Selasa, 01 April 2025

Al-Atsariyah: Wajah Akidah Salaf dalam Sejarah Pemikiran Islam

Al-Atsariyah

Wajah Akidah Salaf dalam Sejarah Pemikiran Islam


Alihkan ke: Aliran-Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Al-Atsariyah, salah satu aliran pemikiran teologi Islam klasik yang berakar dari tradisi Ahl al-Hadits dan berkembang sebagai respons terhadap dominasi rasionalisme Mu’tazilah. Dengan mengusung pendekatan tekstual (naqli), Al-Atsariyah menekankan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis dalam memahami akidah, khususnya dalam hal sifat-sifat Allah dan perkara-perkara ghaib. Tokoh sentral aliran ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikenal karena keteguhannya menolak pendekatan rasional dalam akidah serta penolakannya terhadap ilmu kalam dan filsafat. Artikel ini juga menguraikan pokok-pokok ajaran Al-Atsariyah, perbandingannya dengan aliran lain seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah, serta pengaruh dan warisannya hingga era modern, khususnya dalam gerakan Salafiyah dan dakwah pemurnian akidah. Penutup artikel ini memberikan rekomendasi yang relevan dalam konteks berpikir Ahlus Sunnah wal Jamaah agar semangat Al-Atsariyah dapat diaplikasikan secara bijak dan proporsional dalam kehidupan beragama masa kini.

Kata Kunci: Al-Atsariyah, Ahl al-Hadits, akidah Islam, Imam Ahmad bin Hanbal, sifat Allah, anti-takwil, Ahlus Sunnah wal Jamaah, pemikiran klasik, teologi Islam, Salafiyah.


PEMBAHASAN

Kajian Al-Atsariyah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, beragam aliran teologi berkembang sebagai respons terhadap tantangan intelektual, sosial, dan politik yang dihadapi umat Islam sejak masa awal Islam hingga era Abbasiyah. Di antara aliran-aliran tersebut, Al-Atsariyah—yang juga dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits—memiliki posisi penting sebagai representasi dari pendekatan teologis yang berpijak kuat pada nash (teks wahyu), baik Al-Qur’an maupun hadis. Berbeda dengan aliran rasionalis seperti Mu’tazilah yang mengedepankan akal dalam menjelaskan ajaran agama, Al-Atsariyah menolak pendekatan spekulatif dan memilih bersikap tawaqquf (berhenti) terhadap perkara-perkara ghaib yang tidak dijelaskan secara rinci dalam nash.

Munculnya aliran Al-Atsariyah tidak dapat dilepaskan dari konteks perdebatan teologis yang mengemuka pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, terutama terkait dengan isu-isu seperti sifat-sifat Allah, keimanan, dan hubungan antara akal dan wahyu. Dalam konteks ini, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) menjadi tokoh sentral yang dikenal karena keteguhannya dalam mempertahankan prinsip-prinsip Al-Atsariyah, terutama dalam menghadapi tekanan penguasa Abbasiyah pada masa al-Ma'mun yang memaksakan doktrin Mu’tazilah, termasuk keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (khalq al-Qur’an).¹

Ciri khas utama Al-Atsariyah adalah komitmen teguh terhadap dalil naqli, serta penolakan terhadap penggunaan akal sebagai sumber primer dalam menetapkan persoalan akidah. Mereka menerima sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis tanpa melakukan takwil (interpretasi metaforis), ta’thil (peniadaan makna), atau tasybih (penyerupaan dengan makhluk).² Prinsip ini didasarkan pada keyakinan bahwa Allah lebih mengetahui tentang Diri-Nya dan tidak ada yang dapat menyamai-Nya dalam sifat dan zat.³

Dalam perkembangannya, Al-Atsariyah tidak hanya menjadi fondasi teologi dalam mazhab Hanbali, tetapi juga memberikan pengaruh besar pada kemunculan gerakan Salafiyah di era modern. Pemikiran ini dianggap sebagai bentuk pemurnian aqidah Islam dari pengaruh filsafat asing, khususnya pemikiran Yunani yang banyak diadopsi oleh aliran-aliran rasionalis.⁴ Meskipun sering kali dikritik sebagai anti-intelektual atau terlalu literal, pendekatan Al-Atsariyah justru lahir dari semangat untuk menjaga orisinalitas ajaran Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.

Oleh karena itu, mempelajari Al-Atsariyah bukan hanya penting dalam konteks sejarah pemikiran Islam, tetapi juga relevan dalam memahami dinamika perdebatan teologis kontemporer. Pemikiran Al-Atsariyah menawarkan satu sisi penting dalam spektrum pemikiran Islam—sebuah bentuk ortodoksi yang mengakar pada warisan nash dan semangat ketundukan penuh terhadap wahyu.


Footnotes

[1]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 104–106.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 95.

[3]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 62.

[4]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–46.


2.           Pengertian dan Asal-usul Al-Atsariyah

Al-Atsariyah adalah sebuah aliran teologi Islam klasik yang dikenal karena komitmennya terhadap pendekatan tekstual (naqli) dalam memahami prinsip-prinsip akidah. Nama "Atsariyah" berasal dari kata “atsar”, yang berarti jejak atau peninggalan, dalam konteks ini merujuk kepada riwayat-riwayat dari Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi tabi’in yang dijadikan dasar utama dalam memahami persoalan keimanan dan sifat-sifat Allah.¹ Karena itu, aliran ini juga sering diidentifikasi sebagai Ahl al-Hadits, yakni kelompok yang berpegang teguh kepada hadis sebagai sumber otoritatif setelah Al-Qur’an dalam menyusun sistem teologi.

Munculnya Al-Atsariyah terjadi dalam konteks kontroversi pemikiran yang berkembang pada masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya sebagai reaksi terhadap pemikiran rasional Mu’tazilah. Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, kalangan Mu’tazilah berhasil memperoleh legitimasi politik dan menyebarkan ide-ide filsafat Yunani ke dalam diskursus Islam, termasuk doktrin tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Di tengah arus pemikiran spekulatif ini, kalangan Ahl al-Hadits—yang kemudian berkembang menjadi Al-Atsariyah—mengusung pendekatan yang menolak penggunaan akal secara bebas dalam urusan akidah dan mempertahankan pemahaman literal terhadap nash-nash agama.²

Tokoh yang paling menonjol dari aliran ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), seorang ulama besar yang menolak keras doktrin-doktrin teologis Mu’tazilah, terutama dalam kasus fitnah khalq al-Qur’an, yaitu pemaksaan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.³ Ahmad bin Hanbal dipenjara dan disiksa oleh penguasa Abbasiyah karena mempertahankan keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim (tidak diciptakan). Sikapnya ini menjadikannya simbol dari perlawanan intelektual terhadap intervensi akal dalam wilayah-wilayah yang dianggap ghaib dan menjadi ciri khas dari pemikiran Al-Atsariyah.

Aliran ini berkembang di kalangan umat Islam yang lebih mengutamakan ittiba’ (mengikuti tradisi Nabi dan para sahabat) daripada melakukan ijtihad rasional dalam hal akidah. Dalam pandangan Al-Atsariyah, akal memiliki peran, namun tidak boleh melampaui atau menggantikan otoritas nash.⁴ Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk tawaqquf (berhenti pada teks) dalam hal-hal yang berkaitan dengan sifat Allah dan perkara metafisik lainnya, dan tidak berusaha menakwilkan atau menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhluk (tasybih).

Al-Atsariyah pada akhirnya menjadi basis pemikiran akidah dari Mazhab Hanbali, dan berpengaruh besar dalam pembentukan gerakan Salafiyah di era kontemporer. Meskipun tidak menyusun sistem teologi yang kompleks seperti Mu’tazilah atau Asy’ariyah, Al-Atsariyah tetap memberikan kontribusi signifikan dalam menjaga kontinuitas pemahaman keagamaan berbasis nash yang diyakini murni dan otentik.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60.

[2]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 275–277.

[3]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 104.

[4]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 43–45.


3.           Tokoh Utama Al-Atsariyah

Dalam sejarah pemikiran Islam klasik, perkembangan Al-Atsariyah tidak dapat dilepaskan dari figur-figur penting yang menjadi pilar penyebaran dan penjaga prinsip-prinsip teologisnya. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) menempati posisi sentral dan dianggap sebagai figur utama yang membentuk arah dan fondasi dari aliran ini. Selain beliau, sejumlah ulama hadis lain turut berperan besar dalam memperkuat tradisi Ahl al-Hadits yang menjadi cikal bakal Al-Atsariyah.

3.1.       Imam Ahmad bin Hanbal

Ahmad bin Hanbal adalah seorang muhaddits (ahli hadis) dan fakih (ahli fikih) kenamaan dari Baghdad yang dikenal karena keteguhannya dalam mempertahankan prinsip-prinsip akidah yang berpijak pada Al-Qur’an dan hadis. Ia menolak dengan keras penggunaan rasionalisme spekulatif dalam teologi dan menentang keras doktrin Mu’tazilah, terutama dalam kasus “khalq al-Qur’an”, yakni keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah yang qadim.¹

Pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, Ahmad bin Hanbal menjadi sasaran penindasan akibat penolakannya terhadap doktrin negara yang saat itu dikendalikan oleh kelompok Mu’tazilah. Ia dipenjara, disiksa, dan dilarang mengajar, namun tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang tidak diciptakan.² Keteguhannya ini menjadikannya simbol perlawanan intelektual terhadap intervensi negara dan rasionalisme ekstrem dalam wilayah akidah, sekaligus menjadikannya sebagai bapak spiritual Al-Atsariyah

Lebih jauh, ajaran dan sikap Ahmad bin Hanbal kemudian menjadi dasar teologis dari mazhab Hanbali, yang secara konsisten mengadopsi pendekatan literal dan tekstual dalam masalah akidah. Dalam konteks ini, Al-Atsariyah menjadi representasi teologis dari mazhab tersebut, meskipun juga mendapatkan dukungan dari sebagian ulama di luar mazhab Hanbali.⁴

3.2.       Tokoh-Tokoh Ahli Hadis Lainnya

Selain Ahmad bin Hanbal, banyak tokoh Ahl al-Hadits yang secara pemikiran dan metode sangat dekat dengan Al-Atsariyah, meskipun tidak secara eksplisit menyusun sistem teologi. Di antara mereka adalah:

·                     Imam al-Bukhari (w. 256 H):

Pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadis paling otoritatif dalam Islam Sunni. Ia menekankan pentingnya riwayat shahih dalam membentuk dasar keyakinan, termasuk dalam hal sifat-sifat Allah.⁵

·                     Imam Muslim (w. 261 H):

Penulis Sahih Muslim, yang juga menunjukkan perhatian pada masalah-masalah akidah melalui pendekatan hadis.

·                     Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah:

Para penulis kutub as-sittah yang turut memperkuat pendekatan atsari dalam menyusun keyakinan berdasarkan hadis-hadis Rasulullah Saw.

Para tokoh ini, meskipun lebih dikenal dalam bidang hadis, pada hakikatnya turut meletakkan landasan epistemologis bagi Al-Atsariyah—yakni keyakinan bahwa wahyu (nash) adalah satu-satunya sumber yang valid untuk mengetahui perkara-perkara ghaib dan sifat-sifat Tuhan.⁶


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 61.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 97.

[3]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 106.

[4]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 322–325.

[5]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 90–92.

[6]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 42–43.


4.           Pokok-pokok Ajaran Al-Atsariyah

Aliran Al-Atsariyah dikenal dengan orientasi teologisnya yang tekstualis, yakni berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai satu-satunya sumber valid dalam memahami akidah. Mereka menolak penggunaan akal sebagai alat utama dalam menafsirkan ajaran agama, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan perkara ghaib. Pokok-pokok ajaran Al-Atsariyah bertumpu pada prinsip tunduk dan pasrah terhadap nash, sebagaimana dipahami oleh generasi salaf (sahabat dan tabi'in).¹

4.1.       Komitmen terhadap Dalil Naqli

Al-Atsariyah menempatkan nash (teks wahyu) sebagai dasar utama dalam semua persoalan keimanan. Dalam pandangan mereka, Al-Qur’an dan hadis telah cukup menjelaskan segala sesuatu yang perlu diketahui manusia tentang akidah, sehingga tidak diperlukan spekulasi filosofis atau pendekatan rasional dalam menafsirkannya.² Mereka menolak penggunaan qiyas atau analogi dalam urusan akidah, dan berprinsip bahwa akidah tidak bisa dibangun berdasarkan logika atau teori-teori rasional.³

4.2.       Menolak Takwil terhadap Sifat-sifat Allah

Dalam ajaran Al-Atsariyah, ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah diterima sebagaimana adanya, tanpa takwil (penafsiran metaforis), takyif (menanyakan “bagaimana”), tasybih (menyerupakan), atau ta’thil (menolak makna).⁴ Misalnya, ketika Allah menyebutkan bahwa Dia memiliki “tangan” (yad), maka mereka menerimanya tanpa menakwilkannya sebagai “kekuasaan” seperti dilakukan oleh kelompok Asy’ariyah, dan tanpa menyerupakannya dengan tangan manusia sebagaimana anggapan kaum mujassimah.⁵

Sikap ini dikenal dengan prinsip “bi lā kayfa wa lā ta’wīl” (tanpa menanyakan bagaimana dan tanpa menakwilkan), yang bersumber dari pendekatan para sahabat dan tabi’in dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat.⁶ Dalam pandangan Al-Atsariyah, upaya mentakwil sifat Allah justru membuka pintu kepada kesesatan dan penolakan terhadap keagungan wahyu.

4.3.       Menolak Ilmu Kalam dan Filsafat

Salah satu ciri khas yang membedakan Al-Atsariyah dari aliran teologi lainnya adalah penolakan terhadap ilmu kalam, karena dianggap sebagai produk akal manusia yang tidak berdasar pada wahyu. Bagi mereka, ilmu kalam merupakan penyimpangan dari metode pemahaman agama yang murni sebagaimana dipraktikkan oleh generasi awal Islam.⁷ Al-Atsariyah memandang bahwa pendekatan kalam terlalu banyak terpengaruh oleh logika Yunani dan filsafat asing, sehingga tidak layak digunakan dalam memahami wahyu Ilahi.

Imam Ahmad bin Hanbal bahkan secara eksplisit memperingatkan umat Islam untuk menjauhi ahli kalam dan memperingatkan bahwa mereka adalah “ahlul bid’ah”.⁸ Penolakan ini bukan hanya bersifat metodologis, tetapi juga ideologis, sebagai bentuk pemurnian Islam dari unsur-unsur luar.

4.4.       Mengedepankan Sikap Tawaqquf dan Tawadhu‘ dalam Akidah

Dalam menghadapi perkara-perkara yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis, Al-Atsariyah memilih sikap tawaqquf, yakni berhenti tanpa menetapkan pandangan tertentu berdasarkan spekulasi.⁹ Hal ini lahir dari prinsip tawadhu‘ (kerendahan hati) di hadapan wahyu dan kesadaran akan keterbatasan akal manusia dalam menjangkau realitas yang ghaib.

Bagi mereka, bersikap diam dan tidak memberikan tafsir yang tidak berdasar terhadap nash adalah bentuk kesalehan dan sikap adab terhadap teks suci. Pendekatan ini juga sejalan dengan semangat ittiba‘ (mengikuti jejak Nabi dan sahabat) secara total dalam urusan keyakinan.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 94–96.

[3]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 103–104.

[4]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 317–319.

[5]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum’at al-I’tiqad, ed. Dr. Nasir al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 20–21.

[6]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 92–93.

[7]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 43.

[8]                Ibn al-Jawzi, Manaqib Ahmad ibn Hanbal (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 217.

[9]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld Publications, 1998), 275.


5.           Sikap terhadap Sifat-sifat Allah

Salah satu aspek teologi yang paling mencolok dari Al-Atsariyah adalah sikap mereka terhadap sifat-sifat Allah. Aliran ini memegang prinsip bahwa seluruh sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis harus diterima sebagaimana adanya (bi-lā kaifa), tanpa melakukan penakwilan, penyamaan dengan makhluk, atau pengingkaran terhadap makna teks.¹ Pendekatan ini bersandar pada pemahaman generasi salaf, yang diyakini paling otentik dalam menghayati wahyu.

5.1.       Menerima Sifat Allah secara Lafdziyah (tekstual)

Al-Atsariyah mengakui seluruh sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam nash, seperti sifat “tangan” (yad), “wajah” (wajh), “turun ke langit dunia” (nuzūl), “bersemayam di atas ‘Arsy” (istiwā’), dan sebagainya, tanpa menakwilkan maknanya secara metaforis maupun menyerupakan dengan makhluk.² Sikap ini dikenal dengan kaidah:

إِمْرَارُهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفٍ

“Imrāruhā kamā jā’at bilā kaifa”menerimanya sebagaimana datangnya tanpa mempertanyakan bagaimana (kaifiyahnya)

Menurut Al-Atsariyah, sifat-sifat tersebut hakiki, bukan majaz atau kiasan, tetapi makna dan hakikatnya tidak diketahui oleh manusia. Mereka berpandangan bahwa menakwil ayat-ayat sifat adalah bentuk campur tangan akal terhadap perkara yang seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada wahyu.⁴ Oleh karena itu, mereka memilih sikap tawaqquf, yaitu berhenti pada nash tanpa mengomentari lebih jauh.

5.2.       Menolak Takwil dan Tasybih

Al-Atsariyah menolak keras pendekatan ta’wil (penafsiran metaforis) sebagaimana dilakukan oleh kalangan Mu’tazilah atau sebagian Asy’ariyah, karena dianggap telah mengubah makna asli dari wahyu.⁵ Dalam pandangan mereka, upaya mentakwil “tangan Allah” sebagai “kekuasaan” atau “wajah Allah” sebagai “dzat” adalah bentuk pelarian dari makna yang sebenarnya dan tidak sesuai dengan pemahaman salaf.

Namun demikian, Al-Atsariyah tidak serta-merta menyerupakan Allah dengan makhluk (tasybih). Mereka menekankan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut dengan cara yang layak bagi keagungan-Nya dan berbeda dari sifat makhluk. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. Asy-Syūra [42] ayat11).⁶

5.3.       Antitesis terhadap Pendekatan Kalam dan Filsafat

Bagi Al-Atsariyah, pembahasan panjang tentang bagaimana sifat-sifat Allah bekerja atau bagaimana cara Allah “bersemayam” adalah bentuk kesesatan metodologis yang muncul akibat pengaruh filsafat Yunani dalam ilmu kalam. Oleh karena itu, mereka tidak menoleransi pendekatan rasional dalam pembahasan sifat-sifat Allah.⁷ Hal ini juga menjadi alasan utama mengapa Al-Atsariyah menolak ilmu kalam secara keseluruhan, karena dianggap membawa manusia pada pengingkaran nash dan spekulasi liar.

5.4.       Landasan dari Ulama Salaf

Pendekatan Al-Atsariyah terhadap sifat-sifat Allah secara umum mengikuti jejak para imam salaf seperti Malik bin Anas, yang ketika ditanya tentang makna “istiwā’” (bersemayam), menjawab:

ٱلِٱسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَٱلْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَٱلْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَٱلسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Al-istiwa’ ma‘lūm, wa al-kaif majhūl, wa al-īmān bihi wājib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah.”

Bersemayam itu maknanya diketahui, namun bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentang hal itu adalah bid‘ah.”_⁸

Pernyataan ini menjadi rumusan klasik dalam prinsip teologi Al-Atsariyah yang menunjukkan keseimbangan antara penghormatan terhadap teks dan penjagaan dari tasybih.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 62.

[2]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 317–319.

[3]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum‘at al-I‘tiqād, ed. Dr. Nasir al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 23.

[4]                W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 95–96.

[5]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45.

[6]                Al-Qur’an al-Karim, Surah Asy-Syūra [42] ayat11.

[7]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 104.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1993), 406.


6.           Perbedaan dengan Aliran Lain

Aliran Al-Atsariyah memiliki sejumlah perbedaan prinsipil dengan aliran-aliran teologi Islam lainnya, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Perbedaan ini terutama menyangkut pendekatan epistemologis (cara memperoleh pengetahuan tentang akidah), sikap terhadap akal, serta cara memahami sifat-sifat Allah dan konsep keimanan.

Berikut ini adalah uraian perbedaan mendasar tersebut:

·                     Pendekatan Epistemologis

Al-Atsariyah berpijak secara eksklusif pada nash (Al-Qur’an dan hadis) dalam menetapkan doktrin-doktrin akidah. Mereka tidak menerima argumen-argumen kalam dan filsafat sebagai sarana memahami agama.¹

Sebaliknya, Mu’tazilah menjadikan akal sebagai dasar pertama, bahkan meletakkannya di atas nash apabila terdapat pertentangan secara logis.²

Asy’ariyah dan Maturidiyah menggabungkan akal dan wahyu, tetapi tetap menjadikan wahyu sebagai otoritas akhir.³

·                     Sikap terhadap Akal

Al-Atsariyah menolak peran akal dalam urusan akidah secara mutlak. Akal hanya berfungsi untuk memahami, bukan menjustifikasi atau mengoreksi isi wahyu.⁴

Mu’tazilah memberi tempat utama bagi akal bahkan dalam menilai baik dan buruk (al-husn wa al-qubh) secara rasional tanpa wahyu.⁵

Asy’ariyah mengakui pentingnya akal, namun menganggap pengetahuan akal terbatas, dan tidak dapat menjangkau seluruh hakikat ketuhanan tanpa bantuan wahyu.⁶

·                     Pemahaman tentang Sifat-sifat Allah

Al-Atsariyah menerima semua sifat Allah secara literal, tanpa takwil dan tanpa menyerupakan dengan makhluk, serta menolak pembahasan mendalam tentang kaifiyah (bagaimana) sifat tersebut.⁷

Mu’tazilah menolak semua sifat Allah yang menyerupai makhluk, dan hanya menerima bahwa Allah memiliki esensi tanpa sifat yang berdiri sendiri.⁸

Asy’ariyah menerima sifat-sifat Allah tetapi mentakwilkannya ketika dianggap dapat menimbulkan tasybih (penyerupaan), seperti “tangan” diartikan sebagai “kekuasaan.”⁹

·                     Konsep Iman dan Kufur

Menurut Al-Atsariyah, iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan, sedangkan amal merupakan cabang dari iman, bukan syarat sahnya. Iman bisa bertambah dan berkurang.¹⁰

Mu’tazilah berpendapat bahwa iman mencakup amal perbuatan, dan orang yang melakukan dosa besar berada dalam posisi di antara dua status (manzilah bayna al-manzilatayn).¹¹

Asy’ariyah sepakat bahwa iman adalah tasdiq (pembenaran) di hati dan tidak batal hanya karena dosa besar, namun amal bisa memengaruhi kesempurnaan iman.¹²

·                     Pandangan terhadap Ilmu Kalam

Al-Atsariyah menolak ilmu kalam sebagai metode yang sah untuk memahami akidah, dan menganggapnya sebagai bentuk bid‘ah yang berpotensi menyesatkan umat.¹³

Mu’tazilah dan Asy’ariyah justru mengembangkan ilmu kalam sebagai sarana rasional untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan pemikiran luar, terutama filsafat Yunani dan agama-agama lain.¹⁴

·                     Sikap terhadap Takwil dan Tafsir Simbolik

Al-Atsariyah menolak segala bentuk takwil terhadap teks-teks yang berkaitan dengan Allah dan perkara ghaib. Menurut mereka, takwil membuka jalan menuju pengingkaran terhadap wahyu.¹⁵

Asy’ariyah melakukan takwil secara terbatas dan hanya pada teks-teks yang berpotensi menimbulkan pemahaman tasybih. Mu’tazilah melakukan takwil secara luas untuk menyelaraskan teks dengan logika.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60–61.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 43.

[3]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 4 (Berlin: Walter de Gruyter, 2001), 327–328.

[4]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 103.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983), 120–122.

[6]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45.

[7]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum‘at al-I‘tiqād, ed. Dr. Nasir al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 20.

[8]                Harun Nasution, Teologi Islam, 73.

[9]                Al-Juwayni, al-Irsyād ilā Qawāṭi‘ al-Adillah fī Uṣūl al-I‘tiqād (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 151.

[10]             Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 7 (Riyadh: Dar al-‘Āṣimah, 1995), 209.

[11]             Watt, Islamic Philosophy and Theology, 47.

[12]             Al-Bāqillānī, al-Tamhīd fī al-Radd ‘ala al-Mulḥidīn, ed. Imran Ahsan Khan Nyazee (Kuala Lumpur: IIIT, 2002), 110.

[13]             Ibn al-Jawzi, Talbīs Iblīs (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 96.

[14]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 105–106.

[15]             Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 92.


7.           Pengaruh dan Warisan

Aliran Al-Atsariyah, meskipun tidak membentuk sistem teologi yang kompleks sebagaimana Asy’ariyah atau Mu’tazilah, memiliki pengaruh yang besar dan berkelanjutan dalam sejarah pemikiran Islam. Komitmennya terhadap pendekatan salaf dalam akidah dan penolakannya terhadap spekulasi filsafat menjadikan Al-Atsariyah sebagai salah satu pilar ortodoksi dalam Islam Sunni.

Berikut ini adalah beberapa bentuk pengaruh dan warisan Al-Atsariyah yang dapat ditelusuri sepanjang sejarah:

·                     Menjadi Fondasi Teologis Mazhab Hanbali

Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang menjadi inti dari Al-Atsariyah berkembang menjadi fondasi mazhab Hanbali, baik dalam fikih maupun akidah. Mazhab ini memelihara semangat anti-takwil dan tekstualisme dalam memahami sifat-sifat Allah dan ajaran-ajaran akidah lainnya.¹

·                     Menginspirasi Gerakan Salafiyah dan Athariyah Modern

Pada abad ke-18 dan seterusnya, prinsip-prinsip Al-Atsariyah dihidupkan kembali oleh gerakan Salafiyah, khususnya melalui tokoh seperti Muhammad bin Abdul Wahhab di Najd, Arab Saudi. Gerakan ini menekankan pentingnya kembali kepada pemahaman akidah generasi salaf dan menolak praktik-praktik keagamaan yang tidak berdasar pada nash yang sahih.²

·                     Mempengaruhi Dakwah Wahabi di Semenanjung Arab

Dakwah Wahabi yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Al-Atsariyah berhasil menjadi dasar bagi pembentukan negara Saudi modern, menjadikan pemikiran ini sebagai ideologi resmi negara dalam hal akidah.³ Ciri khasnya adalah penolakan terhadap segala bentuk bid’ah, ta’wil, dan penggunaan filsafat dalam agama.

·                     Kontribusi terhadap Hadis dan Tradisi Ulama Ahl al-Hadits

Al-Atsariyah juga meninggalkan warisan besar dalam bidang ilmu hadis, karena banyak pendukung aliran ini berasal dari kalangan muhadditsīn (ahli hadis). Tradisi ini kemudian menjadi tulang punggung dalam pelestarian Sunnah Nabi Saw dan menyusun kerangka pemahaman akidah berdasarkan riwayat yang sahih.⁴

·                     Menjadi Simbol Keteguhan Akidah Salaf dalam Literatur Islam

Dalam literatur-literatur klasik, Al-Atsariyah sering disebut sebagai representasi dari akidah salaf, yang dianggap paling murni dan selamat dari penyimpangan. Tokoh-tokoh seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa pemahaman atsari (berbasis riwayat) adalah jalan keselamatan dalam menghadapi kerancuan pemikiran yang ditimbulkan oleh kalam dan filsafat.⁵

·                     Resistensi terhadap Infiltrasi Pemikiran Asing

Salah satu warisan penting Al-Atsariyah adalah komitmennya terhadap kemurnian ajaran Islam dari pengaruh luar, terutama filsafat Yunani dan doktrin rasionalis asing. Pandangan ini memberikan daya tahan intelektual bagi umat Islam dalam menjaga otentisitas ajaran Islam di tengah penetrasi pemikiran eksternal.⁶

·                     Menjadi Referensi dalam Polemik Akidah Kontemporer

Di era modern, pemikiran Al-Atsariyah sering digunakan sebagai rujukan oleh berbagai kelompok yang menyerukan pemurnian akidah, termasuk dalam konteks perdebatan dengan kelompok Sufiyah, Syiah, dan modernis liberal. Pendekatan atsari dianggap lebih aman dari penyimpangan karena bersandar pada nash dan ijma’ salaf.⁷


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 61.

[2]                Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton: Princeton University Press, 2002), 32–33.

[3]                David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2006), 58–60.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 91–92.

[5]                Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Āṣimah, 1991), 1:65.

[6]                Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, trans. Andras and Ruth Hamori (Princeton: Princeton University Press, 1981), 103.

[7]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 46.


8.           Penutup

8.1.       Kesimpulan

Al-Atsariyah merupakan salah satu aliran pemikiran Islam klasik yang memegang prinsip tekstualisme murni dalam memahami akidah. Didirikan atas dasar komitmen terhadap nash (Al-Qur’an dan hadis), aliran ini menolak segala bentuk spekulasi akal dan filsafat dalam menetapkan doktrin-doktrin teologis. Tokoh sentralnya, Imam Ahmad bin Hanbal, menjadi simbol keteguhan dalam mempertahankan ajaran yang bersumber dari generasi salaf, terutama dalam menghadapi dominasi rasionalisme Mu’tazilah pada masa Abbasiyah.¹

Pokok-pokok ajaran Al-Atsariyah meliputi penerimaan terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam nash tanpa takwil, takyif, atau tasybih, serta penolakan terhadap ilmu kalam dan filsafat sebagai metode memahami akidah.² Sikap ini melahirkan pendekatan tawaqquf dan tawadhu’ dalam menghadapi perkara ghaib, dan menjadi cermin dari akidah salaf yang bersandar pada prinsip “sam‘iyyāt” atau keimanan terhadap hal-hal yang dikabarkan oleh wahyu tanpa campur tangan logika manusia.³

Warisan Al-Atsariyah tidak berhenti pada era klasik, melainkan terus hidup melalui mazhab Hanbali dan gerakan Salafiyah kontemporer. Ia menjadi dasar dari berbagai gerakan pemurnian akidah, terutama di kawasan Timur Tengah.⁴ Di sisi lain, pendekatannya yang anti-kalam menjadi bahan polemik dalam diskursus teologi modern, khususnya dalam hal hubungan antara akal dan wahyu.

8.2.       Rekomendasi dalam Kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah

·                     Pertama, penting bagi umat Islam, khususnya generasi muda, untuk memahami bahwa perbedaan pendekatan teologis di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk memperkaya khazanah pemikiran Islam. Al-Atsariyah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah ketiganya berada dalam koridor Ahlus Sunnah, selama tetap menjunjung tinggi otoritas nash dan menjaga adab ilmiah.⁵

·                     Kedua, pendekatan Al-Atsariyah dapat dijadikan sebagai rambu-rambu kehati-hatian dalam menggunakan akal, khususnya dalam perkara akidah. Dalam konteks modern, ketika rasionalitas dan filsafat sering kali dijadikan standar tunggal kebenaran, warisan Al-Atsariyah mengingatkan pentingnya tunduk kepada wahyu dan mengakui keterbatasan akal manusia.⁶

·                     Ketiga, bagi para pelajar dan akademisi Islam, perlu dilakukan pengkajian kritis namun objektif terhadap pemikiran Al-Atsariyah, tidak dengan sikap menolak mentah-mentah atau fanatisme buta, melainkan dengan menyadari konteks sejarah dan kontribusinya dalam menjaga kemurnian tauhid umat Islam.⁷

·                     Keempat, dalam praktik keagamaan dan dakwah, semangat Al-Atsariyah dalam meneladani salaf al-shalih perlu dikembangkan secara bijak dan inklusif, tanpa menimbulkan sikap eksklusif atau menyalahkan pihak lain yang masih berada dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dengan demikian, pengenalan terhadap Al-Atsariyah bukan hanya bagian dari studi sejarah pemikiran, tetapi juga sarana untuk memperteguh akidah yang lurus, menjaga keseimbangan antara iman, ilmu, dan adab, serta membangun pondasi keislaman yang kokoh di tengah derasnya arus pemikiran modern.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60–62.

[2]                W. Montgomery Watt, Islamic Creed and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 95–96.

[3]                Ibn Qudamah al-Maqdisi, Lum‘at al-I‘tiqād, ed. Dr. Nasir al-‘Aql (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1995), 23.

[4]                David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2006), 60.

[5]                Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1996), 218.

[6]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–46.

[7]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld Publications, 2014), 133–134.


Daftar Pustaka

Abu Zahrah, M. (1996). Tārīkh al-madhāhib al-islāmiyyah. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī.

Al-Bāqillānī. (2002). Al-Tamhīd fī al-radd ‘ala al-mulḥidīn (Imran Ahsan Khan Nyazee, Ed.). Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Al-Juwaynī. (1995). Al-Irshād ilā qawāṭi‘ al-adillah fī uṣūl al-i‘tiqād. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Brown, D. W. (1996). Rethinking tradition in modern Islamic thought. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld Publications.

Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. London: Oneworld Publications.

Commins, D. (2006). The Wahhabi mission and Saudi Arabia. London: I.B. Tauris.

Fakhry, M. (1983). A history of Islamic philosophy. New York: Columbia University Press.

Goldziher, I. (1981). Introduction to Islamic theology and law (A. & R. Hamori, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Ibn al-Jawzī. (1993). Talbīs Iblīs. Beirut: Dār al-Fikr.

Ibn al-Jawzī. (n.d.). Manāqib Aḥmad ibn Ḥanbal. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Ibn Qudāmah al-Maqdisī. (1995). Lum‘at al-i‘tiqād (N. al-‘Aql, Ed.). Riyadh: Dār Ibn al-Jauzī.

Ibn Taymiyyah. (1991). Dar’ ta‘āruḍ al-‘aql wa al-naql (M. R. Salim, Ed.). Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-fatāwā (Vol. 7). Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. Jakarta: UI Press.

van Ess, J. (2001). Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 4). Berlin: Walter de Gruyter.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1994). Islamic creed and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Zaman, M. Q. (2002). The ulama in contemporary Islam: Custodians of change. Princeton: Princeton University Press.


Lampiran: Keterkaitan Al-Atsariyah dengan Ahlul Hadits

Al-Atsariyah dalam pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan Ahlul Hadits, bahkan dalam banyak literatur klasik dan modern, keduanya sering dianggap identik atau saling melengkapi. Berikut penjelasan hubungan dan kaitannya secara lebih rinci:

1.            Asal-usul dan Kesamaan Istilah

·                     Istilah "Al-Atsariyah" berasal dari kata atsar, yang berarti "jejak" atau "riwayat", yaitu merujuk pada riwayat-riwayat (hadits) yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw, sahabat, dan tabi’in. Dalam konteks teologis, Al-Atsariyah berarti mereka yang berpegang pada atsar dalam memahami akidah, bukan pada ra’yu (akal).

·                     Ahlul Hadits, secara bahasa dan tradisi keilmuan, merujuk pada komunitas ulama yang mengkhususkan diri dalam meriwayatkan, meneliti, dan mengamalkan hadis. Namun, dalam perkembangan sejarah, Ahlul Hadits juga menjelma menjadi sebuah pendekatan teologis, yaitu yang menolak takwil dan filsafat, sebagaimana ciri khas Al-Atsariyah.

Jadi, Al-Atsariyah adalah ekspresi teologis dari Ahlul Hadits

2.            Kesamaan dalam Pendekatan Akidah

Baik Al-Atsariyah maupun Ahlul Hadits:

·                     Menolak ilmu kalam dan pendekatan spekulatif terhadap akidah, karena dianggap tidak berdasarkan pada dalil yang sahih.

·                     Menerima ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat Allah secara tekstual (lafdziyah), tanpa takwil, ta'thil, atau tasybih.

·                     Membatasi peran akal, dan lebih mengutamakan pemahaman generasi salaf dalam memahami wahyu.

Imam-imam besar dalam Ahlul Hadits, seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Majah, semuanya mewakili pendekatan Al-Atsariyah dalam akidah, meskipun mereka lebih dikenal dalam bidang hadis.

3.            Pengakuan dari Para Ulama

·                     Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dua ulama besar Hanbali-Salafi, secara eksplisit menyebut bahwa Ahlul Hadits adalah aliran akidah yang paling selamat karena mengikuti metode atsari yang tidak menyimpang dari wahyu.²

·                     Dalam karya Ibn Qudamah Lum’at al-I‘tiqad, ajaran akidah yang ia paparkan atas nama Hanbali dan Al-Atsariyah adalah identik dengan pendekatan Ahlul Hadits.

4.            Perkembangan Istilah dalam Sejarah

·                     Pada abad ke-2 hingga ke-4 H, istilah Ahlul Hadits digunakan sebagai lawan dari Ahlur Ra’yi (pendukung rasionalisme).

·                     Seiring berkembangnya ilmu kalam, istilah Al-Atsariyah mulai digunakan untuk merujuk pada pendekatan akidah yang mengikuti jejak Ahlul Hadits, terutama oleh kalangan Hanabilah.

·                     Di masa modern, Al-Atsariyah juga sering diasosiasikan dengan pemikiran Salafi yang menyerukan kembali ke metode Ahlul Hadits.


Kesimpulan

Al-Atsariyah dalam pembahasan ini berkaitan sangat erat, bahkan bersumber dari tradisi Ahlul Hadits, terutama dalam pendekatan terhadap akidah. Bila Ahlul Hadits dikenal karena orientasi ilmiah terhadap riwayat, maka Al-Atsariyah adalah pengejawantahan teologis dari pendekatan tersebut—yakni membangun akidah dengan fondasi hadis dan atsar, bukan dengan akal atau logika spekulatif.


Footnotes

[1]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 60–61.

[2]                Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Dar al-‘Āṣimah, 1991), 1:19–21.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar