Kekuasaan Eksekutif
Teori, Fungsi, Dinamika, dan Tantangan Kontemporer
Alihkan ke: Pemisahan Kekuasaan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep,
fungsi, bentuk, dan tantangan kekuasaan eksekutif dalam sistem ketatanegaraan
modern. Dimulai dari fondasi teoritis yang dibangun oleh pemikir klasik seperti
Montesquieu dan John Locke, pembahasan dilanjutkan dengan evolusi historis
kekuasaan eksekutif dari masa monarki absolut hingga sistem konstitusional.
Artikel ini juga mengeksplorasi struktur internal dan fungsi-fungsi utama
eksekutif, serta membandingkan implementasinya dalam berbagai model
pemerintahan—presidensial, parlementer, dan semi-presidensial—melalui studi
kasus negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Indonesia.
Di samping itu, dibahas pula dinamika dan kontroversi yang mengiringi praktik
kekuasaan eksekutif, seperti kecenderungan otoritarian, penyalahgunaan
wewenang, serta tantangan legitimasi dalam konteks populisme, digitalisasi, dan
krisis global. Artikel ini menegaskan bahwa efektivitas dan akuntabilitas
kekuasaan eksekutif hanya dapat dijaga melalui penguatan institusi pengawas,
reformasi birokrasi, dan komitmen terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi
konstitusional.
Kata Kunci; Kekuasaan eksekutif, sistem ketatanegaraan,
presidensialisme, parlementarisme, checks and balances, demokrasi,
akuntabilitas, populisme, pemerintahan digital, krisis global.
PEMBAHASAN
Kekuasaan Eksekutif dalam Sistem Ketatanegaraan
1.
Pendahuluan
Kekuasaan eksekutif
merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang
berfungsi menjalankan roda pemerintahan dan menerapkan kebijakan publik. Dalam
kerangka pembagian kekuasaan (separation of powers), eksekutif memiliki
posisi strategis karena ia menjadi ujung tombak pelaksanaan undang-undang,
penyelenggaraan administrasi negara, serta penjamin stabilitas nasional. Konsep
ini berakar dari pemikiran filsuf politik abad ke-18, Montesquieu, yang dalam
karyanya De l’esprit
des lois menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif untuk mencegah tirani dan menjaga kebebasan warga
negara.1
Secara umum,
kekuasaan eksekutif mencakup seluruh perangkat pemerintahan yang bertugas untuk
menjalankan kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh legislatif. Dalam
praktik ketatanegaraan, bentuk dan peran kekuasaan eksekutif dapat bervariasi
tergantung pada sistem pemerintahan yang dianut, seperti sistem presidensial,
parlementer, atau campuran. Dalam sistem presidensial seperti di Amerika
Serikat, presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Sementara itu, dalam sistem parlementer seperti di Inggris, kekuasaan eksekutif
dijalankan oleh perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada
parlemen.2
Keberadaan kekuasaan
eksekutif bukan hanya menyangkut aspek pelaksanaan kebijakan, tetapi juga
mencerminkan kapasitas negara dalam menjaga keteraturan sosial, menjamin
hak-hak warga negara, dan menghadirkan layanan publik secara efektif. Oleh
karena itu, kualitas institusi eksekutif seringkali menjadi ukuran kinerja
suatu pemerintahan, terutama dalam konteks negara demokrasi yang menekankan
prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi.3
Namun demikian,
kekuasaan eksekutif tidak lepas dari permasalahan. Konsentrasi kekuasaan,
kecenderungan otoritarian, serta minimnya pengawasan sering menjadi sumber
penyimpangan yang mengancam prinsip demokrasi. Di sejumlah negara, kekuasaan
eksekutif bahkan menjadi instrumen politik yang digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan secara tidak sah, menyingkirkan oposisi, dan membungkam kritik
publik.4 Maka dari itu, kajian terhadap kekuasaan eksekutif perlu
dilakukan secara mendalam, tidak hanya dari sisi teoritis dan historis, tetapi
juga dari dinamika kontemporer yang sedang berlangsung.
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif konsep kekuasaan eksekutif dalam
sistem ketatanegaraan, mencakup teori-teori dasar, evolusi dan bentuk-bentuk
institusinya, perbandingan antar sistem pemerintahan, serta tantangan aktual
yang dihadapi dalam konteks global saat ini. Dengan pendekatan interdisipliner
dan berbasis pada sumber-sumber ilmiah yang kredibel, diharapkan kajian ini
dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih mendalam tentang
peran dan posisi kekuasaan eksekutif dalam tatanan negara modern.
Footnotes
[1]
Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, ed. Anne M.
Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 157–174.
[2]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 115–122.
[3]
Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the
Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2014), 24–45.
[4]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing Group, 2018), 4–10.
2.
Landasan Teoretis Kekuasaan Eksekutif
Pemikiran tentang
kekuasaan eksekutif berakar kuat dalam teori politik klasik yang menekankan
pentingnya pembagian kekuasaan sebagai mekanisme pencegah tirani dan pemusatan
kekuasaan. Salah satu fondasi intelektual paling berpengaruh adalah karya Charles
de Montesquieu, De l’esprit des lois (1748), yang
memperkenalkan gagasan trias politica: pemisahan
kekuasaan menjadi tiga cabang utama—legislatif, eksekutif, dan yudikatif.1
Dalam pandangan Montesquieu, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan
menangani urusan luar negeri serta militer. Pemisahan ini dimaksudkan agar
masing-masing cabang kekuasaan tidak melampaui batasnya, sekaligus menjaga
kebebasan politik rakyat.
Lebih awal dari
Montesquieu, John Locke dalam Two
Treatises of Government (1689) telah membedakan antara “executive
power” dan “federative power”, yaitu
kekuasaan untuk menjalankan hukum dan kekuasaan untuk menangani urusan luar
negeri. Locke menekankan bahwa eksekutif harus memiliki fleksibilitas dalam
mengambil keputusan yang tidak selalu dapat diantisipasi oleh hukum yang
berlaku, sehingga ia memperkenalkan konsep “prerogatif”, yakni kebebasan
bertindak demi kepentingan umum di luar batas hukum formal ketika diperlukan.2
Konsep ini menjadi dasar penting bagi pembentukan peran eksekutif yang kuat
namun tetap terbatas secara prinsipil.
Dalam
perkembangannya, teori pembagian kekuasaan tidak selalu dimaknai secara kaku.
Banyak negara modern mengembangkan sistem checks and balances untuk
memastikan interaksi antarcabang kekuasaan tetap saling mengontrol. Eksekutif
tidak hanya menjalankan perintah legislatif, tetapi juga memiliki peran penting
dalam perumusan kebijakan, pengawasan administratif, dan stabilisasi politik.
Dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat, presiden memiliki hak
veto terhadap legislasi dan peran kuat dalam kebijakan luar negeri, sedangkan
dalam sistem parlementer seperti di Inggris, eksekutif bergantung pada
kepercayaan parlemen, yang membuat relasi antara legislatif dan eksekutif
menjadi lebih menyatu namun tetap terkendali.3
Para pemikir politik
kontemporer menyoroti pergeseran fungsi eksekutif dalam konteks modern. Menurut
Giovanni
Sartori, sistem pemerintahan demokratis harus menjaga
keseimbangan antara efektivitas eksekutif dan akuntabilitas
demokratis, sehingga kekuasaan eksekutif tidak berubah menjadi
otoritarianisme terselubung.4 Dalam praktiknya, eksekutif modern
memiliki birokrasi luas dan peran strategis dalam teknologi, keamanan, dan
hubungan internasional. Oleh karena itu, eksekutif bukan sekadar pelaksana
undang-undang, tetapi aktor utama dalam perumusan dan implementasi kebijakan
publik, bahkan dalam beberapa kasus menjadi penentu arah ideologis negara.
Kesimpulannya,
fondasi teoretis kekuasaan eksekutif didasarkan pada prinsip pembagian
kekuasaan untuk menjamin kebebasan politik, tetapi secara historis dan empiris
berkembang ke arah institusi yang dinamis, kompleks, dan strategis dalam pemerintahan
modern. Pemahaman terhadap dasar teoritis ini penting untuk menilai bentuk,
batas, dan legitimasi kekuasaan eksekutif di berbagai sistem ketatanegaraan.
Footnotes
[1]
Charles de Montesquieu, The Spirit of the Laws, ed. Anne M.
Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 157–174.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 365–370.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 118–124.
[4]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An
Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU
Press, 1997), 124–130.
3.
Sejarah dan Evolusi Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif
dalam sistem ketatanegaraan merupakan hasil dari evolusi panjang institusi
politik sejak era monarki kuno hingga terbentuknya negara-negara modern
berbasis konstitusi. Sejarah kekuasaan eksekutif tidak dapat dilepaskan dari
transformasi bentuk pemerintahan, khususnya dalam konteks peralihan dari
kekuasaan absolut menuju sistem pemerintahan yang lebih berbasis hukum dan
representasi rakyat.
3.1.
Era Monarki Absolut
dan Asal-usul Kekuasaan Terpusat
Pada masa
pra-modern, kekuasaan eksekutif secara praktis dijalankan oleh raja atau kaisar
yang memerintah secara absolut. Di bawah sistem ini, kepala negara sekaligus
menjadi pemegang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Contoh klasiknya dapat
ditemukan dalam pemerintahan Raja Louis XIV dari Prancis, yang secara terkenal
menyatakan “L’État, c’est moi” (Negara adalah saya), mencerminkan
pemusatan kekuasaan eksekutif tanpa mekanisme pengawasan.1 Dalam
sistem seperti ini, hukum tunduk pada kehendak penguasa dan legitimasi berasal
dari klaim ilahi atau warisan dinasti.
Namun, pemusatan
kekuasaan ini kemudian menuai kritik dan perlawanan dari pemikir-pemikir
politik yang menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan demi kebebasan rakyat.
Gerakan ini berpuncak pada revolusi-revolusi besar seperti Revolusi
Inggris (1688) dan Revolusi Prancis (1789), yang
menjadi tonggak awal bagi peralihan ke sistem konstitusional. Kedua revolusi
tersebut menandai bangkitnya prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan dan supremasi
hukum, serta perumusan konstitusi sebagai batas formal bagi kekuasaan
eksekutif.2
3.2.
Kodifikasi Kekuasaan
Eksekutif dalam Konstitusi Modern
Setelah Revolusi
Amerika (1776), prinsip pembagian kekuasaan secara sistematis dituangkan dalam
konstitusi tertulis. Konstitusi Amerika Serikat 1787
menjadi salah satu dokumen pertama yang merinci fungsi, batas, dan mekanisme pengawasan
terhadap kekuasaan eksekutif. Presiden sebagai kepala eksekutif diberikan
kekuasaan luas, tetapi tetap dalam kerangka checks and balances oleh legislatif
dan yudikatif.3 Model ini kemudian menjadi rujukan banyak negara
lain, khususnya yang menganut sistem presidensial.
Sebaliknya, dalam
sistem parlementer seperti Inggris, evolusi kekuasaan eksekutif berjalan
melalui reformasi bertahap dan konvensi ketatanegaraan. Sejak abad ke-19,
kekuasaan raja secara de facto berkurang dan berpindah kepada kabinet yang
dipimpin oleh perdana menteri, yang bertanggung jawab kepada parlemen. Proses
ini mencerminkan pergeseran dari monarki absolut ke monarki
konstitusional, di mana raja hanya berperan simbolis dan
kekuasaan dijalankan oleh lembaga-lembaga yang representatif.4
3.3.
Perkembangan
Eksekutif dalam Konteks Negara Modern
Abad ke-20 menandai
pertumbuhan luar biasa dari peran kekuasaan eksekutif, seiring dengan
meningkatnya kompleksitas negara modern, seperti birokrasi, kebijakan fiskal,
urusan luar negeri, dan kesejahteraan sosial. Dalam banyak negara, eksekutif
tidak lagi sekadar pelaksana hukum, tetapi juga inisiator kebijakan dan manajer
teknokratis yang mengatur berbagai sektor kehidupan publik.5 Hal ini
terutama terlihat pasca Perang Dunia II, ketika negara kesejahteraan mulai
berkembang dan pemerintah mengambil peran aktif dalam mengatur ekonomi dan
jaminan sosial.
Namun, pertumbuhan
ini juga menimbulkan kekhawatiran akan eksekutifisme, yaitu
kecenderungan kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan dalam sistem pemerintahan.
Beberapa negara menghadapi gejala presidensialisasi politik, di
mana kepala eksekutif mengonsolidasikan kekuasaan secara luas, mengurangi peran
legislatif, dan mengaburkan batas antara demokrasi dan otoritarianisme.6
Fenomena ini menjadi perhatian utama dalam kajian politik kontemporer dan
memicu tuntutan terhadap penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas.
Dengan demikian,
kekuasaan eksekutif telah mengalami transformasi fundamental dari otoritas
monarki menuju peran modern yang kompleks dan strategis. Evolusinya tidak
bersifat linier, melainkan ditentukan oleh interaksi historis, sosial, dan
ideologis di masing-masing negara. Memahami sejarah kekuasaan eksekutif menjadi
penting untuk menilai legitimasi, batas, dan arah reformasi yang dibutuhkan
dalam tata kelola pemerintahan kontemporer.
Footnotes
[1]
William Doyle, The Oxford History of the French Revolution
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 24–26.
[2]
Eric Nelson, The Royalist Revolution: Monarchy and the American
Founding (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 45–67.
[3]
Jack Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of
the Constitution (New York: Vintage Books, 1997), 258–272.
[4]
Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 36–52.
[5]
B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to
Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010),
5–17.
[6]
Thomas Poguntke and Paul Webb, eds., The Presidentialization of
Politics: A Comparative Study of Modern Democracies (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 3–11.
4.
Struktur dan Fungsi Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif
dalam sistem ketatanegaraan modern merupakan institusi yang kompleks, terdiri
dari berbagai unsur yang secara kolektif bertugas menjalankan pemerintahan
negara. Struktur internal kekuasaan eksekutif bervariasi tergantung pada sistem
pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara, namun secara umum terdiri
atas kepala
negara, kepala pemerintahan, serta perangkat
administratif seperti kementerian dan lembaga negara.
4.1.
Unsur-Unsur Utama
Kekuasaan Eksekutif
Dalam sistem
presidensial seperti di Amerika Serikat atau Indonesia, kepala
negara sekaligus menjadi kepala pemerintahan, yakni presiden,
yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaan urusan eksekutif. Presiden
dibantu oleh wakil presiden, kabinet atau menteri, serta badan-badan eksekutif
non-kementerian. Di sisi lain, dalam sistem parlementer seperti Inggris atau
India, kepala
negara (monarki atau presiden seremonial) dibedakan dari kepala
pemerintahan (perdana menteri), yang memimpin kabinet dan
memiliki kekuasaan eksekutif substantif.1
Komponen-komponen
eksekutif ini bertugas melaksanakan hukum, mengatur administrasi pemerintahan,
serta menyelenggarakan hubungan luar negeri, keamanan nasional, dan kebijakan
publik lainnya. Pembagian fungsi antar bagian tersebut memungkinkan efisiensi
dan spesialisasi dalam pengelolaan negara, meskipun juga membuka ruang bagi
kompleksitas birokratis yang menuntut koordinasi dan akuntabilitas yang ketat.2
4.2.
Fungsi Utama
Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif
memiliki sejumlah fungsi pokok yang menentukan jalannya pemerintahan dan
kehidupan publik. Beberapa fungsi utama tersebut adalah:
4.2.1.
Pelaksanaan
Undang-Undang
Eksekutif
bertanggung jawab untuk melaksanakan hukum yang telah disahkan oleh lembaga
legislatif. Dalam konteks ini, presiden atau perdana menteri memiliki peran
kunci dalam menetapkan kebijakan teknis dan
menyusun
peraturan pelaksana yang menjadi instrumen administratif.3
4.2.2.
Perumusan
dan Pelaksanaan Kebijakan Publik
Meskipun secara
formal pembuatan undang-undang adalah wewenang legislatif, dalam praktiknya
eksekutif seringkali memegang peran dominan dalam merancang agenda kebijakan
melalui inisiatif kebijakan, nota
keuangan, atau program pembangunan jangka menengah/panjang.
Eksekutif juga menjadi pelaksana utama kebijakan publik melalui kementerian
teknis dan lembaga pelaksana.4
4.2.3.
Pengelolaan
Administrasi Negara dan Birokrasi
Eksekutif mengawasi
jalannya birokrasi negara melalui kementerian dan lembaga pemerintah. Birokrasi
modern merupakan instrumen vital dalam pelaksanaan layanan publik, pengelolaan
sumber daya negara, dan pencapaian tujuan strategis pemerintahan. Birokrasi
juga memainkan peran penting dalam menjaga kesinambungan pemerintahan lintas
rezim politik.5
4.2.4.
Hubungan
Internasional dan Pertahanan
Dalam banyak negara,
kekuasaan eksekutif mengemban tanggung jawab dalam hubungan
luar negeri, termasuk diplomasi, penandatanganan perjanjian,
dan pelaksanaan kebijakan luar negeri. Selain itu, eksekutif juga menjadi
penanggung jawab atas sektor pertahanan dan keamanan nasional, termasuk komando
militer, deklarasi perang, serta penanganan situasi darurat.6
4.2.5.
Pengangkatan
dan Pemberhentian Pejabat Publik
Eksekutif memiliki
kewenangan untuk mengangkat pejabat tinggi negara, termasuk menteri, duta besar,
kepala lembaga negara, dan pejabat birokrasi senior. Kewenangan ini diatur oleh
hukum dan sering kali disertai mekanisme pengawasan legislatif untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan.7
4.3.
Fleksibilitas dan
Kompleksitas Kekuasaan Eksekutif
Struktur kekuasaan
eksekutif tidak bersifat statis, melainkan menyesuaikan dengan kebutuhan
negara, dinamika politik, serta tantangan global. Misalnya, munculnya isu-isu
lintas sektor seperti perubahan iklim, teknologi digital, dan krisis kesehatan
global mendorong pembentukan unit-unit ad hoc dan koordinasi
lintas kementerian. Ini menuntut eksekutif untuk bersikap adaptif dan responsif
dalam menghadapi situasi yang terus berubah tanpa kehilangan prinsip-prinsip
akuntabilitas dan transparansi.
Dalam rangka
menjamin efektivitas dan integritas kekuasaan eksekutif, banyak negara
mengembangkan instrumen governance seperti audit
independen, komisi antikorupsi, dan sistem informasi terbuka. Upaya ini penting
agar fungsi eksekutif tidak menjadi alat kepentingan kelompok tertentu, tetapi
tetap berpihak pada kepentingan publik secara luas.
Footnotes
[1]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 118–122.
[2]
B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to
Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010),
15–29.
[3]
Brian R. Dirck, Executive Power: How American Presidents Have
Shaped the Constitution (Lawrence: University Press of Kansas, 2012),
56–67.
[4]
James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2014), 35–47.
[5]
Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the
Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2014), 91–108.
[6]
Daniel W. Drezner, Theories of International Politics and Zombies
(Princeton: Princeton University Press, 2011), 94–101.
[7]
Herman Finer, The Theory and Practice of Modern Government,
vol. 1 (New York: Methuen, 1961), 308–316.
5.
Tipe-Tipe Kekuasaan Eksekutif
Dalam teori dan
praktik ketatanegaraan, kekuasaan eksekutif tidaklah bersifat seragam. Ia
berkembang dalam beragam bentuk sesuai dengan struktur konstitusional dan
dinamika politik di masing-masing negara. Secara umum, kekuasaan eksekutif
dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur kepemimpinan internal dan sistem
pemerintahan yang digunakan. Dua pendekatan utama dalam klasifikasi ini adalah:
(1)
eksekutif tunggal vs. eksekutif ganda, dan (2)
sistem presidensial vs. sistem parlementer vs. sistem semi-presidensial.
5.1.
Eksekutif Tunggal
dan Eksekutif Ganda
5.1.1.
Eksekutif
Tunggal (Single Executive)
Eksekutif tunggal
adalah bentuk kekuasaan eksekutif di mana satu figur memegang sekaligus fungsi
sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Sistem ini lazim ditemukan dalam model
presidensial, seperti di Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil. Presiden
memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin negara dan pemerintahan, dengan
tanggung jawab menyeluruh atas pelaksanaan kebijakan dan administrasi negara.1
Model ini dianggap
menjamin efisiensi pengambilan keputusan karena sentralisasi otoritas dalam
satu figur. Namun demikian, ia juga berpotensi menimbulkan konsentrasi
kekuasaan yang tinggi, sehingga memerlukan sistem checks
and balances yang kuat untuk menghindari otoritarianisme.2
5.1.2.
Eksekutif
Ganda (Dual Executive)
Eksekutif ganda
membedakan secara tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala
negara (misalnya raja dalam monarki konstitusional atau presiden seremonial)
menjalankan fungsi simbolis dan protokoler, sedangkan kepala pemerintahan
(perdana menteri) memiliki kewenangan administratif dan politik yang
substantif. Sistem ini banyak diterapkan dalam negara-negara parlementer
seperti Inggris, Jerman, dan India.3
Kelebihan sistem ini
terletak pada pembagian peran yang memungkinkan pemisahan antara simbolisme
negara dan tanggung jawab politis praktis. Namun, kompleksitas hubungan antara
kedua unsur eksekutif dapat memunculkan konflik, terutama dalam konteks
pemerintahan koalisi yang tidak stabil.
5.2.
Sistem Presidensial,
Parlementer, dan Semi-Presidensial
5.2.1.
Sistem
Presidensial
Dalam sistem
presidensial, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan memiliki masa
jabatan tetap. Ia tidak bergantung pada kepercayaan legislatif untuk
mempertahankan jabatannya. Kementerian berada di bawah kendali langsung
presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh khas sistem ini adalah
Amerika Serikat dan sebagian besar negara Amerika Latin.4
Kelebihannya
mencakup stabilitas pemerintahan karena kepala eksekutif tidak mudah
dijatuhkan, namun kelemahannya adalah potensi kebuntuan (gridlock)
antara presiden dan legislatif, terutama jika berasal dari partai berbeda.5
5.2.2.
Sistem
Parlementer
Dalam sistem
parlementer, kepala pemerintahan (perdana menteri) diangkat dari mayoritas
parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Kepala negara
biasanya berfungsi simbolis. Model ini menekankan pada kolegialitas dan
akuntabilitas langsung kepada parlemen, seperti yang terlihat di Inggris,
Australia, dan Jepang.6
Kelebihan sistem ini
adalah fleksibilitas
politik dan respon cepat terhadap krisis,
namun rentan terhadap ketidakstabilan jika parlemen terfragmentasi atau tidak
ada mayoritas yang solid.
5.2.3.
Sistem
Semi-Presidensial
Sistem
semi-presidensial merupakan campuran antara presidensial dan parlementer.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki kekuasaan eksekutif
tertentu, tetapi pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh perdana menteri yang
bertanggung jawab kepada parlemen. Model ini digunakan di Prancis, Rusia, dan
beberapa negara di Afrika dan Eropa Timur.7
Kekuatan sistem ini
terletak pada fleksibilitas dan keseimbangan antara legitimasi rakyat dan
stabilitas parlementer. Namun, potensi konflik antara presiden dan perdana
menteri tinggi, terutama dalam kondisi cohabitation, yaitu ketika
presiden dan perdana menteri berasal dari partai politik yang berbeda.
Kesimpulan
Tipe-tipe kekuasaan
eksekutif mencerminkan upaya negara-negara untuk menyeimbangkan antara
efektivitas pemerintahan dan akuntabilitas demokratis. Pemilihan model tertentu
bukan sekadar persoalan struktural, tetapi sangat dipengaruhi oleh sejarah
politik, budaya hukum, dan dinamika sosial masing-masing negara. Oleh karena
itu, pemahaman terhadap variasi ini penting dalam menganalisis kinerja dan
legitimasi kekuasaan eksekutif dalam konteks yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Brian R. Dirck, Executive Power: How American Presidents Have
Shaped the Constitution (Lawrence: University Press of Kansas, 2012),
34–41.
[2]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy
1, no. 1 (1990): 51–69.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 96–109.
[4]
Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in
Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 118–125.
[5]
Scott Mainwaring and Matthew S. Shugart, eds., Presidentialism and
Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
12–29.
[6]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An
Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU
Press, 1997), 135–142.
[7]
Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Subtypes and Democratic
Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 15–22.
6.
Mekanisme Pengawasan terhadap Kekuasaan
Eksekutif
Dalam sistem
demokrasi yang sehat, kekuasaan eksekutif tidak dapat dijalankan tanpa batas.
Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, sistem ketatanegaraan mengembangkan
berbagai mekanisme pengawasan (checks
and balances) yang bertujuan menjaga akuntabilitas, transparansi, dan supremasi
hukum. Pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan oleh lembaga-lembaga
negara lain seperti legislatif dan yudikatif, serta oleh aktor-aktor non-negara
seperti media, masyarakat sipil, dan lembaga independen.
6.1.
Pengawasan oleh
Legislatif
Lembaga legislatif
merupakan pengawas utama terhadap kebijakan dan tindakan eksekutif. Dalam
banyak negara, legislatif memiliki berbagai instrumen untuk menyeimbangkan dan
mengontrol eksekutif, seperti:
·
Hak
angket untuk menyelidiki tindakan pemerintah
·
Interpelasi
dan pertanyaan parlemen untuk meminta klarifikasi
dari pejabat eksekutif
·
Mosi
tidak percaya (khusus dalam sistem parlementer) untuk
menjatuhkan pemerintahan
·
Kewenangan
anggaran untuk menyetujui atau menolak rencana keuangan
eksekutif1
Dalam sistem
presidensial seperti Amerika Serikat, Kongres memiliki kekuatan besar melalui proses
pemakzulan (impeachment) terhadap presiden dan pejabat tinggi
lainnya atas dasar pelanggaran hukum atau konstitusi. Kasus pemakzulan Presiden
Richard Nixon dan Donald Trump merupakan contoh nyata bagaimana legislatif
dapat memainkan peran korektif terhadap kekuasaan eksekutif.2
6.2.
Pengawasan oleh
Yudikatif
Lembaga yudikatif
memiliki peran sebagai penjaga konstitusi dan pelindung supremasi hukum.
Pengadilan memiliki kewenangan untuk:
·
Menilai
konstitusionalitas tindakan eksekutif (judicial review)
·
Membatalkan
kebijakan eksekutif yang bertentangan dengan hukum
·
Melindungi
hak-hak warga negara dari potensi pelanggaran oleh eksekutif
Dalam banyak sistem
hukum, Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung menjadi benteng terakhir
terhadap tindakan eksesif dari cabang eksekutif. Sebagai contoh, Mahkamah Agung
India telah beberapa kali membatalkan keputusan eksekutif yang dianggap
melampaui batas kewenangan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi
manusia.3
6.3.
Lembaga Pengawasan
Independen
Selain legislatif
dan yudikatif, banyak negara membentuk lembaga negara independen untuk
mengawasi kinerja eksekutif, seperti:
·
Komisi
anti-korupsi
·
Ombudsman
publik
·
Lembaga
audit nasional
Lembaga-lembaga ini
bertugas menyelidiki pelanggaran administratif, korupsi, atau penyalahgunaan
wewenang oleh pejabat eksekutif. Di Indonesia, misalnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berperan sebagai lembaga independen
yang mengawasi tindak pidana korupsi, khususnya di lingkungan eksekutif.4
6.4.
Peran Masyarakat
Sipil dan Media
Dalam masyarakat
demokratis, media massa dan organisasi masyarakat sipil
(OMS) memainkan peran vital sebagai pengawas non-formal
terhadap eksekutif. Investigasi jurnalis, laporan lembaga swadaya masyarakat,
serta aksi protes publik telah berkali-kali berhasil menyoroti dan menghentikan
kebijakan eksekutif yang dianggap menyimpang. Konsep "watchdog journalism"
menunjukkan bagaimana media bisa menjadi kekuatan keempat (the fourth estate)
dalam demokrasi modern.5
Namun, efektivitas
pengawasan ini sangat tergantung pada kebebasan pers, akses
informasi publik, dan perlindungan terhadap pembocor informasi
(whistleblower). Di negara-negara otoriter, peran ini sering
dibungkam melalui represi, penyensoran, atau kriminalisasi terhadap kritik.
6.5.
Mekanisme Internal
Eksekutif
Pengawasan terhadap
kekuasaan eksekutif tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dapat dibangun
melalui mekanisme internal, seperti:
·
Inspektorat
jenderal dalam setiap kementerian
·
Unit
pengawasan internal pemerintah
·
Kode
etik pejabat publik
·
Audit
internal dan manajemen risiko
Reformasi birokrasi
dan peningkatan kapasitas tata kelola internal sangat penting agar institusi
eksekutif tidak hanya patuh pada hukum eksternal, tetapi juga menjunjung
standar profesionalisme dan integritas dari dalam.6
Kesimpulan
Pengawasan terhadap
kekuasaan eksekutif merupakan elemen fundamental dari sistem pemerintahan yang
demokratis dan berkeadaban hukum. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif,
kekuasaan eksekutif dapat dengan mudah menjelma menjadi alat dominasi dan
penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang kuat,
transparan, dan independen menjadi syarat utama bagi keberlangsungan
pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap rakyat.
Footnotes
[1]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 130–133.
[2]
Keith E. Whittington, Repugnant Laws: Judicial Review of Acts of
Congress from the Founding to the Present (Lawrence: University Press of
Kansas, 2019), 296–305.
[3]
Upendra Baxi, The Indian Supreme Court and Politics (Delhi:
Eastern Book Company, 1980), 67–74.
[4]
Simon Butt and Nicholas Parsons, Corruption and Law in Indonesia
(London: Routledge, 2012), 55–71.
[5]
Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism: What
Newspeople Should Know and the Public Should Expect, 3rd ed. (New York:
Three Rivers Press, 2014), 21–28.
[6]
B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to
Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010),
102–110.
7.
Dinamika dan Kontroversi Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif,
meskipun dirancang sebagai pelaksana kebijakan dan penjaga stabilitas negara,
dalam praktiknya kerap menjadi subjek kontroversi dan perdebatan publik.
Dinamika ini terjadi karena karakter kekuasaan eksekutif yang fleksibel, luas,
dan sering bersinggungan langsung dengan aspek strategis negara, seperti
keamanan nasional, diplomasi, dan administrasi publik. Seiring dengan
meningkatnya kompleksitas pemerintahan dan tekanan global, kecenderungan ekspansi
kekuasaan eksekutif menjadi salah satu isu utama dalam
diskursus politik dan hukum ketatanegaraan.
7.1.
Sentralisasi
Kekuasaan dan Otoritarianisme Eksekutif
Salah satu kritik
yang paling umum terhadap kekuasaan eksekutif adalah kecenderungannya untuk
menjadi terlalu dominan dalam struktur
ketatanegaraan. Dalam banyak kasus, kepala eksekutif memperluas kewenangannya
dengan cara yang mengikis prinsip pemisahan kekuasaan (separation
of powers) dan checks and balances. Fenomena
ini dikenal dengan istilah executive aggrandizement, yaitu
strategi pelembagaan kekuasaan eksekutif secara legalistik, tetapi melemahkan
institusi-institusi pengimbang.1
Contoh paling
menonjol dapat ditemukan di sejumlah negara demokrasi yang mengalami regresi
demokratis, seperti Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan, Hongaria di bawah
Viktor Orbán, atau Rusia di bawah Vladimir Putin. Di negara-negara ini,
presiden atau perdana menteri memanfaatkan keadaan darurat, populisme, atau
kontrol media untuk memperkuat kontrol atas yudikatif, legislatif, dan lembaga
pemilu.2
7.2.
Eksekutif dalam
Keadaan Darurat dan Krisis
Situasi krisis
seperti bencana alam, konflik bersenjata, pandemi global, atau ancaman
terorisme sering kali dijadikan dasar oleh kekuasaan eksekutif untuk menjalankan
kekuasaan luar biasa. Dalam konteks ini, tindakan eksekutif
yang cepat dan tegas memang dibutuhkan. Namun, tantangannya adalah bagaimana
memastikan bahwa kekuasaan darurat tersebut tetap terbatas,
proporsional, dan diawasi secara ketat.
Pengalaman pandemi
COVID-19 menunjukkan bahwa banyak pemimpin eksekutif diberi kewenangan luas
untuk menetapkan pembatasan sosial, alokasi anggaran darurat, bahkan penundaan
pemilu. Meski dimaksudkan untuk menanggulangi krisis, tindakan ini juga membuka
peluang penyalahgunaan kekuasaan, terutama ketika tidak ada batas waktu atau
mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.3
7.3.
Korupsi dan
Nepotisme dalam Eksekutif
Kekuasaan eksekutif
seringkali menjadi lahan subur bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),
terutama ketika sistem pengawasan internal dan eksternal tidak berjalan
efektif. Skandal-skandal besar yang melibatkan presiden atau pejabat tinggi
eksekutif, seperti kasus Watergate di Amerika Serikat, Odebrecht di Amerika
Latin, atau korupsi pengadaan alat kesehatan di beberapa negara selama pandemi,
mencerminkan bahaya konsentrasi kekuasaan yang tidak disertai integritas
kelembagaan.4
Korupsi dalam
lingkup eksekutif tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga
menghancurkan legitimasi pemerintahan dan melemahkan kepercayaan publik
terhadap negara. Oleh karena itu, keberadaan lembaga pengawas independen,
transparansi anggaran, dan keterbukaan informasi publik menjadi instrumen vital
dalam meredam potensi penyimpangan tersebut.
7.4.
Penyalahgunaan
Wewenang terhadap Oposisi dan Kritik
Kecenderungan
represif juga menjadi bagian dari kontroversi eksekutif, terutama ketika aparat
pemerintah digunakan untuk membungkam kritik, mengkriminalisasi
oposisi, atau mengontrol wacana publik. Dalam
banyak rezim otoriter, kebebasan pers dan kebebasan berkumpul dibatasi secara
sistematis melalui peraturan darurat atau interpretasi hukum yang menyimpang.
Penyalahgunaan
kekuasaan ini sering dijustifikasi atas nama stabilitas nasional atau keamanan
negara. Namun dalam praktiknya, hal tersebut justru merusak prinsip-prinsip
demokrasi substantif, termasuk hak asasi manusia, pluralisme politik, dan
kebebasan sipil.5
7.5.
Ketergantungan pada
Pribadi daripada Institusi
Dinamika kekuasaan
eksekutif juga menunjukkan gejala personalisasi kekuasaan, di
mana keberlangsungan kebijakan dan stabilitas negara sangat tergantung pada
figur pemimpin. Dalam konteks ini, institusi negara menjadi lemah karena
digantikan oleh loyalitas personal, kultus individu, dan politik patronase.
Akibatnya, transisi pemerintahan menjadi rentan terhadap instabilitas dan
disfungsi administratif.
Hal ini
mengindikasikan pentingnya membangun eksekutif yang kuat namun berbasis
institusi, bukan individu. Negara-negara dengan sistem meritokrasi, birokrasi
profesional, dan rekruitmen politik terbuka cenderung lebih tahan terhadap
gejala personifikasi tersebut.6
Kesimpulan
Kekuasaan eksekutif
adalah elemen sentral dalam pemerintahan modern, namun potensinya untuk menjadi
otoriter dan menyimpang selalu mengintai, terutama dalam kondisi krisis atau
ketika mekanisme pengawasan lemah. Pemahaman terhadap dinamika dan kontroversi
yang melekat pada kekuasaan eksekutif menjadi penting agar reformasi
institusional dapat diarahkan untuk memperkuat akuntabilitas, profesionalisme,
dan keberlanjutan demokrasi konstitusional.
Footnotes
[1]
Nancy Bermeo, “On Democratic Backsliding,” Journal of Democracy
27, no. 1 (2016): 5–19.
[2]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing Group, 2018), 3–24.
[3]
Kim Lane Scheppele, “Executive Overreach in the Pandemic,” Verfassungsblog,
May 2020, https://verfassungsblog.de.
[4]
Matthew M. Taylor and Timothy J. Power, Corruption and Democracy in
Brazil: The Struggle for Accountability (Notre Dame: University of Notre
Dame Press, 2011), 55–73.
[5]
Thomas Carothers, “The Backlash Against Democracy Promotion,” Foreign
Affairs 85, no. 2 (2006): 55–68.
[6]
Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the
Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2014), 119–137.
8.
Studi Komparatif Kekuasaan Eksekutif
Analisis komparatif
terhadap kekuasaan eksekutif di berbagai negara memberikan pemahaman yang lebih
dalam mengenai keragaman model pemerintahan, tingkat
akuntabilitas, dan stabilitas institusional.
Meskipun secara konseptual kekuasaan eksekutif mengacu pada fungsi yang
sama—yakni menjalankan kebijakan dan pemerintahan—bentuk, kekuatan, dan
praktiknya sangat bervariasi tergantung pada sistem konstitusional dan dinamika
politik lokal. Kajian ini membandingkan implementasi kekuasaan eksekutif di
empat negara dengan sistem pemerintahan berbeda: Amerika
Serikat (presidensial), Inggris (parlementer), Prancis (semi-presidensial), dan
Indonesia (presidensial dengan karakteristik unik).
8.1.
Amerika Serikat:
Presidensialisme dan Kekuasaan Eksekutif yang Terkontrol
Amerika Serikat
merupakan prototipe dari sistem presidensial klasik di mana presiden
berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Konstitusi AS memberikan presiden kekuasaan luas namun dibatasi secara ketat
melalui prinsip checks and balances. Kongres
dan Mahkamah Agung memiliki peran kuat dalam mengawasi dan menyeimbangkan
tindakan presiden, termasuk dalam urusan legislatif, pengangkatan pejabat, dan
kebijakan luar negeri.1
Meskipun
presidensialisme di AS menciptakan stabilitas jabatan, sistem ini kerap
mengalami gridlock—kebuntuan antara
eksekutif dan legislatif—terutama ketika kontrol pemerintahan terbagi antara
dua partai politik yang berbeda.2 Kasus ini menyoroti pentingnya
kompromi politik dalam sistem presidensial agar pemerintahan tetap berjalan
efektif.
8.2.
Inggris: Eksekutif
yang Bertanggung Jawab kepada Parlemen
Di Inggris, sistem
parlementer menempatkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan
yang diangkat dari mayoritas parlemen. Raja atau ratu berfungsi sebagai kepala
negara simbolis. Kabinet bertanggung jawab langsung kepada parlemen, dan dapat
dijatuhkan melalui mosi tidak percaya, yang menjadikan
kekuasaan eksekutif sangat tergantung pada dukungan legislatif.3
Model ini
memungkinkan respons cepat terhadap perubahan politik,
tetapi juga bisa mengarah pada instabilitas pemerintahan dalam
konteks multipartai atau koalisi rapuh. Keunggulan Inggris terletak pada
kuatnya tradisi hukum dan kelembagaan, termasuk profesionalisme birokrasi yang
mendukung efektivitas eksekutif.4
8.3.
Prancis: Dinamika
Eksekutif dalam Sistem Semi-Presidensial
Prancis mengadopsi
sistem semi-presidensial yang unik, di mana presiden dan perdana menteri sama-sama
menjalankan fungsi eksekutif, namun dengan distribusi
kewenangan yang fleksibel tergantung pada konfigurasi politik. Ketika presiden
dan perdana menteri berasal dari partai yang sama, presiden cenderung dominan.
Namun dalam kondisi cohabitation (dua pemimpin dari
partai berbeda), perdana menteri mengambil alih peran dalam pemerintahan
sehari-hari, sementara presiden lebih fokus pada kebijakan luar negeri dan
pertahanan.5
Model ini memberikan
keseimbangan
antara legitimasi langsung presiden dan akuntabilitas
parlementer, namun juga menciptakan potensi konflik kekuasaan
dan kebingungan dalam pertanggungjawaban publik.6
8.4.
Indonesia:
Presidensialisme Berkonteks Demokrasi Transisional
Indonesia, sebagai
negara demokrasi transisional pasca-Orde Baru, mengadopsi sistem presidensial
yang secara formal menyerupai model Amerika Serikat. Presiden dipilih langsung
oleh rakyat dan memegang kekuasaan eksekutif secara penuh. Namun, karakteristik
politik Indonesia—terutama sistem multipartai dan dominasi parlemen dalam
pembentukan kabinet—menyebabkan kekuasaan eksekutif sering kali harus berkompromi
secara politik untuk menjaga stabilitas pemerintahan.7
Meskipun reformasi
konstitusi 1999–2002 memperkuat akuntabilitas eksekutif dan memisahkan lembaga
kekuasaan negara, tantangan seperti fragmentasi politik, oligarki,
dan ketergantungan
pada koalisi pragmatis tetap membatasi independensi dan
efektivitas presiden.8
8.5.
Perbandingan dan
Implikasi
Berikut adalah
penyajian ulang bagian "5. Perbandingan dan Implikasi"
dalam bentuk penjelasan deskriptif dan bullet point
untuk memperjelas perbedaan utama serta implikasi dari berbagai model kekuasaan
eksekutif:
8.6.
Perbandingan dan
Implikasi
Studi perbandingan
antara empat negara—Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan
Indonesia—menunjukkan bahwa struktur dan dinamika kekuasaan eksekutif sangat
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang diterapkan. Setiap model memiliki
kelebihan dan tantangan tersendiri yang berdampak pada stabilitas politik,
efektivitas kebijakan, dan tingkat akuntabilitas pemerintahan.
8.6.1.
Amerika
Serikat (Sistem Presidensial)
·
Presiden adalah kepala
negara dan kepala pemerintahan.
·
Tidak tergantung pada
dukungan legislatif untuk tetap menjabat.
·
Terdapat sistem checks and
balances yang kuat.
·
Rentan mengalami kebuntuan
politik (gridlock) saat terjadi
perbedaan partai antara presiden dan kongres.
·
Stabilitas eksekutif tinggi
karena masa jabatan tetap.
8.6.2.
Inggris
(Sistem Parlementer)
·
Raja/ratu sebagai kepala
negara simbolik; perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
·
Eksekutif bertanggung jawab
langsung kepada parlemen.
·
Pemerintah dapat dijatuhkan
melalui mosi tidak percaya.
·
Respons politik cepat dan
fleksibel, tetapi bisa terjadi instabilitas jika parlemen terfragmentasi.
·
Tradisi hukum dan
profesionalisme birokrasi memperkuat efektivitas pemerintahan.
8.6.3.
Prancis
(Sistem Semi-Presidensial)
·
Presiden dan perdana
menteri berbagi kekuasaan eksekutif.
·
Dinamika kekuasaan
tergantung pada kondisi cohabitation (ketika
presiden dan PM berasal dari partai berbeda).
·
Memberikan keseimbangan
antara legitimasi langsung dari rakyat dan akuntabilitas parlementer.
·
Potensi konflik kewenangan
tinggi dalam situasi politik yang terpolarisasi.
8.6.4.
Indonesia
(Sistem Presidensial Berbasis Koalisi)
·
Presiden dipilih langsung dan
berfungsi sebagai kepala negara dan pemerintahan.
·
Praktik politik dipengaruhi
oleh sistem multipartai dan koalisi pragmatis.
·
Meskipun presidensial
secara formal, eksekutif harus bernegosiasi dengan legislatif dalam pembentukan
dan stabilitas kabinet.
·
Reformasi konstitusi telah
memperkuat akuntabilitas, tetapi tantangan oligarki dan patronase masih tinggi.
8.6.5.
Implikasi
Umum
·
Efektivitas
eksekutif dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan politik dan
fleksibilitas sistem pemerintahan.
·
Akuntabilitas
tergantung pada kekuatan institusi legislatif, yudikatif, dan mekanisme
pengawasan independen.
·
Stabilitas
pemerintahan lebih terjamin dalam sistem presidensial dengan
masa jabatan tetap, tetapi bisa terhambat oleh kebuntuan politik.
·
Koordinasi
kekuasaan lebih cair dalam sistem parlementer dan
semi-presidensial, namun berisiko konflik dan instabilitas jika tidak ada
mayoritas yang solid.
·
Konteks
politik nasional, seperti budaya hukum, sejarah demokrasi, dan
struktur partai politik, memainkan peran kunci dalam menentukan bagaimana
kekuasaan eksekutif dijalankan.
Kesimpulan
Studi komparatif
menunjukkan bahwa tidak ada model tunggal kekuasaan eksekutif
yang ideal. Keberhasilan suatu model sangat bergantung pada
struktur kelembagaan, budaya politik, serta efektivitas mekanisme pengawasan
dan akuntabilitas. Dalam menghadapi tantangan global dan domestik,
negara-negara perlu terus mengevaluasi sistem eksekutif mereka agar tetap
responsif, efisien, dan demokratis.
Footnotes
[1]
Jack Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of
the Constitution (New York: Vintage Books, 1997), 142–155.
[2]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy
1, no. 1 (1990): 51–69.
[3]
Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 113–127.
[4]
B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to
Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010),
186–199.
[5]
Robert Elgie, Political Institutions in Contemporary France
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 79–95.
[6]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An
Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU
Press, 1997), 134–140.
[7]
Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in
Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 144–152.
[8]
Marcus Mietzner, Democracy and Islam in Indonesia (Washington,
DC: East-West Center, 2009), 35–46.
9.
Relevansi dan Tantangan Kontemporer
Kekuasaan eksekutif
dalam sistem ketatanegaraan tetap memegang posisi sentral dalam mengarahkan
jalannya pemerintahan, merumuskan kebijakan publik, serta menjaga stabilitas
nasional. Di era kontemporer, peran ini menjadi semakin kompleks dan strategis,
terutama dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi, perubahan iklim,
disrupsi teknologi, krisis demokrasi, dan gejolak geopolitik. Oleh karena itu,
relevansi kekuasaan eksekutif tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasar
konstitusionalisme dan demokrasi.
9.1.
Perubahan Konteks
Global dan Tuntutan Responsivitas
Dalam era
globalisasi, ekspektasi terhadap pemerintahan yang cepat,
adaptif, dan efektif semakin tinggi. Pemerintah dituntut untuk
mengambil kebijakan yang responsif terhadap krisis multidimensional—dari
pandemi global seperti COVID-19 hingga dampak perang Ukraina terhadap pasokan
energi dan pangan dunia. Dalam situasi-situasi tersebut, kekuasaan
eksekutif menjadi garda terdepan karena ia memiliki
fleksibilitas dan kapasitas operasional untuk bertindak cepat.1
Namun, kecepatan ini
sering berbenturan dengan prinsip akuntabilitas. Banyak negara memperlihatkan
kecenderungan untuk meningkatkan otoritas eksekutif secara darurat,
terkadang tanpa batas waktu dan pengawasan yang jelas. Hal ini menciptakan
ketegangan antara kebutuhan akan efektivitas dan pentingnya menjamin supremasi
hukum dan hak-hak warga negara.2
9.2.
Disrupsi Digital dan
Pemerintahan Digital
Transformasi digital
membawa peluang sekaligus tantangan besar bagi kekuasaan eksekutif. Di satu
sisi, penggunaan teknologi digital dalam pemerintahan (e-government) dapat
meningkatkan transparansi, efisiensi birokrasi, dan akses
layanan publik. Di sisi lain, kekuasaan eksekutif juga
menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan keamanan siber, privasi data, dan penyebaran
disinformasi yang dapat memengaruhi stabilitas politik dan
kepercayaan publik.3
Eksekutif dituntut
untuk memiliki kapasitas teknologi dan kerangka regulasi yang adaptif terhadap
dinamika era digital, termasuk dalam mengatur platform media sosial, kecerdasan
buatan, serta tata kelola data nasional dan transnasional.
9.3.
Populisme dan Krisis
Legitimasi Demokrasi
Salah satu tantangan
besar bagi kekuasaan eksekutif saat ini adalah bangkitnya populisme yang
cenderung melemahkan lembaga-lembaga demokrasi. Banyak pemimpin populis
mengklaim mewakili kehendak rakyat secara langsung, dan atas dasar itu berupaya
mengesampingkan lembaga legislatif, yudikatif, bahkan konstitusi. Dalam situasi
ini, kekuasaan eksekutif dapat berubah menjadi alat personalisasi kekuasaan
yang mengancam nilai-nilai demokrasi representatif.4
Fenomena ini
terlihat di berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Serikat di bawah Donald
Trump, Brasil di bawah Jair Bolsonaro, hingga Filipina di bawah Rodrigo
Duterte. Pemerintahan populis sering kali menggunakan retorika krisis dan musuh
bersama untuk melegitimasi pelemahan sistem checks and balances serta
pembatasan kebebasan sipil.5
9.4.
Krisis Iklim dan
Kepemimpinan Eksekutif Global
Perubahan iklim
merupakan ancaman eksistensial yang menuntut kepemimpinan eksekutif yang proaktif dan
berorientasi jangka panjang. Dalam banyak kasus, pemerintah
pusat dan lembaga eksekutif menjadi aktor utama dalam merumuskan kebijakan
mitigasi dan adaptasi iklim, termasuk transisi energi, perlindungan sumber daya
alam, dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Namun, kebijakan
iklim sering kali dihambat oleh intervensi politik jangka pendek, tekanan
industri, dan fragmentasi antar lembaga pemerintahan. Kekuasaan
eksekutif ditantang untuk mengintegrasikan kebijakan iklim ke dalam seluruh
sektor, serta membangun koordinasi lintas kementerian dan lintas negara yang
kuat.6
9.5.
Ketimpangan Sosial
dan Tuntutan Keadilan Ekonomi
Kekuasaan eksekutif
juga menghadapi tantangan serius dalam menangani ketimpangan sosial dan ekonomi
yang semakin dalam di berbagai negara. Distribusi kekayaan yang tidak merata,
akses pendidikan dan kesehatan yang timpang, serta pengangguran struktural
menimbulkan keresahan sosial dan memperlemah kepercayaan terhadap pemerintah.
Dalam konteks ini,
pemerintah dituntut tidak hanya untuk mengatur pasar, tetapi juga melakukan intervensi
kebijakan redistributif melalui sistem perpajakan yang adil,
jaminan sosial, dan program kesejahteraan. Keberhasilan atau kegagalan
eksekutif dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut sangat menentukan
legitimasi moral dan politiknya di mata rakyat.7
Kesimpulan
Kekuasaan eksekutif
tetap menjadi aktor utama dalam menjawab tantangan kontemporer, dari isu krisis
iklim hingga revolusi digital. Namun, untuk menjaga relevansinya, kekuasaan ini
harus dijalankan dengan prinsip efektivitas yang terkendali, legitimasi
demokratis, dan komitmen terhadap keadilan sosial. Reformasi
struktural dan peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi keharusan agar
kekuasaan eksekutif tidak berubah menjadi sumber otoritarianisme, melainkan
menjadi instrumen pelayanan publik yang progresif dan akuntabel.
Footnotes
[1]
Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the
Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2014), 221–235.
[2]
Kim Lane Scheppele, “Law in a Time of Emergency: States of Exception
and the Temptations of 9/11,” University of Pennsylvania Journal of
Constitutional Law 6, no. 5 (2004): 1001–1083.
[3]
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in
the Internet Age, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2015), 112–133.
[4]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018),
39–54.
[5]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing Group, 2018), 47–65.
[6]
Anthony Giddens, The Politics of Climate Change, 2nd ed.
(Cambridge: Polity Press, 2015), 91–109.
[7]
Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge: Harvard
University Press, 2020), 985–1002.
10.
Penutup
Kekuasaan eksekutif
merupakan salah satu pilar utama dalam struktur pemerintahan modern yang
berperan sentral dalam menjalankan roda negara, merumuskan dan mengeksekusi
kebijakan, serta menjaga stabilitas politik dan hukum. Sebagai cabang kekuasaan
yang bersinggungan langsung dengan pelaksanaan kehidupan publik, fungsi dan
dinamika eksekutif harus dianalisis secara multidimensi—baik dari perspektif
teoretis, historis, struktural, maupun kontekstual.
Kajian ini telah
menunjukkan bahwa kekuasaan eksekutif tidak hadir dalam satu bentuk tunggal,
melainkan berkembang dalam berbagai sistem seperti presidensial, parlementer,
dan semi-presidensial, masing-masing dengan konfigurasi kekuasaan dan mekanisme
pertanggungjawaban yang berbeda. Dalam sistem presidensial, seperti di Amerika
Serikat dan Indonesia, presiden memiliki kekuasaan yang relatif mandiri dari
legislatif, namun harus dikontrol dengan mekanisme checks and balances yang
kuat.1 Di sisi lain, dalam sistem parlementer seperti Inggris,
kekuasaan eksekutif lebih fleksibel dan akuntabel secara langsung kepada
parlemen, namun rentan terhadap ketidakstabilan pemerintahan.2
Dinamika dan
kontroversi yang melekat pada kekuasaan eksekutif—seperti sentralisasi
kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, kecenderungan otoritarianisme, serta
personalisasi kekuasaan—menjadi tantangan nyata yang harus diantisipasi dalam
tata kelola demokratis. Terlebih lagi, dalam situasi krisis global seperti
pandemi, konflik geopolitik, dan perubahan iklim, eksekutif sering kali menjadi
pihak yang mengambil keputusan mendesak, yang meskipun diperlukan, dapat
mengarah pada pembenaran perluasan kekuasaan tanpa kontrol yang memadai.3
Studi komparatif
juga menegaskan bahwa efektivitas dan legitimasi kekuasaan eksekutif sangat
ditentukan oleh kondisi politik, budaya hukum, dan desain konstitusi masing-masing
negara. Negara-negara dengan lembaga pengawas yang kuat, masyarakat sipil yang
aktif, dan tradisi hukum yang mapan cenderung lebih mampu menahan godaan
otoritarianisme eksekutif.4 Sebaliknya, di negara dengan demokrasi
yang masih lemah, kekuasaan eksekutif berpotensi menjadi kendaraan politik yang
dominan dan mengancam pluralisme.
Dalam konteks
tantangan kontemporer, kekuasaan eksekutif dihadapkan pada keharusan untuk
bertransformasi menjadi institusi yang tidak hanya kuat secara administratif, tetapi
juga adaptif terhadap era digital, sensitif terhadap isu keadilan sosial, dan
bertanggung jawab secara moral dalam menghadapi krisis global. Relevansi
kekuasaan eksekutif tidak cukup diukur dari kemampuannya membuat keputusan,
tetapi juga dari sejauh mana keputusan tersebut mewujudkan nilai-nilai
demokrasi, transparansi, dan kepentingan publik jangka panjang.5
Oleh karena itu,
penguatan kapasitas kelembagaan, reformasi birokrasi, dan pembentukan sistem
pengawasan yang independen harus menjadi agenda utama dalam membangun eksekutif
yang efektif sekaligus demokratis. Hanya dengan demikian kekuasaan eksekutif
dapat menjadi instrumen yang bekerja dalam kerangka negara hukum, bukan sekadar
kekuasaan yang mengatur, melainkan kekuasaan yang melayani rakyat dan tunduk
pada konstitusi.
Footnotes
[1]
Jack Rakove, Original Meanings: Politics and Ideas in the Making of
the Constitution (New York: Vintage Books, 1997), 153–165.
[2]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
1999), 127–134.
[3]
Kim Lane Scheppele, “Executive Overreach in the Pandemic,” Verfassungsblog,
May 2020, https://verfassungsblog.de/executive-overreach-in-the-pandemic/.
[4]
Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing Group, 2018), 84–101.
[5]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018),
199–212.
Daftar Pustaka
Anderson, J. E. (2014). Public
policymaking (8th ed.). Cengage Learning.
Bermeo, N. (2016). On
democratic backsliding. Journal of Democracy, 27(1), 5–19. https://doi.org/10.1353/jod.2016.0012
Bogdanor, V. (1995). The
monarchy and the constitution. Oxford University Press.
Butt, S., & Parsons, N.
(2012). Corruption and law in Indonesia. Routledge.
Carothers, T. (2006). The
backlash against democracy promotion. Foreign Affairs, 85(2), 55–68.
Castells, M. (2015). Networks
of outrage and hope: Social movements in the Internet age (2nd ed.).
Polity Press.
Dirck, B. R. (2012). Executive
power: How American presidents have shaped the Constitution. University
Press of Kansas.
Doyle, W. (2002). The
Oxford history of the French Revolution. Oxford University Press.
Drezner, D. W. (2011). Theories
of international politics and zombies. Princeton University Press.
Elgie, R. (2003). Political
institutions in contemporary France. Oxford University Press.
Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism:
Subtypes and democratic performance. Oxford University Press.
Finer, H. (1961). The
theory and practice of modern government (Vol. 1). Methuen.
Fukuyama, F. (2014). Political
order and political decay: From the industrial revolution to the globalization
of democracy. Farrar, Straus and Giroux.
Giddens, A. (2015). The
politics of climate change (2nd ed.). Polity Press.
Horowitz, D. L. (2013). Constitutional
change and democracy in Indonesia. Cambridge University Press.
Kovach, B., &
Rosenstiel, T. (2014). The elements of journalism: What newspeople should
know and the public should expect (3rd ed.). Three Rivers Press.
Levitsky, S., &
Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing Group.
Lijphart, A. (1999). Patterns
of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries.
Yale University Press.
Linz, J. J. (1990). The
perils of presidentialism. Journal of Democracy, 1(1), 51–69. https://doi.org/10.1353/jod.1990.0011
Mainwaring, S., &
Shugart, M. S. (Eds.). (1997). Presidentialism and democracy in Latin
America. Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2009). Democracy
and Islam in Indonesia. East-West Center.
Montesquieu, C. de. (1989).
The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone,
Eds.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)
Mounk, Y. (2018). The
people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it.
Harvard University Press.
Nelson, E. (2014). The
royalist revolution: Monarchy and the American founding. Harvard
University Press.
Peters, B. G. (2010). The
politics of bureaucracy: An introduction to comparative public administration
(6th ed.). Routledge.
Piketty, T. (2020). Capital
and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Rakove, J. (1997). Original
meanings: Politics and ideas in the making of the Constitution. Vintage
Books.
Sartori, G. (1997). Comparative
constitutional engineering: An inquiry into structures, incentives and outcomes
(2nd ed.). NYU Press.
Scheppele, K. L. (2004).
Law in a time of emergency: States of exception and the temptations of 9/11. University
of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, 6(5), 1001–1083.
Scheppele, K. L. (2020,
May). Executive overreach in the pandemic. Verfassungsblog. https://verfassungsblog.de/executive-overreach-in-the-pandemic/
Taylor, M. M., & Power,
T. J. (2011). Corruption and democracy in Brazil: The struggle for
accountability. University of Notre Dame Press.
Whittington, K. E. (2019). Repugnant
laws: Judicial review of acts of Congress from the founding to the present.
University Press of Kansas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar