Rabu, 04 Juni 2025

Membela Kebenaran dan Moralitas: Kajian Kritis terhadap Islamofobia, Genosida Umat Islam, dan Agenda Ideologis yang Bertentangan dengan Ajaran Islam

Membela Kebenaran dan Moralitas

Kajian Kritis terhadap Islamofobia, Genosida Umat Islam, dan Agenda Ideologis yang Bertentangan dengan Ajaran Islam


Maklumat Pribadi

Dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, saya menyatakan bahwa saya adalah seorang yang menjunjung tinggi rasionalitas, berpikir kritis, dan terbuka terhadap dialog serta perkembangan ilmu pengetahuan. Namun demikian, saya juga adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam yang murni, yang mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan kemuliaan akhlak.

Sejalan dengan keyakinan tersebut, saya dengan tegas menolak segala bentuk gerakan atau wacana yang mendiskreditkan ajaran Islam dan umatnya, baik secara langsung maupun terselubung. Termasuk di dalamnya adalah tindakan Islamofobia, kekerasan sistematis atau genosida terhadap umat Islam, serta agenda-agenda ideologis tertentu seperti gerakan LGBTQ+ yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan ajaran Islam yang saya yakini.

Penolakan saya bukan dilandasi oleh kebencian atau intoleransi, melainkan oleh komitmen terhadap kebenaran, keutuhan moral, dan perlindungan terhadap nilai-nilai yang saya anut sebagai seorang Muslim. Saya meyakini bahwa setiap individu berhak untuk hidup dengan aman dan bermartabat, namun kebebasan tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk menormalisasi atau memaksakan nilai-nilai yang bertentangan dengan fitrah dan keyakinan mayoritas umat beragama, khususnya umat Islam.

Saya menyeru kepada semua pihak untuk membangun masyarakat yang adil, beradab, dan menghormati nilai-nilai keimanan serta hak umat beragama untuk mempertahankan keyakinannya tanpa tekanan ideologis atau budaya dari luar.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dunia modern, yang sering mengklaim menjunjung tinggi hak asasi manusia, pluralisme, dan kebebasan berekspresi, justru menyimpan ironi dalam praktiknya terhadap umat Islam. Dalam berbagai konteks global, umat Islam menghadapi gelombang Islamofobia yang meningkat, kekerasan sistematis bahkan hingga genosida, serta tekanan ideologis berupa normalisasi nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, seperti dalam gerakan LGBTQ+. Fenomena ini bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari kecenderungan global yang terstruktur dan sering kali terlegitimasi melalui kebijakan negara, sistem pendidikan, dan industri media.

Islamofobia, sebagai bentuk kebencian terhadap Islam dan pemeluknya, telah berkembang dari sekadar prasangka personal menjadi narasi politik dan kebijakan publik. Di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, umat Islam kerap menjadi sasaran generalisasi, dicurigai sebagai ancaman keamanan, dan distereotipkan melalui media arus utama sebagai fanatik atau ekstremis.1 Islamofobia ini memicu diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari pekerjaan hingga hak kebebasan beragama, dan bahkan mendorong kekerasan fisik yang sistematis.2

Lebih jauh lagi, umat Islam di berbagai wilayah dunia telah menjadi korban kekerasan negara yang terstruktur, seperti yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, Muslim Uighur di Tiongkok, dan rakyat Palestina yang mengalami penindasan kolonialisme modern oleh rezim Zionis Israel. Genosida dan penindasan terhadap Muslim tidak hanya merupakan tragedi kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan kegagalan institusi global dalam menjamin keadilan yang setara bagi semua umat manusia.3

Dalam waktu yang bersamaan, dunia Muslim juga dihadapkan pada tekanan ideologis dari nilai-nilai modern Barat yang mencoba menormalisasi praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip moral Islam. Salah satu isu sentral adalah dorongan terhadap penerimaan sosial gerakan LGBTQ+ secara universal, termasuk di komunitas Muslim. Padahal, ajaran Islam secara eksplisit melarang perilaku homoseksual, baik dalam teks Al-Qur’an maupun Hadis, dan menegaskan pentingnya menjaga fitrah insani dalam relasi seksual dan keluarga.4 Upaya untuk memaksakan ideologi ini ke dalam ranah keimanan umat Islam bukan hanya mengabaikan otonomi moral agama, tetapi juga menunjukkan gejala kolonialisme budaya dalam bentuk baru.

Artikel ini hadir sebagai bentuk pembelaan terhadap nilai-nilai kebenaran dan moralitas Islam, sekaligus sebagai respons kritis atas tiga fenomena besar yang saling berkaitan: Islamofobia, genosida terhadap umat Islam, dan agenda ideologis liberal-sekuler yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kajian ini tidak bertujuan menebar kebencian, melainkan sebagai bentuk klarifikasi rasional dan penegasan moral bagi setiap Muslim yang berpikir kritis dan beriman teguh. Menolak ketiga fenomena tersebut bukanlah sikap ekstrem, melainkan ekspresi dari tanggung jawab intelektual dan religius dalam menjaga kemuliaan Islam, martabat umat, dan warisan nilai yang luhur.


Footnotes

[1]                Nathan Lean, The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims (London: Pluto Press, 2012), 10–17.

[2]                John L. Esposito and Ibrahim Kalin, eds., Islamophobia: The Challenge of Pluralism in the 21st Century (Oxford: Oxford University Press, 2011), 45–56.

[3]                Massoud Hayoun, “Genocide of the Rohingya,” The Nation, October 30, 2017, https://www.thenation.com/article/archive/genocide-of-the-rohingya/.

[4]                Abdullah Saeed and Hassan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam (Aldershot: Ashgate, 2004), 117–120.


2.           Rasionalitas dan Keimanan: Sebuah Keseimbangan Pandangan

Dalam wacana filsafat dan teologi Islam klasik, rasionalitas (al-‘aql) dan keimanan (al-īmān) bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Islam tidak menolak akal, justru menjadikannya sebagai alat utama untuk mengenal kebenaran, merenungi ciptaan Allah, dan memahami wahyu. Al-Qur’an sendiri secara eksplisit memuji orang-orang yang menggunakan akalnya: “Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad [47] ayat 24).1 Dalam konteks ini, seorang Muslim dapat bersikap rasional tanpa harus menanggalkan keyakinannya terhadap ajaran Islam.

Pemikir Muslim klasik seperti Al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī mengembangkan sintesis antara rasionalitas dan keimanan. Al-Ghazālī dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl menjelaskan bahwa pencarian kebenaran sejati harus melampaui skeptisisme dan menemukan puncaknya dalam cahaya ilahiah yang hanya bisa diperoleh melalui iman yang mendalam dan akal yang jernih.2 Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam menghargai akal, tetapi mengarahkannya agar tunduk pada wahyu, bukan berdiri di atasnya secara otonom seperti dalam paradigma sekular-liberal modern.

Rasionalitas dalam Islam bukanlah rasionalisme ekstrem yang menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran, melainkan bersifat ta’līlī (analitis), yang berfungsi meneguhkan keimanan, bukan menggantikannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Iqbal, modernisme Barat telah menjebak manusia dalam "absolutisme rasional" yang justru mereduksi realitas spiritual menjadi sekadar dimensi material dan empiris belaka.3 Islam, sebagai sistem nilai yang utuh, menyeimbangkan antara kebutuhan akal untuk memahami dan kebutuhan hati untuk tunduk.

Dalam menghadapi wacana-wacana kontemporer seperti Islamofobia, ideologi ekstrem, dan kampanye nilai-nilai liberal, posisi seorang Muslim yang berpikir rasional dan beriman adalah sangat penting. Rasionalitas digunakan untuk mengenali distorsi fakta, manipulasi media, dan logika ideologis yang digunakan untuk mendiskreditkan Islam; sementara keimanan menjadi fondasi moral untuk menolak penyimpangan dan tetap kokoh pada prinsip kebenaran yang diturunkan dari Allah Swt.

Dengan demikian, penolakan terhadap gerakan seperti normalisasi LGBTQ+ atau sikap kritis terhadap sekularisme barat bukanlah ekspresi fanatisme buta, melainkan posisi yang dapat dibenarkan secara rasional dan bermuara pada kesetiaan terhadap moral ilahiah. Dalam Islam, kebenaran bukan hanya yang logis menurut akal, tetapi yang haqq, yakni benar secara rasional, moral, dan spiritual. Oleh karena itu, mempertahankan pandangan bahwa akal dan iman harus berjalan beriringan adalah langkah utama dalam membentengi umat Islam dari penetrasi ideologi asing yang menyesatkan dan merusak.4


Footnotes

[1]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 47:24.

[2]                Al-Ghazālī, Deliverance from Error (al-Munqidh min al-Ḍalāl), trans. R.J. McCarthy (Louisville: Fons Vitae, 2000), 25–30.

[3]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2013), 1–12.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), 56–68.


3.           Fenomena Islamofobia Global

Islamofobia merupakan bentuk ketakutan, kebencian, atau permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya yang secara sistematis tumbuh menjadi bagian dari wacana sosial, politik, dan budaya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini tidak lagi sebatas ekspresi prasangka personal, melainkan telah mengakar dalam kebijakan negara, pemberitaan media, dan sistem pendidikan, serta menjadi instrumen hegemonik dalam membentuk persepsi negatif terhadap Islam sebagai “agama lain” yang dianggap ancaman.

Secara historis, akar Islamofobia dapat ditelusuri hingga narasi kolonial Barat yang memosisikan Islam sebagai antitesis dari peradaban Eropa Kristen. Edward Said dalam karya klasiknya Orientalism menyatakan bahwa orientalisme barat telah menciptakan konstruksi tentang Islam sebagai agama yang irasional, berbahaya, dan anti-kemajuan, demi mempertahankan dominasi imperialisme.1 Representasi tersebut berlanjut dan bahkan menguat dalam era modern, terutama pasca-peristiwa 11 September 2001 yang menjadi titik balik bagi pembentukan Islamofobia global sebagai alat legitimasi kebijakan luar negeri dan perang melawan terorisme.

Laporan dari Runnymede Trust tahun 1997 dan 2017 menunjukkan bahwa Islamofobia memiliki karakteristik khas, seperti penyamaan seluruh umat Islam dengan ekstremisme, penolakan terhadap Islam sebagai agama rasional dan etis, serta asumsi bahwa Islam tidak kompatibel dengan nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM.2 Dalam prakteknya, hal ini berujung pada tindakan diskriminatif terhadap umat Islam, mulai dari pembatasan hak berbusana (seperti pelarangan jilbab dan niqab di Prancis), pengawasan intensif terhadap komunitas Muslim, hingga kekerasan fisik dan pembakaran masjid di negara-negara Barat.

Media arus utama berperan signifikan dalam menyebarkan Islamofobia. Kajian Jack Shaheen terhadap film-film Hollywood menunjukkan bahwa representasi Muslim hampir selalu diasosiasikan dengan kekerasan, fanatisme, dan primitivisme.3 Narasi tersebut menciptakan citra mental kolektif yang menstigmatisasi Islam sebagai agama kekerasan dan umatnya sebagai ancaman sosial. Hal ini diperparah dengan algoritma media sosial yang memperkuat echo chamber kebencian melalui disinformasi dan ujaran kebencian terhadap umat Islam.

Di Asia, bentuk Islamofobia juga berkembang dalam dimensi etno-nasionalistik. Di India, misalnya, kebijakan dan retorika Partai Bharatiya Janata (BJP) di bawah kepemimpinan Narendra Modi secara aktif mendorong marginalisasi umat Islam, termasuk pembatasan hak beragama dan kekerasan massa yang disokong oleh ideologi Hindutva.4 Sementara di Myanmar, umat Muslim Rohingya digambarkan sebagai "pendatang ilegal" dan mengalami pengusiran massal serta pembantaian oleh militer, sebuah tindakan yang secara luas telah diklasifikasikan sebagai bentuk genosida oleh berbagai lembaga HAM internasional.5

Islamofobia tidak hanya melukai martabat umat Islam, tetapi juga mengancam prinsip pluralisme dan keadilan global. Ia merupakan bentuk baru dari rasisme struktural yang disamarkan melalui narasi sekularisme, keamanan nasional, dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, Islamofobia harus dipahami bukan semata-mata sebagai kebencian terhadap Islam, tetapi sebagai bagian dari sistem kekuasaan global yang ingin mendefinisikan agama, identitas, dan nilai-nilai moral sesuai dengan kepentingan dominasi Barat.

Menghadapi Islamofobia memerlukan respons yang bersifat multi-level: dari advokasi kebijakan yang adil, pendidikan publik yang berbasis pemahaman, hingga upaya literasi media dan pemberdayaan narasi alternatif dari umat Islam sendiri. Umat Islam perlu merumuskan wacana kritis yang tidak hanya membela diri dari stereotip, tetapi juga secara aktif mengartikulasikan Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam.


Footnotes

[1]                Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 59–72.

[2]                Runnymede Trust, Islamophobia: Still a Challenge for Us All (London: Runnymede Trust, 2017), 5–8.

[3]                Jack Shaheen, Reel Bad Arabs: How Hollywood Vilifies a People (Northampton: Interlink Publishing Group, 2001), 2–10.

[4]                Christophe Jaffrelot, Modi’s India: Hindu Nationalism and the Rise of Ethnic Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2021), 98–113.

[5]              Fortify Rights, “They Gave Them Long Swords: Preparations for Genocide and Crimes Against Humanity Against Rohingya Muslims in Rakhine State, Myanmar,” July 2018, https://www.fortifyrights.org/downloads/Fortify_Rights_Long_Swords_July_2018.pdf.


4.           Kekerasan Sistematis dan Genosida terhadap Umat Islam

Kekerasan sistematis dan genosida terhadap umat Islam merupakan bentuk paling brutal dari Islamofobia yang telah menjelma menjadi kekejaman terstruktur, didorong oleh ideologi kebencian, kepentingan politik, serta upaya dehumanisasi umat Islam secara kolektif. Tindak kekerasan semacam ini tidak hanya terjadi dalam bentuk pembunuhan massal, tetapi juga mencakup penindasan politik, pembersihan etnis, pemusnahan budaya, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilegalkan melalui instrumen negara atau diamini oleh komunitas internasional melalui sikap diam.

4.1.       Kasus Muslim Rohingya di Myanmar

Salah satu tragedi kemanusiaan paling mencolok abad ini adalah genosida terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Sejak 2012, kelompok ini menjadi korban kekerasan sistematis yang mencakup pembakaran desa, pemerkosaan massal, dan pembunuhan, terutama oleh militer Myanmar (Tatmadaw). Laporan dari United Nations Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar menyimpulkan bahwa terdapat “niat genosidal” yang jelas dalam serangan terhadap Rohingya, sebuah indikator yang memenuhi kriteria genosida menurut Konvensi Genosida 1948.1

Lebih dari 700.000 orang Rohingya terpaksa mengungsi ke Bangladesh dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, menjadikan mereka komunitas pengungsi Muslim terbesar yang hidup dalam ketidakpastian hukum dan kemanusiaan.2 Kejahatan ini, yang terjadi dengan pengetahuan dunia internasional, memperlihatkan bagaimana umat Islam bisa menjadi korban “genosida yang disetujui diam-diam” ketika kepentingan geopolitik lebih diutamakan daripada prinsip kemanusiaan universal.

4.2.       Penindasan terhadap Muslim Uighur di Tiongkok

Di wilayah Xinjiang, Republik Rakyat Tiongkok, lebih dari satu juta Muslim Uighur telah ditahan dalam apa yang disebut pemerintah sebagai “kamp re-edukasi”, namun secara luas dianggap sebagai kamp konsentrasi modern. Menurut dokumen yang dibocorkan dan laporan dari Human Rights Watch serta Amnesty International, para tahanan mengalami penyiksaan, penghilangan paksa, sterilisasi paksa, indoktrinasi ideologi Partai Komunis, dan pemaksaan untuk meninggalkan identitas Islam mereka.3

Pemerintah Tiongkok membenarkan tindakan ini dengan dalih “melawan ekstremisme”, padahal yang terjadi adalah penghancuran sistematis terhadap budaya, bahasa, dan agama Islam Uighur. Tindakan ini telah diklasifikasikan oleh sejumlah badan HAM dan parlemen Barat sebagai bentuk genosida budaya dan genosida demografis yang mengarah pada kehancuran suatu kelompok berdasarkan identitas keagamaannya.4

4.3.       Penjajahan dan Pembersihan Etnis di Palestina

Kasus rakyat Palestina, terutama di Gaza dan Tepi Barat, adalah contoh lain dari kekerasan sistematis terhadap umat Islam yang berlangsung lama dan terstruktur. Sejak berdirinya negara Israel pada 1948, jutaan warga Palestina telah terusir dari tanah mereka, mengalami blokade ekonomi, pembatasan mobilitas, dan serangan militer yang menargetkan infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid.

Laporan Human Rights Watch tahun 2021 menyatakan bahwa praktik Israel terhadap rakyat Palestina memenuhi kriteria apartheid dan penganiayaan, dua kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.5 Gaza, yang dijuluki “penjara terbuka terbesar di dunia”, menjadi simbol penderitaan umat Islam yang menghadapi kekerasan negara kolonial modern yang dilegitimasi oleh kekuatan global.

4.4.       Genosida terhadap Muslim Bosnia (1992–1995)

Dalam konteks Eropa, pembantaian lebih dari 8.000 Muslim Bosnia di Srebrenica oleh pasukan Serbia pada Juli 1995 merupakan salah satu genosida paling keji sejak Perang Dunia II. Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) menyatakan bahwa pembantaian ini adalah tindakan genosida yang didasarkan pada kebencian etno-agama terhadap komunitas Muslim Bosnia.6

Peristiwa ini menjadi bukti bahwa genosida terhadap Muslim dapat terjadi bahkan di jantung Eropa yang mengklaim menjunjung tinggi nilai-nilai multikulturalisme dan HAM. Kegagalan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mencegah pembantaian juga menunjukkan lemahnya sistem internasional dalam melindungi umat Islam dari kekejaman yang dilembagakan.


Fenomena-fenomena tersebut tidak hanya menunjukkan kebencian terhadap umat Islam, tetapi juga menegaskan adanya skenario besar di mana kekerasan terhadap Muslim dipandang “layak dibiarkan” ketika bertentangan dengan narasi kekuasaan global. Kekerasan sistematis terhadap Muslim bukan sekadar peristiwa insidental, melainkan bagian dari disposisi geopolitik dan ideologis yang melihat Islam sebagai entitas yang harus dikendalikan atau dihapuskan.

Maka dari itu, penting bagi umat Islam dan masyarakat dunia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan untuk mengidentifikasi, mengkritik, dan menolak normalisasi terhadap segala bentuk kekerasan dan genosida terhadap umat Islam. Ini bukan hanya soal solidaritas keagamaan, tetapi juga soal keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan universal.


Footnotes

[1]                United Nations Human Rights Council, Report of the Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar (Geneva: UNHRC, 2018), 15–20.

[2]                Human Rights Watch, "Bangladesh Is Not My Country": The Plight of Rohingya Refugees from Myanmar, August 2018, https://www.hrw.org/report/2018/08/05/bangladesh-not-my-country.

[3]                Amnesty International, "Like We Were Enemies in a War": China’s Mass Internment, Torture and Persecution of Muslims in Xinjiang, June 2021, https://www.amnesty.org/en/documents/asa17/4137/2021/en/.

[4]                Adrian Zenz, “Sterilizations, IUDs, and Mandatory Birth Control: The CCP’s Campaign to Suppress Uyghur Birthrates,” China Brief 20, no. 12 (2020): 1–8.

[5]                Human Rights Watch, A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution, April 2021, https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed.

[6]                International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), Prosecutor v. Radovan Karadžić, Case No. IT-95-5/18-T, Judgment, March 24, 2016.


5.           Gerakan LGBTQ+ dalam Perspektif Islam

Perdebatan seputar gerakan LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, dan lainnya) telah menjadi isu global yang sarat muatan ideologis dan politis. Dalam konteks dunia Islam, isu ini tidak dapat dipisahkan dari pandangan agama yang tegas terhadap orientasi seksual dan identitas gender. Islam secara fundamental memandang praktik homoseksualitas sebagai perilaku yang menyimpang dari fitrah manusia dan bertentangan dengan hukum syariat, bukan sekadar ekspresi identitas yang netral secara moral.

5.1.       Dalil-Dalil Syariat tentang Homoseksualitas

Al-Qur'an secara eksplisit mengutuk praktik homoseksual melalui kisah kaum Nabi Luth. Allah menyebut perilaku tersebut sebagai “fahisyah” (perbuatan keji) yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelumnya: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang diciptakan untukmu oleh Tuhanmu? Bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Asy-Syu’ara [26] ayat 165–166).1 Hadis Nabi Muhammad Saw juga memperkuat larangan ini dengan menyebut bahwa siapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukumannya berat dan harus dicegah oleh masyarakat Muslim.2

Mayoritas ulama dari keempat mazhab fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa homoseksualitas termasuk dosa besar dan mengharuskan sanksi hukum tertentu, meskipun ada perbedaan dalam bentuk dan penerapannya. Pandangan ini mencerminkan posisi ijmak (konsensus) ulama sepanjang sejarah Islam.3

5.2.       Pandangan Islam tentang Fitrah dan Relasi Seksual

Islam memandang relasi seksual sebagai bagian integral dari kehidupan yang harus berlangsung dalam kerangka pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Konsep fitrah (kodrat asli manusia) menjadi dasar teologis bahwa Allah menciptakan manusia dalam pasangan heteroseksual sebagai bentuk keseimbangan dan kelangsungan kehidupan (QS. Az-Zariyat [51] ayat 49).4 Oleh karena itu, identitas seksual dalam Islam tidak dapat direduksi menjadi pilihan subjektif semata, melainkan tunduk pada batasan yang ditentukan oleh wahyu.

Dalam perspektif ini, gerakan LGBTQ+ dianggap bukan sekadar ekspresi keberagaman, tetapi juga sebagai penyimpangan dari struktur moral dan tatanan sosial yang ditetapkan dalam Islam. Konsep identitas fluid dan relativisme moral yang mendasari ideologi LGBTQ+ dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam tentang kebenaran yang tetap dan nilai yang bersumber dari Tuhan.

5.3.       Kritik Islam terhadap Normalisasi LGBTQ+

Gerakan LGBTQ+ di dunia modern sering dikaitkan dengan narasi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan. Namun, dalam kacamata Islam, tidak semua ekspresi pribadi dapat diklaim sebagai hak yang sah jika bertentangan dengan nilai moral ilahiah. Hak asasi manusia dalam Islam bukan hanya berbasis pada kehendak individu, tetapi juga pada prinsip kebaikan kolektif dan keadilan yang diatur oleh wahyu.5

Upaya untuk memaksakan penerimaan LGBTQ+ ke dalam masyarakat Muslim melalui media, pendidikan, dan kebijakan internasional dinilai sebagai bentuk kolonialisme budaya baru (cultural imperialism). Joseph Massad mengistilahkan hal ini sebagai “Gay International”, yakni proyek hegemoni global yang mencoba menstandarkan identitas seksual berdasarkan konstruksi Barat, dan kemudian mendiskreditkan budaya atau agama yang tidak menerimanya sebagai “homofobik” atau “tidak progresif.”6

5.4.       Respons Muslim: Menolak Tanpa Membenci

Penolakan terhadap praktik LGBTQ+ tidak serta-merta berarti kebencian terhadap individu yang mengalaminya. Islam tetap mendorong pendekatan kasih sayang, dakwah yang hikmah, serta pembinaan bagi mereka yang ingin kembali kepada fitrah. Akan tetapi, penolakan terhadap ideologi yang menormalisasi penyimpangan tersebut adalah bagian dari tanggung jawab moral setiap Muslim untuk menjaga masyarakat dari kerusakan akhlak.

Konsep nahi munkar mengharuskan umat Islam untuk mencegah penyimpangan sosial, terlebih jika hal itu telah masuk dalam ranah kebijakan publik atau kurikulum pendidikan. Dalam konteks ini, umat Islam tidak boleh bersikap permisif terhadap gerakan ideologis yang membahayakan tatanan sosial dan agama.


Dengan demikian, dari perspektif Islam, gerakan LGBTQ+ tidak dapat diterima baik secara moral maupun teologis. Bukan karena Islam anti-kemanusiaan, melainkan karena Islam mengajarkan kebaikan hakiki berdasarkan wahyu, bukan pada relativisme modern. Dalam dunia yang semakin memaksakan ideologi liberal-sekuler, sikap kritis dan teguh terhadap nilai Islam adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya yang ingin merusak fitrah dan moralitas manusia.


Footnotes

[1]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 26:165–166.

[2]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Hudud, Hadis no. 4462.

[3]                Ibn Qudamah, Al-Mughni, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 153–160.

[4]                The Qur’an, 51:49.

[5]                Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective (Cambridge: Islamic Texts Society, 2002), 78–85.

[6]                Joseph Massad, Desiring Arabs (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 160–180.


6.           Interseksi Ketiganya: Satu Arus dalam Proyek Dekonstruksi Islam

Islamofobia, kekerasan sistematis terhadap umat Islam, dan promosi nilai-nilai ideologis seperti LGBTQ+ tampak sebagai fenomena yang berbeda dalam bentuk, namun sesungguhnya berakar dari satu arus besar: proyek dekonstruksi terhadap ajaran, identitas, dan peradaban Islam. Ketiga gejala ini mencerminkan suatu pola kontemporer di mana kekuatan dominan global berusaha membongkar fondasi nilai-nilai Islam—baik secara fisik, simbolik, maupun kultural—untuk digantikan dengan sistem nilai liberal-sekuler yang dianggap “universal”.

6.1.       Narasi Islam sebagai Ancaman: Landasan untuk Legitimasi Global

Proyek dekonstruksi ini bermula dari wacana yang secara konsisten menggambarkan Islam sebagai ancaman terhadap tatanan global modern. Islamofobia menjadi alat utama dalam membentuk persepsi publik bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, HAM, atau kemajuan. Hal ini menciptakan legitimasi sosial dan politik bagi kebijakan represif terhadap umat Islam, baik melalui perang (seperti invasi Irak dan Afghanistan), pengawasan massal (seperti program CVE—Countering Violent Extremism), maupun pelarangan simbol-simbol keislaman di ruang publik.1

Menurut Arjun Appadurai, dalam era globalisasi, identitas kolektif yang berbasis agama sering kali diposisikan sebagai ancaman terhadap hegemoni neoliberal yang ingin menghapus batas-batas budaya dan nilai lokal.2 Dalam kerangka ini, Islam diposisikan sebagai “yang lain” (the Other) yang harus dikendalikan atau ditundukkan.

6.2.       Genosida dan Kekerasan: Fase Fisik dari Proses Dekonstruksi

Ketika Islamofobia berkembang menjadi ideologi negara atau dilegitimasi oleh kekuatan global, ia tidak lagi sekadar narasi, melainkan berubah menjadi kekerasan nyata. Genosida terhadap Muslim Rohingya, Uighur, dan Palestina bukan hanya kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi juga merupakan bentuk pemusnahan epistemik—yakni penghancuran tidak hanya tubuh, tetapi juga makna dan sistem nilai Islam itu sendiri.3

Achille Mbembe menggambarkan situasi semacam ini sebagai necropolitics, di mana negara atau kekuatan hegemonik menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang boleh dimatikan demi tatanan politik yang diinginkan.4 Dalam konteks umat Islam, ini berarti bahwa keberadaan mereka hanya diterima sejauh mereka tidak menentang tatanan ideologis global yang dominan.

6.3.       Gerakan LGBTQ+ dan Relativisme Moral sebagai Instrumen Ideologis

Di sisi lain, penetrasi nilai-nilai liberal seperti gerakan LGBTQ+ menjadi instrumen lain dalam proyek dekonstruksi Islam, khususnya dalam ranah budaya dan moral. Dengan dalih “hak asasi manusia universal”, umat Islam ditekan untuk menerima sistem nilai yang secara eksplisit bertentangan dengan wahyu dan syariat. Penolakan terhadap ideologi tersebut dianggap sebagai intoleransi, bahkan radikalisme.

Dalam hal ini, Joseph Massad menyatakan bahwa proyek Gay International tidak netral, tetapi merupakan bagian dari “politik imperial” yang berusaha menstandarkan ekspresi seksual dan memaksa dunia non-Barat untuk mengadopsi nilai-nilai barat secara paksa, dengan mengabaikan tradisi dan sistem etika lokal.5 Dalam dunia Islam, ini berarti penghapusan otoritas moral Islam melalui normalisasi wacana yang justru dianggap sebagai penyimpangan dalam teks agama.

6.4.       Konvergensi Strategis: Satu Arah Menuju Dominasi Budaya

Ketiga elemen ini—Islamofobia, kekerasan terhadap umat Islam, dan promosi nilai-nilai liberal yang bertentangan dengan Islam—menyatu dalam satu skenario besar: dekonstruksi Islam sebagai sistem keyakinan dan tatanan sosial yang utuh. Ini bukan semata-mata tentang kebencian terhadap umat Islam, tetapi tentang usaha terstruktur untuk mendefinisikan ulang peran agama dalam masyarakat global, serta menggantikan fondasi moral Islam dengan nilai-nilai relativistik dan individualistik.

Wael Hallaq menegaskan bahwa dalam sistem modern sekuler, agama diposisikan sebagai urusan pribadi, bukan sebagai sistem hukum atau tatanan sosial. Ini berarti bahwa Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara) dianggap “usang” dan harus dibongkar agar sejalan dengan konstruksi modernitas Barat.6


Dengan memahami keterkaitan antara ketiga fenomena tersebut, umat Islam perlu menyadari bahwa perjuangan melawan Islamofobia, genosida, dan ideologi liberal-sekuler bukan sekadar isu sosial atau politik, tetapi bagian dari jihad pemikiran dan peradaban untuk mempertahankan keberlangsungan nilai-nilai Islam dalam dunia yang terus digempur proyek dekonstruksi sistemik.


Footnotes

[1]                Arun Kundnani, The Muslims Are Coming! Islamophobia, Extremism, and the Domestic War on Terror (London: Verso, 2014), 53–76.

[2]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 15–40.

[3]                Hamid Dabashi, Brown Skin, White Masks (London: Pluto Press, 2011), 103–110.

[4]                Achille Mbembe, Necropolitics, trans. Steven Corcoran (Durham: Duke University Press, 2019), 92–95.

[5]                Joseph Massad, Desiring Arabs (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 160–180.

[6]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 27–56.


7.           Sikap Seorang Muslim Rasional dan Taat

Dalam menghadapi tantangan global yang kompleks—seperti Islamofobia, genosida terhadap umat Islam, dan penetrasi nilai-nilai ideologis yang bertentangan dengan syariat—seorang Muslim dituntut untuk bersikap rasional sekaligus taat. Kedua dimensi ini bukanlah kutub yang saling meniadakan, melainkan fondasi utama dalam merumuskan respons yang kritis, proporsional, dan bermartabat terhadap dinamika zaman.

7.1.       Rasionalitas sebagai Alat Analisis, Keimanan sebagai Kompas Moral

Akal dalam Islam tidak berfungsi sebagai sumber hukum mandiri, tetapi sebagai alat untuk memahami wahyu dan menilai realitas berdasarkan prinsip-prinsip syar’i. Seorang Muslim dituntut untuk berpikir tajam dalam membedakan informasi yang benar dari propaganda, dan menimbang setiap fenomena sosial-politik berdasarkan maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam), bukan sekadar tren global.1 Dalam menghadapi Islamofobia dan propaganda nilai-nilai asing, pendekatan rasional menjadi kunci untuk membongkar bias, disinformasi, serta standar ganda yang digunakan untuk mendiskreditkan Islam.

Namun, rasionalitas tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berpijak pada fondasi keimanan yang meyakini bahwa kebenaran bukan hanya diukur oleh nalar manusia, tetapi oleh petunjuk Ilahi. Dalam Islam, ketaatan tidak berarti kebodohan, dan berpikir kritis tidak berarti pemberontakan terhadap wahyu. Seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazālī, akal adalah lentera, tetapi wahyu adalah cahaya yang menerangi jalannya.2

7.2.       Menolak Tanpa Kebencian: Prinsip ‘Adl dan Rahmah

Sikap seorang Muslim dalam menghadapi ideologi yang menyimpang bukanlah kebencian membabi buta, tetapi penolakan yang berbasis pada prinsip ‘adl (keadilan) dan raḥmah (kasih sayang). Islam memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar dengan hikmah, bukan dengan kekerasan emosional. Penolakan terhadap gerakan LGBTQ+ atau ideologi sekuler bukanlah bentuk permusuhan terhadap manusia, melainkan penegasan terhadap batas moral yang digariskan oleh syariat untuk menjaga kehormatan manusia itu sendiri.3

Seorang Muslim yang taat dan berpikir kritis akan memahami bahwa mengkritik ideologi bukan berarti menyerang individu, dan membela nilai Islam bukan berarti menolak kemanusiaan orang lain. Di sinilah pentingnya adab dalam berdakwah dan hikmah dalam bermuamalah, sebagaimana tercermin dalam perintah Allah untuk berdakwah dengan cara yang “lembut dan penuh kebijaksanaan” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).4

7.3.       Literasi dan Perlawanan Kognitif

Era digital ditandai oleh banjir informasi dan disinformasi. Dalam konteks ini, literasi media dan pengetahuan ideologis menjadi bentuk jihad intelektual yang tidak kalah penting dari perjuangan fisik. Seorang Muslim harus memahami wacana-wacana kontemporer dengan kerangka Islam, sehingga tidak terjebak dalam jargon-jargon "hak asasi", "progresif", atau "toleransi" yang telah direkayasa maknanya untuk menekan keyakinan umat Islam.

Sebagaimana ditekankan oleh Taha Abdurrahman, modernitas tidak netral secara moral; ia membawa serta nilai-nilai yang seringkali bertentangan dengan prinsip wahyu. Maka umat Islam harus memiliki al-fikr al-muqawim (pemikiran yang resisten), yaitu kemampuan untuk memfilter, mengkritisi, dan meneguhkan nilai Islam dalam menghadapi invasi epistemik modernitas Barat.5

7.4.       Keteguhan Moral di Tengah Arus Relativisme

Ketaatan dalam Islam bukan hanya pada level ritual, tetapi juga dalam keteguhan mempertahankan prinsip moral di tengah tekanan budaya. Ketika dunia mendorong umat manusia untuk menerima relativisme etika, seorang Muslim yang taat akan tetap berpegang pada konsep haqq wa bāṭil (benar dan salah), bukan preference pribadi. Dalam hal ini, menolak normalisasi LGBTQ+ atau ideologi sekular bukanlah fanatisme, melainkan bentuk komitmen terhadap akhlak dan kesucian syariat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Tariq Ramadan, integrasi umat Islam ke dalam masyarakat modern tidak harus mengorbankan nilai-nilai Islam, tetapi justru menjadi sarana untuk menunjukkan bahwa Islam mampu hidup berdampingan dengan peradaban, tanpa harus menyerah kepada nilai-nilai yang bertentangan dengan wahyu.6


Dengan demikian, sikap seorang Muslim rasional dan taat dalam menghadapi Islamofobia, kekerasan terhadap umat Islam, dan penetrasi ideologi menyimpang harus didasarkan pada kecerdasan analitis, keteguhan aqidah, serta keberanian moral. Islam tidak mengajarkan sikap tunduk pada opini mayoritas atau tren ideologis global, melainkan menuntun umatnya untuk iqamat al-haqq—menegakkan kebenaran dengan penuh kesadaran, hikmah, dan keimanan.


Footnotes

[1]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 65–88.

[2]                Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, trans. R.J. McCarthy, Deliverance from Error (Louisville: Fons Vitae, 2000), 25–30.

[3]                Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1997), 124–130.

[4]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 16:125.

[5]                Taha Abdurrahman, The Question of Ethics: A Contribution to the Renewal of Ethical Thought in Islam (Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 2000), 89–105.

[6]                Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 141–150.


8.           Strategi Perlawanan Konstruktif

Menghadapi gempuran Islamofobia global, kekerasan sistematis terhadap umat Islam, dan penetrasi nilai-nilai liberal-sekuler seperti LGBTQ+ yang bertentangan dengan ajaran Islam, umat Islam tidak cukup hanya bereaksi secara emosional. Diperlukan strategi perlawanan yang konstruktif, cerdas, dan berakar pada prinsip-prinsip Islam. Strategi ini harus bersifat multidimensi—menyasar pendidikan, media, kebijakan publik, serta penguatan narasi teologis—untuk menjawab tantangan zaman dengan kebijaksanaan dan ketegasan.

8.1.       Pendidikan Islam yang Mencerahkan dan Membebaskan

Pendidikan merupakan garda terdepan dalam membentuk kesadaran kritis dan keimanan yang kokoh. Sistem pendidikan Islam perlu direvitalisasi agar tidak hanya menekankan aspek normatif (hafalan dan dogma), tetapi juga dimensi pemikiran kritis (tafaqquh) dan pembebasan dari pengaruh ideologi luar. Konsep ta’dīb seperti yang dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas menjadi penting—yakni pendidikan sebagai proses penanaman adab dan kebijaksanaan berdasarkan wahyu dan akal yang tertuntun.1

Pendidikan yang mencerahkan akan membekali generasi Muslim untuk memahami identitasnya secara sadar, menolak narasi hegemonik tanpa kebencian, serta mampu membela Islam secara ilmiah dan etis. Hal ini sangat penting dalam menghadapi infiltrasi ideologi LGBTQ+ dalam kurikulum global yang didorong oleh lembaga-lembaga internasional.2

8.2.       Media Alternatif dan Narasi Islam yang Berdaya

Media merupakan medan kontestasi utama dalam perang wacana modern. Islamofobia dan normalisasi ideologi sekuler disebarkan secara massif melalui film, berita, dan platform digital. Oleh karena itu, umat Islam harus membangun media alternatif yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi proaktif dalam membentuk opini publik global.

Proyek seperti AJ+, Bayyinah TV, atau media Islam lokal yang kredibel dapat menjadi instrumen penting dalam melawan disinformasi dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang benar. Menurut Muhammad Iqbal, membentuk narasi yang kokoh adalah bentuk jihad intelektual untuk membela kebenaran di tengah kebisingan informasi dunia modern.3

8.3.       Advokasi Hukum dan Kebijakan Internasional

Perlawanan terhadap kekerasan struktural dan genosida terhadap umat Islam juga membutuhkan pendekatan advokasi hukum yang profesional dan berbasis bukti. Lembaga-lembaga Muslim harus aktif di forum internasional seperti PBB, Mahkamah Pidana Internasional, dan organisasi HAM global untuk menuntut keadilan atas pelanggaran terhadap umat Islam, sebagaimana dilakukan dalam kasus Rohingya dan Palestina.4

Selain itu, organisasi Muslim lokal juga perlu memperjuangkan hak-haknya melalui jalur legal dalam menghadapi diskriminasi berbasis agama, serta menolak kebijakan yang memaksa umat Islam untuk tunduk pada nilai yang bertentangan dengan syariat.

8.4.       Penguatan Komunitas dan Ketahanan Sosial Umat

Perlawanan ideologis tidak akan efektif tanpa basis sosial yang kuat. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat komunitas Muslim di tingkat lokal melalui pembinaan keluarga, masjid, dan lembaga sosial. Keluarga Muslim harus menjadi benteng pertama dalam mentransmisikan nilai-nilai Islam yang murni kepada generasi muda.

Ketahanan komunitas ini juga mencakup solidaritas sesama Muslim lintas negara dan mazhab, sebagaimana diajarkan dalam prinsip ummatan wāḥidah (umat yang satu). Solidaritas ini penting untuk membentuk jaringan perlawanan global yang saling mendukung dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan perlindungan HAM.5

8.5.       Dakwah dengan Hikmah dan Kelembutan

Dalam merespons ideologi menyimpang seperti LGBTQ+, Islam mengajarkan dakwah yang penuh hikmah, bukan kekerasan atau penghinaan. Menurut Al-Qur’an: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik...” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).6 Dakwah semacam ini bukan hanya lebih efektif, tetapi juga mencerminkan akhlak Nabi Muhammad Saw yang menjadi teladan utama dalam menyampaikan kebenaran tanpa menimbulkan kebencian yang kontraproduktif.


Dengan strategi yang bersifat konstruktif dan berlandaskan nilai-nilai Islam, umat Muslim dapat melawan proyek dekonstruksi global secara efektif—tidak hanya sebagai pembela diri, tetapi juga sebagai pemimpin peradaban yang membawa rahmat dan keadilan bagi seluruh alam.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 10–18.

[2]                Eric Anderson and Rory Magrath, LGBT Inclusion in Schools (London: Routledge, 2019), 92–103.

[3]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2013), 125–133.

[4]                Fortify Rights, “They Gave Them Long Swords,” July 2018, https://www.fortifyrights.org/downloads/Fortify_Rights_Long_Swords_July_2018.pdf.

[5]                Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (Oxford: Oxford University Press, 2007), 178–183.

[6]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 16:125.


9.           Penutup

Fenomena Islamofobia, genosida terhadap umat Islam, dan normalisasi agenda ideologis seperti LGBTQ+ bukanlah fenomena yang terpisah dan terisolasi, melainkan merupakan bagian dari satu arus besar yang berupaya mendekonstruksi sistem nilai Islam secara menyeluruh—baik pada level teologis, moral, sosial, maupun politis. Ketiganya saling menguatkan dalam satu proyek dominasi global yang mengandalkan kekuatan narasi, kekuasaan struktural, dan hegemoni budaya untuk membentuk tatanan dunia yang mengabaikan eksistensi Islam sebagai agama dan peradaban.

Umat Islam menghadapi tantangan berat yang tidak hanya mengancam fisik, seperti genosida di Palestina, Myanmar, dan Xinjiang, tetapi juga serangan ideologis yang secara halus namun sistematis membongkar nilai-nilai keluarga, moralitas, dan otoritas wahyu melalui bahasa modern seperti “hak asasi”, “toleransi”, dan “kebebasan identitas seksual”. Namun, Islam sebagai agama yang paripurna (dīn kāmil) tidak mengajarkan umatnya untuk tunduk kepada arus global yang menyesatkan, melainkan mendorong resistensi aktif yang berlandaskan ilmu, hikmah, dan keimanan yang kokoh.1

Kunci utama dari perlawanan ini terletak pada keberanian untuk berpikir kritis namun tetap taat kepada wahyu. Seorang Muslim ideal adalah mereka yang menggabungkan ketajaman intelektual dengan ketundukan spiritual, yang mampu membongkar kebohongan sistemik tanpa terjebak pada narasi kebencian, serta mampu mempertahankan nilai-nilai Islam tanpa kehilangan adab dan rahmah dalam berdakwah. Dalam kerangka ini, umat Islam tidak hanya menjadi objek dari persekusi global, tetapi subjek aktif dalam membentuk ulang peradaban dengan panduan moral yang unggul.

Dalam konteks inilah pentingnya membangun kekuatan kultural, intelektual, dan spiritual umat Islam secara kolektif. Melalui pendidikan Islam yang mencerahkan, media alternatif yang kredibel, advokasi hukum yang sistematis, serta pembinaan keluarga dan komunitas berbasis tauhid, umat Islam dapat menegakkan kembali martabatnya di tengah tekanan zaman. Seperti yang dikatakan oleh Malik Bennabi, kebangkitan Islam bukan semata-mata pada aspek politik, tetapi pada revitalisasi ide dan nilai sebagai basis dari gerakan perubahan sejati.2

Penolakan terhadap Islamofobia, kekerasan terhadap umat Islam, dan gerakan ideologis yang bertentangan dengan ajaran Islam bukanlah ekspresi intoleransi atau kebencian, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab moral dan religius terhadap kebenaran yang diwahyukan oleh Allah Swt. Dalam dunia yang semakin menormalisasi penyimpangan dan kebatilan, keberanian untuk menegakkan yang haq adalah panggilan utama umat Islam hari ini.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، الصَّابِرُ فِيهِ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

"Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti menggenggam bara api." (HR. Tirmidzi)3

Ungkapan ini bukan sekadar nubuwah, tetapi juga motivasi abadi bagi umat Islam untuk tetap teguh dalam iman, tangguh dalam berpikir, dan bijaksana dalam bertindak di tengah dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 5:3.

[2]                Malik Bennabi, The Question of Ideas in the Muslim World (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), 40–53.

[3]                Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitāb al-Fitan, Hadis no. 2260.


Daftar Pustaka

Abdel Haleem, M. A. S. (Trans.). (2004). The Qur’an (Oxford World’s Classics). Oxford University Press.

Abdurrahman, T. (2000). The question of ethics: A contribution to the renewal of ethical thought in Islam (in Arabic). Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi.

Al-Attas, S. M. N. (1999). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Ghazālī. (2000). Deliverance from error (R. J. McCarthy, Trans.). Fons Vitae. (Original work: Al-Munqidh min al-Ḍalāl)

Amnesty International. (2021, June). "Like we were enemies in a war": China’s mass internment, torture and persecution of Muslims in Xinjiang. https://www.amnesty.org/en/documents/asa17/4137/2021/en/

Anderson, E., & Magrath, R. (2019). LGBT inclusion in schools. Routledge.

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Auda, J. (2008). Maqasid al-shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. International Institute of Islamic Thought.

Bennabi, M. (2003). The question of ideas in the Muslim world (Trans. from French). Islamic Book Trust.

Dabashi, H. (2011). Brown skin, white masks. Pluto Press.

Esposito, J. L., & Kalin, I. (Eds.). (2011). Islamophobia: The challenge of pluralism in the 21st century. Oxford University Press.

Fortify Rights. (2018, July). They gave them long swords: Preparations for genocide and crimes against humanity against Rohingya Muslims in Rakhine State, Myanmar. https://www.fortifyrights.org/downloads/Fortify_Rights_Long_Swords_July_2018.pdf

Human Rights Watch. (2018, August). "Bangladesh is not my country": The plight of Rohingya refugees from Myanmar. https://www.hrw.org/report/2018/08/05/bangladesh-not-my-country

Human Rights Watch. (2021, April). A threshold crossed: Israeli authorities and the crimes of apartheid and persecution. https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed

Iqbal, M. (2013). The reconstruction of religious thought in Islam (Reprint ed.). Stanford University Press.

Jaffrelot, C. (2021). Modi’s India: Hindu nationalism and the rise of ethnic democracy. Princeton University Press.

Kamali, M. H. (1997). Freedom of expression in Islam. Islamic Texts Society.

Kamali, M. H. (2002). The dignity of man: An Islamic perspective. Islamic Texts Society.

Kundnani, A. (2014). The Muslims are coming! Islamophobia, extremism, and the domestic war on terror. Verso.

Lean, N. (2012). The Islamophobia industry: How the right manufactures fear of Muslims. Pluto Press.

Massad, J. (2007). Desiring Arabs. University of Chicago Press.

Mbembe, A. (2019). Necropolitics (S. Corcoran, Trans.). Duke University Press.

Runnymede Trust. (2017). Islamophobia: Still a challenge for us all. Runnymede Trust.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the future of Islam. Oxford University Press.

Ramadan, T. (2007). In the footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad. Oxford University Press.

Saeed, A., & Saeed, H. (2004). Freedom of religion, apostasy and Islam. Ashgate.

Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.

Shaheen, J. (2001). Reel bad Arabs: How Hollywood vilifies a people. Interlink Publishing Group.

The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). (2016, March 24). Prosecutor v. Radovan Karadžić, Case No. IT-95-5/18-T, Judgment.

United Nations Human Rights Council. (2018). Report of the Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar. https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/hrc/myanmar-ffm/index

Zenz, A. (2020). Sterilizations, IUDs, and mandatory birth control: The CCP’s campaign to suppress Uyghur birthrates. China Brief, 20(12), 1–8.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar