Selasa, 03 Juni 2025

Kompetensi Pedagogik Guru Abad 21: Pilar Profesionalisme dalam Pendidikan Era Digital

Kompetensi Pedagogik Guru Abad 21

Pilar Profesionalisme dalam Pendidikan Era Digital


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang urgensi dan penguatan kompetensi pedagogik guru sebagai fondasi profesionalisme dalam menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21. Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan karakteristik peserta didik, kompetensi pedagogik dituntut untuk bersifat adaptif, inovatif, dan berorientasi pada pengembangan kemampuan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan literasi digital. Melalui tinjauan regulasi nasional, teori-teori pendidikan, dan studi kasus implementasi di lapangan, artikel ini mengidentifikasi enam dimensi utama kompetensi pedagogik yang relevan di era digital, yaitu: pemahaman karakteristik peserta didik, penguasaan teori belajar, perencanaan pembelajaran kontekstual, pelaksanaan pembelajaran inovatif, asesmen autentik, dan pengembangan potensi peserta didik. Selain itu, dibahas pula peran strategis TIK, tantangan implementasi, serta rekomendasi strategis lintas pemangku kepentingan untuk mendukung pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan. Temuan menunjukkan bahwa transformasi pendidikan memerlukan dukungan sistemik terhadap penguatan kompetensi pedagogik sebagai instrumen utama dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna dan transformatif.

Kata Kunci: kompetensi pedagogik, guru abad ke-21, profesionalisme, pendidikan digital, TIK dalam pembelajaran, pengembangan guru, Kurikulum Merdeka.


PEMBAHASAN

Kompetensi Pedagogik Guru Abad ke-21


1.           Pendahuluan

Perubahan zaman yang berlangsung secara cepat, terutama sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah wajah pendidikan global secara signifikan. Pendidikan di abad ke-21 ditandai oleh munculnya tantangan dan peluang baru, termasuk digitalisasi pembelajaran, perubahan karakteristik peserta didik, serta tuntutan terhadap kompetensi guru yang semakin kompleks dan dinamis. Dalam konteks ini, peran guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai fasilitator pembelajaran, pembimbing karakter, serta agen perubahan dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan zaman1.

Di Indonesia, pentingnya kompetensi guru telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyebutkan bahwa guru wajib memiliki empat kompetensi dasar: pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial2. Di antara keempat kompetensi tersebut, kompetensi pedagogik memiliki posisi strategis karena berkaitan langsung dengan kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran yang bermutu, inovatif, dan berpusat pada peserta didik. Kompetensi pedagogik bukan sekadar pemahaman terhadap materi ajar, tetapi juga mencakup penguasaan terhadap karakteristik peserta didik, pengelolaan kelas, penggunaan strategi pembelajaran, serta evaluasi hasil belajar secara menyeluruh3.

Pada era digital saat ini, penguasaan kompetensi pedagogik tidak bisa dilepaskan dari kemampuan guru dalam memanfaatkan teknologi pendidikan. Pembelajaran berbasis digital, penerapan model blended learning, serta penggunaan platform digital dalam asesmen dan interaksi kelas menjadi bagian dari praktik pedagogik modern yang harus dikuasai oleh guru abad ke-214. Lebih jauh, OECD dalam laporan Teaching and Learning International Survey (TALIS) menyebutkan bahwa kualitas guru dan pembelajaran memiliki korelasi kuat dengan pencapaian belajar siswa dan transformasi pendidikan secara menyeluruh5.

Oleh karena itu, penguatan kompetensi pedagogik guru menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka membangun pendidikan yang adaptif, inklusif, dan transformatif. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif konsep, dimensi, dan praktik implementasi kompetensi pedagogik guru abad ke-21 sebagai pilar utama profesionalisme guru di era digital, dengan mengacu pada regulasi nasional dan sumber-sumber ilmiah internasional.


Footnotes

[1]                Prensky, Marc. Digital Natives, Digital Immigrants. Vol. 9, No. 5, On the Horizon, 2001, 1–6.

[2]                Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157.

[3]                Permendiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

[4]                Mishra, Punya, dan Matthew J. Koehler. “Technological Pedagogical Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge.” Teachers College Record 108, no. 6 (2006): 1017–1054.

[5]                OECD. Teaching and Learning International Survey (TALIS) 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners. Paris: OECD Publishing, 2020.


2.           Konsep Dasar Kompetensi Pedagogik

Kompetensi pedagogik merupakan dimensi fundamental dalam profesionalisme guru yang mencerminkan kemampuan dalam merancang, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan proses pembelajaran yang efektif, kreatif, dan berpusat pada peserta didik. Di Indonesia, kompetensi ini secara resmi didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”1. Regulasi ini kemudian dijabarkan lebih rinci melalui Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, yang menetapkan bahwa kompetensi pedagogik mencakup delapan aspek inti, antara lain: (1) memahami karakteristik peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3) melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi, dan (5) mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal2.

Secara konseptual, kompetensi pedagogik berakar dari teori-teori pendidikan klasik hingga kontemporer. Teori behavioristik menekankan pentingnya penguatan stimulus-respons dalam pembelajaran, sementara teori kognitif lebih menyoroti peran aktif peserta didik dalam membangun pengetahuan melalui proses mental internal. Selanjutnya, teori konstruktivistik menegaskan bahwa pembelajaran adalah proses membangun makna secara individual maupun sosial, dan dalam konteks abad ke-21, pendekatan konektivistik muncul sebagai respons terhadap kebutuhan pembelajaran digital dan berbasis jejaring3.

Di era globalisasi dan digitalisasi, kompetensi pedagogik tidak dapat dilepaskan dari pendekatan pedagogi modern yang menuntut guru untuk memiliki pemahaman multidimensional terhadap peserta didik. Guru harus mampu mengadaptasi strategi pembelajaran berdasarkan perbedaan gaya belajar, latar belakang budaya, kemampuan teknologi, dan kebutuhan khusus peserta didik4. Dengan demikian, kompetensi pedagogik harus mencakup kecakapan literasi teknologi, berpikir kritis, kolaboratif, serta penggunaan data dalam pengambilan keputusan pembelajaran.

Selain itu, kompetensi pedagogik juga erat kaitannya dengan prinsip lifelong learning, yang menempatkan guru sebagai pembelajar sepanjang hayat. Hal ini diperkuat oleh laporan OECD TALIS, yang menekankan bahwa peningkatan kualitas pembelajaran sangat bergantung pada keterampilan pedagogik guru dan kemampuannya untuk terus beradaptasi dengan perubahan dinamika kelas, kurikulum, dan tuntutan masyarakat global5.

Dengan demikian, kompetensi pedagogik guru abad ke-21 bukan sekadar seperangkat teknik mengajar, melainkan fondasi dari pendekatan holistik terhadap proses pendidikan. Guru diharapkan tidak hanya menguasai teori pembelajaran dan manajemen kelas, tetapi juga mampu merancang pembelajaran bermakna yang relevan dengan kehidupan nyata serta membekali peserta didik dengan kecakapan hidup abad ke-21.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157.

[2]                Kementerian Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

[3]                Siemens, George. “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age.” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–10.

[4]                Darling-Hammond, Linda, et al. Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do. San Francisco: Jossey-Bass, 2005.

[5]                OECD. Teaching and Learning International Survey (TALIS) 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners. Paris: OECD Publishing, 2020.


3.           Tantangan Pembelajaran Abad ke-21

Pembelajaran abad ke-21 menghadirkan lanskap baru dalam dunia pendidikan yang menuntut guru untuk melakukan penyesuaian paradigma, metode, dan pendekatan pedagogis secara signifikan. Berbagai tantangan muncul seiring dengan perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan globalisasi informasi yang memengaruhi karakteristik peserta didik, konteks pembelajaran, serta peran guru dalam satuan pendidikan.

3.1.       Perubahan Karakteristik Peserta Didik

Generasi peserta didik abad ke-21 (Gen Z dan Gen Alpha) merupakan generasi digital-native yang telah terbiasa dengan kecepatan akses informasi, visualisasi data, dan komunikasi lintas platform. Mereka cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih pendek, lebih menyukai pembelajaran visual dan interaktif, serta menginginkan partisipasi aktif dalam proses belajar1. Hal ini menuntut guru untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang tidak lagi bersifat satu arah (teacher-centered), tetapi transformatif dan berpusat pada peserta didik (student-centered learning).

3.2.       Perkembangan Teknologi dan Disrupsi Digital

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah cara belajar, sumber belajar, dan bentuk interaksi antara guru dan siswa. Model pembelajaran konvensional yang hanya bergantung pada buku teks dan ceramah mulai tergantikan oleh blended learning, flipped classroom, pembelajaran berbasis proyek, dan platform digital pembelajaran2. Namun demikian, tantangan utama yang dihadapi guru adalah kesenjangan literasi digital dan ketersediaan infrastruktur pendukung, khususnya di wilayah dengan akses internet terbatas.

Selain itu, munculnya kecerdasan buatan (AI), big data, dan learning analytics dalam pendidikan mendorong guru untuk memahami teknologi tersebut sebagai bagian dari upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran dan asesmen berbasis data. Kompetensi pedagogik guru perlu diperluas agar mencakup penguasaan terhadap integrasi teknologi dalam pembelajaran3.

3.3.       Globalisasi dan Kompetensi Abad ke-21

Pendidikan saat ini tidak hanya bertujuan mencetak lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga adaptif, kreatif, komunikatif, kolaboratif, dan memiliki kemampuan berpikir kritis. Kompetensi-kompetensi tersebut dirangkum dalam kerangka 4C: Critical thinking, Communication, Collaboration, dan Creativity, yang menjadi fokus utama dalam kerangka kerja pembelajaran abad ke-21 menurut Partnership for 21st Century Skills4. Guru dituntut untuk mampu merancang pembelajaran yang melatih peserta didik dalam mengembangkan kecakapan tersebut, termasuk kompetensi global dan literasi digital.

Namun, tantangan utama dalam implementasinya adalah keterbatasan guru dalam mengembangkan desain pembelajaran lintas disiplin (interdisipliner), pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), serta penilaian autentik yang sesuai dengan indikator kompetensi tersebut.

3.4.       Ketimpangan Sumber Daya dan Kesiapan Institusional

Masih banyak satuan pendidikan di Indonesia yang menghadapi kendala dalam mengadopsi pembelajaran abad ke-21 secara optimal. Ketimpangan sumber daya manusia, keterbatasan pelatihan guru, minimnya dukungan kebijakan berbasis bukti, serta lemahnya sistem supervisi pembelajaran menjadi hambatan struktural dalam transformasi pendidikan5. Hal ini menyebabkan kualitas pembelajaran di berbagai daerah tidak merata, dan kompetensi pedagogik guru belum sepenuhnya dikembangkan sesuai tuntutan zaman.


Dengan demikian, pembelajaran abad ke-21 bukan hanya menghadirkan peluang untuk pembaruan pedagogik, tetapi juga menantang sistem pendidikan, guru, dan institusi untuk bertransformasi secara menyeluruh. Guru dituntut tidak hanya untuk adaptif, tetapi juga visioner dalam membentuk ekosistem belajar yang dinamis dan berdaya saing global.


Footnotes

[1]                Prensky, Marc. Digital Natives, Digital Immigrants. Vol. 9, no. 5, On the Horizon, 2001, 1–6.

[2]                Bonk, Curtis J., and Charles R. Graham, eds. The Handbook of Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco: Pfeiffer Publishing, 2006.

[3]                Redecker, Christine, et al. The Future of Learning: Preparing for Change. European Commission Joint Research Centre, 2011.

[4]                Partnership for 21st Century Learning. Framework for 21st Century Learning Definitions. Washington, D.C.: P21, 2019.

[5]                OECD. Education in Indonesia: Rising to the Challenge. Paris: OECD Publishing, 2015.


4.           Dimensi Kompetensi Pedagogik Guru Abad ke-21

Kompetensi pedagogik guru abad ke-21 tidak lagi dapat dipahami secara sempit sebagai kemampuan teknis mengajar di ruang kelas. Kompetensi ini mencakup dimensi-dimensi yang bersifat integratif, transformatif, dan kontekstual. Dalam regulasi nasional, kompetensi pedagogik dijelaskan sebagai seperangkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran secara efektif berdasarkan karakteristik peserta didik, prinsip-prinsip pembelajaran, serta pendekatan evaluatif yang holistik1. Namun, untuk menjawab tantangan abad ke-21, dimensi kompetensi pedagogik harus diperluas ke dalam enam aspek utama berikut:

4.1.       Pemahaman terhadap Karakteristik Peserta Didik

Pemahaman yang mendalam terhadap aspek psikologis, sosial, budaya, dan kognitif peserta didik merupakan dimensi utama dalam kompetensi pedagogik. Guru abad ke-21 harus mampu mengenali keberagaman latar belakang siswa dan kebutuhan belajar individual mereka, termasuk peserta didik dengan kebutuhan khusus atau latar belakang marginal2. Pemanfaatan asesmen diagnostik dan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi menjadi bagian tak terpisahkan dari kompetensi ini.

Catatan: Prinsip “student-centered learning” menempatkan kebutuhan dan potensi siswa sebagai pusat dari seluruh proses pendidikan3.

4.2.       Penguasaan Teori Belajar dan Prinsip Pendidikan

Kompetensi pedagogik mencakup penguasaan berbagai teori belajar, seperti behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan konektivisme, serta kemampuannya dalam menerjemahkan teori tersebut ke dalam strategi pembelajaran yang efektif4. Guru juga dituntut memahami prinsip perkembangan peserta didik sesuai usia, lingkungan, dan konteks sosial yang memengaruhinya.

4.3.       Perencanaan Pembelajaran yang Kreatif dan Kontekstual

Perencanaan pembelajaran harus mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kebutuhan abad ke-21, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran lintas disiplin, dan integrasi teknologi digital. Perangkat pembelajaran yang disusun guru perlu mencerminkan relevansi dunia nyata, keterampilan berpikir tingkat tinggi, serta fleksibilitas metode untuk berbagai gaya belajar5.

Dalam konteks Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Kurikulum Merdeka yang mendorong pembelajaran berdiferensiasi dan berbasis kompetensi6.

4.4.       Pelaksanaan Pembelajaran Inovatif dan Kolaboratif

Pelaksanaan pembelajaran tidak hanya membutuhkan keterampilan komunikasi, namun juga kemampuan mengelola interaksi kelas yang dinamis. Guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang partisipatif, interaktif, dan kolaboratif, baik secara luring maupun daring. Strategi seperti flipped classroom, gamifikasi, blended learning, dan pemanfaatan media digital interaktif menjadi pilihan utama dalam membangun pembelajaran yang bermakna7.

4.5.       Evaluasi Pembelajaran yang Autentik dan Berorientasi Perkembangan

Asesmen dalam pembelajaran abad ke-21 tidak hanya terfokus pada hasil akhir, melainkan juga pada proses belajar peserta didik. Guru perlu menguasai teknik asesmen autentik seperti portofolio, penilaian proyek, refleksi diri, dan asesmen formatif berbasis teknologi8. Evaluasi ini harus memberi umpan balik konstruktif dan mendorong pengembangan potensi siswa secara berkelanjutan.

4.6.       Pengembangan Potensi dan Kemandirian Peserta Didik

Kompetensi pedagogik menekankan pentingnya membimbing siswa dalam mengembangkan kemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning skills) dan keterampilan sosial-emosional. Guru harus berperan sebagai coach dan mentor, membantu peserta didik mengenal kekuatan dirinya, menetapkan tujuan belajar pribadi, serta menjadi pembelajar mandiri yang reflektif dan adaptif9.


Dengan menguasai keenam dimensi tersebut, guru abad ke-21 mampu bertransformasi menjadi fasilitator pembelajaran yang adaptif terhadap perubahan zaman dan responsif terhadap dinamika kebutuhan peserta didik. Kompetensi pedagogik yang demikian menjadi fondasi utama dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang berkeadaban, relevan, dan inklusif.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

[2]                Tomlinson, Carol Ann. The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners. 2nd ed. Alexandria, VA: ASCD, 2014.

[3]                Weimer, Maryellen. Learner-Centered Teaching: Five Key Changes to Practice. San Francisco: Jossey-Bass, 2002.

[4]                Schunk, Dale H. Learning Theories: An Educational Perspective. 6th ed. Boston: Pearson, 2012.

[5]                Trilling, Bernie, dan Charles Fadel. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass, 2009.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek, 2022.

[7]                Bonk, Curtis J., dan Charles R. Graham, eds. The Handbook of Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco: Pfeiffer Publishing, 2006.

[8]                Popham, W. James. Transformative Assessment. Alexandria, VA: ASCD, 2008.

[9]                OECD. The Future of Education and Skills: Education 2030. Paris: OECD Publishing, 2018.


5.           Peran TIK dalam Penguatan Kompetensi Pedagogik

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menjadi katalis utama dalam transformasi pembelajaran abad ke-21. Dalam konteks kompetensi pedagogik, TIK tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu pengajaran, tetapi juga sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas interaksi belajar, mengakomodasi gaya belajar peserta didik, serta memperkuat dimensi reflektif dan kolaboratif dalam proses pembelajaran1.

5.1.       TIK sebagai Media Pembelajaran Interaktif dan Personal

Integrasi TIK memungkinkan guru untuk menyusun pembelajaran yang lebih interaktif dan personal. Platform seperti Google Classroom, Edmodo, dan Moodle mendukung manajemen kelas digital yang memungkinkan guru merancang aktivitas pembelajaran asinkron dan sinkron secara lebih fleksibel. Selain itu, aplikasi seperti Kahoot, Quizizz, Padlet, dan Canva memberi ruang bagi siswa untuk terlibat dalam pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, dan partisipatif2.

Penggunaan TIK juga memperkuat pendekatan pembelajaran berbasis diferensiasi dengan menyesuaikan konten, proses, dan produk pembelajaran terhadap karakteristik individu siswa. Hal ini mendukung implementasi prinsip Universal Design for Learning (UDL) dalam pendidikan inklusif3.

5.2.       Penguatan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran melalui TIK

Dalam aspek perencanaan, TIK memberikan akses terhadap sumber-sumber pembelajaran terbuka (open educational resources) yang dapat digunakan guru untuk menyusun RPP yang lebih kaya konten, kontekstual, dan berorientasi kompetensi. Guru juga dapat memanfaatkan TIK untuk merancang model pembelajaran inovatif seperti flipped classroom, blended learning, atau project-based learning dengan dukungan multimedia yang memadai4.

Pada pelaksanaan pembelajaran, penggunaan teknologi seperti video interaktif, AR/VR, dan simulasi digital dapat meningkatkan pemahaman konsep kompleks dan abstrak secara visual dan eksperiensial. Teknologi ini mengakomodasi prinsip konstruktivisme dan konektivisme yang relevan dengan karakteristik belajar digital-native.

5.3.       Digitalisasi Asesmen dan Umpan Balik Pembelajaran

TIK juga merevolusi sistem penilaian dalam pembelajaran. Melalui platform seperti Google Forms, Socrative, dan Microsoft Forms, guru dapat merancang asesmen formatif berbasis data yang menyediakan hasil real-time dan umpan balik langsung kepada siswa. Hal ini memungkinkan guru untuk melakukan penyesuaian pembelajaran secara cepat berdasarkan hasil analisis5.

Lebih lanjut, penggunaan learning analytics memungkinkan guru untuk memantau keterlibatan dan performa siswa selama pembelajaran daring. Data ini dapat digunakan sebagai dasar refleksi pedagogis dan pengambilan keputusan yang lebih berbasis bukti (evidence-based teaching).

5.4.       Peningkatan Kapasitas Profesional Guru Melalui TIK

Peran TIK tidak terbatas pada proses pembelajaran, tetapi juga dalam pengembangan profesional guru. Melalui platform pelatihan daring seperti SIMPATIKA, Guru Belajar dan Berbagi, Ruang Guru Penggerak, hingga MOOC internasional seperti Coursera dan edX, guru dapat mengakses pelatihan, berbagi praktik baik, serta membangun komunitas belajar profesional secara fleksibel dan berkelanjutan6.

Kemampuan guru dalam memanfaatkan TIK untuk pengembangan diri menjadi bagian dari kompetensi pedagogik yang relevan dengan prinsip lifelong learning dan professional learning communities (PLC).

5.5.       Tantangan dan Implikasi Etis dalam Integrasi TIK

Meski demikian, integrasi TIK juga menghadirkan tantangan serius, seperti kesenjangan akses infrastruktur digital, rendahnya literasi digital guru, serta ancaman terhadap keamanan dan etika digital. Oleh karena itu, penguatan kompetensi pedagogik harus disertai dengan pembinaan etika profesional dan kebijakan literasi digital yang komprehensif7.


Dengan demikian, TIK berperan strategis dalam memperkuat kompetensi pedagogik guru abad ke-21 melalui inovasi pembelajaran, peningkatan efisiensi, dan perluasan akses terhadap sumber belajar. Namun, optimalisasi peran TIK membutuhkan dukungan kebijakan, pelatihan berkelanjutan, serta komitmen guru untuk terus belajar dan beradaptasi.


Footnotes

[1]                UNESCO. ICT in Education: A Critical Review and the Way Forward. Paris: UNESCO Publishing, 2020.

[2]                Mishra, Punya, and Matthew J. Koehler. “Technological Pedagogical Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge.” Teachers College Record 108, no. 6 (2006): 1017–1054.

[3]                CAST. Universal Design for Learning Guidelines, Version 2.2. Wakefield, MA: CAST, 2018.

[4]                Bonk, Curtis J., and Charles R. Graham, eds. The Handbook of Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco: Pfeiffer Publishing, 2006.

[5]                Popham, W. James. Transformative Assessment. Alexandria, VA: ASCD, 2008.

[6]                OECD. Teachers as Designers of Learning Environments: The Importance of Innovative Pedagogies. Paris: OECD Publishing, 2018.

[7]                Redecker, Christine, and Yves Punie. “European Framework for the Digital Competence of Educators: DigCompEdu.” Joint Research Centre of the European Commission, 2017.


6.           Implementasi di Lapangan: Studi Kasus dan Praktik Baik

Transformasi pedagogik di abad ke-21 tidak hanya dapat dikaji dari perspektif teoritis dan kebijakan, tetapi juga dari praktik nyata di lapangan yang menunjukkan bagaimana guru berupaya menginternalisasi dan mengimplementasikan kompetensi pedagogik dalam konteks kelas yang sesungguhnya. Implementasi tersebut sering kali terjadi melalui proses reflektif, kolaboratif, dan inovatif, dengan tetap mengacu pada karakteristik lokal dan kebutuhan peserta didik.

6.1.       Studi Kasus: Sekolah Penggerak dan Inovasi Guru

Program Sekolah Penggerak yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merupakan salah satu inisiatif strategis yang mendorong peningkatan kompetensi pedagogik guru secara menyeluruh. Di beberapa daerah seperti Kabupaten Sumedang dan Kota Yogyakarta, program ini berhasil menunjukkan praktik baik dalam pembelajaran berdiferensiasi, penggunaan asesmen diagnostik, serta pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran hybrid1.

Sebagai contoh, di SD Negeri Percobaan 2 Yogyakarta, guru-guru mengembangkan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) yang mengintegrasikan literasi, numerasi, dan kearifan lokal. Guru menggunakan Google Classroom dan Padlet untuk mendukung kolaborasi dan refleksi peserta didik. Strategi ini memungkinkan siswa mengembangkan kompetensi berpikir kritis dan komunikasi dalam konteks nyata2.

6.2.       Praktik Baik dalam Komunitas Guru: Kelompok Kerja dan PLC

Komunitas belajar profesional (Professional Learning Community/PLC) seperti Komunitas Guru Belajar dan Berbagi, Ikatan Guru Indonesia (IGI), serta Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) menjadi ruang penting dalam penguatan kompetensi pedagogik. Di komunitas ini, guru tidak hanya berbagi perangkat ajar, tetapi juga melakukan refleksi praktik pembelajaran, mengembangkan media interaktif, dan melakukan lesson study secara kolaboratif3.

Di Kabupaten Banyuwangi, misalnya, MGMP Matematika tingkat SMA memfasilitasi pelatihan guru untuk membuat video pembelajaran interaktif dengan menggunakan Camtasia dan Powtoon. Guru juga diminta menerapkan hasil pelatihan tersebut di kelas, yang kemudian dievaluasi melalui forum refleksi bersama4.

6.3.       Kolaborasi Antara Sekolah dan Lembaga Mitra

Implementasi kompetensi pedagogik juga diperkuat melalui kemitraan antara sekolah dengan lembaga eksternal seperti perguruan tinggi, LSM pendidikan, dan platform digital. Program Guru Inovatif yang diinisiasi oleh Tanoto Foundation misalnya, menyediakan pelatihan berkelanjutan tentang strategi pengajaran aktif, literasi kelas awal, dan manajemen kelas berbasis empati5.

Studi dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat juga menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang menjalin kolaborasi dengan perguruan tinggi lebih siap mengadopsi Kurikulum Merdeka dan melakukan transformasi digital dalam pembelajaran, karena mendapat pendampingan langsung dalam bentuk supervisi akademik dan pelatihan implementatif6.

6.4.       Faktor Pendukung dan Kendala Implementasi

Keberhasilan implementasi kompetensi pedagogik bergantung pada sejumlah faktor pendukung, antara lain: (1) kepemimpinan kepala sekolah yang visioner, (2) budaya kolaboratif di lingkungan sekolah, (3) dukungan TIK dan infrastruktur memadai, serta (4) kebijakan sekolah yang memberi ruang inovasi7. Sebaliknya, kendala yang sering dihadapi antara lain rendahnya motivasi guru, beban administratif yang tinggi, serta kurangnya pelatihan yang berkelanjutan dan kontekstual.


Dengan memperhatikan berbagai praktik baik di atas, dapat disimpulkan bahwa penguatan kompetensi pedagogik guru abad ke-21 bukanlah proses instan, tetapi hasil dari upaya kolektif, kolaboratif, dan kontekstual yang didukung oleh kebijakan progresif dan partisipasi aktif komunitas pendidikan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Panduan Program Sekolah Penggerak. Jakarta: Kemendikbudristek, 2022.

[2]                Direktorat Jenderal GTK. Praktik Baik Guru dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek, 2023.

[3]                Stoll, Louise, et al. “Professional Learning Communities: A Review of the Literature.” Journal of Educational Change 7, no. 4 (2006): 221–258.

[4]                IGI Banyuwangi. Laporan Kegiatan Pelatihan Video Pembelajaran Interaktif, 2022.

[5]                Tanoto Foundation. Laporan Tahunan Program Pintar. Jakarta: Tanoto Foundation, 2021.

[6]                Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat. Analisis Implementasi Kurikulum Merdeka Melalui Kemitraan Sekolah dan Perguruan Tinggi. Bandung: LPMP Jabar, 2022.

[7]                OECD. School Leadership for Learning: Insights from TALIS 2018. Paris: OECD Publishing, 2020.


7.           Implikasi Terhadap Pengembangan Profesionalisme Guru

Kompetensi pedagogik yang kuat dan kontekstual merupakan inti dari profesionalisme guru abad ke-21. Di tengah kompleksitas tuntutan pendidikan modern, guru tidak hanya dituntut untuk menguasai konten dan metodologi pembelajaran, tetapi juga untuk terus mengembangkan diri sebagai lifelong learner yang adaptif terhadap perubahan sosial, teknologi, dan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, penguatan kompetensi pedagogik memiliki implikasi langsung terhadap paradigma dan praktik pengembangan profesionalisme guru secara menyeluruh.

7.1.       Reorientasi Pengembangan Profesi Guru Berbasis Kebutuhan

Pengembangan profesionalisme guru harus bersifat demand-driven, yakni disesuaikan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Hal ini menuntut penyelenggaraan pelatihan pedagogik yang lebih kontekstual, berbasis masalah (problem-based training), dan fokus pada peningkatan keterampilan praktis, bukan sekadar pengetahuan teoritis. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 menegaskan bahwa pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) merupakan kewajiban guru untuk menjaga dan meningkatkan kompetensinya secara konsisten1.

Sayangnya, data menunjukkan bahwa sebagian besar pelatihan guru masih bersifat seragam dan kurang mempertimbangkan perbedaan konteks sekolah maupun kebutuhan individu guru. Oleh karena itu, pendekatan berbasis data seperti hasil diagnostic assessment guru dan praktik pembelajaran riil perlu dijadikan dasar dalam menyusun program pelatihan2.

7.2.       Penguatan Budaya Refleksi dan Pembelajaran Kolaboratif

Salah satu ciri guru profesional abad ke-21 adalah kemampuannya untuk melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran. Refleksi kritis memungkinkan guru mengevaluasi keberhasilan strategi pedagogik, menyesuaikan pendekatan, dan merancang perbaikan berkelanjutan. Refleksi ini semakin kuat jika dibingkai dalam komunitas belajar seperti Professional Learning Community (PLC), MGMP, dan lesson study, di mana guru saling berbagi praktik baik, saling mengobservasi, dan merancang pembelajaran bersama3.

OECD menekankan bahwa budaya kolaboratif antar-guru merupakan prediktor penting dari kualitas pembelajaran dan kepuasan kerja guru4. Di sekolah-sekolah dengan PLC yang kuat, guru lebih terbuka terhadap inovasi, lebih percaya diri, dan lebih mampu mengintegrasikan teknologi dalam pengajaran mereka.

7.3.       Peran Kepala Sekolah dan Kebijakan Institusional

Implikasi kompetensi pedagogik terhadap profesionalisme guru juga menempatkan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran (instructional leader). Kepala sekolah yang efektif mendorong terbentuknya iklim sekolah yang mendukung inovasi, memberikan umpan balik konstruktif, serta memastikan bahwa pelatihan guru menjadi bagian dari agenda strategis sekolah5.

Kebijakan sekolah juga harus memberikan ruang bagi guru untuk bereksperimen, mengevaluasi, dan memperbaiki praktiknya tanpa takut disalahkan. Lingkungan yang aman untuk belajar dan berkembang akan menumbuhkan semangat guru untuk menjadi pelaku perubahan dalam pendidikan.

7.4.       Transformasi Sistem Supervisi dan Penilaian Kinerja Guru

Penguatan kompetensi pedagogik harus diimbangi dengan sistem supervisi yang bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga developmental. Supervisi idealnya dilakukan dalam semangat kemitraan, menggunakan instrumen observasi kelas, portofolio, dan rekaman praktik mengajar sebagai alat pembinaan, bukan sekadar pengawasan6.

Selain itu, sistem penilaian kinerja guru perlu menilai dimensi pedagogik secara holistik: dari desain pembelajaran, pelaksanaan, asesmen, hingga dampaknya terhadap perkembangan peserta didik. Hasil penilaian kinerja ini dapat dijadikan dasar untuk promosi, insentif, serta penempatan dalam program pengembangan lebih lanjut.

Perluasan Akses terhadap Platform Pengembangan Daring

Dalam ekosistem digital, pengembangan profesionalisme guru tidak lagi terbatas pada pelatihan tatap muka. Berbagai platform daring seperti SIMPKB, Guru Belajar dan Berbagi, serta MOOC internasional (Coursera, edX, FutureLearn) memberikan peluang guru untuk belajar secara fleksibel, berbasis minat dan kebutuhan pribadi7. Literasi digital menjadi prasyarat penting agar guru dapat memanfaatkan sumber belajar global dan mengintegrasikannya dalam praktik lokal.


Dengan demikian, penguatan kompetensi pedagogik tidak hanya berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran, tetapi juga menjadi pengungkit utama dalam membentuk profil guru profesional yang reflektif, kolaboratif, dan inovatif. Guru tidak lagi diposisikan sebagai pelaksana kurikulum semata, tetapi sebagai perancang dan penggerak transformasi pendidikan yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

[2]                Direktorat Jenderal GTK. Analisis Kebutuhan Pengembangan Profesional Guru di Era Digital. Jakarta: Kemendikbudristek, 2021.

[3]                Stoll, Louise, et al. “Professional Learning Communities: A Review of the Literature.” Journal of Educational Change 7, no. 4 (2006): 221–258.

[4]                OECD. TALIS 2018 Results (Volume II): Teachers and School Leaders as Valued Professionals. Paris: OECD Publishing, 2020.

[5]                Hallinger, Philip, and Ronald H. Heck. “Collaborative Leadership and School Improvement: Understanding the Impact on School Capacity and Student Learning.” School Leadership & Management 30, no. 2 (2010): 95–110.

[6]                Sergiovanni, Thomas J., and Robert J. Starratt. Supervision: A Redefinition. 8th ed. New York: McGraw-Hill, 2007.

[7]                OECD. Teachers as Designers of Learning Environments: The Importance of Innovative Pedagogies. Paris: OECD Publishing, 2018.


8.           Rekomendasi Strategis

Meningkatkan kompetensi pedagogik guru abad ke-21 merupakan prioritas strategis dalam pembangunan sistem pendidikan yang inklusif, adaptif, dan transformatif. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan intervensi kebijakan dan tindakan sistematis dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sekolah, perguruan tinggi, hingga komunitas guru. Berikut ini adalah sejumlah rekomendasi strategis yang dapat dijadikan acuan dalam penguatan kompetensi pedagogik guru di era digital:

8.1.       Penguatan Kebijakan Nasional Berbasis Data dan Konteks

Pemerintah perlu menyusun kebijakan pengembangan kompetensi guru yang berbasis pada data kebutuhan nyata guru di lapangan. Hasil asesmen kompetensi guru, evaluasi kinerja, dan analisis praktik pembelajaran perlu dijadikan dasar dalam merancang program pembinaan yang diferensiatif dan berkelanjutan1.

Selain itu, revisi terhadap kebijakan pelatihan guru perlu mengarah pada peningkatan kualitas, bukan hanya kuantitas, dengan menekankan pendekatan partisipatif, kontekstual, dan praktik langsung. Kurikulum pelatihan sebaiknya disesuaikan dengan kerangka kompetensi pedagogik yang komprehensif, termasuk literasi digital, pembelajaran berdiferensiasi, dan asesmen autentik2.

8.2.       Revitalisasi Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Program PKB harus direvitalisasi agar lebih fleksibel dan responsif terhadap dinamika pembelajaran abad ke-21. Model pelatihan berbasis blended learning atau modular microlearning dapat menjadi alternatif yang memungkinkan guru belajar secara mandiri dan kontekstual3.

Pemerintah juga perlu meningkatkan sinergi antara SIMPKB, komunitas belajar guru, dan platform digital lain agar tidak terjadi fragmentasi program. Monitoring dan evaluasi pelatihan perlu menilai dampak pelatihan terhadap praktik kelas, bukan hanya partisipasi administratif.

8.3.       Penguatan Peran Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran

Kepala sekolah memiliki peran krusial sebagai katalisator dalam pengembangan kompetensi guru. Oleh karena itu, perlu disiapkan pelatihan kepemimpinan instruksional bagi kepala sekolah agar mereka mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif untuk kolaborasi, refleksi, dan inovasi pedagogik4.

Pemberian otonomi kepada kepala sekolah untuk mengelola program pelatihan internal dan supervisi berbasis bukti akan memperkuat upaya peningkatan mutu pembelajaran secara lokal dan berkelanjutan.

8.4.       Integrasi TIK dalam Desain Pembelajaran dan Profesionalisme Guru

Literasi digital guru harus menjadi fokus pengembangan ke depan. Program pelatihan literasi TIK tidak hanya mengajarkan penggunaan aplikasi, tetapi juga bagaimana TIK digunakan secara pedagogis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, asesmen, dan keterlibatan siswa5.

Pemerintah daerah dan sekolah juga perlu memastikan ketersediaan infrastruktur digital dasar (akses internet, perangkat, platform LMS) sebagai prasyarat penguatan kompetensi pedagogik berbasis teknologi.

8.5.       Kemitraan Multipihak dan Inovasi Lokal

Kementerian, Dinas Pendidikan, perguruan tinggi, LSM pendidikan, dan sektor swasta dapat membangun kemitraan kolaboratif untuk mendukung peningkatan kompetensi guru. Program seperti Sekolah Penggerak, Kampus Mengajar, dan pelatihan berbasis komunitas merupakan contoh nyata sinergi multipihak dalam transformasi pembelajaran6.

Selain itu, praktik inovatif guru di daerah perlu dihimpun, didokumentasikan, dan disebarluaskan agar dapat direplikasi oleh guru lain. Penghargaan terhadap inovasi lokal akan memperkuat motivasi guru untuk terus belajar dan berbagi praktik baik.


Dengan strategi yang terintegrasi, kontekstual, dan berkelanjutan, penguatan kompetensi pedagogik guru abad ke-21 akan menjadi gerakan kolektif yang mampu membawa sistem pendidikan menuju arah yang lebih adaptif, relevan, dan berdaya saing global.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Peta Jalan Pengembangan Kompetensi Guru Abad 21. Jakarta: Kemendikbudristek, 2022.

[2]                Kemendikbudristek. Kebijakan Transformasi Pembelajaran Melalui Guru Penggerak. Jakarta: Direktorat Jenderal GTK, 2021.

[3]                Darling-Hammond, Linda, et al. Effective Teacher Professional Development. Palo Alto, CA: Learning Policy Institute, 2017.

[4]                Hallinger, Philip. “Instructional Leadership and the School Principal: A Passing Fancy That Refuses to Fade Away.” Leadership and Policy in Schools 4, no. 3 (2005): 221–239.

[5]                Mishra, Punya, and Matthew J. Koehler. “Technological Pedagogical Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge.” Teachers College Record 108, no. 6 (2006): 1017–1054.

[6]                Tanoto Foundation. Laporan Dampak Program PINTAR: Kemitraan Inovatif untuk Transformasi Pendidikan. Jakarta: Tanoto Foundation, 2021.


9.           Penutup

Kompetensi pedagogik merupakan fondasi utama dalam membangun profesionalisme guru yang relevan dengan kebutuhan pendidikan abad ke-21. Dalam era yang ditandai oleh percepatan teknologi, globalisasi, dan dinamika sosial-budaya, guru tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai materi, melainkan sebagai fasilitator, inovator, dan pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner)1. Kemampuan pedagogik yang adaptif memungkinkan guru merancang pembelajaran yang inklusif, kontekstual, dan transformatif—yang mendorong peserta didik menjadi insan merdeka, kritis, kolaboratif, dan berdaya saing global.

Berbagai regulasi nasional, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, telah menegaskan pentingnya kompetensi pedagogik sebagai bagian dari standar profesi guru2. Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan, termasuk kesenjangan kompetensi antarwilayah, keterbatasan pelatihan yang aplikatif, rendahnya literasi digital, serta sistem supervisi yang belum sepenuhnya mendukung pembinaan berbasis praktik3.

Studi kasus dari program Sekolah Penggerak, komunitas belajar guru, dan kolaborasi multipihak menunjukkan bahwa penguatan kompetensi pedagogik tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus didukung oleh ekosistem pendidikan yang berorientasi pada refleksi, kolaborasi, dan inovasi berkelanjutan. Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta komunitas guru sebagai penggerak perubahan, memiliki peran sentral dalam memperkuat kompetensi ini dalam praktik nyata4.

Sebagai langkah ke depan, diperlukan strategi nasional yang lebih terintegrasi dan berbasis bukti, termasuk perluasan akses pelatihan berbasis digital, penguatan budaya reflektif di sekolah, serta penataan ulang sistem asesmen guru yang lebih menekankan pada dimensi pedagogik secara holistik. Di samping itu, apresiasi terhadap inovasi lokal dan praktik baik guru harus dijadikan bagian dari budaya mutu di lingkungan pendidikan.

Dengan menjadikan kompetensi pedagogik sebagai inti dari profesionalisme guru abad ke-21, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun pendidikan yang tidak hanya mengejar kecakapan akademik, tetapi juga membentuk karakter dan kecakapan hidup peserta didik secara utuh. Transformasi pendidikan tidak akan terjadi tanpa transformasi guru. Oleh karena itu, investasi pada kompetensi pedagogik adalah investasi strategis dalam membangun masa depan bangsa.


Footnotes

[1]                Trilling, Bernie, dan Charles Fadel. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass, 2009.

[2]                Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157; Kementerian Pendidikan Nasional. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

[3]                OECD. TALIS 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners. Paris: OECD Publishing, 2020.

[4]                Kemendikbudristek. Panduan Program Sekolah Penggerak. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, 2022.


Daftar Pustaka

Bonk, C. J., & Graham, C. R. (Eds.). (2006). The handbook of blended learning: Global perspectives, local designs. Pfeiffer Publishing.

CAST. (2018). Universal design for learning guidelines: Version 2.2. CAST. https://udlguidelines.cast.org

Darling-Hammond, L. (2006). Powerful teacher education: Lessons from exemplary programs. Jossey-Bass.

Darling-Hammond, L., Hyler, M. E., & Gardner, M. (2017). Effective teacher professional development. Learning Policy Institute.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2021). Kebijakan transformasi pembelajaran melalui guru penggerak. Kemendikbudristek.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2023). Praktik baik guru dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Hallinger, P. (2005). Instructional leadership and the school principal: A passing fancy that refuses to fade away. Leadership and Policy in Schools, 4(3), 221–239.

Hallinger, P., & Heck, R. H. (2010). Collaborative leadership and school improvement: Understanding the impact on school capacity and student learning. School Leadership & Management, 30(2), 95–110.

IGI Banyuwangi. (2022). Laporan kegiatan pelatihan video pembelajaran interaktif.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. https://peraturan.bpk.go.id/

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2022). Panduan program Sekolah Penggerak. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2022). Peta jalan pengembangan kompetensi guru abad 21. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat. (2022). Analisis implementasi Kurikulum Merdeka melalui kemitraan sekolah dan perguruan tinggi. LPMP Jabar.

Mishra, P., & Koehler, M. J. (2006). Technological pedagogical content knowledge: A framework for teacher knowledge. Teachers College Record, 108(6), 1017–1054.

OECD. (2015). Education in Indonesia: Rising to the challenge. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264230750-en

OECD. (2018). Teachers as designers of learning environments: The importance of innovative pedagogies. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264085374-en

OECD. (2020). TALIS 2018 results: Teachers and school leaders as lifelong learners (Vol. 2). OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/19cf08df-en

Partnership for 21st Century Learning. (2019). Framework for 21st century learning definitions. Battelle for Kids. http://www.battelleforkids.org/networks/p21/frameworks-resources

Popham, W. J. (2008). Transformative assessment. ASCD.

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.

Redecker, C., & Punie, Y. (2017). European framework for the digital competence of educators: DigCompEdu. Joint Research Centre of the European Commission. https://publications.jrc.ec.europa.eu

Redecker, C., et al. (2011). The future of learning: Preparing for change. European Commission Joint Research Centre.

Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157.

Sergiovanni, T. J., & Starratt, R. J. (2007). Supervision: A redefinition (8th ed.). McGraw-Hill.

Siemens, G. (2005). Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3–10.

Stoll, L., Bolam, R., McMahon, A., Wallace, M., & Thomas, S. (2006). Professional learning communities: A review of the literature. Journal of Educational Change, 7(4), 221–258.

Tanoto Foundation. (2021). Laporan tahunan program PINTAR: Kemitraan inovatif untuk transformasi pendidikan. Tanoto Foundation.

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times. Jossey-Bass.

Weimer, M. (2002). Learner-centered teaching: Five key changes to practice. Jossey-Bass.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar