulang keberadaan dirinya dalam cahaya makna yang ditawarkan teks tersebut3. Dalam hal ini, pendekatan linguistik memberikan kerangka simbolik, sementara pendekatan psikologis menyuplai kedalaman eksistensial dari proses pemahaman. Keduanya bertemu dalam pengalaman interpretatif yang transformatif.

Model integratif ini juga dapat dijelaskan melalui spiral hermeneutika, sebuah gagasan bahwa proses pemahaman tidak berlangsung secara linear, melainkan bersifat sirkular-dinamis antara bagian dan keseluruhan, antara struktur dan subjektivitas. Setiap kali seorang penafsir berhadapan dengan teks, ia membawa prapemahaman tertentu (Vorverständnis), yang lalu diolah melalui interaksi dengan struktur bahasa teks, menghasilkan horizon baru yang lebih dalam. Proses ini berulang dan memperkaya pemahaman seiring waktu4.

Contoh konkret dari integrasi ini dapat ditemukan dalam studi sastra dan teologi. Dalam penafsiran teks sastra, misalnya, struktur naratif dan pilihan bahasa penulis tidak dapat dipisahkan dari keadaan batin dan motif eksistensialnya. Demikian pula dalam penafsiran teks-teks suci, pemahaman tidak bisa dilepaskan dari pengalaman spiritual pembaca yang membentuk horizon keagamaannya. Anthony C. Thiselton menunjukkan bahwa hanya dengan menggabungkan pendekatan linguistik (analisis teks, konteks, struktur wacana) dan psikologis (pengalaman iman, niat batin, dan prapemahaman), seseorang dapat mendekati makna teks secara utuh5.

Lebih jauh lagi, integrasi ini relevan dalam kajian interdisipliner, termasuk dalam psikologi sastra, psikologi agama, dan bahkan terapi naratif, di mana teks berfungsi sebagai media reflektif yang memungkinkan individu memahami, merevisi, dan menyembuhkan pengalaman hidupnya melalui proses interpretasi. Interpretasi dalam konteks ini menjadi bukan sekadar pencarian makna, tetapi juga tindakan eksistensial yang melibatkan rekonstruksi identitas dan makna hidup.

Dengan demikian, pendekatan holistik dalam hermeneutika modern menuntut kesadaran bahwa pemahaman selalu merupakan proses ko-konstitusi antara bahasa dan kesadaran, antara simbol dan pengalaman, antara teks dan subjek. Integrasi antara dimensi linguistik dan psikologis menjadi syarat mutlak bagi interpretasi yang bermakna, mendalam, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 302–307.

[2]                Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (Toronto: University of Toronto Press, 1977), 5–12.

[3]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 71–75.

[4]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 32–36.

[5]                Anthony C. Thiselton, The Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 85–92.


6.           Kritik dan Tantangan terhadap Pendekatan Holistik

Meskipun pendekatan holistik dalam hermeneutika modern menawarkan sintesis yang kaya antara dimensi linguistik dan psikologis dalam memahami makna, pendekatan ini tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan post-strukturalis, hermeneutika kritis, maupun dari sudut pandang epistemologis dan etis. Kritik-kritik ini menyoroti keterbatasan pendekatan holistik dalam menjamin objektivitas makna, kemungkinan relativisme interpretatif, serta ketegangan antara struktur teks dan subjektivitas penafsir.

6.1.       Kritik Post-Strukturalis: Dekonstruksi terhadap Otoritas Makna

Kalangan post-strukturalis, khususnya Jacques Derrida, mempertanyakan gagasan bahwa makna dapat dicapai secara koheren melalui integrasi antara bahasa dan subjek. Dalam Of Grammatology, Derrida memperkenalkan konsep différance, yang menyatakan bahwa makna selalu tertunda (deferred) dan tidak pernah hadir sepenuhnya dalam teks. Struktur bahasa, menurut Derrida, tidak menyimpan makna tetap, tetapi justru menghasilkan ketidakstabilan melalui relasi antar-tanda yang bersifat arbitrer1. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang berupaya menyatukan horizon makna antara teks dan pembaca dianggap masih menyisakan ilusi keutuhan dan stabilitas makna.

Derrida juga menolak asumsi hermeneutika klasik tentang “intensi pengarang” sebagai pusat pemaknaan, dan menggugat dominasi subjek dalam proses interpretasi. Dalam pandangan dekonstruktif, teks memiliki otonomi, dan pembacaan yang mencoba menyelamatkan “makna asli” justru mengabaikan pluralitas potensi makna yang tersembunyi dalam ambiguitas bahasa2.

6.2.       Tantangan dari Hermeneutika Kritis: Dimensi Ideologi dan Kekuasaan

Pendekatan holistik juga dikritik oleh tokoh-tokoh hermeneutika kritis seperti Jürgen Habermas, yang menekankan bahwa pemahaman tidak dapat dilepaskan dari konteks kekuasaan dan struktur ideologi yang mendasarinya. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas mengingatkan bahwa proses interpretasi dapat terjebak dalam distorsi sistematik jika tidak disertai dengan kesadaran kritis terhadap kepentingan sosial dan historis yang beroperasi di balik teks3.

Habermas mengkritik Gadamer karena terlalu menekankan tradisi dan konsensus historis tanpa cukup mempertimbangkan potensi dominasi ideologis dalam wacana. Bagi Habermas, pendekatan holistik yang terlalu mengandalkan harmoni antara horizon teks dan pembaca dapat mengabaikan konflik dan ketimpangan dalam hubungan sosial yang dibingkai oleh bahasa4. Oleh karena itu, interpretasi yang etis harus mengintegrasikan dimensi emansipatoris—yakni usaha untuk membongkar dominasi dan membuka ruang bagi kesetaraan komunikasi.

6.3.       Relativisme dan Problematika Kebenaran

Kritik lainnya terhadap pendekatan holistik terletak pada potensi relativisme interpretatif. Ketika makna ditentukan melalui dialog antara horizon pembaca dan teks, dan ketika dimensi psikologis dan pengalaman subyektif dijadikan elemen utama dalam interpretasi, maka muncul pertanyaan mengenai kriteria validitas atau kebenaran tafsir. Jika setiap pemahaman adalah hasil fusi horizon yang bersifat personal dan historis, apakah masih mungkin berbicara tentang interpretasi yang “benar” atau “lebih sahih”?

Paul Ricoeur mencoba menjawab tantangan ini dengan membedakan antara interpretasi yang bersifat “suspektif” (hermeneutika kecurigaan) dan “rekonstruktif” (hermeneutika kepercayaan). Ia menekankan bahwa interpretasi yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan baik pluralitas makna maupun keterbatasan subjek, serta mengembangkan etik interpretasi yang terbuka terhadap alteritas dan kesementaraan makna5.

Namun demikian, tantangan tetap ada, terutama dalam ruang publik atau pendidikan, ketika interpretasi subjektif bertabrakan dengan kebutuhan akan kesepakatan makna bersama. Dalam konteks ini, pendekatan holistik dituntut untuk mengembangkan kriteria evaluatif, bukan untuk menekan kebebasan interpretasi, tetapi untuk menjaga integritas penafsiran dalam komunitas ilmiah dan sosial.

6.4.       Ketegangan antara Struktur dan Subjektivitas

Pendekatan holistik juga menghadapi ketegangan inheren antara struktur bahasa sebagai sistem objektif dan pengalaman pembaca sebagai entitas subjektif. Dalam praktiknya, interpretasi dapat condong terlalu jauh ke aspek personal (psikologis) sehingga mengabaikan batas-batas struktur linguistik teks, atau sebaliknya, terlalu fokus pada struktur sehingga menegasikan peran pengalaman dan intuisi interpretator. Ketegangan ini menunjukkan bahwa pemahaman holistik menuntut keseimbangan dinamis yang tidak selalu mudah dicapai dalam praktik.

Anthony C. Thiselton menekankan bahwa interpretasi yang bertanggung jawab harus bersifat inter-subjektif, yakni terbuka terhadap koreksi dalam komunitas interpretatif dan tetap berpijak pada struktur gramatikal serta konteks historis teks6. Dalam hal ini, pendekatan holistik harus bersikap reflektif dan sadar batas, tidak mengklaim keutuhan mutlak, tetapi justru menghargai kompleksitas proses pemahaman sebagai sesuatu yang selalu terbuka dan berkembang.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 27–30.

[2]                Ibid., 158–162.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 314–322.

[4]                Ibid., 335–339.

[5]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 27–29.

[6]                Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand Rapids: Zondervan, 1992), 87–90.


7.           Relevansi Hermeneutika Modern dalam Konteks Kontemporer

Dalam dunia yang ditandai oleh kompleksitas makna, pluralitas perspektif, dan pergeseran epistemologis, hermeneutika modern tetap menunjukkan daya hidupnya sebagai pendekatan yang mampu menjembatani antara subjek dan teks, antara struktur dan pengalaman, serta antara tradisi dan transformasi. Dengan mengintegrasikan pendekatan linguistik dan psikologis secara holistik, hermeneutika tidak hanya relevan sebagai teori interpretasi, tetapi juga sebagai kerangka pemikiran kritis dalam berbagai ranah kehidupan kontemporer: pendidikan, agama, budaya, hingga ruang publik digital.

7.1.       Relevansi dalam Pendidikan dan Ilmu Humaniora

Dalam konteks pendidikan, hermeneutika modern memberikan landasan metodologis yang kuat bagi pengembangan pendidikan kritis dan reflektif. Pendekatan hermeneutik mendorong siswa dan mahasiswa untuk tidak sekadar menerima teks sebagai informasi objektif, tetapi mengolahnya sebagai dialog antara teks dan pengalaman mereka sendiri. Proses ini melatih keterampilan interpretatif yang lebih dalam, seperti empati, analisis kontekstual, dan kesadaran historis1.

Paul Ricoeur menyebut kegiatan membaca sebagai tindakan membentuk identitas naratif, yakni upaya pembaca untuk merekonstruksi pemahamannya tentang diri dan dunia melalui teks. Oleh karena itu, literasi hermeneutik bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menjadi subjek yang memahami dan dimengerti dalam dunia sosial yang penuh makna2.

Di bidang humaniora, hermeneutika juga berperan dalam mengatasi krisis objektivitas dalam ilmu-ilmu budaya. Ketika interpretasi tidak lagi dapat dipisahkan dari konteks sosial-budaya, hermeneutika menawarkan model pemahaman yang transformatif—yakni menghubungkan analisis linguistik (struktur teks) dengan kesadaran historis dan eksistensial dari penafsir.

7.2.       Relevansi dalam Studi Agama dan Dialog Lintas Iman

Hermeneutika telah lama menjadi metode utama dalam studi agama, khususnya dalam penafsiran kitab suci dan teks-teks spiritual. Dalam konteks pluralisme agama dan tantangan tafsir literalistik, hermeneutika modern menyediakan pendekatan alternatif yang lebih dialogis dan kontekstual. Dengan mengakui horizon historis pembaca dan teks, hermeneutika mendorong pendekatan yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman makna dalam teks keagamaan3.

Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa pemahaman teologis tidak pernah terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam horizon tradisi yang hidup. Oleh karena itu, dialog antaragama memerlukan pemahaman bahwa teks keagamaan tidak selalu dapat dipahami secara seragam, tetapi harus ditafsirkan dengan memperhatikan horizon-horizon budaya dan pengalaman yang berbeda-beda4. Dalam konteks ini, hermeneutika menjadi sarana membangun dialog lintas iman yang tidak mendominasi, melainkan saling memperkaya.

7.3.       Relevansi dalam Kajian Sosial dan Budaya Populer

Di era globalisasi dan media digital, teks-teks budaya (film, musik, media sosial) menjadi arena utama pembentukan identitas, ideologi, dan pemahaman publik. Hermeneutika modern, dengan fokusnya pada pemaknaan kontekstual dan subjektivitas pembaca, menjadi alat analisis yang sangat berguna untuk menelaah fenomena-fenomena tersebut.

Misalnya, dalam analisis wacana media, pendekatan hermeneutik membantu mengungkap cara narasi tertentu dibentuk untuk mempertahankan struktur kekuasaan atau membentuk opini publik. Norman Fairclough dan tokoh analisis wacana kritis lainnya memanfaatkan prinsip hermeneutika untuk membongkar ideologi yang tersembunyi di balik narasi populer dan bahasa visual5.

7.4.       Relevansi dalam Era Digital dan Teknologi Kecerdasan Buatan

Dalam era digital dan kecerdasan buatan, tantangan terhadap pemahaman semakin kompleks. Algoritma dan sistem pembelajaran mesin dapat menganalisis teks, namun pemahaman yang dihasilkan bersifat statistikal dan reduktif. Hermeneutika menegaskan pentingnya pengalaman manusiawi dan konteks eksistensial dalam membentuk makna, sesuatu yang tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh mesin.

Ricoeur dan Gadamer telah menunjukkan bahwa pemahaman tidak hanya bersifat mekanistik, tetapi juga dialektis dan reflektif, melibatkan subjektivitas, waktu, dan horizon sejarah. Oleh karena itu, dalam desain teknologi komunikasi dan pendidikan berbasis AI, hermeneutika dapat berperan sebagai kritik normatif terhadap kecenderungan teknologis yang mengabaikan kompleksitas kemanusiaan6.


Footnotes

[1]                David E. Cooper, “Hermeneutics and Education,” Journal of Philosophy of Education 17, no. 1 (1983): 3–14.

[2]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–121.

[3]                Werner G. Jeanrond, Text and Interpretation as Categories of Theological Thinking (New York: Crossroad, 1988), 97–103.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 371–374.

[5]                Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language (London: Longman, 1995), 19–25.

[6]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 121–124.


8.           Kesimpulan

Hermeneutika modern telah berkembang dari sekadar metode penafsiran teks keagamaan dan hukum menjadi suatu kerangka filosofis yang holistik dalam memahami makna, bahasa, dan pengalaman manusia. Melalui integrasi antara pendekatan linguistik, yang menyoroti struktur dan fungsi bahasa dalam teks, dan pendekatan psikologis, yang menekankan kesadaran, intensi, dan horizon subjek penafsir, hermeneutika menawarkan pendekatan interpretatif yang kaya, reflektif, dan manusiawi. Pemahaman dalam konteks ini bukan sekadar reproduksi makna, tetapi juga rekonstruksi yang kreatif dan kontekstual.

Tokoh-tokoh utama dalam hermeneutika modern seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, dan Paul Ricoeur telah menunjukkan bahwa proses pemahaman adalah peristiwa dialektis antara teks dan subjek, antara bahasa dan pengalaman, serta antara masa lalu dan masa kini. Schleiermacher mengajarkan bahwa penafsiran membutuhkan pemahaman mendalam terhadap intensi pengarang dan sistem linguistik yang digunakan1. Dilthey memperluas horizon hermeneutika ke dalam ranah ilmu-ilmu kemanusiaan, dengan menjadikan pengalaman hidup sebagai inti dari interpretasi2. Sementara itu, Gadamer dan Ricoeur menekankan peran tradisi, prapemahaman, dan simbolisme naratif dalam pembentukan makna yang selalu terbuka dan historis3.

Integrasi dimensi linguistik dan psikologis ini menghasilkan pendekatan holistik yang tidak hanya mampu menjelaskan makna teks secara struktural, tetapi juga menggambarkan dinamika eksistensial subjek penafsir. Namun, seperti telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik. Kalangan post-strukturalis seperti Derrida memperingatkan terhadap ilusi stabilitas makna, sementara hermeneutika kritis Habermas menekankan pentingnya membongkar distorsi ideologis dalam proses pemahaman4. Di sisi lain, tantangan relativisme interpretatif dan ketegangan antara struktur dan subjektivitas menunjukkan bahwa pemahaman yang utuh menuntut keseimbangan antara kebebasan interpretasi dan tanggung jawab epistemik.

Meskipun demikian, relevansi hermeneutika modern semakin kuat dalam dunia kontemporer. Dalam pendidikan, pendekatan ini mendorong lahirnya pemikiran reflektif dan partisipatif; dalam studi agama, ia membuka ruang dialog yang inklusif; dalam analisis budaya dan media, ia menjadi alat untuk memahami dinamika wacana; dan dalam era teknologi digital, hermeneutika berfungsi sebagai pengingat bahwa makna tidak dapat direduksi hanya pada algoritma atau data, tetapi berkaitan erat dengan konteks manusia dan sejarahnya5.

Sebagai penutup, pendekatan holistik dalam hermeneutika modern tidak menawarkan jawaban final atas makna, melainkan mengajak kita untuk terlibat secara aktif dan sadar dalam proses pemahaman. Ia menempatkan kita, sebagai subjek penafsir, di tengah medan dialog antara teks, tradisi, dan pengalaman hidup yang senantiasa berubah. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, pendekatan hermeneutik ini menghadirkan cara berpikir yang terbuka, mendalam, dan berakar pada kemanusiaan kita.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 6–17.

[2]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 115–122.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 2004), 302–315; Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 70–76.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 27–30; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 320–326.

[5]                Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 123–127.


Daftar Pustaka

Cooper, D. E. (1983). Hermeneutics and education. Journal of Philosophy of Education, 17(1), 3–14. https://doi.org/10.1111/j.1467-9752.1983.tb00374.x

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dilthey, W. (1996). Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds., Vol. 4). Princeton University Press.

Fairclough, N. (1995). Critical discourse analysis: The critical study of language. Longman.

Fairclough, N. (1992). Discourse and social change. Polity Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd ed.). Continuum.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans., Vol. 1). Beacon Press.

Jeanrond, W. G. (1988). Text and interpretation as categories of theological thinking. Crossroad.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.

Ricoeur, P. (1977). The rule of metaphor: Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in language (R. Czerny, Trans.). University of Toronto Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Saussure, F. de. (1986). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.). Open Court Publishing. (Original work published 1916)

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism (A. Bowie, Ed.). Cambridge University Press.

Thiselton, A. C. (1980). The two horizons: New Testament hermeneutics and philosophical description. Eerdmans.

Thiselton, A. C. (1992). New horizons in hermeneutics. Zondervan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar