Pemikiran Tan Malaka
Fondasi Intelektual Sang Bapak Republik Indonesia
Alihkan ke: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
revolusioner Tan Malaka, seorang tokoh pergerakan nasional yang dijuluki “Bapak
Republik Indonesia”. Melalui penelusuran terhadap karya-karyanya seperti Naar
de Republiek Indonesia dan Madilog, artikel ini menyoroti kontribusi
Tan Malaka dalam membangun fondasi intelektual perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ia merupakan pelopor konsep republik yang menyerukan kemerdekaan penuh tanpa
kompromi sejak jauh sebelum Proklamasi 1945. Selain itu, melalui Madilog,
Tan Malaka menawarkan pendekatan filsafat rasional berbasis materialisme,
dialektika, dan logika, sebagai upaya pencerahan terhadap cara berpikir
masyarakat Indonesia. Pandangan politiknya yang radikal dan strategi
revolusinya yang menolak jalan diplomasi menempatkannya dalam posisi
kontroversial, baik di mata pemerintah kolonial maupun elite nasionalis
moderat. Meskipun selama era Orde Baru namanya terpinggirkan, pemikiran dan
perjuangan Tan Malaka kembali mendapatkan tempat dalam diskursus akademik dan
nasional pasca-reformasi. Artikel ini bertujuan untuk menempatkan pemikiran Tan
Malaka dalam konteks sejarah yang adil serta mengungkap relevansi
intelektualnya bagi masa kini.
Kata Kunci: Tan Malaka, republik, Madilog, revolusi, pemikiran
politik Indonesia, kemerdekaan, filsafat, sejarah nasional.
PEMBAHASAN
Pemikiran Revolusioner Tan Malaka Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia tidak hanya dipenuhi oleh aksi heroik di medan tempur,
tetapi juga oleh pergulatan pemikiran yang melahirkan arah dan visi bangsa. Di
antara tokoh-tokoh pemikir revolusioner yang memberi sumbangsih besar terhadap
cita-cita Indonesia merdeka adalah Tan Malaka—seorang aktivis politik, filsuf,
dan penulis, yang oleh Bung Karno sendiri dijuluki sebagai “Bapak
Republik Indonesia” dalam pidato tahun 1945 di hadapan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).¹ Julukan ini bukan semata retoris, tetapi mencerminkan
betapa pentingnya peran Tan Malaka dalam merumuskan konsep kemerdekaan
Indonesia yang bebas dari pengaruh kolonialisme dan kompromi politik.
Tan Malaka adalah
sosok yang unik dan kompleks. Ia dikenal sebagai tokoh pergerakan kiri, namun
juga seorang nasionalis tulen yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia secara
total. Sejak awal abad ke-20, ia telah memperlihatkan pemikiran yang jauh melampaui zamannya, dengan mengusung gagasan
tentang republik, pendidikan kritis, serta emansipasi sosial. Pemikirannya
tercermin dalam berbagai karyanya, seperti Naar de Republiek Indonesia (1925),
yang secara eksplisit menyuarakan cita-cita republik, dan Madilog
(1943), yang merupakan karya filsafat dan ilmu pengetahuan dengan pendekatan
materialisme, dialektika dan logika.²
Pemikiran-pemikiran
Tan Malaka seringkali dipinggirkan dalam narasi arus utama sejarah Indonesia
karena asosiasinya dengan komunisme. Namun demikian, peninjauan ulang terhadap
karya dan kiprahnya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar seorang ideolog kiri,
tetapi seorang pemikir independen yang menggabungkan unsur-unsur sosialisme,
nasionalisme, dan rasionalisme secara kontekstual dan kreatif.³ Ia menentang
segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan intelektual, dan dengan lantang
mengkritik sistem pendidikan kolonial yang menurutnya menciptakan inlander
yang tak berdaya secara mental dan sosial.⁴
Dalam konteks
inilah, artikel ini hadir untuk mengkaji pemikiran Tan Malaka secara menyeluruh
dan objektif. Pembahasan ini mencakup kontribusi intelektualnya terhadap
gagasan republik, strategi revolusi, serta pengembangan rasionalitas ilmiah
melalui Madilog.
Dengan menggali lebih dalam pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam tulisan-tulisannya
maupun dalam rekam jejak perjuangannya, kita dapat memahami bahwa Tan Malaka
bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan fondasi intelektual yang berperan
penting dalam membentuk arah perjuangan bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Sukarno, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno
30 September 1965, ed. Budi Setiyono (Jakarta: Kompas, 2001), 212.
[2]
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine
Press, 1925); Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943).
[3]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
1945–1949, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 24–25.
[4]
Tan Malaka, Madilog, 25–30.
2.
Biografi Singkat Tan Malaka
Tan Malaka, yang
bernama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka, lahir
pada 2 Juni
1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Lima
Puluh Kota, Sumatra Barat. Ia berasal dari keluarga Minangkabau
yang memiliki tradisi pendidikan Islam yang kuat, namun terbuka terhadap
pendidikan Barat. Ayahnya adalah seorang guru dan pejabat desa, dan dari
lingkungan ini Tan Malaka kecil tumbuh dengan kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan.¹
Pendidikan awalnya
dimulai di Sekolah Rakyat Belanda (ELS),
kemudian berlanjut ke Kweekschool di Bukittinggi—sebuah
sekolah guru yang diperuntukkan bagi bumiputra. Karena kecerdasannya, ia
memperoleh beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan studi ke Rijkskweekschool
di Haarlem, Belanda, pada tahun 1913.² Di sinilah ia mulai bersentuhan
dengan pemikiran sosialisme, Marxisme, dan gerakan revolusioner yang berkembang
di Eropa kala itu.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya, Tan Malaka kembali ke Hindia Belanda dan sempat
mengajar di DS (Delftse School) di Medan.
Namun, pengaruh pemikiran kiri yang ia pelajari di Belanda membuatnya semakin
aktif dalam gerakan politik. Ia kemudian terlibat dalam Sarekat
Islam Merah dan menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging
(ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).³ Pada 1921,
ia dikirim ke Moskwa sebagai perwakilan Komintern untuk Asia Tenggara.⁴
Namun, hubungan Tan
Malaka dengan Komintern dan PKI tidak berlangsung mulus. Ia berselisih paham
dengan strategi Komintern yang cenderung dogmatis dan tidak memperhatikan
konteks lokal perjuangan di Indonesia. Akibatnya, ia dikeluarkan dari lingkaran
resmi PKI dan memilih jalur perjuangan independen melalui jalur yang ia sebut
sebagai “revolusi
nasional”.⁵ Dalam perjalanannya yang penuh intrik, ia hidup sebagai
buronan politik dan menggunakan berbagai nama samaran saat bergerak di berbagai
negara seperti Filipina, Thailand, Birma, Tiongkok, bahkan Jerman.
Meski hidup di
pengasingan, Tan Malaka tetap aktif menulis dan menyusun strategi perjuangan
kemerdekaan. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia pada
tahun 1925, yang menjadi salah satu teks pertama yang secara eksplisit
menyerukan kemerdekaan penuh Indonesia dalam bentuk republik.⁶ Selain itu, saat
bersembunyi di daerah Batu, Malang, pada masa pendudukan Jepang, ia menulis
karya monumentalnya, Madilog, yang menggabungkan
materialisme, dialektika, dan logika sebagai dasar berpikir ilmiah dan
revolusioner.⁷
Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka kembali ke tanah air dan berperan aktif dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia membentuk organisasi Persatuan
Perjuangan, yang berisi kalangan militer dan sipil yang
menuntut kemerdekaan 100% tanpa kompromi dengan Belanda.⁸ Namun, sikapnya yang
keras terhadap politik kompromi membuatnya bersitegang dengan pemerintah Sutan
Sjahrir. Ia bahkan sempat ditangkap oleh pemerintah RI, sebelum akhirnya
dibebaskan. Pada tahun 1949, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi
secara rahasia oleh aparat militer Divisi Siliwangi di daerah Kediri, Jawa
Timur, tanpa proses hukum.⁹
Baru pada tahun 1963,
pemerintah Indonesia secara resmi mengakui Tan Malaka sebagai Pahlawan
Nasional, meskipun namanya tetap menjadi sosok yang
kontroversial karena afiliasinya dengan gerakan kiri.¹⁰ Namun tak dapat
disangkal, pemikiran dan perjuangannya menjadi bagian penting dari fondasi
intelektual bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia:
1945–1949, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 5–6.
[2]
Benedict R. O'G. Anderson, Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 103.
[3]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 60–65.
[4]
Ibid., 74–75.
[5]
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1 (Yogyakarta:
Narasi, 2007), 121–124.
[6]
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine
Press, 1925), 3–5.
[7]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xi–xiii.
[8]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Jilid 2, 237–240.
[9]
Ibid., Jilid 3, 497–499.
[10]
Surat Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1963 tentang Penetapan Tan
Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
3.
Konsep Republik dalam Pandangan Tan Malaka
Tan Malaka merupakan
tokoh pertama dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia yang secara eksplisit
menggagas dan menyerukan bentuk negara republik sebagai
cita-cita kemerdekaan. Gagasan ini tertuang dalam karya monumentalnya berjudul Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), yang ditulis pada
tahun 1925 di Berlin ketika ia hidup dalam pengasingan.¹ Buku ini ditulis dalam
bahasa Belanda, bahasa internasional saat itu, agar dapat menjangkau pembaca
luas di kalangan intelektual Eropa dan Asia, sekaligus menunjukkan bahwa
perjuangan Indonesia bukan hanya persoalan lokal, tetapi bagian dari perlawanan
global terhadap kolonialisme.²
Dalam karya
tersebut, Tan Malaka menolak secara tegas segala bentuk penjajahan, baik fisik
maupun ekonomi, serta memperingatkan bahayanya sistem kompromi yang pada
akhirnya akan menghambat tercapainya kemerdekaan sejati. Ia tidak menginginkan
bentuk negara boneka atau dominion (negara persemakmuran) seperti yang terjadi
di India dan Filipina pada masa itu. Bagi Tan Malaka, satu-satunya bentuk
negara yang bisa menjamin kemerdekaan hakiki bagi rakyat Indonesia adalah republik,
yakni negara yang berdiri di atas kedaulatan rakyat, bebas dari cengkeraman
kolonial dan kapitalisme asing.³
Konsep republik yang
ditawarkan oleh Tan Malaka bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi juga
mencerminkan pandangan ideologis dan filosofis
yang menekankan kemerdekaan total, keadilan sosial, dan pembebasan rakyat dari
kebodohan serta penindasan. Ia melihat bahwa pembentukan republik harus
didasarkan pada kesadaran kolektif rakyat yang tercerahkan, bukan sekadar
transisi kekuasaan dari penjajah ke elite lokal. Oleh karena itu, perjuangan
menuju republik harus dilandasi oleh revolusi pendidikan dan perubahan cara
berpikir bangsa.⁴
Tan Malaka
mengkritik keras strategi perjuangan yang bersifat elitis
dan reformis, yang hanya menuntut perbaikan dalam sistem
kolonial. Ia menyebut bahwa pendekatan kompromistis semacam itu hanya akan
melanggengkan dominasi asing dalam bentuk baru. Dalam pandangannya, republik
Indonesia harus diperjuangkan dengan jalan revolusi nasional yang radikal,
melibatkan rakyat secara luas dan dipimpin oleh kekuatan progresif yang
memahami kondisi objektif masyarakat Indonesia.⁵
Gagasan Tan Malaka
tentang republik ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia terinspirasi oleh
berbagai revolusi dunia, seperti Revolusi Bolshevik di Rusia (1917)
dan Revolusi
Tiongkok (1911), namun ia tidak menirunya secara membabi buta.
Ia justru mengembangkan gagasan republik yang sesuai dengan konteks
Indonesia, sebuah negara yang plural, agraris, dan masih
terikat kuat oleh struktur feodal dan kolonial. Dalam hal ini, Tan Malaka dapat
dikatakan sebagai pelopor nasionalisme radikal, yang
tidak hanya menuntut kemerdekaan politik, tetapi juga transformasi
sosial-ekonomi secara menyeluruh.⁶
Menariknya, ide Tan
Malaka tentang republik muncul jauh sebelum Proklamasi 1945 dan
bahkan mendahului keputusan BPUPKI dan PPKI tentang bentuk negara. Ini
menunjukkan bahwa Tan Malaka telah memiliki visi yang jauh ke depan. Meski
kemudian namanya tidak banyak disebut dalam dokumen resmi negara, pengaruh
pemikirannya tetap terasa dalam semangat revolusioner dan republikanisme yang
menjadi roh awal Republik Indonesia.⁷
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine
Press, 1925), v.
[2]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 91–93.
[3]
Ibid., 95–96.
[4]
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, 10–15.
[5]
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1 (Yogyakarta:
Narasi, 2007), 72–75.
[6]
Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and
Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 138–139.
[7]
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999),
28–29.
4.
Pemikiran Filsafat dan Ilmu Pengetahuan:
Madilog
Salah satu
kontribusi paling penting Tan Malaka dalam ranah intelektual adalah karya
filsafatnya yang berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika,
ditulis pada tahun 1943 ketika ia bersembunyi dari kejaran tentara Jepang di
Batu, Malang, Jawa Timur.¹ Dalam karya ini, Tan Malaka tidak hanya menunjukkan
kapasitasnya sebagai aktivis politik, tetapi juga sebagai pemikir
filosofis dan ilmuwan yang berpandangan jauh ke depan, yang
mencoba membangun fondasi berpikir rasional dan ilmiah bagi bangsa Indonesia.
4.1.
Madilog: Upaya Rasionalisasi Cara Berpikir
Bangsa
Tan Malaka menulis Madilog
dengan tujuan utama: membangun cara berpikir ilmiah dan logis
di tengah masyarakat Indonesia yang menurutnya masih banyak terjebak dalam cara
berpikir mistik dan feodal.² Ia menyadari bahwa perjuangan fisik dan politik
tidak akan cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan cara berpikir. Dalam
kata pengantar Madilog, ia menegaskan bahwa "pengetahuan
filsafat, ilmu pengetahuan alam dan logika adalah senjata pemikiran dalam
revolusi nasional."_³
Madilog
merupakan akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika,
tiga pilar utama dalam pendekatan epistemologis yang ia bangun. Ia mengadopsi materialisme
dialektis sebagai kerangka filsafat, yang dipengaruhi oleh
pemikiran Karl Marx, Friedrich Engels, dan filsuf Jerman lainnya seperti Hegel
dan Feuerbach. Namun, Tan Malaka tidak menelan mentah-mentah ajaran Barat
tersebut. Ia menyusun ulang pendekatan itu agar sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang agraris, kolonial, dan memiliki budaya mistik yang
kuat.⁴
4.2.
Materialisme: Mendasarkan Kebenaran pada
Realitas Fisik
Materialisme dalam Madilog
adalah landasan bahwa segala pengetahuan harus berpijak pada realitas
konkret, bukan pada mitos atau metafisika. Bagi Tan Malaka,
segala fenomena sosial, politik, dan ekonomi harus dijelaskan secara objektif
melalui pengamatan terhadap dunia nyata, bukan melalui takhayul atau keyakinan
turun-temurun yang tidak rasional.⁵
4.3.
Dialektika: Melihat Perubahan sebagai Proses
Sejarah
Dalam dialektika,
Tan Malaka menekankan pentingnya proses dan kontradiksi sebagai
dinamika perubahan sosial. Ia mengajak pembaca untuk melihat bahwa realitas
tidak bersifat statis, tetapi terus berubah karena adanya pertentangan antar
unsur dalam masyarakat. Dengan dialektika, rakyat Indonesia diajak untuk
memahami sejarah sebagai medan perjuangan antara kelas tertindas dan penindas.⁶
4.4.
Logika: Alat Analisis dan Pembebasan
Intelektual
Bagian logika dalam Madilog
menjadi elemen penting yang menunjukkan kepedulian Tan Malaka terhadap pendidikan
nalar. Ia mengkritik sistem pendidikan kolonial yang menurutnya
tidak melatih siswa berpikir kritis dan analitis, tetapi sekadar menghafal
dogma. Ia mendorong penggunaan logika formal untuk memperkuat argumen dan
membebaskan bangsa dari cara berpikir magis dan dogmatis.⁷
4.5.
Madilog sebagai Proyek Pencerahan Indonesia
Madilog
dapat dilihat sebagai proyek pencerahan intelektual
(enlightenment) yang mencoba menciptakan manusia Indonesia baru—yang berpikir
kritis, rasional, dan ilmiah.⁸ Dalam konteks kolonial saat itu, proyek ini
sangat radikal, karena tidak hanya menantang struktur kekuasaan politik, tetapi
juga struktur kognitif masyarakat. Dengan Madilog, Tan Malaka meletakkan
dasar bagi revolusi mental yang mendahului
jargon serupa di masa Indonesia modern.
Meski tidak mudah
dipahami oleh pembaca awam dan ditulis dalam gaya yang berat, Madilog
tetap menjadi karya monumental dalam sejarah filsafat Indonesia. Bahkan,
menurut Ben Anderson, buku ini adalah salah satu usaha paling ambisius dari tokoh
Asia Tenggara untuk menyusun teori filsafat dan epistemologi
yang berbasis pada pengalaman lokal namun berpandangan global.⁹
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xi.
[2]
Ibid., xii–xiv.
[3]
Ibid., xiii.
[4]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 204–207.
[5]
Tan Malaka, Madilog, 15–20.
[6]
Ibid., 45–48.
[7]
Ibid., 60–64.
[8]
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999),
97–99.
[9]
Benedict R. O'G. Anderson, Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 106.
5.
Strategi Revolusi dan Pandangan Politik
Dalam pandangan Tan
Malaka, kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai melalui jalan damai atau
kompromi politik dengan penjajah, melainkan harus diperjuangkan lewat revolusi
nasional yang radikal dan menyeluruh. Revolusi, bagi Tan
Malaka, adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari
cengkeraman kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme.¹ Ia menekankan
pentingnya mobilisasi rakyat secara luas, khususnya kelas buruh dan tani,
sebagai basis kekuatan revolusi.²
5.1.
Anti-Kompromi: "100% Merdeka"
Salah satu prinsip
utama dalam strategi politik Tan Malaka adalah penolakan terhadap kompromi dengan penjajah,
yang ia anggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Semboyan “100% Merdeka” menjadi simbol
sikap revolusionernya yang menolak segala bentuk dominasi, baik dalam bentuk
perjanjian politik, kerjasama ekonomi, maupun pengaruh kultural asing.³ Dalam
hal ini, Tan Malaka berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya seperti Sutan
Sjahrir dan Mohammad Hatta yang lebih memilih strategi diplomasi. Ia
berpendapat bahwa kemerdekaan yang diperoleh melalui kompromi
akan melahirkan kemerdekaan semu, yang tetap berada di bawah
bayang-bayang kekuatan asing.⁴
5.2.
Persatuan Perjuangan dan Tentara Rakyat
Pasca proklamasi
1945, Tan Malaka membentuk organisasi Persatuan Perjuangan pada awal
1946, yang menjadi wadah bagi kelompok revolusioner termasuk kalangan militer
seperti Jenderal Sudirman. Organisasi ini menuntut agar pemerintah tidak
melakukan perundingan dengan Belanda sebelum kedaulatan sepenuhnya diakui.⁵ Tan
Malaka mendorong terbentuknya tentara rakyat, bukan tentara
profesional kolonial, sebagai kekuatan utama revolusi yang bertumpu pada massa
rakyat dan ideologi perjuangan.⁶ Ia percaya bahwa kekuatan militer sejati harus
muncul dari rakyat yang terdidik secara politis dan ideologis, bukan sekadar
alat kekuasaan negara.
Konflik muncul
ketika Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan menolak keras Perjanjian
Linggarjati (1946) yang dianggapnya sebagai bentuk kompromi
yang mengkhianati semangat proklamasi. Akibat sikapnya tersebut, ia ditangkap
oleh pemerintah Sutan Sjahrir pada Maret 1946 atas tuduhan
mengganggu stabilitas negara, meskipun kemudian dibebaskan setelah mendapat dukungan
dari sebagian militer.⁷
5.3.
Kritik terhadap PKI dan Komintern
Meskipun pernah
menjadi tokoh penting dalam Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan mewakili Asia Tenggara di Komintern (Komunis Internasional),
Tan Malaka tidak pernah menjadi seorang dogmatis. Ia bahkan mengkritik PKI
karena dinilainya terlalu tunduk pada arahan Komintern dan tidak memahami
kondisi objektif perjuangan di Indonesia.⁸ Salah satu momen penting adalah
ketika Tan Malaka menentang pemberontakan PKI tahun 1926–1927, yang menurutnya
prematur dan tidak memiliki basis massa yang kuat. Kritik tersebut menyebabkan
Tan Malaka dikeluarkan dari Komintern dan dianggap “pengkhianat” oleh
sebagian kalangan komunis internasional.⁹
Dalam bukunya Dari
Penjara ke Penjara, Tan Malaka menyatakan bahwa perjuangan
revolusioner harus dilandasi oleh analisis konkret terhadap kondisi konkret
(concrete
analysis of the concrete situation), bukan sekadar mengikuti diktum
ideologi asing.¹⁰ Dengan demikian, ia memposisikan dirinya sebagai tokoh yang merdeka
secara intelektual dan politis, yang menjadikan kepentingan
nasional sebagai landasan utama perjuangan.
5.4.
Revolusi sebagai Proses Mendidik Bangsa
Bagi Tan Malaka,
revolusi bukan hanya pergolakan senjata, melainkan juga proses
pendidikan politik rakyat. Ia percaya bahwa kemerdekaan hanya
akan bermakna apabila rakyat memiliki kesadaran politik dan kemampuan berpikir
kritis. Oleh karena itu, strategi revolusinya selalu dibarengi dengan
pembangunan kesadaran intelektual dan ideologis, sebagaimana yang ia tuangkan
dalam Madilog.¹¹
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 2 (Yogyakarta:
Narasi, 2007), 188–190.
[2]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), 47–48.
[3]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
Jilid 2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 217–220.
[4]
Ibid., 222–223.
[5]
Ibid., 231–234.
[6]
Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation
and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972), 280.
[7]
Poeze, Tan Malaka, Jilid 2, 247–250.
[8]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 84–86.
[9]
Ibid., 87–88.
[10]
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1, 143–145.
[11]
Tan Malaka, Madilog, 73–75.
6.
Warisan Pemikiran dan Kontroversi
Pemikiran dan
perjuangan Tan Malaka meninggalkan warisan intelektual dan politik yang mendalam,
meskipun selama puluhan tahun ia berada di pinggiran narasi resmi sejarah
Indonesia. Ia adalah sosok pemikir independen yang memadukan nasionalisme
radikal, semangat revolusioner, dan nalar ilmiah dalam kerangka yang menyatu.
Namun demikian, pemikirannya juga mengundang kontroversi, baik pada zamannya
maupun dalam studi sejarah Indonesia modern.
6.1.
Kontribusi Terhadap Gerakan Nasional
Tan Malaka adalah
salah satu tokoh yang pertama kali mengartikulasikan kemerdekaan
Indonesia dalam bentuk republik secara terbuka dan konsisten,
jauh sebelum Proklamasi 1945.¹ Gagasannya telah memengaruhi cara berpikir
generasi pergerakan tentang makna kebebasan dan kedaulatan, bukan hanya secara
politik, tetapi juga secara sosial dan intelektual. Meskipun tidak selalu
berada dalam struktur formal pemerintahan, pemikirannya mengenai strategi perjuangan
rakyat dan pentingnya kesadaran kritis memberi inspirasi bagi berbagai
kelompok, termasuk para pemuda dan kalangan militer revolusioner.²
Melalui Madilog,
ia turut meletakkan fondasi awal bagi rasionalisme dan budaya berpikir ilmiah
di Indonesia, suatu usaha langka dan sangat berani di tengah dominasi
feodalisme dan kolonialisme.³ Konsep-konsep Tan Malaka mengenai logika,
materialisme, dan dialektika menjadi referensi penting bagi diskursus
intelektual kiri di Asia Tenggara, bahkan hingga ke generasi pascakolonial.
6.2.
Kontroversi Sejarah dan Ideologis
Namun demikian,
warisan Tan Malaka tidak lepas dari kontroversi, terutama karena asosiasinya
dengan gerakan komunis internasional dan keterlibatannya dalam
fase awal PKI serta Komintern.⁴ Meskipun pada akhirnya ia mengkritik keras
taktik PKI dan memilih jalur nasionalis-revolusioner yang mandiri, stigmatisasi
terhadap komunisme membuat namanya tersisih dari narasi resmi sejarah Orde Baru.
Dalam kurikulum pendidikan nasional selama rezim tersebut, Tan Malaka nyaris
tak disebut, atau jika disebut, hanya secara negatif.⁵
Kontroversi juga
muncul dari kalangan nasionalis moderat dan religius, yang menilai
pendekatannya terlalu revolusioner dan berpotensi mengganggu stabilitas
nasional. Pandangannya yang tegas terhadap anti-kompromi sering kali
dipersepsikan sebagai sikap keras kepala dan kurang pragmatis.⁶ Namun, seiring
waktu, semakin banyak sejarawan yang meninjau ulang peran dan pemikirannya
secara objektif dan proporsional.
6.3.
Pengakuan dan Rehabilitasi Historis
Baru pada tahun 1963,
Tan Malaka secara resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 53 Tahun 1963.⁷ Pengakuan ini
datang dari Presiden Soekarno, yang sebelumnya telah menyebut Tan Malaka
sebagai Bapak
Republik Indonesia dalam pidatonya di hadapan KNIP.⁸ Namun
ironisnya, setelah Soekarno digulingkan dan Orde Baru berkuasa, penokohan Tan
Malaka kembali dibekukan karena trauma terhadap komunisme dan kebijakan politik
sejarah yang represif.
Dalam dua dekade
terakhir, terutama setelah Reformasi 1998, minat akademik terhadap Tan Malaka kembali
meningkat. Karya-karyanya mulai diterbitkan ulang, biografi
ilmiah ditulis, dan diskusi publik mengenai kontribusinya menjadi semakin
terbuka. Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang mengabdikan sebagian besar
hidupnya untuk meneliti Tan Malaka, menyatakan bahwa Tan Malaka adalah “salah
satu tokoh paling kompleks dan paling diremehkan dalam sejarah perjuangan
Indonesia.”_⁹
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine
Press, 1925), 2–3.
[2]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
Jilid 2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 204–205.
[3]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xiii–xiv.
[4]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 74–78.
[5]
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999),
113.
[6]
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 106–107.
[7]
Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1963 tentang
Penetapan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
[8]
Sukarno, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno
30 September 1965, ed. Budi Setiyono (Jakarta: Kompas, 2001), 212.
[9]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Jilid 1, 12.
7.
Kesimpulan
Tan Malaka menempati
posisi yang sangat penting dalam sejarah intelektual dan politik Indonesia
modern. Sebagai seorang pemikir, aktivis, dan revolusioner, ia memberikan
kontribusi yang tidak ternilai dalam membentuk gagasan dasar tentang kemerdekaan,
kedaulatan rakyat, dan pembangunan cara berpikir kritis dalam
konteks bangsa yang sedang berjuang membebaskan diri dari kolonialisme.¹
Melalui karya
seperti Naar de
Republiek Indonesia, Tan Malaka tampil sebagai pelopor
konsep republik jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan
menyerukan kemerdekaan penuh dan tanpa kompromi.² Ia menolak segala bentuk
dominasi asing dan berjuang untuk negara yang berdaulat atas kehendak rakyatnya
sendiri, bukan negara boneka yang dibentuk oleh kesepakatan kolonial.³
Pandangannya tersebut tidak hanya politis, melainkan juga ideologis dan
filosofis—sebuah seruan untuk pembebasan total.
Dalam Madilog,
Tan Malaka menunjukkan bahwa revolusi sejati harus dimulai dari transformasi
cara berpikir. Ia mengajukan dasar filsafat materialisme,
dialektika, dan logika untuk menggantikan cara berpikir mistik dan dogmatis
yang menurutnya telah lama menghambat kemajuan bangsa.⁴ Pemikirannya membuka
jalan bagi rasionalisme lokal yang berbasis pada konteks
Indonesia, namun tetap selaras dengan tradisi filsafat dunia.
Strategi
perjuangannya yang menekankan perlawanan bersenjata dan penolakan terhadap
kompromi seringkali membuatnya diposisikan sebagai tokoh
ekstrem. Namun, justru dari keteguhan prinsip itulah muncul integritas
ideologis yang membedakannya dari banyak tokoh sezamannya.⁵ Ia bukan hanya
seorang komunis, bukan sekadar nasionalis, tetapi seorang revolusioner orisinal
yang menempatkan kemerdekaan dan martabat rakyat sebagai poros
perjuangan.⁶
Warisan Tan Malaka
mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia. Dari puncak pengakuan sebagai
Pahlawan Nasional pada 1963 hingga pengabaian sistematis pada era Orde Baru, ia
menjadi simbol dari kontestasi memori sejarah dan politik ideologi
bangsa.⁷ Namun kini, setelah era Reformasi, semakin banyak
akademisi, sejarawan, dan generasi muda yang mulai menggali kembali
pemikirannya dengan lebih jernih. Sebagaimana disampaikan oleh sejarawan Harry
A. Poeze, "Tan Malaka adalah tokoh yang lebih besar dari sejarah yang
diberikan padanya."_⁸
Dengan demikian,
pembacaan ulang terhadap pemikiran Tan Malaka bukan hanya penting untuk tujuan
akademik, tetapi juga untuk memperkaya khazanah ideologi kebangsaan Indonesia.
Di tengah tantangan zaman yang menuntut keberanian berpikir dan kemandirian
berpandangan, pemikiran revolusioner Tan Malaka masih relevan sebagai inspirasi
untuk membangun bangsa yang bebas, berdaulat, dan tercerahkan.
Footnotes
[1]
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid 1 (Yogyakarta:
Narasi, 2007), 80–81.
[2]
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Berlin: Klandestine
Press, 1925), 3.
[3]
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 92–93.
[4]
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika
(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1943), xiii–xiv.
[5]
Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation
and Resistance, 1944–1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972),
282–283.
[6]
Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell
University Press, 1965), 87.
[7]
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Jakarta: LP3ES, 1999),
119.
[8]
Poeze, Tan Malaka, Jilid 1, 12.
Daftar Pustaka
Anderson, B. R. O'G. (1972). Java in a time of
revolution: Occupation and resistance, 1944–1946. Cornell University Press.
Anderson, B. R. O'G. (1990). Language and power:
Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.
Gie, S. H. (1999). Di bawah lentera merah
(Cet. ke-2). LP3ES.
McVey, R. T. (1965). The rise of Indonesian
communism. Cornell University Press.
Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, gerakan kiri,
dan revolusi Indonesia: 1945–1949 (Vol. 1–3). Yayasan Obor Indonesia.
Republik Indonesia. (1963). Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1963 tentang Penetapan Tan Malaka sebagai
Pahlawan Nasional.
Sukarno. (2001). Revolusi belum selesai:
Kumpulan pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 (B. Setiyono, Ed.).
Kompas.
Tan Malaka. (1925). Naar de Republiek Indonesia.
Klandestine Press.
Tan Malaka. (1943). Madilog: Materialisme,
dialektika, logika. Pustaka Rakyat.
Tan Malaka. (2007). Dari penjara ke penjara
(Vol. 1–2). Narasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar