Senin, 07 April 2025

Pemikiran Tan Malaka: Fondasi Intelektual Sang Bapak Republik Indonesia

Pemikiran Tan Malaka

Fondasi Intelektual Sang Bapak Republik Indonesia


Alihkan ke: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran revolusioner Tan Malaka, seorang tokoh pergerakan nasional yang dijuluki “Bapak Republik Indonesia”. Melalui penelusuran terhadap karya-karyanya seperti Naar de Republiek Indonesia dan Madilog, artikel ini menyoroti kontribusi Tan Malaka dalam membangun fondasi intelektual perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pelopor konsep republik yang menyerukan kemerdekaan penuh tanpa kompromi sejak jauh sebelum Proklamasi 1945. Selain itu, melalui Madilog, Tan Malaka menawarkan pendekatan filsafat rasional berbasis materialisme, dialektika, dan logika, sebagai upaya pencerahan terhadap cara berpikir masyarakat Indonesia. Pandangan politiknya yang radikal dan strategi revolusinya yang menolak jalan diplomasi menempatkannya dalam posisi kontroversial, baik di mata pemerintah kolonial maupun elite nasionalis moderat. Meskipun selama era Orde Baru namanya terpinggirkan, pemikiran dan perjuangan Tan Malaka kembali mendapatkan tempat dalam diskursus akademik dan nasional pasca-reformasi. Artikel ini bertujuan untuk menempatkan pemikiran Tan Malaka dalam konteks sejarah yang adil serta mengungkap relevansi intelektualnya bagi masa kini.

Kata Kunci: Tan Malaka, republik, Madilog, revolusi, pemikiran politik Indonesia, kemerdekaan, filsafat, sejarah nasional.


PEMBAHASAN

Pemikiran Revolusioner Tan Malaka Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dipenuhi oleh aksi heroik di medan tempur, tetapi juga oleh pergulatan pemikiran yang melahirkan arah dan visi bangsa. Di antara tokoh-tokoh pemikir revolusioner yang memberi sumbangsih besar terhadap cita-cita Indonesia merdeka adalah Tan Malaka—seorang aktivis politik, filsuf, dan penulis, yang oleh Bung Karno sendiri dijuluki sebagai “Bapak Republik Indonesia” dalam pidato tahun 1945 di hadapan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).¹ Julukan ini bukan semata retoris, tetapi mencerminkan betapa pentingnya peran Tan Malaka dalam merumuskan konsep kemerdekaan Indonesia yang bebas dari pengaruh kolonialisme dan kompromi politik.

Tan Malaka adalah sosok yang unik dan kompleks. Ia dikenal sebagai tokoh pergerakan kiri, namun juga seorang nasionalis tulen yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia secara total. Sejak awal abad ke-20, ia telah memperlihatkan pemikiran yang jauh melampaui zamannya, dengan mengusung gagasan tentang republik, pendidikan kritis, serta emansipasi sosial. Pemikirannya tercermin dalam berbagai karyanya, seperti Naar de Republiek Indonesia (1925), yang secara eksplisit menyuarakan cita-cita republik, dan Madilog (1943), yang merupakan karya filsafat dan ilmu pengetahuan dengan pendekatan materialisme, dialektika dan logika

Pemikiran-pemikiran Tan Malaka seringkali dipinggirkan dalam narasi arus utama sejarah Indonesia karena asosiasinya dengan komunisme. Namun demikian, peninjauan ulang terhadap karya dan kiprahnya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar seorang ideolog kiri, tetapi seorang pemikir independen yang menggabungkan unsur-unsur sosialisme, nasionalisme, dan rasionalisme secara kontekstual dan kreatif.³ Ia menentang segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan intelektual, dan dengan lantang mengkritik sistem pendidikan kolonial yang menurutnya menciptakan inlander yang tak berdaya secara mental dan sosial.⁴

Dalam konteks inilah, artikel ini hadir untuk mengkaji pemikiran Tan Malaka secara menyeluruh dan objektif. Pembahasan ini mencakup kontribusi intelektualnya terhadap gagasan republik, strategi revolusi, serta pengembangan rasionalitas ilmiah melalui Madilog. Dengan menggali lebih dalam pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam tulisan-tulisannya maupun dalam rekam jejak perjuangannya, kita dapat memahami bahwa Tan Malaka bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan fondasi intelektual yang berperan penting dalam membentuk arah perjuangan bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Sukarno, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965, ed. Budi Setiyono (Jakarta: Kompas, 2001), 212.

[2]                Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine Press, 1925); Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943).

[3]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 1945–1949, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 24–25.

[4]                Tan Malaka, Madilog, 25–30.


2.           Biografi Singkat Tan Malaka

Tan Malaka, yang bernama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka, lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Ia berasal dari keluarga Minangkabau yang memiliki tradisi pendidikan Islam yang kuat, namun terbuka terhadap pendidikan Barat. Ayahnya adalah seorang guru dan pejabat desa, dan dari lingkungan ini Tan Malaka kecil tumbuh dengan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.¹

Pendidikan awalnya dimulai di Sekolah Rakyat Belanda (ELS), kemudian berlanjut ke Kweekschool di Bukittinggi—sebuah sekolah guru yang diperuntukkan bagi bumiputra. Karena kecerdasannya, ia memperoleh beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan studi ke Rijkskweekschool di Haarlem, Belanda, pada tahun 1913.² Di sinilah ia mulai bersentuhan dengan pemikiran sosialisme, Marxisme, dan gerakan revolusioner yang berkembang di Eropa kala itu.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Tan Malaka kembali ke Hindia Belanda dan sempat mengajar di DS (Delftse School) di Medan. Namun, pengaruh pemikiran kiri yang ia pelajari di Belanda membuatnya semakin aktif dalam gerakan politik. Ia kemudian terlibat dalam Sarekat Islam Merah dan menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).³ Pada 1921, ia dikirim ke Moskwa sebagai perwakilan Komintern untuk Asia Tenggara.⁴

Namun, hubungan Tan Malaka dengan Komintern dan PKI tidak berlangsung mulus. Ia berselisih paham dengan strategi Komintern yang cenderung dogmatis dan tidak memperhatikan konteks lokal perjuangan di Indonesia. Akibatnya, ia dikeluarkan dari lingkaran resmi PKI dan memilih jalur perjuangan independen melalui jalur yang ia sebut sebagai “revolusi nasional”.⁵ Dalam perjalanannya yang penuh intrik, ia hidup sebagai buronan politik dan menggunakan berbagai nama samaran saat bergerak di berbagai negara seperti Filipina, Thailand, Birma, Tiongkok, bahkan Jerman.

Meski hidup di pengasingan, Tan Malaka tetap aktif menulis dan menyusun strategi perjuangan kemerdekaan. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia pada tahun 1925, yang menjadi salah satu teks pertama yang secara eksplisit menyerukan kemerdekaan penuh Indonesia dalam bentuk republik.⁶ Selain itu, saat bersembunyi di daerah Batu, Malang, pada masa pendudukan Jepang, ia menulis karya monumentalnya, Madilog, yang menggabungkan materialisme, dialektika, dan logika sebagai dasar berpikir ilmiah dan revolusioner.⁷

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka kembali ke tanah air dan berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia membentuk organisasi Persatuan Perjuangan, yang berisi kalangan militer dan sipil yang menuntut kemerdekaan 100% tanpa kompromi dengan Belanda.⁸ Namun, sikapnya yang keras terhadap politik kompromi membuatnya bersitegang dengan pemerintah Sutan Sjahrir. Ia bahkan sempat ditangkap oleh pemerintah RI, sebelum akhirnya dibebaskan. Pada tahun 1949, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi secara rahasia oleh aparat militer Divisi Siliwangi di daerah Kediri, Jawa Timur, tanpa proses hukum.⁹

Baru pada tahun 1963, pemerintah Indonesia secara resmi mengakui Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional, meskipun namanya tetap menjadi sosok yang kontroversial karena afiliasinya dengan gerakan kiri.¹⁰ Namun tak dapat disangkal, pemikiran dan perjuangannya menjadi bagian penting dari fondasi intelektual bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: 1945–1949, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 5–6.

[2]                Benedict R. O'G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 103.

[3]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 60–65.

[4]                Ibid., 74–75.

[5]                Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1 (Yogyakarta: Narasi, 2007), 121–124.

[6]                Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine Press, 1925), 3–5.

[7]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xi–xiii.

[8]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Jilid 2, 237–240.

[9]                Ibid., Jilid 3, 497–499.

[10]             Surat Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1963 tentang Penetapan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.


3.           Konsep Republik dalam Pandangan Tan Malaka

Tan Malaka merupakan tokoh pertama dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia yang secara eksplisit menggagas dan menyerukan bentuk negara republik sebagai cita-cita kemerdekaan. Gagasan ini tertuang dalam karya monumentalnya berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), yang ditulis pada tahun 1925 di Berlin ketika ia hidup dalam pengasingan.¹ Buku ini ditulis dalam bahasa Belanda, bahasa internasional saat itu, agar dapat menjangkau pembaca luas di kalangan intelektual Eropa dan Asia, sekaligus menunjukkan bahwa perjuangan Indonesia bukan hanya persoalan lokal, tetapi bagian dari perlawanan global terhadap kolonialisme.²

Dalam karya tersebut, Tan Malaka menolak secara tegas segala bentuk penjajahan, baik fisik maupun ekonomi, serta memperingatkan bahayanya sistem kompromi yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya kemerdekaan sejati. Ia tidak menginginkan bentuk negara boneka atau dominion (negara persemakmuran) seperti yang terjadi di India dan Filipina pada masa itu. Bagi Tan Malaka, satu-satunya bentuk negara yang bisa menjamin kemerdekaan hakiki bagi rakyat Indonesia adalah republik, yakni negara yang berdiri di atas kedaulatan rakyat, bebas dari cengkeraman kolonial dan kapitalisme asing.³

Konsep republik yang ditawarkan oleh Tan Malaka bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi juga mencerminkan pandangan ideologis dan filosofis yang menekankan kemerdekaan total, keadilan sosial, dan pembebasan rakyat dari kebodohan serta penindasan. Ia melihat bahwa pembentukan republik harus didasarkan pada kesadaran kolektif rakyat yang tercerahkan, bukan sekadar transisi kekuasaan dari penjajah ke elite lokal. Oleh karena itu, perjuangan menuju republik harus dilandasi oleh revolusi pendidikan dan perubahan cara berpikir bangsa.⁴

Tan Malaka mengkritik keras strategi perjuangan yang bersifat elitis dan reformis, yang hanya menuntut perbaikan dalam sistem kolonial. Ia menyebut bahwa pendekatan kompromistis semacam itu hanya akan melanggengkan dominasi asing dalam bentuk baru. Dalam pandangannya, republik Indonesia harus diperjuangkan dengan jalan revolusi nasional yang radikal, melibatkan rakyat secara luas dan dipimpin oleh kekuatan progresif yang memahami kondisi objektif masyarakat Indonesia.⁵

Gagasan Tan Malaka tentang republik ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia terinspirasi oleh berbagai revolusi dunia, seperti Revolusi Bolshevik di Rusia (1917) dan Revolusi Tiongkok (1911), namun ia tidak menirunya secara membabi buta. Ia justru mengembangkan gagasan republik yang sesuai dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang plural, agraris, dan masih terikat kuat oleh struktur feodal dan kolonial. Dalam hal ini, Tan Malaka dapat dikatakan sebagai pelopor nasionalisme radikal, yang tidak hanya menuntut kemerdekaan politik, tetapi juga transformasi sosial-ekonomi secara menyeluruh.⁶

Menariknya, ide Tan Malaka tentang republik muncul jauh sebelum Proklamasi 1945 dan bahkan mendahului keputusan BPUPKI dan PPKI tentang bentuk negara. Ini menunjukkan bahwa Tan Malaka telah memiliki visi yang jauh ke depan. Meski kemudian namanya tidak banyak disebut dalam dokumen resmi negara, pengaruh pemikirannya tetap terasa dalam semangat revolusioner dan republikanisme yang menjadi roh awal Republik Indonesia.⁷


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine Press, 1925), v.

[2]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 91–93.

[3]                Ibid., 95–96.

[4]                Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, 10–15.

[5]                Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1 (Yogyakarta: Narasi, 2007), 72–75.

[6]                Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 138–139.

[7]                Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999), 28–29.


4.           Pemikiran Filsafat dan Ilmu Pengetahuan: Madilog

Salah satu kontribusi paling penting Tan Malaka dalam ranah intelektual adalah karya filsafatnya yang berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika, ditulis pada tahun 1943 ketika ia bersembunyi dari kejaran tentara Jepang di Batu, Malang, Jawa Timur.¹ Dalam karya ini, Tan Malaka tidak hanya menunjukkan kapasitasnya sebagai aktivis politik, tetapi juga sebagai pemikir filosofis dan ilmuwan yang berpandangan jauh ke depan, yang mencoba membangun fondasi berpikir rasional dan ilmiah bagi bangsa Indonesia.

4.1.       Madilog: Upaya Rasionalisasi Cara Berpikir Bangsa

Tan Malaka menulis Madilog dengan tujuan utama: membangun cara berpikir ilmiah dan logis di tengah masyarakat Indonesia yang menurutnya masih banyak terjebak dalam cara berpikir mistik dan feodal.² Ia menyadari bahwa perjuangan fisik dan politik tidak akan cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan cara berpikir. Dalam kata pengantar Madilog, ia menegaskan bahwa "pengetahuan filsafat, ilmu pengetahuan alam dan logika adalah senjata pemikiran dalam revolusi nasional."_³

Madilog merupakan akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika, tiga pilar utama dalam pendekatan epistemologis yang ia bangun. Ia mengadopsi materialisme dialektis sebagai kerangka filsafat, yang dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, Friedrich Engels, dan filsuf Jerman lainnya seperti Hegel dan Feuerbach. Namun, Tan Malaka tidak menelan mentah-mentah ajaran Barat tersebut. Ia menyusun ulang pendekatan itu agar sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agraris, kolonial, dan memiliki budaya mistik yang kuat.⁴

4.2.       Materialisme: Mendasarkan Kebenaran pada Realitas Fisik

Materialisme dalam Madilog adalah landasan bahwa segala pengetahuan harus berpijak pada realitas konkret, bukan pada mitos atau metafisika. Bagi Tan Malaka, segala fenomena sosial, politik, dan ekonomi harus dijelaskan secara objektif melalui pengamatan terhadap dunia nyata, bukan melalui takhayul atau keyakinan turun-temurun yang tidak rasional.⁵

4.3.       Dialektika: Melihat Perubahan sebagai Proses Sejarah

Dalam dialektika, Tan Malaka menekankan pentingnya proses dan kontradiksi sebagai dinamika perubahan sosial. Ia mengajak pembaca untuk melihat bahwa realitas tidak bersifat statis, tetapi terus berubah karena adanya pertentangan antar unsur dalam masyarakat. Dengan dialektika, rakyat Indonesia diajak untuk memahami sejarah sebagai medan perjuangan antara kelas tertindas dan penindas.⁶

4.4.       Logika: Alat Analisis dan Pembebasan Intelektual

Bagian logika dalam Madilog menjadi elemen penting yang menunjukkan kepedulian Tan Malaka terhadap pendidikan nalar. Ia mengkritik sistem pendidikan kolonial yang menurutnya tidak melatih siswa berpikir kritis dan analitis, tetapi sekadar menghafal dogma. Ia mendorong penggunaan logika formal untuk memperkuat argumen dan membebaskan bangsa dari cara berpikir magis dan dogmatis.⁷

4.5.       Madilog sebagai Proyek Pencerahan Indonesia

Madilog dapat dilihat sebagai proyek pencerahan intelektual (enlightenment) yang mencoba menciptakan manusia Indonesia baru—yang berpikir kritis, rasional, dan ilmiah.⁸ Dalam konteks kolonial saat itu, proyek ini sangat radikal, karena tidak hanya menantang struktur kekuasaan politik, tetapi juga struktur kognitif masyarakat. Dengan Madilog, Tan Malaka meletakkan dasar bagi revolusi mental yang mendahului jargon serupa di masa Indonesia modern.

Meski tidak mudah dipahami oleh pembaca awam dan ditulis dalam gaya yang berat, Madilog tetap menjadi karya monumental dalam sejarah filsafat Indonesia. Bahkan, menurut Ben Anderson, buku ini adalah salah satu usaha paling ambisius dari tokoh Asia Tenggara untuk menyusun teori filsafat dan epistemologi yang berbasis pada pengalaman lokal namun berpandangan global.⁹


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xi.

[2]                Ibid., xii–xiv.

[3]                Ibid., xiii.

[4]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 204–207.

[5]                Tan Malaka, Madilog, 15–20.

[6]                Ibid., 45–48.

[7]                Ibid., 60–64.

[8]                Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999), 97–99.

[9]                Benedict R. O'G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 106.


5.           Strategi Revolusi dan Pandangan Politik

Dalam pandangan Tan Malaka, kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai melalui jalan damai atau kompromi politik dengan penjajah, melainkan harus diperjuangkan lewat revolusi nasional yang radikal dan menyeluruh. Revolusi, bagi Tan Malaka, adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme.¹ Ia menekankan pentingnya mobilisasi rakyat secara luas, khususnya kelas buruh dan tani, sebagai basis kekuatan revolusi.²

5.1.       Anti-Kompromi: "100% Merdeka"

Salah satu prinsip utama dalam strategi politik Tan Malaka adalah penolakan terhadap kompromi dengan penjajah, yang ia anggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Semboyan “100% Merdeka” menjadi simbol sikap revolusionernya yang menolak segala bentuk dominasi, baik dalam bentuk perjanjian politik, kerjasama ekonomi, maupun pengaruh kultural asing.³ Dalam hal ini, Tan Malaka berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya seperti Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta yang lebih memilih strategi diplomasi. Ia berpendapat bahwa kemerdekaan yang diperoleh melalui kompromi akan melahirkan kemerdekaan semu, yang tetap berada di bawah bayang-bayang kekuatan asing.⁴

5.2.       Persatuan Perjuangan dan Tentara Rakyat

Pasca proklamasi 1945, Tan Malaka membentuk organisasi Persatuan Perjuangan pada awal 1946, yang menjadi wadah bagi kelompok revolusioner termasuk kalangan militer seperti Jenderal Sudirman. Organisasi ini menuntut agar pemerintah tidak melakukan perundingan dengan Belanda sebelum kedaulatan sepenuhnya diakui.⁵ Tan Malaka mendorong terbentuknya tentara rakyat, bukan tentara profesional kolonial, sebagai kekuatan utama revolusi yang bertumpu pada massa rakyat dan ideologi perjuangan.⁶ Ia percaya bahwa kekuatan militer sejati harus muncul dari rakyat yang terdidik secara politis dan ideologis, bukan sekadar alat kekuasaan negara.

Konflik muncul ketika Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan menolak keras Perjanjian Linggarjati (1946) yang dianggapnya sebagai bentuk kompromi yang mengkhianati semangat proklamasi. Akibat sikapnya tersebut, ia ditangkap oleh pemerintah Sutan Sjahrir pada Maret 1946 atas tuduhan mengganggu stabilitas negara, meskipun kemudian dibebaskan setelah mendapat dukungan dari sebagian militer.⁷

5.3.       Kritik terhadap PKI dan Komintern

Meskipun pernah menjadi tokoh penting dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mewakili Asia Tenggara di Komintern (Komunis Internasional), Tan Malaka tidak pernah menjadi seorang dogmatis. Ia bahkan mengkritik PKI karena dinilainya terlalu tunduk pada arahan Komintern dan tidak memahami kondisi objektif perjuangan di Indonesia.⁸ Salah satu momen penting adalah ketika Tan Malaka menentang pemberontakan PKI tahun 1926–1927, yang menurutnya prematur dan tidak memiliki basis massa yang kuat. Kritik tersebut menyebabkan Tan Malaka dikeluarkan dari Komintern dan dianggap “pengkhianat” oleh sebagian kalangan komunis internasional.⁹

Dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menyatakan bahwa perjuangan revolusioner harus dilandasi oleh analisis konkret terhadap kondisi konkret (concrete analysis of the concrete situation), bukan sekadar mengikuti diktum ideologi asing.¹⁰ Dengan demikian, ia memposisikan dirinya sebagai tokoh yang merdeka secara intelektual dan politis, yang menjadikan kepentingan nasional sebagai landasan utama perjuangan.

5.4.       Revolusi sebagai Proses Mendidik Bangsa

Bagi Tan Malaka, revolusi bukan hanya pergolakan senjata, melainkan juga proses pendidikan politik rakyat. Ia percaya bahwa kemerdekaan hanya akan bermakna apabila rakyat memiliki kesadaran politik dan kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, strategi revolusinya selalu dibarengi dengan pembangunan kesadaran intelektual dan ideologis, sebagaimana yang ia tuangkan dalam Madilog.¹¹


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 2 (Yogyakarta: Narasi, 2007), 188–190.

[2]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), 47–48.

[3]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 217–220.

[4]                Ibid., 222–223.

[5]                Ibid., 231–234.

[6]                Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 280.

[7]                Poeze, Tan Malaka, Jilid 2, 247–250.

[8]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 84–86.

[9]                Ibid., 87–88.

[10]             Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1, 143–145.

[11]             Tan Malaka, Madilog, 73–75.


6.           Warisan Pemikiran dan Kontroversi

Pemikiran dan perjuangan Tan Malaka meninggalkan warisan intelektual dan politik yang mendalam, meskipun selama puluhan tahun ia berada di pinggiran narasi resmi sejarah Indonesia. Ia adalah sosok pemikir independen yang memadukan nasionalisme radikal, semangat revolusioner, dan nalar ilmiah dalam kerangka yang menyatu. Namun demikian, pemikirannya juga mengundang kontroversi, baik pada zamannya maupun dalam studi sejarah Indonesia modern.

6.1.       Kontribusi Terhadap Gerakan Nasional

Tan Malaka adalah salah satu tokoh yang pertama kali mengartikulasikan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk republik secara terbuka dan konsisten, jauh sebelum Proklamasi 1945.¹ Gagasannya telah memengaruhi cara berpikir generasi pergerakan tentang makna kebebasan dan kedaulatan, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara sosial dan intelektual. Meskipun tidak selalu berada dalam struktur formal pemerintahan, pemikirannya mengenai strategi perjuangan rakyat dan pentingnya kesadaran kritis memberi inspirasi bagi berbagai kelompok, termasuk para pemuda dan kalangan militer revolusioner.²

Melalui Madilog, ia turut meletakkan fondasi awal bagi rasionalisme dan budaya berpikir ilmiah di Indonesia, suatu usaha langka dan sangat berani di tengah dominasi feodalisme dan kolonialisme.³ Konsep-konsep Tan Malaka mengenai logika, materialisme, dan dialektika menjadi referensi penting bagi diskursus intelektual kiri di Asia Tenggara, bahkan hingga ke generasi pascakolonial.

6.2.       Kontroversi Sejarah dan Ideologis

Namun demikian, warisan Tan Malaka tidak lepas dari kontroversi, terutama karena asosiasinya dengan gerakan komunis internasional dan keterlibatannya dalam fase awal PKI serta Komintern.⁴ Meskipun pada akhirnya ia mengkritik keras taktik PKI dan memilih jalur nasionalis-revolusioner yang mandiri, stigmatisasi terhadap komunisme membuat namanya tersisih dari narasi resmi sejarah Orde Baru. Dalam kurikulum pendidikan nasional selama rezim tersebut, Tan Malaka nyaris tak disebut, atau jika disebut, hanya secara negatif.⁵

Kontroversi juga muncul dari kalangan nasionalis moderat dan religius, yang menilai pendekatannya terlalu revolusioner dan berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Pandangannya yang tegas terhadap anti-kompromi sering kali dipersepsikan sebagai sikap keras kepala dan kurang pragmatis.⁶ Namun, seiring waktu, semakin banyak sejarawan yang meninjau ulang peran dan pemikirannya secara objektif dan proporsional.

6.3.       Pengakuan dan Rehabilitasi Historis

Baru pada tahun 1963, Tan Malaka secara resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 53 Tahun 1963.⁷ Pengakuan ini datang dari Presiden Soekarno, yang sebelumnya telah menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia dalam pidatonya di hadapan KNIP.⁸ Namun ironisnya, setelah Soekarno digulingkan dan Orde Baru berkuasa, penokohan Tan Malaka kembali dibekukan karena trauma terhadap komunisme dan kebijakan politik sejarah yang represif.

Dalam dua dekade terakhir, terutama setelah Reformasi 1998, minat akademik terhadap Tan Malaka kembali meningkat. Karya-karyanya mulai diterbitkan ulang, biografi ilmiah ditulis, dan diskusi publik mengenai kontribusinya menjadi semakin terbuka. Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk meneliti Tan Malaka, menyatakan bahwa Tan Malaka adalah “salah satu tokoh paling kompleks dan paling diremehkan dalam sejarah perjuangan Indonesia.”_⁹


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine Press, 1925), 2–3.

[2]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 204–205.

[3]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xiii–xiv.

[4]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 74–78.

[5]                Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999), 113.

[6]                Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 106–107.

[7]                Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1963 tentang Penetapan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.

[8]                Sukarno, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965, ed. Budi Setiyono (Jakarta: Kompas, 2001), 212.

[9]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Jilid 1, 12.


7.           Kesimpulan

Tan Malaka menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah intelektual dan politik Indonesia modern. Sebagai seorang pemikir, aktivis, dan revolusioner, ia memberikan kontribusi yang tidak ternilai dalam membentuk gagasan dasar tentang kemerdekaan, kedaulatan rakyat, dan pembangunan cara berpikir kritis dalam konteks bangsa yang sedang berjuang membebaskan diri dari kolonialisme.¹

Melalui karya seperti Naar de Republiek Indonesia, Tan Malaka tampil sebagai pelopor konsep republik jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan menyerukan kemerdekaan penuh dan tanpa kompromi.² Ia menolak segala bentuk dominasi asing dan berjuang untuk negara yang berdaulat atas kehendak rakyatnya sendiri, bukan negara boneka yang dibentuk oleh kesepakatan kolonial.³ Pandangannya tersebut tidak hanya politis, melainkan juga ideologis dan filosofis—sebuah seruan untuk pembebasan total.

Dalam Madilog, Tan Malaka menunjukkan bahwa revolusi sejati harus dimulai dari transformasi cara berpikir. Ia mengajukan dasar filsafat materialisme, dialektika, dan logika untuk menggantikan cara berpikir mistik dan dogmatis yang menurutnya telah lama menghambat kemajuan bangsa.⁴ Pemikirannya membuka jalan bagi rasionalisme lokal yang berbasis pada konteks Indonesia, namun tetap selaras dengan tradisi filsafat dunia.

Strategi perjuangannya yang menekankan perlawanan bersenjata dan penolakan terhadap kompromi seringkali membuatnya diposisikan sebagai tokoh ekstrem. Namun, justru dari keteguhan prinsip itulah muncul integritas ideologis yang membedakannya dari banyak tokoh sezamannya.⁵ Ia bukan hanya seorang komunis, bukan sekadar nasionalis, tetapi seorang revolusioner orisinal yang menempatkan kemerdekaan dan martabat rakyat sebagai poros perjuangan.⁶

Warisan Tan Malaka mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia. Dari puncak pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada 1963 hingga pengabaian sistematis pada era Orde Baru, ia menjadi simbol dari kontestasi memori sejarah dan politik ideologi bangsa.⁷ Namun kini, setelah era Reformasi, semakin banyak akademisi, sejarawan, dan generasi muda yang mulai menggali kembali pemikirannya dengan lebih jernih. Sebagaimana disampaikan oleh sejarawan Harry A. Poeze, "Tan Malaka adalah tokoh yang lebih besar dari sejarah yang diberikan padanya."_⁸

Dengan demikian, pembacaan ulang terhadap pemikiran Tan Malaka bukan hanya penting untuk tujuan akademik, tetapi juga untuk memperkaya khazanah ideologi kebangsaan Indonesia. Di tengah tantangan zaman yang menuntut keberanian berpikir dan kemandirian berpandangan, pemikiran revolusioner Tan Malaka masih relevan sebagai inspirasi untuk membangun bangsa yang bebas, berdaulat, dan tercerahkan.


Footnotes

[1]                Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1 (Yogyakarta: Narasi, 2007), 80–81.

[2]                Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine Press, 1925), 3.

[3]                Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 92–93.

[4]                Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xiii–xiv.

[5]                Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 282–283.

[6]                Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 87.

[7]                Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999), 119.

[8]                Poeze, Tan Malaka, Jilid 1, 12.


Daftar Pustaka

Anderson, B. R. O'G. (1972). Java in a time of revolution: Occupation and resistance, 1944–1946. Cornell University Press.

Anderson, B. R. O'G. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.

Gie, S. H. (1999). Di bawah lentera merah (Cet. ke-2). LP3ES.

McVey, R. T. (1965). The rise of Indonesian communism. Cornell University Press.

Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi Indonesia: 1945–1949 (Vol. 1–3). Yayasan Obor Indonesia.

Republik Indonesia. (1963). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1963 tentang Penetapan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.

Sukarno. (2001). Revolusi belum selesai: Kumpulan pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 (B. Setiyono, Ed.). Kompas.

Tan Malaka. (1925). Naar de Republiek Indonesia. Klandestine Press.

Tan Malaka. (1943). Madilog: Materialisme, dialektika, logika. Pustaka Rakyat.

Tan Malaka. (2007). Dari penjara ke penjara (Vol. 1–2). Narasi.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar