Ilmu Pemerintahan
Konsep, Dinamika, dan Relevansinya dalam Sistem Politik
Kontemporer
Alihkan ke: NKRI.
Sistem Pemerintahan, Sistem Hukum, Sistem Ekonomi, Sistem Pendidikan.
Kepemimpinan dalam Perspektif Filsafat, Dinamika Kepemimpinan dalam Islam, Kepemimpinan Pendidikan Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat,
perkembangan, pendekatan, serta relevansi ilmu pemerintahan dalam konteks
sosial-politik kontemporer. Ilmu pemerintahan merupakan cabang ilmu sosial yang
menelaah bagaimana kekuasaan publik dijalankan melalui struktur, proses, dan
institusi pemerintahan. Kajian ini mencakup pembahasan tentang ruang lingkup
dan fungsi pemerintahan, sejarah perkembangan pemikiran pemerintahan sejak era
klasik hingga modern, serta pendekatan dan teori-teori utama yang digunakan
dalam analisis pemerintahan. Di samping itu, artikel ini juga mengeksplorasi
tantangan baru yang dihadapi ilmu pemerintahan dalam era globalisasi dan
digitalisasi, serta kontribusinya terhadap pembangunan demokrasi melalui
penguatan kelembagaan, partisipasi masyarakat, dan tata kelola yang baik.
Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan berbasis referensi akademik
yang kredibel, tulisan ini menegaskan bahwa ilmu pemerintahan tidak hanya
relevan sebagai kerangka teoretis, tetapi juga vital secara praktis dalam
membentuk sistem pemerintahan yang demokratis, efektif, dan responsif terhadap
tuntutan zaman.
Kata Kunci: Ilmu pemerintahan; struktur pemerintahan;
demokrasi; tata kelola; globalisasi; digitalisasi; partisipasi publik; good governance.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis terhadap Ilmu Pemerintahan Berdasarkan
Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu pemerintahan
merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang memegang peranan sentral dalam
memahami dinamika kekuasaan, pengambilan keputusan publik, serta
penyelenggaraan negara dan masyarakat. Seiring perkembangan sistem politik
modern, ilmu ini berkembang menjadi disiplin yang tidak hanya menjelaskan
struktur pemerintahan dan proses politik, tetapi juga mengkaji secara kritis
bagaimana prinsip-prinsip demokrasi, legitimasi, efisiensi, dan akuntabilitas
dapat diimplementasikan dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Dalam konteks
negara demokratis, ilmu pemerintahan menjadi landasan penting bagi pengembangan
sistem kelembagaan yang sehat dan tata kelola yang responsif terhadap kebutuhan
warga negara.
Sejak zaman klasik,
gagasan mengenai pemerintahan telah menjadi perhatian para filsuf dan pemikir
politik. Plato dan Aristoteles, misalnya, telah membahas secara sistematis
bentuk-bentuk pemerintahan yang ideal dan relasi antara penguasa dengan rakyat
dalam The
Republic dan Politics—yang kemudian menjadi
dasar teoritis bagi perkembangan ilmu pemerintahan modern.¹ Dalam
perkembangannya, pemikiran tentang pemerintahan tidak hanya berfokus pada
legitimasi kekuasaan, tetapi juga pada mekanisme institusional dan praktik
administratif yang memungkinkan negara berfungsi secara efektif.
Pada abad ke-20,
ilmu pemerintahan mengalami diferensiasi yang signifikan dari ilmu politik
melalui fokus kajiannya yang lebih konkret pada organisasi pemerintahan,
hubungan antara lembaga negara, serta peran birokrasi dalam menjalankan
kebijakan publik. Dwight Waldo, seorang tokoh penting dalam studi administrasi
publik, menegaskan bahwa pemerintahan bukan hanya tentang politik, melainkan
juga tentang nilai-nilai etis dan pengambilan keputusan yang rasional dalam
melayani kepentingan umum.² Di sisi lain, David Easton memperkenalkan
pendekatan sistem dalam memahami pemerintahan sebagai proses input-output yang
kompleks, di mana tuntutan masyarakat dikonversi menjadi kebijakan oleh
lembaga-lembaga negara.³
Ilmu pemerintahan
juga relevan secara praktis dalam menanggapi tantangan kontemporer seperti
globalisasi, krisis legitimasi politik, dan transformasi digital. Dalam era
keterbukaan informasi dan partisipasi publik yang semakin meningkat, studi
tentang pemerintahan harus mampu menjawab bagaimana negara dapat mempertahankan
efektivitas tanpa mengabaikan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Oleh
karena itu, kajian ini menjadi penting tidak hanya bagi kalangan akademisi,
tetapi juga bagi para pembuat kebijakan, aparatur negara, dan masyarakat sipil
yang aktif dalam pengawasan pemerintahan.
Tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji secara sistematis hakikat ilmu pemerintahan,
pendekatan-pendekatannya, serta dinamika dan tantangan yang dihadapi dalam
konteks sosial-politik kontemporer. Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner,
artikel ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang posisi
strategis ilmu pemerintahan dalam pembangunan sistem kenegaraan yang
demokratis, efektif, dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Aristotle, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford University
Press, 1995); Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992).
[2]
Dwight Waldo, The Administrative
State: A Study of the Political Theory of American Public Administration (New York: Ronald Press, 1948), 11–14.
[3]
David Easton, A Systems Analysis of
Political Life (New York: John Wiley
& Sons, 1965), 32–40.
2.
Hakikat
dan Ruang Lingkup Ilmu Pemerintahan
Ilmu pemerintahan
merupakan cabang dari ilmu sosial yang berfokus pada studi tentang bagaimana
pemerintahan dijalankan, baik dalam struktur maupun dalam prosesnya, serta
interaksinya dengan masyarakat. Hakikat ilmu pemerintahan terletak pada
usahanya untuk memahami fenomena kekuasaan dan kewenangan (authority),
bagaimana keputusan publik dibuat dan diimplementasikan, serta bagaimana negara
mengelola sumber daya dan menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Dalam konteks
modern, ilmu pemerintahan tidak hanya menyoroti institusi formal seperti
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga mencakup peran aktor
non-negara, birokrasi, masyarakat sipil, hingga mekanisme partisipatif dalam
sistem demokrasi.¹
Menurut Jimly
Asshiddiqie, ilmu pemerintahan merupakan kajian sistematis terhadap
proses-proses pemerintahan yang mencakup lembaga, mekanisme, prinsip, dan etika
yang mendasari pengelolaan kekuasaan dalam negara.² Ia menekankan bahwa ilmu
ini tidak hanya menjelaskan aspek legal formal dari pemerintahan, tetapi juga
mengkaji realitas sosiologis, ekonomi, dan budaya yang memengaruhi efektivitas
pemerintahan. Sejalan dengan itu, Deddy Ismatullah memaparkan bahwa objek
material ilmu pemerintahan adalah seluruh proses pemerintahan, sedangkan objek
formalnya adalah cara berpikir ilmiah terhadap praktik pemerintahan itu
sendiri.³
Ruang lingkup ilmu pemerintahan
dapat dibagi menjadi beberapa dimensi utama. Pertama, struktur
pemerintahan, yang mencakup sistem politik dan organisasi
negara, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Kedua, fungsi
pemerintahan, meliputi pelaksanaan regulasi, pelayanan publik,
perlindungan terhadap warga negara, dan pembangunan sosial-ekonomi. Keempat
fungsi pokok ini sejalan dengan pandangan klasik Harold Laski yang menyatakan
bahwa fungsi utama pemerintah adalah menjamin keadilan, menjaga ketertiban, dan
mewujudkan kesejahteraan umum.⁴ Ketiga, proses pemerintahan, yaitu
dinamika pengambilan keputusan, hubungan antarlembaga, serta keterlibatan
publik dalam kebijakan.
Selain itu, ilmu
pemerintahan beririsan dan berinteraksi erat dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu
politik (dalam aspek kekuasaan dan legitimasi), administrasi
publik (dalam aspek birokrasi dan manajemen pemerintahan), dan hukum
tata negara (dalam aspek normatif-konstitusional). Gabriel
Almond dan Stephen Genco menyebutkan bahwa studi pemerintahan merupakan
jembatan antara analisis kelembagaan dan perilaku politik yang terjadi dalam
kerangka negara.⁵ Oleh karena itu, pendekatan interdisipliner menjadi penting
untuk memahami kompleksitas penyelenggaraan pemerintahan secara holistik.
Dalam praktiknya,
ilmu pemerintahan juga tidak bersifat statis. Perkembangannya dipengaruhi oleh
konteks historis, ideologis, dan teknologi informasi. Sehingga, dalam kajian
kontemporer, ruang lingkup ilmu ini diperluas hingga mencakup e-government,
tata kelola pemerintahan global, dan peran artificial intelligence dalam
pengambilan keputusan publik. Transformasi ini menunjukkan bahwa ilmu
pemerintahan terus beradaptasi dengan dinamika zaman, sekaligus mempertahankan
esensi dasarnya: menata kekuasaan secara sah dan rasional untuk kepentingan umum.
Footnotes
[1]
Nicholas Henry, Public Administration
and Public Affairs, 12th ed. (New
York: Routledge, 2018), 5–7.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu
Pemerintahan (Jakarta: Rajawali
Pers, 2019), 23–26.
[3]
Deddy Ismatullah, Ilmu Pemerintahan Baru:
Perspektif dan Relevansinya terhadap Reformasi Pemerintahan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), 13–15.
[4]
Harold J. Laski, A Grammar of Politics (London: George Allen & Unwin Ltd., 1930), 53–58.
[5]
Gabriel A. Almond and Stephen J. Genco, “Clouds, Clocks, and the Study
of Politics,” World Politics 29, no. 4 (1977): 489–522.
3.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Pemerintahan
Perkembangan ilmu
pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pemikiran politik dan
kenegaraan yang dimulai sejak zaman kuno. Pemikiran tentang bentuk dan prinsip
pemerintahan telah menjadi bagian integral dari tradisi filsafat politik sejak
era Yunani klasik. Plato dalam The Republic memperkenalkan gagasan
tentang pemerintahan yang dipimpin oleh “raja-filsuf”, yakni sosok
penguasa yang memiliki kebijaksanaan untuk menata negara berdasarkan keadilan.¹
Sementara itu, Aristoteles dalam Politics melakukan klasifikasi
terhadap bentuk-bentuk pemerintahan seperti monarki, aristokrasi, dan politeia,
serta bentuk-bentuk penyimpangannya seperti tirani, oligarki, dan demokrasi
massa.² Kedua pemikir ini menjadi fondasi bagi pemahaman awal tentang
pemerintahan sebagai institusi yang mengatur kehidupan publik dan menjamin
keteraturan sosial.
Memasuki era modern,
konsep pemerintahan mengalami transformasi seiring dengan perubahan struktur
kekuasaan dan kemunculan negara-bangsa (nation-state). Pemikiran Niccolò
Machiavelli dalam Il Principe menandai pergeseran
dari idealisme moral ke pendekatan realistis terhadap kekuasaan dan pemerintahan.³
Machiavelli memandang bahwa keberhasilan pemerintahan lebih ditentukan oleh
kemampuan penguasa dalam mengelola kekuasaan secara efektif, bukan semata-mata
oleh pertimbangan etika. Pandangan ini menjadi titik awal berkembangnya
pendekatan pragmatis dalam studi pemerintahan.
Pada abad ke-17 dan
ke-18, muncul pemikiran-pemikiran besar yang turut membentuk dasar teori
pemerintahan modern, antara lain oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan
Jean-Jacques Rousseau. Hobbes dalam Leviathan menekankan pentingnya
pemerintahan kuat untuk menghindari kekacauan (state of nature), sedangkan
Locke mempromosikan konsep kontrak sosial dan hak-hak individu sebagai fondasi
legitimasi kekuasaan.⁴ Rousseau, di sisi lain, memperkenalkan gagasan
kedaulatan rakyat sebagai dasar utama pemerintahan yang sah.⁵
Pemikiran-pemikiran ini kemudian menjadi pondasi bagi berkembangnya teori
demokrasi dan konstitusionalisme dalam tata pemerintahan modern.
Sebagai disiplin
ilmiah yang berdiri sendiri, ilmu pemerintahan mulai berkembang pesat pada abad
ke-19 dan awal abad ke-20, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Di Amerika,
munculnya Public
Administration sebagai kajian sistematis yang dipelopori oleh
Woodrow Wilson melalui esainya yang terkenal “The Study of Administration”
(1887) menandai diferensiasi antara ilmu politik dan ilmu administrasi
pemerintahan.⁶ Wilson berargumen bahwa studi pemerintahan harus terpisah dari
politik praktis dan lebih menekankan aspek efisiensi, organisasi, dan manajemen
publik. Pemikiran ini diperkuat oleh tokoh seperti Max Weber, yang melalui
konsep legal-rational
authority menjelaskan bagaimana birokrasi modern menjadi tulang
punggung pemerintahan yang rasional dan terstruktur.⁷
Dalam konteks
Indonesia, pengembangan ilmu pemerintahan memiliki dinamika tersendiri. Pada
masa Orde Baru, studi pemerintahan lebih banyak diarahkan pada aspek
administratif dan penguatan kontrol negara. Namun, setelah reformasi 1998,
paradigma baru berkembang yang menekankan transparansi, partisipasi publik, dan
demokratisasi pemerintahan.⁸ Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai
inisiatif akademik dan kelembagaan yang memperkuat studi ilmu pemerintahan
sebagai ilmu yang otonom, multidisipliner, dan relevan terhadap tantangan lokal
maupun global.
Dengan demikian,
sejarah perkembangan ilmu pemerintahan mencerminkan proses panjang transformasi
pemikiran dan praksis politik. Dari refleksi filosofis Yunani klasik, realisme
Machiavelli, kontraktualisme Locke dan Rousseau, hingga perkembangan birokrasi
modern dan pemerintahan demokratis kontemporer, semua berkontribusi pada
pembentukan ilmu pemerintahan sebagai sebuah disiplin yang dinamis dan adaptif
terhadap perubahan zaman.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 110–125.
[2]
Aristotle, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford University
Press, 1995), 127–129.
[3]
Niccolò Machiavelli, The
Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 5–9.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 82–91; John Locke, Two
Treatises of Government, ed. Peter
Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–293.
[5]
Jean-Jacques Rousseau, The
Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–70.
[6]
Woodrow Wilson, “The Study of Administration,” Political Science Quarterly 2, no. 2 (1887): 197–222.
[7]
Max Weber, Economy and Society: An
Outline of Interpretive Sociology,
ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press,
1978), 212–217.
[8]
Deddy Ismatullah, Ilmu Pemerintahan Baru:
Perspektif dan Relevansinya terhadap Reformasi Pemerintahan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), 57–62.
4.
Pendekatan
dan Teori dalam Ilmu Pemerintahan
Dalam perkembangan
keilmuannya, ilmu pemerintahan telah menggunakan berbagai pendekatan dan teori
untuk memahami realitas kompleks dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Pendekatan-pendekatan tersebut tidak hanya mencerminkan keragaman epistemologis
dalam studi pemerintahan, tetapi juga menunjukkan dinamika metodologis yang
senantiasa berkembang sesuai tantangan zaman. Terdapat dua kecenderungan besar
dalam pendekatan ilmu pemerintahan, yaitu pendekatan normatif-teoritis
dan empiris-analitis.¹
Pendekatan normatif
bertumpu pada pertanyaan filosofis dan ideal tentang bagaimana pemerintahan seharusnya
dijalankan. Pendekatan ini mengakar pada filsafat politik klasik dan teori
kontrak sosial yang dikembangkan oleh tokoh seperti Hobbes, Locke, dan
Rousseau.² Pendekatan ini berguna untuk merumuskan prinsip-prinsip dasar
seperti legitimasi kekuasaan, keadilan, dan hak asasi manusia yang menjadi
fondasi bagi sistem pemerintahan modern.
Sementara itu,
pendekatan empiris dalam ilmu pemerintahan
menekankan observasi terhadap fakta dan perilaku nyata lembaga serta aktor
pemerintahan. Melalui pendekatan ini, para ilmuwan berupaya mengidentifikasi
pola-pola kebijakan, relasi antarlembaga, efektivitas birokrasi, dan
partisipasi warga negara secara sistematis.³ David Easton menjadi pelopor
penting dalam pendekatan ini dengan mengenalkan model sistem politik, yang
menggambarkan pemerintahan sebagai suatu sistem terbuka yang menerima input
dari masyarakat dan menghasilkan output berupa kebijakan publik.⁴
Seiring
berkembangnya disiplin ini, lahir pula sejumlah teori-teori utama dalam ilmu
pemerintahan yang membantu menjelaskan berbagai aspek kekuasaan, proses
pengambilan keputusan, dan organisasi pemerintahan.
4.1.
Teori Kekuasaan
Teori ini melihat
inti dari pemerintahan sebagai proses penggunaan dan distribusi kekuasaan.
Harold Lasswell mendefinisikan politik sebagai “who gets what, when, and how,”
yang menjadi dasar analisis dalam memahami siapa yang berkuasa, bagaimana
kekuasaan digunakan, dan untuk tujuan apa.⁵ Max Weber memperluas konsep ini
melalui tipologi otoritas, yaitu otoritas
tradisional, karismatik, dan legal-rasional, dengan fokus pada birokrasi
sebagai sarana utama pelaksanaan pemerintahan modern.⁶
4.2.
Teori Legitimasi Pemerintahan
Teori ini menyoroti
dasar moral dan legal dari kekuasaan pemerintahan. Menurut Weber, legitimasi
merupakan kunci keberlanjutan kekuasaan; tanpa legitimasi, kekuasaan akan
menghadapi resistensi yang mengancam stabilitas pemerintahan.⁷ Teori ini
menjadi sangat penting dalam konteks pemerintahan demokratis, di mana otoritas
harus memperoleh persetujuan rakyat melalui mekanisme representasi dan pemilu.
4.3.
Teori Demokrasi dan Partisipasi Publik
Teori ini memusatkan
perhatian pada hubungan antara pemerintahan dan warga negara. Robert Dahl,
dalam teorinya tentang polyarchy, menekankan pentingnya
akses politik dan kompetisi sebagai prasyarat demokrasi yang sehat.⁸
Partisipasi publik dilihat sebagai mekanisme kontrol terhadap kekuasaan dan
sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, konsep good governance juga berkembang, yang mencakup transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi sebagai indikator pemerintahan yang baik.⁹
4.4.
Teori Sistem Pemerintahan
Teori ini membahas
perbedaan struktur kelembagaan dalam sistem pemerintahan seperti presidensial,
parlementer, dan campuran. Maurice Duverger, dalam studi perbandingannya,
menunjukkan bagaimana konfigurasi hubungan antara eksekutif dan legislatif
berdampak terhadap efektivitas dan stabilitas pemerintahan.¹⁰ Di Indonesia,
perdebatan tentang sistem presidensialisme vs parlementarisme menjadi penting
dalam desain konstitusi pasca-reformasi.
Melalui integrasi
berbagai pendekatan dan teori ini, ilmu pemerintahan terus berusaha
menjelaskan, menilai, dan memandu praktik pemerintahan dalam berbagai konteks
budaya, historis, dan institusional. Pendekatan yang bersifat multidisipliner
semakin dipandang sebagai keharusan dalam menjawab kompleksitas persoalan
pemerintahan kontemporer yang melibatkan aktor dan arena yang beragam, termasuk
pengaruh globalisasi dan teknologi informasi.
Footnotes
[1]
Deddy Ismatullah, Ilmu Pemerintahan Baru:
Perspektif dan Relevansinya terhadap Reformasi Pemerintahan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), 28–32.
[2]
John Locke, Two Treatises of
Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–293.
[3]
Nicholas Henry, Public Administration
and Public Affairs, 12th ed. (New
York: Routledge, 2018), 67–69.
[4]
David Easton, A Systems Analysis of
Political Life (New York: John Wiley
& Sons, 1965), 23–40.
[5]
Harold D. Lasswell, Politics:
Who Gets What, When, How (New York:
McGraw-Hill, 1936), 1.
[6]
Max Weber, Economy and Society: An
Outline of Interpretive Sociology,
ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press,
1978), 212–215.
[7]
Max Weber, The Theory of Social
and Economic Organization, trans. A.
M. Henderson and Talcott Parsons (New York: Oxford University Press, 1947),
324–329.
[8]
Robert A. Dahl, Polyarchy:
Participation and Opposition (New
Haven: Yale University Press, 1971), 2–5.
[9]
United Nations Development Programme (UNDP), Governance for Sustainable Human Development: A UNDP Policy
Document (New York: UNDP, 1997),
9–14.
[10]
Maurice Duverger, Institutions Politiques
et Droit Constitutionnel, vol. 2
(Paris: Presses Universitaires de France, 1980), 143–147.
5.
Fungsi
dan Tujuan Pemerintahan
Pemerintahan adalah
instrumen utama dalam mengelola kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam
kerangka teoritis ilmu pemerintahan, fungsi dan tujuan pemerintahan menjadi dua
aspek fundamental yang menggambarkan esensi keberadaan negara sebagai
penyelenggara kekuasaan publik. Fungsi pemerintahan mencerminkan apa yang
dilakukan pemerintah, sementara tujuan menggambarkan untuk
apa pemerintahan itu ada. Keduanya tidak dapat dipisahkan
karena mencerminkan arah dan cara pemerintahan dijalankan dalam mencapai
kesejahteraan rakyat.
5.1.
Fungsi Pemerintahan
Secara klasik,
Harold J. Laski menyatakan bahwa fungsi pemerintahan minimal meliputi
perlindungan terhadap warga negara, penegakan hukum, dan pengaturan kehidupan
ekonomi dan sosial.¹ Fungsi ini berkembang dalam teori modern menjadi empat
kategori utama: regulasi, pelayanan,
perlindungan,
dan pembangunan.²
1)
Regulasi:
Fungsi ini melibatkan pembuatan peraturan, hukum,
dan kebijakan yang mengatur hubungan antarwarga negara, serta antara warga
dengan negara. Pemerintah bertindak sebagai penjamin ketertiban dan keadilan
dengan menetapkan norma hukum yang mengikat seluruh elemen masyarakat.³
2)
Pelayanan:
Pemerintah menjalankan fungsi pelayanan publik dalam
berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan administrasi
sipil. Dalam teori pelayanan publik, pemerintah harus memenuhi standar
pelayanan minimum yang berorientasi pada kebutuhan dan hak-hak dasar warga
negara.⁴
3)
Perlindungan:
Fungsi ini berkaitan dengan tanggung jawab negara
untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, dan perlindungan terhadap
kelompok rentan. Weber menyebut ini sebagai monopoli kekuasaan
koersif yang sah—yang digunakan untuk menjaga integrasi sosial dan
nasional.⁵
4)
Pembangunan:
Pemerintahan modern juga memiliki peran sebagai
aktor pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan sosial, dan
keberlanjutan lingkungan. Fungsi ini semakin ditekankan dalam negara-negara
berkembang, di mana pemerintah menjadi motor utama transformasi sosial dan
ekonomi.⁶
5.2.
Tujuan Pemerintahan
Tujuan pemerintahan
dapat ditelusuri dari berbagai perspektif teori politik dan konstitusi.
Konstitusi Republik Indonesia, misalnya, secara eksplisit mencantumkan tujuan
pemerintahan dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia,
memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Ini sejalan dengan prinsip universal
dari teori pemerintahan modern.
1)
Menjaga Ketertiban dan Stabilitas:
Pemerintahan bertujuan menciptakan kondisi yang
aman dan tertib sebagai prasyarat bagi berlangsungnya kehidupan sosial dan
ekonomi.⁷
2)
Mewujudkan Keadilan dan
Kesejahteraan:
Pemerintahan harus menjamin distribusi sumber
daya secara adil dan menciptakan kesejahteraan bersama, sebagaimana ditekankan
oleh John Rawls dalam teori keadilannya.⁸
3)
Menegakkan Legitimasi
dan Kedaulatan Hukum:
Pemerintahan yang sah bertumpu pada prinsip
legitimasi, baik secara legal-formal maupun moral-politik. Negara hukum
(rechtsstaat) menjadi kerangka utama dalam mengarahkan tindakan-tindakan
pemerintah agar tidak sewenang-wenang.⁹
4)
Mendorong Partisipasi
dan Demokratisasi:
Tujuan lain yang tidak kalah penting adalah
memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan pemerintahan. Demokrasi substansial tidak hanya menuntut prosedur
pemilu yang adil, tetapi juga keterlibatan aktif warga negara dalam seluruh
siklus kebijakan publik.¹⁰
Fungsi dan tujuan
pemerintahan yang efektif dan etis hanya dapat diwujudkan dalam suatu sistem
tata kelola yang baik (good governance), yang
mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
partisipasi.¹¹ Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi dan tujuan
pemerintahan tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga menjadi dasar bagi
evaluasi kinerja institusi pemerintahan dalam kehidupan nyata.
Footnotes
[1]
Harold J. Laski, A Grammar of Politics (London: George Allen & Unwin, 1930), 49–55.
[2]
Deddy Ismatullah, Ilmu Pemerintahan Baru:
Perspektif dan Relevansinya terhadap Reformasi Pemerintahan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), 45–49.
[3]
James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 21–25.
[4]
Nicholas Henry, Public Administration
and Public Affairs, 12th ed. (New
York: Routledge, 2018), 78–80.
[5]
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills
(Philadelphia: Fortress Press, 1965), 78.
[6]
Peter Evans, Embedded Autonomy:
States and Industrial Transformation
(Princeton: Princeton University Press, 1995), 23–28.
[7]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 110–115.
[8]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–65.
[9]
Hans Kelsen, General Theory of Law
and State, trans. Anders Wedberg
(Cambridge: Harvard University Press, 1945), 112–120.
[10]
Robert A. Dahl, Democracy and Its
Critics (New Haven: Yale University
Press, 1989), 250–255.
[11]
United Nations Development Programme (UNDP), Governance for Sustainable Human Development: A UNDP Policy
Document (New York: UNDP, 1997),
7–13.
6.
Struktur
dan Dinamika Pemerintahan
Struktur
pemerintahan adalah kerangka institusional yang mengatur pembagian kekuasaan
dan fungsi-fungsi pemerintahan dalam suatu negara. Sementara itu, dinamika
pemerintahan merujuk pada bagaimana struktur tersebut beroperasi dalam praktik,
serta bagaimana aktor-aktor di dalamnya berinteraksi secara formal dan informal
untuk mencapai tujuan pemerintahan. Kajian terhadap struktur dan dinamika
pemerintahan menjadi penting dalam ilmu pemerintahan karena memungkinkan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang tata kelola negara, baik secara
konstitusional maupun dalam praktik birokratis dan politik sehari-hari.
6.1.
Struktur Pemerintahan: Vertikal dan Horizontal
Secara umum,
struktur pemerintahan terdiri atas dua dimensi utama: struktur
vertikal (hubungan antara pusat dan daerah) dan struktur
horizontal (pemisahan kekuasaan antar lembaga negara).
6.1.1.
Struktur
Vertikal: Pemerintahan Pusat dan Daerah
Dalam negara kesatuan
seperti Indonesia, struktur vertikal diatur berdasarkan prinsip desentralisasi,
yang memberi kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan tertentu. Konsep ini bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat serta memperkuat demokrasi lokal. Menurut Cheema dan Rondinelli,
desentralisasi memiliki beberapa bentuk, yaitu administratif, fiskal, dan
politik, yang semuanya bertujuan meningkatkan efisiensi dan responsivitas
pemerintahan daerah.¹ Desentralisasi ini diatur dalam peraturan
perundang-undangan seperti UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di
Indonesia.
6.1.2.
Struktur
Horizontal: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif
Dalam teori trias
politica yang dipopulerkan oleh Montesquieu, struktur horizontal pemerintahan
mencakup tiga kekuasaan utama: legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif
(pelaksana kebijakan), dan yudikatif (penegak hukum).² Pemisahan ini tidak
hanya dimaksudkan untuk mendistribusikan kekuasaan, tetapi juga menciptakan
mekanisme checks
and balances guna mencegah otoritarianisme. Dalam praktiknya,
hubungan antar ketiga cabang kekuasaan ini bervariasi tergantung sistem
pemerintahan yang dianut, seperti presidensial atau parlementer.³
6.2.
Dinamika Pemerintahan: Proses, Aktor, dan
Hubungan Kelembagaan
Struktur formal
pemerintahan hanya menggambarkan kerangka normatif, sedangkan dinamika
pemerintahan mencerminkan proses aktual bagaimana
kebijakan dibuat dan dijalankan, serta bagaimana aktor-aktor pemerintahan
saling berinteraksi.
6.2.1.
Relasi
Kelembagaan dan Birokrasi
Dalam praktiknya,
birokrasi memainkan peran sentral dalam implementasi kebijakan dan pelayanan
publik. Max Weber menyebut birokrasi sebagai organisasi rasional-legal yang
ideal untuk menjalankan administrasi negara secara efisien dan impersonal.⁴
Namun, dalam banyak konteks, birokrasi justru menjadi arena perebutan sumber
daya, patronase, dan kepentingan politik. Oleh karena itu, dinamika birokrasi
tidak dapat dipahami hanya dari struktur formalnya, tetapi juga dari logika
informal yang memengaruhi perilaku para pejabat publik.⁵
6.2.2.
Hubungan
Antarlembaga dan Koordinasi Antarwilayah
Dinamika
pemerintahan juga terlihat dalam hubungan antara lembaga pusat dan daerah,
serta koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan. James E. Anderson
menyebut bahwa kompleksitas kebijakan publik menuntut adanya intergovernmental
relations yang sinergis, terutama dalam isu-isu lintas batas
administratif seperti lingkungan hidup, pendidikan, dan infrastruktur.⁶
Ketidakharmonisan hubungan ini dapat menghambat efektivitas program-program
pemerintahan dan melemahkan kepercayaan publik.
6.2.3.
Partisipasi
dan Akuntabilitas
Di era demokrasi
partisipatif, dinamika pemerintahan juga melibatkan keterlibatan masyarakat
sipil, media, dan organisasi non-pemerintah dalam proses pemerintahan.
Pemerintahan yang baik (good governance) mengharuskan
adanya akuntabilitas, transparansi, dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan
publik.⁷ Oleh karena itu, hubungan antara struktur formal pemerintahan dan
tekanan dari luar (civil society dan pasar) membentuk arena baru yang disebut governance
network.⁸
6.3.
Reformasi dan Modernisasi Pemerintahan
Dalam konteks
globalisasi dan revolusi digital, struktur dan dinamika pemerintahan turut
mengalami transformasi. Reformasi birokrasi, penerapan teknologi informasi (e-government),
serta penguatan prinsip new public management (NPM) menjadi
respons terhadap tuntutan efisiensi dan akuntabilitas.⁹ Pemerintahan masa kini
harus adaptif terhadap tantangan baru seperti krisis iklim, pandemi, dan
disinformasi digital, yang semuanya menuntut koordinasi multi-level dan inovasi
dalam tata kelola.
Dengan demikian,
pemahaman terhadap struktur dan dinamika pemerintahan bukan hanya penting dari
sisi teoritis, tetapi juga praktis dalam merancang sistem pemerintahan yang
efektif, demokratis, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Footnotes
[1]
G. Shabbir Cheema and Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development: Policy Implementation in
Developing Countries (Beverly Hills:
Sage Publications, 1983), 18–22.
[2]
Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of the Laws,
trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–159.
[3]
Maurice Duverger, Institutions Politiques
et Droit Constitutionnel, vol. 2
(Paris: Presses Universitaires de France, 1980), 123–127.
[4]
Max Weber, Economy and Society: An
Outline of Interpretive Sociology,
ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press,
1978), 956–963.
[5]
Peter Blau and Marshall W. Meyer, Bureaucracy
in Modern Society (New York: Random
House, 1971), 33–38.
[6]
James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 98–101.
[7]
United Nations Development Programme (UNDP), Governance for Sustainable Human Development: A UNDP Policy
Document (New York: UNDP, 1997),
7–9.
[8]
R. A. W. Rhodes, Understanding
Governance: Policy Networks, Governance, Reflexivity and Accountability (Buckingham: Open University Press, 1997), 35–41.
[9]
Christopher Hood, The Art of the State:
Culture, Rhetoric, and Public Management (Oxford: Oxford University Press, 1998), 89–93.
7.
Ilmu
Pemerintahan di Era Globalisasi dan Digitalisasi
Memasuki abad ke-21,
ilmu pemerintahan menghadapi tantangan dan peluang baru yang bersumber dari dua
arus besar transformasi global: globalisasi dan digitalisasi.
Kedua fenomena ini telah mengubah secara mendasar konteks kerja pemerintah,
struktur relasi internasional, serta ekspektasi masyarakat terhadap tata kelola
publik. Oleh karena itu, ilmu pemerintahan dituntut untuk memperluas cakupan
analisis dan menyesuaikan kerangka konseptualnya guna menjawab kompleksitas
pemerintahan di era yang semakin saling terkoneksi dan terdigitalisasi.
7.1.
Pemerintahan dalam Konteks Globalisasi
Globalisasi ditandai
oleh meningkatnya integrasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya antarnegara.
Proses ini menantang konsep tradisional kedaulatan negara dan memperluas arena
kebijakan pemerintahan ke tingkat transnasional. Dalam konteks ini, pemerintahan
tidak lagi bersifat eksklusif nasional, melainkan harus
bersinergi dengan aktor-aktor global seperti organisasi internasional,
perusahaan multinasional, dan jaringan masyarakat sipil lintas negara.¹
Menurut Thomas G.
Weiss, konsep global governance muncul sebagai
respons atas keterbatasan negara dalam menangani isu-isu lintas batas seperti
perubahan iklim, perdagangan internasional, migrasi, dan terorisme.²
Globalisasi memperluas cakupan ilmu pemerintahan dari hanya mengelola urusan domestik
menjadi bagian dari arsitektur tata kelola global yang bersifat kompleks dan
multi-level. Dalam kerangka ini, peran pemerintah nasional bergeser dari rule
maker tunggal menjadi node dalam jaringan kebijakan
global yang bersifat kolaboratif.
Ilmu pemerintahan
kontemporer juga mulai mengadopsi pendekatan transnasional dan perbandingan
antarnegara sebagai strategi untuk memahami variasi dalam respons pemerintahan
terhadap tantangan global.³ Studi perbandingan dalam kebijakan publik, tata
kelola ekonomi, dan diplomasi digital kini menjadi bagian integral dari
penelitian pemerintahan modern.
7.2.
Digitalisasi dan Transformasi Tata Kelola
Digitalisasi, atau
revolusi teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah paradigma
pemerintahan dari sistem birokratis konvensional menuju model e-government,
open
government, dan smart governance. Teknologi digital
memungkinkan peningkatan efisiensi pelayanan publik, transparansi informasi,
dan partisipasi warga dalam proses pemerintahan.
E-government,
sebagaimana didefinisikan oleh United Nations Department of Economic and Social
Affairs (UNDESA), adalah penggunaan teknologi informasi oleh lembaga pemerintah
untuk memberikan layanan, pertukaran informasi, dan proses pemerintahan yang
lebih efektif dan efisien.⁴ Digitalisasi juga mendukung implementasi prinsip good governance, terutama dalam aspek akuntabilitas, keterbukaan data,
dan inklusivitas.
Namun, transformasi
digital juga membawa tantangan baru bagi ilmu pemerintahan. Di satu sisi,
terdapat risiko digital divide atau kesenjangan
akses terhadap teknologi, terutama di negara-negara berkembang. Di sisi lain,
muncul masalah baru seperti perlindungan data pribadi, keamanan siber, dan
manipulasi informasi publik (disinformasi).⁵ Oleh karena itu, studi
pemerintahan perlu merespons perubahan ini dengan mengembangkan pendekatan
lintas disiplin yang mencakup etika teknologi, hukum digital, dan tata kelola
informasi.
Menurut Manuel
Castells, munculnya network society telah mendisrupsi
model hierarkis pemerintahan konvensional. Pemerintahan kini dituntut untuk
bergerak dari struktur vertikal menuju jaringan kolaboratif yang lebih
fleksibel dan adaptif.⁶ Ilmu pemerintahan harus merefleksikan hal ini dengan
memperkuat analisis terhadap hubungan antara negara, teknologi, dan masyarakat
dalam struktur pemerintahan digital.
7.3.
Implikasi Konseptual dan Praktis
Transformasi akibat
globalisasi dan digitalisasi memunculkan implikasi konseptual penting bagi ilmu
pemerintahan. Konsep-konsep klasik seperti kedaulatan, otoritas, dan kewenangan
harus ditafsirkan ulang dalam konteks dunia yang tidak lagi terbatas oleh batas
negara dan struktur hierarkis. Pemerintahan kini bukan hanya soal pengendalian
internal negara, tetapi juga keterlibatan aktif dalam jejaring global dan
digital.
Secara praktis,
ilmuwan dan praktisi pemerintahan perlu mengembangkan kapasitas
adaptif yang memungkinkan negara berinovasi dalam tata kelola,
membangun kemitraan lintas sektor, serta menjaga keseimbangan antara efisiensi
dan keadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan digital. Dengan begitu, ilmu
pemerintahan tetap relevan dalam menjawab tuntutan zaman dan memandu
pembangunan sistem pemerintahan yang demokratis, tanggap, dan berorientasi masa
depan.
Footnotes
[1]
Jan Aart Scholte, Globalization: A
Critical Introduction, 2nd ed. (New
York: Palgrave Macmillan, 2005), 53–58.
[2]
Thomas G. Weiss, Global Governance: Why?
What? Whither? (Cambridge: Polity
Press, 2013), 4–10.
[3]
B. Guy Peters, Comparative Politics:
Theory and Methods (New York:
Palgrave Macmillan, 1998), 67–71.
[4]
United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), United Nations E-Government Survey 2022 (New York: United Nations, 2022), 15–19.
[5]
Evgeny Morozov, The Net Delusion: The
Dark Side of Internet Freedom (New
York: PublicAffairs, 2011), 101–108.
[6]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society, 2nd ed. (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2010), 500–505.
8.
Relevansi
Ilmu Pemerintahan bagi Pembangunan Demokrasi
Ilmu pemerintahan
memiliki peran strategis dalam mendukung dan membentuk pembangunan demokrasi,
baik dari aspek kelembagaan, kebijakan, maupun partisipasi masyarakat.
Demokrasi sebagai sistem politik tidak hanya ditentukan oleh keberadaan
mekanisme elektoral dan institusi representatif, tetapi juga sangat tergantung
pada kualitas penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian, ilmu
pemerintahan menjadi instrumen penting untuk menganalisis, mengevaluasi, dan
merekomendasikan praktik-praktik pemerintahan yang sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi.
8.1.
Penguatan Kelembagaan dan Mekanisme
Akuntabilitas
Salah satu
kontribusi utama ilmu pemerintahan terhadap demokrasi adalah dalam membangun
struktur kelembagaan yang mampu menjalankan prinsip checks and balances
serta menjamin akuntabilitas penguasa kepada rakyat. Dalam demokrasi
konstitusional, institusi pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan
yudikatif harus berfungsi secara independen namun saling mengawasi untuk
mencegah konsentrasi kekuasaan.¹ Ilmu pemerintahan membantu mengidentifikasi
desain institusional yang efektif dan efisien dalam menyelenggarakan
pemerintahan yang demokratis.
Robert A. Dahl
menekankan pentingnya institutional guarantees dalam
demokrasi, seperti pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat, serta
akses terhadap informasi.² Studi-studi dalam ilmu pemerintahan berkontribusi
besar dalam mengevaluasi apakah institusi-institusi tersebut berjalan sesuai
norma demokratis dan bagaimana mereka dapat diperbaiki melalui reformasi
struktural dan kebijakan publik.
8.2.
Pemberdayaan Partisipasi Publik
Demokrasi yang
substansial tidak hanya diukur dari prosedur elektoral, tetapi juga dari derajat
partisipasi aktif masyarakat dalam proses perumusan dan
pengawasan kebijakan publik. Ilmu pemerintahan berperan dalam menganalisis
berbagai model partisipasi, seperti forum konsultasi publik, musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang), dan mekanisme pengaduan masyarakat, serta
mengkaji efektivitas dan inklusivitasnya.³
Konsep deliberative
democracy, sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas, mendorong
keterlibatan rasional warga negara dalam proses pengambilan keputusan melalui
diskursus publik yang terbuka.⁴ Ilmu pemerintahan mendukung implementasi
prinsip ini dengan merancang struktur institusi yang memfasilitasi deliberasi,
serta menilai hambatan sosial dan politik yang menghambat partisipasi warga,
terutama kelompok marjinal.
8.3.
Tata Kelola Demokratis dan Good Governance
Ilmu pemerintahan
juga berkaitan erat dengan konsep good governance, yang mengedepankan
prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas,
partisipasi, dan supremasi hukum. Prinsip-prinsip ini tidak hanya penting bagi
efektivitas pemerintahan, tetapi juga merupakan syarat utama bagi keberlanjutan
demokrasi.⁵ United Nations Development Programme (UNDP) menegaskan bahwa
kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh kualitas pemerintahan, karena
keduanya saling memperkuat dalam menciptakan sistem yang berkeadilan dan
berpihak kepada kepentingan publik.⁶
Ilmu pemerintahan
berkontribusi dalam membangun indikator, mengembangkan instrumen evaluasi, dan
merumuskan kebijakan tata kelola publik yang lebih responsif dan inklusif.
Dalam banyak negara, keberhasilan reformasi birokrasi dan penguatan kapasitas
pemerintahan lokal sangat berperan dalam memperluas ruang demokrasi.
8.4.
Penguatan Etika dan Kepemimpinan Demokratis
Pembangunan
demokrasi tidak hanya memerlukan struktur dan prosedur, tetapi juga kepemimpinan
yang demokratis dan etis. Ilmu pemerintahan, melalui pendekatan
etika administrasi publik, berusaha menanamkan nilai-nilai integritas,
pelayanan publik, dan tanggung jawab sosial dalam diri aparatur negara.⁷
Kepemimpinan yang demokratis tidak hanya ditentukan oleh legitimasi elektoral,
tetapi juga oleh kemampuannya membangun dialog, mengakomodasi keragaman, dan
menyatukan visi kolektif masyarakat.
Sebagaimana
ditegaskan oleh James MacGregor Burns dalam teorinya tentang transformational
leadership, pemimpin demokratis adalah mereka yang mampu
menginspirasi perubahan positif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai bersama
dan memperkuat institusi yang demokratis.⁸ Ilmu pemerintahan mengambil peran
penting dalam mencetak kader-kader kepemimpinan yang memiliki wawasan
pemerintahan serta komitmen terhadap demokrasi.
Dengan seluruh
kontribusi ini, jelas bahwa ilmu pemerintahan bukan sekadar alat untuk memahami
bagaimana negara bekerja, melainkan juga kerangka normatif dan praktis untuk
memastikan bahwa penyelenggaraan negara berlangsung sesuai prinsip-prinsip
demokrasi yang menjamin keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan politik.
Footnotes
[1]
B. Guy Peters, The Politics of
Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 7th ed. (London: Routledge, 2018), 57–60.
[2]
Robert A. Dahl, Democracy and Its
Critics (New Haven: Yale University
Press, 1989), 221–225.
[3]
Deddy Ismatullah, Ilmu Pemerintahan Baru:
Perspektif dan Relevansinya terhadap Reformasi Pemerintahan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), 99–104.
[4]
Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996),
287–290.
[5]
Merilee S. Grindle, Good
Enough Governance Revisited, Development Policy Review 25, no. 5 (2007): 553–574.
[6]
United Nations Development Programme (UNDP), Governance for Sustainable Human Development: A UNDP Policy
Document (New York: UNDP, 1997),
11–15.
[7]
Terry L. Cooper, The Responsible
Administrator: An Approach to Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2012), 42–48.
[8]
James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper & Row, 1978), 4–7.
9.
Penutup
Ilmu pemerintahan,
sebagai cabang keilmuan yang lahir dari kebutuhan untuk memahami dan menata
kekuasaan negara secara sah dan terstruktur, telah berkembang menjadi bidang
studi yang multidisipliner, reflektif, dan aplikatif. Sebagaimana telah
dipaparkan dalam bagian-bagian sebelumnya, ilmu ini tidak hanya mempelajari
lembaga dan struktur pemerintahan secara formal, tetapi juga mencakup dinamika
interaksi sosial-politik, proses kebijakan publik, serta partisipasi warga
negara dalam sistem politik demokratis.
Di tengah arus
globalisasi dan transformasi digital, ilmu pemerintahan dituntut untuk
beradaptasi dan merumuskan kerangka analisis baru guna menjawab kompleksitas
tata kelola kontemporer. Pemerintahan tidak lagi dapat dipahami sebagai entitas
tertutup yang hanya beroperasi dalam batas-batas negara, melainkan sebagai
bagian dari jaringan interdependen yang saling memengaruhi di tingkat lokal,
nasional, dan global.¹ Oleh karena itu, pembaruan konsep dan pendekatan dalam
ilmu pemerintahan menjadi niscaya untuk menjaga relevansinya terhadap realitas
sosial-politik yang terus berubah.
Lebih jauh,
keberadaan ilmu pemerintahan juga sangat signifikan dalam mendukung
pembangunan demokrasi yang berkelanjutan. Ilmu ini menawarkan
landasan konseptual dan alat analisis untuk memperkuat akuntabilitas,
meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta memperluas ruang partisipasi
masyarakat. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, penguatan
kapasitas pemerintahan, reformasi birokrasi, serta tata kelola yang berbasis
pada prinsip good governance merupakan tantangan
sekaligus peluang yang memerlukan kontribusi nyata dari para ilmuwan dan
praktisi pemerintahan.²
Sejalan dengan itu,
perkembangan paradigma baru dalam ilmu pemerintahan—seperti new
public governance, digital governance, dan collaborative
governance—menunjukkan bahwa keilmuan ini terus bergerak mengikuti
dinamika zaman.³ Tugas akademisi dan pembuat kebijakan ke depan adalah
mengembangkan ilmu pemerintahan tidak hanya sebagai alat teknokratis untuk
efisiensi pemerintahan, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat nilai-nilai
demokrasi, keadilan sosial, dan keberlanjutan.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa ilmu pemerintahan bukan hanya relevan secara akademik,
tetapi juga vital secara praktis dalam membentuk kualitas pemerintahan dan
kehidupan politik yang sehat. Ke depan, pengembangan ilmu pemerintahan perlu
terus didorong agar mampu menjawab kebutuhan zaman, menjembatani teori dan
praktik, serta berkontribusi secara nyata terhadap pencapaian tata kelola
pemerintahan yang demokratis, efektif, dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Thomas G. Weiss, Global Governance: Why?
What? Whither? (Cambridge: Polity
Press, 2013), 122–124.
[2]
United Nations Development Programme (UNDP), Governance for Sustainable Human Development: A UNDP Policy
Document (New York: UNDP, 1997),
9–13.
[3]
Stephen P. Osborne, The
New Public Governance? Emerging Perspectives on the Theory and Practice of
Public Governance (London:
Routledge, 2010), 1–5.
Daftar Pustaka
Anderson, J. E. (2014). Public policymaking
(8th ed.). Cengage Learning.
Aristotle. (1995). Politics (E. Barker,
Trans.). Oxford University Press.
Blau, P., & Meyer, M. W. (1971). Bureaucracy
in modern society. Random House.
Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper
& Row.
Castells, M. (2010). The rise of the network
society (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Cheema, G. S., & Rondinelli, D. A. (1983). Decentralization
and development: Policy implementation in developing countries. Sage
Publications.
Cooper, T. L. (2012). The responsible
administrator: An approach to ethics for the administrative role (6th ed.).
Jossey-Bass.
Dahl, R. A. (1971). Polyarchy: Participation and
opposition. Yale University Press.
Dahl, R. A. (1989). Democracy and its critics.
Yale University Press.
Duverger, M. (1980). Institutions politiques et
droit constitutionnel (Vol. 2). Presses Universitaires de France.
Easton, D. (1965). A systems analysis of
political life. John Wiley & Sons.
Evans, P. (1995). Embedded autonomy: States and
industrial transformation. Princeton University Press.
Grindle, M. S. (2007). Good enough governance
revisited. Development Policy Review, 25(5), 553–574. https://doi.org/10.1111/j.1467-7679.2007.00385.x
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Henry, N. (2018). Public administration and
public affairs (12th ed.). Routledge.
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press.
Ismatullah, D. (2011). Ilmu pemerintahan baru:
Perspektif dan relevansinya terhadap reformasi pemerintahan di Indonesia.
Ghalia Indonesia.
Kelsen, H. (1945). General theory of law and
state (A. Wedberg, Trans.). Harvard University Press.
Laski, H. J. (1930). A grammar of politics.
George Allen & Unwin.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
Machiavelli, N. (1998). The prince (H. C.
Mansfield, Trans.). University of Chicago Press.
Montesquieu, C. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University
Press.
Morozov, E. (2011). The net delusion: The dark
side of internet freedom. PublicAffairs.
Osborne, S. P. (Ed.). (2010). The new public
governance? Emerging perspectives on the theory and practice of public
governance. Routledge.
Peters, B. G. (1998). Comparative politics:
Theory and methods. Palgrave Macmillan.
Peters, B. G. (2018). The politics of
bureaucracy: An introduction to comparative public administration (7th
ed.). Routledge.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans., Rev. C. D. C. Reeve). Hackett Publishing.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard
University Press.
Rhodes, R. A. W. (1997). Understanding
governance: Policy networks, governance, reflexivity and accountability.
Open University Press.
Scholte, J. A. (2005). Globalization: A critical
introduction (2nd ed.). Palgrave Macmillan.
UNDP. (1997). Governance for sustainable human
development: A UNDP policy document. United Nations Development Programme.
UNDESA. (2022). United Nations e-government
survey 2022. United Nations Department of Economic and Social Affairs.
Weber, M. (1947). The theory of social and
economic organization (A. M. Henderson & T. Parsons, Trans.). Oxford
University Press.
Weber, M. (1965). Politics as a vocation (H.
H. Gerth & C. W. Mills, Trans.). Fortress Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An
outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.).
University of California Press.
Weiss, T. G. (2013). Global governance: Why?
What? Whither? Polity Press.
Wilson, W. (1887). The study of administration. Political
Science Quarterly, 2(2), 197–222. https://doi.org/10.2307/2139277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar