Selasa, 03 Juni 2025

Sistem Among: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Sistem Among

Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani


Alihkan ke: Pemikiran Ki Hajar Dewantara.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Sistem Among sebagai fondasi filosofis dan praktik pendidikan yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Berangkat dari latar belakang kolonialisme dan kebutuhan akan pendidikan yang membebaskan, Sistem Among menekankan pembimbingan anak didik secara merdeka sesuai kodrat alam dan kodrat zamannya. Artikel ini memaparkan prinsip-prinsip dasar Among seperti kemerdekaan, pembelajaran humanistik, pendidikan berbasis kebudayaan, serta peran guru sebagai pamong. Melalui analisis perbandingan dengan pendekatan pendidikan lain seperti Montessori, Reggio Emilia, dan progresivisme Dewey, Sistem Among menunjukkan keunikan dan relevansinya dalam konteks global. Penelitian ini juga mengidentifikasi tantangan implementatif dan kritik filosofis terhadap Sistem Among, serta peluang aktualisasi dalam era Merdeka Belajar dan pendidikan abad ke-21. Simpulan dari kajian ini menekankan bahwa Sistem Among merupakan warisan pedagogis yang hidup, yang menempatkan kemerdekaan dan kemanusiaan sebagai inti dari proses pendidikan. Oleh karena itu, reinterpretasi nilai-nilai Among perlu terus dilakukan agar pendidikan Indonesia tetap berpijak pada jati diri bangsa di tengah perubahan zaman.

Kata Kunci: Sistem Among, Ki Hajar Dewantara, pendidikan merdeka, pamong, pendidikan humanistik, kurikulum nasional, Merdeka Belajar, pendidikan karakter, filsafat pendidikan Indonesia.


PEMBAHASAN

Fondasi Filosofis dan Praktik Pendidikan Merdeka Menurut Ki Hajar Dewantara


1.           Pendahuluan

Pendidikan tidak sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga wahana pembentukan manusia seutuhnya yang merdeka, bermartabat, dan berkepribadian. Di tengah dominasi sistem pendidikan kolonial yang menindas dan mengekang kebebasan anak didik, Ki Hajar Dewantara (1889–1959) tampil sebagai tokoh revolusioner yang menawarkan paradigma baru dalam dunia pendidikan melalui Sistem Among—suatu pendekatan yang menekankan pada pembimbingan anak berdasarkan kodrat alam dan prinsip kemerdekaan pribadi.¹

Gagasan ini tidak lahir dari ruang hampa. Sistem Among merupakan hasil perenungan panjang Ki Hajar terhadap situasi sosial-politik bangsa Indonesia yang berada dalam cengkeraman kolonialisme, serta pencerapannya terhadap nilai-nilai pendidikan Timur dan Barat. Sistem pendidikan kolonial pada masa itu menempatkan peserta didik sebagai objek pasif yang harus tunduk pada otoritas, sedangkan Ki Hajar justru menempatkan anak sebagai subjek yang memiliki potensi kodrati yang harus dibimbing, bukan diperintah.² Ia menyebut pendekatan ini sebagai bentuk “among”, yaitu sikap mendampingi dengan kasih sayang dan tidak memaksa, tetapi tetap memberi arah yang benar.³

Lahirnya Sistem Among beriringan dengan pendirian Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Taman Siswa bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan juga media perjuangan untuk menciptakan generasi yang merdeka dalam berpikir dan bertindak, serta bertanggung jawab secara moral dan sosial.⁴ Dalam sistem ini, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, kebebasan batin, dan tanggung jawab terhadap sesama. Ki Hajar menganggap bahwa pendidikan sejati adalah yang “memerdekakan manusia lahir dan batin.”⁵

Di era kontemporer, nilai-nilai dalam Sistem Among kembali menemukan relevansinya, khususnya dalam konteks kebijakan Merdeka Belajar yang digagas pemerintah Indonesia sejak 2019. Dalam kebijakan ini, peserta didik didorong untuk belajar sesuai minat dan bakatnya, guru diberi ruang untuk berinovasi, dan sekolah diberi otonomi dalam merancang pembelajaran. Nilai-nilai tersebut sejalan dengan asas kemerdekaan dalam pendidikan yang diusung Ki Hajar hampir seabad yang lalu.⁶ Oleh karena itu, kajian mendalam terhadap Sistem Among menjadi sangat penting, tidak hanya untuk memahami sejarah pendidikan nasional, tetapi juga untuk mengontekstualisasikan kembali prinsip-prinsip pendidikan yang humanistik dan berakar pada budaya bangsa.


Footnotes

[1]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1961), 19.

[2]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 45.

[3]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 73.

[4]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 88–90.

[5]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1962), 52.

[6]                Kemendikbudristek RI, “Kebijakan Merdeka Belajar,” diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.


2.           Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara, yang lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, adalah salah satu tokoh pelopor pendidikan nasional Indonesia dan pejuang kemerdekaan yang sangat disegani. Ia berasal dari lingkungan bangsawan Keraton Pakualaman, tetapi memilih meninggalkan gelar kebangsawanannya pada usia 40 tahun sebagai wujud komitmennya untuk hidup sederhana dan menyatu dengan rakyat.¹

Pendidikan formalnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar berbahasa Belanda, kemudian dilanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sekolah kedokteran bagi pribumi di Batavia. Namun, studinya di STOVIA tidak selesai karena alasan kesehatan. Meskipun tidak menamatkan pendidikan formalnya, Ki Hajar tetap aktif dalam dunia intelektual dan pergerakan nasional.²

Pada awal abad ke-20, ia bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo dan kemudian Indische Partij, bersama tokoh-tokoh seperti Douwes Dekker (Dr. Ernest Douwes Dekker) dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Kiprahnya dalam gerakan ini menegaskan pandangan politiknya yang anti-kolonial dan nasionalistik.³ Tulisan terkenalnya berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif terhadap bangsa Indonesia, menyebabkan ia diasingkan ke Belanda pada tahun 1913.⁴

Selama di pengasingan di Belanda, Ki Hajar tidak hanya memperdalam pemikirannya tentang kebangsaan, tetapi juga mempelajari sistem pendidikan progresif Eropa, seperti teori pendidikan dari Froebel, Montessori, dan Tagore.⁵ Pemikiran-pemikiran ini menjadi fondasi intelektual ketika ia kembali ke tanah air dan mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Melalui lembaga ini, ia mengimplementasikan gagasan pendidikan yang membebaskan dan berakar pada kebudayaan nasional.⁶

Ki Hajar Dewantara bukan hanya seorang pendidik, tetapi juga seorang filsuf pendidikan, wartawan, dan budayawan. Ia menulis banyak artikel dan esai tentang pendidikan, kebudayaan, dan kemerdekaan bangsa. Tiga asas utamanya dalam mendidik—Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—menjadi warisan pedagogis yang terus digunakan hingga kini.⁷

Setelah kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar diberi kepercayaan sebagai Menteri Pengajaran pertama dalam kabinet Republik Indonesia tahun 1945. Atas jasa-jasanya, pemerintah Republik Indonesia menetapkan hari lahirnya sebagai Hari Pendidikan Nasional, dan menganugerahinya gelar Bapak Pendidikan Nasional.⁸ Ia wafat pada 26 April 1959 di Yogyakarta, meninggalkan warisan besar dalam dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia.


Footnotes

[1]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 12.

[2]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 36.

[3]                Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 45.

[4]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 21.

[5]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 60.

[6]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 93.

[7]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 29.

[8]                Kemendikbudristek RI, “Profil Ki Hajar Dewantara,” diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.


3.           Landasan Filosofis Sistem Among

Sistem Among merupakan inti dari falsafah pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dan menjadi ciri khas dari pendidikan Taman Siswa. Kata “among” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “mengasuh” atau “membimbing,” dan dalam konteks pendidikan, ia bermakna membimbing anak didik dengan kasih sayang, bukan dengan paksaan.¹ Sistem ini berpijak pada nilai-nilai luhur budaya Nusantara yang dikombinasikan dengan pemikiran progresif modern, menghasilkan pendekatan pendidikan yang bersifat emansipatoris, humanistik, dan kontekstual

3.1.       Asas Among: “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”

Landasan utama Sistem Among dirumuskan melalui semboyan terkenal Ki Hajar: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, yang menggambarkan peran pendidik dalam berbagai posisi sosial dan psikologis.³

·                     Ing ngarsa sung tuladha berarti bahwa di depan, seorang pendidik harus menjadi teladan.

·                     Ing madya mangun karsa bermakna bahwa di tengah-tengah, ia turut membangkitkan semangat.

·                     Tut wuri handayani menunjukkan bahwa dari belakang, ia memberikan dorongan dan kebebasan yang bertanggung jawab.

Semboyan ini tidak hanya menjadi prinsip kerja pendidikan Taman Siswa, tetapi juga menjadi filosofi pendidikan nasional Indonesia, bahkan diadopsi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai moto resminya.⁴

3.2.       Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

Salah satu fondasi filosofis Sistem Among adalah pengakuan terhadap kodrat alam dan kodrat zaman anak didik. Menurut Ki Hajar, setiap manusia memiliki potensi alami yang bersumber dari kodratnya, yang perlu dikembangkan secara wajar dan tidak boleh ditekan oleh kekuatan eksternal.⁵ Di sisi lain, kodrat zaman menuntut pendidikan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan adaptif terhadap perubahan sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi sesuai zamannya.⁶ Dengan demikian, pendidikan bukan sekadar pengajaran, tetapi proses pembudayaan yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam konteks sejarah dan peradaban.

3.3.       Pendidikan sebagai Usaha Memerdekakan

Konsep kemerdekaan merupakan elemen krusial dalam Sistem Among. Pendidikan yang ideal, menurut Ki Hajar, adalah pendidikan yang mampu “memerdekakan manusia lahir dan batin”—yakni membebaskan peserta didik dari ketergantungan, ketakutan, dan tekanan otoriter.⁷ Anak didik dianggap sebagai subjek yang aktif, bukan objek pasif. Ia memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang menurut potensi dirinya. Oleh karena itu, guru bukanlah pemaksa atau penguasa, melainkan “pamong”: pendamping yang membimbing dengan bijaksana, penuh cinta, dan mengayomi tanpa mengekang.⁸

3.4.       Keseimbangan antara Individualitas dan Kepentingan Sosial

Sistem Among juga menekankan keseimbangan antara pengembangan kepribadian individu dengan tanggung jawab sosial. Ki Hajar mengajarkan bahwa pendidikan harus menumbuhkan kesadaran individu terhadap dirinya, namun juga kesadaran kolektif terhadap masyarakat dan bangsanya.⁹ Oleh sebab itu, nilai-nilai seperti gotong royong, kejujuran, disiplin, dan cinta tanah air dijadikan bagian integral dari proses pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Sistem Among adalah sistem pendidikan yang holistik, yang memadukan unsur intelektual, emosional, moral, dan spiritual.


Footnotes

[1]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 23.

[2]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 47.

[3]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 38.

[4]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 105.

[5]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 31.

[6]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 96.

[7]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 11.

[8]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 65.

[9]                Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 53.


4.           Prinsip-Prinsip Utama Sistem Among

Sistem Among sebagai metode dan filosofi pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara berdiri di atas landasan prinsip-prinsip yang mencerminkan pandangan hidup, nilai budaya, dan misi emansipatoris dalam mendidik manusia. Prinsip-prinsip ini bukan sekadar pedoman teknis dalam pembelajaran, tetapi merupakan refleksi dari visi pendidikan yang membebaskan, menumbuhkan, dan memanusiakan manusia.¹

4.1.       Kemerdekaan sebagai Hak Asasi Anak Didik

Prinsip paling mendasar dalam Sistem Among adalah kemerdekaan anak didik. Bagi Ki Hajar, pendidikan sejati tidak boleh mematikan potensi alamiah anak. Ia menulis, “Anak-anak hendaknya tidak ditakut-takuti atau dipaksa, melainkan dibimbing agar berkembang kodratnya.”² Kemerdekaan di sini bukan dalam arti lepas dari tanggung jawab, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab untuk berpikir, merasa, dan bertindak sesuai kodrat dan perkembangan pribadi.³ Guru dalam Sistem Among tidak bertindak sebagai penguasa atau pelaksana hukuman, melainkan sebagai pamong, yakni pendamping yang mengarahkan dan menginspirasi.⁴

4.2.       Pendidikan yang Bersifat Humanistik dan Individualistik

Sistem Among berorientasi pada pengembangan kepribadian individu secara utuh, yang mencakup aspek intelektual, emosional, moral, dan spiritual. Setiap anak dianggap sebagai pribadi unik yang memiliki hak untuk tumbuh secara berbeda, tidak bisa diseragamkan. Ki Hajar menolak pendekatan pendidikan yang mekanistik dan seragam seperti yang dilakukan oleh sistem kolonial.⁵ Sebaliknya, ia mengedepankan pendekatan yang menghargai martabat manusia, dengan memberi ruang ekspresi terhadap minat dan bakat individu.⁶

4.3.       Asas Cinta dan Asuh dalam Proses Mendidik

Dalam Sistem Among, tindakan mendidik selalu dilandasi oleh rasa cinta kepada anak didik. Ki Hajar meyakini bahwa pendidikan yang sejati harus bersumber dari kasih sayang, bukan dari ketakutan atau tekanan. Ia mengatakan, “Tidak ada pendidikan yang berhasil jika didasarkan pada kekuasaan atau kekerasan.”⁷ Prinsip asih (cinta), asah (pemikiran), dan asuh (perlindungan) menjadi kerangka etika dalam praktik mendidik. Dalam suasana demikian, peserta didik akan merasa aman secara emosional dan spiritual untuk berkembang.

4.4.       Keselarasan antara Individu dan Masyarakat

Meskipun mengakui keunikan tiap individu, Sistem Among tidak mengabaikan peran sosial manusia. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak pribadi yang cerdas, tetapi juga berbudi dan berguna bagi masyarakat. Oleh karena itu, prinsip gotong royong, kebangsaan, dan kepedulian sosial menjadi bagian integral dari proses pendidikan.⁸ Anak-anak tidak hanya dibekali ilmu pengetahuan, tetapi juga dibimbing untuk memahami nilai-nilai sosial dan tanggung jawab kolektif.⁹

4.5.       Pendidikan Berbasis Kebudayaan

Sistem Among menempatkan kebudayaan nasional sebagai fondasi pendidikan. Ki Hajar percaya bahwa pendidikan yang tercerabut dari akar budaya sendiri hanya akan menghasilkan manusia yang terasing dari jati dirinya.¹⁰ Oleh sebab itu, kurikulum dan metode pembelajaran di Taman Siswa diperkaya oleh unsur-unsur budaya Nusantara seperti bahasa daerah, kesenian tradisional, dan nilai-nilai lokal.¹¹ Dengan demikian, peserta didik diajak untuk memahami identitas kebangsaannya secara utuh.


Footnotes

[1]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 46.

[2]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 29.

[3]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 52.

[4]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 94.

[5]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 27.

[6]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdikbud, 1992), 103.

[7]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 34.

[8]                Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 57.

[9]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 63.

[10]             Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional, 73.

[11]             Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional, 115.


5.           Implementasi Sistem Among dalam Pendidikan Taman Siswa

Puncak dari realisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan tercermin dalam pendirian Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Lembaga ini tidak hanya menjadi sarana pendidikan, tetapi juga media perjuangan kultural dan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang merdeka, berbudaya, dan bertanggung jawab.¹ Dalam Taman Siswa, Sistem Among diimplementasikan secara konkret melalui kurikulum, metode pengajaran, peran guru, hingga budaya kelembagaan yang seluruhnya berakar pada filosofi kemerdekaan dan pembimbingan kodrati anak.

5.1.       Kurikulum Berbasis Kehidupan dan Kebudayaan

Ciri utama kurikulum di Taman Siswa adalah keterpautannya dengan realitas kehidupan dan budaya lokal. Pendidikan tidak diarahkan semata-mata untuk mengejar nilai akademik, tetapi lebih pada pembentukan karakter, kepribadian, dan kecintaan terhadap bangsa.² Pelajaran seperti kesenian tradisional, sejarah nasional, dan bahasa daerah menjadi bagian integral dari proses belajar, untuk menanamkan kesadaran budaya dan jati diri nasional.³ Kurikulum ini juga menekankan pendekatan holistik, mencakup aspek jasmani, rohani, dan sosial.

5.2.       Metode Pengajaran: Tidak Memaksa, Tidak Menekan

Implementasi metode Among dalam kelas diwujudkan melalui pendekatan pembimbingan, bukan pengajaran otoriter. Guru bertindak sebagai pamong yang mendampingi dan membangun suasana kondusif bagi anak untuk berkembang secara alami.⁴ Sistem Among menolak sistem hukuman yang keras, larangan yang represif, atau evaluasi yang menekan mental peserta didik. Sebaliknya, proses belajar dirancang untuk membangkitkan minat, kreativitas, dan rasa tanggung jawab pribadi.⁵ Prinsip ini menghasilkan suasana pembelajaran yang demokratis, humanis, dan membebaskan.

5.3.       Peran Guru sebagai “Pamong”

Dalam Taman Siswa, guru tidak disebut “pengajar” melainkan “pamong”, yang memiliki makna sebagai pendidik yang menuntun, membimbing, dan memberi teladan.⁶ Guru dituntut untuk memahami kodrat setiap anak dan tidak berlaku sebagai pemaksa kehendak. Ki Hajar menyatakan bahwa “anak tidak untuk digurui, tetapi untuk dibimbing.”⁷ Peran pamong juga mencakup pendampingan moral dan emosional, bukan sekadar pemberi pengetahuan. Sikap ini memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan proses interaktif antara guru dan peserta didik, bukan relasi satu arah.

5.4.       Pendidikan Karakter dan Disiplin Berbasis Kesadaran

Disiplin dalam Taman Siswa bukanlah disiplin yang dipaksakan dari luar, melainkan kesadaran batin (inner discipline) yang tumbuh dari pembiasaan dan keteladanan.⁸ Anak-anak dilatih untuk memahami alasan di balik aturan, sehingga muncul kepatuhan yang bersumber dari pemahaman, bukan karena rasa takut. Pendidikan karakter ditanamkan melalui kegiatan sehari-hari, interaksi sosial, serta aktivitas kolektif seperti gotong royong dan diskusi kelompok.

5.5.       Kegiatan Ekstrakurikuler dan Pembelajaran Kontekstual

Taman Siswa tidak hanya membina kecerdasan kognitif, tetapi juga menekankan kegiatan ekstrakurikuler sebagai sarana pengembangan potensi dan pembentukan watak.⁹ Kegiatan seperti seni tradisional, permainan rakyat, pertunjukan budaya, dan latihan kepemimpinan menjadi bagian penting dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang memperkaya pembelajaran. Pembelajaran juga dilakukan dalam konteks kehidupan nyata, seperti kunjungan lapangan, observasi lingkungan, dan proyek sosial.


Footnotes

[1]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 91.

[2]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 50.

[3]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan I: Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1967), 44.

[4]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 22.

[5]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 99.

[6]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 59.

[7]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 33.

[8]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 20.

[9]                Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 65.


6.           Perbandingan Sistem Among dengan Pendekatan Pendidikan Lain

Sistem Among sebagai pendekatan pendidikan khas Nusantara memiliki posisi yang unik dalam peta pedagogi dunia. Meskipun berakar kuat pada nilai-nilai budaya Indonesia, pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak terlepas dari pengaruh pendidikan progresif Barat dan filsafat pendidikan Timur. Oleh karena itu, membandingkan Sistem Among dengan pendekatan pendidikan lain seperti Montessori, Reggio Emilia, dan pendidikan progresif ala John Dewey akan memperkaya pemahaman tentang posisi filosofis dan aplikatifnya dalam konteks global.

6.1.       Perbandingan dengan Metode Montessori

Sistem Among memiliki kemiripan dengan pendekatan Montessori yang dikembangkan oleh Maria Montessori di Italia pada awal abad ke-20. Kedua pendekatan ini sama-sama mengedepankan prinsip kebebasan anak dalam belajar dan menghormati ritme perkembangan individual. Montessori menekankan bahwa anak adalah “guru bagi dirinya sendiri” yang perlu diberi kebebasan untuk memilih aktivitas sesuai minatnya dalam lingkungan yang terstruktur.¹ Demikian pula, Ki Hajar menekankan bahwa pendidikan harus menuntun anak agar “hidup merdeka, tumbuh sesuai kodratnya sendiri.”²

Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar: Montessori sangat menekankan keteraturan lingkungan dan penggunaan alat peraga sensorik secara sistematis, sedangkan Among lebih menekankan pada relasi kultural dan spiritual antara anak, guru, dan lingkungan sosialnya.³ Sistem Among juga lebih menekankan dimensi kebangsaan dan nilai-nilai sosial seperti gotong royong, yang tidak menjadi fokus utama dalam Montessori.

6.2.       Perbandingan dengan Pendekatan Reggio Emilia

Reggio Emilia, sebuah pendekatan pendidikan anak usia dini yang berkembang di Italia pasca-Perang Dunia II, memiliki kesamaan dalam hal menempatkan anak sebagai subjek aktif dalam proses belajar dan mengutamakan ekspresi kreatif.⁴ Sama seperti Sistem Among, pendekatan ini menghargai partisipasi anak, peran pendidik sebagai fasilitator, serta keterlibatan komunitas dalam pendidikan.

Namun, Reggio Emilia lebih berorientasi pada dokumentasi dan refleksi proyek-proyek pembelajaran, serta menekankan ekspresi seni sebagai media utama. Sistem Among, meskipun menghargai seni dan kebudayaan, lebih fokus pada pembentukan kepribadian nasional dan moral, serta penanaman nilai kemerdekaan sebagai dasar kehidupan.⁵

6.3.       Perbandingan dengan Pendidikan Progresif John Dewey

Pendidikan progresif ala John Dewey juga memiliki titik temu dengan Sistem Among, khususnya dalam pandangan bahwa pendidikan adalah proses sosial dan bahwa anak harus belajar melalui pengalaman langsung.⁶ Dewey menolak pendidikan yang bersifat verbalistik dan menekankan pentingnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran kontekstual. Hal ini selaras dengan gagasan Ki Hajar bahwa pendidikan harus berpusat pada anak dan berakar pada kehidupan sehari-hari.⁷

Namun, perbedaan mencolok terletak pada dimensi spiritual dan budaya. Dewey yang berakar pada filsafat pragmatisme Amerika cenderung menempatkan nilai-nilai agama dan tradisi pada posisi netral. Sebaliknya, Ki Hajar memasukkan nilai-nilai budaya dan spiritualitas lokal ke dalam inti pendidikan.⁸ Sistem Among tidak hanya bertujuan membentuk warga negara yang aktif, tetapi juga manusia Indonesia yang bermartabat dan berbudi luhur menurut kebudayaan bangsanya.

6.4.       Kontribusi Unik Sistem Among dalam Peta Pedagogi Global

Dari perbandingan ini dapat disimpulkan bahwa Sistem Among mengandung sintesis antara pendidikan humanistik-modern dan nilai-nilai tradisional. Ki Hajar Dewantara berhasil merumuskan pendekatan pendidikan yang membumi di tanah air tetapi terbuka terhadap pemikiran global.⁹ Inilah yang membuat Sistem Among menjadi model pedagogi yang tidak hanya relevan dalam konteks Indonesia, tetapi juga menawarkan kontribusi penting bagi diskursus pendidikan alternatif di tingkat internasional.


Footnotes

[1]                Maria Montessori, The Absorbent Mind, trans. Claude A. Claremont (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1967), 81.

[2]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 27.

[3]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 102.

[4]                Carolyn Edwards, Lella Gandini, and George Forman, eds., The Hundred Languages of Children: The Reggio Emilia Approach—Advanced Reflections (Santa Barbara: Praeger, 2012), 6–8.

[5]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdikbud, 1992), 112.

[6]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 47.

[7]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 51.

[8]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 71.

[9]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 18.


7.           Relevansi dan Aktualisasi Sistem Among di Era Pendidikan Abad 21

Pendidikan abad ke-21 ditandai oleh perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang sangat cepat. Dalam konteks ini, dunia pendidikan dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga adaptif, kolaboratif, kreatif, serta memiliki karakter kuat. Meskipun telah dirumuskan hampir satu abad yang lalu, prinsip-prinsip dalam Sistem Among yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara terbukti tetap relevan, bahkan semakin menemukan urgensinya dalam menghadapi tantangan pendidikan kontemporer.

7.1.       Merdeka Belajar dan Kemandirian Peserta Didik

Konsep kemerdekaan dalam belajar, yang menjadi inti Sistem Among, kini diaktualisasikan dalam kebijakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia sejak 2019.¹ Kebijakan ini menekankan otonomi sekolah, fleksibilitas kurikulum, serta pembelajaran berbasis minat dan bakat peserta didik. Hal ini sejalan dengan pandangan Ki Hajar bahwa pendidikan harus membebaskan anak dari keterikatan mekanistik dan membiarkan mereka tumbuh sesuai kodratnya.²

Dalam era digital, peserta didik harus dibimbing menjadi pembelajar mandiri, bukan sekadar penghafal. Sistem Among mengajarkan bahwa tugas guru bukan mengisi otak anak dengan informasi, tetapi membimbing agar anak menemukan pengetahuannya sendiri, suatu pendekatan yang juga didukung oleh prinsip student-centered learning dalam pedagogi modern.³

7.2.       Peran Guru sebagai Fasilitator dan Pamong

Transformasi peran guru dari “pengajar” menjadi fasilitator pembelajaran sangat sesuai dengan konsep pamong dalam Sistem Among. Guru abad ke-21 tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu, melainkan menjadi pendamping yang memberi inspirasi, teladan, dan dorongan moral.⁴ Dalam era keterbukaan informasi, peran pamong menjadi semakin penting agar peserta didik tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.

7.3.       Pendidikan Karakter dan Integritas Moral

Tantangan globalisasi, krisis nilai, dan derasnya arus informasi digital menuntut pendidikan untuk kembali menanamkan karakter dan integritas moral sebagai inti dari proses belajar. Ki Hajar menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berbudaya dan berbudi pekerti luhur.⁵ Sistem Among, dengan semangat kebangsaan dan penguatan nilai-nilai budaya lokal, menjadi kerangka ideal dalam menanamkan nilai gotong royong, kejujuran, tanggung jawab, dan cinta tanah air.

Dalam konteks ini, program penguatan Profil Pelajar Pancasila yang kini menjadi bagian integral dari Kurikulum Merdeka juga mencerminkan aktualisasi nilai-nilai Among yang menekankan pada kemerdekaan, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial.⁶

7.4.       Pendidikan Kontekstual dan Kecerdasan Multidimensi

Sistem Among sejak awal telah menekankan pentingnya pendidikan kontekstual, yaitu pembelajaran yang berakar pada kehidupan sehari-hari dan budaya lokal. Pendekatan ini kini menjadi bagian dari pedagogi kontemporer melalui project-based learning, experiential learning, dan literasi budaya lokal, yang memberi makna konkret terhadap materi pelajaran.⁷

Lebih dari itu, Sistem Among mendukung pengembangan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang mencakup dimensi intelektual, emosional, moral, sosial, dan spiritual—sesuatu yang kini menjadi fokus banyak pendekatan pendidikan holistik di dunia.⁸

7.5.       Tantangan dan Peluang dalam Implementasi

Meskipun relevan, aktualisasi Sistem Among menghadapi sejumlah tantangan, seperti lemahnya pemahaman filosofis guru terhadap nilai-nilai Among, tekanan administratif dalam sistem pendidikan, serta pengaruh budaya instan dari media digital.⁹ Namun, ini juga membuka peluang untuk merevitalisasi pemikiran Ki Hajar dalam bentuk pelatihan guru, reformasi kurikulum, dan pengembangan komunitas belajar yang humanis.

Melalui pemanfaatan teknologi secara bijaksana dan beretika, nilai-nilai Among tetap dapat diinternalisasikan dalam ruang kelas digital maupun interaksi daring.ⁱ⁰ Di sinilah pentingnya menjadikan warisan Ki Hajar sebagai paradigma etis dan pedagogis, bukan hanya sebagai simbol seremonial Hari Pendidikan Nasional.


Footnotes

[1]                Kemendikbudristek RI, “Merdeka Belajar,” diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.

[2]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 29.

[3]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 48.

[4]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 61.

[5]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 17.

[6]                Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila, diakses 4 Juni 2025, https://kurikulum.kemdikbud.go.id.

[7]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 109.

[8]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 41–45.

[9]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdikbud, 1992), 117.

[10]             Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Kedua (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 40.


8.           Kritik dan Tantangan terhadap Sistem Among

Sebagai sistem pendidikan yang berakar dari nilai-nilai budaya dan filosofi kebangsaan, Sistem Among telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa pendekatan ini lepas dari kritik dan tantangan, baik dalam tataran filosofis, implementatif, maupun dalam konteks perubahan zaman. Pemikiran Ki Hajar Dewantara yang lahir pada awal abad ke-20 kini dihadapkan pada dinamika abad ke-21 yang menuntut reinterpretasi dan adaptasi tanpa kehilangan esensi dasarnya.

8.1.       Kritik terhadap Romantisme Pendidikan Tradisional

Salah satu kritik yang kerap dilontarkan terhadap Sistem Among adalah kecenderungannya yang dianggap terlalu idealistis dan romantik.¹ Gagasan tentang kemerdekaan anak didik dan pembimbingan tanpa paksaan sering kali dipandang tidak realistis dalam konteks ruang kelas yang besar, keterbatasan waktu, dan tuntutan capaian kurikulum nasional. Sistem Among menekankan prinsip moral dan pendekatan kultural yang seringkali sulit diukur secara kuantitatif, sehingga dianggap kurang adaptif terhadap sistem penilaian modern berbasis standar dan akuntabilitas.²

8.2.       Tantangan Praktis dalam Implementasi

Di tingkat praksis, implementasi Sistem Among di sekolah-sekolah formal menghadapi banyak kendala. Ketidaksiapan tenaga pendidik untuk memainkan peran sebagai “pamong” menjadi persoalan utama. Banyak guru masih mengadopsi pendekatan instruksional yang otoriter karena terbentuk dari sistem pelatihan yang linear dan birokratis.³ Selain itu, beban administratif, target kelulusan, serta tekanan hasil asesmen nasional dan internasional (seperti AKM atau PISA) sering kali mendorong guru untuk lebih fokus pada hasil belajar daripada proses pendidikan yang humanistik.⁴

8.3.       Tantangan dalam Konteks Globalisasi dan Digitalisasi

Kritik lainnya adalah ketertinggalan Sistem Among dalam mengantisipasi tantangan globalisasi dan digitalisasi. Ki Hajar memang memberikan perhatian besar pada nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi dalam realitas abad ke-21, pendidikan dituntut untuk mempersiapkan generasi yang mampu bersaing secara global dalam ekosistem digital.⁵ Sistem Among dinilai belum secara eksplisit merumuskan strategi integratif terhadap teknologi informasi, literasi digital, dan kecakapan abad ke-21 seperti coding, STEM, atau kolaborasi virtual global.⁶

Namun demikian, beberapa akademisi menyarankan agar Sistem Among tidak dilihat sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai kerangka etik dan filosofis yang dapat diadaptasikan dengan pendekatan pedagogis modern, termasuk pembelajaran digital yang tetap menghargai nilai kemanusiaan.⁷

8.4.       Kekosongan Institusional dan Kurangnya Regenerasi Gagasan

Kritik lain yang patut dicatat adalah kurangnya regenerasi pemikiran dan inovasi pedagogis berbasis Among. Setelah wafatnya Ki Hajar Dewantara, tidak banyak tokoh pendidikan nasional yang mampu mengembangkan dan menyempurnakan Sistem Among sesuai kebutuhan zaman.⁸ Perguruan Taman Siswa yang menjadi pusat pelestarian ajarannya pun menghadapi tantangan dalam revitalisasi peran dan kurikulumnya di tengah arus modernisasi pendidikan.

8.5.       Peluang untuk Reinterpretasi dan Reaktualisasi

Meskipun demikian, berbagai kritik ini justru membuka ruang untuk melakukan reinterpretasi Sistem Among dalam kerangka pendidikan kontemporer. Nilai-nilai dasar seperti kemerdekaan, pembimbingan kodrati, dan pendidikan berbasis budaya masih sangat relevan untuk dikembangkan melalui inovasi-inovasi seperti pendidikan berbasis proyek, pendekatan STEAM yang humanistik, hingga penguatan nilai lokal dalam kurikulum nasional.⁹ Dengan demikian, kritik terhadap Sistem Among bukanlah penolakan terhadap esensinya, melainkan dorongan untuk menyelaraskannya dengan realitas baru secara dinamis dan reflektif.


Footnotes

[1]                Suyata, Menggagas Ulang Pendidikan Nasional: Antara Sistem Among dan Realitas Sekolah Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 45.

[2]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 54.

[3]                Soedjatmiko, Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 78.

[4]                Kemendikbudristek RI, “Asesmen Nasional dan Tantangan Pembelajaran Humanistik,” diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.

[5]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 115.

[6]                Yusri Fajar, “Pendidikan Karakter di Era Digital,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 28, No. 3 (2023): 230–232.

[7]                Howard Gardner, Five Minds for the Future (Boston: Harvard Business School Press, 2007), 12.

[8]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 82.

[9]                Wardiman Djojonegoro, Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdikbud, 1992), 123.


9.           Kesimpulan

Sistem Among yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara bukanlah sekadar metode pendidikan, melainkan sistem nilai dan kerangka filsafat yang mengakar dalam kebudayaan Indonesia dan sekaligus terbuka terhadap modernitas. Dalam sistem ini, pendidikan dimaknai sebagai proses pembimbingan yang membebaskan anak untuk tumbuh sesuai kodratnya, melalui prinsip Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—sebuah refleksi mendalam atas peran pendidik dalam menumbuhkan kemandirian, karakter, dan kemanusiaan peserta didik.¹

Nilai-nilai kemerdekaan, kemanusiaan, dan kebudayaan yang melekat dalam Sistem Among menjadikannya sebagai pendekatan pendidikan yang tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga tetap signifikan dalam menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21, termasuk globalisasi, digitalisasi, dan krisis karakter.² Melalui implementasi di Perguruan Taman Siswa, Ki Hajar memperlihatkan bahwa pendidikan dapat dijalankan tanpa kekerasan, tanpa dogmatisme, dan tanpa ketakutan—tetapi tetap efektif dalam membentuk manusia merdeka yang bertanggung jawab secara sosial dan spiritual.³

Namun, sebagaimana sistem lainnya, Among tidak lepas dari tantangan dan kritik. Di tengah tuntutan capaian akademik, tekanan standar evaluasi, serta orientasi pasar dalam pendidikan, nilai-nilai Among sering kali terpinggirkan oleh pendekatan pragmatis yang lebih kuantitatif.⁴ Di sisi lain, keterbatasan regenerasi pemikiran dan transformasi kelembagaan menyebabkan nilai-nilai Among tidak sepenuhnya dapat diaktualkan dalam sistem pendidikan nasional secara luas.⁵

Kendati demikian, semangat dasar Sistem Among tetap relevan untuk dijadikan fondasi dalam membangun pendidikan nasional yang lebih humanistik, inklusif, dan berakar pada budaya bangsa. Di era Merdeka Belajar, reinterpretasi dan pengembangan nilai-nilai Among sangat penting untuk memperkuat pendekatan pembelajaran yang memerdekakan, memberdayakan, dan memanusiakan.⁶

Dengan demikian, Sistem Among adalah warisan pedagogis yang hidup, yang terus menantang kita untuk tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membimbing kehidupan. Sebagaimana Ki Hajar tegaskan, “pendidikan adalah usaha untuk memerdekakan manusia lahir dan batin.”⁷ Maka, menjadi tugas kita bersama untuk memastikan bahwa pendidikan Indonesia berjalan bukan hanya menuju kecerdasan, tetapi juga menuju kemanusiaan yang utuh dan berkepribadian nasional.


Footnotes

[1]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan: Bagian Pertama (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1961), 23.

[2]                Soedjatmoko, Pendidikan Nasional: Pandangan dan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1979), 55.

[3]                Arief Rachman, Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Jakarta: Grasindo, 2002), 90.

[4]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galang Press, 2004), 79.

[5]                Suyata, Menggagas Ulang Pendidikan Nasional: Antara Sistem Among dan Realitas Sekolah Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 48.

[6]                Kemendikbudristek RI, Kebijakan Merdeka Belajar, diakses 4 Juni 2025, https://www.kemdikbud.go.id.

[7]                Ki Hadjar Dewantara, Kumpulan Karangan II: Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1968), 11.


Daftar Pustaka

Arief Rachman. (2002). Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan perjuangannya. Grasindo.

Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang memiskinkan. Galang Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.

Deliar Noer. (1980). Gerakan modern Islam di Indonesia 1900–1942. LP3ES.

Djojonegoro, W. (1992). Ki Hajar Dewantara dan pendidikan nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Edwards, C., Gandini, L., & Forman, G. (Eds.). (2012). The hundred languages of children: The Reggio Emilia approach—Advanced reflections (3rd ed.). Praeger.

Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.

Gardner, H. (2007). Five minds for the future. Harvard Business School Press.

Kemendikbudristek RI. (2019–2025). Merdeka belajar. https://www.kemdikbud.go.id

Kemendikbudristek RI. (2025). Profil Pelajar Pancasila. https://kurikulum.kemdikbud.go.id

Ki Hadjar Dewantara. (1961). Pendidikan: Bagian pertama. Majelis Luhur Taman Siswa.

Ki Hadjar Dewantara. (1962). Pendidikan: Bagian kedua. Majelis Luhur Taman Siswa.

Ki Hadjar Dewantara. (1967). Kumpulan karangan I: Kebudayaan. Taman Siswa.

Ki Hadjar Dewantara. (1968). Kumpulan karangan II: Pendidikan. Taman Siswa.

Montessori, M. (1967). The absorbent mind (C. A. Claremont, Trans.). Holt, Rinehart and Winston.

Soedjatmiko. (1995). Ki Hajar Dewantara: Bapak pendidikan nasional. Pustaka Pelajar.

Soedjatmoko. (1979). Pendidikan nasional: Pandangan dan harapan. LP3ES.

Suyata. (2007). Menggagas ulang pendidikan nasional: Antara sistem among dan realitas sekolah modern. Pustaka Pelajar.

Yusri Fajar. (2023). Pendidikan karakter di era digital. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 28(3), 230–232.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar