Al-Atsariyah
Wajah Akidah Salaf dalam Sejarah Pemikiran Islam
Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
Al-Atsariyah, salah satu aliran pemikiran teologi Islam klasik yang berakar
dari tradisi Ahl al-Hadits dan berkembang sebagai respons terhadap dominasi
rasionalisme Mu’tazilah. Dengan mengusung pendekatan tekstual (naqli),
Al-Atsariyah menekankan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis
dalam memahami akidah, khususnya dalam hal sifat-sifat Allah dan
perkara-perkara ghaib. Tokoh sentral aliran ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal,
yang dikenal karena keteguhannya menolak pendekatan rasional dalam akidah serta
penolakannya terhadap ilmu kalam dan filsafat. Artikel ini juga menguraikan
pokok-pokok ajaran Al-Atsariyah, perbandingannya dengan aliran lain seperti
Mu’tazilah dan Asy’ariyah, serta pengaruh dan warisannya hingga era modern,
khususnya dalam gerakan Salafiyah dan dakwah pemurnian akidah. Penutup artikel
ini memberikan rekomendasi yang relevan dalam konteks berpikir Ahlus Sunnah wal
Jamaah agar semangat Al-Atsariyah dapat diaplikasikan secara bijak dan
proporsional dalam kehidupan beragama masa kini.
Kata Kunci: Al-Atsariyah, Ahl al-Hadits, akidah Islam, Imam Ahmad
bin Hanbal, sifat Allah, anti-takwil, Ahlus Sunnah wal Jamaah, pemikiran
klasik, teologi Islam, Salafiyah.
PEMBAHASAN
Kajian Al-Atsariyah Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah
pemikiran Islam klasik, beragam aliran teologi berkembang sebagai respons
terhadap tantangan intelektual, sosial, dan politik yang dihadapi umat Islam
sejak masa awal Islam hingga era Abbasiyah. Di antara aliran-aliran tersebut, Al-Atsariyah—yang
juga dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits—memiliki posisi
penting sebagai representasi dari pendekatan teologis yang berpijak kuat pada
nash (teks wahyu), baik Al-Qur’an maupun hadis. Berbeda dengan aliran
rasionalis seperti Mu’tazilah yang mengedepankan akal dalam menjelaskan ajaran
agama, Al-Atsariyah menolak pendekatan spekulatif dan memilih bersikap tawaqquf
(berhenti) terhadap perkara-perkara ghaib yang tidak dijelaskan secara rinci
dalam nash.
Munculnya aliran
Al-Atsariyah tidak dapat dilepaskan dari konteks perdebatan teologis yang
mengemuka pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, terutama terkait dengan isu-isu
seperti sifat-sifat Allah, keimanan, dan hubungan antara akal dan wahyu. Dalam
konteks ini, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
menjadi tokoh sentral yang dikenal karena keteguhannya dalam mempertahankan prinsip-prinsip
Al-Atsariyah, terutama dalam menghadapi tekanan penguasa Abbasiyah pada masa
al-Ma'mun yang memaksakan doktrin Mu’tazilah, termasuk keyakinan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk (khalq al-Qur’an).¹
Ciri khas utama
Al-Atsariyah adalah komitmen teguh terhadap dalil naqli,
serta penolakan terhadap penggunaan akal sebagai sumber primer
dalam menetapkan persoalan akidah. Mereka menerima sifat-sifat Allah
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis tanpa melakukan takwil
(interpretasi metaforis), ta’thil (peniadaan makna), atau tasybih (penyerupaan
dengan makhluk).² Prinsip ini didasarkan pada keyakinan bahwa Allah lebih
mengetahui tentang Diri-Nya dan tidak ada yang dapat menyamai-Nya dalam sifat
dan zat.³
Dalam
perkembangannya, Al-Atsariyah tidak hanya menjadi fondasi teologi dalam mazhab
Hanbali, tetapi juga memberikan pengaruh besar pada kemunculan
gerakan Salafiyah di era modern.
Pemikiran ini dianggap sebagai bentuk pemurnian aqidah Islam dari pengaruh
filsafat asing, khususnya pemikiran Yunani yang banyak diadopsi oleh
aliran-aliran rasionalis.⁴ Meskipun sering kali dikritik sebagai
anti-intelektual atau terlalu literal, pendekatan Al-Atsariyah justru lahir
dari semangat untuk menjaga orisinalitas ajaran Islam sebagaimana diajarkan
oleh Rasulullah Saw dan
para sahabat.
Oleh karena itu,
mempelajari Al-Atsariyah bukan hanya penting dalam konteks sejarah pemikiran
Islam, tetapi juga relevan dalam memahami dinamika perdebatan teologis
kontemporer. Pemikiran Al-Atsariyah menawarkan satu sisi penting dalam spektrum
pemikiran Islam—sebuah bentuk ortodoksi yang mengakar pada warisan nash dan
semangat ketundukan penuh terhadap wahyu.
Footnotes
[1]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,
trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981),
104–106.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 95.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 62.
[4]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–46.
2.
Pengertian dan Asal-usul Al-Atsariyah
Al-Atsariyah adalah sebuah aliran teologi Islam klasik yang dikenal karena
komitmennya terhadap pendekatan tekstual (naqli) dalam memahami
prinsip-prinsip akidah. Nama "Atsariyah" berasal dari kata “atsar”,
yang berarti jejak atau peninggalan, dalam konteks ini merujuk kepada riwayat-riwayat
dari Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi tabi’in yang dijadikan
dasar utama dalam memahami persoalan keimanan dan sifat-sifat Allah.¹ Karena
itu, aliran ini juga sering diidentifikasi sebagai Ahl al-Hadits, yakni
kelompok yang berpegang teguh kepada hadis sebagai sumber otoritatif setelah
Al-Qur’an dalam menyusun sistem teologi.
Munculnya Al-Atsariyah terjadi dalam konteks kontroversi
pemikiran yang berkembang pada masa kekhalifahan Abbasiyah,
khususnya sebagai reaksi terhadap pemikiran rasional Mu’tazilah. Pada abad ke-2
dan ke-3 Hijriyah, kalangan Mu’tazilah berhasil memperoleh legitimasi politik
dan menyebarkan ide-ide filsafat Yunani ke dalam diskursus Islam, termasuk
doktrin tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Di tengah arus pemikiran
spekulatif ini, kalangan Ahl al-Hadits—yang kemudian berkembang menjadi
Al-Atsariyah—mengusung pendekatan yang menolak penggunaan akal secara bebas
dalam urusan akidah dan mempertahankan pemahaman literal terhadap nash-nash
agama.²
Tokoh yang paling menonjol dari aliran ini adalah Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), seorang ulama besar yang menolak keras
doktrin-doktrin teologis Mu’tazilah, terutama dalam kasus fitnah khalq
al-Qur’an, yaitu pemaksaan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.³ Ahmad
bin Hanbal dipenjara dan disiksa oleh penguasa Abbasiyah karena mempertahankan
keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim (tidak diciptakan).
Sikapnya ini menjadikannya simbol dari perlawanan intelektual terhadap
intervensi akal dalam wilayah-wilayah yang dianggap ghaib dan menjadi ciri khas
dari pemikiran Al-Atsariyah.
Aliran ini berkembang di kalangan umat Islam yang
lebih mengutamakan ittiba’ (mengikuti tradisi Nabi dan para sahabat)
daripada melakukan ijtihad rasional dalam hal akidah. Dalam pandangan
Al-Atsariyah, akal memiliki peran, namun tidak boleh melampaui atau
menggantikan otoritas nash.⁴ Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk tawaqquf
(berhenti pada teks) dalam hal-hal yang berkaitan dengan sifat Allah dan
perkara metafisik lainnya, dan tidak berusaha menakwilkan atau menyamakan
sifat-sifat Allah dengan makhluk (tasybih).
Al-Atsariyah pada akhirnya menjadi basis
pemikiran akidah dari Mazhab Hanbali, dan berpengaruh besar dalam
pembentukan gerakan Salafiyah di era kontemporer. Meskipun tidak
menyusun sistem teologi yang kompleks seperti Mu’tazilah atau Asy’ariyah,
Al-Atsariyah tetap memberikan kontribusi signifikan dalam menjaga kontinuitas
pemahaman keagamaan berbasis nash yang diyakini murni dan otentik.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60.
[2]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 275–277.
[3]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic
Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University
Press, 1981), 104.
[4]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern
Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 43–45.
3.
Tokoh Utama Al-Atsariyah
Dalam sejarah
pemikiran Islam klasik, perkembangan Al-Atsariyah tidak dapat dilepaskan dari
figur-figur penting yang menjadi pilar penyebaran dan penjaga prinsip-prinsip
teologisnya. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M)
menempati posisi sentral dan dianggap sebagai figur utama yang membentuk arah
dan fondasi dari aliran ini. Selain beliau, sejumlah ulama hadis lain turut
berperan besar dalam memperkuat tradisi Ahl al-Hadits yang menjadi cikal bakal
Al-Atsariyah.
3.1. Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal
adalah seorang muhaddits (ahli hadis) dan fakih (ahli fikih) kenamaan dari
Baghdad yang dikenal karena keteguhannya dalam mempertahankan prinsip-prinsip
akidah yang berpijak pada Al-Qur’an dan hadis. Ia menolak dengan keras
penggunaan rasionalisme spekulatif dalam teologi dan menentang keras doktrin Mu’tazilah,
terutama dalam kasus “khalq al-Qur’an”, yakni
keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah yang qadim.¹
Pada masa
pemerintahan khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, Ahmad bin Hanbal
menjadi sasaran penindasan akibat penolakannya terhadap doktrin negara yang
saat itu dikendalikan oleh kelompok Mu’tazilah. Ia dipenjara, disiksa, dan
dilarang mengajar, namun tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa Al-Qur’an
adalah kalamullah yang tidak diciptakan.² Keteguhannya ini menjadikannya simbol
perlawanan intelektual terhadap intervensi negara dan rasionalisme ekstrem
dalam wilayah akidah, sekaligus menjadikannya sebagai bapak
spiritual Al-Atsariyah.³
Lebih jauh, ajaran
dan sikap Ahmad bin Hanbal kemudian menjadi dasar teologis dari mazhab
Hanbali, yang secara konsisten mengadopsi pendekatan literal
dan tekstual dalam masalah akidah. Dalam konteks ini, Al-Atsariyah menjadi
representasi teologis dari mazhab tersebut, meskipun juga mendapatkan dukungan
dari sebagian ulama di luar mazhab Hanbali.⁴
3.2.
Tokoh-Tokoh Ahli Hadis Lainnya
Selain Ahmad bin
Hanbal, banyak tokoh Ahl al-Hadits yang secara pemikiran dan metode sangat
dekat dengan Al-Atsariyah, meskipun tidak secara eksplisit menyusun sistem
teologi. Di antara mereka adalah:
·
Imam
al-Bukhari (w. 256 H):
Pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadis
paling otoritatif dalam Islam Sunni. Ia menekankan pentingnya riwayat shahih
dalam membentuk dasar keyakinan, termasuk dalam hal sifat-sifat Allah.⁵
·
Imam
Muslim (w. 261 H):
Penulis Sahih Muslim, yang juga
menunjukkan perhatian pada masalah-masalah akidah melalui pendekatan hadis.
·
Abu
Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah:
Para penulis kutub as-sittah yang turut
memperkuat pendekatan atsari dalam menyusun keyakinan berdasarkan hadis-hadis
Rasulullah Saw.
Para tokoh ini,
meskipun lebih dikenal dalam bidang hadis, pada hakikatnya turut meletakkan landasan
epistemologis bagi Al-Atsariyah—yakni keyakinan bahwa wahyu
(nash) adalah satu-satunya sumber yang valid untuk mengetahui perkara-perkara
ghaib dan sifat-sifat Tuhan.⁶
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 61.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 97.
[3]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,
trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981),
106.
[4]
Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert
Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 322–325.
[5]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 90–92.
[6]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 42–43.
4.
Pokok-pokok Ajaran Al-Atsariyah
Aliran Al-Atsariyah
dikenal dengan orientasi teologisnya yang tekstualis, yakni berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai
satu-satunya sumber valid dalam memahami akidah. Mereka menolak penggunaan akal
sebagai alat utama dalam menafsirkan ajaran agama, terutama dalam hal-hal yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan perkara ghaib.
Pokok-pokok ajaran Al-Atsariyah bertumpu pada prinsip tunduk
dan pasrah terhadap nash, sebagaimana dipahami oleh generasi
salaf (sahabat dan tabi'in).¹
4.1.
Komitmen terhadap Dalil Naqli
Al-Atsariyah
menempatkan nash (teks wahyu) sebagai dasar
utama dalam semua persoalan keimanan. Dalam pandangan mereka, Al-Qur’an dan
hadis telah cukup menjelaskan segala sesuatu yang perlu diketahui manusia
tentang akidah, sehingga tidak diperlukan spekulasi filosofis atau pendekatan
rasional dalam menafsirkannya.² Mereka menolak penggunaan qiyas atau analogi
dalam urusan akidah, dan berprinsip bahwa akidah tidak bisa dibangun
berdasarkan logika atau teori-teori rasional.³
4.2.
Menolak Takwil terhadap Sifat-sifat Allah
Dalam ajaran
Al-Atsariyah, ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat
Allah diterima sebagaimana adanya, tanpa
takwil (penafsiran metaforis), takyif (menanyakan “bagaimana”), tasybih
(menyerupakan), atau ta’thil (menolak makna).⁴ Misalnya, ketika
Allah menyebutkan bahwa Dia memiliki “tangan” (yad), maka mereka menerimanya tanpa
menakwilkannya sebagai “kekuasaan”
seperti dilakukan oleh kelompok Asy’ariyah, dan tanpa menyerupakannya dengan
tangan manusia sebagaimana anggapan kaum mujassimah.⁵
Sikap ini dikenal
dengan prinsip “bi lā kayfa wa lā ta’wīl”
(tanpa menanyakan bagaimana dan tanpa menakwilkan), yang bersumber dari
pendekatan para sahabat dan tabi’in dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat.⁶
Dalam pandangan Al-Atsariyah, upaya mentakwil sifat Allah justru membuka pintu
kepada kesesatan dan penolakan terhadap keagungan wahyu.
4.3.
Menolak Ilmu Kalam dan Filsafat
Salah satu ciri khas
yang membedakan Al-Atsariyah dari aliran teologi lainnya adalah penolakan
terhadap ilmu kalam, karena dianggap sebagai produk
akal manusia yang tidak berdasar pada wahyu. Bagi mereka, ilmu
kalam merupakan penyimpangan dari metode pemahaman agama yang murni sebagaimana
dipraktikkan oleh generasi awal Islam.⁷ Al-Atsariyah memandang bahwa pendekatan
kalam terlalu banyak terpengaruh oleh logika Yunani dan filsafat asing,
sehingga tidak layak digunakan dalam memahami wahyu Ilahi.
Imam Ahmad bin
Hanbal bahkan secara eksplisit memperingatkan umat Islam untuk menjauhi ahli
kalam dan memperingatkan bahwa mereka adalah “ahlul bid’ah”.⁸ Penolakan
ini bukan hanya bersifat metodologis, tetapi juga ideologis, sebagai bentuk
pemurnian Islam dari unsur-unsur luar.
4.4.
Mengedepankan Sikap Tawaqquf dan Tawadhu‘ dalam
Akidah
Dalam menghadapi
perkara-perkara yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan
hadis, Al-Atsariyah memilih sikap tawaqquf, yakni berhenti tanpa
menetapkan pandangan tertentu berdasarkan spekulasi.⁹ Hal ini lahir dari
prinsip tawadhu‘ (kerendahan hati) di
hadapan wahyu dan kesadaran akan keterbatasan akal manusia dalam menjangkau
realitas yang ghaib.
Bagi mereka,
bersikap diam dan tidak memberikan tafsir yang tidak berdasar terhadap nash
adalah bentuk kesalehan dan sikap adab terhadap teks suci. Pendekatan ini juga
sejalan dengan semangat ittiba‘ (mengikuti jejak Nabi dan sahabat)
secara total dalam urusan keyakinan.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 94–96.
[3]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,
trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981),
103–104.
[4]
Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert
Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 317–319.
[5]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum’at al-I’tiqad, ed. Dr. Nasir
al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 20–21.
[6]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 92–93.
[7]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 43.
[8]
Ibn al-Jawzi, Manaqib Ahmad ibn Hanbal (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 217.
[9]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Oxford: Oneworld Publications, 1998), 275.
5.
Sikap terhadap Sifat-sifat Allah
Salah satu aspek teologi
yang paling mencolok dari Al-Atsariyah adalah sikap mereka terhadap sifat-sifat Allah.
Aliran ini memegang prinsip bahwa seluruh sifat Allah yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan hadis harus diterima sebagaimana adanya (bi-lā
kaifa), tanpa melakukan penakwilan, penyamaan dengan makhluk, atau pengingkaran
terhadap makna teks.¹ Pendekatan ini bersandar pada pemahaman generasi salaf,
yang diyakini paling otentik dalam menghayati wahyu.
5.1.
Menerima Sifat Allah secara Lafdziyah
(tekstual)
Al-Atsariyah
mengakui seluruh sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam nash, seperti sifat “tangan”
(yad), “wajah” (wajh), “turun ke langit dunia” (nuzūl),
“bersemayam di atas ‘Arsy” (istiwā’), dan sebagainya, tanpa
menakwilkan maknanya secara metaforis maupun menyerupakan
dengan makhluk.² Sikap ini dikenal dengan kaidah:
إِمْرَارُهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفٍ
“Imrāruhā
kamā jā’at bilā kaifa” — menerimanya sebagaimana datangnya tanpa
mempertanyakan bagaimana (kaifiyahnya).³
Menurut
Al-Atsariyah, sifat-sifat tersebut hakiki, bukan majaz atau
kiasan, tetapi makna dan hakikatnya tidak diketahui oleh manusia. Mereka
berpandangan bahwa menakwil ayat-ayat sifat adalah bentuk campur
tangan akal terhadap perkara yang seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada wahyu.⁴
Oleh karena itu, mereka memilih sikap tawaqquf, yaitu berhenti pada
nash tanpa mengomentari lebih jauh.
5.2.
Menolak Takwil dan Tasybih
Al-Atsariyah menolak
keras pendekatan ta’wil (penafsiran metaforis)
sebagaimana dilakukan oleh kalangan Mu’tazilah atau sebagian Asy’ariyah,
karena dianggap telah mengubah makna asli dari wahyu.⁵ Dalam pandangan mereka,
upaya mentakwil “tangan Allah” sebagai “kekuasaan” atau “wajah Allah”
sebagai “dzat” adalah bentuk pelarian dari makna yang sebenarnya dan
tidak sesuai dengan pemahaman salaf.
Namun demikian,
Al-Atsariyah tidak serta-merta menyerupakan Allah dengan
makhluk (tasybih). Mereka menekankan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat tersebut dengan cara yang layak bagi keagungan-Nya dan berbeda
dari sifat makhluk. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat" (QS. Asy-Syūra [42] ayat11).⁶
5.3.
Antitesis terhadap Pendekatan Kalam dan
Filsafat
Bagi Al-Atsariyah,
pembahasan panjang tentang bagaimana sifat-sifat Allah bekerja atau bagaimana
cara Allah “bersemayam” adalah bentuk kesesatan metodologis yang
muncul akibat pengaruh filsafat Yunani dalam ilmu
kalam. Oleh karena itu, mereka tidak menoleransi pendekatan rasional
dalam pembahasan sifat-sifat Allah.⁷ Hal ini juga menjadi alasan utama mengapa
Al-Atsariyah menolak ilmu kalam secara keseluruhan, karena dianggap membawa
manusia pada pengingkaran nash dan spekulasi liar.
5.4.
Landasan dari Ulama Salaf
Pendekatan
Al-Atsariyah terhadap sifat-sifat Allah secara umum mengikuti jejak para imam
salaf seperti Malik bin Anas, yang ketika
ditanya tentang makna “istiwā’” (bersemayam), menjawab:
ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ
بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Al-istiwa’
ma‘lūm, wa al-kaif majhūl, wa al-īmān bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah.”
“Bersemayam itu maknanya diketahui, namun
bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentang hal
itu adalah bid‘ah.”_⁸
Pernyataan ini
menjadi rumusan klasik dalam prinsip teologi
Al-Atsariyah yang menunjukkan keseimbangan antara penghormatan
terhadap teks dan penjagaan dari tasybih.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 62.
[2]
Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert
Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 317–319.
[3]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum‘at al-I‘tiqād, ed. Dr. Nasir
al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 23.
[4]
W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 95–96.
[5]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45.
[6]
Al-Qur’an al-Karim, Surah Asy-Syūra [42] ayat11.
[7]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,
trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981),
104.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1993), 406.
6.
Perbedaan dengan Aliran Lain
Aliran Al-Atsariyah memiliki sejumlah perbedaan
prinsipil dengan aliran-aliran teologi Islam lainnya, seperti Mu’tazilah,
Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Perbedaan ini terutama menyangkut pendekatan
epistemologis (cara memperoleh pengetahuan tentang akidah), sikap
terhadap akal, serta cara memahami sifat-sifat Allah dan konsep keimanan.
Berikut ini adalah uraian perbedaan mendasar
tersebut:
·
Pendekatan Epistemologis
Al-Atsariyah
berpijak secara eksklusif pada nash (Al-Qur’an dan hadis) dalam
menetapkan doktrin-doktrin akidah. Mereka tidak menerima argumen-argumen kalam
dan filsafat sebagai sarana memahami agama.¹
Sebaliknya,
Mu’tazilah menjadikan akal sebagai dasar pertama, bahkan meletakkannya
di atas nash apabila terdapat pertentangan secara logis.²
Asy’ariyah
dan Maturidiyah menggabungkan akal dan wahyu, tetapi tetap menjadikan
wahyu sebagai otoritas akhir.³
·
Sikap terhadap Akal
Al-Atsariyah
menolak peran akal dalam urusan akidah secara mutlak. Akal hanya berfungsi
untuk memahami, bukan menjustifikasi atau mengoreksi isi wahyu.⁴
Mu’tazilah
memberi tempat utama bagi akal bahkan dalam menilai baik dan buruk (al-husn
wa al-qubh) secara rasional tanpa wahyu.⁵
Asy’ariyah
mengakui pentingnya akal, namun menganggap pengetahuan akal terbatas,
dan tidak dapat menjangkau seluruh hakikat ketuhanan tanpa bantuan wahyu.⁶
·
Pemahaman tentang Sifat-sifat Allah
Al-Atsariyah
menerima semua sifat Allah secara literal, tanpa takwil dan tanpa menyerupakan
dengan makhluk, serta menolak pembahasan mendalam tentang kaifiyah
(bagaimana) sifat tersebut.⁷
Mu’tazilah menolak
semua sifat Allah yang menyerupai makhluk, dan hanya menerima bahwa Allah
memiliki esensi tanpa sifat yang berdiri sendiri.⁸
Asy’ariyah
menerima sifat-sifat Allah tetapi mentakwilkannya ketika dianggap dapat
menimbulkan tasybih (penyerupaan), seperti “tangan” diartikan sebagai “kekuasaan.”⁹
·
Konsep Iman dan Kufur
Menurut
Al-Atsariyah, iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan,
sedangkan amal merupakan cabang dari iman, bukan syarat sahnya. Iman bisa
bertambah dan berkurang.¹⁰
Mu’tazilah
berpendapat bahwa iman mencakup amal perbuatan, dan orang yang melakukan
dosa besar berada dalam posisi di antara dua status (manzilah bayna
al-manzilatayn).¹¹
Asy’ariyah
sepakat bahwa iman adalah tasdiq (pembenaran) di hati dan tidak batal
hanya karena dosa besar, namun amal bisa memengaruhi kesempurnaan iman.¹²
·
Pandangan terhadap Ilmu Kalam
Al-Atsariyah
menolak ilmu kalam sebagai metode yang sah untuk memahami akidah, dan
menganggapnya sebagai bentuk bid‘ah yang berpotensi menyesatkan umat.¹³
Mu’tazilah
dan Asy’ariyah justru mengembangkan ilmu kalam sebagai sarana rasional untuk
mempertahankan akidah Islam dari serangan pemikiran luar, terutama filsafat
Yunani dan agama-agama lain.¹⁴
·
Sikap terhadap Takwil dan Tafsir Simbolik
Al-Atsariyah
menolak segala bentuk takwil terhadap teks-teks yang berkaitan dengan Allah dan
perkara ghaib. Menurut mereka, takwil membuka jalan menuju pengingkaran terhadap
wahyu.¹⁵
Asy’ariyah
melakukan takwil secara terbatas dan hanya pada teks-teks yang berpotensi
menimbulkan pemahaman tasybih. Mu’tazilah melakukan takwil secara luas untuk
menyelaraskan teks dengan logika.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60–61.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and
Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 43.
[3]
Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2.
und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001),
327–328.
[4]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic
Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton
University Press, 1981), 103.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 1983), 120–122.
[6]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern
Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45.
[7]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum‘at al-I‘tiqād,
ed. Dr. Nasir al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 20.
[8]
Harun Nasution, Teologi Islam, 73.
[9]
Al-Juwayni, al-Irsyād ilā Qawāṭi‘ al-Adillah fī
Uṣūl al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 151.
[10]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 7
(Riyadh: Dar al-‘Āṣimah, 1995), 209.
[11]
Watt, Islamic Philosophy and Theology, 47.
[12]
Al-Bāqillānī, al-Tamhīd fī al-Radd ‘ala
al-Mulḥidīn, ed. Imran Ahsan Khan Nyazee (Kuala Lumpur: IIIT, 2002), 110.
[13]
Ibn al-Jawzi, Talbīs Iblīs (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 96.
[14]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
105–106.
[15]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy
in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 92.
7.
Pengaruh dan Warisan
Aliran Al-Atsariyah, meskipun tidak membentuk
sistem teologi yang kompleks sebagaimana Asy’ariyah atau Mu’tazilah, memiliki
pengaruh yang besar dan berkelanjutan dalam sejarah pemikiran Islam.
Komitmennya terhadap pendekatan salaf dalam akidah dan penolakannya
terhadap spekulasi filsafat menjadikan Al-Atsariyah sebagai salah satu pilar
ortodoksi dalam Islam Sunni.
Berikut ini adalah beberapa bentuk pengaruh dan
warisan Al-Atsariyah yang dapat ditelusuri sepanjang sejarah:
·
Menjadi Fondasi Teologis Mazhab Hanbali
Pemikiran
Imam Ahmad bin Hanbal yang menjadi inti dari Al-Atsariyah berkembang menjadi
fondasi mazhab Hanbali, baik dalam fikih maupun akidah. Mazhab ini
memelihara semangat anti-takwil dan tekstualisme dalam memahami sifat-sifat
Allah dan ajaran-ajaran akidah lainnya.¹
·
Menginspirasi Gerakan Salafiyah dan Athariyah Modern
Pada abad
ke-18 dan seterusnya, prinsip-prinsip Al-Atsariyah dihidupkan kembali oleh
gerakan Salafiyah, khususnya melalui tokoh seperti Muhammad bin Abdul
Wahhab di Najd, Arab Saudi. Gerakan ini menekankan pentingnya kembali
kepada pemahaman akidah generasi salaf dan menolak praktik-praktik keagamaan
yang tidak berdasar pada nash yang sahih.²
·
Mempengaruhi Dakwah Wahabi di Semenanjung Arab
Dakwah
Wahabi yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Al-Atsariyah berhasil menjadi
dasar bagi pembentukan negara Saudi modern, menjadikan pemikiran ini sebagai
ideologi resmi negara dalam hal akidah.³ Ciri khasnya adalah penolakan
terhadap segala bentuk bid’ah, ta’wil, dan penggunaan filsafat dalam agama.
·
Kontribusi terhadap Hadis dan Tradisi Ulama Ahl al-Hadits
Al-Atsariyah
juga meninggalkan warisan besar dalam bidang ilmu hadis, karena banyak
pendukung aliran ini berasal dari kalangan muhadditsīn (ahli hadis).
Tradisi ini kemudian menjadi tulang punggung dalam pelestarian Sunnah Nabi Saw dan
menyusun kerangka pemahaman akidah berdasarkan riwayat yang sahih.⁴
·
Menjadi Simbol Keteguhan Akidah Salaf dalam Literatur Islam
Dalam
literatur-literatur klasik, Al-Atsariyah sering disebut sebagai representasi
dari akidah salaf, yang dianggap paling murni dan selamat dari
penyimpangan. Tokoh-tokoh seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim
al-Jawziyyah menegaskan bahwa pemahaman atsari (berbasis riwayat) adalah
jalan keselamatan dalam menghadapi kerancuan pemikiran yang ditimbulkan oleh
kalam dan filsafat.⁵
·
Resistensi terhadap Infiltrasi Pemikiran Asing
Salah satu
warisan penting Al-Atsariyah adalah komitmennya terhadap kemurnian ajaran
Islam dari pengaruh luar, terutama filsafat Yunani dan doktrin rasionalis
asing. Pandangan ini memberikan daya tahan intelektual bagi umat Islam dalam
menjaga otentisitas ajaran Islam di tengah penetrasi pemikiran eksternal.⁶
·
Menjadi Referensi dalam Polemik Akidah Kontemporer
Di era
modern, pemikiran Al-Atsariyah sering digunakan sebagai rujukan oleh
berbagai kelompok yang menyerukan pemurnian akidah, termasuk dalam konteks
perdebatan dengan kelompok Sufiyah, Syiah, dan modernis liberal. Pendekatan
atsari dianggap lebih aman dari penyimpangan karena bersandar pada nash dan
ijma’ salaf.⁷
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 61.
[2]
Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary
Islam: Custodians of Change (Princeton: Princeton University Press, 2002),
32–33.
[3]
David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi
Arabia (London: I.B. Tauris, 2006), 58–60.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy
in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009),
91–92.
[5]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Āṣimah, 1991), 1:65.
[6]
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic
Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton
University Press, 1981), 103.
[7]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern
Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 46.
8.
Penutup
8.1.
Kesimpulan
Al-Atsariyah
merupakan salah satu aliran pemikiran Islam klasik yang memegang prinsip tekstualisme
murni dalam memahami akidah. Didirikan atas dasar komitmen
terhadap nash (Al-Qur’an dan hadis),
aliran ini menolak segala bentuk spekulasi akal dan filsafat dalam menetapkan
doktrin-doktrin teologis. Tokoh sentralnya, Imam Ahmad bin Hanbal, menjadi
simbol keteguhan dalam mempertahankan ajaran yang bersumber dari generasi
salaf, terutama dalam menghadapi dominasi rasionalisme Mu’tazilah pada masa
Abbasiyah.¹
Pokok-pokok ajaran
Al-Atsariyah meliputi penerimaan terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana
disebutkan dalam nash tanpa takwil, takyif, atau tasybih,
serta penolakan terhadap ilmu kalam dan filsafat sebagai metode memahami
akidah.² Sikap ini melahirkan pendekatan tawaqquf dan tawadhu’ dalam
menghadapi perkara ghaib, dan menjadi cermin dari akidah salaf yang bersandar
pada prinsip “sam‘iyyāt” atau keimanan terhadap hal-hal yang dikabarkan oleh
wahyu tanpa campur tangan logika manusia.³
Warisan Al-Atsariyah
tidak berhenti pada era klasik, melainkan terus hidup melalui mazhab Hanbali
dan gerakan Salafiyah kontemporer. Ia menjadi dasar dari berbagai gerakan
pemurnian akidah, terutama di kawasan Timur Tengah.⁴ Di sisi lain, pendekatannya
yang anti-kalam menjadi bahan polemik dalam diskursus teologi modern, khususnya
dalam hal hubungan antara akal dan wahyu.
8.2.
Rekomendasi dalam Kerangka Ahlus Sunnah wal
Jamaah
·
Pertama,
penting bagi umat Islam, khususnya generasi muda, untuk memahami bahwa perbedaan
pendekatan teologis di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukan untuk
dipertentangkan, tetapi untuk memperkaya khazanah pemikiran
Islam. Al-Atsariyah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah ketiganya berada dalam koridor
Ahlus Sunnah, selama tetap menjunjung tinggi otoritas nash dan menjaga adab
ilmiah.⁵
·
Kedua,
pendekatan Al-Atsariyah dapat dijadikan sebagai rambu-rambu
kehati-hatian dalam menggunakan akal, khususnya dalam perkara
akidah. Dalam konteks modern, ketika rasionalitas dan filsafat sering kali
dijadikan standar tunggal kebenaran, warisan Al-Atsariyah mengingatkan
pentingnya tunduk kepada wahyu dan mengakui
keterbatasan akal manusia.⁶
·
Ketiga,
bagi para pelajar dan akademisi Islam, perlu dilakukan pengkajian
kritis namun objektif terhadap pemikiran Al-Atsariyah, tidak
dengan sikap menolak mentah-mentah atau fanatisme buta, melainkan dengan
menyadari konteks sejarah dan kontribusinya dalam menjaga kemurnian tauhid umat
Islam.⁷
·
Keempat,
dalam praktik keagamaan dan dakwah, semangat Al-Atsariyah
dalam meneladani salaf al-shalih perlu dikembangkan secara
bijak dan inklusif, tanpa menimbulkan sikap eksklusif atau menyalahkan pihak
lain yang masih berada dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dengan demikian,
pengenalan terhadap Al-Atsariyah bukan hanya bagian dari studi sejarah
pemikiran, tetapi juga sarana untuk memperteguh akidah yang lurus,
menjaga keseimbangan antara iman, ilmu, dan adab, serta
membangun pondasi keislaman yang kokoh di tengah derasnya arus pemikiran
modern.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60–62.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 95–96.
[3]
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum‘at al-I‘tiqād, ed. Dr. Nasir
al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 23.
[4]
David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London:
I.B. Tauris, 2006), 60.
[5]
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah (Kairo:
Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 218.
[6]
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–46.
[7]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld Publications,
2014), 133–134.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, M. (1996). Tārīkh al-madhāhib
al-islāmiyyah. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī.
Al-Bāqillānī. (2002). Al-Tamhīd fī al-radd ‘ala
al-mulḥidīn (Imran Ahsan Khan Nyazee, Ed.). Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought (IIIT).
Al-Juwaynī. (1995). Al-Irshād ilā qawāṭi‘
al-adillah fī uṣūl al-i‘tiqād. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Brown, D. W. (1996). Rethinking tradition in
modern Islamic thought. Cambridge: Cambridge University Press.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s
legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld Publications.
Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The
challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. London:
Oneworld Publications.
Commins, D. (2006). The Wahhabi mission and
Saudi Arabia. London: I.B. Tauris.
Fakhry, M. (1983). A history of Islamic
philosophy. New York: Columbia University Press.
Goldziher, I. (1981). Introduction to Islamic
theology and law (A. & R. Hamori, Trans.). Princeton: Princeton
University Press.
Ibn al-Jawzī. (1993). Talbīs Iblīs. Beirut:
Dār al-Fikr.
Ibn al-Jawzī. (n.d.). Manāqib Aḥmad ibn Ḥanbal.
Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Ibn Qudāmah al-Maqdisī. (1995). Lum‘at
al-i‘tiqād (N. al-‘Aql, Ed.). Riyadh: Dār Ibn al-Jauzī.
Ibn Taymiyyah. (1991). Dar’ ta‘āruḍ al-‘aql wa
al-naql (M. R. Salim, Ed.). Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-fatāwā
(Vol. 7). Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.
Nasution, H. (1986). Teologi Islam:
Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. Jakarta: UI Press.
van Ess, J. (2001). Theologie und Gesellschaft
im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 4). Berlin: Walter de Gruyter.
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1994). Islamic creed and theology.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Zaman, M. Q. (2002). The ulama in contemporary
Islam: Custodians of change. Princeton: Princeton University Press.
Lampiran: Keterkaitan Al-Atsariyah dengan Ahlul Hadits
Al-Atsariyah dalam pembahasan ini sangat erat
kaitannya dengan Ahlul Hadits, bahkan dalam banyak literatur klasik dan modern, keduanya sering
dianggap identik atau saling melengkapi. Berikut penjelasan hubungan dan
kaitannya secara lebih rinci:
1.
Asal-usul
dan Kesamaan Istilah
·
Istilah "Al-Atsariyah" berasal dari kata atsar, yang berarti "jejak"
atau "riwayat", yaitu merujuk pada riwayat-riwayat (hadits)
yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw, sahabat, dan tabi’in. Dalam konteks
teologis, Al-Atsariyah berarti mereka yang berpegang pada atsar dalam
memahami akidah, bukan pada ra’yu (akal).
·
Ahlul Hadits, secara
bahasa dan tradisi keilmuan, merujuk pada komunitas ulama yang mengkhususkan
diri dalam meriwayatkan, meneliti, dan mengamalkan hadis. Namun, dalam perkembangan
sejarah, Ahlul Hadits juga menjelma menjadi sebuah pendekatan teologis,
yaitu yang menolak takwil dan filsafat, sebagaimana ciri khas Al-Atsariyah.
Jadi, Al-Atsariyah adalah ekspresi teologis dari
Ahlul Hadits.¹
2.
Kesamaan
dalam Pendekatan Akidah
Baik Al-Atsariyah maupun Ahlul Hadits:
·
Menolak ilmu kalam dan pendekatan spekulatif terhadap akidah, karena dianggap tidak berdasarkan pada dalil yang
sahih.
·
Menerima ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat Allah secara tekstual
(lafdziyah), tanpa
takwil, ta'thil, atau tasybih.
·
Membatasi peran akal, dan lebih
mengutamakan pemahaman generasi salaf dalam memahami wahyu.
Imam-imam besar dalam Ahlul Hadits, seperti al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Majah, semuanya mewakili
pendekatan Al-Atsariyah dalam akidah, meskipun mereka lebih dikenal dalam
bidang hadis.
3.
Pengakuan
dari Para Ulama
·
Ibn Taymiyyah dan Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, dua ulama besar Hanbali-Salafi, secara eksplisit
menyebut bahwa Ahlul Hadits adalah aliran akidah yang paling selamat
karena mengikuti metode atsari yang tidak menyimpang dari wahyu.²
·
Dalam karya Ibn Qudamah Lum’at al-I‘tiqad, ajaran akidah yang ia
paparkan atas nama Hanbali dan Al-Atsariyah adalah identik dengan pendekatan
Ahlul Hadits.
4.
Perkembangan
Istilah dalam Sejarah
·
Pada abad ke-2 hingga ke-4 H, istilah Ahlul Hadits digunakan sebagai
lawan dari Ahlur Ra’yi (pendukung rasionalisme).
·
Seiring berkembangnya ilmu kalam, istilah Al-Atsariyah mulai
digunakan untuk merujuk pada pendekatan akidah yang mengikuti jejak Ahlul
Hadits, terutama oleh kalangan Hanabilah.
·
Di masa modern, Al-Atsariyah juga sering diasosiasikan dengan pemikiran
Salafi yang menyerukan kembali ke metode Ahlul Hadits.
Kesimpulan
Al-Atsariyah dalam pembahasan ini berkaitan
sangat erat, bahkan bersumber dari tradisi Ahlul Hadits, terutama dalam
pendekatan terhadap akidah. Bila Ahlul Hadits dikenal karena orientasi ilmiah
terhadap riwayat, maka Al-Atsariyah adalah pengejawantahan teologis dari
pendekatan tersebut—yakni membangun akidah dengan fondasi hadis dan atsar,
bukan dengan akal atau logika spekulatif.
Footnotes
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60–61.
[2]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Āṣimah, 1991), 1:19–21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar