Sistem Among
Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut
Wuri Handayani
Alihkan ke: Pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Sistem
Among sebagai fondasi filosofis dan praktik pendidikan yang dirumuskan oleh
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Berangkat dari latar
belakang kolonialisme dan kebutuhan akan pendidikan yang membebaskan, Sistem
Among menekankan pembimbingan anak didik secara merdeka sesuai kodrat alam dan
kodrat zamannya. Artikel ini memaparkan prinsip-prinsip dasar Among seperti kemerdekaan,
pembelajaran humanistik, pendidikan berbasis kebudayaan, serta peran guru
sebagai pamong. Melalui analisis perbandingan dengan pendekatan pendidikan lain
seperti Montessori, Reggio Emilia, dan progresivisme Dewey, Sistem Among
menunjukkan keunikan dan relevansinya dalam konteks global. Penelitian ini juga
mengidentifikasi tantangan implementatif dan kritik filosofis terhadap Sistem
Among, serta peluang aktualisasi dalam era Merdeka Belajar dan pendidikan abad
ke-21. Simpulan dari kajian ini menekankan bahwa Sistem Among merupakan warisan
pedagogis yang hidup, yang menempatkan kemerdekaan dan kemanusiaan sebagai inti
dari proses pendidikan. Oleh karena itu, reinterpretasi nilai-nilai Among perlu
terus dilakukan agar pendidikan Indonesia tetap berpijak pada jati diri bangsa
di tengah perubahan zaman.
Kata Kunci: Sistem Among, Ki Hajar Dewantara, pendidikan
merdeka, pamong, pendidikan humanistik, kurikulum nasional, Merdeka Belajar,
pendidikan karakter, filsafat pendidikan Indonesia.
PEMBAHASAN
Fondasi Filosofis dan Praktik Pendidikan Merdeka
Menurut Ki Hajar Dewantara
1.
Pendahuluan
Pendidikan tidak
sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga wahana pembentukan
manusia seutuhnya yang merdeka, bermartabat, dan berkepribadian. Di tengah
dominasi sistem pendidikan kolonial yang menindas dan mengekang kebebasan anak
didik, Ki Hajar Dewantara (1889–1959) tampil sebagai tokoh revolusioner yang
menawarkan paradigma baru dalam dunia pendidikan melalui Sistem
Among—suatu pendekatan yang menekankan pada pembimbingan anak
berdasarkan kodrat alam dan prinsip kemerdekaan pribadi.¹
Gagasan ini tidak
lahir dari ruang hampa. Sistem Among merupakan hasil perenungan panjang Ki
Hajar terhadap situasi sosial-politik bangsa Indonesia yang berada dalam
cengkeraman kolonialisme, serta pencerapannya terhadap nilai-nilai pendidikan
Timur dan Barat. Sistem pendidikan kolonial pada masa itu menempatkan peserta
didik sebagai objek pasif yang harus tunduk pada otoritas, sedangkan Ki Hajar
justru menempatkan anak sebagai subjek yang memiliki potensi kodrati yang harus
dibimbing, bukan diperintah.² Ia menyebut pendekatan ini sebagai bentuk “among”,
yaitu sikap mendampingi dengan kasih sayang dan tidak memaksa, tetapi tetap
memberi arah yang benar.³
Lahirnya Sistem
Among beriringan dengan pendirian Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di
Yogyakarta. Taman Siswa bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan juga media
perjuangan untuk menciptakan generasi yang merdeka dalam berpikir dan
bertindak, serta bertanggung jawab secara moral dan sosial.⁴ Dalam sistem ini,
pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk
menumbuhkan rasa cinta tanah air, kebebasan batin, dan tanggung jawab terhadap
sesama. Ki Hajar menganggap bahwa pendidikan sejati adalah yang “memerdekakan
manusia lahir dan batin.”⁵
Di era kontemporer,
nilai-nilai dalam Sistem Among kembali menemukan relevansinya, khususnya dalam
konteks kebijakan Merdeka Belajar yang digagas
pemerintah Indonesia sejak 2019. Dalam kebijakan ini, peserta didik didorong
untuk belajar sesuai minat dan bakatnya, guru diberi ruang untuk berinovasi, dan
sekolah diberi otonomi dalam merancang pembelajaran. Nilai-nilai tersebut
sejalan dengan asas kemerdekaan dalam pendidikan yang diusung Ki Hajar hampir
seabad yang lalu.⁶ Oleh karena itu, kajian mendalam terhadap Sistem Among
menjadi sangat penting, tidak hanya untuk memahami sejarah pendidikan nasional,
tetapi juga untuk mengontekstualisasikan kembali prinsip-prinsip pendidikan
yang humanistik dan berakar pada budaya bangsa.
Footnotes
[1]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Tamansiswa, 1961), 19.
[2]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 45.
[3]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 73.
[4]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 88–90.
[5]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta:
Majelis Luhur Tamansiswa, 1962), 52.
[6]
Kemendikbudristek RI, “Kebijakan Merdeka Belajar,” diakses 4 Juni 2025,
https://www.kemdikbud.go.id.
2.
Biografi
Singkat Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara,
yang lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di
Yogyakarta, adalah salah satu tokoh pelopor pendidikan nasional Indonesia dan
pejuang kemerdekaan yang sangat disegani. Ia berasal dari lingkungan bangsawan
Keraton Pakualaman, tetapi memilih meninggalkan gelar kebangsawanannya pada
usia 40 tahun sebagai wujud komitmennya untuk hidup sederhana dan menyatu
dengan rakyat.¹
Pendidikan formalnya
dimulai di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar berbahasa Belanda,
kemudian dilanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen),
sekolah kedokteran bagi pribumi di Batavia. Namun, studinya di STOVIA tidak
selesai karena alasan kesehatan. Meskipun tidak menamatkan pendidikan
formalnya, Ki Hajar tetap aktif dalam dunia intelektual dan pergerakan
nasional.²
Pada awal abad
ke-20, ia bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo dan kemudian Indische
Partij, bersama tokoh-tokoh seperti Douwes Dekker (Dr. Ernest
Douwes Dekker) dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Kiprahnya dalam gerakan ini
menegaskan pandangan politiknya yang anti-kolonial dan nasionalistik.³ Tulisan
terkenalnya berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was”
(Seandainya Aku Seorang Belanda), yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial
yang diskriminatif terhadap bangsa Indonesia, menyebabkan ia diasingkan ke
Belanda pada tahun 1913.⁴
Selama di
pengasingan di Belanda, Ki Hajar tidak hanya memperdalam pemikirannya tentang
kebangsaan, tetapi juga mempelajari sistem pendidikan progresif Eropa, seperti
teori pendidikan dari Froebel, Montessori, dan Tagore.⁵ Pemikiran-pemikiran ini
menjadi fondasi intelektual ketika ia kembali ke tanah air dan mendirikan Perguruan
Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Melalui lembaga
ini, ia mengimplementasikan gagasan pendidikan yang membebaskan dan berakar
pada kebudayaan nasional.⁶
Ki Hajar Dewantara
bukan hanya seorang pendidik, tetapi juga seorang filsuf pendidikan, wartawan,
dan budayawan. Ia menulis banyak artikel dan esai tentang pendidikan,
kebudayaan, dan kemerdekaan bangsa. Tiga asas utamanya dalam mendidik—Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—menjadi
warisan pedagogis yang terus digunakan hingga kini.⁷
Setelah kemerdekaan
Indonesia, Ki Hajar diberi kepercayaan sebagai Menteri Pengajaran pertama dalam
kabinet Republik Indonesia tahun 1945. Atas jasa-jasanya, pemerintah Republik
Indonesia menetapkan hari lahirnya sebagai Hari Pendidikan Nasional, dan
menganugerahinya gelar Bapak Pendidikan Nasional.⁸ Ia
wafat pada 26 April 1959 di Yogyakarta, meninggalkan warisan besar dalam dunia
pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
Footnotes
[1]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 12.
[2]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 36.
[3]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942
(Jakarta: LP3ES, 1980), 45.
[4]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 21.
[5]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), 60.
[6]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 93.
[7]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 29.
[8]
Kemendikbudristek RI, “Profil Ki Hajar Dewantara,” diakses 4 Juni 2025,
https://www.kemdikbud.go.id.
3.
Landasan
Filosofis Sistem Among
Sistem Among
merupakan inti dari falsafah pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar
Dewantara dan menjadi ciri khas dari pendidikan Taman Siswa. Kata “among”
berasal dari bahasa Jawa yang berarti “mengasuh” atau “membimbing,” dan dalam konteks
pendidikan, ia bermakna membimbing anak didik dengan kasih sayang, bukan dengan
paksaan.¹ Sistem ini berpijak pada nilai-nilai luhur budaya Nusantara yang
dikombinasikan dengan pemikiran progresif modern, menghasilkan pendekatan
pendidikan yang bersifat emansipatoris, humanistik,
dan kontekstual.²
3.1.
Asas Among: “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”
Landasan utama
Sistem Among dirumuskan melalui semboyan terkenal Ki Hajar: “Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”,
yang menggambarkan peran pendidik dalam berbagai posisi sosial dan psikologis.³
·
Ing ngarsa sung
tuladha berarti bahwa di depan, seorang pendidik harus menjadi
teladan.
·
Ing madya mangun
karsa bermakna bahwa di tengah-tengah, ia turut membangkitkan
semangat.
·
Tut wuri handayani
menunjukkan bahwa dari belakang, ia memberikan dorongan dan kebebasan yang
bertanggung jawab.
Semboyan ini tidak
hanya menjadi prinsip kerja pendidikan Taman Siswa, tetapi juga menjadi
filosofi pendidikan nasional Indonesia, bahkan diadopsi oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai moto resminya.⁴
3.2.
Kodrat Alam dan Kodrat Zaman
Salah satu fondasi
filosofis Sistem Among adalah pengakuan terhadap kodrat
alam dan kodrat zaman anak didik.
Menurut Ki Hajar, setiap manusia memiliki potensi alami yang bersumber dari
kodratnya, yang perlu dikembangkan secara wajar dan tidak boleh ditekan oleh kekuatan
eksternal.⁵ Di sisi lain, kodrat zaman menuntut pendidikan untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan adaptif terhadap perubahan sosial, ilmu
pengetahuan, dan teknologi sesuai zamannya.⁶ Dengan demikian, pendidikan bukan
sekadar pengajaran, tetapi proses pembudayaan yang membentuk
manusia Indonesia seutuhnya dalam konteks sejarah dan peradaban.
3.3.
Pendidikan sebagai Usaha Memerdekakan
Konsep kemerdekaan
merupakan elemen krusial dalam Sistem Among. Pendidikan yang ideal, menurut Ki
Hajar, adalah pendidikan yang mampu “memerdekakan manusia lahir dan batin”—yakni
membebaskan peserta didik dari ketergantungan, ketakutan, dan tekanan
otoriter.⁷ Anak didik dianggap sebagai subjek yang aktif, bukan objek pasif. Ia
memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang menurut potensi dirinya. Oleh karena
itu, guru bukanlah pemaksa atau penguasa, melainkan “pamong”:
pendamping yang membimbing dengan bijaksana, penuh cinta, dan mengayomi tanpa
mengekang.⁸
3.4.
Keseimbangan antara Individualitas dan
Kepentingan Sosial
Sistem Among juga
menekankan keseimbangan antara pengembangan kepribadian individu dengan
tanggung jawab sosial. Ki Hajar mengajarkan bahwa pendidikan harus menumbuhkan kesadaran
individu terhadap dirinya, namun juga kesadaran
kolektif terhadap masyarakat dan bangsanya.⁹ Oleh sebab itu,
nilai-nilai seperti gotong royong, kejujuran, disiplin, dan cinta tanah air
dijadikan bagian integral dari proses pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa
Sistem Among adalah sistem pendidikan yang holistik, yang memadukan unsur intelektual,
emosional, moral, dan spiritual.
Footnotes
[1]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 23.
[2]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 47.
[3]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 38.
[4]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 105.
[5]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 31.
[6]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 96.
[7]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 11.
[8]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 65.
[9]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942
(Jakarta: LP3ES, 1980), 53.
4.
Prinsip-Prinsip
Utama Sistem Among
Sistem Among sebagai
metode dan filosofi pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara
berdiri di atas landasan prinsip-prinsip yang mencerminkan pandangan hidup,
nilai budaya, dan misi emansipatoris dalam mendidik manusia. Prinsip-prinsip
ini bukan sekadar pedoman teknis dalam pembelajaran, tetapi merupakan refleksi
dari visi pendidikan yang membebaskan, menumbuhkan, dan memanusiakan manusia.¹
4.1.
Kemerdekaan sebagai Hak Asasi Anak Didik
Prinsip paling
mendasar dalam Sistem Among adalah kemerdekaan anak didik. Bagi Ki
Hajar, pendidikan sejati tidak boleh mematikan potensi alamiah anak. Ia
menulis, “Anak-anak hendaknya tidak ditakut-takuti atau dipaksa, melainkan
dibimbing agar berkembang kodratnya.”² Kemerdekaan di sini bukan dalam arti
lepas dari tanggung jawab, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab untuk
berpikir, merasa, dan bertindak sesuai kodrat dan perkembangan pribadi.³ Guru
dalam Sistem Among tidak bertindak sebagai penguasa atau pelaksana hukuman,
melainkan sebagai pamong, yakni pendamping yang
mengarahkan dan menginspirasi.⁴
4.2.
Pendidikan yang Bersifat Humanistik dan
Individualistik
Sistem Among
berorientasi pada pengembangan kepribadian individu
secara utuh, yang mencakup aspek intelektual, emosional, moral, dan spiritual.
Setiap anak dianggap sebagai pribadi unik yang memiliki hak untuk tumbuh secara
berbeda, tidak bisa diseragamkan. Ki Hajar menolak pendekatan pendidikan yang
mekanistik dan seragam seperti yang dilakukan oleh sistem kolonial.⁵
Sebaliknya, ia mengedepankan pendekatan yang menghargai martabat manusia,
dengan memberi ruang ekspresi terhadap minat dan bakat individu.⁶
4.3.
Asas Cinta dan Asuh dalam Proses Mendidik
Dalam Sistem Among,
tindakan mendidik selalu dilandasi oleh rasa cinta kepada anak didik.
Ki Hajar meyakini bahwa pendidikan yang sejati harus bersumber dari kasih
sayang, bukan dari ketakutan atau tekanan. Ia mengatakan, “Tidak ada
pendidikan yang berhasil jika didasarkan pada kekuasaan atau kekerasan.”⁷
Prinsip asih (cinta), asah (pemikiran), dan asuh
(perlindungan) menjadi kerangka etika dalam praktik mendidik.
Dalam suasana demikian, peserta didik akan merasa aman secara emosional dan
spiritual untuk berkembang.
4.4.
Keselarasan antara Individu dan Masyarakat
Meskipun mengakui
keunikan tiap individu, Sistem Among tidak mengabaikan peran sosial manusia.
Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak pribadi yang cerdas, tetapi juga berbudi
dan berguna bagi masyarakat. Oleh karena itu, prinsip gotong
royong, kebangsaan, dan kepedulian sosial menjadi bagian
integral dari proses pendidikan.⁸ Anak-anak tidak hanya dibekali ilmu
pengetahuan, tetapi juga dibimbing untuk memahami nilai-nilai sosial dan
tanggung jawab kolektif.⁹
4.5.
Pendidikan Berbasis Kebudayaan
Sistem Among
menempatkan kebudayaan nasional sebagai
fondasi pendidikan. Ki Hajar percaya bahwa pendidikan yang tercerabut dari akar
budaya sendiri hanya akan menghasilkan manusia yang terasing dari jati
dirinya.¹⁰ Oleh sebab itu, kurikulum dan metode pembelajaran di Taman Siswa
diperkaya oleh unsur-unsur budaya Nusantara seperti bahasa daerah, kesenian
tradisional, dan nilai-nilai lokal.¹¹ Dengan demikian, peserta didik diajak
untuk memahami identitas kebangsaannya secara utuh.
Footnotes
[1]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 46.
[2]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 29.
[3]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 52.
[4]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 94.
[5]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 27.
[6]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Depdikbud, 1992), 103.
[7]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 34.
[8]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942
(Jakarta: LP3ES, 1980), 57.
[9]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 63.
[10]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional,
73.
[11]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional,
115.
5.
Implementasi
Sistem Among dalam Pendidikan Taman Siswa
Puncak dari
realisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan tercermin dalam
pendirian Perguruan Taman Siswa pada 3
Juli 1922 di Yogyakarta. Lembaga ini tidak hanya menjadi sarana pendidikan,
tetapi juga media perjuangan kultural dan nasional untuk membentuk manusia
Indonesia yang merdeka, berbudaya, dan bertanggung jawab.¹ Dalam Taman Siswa,
Sistem Among diimplementasikan secara konkret melalui kurikulum,
metode pengajaran, peran guru, hingga budaya kelembagaan yang
seluruhnya berakar pada filosofi kemerdekaan dan pembimbingan kodrati anak.
5.1.
Kurikulum Berbasis Kehidupan dan Kebudayaan
Ciri utama kurikulum
di Taman Siswa adalah keterpautannya dengan realitas kehidupan dan budaya
lokal. Pendidikan tidak diarahkan semata-mata untuk mengejar
nilai akademik, tetapi lebih pada pembentukan karakter, kepribadian, dan
kecintaan terhadap bangsa.² Pelajaran seperti kesenian tradisional,
sejarah nasional, dan bahasa daerah menjadi bagian integral dari proses
belajar, untuk menanamkan kesadaran budaya dan jati diri nasional.³ Kurikulum
ini juga menekankan pendekatan holistik, mencakup aspek jasmani, rohani, dan
sosial.
5.2.
Metode Pengajaran: Tidak Memaksa, Tidak Menekan
Implementasi metode
Among dalam kelas diwujudkan melalui pendekatan pembimbingan, bukan pengajaran otoriter.
Guru bertindak sebagai pamong yang mendampingi dan
membangun suasana kondusif bagi anak untuk berkembang secara alami.⁴ Sistem
Among menolak sistem hukuman yang keras, larangan yang represif, atau evaluasi
yang menekan mental peserta didik. Sebaliknya, proses belajar dirancang untuk
membangkitkan minat, kreativitas, dan rasa tanggung jawab
pribadi.⁵ Prinsip ini menghasilkan suasana pembelajaran yang
demokratis, humanis, dan membebaskan.
5.3.
Peran Guru sebagai “Pamong”
Dalam Taman Siswa,
guru tidak disebut “pengajar” melainkan “pamong”, yang memiliki makna
sebagai pendidik yang menuntun, membimbing, dan memberi teladan.⁶ Guru dituntut
untuk memahami kodrat setiap anak dan tidak berlaku sebagai pemaksa kehendak.
Ki Hajar menyatakan bahwa “anak tidak untuk digurui, tetapi untuk dibimbing.”⁷
Peran pamong juga mencakup pendampingan moral dan emosional, bukan sekadar
pemberi pengetahuan. Sikap ini memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan proses
interaktif antara guru dan peserta didik, bukan relasi satu arah.
5.4.
Pendidikan Karakter dan Disiplin Berbasis
Kesadaran
Disiplin dalam Taman
Siswa bukanlah disiplin yang dipaksakan dari luar, melainkan kesadaran
batin (inner discipline) yang tumbuh dari pembiasaan dan
keteladanan.⁸ Anak-anak dilatih untuk memahami alasan di balik aturan, sehingga
muncul kepatuhan yang bersumber dari pemahaman, bukan karena rasa takut.
Pendidikan karakter ditanamkan melalui kegiatan sehari-hari, interaksi sosial,
serta aktivitas kolektif seperti gotong royong dan diskusi kelompok.
5.5.
Kegiatan Ekstrakurikuler dan Pembelajaran
Kontekstual
Taman Siswa tidak
hanya membina kecerdasan kognitif, tetapi juga menekankan kegiatan
ekstrakurikuler sebagai sarana pengembangan potensi dan pembentukan watak.⁹
Kegiatan seperti seni tradisional, permainan rakyat, pertunjukan budaya, dan
latihan kepemimpinan menjadi bagian penting dari kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) yang memperkaya pembelajaran. Pembelajaran juga
dilakukan dalam konteks kehidupan nyata, seperti kunjungan lapangan, observasi
lingkungan, dan proyek sosial.
Footnotes
[1]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 91.
[2]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 50.
[3]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 44.
[4]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 22.
[5]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 99.
[6]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 59.
[7]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 33.
[8]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 20.
[9]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942
(Jakarta: LP3ES, 1980), 65.
6.
Perbandingan
Sistem Among dengan Pendekatan Pendidikan Lain
Sistem Among sebagai
pendekatan pendidikan khas Nusantara memiliki posisi yang unik dalam peta
pedagogi dunia. Meskipun berakar kuat pada nilai-nilai budaya Indonesia,
pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak terlepas dari pengaruh pendidikan progresif
Barat dan filsafat pendidikan Timur. Oleh karena itu, membandingkan Sistem
Among dengan pendekatan pendidikan lain seperti Montessori, Reggio
Emilia, dan pendidikan progresif ala John Dewey
akan memperkaya pemahaman tentang posisi filosofis dan aplikatifnya dalam
konteks global.
6.1.
Perbandingan dengan Metode Montessori
Sistem Among
memiliki kemiripan dengan pendekatan Montessori yang dikembangkan
oleh Maria Montessori di Italia pada awal abad ke-20. Kedua pendekatan ini
sama-sama mengedepankan prinsip kebebasan anak dalam belajar
dan menghormati ritme perkembangan individual. Montessori menekankan bahwa anak
adalah “guru bagi dirinya sendiri” yang perlu diberi kebebasan untuk
memilih aktivitas sesuai minatnya dalam lingkungan yang terstruktur.¹ Demikian
pula, Ki Hajar menekankan bahwa pendidikan harus menuntun anak agar “hidup
merdeka, tumbuh sesuai kodratnya sendiri.”²
Namun demikian,
terdapat perbedaan mendasar: Montessori sangat menekankan keteraturan
lingkungan dan penggunaan alat peraga sensorik secara sistematis, sedangkan
Among lebih menekankan pada relasi kultural dan spiritual antara anak, guru,
dan lingkungan sosialnya.³ Sistem Among juga lebih menekankan dimensi
kebangsaan dan nilai-nilai sosial seperti gotong royong, yang tidak menjadi
fokus utama dalam Montessori.
6.2.
Perbandingan dengan Pendekatan Reggio Emilia
Reggio Emilia,
sebuah pendekatan pendidikan anak usia dini yang berkembang di Italia
pasca-Perang Dunia II, memiliki kesamaan dalam hal menempatkan anak sebagai subjek
aktif dalam proses belajar dan mengutamakan ekspresi
kreatif.⁴ Sama seperti Sistem Among, pendekatan ini menghargai
partisipasi anak, peran pendidik sebagai fasilitator, serta keterlibatan
komunitas dalam pendidikan.
Namun, Reggio Emilia
lebih berorientasi pada dokumentasi dan refleksi proyek-proyek pembelajaran,
serta menekankan ekspresi seni sebagai media utama. Sistem Among, meskipun
menghargai seni dan kebudayaan, lebih fokus pada pembentukan kepribadian
nasional dan moral, serta penanaman nilai kemerdekaan sebagai dasar kehidupan.⁵
6.3.
Perbandingan dengan Pendidikan Progresif John
Dewey
Pendidikan progresif
ala John
Dewey juga memiliki titik temu dengan Sistem Among, khususnya
dalam pandangan bahwa pendidikan adalah proses sosial
dan bahwa anak harus belajar melalui pengalaman langsung.⁶ Dewey menolak
pendidikan yang bersifat verbalistik dan menekankan pentingnya partisipasi
aktif siswa dalam pembelajaran kontekstual. Hal ini selaras dengan gagasan Ki
Hajar bahwa pendidikan harus berpusat pada anak dan berakar pada kehidupan
sehari-hari.⁷
Namun, perbedaan
mencolok terletak pada dimensi spiritual dan budaya.
Dewey yang berakar pada filsafat pragmatisme Amerika cenderung menempatkan
nilai-nilai agama dan tradisi pada posisi netral. Sebaliknya, Ki Hajar
memasukkan nilai-nilai budaya dan spiritualitas lokal ke dalam inti
pendidikan.⁸ Sistem Among tidak hanya bertujuan membentuk warga negara yang
aktif, tetapi juga manusia Indonesia yang bermartabat dan berbudi luhur menurut
kebudayaan bangsanya.
6.4.
Kontribusi Unik Sistem Among dalam Peta
Pedagogi Global
Dari perbandingan
ini dapat disimpulkan bahwa Sistem Among mengandung sintesis antara pendidikan
humanistik-modern dan nilai-nilai tradisional. Ki
Hajar Dewantara berhasil merumuskan pendekatan pendidikan yang membumi di tanah
air tetapi terbuka terhadap pemikiran global.⁹ Inilah yang membuat Sistem Among
menjadi model pedagogi yang tidak hanya relevan dalam konteks Indonesia, tetapi
juga menawarkan kontribusi penting bagi diskursus pendidikan alternatif di
tingkat internasional.
Footnotes
[1]
Maria Montessori, The Absorbent Mind, trans. Claude A.
Claremont (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1967), 81.
[2]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 27.
[3]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 102.
[4]
Carolyn Edwards, Lella Gandini, and George Forman, eds., The
Hundred Languages of Children: The Reggio Emilia Approach—Advanced Reflections
(Santa Barbara: Praeger, 2012), 6–8.
[5]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Depdikbud, 1992), 112.
[6]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 47.
[7]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 51.
[8]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 71.
[9]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 18.
7.
Relevansi
dan Aktualisasi Sistem Among di Era Pendidikan Abad 21
Pendidikan abad
ke-21 ditandai oleh perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang sangat cepat.
Dalam konteks ini, dunia pendidikan dituntut untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga adaptif,
kolaboratif, kreatif, serta memiliki karakter kuat. Meskipun telah dirumuskan
hampir satu abad yang lalu, prinsip-prinsip dalam Sistem
Among yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara terbukti tetap
relevan, bahkan semakin menemukan urgensinya dalam menghadapi tantangan
pendidikan kontemporer.
7.1.
Merdeka Belajar dan Kemandirian Peserta Didik
Konsep kemerdekaan
dalam belajar, yang menjadi inti Sistem Among, kini
diaktualisasikan dalam kebijakan Merdeka Belajar yang
dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia sejak 2019.¹ Kebijakan ini menekankan otonomi sekolah,
fleksibilitas kurikulum, serta pembelajaran berbasis minat dan bakat peserta
didik. Hal ini sejalan dengan pandangan Ki Hajar bahwa pendidikan harus
membebaskan anak dari keterikatan mekanistik dan membiarkan mereka tumbuh
sesuai kodratnya.²
Dalam era digital,
peserta didik harus dibimbing menjadi pembelajar mandiri, bukan sekadar
penghafal. Sistem Among mengajarkan bahwa tugas guru bukan mengisi otak anak
dengan informasi, tetapi membimbing agar anak menemukan pengetahuannya
sendiri, suatu pendekatan yang juga didukung oleh prinsip student-centered
learning dalam pedagogi modern.³
7.2.
Peran Guru sebagai Fasilitator dan Pamong
Transformasi peran
guru dari “pengajar” menjadi fasilitator pembelajaran sangat
sesuai dengan konsep pamong dalam Sistem Among. Guru
abad ke-21 tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu, melainkan menjadi
pendamping yang memberi inspirasi, teladan, dan dorongan moral.⁴ Dalam era
keterbukaan informasi, peran pamong menjadi semakin penting agar peserta didik
tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara emosional dan
sosial.
7.3.
Pendidikan Karakter dan Integritas Moral
Tantangan
globalisasi, krisis nilai, dan derasnya arus informasi digital menuntut
pendidikan untuk kembali menanamkan karakter dan integritas moral
sebagai inti dari proses belajar. Ki Hajar menekankan bahwa tujuan pendidikan
adalah membentuk manusia yang berbudaya dan berbudi pekerti luhur.⁵ Sistem
Among, dengan semangat kebangsaan dan penguatan nilai-nilai budaya lokal,
menjadi kerangka ideal dalam menanamkan nilai gotong royong, kejujuran,
tanggung jawab, dan cinta tanah air.
Dalam konteks ini,
program penguatan Profil Pelajar Pancasila yang
kini menjadi bagian integral dari Kurikulum Merdeka juga mencerminkan
aktualisasi nilai-nilai Among yang menekankan pada kemerdekaan, spiritualitas,
dan tanggung jawab sosial.⁶
7.4.
Pendidikan Kontekstual dan Kecerdasan
Multidimensi
Sistem Among sejak
awal telah menekankan pentingnya pendidikan kontekstual, yaitu
pembelajaran yang berakar pada kehidupan sehari-hari dan budaya lokal.
Pendekatan ini kini menjadi bagian dari pedagogi kontemporer melalui project-based
learning, experiential learning, dan literasi
budaya lokal, yang memberi makna konkret terhadap materi
pelajaran.⁷
Lebih dari itu,
Sistem Among mendukung pengembangan kecerdasan majemuk (multiple intelligences)
yang mencakup dimensi intelektual, emosional, moral, sosial, dan
spiritual—sesuatu yang kini menjadi fokus banyak pendekatan pendidikan holistik
di dunia.⁸
7.5.
Tantangan dan Peluang dalam Implementasi
Meskipun relevan,
aktualisasi Sistem Among menghadapi sejumlah tantangan, seperti lemahnya
pemahaman filosofis guru terhadap nilai-nilai Among, tekanan administratif
dalam sistem pendidikan, serta pengaruh budaya instan dari media digital.⁹
Namun, ini juga membuka peluang untuk merevitalisasi pemikiran Ki Hajar dalam
bentuk pelatihan guru, reformasi kurikulum, dan pengembangan komunitas belajar
yang humanis.
Melalui pemanfaatan
teknologi secara bijaksana dan beretika, nilai-nilai Among tetap dapat
diinternalisasikan dalam ruang kelas digital maupun interaksi daring.ⁱ⁰ Di
sinilah pentingnya menjadikan warisan Ki Hajar sebagai paradigma
etis dan pedagogis, bukan hanya sebagai simbol seremonial Hari
Pendidikan Nasional.
Footnotes
[1]
Kemendikbudristek RI, “Merdeka Belajar,” diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.
[2]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 29.
[3]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 48.
[4]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 61.
[5]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 17.
[6]
Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila, diakses 4 Juni
2025, https://kurikulum.kemdikbud.go.id.
[7]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 109.
[8]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 41–45.
[9]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Depdikbud, 1992), 117.
[10]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 40.
8.
Kritik
dan Tantangan terhadap Sistem Among
Sebagai sistem
pendidikan yang berakar dari nilai-nilai budaya dan filosofi kebangsaan, Sistem
Among telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah
pendidikan Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa pendekatan ini lepas
dari kritik dan tantangan, baik dalam tataran filosofis, implementatif, maupun
dalam konteks perubahan zaman. Pemikiran Ki Hajar Dewantara yang lahir pada
awal abad ke-20 kini dihadapkan pada dinamika abad ke-21 yang menuntut
reinterpretasi dan adaptasi tanpa kehilangan esensi dasarnya.
8.1.
Kritik terhadap Romantisme Pendidikan
Tradisional
Salah satu kritik
yang kerap dilontarkan terhadap Sistem Among adalah kecenderungannya yang
dianggap terlalu idealistis dan romantik.¹
Gagasan tentang kemerdekaan anak didik dan pembimbingan tanpa paksaan sering
kali dipandang tidak realistis dalam konteks ruang kelas yang besar,
keterbatasan waktu, dan tuntutan capaian kurikulum nasional. Sistem Among
menekankan prinsip moral dan pendekatan kultural yang seringkali sulit diukur
secara kuantitatif, sehingga dianggap kurang adaptif terhadap sistem penilaian modern
berbasis standar dan akuntabilitas.²
8.2.
Tantangan Praktis dalam Implementasi
Di tingkat praksis,
implementasi Sistem Among di sekolah-sekolah formal menghadapi banyak kendala. Ketidaksiapan
tenaga pendidik untuk memainkan peran sebagai “pamong”
menjadi persoalan utama. Banyak guru masih mengadopsi pendekatan instruksional
yang otoriter karena terbentuk dari sistem pelatihan yang linear dan
birokratis.³ Selain itu, beban administratif, target kelulusan, serta tekanan
hasil asesmen nasional dan internasional (seperti AKM atau PISA) sering kali
mendorong guru untuk lebih fokus pada hasil belajar daripada proses pendidikan
yang humanistik.⁴
8.3.
Tantangan dalam Konteks Globalisasi dan Digitalisasi
Kritik lainnya
adalah ketertinggalan Sistem Among dalam mengantisipasi tantangan globalisasi dan
digitalisasi. Ki Hajar memang memberikan perhatian besar pada
nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi dalam realitas abad ke-21,
pendidikan dituntut untuk mempersiapkan generasi yang mampu bersaing secara
global dalam ekosistem digital.⁵ Sistem Among dinilai belum secara eksplisit
merumuskan strategi integratif terhadap teknologi informasi, literasi digital,
dan kecakapan abad ke-21 seperti coding, STEM, atau kolaborasi virtual global.⁶
Namun demikian,
beberapa akademisi menyarankan agar Sistem Among tidak dilihat sebagai sistem
tertutup, melainkan sebagai kerangka etik dan filosofis yang dapat diadaptasikan
dengan pendekatan pedagogis modern, termasuk pembelajaran
digital yang tetap menghargai nilai kemanusiaan.⁷
8.4.
Kekosongan Institusional dan Kurangnya
Regenerasi Gagasan
Kritik lain yang
patut dicatat adalah kurangnya regenerasi pemikiran dan inovasi
pedagogis berbasis Among. Setelah wafatnya Ki Hajar Dewantara,
tidak banyak tokoh pendidikan nasional yang mampu mengembangkan dan
menyempurnakan Sistem Among sesuai kebutuhan zaman.⁸ Perguruan Taman Siswa yang
menjadi pusat pelestarian ajarannya pun menghadapi tantangan dalam revitalisasi
peran dan kurikulumnya di tengah arus modernisasi pendidikan.
8.5.
Peluang untuk Reinterpretasi dan Reaktualisasi
Meskipun demikian,
berbagai kritik ini justru membuka ruang untuk melakukan reinterpretasi
Sistem Among dalam kerangka pendidikan kontemporer. Nilai-nilai
dasar seperti kemerdekaan, pembimbingan kodrati, dan pendidikan berbasis budaya
masih sangat relevan untuk dikembangkan melalui inovasi-inovasi seperti
pendidikan berbasis proyek, pendekatan STEAM yang humanistik, hingga penguatan
nilai lokal dalam kurikulum nasional.⁹ Dengan demikian, kritik terhadap Sistem
Among bukanlah penolakan terhadap esensinya, melainkan dorongan untuk
menyelaraskannya dengan realitas baru secara dinamis dan reflektif.
Footnotes
[1]
Suyata, Menggagas Ulang Pendidikan Nasional: Antara Sistem Among
dan Realitas Sekolah Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 45.
[2]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan
(Jakarta: LP3ES, 1979), 54.
[3]
Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 78.
[4]
Kemendikbudristek RI, “Asesmen Nasional dan Tantangan Pembelajaran
Humanistik,” diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.
[5]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 115.
[6]
Yusri Fajar, “Pendidikan Karakter di Era Digital,” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 28, No. 3 (2023): 230–232.
[7]
Howard Gardner, Five Minds for the Future (Boston: Harvard
Business School Press, 2007), 12.
[8]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galang
Press, 2004), 82.
[9]
Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional
(Jakarta: Depdikbud, 1992), 123.
9.
Kesimpulan
Sistem Among yang
digagas oleh Ki Hajar Dewantara bukanlah
sekadar metode pendidikan, melainkan sistem nilai dan kerangka filsafat yang
mengakar dalam kebudayaan Indonesia dan sekaligus terbuka terhadap modernitas.
Dalam sistem ini, pendidikan dimaknai sebagai proses pembimbingan yang
membebaskan anak untuk tumbuh sesuai kodratnya, melalui prinsip Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—sebuah
refleksi mendalam atas peran pendidik dalam menumbuhkan kemandirian, karakter,
dan kemanusiaan peserta didik.¹
Nilai-nilai kemerdekaan,
kemanusiaan, dan kebudayaan yang melekat dalam Sistem Among
menjadikannya sebagai pendekatan pendidikan yang tidak hanya relevan pada
masanya, tetapi juga tetap signifikan dalam menghadapi tantangan pendidikan
abad ke-21, termasuk globalisasi, digitalisasi, dan krisis
karakter.² Melalui implementasi di Perguruan Taman Siswa, Ki Hajar
memperlihatkan bahwa pendidikan dapat dijalankan tanpa kekerasan, tanpa
dogmatisme, dan tanpa ketakutan—tetapi tetap efektif dalam membentuk manusia
merdeka yang bertanggung jawab secara sosial dan spiritual.³
Namun, sebagaimana
sistem lainnya, Among tidak lepas dari tantangan dan kritik. Di tengah
tuntutan capaian akademik, tekanan standar evaluasi, serta orientasi pasar
dalam pendidikan, nilai-nilai Among sering kali terpinggirkan oleh pendekatan
pragmatis yang lebih kuantitatif.⁴ Di sisi lain, keterbatasan regenerasi
pemikiran dan transformasi kelembagaan menyebabkan nilai-nilai Among tidak
sepenuhnya dapat diaktualkan dalam sistem pendidikan nasional secara luas.⁵
Kendati demikian, semangat
dasar Sistem Among tetap relevan untuk dijadikan fondasi dalam
membangun pendidikan nasional yang lebih humanistik, inklusif, dan berakar pada
budaya bangsa. Di era Merdeka Belajar, reinterpretasi dan
pengembangan nilai-nilai Among sangat penting untuk memperkuat pendekatan
pembelajaran yang memerdekakan, memberdayakan, dan memanusiakan.⁶
Dengan demikian,
Sistem Among adalah warisan pedagogis yang hidup,
yang terus menantang kita untuk tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga
membimbing kehidupan. Sebagaimana Ki Hajar tegaskan, “pendidikan adalah
usaha untuk memerdekakan manusia lahir dan batin.”⁷ Maka, menjadi tugas
kita bersama untuk memastikan bahwa pendidikan Indonesia berjalan bukan hanya
menuju kecerdasan, tetapi juga menuju kemanusiaan yang utuh dan berkepribadian
nasional.
Footnotes
[1]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 23.
[2]
Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta:
LP3ES, 1979), 55.
[3]
Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya
(Jakarta: Grasindo, 2002), 90.
[4]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galang
Press, 2004), 79.
[5]
Suyata, Menggagas Ulang Pendidikan Nasional: Antara Sistem Among
dan Realitas Sekolah Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 48.
[6]
Kemendikbudristek RI, Kebijakan Merdeka Belajar, diakses 4
Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.
[7]
Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 11.
Daftar Pustaka
Arief Rachman. (2002). Ki Hajar Dewantara:
Pemikiran dan perjuangannya. Grasindo.
Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang
memiskinkan. Galang Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education: An
introduction to the philosophy of education. Macmillan.
Deliar Noer. (1980). Gerakan modern Islam di
Indonesia 1900–1942. LP3ES.
Djojonegoro, W. (1992). Ki Hajar Dewantara dan
pendidikan nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Edwards, C., Gandini, L., & Forman, G. (Eds.).
(2012). The hundred languages of children: The Reggio Emilia
approach—Advanced reflections (3rd ed.). Praeger.
Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory
of multiple intelligences. Basic Books.
Gardner, H. (2007). Five minds for the future.
Harvard Business School Press.
Kemendikbudristek RI. (2019–2025). Merdeka
belajar. https://www.kemdikbud.go.id
Kemendikbudristek RI. (2025). Profil Pelajar
Pancasila. https://kurikulum.kemdikbud.go.id
Ki Hadjar Dewantara. (1961). Pendidikan: Bagian
pertama. Majelis Luhur Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara. (1962). Pendidikan: Bagian
kedua. Majelis Luhur Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara. (1967). Kumpulan karangan
I: Kebudayaan. Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara. (1968). Kumpulan karangan
II: Pendidikan. Taman Siswa.
Montessori, M. (1967). The absorbent mind (C.
A. Claremont, Trans.). Holt, Rinehart and Winston.
Soedjatmiko. (1995). Ki Hajar Dewantara: Bapak
pendidikan nasional. Pustaka Pelajar.
Soedjatmoko. (1979). Pendidikan nasional:
Pandangan dan harapan. LP3ES.
Suyata. (2007). Menggagas ulang pendidikan nasional:
Antara sistem among dan realitas sekolah modern. Pustaka Pelajar.
Yusri Fajar. (2023). Pendidikan karakter di era
digital. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 28(3), 230–232.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar