Gaya Belajar Peserta Didik
Fondasi Diferensiasi Pembelajaran dalam Praktik
Pendidikan
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep
gaya belajar peserta didik sebagai fondasi utama dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi.
Dalam konteks pendidikan abad ke-21 dan Kurikulum Merdeka, pemahaman terhadap
keragaman gaya belajar menjadi krusial bagi guru untuk merancang strategi
pembelajaran yang efektif, adaptif, dan berpusat pada peserta didik. Artikel
ini mengulas definisi dan landasan teoretis gaya belajar berdasarkan berbagai
model terkenal seperti VARK, Kolb’s Experiential Learning, Multiple
Intelligences Gardner, serta model Dunn & Dunn. Selain itu, dibahas pula
faktor-faktor biologis, psikologis, sosiokultural, dan perkembangan yang
memengaruhi kecenderungan belajar individu.
Proses identifikasi gaya belajar melalui instrumen
diagnostik, observasi kelas, dan refleksi peserta didik ditinjau sebagai
langkah awal dalam pengembangan pembelajaran yang responsif. Implikasi
pedagogis terhadap perencanaan pembelajaran, desain media, serta pengelolaan
kelas dijelaskan secara aplikatif. Artikel ini juga mengkaji kritik dan
perdebatan akademik terhadap validitas konsep gaya belajar serta alternatif
pendekatan melalui Universal Design for Learning (UDL). Studi kasus di berbagai
satuan pendidikan ditampilkan untuk menunjukkan praktik baik dan efektivitas
pendekatan ini di lapangan. Kesimpulan artikel menekankan pentingnya
pemanfaatan gaya belajar secara bijak, dinamis, dan tidak deterministik demi
mendukung pengembangan Profil Pelajar Pancasila secara utuh dan holistik.
Kata Kunci: gaya belajar, pembelajaran berdiferensiasi,
Kurikulum Merdeka, strategi pembelajaran, pendidikan inklusif, Universal Design
for Learning (UDL), VARK, pelajar Pancasila.
PEMBAHASAN
Memahami Gaya Belajar dalam Pendidikan
1.
Pendahuluan
Dalam dunia
pendidikan modern, kebutuhan untuk mengakomodasi keanekaragaman karakteristik
peserta didik menjadi semakin mendesak. Salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam merancang proses pembelajaran yang efektif adalah gaya
belajar peserta didik. Gaya belajar merujuk pada cara khas
seseorang dalam menerima, mengolah, dan mengorganisasi informasi yang
diterimanya selama proses pembelajaran berlangsung. Konsep ini menekankan bahwa
setiap individu memiliki preferensi yang berbeda dalam menyerap dan memahami
informasi, baik melalui media visual, pendengaran, pengalaman langsung, atau
pendekatan lain yang bersifat multimodal1.
Pemerintah Indonesia
melalui Permendikbud No. 137 Tahun 2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Permendikbudristek
No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar
dan Menengah, secara eksplisit mendorong implementasi pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik dan menghargai keunikan masing-masing individu.
Dalam konteks tersebut, diferensiasi pembelajaran
menjadi salah satu strategi utama yang direkomendasikan, yakni penyusunan
pembelajaran yang disesuaikan dengan kesiapan belajar, minat, dan profil
belajar peserta didik—termasuk gaya belajar mereka2.
Penelitian-penelitian
kontemporer menunjukkan bahwa pemahaman terhadap gaya belajar peserta didik
dapat memberikan kontribusi positif terhadap perencanaan instruksional,
pengelolaan kelas, hingga peningkatan motivasi dan hasil belajar. Meskipun
terdapat sejumlah kritik terhadap validitas teori gaya belajar dalam praktik
lapangan3, banyak praktisi pendidikan yang tetap memanfaatkan
pemetaan gaya belajar sebagai landasan untuk merancang pendekatan
pembelajaran berdiferensiasi, terutama dalam kelas dengan
keberagaman tinggi4.
Dalam era Kurikulum
Merdeka yang menekankan personalisasi, fleksibilitas, dan otonomi guru dalam
proses pembelajaran, perhatian terhadap gaya belajar peserta didik menjadi
semakin strategis. Hal ini juga selaras dengan prinsip “pembelajaran
sepanjang hayat” yang mendorong guru dan peserta didik untuk
terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan karakteristik belajar yang dinamis5.
Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas secara komprehensif konsep gaya
belajar peserta didik, model-model teoritis yang mendasarinya, serta
implikasinya terhadap strategi diferensiasi pembelajaran di sekolah.
Footnotes
[1]
Rita Dunn dan Kenneth Dunn, Teaching Students Through Their
Individual Learning Styles: A Practical Approach (Reston, VA: Reston
Publishing Company, 1978).
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini; serta Permendikbudristek
No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah.
[3]
Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological
Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.
[4]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in
Mixed-Ability Classrooms (Alexandria, VA: ASCD, 2001).
[5]
OECD, The Future of Education and Skills: Education 2030 – The OECD
Learning Compass 2030 (Paris: OECD Publishing, 2019).
2.
Konsep Dasar Gaya Belajar
Gaya belajar
merupakan konsep psikopedagogis yang menggambarkan kecenderungan individual
dalam menyerap, mengolah, dan menyimpan informasi selama proses belajar. Gaya
belajar bukan sekadar preferensi sensorik, tetapi mencakup aspek kognitif,
afektif, dan fisiologis yang memengaruhi bagaimana seseorang mendekati
tugas-tugas belajar. Menurut Keefe, gaya belajar adalah “karakteristik kognitif,
afektif, dan fisiologis yang berfungsi sebagai indikator bagaimana pelajar
merasakan, berinteraksi dengan, dan merespons lingkungan belajar mereka”1.
Dalam ranah
pendidikan, pemahaman tentang gaya belajar dipandang sebagai elemen penting
untuk menerapkan prinsip learner-centered learning, yang
diamanatkan dalam berbagai kebijakan nasional. Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022
menggarisbawahi bahwa proses pembelajaran harus dilandaskan pada prinsip keaktifan
dan kebermaknaan, dengan mempertimbangkan karakteristik peserta
didik, termasuk kecenderungan cara mereka belajar2. Oleh sebab itu,
gaya belajar tidak dapat diabaikan dalam strategi pembelajaran yang efektif dan
inklusif.
Beberapa ahli
membedakan gaya belajar dari strategi belajar. Gaya belajar dianggap sebagai
kecenderungan yang relatif tetap, sementara strategi belajar bersifat lebih
fleksibel dan dapat dikembangkan melalui pelatihan dan bimbingan3.
Meski demikian, keduanya saling berkaitan erat dan saling memengaruhi.
Secara praktis, gaya
belajar sering kali dikaitkan dengan preferensi sensorik atau modalitas
belajar. Misalnya, model VARK yang dikembangkan oleh
Neil Fleming mengidentifikasi empat tipe utama gaya belajar: Visual, Auditory,
Read/Write, dan Kinesthetic. Model ini populer digunakan di dunia pendidikan
karena relatif mudah diadaptasikan dan diobservasi dalam praktik mengajar4.
Di sisi lain, teori Kolb’s Experiential Learning
menggarisbawahi bahwa gaya belajar juga berkaitan dengan proses reflektif dan
pengalaman konkret, bukan semata-mata input sensorik5.
Lebih lanjut, konsep
gaya belajar juga memiliki keterkaitan dengan teori kecerdasan
majemuk yang dikembangkan oleh Howard Gardner. Gardner
menegaskan bahwa peserta didik memiliki potensi belajar yang berbeda-beda,
bergantung pada dominasi jenis kecerdasan tertentu seperti linguistik,
logika-matematis, spasial, musikal, interpersonal, dan lain sebagainya6.
Dengan demikian, gaya belajar bukanlah kategori tunggal yang kaku, melainkan
spektrum kecenderungan yang beragam dan saling tumpang tindih.
Memahami konsep
dasar gaya belajar tidak hanya membantu guru dalam mendesain strategi
pembelajaran yang variatif dan adaptif, tetapi juga menjadi sarana untuk
membangun kesadaran metakognitif peserta didik. Ketika peserta didik mengenali
cara belajarnya sendiri, mereka akan lebih mudah mengembangkan strategi belajar
yang tepat dan produktif.
Footnotes
[1]
James W. Keefe, Learning Style Theory and Practice (Reston,
VA: National Association of Secondary School Principals, 1987), 3.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
[3]
Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd
ed. (Boston: Pearson, 2005), 327–328.
[4]
Neil D. Fleming and Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a
Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.
[5]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984).
[6]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences, 3rd ed. (New York: Basic Books, 2011).
3.
Teori dan Klasifikasi Gaya Belajar
Gaya belajar telah
menjadi fokus penting dalam kajian psikologi pendidikan karena berkaitan
langsung dengan efektivitas proses pembelajaran yang berorientasi pada
kebutuhan peserta didik. Beragam teori telah dikembangkan untuk menjelaskan dan
mengklasifikasikan gaya belajar, dengan masing-masing model menawarkan
pendekatan yang berbeda terhadap cara individu menyerap dan mengolah informasi.
Pemahaman atas teori-teori ini memungkinkan guru untuk menyesuaikan metode
pembelajaran dalam konteks diferensiasi instruksional,
sebagaimana dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka dan regulasi pendidikan nasional1.
Berikut ini adalah
empat model utama gaya belajar yang umum digunakan dalam konteks pendidikan:
3.1.
Model VARK – Neil
Fleming
Model VARK
mengelompokkan gaya belajar berdasarkan modalitas sensorik dominan: Visual,
Auditory, Read/Write, dan Kinesthetic2.
·
Gaya
Visual menyukai informasi dalam bentuk gambar, diagram, peta
pikiran, dan warna.
·
Auditory
cenderung memahami melalui mendengarkan diskusi, rekaman suara, atau ceramah.
·
Read/Write
lebih nyaman belajar melalui teks tertulis, baik membaca maupun menulis ulang.
·
Kinesthetic
membutuhkan gerakan atau pengalaman langsung untuk memahami informasi.
Model ini banyak digunakan
karena praktis dan aplikatif, meskipun beberapa studi menyatakan bahwa hasil
belajar tidak selalu meningkat hanya karena penyampaian disesuaikan dengan gaya
belajar tersebut3.
3.2.
Model Pembelajaran
Eksperiensial – David Kolb
David Kolb
mengembangkan model Experiential Learning Theory (ELT)
yang memandang belajar sebagai proses siklus yang melibatkan pengalaman
konkret, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimen aktif4.
Berdasarkan orientasi terhadap pengalaman dan pemrosesan informasi, Kolb mengidentifikasi
empat gaya belajar utama:
·
Diverging
(pengamat reflektif): kuat dalam menghasilkan ide dan melihat
berbagai perspektif.
·
Assimilating
(pemikir konseptual): unggul dalam penalaran logis dan model
teoritis.
·
Converging
(pemecah masalah praktis): suka menerapkan teori ke situasi
nyata.
·
Accommodating
(pelaku aktif): lebih menyukai pendekatan “coba dan perbaiki”.
Model ini digunakan
dalam pengembangan kurikulum dan pelatihan yang menekankan pengalaman nyata
sebagai inti dari proses belajar.
3.3.
Teori Kecerdasan
Majemuk – Howard Gardner
Howard Gardner dalam
teorinya tentang Multiple Intelligences (MI)
menyatakan bahwa kecerdasan tidak hanya terbatas pada logika dan bahasa, tetapi
mencakup setidaknya delapan domain, seperti linguistik, logika-matematis,
musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis5.
Setiap peserta didik memiliki kombinasi unik dari kecerdasan tersebut, yang
memengaruhi bagaimana mereka paling efektif dalam belajar.
Misalnya:
·
Peserta didik dengan
kecerdasan musikal tinggi mungkin lebih menyerap informasi melalui ritme atau
lagu.
·
Mereka yang memiliki
kecerdasan kinestetik akan lebih optimal belajar melalui praktik langsung dan
eksperimen.
Model Gardner
mengarahkan pada pemahaman bahwa gaya belajar merupakan hasil dari dominasi
kecerdasan tertentu dalam diri peserta didik.
3.4.
Model Dunn and Dunn
Learning Styles
Model ini
dikembangkan oleh Rita dan Kenneth Dunn dan mengidentifikasi lima
rangkaian stimulus yang membentuk gaya belajar: lingkungan
fisik, emosional, sosiologis, fisiologis, dan psikologis6.
·
Lingkungan meliputi cahaya,
suhu, dan suara.
·
Emosional mencakup
motivasi, ketekunan, dan tanggung jawab.
·
Sosiologis mengacu pada
preferensi belajar secara individu, berpasangan, kelompok kecil, atau otoritatif.
·
Fisiologis meliputi ritme
biologis, asupan makanan, dan kebutuhan gerakan.
·
Psikologis mencakup cara
mengolah informasi secara global atau analitik.
Model ini lebih
kompleks, namun memungkinkan guru untuk menyusun pendekatan pembelajaran yang
sangat personal dan kontekstual.
Meskipun
masing-masing teori memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda,
kesamaan utamanya terletak pada pengakuan terhadap keunikan
cara belajar setiap individu. Dalam praktik pendidikan
kontemporer, penerapan pendekatan multimodal dan prinsip Universal Design for
Learning (UDL) mulai menjadi alternatif yang diusulkan untuk mengakomodasi
keragaman ini tanpa secara kaku mengelompokkan peserta didik dalam satu tipe
gaya belajar tertentu7.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
[2]
Neil D. Fleming and Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a
Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.
[3]
Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological
Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.
[4]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984).
[5]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences, 3rd ed. (New York: Basic Books, 2011).
[6]
Rita Dunn and Kenneth Dunn, Teaching Secondary Students Through
Their Individual Learning Styles (Boston: Allyn & Bacon, 1993).
[7]
David H. Rose and Anne Meyer, Teaching Every Student in the Digital
Age: Universal Design for Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2002).
4.
Faktor yang Mempengaruhi Gaya Belajar
Gaya belajar peserta
didik tidak terbentuk dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil interaksi kompleks
antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural yang berkembang
seiring waktu. Memahami faktor-faktor yang memengaruhi gaya belajar sangat
penting agar guru tidak memperlakukan gaya belajar sebagai kategori tetap dan
statis, melainkan sebagai kecenderungan yang dapat berubah dan berkembang
sesuai konteks dan pengalaman belajar1.
4.1.
Faktor Biologis
Faktor biologis
mencakup kondisi neurologis, sensitivitas sensorik, dan ritme biologis yang
memengaruhi bagaimana seseorang menerima dan merespons informasi. Misalnya,
individu dengan dominasi aktivitas otak di belahan kanan cenderung memiliki
gaya belajar yang lebih global dan visual, sedangkan yang dominan di belahan
kiri lebih analitik dan verbal2. Selain itu, preferensi terhadap
waktu belajar (morning person atau night owl), kebutuhan gerak, serta kondisi
kesehatan juga termasuk dalam kategori ini.
Beberapa peserta
didik menunjukkan performa belajar yang lebih baik ketika informasi disajikan
sesuai dengan kekuatan sensorik mereka, seperti gaya kinestetik untuk peserta
yang sangat aktif secara fisik3.
4.2.
Faktor Psikologis
Motivasi belajar,
kepercayaan diri, gaya kepribadian, dan strategi berpikir sangat memengaruhi
kecenderungan belajar seseorang. Misalnya, peserta didik dengan motivasi
intrinsik yang tinggi cenderung mengeksplorasi berbagai gaya belajar secara
lebih aktif daripada peserta didik yang motivasinya rendah. Kepercayaan diri
dalam suatu domain (self-efficacy) juga memengaruhi kesiapan untuk mencoba
pendekatan belajar baru4.
Gaya kognitif
seperti field-dependent
dan field-independent
berpengaruh dalam cara peserta didik mengorganisasi informasi. Mereka yang field-independent
cenderung mandiri dan analitis, sementara field-dependent lebih suka
bimbingan dan bekerja dalam kelompok5.
4.3.
Faktor Sosiokultural
Lingkungan sosial
dan budaya turut membentuk gaya belajar seseorang. Anak-anak yang tumbuh dalam
keluarga yang mendorong eksplorasi bebas dan diskusi cenderung memiliki gaya
belajar yang aktif dan reflektif. Sebaliknya, lingkungan yang sangat otoriter
dapat melahirkan gaya belajar yang pasif dan bergantung pada instruksi
eksplisit6.
Konteks budaya juga
berpengaruh. Dalam budaya kolektivistik seperti Indonesia, preferensi belajar
kolaboratif dan kontekstual sering kali lebih kuat dibandingkan budaya
individualistik yang lebih menekankan eksplorasi mandiri7.
4.4.
Faktor Perkembangan
Usia dan tahap
perkembangan kognitif turut memengaruhi gaya belajar. Anak-anak usia dini
biasanya lebih merespons pendekatan konkret dan kinestetik, sementara remaja
dan dewasa muda mulai mampu berpikir abstrak dan reflektif. Seiring
bertambahnya usia, individu dapat mengembangkan fleksibilitas gaya belajar
melalui pengalaman dan pelatihan metakognitif8.
Hal ini sejalan
dengan pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan dalam Kurikulum
Merdeka, yakni menyesuaikan aktivitas belajar dengan tahap
perkembangan peserta didik dan memberikan ruang diferensiasi berdasarkan
kesiapan dan karakter individu9.
Kesimpulan Sementara
Faktor-faktor yang
memengaruhi gaya belajar saling berinteraksi dalam membentuk preferensi unik
tiap peserta didik. Guru yang memahami dimensi biologis, psikologis,
sosiokultural, dan perkembangan gaya belajar akan lebih mampu merancang
pembelajaran yang responsif, adaptif, dan bermakna.
Footnotes
[1]
Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd
ed. (Boston: Pearson, 2005), 322–325.
[2]
Rita Dunn dan Kenneth Dunn, Teaching Secondary Students Through
Their Individual Learning Styles (Boston: Allyn & Bacon, 1993), 45–48.
[3]
James W. Keefe, Learning Style Theory and Practice (Reston,
VA: National Association of Secondary School Principals, 1987), 56–59.
[4]
Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New
York: Freeman, 1997), 212–216.
[5]
Herman A. Witkin et al., Psychological Differentiation: Studies of
Development (New York: Wiley, 1967), 21–26.
[6]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978),
79–82.
[7]
Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values,
Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations, 2nd ed.
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2001), 215–220.
[8]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (London: Routledge
& Kegan Paul, 1950), 82–87.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
5.
Identifikasi dan Diagnostik Gaya Belajar
Pemahaman terhadap
gaya belajar peserta didik tidak akan optimal tanpa proses identifikasi dan
diagnostik yang sistematis. Kegiatan ini menjadi tahap krusial dalam rangka
menyusun pendekatan pembelajaran yang responsif dan berdiferensiasi sebagaimana
ditekankan dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022,
yang menyebutkan bahwa perencanaan pembelajaran harus mempertimbangkan kesiapan
belajar, minat, dan karakteristik peserta didik, termasuk gaya belajar mereka1.
5.1.
Tujuan dan Manfaat
Diagnostik Gaya Belajar
Proses identifikasi
gaya belajar bertujuan untuk:
·
Mengetahui preferensi
belajar individu peserta didik.
·
Menyusun strategi
pembelajaran yang relevan dan efektif.
·
Menghindari pendekatan
seragam yang dapat merugikan sebagian peserta didik2.
Diagnostik ini juga
dapat meningkatkan kesadaran metakognitif, yakni
kemampuan peserta didik untuk memahami bagaimana mereka belajar secara optimal3.
5.2.
Alat Ukur dan
Instrumen Diagnostik
Beberapa alat yang
umum digunakan oleh pendidik dan konselor sekolah antara lain:
·
Inventori
VARK (Visual, Auditory, Read/ Write, Kinesthetic)
Dikembangkan oleh Neil Fleming. Kuesioner ini
terdiri dari pilihan-pilihan yang mencerminkan preferensi dalam menghadapi
situasi belajar, dan hasilnya menunjukkan satu atau lebih modalitas dominan
peserta didik4.
·
Learning
Style Inventory (LSI)
David Kolb,
yang mengukur bagaimana seseorang menghadapi pengalaman belajar melalui empat
tahap siklus belajar dan menghasilkan klasifikasi empat gaya belajar utama:
Diverging, Assimilating, Converging, dan Accommodating5.
·
Dunn
and Dunn Learning Style Inventory
Yang lebih rinci mencakup 21 elemen gaya belajar,
mulai dari lingkungan, emosional, hingga biologis, dan sangat bermanfaat dalam
pendidikan yang dipersonalisasi6.
·
Multiple
Intelligences Checklist
Howard Gardner,
meskipun tidak dirancang secara langsung untuk mendiagnosis gaya belajar, alat
ini dapat membantu mengidentifikasi kecerdasan dominan yang berkorelasi dengan
preferensi belajar tertentu7.
Beberapa versi dari
instrumen-instrumen ini tersedia secara daring maupun cetak, dan sebagian besar
dapat digunakan oleh guru setelah mendapat pelatihan singkat dalam interpretasi
hasilnya.
5.3.
Teknik Observasi dan
Triangulasi
Selain alat ukur
kuantitatif, observasi langsung oleh guru di dalam kelas
merupakan pendekatan penting untuk mengenali gaya belajar. Guru dapat mengamati
pola-pola berikut:
·
Respons peserta didik
terhadap metode penyampaian berbeda.
·
Perilaku belajar dalam
kerja individu dan kelompok.
·
Ketertarikan terhadap jenis
tugas dan media pembelajaran tertentu8.
Untuk meningkatkan
validitas hasil identifikasi, guru dapat menerapkan triangulasi
data—menggabungkan hasil kuesioner, observasi, dan refleksi
peserta didik melalui wawancara atau jurnal belajar. Pendekatan ini mendukung
prinsip asesmen autentik dalam Kurikulum Merdeka, yang
menekankan pada asesmen diagnostik dan formatif sebagai dasar penyesuaian
pembelajaran9.
5.4.
Tantangan dalam
Penerapan
Meskipun bermanfaat,
penerapan identifikasi gaya belajar juga menghadapi tantangan, antara lain:
·
Terbatasnya waktu guru
untuk melakukan asesmen individual.
·
Kurangnya pelatihan guru
dalam memahami instrumen secara kritis.
·
Kecenderungan
menyederhanakan hasil diagnostik menjadi kategori tetap, padahal gaya belajar
bersifat dinamis10.
Oleh karena itu,
penting bagi pendidik untuk memaknai hasil identifikasi secara fleksibel dan
menjadikannya sebagai indikator awal untuk eksplorasi
lebih lanjut, bukan sebagai label kaku yang membatasi potensi belajar.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
[2]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in
Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 45.
[3]
Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd
ed. (Boston: Pearson, 2005), 324.
[4]
Neil D. Fleming dan Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a
Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.
[5]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984).
[6]
Rita Dunn dan Kenneth Dunn, Teaching Secondary Students Through
Their Individual Learning Styles (Boston: Allyn & Bacon, 1993), 70–75.
[7]
Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 45–46.
[8]
James W. Keefe, Learning Style Theory and Practice (Reston,
VA: National Association of Secondary School Principals, 1987), 84–88.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 31–35.
[10]
Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological
Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.
6.
Implikasi Gaya Belajar terhadap Strategi
Pembelajaran
Pemahaman yang tepat
terhadap gaya belajar peserta didik memberikan dampak signifikan terhadap
efektivitas strategi pembelajaran di kelas. Dalam konteks pendidikan
abad ke-21 yang menekankan pembelajaran aktif, kolaboratif, dan
kontekstual, guru dituntut untuk mengadaptasi pendekatan pembelajaran agar
sejalan dengan kebutuhan dan karakteristik belajar individu. Hal ini sejalan
dengan prinsip yang tertuang dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022,
bahwa strategi pembelajaran hendaknya memperhatikan kesiapan, minat, dan profil
belajar peserta didik1.
6.1.
Pembelajaran
Berdiferensiasi sebagai Strategi Responsif
Salah satu strategi
kunci dalam mengakomodasi perbedaan gaya belajar adalah pembelajaran
berdiferensiasi (differentiated instruction). Strategi ini
memungkinkan guru untuk:
·
Menyajikan materi dalam
berbagai format (teks, gambar, audio, gerakan).
·
Menawarkan pilihan cara
mengerjakan tugas (presentasi, tulisan, proyek, video).
·
Menyediakan ruang refleksi
dan diskusi berdasarkan preferensi belajar peserta didik2.
Carol Ann Tomlinson
menegaskan bahwa diferensiasi dapat dilakukan pada tiga aspek utama: konten
(apa yang diajarkan), proses (bagaimana diajarkan), dan produk (hasil akhir
pembelajaran), dengan mempertimbangkan profil gaya belajar, kesiapan, dan minat
siswa3.
6.2.
Desain Media dan
Metode Pembelajaran Multimodal
Gaya belajar menjadi
landasan dalam memilih dan merancang media dan metode pembelajaran yang bervariasi.
Misalnya:
·
Bagi peserta didik visual,
guru dapat menggunakan infografis, peta konsep, dan video animasi.
·
Bagi peserta auditori,
strategi ceramah interaktif, podcast, atau diskusi verbal menjadi lebih
efektif.
·
Untuk peserta didik kinestetik,
metode role-play, eksperimen, atau pembelajaran berbasis proyek sangat membantu4.
Pendekatan ini juga
diperkuat oleh prinsip Universal Design for Learning (UDL),
yang menyarankan penyajian materi dalam berbagai representasi agar dapat
diakses oleh semua gaya belajar5.
6.3.
Pengelolaan Kelas
Adaptif dan Kolaboratif
Pengelolaan kelas
yang efektif harus mempertimbangkan dinamika gaya belajar sebagai bagian dari
perbedaan individu. Guru perlu menciptakan:
·
Lingkungan belajar yang
fleksibel dan kondusif.
·
Pengelompokan yang dinamis
(berdasarkan gaya belajar atau dikombinasikan).
·
Kegiatan kolaboratif yang
mengintegrasikan kekuatan berbagai gaya belajar dalam satu tim6.
Model ini dapat
meningkatkan saling pengertian dan memperluas keterampilan lintas modalitas
belajar. Misalnya, peserta dengan gaya kinestetik dan auditori dapat saling
menguatkan dalam menyelesaikan tugas praktik dan diskusi.
6.4.
Refleksi
Metakognitif dan Pengembangan Strategi Belajar
Selain penyesuaian
dari pihak guru, penting pula mendorong peserta didik untuk merefleksikan
cara belajarnya sendiri. Aktivitas seperti jurnal belajar, kuis
gaya belajar, atau diskusi reflektif dapat membantu siswa mengenali keunggulan
dan tantangan gaya belajarnya. Ini penting untuk mengembangkan strategi
belajar mandiri yang lebih adaptif dan efektif7.
Dalam jangka
panjang, hal ini sejalan dengan tujuan Kurikulum Merdeka yang mendorong agency
peserta didik, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab
atas proses belajarnya sendiri8.
Kesimpulan Sementara
Gaya belajar peserta
didik bukan hanya informasi tambahan bagi guru, tetapi menjadi fondasi
penting dalam menyusun strategi pembelajaran yang adil, inklusif, dan bermakna.
Melalui pendekatan berdiferensiasi, desain multimodal, dan praktik reflektif,
pembelajaran dapat menjadi lebih efektif dan memanusiakan peserta didik sesuai
potensinya masing-masing.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
[2]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to
the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 18–22.
[3]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in
Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 14–17.
[4]
Neil D. Fleming dan Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a
Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.
[5]
David H. Rose dan Anne Meyer, Teaching Every Student in the Digital
Age: Universal Design for Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2002), 25–32.
[6]
Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd
ed. (Boston: Pearson, 2005), 329–332.
[7]
Barry J. Zimmerman, “Becoming a Self-Regulated Learner: An Overview,” Theory
into Practice 41, no. 2 (2002): 64–70.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–15.
7.
Kritik dan Perdebatan Akademik tentang Gaya
Belajar
Meskipun konsep gaya
belajar telah menjadi salah satu pendekatan populer dalam dunia pendidikan,
terutama dalam upaya merancang pembelajaran yang berdiferensiasi, berbagai
kajian ilmiah kontemporer menunjukkan bahwa penerapannya tidak lepas dari
kritik. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga
menyangkut validitas teoretis dan implikasi praktisnya terhadap hasil belajar.
Oleh karena itu, penting bagi para pendidik untuk memahami posisi ilmiah gaya
belajar dalam wacana pendidikan modern secara objektif dan berbasis bukti.
7.1.
Kritik terhadap
Validitas Ilmiah
Salah satu kritik
utama terhadap pendekatan gaya belajar datang dari kajian empiris yang
menunjukkan kurangnya bukti kuat secara eksperimental
bahwa penyesuaian metode pengajaran berdasarkan gaya belajar menghasilkan
peningkatan signifikan dalam prestasi akademik. Dalam studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Pashler et al. (2008), ditemukan bahwa tidak ada bukti konklusif
yang mendukung learning styles hypothesis, yakni
gagasan bahwa hasil belajar meningkat ketika instruksi disampaikan sesuai
dengan gaya belajar dominan peserta didik1.
Demikian pula,
Coffield et al. (2004), dalam tinjauan sistematis terhadap lebih dari 70 model
gaya belajar, menyimpulkan bahwa sebagian besar model memiliki masalah serius
dalam hal validitas reliabilitas psikometrik, serta tidak menunjukkan
konsistensi hasil dalam uji empiris2.
7.2.
Risiko Penerapan
Secara Kaku dan Reduktif
Pendekatan gaya
belajar yang terlalu kaku berpotensi menyebabkan labelisasi
dan pembatasan potensi peserta didik. Misalnya, seorang peserta
didik yang diberi label "visual learner" dapat merasa tidak mampu
belajar secara auditori atau kinestetik, padahal kenyataannya otak manusia
bersifat plastis dan adaptif3. Dalam jangka panjang, hal ini dapat
menghambat pengembangan strategi belajar yang lebih fleksibel dan menyeluruh.
Hal ini juga
bertentangan dengan prinsip Kurikulum Merdeka, yang
menekankan pentingnya pengembangan profil pelajar pancasila secara holistik dan
dinamis, bukan berbasis kategorisasi tetap4.
7.3.
Alternatif:
Universal Design for Learning (UDL) dan Pendekatan Multimodal
Sebagai respons atas
kritik terhadap pendekatan gaya belajar, beberapa pakar pendidikan menyarankan
pendekatan Universal Design for Learning (UDL).
UDL menekankan perlunya penyajian informasi, keterlibatan, dan ekspresi
pembelajaran dalam beragam format, bukan
berdasarkan klasifikasi gaya belajar, melainkan untuk menciptakan akses dan
peluang belajar yang adil bagi semua5.
Pendekatan ini
mendukung strategi pembelajaran multimodal,
yang tidak hanya mengakomodasi preferensi tertentu, tetapi juga melatih
peserta didik untuk berkembang lintas modalitas. Dengan kata
lain, peserta didik tidak dikotak-kotakkan, tetapi didorong untuk memperluas
kapasitas belajar mereka melalui beragam pengalaman.
7.4.
Sikap Bijak dalam
Memanfaatkan Konsep Gaya Belajar
Terlepas dari kritik
tersebut, banyak pendidik tetap menemukan nilai praktis dalam menggunakan
konsep gaya belajar sebagai alat reflektif dan eksploratif,
bukan sebagai kategori tetap. Jika digunakan secara fleksibel dan tidak
deterministik, gaya belajar dapat membantu guru mengenali kebutuhan peserta
didik secara lebih personal, selama tidak dijadikan satu-satunya dasar dalam
merancang pembelajaran6.
Dengan demikian,
pendekatan yang disarankan adalah gabungan antara pemetaan gaya belajar secara
terbuka, penggunaan metode pembelajaran variatif, serta
pembinaan kesadaran metakognitif peserta didik dalam memilih strategi belajar
yang paling efektif bagi diri mereka.
Footnotes
[1]
Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological
Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.
[2]
Frank Coffield et al., Learning Styles and Pedagogy in Post-16
Learning: A Systematic and Critical Review (London: Learning and Skills
Research Centre, 2004), 118–130.
[3]
Paul A. Kirschner, John Sweller, and Richard E. Clark, “Why Minimal
Guidance During Instruction Does Not Work,” Educational Psychologist
41, no. 2 (2006): 75–86.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12–13.
[5]
David H. Rose dan Anne Meyer, Teaching Every Student in the Digital
Age: Universal Design for Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2002), 18–22.
[6]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to
the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 32.
8.
Studi Kasus dan Praktik Baik di Lapangan
Implementasi
pendekatan gaya belajar dalam praktik pembelajaran tidak hanya bersifat
teoritis, tetapi telah banyak diterapkan secara nyata di berbagai satuan
pendidikan, terutama dalam konteks penerapan pembelajaran berdiferensiasi
dan Kurikulum
Merdeka. Studi kasus berikut menggambarkan bagaimana pemahaman
terhadap gaya belajar peserta didik dapat berkontribusi terhadap peningkatan
partisipasi, motivasi, dan capaian pembelajaran secara keseluruhan.
8.1.
Studi Kasus di Kelas
XI IPS – MA Plus Berbasis Kurikulum Merdeka
Di Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha di Kabupaten Tasikmalaya, guru sejarah menerapkan strategi
pembelajaran berbasis gaya belajar dengan terlebih dahulu melakukan asesmen
diagnostik gaya belajar menggunakan kuesioner VARK. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa sekitar 40% peserta didik memiliki kecenderungan visual, 30%
kinestetik, dan sisanya kombinasi auditori dan read/write.
Berdasarkan data
tersebut, guru merancang kegiatan pembelajaran dengan pilihan tugas berbeda:
·
Kelompok visual
membuat infografis digital tentang perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.
·
Kelompok kinestetik
melakukan simulasi perundingan diplomatik dalam bentuk role play.
·
Kelompok auditori
menyusun podcast naratif sejarah.
·
Kelompok read/write
menulis esai sejarah berdasarkan sumber primer.
Hasil refleksi
menunjukkan bahwa partisipasi peserta didik meningkat secara signifikan. Mereka
merasa lebih termotivasi dan memiliki kontrol terhadap cara mereka belajar.
Guru mencatat peningkatan rata-rata capaian formatif sebesar 18% dibandingkan
pembelajaran dengan pendekatan konvensional1.
8.2.
Praktik Baik di
Sekolah Inklusi – SMP Negeri Inklusif di Jakarta Selatan
Di salah satu
sekolah menengah inklusi yang menerapkan prinsip Universal
Design for Learning (UDL), guru bahasa Indonesia menggunakan strategi
pembelajaran multimodal untuk menyampaikan materi “teks
prosedur”.
Guru menyediakan:
·
Video tutorial (untuk
peserta didik visual dan kinestetik).
·
Lembar bacaan naratif
prosedur (untuk peserta dengan kecenderungan literasi tinggi).
·
Penjelasan lisan melalui
diskusi interaktif (untuk peserta auditori).
Peserta didik diberi
kebebasan untuk memilih cara mereka ingin memahami dan menyajikan tugas akhir.
Dalam praktik ini, peserta didik yang sebelumnya pasif mulai menunjukkan
antusiasme dan inisiatif dalam mengerjakan proyek secara kolaboratif. Guru
melaporkan bahwa pendekatan ini meningkatkan keterlibatan emosional dan sosial
siswa, terutama bagi peserta didik berkebutuhan khusus2.
8.3.
Integrasi Gaya
Belajar dalam Penilaian Diagnostik dan Formatif
Di SDN kreatif
berbasis Kurikulum Merdeka di Yogyakarta, guru menggunakan jurnal refleksi
mingguan dan asesmen diagnostik bergaya naratif untuk memetakan gaya belajar.
Misalnya, siswa diminta menulis atau menggambar “cara belajar yang paling
disukai dan dirasa paling efektif”.
Data ini digunakan
untuk merancang:
·
Anchor
task yang memungkinkan berbagai gaya belajar untuk
berpartisipasi.
·
Penilaian
formatif berbasis pilihan, seperti presentasi visual,
eksperimen mini, cerita audio, atau laporan tertulis.
Model ini sejalan
dengan pendekatan assessment as learning yang
dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka, yang menekankan bahwa peserta didik harus
menjadi subjek aktif dalam proses penilaian dan perencanaan belajarnya3.
8.4.
Relevansi Praktik
dengan Kebijakan Nasional
Penerapan gaya
belajar dalam studi kasus di atas memperkuat amanat Permendikbudristek
No. 21 Tahun 2022, yang menekankan perlunya strategi
pembelajaran yang fleksibel, diferensiatif, dan berbasis asesmen. Selain itu,
praktik ini juga selaras dengan upaya penguatan Profil Pelajar Pancasila,
khususnya dalam aspek gotong royong, kemandirian, dan bernalar kritis4.
Kesimpulan Sementara
Studi-studi kasus di
atas menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berbasis gaya belajar dapat
diimplementasikan secara efektif dalam konteks kelas yang beragam. Kunci
keberhasilannya terletak pada:
·
Diagnostik yang valid dan
reflektif,
·
Desain pembelajaran yang
fleksibel dan multimodal,
·
Komitmen guru untuk
menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif belajar.
Footnotes
[1]
Dokumentasi Guru Sejarah MA Plus Al-Aqsha, “Laporan Refleksi
Pembelajaran Berdiferensiasi Semester Genap 2024/2025” (Tasikmalaya: Arsip
Internal Madrasah, 2025).
[2]
Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Laporan Implementasi Praktik Baik Sekolah
Inklusi di Jakarta Selatan (Jakarta: Disdik DKI, 2023), 26–28.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 33–36.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek,
2021), 9–11.
9.
Penutup
Gaya belajar peserta
didik merupakan dimensi penting dalam memahami keanekaragaman cara belajar
individu di kelas. Pemahaman terhadap gaya belajar tidak hanya memperkaya
perspektif guru dalam merancang pembelajaran yang lebih efektif, tetapi juga
menjadi landasan pedagogis bagi
penerapan pembelajaran berdiferensiasi
yang adaptif terhadap kebutuhan, minat, dan potensi setiap peserta didik. Dalam
konteks kebijakan nasional, hal ini sejalan dengan prinsip student-centered
learning yang ditegaskan dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022
tentang Standar Proses, yang mengarahkan guru untuk menyusun strategi
pembelajaran yang mempertimbangkan kesiapan dan karakteristik belajar murid1.
Berbagai teori gaya
belajar seperti VARK, Kolb’s Experiential Learning, Multiple Intelligences
Gardner, dan model Dunn & Dunn menunjukkan bahwa peserta didik tidak bisa
disamaratakan dalam proses belajarnya. Setiap individu memiliki kecenderungan
sensorik, kognitif, dan afektif yang unik dalam menyerap dan mengolah informasi2.
Oleh karena itu, guru perlu memiliki kompetensi pedagogik untuk
mengidentifikasi gaya belajar dan menerapkannya dalam perencanaan pembelajaran
yang fleksibel dan multimodal.
Namun demikian,
perlu disadari bahwa konsep gaya belajar bukan tanpa kritik. Sejumlah studi
empiris menunjukkan minimnya bukti kuat bahwa
penyesuaian metode pengajaran dengan gaya belajar akan secara langsung
meningkatkan hasil akademik3. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap
gaya belajar hendaknya tidak dilakukan secara kaku dan deterministik, melainkan
diposisikan sebagai alat bantu dalam membangun kesadaran metakognitif peserta didik,
serta sebagai dasar penyusunan strategi instruksional yang variatif dan
inklusif.
Dalam praktiknya,
studi kasus di berbagai satuan pendidikan menunjukkan bahwa penerapan strategi
pembelajaran berbasis gaya belajar mampu meningkatkan partisipasi
aktif, motivasi belajar, dan penguasaan
kompetensi peserta didik secara lebih bermakna. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika guru merancang pembelajaran yang responsif terhadap
keragaman gaya belajar, maka proses pendidikan menjadi lebih manusiawi, adil,
dan kontekstual4.
Akhirnya,
pengembangan pendekatan gaya belajar dalam dunia pendidikan Indonesia tidak
boleh terlepas dari semangat Kurikulum Merdeka yang
menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif pembelajaran, serta komitmen
untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila yang
mandiri, kreatif, kritis, gotong royong, beriman, dan berkebhinekaan global5.
Dengan demikian, gaya belajar tidak hanya menjadi alat teknis dalam proses
pembelajaran, tetapi juga sarana strategis untuk mewujudkan pendidikan yang
bermakna dan transformatif.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).
[2]
Neil D. Fleming dan Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a
Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155;
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning
and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984); Howard
Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 3rd ed.
(New York: Basic Books, 2011).
[3]
Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological
Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.
[4]
Dokumentasi Praktik Baik Guru MA Plus Al-Aqsha dan Dinas Pendidikan DKI
Jakarta, Laporan Implementasi Pembelajaran Berdiferensiasi Berbasis Gaya
Belajar, 2023–2025.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022); Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbud,
2021).
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1997). Self-efficacy:
The exercise of control. New York, NY: W. H. Freeman.
Coffield, F., Moseley, D.,
Hall, E., & Ecclestone, K. (2004). Learning styles and pedagogy in
post-16 learning: A systematic and critical review. London: Learning and
Skills Research Centre.
Dunn, R., & Dunn, K.
(1993). Teaching secondary students through their individual learning
styles: Practical approaches for grades 7–12. Boston, MA: Allyn &
Bacon.
Driscoll, M. P. (2005). Psychology
of learning for instruction (3rd ed.). Boston, MA: Pearson.
Fleming, N. D., &
Mills, C. (1992). Not another inventory, rather a catalyst for reflection. To
Improve the Academy, 11, 137–155.
Gardner, H. (2011). Frames
of mind: The theory of multiple intelligences (3rd ed.). New York, NY:
Basic Books.
Gardner, H. (2006). Multiple
intelligences: New horizons in theory and practice. New York, NY: Basic
Books.
Hofstede, G. (2001). Culture’s
consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations
across nations (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Keefe, J. W. (1987). Learning
style theory and practice. Reston, VA: National Association of Secondary
School Principals.
Kirschner, P. A., Sweller,
J., & Clark, R. E. (2006). Why minimal guidance during instruction does not
work: An analysis of the failure of constructivist, discovery, problem-based,
experiential, and inquiry-based teaching. Educational Psychologist, 41(2),
75–86. https://doi.org/10.1207/s15326985ep4102_1
Kolb, D. A. (1984). Experiential
learning: Experience as the source of learning and development. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2021). Profil pelajar Pancasila.
Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan
pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022
tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Kemendikbudristek.
Pashler, H., McDaniel, M.,
Rohrer, D., & Bjork, R. (2008). Learning styles: Concepts and evidence. Psychological
Science in the Public Interest, 9(3), 105–119. https://doi.org/10.1111/j.1539-6053.2009.01038.x
Rose, D. H., & Meyer,
A. (2002). Teaching every student in the digital age: Universal design for learning.
Alexandria, VA: ASCD.
Tomlinson, C. A. (2001). How
to differentiate instruction in mixed-ability classrooms (2nd ed.).
Alexandria, VA: ASCD.
Tomlinson, C. A. (2014). The
differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd
ed.). Alexandria, VA: ASCD.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Witkin, H. A., Oltman, P.
K., Raskin, E., & Karp, S. A. (1967). Psychological differentiation:
Studies of development. New York, NY: Wiley.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar