Membela Kebenaran dan Moralitas
Kajian Kritis terhadap Islamofobia, Genosida Umat
Islam, dan Agenda Ideologis yang Bertentangan dengan Ajaran Islam
Maklumat Pribadi
Dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, saya
menyatakan bahwa saya adalah seorang yang menjunjung tinggi rasionalitas,
berpikir kritis, dan terbuka terhadap dialog serta perkembangan ilmu
pengetahuan. Namun demikian, saya juga adalah seorang Muslim yang berpegang
teguh pada nilai-nilai ajaran Islam yang murni, yang mengajarkan keadilan,
kasih sayang, dan kemuliaan akhlak.
Sejalan dengan keyakinan tersebut, saya dengan
tegas menolak segala bentuk gerakan atau wacana yang mendiskreditkan ajaran
Islam dan umatnya, baik secara langsung maupun terselubung. Termasuk di
dalamnya adalah tindakan Islamofobia, kekerasan sistematis atau
genosida terhadap umat Islam, serta agenda-agenda ideologis tertentu
seperti gerakan LGBTQ+ yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan
ajaran Islam yang saya yakini.
Penolakan saya bukan dilandasi oleh kebencian atau
intoleransi, melainkan oleh komitmen terhadap kebenaran, keutuhan moral, dan
perlindungan terhadap nilai-nilai yang saya anut sebagai seorang Muslim. Saya
meyakini bahwa setiap individu berhak untuk hidup dengan aman dan bermartabat,
namun kebebasan tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk menormalisasi
atau memaksakan nilai-nilai yang bertentangan dengan fitrah dan keyakinan
mayoritas umat beragama, khususnya umat Islam.
Saya menyeru kepada semua pihak untuk membangun
masyarakat yang adil, beradab, dan menghormati nilai-nilai keimanan serta hak
umat beragama untuk mempertahankan keyakinannya tanpa tekanan ideologis atau
budaya dari luar.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Dunia modern, yang sering mengklaim menjunjung
tinggi hak asasi manusia, pluralisme, dan kebebasan berekspresi, justru
menyimpan ironi dalam praktiknya terhadap umat Islam. Dalam berbagai konteks
global, umat Islam menghadapi gelombang Islamofobia yang meningkat, kekerasan
sistematis bahkan hingga genosida, serta tekanan ideologis berupa normalisasi
nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, seperti dalam gerakan
LGBTQ+. Fenomena ini bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari
kecenderungan global yang terstruktur dan sering kali terlegitimasi melalui
kebijakan negara, sistem pendidikan, dan industri media.
Islamofobia, sebagai bentuk kebencian terhadap
Islam dan pemeluknya, telah berkembang dari sekadar prasangka personal menjadi
narasi politik dan kebijakan publik. Di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya,
umat Islam kerap menjadi sasaran generalisasi, dicurigai sebagai ancaman
keamanan, dan distereotipkan melalui media arus utama sebagai fanatik atau
ekstremis.1 Islamofobia ini memicu diskriminasi di berbagai bidang,
mulai dari pekerjaan hingga hak kebebasan beragama, dan bahkan mendorong
kekerasan fisik yang sistematis.2
Lebih jauh lagi, umat Islam di berbagai wilayah
dunia telah menjadi korban kekerasan negara yang terstruktur, seperti yang
terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, Muslim Uighur di Tiongkok, dan rakyat
Palestina yang mengalami penindasan kolonialisme modern oleh rezim Zionis
Israel. Genosida dan penindasan terhadap Muslim tidak hanya merupakan tragedi
kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan kegagalan institusi global dalam menjamin
keadilan yang setara bagi semua umat manusia.3
Dalam waktu yang bersamaan, dunia Muslim juga
dihadapkan pada tekanan ideologis dari nilai-nilai modern Barat yang mencoba
menormalisasi praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip moral Islam.
Salah satu isu sentral adalah dorongan terhadap penerimaan sosial gerakan
LGBTQ+ secara universal, termasuk di komunitas Muslim. Padahal, ajaran Islam
secara eksplisit melarang perilaku homoseksual, baik dalam teks Al-Qur’an
maupun Hadis, dan menegaskan pentingnya menjaga fitrah insani dalam relasi
seksual dan keluarga.4 Upaya untuk memaksakan ideologi ini ke dalam
ranah keimanan umat Islam bukan hanya mengabaikan otonomi moral agama, tetapi
juga menunjukkan gejala kolonialisme budaya dalam bentuk baru.
Artikel ini hadir sebagai bentuk pembelaan terhadap
nilai-nilai kebenaran dan moralitas Islam, sekaligus sebagai respons kritis
atas tiga fenomena besar yang saling berkaitan: Islamofobia, genosida terhadap
umat Islam, dan agenda ideologis liberal-sekuler yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Kajian ini tidak bertujuan menebar kebencian, melainkan sebagai
bentuk klarifikasi rasional dan penegasan moral bagi setiap Muslim yang
berpikir kritis dan beriman teguh. Menolak ketiga fenomena tersebut bukanlah
sikap ekstrem, melainkan ekspresi dari tanggung jawab intelektual dan religius
dalam menjaga kemuliaan Islam, martabat umat, dan warisan nilai yang luhur.
Footnotes
[1]
Nathan Lean, The Islamophobia Industry: How the
Right Manufactures Fear of Muslims (London: Pluto Press, 2012), 10–17.
[2]
John L. Esposito and Ibrahim Kalin, eds., Islamophobia:
The Challenge of Pluralism in the 21st Century (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 45–56.
[3]
Massoud Hayoun, “Genocide of the Rohingya,” The
Nation, October 30, 2017, https://www.thenation.com/article/archive/genocide-of-the-rohingya/.
[4]
Abdullah Saeed and Hassan Saeed, Freedom of
Religion, Apostasy and Islam (Aldershot: Ashgate, 2004), 117–120.
2.
Rasionalitas dan Keimanan: Sebuah Keseimbangan
Pandangan
Dalam wacana filsafat dan teologi Islam klasik,
rasionalitas (al-‘aql) dan keimanan (al-īmān) bukanlah
dua hal yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Islam tidak
menolak akal, justru menjadikannya sebagai alat utama untuk mengenal kebenaran,
merenungi ciptaan Allah, dan memahami wahyu. Al-Qur’an sendiri secara eksplisit
memuji orang-orang yang menggunakan akalnya: “Apakah mereka tidak
merenungkan Al-Qur’an? Ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad
[47] ayat 24).1
Dalam konteks ini, seorang Muslim dapat bersikap rasional tanpa harus
menanggalkan keyakinannya terhadap ajaran Islam.
Pemikir Muslim klasik seperti Al-Ghazālī dan
Fakhr al-Dīn al-Rāzī mengembangkan sintesis antara rasionalitas dan
keimanan. Al-Ghazālī dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl menjelaskan bahwa
pencarian kebenaran sejati harus melampaui skeptisisme dan menemukan puncaknya
dalam cahaya ilahiah yang hanya bisa diperoleh melalui iman yang mendalam dan
akal yang jernih.2
Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam menghargai akal, tetapi mengarahkannya
agar tunduk pada wahyu, bukan berdiri di atasnya secara otonom seperti dalam
paradigma sekular-liberal modern.
Rasionalitas dalam Islam bukanlah rasionalisme
ekstrem yang menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran, melainkan
bersifat ta’līlī (analitis), yang berfungsi meneguhkan keimanan, bukan
menggantikannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Iqbal, modernisme Barat
telah menjebak manusia dalam "absolutisme rasional" yang
justru mereduksi realitas spiritual menjadi sekadar dimensi material dan
empiris belaka.3
Islam, sebagai sistem nilai yang utuh, menyeimbangkan antara kebutuhan akal
untuk memahami dan kebutuhan hati untuk tunduk.
Dalam menghadapi wacana-wacana kontemporer seperti
Islamofobia, ideologi ekstrem, dan kampanye nilai-nilai liberal, posisi seorang
Muslim yang berpikir rasional dan beriman adalah sangat penting. Rasionalitas
digunakan untuk mengenali distorsi fakta, manipulasi media, dan logika
ideologis yang digunakan untuk mendiskreditkan Islam; sementara keimanan
menjadi fondasi moral untuk menolak penyimpangan dan tetap kokoh pada prinsip
kebenaran yang diturunkan dari Allah Swt.
Dengan demikian, penolakan terhadap gerakan seperti
normalisasi LGBTQ+ atau sikap kritis terhadap sekularisme barat bukanlah
ekspresi fanatisme buta, melainkan posisi yang dapat dibenarkan secara rasional
dan bermuara pada kesetiaan terhadap moral ilahiah. Dalam Islam, kebenaran
bukan hanya yang logis menurut akal, tetapi yang haqq, yakni benar
secara rasional, moral, dan spiritual. Oleh karena itu, mempertahankan
pandangan bahwa akal dan iman harus berjalan beriringan adalah langkah utama
dalam membentengi umat Islam dari penetrasi ideologi asing yang menyesatkan dan
merusak.4
Footnotes
[1]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 47:24.
[2]
Al-Ghazālī, Deliverance from Error
(al-Munqidh min al-Ḍalāl), trans. R.J. McCarthy (Louisville: Fons Vitae, 2000),
25–30.
[3]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2013), 1–12.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 56–68.
3.
Fenomena Islamofobia Global
Islamofobia merupakan bentuk ketakutan, kebencian,
atau permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya yang secara sistematis tumbuh
menjadi bagian dari wacana sosial, politik, dan budaya di berbagai belahan
dunia. Fenomena ini tidak lagi sebatas ekspresi prasangka personal, melainkan
telah mengakar dalam kebijakan negara, pemberitaan media, dan sistem
pendidikan, serta menjadi instrumen hegemonik dalam membentuk persepsi negatif
terhadap Islam sebagai “agama lain” yang dianggap ancaman.
Secara historis, akar Islamofobia dapat ditelusuri
hingga narasi kolonial Barat yang memosisikan Islam sebagai antitesis dari
peradaban Eropa Kristen. Edward Said dalam karya klasiknya Orientalism
menyatakan bahwa orientalisme barat telah menciptakan konstruksi tentang Islam
sebagai agama yang irasional, berbahaya, dan anti-kemajuan, demi mempertahankan
dominasi imperialisme.1
Representasi tersebut berlanjut dan bahkan menguat dalam era modern, terutama
pasca-peristiwa 11 September 2001 yang menjadi titik balik bagi pembentukan
Islamofobia global sebagai alat legitimasi kebijakan luar negeri dan perang
melawan terorisme.
Laporan dari Runnymede Trust tahun 1997 dan
2017 menunjukkan bahwa Islamofobia memiliki karakteristik khas, seperti
penyamaan seluruh umat Islam dengan ekstremisme, penolakan terhadap Islam
sebagai agama rasional dan etis, serta asumsi bahwa Islam tidak kompatibel
dengan nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM.2
Dalam prakteknya, hal ini berujung pada tindakan diskriminatif terhadap umat
Islam, mulai dari pembatasan hak berbusana (seperti pelarangan jilbab dan niqab
di Prancis), pengawasan intensif terhadap komunitas Muslim, hingga kekerasan
fisik dan pembakaran masjid di negara-negara Barat.
Media arus utama berperan signifikan dalam
menyebarkan Islamofobia. Kajian Jack Shaheen terhadap film-film Hollywood
menunjukkan bahwa representasi Muslim hampir selalu diasosiasikan dengan
kekerasan, fanatisme, dan primitivisme.3
Narasi tersebut menciptakan citra mental kolektif yang menstigmatisasi Islam
sebagai agama kekerasan dan umatnya sebagai ancaman sosial. Hal ini diperparah
dengan algoritma media sosial yang memperkuat echo chamber kebencian melalui
disinformasi dan ujaran kebencian terhadap umat Islam.
Di Asia, bentuk Islamofobia juga berkembang dalam
dimensi etno-nasionalistik. Di India, misalnya, kebijakan dan retorika Partai
Bharatiya Janata (BJP) di bawah kepemimpinan Narendra Modi secara aktif
mendorong marginalisasi umat Islam, termasuk pembatasan hak beragama dan
kekerasan massa yang disokong oleh ideologi Hindutva.4
Sementara di Myanmar, umat Muslim Rohingya digambarkan sebagai "pendatang
ilegal" dan mengalami pengusiran massal serta pembantaian oleh militer,
sebuah tindakan yang secara luas telah diklasifikasikan sebagai bentuk genosida
oleh berbagai lembaga HAM internasional.5
Islamofobia tidak hanya melukai martabat umat Islam,
tetapi juga mengancam prinsip pluralisme dan keadilan global. Ia merupakan
bentuk baru dari rasisme struktural yang disamarkan melalui narasi sekularisme,
keamanan nasional, dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, Islamofobia
harus dipahami bukan semata-mata sebagai kebencian terhadap Islam, tetapi
sebagai bagian dari sistem kekuasaan global yang ingin mendefinisikan agama,
identitas, dan nilai-nilai moral sesuai dengan kepentingan dominasi Barat.
Menghadapi Islamofobia memerlukan respons yang bersifat
multi-level: dari advokasi kebijakan yang adil, pendidikan publik yang berbasis
pemahaman, hingga upaya literasi media dan pemberdayaan narasi alternatif dari
umat Islam sendiri. Umat Islam perlu merumuskan wacana kritis yang tidak hanya
membela diri dari stereotip, tetapi juga secara aktif mengartikulasikan Islam
sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Footnotes
[1]
Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon
Books, 1978), 59–72.
[2]
Runnymede Trust, Islamophobia: Still a Challenge
for Us All (London: Runnymede Trust, 2017), 5–8.
[3]
Jack Shaheen, Reel Bad Arabs: How Hollywood
Vilifies a People (Northampton: Interlink Publishing Group, 2001), 2–10.
[4]
Christophe Jaffrelot, Modi’s India: Hindu
Nationalism and the Rise of Ethnic Democracy (Princeton: Princeton
University Press, 2021), 98–113.
[5]
Fortify Rights, “They Gave Them Long Swords:
Preparations for Genocide and Crimes Against Humanity Against Rohingya Muslims
in Rakhine State, Myanmar,” July 2018, https://www.fortifyrights.org/downloads/Fortify_Rights_Long_Swords_July_2018.pdf.
4.
Kekerasan Sistematis dan Genosida terhadap Umat
Islam
Kekerasan sistematis
dan genosida terhadap umat Islam merupakan bentuk paling brutal dari Islamofobia
yang telah menjelma menjadi kekejaman terstruktur, didorong oleh ideologi
kebencian, kepentingan politik, serta upaya dehumanisasi umat Islam secara
kolektif. Tindak kekerasan semacam ini tidak hanya terjadi dalam bentuk
pembunuhan massal, tetapi juga mencakup penindasan politik, pembersihan etnis,
pemusnahan budaya, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilegalkan melalui
instrumen negara atau diamini oleh komunitas internasional melalui sikap diam.
4.1.
Kasus Muslim Rohingya di
Myanmar
Salah satu tragedi
kemanusiaan paling mencolok abad ini adalah genosida terhadap Muslim Rohingya
di negara bagian Rakhine, Myanmar. Sejak 2012, kelompok ini menjadi korban
kekerasan sistematis yang mencakup pembakaran desa, pemerkosaan massal, dan
pembunuhan, terutama oleh militer Myanmar (Tatmadaw). Laporan dari United
Nations Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar menyimpulkan
bahwa terdapat “niat genosidal” yang jelas dalam serangan terhadap Rohingya,
sebuah indikator yang memenuhi kriteria genosida menurut Konvensi Genosida 1948.1
Lebih dari 700.000
orang Rohingya terpaksa mengungsi ke Bangladesh dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, menjadikan mereka komunitas pengungsi Muslim terbesar yang
hidup dalam ketidakpastian hukum dan kemanusiaan.2 Kejahatan ini,
yang terjadi dengan pengetahuan dunia internasional, memperlihatkan bagaimana
umat Islam bisa menjadi korban “genosida yang disetujui diam-diam”
ketika kepentingan geopolitik lebih diutamakan daripada prinsip kemanusiaan
universal.
4.2.
Penindasan terhadap Muslim
Uighur di Tiongkok
Di wilayah Xinjiang,
Republik Rakyat Tiongkok, lebih dari satu juta Muslim Uighur telah ditahan
dalam apa yang disebut pemerintah sebagai “kamp re-edukasi”, namun
secara luas dianggap sebagai kamp konsentrasi modern. Menurut dokumen yang
dibocorkan dan laporan dari Human Rights Watch serta Amnesty International,
para tahanan mengalami penyiksaan, penghilangan paksa, sterilisasi paksa,
indoktrinasi ideologi Partai Komunis, dan pemaksaan untuk meninggalkan
identitas Islam mereka.3
Pemerintah Tiongkok
membenarkan tindakan ini dengan dalih “melawan ekstremisme”, padahal
yang terjadi adalah penghancuran sistematis terhadap budaya, bahasa, dan agama
Islam Uighur. Tindakan ini telah diklasifikasikan oleh sejumlah badan HAM dan
parlemen Barat sebagai bentuk genosida budaya dan genosida demografis yang
mengarah pada kehancuran suatu kelompok berdasarkan identitas keagamaannya.4
4.3.
Penjajahan dan Pembersihan
Etnis di Palestina
Kasus rakyat
Palestina, terutama di Gaza dan Tepi Barat, adalah contoh lain dari kekerasan
sistematis terhadap umat Islam yang berlangsung lama dan terstruktur. Sejak
berdirinya negara Israel pada 1948, jutaan warga Palestina telah terusir dari
tanah mereka, mengalami blokade ekonomi, pembatasan mobilitas, dan serangan
militer yang menargetkan infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan
masjid.
Laporan Human Rights
Watch tahun 2021 menyatakan bahwa praktik Israel terhadap rakyat Palestina
memenuhi kriteria apartheid dan penganiayaan, dua kejahatan terhadap
kemanusiaan menurut Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.5
Gaza, yang dijuluki “penjara terbuka terbesar di dunia”, menjadi simbol
penderitaan umat Islam yang menghadapi kekerasan negara kolonial modern yang
dilegitimasi oleh kekuatan global.
4.4.
Genosida terhadap Muslim
Bosnia (1992–1995)
Dalam konteks Eropa,
pembantaian lebih dari 8.000 Muslim Bosnia di Srebrenica oleh pasukan Serbia
pada Juli 1995 merupakan salah satu genosida paling keji sejak Perang Dunia II.
Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) menyatakan
bahwa pembantaian ini adalah tindakan genosida yang didasarkan pada kebencian
etno-agama terhadap komunitas Muslim Bosnia.6
Peristiwa ini menjadi
bukti bahwa genosida terhadap Muslim dapat terjadi bahkan di jantung Eropa yang
mengklaim menjunjung tinggi nilai-nilai multikulturalisme dan HAM. Kegagalan
pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mencegah pembantaian juga menunjukkan
lemahnya sistem internasional dalam melindungi umat Islam dari kekejaman yang
dilembagakan.
Fenomena-fenomena
tersebut tidak hanya menunjukkan kebencian terhadap umat Islam, tetapi juga
menegaskan adanya skenario besar di mana kekerasan terhadap Muslim dipandang
“layak dibiarkan” ketika bertentangan dengan narasi kekuasaan global. Kekerasan
sistematis terhadap Muslim bukan sekadar peristiwa insidental, melainkan bagian
dari disposisi
geopolitik dan ideologis yang melihat Islam sebagai entitas yang
harus dikendalikan atau dihapuskan.
Maka dari itu,
penting bagi umat Islam dan masyarakat dunia yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan untuk mengidentifikasi, mengkritik, dan menolak normalisasi
terhadap segala bentuk kekerasan dan genosida terhadap umat Islam. Ini bukan
hanya soal solidaritas keagamaan, tetapi juga soal keberpihakan terhadap
kebenaran dan keadilan universal.
Footnotes
[1]
United Nations Human Rights Council, Report of the Independent
International Fact-Finding Mission on Myanmar (Geneva: UNHRC, 2018),
15–20.
[2]
Human Rights Watch, "Bangladesh Is Not My Country": The
Plight of Rohingya Refugees from Myanmar, August 2018, https://www.hrw.org/report/2018/08/05/bangladesh-not-my-country.
[3]
Amnesty International, "Like We Were Enemies in a War":
China’s Mass Internment, Torture and Persecution of Muslims in Xinjiang,
June 2021, https://www.amnesty.org/en/documents/asa17/4137/2021/en/.
[4]
Adrian Zenz, “Sterilizations, IUDs, and Mandatory Birth Control: The
CCP’s Campaign to Suppress Uyghur Birthrates,” China Brief 20, no. 12
(2020): 1–8.
[5]
Human Rights Watch, A Threshold Crossed: Israeli Authorities and
the Crimes of Apartheid and Persecution, April 2021, https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed.
[6]
International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), Prosecutor
v. Radovan Karadžić, Case No. IT-95-5/18-T, Judgment, March 24, 2016.
5.
Gerakan LGBTQ+ dalam Perspektif Islam
Perdebatan seputar
gerakan LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, dan lainnya) telah
menjadi isu global yang sarat muatan ideologis dan politis. Dalam konteks dunia
Islam, isu ini tidak dapat dipisahkan dari pandangan agama yang tegas terhadap
orientasi seksual dan identitas gender. Islam secara fundamental memandang
praktik homoseksualitas sebagai perilaku yang menyimpang dari fitrah manusia
dan bertentangan dengan hukum syariat, bukan sekadar ekspresi identitas yang
netral secara moral.
5.1.
Dalil-Dalil Syariat tentang
Homoseksualitas
Al-Qur'an secara
eksplisit mengutuk praktik homoseksual melalui kisah kaum Nabi Luth. Allah
menyebut perilaku tersebut sebagai “fahisyah” (perbuatan keji) yang belum
pernah dilakukan oleh umat sebelumnya: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki di antara
manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang diciptakan untukmu oleh Tuhanmu?
Bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Asy-Syu’ara
[26] ayat 165–166).1 Hadis Nabi Muhammad Saw juga memperkuat
larangan ini dengan menyebut bahwa siapa yang melakukan perbuatan kaum Luth,
maka hukumannya berat dan harus dicegah oleh masyarakat Muslim.2
Mayoritas ulama dari
keempat mazhab fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa
homoseksualitas termasuk dosa besar dan mengharuskan sanksi hukum tertentu,
meskipun ada perbedaan dalam bentuk dan penerapannya. Pandangan ini
mencerminkan posisi ijmak (konsensus) ulama sepanjang sejarah Islam.3
5.2.
Pandangan Islam tentang
Fitrah dan Relasi Seksual
Islam memandang
relasi seksual sebagai bagian integral dari kehidupan yang harus berlangsung
dalam kerangka pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Konsep fitrah
(kodrat asli manusia) menjadi dasar teologis bahwa Allah menciptakan manusia
dalam pasangan heteroseksual sebagai bentuk keseimbangan dan kelangsungan
kehidupan (QS. Az-Zariyat [51] ayat 49).4
Oleh karena itu, identitas seksual dalam Islam tidak dapat direduksi menjadi
pilihan subjektif semata, melainkan tunduk pada batasan yang ditentukan oleh
wahyu.
Dalam perspektif
ini, gerakan LGBTQ+ dianggap bukan sekadar ekspresi keberagaman, tetapi juga
sebagai penyimpangan dari struktur moral dan tatanan sosial yang ditetapkan
dalam Islam. Konsep identitas fluid dan relativisme moral yang mendasari
ideologi LGBTQ+ dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam tentang
kebenaran yang tetap dan nilai yang bersumber dari Tuhan.
5.3.
Kritik Islam terhadap
Normalisasi LGBTQ+
Gerakan LGBTQ+ di
dunia modern sering dikaitkan dengan narasi hak asasi manusia, kebebasan
berekspresi, dan kesetaraan. Namun, dalam kacamata Islam, tidak semua ekspresi
pribadi dapat diklaim sebagai hak yang sah jika bertentangan dengan nilai moral
ilahiah. Hak asasi manusia dalam Islam bukan hanya berbasis pada kehendak
individu, tetapi juga pada prinsip kebaikan kolektif dan keadilan yang diatur
oleh wahyu.5
Upaya untuk memaksakan
penerimaan LGBTQ+ ke dalam masyarakat Muslim melalui media, pendidikan, dan
kebijakan internasional dinilai sebagai bentuk kolonialisme budaya baru (cultural
imperialism). Joseph Massad mengistilahkan hal ini sebagai “Gay
International”, yakni proyek hegemoni global yang mencoba
menstandarkan identitas seksual berdasarkan konstruksi Barat, dan kemudian
mendiskreditkan budaya atau agama yang tidak menerimanya sebagai “homofobik”
atau “tidak progresif.”6
5.4.
Respons Muslim: Menolak
Tanpa Membenci
Penolakan terhadap
praktik LGBTQ+ tidak serta-merta berarti kebencian terhadap individu yang
mengalaminya. Islam tetap mendorong pendekatan kasih sayang, dakwah yang hikmah,
serta pembinaan bagi mereka yang ingin kembali kepada fitrah. Akan tetapi,
penolakan terhadap ideologi yang menormalisasi penyimpangan tersebut adalah
bagian dari tanggung jawab moral setiap Muslim untuk menjaga masyarakat dari
kerusakan akhlak.
Konsep nahi
munkar mengharuskan umat Islam untuk mencegah penyimpangan sosial,
terlebih jika hal itu telah masuk dalam ranah kebijakan publik atau kurikulum
pendidikan. Dalam konteks ini, umat Islam tidak boleh bersikap permisif
terhadap gerakan ideologis yang membahayakan tatanan sosial dan agama.
Dengan demikian,
dari perspektif Islam, gerakan LGBTQ+ tidak dapat diterima baik secara moral
maupun teologis. Bukan karena Islam anti-kemanusiaan, melainkan karena Islam
mengajarkan kebaikan hakiki berdasarkan wahyu, bukan pada relativisme modern.
Dalam dunia yang semakin memaksakan ideologi liberal-sekuler, sikap kritis dan
teguh terhadap nilai Islam adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya
yang ingin merusak fitrah dan moralitas manusia.
Footnotes
[1]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 26:165–166.
[2]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Hudud, Hadis no. 4462.
[3]
Ibn Qudamah, Al-Mughni, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
153–160.
[5]
Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective
(Cambridge: Islamic Texts Society, 2002), 78–85.
[6]
Joseph Massad, Desiring Arabs (Chicago: University of Chicago
Press, 2007), 160–180.
6.
Interseksi Ketiganya: Satu Arus dalam Proyek
Dekonstruksi Islam
Islamofobia,
kekerasan sistematis terhadap umat Islam, dan promosi nilai-nilai ideologis
seperti LGBTQ+ tampak sebagai fenomena yang berbeda dalam bentuk, namun
sesungguhnya berakar dari satu arus besar: proyek dekonstruksi terhadap ajaran,
identitas, dan peradaban Islam. Ketiga gejala ini mencerminkan suatu pola
kontemporer di mana kekuatan dominan global berusaha membongkar fondasi
nilai-nilai Islam—baik secara fisik, simbolik, maupun kultural—untuk digantikan
dengan sistem nilai liberal-sekuler yang dianggap “universal”.
6.1.
Narasi Islam sebagai
Ancaman: Landasan untuk Legitimasi Global
Proyek dekonstruksi
ini bermula dari wacana yang secara konsisten menggambarkan Islam sebagai
ancaman terhadap tatanan global modern. Islamofobia menjadi alat utama dalam
membentuk persepsi publik bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, HAM,
atau kemajuan. Hal ini menciptakan legitimasi sosial dan politik bagi kebijakan
represif terhadap umat Islam, baik melalui perang (seperti invasi Irak dan
Afghanistan), pengawasan massal (seperti program CVE—Countering Violent
Extremism), maupun pelarangan simbol-simbol keislaman di ruang publik.1
Menurut Arjun
Appadurai, dalam era globalisasi, identitas kolektif yang
berbasis agama sering kali diposisikan sebagai ancaman terhadap hegemoni
neoliberal yang ingin menghapus batas-batas budaya dan nilai lokal.2
Dalam kerangka ini, Islam diposisikan sebagai “yang lain” (the
Other) yang harus dikendalikan atau ditundukkan.
6.2.
Genosida dan Kekerasan:
Fase Fisik dari Proses Dekonstruksi
Ketika Islamofobia
berkembang menjadi ideologi negara atau dilegitimasi oleh kekuatan global, ia
tidak lagi sekadar narasi, melainkan berubah menjadi kekerasan nyata. Genosida
terhadap Muslim Rohingya, Uighur, dan Palestina bukan hanya kejahatan terhadap
kemanusiaan, tetapi juga merupakan bentuk pemusnahan epistemik—yakni
penghancuran tidak hanya tubuh, tetapi juga makna dan sistem nilai Islam itu
sendiri.3
Achille
Mbembe menggambarkan situasi semacam ini sebagai necropolitics,
di mana negara atau kekuatan hegemonik menentukan siapa yang berhak hidup dan
siapa yang boleh dimatikan demi tatanan politik yang diinginkan.4
Dalam konteks umat Islam, ini berarti bahwa keberadaan mereka hanya diterima
sejauh mereka tidak menentang tatanan ideologis global yang dominan.
6.3.
Gerakan LGBTQ+ dan
Relativisme Moral sebagai Instrumen Ideologis
Di sisi lain,
penetrasi nilai-nilai liberal seperti gerakan LGBTQ+ menjadi instrumen lain
dalam proyek dekonstruksi Islam, khususnya dalam ranah budaya dan moral. Dengan
dalih “hak asasi manusia universal”, umat Islam ditekan untuk menerima
sistem nilai yang secara eksplisit bertentangan dengan wahyu dan syariat.
Penolakan terhadap ideologi tersebut dianggap sebagai intoleransi, bahkan
radikalisme.
Dalam hal ini, Joseph
Massad menyatakan bahwa proyek Gay International tidak netral,
tetapi merupakan bagian dari “politik imperial” yang berusaha
menstandarkan ekspresi seksual dan memaksa dunia non-Barat untuk mengadopsi
nilai-nilai barat secara paksa, dengan mengabaikan tradisi dan sistem etika
lokal.5 Dalam dunia Islam, ini berarti penghapusan otoritas moral
Islam melalui normalisasi wacana yang justru dianggap sebagai penyimpangan
dalam teks agama.
6.4.
Konvergensi Strategis: Satu
Arah Menuju Dominasi Budaya
Ketiga elemen
ini—Islamofobia, kekerasan terhadap umat Islam, dan promosi nilai-nilai liberal
yang bertentangan dengan Islam—menyatu dalam satu skenario besar: dekonstruksi
Islam sebagai sistem keyakinan dan tatanan sosial yang utuh. Ini bukan
semata-mata tentang kebencian terhadap umat Islam, tetapi tentang usaha
terstruktur untuk mendefinisikan ulang peran agama dalam masyarakat global,
serta menggantikan fondasi moral Islam dengan nilai-nilai relativistik dan
individualistik.
Wael
Hallaq menegaskan bahwa dalam sistem modern sekuler, agama
diposisikan sebagai urusan pribadi, bukan sebagai sistem hukum atau tatanan
sosial. Ini berarti bahwa Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara)
dianggap “usang” dan harus dibongkar agar sejalan dengan konstruksi
modernitas Barat.6
Dengan memahami
keterkaitan antara ketiga fenomena tersebut, umat Islam perlu menyadari bahwa
perjuangan melawan Islamofobia, genosida, dan ideologi liberal-sekuler bukan
sekadar isu sosial atau politik, tetapi bagian dari jihad pemikiran dan
peradaban untuk mempertahankan keberlangsungan nilai-nilai Islam dalam dunia
yang terus digempur proyek dekonstruksi sistemik.
Footnotes
[1]
Arun Kundnani, The Muslims Are Coming! Islamophobia, Extremism, and
the Domestic War on Terror (London: Verso, 2014), 53–76.
[2]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of
Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 15–40.
[3]
Hamid Dabashi, Brown Skin, White Masks (London: Pluto Press,
2011), 103–110.
[4]
Achille Mbembe, Necropolitics, trans. Steven Corcoran (Durham:
Duke University Press, 2019), 92–95.
[5]
Joseph Massad, Desiring Arabs (Chicago: University of Chicago
Press, 2007), 160–180.
[6]
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and
Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013),
27–56.
7.
Sikap Seorang Muslim Rasional dan Taat
Dalam menghadapi
tantangan global yang kompleks—seperti Islamofobia, genosida terhadap umat
Islam, dan penetrasi nilai-nilai ideologis yang bertentangan dengan
syariat—seorang Muslim dituntut untuk bersikap rasional sekaligus taat. Kedua
dimensi ini bukanlah kutub yang saling meniadakan, melainkan fondasi utama
dalam merumuskan respons yang kritis, proporsional, dan bermartabat terhadap
dinamika zaman.
7.1.
Rasionalitas sebagai Alat
Analisis, Keimanan sebagai Kompas Moral
Akal dalam Islam
tidak berfungsi sebagai sumber hukum mandiri, tetapi sebagai alat untuk
memahami wahyu dan menilai realitas berdasarkan prinsip-prinsip syar’i. Seorang
Muslim dituntut untuk berpikir tajam dalam membedakan informasi yang benar dari
propaganda, dan menimbang setiap fenomena sosial-politik berdasarkan maqāṣid
al-sharī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam), bukan sekadar tren global.1
Dalam menghadapi Islamofobia dan propaganda nilai-nilai asing, pendekatan
rasional menjadi kunci untuk membongkar bias, disinformasi, serta standar ganda
yang digunakan untuk mendiskreditkan Islam.
Namun, rasionalitas
tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berpijak pada fondasi keimanan
yang meyakini bahwa kebenaran bukan hanya diukur oleh nalar manusia, tetapi
oleh petunjuk Ilahi. Dalam Islam, ketaatan tidak berarti kebodohan, dan berpikir
kritis tidak berarti pemberontakan terhadap wahyu. Seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazālī,
akal adalah lentera, tetapi wahyu adalah cahaya yang menerangi jalannya.2
7.2.
Menolak Tanpa Kebencian:
Prinsip ‘Adl dan Rahmah
Sikap seorang Muslim
dalam menghadapi ideologi yang menyimpang bukanlah kebencian membabi buta,
tetapi penolakan yang berbasis pada prinsip ‘adl (keadilan) dan raḥmah
(kasih sayang). Islam memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar
dengan hikmah, bukan dengan kekerasan emosional. Penolakan terhadap gerakan
LGBTQ+ atau ideologi sekuler bukanlah bentuk permusuhan terhadap manusia,
melainkan penegasan terhadap batas moral yang digariskan oleh syariat untuk
menjaga kehormatan manusia itu sendiri.3
Seorang Muslim yang
taat dan berpikir kritis akan memahami bahwa mengkritik ideologi bukan berarti
menyerang individu, dan membela nilai Islam bukan berarti menolak kemanusiaan
orang lain. Di sinilah pentingnya adab dalam berdakwah dan hikmah
dalam bermuamalah, sebagaimana tercermin dalam perintah Allah
untuk berdakwah dengan cara yang “lembut dan penuh kebijaksanaan” (QS.
An-Nahl [16] ayat 125).4
7.3.
Literasi dan Perlawanan
Kognitif
Era digital ditandai
oleh banjir informasi dan disinformasi. Dalam konteks ini, literasi media dan
pengetahuan ideologis menjadi bentuk jihad intelektual yang tidak kalah penting
dari perjuangan fisik. Seorang Muslim harus memahami wacana-wacana kontemporer
dengan kerangka Islam, sehingga tidak terjebak dalam jargon-jargon "hak
asasi", "progresif", atau "toleransi"
yang telah direkayasa maknanya untuk menekan keyakinan umat Islam.
Sebagaimana
ditekankan oleh Taha Abdurrahman, modernitas
tidak netral secara moral; ia membawa serta nilai-nilai yang seringkali
bertentangan dengan prinsip wahyu. Maka umat Islam harus memiliki al-fikr
al-muqawim (pemikiran yang resisten), yaitu kemampuan untuk
memfilter, mengkritisi, dan meneguhkan nilai Islam dalam menghadapi invasi
epistemik modernitas Barat.5
7.4.
Keteguhan Moral di Tengah
Arus Relativisme
Ketaatan dalam Islam
bukan hanya pada level ritual, tetapi juga dalam keteguhan mempertahankan
prinsip moral di tengah tekanan budaya. Ketika dunia mendorong umat manusia untuk
menerima relativisme etika, seorang Muslim yang taat akan tetap berpegang pada
konsep haqq wa
bāṭil (benar dan salah), bukan preference pribadi. Dalam hal ini,
menolak normalisasi LGBTQ+ atau ideologi sekular bukanlah fanatisme, melainkan
bentuk komitmen terhadap akhlak dan kesucian syariat.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Tariq Ramadan, integrasi umat
Islam ke dalam masyarakat modern tidak harus mengorbankan nilai-nilai Islam,
tetapi justru menjadi sarana untuk menunjukkan bahwa Islam mampu hidup
berdampingan dengan peradaban, tanpa harus menyerah kepada nilai-nilai yang
bertentangan dengan wahyu.6
Dengan demikian,
sikap seorang Muslim rasional dan taat dalam menghadapi Islamofobia, kekerasan
terhadap umat Islam, dan penetrasi ideologi menyimpang harus didasarkan pada
kecerdasan analitis, keteguhan aqidah, serta keberanian moral. Islam tidak
mengajarkan sikap tunduk pada opini mayoritas atau tren ideologis global,
melainkan menuntun umatnya untuk iqamat al-haqq—menegakkan kebenaran
dengan penuh kesadaran, hikmah, dan keimanan.
Footnotes
[1]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: IIIT, 2008), 65–88.
[2]
Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, trans. R.J. McCarthy, Deliverance
from Error (Louisville: Fons Vitae, 2000), 25–30.
[3]
Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1997), 124–130.
[4]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 16:125.
[5]
Taha Abdurrahman, The Question of Ethics: A Contribution to the
Renewal of Ethical Thought in Islam (Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi
al-‘Arabi, 2000), 89–105.
[6]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 141–150.
8.
Strategi Perlawanan Konstruktif
Menghadapi gempuran
Islamofobia global, kekerasan sistematis terhadap umat Islam, dan penetrasi
nilai-nilai liberal-sekuler seperti LGBTQ+ yang bertentangan dengan ajaran
Islam, umat Islam tidak cukup hanya bereaksi secara emosional. Diperlukan strategi
perlawanan yang konstruktif, cerdas, dan berakar pada
prinsip-prinsip Islam. Strategi ini harus bersifat multidimensi—menyasar pendidikan,
media, kebijakan publik, serta penguatan narasi teologis—untuk menjawab
tantangan zaman dengan kebijaksanaan dan ketegasan.
8.1.
Pendidikan Islam yang
Mencerahkan dan Membebaskan
Pendidikan merupakan
garda terdepan dalam membentuk kesadaran kritis dan keimanan yang kokoh. Sistem
pendidikan Islam perlu direvitalisasi agar tidak hanya menekankan aspek
normatif (hafalan dan dogma), tetapi juga dimensi pemikiran kritis (tafaqquh
) dan pembebasan dari
pengaruh ideologi luar. Konsep ta’dīb seperti yang dikemukakan
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas menjadi penting—yakni pendidikan sebagai
proses penanaman adab dan kebijaksanaan berdasarkan wahyu dan akal yang
tertuntun.1
Pendidikan yang
mencerahkan akan membekali generasi Muslim untuk memahami identitasnya secara
sadar, menolak narasi hegemonik tanpa kebencian, serta mampu membela Islam
secara ilmiah dan etis. Hal ini sangat penting dalam menghadapi infiltrasi
ideologi LGBTQ+ dalam kurikulum global yang didorong oleh lembaga-lembaga
internasional.2
8.2.
Media Alternatif dan Narasi
Islam yang Berdaya
Media merupakan
medan kontestasi utama dalam perang wacana modern. Islamofobia dan normalisasi
ideologi sekuler disebarkan secara massif melalui film, berita, dan platform
digital. Oleh karena itu, umat Islam harus membangun media
alternatif yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi proaktif
dalam membentuk opini publik global.
Proyek seperti AJ+,
Bayyinah
TV, atau media Islam lokal yang kredibel dapat menjadi instrumen
penting dalam melawan disinformasi dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang
benar. Menurut Muhammad Iqbal, membentuk narasi yang kokoh adalah bentuk jihad
intelektual untuk membela kebenaran di tengah kebisingan informasi dunia modern.3
8.3.
Advokasi Hukum dan
Kebijakan Internasional
Perlawanan terhadap
kekerasan struktural dan genosida terhadap umat Islam juga membutuhkan
pendekatan advokasi hukum yang profesional
dan berbasis bukti. Lembaga-lembaga Muslim harus aktif di forum internasional
seperti PBB, Mahkamah Pidana Internasional, dan organisasi HAM global untuk
menuntut keadilan atas pelanggaran terhadap umat Islam, sebagaimana dilakukan
dalam kasus Rohingya dan Palestina.4
Selain itu,
organisasi Muslim lokal juga perlu memperjuangkan hak-haknya melalui jalur
legal dalam menghadapi diskriminasi berbasis agama, serta menolak kebijakan
yang memaksa umat Islam untuk tunduk pada nilai yang bertentangan dengan
syariat.
8.4.
Penguatan Komunitas dan
Ketahanan Sosial Umat
Perlawanan ideologis
tidak akan efektif tanpa basis sosial yang kuat. Oleh karena itu, penting untuk
memperkuat komunitas Muslim di tingkat lokal
melalui pembinaan keluarga, masjid, dan lembaga sosial. Keluarga Muslim harus menjadi
benteng pertama dalam mentransmisikan nilai-nilai Islam yang murni kepada
generasi muda.
Ketahanan komunitas
ini juga mencakup solidaritas sesama Muslim lintas negara dan mazhab,
sebagaimana diajarkan dalam prinsip ummatan wāḥidah (umat yang satu).
Solidaritas ini penting untuk membentuk jaringan perlawanan global yang saling
mendukung dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan perlindungan HAM.5
8.5.
Dakwah dengan Hikmah dan
Kelembutan
Dalam merespons
ideologi menyimpang seperti LGBTQ+, Islam mengajarkan dakwah yang penuh hikmah,
bukan kekerasan atau penghinaan. Menurut Al-Qur’an: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik...” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).6
Dakwah semacam ini bukan hanya lebih efektif, tetapi juga mencerminkan akhlak
Nabi Muhammad Saw yang menjadi teladan utama dalam menyampaikan kebenaran tanpa
menimbulkan kebencian yang kontraproduktif.
Dengan strategi yang
bersifat konstruktif dan berlandaskan nilai-nilai Islam, umat Muslim dapat
melawan proyek dekonstruksi global secara efektif—tidak hanya sebagai pembela
diri, tetapi juga sebagai pemimpin peradaban yang membawa rahmat dan keadilan
bagi seluruh alam.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1999), 10–18.
[2]
Eric Anderson and Rory Magrath, LGBT Inclusion in Schools
(London: Routledge, 2019), 92–103.
[3]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Stanford: Stanford University Press, 2013), 125–133.
[4]
Fortify Rights, “They Gave Them Long Swords,” July 2018, https://www.fortifyrights.org/downloads/Fortify_Rights_Long_Swords_July_2018.pdf.
[5]
Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the
Life of Muhammad (Oxford: Oxford University Press, 2007), 178–183.
[6]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 16:125.
9.
Penutup
Fenomena Islamofobia, genosida terhadap umat Islam,
dan normalisasi agenda ideologis seperti LGBTQ+ bukanlah fenomena yang terpisah
dan terisolasi, melainkan merupakan bagian dari satu arus besar yang berupaya
mendekonstruksi sistem nilai Islam secara menyeluruh—baik pada level teologis,
moral, sosial, maupun politis. Ketiganya saling menguatkan dalam satu proyek
dominasi global yang mengandalkan kekuatan narasi, kekuasaan struktural, dan
hegemoni budaya untuk membentuk tatanan dunia yang mengabaikan eksistensi Islam
sebagai agama dan peradaban.
Umat Islam menghadapi tantangan berat yang tidak
hanya mengancam fisik, seperti genosida di Palestina, Myanmar, dan Xinjiang,
tetapi juga serangan ideologis yang secara halus namun sistematis membongkar
nilai-nilai keluarga, moralitas, dan otoritas wahyu melalui bahasa modern
seperti “hak asasi”, “toleransi”, dan “kebebasan identitas
seksual”. Namun, Islam sebagai agama yang paripurna (dīn kāmil) tidak mengajarkan umatnya untuk tunduk kepada arus global yang
menyesatkan, melainkan mendorong resistensi aktif yang berlandaskan ilmu,
hikmah, dan keimanan yang kokoh.1
Kunci utama dari perlawanan ini terletak pada
keberanian untuk berpikir kritis namun tetap taat kepada wahyu. Seorang Muslim
ideal adalah mereka yang menggabungkan ketajaman intelektual dengan ketundukan
spiritual, yang mampu membongkar kebohongan sistemik tanpa terjebak pada narasi
kebencian, serta mampu mempertahankan nilai-nilai Islam tanpa kehilangan adab
dan rahmah dalam berdakwah. Dalam kerangka ini, umat Islam tidak hanya menjadi
objek dari persekusi global, tetapi subjek aktif dalam membentuk ulang
peradaban dengan panduan moral yang unggul.
Dalam konteks inilah pentingnya membangun kekuatan
kultural, intelektual, dan spiritual umat Islam secara kolektif. Melalui
pendidikan Islam yang mencerahkan, media alternatif yang kredibel, advokasi
hukum yang sistematis, serta pembinaan keluarga dan komunitas berbasis tauhid,
umat Islam dapat menegakkan kembali martabatnya di tengah tekanan zaman.
Seperti yang dikatakan oleh Malik Bennabi, kebangkitan Islam bukan semata-mata
pada aspek politik, tetapi pada revitalisasi ide dan nilai sebagai basis dari
gerakan perubahan sejati.2
Penolakan terhadap Islamofobia, kekerasan terhadap
umat Islam, dan gerakan ideologis yang bertentangan dengan ajaran Islam
bukanlah ekspresi intoleransi atau kebencian, tetapi merupakan bentuk tanggung
jawab moral dan religius terhadap kebenaran yang diwahyukan oleh Allah Swt.
Dalam dunia yang semakin menormalisasi penyimpangan dan kebatilan, keberanian
untuk menegakkan yang haq adalah panggilan utama umat Islam hari ini.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، الصَّابِرُ
فِيهِ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
"Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana orang yang berpegang
teguh pada agamanya seperti menggenggam bara api." (HR. Tirmidzi)3
Ungkapan ini bukan sekadar nubuwah, tetapi juga
motivasi abadi bagi umat Islam untuk tetap teguh dalam iman, tangguh dalam
berpikir, dan bijaksana dalam bertindak di tengah dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 5:3.
[2]
Malik Bennabi, The Question of Ideas in the
Muslim World (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), 40–53.
[3]
Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi, Kitāb al-Fitan, Hadis no. 2260.
Daftar Pustaka
Abdel Haleem, M. A. S.
(Trans.). (2004). The Qur’an (Oxford World’s Classics). Oxford
University Press.
Abdurrahman, T. (2000). The
question of ethics: A contribution to the renewal of ethical thought in Islam
(in Arabic). Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi.
Al-Attas, S. M. N. (1999). The
concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of
education. International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC).
Al-Ghazālī. (2000). Deliverance
from error (R. J. McCarthy, Trans.). Fons Vitae. (Original work: Al-Munqidh
min al-Ḍalāl)
Amnesty International.
(2021, June). "Like we were enemies in a war": China’s mass
internment, torture and persecution of Muslims in Xinjiang. https://www.amnesty.org/en/documents/asa17/4137/2021/en/
Anderson, E., &
Magrath, R. (2019). LGBT inclusion in schools. Routledge.
Appadurai, A. (1996). Modernity
at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota
Press.
Auda, J. (2008). Maqasid
al-shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. International
Institute of Islamic Thought.
Bennabi, M. (2003). The
question of ideas in the Muslim world (Trans. from French). Islamic Book
Trust.
Dabashi, H. (2011). Brown
skin, white masks. Pluto Press.
Esposito, J. L., & Kalin,
I. (Eds.). (2011). Islamophobia: The challenge of pluralism in the 21st
century. Oxford University Press.
Fortify Rights. (2018,
July). They gave them long swords: Preparations for genocide and crimes
against humanity against Rohingya Muslims in Rakhine State, Myanmar. https://www.fortifyrights.org/downloads/Fortify_Rights_Long_Swords_July_2018.pdf
Human Rights Watch. (2018,
August). "Bangladesh is not my country": The plight of Rohingya
refugees from Myanmar. https://www.hrw.org/report/2018/08/05/bangladesh-not-my-country
Human Rights Watch. (2021,
April). A threshold crossed: Israeli authorities and the crimes of
apartheid and persecution. https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed
Iqbal, M. (2013). The
reconstruction of religious thought in Islam (Reprint ed.). Stanford
University Press.
Jaffrelot, C. (2021). Modi’s
India: Hindu nationalism and the rise of ethnic democracy. Princeton
University Press.
Kamali, M. H. (1997). Freedom
of expression in Islam. Islamic Texts Society.
Kamali, M. H. (2002). The
dignity of man: An Islamic perspective. Islamic Texts Society.
Kundnani, A. (2014). The
Muslims are coming! Islamophobia, extremism, and the domestic war on terror.
Verso.
Lean, N. (2012). The
Islamophobia industry: How the right manufactures fear of Muslims. Pluto
Press.
Massad, J. (2007). Desiring
Arabs. University of Chicago Press.
Mbembe, A. (2019). Necropolitics
(S. Corcoran, Trans.). Duke University Press.
Runnymede Trust. (2017). Islamophobia:
Still a challenge for us all. Runnymede Trust.
Ramadan, T. (2004). Western
Muslims and the future of Islam. Oxford University Press.
Ramadan, T. (2007). In
the footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad. Oxford
University Press.
Saeed, A., & Saeed, H.
(2004). Freedom of religion, apostasy and Islam. Ashgate.
Said, E. W. (1978). Orientalism.
Pantheon Books.
Shaheen, J. (2001). Reel
bad Arabs: How Hollywood vilifies a people. Interlink Publishing Group.
The International Criminal
Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). (2016, March 24). Prosecutor v.
Radovan Karadžić, Case No. IT-95-5/18-T, Judgment.
United Nations Human Rights
Council. (2018). Report of the Independent International Fact-Finding
Mission on Myanmar. https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/hrc/myanmar-ffm/index
Zenz, A. (2020).
Sterilizations, IUDs, and mandatory birth control: The CCP’s campaign to
suppress Uyghur birthrates. China Brief, 20(12), 1–8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar