Kamis, 28 Agustus 2025

Eksperimen Milgram: Antara Kepatuhan, Otoritas, dan Nurani Manusia

Eksperimen Milgram

Antara Kepatuhan, Otoritas, dan Nurani Manusia


Alihkan ke: Filsafat Moral.

Kepatuhan, Free Will, Kebebasan, Eksperimen Libet, Kesadaran, Moralitas.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif Eksperimen Milgram yang dilakukan pada awal 1960-an oleh Stanley Milgram di Universitas Yale, sebagai salah satu penelitian paling berpengaruh dalam psikologi sosial modern. Eksperimen ini dirancang untuk menguji sejauh mana individu bersedia menaati perintah figur otoritas, meskipun perintah tersebut bertentangan dengan nurani dan moralitas pribadi. Melalui enam bab utama, artikel ini menelusuri konteks historis dan teoritis lahirnya eksperimen, rancangan metodologi, temuan empiris, serta analisis terhadap variasi situasional yang memengaruhi tingkat kepatuhan. Selain menyoroti implikasi psikologis, artikel ini juga membahas kontroversi metodologis dan etis yang muncul, termasuk perdebatan mengenai validitas eksternal dan penggunaan penipuan dalam penelitian.

Lebih lanjut, artikel ini menguraikan relevansi eksperimen Milgram dalam konteks sosial, politik, dan organisasi, baik pada masa lalu maupun masa kini. Dari fenomena kepatuhan birokratis dalam rezim otoriter hingga kepatuhan dalam dunia bisnis dan teknologi modern, eksperimen ini tetap menjadi lensa penting untuk memahami dinamika hubungan antara individu, otoritas, dan tanggung jawab moral. Artikel ini menyimpulkan bahwa warisan sejati dari eksperimen Milgram bukan hanya pada sumbangan ilmiahnya dalam psikologi sosial, tetapi juga pada pesan moralnya: perlunya keberanian individu untuk menolak perintah yang tidak adil demi menjaga integritas nurani dalam menghadapi otoritas.

Kata Kunci: Eksperimen Milgram; kepatuhan; otoritas; psikologi sosial; nurani; etika penelitian; agentic state; birokrasi; otoritarianisme; relevansi kontemporer.


PEMBAHASAN

Eksperimen Milgram oleh Stanley Milgram di Universitas Yale


1.            Pendahuluan

Eksperimen kepatuhan yang dirancang Stanley Milgram pada awal 1960-an merupakan salah satu studi paling berpengaruh—sekaligus paling kontroversial—dalam psikologi sosial modern. Berangkat dari pertanyaan pasca-Perang Dunia II tentang bagaimana “orang biasa” dapat terlibat dalam tindakan yang bertentangan dengan nurani saat berada di bawah perintah otoritas, Milgram merancang skenario laboratorium yang tampak sederhana: peserta (sebagai “guru”) diminta memberikan kejutan listrik (sebenarnya palsu) kepada “murid” setiap kali terjadi kesalahan, sementara seorang peneliti berjas putih menegaskan agar prosedur dilanjutkan.¹ Temuan utamanya mengguncang intuisi moral banyak orang—sekitar 65% peserta menekan tombol hingga tingkat tertinggi (450 volt) ketika diarahkan oleh figur otoritas—dan sejak itu menjadi rujukan klasik tentang kuatnya pengaruh situasi dan struktur otoritas terhadap perilaku manusia.² Temuan ini menegaskan bahwa kepatuhan bukanlah anomali kepribadian segelintir individu, melainkan respons yang dapat dipicu oleh desain situasi sosial tertentu, khususnya ketika terdapat legitimasi institusional dan jarak psikologis dari konsekuensi perbuatan.²

Secara historis, eksperimen ini lahir dalam iklim intelektual yang dibentuk oleh refleksi atas Holocaust serta perdebatan tentang tanggung jawab individu di bawah rezim otoriter. Milgram—yang terinspirasi juga oleh tradisi eksperimen konformitas Solomon Asch—menguji hipotesis bahwa tekanan situasional dan legitimasi otoritas dapat “menunda” atau mengatasi resistensi moral individu. Dalam rancangan klasiknya, Milgram menyusun shock generator bertingkat dari 15 hingga 450 volt, dengan label “Slight Shock” hingga “Danger: Severe Shock”, serta prosedur standar berupa serangkaian desakan eksperimenter (mis. “The experiment requires that you continue”).¹,² Penataan perangkat, instruksi tetap, dan kredensial laboratorium Universitas Yale menjadi “arsitektur situasi” yang memaksimalkan persepsi legitimasi dan meminimalkan rasa tanggung jawab personal—kombinasi yang, sebagaimana dilaporkan Milgram, berasosiasi dengan meningkatnya kepatuhan hingga level ekstrem.²

Dari perspektif metodologis, studi Milgram membuka diskusi besar tentang apa yang sebenarnya diukur sebagai “kepatuhan.” Sejumlah variasi eksperimental menunjukkan bahwa manipulasi jarak dengan “korban”, kedekatan atau ketiadaan figur otoritas, serta simbol legitimasi institusi (misalnya lokasi eksperimen di Yale dibandingkan lokasi non-kampus) memengaruhi tingkat kepatuhan.² Perbedaan antara prediksi awal para ahli (yang umumnya memperkirakan hanya sebagian kecil orang yang akan “patuh total”) dan hasil empiris—yakni mayoritas melanjutkan hingga voltase maksimum—menjadi bukti kuat bias penilaian moral ketika orang berada di luar situasi tekanan otoritas langsung.² Replikasi parsial kontemporer yang mematuhi standar etika mutakhir—seperti studi Jerry M. Burger (2009) yang menghentikan prosedur pada “150-volt point” (titik ambang kritis) tetapi tetap menemukan sekitar 70% peserta bersedia melanjutkan hingga batas tersebut—menunjukkan daya tahan fenomena kepatuhan dalam kondisi modern.³,

Namun, ketenaran eksperimen Milgram juga tak terpisah dari kontroversi etis dan metodologis. Kritikus menyoroti intensitas stres psikologis peserta, penggunaan penipuan (deception), dan proses debriefing yang dianggap tidak selalu memulihkan dampak emosional. Sejumlah telaah historis dan jurnalisme ilmiah—termasuk investigasi Gina Perry—mempertanyakan praktik pelaksanaan, dokumentasi, dan interpretasi Milgram, serta menyoroti pengalaman peserta pasca-eksperimen yang kompleks.⁵ Debat ini berkelindan dengan perkembangan Kode Etik APA modern yang membatasi penggunaan penipuan hanya jika tidak ada alternatif yang layak, risikonya minimal, dan peserta didebrief secara memadai (lihat APA Ethics Code, Standard 8.07).⁶ Wacana normatif yang lebih luas—misalnya argumen otonomi berbasis Kantian tentang larangan memperlakukan manusia semata sebagai alat—turut menguatkan kerangka penilaian etis terhadap eksperimen-eksperimen serupa.⁷ Kontroversi ini, ironisnya, mempertegas nilai historis Eksperimen Milgram: bukan semata sebagai data tentang kepatuhan, tetapi juga sebagai katalis reformasi etika riset manusia.

Dari sisi relevansi, pembacaan ulang terhadap Milgram penting sedikitnya dalam tiga ranah. Pertama, secara teori, ia menempatkan situational power dan legitimasi otoritas sebagai variabel kunci yang membentuk tindakan, menantang penjelasan yang berpusat pada “karakter jahat” individual.² Kedua, secara praktis, pelajaran dari eksperimen ini merambah ranah organisasi, kepemimpinan, militer, kedokteran, dan birokrasi modern—konteks di mana hierarki dan perintah rutin dapat mendorong moral disengagement jika tak diimbangi akuntabilitas dan budaya etis.³,⁴ Ketiga, secara normatif, kontroversinya memaksa komunitas ilmiah membakukan perlindungan subjek penelitian, menyempurnakan standar informed consent, pengurangan risiko, dan keharusan debriefing yang efektif.⁶ Dengan demikian, kajian ini tidak hanya membahas ulang temuan dan metode Milgram, tetapi juga menimbang implikasinya terhadap pemahaman kita tentang nurani, tanggung jawab personal, dan batas kepatuhan dalam masyarakat yang diatur oleh otoritas—tema yang tetap aktual di tengah dinamika sosial-politik kontemporer.


Footnotes

[1]            Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 371–378. PDF arsip, diakses 29 Agustus 2025.

[2]            Ibid.; dan salinan reprint: Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 371–378, arsip Universitas Columbia (PDF), diakses 29 Agustus 2025.

[3]            Jerry M. Burger, “Replicating Milgram: Would People Still Obey Today?,” American Psychologist 64, no. 1 (2009): 1–11, diakses 29 Agustus 2025.

[4]            A. C. Elms, “Obedience Lite,” American Psychologist 64, no. 1 (2009): 32–36, diakses 29 Agustus 2025.

[5]            Gina Perry, Behind the Shock Machine: The Untold Story of the Notorious Milgram Psychology Experiments (New York: The New Press, 2013); lihat juga ulasan “Book Review: Behind the Shock Machine,” Scientific American, 1 September 2013, diakses 29 Agustus 2025.

[6]            American Psychological Association, “Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct,” Standard 8.07 (Deception in Research), diakses 29 Agustus 2025.

[7]            Cristina Herrera, “Ethics, Deception, and ‘Those Milgram Experiments,’” Philosophy Faculty Publications (2001), Montclair State University (PDF), diakses 29 Agustus 2025.


2.            Konteks Historis dan Teoritis

Eksperimen Milgram tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan respons atas kondisi sosial, politik, dan intelektual pada pertengahan abad ke-20. Konteks historis pasca-Perang Dunia II, refleksi atas tragedi Holocaust, dan perkembangan teori psikologi sosial menjadi fondasi yang membentuk gagasan dasar eksperimen ini.

2.1.        Psikologi Sosial Pasca-Perang Dunia II

Setelah Perang Dunia II, dunia ilmu pengetahuan dihadapkan pada pertanyaan yang mengguncang nurani: bagaimana mungkin jutaan orang biasa dapat terlibat atau setidaknya membiarkan berlangsungnya kejahatan kolektif berskala besar seperti Holocaust? Pertanyaan ini menimbulkan fokus penelitian psikologi sosial terhadap isu-isu otoritas, konformitas, dan ketaatan.¹ Dalam konteks ini, eksperimen-eksperimen awal seperti studi konformitas Solomon Asch pada 1950-an menjadi tonggak penting yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh mayoritas terhadap penilaian individu, bahkan dalam hal yang sederhana seperti persepsi visual.² Penemuan Asch menunjukkan bahwa tekanan sosial mampu “menekuk” persepsi realitas individu; Milgram kemudian melangkah lebih jauh dengan meneliti bagaimana tekanan otoritas dapat menundukkan pertimbangan moral.

2.2.        Inspirasi dari Holocaust dan Figur Otoritas

Faktor historis paling signifikan yang mendorong Milgram adalah peristiwa Holocaust dan persidangan para pejabat Nazi, khususnya Adolf Eichmann. Pada awal 1960-an, persidangan Eichmann di Yerusalem menjadi sorotan internasional, memunculkan istilah yang kemudian populer “banalitas kejahatan” dari Hannah Arendt.³ Eichmann digambarkan bukan sebagai monster psikopat, melainkan sebagai birokrat yang patuh pada perintah atasan dan mekanisme institusi. Hal inilah yang menginspirasi Milgram untuk menguji apakah orang biasa, dalam kondisi laboratorium yang terkendali, akan menunjukkan kepatuhan yang serupa meskipun tindakannya bertentangan dengan hati nurani.⁴

Milgram berangkat dari hipotesis bahwa manusia memiliki kecenderungan kuat untuk menuruti perintah figur otoritas yang sah, bahkan jika perintah tersebut menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Ia menegaskan bahwa persoalan ketaatan bukan semata-mata masalah “karakter jahat,” melainkan hasil interaksi antara individu dengan struktur sosial dan legitimasi otoritas.⁵

2.3.        Landasan Teoritis tentang Kepatuhan dan Otoritas

Sebelum Milgram, teori-teori psikologi sosial telah menggarisbawahi pentingnya konteks sosial dalam membentuk perilaku manusia. Kurt Lewin, misalnya, dengan konsep “field theory” menekankan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh interaksi antara pribadi dan lingkungan.⁶ Dalam kerangka ini, otoritas dilihat sebagai bagian dari struktur sosial yang mampu mengarahkan perilaku.

Milgram kemudian menghubungkan teorinya dengan konsep agentic state, yakni kondisi psikologis ketika individu melihat dirinya bukan sebagai pelaku moral yang independen, melainkan sebagai agen yang menjalankan perintah otoritas.⁷ Dalam keadaan ini, tanggung jawab moral dianggap beralih dari individu kepada figur otoritas. Teori ini memberikan kerangka konseptual untuk memahami bagaimana orang-orang dapat melakukan tindakan ekstrem tanpa merasa bersalah, karena mereka meyakini hanya “menjalankan perintah.”

2.4.        Relevansi Konteks Teoritis terhadap Desain Eksperimen

Dengan latar belakang ini, eksperimen Milgram dirancang bukan sekadar untuk menguji kepatuhan abstrak, tetapi untuk memberikan simulasi laboratorium atas dilema moral yang dihadapi individu ketika otoritas menuntut tindakan yang bertentangan dengan nurani. Hubungan dengan eksperimen Asch terlihat dari kesamaan penekanan pada kekuatan situasi sosial, sementara inspirasi dari Holocaust memperjelas dimensi moral dan politiknya. Dengan demikian, eksperimen ini dapat dipahami sebagai sintesis antara refleksi historis (tragedi otoritarianisme) dan kerangka teoretis psikologi sosial (konformitas, otoritas, dan agentic state).⁸


Footnotes

[1]            Morton Deutsch and Harold B. Gerard, “A Study of Normative and Informational Social Influences upon Individual Judgment,” Journal of Abnormal and Social Psychology 51, no. 3 (1955): 629–636.

[2]            Solomon E. Asch, “Opinions and Social Pressure,” Scientific American 193, no. 5 (1955): 31–35.

[3]            Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).

[4]            Stanley Milgram, Obedience to Authority (New York: Harper & Row, 1974), 3–6.

[5]            Ibid., 123–124.

[6]            Kurt Lewin, Field Theory in Social Science: Selected Theoretical Papers (New York: Harper & Brothers, 1951).

[7]            Milgram, Obedience to Authority, 133–134.

[8]            Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004).


3.            Desain dan Metodologi Eksperimen

Eksperimen Milgram yang dilakukan pada awal 1960-an dirancang dengan pendekatan metodologis yang sederhana tetapi penuh perhitungan, sehingga mampu mengungkap fenomena kepatuhan dalam konteks laboratorium. Bab ini menguraikan latar belakang peneliti, rancangan peran dan alat, prosedur eksperimen, serta variabel-variabel penting yang memengaruhi hasil penelitian.

3.1.        Latar Belakang Peneliti

Stanley Milgram adalah seorang psikolog sosial lulusan Harvard yang pada saat eksperimen berlangsung menjadi staf pengajar di Universitas Yale.¹ Ketertarikannya pada masalah kepatuhan dipicu oleh persidangan Adolf Eichmann serta pertanyaan lebih luas mengenai mekanisme psikologis di balik kejahatan otoritarianisme. Milgram merancang eksperimennya sebagai cara sistematis untuk menguji seberapa jauh orang biasa bersedia menuruti perintah figur otoritas, bahkan ketika perintah itu berbenturan dengan hati nurani.²

3.2.        Deskripsi Desain Eksperimen

Rancangan eksperimen Milgram membagi peserta ke dalam tiga peran utama:

1)             “Guru” (Teacher) – partisipan sebenarnya, yang diberi instruksi untuk memberikan kejutan listrik pada setiap kesalahan jawaban.

2)             “Murid” (Learner) – seorang aktor yang bekerja sama dengan peneliti, pura-pura menjadi subjek yang menerima kejutan listrik.

3)             “Eksperimenter” – figur otoritas berjas putih, yang berperan memberi instruksi agar prosedur tetap dijalankan.³

Instrumen utama adalah sebuah shock generator yang memiliki 30 tuas dengan voltase bertingkat dari 15 hingga 450 volt, dilabeli mulai dari “Slight Shock” hingga “Danger: Severe Shock.” Di atas 375 volt, alat tersebut diberi tanda khusus yang menekankan bahaya serius. Meski sebenarnya tidak ada kejutan yang diberikan, desain alat yang realistis membuat partisipan percaya bahwa mereka benar-benar sedang menyebabkan penderitaan pada “murid.”⁴

3.3.        Prosedur Eksperimen

Eksperimen dilaksanakan di laboratorium Universitas Yale dengan skenario sebagai berikut:

·                Partisipan diundi untuk menentukan peran, namun pengundian dimanipulasi sehingga partisipan selalu menjadi “guru.”

·                Murid” dipasangkan elektroda dan ditempatkan di ruangan terpisah. Partisipan kemudian menyaksikan prosedur ini agar lebih meyakini keasliannya.⁵

·                Tugas partisipan adalah membaca daftar pasangan kata. Jika “murid” salah menjawab, “guru” diperintahkan menekan tuas untuk memberikan kejutan listrik dengan voltase meningkat setiap kali.

·                Ketika voltase meningkat, “murid” mulai menunjukkan tanda kesakitan, protes keras, hingga akhirnya diam total setelah 330 volt. Semua respons ini adalah rekayasa yang diputar melalui rekaman suara.⁶

Apabila partisipan ragu atau menolak melanjutkan, eksperimenter memberikan empat prods standar:

1)             “Please continue.”

2)             “The experiment requires that you continue.”

3)             “It is absolutely essential that you continue.”

4)             “You have no other choice; you must go on.”⁷

Eksperimen berhenti jika partisipan tetap menolak setelah prods tersebut, atau jika mereka mencapai level maksimum 450 volt.

3.4.        Variabel Penelitian

Milgram tidak hanya melakukan satu kali eksperimen, melainkan serangkaian variasi untuk menguji faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan:

·                Kedekatan dengan korban

Kepatuhan menurun drastis jika “guru” harus secara langsung menyentuhkan tangan “murid” ke elektroda.⁸

·                Kedekatan figur otoritas

Jika eksperimenter memberi instruksi melalui telepon, tingkat kepatuhan berkurang signifikan.⁹

·                Legitimasi institusional

Ketika eksperimen dipindahkan dari Universitas Yale ke lokasi kantor biasa, tingkat kepatuhan menurun, meskipun masih cukup tinggi.¹⁰

·                Dukungan sosial

Kehadiran figur lain yang menolak perintah menurunkan tingkat kepatuhan partisipan.¹¹

Rancangan variasi ini memperlihatkan bahwa kepatuhan bukan hasil dari sifat personal yang tetap, melainkan produk interaksi situasional dan struktur sosial yang menekankan legitimasi otoritas.

3.5.        Implikasi Metodologis

Metodologi Milgram memperlihatkan kekuatan desain eksperimental dalam psikologi sosial: penggunaan setting laboratorium yang terkendali, manipulasi variabel situasional, serta alat ukur yang sistematis memungkinkan peneliti mengeksplorasi perilaku moral dalam kondisi realistis namun aman (meski menimbulkan debat etis).¹² Meskipun eksperimen ini menuai kritik karena melibatkan penipuan dan tekanan emosional, kekuatan rancangan metodologinya menjadikannya salah satu studi paling terkenal dalam sejarah psikologi.


Footnotes

[1]            Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 45–48.

[2]            Stanley Milgram, Obedience to Authority (New York: Harper & Row, 1974), 5–7.

[3]            Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 371–372.

[4]            Ibid., 372–373.

[5]            Milgram, Obedience to Authority, 21–24.

[6]            Ibid., 28–30.

[7]            Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 373.

[8]            Milgram, Obedience to Authority, 35–36.

[9]            Ibid., 45–46.

[10]          Ibid., 63–65.

[11]          Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 377–378.

[12]          Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964): 421–423.


4.            Temuan dan Analisis Hasil

Eksperimen Milgram menghasilkan temuan yang mengejutkan sekaligus mendestabilisasi pandangan umum mengenai moralitas manusia dan batas kepatuhan terhadap otoritas. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas individu bersedia menaati perintah meskipun tindakan yang dilakukan bertentangan dengan nurani mereka. Bab ini akan menguraikan temuan utama, faktor-faktor situasional yang memengaruhi kepatuhan, perbandingan antara prediksi awal dengan kenyataan empiris, serta analisis teoretis atas data yang diperoleh.

4.1.        Tingkat Kepatuhan Partisipan

Dalam publikasi awalnya pada Journal of Abnormal and Social Psychology (1963), Milgram melaporkan bahwa 65% dari partisipan (26 dari 40 orang) menekan tuas hingga level maksimum 450 volt, meskipun mereka tampak gelisah, berkeringat, dan menunjukkan tanda-tanda stres emosional.¹ Sementara itu, hampir semua partisipan mencapai setidaknya 300 volt, titik ketika “murid” tidak lagi merespons secara verbal.² Data ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap perintah otoritas bukanlah perilaku yang langka, melainkan kecenderungan dominan dalam situasi eksperimental tertentu.

4.2.        Faktor Situasional yang Mempengaruhi Kepatuhan

Milgram tidak berhenti pada satu eksperimen, tetapi melakukan lebih dari selusin variasi yang menunjukkan betapa konteks situasional memengaruhi kepatuhan:

·                Kedekatan dengan korban

Kepatuhan berkurang drastis jika partisipan harus memegang tangan “murid” pada elektroda, dengan hanya 30% yang mencapai level maksimum.³

·                Kedekatan figur otoritas

Jika eksperimenter memberi instruksi melalui telepon, tingkat kepatuhan menurun menjadi sekitar 21%.⁴

·                Legitimasi institusional

Eksperimen yang dipindahkan dari Universitas Yale ke kantor biasa menunjukkan penurunan kepatuhan (47,5% mencapai voltase maksimum).⁵

·                Dukungan sosial

Kehadiran dua figur lain yang menolak melanjutkan eksperimen secara signifikan menurunkan kepatuhan menjadi hanya 10%.⁶

Temuan-temuan variasi ini menegaskan bahwa kepatuhan tidak hanya dipengaruhi faktor internal individu, tetapi juga struktur sosial, simbol legitimasi, dan keberadaan dukungan sosial.

4.3.        Prediksi Ahli vs. Realitas Empiris

Sebelum eksperimen, Milgram meminta prediksi dari psikolog, mahasiswa, dan orang awam tentang seberapa banyak partisipan yang akan patuh. Hampir semua memperkirakan hanya sekitar 1–3% orang yang bersedia mencapai voltase tertinggi.⁷ Kontras dengan perkiraan ini, hasil sebenarnya menunjukkan mayoritas justru melanjutkan hingga akhir. Perbedaan ini mencerminkan adanya bias optimisme moral, yakni kecenderungan manusia untuk meremehkan potensi kepatuhan terhadap perintah otoritas ketika mereka berada di luar konteks situasional.⁸

4.4.        Analisis Teoretis: Agentic State dan Displacement of Responsibility

Milgram menafsirkan hasil eksperimen melalui konsep agentic state, yaitu kondisi ketika individu melihat dirinya bukan sebagai aktor moral independen, melainkan sebagai agen pelaksana kehendak otoritas.⁹ Dalam keadaan ini, tanggung jawab moral dipindahkan (displacement of responsibility) dari pelaku kepada figur otoritas. Analisis ini menjelaskan mengapa partisipan tetap melanjutkan tindakan meski mengalami tekanan emosional: mereka meyakini bahwa tanggung jawab etis berada di tangan peneliti, bukan mereka.

4.5.        Dampak Psikologis pada Partisipan

Data observasional menunjukkan bahwa banyak partisipan mengalami tekanan luar biasa: mereka berkeringat, gemetar, tertawa gugup, bahkan ada yang mengalami kejang.¹⁰ Meskipun mayoritas tetap patuh, respons emosional ini menunjukkan adanya konflik moral antara dorongan nurani dan tekanan otoritas. Hasil ini mengindikasikan bahwa kepatuhan tidak sama dengan persetujuan batiniah; individu bisa taat meskipun hatinya menolak.

4.6.        Refleksi Awal atas Signifikansi Temuan

Temuan Milgram memiliki dua implikasi besar. Pertama, ia menantang pandangan tradisional bahwa kekejaman manusia semata-mata dilakukan oleh individu “jahat.” Sebaliknya, hasil eksperimen menunjukkan bahwa struktur otoritas dan konteks sosial dapat mengubah orang biasa menjadi pelaku tindakan yang bertentangan dengan moralitas.¹¹ Kedua, eksperimen ini memperluas pemahaman psikologi sosial tentang pentingnya situational power dibanding penjelasan berbasis disposisi individu.¹²


Footnotes

[1]            Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375–376.

[2]            Ibid., 374.

[3]            Milgram, Obedience to Authority (New York: Harper & Row, 1974), 35–36.

[4]            Ibid., 45–46.

[5]            Ibid., 63–65.

[6]            Stanley Milgram, “Some Conditions of Obedience and Disobedience to Authority,” Human Relations 18, no. 1 (1965): 57–58.

[7]            Milgram, Obedience to Authority, 31.

[8]            Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 98–100.

[9]            Milgram, Obedience to Authority, 133–134.

[10]          Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 376.

[11]          Philip Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 211–214.

[12]          Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New Haven: Yale University Press, 1989), 16–18.


5.            Kritik dan Kontroversi

Eksperimen Milgram bukan hanya menjadi tonggak penting dalam sejarah psikologi sosial, tetapi juga menimbulkan perdebatan panjang terkait metodologi, etika, dan interpretasi hasilnya. Dari sejak publikasi pertamanya hingga kini, penelitian tersebut terus diperdebatkan dalam ranah akademik maupun publik. Bab ini menguraikan tiga ranah utama kritik: metodologis, etis, dan epistemologis, serta kontroversi yang menyertainya.

5.1.        Kritik Metodologis

Beberapa ahli mempertanyakan validitas dan reliabilitas eksperimen Milgram. Diana Baumrind, misalnya, menilai bahwa situasi laboratorium yang penuh rekayasa tidak dapat digeneralisasikan secara luas ke dalam kehidupan nyata.¹ Menurutnya, skenario eksperimen menciptakan kondisi buatan yang ekstrem, sehingga hasilnya mungkin lebih mencerminkan kepatuhan dalam setting laboratorium daripada realitas sosial sehari-hari.

Selain itu, terdapat kritik bahwa partisipan mungkin tidak sepenuhnya percaya bahwa “murid” benar-benar mendapat kejutan listrik.² Hal ini menimbulkan keraguan apakah tingkat kepatuhan yang tinggi benar-benar mencerminkan ketaatan terhadap otoritas atau sekadar kepatuhan pada aturan permainan eksperimen. Gina Perry, melalui penelitian arsip dan wawancara, menemukan bahwa sebagian partisipan memang meragukan keaslian kejutan listrik, sehingga menimbulkan pertanyaan serius mengenai interpretasi Milgram atas datanya.³

5.2.        Kritik Etis

Kritik paling tajam diarahkan pada dimensi etis eksperimen. Milgram menggunakan penipuan (deception) dalam skala besar: partisipan tidak mengetahui tujuan sebenarnya dan diyakinkan bahwa mereka sedang melukai orang lain. Hal ini menimbulkan stres emosional yang serius: catatan lapangan menunjukkan bahwa beberapa partisipan menangis, gemetar, atau bahkan mengalami kejang.⁴ Baumrind menilai bahwa prosedur ini melanggar prinsip nonmaleficence karena menimbulkan penderitaan psikologis tanpa jaminan manfaat yang sepadan.¹

Selain itu, proses debriefing Milgram juga dipertanyakan. Beberapa laporan menyatakan bahwa penjelasan pasca-eksperimen tidak selalu dilakukan dengan segera atau mendalam, sehingga meninggalkan efek psikologis negatif pada sebagian peserta.⁵ Standar etika penelitian modern, seperti APA Ethics Code (2002, revisi 2017), kemungkinan besar tidak akan mengizinkan eksperimen seperti ini dijalankan kembali karena pelanggaran terhadap prinsip informed consent dan perlindungan subjek penelitian.⁶

5.3.        Kritik Epistemologis dan Interpretatif

Selain soal metodologi dan etika, kritik lain muncul terkait interpretasi Milgram atas fenomena kepatuhan. Beberapa peneliti menilai bahwa Milgram terlalu menekankan pada “agentic state” (pemindahan tanggung jawab pada otoritas) dan mengabaikan faktor motivasional lain, seperti keinginan partisipan untuk memenuhi norma trust in science atau kerangka eksperimen itu sendiri.⁷

Haslam, Reicher, dan koleganya mengajukan reinterpretasi berdasarkan teori identitas sosial, yang berargumen bahwa partisipan patuh bukan karena tunduk secara buta, tetapi karena mengidentifikasi diri mereka dengan tujuan otoritas yang dianggap sah, yakni kemajuan ilmu pengetahuan.⁸ Dengan kata lain, kepatuhan lahir dari proses internalisasi norma kolektif, bukan semata pergeseran tanggung jawab.

5.4.        Kontroversi Publik dan Dampaknya

Eksperimen Milgram juga menimbulkan kontroversi luas di luar dunia akademik. Media massa menyoroti hasil yang mengejutkan, sekaligus mempertanyakan moralitas ilmuwan yang tega menempatkan orang dalam situasi ekstrem.⁹ Debat ini mendorong reformasi besar dalam kode etik penelitian psikologi, termasuk penguatan syarat informed consent, pembatasan penggunaan penipuan, dan keharusan debriefing menyeluruh.⁶

Di sisi lain, kontroversi tersebut justru memperkokoh posisi eksperimen Milgram sebagai salah satu penelitian paling berpengaruh dalam psikologi sosial. Kritik yang diajukan, baik metodologis maupun etis, kini menjadi bahan refleksi penting dalam pendidikan psikologi untuk menekankan perlunya keseimbangan antara pencarian pengetahuan dan perlindungan subjek penelitian.


Kesimpulan Analitis

Meski banyak menuai kritik, eksperimen Milgram tetap memiliki nilai historis dan epistemologis. Ia membuka jalan bagi diskusi serius tentang batas-batas etika dalam penelitian manusia, sekaligus memperluas pemahaman kita tentang dinamika kepatuhan. Kontroversi yang menyertainya menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berdiri di ruang steril, melainkan selalu berkelindan dengan norma moral, kepercayaan publik, dan tanggung jawab sosial peneliti.


Footnotes

[1]            Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964): 421–423.

[2]            Richard A. Nicholson, “Review of Criticisms of the Milgram Obedience Experiments,” Contemporary Psychology 20, no. 6 (1975): 451–453.

[3]            Gina Perry, Behind the Shock Machine: The Untold Story of the Notorious Milgram Psychology Experiments (New York: The New Press, 2013), 88–93.

[4]            Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375–376.

[5]            Perry, Behind the Shock Machine, 146–150.

[6]            American Psychological Association, Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA, 2017), Standard 8.07.

[7]            Milgram, Obedience to Authority (New York: Harper & Row, 1974), 133–135.

[8]            Stephen D. Reicher, S. Alexander Haslam, and Joanne R. Smith, “Working Toward the Experimenter: Reconceptualizing Obedience Within the Milgram Paradigm as Identification-Based Followership,” Perspectives on Psychological Science 7, no. 4 (2012): 315–324.

[9]            Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 163–170.


6.            Relevansi Psikologis dan Sosial

Eksperimen Milgram, meskipun dilakukan lebih dari enam dekade lalu, tetap memiliki relevansi yang luas dalam memahami perilaku manusia di bawah tekanan otoritas. Temuannya tidak hanya penting dalam kerangka teoritis psikologi sosial, tetapi juga berimplikasi besar terhadap berbagai fenomena sosial, politik, dan organisasi modern. Bab ini menguraikan relevansi psikologis eksperimen Milgram dalam memperluas pemahaman tentang kepatuhan, serta relevansi sosialnya dalam menyoroti persoalan otoritarianisme, birokrasi, kepemimpinan, dan konteks kehidupan bermasyarakat.

6.1.        Implikasi Psikologis: Pemahaman tentang Kepatuhan

Secara psikologis, eksperimen Milgram menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap otoritas adalah fenomena yang kuat dan meluas, bukan penyimpangan yang langka.¹ Temuan ini mengubah fokus psikologi sosial dari penjelasan disposisional menuju pendekatan situasional: bahwa perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, legitimasi institusional, dan tekanan dari figur otoritas.²

Milgram memperkenalkan konsep agentic state, yaitu kondisi ketika individu menanggalkan otonomi moralnya dan menganggap dirinya sekadar agen yang melaksanakan perintah.³ Pemahaman ini penting bagi psikologi klinis maupun sosial karena menjelaskan bagaimana konflik moral dapat dipinggirkan oleh otoritas yang sah, menghasilkan fenomena yang oleh Zimbardo disebut moral disengagement.⁴ Dengan demikian, eksperimen Milgram memperkuat kesadaran bahwa batas kepatuhan dan tanggung jawab moral harus selalu dipertanyakan dalam konteks otoritas yang dominan.

6.2.        Relevansi Sosial-Politik: Otoritarianisme dan Birokrasi

Hasil eksperimen Milgram kerap digunakan untuk menjelaskan dinamika kekuasaan dalam rezim otoriter dan birokrasi modern. Eichmann dan aparat Nazi yang berargumen “hanya menjalankan perintah” menjadi bukti konkret bagaimana kepatuhan dapat melahirkan tragedi kemanusiaan.⁵ Herbert Kelman dan Lee Hamilton menyebut fenomena ini sebagai crimes of obedience, yakni kejahatan yang terjadi karena individu mengalihkan tanggung jawabnya pada sistem otoritas.⁶

Relevansi ini tidak hanya berlaku pada konteks sejarah, tetapi juga pada fenomena kontemporer: misalnya kepatuhan militer dalam perang yang melibatkan pelanggaran hak asasi, atau kepatuhan birokrasi dalam menjalankan kebijakan yang merugikan masyarakat. Eksperimen Milgram membantu menjelaskan mengapa individu yang pada dasarnya tidak kejam dapat terlibat dalam praktik represif ketika struktur otoritas dan legitimasi sistem mendorong mereka untuk taat.

6.3.        Relevansi dalam Organisasi dan Kepemimpinan

Dalam konteks organisasi modern, eksperimen Milgram menyoroti pentingnya kesadaran etis dalam struktur kepemimpinan dan manajemen. Kepatuhan tanpa refleksi kritis dapat menghasilkan keputusan yang tidak etis, baik dalam bidang bisnis, medis, maupun birokrasi publik.⁷ Dalam industri kesehatan, misalnya, ketaatan buta terhadap instruksi senior dapat mengabaikan kesejahteraan pasien. Sementara itu, dalam bisnis, kepatuhan terhadap perintah atasan dapat berujung pada praktik manipulatif atau eksploitasi.

Studi ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan yang sehat harus mendorong budaya dialog, akuntabilitas, dan ruang untuk menolak perintah yang tidak etis. Para peneliti kontemporer seperti Haslam dan Reicher menekankan bahwa kepatuhan sering muncul ketika individu mengidentifikasi diri dengan tujuan otoritas.⁸ Maka, kepemimpinan yang menumbuhkan nilai-nilai moral kolektif akan lebih membangun ketaatan yang konstruktif daripada ketaatan yang destruktif.

6.4.        Perbandingan dengan Eksperimen Sosial Lain

Relevansi eksperimen Milgram semakin nyata ketika dibandingkan dengan Stanford Prison Experiment (1971) oleh Philip Zimbardo. Keduanya menyoroti bagaimana struktur sosial dan otoritas dapat mengubah perilaku individu secara drastis.⁹ Jika Milgram menekankan peran otoritas eksternal dalam mendorong kepatuhan, Zimbardo menunjukkan bagaimana peran sosial internal (penjaga vs. tahanan) dapat memicu perilaku opresif. Kedua eksperimen ini bersama-sama memperlihatkan bahwa situasi sosial dapat membentuk perilaku jauh lebih kuat daripada predisposisi kepribadian.

6.5.        Refleksi Moral dan Relevansi Kontemporer

Di tengah dunia yang terus diwarnai konflik, birokrasi kompleks, dan teknologi pengendalian sosial yang semakin canggih, pelajaran dari Milgram tetap relevan. Kasus penyiksaan tahanan di Abu Ghraib, misalnya, kerap dijelaskan dengan kerangka eksperimen Milgram tentang kepatuhan terhadap otoritas militer.¹⁰ Demikian pula, fenomena kepatuhan birokratis dalam praktik korupsi atau pelanggaran HAM di berbagai negara dapat dipahami dengan lensa yang sama.

Relevansi moral eksperimen ini adalah seruan agar setiap individu mengembangkan kesadaran kritis untuk menolak perintah yang bertentangan dengan nurani. Masyarakat dan institusi harus membangun sistem yang tidak hanya menekankan kepatuhan, tetapi juga mengajarkan keberanian moral untuk disobedience ketika berhadapan dengan otoritas yang tidak adil.¹¹


Footnotes

[1]            Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375.

[2]            Milgram, Obedience to Authority (New York: Harper & Row, 1974), 123–125.

[3]            Ibid., 133–135.

[4]            Philip Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 211–214.

[5]            Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).

[6]            Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New Haven: Yale University Press, 1989), 16–18.

[7]            Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964): 421–423.

[8]            Stephen D. Reicher, S. Alexander Haslam, and Joanne R. Smith, “Working Toward the Experimenter: Reconceptualizing Obedience Within the Milgram Paradigm as Identification-Based Followership,” Perspectives on Psychological Science 7, no. 4 (2012): 315–324.

[9]            Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo, “Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 69–97.

[10]          Zimbardo, The Lucifer Effect, 322–328.

[11]          Kelman and Hamilton, Crimes of Obedience, 283–285.


7.            Relevansi Kontemporer

Meskipun Eksperimen Milgram dilakukan lebih dari enam dekade lalu, kajiannya tetap relevan dalam memahami tantangan kepatuhan dan otoritas di dunia modern. Fenomena kepatuhan yang ditunjukkan dalam eksperimen ini kini dapat dilihat dalam berbagai konteks sosial, politik, teknologi, maupun organisasi. Relevansi kontemporernya terletak pada bagaimana eksperimen ini membantu menjelaskan kecenderungan manusia untuk tunduk pada otoritas, bahkan ketika otoritas itu mendorong perilaku yang bertentangan dengan nurani.

7.1.        Fenomena Sosial-Politik Kontemporer

Eksperimen Milgram sering dijadikan rujukan untuk menjelaskan kepatuhan birokratis dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, keterlibatan aparat militer Amerika Serikat dalam kasus penyiksaan tahanan di Abu Ghraib pada 2004 sering dipahami dalam kerangka eksperimen Milgram: tentara patuh pada perintah atasan meskipun perintah tersebut melanggar prinsip moral dan hukum internasional.¹ Temuan serupa juga dapat menjelaskan kepatuhan aparat dalam konteks rezim otoriter modern yang menindas oposisi atau kelompok minoritas.²

7.2.        Relevansi dalam Dunia Organisasi dan Bisnis

Dalam dunia korporasi, eksperimen Milgram mengingatkan akan bahaya kepatuhan buta dalam hierarki organisasi. Skandal keuangan seperti kasus Enron atau skandal manipulasi data dalam perusahaan farmasi dapat ditafsirkan sebagai bentuk kepatuhan karyawan terhadap perintah manajer atau budaya perusahaan, meskipun perintah tersebut tidak etis.³ Oleh karena itu, lembaga-lembaga modern kini menekankan pentingnya whistleblowing dan mekanisme pengawasan internal agar individu memiliki keberanian moral untuk menolak perintah yang salah.

7.3.        Teknologi, Algoritma, dan Kepatuhan Baru

Dalam era digital, otoritas tidak hanya hadir dalam bentuk manusia, melainkan juga sistem algoritma dan kecerdasan buatan. Fenomena kepatuhan terhadap rekomendasi algoritma—misalnya dalam penggunaan media sosial atau sistem credit scoring—menunjukkan bagaimana individu cenderung mempercayai “otoritas teknologi” tanpa refleksi kritis.⁴ Beberapa peneliti bahkan mengaitkan fenomena automation bias dengan eksperimen Milgram, yakni kecenderungan individu untuk mengandalkan instruksi sistem otomatis meskipun berpotensi menimbulkan kesalahan.⁵

7.4.        Refleksi Etis dalam Penelitian dan Pendidikan

Eksperimen Milgram juga menjadi titik acuan dalam membentuk kode etik penelitian psikologi modern. Kontroversinya mendorong American Psychological Association (APA) memperketat regulasi terkait informed consent, penggunaan penipuan, dan debriefing.⁶ Dengan demikian, setiap penelitian kontemporer yang melibatkan manusia kini wajib memastikan perlindungan partisipan, menjadikan eksperimen Milgram sebagai pelajaran berharga tentang tanggung jawab moral ilmuwan.

Selain itu, dalam dunia pendidikan, eksperimen Milgram sering digunakan sebagai bahan diskusi untuk melatih mahasiswa dalam berpikir kritis tentang hubungan antara otoritas, kepatuhan, dan tanggung jawab moral.⁷ Hal ini memperlihatkan bahwa eksperimen tersebut bukan hanya warisan akademis, tetapi juga instrumen pedagogis yang membentuk kesadaran etis generasi baru.

7.5.        Kepatuhan, Nurani, dan Tanggung Jawab Global

Relevansi Milgram juga dapat dilihat dalam konteks globalisasi dan tantangan moral kontemporer. Isu seperti kepatuhan birokrat terhadap kebijakan diskriminatif, ketaatan masyarakat terhadap propaganda digital, atau ketaatan aparat dalam konflik bersenjata, semuanya menunjukkan bahwa dilema kepatuhan dan nurani tetap aktual. Seperti ditegaskan oleh Kelman dan Hamilton dalam konsep crimes of obedience, dunia modern memerlukan mekanisme sosial yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan akan otoritas dengan perlindungan nurani individu.⁸


Kesimpulan Analitis

Eksperimen Milgram menegaskan bahwa kepatuhan terhadap otoritas adalah fenomena universal yang melintasi batas waktu dan budaya. Di era kontemporer, bentuk otoritas memang bertransformasi—dari figur militer dan birokrasi hingga sistem algoritmik dan struktur organisasi global—namun dilema moral yang dihadapinya tetap sama. Relevansi eksperimen ini terletak pada kemampuannya memberi peringatan abadi: bahwa nurani manusia tidak boleh sepenuhnya didelegasikan kepada otoritas, dan keberanian untuk berkata tidak adalah fondasi moral bagi masyarakat yang adil.


Footnotes

[1]            Philip Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 322–328.

[2]            Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).

[3]            Stephen P. Robbins and Timothy A. Judge, Organizational Behavior, 18th ed. (Harlow: Pearson, 2019), 156–160.

[4]            Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 23–28.

[5]            Raja Parasuraman and Dietrich H. Manzey, “Complacency and Bias in Human Use of Automation: An Attentional Integration,” Human Factors 52, no. 3 (2010): 381–410.

[6]            American Psychological Association, Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA, 2017), Standard 8.07.

[7]            Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 201–204.

[8]            Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New Haven: Yale University Press, 1989), 283–285.


8.            Penutup

Eksperimen Milgram merupakan salah satu studi paling berpengaruh dalam sejarah psikologi sosial karena berhasil mengungkap dinamika mendasar antara kepatuhan, otoritas, dan nurani manusia. Melalui desain eksperimental yang sederhana namun penuh implikasi, Milgram menunjukkan bahwa mayoritas individu bersedia menaati perintah figur otoritas, bahkan ketika perintah tersebut menuntut mereka untuk melakukan tindakan yang jelas-jelas melanggar norma moral.¹ Temuan ini menantang pandangan tradisional yang menyandarkan perilaku kejam semata-mata pada “individu jahat,” sekaligus menekankan pentingnya konteks situasional dan legitimasi sosial dalam membentuk perilaku manusia.²

Kekuatan eksperimen Milgram terletak pada kemampuannya mengilustrasikan bahwa kepatuhan tidak selalu sejalan dengan persetujuan batiniah. Banyak partisipan yang menunjukkan tanda-tanda konflik moral—gemetar, berkeringat, bahkan menangis—namun tetap patuh pada perintah.³ Fenomena ini memperlihatkan paradoks mendasar dalam psikologi moral: bahwa manusia bisa sekaligus menolak dalam hati dan menaati dalam tindakan. Analisis teoretis yang dikembangkan Milgram, terutama konsep agentic state, memperkuat pemahaman kita mengenai mekanisme psikologis yang memungkinkan individu melepaskan tanggung jawab moral dengan mengalihkannya kepada otoritas.⁴

Namun, eksperimen ini juga memicu kritik tajam. Dari sisi metodologis, sejumlah pihak meragukan validitas eksternalnya; sementara dari sisi etis, penggunaan penipuan dan tekanan emosional dianggap melanggar prinsip nonmaleficence dan informed consent.⁵ Kontroversi tersebut akhirnya melahirkan reformasi besar dalam regulasi penelitian psikologi, termasuk penekanan pada kode etik yang lebih ketat sebagaimana dirumuskan oleh American Psychological Association.⁶ Dengan demikian, warisan Milgram tidak hanya berupa data empiris, tetapi juga standar baru dalam etika penelitian manusia.

Relevansi eksperimen Milgram terus berlanjut hingga hari ini. Dalam ranah sosial-politik, ia membantu menjelaskan keterlibatan individu biasa dalam kejahatan perang atau birokrasi represif.⁷ Dalam ranah organisasi dan bisnis, ia mengingatkan akan bahaya kepatuhan buta terhadap instruksi yang tidak etis.⁸ Bahkan dalam era teknologi modern, kepatuhan terhadap “otoritas algoritmik” menimbulkan pertanyaan baru tentang batas tanggung jawab manusia dalam menghadapi instruksi mesin.⁹ Dengan kata lain, eksperimen Milgram tetap menjadi lensa kritis untuk memahami dilema kepatuhan dalam konteks global dan kontemporer.

Akhirnya, eksperimen Milgram meninggalkan pesan moral yang tak lekang oleh waktu: bahwa kepatuhan terhadap otoritas adalah fenomena yang kuat, tetapi bukan tanpa batas. Masyarakat yang sehat membutuhkan keberanian moral individu untuk menolak perintah yang tidak adil. Sebagaimana ditegaskan oleh Kelman dan Hamilton dalam konsep crimes of obedience, tanggung jawab etis tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada otoritas—ia tetap melekat pada setiap individu.¹⁰ Dengan demikian, warisan sejati dari eksperimen Milgram bukan hanya pemahaman ilmiah tentang kepatuhan, tetapi juga ajakan normatif agar manusia selalu menjaga integritas nurani dalam menghadapi kekuasaan.


Footnotes

[1]            Stanley Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” Journal of Abnormal and Social Psychology 67, no. 4 (1963): 375–376.

[2]            Thomas Blass, The Man Who Shocked the World: The Life and Legacy of Stanley Milgram (New York: Basic Books, 2004), 98–100.

[3]            Milgram, “Behavioral Study of Obedience,” 376.

[4]            Milgram, Obedience to Authority (New York: Harper & Row, 1974), 133–135.

[5]            Diana Baumrind, “Review of Stanley Milgram’s Experiments on Obedience,” American Psychologist 19, no. 6 (1964): 421–423.

[6]            American Psychological Association, Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct (Washington, DC: APA, 2017), Standard 8.07.

[7]            Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963).

[8]            Stephen P. Robbins and Timothy A. Judge, Organizational Behavior, 18th ed. (Harlow: Pearson, 2019), 156–160.

[9]            Raja Parasuraman and Dietrich H. Manzey, “Complacency and Bias in Human Use of Automation: An Attentional Integration,” Human Factors 52, no. 3 (2010): 381–410.

[10]          Herbert C. Kelman and Lee H. Hamilton, Crimes of Obedience: Toward a Social Psychology of Authority and Responsibility (New Haven: Yale University Press, 1989), 283–285.


Daftar Pustaka

American Psychological Association. (2017). Ethical principles of psychologists and code of conduct. Washington, DC: Author.

Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. New York, NY: Viking Press.

Asch, S. E. (1955). Opinions and social pressure. Scientific American, 193(5), 31–35.

Baumrind, D. (1964). Review of Stanley Milgram’s experiments on obedience. American Psychologist, 19(6), 421–423.

Blass, T. (2004). The man who shocked the world: The life and legacy of Stanley Milgram. New York, NY: Basic Books.

Burger, J. M. (2009). Replicating Milgram: Would people still obey today? American Psychologist, 64(1), 1–11.

Deutsch, M., & Gerard, H. B. (1955). A study of normative and informational social influences upon individual judgment. Journal of Abnormal and Social Psychology, 51(3), 629–636.

Elms, A. C. (2009). Obedience lite. American Psychologist, 64(1), 32–36.

Haney, C., Banks, C., & Zimbardo, P. (1973). Interpersonal dynamics in a simulated prison. International Journal of Criminology and Penology, 1(1), 69–97.

Herrera, C. (2001). Ethics, deception, and “Those Milgram experiments.” Philosophy Faculty Publications, 1–15. Montclair State University.

Kelman, H. C., & Hamilton, L. H. (1989). Crimes of obedience: Toward a social psychology of authority and responsibility. New Haven, CT: Yale University Press.

Lewin, K. (1951). Field theory in social science: Selected theoretical papers. New York, NY: Harper & Brothers.

Milgram, S. (1963). Behavioral study of obedience. Journal of Abnormal and Social Psychology, 67(4), 371–378.

Milgram, S. (1965). Some conditions of obedience and disobedience to authority. Human Relations, 18(1), 57–76.

Milgram, S. (1974). Obedience to authority. New York, NY: Harper & Row.

Nicholson, R. A. (1975). Review of criticisms of the Milgram obedience experiments. Contemporary Psychology, 20(6), 451–453.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. New York, NY: NYU Press.

Parasuraman, R., & Manzey, D. H. (2010). Complacency and bias in human use of automation: An attentional integration. Human Factors, 52(3), 381–410.

Perry, G. (2013). Behind the shock machine: The untold story of the notorious Milgram psychology experiments. New York, NY: The New Press.

Reicher, S. D., Haslam, S. A., & Smith, J. R. (2012). Working toward the experimenter: Reconceptualizing obedience within the Milgram paradigm as identification-based followership. Perspectives on Psychological Science, 7(4), 315–324.

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2019). Organizational behavior (18th ed.). Harlow, UK: Pearson.

Zimbardo, P. (2007). The Lucifer effect: Understanding how good people turn evil. New York, NY: Random House.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar