Eksperimen Milgram
Antara Kepatuhan, Otoritas,
dan Nurani Manusia
Alihkan ke: Filsafat Moral.
Kepatuhan, Free Will, Kebebasan, Eksperimen Libet, Kesadaran, Moralitas.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif Eksperimen Milgram yang
dilakukan pada awal 1960-an oleh Stanley Milgram di Universitas Yale, sebagai
salah satu penelitian paling berpengaruh dalam psikologi sosial modern.
Eksperimen ini dirancang untuk menguji sejauh mana individu bersedia menaati
perintah figur otoritas, meskipun perintah tersebut bertentangan dengan nurani
dan moralitas pribadi. Melalui enam bab utama, artikel ini menelusuri konteks
historis dan teoritis lahirnya eksperimen, rancangan metodologi, temuan
empiris, serta analisis terhadap variasi situasional yang memengaruhi tingkat
kepatuhan. Selain menyoroti implikasi psikologis, artikel ini juga membahas
kontroversi metodologis dan etis yang muncul, termasuk perdebatan mengenai
validitas eksternal dan penggunaan penipuan dalam penelitian.
Lebih lanjut, artikel ini menguraikan relevansi eksperimen Milgram dalam
konteks sosial, politik, dan organisasi, baik pada masa lalu maupun masa kini.
Dari fenomena kepatuhan birokratis dalam rezim otoriter hingga kepatuhan dalam
dunia bisnis dan teknologi modern, eksperimen ini tetap menjadi lensa penting
untuk memahami dinamika hubungan antara individu, otoritas, dan tanggung jawab
moral. Artikel ini menyimpulkan bahwa warisan sejati dari eksperimen Milgram
bukan hanya pada sumbangan ilmiahnya dalam psikologi sosial, tetapi juga pada
pesan moralnya: perlunya keberanian individu untuk menolak perintah yang tidak
adil demi menjaga integritas nurani dalam menghadapi otoritas.
Kata Kunci: Eksperimen Milgram; kepatuhan; otoritas; psikologi sosial; nurani; etika
penelitian; agentic state; birokrasi; otoritarianisme; relevansi kontemporer.
PEMBAHASAN
Eksperimen Milgram oleh Stanley
Milgram di Universitas Yale
1.
Pendahuluan
Eksperimen kepatuhan yang dirancang Stanley Milgram pada awal 1960-an
merupakan salah satu studi paling berpengaruh—sekaligus paling
kontroversial—dalam psikologi sosial modern. Berangkat dari pertanyaan
pasca-Perang Dunia II tentang bagaimana “orang biasa” dapat terlibat
dalam tindakan yang bertentangan dengan nurani saat berada di bawah perintah
otoritas, Milgram merancang skenario laboratorium yang tampak sederhana:
peserta (sebagai “guru”) diminta memberikan kejutan listrik (sebenarnya
palsu) kepada “murid” setiap kali terjadi kesalahan, sementara seorang
peneliti berjas putih menegaskan agar prosedur dilanjutkan.¹ Temuan utamanya
mengguncang intuisi moral banyak orang—sekitar 65% peserta menekan tombol
hingga tingkat tertinggi (450 volt) ketika diarahkan oleh figur otoritas—dan
sejak itu menjadi rujukan klasik tentang kuatnya pengaruh situasi dan struktur
otoritas terhadap perilaku manusia.² Temuan ini menegaskan bahwa kepatuhan
bukanlah anomali kepribadian segelintir individu, melainkan respons yang dapat dipicu
oleh desain situasi sosial tertentu, khususnya ketika terdapat legitimasi
institusional dan jarak psikologis dari konsekuensi perbuatan.²
Secara historis, eksperimen ini lahir dalam iklim intelektual yang
dibentuk oleh refleksi atas Holocaust serta perdebatan tentang tanggung jawab
individu di bawah rezim otoriter. Milgram—yang terinspirasi juga oleh tradisi
eksperimen konformitas Solomon Asch—menguji hipotesis bahwa tekanan situasional
dan legitimasi otoritas dapat “menunda” atau mengatasi resistensi moral
individu. Dalam rancangan klasiknya, Milgram menyusun shock generator
bertingkat dari 15 hingga 450 volt, dengan label “Slight Shock” hingga “Danger:
Severe Shock”, serta prosedur standar berupa serangkaian desakan
eksperimenter (mis. “The experiment requires that you continue”).¹,²
Penataan perangkat, instruksi tetap, dan kredensial laboratorium Universitas
Yale menjadi “arsitektur situasi” yang memaksimalkan persepsi legitimasi
dan meminimalkan rasa tanggung jawab personal—kombinasi yang, sebagaimana
dilaporkan Milgram, berasosiasi dengan meningkatnya kepatuhan hingga level
ekstrem.²
Dari perspektif metodologis, studi Milgram membuka diskusi besar tentang
apa yang sebenarnya diukur sebagai “kepatuhan.” Sejumlah variasi
eksperimental menunjukkan bahwa manipulasi jarak dengan “korban”,
kedekatan atau ketiadaan figur otoritas, serta simbol legitimasi institusi
(misalnya lokasi eksperimen di Yale dibandingkan lokasi non-kampus) memengaruhi
tingkat kepatuhan.² Perbedaan antara prediksi awal para ahli (yang umumnya
memperkirakan hanya sebagian kecil orang yang akan “patuh total”) dan
hasil empiris—yakni mayoritas melanjutkan hingga voltase maksimum—menjadi bukti
kuat bias penilaian moral ketika orang berada di luar situasi tekanan otoritas
langsung.² Replikasi parsial kontemporer yang mematuhi standar etika
mutakhir—seperti studi Jerry M. Burger (2009) yang menghentikan prosedur pada “150-volt
point” (titik ambang kritis) tetapi tetap menemukan sekitar 70% peserta
bersedia melanjutkan hingga batas tersebut—menunjukkan daya tahan fenomena
kepatuhan dalam kondisi modern.³,⁴
Namun, ketenaran eksperimen Milgram juga tak terpisah dari kontroversi
etis dan metodologis. Kritikus menyoroti intensitas stres psikologis peserta,
penggunaan penipuan (deception), dan proses debriefing yang dianggap
tidak selalu memulihkan dampak emosional. Sejumlah telaah historis dan
jurnalisme ilmiah—termasuk investigasi Gina Perry—mempertanyakan praktik
pelaksanaan, dokumentasi, dan interpretasi Milgram, serta menyoroti pengalaman
peserta pasca-eksperimen yang kompleks.⁵ Debat ini berkelindan dengan
perkembangan Kode Etik APA modern yang membatasi penggunaan penipuan hanya jika
tidak ada alternatif yang layak, risikonya minimal, dan peserta didebrief
secara memadai (lihat APA Ethics Code, Standard 8.07).⁶ Wacana normatif yang
lebih luas—misalnya argumen otonomi berbasis Kantian tentang larangan
memperlakukan manusia semata sebagai alat—turut menguatkan kerangka penilaian
etis terhadap eksperimen-eksperimen serupa.⁷ Kontroversi ini, ironisnya, mempertegas
nilai historis Eksperimen Milgram: bukan semata sebagai data tentang kepatuhan,
tetapi juga sebagai katalis reformasi etika riset manusia.
Dari sisi relevansi, pembacaan ulang terhadap Milgram penting sedikitnya
dalam tiga ranah. Pertama, secara teori, ia menempatkan situational power
dan legitimasi otoritas sebagai variabel kunci yang membentuk tindakan,
menantang penjelasan yang berpusat pada “karakter jahat” individual.²
Kedua, secara praktis, pelajaran dari eksperimen ini merambah ranah organisasi,
kepemimpinan, militer, kedokteran, dan birokrasi modern—konteks di mana
hierarki dan perintah rutin dapat mendorong moral disengagement jika tak
diimbangi akuntabilitas dan budaya etis.³,⁴ Ketiga, secara normatif,
kontroversinya memaksa komunitas ilmiah membakukan perlindungan subjek
penelitian, menyempurnakan standar informed consent, pengurangan risiko,
dan keharusan debriefing yang efektif.⁶ Dengan demikian, kajian ini
tidak hanya membahas ulang temuan dan metode Milgram, tetapi juga menimbang
implikasinya terhadap pemahaman kita tentang nurani, tanggung jawab personal,
dan batas kepatuhan dalam masyarakat yang diatur oleh otoritas—tema yang tetap
aktual di tengah dinamika sosial-politik kontemporer.
Footnotes
[1]
Stanley Milgram, “Behavioral
Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4
(1963): 371–378. PDF arsip, diakses 29 Agustus 2025.
[2]
Ibid.; dan salinan reprint:
Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and
Social Psychology 67, no. 4 (1963): 371–378, arsip Universitas Columbia
(PDF), diakses 29 Agustus 2025.
[3]
Jerry M. Burger, “Replicating
Milgram: Would People Still Obey Today?,” American Psychologist 64, no.
1 (2009): 1–11, diakses 29 Agustus 2025.
[4]
A. C. Elms, “Obedience Lite,” American
Psychologist 64, no. 1 (2009): 32–36, diakses 29 Agustus 2025.
[5]
Gina Perry, Behind the Shock
Machine: The Untold Story of the Notorious Milgram Psychology Experiments
(New York: The New Press, 2013); lihat juga ulasan “Book Review: Behind the
Shock Machine,” Scientific American, 1 September 2013, diakses 29
Agustus 2025.
[6]
American Psychological
Association, “Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct,”
Standard 8.07 (Deception in Research), diakses 29 Agustus 2025.
[7]
Cristina Herrera, “Ethics,
Deception, and ‘Those Milgram Experiments,’” Philosophy Faculty Publications
(2001), Montclair State University (PDF), diakses 29 Agustus 2025.
2.
Konteks Historis dan
Teoritis
Eksperimen Milgram tidak lahir dalam
ruang hampa, melainkan merupakan respons atas kondisi sosial, politik, dan
intelektual pada pertengahan abad ke-20. Konteks historis pasca-Perang Dunia
II, refleksi atas tragedi Holocaust, dan perkembangan teori psikologi sosial
menjadi fondasi yang membentuk gagasan dasar eksperimen ini.
2.1.
Psikologi
Sosial Pasca-Perang Dunia II
Setelah Perang Dunia II, dunia ilmu
pengetahuan dihadapkan pada pertanyaan yang mengguncang nurani: bagaimana
mungkin jutaan orang biasa dapat terlibat atau setidaknya membiarkan
berlangsungnya kejahatan kolektif berskala besar seperti Holocaust? Pertanyaan
ini menimbulkan fokus penelitian psikologi sosial terhadap isu-isu otoritas,
konformitas, dan ketaatan.¹ Dalam konteks ini, eksperimen-eksperimen awal
seperti studi konformitas Solomon Asch pada 1950-an menjadi tonggak penting
yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh mayoritas terhadap penilaian individu,
bahkan dalam hal yang sederhana seperti persepsi visual.² Penemuan Asch
menunjukkan bahwa tekanan sosial mampu “menekuk” persepsi realitas
individu; Milgram kemudian melangkah lebih jauh dengan meneliti bagaimana
tekanan otoritas dapat menundukkan pertimbangan moral.
2.2.
Inspirasi
dari Holocaust dan Figur Otoritas
Faktor historis paling signifikan yang
mendorong Milgram adalah peristiwa Holocaust dan persidangan para pejabat Nazi,
khususnya Adolf Eichmann. Pada awal 1960-an, persidangan Eichmann di Yerusalem
menjadi sorotan internasional, memunculkan istilah yang kemudian populer “banalitas
kejahatan” dari Hannah Arendt.³ Eichmann digambarkan bukan sebagai monster
psikopat, melainkan sebagai birokrat yang patuh pada perintah atasan dan
mekanisme institusi. Hal inilah yang menginspirasi Milgram untuk menguji apakah
orang biasa, dalam kondisi laboratorium yang terkendali, akan menunjukkan
kepatuhan yang serupa meskipun tindakannya bertentangan dengan hati nurani.⁴
Milgram berangkat dari hipotesis bahwa
manusia memiliki kecenderungan kuat untuk menuruti perintah figur otoritas yang
sah, bahkan jika perintah tersebut menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Ia
menegaskan bahwa persoalan ketaatan bukan semata-mata masalah “karakter
jahat,” melainkan hasil interaksi antara individu dengan struktur sosial
dan legitimasi otoritas.⁵
2.3.
Landasan
Teoritis tentang Kepatuhan dan Otoritas
Sebelum Milgram, teori-teori psikologi
sosial telah menggarisbawahi pentingnya konteks sosial dalam membentuk perilaku
manusia. Kurt Lewin, misalnya, dengan konsep “field theory” menekankan
bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh interaksi antara pribadi dan
lingkungan.⁶ Dalam kerangka ini, otoritas dilihat sebagai bagian dari struktur
sosial yang mampu mengarahkan perilaku.
Milgram kemudian menghubungkan teorinya
dengan konsep agentic state, yakni kondisi psikologis ketika individu
melihat dirinya bukan sebagai pelaku moral yang independen, melainkan sebagai
agen yang menjalankan perintah otoritas.⁷ Dalam keadaan ini, tanggung jawab
moral dianggap beralih dari individu kepada figur otoritas. Teori ini
memberikan kerangka konseptual untuk memahami bagaimana orang-orang dapat
melakukan tindakan ekstrem tanpa merasa bersalah, karena mereka meyakini hanya
“menjalankan perintah.”
2.4.
Relevansi
Konteks Teoritis terhadap Desain Eksperimen
Dengan latar belakang ini, eksperimen
Milgram dirancang bukan sekadar untuk menguji kepatuhan abstrak, tetapi untuk
memberikan simulasi laboratorium atas dilema moral yang dihadapi individu
ketika otoritas menuntut tindakan yang bertentangan dengan nurani. Hubungan
dengan eksperimen Asch terlihat dari kesamaan penekanan pada kekuatan situasi
sosial, sementara inspirasi dari Holocaust memperjelas dimensi moral dan
politiknya. Dengan demikian, eksperimen ini dapat dipahami sebagai sintesis
antara refleksi historis (tragedi otoritarianisme) dan kerangka teoretis
psikologi sosial (konformitas, otoritas, dan agentic state).⁸
Footnotes
[1]
Morton Deutsch and Harold B. Gerard, “A Study of
Normative and Informational Social Influences upon Individual Judgment,” Journal
of Abnormal and Social Psychology 51, no. 3 (1955): 629–636.
[2]
Solomon E. Asch, “Opinions and Social Pressure,” Scientific
American 193, no. 5 (1955): 31–35.
[3]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on
the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).
[4]
Stanley Milgram, Obedience to Authority (New
York: Harper & Row, 1974), 3–6.
[5]
Ibid., 123–124.
[6]
Kurt Lewin, Field Theory in Social Science:
Selected Theoretical Papers (New York: Harper & Brothers, 1951).
[7]
Milgram, Obedience to Authority, 133–134.
[8]
Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The
Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004).
3.
Desain dan
Metodologi Eksperimen
Eksperimen Milgram yang dilakukan pada
awal 1960-an dirancang dengan pendekatan metodologis yang sederhana tetapi
penuh perhitungan, sehingga mampu mengungkap fenomena kepatuhan dalam konteks
laboratorium. Bab ini menguraikan latar belakang peneliti, rancangan peran dan
alat, prosedur eksperimen, serta variabel-variabel penting yang memengaruhi
hasil penelitian.
3.1.
Latar
Belakang Peneliti
Stanley Milgram adalah seorang psikolog
sosial lulusan Harvard yang pada saat eksperimen berlangsung menjadi staf
pengajar di Universitas Yale.¹ Ketertarikannya pada masalah kepatuhan dipicu
oleh persidangan Adolf Eichmann serta pertanyaan lebih luas mengenai mekanisme
psikologis di balik kejahatan otoritarianisme. Milgram merancang eksperimennya
sebagai cara sistematis untuk menguji seberapa jauh orang biasa bersedia
menuruti perintah figur otoritas, bahkan ketika perintah itu berbenturan dengan
hati nurani.²
3.2.
Deskripsi
Desain Eksperimen
Rancangan eksperimen Milgram membagi
peserta ke dalam tiga peran utama:
1)
“Guru” (Teacher) –
partisipan sebenarnya, yang diberi instruksi untuk memberikan kejutan listrik
pada setiap kesalahan jawaban.
2)
“Murid” (Learner) –
seorang aktor yang bekerja sama dengan peneliti, pura-pura menjadi subjek yang
menerima kejutan listrik.
3)
“Eksperimenter” –
figur otoritas berjas putih, yang berperan memberi instruksi agar prosedur
tetap dijalankan.³
Instrumen utama adalah sebuah shock
generator yang memiliki 30 tuas dengan voltase bertingkat dari 15 hingga
450 volt, dilabeli mulai dari “Slight Shock” hingga “Danger: Severe
Shock.” Di atas 375 volt, alat tersebut diberi tanda khusus yang menekankan
bahaya serius. Meski sebenarnya tidak ada kejutan yang diberikan, desain alat
yang realistis membuat partisipan percaya bahwa mereka benar-benar sedang
menyebabkan penderitaan pada “murid.”⁴
3.3.
Prosedur
Eksperimen
Eksperimen dilaksanakan di laboratorium
Universitas Yale dengan skenario sebagai berikut:
·
Partisipan diundi untuk
menentukan peran, namun pengundian dimanipulasi sehingga partisipan selalu
menjadi “guru.”
·
“Murid” dipasangkan
elektroda dan ditempatkan di ruangan terpisah. Partisipan kemudian menyaksikan
prosedur ini agar lebih meyakini keasliannya.⁵
·
Tugas partisipan adalah
membaca daftar pasangan kata. Jika “murid” salah menjawab, “guru”
diperintahkan menekan tuas untuk memberikan kejutan listrik dengan voltase
meningkat setiap kali.
·
Ketika voltase meningkat, “murid”
mulai menunjukkan tanda kesakitan, protes keras, hingga akhirnya diam total
setelah 330 volt. Semua respons ini adalah rekayasa yang diputar melalui
rekaman suara.⁶
Apabila partisipan ragu atau menolak
melanjutkan, eksperimenter memberikan empat prods standar:
1)
“Please continue.”
2)
“The experiment
requires that you continue.”
3)
“It is absolutely
essential that you continue.”
4)
“You have no other
choice; you must go on.”⁷
Eksperimen berhenti jika partisipan
tetap menolak setelah prods tersebut, atau jika mereka mencapai level maksimum
450 volt.
3.4.
Variabel
Penelitian
Milgram tidak hanya melakukan satu kali
eksperimen, melainkan serangkaian variasi untuk menguji faktor-faktor yang
memengaruhi kepatuhan:
·
Kedekatan dengan korban
Kepatuhan menurun drastis jika “guru” harus secara
langsung menyentuhkan tangan “murid” ke elektroda.⁸
·
Kedekatan figur otoritas
Jika eksperimenter memberi instruksi melalui telepon,
tingkat kepatuhan berkurang signifikan.⁹
·
Legitimasi institusional
Ketika eksperimen dipindahkan dari Universitas Yale ke
lokasi kantor biasa, tingkat kepatuhan menurun, meskipun masih cukup tinggi.¹⁰
·
Dukungan sosial
Kehadiran figur lain yang menolak perintah menurunkan
tingkat kepatuhan partisipan.¹¹
Rancangan variasi ini memperlihatkan
bahwa kepatuhan bukan hasil dari sifat personal yang tetap, melainkan produk
interaksi situasional dan struktur sosial yang menekankan legitimasi otoritas.
3.5.
Implikasi
Metodologis
Metodologi Milgram memperlihatkan
kekuatan desain eksperimental dalam psikologi sosial: penggunaan setting
laboratorium yang terkendali, manipulasi variabel situasional, serta
alat ukur yang sistematis memungkinkan peneliti mengeksplorasi perilaku
moral dalam kondisi realistis namun aman (meski menimbulkan debat etis).¹²
Meskipun eksperimen ini menuai kritik karena melibatkan penipuan dan tekanan
emosional, kekuatan rancangan metodologinya menjadikannya salah satu studi
paling terkenal dalam sejarah psikologi.
Footnotes
[1]
Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The
Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 45–48.
[2]
Stanley Milgram, Obedience to Authority (New
York: Harper & Row, 1974), 5–7.
[3]
Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal
of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 371–372.
[4]
Ibid., 372–373.
[5]
Milgram, Obedience to Authority, 21–24.
[6]
Ibid., 28–30.
[7]
Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 373.
[8]
Milgram, Obedience to Authority, 35–36.
[9]
Ibid., 45–46.
[10]
Ibid., 63–65.
[11]
Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 377–378.
[12]
Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s
Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964):
421–423.
4.
Temuan dan Analisis
Hasil
Eksperimen Milgram menghasilkan temuan
yang mengejutkan sekaligus mendestabilisasi pandangan umum mengenai moralitas
manusia dan batas kepatuhan terhadap otoritas. Hasilnya menunjukkan bahwa
mayoritas individu bersedia menaati perintah meskipun tindakan yang dilakukan
bertentangan dengan nurani mereka. Bab ini akan menguraikan temuan utama,
faktor-faktor situasional yang memengaruhi kepatuhan, perbandingan antara
prediksi awal dengan kenyataan empiris, serta analisis teoretis atas data yang
diperoleh.
4.1.
Tingkat
Kepatuhan Partisipan
Dalam publikasi awalnya pada Journal
of Abnormal and Social Psychology (1963), Milgram melaporkan bahwa 65% dari
partisipan (26 dari 40 orang) menekan tuas hingga level maksimum 450 volt,
meskipun mereka tampak gelisah, berkeringat, dan menunjukkan tanda-tanda stres
emosional.¹ Sementara itu, hampir semua partisipan mencapai setidaknya 300
volt, titik ketika “murid” tidak lagi merespons secara verbal.² Data ini
menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap perintah otoritas bukanlah perilaku yang
langka, melainkan kecenderungan dominan dalam situasi eksperimental tertentu.
4.2.
Faktor
Situasional yang Mempengaruhi Kepatuhan
Milgram tidak berhenti pada satu
eksperimen, tetapi melakukan lebih dari selusin variasi yang menunjukkan betapa
konteks situasional memengaruhi kepatuhan:
·
Kedekatan dengan korban
Kepatuhan berkurang drastis jika partisipan harus memegang
tangan “murid” pada elektroda, dengan hanya 30% yang mencapai level
maksimum.³
·
Kedekatan figur otoritas
Jika eksperimenter memberi instruksi melalui telepon,
tingkat kepatuhan menurun menjadi sekitar 21%.⁴
·
Legitimasi institusional
Eksperimen yang dipindahkan dari Universitas Yale ke kantor
biasa menunjukkan penurunan kepatuhan (47,5% mencapai voltase maksimum).⁵
·
Dukungan sosial
Kehadiran dua figur lain yang menolak melanjutkan
eksperimen secara signifikan menurunkan kepatuhan menjadi hanya 10%.⁶
Temuan-temuan variasi ini menegaskan
bahwa kepatuhan tidak hanya dipengaruhi faktor internal individu, tetapi juga
struktur sosial, simbol legitimasi, dan keberadaan dukungan sosial.
4.3.
Prediksi
Ahli vs. Realitas Empiris
Sebelum eksperimen, Milgram meminta
prediksi dari psikolog, mahasiswa, dan orang awam tentang seberapa banyak
partisipan yang akan patuh. Hampir semua memperkirakan hanya sekitar 1–3% orang
yang bersedia mencapai voltase tertinggi.⁷ Kontras dengan perkiraan ini, hasil
sebenarnya menunjukkan mayoritas justru melanjutkan hingga akhir. Perbedaan ini
mencerminkan adanya bias optimisme moral, yakni kecenderungan manusia
untuk meremehkan potensi kepatuhan terhadap perintah otoritas ketika mereka
berada di luar konteks situasional.⁸
4.4.
Analisis
Teoretis: Agentic State dan Displacement of Responsibility
Milgram menafsirkan hasil eksperimen
melalui konsep agentic state, yaitu kondisi ketika individu melihat
dirinya bukan sebagai aktor moral independen, melainkan sebagai agen pelaksana
kehendak otoritas.⁹ Dalam keadaan ini, tanggung jawab moral dipindahkan
(displacement of responsibility) dari pelaku kepada figur otoritas. Analisis
ini menjelaskan mengapa partisipan tetap melanjutkan tindakan meski mengalami
tekanan emosional: mereka meyakini bahwa tanggung jawab etis berada di tangan
peneliti, bukan mereka.
4.5.
Dampak
Psikologis pada Partisipan
Data observasional menunjukkan bahwa
banyak partisipan mengalami tekanan luar biasa: mereka berkeringat, gemetar,
tertawa gugup, bahkan ada yang mengalami kejang.¹⁰ Meskipun mayoritas tetap
patuh, respons emosional ini menunjukkan adanya konflik moral antara dorongan
nurani dan tekanan otoritas. Hasil ini mengindikasikan bahwa kepatuhan tidak
sama dengan persetujuan batiniah; individu bisa taat meskipun hatinya menolak.
4.6.
Refleksi
Awal atas Signifikansi Temuan
Temuan Milgram memiliki dua implikasi
besar. Pertama, ia menantang pandangan tradisional bahwa kekejaman manusia
semata-mata dilakukan oleh individu “jahat.” Sebaliknya, hasil
eksperimen menunjukkan bahwa struktur otoritas dan konteks sosial dapat
mengubah orang biasa menjadi pelaku tindakan yang bertentangan dengan
moralitas.¹¹ Kedua, eksperimen ini memperluas pemahaman psikologi sosial
tentang pentingnya situational power dibanding penjelasan berbasis
disposisi individu.¹²
Footnotes
[1]
Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal
of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375–376.
[2]
Ibid., 374.
[3]
Milgram, Obedience to Authority (New York:
Harper & Row, 1974), 35–36.
[4]
Ibid., 45–46.
[5]
Ibid., 63–65.
[6]
Stanley Milgram, “Some Conditions of Obedience and
Disobedience to Authority,” Human Relations 18, no. 1 (1965): 57–58.
[7]
Milgram, Obedience to Authority, 31.
[8]
Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The
Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 98–100.
[9]
Milgram, Obedience to Authority, 133–134.
[10]
Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 376.
[11]
Philip Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding
How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 211–214.
[12]
Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of
Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New
Haven: Yale University Press, 1989), 16–18.
5.
Kritik dan
Kontroversi
Eksperimen Milgram bukan hanya menjadi
tonggak penting dalam sejarah psikologi sosial, tetapi juga menimbulkan
perdebatan panjang terkait metodologi, etika, dan interpretasi hasilnya. Dari
sejak publikasi pertamanya hingga kini, penelitian tersebut terus diperdebatkan
dalam ranah akademik maupun publik. Bab ini menguraikan tiga ranah utama
kritik: metodologis, etis, dan epistemologis, serta kontroversi yang
menyertainya.
5.1.
Kritik
Metodologis
Beberapa ahli mempertanyakan validitas
dan reliabilitas eksperimen Milgram. Diana Baumrind, misalnya, menilai bahwa
situasi laboratorium yang penuh rekayasa tidak dapat digeneralisasikan secara
luas ke dalam kehidupan nyata.¹ Menurutnya, skenario eksperimen menciptakan
kondisi buatan yang ekstrem, sehingga hasilnya mungkin lebih mencerminkan
kepatuhan dalam setting laboratorium daripada realitas sosial sehari-hari.
Selain itu, terdapat kritik bahwa
partisipan mungkin tidak sepenuhnya percaya bahwa “murid” benar-benar
mendapat kejutan listrik.² Hal ini menimbulkan keraguan apakah tingkat
kepatuhan yang tinggi benar-benar mencerminkan ketaatan terhadap otoritas atau
sekadar kepatuhan pada aturan permainan eksperimen. Gina Perry, melalui
penelitian arsip dan wawancara, menemukan bahwa sebagian partisipan memang
meragukan keaslian kejutan listrik, sehingga menimbulkan pertanyaan serius
mengenai interpretasi Milgram atas datanya.³
5.2.
Kritik
Etis
Kritik paling tajam diarahkan pada
dimensi etis eksperimen. Milgram menggunakan penipuan (deception) dalam
skala besar: partisipan tidak mengetahui tujuan sebenarnya dan diyakinkan bahwa
mereka sedang melukai orang lain. Hal ini menimbulkan stres emosional yang
serius: catatan lapangan menunjukkan bahwa beberapa partisipan menangis,
gemetar, atau bahkan mengalami kejang.⁴ Baumrind menilai bahwa prosedur ini
melanggar prinsip nonmaleficence karena menimbulkan penderitaan
psikologis tanpa jaminan manfaat yang sepadan.¹
Selain itu, proses debriefing
Milgram juga dipertanyakan. Beberapa laporan menyatakan bahwa penjelasan
pasca-eksperimen tidak selalu dilakukan dengan segera atau mendalam, sehingga
meninggalkan efek psikologis negatif pada sebagian peserta.⁵ Standar etika
penelitian modern, seperti APA Ethics Code (2002, revisi 2017),
kemungkinan besar tidak akan mengizinkan eksperimen seperti ini dijalankan
kembali karena pelanggaran terhadap prinsip informed consent dan
perlindungan subjek penelitian.⁶
5.3.
Kritik
Epistemologis dan Interpretatif
Selain soal metodologi dan etika,
kritik lain muncul terkait interpretasi Milgram atas fenomena kepatuhan.
Beberapa peneliti menilai bahwa Milgram terlalu menekankan pada “agentic
state” (pemindahan tanggung jawab pada otoritas) dan mengabaikan faktor
motivasional lain, seperti keinginan partisipan untuk memenuhi norma trust
in science atau kerangka eksperimen itu sendiri.⁷
Haslam, Reicher, dan koleganya
mengajukan reinterpretasi berdasarkan teori identitas sosial, yang
berargumen bahwa partisipan patuh bukan karena tunduk secara buta, tetapi
karena mengidentifikasi diri mereka dengan tujuan otoritas yang dianggap sah,
yakni kemajuan ilmu pengetahuan.⁸ Dengan kata lain, kepatuhan lahir dari proses
internalisasi norma kolektif, bukan semata pergeseran tanggung jawab.
5.4.
Kontroversi
Publik dan Dampaknya
Eksperimen Milgram juga menimbulkan
kontroversi luas di luar dunia akademik. Media massa menyoroti hasil yang
mengejutkan, sekaligus mempertanyakan moralitas ilmuwan yang tega menempatkan
orang dalam situasi ekstrem.⁹ Debat ini mendorong reformasi besar dalam kode
etik penelitian psikologi, termasuk penguatan syarat informed consent,
pembatasan penggunaan penipuan, dan keharusan debriefing menyeluruh.⁶
Di sisi lain, kontroversi tersebut
justru memperkokoh posisi eksperimen Milgram sebagai salah satu penelitian
paling berpengaruh dalam psikologi sosial. Kritik yang diajukan, baik
metodologis maupun etis, kini menjadi bahan refleksi penting dalam pendidikan
psikologi untuk menekankan perlunya keseimbangan antara pencarian pengetahuan
dan perlindungan subjek penelitian.
Kesimpulan Analitis
Meski banyak menuai kritik, eksperimen
Milgram tetap memiliki nilai historis dan epistemologis. Ia membuka jalan bagi
diskusi serius tentang batas-batas etika dalam penelitian manusia, sekaligus
memperluas pemahaman kita tentang dinamika kepatuhan. Kontroversi yang
menyertainya menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berdiri di ruang steril,
melainkan selalu berkelindan dengan norma moral, kepercayaan publik, dan
tanggung jawab sosial peneliti.
Footnotes
[1]
Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s
Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964):
421–423.
[2]
Richard A. Nicholson, “Review of Criticisms of the
Milgram Obedience Experiments,” Contemporary Psychology 20, no. 6
(1975): 451–453.
[3]
Gina Perry, Behind the Shock Machine: The Untold
Story of the Notorious Milgram Psychology Experiments (New York: The New
Press, 2013), 88–93.
[4]
Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal
of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375–376.
[5]
Perry, Behind the Shock Machine, 146–150.
[6]
American Psychological Association, Ethical
Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA,
2017), Standard 8.07.
[7]
Milgram, Obedience to Authority (New York:
Harper & Row, 1974), 133–135.
[8]
Stephen D. Reicher, S. Alexander Haslam, and Joanne R.
Smith, “Working Toward the Experimenter: Reconceptualizing Obedience Within the
Milgram Paradigm as Identification-Based Followership,” Perspectives on
Psychological Science 7, no. 4 (2012): 315–324.
[9]
Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The
Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 163–170.
6.
Relevansi Psikologis
dan Sosial
Eksperimen Milgram, meskipun dilakukan
lebih dari enam dekade lalu, tetap memiliki relevansi yang luas dalam memahami
perilaku manusia di bawah tekanan otoritas. Temuannya tidak hanya penting dalam
kerangka teoritis psikologi sosial, tetapi juga berimplikasi besar terhadap
berbagai fenomena sosial, politik, dan organisasi modern. Bab ini menguraikan
relevansi psikologis eksperimen Milgram dalam memperluas pemahaman tentang
kepatuhan, serta relevansi sosialnya dalam menyoroti persoalan otoritarianisme,
birokrasi, kepemimpinan, dan konteks kehidupan bermasyarakat.
6.1.
Implikasi
Psikologis: Pemahaman tentang Kepatuhan
Secara psikologis, eksperimen Milgram
menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap otoritas adalah fenomena yang kuat dan
meluas, bukan penyimpangan yang langka.¹ Temuan ini mengubah fokus psikologi
sosial dari penjelasan disposisional menuju pendekatan situasional: bahwa
perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, legitimasi
institusional, dan tekanan dari figur otoritas.²
Milgram memperkenalkan konsep agentic
state, yaitu kondisi ketika individu menanggalkan otonomi moralnya dan
menganggap dirinya sekadar agen yang melaksanakan perintah.³ Pemahaman ini
penting bagi psikologi klinis maupun sosial karena menjelaskan bagaimana
konflik moral dapat dipinggirkan oleh otoritas yang sah, menghasilkan fenomena
yang oleh Zimbardo disebut moral disengagement.⁴ Dengan demikian,
eksperimen Milgram memperkuat kesadaran bahwa batas kepatuhan dan tanggung
jawab moral harus selalu dipertanyakan dalam konteks otoritas yang dominan.
6.2.
Relevansi
Sosial-Politik: Otoritarianisme dan Birokrasi
Hasil eksperimen Milgram kerap
digunakan untuk menjelaskan dinamika kekuasaan dalam rezim otoriter dan
birokrasi modern. Eichmann dan aparat Nazi yang berargumen “hanya menjalankan
perintah” menjadi bukti konkret bagaimana kepatuhan dapat melahirkan tragedi
kemanusiaan.⁵ Herbert Kelman dan Lee Hamilton menyebut fenomena ini sebagai crimes
of obedience, yakni kejahatan yang terjadi karena individu mengalihkan
tanggung jawabnya pada sistem otoritas.⁶
Relevansi ini tidak hanya berlaku pada
konteks sejarah, tetapi juga pada fenomena kontemporer: misalnya kepatuhan
militer dalam perang yang melibatkan pelanggaran hak asasi, atau kepatuhan
birokrasi dalam menjalankan kebijakan yang merugikan masyarakat. Eksperimen
Milgram membantu menjelaskan mengapa individu yang pada dasarnya tidak kejam
dapat terlibat dalam praktik represif ketika struktur otoritas dan legitimasi
sistem mendorong mereka untuk taat.
6.3.
Relevansi
dalam Organisasi dan Kepemimpinan
Dalam konteks organisasi modern,
eksperimen Milgram menyoroti pentingnya kesadaran etis dalam struktur
kepemimpinan dan manajemen. Kepatuhan tanpa refleksi kritis dapat menghasilkan
keputusan yang tidak etis, baik dalam bidang bisnis, medis, maupun birokrasi
publik.⁷ Dalam industri kesehatan, misalnya, ketaatan buta terhadap instruksi
senior dapat mengabaikan kesejahteraan pasien. Sementara itu, dalam bisnis,
kepatuhan terhadap perintah atasan dapat berujung pada praktik manipulatif atau
eksploitasi.
Studi ini menjadi pengingat bahwa
kepemimpinan yang sehat harus mendorong budaya dialog, akuntabilitas, dan ruang
untuk menolak perintah yang tidak etis. Para peneliti kontemporer seperti
Haslam dan Reicher menekankan bahwa kepatuhan sering muncul ketika individu
mengidentifikasi diri dengan tujuan otoritas.⁸ Maka, kepemimpinan yang
menumbuhkan nilai-nilai moral kolektif akan lebih membangun ketaatan yang
konstruktif daripada ketaatan yang destruktif.
6.4.
Perbandingan
dengan Eksperimen Sosial Lain
Relevansi eksperimen Milgram semakin
nyata ketika dibandingkan dengan Stanford Prison Experiment (1971) oleh
Philip Zimbardo. Keduanya menyoroti bagaimana struktur sosial dan otoritas
dapat mengubah perilaku individu secara drastis.⁹ Jika Milgram menekankan peran
otoritas eksternal dalam mendorong kepatuhan, Zimbardo menunjukkan bagaimana
peran sosial internal (penjaga vs. tahanan) dapat memicu perilaku opresif.
Kedua eksperimen ini bersama-sama memperlihatkan bahwa situasi sosial dapat
membentuk perilaku jauh lebih kuat daripada predisposisi kepribadian.
6.5.
Refleksi
Moral dan Relevansi Kontemporer
Di tengah dunia yang terus diwarnai
konflik, birokrasi kompleks, dan teknologi pengendalian sosial yang semakin
canggih, pelajaran dari Milgram tetap relevan. Kasus penyiksaan tahanan di Abu
Ghraib, misalnya, kerap dijelaskan dengan kerangka eksperimen Milgram tentang
kepatuhan terhadap otoritas militer.¹⁰ Demikian pula, fenomena kepatuhan
birokratis dalam praktik korupsi atau pelanggaran HAM di berbagai negara dapat
dipahami dengan lensa yang sama.
Relevansi moral eksperimen ini adalah
seruan agar setiap individu mengembangkan kesadaran kritis untuk menolak
perintah yang bertentangan dengan nurani. Masyarakat dan institusi harus
membangun sistem yang tidak hanya menekankan kepatuhan, tetapi juga mengajarkan
keberanian moral untuk disobedience ketika berhadapan dengan otoritas
yang tidak adil.¹¹
Footnotes
[1]
Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal
of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375.
[2]
Milgram, Obedience to Authority (New York:
Harper & Row, 1974), 123–125.
[3]
Ibid., 133–135.
[4]
Philip Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding
How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 211–214.
[5]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on
the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).
[6]
Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of
Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New
Haven: Yale University Press, 1989), 16–18.
[7]
Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s
Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964):
421–423.
[8]
Stephen D. Reicher, S. Alexander Haslam, and Joanne R.
Smith, “Working Toward the Experimenter: Reconceptualizing Obedience Within the
Milgram Paradigm as Identification-Based Followership,” Perspectives on
Psychological Science 7, no. 4 (2012): 315–324.
[9]
Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo,
“Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of
Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 69–97.
[10]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 322–328.
[11]
Kelman and Hamilton, Crimes of Obedience,
283–285.
7.
Relevansi
Kontemporer
Meskipun Eksperimen Milgram dilakukan
lebih dari enam dekade lalu, kajiannya tetap relevan dalam memahami tantangan
kepatuhan dan otoritas di dunia modern. Fenomena kepatuhan yang ditunjukkan
dalam eksperimen ini kini dapat dilihat dalam berbagai konteks sosial, politik,
teknologi, maupun organisasi. Relevansi kontemporernya terletak pada bagaimana
eksperimen ini membantu menjelaskan kecenderungan manusia untuk tunduk pada
otoritas, bahkan ketika otoritas itu mendorong perilaku yang bertentangan
dengan nurani.
7.1.
Fenomena
Sosial-Politik Kontemporer
Eksperimen Milgram sering dijadikan
rujukan untuk menjelaskan kepatuhan birokratis dalam kasus-kasus pelanggaran
hak asasi manusia. Misalnya, keterlibatan aparat militer Amerika Serikat dalam
kasus penyiksaan tahanan di Abu Ghraib pada 2004 sering dipahami dalam kerangka
eksperimen Milgram: tentara patuh pada perintah atasan meskipun perintah
tersebut melanggar prinsip moral dan hukum internasional.¹ Temuan serupa juga
dapat menjelaskan kepatuhan aparat dalam konteks rezim otoriter modern yang
menindas oposisi atau kelompok minoritas.²
7.2.
Relevansi
dalam Dunia Organisasi dan Bisnis
Dalam dunia korporasi, eksperimen
Milgram mengingatkan akan bahaya kepatuhan buta dalam hierarki organisasi.
Skandal keuangan seperti kasus Enron atau skandal manipulasi data dalam
perusahaan farmasi dapat ditafsirkan sebagai bentuk kepatuhan karyawan terhadap
perintah manajer atau budaya perusahaan, meskipun perintah tersebut tidak
etis.³ Oleh karena itu, lembaga-lembaga modern kini menekankan pentingnya whistleblowing
dan mekanisme pengawasan internal agar individu memiliki keberanian moral untuk
menolak perintah yang salah.
7.3.
Teknologi,
Algoritma, dan Kepatuhan Baru
Dalam era digital, otoritas tidak hanya
hadir dalam bentuk manusia, melainkan juga sistem algoritma dan kecerdasan
buatan. Fenomena kepatuhan terhadap rekomendasi algoritma—misalnya dalam
penggunaan media sosial atau sistem credit scoring—menunjukkan bagaimana
individu cenderung mempercayai “otoritas teknologi” tanpa refleksi
kritis.⁴ Beberapa peneliti bahkan mengaitkan fenomena automation bias
dengan eksperimen Milgram, yakni kecenderungan individu untuk mengandalkan
instruksi sistem otomatis meskipun berpotensi menimbulkan kesalahan.⁵
7.4.
Refleksi
Etis dalam Penelitian dan Pendidikan
Eksperimen Milgram juga menjadi titik
acuan dalam membentuk kode etik penelitian psikologi modern. Kontroversinya
mendorong American Psychological Association (APA) memperketat regulasi terkait
informed consent, penggunaan penipuan, dan debriefing.⁶ Dengan
demikian, setiap penelitian kontemporer yang melibatkan manusia kini wajib
memastikan perlindungan partisipan, menjadikan eksperimen Milgram sebagai
pelajaran berharga tentang tanggung jawab moral ilmuwan.
Selain itu, dalam dunia pendidikan,
eksperimen Milgram sering digunakan sebagai bahan diskusi untuk melatih
mahasiswa dalam berpikir kritis tentang hubungan antara otoritas, kepatuhan,
dan tanggung jawab moral.⁷ Hal ini memperlihatkan bahwa eksperimen tersebut
bukan hanya warisan akademis, tetapi juga instrumen pedagogis yang membentuk
kesadaran etis generasi baru.
7.5.
Kepatuhan,
Nurani, dan Tanggung Jawab Global
Relevansi Milgram juga dapat dilihat
dalam konteks globalisasi dan tantangan moral kontemporer. Isu seperti
kepatuhan birokrat terhadap kebijakan diskriminatif, ketaatan masyarakat
terhadap propaganda digital, atau ketaatan aparat dalam konflik bersenjata,
semuanya menunjukkan bahwa dilema kepatuhan dan nurani tetap aktual. Seperti
ditegaskan oleh Kelman dan Hamilton dalam konsep crimes of obedience,
dunia modern memerlukan mekanisme sosial yang mampu menyeimbangkan antara
kebutuhan akan otoritas dengan perlindungan nurani individu.⁸
Kesimpulan Analitis
Eksperimen Milgram menegaskan bahwa
kepatuhan terhadap otoritas adalah fenomena universal yang melintasi batas
waktu dan budaya. Di era kontemporer, bentuk otoritas memang
bertransformasi—dari figur militer dan birokrasi hingga sistem algoritmik dan
struktur organisasi global—namun dilema moral yang dihadapinya tetap sama.
Relevansi eksperimen ini terletak pada kemampuannya memberi peringatan abadi:
bahwa nurani manusia tidak boleh sepenuhnya didelegasikan kepada otoritas, dan
keberanian untuk berkata tidak adalah fondasi moral bagi masyarakat yang
adil.
Footnotes
[1]
Philip Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding
How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 322–328.
[2]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on
the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).
[3]
Stephen P. Robbins and Timothy A. Judge, Organizational
Behavior, 18th ed. (Harlow: Pearson, 2019), 156–160.
[4]
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How
Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 23–28.
[5]
Raja Parasuraman and Dietrich H. Manzey, “Complacency
and Bias in Human Use of Automation: An Attentional Integration,” Human
Factors 52, no. 3 (2010): 381–410.
[6]
American Psychological Association, Ethical
Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA,
2017), Standard 8.07.
[7]
Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The
Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 201–204.
[8]
Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of
Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New
Haven: Yale University Press, 1989), 283–285.
8.
Penutup
Eksperimen Milgram merupakan salah satu
studi paling berpengaruh dalam sejarah psikologi sosial karena berhasil
mengungkap dinamika mendasar antara kepatuhan, otoritas, dan nurani manusia.
Melalui desain eksperimental yang sederhana namun penuh implikasi, Milgram
menunjukkan bahwa mayoritas individu bersedia menaati perintah figur otoritas,
bahkan ketika perintah tersebut menuntut mereka untuk melakukan tindakan yang
jelas-jelas melanggar norma moral.¹ Temuan ini menantang pandangan tradisional
yang menyandarkan perilaku kejam semata-mata pada “individu jahat,”
sekaligus menekankan pentingnya konteks situasional dan legitimasi sosial dalam
membentuk perilaku manusia.²
Kekuatan eksperimen Milgram terletak
pada kemampuannya mengilustrasikan bahwa kepatuhan tidak selalu sejalan dengan
persetujuan batiniah. Banyak partisipan yang menunjukkan tanda-tanda konflik
moral—gemetar, berkeringat, bahkan menangis—namun tetap patuh pada perintah.³
Fenomena ini memperlihatkan paradoks mendasar dalam psikologi moral: bahwa
manusia bisa sekaligus menolak dalam hati dan menaati dalam tindakan. Analisis
teoretis yang dikembangkan Milgram, terutama konsep agentic state,
memperkuat pemahaman kita mengenai mekanisme psikologis yang memungkinkan
individu melepaskan tanggung jawab moral dengan mengalihkannya kepada
otoritas.⁴
Namun, eksperimen ini juga memicu
kritik tajam. Dari sisi metodologis, sejumlah pihak meragukan validitas
eksternalnya; sementara dari sisi etis, penggunaan penipuan dan tekanan
emosional dianggap melanggar prinsip nonmaleficence dan informed
consent.⁵ Kontroversi tersebut akhirnya melahirkan reformasi besar dalam
regulasi penelitian psikologi, termasuk penekanan pada kode etik yang lebih
ketat sebagaimana dirumuskan oleh American Psychological Association.⁶ Dengan
demikian, warisan Milgram tidak hanya berupa data empiris, tetapi juga standar
baru dalam etika penelitian manusia.
Relevansi eksperimen Milgram terus
berlanjut hingga hari ini. Dalam ranah sosial-politik, ia membantu menjelaskan
keterlibatan individu biasa dalam kejahatan perang atau birokrasi represif.⁷
Dalam ranah organisasi dan bisnis, ia mengingatkan akan bahaya kepatuhan buta
terhadap instruksi yang tidak etis.⁸ Bahkan dalam era teknologi modern,
kepatuhan terhadap “otoritas algoritmik” menimbulkan pertanyaan baru
tentang batas tanggung jawab manusia dalam menghadapi instruksi mesin.⁹ Dengan
kata lain, eksperimen Milgram tetap menjadi lensa kritis untuk memahami dilema
kepatuhan dalam konteks global dan kontemporer.
Akhirnya, eksperimen Milgram
meninggalkan pesan moral yang tak lekang oleh waktu: bahwa kepatuhan terhadap
otoritas adalah fenomena yang kuat, tetapi bukan tanpa batas. Masyarakat yang
sehat membutuhkan keberanian moral individu untuk menolak perintah yang tidak
adil. Sebagaimana ditegaskan oleh Kelman dan Hamilton dalam konsep crimes of
obedience, tanggung jawab etis tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada
otoritas—ia tetap melekat pada setiap individu.¹⁰ Dengan demikian, warisan
sejati dari eksperimen Milgram bukan hanya pemahaman ilmiah tentang kepatuhan,
tetapi juga ajakan normatif agar manusia selalu menjaga integritas nurani dalam
menghadapi kekuasaan.
Footnotes
[1]
Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal
of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375–376.
[2]
Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The
Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 98–100.
[3]
Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 376.
[4]
Milgram, Obedience to Authority (New York:
Harper & Row, 1974), 133–135.
[5]
Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s
Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964):
421–423.
[6]
American Psychological Association, Ethical
Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA,
2017), Standard 8.07.
[7]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on
the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).
[8]
Stephen P. Robbins and Timothy A. Judge, Organizational
Behavior, 18th ed. (Harlow: Pearson, 2019), 156–160.
[9]
Raja Parasuraman and Dietrich H. Manzey, “Complacency
and Bias in Human Use of Automation: An Attentional Integration,” Human
Factors 52, no. 3 (2010): 381–410.
[10]
Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of
Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New
Haven: Yale University Press, 1989), 283–285.
Daftar Pustaka
American Psychological Association.
(2017). Ethical principles of psychologists and code of conduct.
Washington, DC: Author.
Arendt, H. (1963). Eichmann in
Jerusalem: A report on the banality of evil. New York, NY: Viking Press.
Asch, S. E. (1955). Opinions and
social pressure. Scientific
American, 193(5), 31–35.
Baumrind, D. (1964). Review of
Stanley Milgram’s experiments on obedience. American Psychologist, 19(6),
421–423.
Blass, T. (2004). The man who
shocked the world: The life and legacy of Stanley Milgram. New York, NY:
Basic Books.
Burger, J. M. (2009). Replicating
Milgram: Would people still obey today? American Psychologist, 64(1),
1–11.
Deutsch, M., & Gerard, H. B.
(1955). A study of normative and informational social influences upon
individual judgment. Journal of
Abnormal and Social Psychology, 51(3), 629–636.
Elms, A. C. (2009). Obedience lite. American Psychologist, 64(1),
32–36.
Haney, C., Banks, C., & Zimbardo,
P. (1973). Interpersonal dynamics in a simulated prison. International
Journal of Criminology and Penology, 1(1), 69–97.
Herrera, C. (2001). Ethics,
deception, and “Those Milgram experiments.” Philosophy Faculty Publications,
1–15. Montclair State University.
Kelman, H. C., & Hamilton, L. H.
(1989). Crimes of obedience: Toward a social psychology of authority and
responsibility. New Haven, CT: Yale University Press.
Lewin, K. (1951). Field theory in
social science: Selected theoretical papers. New York, NY: Harper &
Brothers.
Milgram, S. (1963). Behavioral study
of obedience. Journal of Abnormal
and Social Psychology, 67(4), 371–378.
Milgram, S. (1965). Some conditions
of obedience and disobedience to authority. Human Relations, 18(1),
57–76.
Milgram, S. (1974). Obedience to
authority. New York, NY: Harper & Row.
Nicholson, R. A. (1975). Review of
criticisms of the Milgram obedience experiments. Contemporary Psychology, 20(6),
451–453.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of
oppression: How search engines reinforce racism. New York, NY: NYU Press.
Parasuraman, R., & Manzey, D. H.
(2010). Complacency and bias in human use of automation: An attentional
integration. Human
Factors, 52(3), 381–410.
Perry, G. (2013). Behind the shock
machine: The untold story of the notorious Milgram psychology experiments.
New York, NY: The New Press.
Reicher, S. D., Haslam, S. A., &
Smith, J. R. (2012). Working toward the experimenter: Reconceptualizing
obedience within the Milgram paradigm as identification-based followership. Perspectives on Psychological
Science, 7(4), 315–324.
Robbins, S. P., & Judge, T. A.
(2019). Organizational behavior (18th ed.). Harlow, UK: Pearson.
Zimbardo, P. (2007). The Lucifer
effect: Understanding how good people turn evil. New York, NY: Random
House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar