Kompetensi Pedagogik Guru Abad 21
Pilar Profesionalisme dalam Pendidikan Era Digital
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
urgensi dan penguatan kompetensi pedagogik guru sebagai fondasi profesionalisme
dalam menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21. Di tengah kemajuan teknologi
dan perubahan karakteristik peserta didik, kompetensi pedagogik dituntut untuk
bersifat adaptif, inovatif, dan berorientasi pada pengembangan kemampuan abad
ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan literasi digital. Melalui
tinjauan regulasi nasional, teori-teori pendidikan, dan studi kasus
implementasi di lapangan, artikel ini mengidentifikasi enam dimensi utama
kompetensi pedagogik yang relevan di era digital, yaitu: pemahaman karakteristik
peserta didik, penguasaan teori belajar, perencanaan pembelajaran kontekstual,
pelaksanaan pembelajaran inovatif, asesmen autentik, dan pengembangan potensi
peserta didik. Selain itu, dibahas pula peran strategis TIK, tantangan
implementasi, serta rekomendasi strategis lintas pemangku kepentingan untuk
mendukung pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan. Temuan
menunjukkan bahwa transformasi pendidikan memerlukan dukungan sistemik terhadap
penguatan kompetensi pedagogik sebagai instrumen utama dalam menciptakan
pembelajaran yang bermakna dan transformatif.
Kata Kunci: kompetensi pedagogik, guru abad ke-21,
profesionalisme, pendidikan digital, TIK dalam pembelajaran, pengembangan guru,
Kurikulum Merdeka.
PEMBAHASAN
Kompetensi Pedagogik Guru Abad ke-21
1.
Pendahuluan
Perubahan zaman yang
berlangsung secara cepat, terutama sebagai dampak dari kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, telah mengubah wajah pendidikan global secara
signifikan. Pendidikan di abad ke-21 ditandai oleh munculnya tantangan dan
peluang baru, termasuk digitalisasi pembelajaran, perubahan karakteristik
peserta didik, serta tuntutan terhadap kompetensi guru yang semakin kompleks
dan dinamis. Dalam konteks ini, peran guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai
informasi, melainkan sebagai fasilitator pembelajaran, pembimbing karakter,
serta agen perubahan dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang responsif
terhadap kebutuhan zaman1.
Di Indonesia,
pentingnya kompetensi guru telah ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyebutkan
bahwa guru wajib memiliki empat kompetensi dasar: pedagogik, profesional,
kepribadian, dan sosial2. Di antara keempat kompetensi tersebut, kompetensi
pedagogik memiliki posisi strategis karena berkaitan langsung
dengan kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran yang bermutu,
inovatif, dan berpusat pada peserta didik. Kompetensi pedagogik bukan sekadar
pemahaman terhadap materi ajar, tetapi juga mencakup penguasaan terhadap
karakteristik peserta didik, pengelolaan kelas, penggunaan strategi
pembelajaran, serta evaluasi hasil belajar secara menyeluruh3.
Pada era digital
saat ini, penguasaan kompetensi pedagogik tidak bisa dilepaskan dari kemampuan
guru dalam memanfaatkan teknologi pendidikan. Pembelajaran berbasis digital,
penerapan model blended learning, serta penggunaan platform digital dalam
asesmen dan interaksi kelas menjadi bagian dari praktik pedagogik modern yang
harus dikuasai oleh guru abad ke-214. Lebih jauh, OECD
dalam laporan Teaching and Learning International Survey
(TALIS) menyebutkan bahwa kualitas guru dan pembelajaran
memiliki korelasi kuat dengan pencapaian belajar siswa dan transformasi
pendidikan secara menyeluruh5.
Oleh karena itu,
penguatan kompetensi pedagogik guru menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka
membangun pendidikan yang adaptif, inklusif, dan transformatif. Artikel ini
bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif konsep, dimensi, dan praktik
implementasi kompetensi pedagogik guru abad ke-21 sebagai pilar utama
profesionalisme guru di era digital, dengan mengacu pada regulasi nasional dan
sumber-sumber ilmiah internasional.
Footnotes
[1]
Prensky, Marc. Digital Natives, Digital Immigrants. Vol. 9,
No. 5, On the Horizon, 2001, 1–6.
[2]
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 157.
[3]
Permendiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
[4]
Mishra, Punya, dan Matthew J. Koehler. “Technological Pedagogical
Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge.” Teachers College
Record 108, no. 6 (2006): 1017–1054.
[5]
OECD. Teaching and Learning International Survey (TALIS) 2018
Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners. Paris: OECD
Publishing, 2020.
2.
Konsep Dasar Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik
merupakan dimensi fundamental dalam profesionalisme guru yang mencerminkan
kemampuan dalam merancang, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan proses
pembelajaran yang efektif, kreatif, dan berpusat pada peserta didik. Di
Indonesia, kompetensi ini secara resmi didefinisikan dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai “kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik”1. Regulasi ini kemudian
dijabarkan lebih rinci melalui Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007,
yang menetapkan bahwa kompetensi pedagogik mencakup delapan aspek inti, antara
lain: (1) memahami karakteristik peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3)
melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi, dan (5)
mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal2.
Secara konseptual,
kompetensi pedagogik berakar dari teori-teori pendidikan klasik hingga kontemporer.
Teori behavioristik menekankan pentingnya penguatan stimulus-respons dalam
pembelajaran, sementara teori kognitif lebih menyoroti peran aktif peserta
didik dalam membangun pengetahuan melalui proses mental internal. Selanjutnya,
teori konstruktivistik menegaskan bahwa pembelajaran adalah proses membangun
makna secara individual maupun sosial, dan dalam konteks abad ke-21, pendekatan
konektivistik
muncul sebagai respons terhadap kebutuhan pembelajaran digital dan berbasis
jejaring3.
Di era globalisasi
dan digitalisasi, kompetensi pedagogik tidak dapat dilepaskan dari pendekatan pedagogi
modern yang menuntut guru untuk memiliki pemahaman
multidimensional terhadap peserta didik. Guru harus mampu mengadaptasi strategi
pembelajaran berdasarkan perbedaan gaya belajar, latar belakang budaya,
kemampuan teknologi, dan kebutuhan khusus peserta didik4. Dengan
demikian, kompetensi pedagogik harus mencakup kecakapan literasi teknologi,
berpikir kritis, kolaboratif, serta penggunaan data dalam pengambilan keputusan
pembelajaran.
Selain itu,
kompetensi pedagogik juga erat kaitannya dengan prinsip lifelong
learning, yang menempatkan guru sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Hal ini diperkuat oleh laporan OECD TALIS, yang menekankan
bahwa peningkatan kualitas pembelajaran sangat bergantung pada keterampilan
pedagogik guru dan kemampuannya untuk terus beradaptasi dengan perubahan
dinamika kelas, kurikulum, dan tuntutan masyarakat global5.
Dengan demikian,
kompetensi pedagogik guru abad ke-21 bukan sekadar seperangkat teknik mengajar,
melainkan fondasi dari pendekatan holistik terhadap proses pendidikan. Guru
diharapkan tidak hanya menguasai teori pembelajaran dan manajemen kelas, tetapi
juga mampu merancang pembelajaran bermakna yang relevan dengan kehidupan nyata
serta membekali peserta didik dengan kecakapan hidup abad ke-21.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 157.
[2]
Kementerian Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru.
[3]
Siemens, George. “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age.”
International Journal of Instructional Technology and Distance Learning
2, no. 1 (2005): 3–10.
[4]
Darling-Hammond, Linda, et al. Preparing Teachers for a Changing
World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do. San Francisco:
Jossey-Bass, 2005.
[5]
OECD. Teaching and Learning International Survey (TALIS) 2018
Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners. Paris: OECD
Publishing, 2020.
3.
Tantangan Pembelajaran Abad ke-21
Pembelajaran abad
ke-21 menghadirkan lanskap baru dalam dunia pendidikan yang menuntut guru untuk
melakukan penyesuaian paradigma, metode, dan pendekatan pedagogis secara
signifikan. Berbagai tantangan muncul seiring dengan perubahan sosial,
perkembangan teknologi, dan globalisasi informasi yang memengaruhi
karakteristik peserta didik, konteks pembelajaran, serta peran guru dalam
satuan pendidikan.
3.1.
Perubahan
Karakteristik Peserta Didik
Generasi peserta
didik abad ke-21 (Gen Z dan Gen Alpha) merupakan generasi digital-native yang
telah terbiasa dengan kecepatan akses informasi, visualisasi data, dan
komunikasi lintas platform. Mereka cenderung memiliki rentang perhatian yang
lebih pendek, lebih menyukai pembelajaran visual dan interaktif, serta
menginginkan partisipasi aktif dalam proses belajar1. Hal ini
menuntut guru untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang tidak lagi
bersifat satu arah (teacher-centered), tetapi transformatif dan berpusat pada
peserta didik (student-centered learning).
3.2.
Perkembangan
Teknologi dan Disrupsi Digital
Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah cara belajar, sumber belajar, dan
bentuk interaksi antara guru dan siswa. Model pembelajaran konvensional yang
hanya bergantung pada buku teks dan ceramah mulai tergantikan oleh blended
learning, flipped classroom, pembelajaran
berbasis proyek, dan platform digital pembelajaran2.
Namun demikian, tantangan utama yang dihadapi guru adalah kesenjangan literasi
digital dan ketersediaan infrastruktur pendukung, khususnya di wilayah dengan
akses internet terbatas.
Selain itu,
munculnya kecerdasan buatan (AI), big data,
dan learning
analytics dalam pendidikan mendorong guru untuk memahami
teknologi tersebut sebagai bagian dari upaya meningkatkan efektivitas
pembelajaran dan asesmen berbasis data. Kompetensi pedagogik guru perlu
diperluas agar mencakup penguasaan terhadap integrasi teknologi dalam
pembelajaran3.
3.3.
Globalisasi dan
Kompetensi Abad ke-21
Pendidikan saat ini
tidak hanya bertujuan mencetak lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga
adaptif, kreatif, komunikatif, kolaboratif, dan memiliki kemampuan berpikir
kritis. Kompetensi-kompetensi tersebut dirangkum dalam kerangka 4C:
Critical
thinking, Communication, Collaboration, dan Creativity,
yang menjadi fokus utama dalam kerangka kerja pembelajaran abad ke-21 menurut Partnership
for 21st Century Skills4. Guru dituntut untuk mampu
merancang pembelajaran yang melatih peserta didik dalam mengembangkan kecakapan
tersebut, termasuk kompetensi global dan literasi digital.
Namun, tantangan
utama dalam implementasinya adalah keterbatasan guru dalam mengembangkan desain
pembelajaran lintas disiplin (interdisipliner), pembelajaran berbasis masalah
(problem-based learning), serta penilaian autentik yang sesuai dengan indikator
kompetensi tersebut.
3.4.
Ketimpangan Sumber
Daya dan Kesiapan Institusional
Masih banyak satuan
pendidikan di Indonesia yang menghadapi kendala dalam mengadopsi pembelajaran
abad ke-21 secara optimal. Ketimpangan sumber daya manusia, keterbatasan
pelatihan guru, minimnya dukungan kebijakan berbasis bukti, serta lemahnya
sistem supervisi pembelajaran menjadi hambatan struktural dalam transformasi
pendidikan5. Hal ini menyebabkan kualitas pembelajaran di berbagai
daerah tidak merata, dan kompetensi pedagogik guru belum sepenuhnya
dikembangkan sesuai tuntutan zaman.
Dengan demikian,
pembelajaran abad ke-21 bukan hanya menghadirkan peluang untuk pembaruan
pedagogik, tetapi juga menantang sistem pendidikan, guru, dan institusi untuk
bertransformasi secara menyeluruh. Guru dituntut tidak hanya untuk adaptif,
tetapi juga visioner dalam membentuk ekosistem belajar yang dinamis dan berdaya
saing global.
Footnotes
[1]
Prensky, Marc. Digital Natives, Digital Immigrants. Vol. 9,
no. 5, On the Horizon, 2001, 1–6.
[2]
Bonk, Curtis J., and Charles R. Graham, eds. The Handbook of
Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco:
Pfeiffer Publishing, 2006.
[3]
Redecker, Christine, et al. The Future of Learning: Preparing for
Change. European Commission Joint Research Centre, 2011.
[4]
Partnership for 21st Century Learning. Framework for 21st Century
Learning Definitions. Washington, D.C.: P21, 2019.
[5]
OECD. Education in Indonesia: Rising to the Challenge. Paris:
OECD Publishing, 2015.
4.
Dimensi Kompetensi Pedagogik Guru Abad ke-21
Kompetensi pedagogik
guru abad ke-21 tidak lagi dapat dipahami secara sempit sebagai kemampuan
teknis mengajar di ruang kelas. Kompetensi ini mencakup dimensi-dimensi yang
bersifat integratif, transformatif, dan kontekstual. Dalam regulasi nasional,
kompetensi pedagogik dijelaskan sebagai seperangkat kemampuan guru dalam
mengelola pembelajaran secara efektif berdasarkan karakteristik peserta didik,
prinsip-prinsip pembelajaran, serta pendekatan evaluatif yang holistik1.
Namun, untuk menjawab tantangan abad ke-21, dimensi kompetensi pedagogik harus
diperluas ke dalam enam aspek utama berikut:
4.1.
Pemahaman terhadap
Karakteristik Peserta Didik
Pemahaman yang
mendalam terhadap aspek psikologis, sosial, budaya, dan kognitif peserta didik
merupakan dimensi utama dalam kompetensi pedagogik. Guru abad ke-21 harus mampu
mengenali keberagaman latar belakang siswa dan kebutuhan belajar individual
mereka, termasuk peserta didik dengan kebutuhan khusus atau latar belakang
marginal2. Pemanfaatan asesmen diagnostik dan pendekatan
pembelajaran berdiferensiasi menjadi bagian tak terpisahkan dari kompetensi
ini.
Catatan: Prinsip
“student-centered learning” menempatkan kebutuhan dan potensi siswa sebagai
pusat dari seluruh proses pendidikan3.
4.2.
Penguasaan Teori
Belajar dan Prinsip Pendidikan
Kompetensi pedagogik
mencakup penguasaan berbagai teori belajar, seperti behaviorisme, kognitivisme,
konstruktivisme, dan konektivisme, serta kemampuannya dalam menerjemahkan teori
tersebut ke dalam strategi pembelajaran yang efektif4. Guru juga
dituntut memahami prinsip perkembangan peserta didik sesuai usia, lingkungan,
dan konteks sosial yang memengaruhinya.
4.3.
Perencanaan
Pembelajaran yang Kreatif dan Kontekstual
Perencanaan
pembelajaran harus mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kebutuhan abad
ke-21, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning),
pembelajaran lintas disiplin, dan integrasi teknologi digital. Perangkat
pembelajaran yang disusun guru perlu mencerminkan relevansi dunia nyata,
keterampilan berpikir tingkat tinggi, serta fleksibilitas metode untuk berbagai
gaya belajar5.
Dalam konteks
Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Kurikulum Merdeka yang mendorong
pembelajaran berdiferensiasi dan berbasis kompetensi6.
4.4.
Pelaksanaan
Pembelajaran Inovatif dan Kolaboratif
Pelaksanaan
pembelajaran tidak hanya membutuhkan keterampilan komunikasi, namun juga
kemampuan mengelola interaksi kelas yang dinamis. Guru harus mampu menciptakan
suasana belajar yang partisipatif, interaktif, dan kolaboratif, baik secara
luring maupun daring. Strategi seperti flipped classroom, gamifikasi, blended
learning, dan pemanfaatan media digital interaktif menjadi pilihan utama dalam
membangun pembelajaran yang bermakna7.
4.5.
Evaluasi
Pembelajaran yang Autentik dan Berorientasi Perkembangan
Asesmen dalam
pembelajaran abad ke-21 tidak hanya terfokus pada hasil akhir, melainkan juga
pada proses belajar peserta didik. Guru perlu menguasai teknik asesmen autentik
seperti portofolio, penilaian proyek, refleksi diri, dan asesmen formatif
berbasis teknologi8. Evaluasi ini harus memberi umpan balik
konstruktif dan mendorong pengembangan potensi siswa secara berkelanjutan.
4.6.
Pengembangan Potensi
dan Kemandirian Peserta Didik
Kompetensi pedagogik
menekankan pentingnya membimbing siswa dalam mengembangkan kemampuan belajar
sepanjang hayat (lifelong learning skills) dan
keterampilan sosial-emosional. Guru harus berperan sebagai coach
dan mentor,
membantu peserta didik mengenal kekuatan dirinya, menetapkan tujuan belajar
pribadi, serta menjadi pembelajar mandiri yang reflektif dan adaptif9.
Dengan menguasai
keenam dimensi tersebut, guru abad ke-21 mampu bertransformasi menjadi
fasilitator pembelajaran yang adaptif terhadap perubahan zaman dan responsif
terhadap dinamika kebutuhan peserta didik. Kompetensi pedagogik yang demikian
menjadi fondasi utama dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang berkeadaban,
relevan, dan inklusif.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru.
[2]
Tomlinson, Carol Ann. The Differentiated Classroom: Responding to
the Needs of All Learners. 2nd ed. Alexandria, VA: ASCD, 2014.
[3]
Weimer, Maryellen. Learner-Centered Teaching: Five Key Changes to
Practice. San Francisco: Jossey-Bass, 2002.
[4]
Schunk, Dale H. Learning Theories: An Educational Perspective.
6th ed. Boston: Pearson, 2012.
[5]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel. 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass, 2009.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Panduan
Implementasi Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek, 2022.
[7]
Bonk, Curtis J., dan Charles R. Graham, eds. The Handbook of
Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco:
Pfeiffer Publishing, 2006.
[8]
Popham, W. James. Transformative Assessment. Alexandria, VA:
ASCD, 2008.
[9]
OECD. The Future of Education and Skills: Education 2030.
Paris: OECD Publishing, 2018.
5.
Peran TIK dalam Penguatan Kompetensi Pedagogik
Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) telah menjadi katalis utama dalam transformasi
pembelajaran abad ke-21. Dalam konteks kompetensi pedagogik, TIK tidak hanya
berfungsi sebagai alat bantu pengajaran, tetapi juga sebagai wahana untuk
meningkatkan kualitas interaksi belajar, mengakomodasi gaya belajar peserta
didik, serta memperkuat dimensi reflektif dan kolaboratif dalam proses
pembelajaran1.
5.1.
TIK sebagai Media
Pembelajaran Interaktif dan Personal
Integrasi TIK
memungkinkan guru untuk menyusun pembelajaran yang lebih interaktif dan
personal. Platform seperti Google Classroom, Edmodo,
dan Moodle
mendukung manajemen kelas digital yang memungkinkan guru merancang aktivitas
pembelajaran asinkron dan sinkron secara lebih fleksibel. Selain itu, aplikasi
seperti Kahoot, Quizizz,
Padlet,
dan Canva
memberi ruang bagi siswa untuk terlibat dalam pembelajaran yang menyenangkan,
kreatif, dan partisipatif2.
Penggunaan TIK juga
memperkuat pendekatan pembelajaran berbasis diferensiasi dengan menyesuaikan
konten, proses, dan produk pembelajaran terhadap karakteristik individu siswa.
Hal ini mendukung implementasi prinsip Universal Design for Learning (UDL)
dalam pendidikan inklusif3.
5.2.
Penguatan
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran melalui TIK
Dalam aspek
perencanaan, TIK memberikan akses terhadap sumber-sumber pembelajaran terbuka (open
educational resources) yang dapat digunakan guru untuk menyusun RPP
yang lebih kaya konten, kontekstual, dan berorientasi kompetensi. Guru juga
dapat memanfaatkan TIK untuk merancang model pembelajaran inovatif seperti flipped
classroom, blended learning, atau project-based
learning dengan dukungan multimedia yang memadai4.
Pada pelaksanaan
pembelajaran, penggunaan teknologi seperti video interaktif, AR/VR,
dan simulasi
digital dapat meningkatkan pemahaman konsep kompleks dan
abstrak secara visual dan eksperiensial. Teknologi ini mengakomodasi prinsip
konstruktivisme dan konektivisme yang relevan dengan karakteristik belajar
digital-native.
5.3.
Digitalisasi Asesmen
dan Umpan Balik Pembelajaran
TIK juga merevolusi
sistem penilaian dalam pembelajaran. Melalui platform seperti Google
Forms, Socrative, dan Microsoft
Forms, guru dapat merancang asesmen formatif berbasis data yang
menyediakan hasil real-time dan umpan balik langsung kepada siswa. Hal ini
memungkinkan guru untuk melakukan penyesuaian pembelajaran secara cepat
berdasarkan hasil analisis5.
Lebih lanjut,
penggunaan learning analytics memungkinkan
guru untuk memantau keterlibatan dan performa siswa selama pembelajaran daring.
Data ini dapat digunakan sebagai dasar refleksi pedagogis dan pengambilan
keputusan yang lebih berbasis bukti (evidence-based teaching).
5.4.
Peningkatan
Kapasitas Profesional Guru Melalui TIK
Peran TIK tidak
terbatas pada proses pembelajaran, tetapi juga dalam pengembangan profesional
guru. Melalui platform pelatihan daring seperti SIMPATIKA, Guru
Belajar dan Berbagi, Ruang Guru Penggerak, hingga MOOC
internasional seperti Coursera dan edX,
guru dapat mengakses pelatihan, berbagi praktik baik, serta membangun komunitas
belajar profesional secara fleksibel dan berkelanjutan6.
Kemampuan guru dalam
memanfaatkan TIK untuk pengembangan diri menjadi bagian dari kompetensi
pedagogik yang relevan dengan prinsip lifelong learning dan professional
learning communities (PLC).
5.5.
Tantangan dan
Implikasi Etis dalam Integrasi TIK
Meski demikian,
integrasi TIK juga menghadirkan tantangan serius, seperti kesenjangan akses
infrastruktur digital, rendahnya literasi digital guru, serta ancaman terhadap
keamanan dan etika digital. Oleh karena itu, penguatan kompetensi pedagogik
harus disertai dengan pembinaan etika profesional dan kebijakan literasi
digital yang komprehensif7.
Dengan demikian, TIK
berperan strategis dalam memperkuat kompetensi pedagogik guru abad ke-21
melalui inovasi pembelajaran, peningkatan efisiensi, dan perluasan akses
terhadap sumber belajar. Namun, optimalisasi peran TIK membutuhkan dukungan
kebijakan, pelatihan berkelanjutan, serta komitmen guru untuk terus belajar dan
beradaptasi.
Footnotes
[1]
UNESCO. ICT in Education: A Critical Review and the Way Forward.
Paris: UNESCO Publishing, 2020.
[2]
Mishra, Punya, and Matthew J. Koehler. “Technological Pedagogical
Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge.” Teachers College
Record 108, no. 6 (2006): 1017–1054.
[3]
CAST. Universal Design for Learning Guidelines, Version 2.2.
Wakefield, MA: CAST, 2018.
[4]
Bonk, Curtis J., and Charles R. Graham, eds. The Handbook of
Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco:
Pfeiffer Publishing, 2006.
[5]
Popham, W. James. Transformative Assessment. Alexandria, VA:
ASCD, 2008.
[6]
OECD. Teachers as Designers of Learning Environments: The
Importance of Innovative Pedagogies. Paris: OECD Publishing, 2018.
[7]
Redecker, Christine, and Yves Punie. “European Framework for the
Digital Competence of Educators: DigCompEdu.” Joint Research Centre of the
European Commission, 2017.
6.
Implementasi di Lapangan: Studi Kasus dan
Praktik Baik
Transformasi
pedagogik di abad ke-21 tidak hanya dapat dikaji dari perspektif teoritis dan
kebijakan, tetapi juga dari praktik nyata di lapangan yang menunjukkan
bagaimana guru berupaya menginternalisasi dan mengimplementasikan kompetensi
pedagogik dalam konteks kelas yang sesungguhnya. Implementasi tersebut sering
kali terjadi melalui proses reflektif, kolaboratif, dan inovatif, dengan tetap
mengacu pada karakteristik lokal dan kebutuhan peserta didik.
6.1.
Studi Kasus: Sekolah
Penggerak dan Inovasi Guru
Program Sekolah
Penggerak yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi merupakan salah satu inisiatif strategis yang mendorong
peningkatan kompetensi pedagogik guru secara menyeluruh. Di beberapa daerah
seperti Kabupaten Sumedang dan Kota Yogyakarta, program ini berhasil
menunjukkan praktik baik dalam pembelajaran berdiferensiasi, penggunaan asesmen
diagnostik, serta pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran hybrid1.
Sebagai contoh, di
SD Negeri Percobaan 2 Yogyakarta, guru-guru mengembangkan pembelajaran berbasis
proyek (Project-Based Learning) yang mengintegrasikan literasi, numerasi, dan
kearifan lokal. Guru menggunakan Google Classroom dan Padlet
untuk mendukung kolaborasi dan refleksi peserta didik. Strategi ini
memungkinkan siswa mengembangkan kompetensi berpikir kritis dan komunikasi
dalam konteks nyata2.
6.2.
Praktik Baik dalam
Komunitas Guru: Kelompok Kerja dan PLC
Komunitas belajar
profesional (Professional Learning Community/PLC) seperti Komunitas
Guru Belajar dan Berbagi, Ikatan Guru Indonesia (IGI), serta
Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) menjadi
ruang penting dalam penguatan kompetensi pedagogik. Di komunitas ini, guru
tidak hanya berbagi perangkat ajar, tetapi juga melakukan refleksi praktik
pembelajaran, mengembangkan media interaktif, dan melakukan lesson study secara
kolaboratif3.
Di Kabupaten
Banyuwangi, misalnya, MGMP Matematika tingkat SMA memfasilitasi pelatihan guru
untuk membuat video pembelajaran interaktif dengan menggunakan Camtasia
dan Powtoon.
Guru juga diminta menerapkan hasil pelatihan tersebut di kelas, yang kemudian
dievaluasi melalui forum refleksi bersama4.
6.3.
Kolaborasi Antara
Sekolah dan Lembaga Mitra
Implementasi
kompetensi pedagogik juga diperkuat melalui kemitraan antara sekolah dengan
lembaga eksternal seperti perguruan tinggi, LSM pendidikan, dan platform
digital. Program Guru Inovatif yang diinisiasi oleh
Tanoto Foundation misalnya, menyediakan pelatihan berkelanjutan tentang
strategi pengajaran aktif, literasi kelas awal, dan manajemen kelas berbasis
empati5.
Studi dari Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat juga menunjukkan bahwa
sekolah-sekolah yang menjalin kolaborasi dengan perguruan tinggi lebih siap
mengadopsi Kurikulum Merdeka dan melakukan transformasi digital dalam
pembelajaran, karena mendapat pendampingan langsung dalam bentuk supervisi
akademik dan pelatihan implementatif6.
6.4.
Faktor Pendukung dan
Kendala Implementasi
Keberhasilan
implementasi kompetensi pedagogik bergantung pada sejumlah faktor pendukung,
antara lain: (1) kepemimpinan kepala sekolah yang visioner, (2) budaya
kolaboratif di lingkungan sekolah, (3) dukungan TIK dan infrastruktur memadai, serta
(4) kebijakan sekolah yang memberi ruang inovasi7. Sebaliknya,
kendala yang sering dihadapi antara lain rendahnya motivasi guru, beban
administratif yang tinggi, serta kurangnya pelatihan yang berkelanjutan dan
kontekstual.
Dengan memperhatikan
berbagai praktik baik di atas, dapat disimpulkan bahwa penguatan kompetensi
pedagogik guru abad ke-21 bukanlah proses instan, tetapi hasil dari upaya
kolektif, kolaboratif, dan kontekstual yang didukung oleh kebijakan progresif
dan partisipasi aktif komunitas pendidikan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Panduan
Program Sekolah Penggerak. Jakarta: Kemendikbudristek, 2022.
[2]
Direktorat Jenderal GTK. Praktik Baik Guru dalam Implementasi
Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek, 2023.
[3]
Stoll, Louise, et al. “Professional Learning Communities: A Review of
the Literature.” Journal of Educational Change 7, no. 4 (2006):
221–258.
[4]
IGI Banyuwangi. Laporan Kegiatan Pelatihan Video Pembelajaran
Interaktif, 2022.
[5]
Tanoto Foundation. Laporan Tahunan Program Pintar. Jakarta:
Tanoto Foundation, 2021.
[6]
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat. Analisis
Implementasi Kurikulum Merdeka Melalui Kemitraan Sekolah dan Perguruan Tinggi.
Bandung: LPMP Jabar, 2022.
[7]
OECD. School Leadership for Learning: Insights from TALIS 2018.
Paris: OECD Publishing, 2020.
7.
Implikasi Terhadap Pengembangan Profesionalisme
Guru
Kompetensi pedagogik
yang kuat dan kontekstual merupakan inti dari profesionalisme guru abad ke-21.
Di tengah kompleksitas tuntutan pendidikan modern, guru tidak hanya dituntut
untuk menguasai konten dan metodologi pembelajaran, tetapi juga untuk terus
mengembangkan diri sebagai lifelong learner yang adaptif
terhadap perubahan sosial, teknologi, dan kebijakan pendidikan. Oleh karena
itu, penguatan kompetensi pedagogik memiliki implikasi langsung terhadap
paradigma dan praktik pengembangan profesionalisme guru secara menyeluruh.
7.1.
Reorientasi
Pengembangan Profesi Guru Berbasis Kebutuhan
Pengembangan
profesionalisme guru harus bersifat demand-driven, yakni disesuaikan dengan
kebutuhan nyata di lapangan. Hal ini menuntut penyelenggaraan pelatihan
pedagogik yang lebih kontekstual, berbasis masalah (problem-based training), dan fokus
pada peningkatan keterampilan praktis, bukan sekadar pengetahuan teoritis.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 menegaskan bahwa pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB) merupakan kewajiban guru untuk menjaga dan meningkatkan
kompetensinya secara konsisten1.
Sayangnya, data
menunjukkan bahwa sebagian besar pelatihan guru masih bersifat seragam dan
kurang mempertimbangkan perbedaan konteks sekolah maupun kebutuhan individu
guru. Oleh karena itu, pendekatan berbasis data seperti hasil diagnostic
assessment guru dan praktik pembelajaran riil perlu dijadikan dasar
dalam menyusun program pelatihan2.
7.2.
Penguatan Budaya
Refleksi dan Pembelajaran Kolaboratif
Salah satu ciri guru
profesional abad ke-21 adalah kemampuannya untuk melakukan refleksi terhadap
praktik pembelajaran. Refleksi kritis memungkinkan guru mengevaluasi
keberhasilan strategi pedagogik, menyesuaikan pendekatan, dan merancang
perbaikan berkelanjutan. Refleksi ini semakin kuat jika dibingkai dalam
komunitas belajar seperti Professional Learning Community
(PLC), MGMP, dan lesson study, di mana guru saling
berbagi praktik baik, saling mengobservasi, dan merancang pembelajaran bersama3.
OECD menekankan
bahwa budaya kolaboratif antar-guru merupakan prediktor penting dari kualitas
pembelajaran dan kepuasan kerja guru4. Di sekolah-sekolah dengan PLC
yang kuat, guru lebih terbuka terhadap inovasi, lebih percaya diri, dan lebih
mampu mengintegrasikan teknologi dalam pengajaran mereka.
7.3.
Peran Kepala Sekolah
dan Kebijakan Institusional
Implikasi kompetensi
pedagogik terhadap profesionalisme guru juga menempatkan kepala sekolah sebagai
pemimpin pembelajaran (instructional leader). Kepala
sekolah yang efektif mendorong terbentuknya iklim sekolah yang mendukung
inovasi, memberikan umpan balik konstruktif, serta memastikan bahwa pelatihan
guru menjadi bagian dari agenda strategis sekolah5.
Kebijakan sekolah
juga harus memberikan ruang bagi guru untuk bereksperimen, mengevaluasi, dan
memperbaiki praktiknya tanpa takut disalahkan. Lingkungan yang aman untuk
belajar dan berkembang akan menumbuhkan semangat guru untuk menjadi pelaku
perubahan dalam pendidikan.
7.4.
Transformasi Sistem
Supervisi dan Penilaian Kinerja Guru
Penguatan kompetensi
pedagogik harus diimbangi dengan sistem supervisi yang bukan hanya bersifat
administratif, tetapi juga developmental. Supervisi idealnya
dilakukan dalam semangat kemitraan, menggunakan instrumen observasi kelas,
portofolio, dan rekaman praktik mengajar sebagai alat pembinaan, bukan sekadar
pengawasan6.
Selain itu, sistem
penilaian kinerja guru perlu menilai dimensi pedagogik secara holistik: dari
desain pembelajaran, pelaksanaan, asesmen, hingga dampaknya terhadap
perkembangan peserta didik. Hasil penilaian kinerja ini dapat dijadikan dasar
untuk promosi, insentif, serta penempatan dalam program pengembangan lebih
lanjut.
Perluasan Akses terhadap Platform Pengembangan Daring
Dalam ekosistem
digital, pengembangan profesionalisme guru tidak lagi terbatas pada pelatihan
tatap muka. Berbagai platform daring seperti SIMPKB, Guru Belajar dan Berbagi, serta MOOC
internasional (Coursera, edX, FutureLearn) memberikan peluang guru
untuk belajar secara fleksibel, berbasis minat dan kebutuhan pribadi7.
Literasi digital menjadi prasyarat penting agar guru dapat memanfaatkan sumber
belajar global dan mengintegrasikannya dalam praktik lokal.
Dengan demikian,
penguatan kompetensi pedagogik tidak hanya berdampak pada peningkatan kualitas
pembelajaran, tetapi juga menjadi pengungkit utama dalam membentuk profil guru
profesional yang reflektif, kolaboratif, dan inovatif. Guru tidak lagi
diposisikan sebagai pelaksana kurikulum semata, tetapi sebagai perancang dan
penggerak transformasi pendidikan yang berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru.
[2]
Direktorat Jenderal GTK. Analisis Kebutuhan Pengembangan
Profesional Guru di Era Digital. Jakarta: Kemendikbudristek, 2021.
[3]
Stoll, Louise, et al. “Professional Learning Communities: A Review of
the Literature.” Journal of Educational Change 7, no. 4 (2006):
221–258.
[4]
OECD. TALIS 2018 Results (Volume II): Teachers and School Leaders
as Valued Professionals. Paris: OECD Publishing, 2020.
[5]
Hallinger, Philip, and Ronald H. Heck. “Collaborative Leadership and
School Improvement: Understanding the Impact on School Capacity and Student
Learning.” School Leadership & Management 30, no. 2 (2010):
95–110.
[6]
Sergiovanni, Thomas J., and Robert J. Starratt. Supervision: A
Redefinition. 8th ed. New York: McGraw-Hill, 2007.
[7]
OECD. Teachers as Designers of Learning Environments: The
Importance of Innovative Pedagogies. Paris: OECD Publishing, 2018.
8.
Rekomendasi Strategis
Meningkatkan
kompetensi pedagogik guru abad ke-21 merupakan prioritas strategis dalam
pembangunan sistem pendidikan yang inklusif, adaptif, dan transformatif. Untuk
mencapai hal tersebut, dibutuhkan intervensi kebijakan dan tindakan sistematis
dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sekolah, perguruan
tinggi, hingga komunitas guru. Berikut ini adalah sejumlah rekomendasi
strategis yang dapat dijadikan acuan dalam penguatan kompetensi pedagogik guru
di era digital:
8.1.
Penguatan Kebijakan
Nasional Berbasis Data dan Konteks
Pemerintah perlu
menyusun kebijakan pengembangan kompetensi guru yang berbasis pada data
kebutuhan nyata guru di lapangan. Hasil asesmen kompetensi guru, evaluasi
kinerja, dan analisis praktik pembelajaran perlu dijadikan dasar dalam
merancang program pembinaan yang diferensiatif dan berkelanjutan1.
Selain itu, revisi
terhadap kebijakan pelatihan guru perlu mengarah pada peningkatan kualitas,
bukan hanya kuantitas, dengan menekankan pendekatan partisipatif, kontekstual,
dan praktik langsung. Kurikulum pelatihan sebaiknya disesuaikan dengan kerangka
kompetensi pedagogik yang komprehensif, termasuk literasi digital, pembelajaran
berdiferensiasi, dan asesmen autentik2.
8.2.
Revitalisasi Program
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
Program PKB harus
direvitalisasi agar lebih fleksibel dan responsif terhadap dinamika
pembelajaran abad ke-21. Model pelatihan berbasis blended learning atau modular
microlearning dapat menjadi alternatif yang memungkinkan guru
belajar secara mandiri dan kontekstual3.
Pemerintah juga
perlu meningkatkan sinergi antara SIMPKB, komunitas belajar guru, dan platform
digital lain agar tidak terjadi fragmentasi program. Monitoring dan evaluasi
pelatihan perlu menilai dampak pelatihan terhadap praktik kelas, bukan hanya
partisipasi administratif.
8.3.
Penguatan Peran
Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran
Kepala sekolah
memiliki peran krusial sebagai katalisator dalam pengembangan kompetensi guru.
Oleh karena itu, perlu disiapkan pelatihan kepemimpinan instruksional bagi
kepala sekolah agar mereka mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif untuk
kolaborasi, refleksi, dan inovasi pedagogik4.
Pemberian otonomi
kepada kepala sekolah untuk mengelola program pelatihan internal dan supervisi
berbasis bukti akan memperkuat upaya peningkatan mutu pembelajaran secara lokal
dan berkelanjutan.
8.4.
Integrasi TIK dalam
Desain Pembelajaran dan Profesionalisme Guru
Literasi digital
guru harus menjadi fokus pengembangan ke depan. Program pelatihan literasi TIK
tidak hanya mengajarkan penggunaan aplikasi, tetapi juga bagaimana TIK
digunakan secara pedagogis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, asesmen,
dan keterlibatan siswa5.
Pemerintah daerah
dan sekolah juga perlu memastikan ketersediaan infrastruktur digital dasar
(akses internet, perangkat, platform LMS) sebagai prasyarat penguatan
kompetensi pedagogik berbasis teknologi.
8.5.
Kemitraan Multipihak
dan Inovasi Lokal
Kementerian, Dinas
Pendidikan, perguruan tinggi, LSM pendidikan, dan sektor swasta dapat membangun
kemitraan kolaboratif untuk mendukung peningkatan kompetensi guru. Program
seperti Sekolah
Penggerak, Kampus Mengajar, dan pelatihan
berbasis komunitas merupakan contoh nyata sinergi multipihak dalam transformasi
pembelajaran6.
Selain itu, praktik
inovatif guru di daerah perlu dihimpun, didokumentasikan, dan disebarluaskan
agar dapat direplikasi oleh guru lain. Penghargaan terhadap inovasi lokal akan
memperkuat motivasi guru untuk terus belajar dan berbagi praktik baik.
Dengan strategi yang
terintegrasi, kontekstual, dan berkelanjutan, penguatan kompetensi pedagogik
guru abad ke-21 akan menjadi gerakan kolektif yang mampu membawa sistem
pendidikan menuju arah yang lebih adaptif, relevan, dan berdaya saing global.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Peta
Jalan Pengembangan Kompetensi Guru Abad 21. Jakarta: Kemendikbudristek,
2022.
[2]
Kemendikbudristek. Kebijakan Transformasi Pembelajaran Melalui Guru
Penggerak. Jakarta: Direktorat Jenderal GTK, 2021.
[3]
Darling-Hammond, Linda, et al. Effective Teacher Professional
Development. Palo Alto, CA: Learning Policy Institute, 2017.
[4]
Hallinger, Philip. “Instructional Leadership and the School Principal:
A Passing Fancy That Refuses to Fade Away.” Leadership and Policy in
Schools 4, no. 3 (2005): 221–239.
[5]
Mishra, Punya, and Matthew J. Koehler. “Technological Pedagogical
Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge.” Teachers College
Record 108, no. 6 (2006): 1017–1054.
[6]
Tanoto Foundation. Laporan Dampak Program PINTAR: Kemitraan
Inovatif untuk Transformasi Pendidikan. Jakarta: Tanoto Foundation, 2021.
9.
Penutup
Kompetensi pedagogik
merupakan fondasi utama dalam membangun profesionalisme guru yang relevan
dengan kebutuhan pendidikan abad ke-21. Dalam era yang ditandai oleh percepatan
teknologi, globalisasi, dan dinamika sosial-budaya, guru tidak lagi hanya
berperan sebagai penyampai materi, melainkan sebagai fasilitator, inovator, dan
pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner)1.
Kemampuan pedagogik yang adaptif memungkinkan guru merancang pembelajaran yang
inklusif, kontekstual, dan transformatif—yang mendorong peserta didik menjadi
insan merdeka, kritis, kolaboratif, dan berdaya saing global.
Berbagai regulasi
nasional, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, serta Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007,
telah menegaskan pentingnya kompetensi pedagogik sebagai bagian dari standar
profesi guru2. Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi
tantangan, termasuk kesenjangan kompetensi antarwilayah, keterbatasan pelatihan
yang aplikatif, rendahnya literasi digital, serta sistem supervisi yang belum
sepenuhnya mendukung pembinaan berbasis praktik3.
Studi kasus dari
program Sekolah
Penggerak, komunitas belajar guru, dan kolaborasi multipihak
menunjukkan bahwa penguatan kompetensi pedagogik tidak bisa berdiri sendiri. Ia
harus didukung oleh ekosistem pendidikan yang berorientasi pada refleksi,
kolaborasi, dan inovasi berkelanjutan. Kepala sekolah sebagai pemimpin
pembelajaran, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta komunitas guru
sebagai penggerak perubahan, memiliki peran sentral dalam memperkuat kompetensi
ini dalam praktik nyata4.
Sebagai langkah ke
depan, diperlukan strategi nasional yang lebih terintegrasi dan berbasis bukti,
termasuk perluasan akses pelatihan berbasis digital, penguatan budaya reflektif
di sekolah, serta penataan ulang sistem asesmen guru yang lebih menekankan pada
dimensi pedagogik secara holistik. Di samping itu, apresiasi terhadap inovasi
lokal dan praktik baik guru harus dijadikan bagian dari budaya mutu di
lingkungan pendidikan.
Dengan menjadikan kompetensi
pedagogik sebagai inti dari profesionalisme guru abad ke-21, Indonesia memiliki
peluang besar untuk membangun pendidikan yang tidak hanya mengejar kecakapan
akademik, tetapi juga membentuk karakter dan kecakapan hidup peserta didik
secara utuh. Transformasi pendidikan tidak akan terjadi tanpa transformasi
guru. Oleh karena itu, investasi pada kompetensi pedagogik adalah investasi
strategis dalam membangun masa depan bangsa.
Footnotes
[1]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel. 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass, 2009.
[2]
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 157; Kementerian Pendidikan Nasional. Permendiknas Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
[3]
OECD. TALIS 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong
Learners. Paris: OECD Publishing, 2020.
[4]
Kemendikbudristek. Panduan Program Sekolah Penggerak. Jakarta:
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, 2022.
Daftar Pustaka
Bonk, C. J., & Graham,
C. R. (Eds.). (2006). The handbook of blended learning: Global
perspectives, local designs. Pfeiffer Publishing.
CAST. (2018). Universal
design for learning guidelines: Version 2.2. CAST. https://udlguidelines.cast.org
Darling-Hammond, L. (2006).
Powerful teacher education: Lessons from exemplary programs.
Jossey-Bass.
Darling-Hammond, L., Hyler,
M. E., & Gardner, M. (2017). Effective teacher professional development.
Learning Policy Institute.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2021). Kebijakan transformasi pembelajaran
melalui guru penggerak. Kemendikbudristek.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2023). Praktik baik guru dalam implementasi
Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.
Hallinger, P. (2005).
Instructional leadership and the school principal: A passing fancy that refuses
to fade away. Leadership and Policy in Schools, 4(3), 221–239.
Hallinger, P., & Heck,
R. H. (2010). Collaborative leadership and school improvement: Understanding
the impact on school capacity and student learning. School Leadership &
Management, 30(2), 95–110.
IGI Banyuwangi. (2022). Laporan
kegiatan pelatihan video pembelajaran interaktif.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru. https://peraturan.bpk.go.id/
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2022). Panduan program Sekolah Penggerak.
Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2022). Peta jalan pengembangan kompetensi guru abad 21.
Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan implementasi Kurikulum
Merdeka. Kemendikbudristek.
Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) Jawa Barat. (2022). Analisis implementasi Kurikulum
Merdeka melalui kemitraan sekolah dan perguruan tinggi. LPMP Jabar.
Mishra, P., & Koehler,
M. J. (2006). Technological pedagogical content knowledge: A framework for
teacher knowledge. Teachers College Record, 108(6), 1017–1054.
OECD. (2015). Education
in Indonesia: Rising to the challenge. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264230750-en
OECD. (2018). Teachers
as designers of learning environments: The importance of innovative pedagogies.
OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264085374-en
OECD. (2020). TALIS
2018 results: Teachers and school leaders as lifelong learners (Vol. 2).
OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/19cf08df-en
Partnership for 21st
Century Learning. (2019). Framework for 21st century learning definitions.
Battelle for Kids. http://www.battelleforkids.org/networks/p21/frameworks-resources
Popham, W. J. (2008). Transformative
assessment. ASCD.
Prensky, M. (2001). Digital
natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.
Redecker, C., & Punie,
Y. (2017). European framework for the digital competence of educators:
DigCompEdu. Joint Research Centre of the European Commission. https://publications.jrc.ec.europa.eu
Redecker, C., et al.
(2011). The future of learning: Preparing for change. European
Commission Joint Research Centre.
Republik Indonesia. (2005).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157.
Sergiovanni, T. J., &
Starratt, R. J. (2007). Supervision: A redefinition (8th ed.).
McGraw-Hill.
Siemens, G. (2005).
Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal
of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3–10.
Stoll, L., Bolam, R.,
McMahon, A., Wallace, M., & Thomas, S. (2006). Professional learning communities:
A review of the literature. Journal of Educational Change, 7(4),
221–258.
Tanoto Foundation. (2021). Laporan
tahunan program PINTAR: Kemitraan inovatif untuk transformasi pendidikan.
Tanoto Foundation.
Trilling, B., & Fadel,
C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times.
Jossey-Bass.
Weimer, M. (2002). Learner-centered
teaching: Five key changes to practice. Jossey-Bass.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar