Selasa, 03 Juni 2025

Gaya Belajar Peserta Didik: Fondasi Diferensiasi Pembelajaran dalam Praktik Pendidikan

Gaya Belajar Peserta Didik

Fondasi Diferensiasi Pembelajaran dalam Praktik Pendidikan


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep gaya belajar peserta didik sebagai fondasi utama dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Dalam konteks pendidikan abad ke-21 dan Kurikulum Merdeka, pemahaman terhadap keragaman gaya belajar menjadi krusial bagi guru untuk merancang strategi pembelajaran yang efektif, adaptif, dan berpusat pada peserta didik. Artikel ini mengulas definisi dan landasan teoretis gaya belajar berdasarkan berbagai model terkenal seperti VARK, Kolb’s Experiential Learning, Multiple Intelligences Gardner, serta model Dunn & Dunn. Selain itu, dibahas pula faktor-faktor biologis, psikologis, sosiokultural, dan perkembangan yang memengaruhi kecenderungan belajar individu.

Proses identifikasi gaya belajar melalui instrumen diagnostik, observasi kelas, dan refleksi peserta didik ditinjau sebagai langkah awal dalam pengembangan pembelajaran yang responsif. Implikasi pedagogis terhadap perencanaan pembelajaran, desain media, serta pengelolaan kelas dijelaskan secara aplikatif. Artikel ini juga mengkaji kritik dan perdebatan akademik terhadap validitas konsep gaya belajar serta alternatif pendekatan melalui Universal Design for Learning (UDL). Studi kasus di berbagai satuan pendidikan ditampilkan untuk menunjukkan praktik baik dan efektivitas pendekatan ini di lapangan. Kesimpulan artikel menekankan pentingnya pemanfaatan gaya belajar secara bijak, dinamis, dan tidak deterministik demi mendukung pengembangan Profil Pelajar Pancasila secara utuh dan holistik.

Kata Kunci: gaya belajar, pembelajaran berdiferensiasi, Kurikulum Merdeka, strategi pembelajaran, pendidikan inklusif, Universal Design for Learning (UDL), VARK, pelajar Pancasila.


PEMBAHASAN

Memahami Gaya Belajar dalam Pendidikan


1.           Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan modern, kebutuhan untuk mengakomodasi keanekaragaman karakteristik peserta didik menjadi semakin mendesak. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam merancang proses pembelajaran yang efektif adalah gaya belajar peserta didik. Gaya belajar merujuk pada cara khas seseorang dalam menerima, mengolah, dan mengorganisasi informasi yang diterimanya selama proses pembelajaran berlangsung. Konsep ini menekankan bahwa setiap individu memiliki preferensi yang berbeda dalam menyerap dan memahami informasi, baik melalui media visual, pendengaran, pengalaman langsung, atau pendekatan lain yang bersifat multimodal1.

Pemerintah Indonesia melalui Permendikbud No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah, secara eksplisit mendorong implementasi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan menghargai keunikan masing-masing individu. Dalam konteks tersebut, diferensiasi pembelajaran menjadi salah satu strategi utama yang direkomendasikan, yakni penyusunan pembelajaran yang disesuaikan dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik—termasuk gaya belajar mereka2.

Penelitian-penelitian kontemporer menunjukkan bahwa pemahaman terhadap gaya belajar peserta didik dapat memberikan kontribusi positif terhadap perencanaan instruksional, pengelolaan kelas, hingga peningkatan motivasi dan hasil belajar. Meskipun terdapat sejumlah kritik terhadap validitas teori gaya belajar dalam praktik lapangan3, banyak praktisi pendidikan yang tetap memanfaatkan pemetaan gaya belajar sebagai landasan untuk merancang pendekatan pembelajaran berdiferensiasi, terutama dalam kelas dengan keberagaman tinggi4.

Dalam era Kurikulum Merdeka yang menekankan personalisasi, fleksibilitas, dan otonomi guru dalam proses pembelajaran, perhatian terhadap gaya belajar peserta didik menjadi semakin strategis. Hal ini juga selaras dengan prinsip “pembelajaran sepanjang hayat” yang mendorong guru dan peserta didik untuk terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan karakteristik belajar yang dinamis5. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas secara komprehensif konsep gaya belajar peserta didik, model-model teoritis yang mendasarinya, serta implikasinya terhadap strategi diferensiasi pembelajaran di sekolah.


Footnotes

[1]                Rita Dunn dan Kenneth Dunn, Teaching Students Through Their Individual Learning Styles: A Practical Approach (Reston, VA: Reston Publishing Company, 1978).

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini; serta Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah.

[3]                Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.

[4]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms (Alexandria, VA: ASCD, 2001).

[5]                OECD, The Future of Education and Skills: Education 2030 – The OECD Learning Compass 2030 (Paris: OECD Publishing, 2019).


2.           Konsep Dasar Gaya Belajar

Gaya belajar merupakan konsep psikopedagogis yang menggambarkan kecenderungan individual dalam menyerap, mengolah, dan menyimpan informasi selama proses belajar. Gaya belajar bukan sekadar preferensi sensorik, tetapi mencakup aspek kognitif, afektif, dan fisiologis yang memengaruhi bagaimana seseorang mendekati tugas-tugas belajar. Menurut Keefe, gaya belajar adalah “karakteristik kognitif, afektif, dan fisiologis yang berfungsi sebagai indikator bagaimana pelajar merasakan, berinteraksi dengan, dan merespons lingkungan belajar mereka1.

Dalam ranah pendidikan, pemahaman tentang gaya belajar dipandang sebagai elemen penting untuk menerapkan prinsip learner-centered learning, yang diamanatkan dalam berbagai kebijakan nasional. Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 menggarisbawahi bahwa proses pembelajaran harus dilandaskan pada prinsip keaktifan dan kebermaknaan, dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik, termasuk kecenderungan cara mereka belajar2. Oleh sebab itu, gaya belajar tidak dapat diabaikan dalam strategi pembelajaran yang efektif dan inklusif.

Beberapa ahli membedakan gaya belajar dari strategi belajar. Gaya belajar dianggap sebagai kecenderungan yang relatif tetap, sementara strategi belajar bersifat lebih fleksibel dan dapat dikembangkan melalui pelatihan dan bimbingan3. Meski demikian, keduanya saling berkaitan erat dan saling memengaruhi.

Secara praktis, gaya belajar sering kali dikaitkan dengan preferensi sensorik atau modalitas belajar. Misalnya, model VARK yang dikembangkan oleh Neil Fleming mengidentifikasi empat tipe utama gaya belajar: Visual, Auditory, Read/Write, dan Kinesthetic. Model ini populer digunakan di dunia pendidikan karena relatif mudah diadaptasikan dan diobservasi dalam praktik mengajar4. Di sisi lain, teori Kolb’s Experiential Learning menggarisbawahi bahwa gaya belajar juga berkaitan dengan proses reflektif dan pengalaman konkret, bukan semata-mata input sensorik5.

Lebih lanjut, konsep gaya belajar juga memiliki keterkaitan dengan teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh Howard Gardner. Gardner menegaskan bahwa peserta didik memiliki potensi belajar yang berbeda-beda, bergantung pada dominasi jenis kecerdasan tertentu seperti linguistik, logika-matematis, spasial, musikal, interpersonal, dan lain sebagainya6. Dengan demikian, gaya belajar bukanlah kategori tunggal yang kaku, melainkan spektrum kecenderungan yang beragam dan saling tumpang tindih.

Memahami konsep dasar gaya belajar tidak hanya membantu guru dalam mendesain strategi pembelajaran yang variatif dan adaptif, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun kesadaran metakognitif peserta didik. Ketika peserta didik mengenali cara belajarnya sendiri, mereka akan lebih mudah mengembangkan strategi belajar yang tepat dan produktif.


Footnotes

[1]                James W. Keefe, Learning Style Theory and Practice (Reston, VA: National Association of Secondary School Principals, 1987), 3.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[3]                Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2005), 327–328.

[4]                Neil D. Fleming and Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.

[5]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984).

[6]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 3rd ed. (New York: Basic Books, 2011).


3.           Teori dan Klasifikasi Gaya Belajar

Gaya belajar telah menjadi fokus penting dalam kajian psikologi pendidikan karena berkaitan langsung dengan efektivitas proses pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Beragam teori telah dikembangkan untuk menjelaskan dan mengklasifikasikan gaya belajar, dengan masing-masing model menawarkan pendekatan yang berbeda terhadap cara individu menyerap dan mengolah informasi. Pemahaman atas teori-teori ini memungkinkan guru untuk menyesuaikan metode pembelajaran dalam konteks diferensiasi instruksional, sebagaimana dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka dan regulasi pendidikan nasional1.

Berikut ini adalah empat model utama gaya belajar yang umum digunakan dalam konteks pendidikan:

3.1.       Model VARK – Neil Fleming

Model VARK mengelompokkan gaya belajar berdasarkan modalitas sensorik dominan: Visual, Auditory, Read/Write, dan Kinesthetic2.

·                     Gaya Visual menyukai informasi dalam bentuk gambar, diagram, peta pikiran, dan warna.

·                     Auditory cenderung memahami melalui mendengarkan diskusi, rekaman suara, atau ceramah.

·                     Read/Write lebih nyaman belajar melalui teks tertulis, baik membaca maupun menulis ulang.

·                     Kinesthetic membutuhkan gerakan atau pengalaman langsung untuk memahami informasi.

Model ini banyak digunakan karena praktis dan aplikatif, meskipun beberapa studi menyatakan bahwa hasil belajar tidak selalu meningkat hanya karena penyampaian disesuaikan dengan gaya belajar tersebut3.

3.2.       Model Pembelajaran Eksperiensial – David Kolb

David Kolb mengembangkan model Experiential Learning Theory (ELT) yang memandang belajar sebagai proses siklus yang melibatkan pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimen aktif4. Berdasarkan orientasi terhadap pengalaman dan pemrosesan informasi, Kolb mengidentifikasi empat gaya belajar utama:

·                     Diverging (pengamat reflektif): kuat dalam menghasilkan ide dan melihat berbagai perspektif.

·                     Assimilating (pemikir konseptual): unggul dalam penalaran logis dan model teoritis.

·                     Converging (pemecah masalah praktis): suka menerapkan teori ke situasi nyata.

·                     Accommodating (pelaku aktif): lebih menyukai pendekatan “coba dan perbaiki”.

Model ini digunakan dalam pengembangan kurikulum dan pelatihan yang menekankan pengalaman nyata sebagai inti dari proses belajar.

3.3.       Teori Kecerdasan Majemuk – Howard Gardner

Howard Gardner dalam teorinya tentang Multiple Intelligences (MI) menyatakan bahwa kecerdasan tidak hanya terbatas pada logika dan bahasa, tetapi mencakup setidaknya delapan domain, seperti linguistik, logika-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis5.
Setiap peserta didik memiliki kombinasi unik dari kecerdasan tersebut, yang memengaruhi bagaimana mereka paling efektif dalam belajar.

Misalnya:

·                     Peserta didik dengan kecerdasan musikal tinggi mungkin lebih menyerap informasi melalui ritme atau lagu.

·                     Mereka yang memiliki kecerdasan kinestetik akan lebih optimal belajar melalui praktik langsung dan eksperimen.

Model Gardner mengarahkan pada pemahaman bahwa gaya belajar merupakan hasil dari dominasi kecerdasan tertentu dalam diri peserta didik.

3.4.       Model Dunn and Dunn Learning Styles

Model ini dikembangkan oleh Rita dan Kenneth Dunn dan mengidentifikasi lima rangkaian stimulus yang membentuk gaya belajar: lingkungan fisik, emosional, sosiologis, fisiologis, dan psikologis6.

·                     Lingkungan meliputi cahaya, suhu, dan suara.

·                     Emosional mencakup motivasi, ketekunan, dan tanggung jawab.

·                     Sosiologis mengacu pada preferensi belajar secara individu, berpasangan, kelompok kecil, atau otoritatif.

·                     Fisiologis meliputi ritme biologis, asupan makanan, dan kebutuhan gerakan.

·                     Psikologis mencakup cara mengolah informasi secara global atau analitik.

Model ini lebih kompleks, namun memungkinkan guru untuk menyusun pendekatan pembelajaran yang sangat personal dan kontekstual.


Meskipun masing-masing teori memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda, kesamaan utamanya terletak pada pengakuan terhadap keunikan cara belajar setiap individu. Dalam praktik pendidikan kontemporer, penerapan pendekatan multimodal dan prinsip Universal Design for Learning (UDL) mulai menjadi alternatif yang diusulkan untuk mengakomodasi keragaman ini tanpa secara kaku mengelompokkan peserta didik dalam satu tipe gaya belajar tertentu7.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[2]                Neil D. Fleming and Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.

[3]                Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.

[4]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984).

[5]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 3rd ed. (New York: Basic Books, 2011).

[6]                Rita Dunn and Kenneth Dunn, Teaching Secondary Students Through Their Individual Learning Styles (Boston: Allyn & Bacon, 1993).

[7]                David H. Rose and Anne Meyer, Teaching Every Student in the Digital Age: Universal Design for Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2002).


4.           Faktor yang Mempengaruhi Gaya Belajar

Gaya belajar peserta didik tidak terbentuk dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural yang berkembang seiring waktu. Memahami faktor-faktor yang memengaruhi gaya belajar sangat penting agar guru tidak memperlakukan gaya belajar sebagai kategori tetap dan statis, melainkan sebagai kecenderungan yang dapat berubah dan berkembang sesuai konteks dan pengalaman belajar1.

4.1.       Faktor Biologis

Faktor biologis mencakup kondisi neurologis, sensitivitas sensorik, dan ritme biologis yang memengaruhi bagaimana seseorang menerima dan merespons informasi. Misalnya, individu dengan dominasi aktivitas otak di belahan kanan cenderung memiliki gaya belajar yang lebih global dan visual, sedangkan yang dominan di belahan kiri lebih analitik dan verbal2. Selain itu, preferensi terhadap waktu belajar (morning person atau night owl), kebutuhan gerak, serta kondisi kesehatan juga termasuk dalam kategori ini.

Beberapa peserta didik menunjukkan performa belajar yang lebih baik ketika informasi disajikan sesuai dengan kekuatan sensorik mereka, seperti gaya kinestetik untuk peserta yang sangat aktif secara fisik3.

4.2.       Faktor Psikologis

Motivasi belajar, kepercayaan diri, gaya kepribadian, dan strategi berpikir sangat memengaruhi kecenderungan belajar seseorang. Misalnya, peserta didik dengan motivasi intrinsik yang tinggi cenderung mengeksplorasi berbagai gaya belajar secara lebih aktif daripada peserta didik yang motivasinya rendah. Kepercayaan diri dalam suatu domain (self-efficacy) juga memengaruhi kesiapan untuk mencoba pendekatan belajar baru4.

Gaya kognitif seperti field-dependent dan field-independent berpengaruh dalam cara peserta didik mengorganisasi informasi. Mereka yang field-independent cenderung mandiri dan analitis, sementara field-dependent lebih suka bimbingan dan bekerja dalam kelompok5.

4.3.       Faktor Sosiokultural

Lingkungan sosial dan budaya turut membentuk gaya belajar seseorang. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang mendorong eksplorasi bebas dan diskusi cenderung memiliki gaya belajar yang aktif dan reflektif. Sebaliknya, lingkungan yang sangat otoriter dapat melahirkan gaya belajar yang pasif dan bergantung pada instruksi eksplisit6.

Konteks budaya juga berpengaruh. Dalam budaya kolektivistik seperti Indonesia, preferensi belajar kolaboratif dan kontekstual sering kali lebih kuat dibandingkan budaya individualistik yang lebih menekankan eksplorasi mandiri7.

4.4.       Faktor Perkembangan

Usia dan tahap perkembangan kognitif turut memengaruhi gaya belajar. Anak-anak usia dini biasanya lebih merespons pendekatan konkret dan kinestetik, sementara remaja dan dewasa muda mulai mampu berpikir abstrak dan reflektif. Seiring bertambahnya usia, individu dapat mengembangkan fleksibilitas gaya belajar melalui pengalaman dan pelatihan metakognitif8.

Hal ini sejalan dengan pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan dalam Kurikulum Merdeka, yakni menyesuaikan aktivitas belajar dengan tahap perkembangan peserta didik dan memberikan ruang diferensiasi berdasarkan kesiapan dan karakter individu9.


Kesimpulan Sementara

Faktor-faktor yang memengaruhi gaya belajar saling berinteraksi dalam membentuk preferensi unik tiap peserta didik. Guru yang memahami dimensi biologis, psikologis, sosiokultural, dan perkembangan gaya belajar akan lebih mampu merancang pembelajaran yang responsif, adaptif, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2005), 322–325.

[2]                Rita Dunn dan Kenneth Dunn, Teaching Secondary Students Through Their Individual Learning Styles (Boston: Allyn & Bacon, 1993), 45–48.

[3]                James W. Keefe, Learning Style Theory and Practice (Reston, VA: National Association of Secondary School Principals, 1987), 56–59.

[4]                Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York: Freeman, 1997), 212–216.

[5]                Herman A. Witkin et al., Psychological Differentiation: Studies of Development (New York: Wiley, 1967), 21–26.

[6]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 79–82.

[7]                Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2001), 215–220.

[8]                Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (London: Routledge & Kegan Paul, 1950), 82–87.

[9]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).


5.           Identifikasi dan Diagnostik Gaya Belajar

Pemahaman terhadap gaya belajar peserta didik tidak akan optimal tanpa proses identifikasi dan diagnostik yang sistematis. Kegiatan ini menjadi tahap krusial dalam rangka menyusun pendekatan pembelajaran yang responsif dan berdiferensiasi sebagaimana ditekankan dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, yang menyebutkan bahwa perencanaan pembelajaran harus mempertimbangkan kesiapan belajar, minat, dan karakteristik peserta didik, termasuk gaya belajar mereka1.

5.1.       Tujuan dan Manfaat Diagnostik Gaya Belajar

Proses identifikasi gaya belajar bertujuan untuk:

·                     Mengetahui preferensi belajar individu peserta didik.

·                     Menyusun strategi pembelajaran yang relevan dan efektif.

·                     Menghindari pendekatan seragam yang dapat merugikan sebagian peserta didik2.

Diagnostik ini juga dapat meningkatkan kesadaran metakognitif, yakni kemampuan peserta didik untuk memahami bagaimana mereka belajar secara optimal3.

5.2.       Alat Ukur dan Instrumen Diagnostik

Beberapa alat yang umum digunakan oleh pendidik dan konselor sekolah antara lain:

·                     Inventori VARK (Visual, Auditory, Read/ Write, Kinesthetic)

Dikembangkan oleh Neil Fleming. Kuesioner ini terdiri dari pilihan-pilihan yang mencerminkan preferensi dalam menghadapi situasi belajar, dan hasilnya menunjukkan satu atau lebih modalitas dominan peserta didik4.

·                     Learning Style Inventory (LSI)

David Kolb, yang mengukur bagaimana seseorang menghadapi pengalaman belajar melalui empat tahap siklus belajar dan menghasilkan klasifikasi empat gaya belajar utama: Diverging, Assimilating, Converging, dan Accommodating5.

·                     Dunn and Dunn Learning Style Inventory

Yang lebih rinci mencakup 21 elemen gaya belajar, mulai dari lingkungan, emosional, hingga biologis, dan sangat bermanfaat dalam pendidikan yang dipersonalisasi6.

·                     Multiple Intelligences Checklist

Howard Gardner, meskipun tidak dirancang secara langsung untuk mendiagnosis gaya belajar, alat ini dapat membantu mengidentifikasi kecerdasan dominan yang berkorelasi dengan preferensi belajar tertentu7.

Beberapa versi dari instrumen-instrumen ini tersedia secara daring maupun cetak, dan sebagian besar dapat digunakan oleh guru setelah mendapat pelatihan singkat dalam interpretasi hasilnya.

5.3.       Teknik Observasi dan Triangulasi

Selain alat ukur kuantitatif, observasi langsung oleh guru di dalam kelas merupakan pendekatan penting untuk mengenali gaya belajar. Guru dapat mengamati pola-pola berikut:

·                     Respons peserta didik terhadap metode penyampaian berbeda.

·                     Perilaku belajar dalam kerja individu dan kelompok.

·                     Ketertarikan terhadap jenis tugas dan media pembelajaran tertentu8.

Untuk meningkatkan validitas hasil identifikasi, guru dapat menerapkan triangulasi data—menggabungkan hasil kuesioner, observasi, dan refleksi peserta didik melalui wawancara atau jurnal belajar. Pendekatan ini mendukung prinsip asesmen autentik dalam Kurikulum Merdeka, yang menekankan pada asesmen diagnostik dan formatif sebagai dasar penyesuaian pembelajaran9.

5.4.       Tantangan dalam Penerapan

Meskipun bermanfaat, penerapan identifikasi gaya belajar juga menghadapi tantangan, antara lain:

·                     Terbatasnya waktu guru untuk melakukan asesmen individual.

·                     Kurangnya pelatihan guru dalam memahami instrumen secara kritis.

·                     Kecenderungan menyederhanakan hasil diagnostik menjadi kategori tetap, padahal gaya belajar bersifat dinamis10.

Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk memaknai hasil identifikasi secara fleksibel dan menjadikannya sebagai indikator awal untuk eksplorasi lebih lanjut, bukan sebagai label kaku yang membatasi potensi belajar.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[2]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 45.

[3]                Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2005), 324.

[4]                Neil D. Fleming dan Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.

[5]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984).

[6]                Rita Dunn dan Kenneth Dunn, Teaching Secondary Students Through Their Individual Learning Styles (Boston: Allyn & Bacon, 1993), 70–75.

[7]                Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 45–46.

[8]                James W. Keefe, Learning Style Theory and Practice (Reston, VA: National Association of Secondary School Principals, 1987), 84–88.

[9]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 31–35.

[10]             Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.


6.           Implikasi Gaya Belajar terhadap Strategi Pembelajaran

Pemahaman yang tepat terhadap gaya belajar peserta didik memberikan dampak signifikan terhadap efektivitas strategi pembelajaran di kelas. Dalam konteks pendidikan abad ke-21 yang menekankan pembelajaran aktif, kolaboratif, dan kontekstual, guru dituntut untuk mengadaptasi pendekatan pembelajaran agar sejalan dengan kebutuhan dan karakteristik belajar individu. Hal ini sejalan dengan prinsip yang tertuang dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, bahwa strategi pembelajaran hendaknya memperhatikan kesiapan, minat, dan profil belajar peserta didik1.

6.1.       Pembelajaran Berdiferensiasi sebagai Strategi Responsif

Salah satu strategi kunci dalam mengakomodasi perbedaan gaya belajar adalah pembelajaran berdiferensiasi (differentiated instruction). Strategi ini memungkinkan guru untuk:

·                     Menyajikan materi dalam berbagai format (teks, gambar, audio, gerakan).

·                     Menawarkan pilihan cara mengerjakan tugas (presentasi, tulisan, proyek, video).

·                     Menyediakan ruang refleksi dan diskusi berdasarkan preferensi belajar peserta didik2.

Carol Ann Tomlinson menegaskan bahwa diferensiasi dapat dilakukan pada tiga aspek utama: konten (apa yang diajarkan), proses (bagaimana diajarkan), dan produk (hasil akhir pembelajaran), dengan mempertimbangkan profil gaya belajar, kesiapan, dan minat siswa3.

6.2.       Desain Media dan Metode Pembelajaran Multimodal

Gaya belajar menjadi landasan dalam memilih dan merancang media dan metode pembelajaran yang bervariasi. Misalnya:

·                     Bagi peserta didik visual, guru dapat menggunakan infografis, peta konsep, dan video animasi.

·                     Bagi peserta auditori, strategi ceramah interaktif, podcast, atau diskusi verbal menjadi lebih efektif.

·                     Untuk peserta didik kinestetik, metode role-play, eksperimen, atau pembelajaran berbasis proyek sangat membantu4.

Pendekatan ini juga diperkuat oleh prinsip Universal Design for Learning (UDL), yang menyarankan penyajian materi dalam berbagai representasi agar dapat diakses oleh semua gaya belajar5.

6.3.       Pengelolaan Kelas Adaptif dan Kolaboratif

Pengelolaan kelas yang efektif harus mempertimbangkan dinamika gaya belajar sebagai bagian dari perbedaan individu. Guru perlu menciptakan:

·                     Lingkungan belajar yang fleksibel dan kondusif.

·                     Pengelompokan yang dinamis (berdasarkan gaya belajar atau dikombinasikan).

·                     Kegiatan kolaboratif yang mengintegrasikan kekuatan berbagai gaya belajar dalam satu tim6.

Model ini dapat meningkatkan saling pengertian dan memperluas keterampilan lintas modalitas belajar. Misalnya, peserta dengan gaya kinestetik dan auditori dapat saling menguatkan dalam menyelesaikan tugas praktik dan diskusi.

6.4.       Refleksi Metakognitif dan Pengembangan Strategi Belajar

Selain penyesuaian dari pihak guru, penting pula mendorong peserta didik untuk merefleksikan cara belajarnya sendiri. Aktivitas seperti jurnal belajar, kuis gaya belajar, atau diskusi reflektif dapat membantu siswa mengenali keunggulan dan tantangan gaya belajarnya. Ini penting untuk mengembangkan strategi belajar mandiri yang lebih adaptif dan efektif7.

Dalam jangka panjang, hal ini sejalan dengan tujuan Kurikulum Merdeka yang mendorong agency peserta didik, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri8.


Kesimpulan Sementara

Gaya belajar peserta didik bukan hanya informasi tambahan bagi guru, tetapi menjadi fondasi penting dalam menyusun strategi pembelajaran yang adil, inklusif, dan bermakna. Melalui pendekatan berdiferensiasi, desain multimodal, dan praktik reflektif, pembelajaran dapat menjadi lebih efektif dan memanusiakan peserta didik sesuai potensinya masing-masing.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[2]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 18–22.

[3]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 14–17.

[4]                Neil D. Fleming dan Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155.

[5]                David H. Rose dan Anne Meyer, Teaching Every Student in the Digital Age: Universal Design for Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2002), 25–32.

[6]                Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. (Boston: Pearson, 2005), 329–332.

[7]                Barry J. Zimmerman, “Becoming a Self-Regulated Learner: An Overview,” Theory into Practice 41, no. 2 (2002): 64–70.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–15.


7.           Kritik dan Perdebatan Akademik tentang Gaya Belajar

Meskipun konsep gaya belajar telah menjadi salah satu pendekatan populer dalam dunia pendidikan, terutama dalam upaya merancang pembelajaran yang berdiferensiasi, berbagai kajian ilmiah kontemporer menunjukkan bahwa penerapannya tidak lepas dari kritik. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga menyangkut validitas teoretis dan implikasi praktisnya terhadap hasil belajar. Oleh karena itu, penting bagi para pendidik untuk memahami posisi ilmiah gaya belajar dalam wacana pendidikan modern secara objektif dan berbasis bukti.

7.1.       Kritik terhadap Validitas Ilmiah

Salah satu kritik utama terhadap pendekatan gaya belajar datang dari kajian empiris yang menunjukkan kurangnya bukti kuat secara eksperimental bahwa penyesuaian metode pengajaran berdasarkan gaya belajar menghasilkan peningkatan signifikan dalam prestasi akademik. Dalam studi meta-analisis yang dilakukan oleh Pashler et al. (2008), ditemukan bahwa tidak ada bukti konklusif yang mendukung learning styles hypothesis, yakni gagasan bahwa hasil belajar meningkat ketika instruksi disampaikan sesuai dengan gaya belajar dominan peserta didik1.

Demikian pula, Coffield et al. (2004), dalam tinjauan sistematis terhadap lebih dari 70 model gaya belajar, menyimpulkan bahwa sebagian besar model memiliki masalah serius dalam hal validitas reliabilitas psikometrik, serta tidak menunjukkan konsistensi hasil dalam uji empiris2.

7.2.       Risiko Penerapan Secara Kaku dan Reduktif

Pendekatan gaya belajar yang terlalu kaku berpotensi menyebabkan labelisasi dan pembatasan potensi peserta didik. Misalnya, seorang peserta didik yang diberi label "visual learner" dapat merasa tidak mampu belajar secara auditori atau kinestetik, padahal kenyataannya otak manusia bersifat plastis dan adaptif3. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat pengembangan strategi belajar yang lebih fleksibel dan menyeluruh.

Hal ini juga bertentangan dengan prinsip Kurikulum Merdeka, yang menekankan pentingnya pengembangan profil pelajar pancasila secara holistik dan dinamis, bukan berbasis kategorisasi tetap4.

7.3.       Alternatif: Universal Design for Learning (UDL) dan Pendekatan Multimodal

Sebagai respons atas kritik terhadap pendekatan gaya belajar, beberapa pakar pendidikan menyarankan pendekatan Universal Design for Learning (UDL). UDL menekankan perlunya penyajian informasi, keterlibatan, dan ekspresi pembelajaran dalam beragam format, bukan berdasarkan klasifikasi gaya belajar, melainkan untuk menciptakan akses dan peluang belajar yang adil bagi semua5.

Pendekatan ini mendukung strategi pembelajaran multimodal, yang tidak hanya mengakomodasi preferensi tertentu, tetapi juga melatih peserta didik untuk berkembang lintas modalitas. Dengan kata lain, peserta didik tidak dikotak-kotakkan, tetapi didorong untuk memperluas kapasitas belajar mereka melalui beragam pengalaman.

7.4.       Sikap Bijak dalam Memanfaatkan Konsep Gaya Belajar

Terlepas dari kritik tersebut, banyak pendidik tetap menemukan nilai praktis dalam menggunakan konsep gaya belajar sebagai alat reflektif dan eksploratif, bukan sebagai kategori tetap. Jika digunakan secara fleksibel dan tidak deterministik, gaya belajar dapat membantu guru mengenali kebutuhan peserta didik secara lebih personal, selama tidak dijadikan satu-satunya dasar dalam merancang pembelajaran6.

Dengan demikian, pendekatan yang disarankan adalah gabungan antara pemetaan gaya belajar secara terbuka, penggunaan metode pembelajaran variatif, serta pembinaan kesadaran metakognitif peserta didik dalam memilih strategi belajar yang paling efektif bagi diri mereka.


Footnotes

[1]                Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.

[2]                Frank Coffield et al., Learning Styles and Pedagogy in Post-16 Learning: A Systematic and Critical Review (London: Learning and Skills Research Centre, 2004), 118–130.

[3]                Paul A. Kirschner, John Sweller, and Richard E. Clark, “Why Minimal Guidance During Instruction Does Not Work,” Educational Psychologist 41, no. 2 (2006): 75–86.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12–13.

[5]                David H. Rose dan Anne Meyer, Teaching Every Student in the Digital Age: Universal Design for Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2002), 18–22.

[6]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 32.


8.           Studi Kasus dan Praktik Baik di Lapangan

Implementasi pendekatan gaya belajar dalam praktik pembelajaran tidak hanya bersifat teoritis, tetapi telah banyak diterapkan secara nyata di berbagai satuan pendidikan, terutama dalam konteks penerapan pembelajaran berdiferensiasi dan Kurikulum Merdeka. Studi kasus berikut menggambarkan bagaimana pemahaman terhadap gaya belajar peserta didik dapat berkontribusi terhadap peningkatan partisipasi, motivasi, dan capaian pembelajaran secara keseluruhan.

8.1.       Studi Kasus di Kelas XI IPS – MA Plus Berbasis Kurikulum Merdeka

Di Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha di Kabupaten Tasikmalaya, guru sejarah menerapkan strategi pembelajaran berbasis gaya belajar dengan terlebih dahulu melakukan asesmen diagnostik gaya belajar menggunakan kuesioner VARK. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sekitar 40% peserta didik memiliki kecenderungan visual, 30% kinestetik, dan sisanya kombinasi auditori dan read/write.

Berdasarkan data tersebut, guru merancang kegiatan pembelajaran dengan pilihan tugas berbeda:

·                     Kelompok visual membuat infografis digital tentang perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.

·                     Kelompok kinestetik melakukan simulasi perundingan diplomatik dalam bentuk role play.

·                     Kelompok auditori menyusun podcast naratif sejarah.

·                     Kelompok read/write menulis esai sejarah berdasarkan sumber primer.

Hasil refleksi menunjukkan bahwa partisipasi peserta didik meningkat secara signifikan. Mereka merasa lebih termotivasi dan memiliki kontrol terhadap cara mereka belajar. Guru mencatat peningkatan rata-rata capaian formatif sebesar 18% dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan konvensional1.

8.2.       Praktik Baik di Sekolah Inklusi – SMP Negeri Inklusif di Jakarta Selatan

Di salah satu sekolah menengah inklusi yang menerapkan prinsip Universal Design for Learning (UDL), guru bahasa Indonesia menggunakan strategi pembelajaran multimodal untuk menyampaikan materi “teks prosedur”.

Guru menyediakan:

·                     Video tutorial (untuk peserta didik visual dan kinestetik).

·                     Lembar bacaan naratif prosedur (untuk peserta dengan kecenderungan literasi tinggi).

·                     Penjelasan lisan melalui diskusi interaktif (untuk peserta auditori).

Peserta didik diberi kebebasan untuk memilih cara mereka ingin memahami dan menyajikan tugas akhir. Dalam praktik ini, peserta didik yang sebelumnya pasif mulai menunjukkan antusiasme dan inisiatif dalam mengerjakan proyek secara kolaboratif. Guru melaporkan bahwa pendekatan ini meningkatkan keterlibatan emosional dan sosial siswa, terutama bagi peserta didik berkebutuhan khusus2.

8.3.       Integrasi Gaya Belajar dalam Penilaian Diagnostik dan Formatif

Di SDN kreatif berbasis Kurikulum Merdeka di Yogyakarta, guru menggunakan jurnal refleksi mingguan dan asesmen diagnostik bergaya naratif untuk memetakan gaya belajar. Misalnya, siswa diminta menulis atau menggambar “cara belajar yang paling disukai dan dirasa paling efektif”.

Data ini digunakan untuk merancang:

·                     Anchor task yang memungkinkan berbagai gaya belajar untuk berpartisipasi.

·                     Penilaian formatif berbasis pilihan, seperti presentasi visual, eksperimen mini, cerita audio, atau laporan tertulis.

Model ini sejalan dengan pendekatan assessment as learning yang dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka, yang menekankan bahwa peserta didik harus menjadi subjek aktif dalam proses penilaian dan perencanaan belajarnya3.

8.4.       Relevansi Praktik dengan Kebijakan Nasional

Penerapan gaya belajar dalam studi kasus di atas memperkuat amanat Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, yang menekankan perlunya strategi pembelajaran yang fleksibel, diferensiatif, dan berbasis asesmen. Selain itu, praktik ini juga selaras dengan upaya penguatan Profil Pelajar Pancasila, khususnya dalam aspek gotong royong, kemandirian, dan bernalar kritis4.


Kesimpulan Sementara

Studi-studi kasus di atas menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berbasis gaya belajar dapat diimplementasikan secara efektif dalam konteks kelas yang beragam. Kunci keberhasilannya terletak pada:

·                     Diagnostik yang valid dan reflektif,

·                     Desain pembelajaran yang fleksibel dan multimodal,

·                     Komitmen guru untuk menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif belajar.


Footnotes

[1]                Dokumentasi Guru Sejarah MA Plus Al-Aqsha, “Laporan Refleksi Pembelajaran Berdiferensiasi Semester Genap 2024/2025” (Tasikmalaya: Arsip Internal Madrasah, 2025).

[2]                Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Laporan Implementasi Praktik Baik Sekolah Inklusi di Jakarta Selatan (Jakarta: Disdik DKI, 2023), 26–28.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 33–36.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 9–11.


9.           Penutup

Gaya belajar peserta didik merupakan dimensi penting dalam memahami keanekaragaman cara belajar individu di kelas. Pemahaman terhadap gaya belajar tidak hanya memperkaya perspektif guru dalam merancang pembelajaran yang lebih efektif, tetapi juga menjadi landasan pedagogis bagi penerapan pembelajaran berdiferensiasi yang adaptif terhadap kebutuhan, minat, dan potensi setiap peserta didik. Dalam konteks kebijakan nasional, hal ini sejalan dengan prinsip student-centered learning yang ditegaskan dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses, yang mengarahkan guru untuk menyusun strategi pembelajaran yang mempertimbangkan kesiapan dan karakteristik belajar murid1.

Berbagai teori gaya belajar seperti VARK, Kolb’s Experiential Learning, Multiple Intelligences Gardner, dan model Dunn & Dunn menunjukkan bahwa peserta didik tidak bisa disamaratakan dalam proses belajarnya. Setiap individu memiliki kecenderungan sensorik, kognitif, dan afektif yang unik dalam menyerap dan mengolah informasi2. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kompetensi pedagogik untuk mengidentifikasi gaya belajar dan menerapkannya dalam perencanaan pembelajaran yang fleksibel dan multimodal.

Namun demikian, perlu disadari bahwa konsep gaya belajar bukan tanpa kritik. Sejumlah studi empiris menunjukkan minimnya bukti kuat bahwa penyesuaian metode pengajaran dengan gaya belajar akan secara langsung meningkatkan hasil akademik3. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap gaya belajar hendaknya tidak dilakukan secara kaku dan deterministik, melainkan diposisikan sebagai alat bantu dalam membangun kesadaran metakognitif peserta didik, serta sebagai dasar penyusunan strategi instruksional yang variatif dan inklusif.

Dalam praktiknya, studi kasus di berbagai satuan pendidikan menunjukkan bahwa penerapan strategi pembelajaran berbasis gaya belajar mampu meningkatkan partisipasi aktif, motivasi belajar, dan penguasaan kompetensi peserta didik secara lebih bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa ketika guru merancang pembelajaran yang responsif terhadap keragaman gaya belajar, maka proses pendidikan menjadi lebih manusiawi, adil, dan kontekstual4.

Akhirnya, pengembangan pendekatan gaya belajar dalam dunia pendidikan Indonesia tidak boleh terlepas dari semangat Kurikulum Merdeka yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif pembelajaran, serta komitmen untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila yang mandiri, kreatif, kritis, gotong royong, beriman, dan berkebhinekaan global5. Dengan demikian, gaya belajar tidak hanya menjadi alat teknis dalam proses pembelajaran, tetapi juga sarana strategis untuk mewujudkan pendidikan yang bermakna dan transformatif.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022).

[2]                Neil D. Fleming dan Charles Mills, “Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection,” To Improve the Academy 11 (1992): 137–155; David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984); Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 3rd ed. (New York: Basic Books, 2011).

[3]                Harold Pashler et al., “Learning Styles: Concepts and Evidence,” Psychological Science in the Public Interest 9, no. 3 (2008): 105–119.

[4]                Dokumentasi Praktik Baik Guru MA Plus Al-Aqsha dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Laporan Implementasi Pembelajaran Berdiferensiasi Berbasis Gaya Belajar, 2023–2025.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022); Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbud, 2021).


Daftar Pustaka

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York, NY: W. H. Freeman.

Coffield, F., Moseley, D., Hall, E., & Ecclestone, K. (2004). Learning styles and pedagogy in post-16 learning: A systematic and critical review. London: Learning and Skills Research Centre.

Dunn, R., & Dunn, K. (1993). Teaching secondary students through their individual learning styles: Practical approaches for grades 7–12. Boston, MA: Allyn & Bacon.

Driscoll, M. P. (2005). Psychology of learning for instruction (3rd ed.). Boston, MA: Pearson.

Fleming, N. D., & Mills, C. (1992). Not another inventory, rather a catalyst for reflection. To Improve the Academy, 11, 137–155.

Gardner, H. (2011). Frames of mind: The theory of multiple intelligences (3rd ed.). New York, NY: Basic Books.

Gardner, H. (2006). Multiple intelligences: New horizons in theory and practice. New York, NY: Basic Books.

Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Keefe, J. W. (1987). Learning style theory and practice. Reston, VA: National Association of Secondary School Principals.

Kirschner, P. A., Sweller, J., & Clark, R. E. (2006). Why minimal guidance during instruction does not work: An analysis of the failure of constructivist, discovery, problem-based, experiential, and inquiry-based teaching. Educational Psychologist, 41(2), 75–86. https://doi.org/10.1207/s15326985ep4102_1

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2021). Profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.

Pashler, H., McDaniel, M., Rohrer, D., & Bjork, R. (2008). Learning styles: Concepts and evidence. Psychological Science in the Public Interest, 9(3), 105–119. https://doi.org/10.1111/j.1539-6053.2009.01038.x

Rose, D. H., & Meyer, A. (2002). Teaching every student in the digital age: Universal design for learning. Alexandria, VA: ASCD.

Tomlinson, C. A. (2001). How to differentiate instruction in mixed-ability classrooms (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Witkin, H. A., Oltman, P. K., Raskin, E., & Karp, S. A. (1967). Psychological differentiation: Studies of development. New York, NY: Wiley.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar