Kamis, 05 Juni 2025

Kekuasaan Eksekutif: Teori, Fungsi, Dinamika, dan Tantangan Kontemporer

Kekuasaan Eksekutif

Teori, Fungsi, Dinamika, dan Tantangan Kontemporer


Alihkan ke: Pemisahan Kekuasaan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep, fungsi, bentuk, dan tantangan kekuasaan eksekutif dalam sistem ketatanegaraan modern. Dimulai dari fondasi teoritis yang dibangun oleh pemikir klasik seperti Montesquieu dan John Locke, pembahasan dilanjutkan dengan evolusi historis kekuasaan eksekutif dari masa monarki absolut hingga sistem konstitusional. Artikel ini juga mengeksplorasi struktur internal dan fungsi-fungsi utama eksekutif, serta membandingkan implementasinya dalam berbagai model pemerintahan—presidensial, parlementer, dan semi-presidensial—melalui studi kasus negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Indonesia. Di samping itu, dibahas pula dinamika dan kontroversi yang mengiringi praktik kekuasaan eksekutif, seperti kecenderungan otoritarian, penyalahgunaan wewenang, serta tantangan legitimasi dalam konteks populisme, digitalisasi, dan krisis global. Artikel ini menegaskan bahwa efektivitas dan akuntabilitas kekuasaan eksekutif hanya dapat dijaga melalui penguatan institusi pengawas, reformasi birokrasi, dan komitmen terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional.

Kata Kunci; Kekuasaan eksekutif, sistem ketatanegaraan, presidensialisme, parlementarisme, checks and balances, demokrasi, akuntabilitas, populisme, pemerintahan digital, krisis global.


PEMBAHASAN

Kekuasaan Eksekutif dalam Sistem Ketatanegaraan


1.           Pendahuluan

Kekuasaan eksekutif merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang berfungsi menjalankan roda pemerintahan dan menerapkan kebijakan publik. Dalam kerangka pembagian kekuasaan (separation of powers), eksekutif memiliki posisi strategis karena ia menjadi ujung tombak pelaksanaan undang-undang, penyelenggaraan administrasi negara, serta penjamin stabilitas nasional. Konsep ini berakar dari pemikiran filsuf politik abad ke-18, Montesquieu, yang dalam karyanya De l’esprit des lois menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk mencegah tirani dan menjaga kebebasan warga negara.1

Secara umum, kekuasaan eksekutif mencakup seluruh perangkat pemerintahan yang bertugas untuk menjalankan kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh legislatif. Dalam praktik ketatanegaraan, bentuk dan peran kekuasaan eksekutif dapat bervariasi tergantung pada sistem pemerintahan yang dianut, seperti sistem presidensial, parlementer, atau campuran. Dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat, presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sementara itu, dalam sistem parlementer seperti di Inggris, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen.2

Keberadaan kekuasaan eksekutif bukan hanya menyangkut aspek pelaksanaan kebijakan, tetapi juga mencerminkan kapasitas negara dalam menjaga keteraturan sosial, menjamin hak-hak warga negara, dan menghadirkan layanan publik secara efektif. Oleh karena itu, kualitas institusi eksekutif seringkali menjadi ukuran kinerja suatu pemerintahan, terutama dalam konteks negara demokrasi yang menekankan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi.3

Namun demikian, kekuasaan eksekutif tidak lepas dari permasalahan. Konsentrasi kekuasaan, kecenderungan otoritarian, serta minimnya pengawasan sering menjadi sumber penyimpangan yang mengancam prinsip demokrasi. Di sejumlah negara, kekuasaan eksekutif bahkan menjadi instrumen politik yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak sah, menyingkirkan oposisi, dan membungkam kritik publik.4 Maka dari itu, kajian terhadap kekuasaan eksekutif perlu dilakukan secara mendalam, tidak hanya dari sisi teoritis dan historis, tetapi juga dari dinamika kontemporer yang sedang berlangsung.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif konsep kekuasaan eksekutif dalam sistem ketatanegaraan, mencakup teori-teori dasar, evolusi dan bentuk-bentuk institusinya, perbandingan antar sistem pemerintahan, serta tantangan aktual yang dihadapi dalam konteks global saat ini. Dengan pendekatan interdisipliner dan berbasis pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan kajian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih mendalam tentang peran dan posisi kekuasaan eksekutif dalam tatanan negara modern.


Footnotes

[1]                Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–174.

[2]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 115–122.

[3]                Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 24–45.

[4]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing Group, 2018), 4–10.


2.           Landasan Teoretis Kekuasaan Eksekutif

Pemikiran tentang kekuasaan eksekutif berakar kuat dalam teori politik klasik yang menekankan pentingnya pembagian kekuasaan sebagai mekanisme pencegah tirani dan pemusatan kekuasaan. Salah satu fondasi intelektual paling berpengaruh adalah karya Charles de Montesquieu, De l’esprit des lois (1748), yang memperkenalkan gagasan trias politica: pemisahan kekuasaan menjadi tiga cabang utama—legislatif, eksekutif, dan yudikatif.1 Dalam pandangan Montesquieu, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan menangani urusan luar negeri serta militer. Pemisahan ini dimaksudkan agar masing-masing cabang kekuasaan tidak melampaui batasnya, sekaligus menjaga kebebasan politik rakyat.

Lebih awal dari Montesquieu, John Locke dalam Two Treatises of Government (1689) telah membedakan antara “executive power” dan “federative power”, yaitu kekuasaan untuk menjalankan hukum dan kekuasaan untuk menangani urusan luar negeri. Locke menekankan bahwa eksekutif harus memiliki fleksibilitas dalam mengambil keputusan yang tidak selalu dapat diantisipasi oleh hukum yang berlaku, sehingga ia memperkenalkan konsep “prerogatif”, yakni kebebasan bertindak demi kepentingan umum di luar batas hukum formal ketika diperlukan.2 Konsep ini menjadi dasar penting bagi pembentukan peran eksekutif yang kuat namun tetap terbatas secara prinsipil.

Dalam perkembangannya, teori pembagian kekuasaan tidak selalu dimaknai secara kaku. Banyak negara modern mengembangkan sistem checks and balances untuk memastikan interaksi antarcabang kekuasaan tetap saling mengontrol. Eksekutif tidak hanya menjalankan perintah legislatif, tetapi juga memiliki peran penting dalam perumusan kebijakan, pengawasan administratif, dan stabilisasi politik. Dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat, presiden memiliki hak veto terhadap legislasi dan peran kuat dalam kebijakan luar negeri, sedangkan dalam sistem parlementer seperti di Inggris, eksekutif bergantung pada kepercayaan parlemen, yang membuat relasi antara legislatif dan eksekutif menjadi lebih menyatu namun tetap terkendali.3

Para pemikir politik kontemporer menyoroti pergeseran fungsi eksekutif dalam konteks modern. Menurut Giovanni Sartori, sistem pemerintahan demokratis harus menjaga keseimbangan antara efektivitas eksekutif dan akuntabilitas demokratis, sehingga kekuasaan eksekutif tidak berubah menjadi otoritarianisme terselubung.4 Dalam praktiknya, eksekutif modern memiliki birokrasi luas dan peran strategis dalam teknologi, keamanan, dan hubungan internasional. Oleh karena itu, eksekutif bukan sekadar pelaksana undang-undang, tetapi aktor utama dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik, bahkan dalam beberapa kasus menjadi penentu arah ideologis negara.

Kesimpulannya, fondasi teoretis kekuasaan eksekutif didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan untuk menjamin kebebasan politik, tetapi secara historis dan empiris berkembang ke arah institusi yang dinamis, kompleks, dan strategis dalam pemerintahan modern. Pemahaman terhadap dasar teoritis ini penting untuk menilai bentuk, batas, dan legitimasi kekuasaan eksekutif di berbagai sistem ketatanegaraan.


Footnotes

[1]                Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–174.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 365–370.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 118–124.

[4]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU Press, 1997), 124–130.


3.           Sejarah dan Evolusi Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif dalam sistem ketatanegaraan merupakan hasil dari evolusi panjang institusi politik sejak era monarki kuno hingga terbentuknya negara-negara modern berbasis konstitusi. Sejarah kekuasaan eksekutif tidak dapat dilepaskan dari transformasi bentuk pemerintahan, khususnya dalam konteks peralihan dari kekuasaan absolut menuju sistem pemerintahan yang lebih berbasis hukum dan representasi rakyat.

3.1.       Era Monarki Absolut dan Asal-usul Kekuasaan Terpusat

Pada masa pra-modern, kekuasaan eksekutif secara praktis dijalankan oleh raja atau kaisar yang memerintah secara absolut. Di bawah sistem ini, kepala negara sekaligus menjadi pemegang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Contoh klasiknya dapat ditemukan dalam pemerintahan Raja Louis XIV dari Prancis, yang secara terkenal menyatakan “L’État, c’est moi” (Negara adalah saya), mencerminkan pemusatan kekuasaan eksekutif tanpa mekanisme pengawasan.1 Dalam sistem seperti ini, hukum tunduk pada kehendak penguasa dan legitimasi berasal dari klaim ilahi atau warisan dinasti.

Namun, pemusatan kekuasaan ini kemudian menuai kritik dan perlawanan dari pemikir-pemikir politik yang menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan demi kebebasan rakyat. Gerakan ini berpuncak pada revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Inggris (1688) dan Revolusi Prancis (1789), yang menjadi tonggak awal bagi peralihan ke sistem konstitusional. Kedua revolusi tersebut menandai bangkitnya prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan dan supremasi hukum, serta perumusan konstitusi sebagai batas formal bagi kekuasaan eksekutif.2

3.2.       Kodifikasi Kekuasaan Eksekutif dalam Konstitusi Modern

Setelah Revolusi Amerika (1776), prinsip pembagian kekuasaan secara sistematis dituangkan dalam konstitusi tertulis. Konstitusi Amerika Serikat 1787 menjadi salah satu dokumen pertama yang merinci fungsi, batas, dan mekanisme pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Presiden sebagai kepala eksekutif diberikan kekuasaan luas, tetapi tetap dalam kerangka checks and balances oleh legislatif dan yudikatif.3 Model ini kemudian menjadi rujukan banyak negara lain, khususnya yang menganut sistem presidensial.

Sebaliknya, dalam sistem parlementer seperti Inggris, evolusi kekuasaan eksekutif berjalan melalui reformasi bertahap dan konvensi ketatanegaraan. Sejak abad ke-19, kekuasaan raja secara de facto berkurang dan berpindah kepada kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri, yang bertanggung jawab kepada parlemen. Proses ini mencerminkan pergeseran dari monarki absolut ke monarki konstitusional, di mana raja hanya berperan simbolis dan kekuasaan dijalankan oleh lembaga-lembaga yang representatif.4

3.3.       Perkembangan Eksekutif dalam Konteks Negara Modern

Abad ke-20 menandai pertumbuhan luar biasa dari peran kekuasaan eksekutif, seiring dengan meningkatnya kompleksitas negara modern, seperti birokrasi, kebijakan fiskal, urusan luar negeri, dan kesejahteraan sosial. Dalam banyak negara, eksekutif tidak lagi sekadar pelaksana hukum, tetapi juga inisiator kebijakan dan manajer teknokratis yang mengatur berbagai sektor kehidupan publik.5 Hal ini terutama terlihat pasca Perang Dunia II, ketika negara kesejahteraan mulai berkembang dan pemerintah mengambil peran aktif dalam mengatur ekonomi dan jaminan sosial.

Namun, pertumbuhan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan eksekutifisme, yaitu kecenderungan kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan dalam sistem pemerintahan. Beberapa negara menghadapi gejala presidensialisasi politik, di mana kepala eksekutif mengonsolidasikan kekuasaan secara luas, mengurangi peran legislatif, dan mengaburkan batas antara demokrasi dan otoritarianisme.6 Fenomena ini menjadi perhatian utama dalam kajian politik kontemporer dan memicu tuntutan terhadap penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas.

Dengan demikian, kekuasaan eksekutif telah mengalami transformasi fundamental dari otoritas monarki menuju peran modern yang kompleks dan strategis. Evolusinya tidak bersifat linier, melainkan ditentukan oleh interaksi historis, sosial, dan ideologis di masing-masing negara. Memahami sejarah kekuasaan eksekutif menjadi penting untuk menilai legitimasi, batas, dan arah reformasi yang dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan kontemporer.


Footnotes

[1]                William Doyle, The Oxford History of the French Revolution (Oxford: Oxford University Press, 2002), 24–26.

[2]                Eric Nelson, The Royalist Revolution: Monarchy and the American Founding (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 45–67.

[3]                Jack Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of the Constitution (New York: Vintage Books, 1997), 258–272.

[4]                Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford: Oxford University Press, 1995), 36–52.

[5]                B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010), 5–17.

[6]                Thomas Poguntke and Paul Webb, eds., The Presidentialization of Politics: A Comparative Study of Modern Democracies (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–11.


4.           Struktur dan Fungsi Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif dalam sistem ketatanegaraan modern merupakan institusi yang kompleks, terdiri dari berbagai unsur yang secara kolektif bertugas menjalankan pemerintahan negara. Struktur internal kekuasaan eksekutif bervariasi tergantung pada sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara, namun secara umum terdiri atas kepala negara, kepala pemerintahan, serta perangkat administratif seperti kementerian dan lembaga negara.

4.1.       Unsur-Unsur Utama Kekuasaan Eksekutif

Dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat atau Indonesia, kepala negara sekaligus menjadi kepala pemerintahan, yakni presiden, yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaan urusan eksekutif. Presiden dibantu oleh wakil presiden, kabinet atau menteri, serta badan-badan eksekutif non-kementerian. Di sisi lain, dalam sistem parlementer seperti Inggris atau India, kepala negara (monarki atau presiden seremonial) dibedakan dari kepala pemerintahan (perdana menteri), yang memimpin kabinet dan memiliki kekuasaan eksekutif substantif.1

Komponen-komponen eksekutif ini bertugas melaksanakan hukum, mengatur administrasi pemerintahan, serta menyelenggarakan hubungan luar negeri, keamanan nasional, dan kebijakan publik lainnya. Pembagian fungsi antar bagian tersebut memungkinkan efisiensi dan spesialisasi dalam pengelolaan negara, meskipun juga membuka ruang bagi kompleksitas birokratis yang menuntut koordinasi dan akuntabilitas yang ketat.2

4.2.       Fungsi Utama Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif memiliki sejumlah fungsi pokok yang menentukan jalannya pemerintahan dan kehidupan publik. Beberapa fungsi utama tersebut adalah:

4.2.1.      Pelaksanaan Undang-Undang

Eksekutif bertanggung jawab untuk melaksanakan hukum yang telah disahkan oleh lembaga legislatif. Dalam konteks ini, presiden atau perdana menteri memiliki peran kunci dalam menetapkan kebijakan teknis dan menyusun peraturan pelaksana yang menjadi instrumen administratif.3

4.2.2.      Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Publik

Meskipun secara formal pembuatan undang-undang adalah wewenang legislatif, dalam praktiknya eksekutif seringkali memegang peran dominan dalam merancang agenda kebijakan melalui inisiatif kebijakan, nota keuangan, atau program pembangunan jangka menengah/panjang. Eksekutif juga menjadi pelaksana utama kebijakan publik melalui kementerian teknis dan lembaga pelaksana.4

4.2.3.      Pengelolaan Administrasi Negara dan Birokrasi

Eksekutif mengawasi jalannya birokrasi negara melalui kementerian dan lembaga pemerintah. Birokrasi modern merupakan instrumen vital dalam pelaksanaan layanan publik, pengelolaan sumber daya negara, dan pencapaian tujuan strategis pemerintahan. Birokrasi juga memainkan peran penting dalam menjaga kesinambungan pemerintahan lintas rezim politik.5

4.2.4.      Hubungan Internasional dan Pertahanan

Dalam banyak negara, kekuasaan eksekutif mengemban tanggung jawab dalam hubungan luar negeri, termasuk diplomasi, penandatanganan perjanjian, dan pelaksanaan kebijakan luar negeri. Selain itu, eksekutif juga menjadi penanggung jawab atas sektor pertahanan dan keamanan nasional, termasuk komando militer, deklarasi perang, serta penanganan situasi darurat.6

4.2.5.      Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Publik

Eksekutif memiliki kewenangan untuk mengangkat pejabat tinggi negara, termasuk menteri, duta besar, kepala lembaga negara, dan pejabat birokrasi senior. Kewenangan ini diatur oleh hukum dan sering kali disertai mekanisme pengawasan legislatif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.7

4.3.       Fleksibilitas dan Kompleksitas Kekuasaan Eksekutif

Struktur kekuasaan eksekutif tidak bersifat statis, melainkan menyesuaikan dengan kebutuhan negara, dinamika politik, serta tantangan global. Misalnya, munculnya isu-isu lintas sektor seperti perubahan iklim, teknologi digital, dan krisis kesehatan global mendorong pembentukan unit-unit ad hoc dan koordinasi lintas kementerian. Ini menuntut eksekutif untuk bersikap adaptif dan responsif dalam menghadapi situasi yang terus berubah tanpa kehilangan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Dalam rangka menjamin efektivitas dan integritas kekuasaan eksekutif, banyak negara mengembangkan instrumen governance seperti audit independen, komisi antikorupsi, dan sistem informasi terbuka. Upaya ini penting agar fungsi eksekutif tidak menjadi alat kepentingan kelompok tertentu, tetapi tetap berpihak pada kepentingan publik secara luas.


Footnotes

[1]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 118–122.

[2]                B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010), 15–29.

[3]                Brian R. Dirck, Executive Power: How American Presidents Have Shaped the Constitution (Lawrence: University Press of Kansas, 2012), 56–67.

[4]                James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 35–47.

[5]                Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 91–108.

[6]                Daniel W. Drezner, Theories of International Politics and Zombies (Princeton: Princeton University Press, 2011), 94–101.

[7]                Herman Finer, The Theory and Practice of Modern Government, vol. 1 (New York: Methuen, 1961), 308–316.


5.           Tipe-Tipe Kekuasaan Eksekutif

Dalam teori dan praktik ketatanegaraan, kekuasaan eksekutif tidaklah bersifat seragam. Ia berkembang dalam beragam bentuk sesuai dengan struktur konstitusional dan dinamika politik di masing-masing negara. Secara umum, kekuasaan eksekutif dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur kepemimpinan internal dan sistem pemerintahan yang digunakan. Dua pendekatan utama dalam klasifikasi ini adalah: (1) eksekutif tunggal vs. eksekutif ganda, dan (2) sistem presidensial vs. sistem parlementer vs. sistem semi-presidensial.

5.1.       Eksekutif Tunggal dan Eksekutif Ganda

5.1.1.      Eksekutif Tunggal (Single Executive)

Eksekutif tunggal adalah bentuk kekuasaan eksekutif di mana satu figur memegang sekaligus fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sistem ini lazim ditemukan dalam model presidensial, seperti di Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil. Presiden memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin negara dan pemerintahan, dengan tanggung jawab menyeluruh atas pelaksanaan kebijakan dan administrasi negara.1

Model ini dianggap menjamin efisiensi pengambilan keputusan karena sentralisasi otoritas dalam satu figur. Namun demikian, ia juga berpotensi menimbulkan konsentrasi kekuasaan yang tinggi, sehingga memerlukan sistem checks and balances yang kuat untuk menghindari otoritarianisme.2

5.1.2.      Eksekutif Ganda (Dual Executive)

Eksekutif ganda membedakan secara tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara (misalnya raja dalam monarki konstitusional atau presiden seremonial) menjalankan fungsi simbolis dan protokoler, sedangkan kepala pemerintahan (perdana menteri) memiliki kewenangan administratif dan politik yang substantif. Sistem ini banyak diterapkan dalam negara-negara parlementer seperti Inggris, Jerman, dan India.3

Kelebihan sistem ini terletak pada pembagian peran yang memungkinkan pemisahan antara simbolisme negara dan tanggung jawab politis praktis. Namun, kompleksitas hubungan antara kedua unsur eksekutif dapat memunculkan konflik, terutama dalam konteks pemerintahan koalisi yang tidak stabil.

5.2.       Sistem Presidensial, Parlementer, dan Semi-Presidensial

5.2.1.    Sistem Presidensial

Dalam sistem presidensial, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan tetap. Ia tidak bergantung pada kepercayaan legislatif untuk mempertahankan jabatannya. Kementerian berada di bawah kendali langsung presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh khas sistem ini adalah Amerika Serikat dan sebagian besar negara Amerika Latin.4

Kelebihannya mencakup stabilitas pemerintahan karena kepala eksekutif tidak mudah dijatuhkan, namun kelemahannya adalah potensi kebuntuan (gridlock) antara presiden dan legislatif, terutama jika berasal dari partai berbeda.5

5.2.2.      Sistem Parlementer

Dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan (perdana menteri) diangkat dari mayoritas parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Kepala negara biasanya berfungsi simbolis. Model ini menekankan pada kolegialitas dan akuntabilitas langsung kepada parlemen, seperti yang terlihat di Inggris, Australia, dan Jepang.6

Kelebihan sistem ini adalah fleksibilitas politik dan respon cepat terhadap krisis, namun rentan terhadap ketidakstabilan jika parlemen terfragmentasi atau tidak ada mayoritas yang solid.

5.2.3.      Sistem Semi-Presidensial

Sistem semi-presidensial merupakan campuran antara presidensial dan parlementer. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki kekuasaan eksekutif tertentu, tetapi pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Model ini digunakan di Prancis, Rusia, dan beberapa negara di Afrika dan Eropa Timur.7

Kekuatan sistem ini terletak pada fleksibilitas dan keseimbangan antara legitimasi rakyat dan stabilitas parlementer. Namun, potensi konflik antara presiden dan perdana menteri tinggi, terutama dalam kondisi cohabitation, yaitu ketika presiden dan perdana menteri berasal dari partai politik yang berbeda.


Kesimpulan

Tipe-tipe kekuasaan eksekutif mencerminkan upaya negara-negara untuk menyeimbangkan antara efektivitas pemerintahan dan akuntabilitas demokratis. Pemilihan model tertentu bukan sekadar persoalan struktural, tetapi sangat dipengaruhi oleh sejarah politik, budaya hukum, dan dinamika sosial masing-masing negara. Oleh karena itu, pemahaman terhadap variasi ini penting dalam menganalisis kinerja dan legitimasi kekuasaan eksekutif dalam konteks yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Brian R. Dirck, Executive Power: How American Presidents Have Shaped the Constitution (Lawrence: University Press of Kansas, 2012), 34–41.

[2]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 96–109.

[4]                Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 118–125.

[5]                Scott Mainwaring and Matthew S. Shugart, eds., Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–29.

[6]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU Press, 1997), 135–142.

[7]                Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Subtypes and Democratic Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 15–22.


6.           Mekanisme Pengawasan terhadap Kekuasaan Eksekutif

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan eksekutif tidak dapat dijalankan tanpa batas. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, sistem ketatanegaraan mengembangkan berbagai mekanisme pengawasan (checks and balances) yang bertujuan menjaga akuntabilitas, transparansi, dan supremasi hukum. Pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan oleh lembaga-lembaga negara lain seperti legislatif dan yudikatif, serta oleh aktor-aktor non-negara seperti media, masyarakat sipil, dan lembaga independen.

6.1.       Pengawasan oleh Legislatif

Lembaga legislatif merupakan pengawas utama terhadap kebijakan dan tindakan eksekutif. Dalam banyak negara, legislatif memiliki berbagai instrumen untuk menyeimbangkan dan mengontrol eksekutif, seperti:

·                     Hak angket untuk menyelidiki tindakan pemerintah

·                     Interpelasi dan pertanyaan parlemen untuk meminta klarifikasi dari pejabat eksekutif

·                     Mosi tidak percaya (khusus dalam sistem parlementer) untuk menjatuhkan pemerintahan

·                     Kewenangan anggaran untuk menyetujui atau menolak rencana keuangan eksekutif1

Dalam sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Kongres memiliki kekuatan besar melalui proses pemakzulan (impeachment) terhadap presiden dan pejabat tinggi lainnya atas dasar pelanggaran hukum atau konstitusi. Kasus pemakzulan Presiden Richard Nixon dan Donald Trump merupakan contoh nyata bagaimana legislatif dapat memainkan peran korektif terhadap kekuasaan eksekutif.2

6.2.       Pengawasan oleh Yudikatif

Lembaga yudikatif memiliki peran sebagai penjaga konstitusi dan pelindung supremasi hukum. Pengadilan memiliki kewenangan untuk:

·                     Menilai konstitusionalitas tindakan eksekutif (judicial review)

·                     Membatalkan kebijakan eksekutif yang bertentangan dengan hukum

·                     Melindungi hak-hak warga negara dari potensi pelanggaran oleh eksekutif

Dalam banyak sistem hukum, Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung menjadi benteng terakhir terhadap tindakan eksesif dari cabang eksekutif. Sebagai contoh, Mahkamah Agung India telah beberapa kali membatalkan keputusan eksekutif yang dianggap melampaui batas kewenangan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.3

6.3.       Lembaga Pengawasan Independen

Selain legislatif dan yudikatif, banyak negara membentuk lembaga negara independen untuk mengawasi kinerja eksekutif, seperti:

·                     Komisi anti-korupsi

·                     Ombudsman publik

·                     Lembaga audit nasional

Lembaga-lembaga ini bertugas menyelidiki pelanggaran administratif, korupsi, atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat eksekutif. Di Indonesia, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berperan sebagai lembaga independen yang mengawasi tindak pidana korupsi, khususnya di lingkungan eksekutif.4

6.4.       Peran Masyarakat Sipil dan Media

Dalam masyarakat demokratis, media massa dan organisasi masyarakat sipil (OMS) memainkan peran vital sebagai pengawas non-formal terhadap eksekutif. Investigasi jurnalis, laporan lembaga swadaya masyarakat, serta aksi protes publik telah berkali-kali berhasil menyoroti dan menghentikan kebijakan eksekutif yang dianggap menyimpang. Konsep "watchdog journalism" menunjukkan bagaimana media bisa menjadi kekuatan keempat (the fourth estate) dalam demokrasi modern.5

Namun, efektivitas pengawasan ini sangat tergantung pada kebebasan pers, akses informasi publik, dan perlindungan terhadap pembocor informasi (whistleblower). Di negara-negara otoriter, peran ini sering dibungkam melalui represi, penyensoran, atau kriminalisasi terhadap kritik.

6.5.       Mekanisme Internal Eksekutif

Pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dapat dibangun melalui mekanisme internal, seperti:

·                     Inspektorat jenderal dalam setiap kementerian

·                     Unit pengawasan internal pemerintah

·                     Kode etik pejabat publik

·                     Audit internal dan manajemen risiko

Reformasi birokrasi dan peningkatan kapasitas tata kelola internal sangat penting agar institusi eksekutif tidak hanya patuh pada hukum eksternal, tetapi juga menjunjung standar profesionalisme dan integritas dari dalam.6


Kesimpulan

Pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif merupakan elemen fundamental dari sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadaban hukum. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, kekuasaan eksekutif dapat dengan mudah menjelma menjadi alat dominasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang kuat, transparan, dan independen menjadi syarat utama bagi keberlangsungan pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap rakyat.


Footnotes

[1]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 130–133.

[2]                Keith E. Whittington, Repugnant Laws: Judicial Review of Acts of Congress from the Founding to the Present (Lawrence: University Press of Kansas, 2019), 296–305.

[3]                Upendra Baxi, The Indian Supreme Court and Politics (Delhi: Eastern Book Company, 1980), 67–74.

[4]                Simon Butt and Nicholas Parsons, Corruption and Law in Indonesia (London: Routledge, 2012), 55–71.

[5]                Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, 3rd ed. (New York: Three Rivers Press, 2014), 21–28.

[6]                B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010), 102–110.


7.           Dinamika dan Kontroversi Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif, meskipun dirancang sebagai pelaksana kebijakan dan penjaga stabilitas negara, dalam praktiknya kerap menjadi subjek kontroversi dan perdebatan publik. Dinamika ini terjadi karena karakter kekuasaan eksekutif yang fleksibel, luas, dan sering bersinggungan langsung dengan aspek strategis negara, seperti keamanan nasional, diplomasi, dan administrasi publik. Seiring dengan meningkatnya kompleksitas pemerintahan dan tekanan global, kecenderungan ekspansi kekuasaan eksekutif menjadi salah satu isu utama dalam diskursus politik dan hukum ketatanegaraan.

7.1.       Sentralisasi Kekuasaan dan Otoritarianisme Eksekutif

Salah satu kritik yang paling umum terhadap kekuasaan eksekutif adalah kecenderungannya untuk menjadi terlalu dominan dalam struktur ketatanegaraan. Dalam banyak kasus, kepala eksekutif memperluas kewenangannya dengan cara yang mengikis prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan checks and balances. Fenomena ini dikenal dengan istilah executive aggrandizement, yaitu strategi pelembagaan kekuasaan eksekutif secara legalistik, tetapi melemahkan institusi-institusi pengimbang.1

Contoh paling menonjol dapat ditemukan di sejumlah negara demokrasi yang mengalami regresi demokratis, seperti Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan, Hongaria di bawah Viktor Orbán, atau Rusia di bawah Vladimir Putin. Di negara-negara ini, presiden atau perdana menteri memanfaatkan keadaan darurat, populisme, atau kontrol media untuk memperkuat kontrol atas yudikatif, legislatif, dan lembaga pemilu.2

7.2.       Eksekutif dalam Keadaan Darurat dan Krisis

Situasi krisis seperti bencana alam, konflik bersenjata, pandemi global, atau ancaman terorisme sering kali dijadikan dasar oleh kekuasaan eksekutif untuk menjalankan kekuasaan luar biasa. Dalam konteks ini, tindakan eksekutif yang cepat dan tegas memang dibutuhkan. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa kekuasaan darurat tersebut tetap terbatas, proporsional, dan diawasi secara ketat.

Pengalaman pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa banyak pemimpin eksekutif diberi kewenangan luas untuk menetapkan pembatasan sosial, alokasi anggaran darurat, bahkan penundaan pemilu. Meski dimaksudkan untuk menanggulangi krisis, tindakan ini juga membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, terutama ketika tidak ada batas waktu atau mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.3

7.3.       Korupsi dan Nepotisme dalam Eksekutif

Kekuasaan eksekutif seringkali menjadi lahan subur bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terutama ketika sistem pengawasan internal dan eksternal tidak berjalan efektif. Skandal-skandal besar yang melibatkan presiden atau pejabat tinggi eksekutif, seperti kasus Watergate di Amerika Serikat, Odebrecht di Amerika Latin, atau korupsi pengadaan alat kesehatan di beberapa negara selama pandemi, mencerminkan bahaya konsentrasi kekuasaan yang tidak disertai integritas kelembagaan.4

Korupsi dalam lingkup eksekutif tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menghancurkan legitimasi pemerintahan dan melemahkan kepercayaan publik terhadap negara. Oleh karena itu, keberadaan lembaga pengawas independen, transparansi anggaran, dan keterbukaan informasi publik menjadi instrumen vital dalam meredam potensi penyimpangan tersebut.

7.4.       Penyalahgunaan Wewenang terhadap Oposisi dan Kritik

Kecenderungan represif juga menjadi bagian dari kontroversi eksekutif, terutama ketika aparat pemerintah digunakan untuk membungkam kritik, mengkriminalisasi oposisi, atau mengontrol wacana publik. Dalam banyak rezim otoriter, kebebasan pers dan kebebasan berkumpul dibatasi secara sistematis melalui peraturan darurat atau interpretasi hukum yang menyimpang.

Penyalahgunaan kekuasaan ini sering dijustifikasi atas nama stabilitas nasional atau keamanan negara. Namun dalam praktiknya, hal tersebut justru merusak prinsip-prinsip demokrasi substantif, termasuk hak asasi manusia, pluralisme politik, dan kebebasan sipil.5

7.5.       Ketergantungan pada Pribadi daripada Institusi

Dinamika kekuasaan eksekutif juga menunjukkan gejala personalisasi kekuasaan, di mana keberlangsungan kebijakan dan stabilitas negara sangat tergantung pada figur pemimpin. Dalam konteks ini, institusi negara menjadi lemah karena digantikan oleh loyalitas personal, kultus individu, dan politik patronase. Akibatnya, transisi pemerintahan menjadi rentan terhadap instabilitas dan disfungsi administratif.

Hal ini mengindikasikan pentingnya membangun eksekutif yang kuat namun berbasis institusi, bukan individu. Negara-negara dengan sistem meritokrasi, birokrasi profesional, dan rekruitmen politik terbuka cenderung lebih tahan terhadap gejala personifikasi tersebut.6


Kesimpulan

Kekuasaan eksekutif adalah elemen sentral dalam pemerintahan modern, namun potensinya untuk menjadi otoriter dan menyimpang selalu mengintai, terutama dalam kondisi krisis atau ketika mekanisme pengawasan lemah. Pemahaman terhadap dinamika dan kontroversi yang melekat pada kekuasaan eksekutif menjadi penting agar reformasi institusional dapat diarahkan untuk memperkuat akuntabilitas, profesionalisme, dan keberlanjutan demokrasi konstitusional.


Footnotes

[1]                Nancy Bermeo, “On Democratic Backsliding,” Journal of Democracy 27, no. 1 (2016): 5–19.

[2]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing Group, 2018), 3–24.

[3]                Kim Lane Scheppele, “Executive Overreach in the Pandemic,” Verfassungsblog, May 2020, https://verfassungsblog.de.

[4]                Matthew M. Taylor and Timothy J. Power, Corruption and Democracy in Brazil: The Struggle for Accountability (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2011), 55–73.

[5]                Thomas Carothers, “The Backlash Against Democracy Promotion,” Foreign Affairs 85, no. 2 (2006): 55–68.

[6]                Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 119–137.


8.           Studi Komparatif Kekuasaan Eksekutif

Analisis komparatif terhadap kekuasaan eksekutif di berbagai negara memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai keragaman model pemerintahan, tingkat akuntabilitas, dan stabilitas institusional. Meskipun secara konseptual kekuasaan eksekutif mengacu pada fungsi yang sama—yakni menjalankan kebijakan dan pemerintahan—bentuk, kekuatan, dan praktiknya sangat bervariasi tergantung pada sistem konstitusional dan dinamika politik lokal. Kajian ini membandingkan implementasi kekuasaan eksekutif di empat negara dengan sistem pemerintahan berbeda: Amerika Serikat (presidensial), Inggris (parlementer), Prancis (semi-presidensial), dan Indonesia (presidensial dengan karakteristik unik).

8.1.       Amerika Serikat: Presidensialisme dan Kekuasaan Eksekutif yang Terkontrol

Amerika Serikat merupakan prototipe dari sistem presidensial klasik di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Konstitusi AS memberikan presiden kekuasaan luas namun dibatasi secara ketat melalui prinsip checks and balances. Kongres dan Mahkamah Agung memiliki peran kuat dalam mengawasi dan menyeimbangkan tindakan presiden, termasuk dalam urusan legislatif, pengangkatan pejabat, dan kebijakan luar negeri.1

Meskipun presidensialisme di AS menciptakan stabilitas jabatan, sistem ini kerap mengalami gridlock—kebuntuan antara eksekutif dan legislatif—terutama ketika kontrol pemerintahan terbagi antara dua partai politik yang berbeda.2 Kasus ini menyoroti pentingnya kompromi politik dalam sistem presidensial agar pemerintahan tetap berjalan efektif.

8.2.       Inggris: Eksekutif yang Bertanggung Jawab kepada Parlemen

Di Inggris, sistem parlementer menempatkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan yang diangkat dari mayoritas parlemen. Raja atau ratu berfungsi sebagai kepala negara simbolis. Kabinet bertanggung jawab langsung kepada parlemen, dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya, yang menjadikan kekuasaan eksekutif sangat tergantung pada dukungan legislatif.3

Model ini memungkinkan respons cepat terhadap perubahan politik, tetapi juga bisa mengarah pada instabilitas pemerintahan dalam konteks multipartai atau koalisi rapuh. Keunggulan Inggris terletak pada kuatnya tradisi hukum dan kelembagaan, termasuk profesionalisme birokrasi yang mendukung efektivitas eksekutif.4

8.3.       Prancis: Dinamika Eksekutif dalam Sistem Semi-Presidensial

Prancis mengadopsi sistem semi-presidensial yang unik, di mana presiden dan perdana menteri sama-sama menjalankan fungsi eksekutif, namun dengan distribusi kewenangan yang fleksibel tergantung pada konfigurasi politik. Ketika presiden dan perdana menteri berasal dari partai yang sama, presiden cenderung dominan. Namun dalam kondisi cohabitation (dua pemimpin dari partai berbeda), perdana menteri mengambil alih peran dalam pemerintahan sehari-hari, sementara presiden lebih fokus pada kebijakan luar negeri dan pertahanan.5

Model ini memberikan keseimbangan antara legitimasi langsung presiden dan akuntabilitas parlementer, namun juga menciptakan potensi konflik kekuasaan dan kebingungan dalam pertanggungjawaban publik.6

8.4.       Indonesia: Presidensialisme Berkonteks Demokrasi Transisional

Indonesia, sebagai negara demokrasi transisional pasca-Orde Baru, mengadopsi sistem presidensial yang secara formal menyerupai model Amerika Serikat. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memegang kekuasaan eksekutif secara penuh. Namun, karakteristik politik Indonesia—terutama sistem multipartai dan dominasi parlemen dalam pembentukan kabinet—menyebabkan kekuasaan eksekutif sering kali harus berkompromi secara politik untuk menjaga stabilitas pemerintahan.7

Meskipun reformasi konstitusi 1999–2002 memperkuat akuntabilitas eksekutif dan memisahkan lembaga kekuasaan negara, tantangan seperti fragmentasi politik, oligarki, dan ketergantungan pada koalisi pragmatis tetap membatasi independensi dan efektivitas presiden.8

8.5.       Perbandingan dan Implikasi

Berikut adalah penyajian ulang bagian "5. Perbandingan dan Implikasi" dalam bentuk penjelasan deskriptif dan bullet point untuk memperjelas perbedaan utama serta implikasi dari berbagai model kekuasaan eksekutif:

8.6.       Perbandingan dan Implikasi

Studi perbandingan antara empat negara—Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Indonesia—menunjukkan bahwa struktur dan dinamika kekuasaan eksekutif sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang diterapkan. Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri yang berdampak pada stabilitas politik, efektivitas kebijakan, dan tingkat akuntabilitas pemerintahan.

8.6.1.    Amerika Serikat (Sistem Presidensial)

·                     Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan.

·                     Tidak tergantung pada dukungan legislatif untuk tetap menjabat.

·                     Terdapat sistem checks and balances yang kuat.

·                     Rentan mengalami kebuntuan politik (gridlock) saat terjadi perbedaan partai antara presiden dan kongres.

·                     Stabilitas eksekutif tinggi karena masa jabatan tetap.

8.6.2.      Inggris (Sistem Parlementer)

·                     Raja/ratu sebagai kepala negara simbolik; perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

·                     Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada parlemen.

·                     Pemerintah dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya.

·                     Respons politik cepat dan fleksibel, tetapi bisa terjadi instabilitas jika parlemen terfragmentasi.

·                     Tradisi hukum dan profesionalisme birokrasi memperkuat efektivitas pemerintahan.

8.6.3.      Prancis (Sistem Semi-Presidensial)

·                     Presiden dan perdana menteri berbagi kekuasaan eksekutif.

·                     Dinamika kekuasaan tergantung pada kondisi cohabitation (ketika presiden dan PM berasal dari partai berbeda).

·                     Memberikan keseimbangan antara legitimasi langsung dari rakyat dan akuntabilitas parlementer.

·                     Potensi konflik kewenangan tinggi dalam situasi politik yang terpolarisasi.

8.6.4.      Indonesia (Sistem Presidensial Berbasis Koalisi)

·                     Presiden dipilih langsung dan berfungsi sebagai kepala negara dan pemerintahan.

·                     Praktik politik dipengaruhi oleh sistem multipartai dan koalisi pragmatis.

·                     Meskipun presidensial secara formal, eksekutif harus bernegosiasi dengan legislatif dalam pembentukan dan stabilitas kabinet.

·                     Reformasi konstitusi telah memperkuat akuntabilitas, tetapi tantangan oligarki dan patronase masih tinggi.

8.6.5.      Implikasi Umum

·                     Efektivitas eksekutif dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan politik dan fleksibilitas sistem pemerintahan.

·                     Akuntabilitas tergantung pada kekuatan institusi legislatif, yudikatif, dan mekanisme pengawasan independen.

·                     Stabilitas pemerintahan lebih terjamin dalam sistem presidensial dengan masa jabatan tetap, tetapi bisa terhambat oleh kebuntuan politik.

·                     Koordinasi kekuasaan lebih cair dalam sistem parlementer dan semi-presidensial, namun berisiko konflik dan instabilitas jika tidak ada mayoritas yang solid.

·                     Konteks politik nasional, seperti budaya hukum, sejarah demokrasi, dan struktur partai politik, memainkan peran kunci dalam menentukan bagaimana kekuasaan eksekutif dijalankan.


Kesimpulan

Studi komparatif menunjukkan bahwa tidak ada model tunggal kekuasaan eksekutif yang ideal. Keberhasilan suatu model sangat bergantung pada struktur kelembagaan, budaya politik, serta efektivitas mekanisme pengawasan dan akuntabilitas. Dalam menghadapi tantangan global dan domestik, negara-negara perlu terus mengevaluasi sistem eksekutif mereka agar tetap responsif, efisien, dan demokratis.


Footnotes

[1]                Jack Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of the Constitution (New York: Vintage Books, 1997), 142–155.

[2]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.

[3]                Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford: Oxford University Press, 1995), 113–127.

[4]                B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010), 186–199.

[5]                Robert Elgie, Political Institutions in Contemporary France (Oxford: Oxford University Press, 2003), 79–95.

[6]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU Press, 1997), 134–140.

[7]                Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 144–152.

[8]                Marcus Mietzner, Democracy and Islam in Indonesia (Washington, DC: East-West Center, 2009), 35–46.


9.           Relevansi dan Tantangan Kontemporer

Kekuasaan eksekutif dalam sistem ketatanegaraan tetap memegang posisi sentral dalam mengarahkan jalannya pemerintahan, merumuskan kebijakan publik, serta menjaga stabilitas nasional. Di era kontemporer, peran ini menjadi semakin kompleks dan strategis, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi, perubahan iklim, disrupsi teknologi, krisis demokrasi, dan gejolak geopolitik. Oleh karena itu, relevansi kekuasaan eksekutif tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasar konstitusionalisme dan demokrasi.

9.1.       Perubahan Konteks Global dan Tuntutan Responsivitas

Dalam era globalisasi, ekspektasi terhadap pemerintahan yang cepat, adaptif, dan efektif semakin tinggi. Pemerintah dituntut untuk mengambil kebijakan yang responsif terhadap krisis multidimensional—dari pandemi global seperti COVID-19 hingga dampak perang Ukraina terhadap pasokan energi dan pangan dunia. Dalam situasi-situasi tersebut, kekuasaan eksekutif menjadi garda terdepan karena ia memiliki fleksibilitas dan kapasitas operasional untuk bertindak cepat.1

Namun, kecepatan ini sering berbenturan dengan prinsip akuntabilitas. Banyak negara memperlihatkan kecenderungan untuk meningkatkan otoritas eksekutif secara darurat, terkadang tanpa batas waktu dan pengawasan yang jelas. Hal ini menciptakan ketegangan antara kebutuhan akan efektivitas dan pentingnya menjamin supremasi hukum dan hak-hak warga negara.2

9.2.       Disrupsi Digital dan Pemerintahan Digital

Transformasi digital membawa peluang sekaligus tantangan besar bagi kekuasaan eksekutif. Di satu sisi, penggunaan teknologi digital dalam pemerintahan (e-government) dapat meningkatkan transparansi, efisiensi birokrasi, dan akses layanan publik. Di sisi lain, kekuasaan eksekutif juga menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan keamanan siber, privasi data, dan penyebaran disinformasi yang dapat memengaruhi stabilitas politik dan kepercayaan publik.3

Eksekutif dituntut untuk memiliki kapasitas teknologi dan kerangka regulasi yang adaptif terhadap dinamika era digital, termasuk dalam mengatur platform media sosial, kecerdasan buatan, serta tata kelola data nasional dan transnasional.

9.3.       Populisme dan Krisis Legitimasi Demokrasi

Salah satu tantangan besar bagi kekuasaan eksekutif saat ini adalah bangkitnya populisme yang cenderung melemahkan lembaga-lembaga demokrasi. Banyak pemimpin populis mengklaim mewakili kehendak rakyat secara langsung, dan atas dasar itu berupaya mengesampingkan lembaga legislatif, yudikatif, bahkan konstitusi. Dalam situasi ini, kekuasaan eksekutif dapat berubah menjadi alat personalisasi kekuasaan yang mengancam nilai-nilai demokrasi representatif.4

Fenomena ini terlihat di berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Serikat di bawah Donald Trump, Brasil di bawah Jair Bolsonaro, hingga Filipina di bawah Rodrigo Duterte. Pemerintahan populis sering kali menggunakan retorika krisis dan musuh bersama untuk melegitimasi pelemahan sistem checks and balances serta pembatasan kebebasan sipil.5

9.4.       Krisis Iklim dan Kepemimpinan Eksekutif Global

Perubahan iklim merupakan ancaman eksistensial yang menuntut kepemimpinan eksekutif yang proaktif dan berorientasi jangka panjang. Dalam banyak kasus, pemerintah pusat dan lembaga eksekutif menjadi aktor utama dalam merumuskan kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim, termasuk transisi energi, perlindungan sumber daya alam, dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Namun, kebijakan iklim sering kali dihambat oleh intervensi politik jangka pendek, tekanan industri, dan fragmentasi antar lembaga pemerintahan. Kekuasaan eksekutif ditantang untuk mengintegrasikan kebijakan iklim ke dalam seluruh sektor, serta membangun koordinasi lintas kementerian dan lintas negara yang kuat.6

9.5.       Ketimpangan Sosial dan Tuntutan Keadilan Ekonomi

Kekuasaan eksekutif juga menghadapi tantangan serius dalam menangani ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin dalam di berbagai negara. Distribusi kekayaan yang tidak merata, akses pendidikan dan kesehatan yang timpang, serta pengangguran struktural menimbulkan keresahan sosial dan memperlemah kepercayaan terhadap pemerintah.

Dalam konteks ini, pemerintah dituntut tidak hanya untuk mengatur pasar, tetapi juga melakukan intervensi kebijakan redistributif melalui sistem perpajakan yang adil, jaminan sosial, dan program kesejahteraan. Keberhasilan atau kegagalan eksekutif dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut sangat menentukan legitimasi moral dan politiknya di mata rakyat.7


Kesimpulan

Kekuasaan eksekutif tetap menjadi aktor utama dalam menjawab tantangan kontemporer, dari isu krisis iklim hingga revolusi digital. Namun, untuk menjaga relevansinya, kekuasaan ini harus dijalankan dengan prinsip efektivitas yang terkendali, legitimasi demokratis, dan komitmen terhadap keadilan sosial. Reformasi struktural dan peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi keharusan agar kekuasaan eksekutif tidak berubah menjadi sumber otoritarianisme, melainkan menjadi instrumen pelayanan publik yang progresif dan akuntabel.


Footnotes

[1]                Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014), 221–235.

[2]                Kim Lane Scheppele, “Law in a Time of Emergency: States of Exception and the Temptations of 9/11,” University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law 6, no. 5 (2004): 1001–1083.

[3]                Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2015), 112–133.

[4]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018), 39–54.

[5]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing Group, 2018), 47–65.

[6]                Anthony Giddens, The Politics of Climate Change, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2015), 91–109.

[7]                Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), 985–1002.


10.       Penutup

Kekuasaan eksekutif merupakan salah satu pilar utama dalam struktur pemerintahan modern yang berperan sentral dalam menjalankan roda negara, merumuskan dan mengeksekusi kebijakan, serta menjaga stabilitas politik dan hukum. Sebagai cabang kekuasaan yang bersinggungan langsung dengan pelaksanaan kehidupan publik, fungsi dan dinamika eksekutif harus dianalisis secara multidimensi—baik dari perspektif teoretis, historis, struktural, maupun kontekstual.

Kajian ini telah menunjukkan bahwa kekuasaan eksekutif tidak hadir dalam satu bentuk tunggal, melainkan berkembang dalam berbagai sistem seperti presidensial, parlementer, dan semi-presidensial, masing-masing dengan konfigurasi kekuasaan dan mekanisme pertanggungjawaban yang berbeda. Dalam sistem presidensial, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, presiden memiliki kekuasaan yang relatif mandiri dari legislatif, namun harus dikontrol dengan mekanisme checks and balances yang kuat.1 Di sisi lain, dalam sistem parlementer seperti Inggris, kekuasaan eksekutif lebih fleksibel dan akuntabel secara langsung kepada parlemen, namun rentan terhadap ketidakstabilan pemerintahan.2

Dinamika dan kontroversi yang melekat pada kekuasaan eksekutif—seperti sentralisasi kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, kecenderungan otoritarianisme, serta personalisasi kekuasaan—menjadi tantangan nyata yang harus diantisipasi dalam tata kelola demokratis. Terlebih lagi, dalam situasi krisis global seperti pandemi, konflik geopolitik, dan perubahan iklim, eksekutif sering kali menjadi pihak yang mengambil keputusan mendesak, yang meskipun diperlukan, dapat mengarah pada pembenaran perluasan kekuasaan tanpa kontrol yang memadai.3

Studi komparatif juga menegaskan bahwa efektivitas dan legitimasi kekuasaan eksekutif sangat ditentukan oleh kondisi politik, budaya hukum, dan desain konstitusi masing-masing negara. Negara-negara dengan lembaga pengawas yang kuat, masyarakat sipil yang aktif, dan tradisi hukum yang mapan cenderung lebih mampu menahan godaan otoritarianisme eksekutif.4 Sebaliknya, di negara dengan demokrasi yang masih lemah, kekuasaan eksekutif berpotensi menjadi kendaraan politik yang dominan dan mengancam pluralisme.

Dalam konteks tantangan kontemporer, kekuasaan eksekutif dihadapkan pada keharusan untuk bertransformasi menjadi institusi yang tidak hanya kuat secara administratif, tetapi juga adaptif terhadap era digital, sensitif terhadap isu keadilan sosial, dan bertanggung jawab secara moral dalam menghadapi krisis global. Relevansi kekuasaan eksekutif tidak cukup diukur dari kemampuannya membuat keputusan, tetapi juga dari sejauh mana keputusan tersebut mewujudkan nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan kepentingan publik jangka panjang.5

Oleh karena itu, penguatan kapasitas kelembagaan, reformasi birokrasi, dan pembentukan sistem pengawasan yang independen harus menjadi agenda utama dalam membangun eksekutif yang efektif sekaligus demokratis. Hanya dengan demikian kekuasaan eksekutif dapat menjadi instrumen yang bekerja dalam kerangka negara hukum, bukan sekadar kekuasaan yang mengatur, melainkan kekuasaan yang melayani rakyat dan tunduk pada konstitusi.


Footnotes

[1]                Jack Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of the Constitution (New York: Vintage Books, 1997), 153–165.

[2]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 1999), 127–134.

[3]                Kim Lane Scheppele, “Executive Overreach in the Pandemic,” Verfassungsblog, May 2020, https://verfassungsblog.de/executive-overreach-in-the-pandemic/.

[4]                Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing Group, 2018), 84–101.

[5]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018), 199–212.


Daftar Pustaka

Anderson, J. E. (2014). Public policymaking (8th ed.). Cengage Learning.

Bermeo, N. (2016). On democratic backsliding. Journal of Democracy, 27(1), 5–19. https://doi.org/10.1353/jod.2016.0012

Bogdanor, V. (1995). The monarchy and the constitution. Oxford University Press.

Butt, S., & Parsons, N. (2012). Corruption and law in Indonesia. Routledge.

Carothers, T. (2006). The backlash against democracy promotion. Foreign Affairs, 85(2), 55–68.

Castells, M. (2015). Networks of outrage and hope: Social movements in the Internet age (2nd ed.). Polity Press.

Dirck, B. R. (2012). Executive power: How American presidents have shaped the Constitution. University Press of Kansas.

Doyle, W. (2002). The Oxford history of the French Revolution. Oxford University Press.

Drezner, D. W. (2011). Theories of international politics and zombies. Princeton University Press.

Elgie, R. (2003). Political institutions in contemporary France. Oxford University Press.

Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism: Subtypes and democratic performance. Oxford University Press.

Finer, H. (1961). The theory and practice of modern government (Vol. 1). Methuen.

Fukuyama, F. (2014). Political order and political decay: From the industrial revolution to the globalization of democracy. Farrar, Straus and Giroux.

Giddens, A. (2015). The politics of climate change (2nd ed.). Polity Press.

Horowitz, D. L. (2013). Constitutional change and democracy in Indonesia. Cambridge University Press.

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2014). The elements of journalism: What newspeople should know and the public should expect (3rd ed.). Three Rivers Press.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing Group.

Lijphart, A. (1999). Patterns of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries. Yale University Press.

Linz, J. J. (1990). The perils of presidentialism. Journal of Democracy, 1(1), 51–69. https://doi.org/10.1353/jod.1990.0011

Mainwaring, S., & Shugart, M. S. (Eds.). (1997). Presidentialism and democracy in Latin America. Cambridge University Press.

Mietzner, M. (2009). Democracy and Islam in Indonesia. East-West Center.

Montesquieu, C. de. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Eds.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)

Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.

Nelson, E. (2014). The royalist revolution: Monarchy and the American founding. Harvard University Press.

Peters, B. G. (2010). The politics of bureaucracy: An introduction to comparative public administration (6th ed.). Routledge.

Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Rakove, J. (1997). Original meanings: Politics and ideas in the making of the Constitution. Vintage Books.

Sartori, G. (1997). Comparative constitutional engineering: An inquiry into structures, incentives and outcomes (2nd ed.). NYU Press.

Scheppele, K. L. (2004). Law in a time of emergency: States of exception and the temptations of 9/11. University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, 6(5), 1001–1083.

Scheppele, K. L. (2020, May). Executive overreach in the pandemic. Verfassungsblog. https://verfassungsblog.de/executive-overreach-in-the-pandemic/

Taylor, M. M., & Power, T. J. (2011). Corruption and democracy in Brazil: The struggle for accountability. University of Notre Dame Press.

Whittington, K. E. (2019). Repugnant laws: Judicial review of acts of Congress from the founding to the present. University Press of Kansas.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar