Kamis, 05 Juni 2025

Kekuasaan Yudikatif: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Kekuasaan Yudikatif

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Pemisahan Kekuasaan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji kekuasaan yudikatif sebagai salah satu cabang utama dalam sistem ketatanegaraan yang berfungsi menjamin tegaknya hukum, keadilan, dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Kajian ini disusun secara komprehensif, mulai dari landasan teoretis kekuasaan yudikatif dalam kerangka separation of powers, perkembangan historis institusinya, hingga struktur lembaga yudikatif di Indonesia pasca-reformasi 1998, yang ditandai dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Artikel ini juga membahas prinsip independensi yudikatif, fungsi strategis lembaga peradilan dalam menegakkan hukum dan HAM, serta berbagai tantangan kontemporer yang dihadapi, seperti korupsi, intervensi politik, dan keterbatasan akses keadilan. Reformasi dan inovasi kelembagaan, termasuk digitalisasi sistem peradilan, turut dikaji sebagai respons terhadap dinamika zaman. Melalui studi komparatif terhadap sistem yudikatif di Amerika Serikat, Jerman, dan India, artikel ini merefleksikan praktik-praktik terbaik yang dapat dijadikan rujukan untuk memperkuat sistem peradilan nasional. Dengan pendekatan multidimensi yang menggabungkan analisis normatif, historis, dan empiris, artikel ini menegaskan bahwa kekuasaan yudikatif yang independen, profesional, dan akuntabel merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya negara hukum dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Kata Kunci: Kekuasaan yudikatif, independensi peradilan, Mahkamah Konstitusi, reformasi hukum, access to justice, judicial review, demokrasi konstitusional.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Kekuasaan yudikatif merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang menjamin tegaknya hukum, keadilan, dan prinsip negara hukum (rechtstaat). Dalam kerangka pembagian kekuasaan (separation of powers), yudikatif memiliki kedudukan yang setara dengan legislatif dan eksekutif sebagai penjaga keseimbangan dan pengawasan antar cabang kekuasaan. Konsep ini pertama kali secara sistematis dikemukakan oleh filsuf Prancis, Montesquieu, dalam karyanya De l’esprit des lois (1748), di mana ia menegaskan bahwa kebebasan politik hanya dapat terjamin jika kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipisahkan dan saling mengawasi satu sama lain¹.

Dalam praktik ketatanegaraan, kekuasaan yudikatif menjalankan fungsi penting dalam menafsirkan hukum, menyelesaikan sengketa, menegakkan hak asasi manusia, serta menjaga konstitusionalitas peraturan perundang-undangan melalui mekanisme judicial review. Kemandirian dan independensi lembaga yudikatif menjadi prasyarat mutlak agar putusan-putusan hukum dapat ditegakkan secara adil, objektif, dan bebas dari pengaruh kekuasaan politik atau tekanan ekonomi. Oleh karena itu, independensi kekuasaan yudikatif tidak hanya merupakan jaminan normatif dalam konstitusi banyak negara, tetapi juga menjadi indikator utama kualitas demokrasi dan negara hukum yang sehat².

Dalam konteks Indonesia, kekuasaan yudikatif memiliki peran yang semakin strategis sejak era reformasi 1998. Perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan membawa pembentukan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang memperkuat fungsi yudikatif tidak hanya dalam aspek penegakan hukum tetapi juga dalam menjaga nilai-nilai konstitusional³. Namun demikian, berbagai tantangan tetap mengemuka, seperti persoalan korupsi di lembaga peradilan, tekanan politik, rendahnya akses keadilan bagi kelompok rentan, serta kebutuhan akan reformasi berkelanjutan untuk memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas hakim⁴.

Kajian ini akan mengupas secara komprehensif mengenai kekuasaan yudikatif dalam sistem ketatanegaraan, dengan menyoroti peran strategisnya, prinsip-prinsip independensinya, serta tantangan-tantangan yang dihadapi di era demokrasi modern. Dengan pendekatan historis, normatif, dan empiris, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya kekuasaan yudikatif dalam menjaga stabilitas demokrasi dan supremasi hukum.


Footnotes

[1]                Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–174.

[2]                Mauro Cappelletti, “The Judicial Process in Comparative Perspective,” in The Judicial Process in Comparative Perspective, ed. Cappelletti (Oxford: Clarendon Press, 1989), 3–18.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 122–134.

[4]                Adnan Buyung Nasution, A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Democracy (Jakarta: Reform Institute, 2005), 201–205.


2.           Landasan Teoretis Kekuasaan Yudikatif

Landasan teoretis kekuasaan yudikatif berakar pada pemikiran klasik mengenai pembagian kekuasaan negara (separation of powers), yang secara monumental dirumuskan oleh Montesquieu dalam De l’esprit des lois. Dalam pandangannya, kekuasaan negara yang terkonsentrasi pada satu tangan berpotensi menciptakan tirani dan ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembagian kekuasaan ke dalam tiga cabang utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan yudikatif, dalam kerangka ini, memiliki fungsi esensial untuk mengadili sengketa hukum dan menjaga supremasi hukum secara independen¹.

Secara konseptual, yudikatif didefinisikan sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk menafsirkan hukum, memutus perkara, dan menjamin perlindungan atas hak-hak warga negara melalui proses peradilan. Dalam teori negara hukum (Rechtsstaat atau rule of law), kekuasaan yudikatif merupakan simbol dari keadilan dan kepastian hukum yang harus berdiri di atas kepentingan politik maupun kekuasaan administratif². Teori ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir seperti A.V. Dicey, yang menekankan pentingnya supremasi hukum (supremacy of law) dan keharusan bahwa semua tindakan pemerintah tunduk pada pengawasan lembaga peradilan³.

Kekuasaan yudikatif juga mendapat penguatan dalam gagasan judicial review, yakni kewenangan lembaga peradilan, terutama mahkamah konstitusi atau mahkamah agung, untuk menilai konstitusionalitas undang-undang dan tindakan-tindakan pemerintahan. Model ini pertama kali berkembang dalam sistem hukum Amerika Serikat melalui putusan bersejarah Marbury v. Madison (1803), di mana Mahkamah Agung AS menetapkan dirinya sebagai penafsir akhir konstitusi⁴. Dalam perkembangan selanjutnya, model judicial review ini menjadi fondasi penting bagi banyak sistem peradilan modern, termasuk di Indonesia setelah reformasi konstitusi pasca-1998.

Dalam konteks demokrasi modern, kekuasaan yudikatif tidak hanya dipahami secara pasif sebagai “penegak hukum”, tetapi juga memiliki peran aktif dalam membentuk norma, mengisi kekosongan hukum (judicial law-making), dan mengoreksi kesewenang-wenangan lembaga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan perkembangan teori living constitution yang melihat hukum sebagai instrumen yang dinamis, harus adaptif terhadap perubahan sosial, dan mengandung nilai-nilai keadilan substansial⁵.

Oleh karena itu, secara teoritis, kekuasaan yudikatif bukan hanya sebagai pelengkap dari struktur kekuasaan negara, melainkan sebagai pilar utama yang menjamin tegaknya konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia. Penegakan prinsip independensi, akuntabilitas, dan profesionalisme menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan teoretis ini, agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara optimal dalam negara demokrasi konstitusional.


Footnotes

[1]                Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–174.

[2]                Friedrich Julius Stahl, Das Staatsrecht des Königreichs Preußen (Tübingen: Verlag der H. Laupp'schen Buchhandlung, 1845), dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 77.

[3]                A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan, 1885), 110–113.

[4]                Marbury v. Madison, 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803), dalam Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, 6th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2019), 33–36.

[5]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 255–272.


3.           Sejarah dan Perkembangan Institusi Yudikatif

Institusi yudikatif sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan memiliki akar sejarah yang panjang dan berkembang dalam berbagai sistem pemerintahan di dunia. Sejak peradaban kuno, lembaga-lembaga peradilan telah memainkan peran penting dalam menyelesaikan sengketa dan menjaga keteraturan sosial. Dalam sistem hukum Romawi, misalnya, munculnya badan peradilan seperti praetor dan judex menandai lahirnya praktik yudisial formal yang membedakan antara hukum privat dan publik¹. Sementara itu, dalam tradisi hukum Anglo-Saxon di Inggris, sistem common law berkembang berdasarkan preseden yudisial (case law) yang diciptakan oleh pengadilan dan dijadikan dasar hukum dalam putusan-putusan berikutnya².

Pada abad ke-18 hingga ke-19, pemikiran modern tentang institusi yudikatif semakin menguat seiring dengan berkembangnya konsep negara hukum dan pembagian kekuasaan. Peradilan mulai diposisikan sebagai kekuasaan tersendiri yang berdiri sejajar dan independen terhadap cabang eksekutif dan legislatif. Hal ini terlihat dalam sistem Amerika Serikat pasca-Konstitusi 1787, di mana Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam putusan Marbury v. Madison (1803)³. Peran strategis lembaga yudikatif sebagai penjaga konstitusi kemudian diadopsi oleh banyak negara lain di abad ke-20, termasuk dalam sistem hukum kontemporer Indonesia.

Di Indonesia, sejarah institusi yudikatif mengalami berbagai fase perkembangan yang dipengaruhi oleh dinamika politik dan sistem hukum kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, sistem peradilan dibagi menjadi peradilan untuk bangsa Eropa dan peradilan untuk penduduk pribumi, mencerminkan struktur hukum yang diskriminatif dan berjenjang⁴. Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, sistem peradilan Indonesia mengalami transformasi signifikan dengan mengadopsi prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD 1945, khususnya dalam Pasal 24 yang menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan⁵.

Periode Orde Baru (1966–1998) menyaksikan terjadinya intervensi yang cukup besar terhadap kekuasaan yudikatif, baik secara struktural maupun politik. Mahkamah Agung diposisikan lebih sebagai lembaga administratif yudisial daripada lembaga yang benar-benar independen. Ketiadaan mekanisme judicial review terhadap produk legislatif dan dominasi kekuasaan eksekutif menyebabkan lemahnya daya kontrol peradilan dalam sistem pemerintahan⁶. Namun, momentum reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam sejarah kekuasaan yudikatif Indonesia.

Pasca reformasi, amandemen UUD 1945 memperkuat posisi kekuasaan kehakiman dengan pembentukan dua lembaga baru: Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu⁷. Sementara itu, KY berperan dalam menjaga integritas dan perilaku hakim, serta mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain itu, reformasi juga mendorong terwujudnya prinsip one roof system, yakni pemusatan kekuasaan yudikatif di bawah Mahkamah Agung, yang bertujuan memperkuat koordinasi dan efisiensi lembaga peradilan nasional⁸.

Sejak saat itu, kekuasaan yudikatif di Indonesia semakin diarahkan untuk menjadi lembaga yang profesional, transparan, dan akuntabel, meskipun masih menghadapi tantangan dalam hal integritas, sumber daya manusia, serta kesenjangan akses terhadap keadilan. Namun demikian, evolusi kelembagaan yang telah terjadi memberikan dasar yang kuat bagi penguatan peran strategis yudikatif dalam menjaga supremasi hukum dan prinsip demokrasi konstitusional.


Footnotes

[1]                Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens: University of Georgia Press, 1995), 32–48.

[2]                John H. Langbein, The Origins of Adversary Criminal Trial (Oxford: Oxford University Press, 2003), 8–15.

[3]                Marbury v. Madison, 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803), dalam Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, 6th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2019), 33–36.

[4]                B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1981), 102–110.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 158.

[6]                Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 1995), 87–91.

[7]                Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999–2002, Jilid VI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, 2010), 43–58.

[8]                Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial RI 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 10–12.


4.           Struktur Lembaga Yudikatif dalam Sistem Hukum Nasional

Struktur kekuasaan yudikatif dalam sistem hukum nasional Indonesia dirancang untuk menjalankan fungsi kehakiman secara independen, efektif, dan menjunjung tinggi prinsip negara hukum. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Di samping itu, Komisi Yudisial (KY) dibentuk sebagai lembaga pendukung guna menjaga integritas dan akuntabilitas hakim. Ketiga lembaga ini secara bersama membentuk pilar institusional kekuasaan yudikatif yang memiliki tugas dan kewenangan berbeda namun saling melengkapi.

4.1.       Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung merupakan lembaga peradilan tertinggi dalam sistem peradilan umum di Indonesia. MA membawahi empat lingkungan peradilan, yaitu:

·                     Peradilan Umum,

·                     Peradilan Agama,

·                     Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan

·                     Peradilan Militer¹.

Sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman, MA memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara kasasi, melakukan peninjauan kembali (PK), dan memberikan putusan atas permohonan grasi dari Presiden dalam perkara pidana. Selain itu, MA juga memiliki fungsi pembinaan teknis terhadap seluruh peradilan di bawahnya dan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial review terbatas)².

Reformasi sistem peradilan pasca-1998 turut memperkuat posisi MA melalui penerapan sistem satu atap (one roof system) yang menempatkan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan di bawah wewenang Mahkamah Agung. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan independensi, efisiensi, dan integritas peradilan nasional³.

4.2.       Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi didirikan berdasarkan amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 (yang telah beberapa kali diubah). MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution) dan memiliki kewenangan utama:

·                     Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,

·                     Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara,

·                     Memutus pembubaran partai politik,

·                     Memutus perselisihan hasil pemilu, dan

·                     Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden⁴.

Keberadaan MK menandai perluasan fungsi yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK tidak sekadar menjadi lembaga yudisial, melainkan juga lembaga politik-konstitusional yang berperan besar dalam menjaga keseimbangan antar lembaga negara dan menjamin konstitusionalitas dalam kehidupan berbangsa⁵.

4.3.       Komisi Yudisial (KY)

Komisi Yudisial merupakan lembaga mandiri yang dibentuk melalui Amandemen Ketiga UUD 1945. Fungsi utamanya adalah:

·                     Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR,

·                     Melakukan pengawasan terhadap perilaku dan etika hakim, serta

·                     Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim⁶.

Meskipun KY tidak memiliki kewenangan yudisial, peran lembaga ini penting dalam membangun integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Namun demikian, ruang lingkup kewenangannya masih sering menjadi perdebatan, terutama terkait batasan intervensi terhadap independensi hakim yang dijamin konstitusi⁷.

4.4.       Relasi dan Koordinasi antar Lembaga

Secara struktural, ketiga lembaga tersebut beroperasi secara independen namun berada dalam satu sistem kekuasaan kehakiman. Relasi antara MA, MK, dan KY tidak bersifat subordinatif, tetapi lebih kepada relasi koordinatif dan fungsional. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara independensi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kekuasaan yudikatif⁸.

Dengan struktur yang demikian, sistem yudikatif Indonesia berupaya menyeimbangkan antara prinsip-prinsip konstitusional, kebutuhan akan profesionalisme kelembagaan, serta tuntutan reformasi hukum dalam mewujudkan keadilan substantif.


Footnotes

[1]                Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Saku Mahkamah Agung Republik Indonesia (Jakarta: MA RI, 2022), 5–7.

[2]                Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 31A.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Jakarta: FH UI Press, 2004), 174.

[4]                Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10.

[5]                Saldi Isra, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 89–91.

[6]                Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Pasal 13 dan Pasal 20.

[7]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 245.

[8]                Komisi Yudisial RI, Panduan Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Jakarta: KY RI, 2023), vii–x.


5.           Prinsip Independensi Kekuasaan Yudikatif

Independensi kekuasaan yudikatif merupakan prinsip fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang menjamin tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Tanpa independensi, fungsi yudikatif sebagai penafsir dan penegak hukum tidak akan berjalan secara objektif dan berkeadilan. Oleh karena itu, dalam negara hukum (rechtsstaat), kekuasaan kehakiman harus bebas dari segala bentuk campur tangan kekuasaan lain, baik legislatif, eksekutif, maupun kepentingan non-negara seperti tekanan ekonomi, politik, dan sosial¹.

Secara normatif, prinsip independensi yudikatif telah diakui secara luas dalam berbagai instrumen hukum internasional. Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1985 menegaskan bahwa kebebasan peradilan merupakan prasyarat untuk penegakan hukum dan jaminan hak asasi manusia. Dokumen tersebut menyatakan bahwa “Independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country”². Di Indonesia, prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan³.

Independensi yudikatif memiliki dua dimensi utama: independensi institusional dan independensi personal.

·                     Independensi institusional menyangkut kebebasan lembaga yudikatif secara struktural dari pengaruh eksternal. Hal ini mencakup otonomi anggaran, pengelolaan administrasi, dan pembentukan sistem rekrutmen serta promosi hakim yang transparan dan meritokratis⁴. Di Indonesia, penerapan one roof system pada Mahkamah Agung sejak reformasi merupakan upaya konkret untuk memperkuat aspek ini.

·                     Independensi personal mengacu pada kebebasan hakim secara individu dalam memutus perkara tanpa tekanan, ancaman, atau intervensi. Prinsip ini dijamin melalui kode etik dan jaminan tidak dapat diganggunya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap⁵.

Namun demikian, independensi yudikatif bukan berarti imunitas mutlak. Hakim tetap harus tunduk pada prinsip akuntabilitas dan etika profesi. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga seperti Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim tanpa mencampuri substansi putusan, guna menjaga keseimbangan antara independensi dan tanggung jawab⁶. Model ini mencerminkan prinsip independent yet accountable judiciary, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman bebas dalam tugas yudisial, namun tetap bertanggung jawab terhadap publik secara etik dan administratif.

Tantangan terhadap independensi yudikatif tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam lembaga itu sendiri. Praktik korupsi di lingkungan peradilan, keberpihakan hakim terhadap pihak tertentu, atau lemahnya profesionalitas, merupakan bentuk-bentuk pelanggaran independensi yang bersifat internal. Dalam konteks ini, reformasi berkelanjutan melalui peningkatan kualitas pendidikan hakim, integritas kelembagaan, dan transparansi dalam proses peradilan menjadi agenda penting untuk menjaga marwah independensi yudikatif⁷.

Dengan demikian, prinsip independensi kekuasaan yudikatif tidak hanya harus ditegaskan dalam norma hukum, tetapi juga dihidupkan dalam praktik institusional dan budaya hukum yang mendukung profesionalitas, integritas, serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.


Footnotes

[1]                Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective (Oxford: Clarendon Press, 1989), 5–9.

[2]                United Nations, Basic Principles on the Independence of the Judiciary, adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan, 1985, Articles 1–2.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1).

[4]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 190–192.

[5]                Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Jakarta: MA RI dan KY RI, 2009), 6–10.

[6]                Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Pasal 13A–20A.

[7]                Hadjon, Philipus M. dan Tatiek S. Rubaie, Independensi Kekuasaan Kehakiman (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 2011), 122–127.


6.           Fungsi dan Peran Strategis Kekuasaan Yudikatif

Dalam kerangka sistem ketatanegaraan modern, kekuasaan yudikatif memegang fungsi dan peran yang sangat strategis dalam memastikan tegaknya prinsip negara hukum (rechtstaat), perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, serta stabilitas sistem demokrasi. Kekuasaan ini tidak hanya berperan sebagai penegak hukum dalam arti sempit, tetapi juga sebagai penjaga moral konstitusi dan penyeimbang kekuasaan antar lembaga negara.

6.1.       Penegakan Hukum dan Keadilan

Fungsi paling mendasar dari kekuasaan yudikatif adalah menegakkan hukum secara adil dan obyektif melalui proses peradilan. Hal ini mencakup penyelesaian sengketa perdata, pidana, tata usaha negara, dan keagamaan dalam kerangka sistem peradilan yang terstruktur. Keberadaan lembaga peradilan sebagai tempat terakhir untuk mencari keadilan menjadikan kekuasaan yudikatif sebagai instrumen vital dalam menjamin kepastian hukum dan kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law)¹.

6.2.       Penjaga Konstitusi dan Pengawal Demokrasi

Di era demokrasi konstitusional, kekuasaan yudikatif tidak hanya menjalankan hukum positif, tetapi juga berperan sebagai guardian of the constitution. Peran ini secara khusus dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi, yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang, menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara, serta memutus perselisihan hasil pemilu. Fungsi ini sangat penting dalam mengoreksi produk hukum legislatif yang bertentangan dengan konstitusi dan memastikan bahwa seluruh cabang kekuasaan negara beroperasi dalam batas-batas konstitusional².

Sebagaimana dikemukakan oleh Bruce Ackerman, kekuasaan kehakiman modern telah berkembang menjadi aktor penting dalam mewujudkan constitutional dialogue antara rakyat, legislatif, dan lembaga yudikatif itu sendiri. Dalam kerangka ini, yudikatif tidak lagi bersifat pasif, melainkan berpartisipasi aktif dalam menafsirkan nilai-nilai konstitusional secara progresif untuk menjawab dinamika sosial³.

6.3.       Pelindung Hak Asasi Manusia (HAM)

Lembaga yudikatif juga berperan sebagai pelindung hak asasi manusia, baik melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang maupun melalui putusan-putusan pengadilan yang menegakkan prinsip-prinsip keadilan substantif. Di Indonesia, prinsip perlindungan HAM secara eksplisit dinyatakan dalam UUD 1945 dan menjadi dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa kasus, MK telah menegaskan bahwa pembatasan hak warga negara hanya dapat dibenarkan apabila sejalan dengan prinsip proporsionalitas dan kepentingan umum⁴.

6.4.       Fungsi Judicial Review dan Legislasi Negatif

Melalui mekanisme judicial review, kekuasaan yudikatif memiliki fungsi legislasi negatif, yakni membatalkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Dalam praktiknya, hal ini berimplikasi besar terhadap dinamika legislasi nasional karena putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian, kekuasaan yudikatif memainkan peran sebagai pengontrol substantif terhadap produk hukum legislatif dan menjamin bahwa hukum nasional tidak menyimpang dari semangat konstitusi⁵.

6.5.       Penciptaan Preseden dan Pengembangan Hukum

Dalam sistem hukum Indonesia yang bercorak campuran (civil law dan common law), kekuasaan yudikatif juga memiliki fungsi pengembangan hukum melalui penciptaan preseden yurisprudensi. Meskipun tidak bersifat binding precedent seperti dalam sistem common law, namun putusan-putusan pengadilan, terutama dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, kerap dijadikan rujukan dalam putusan berikutnya, sehingga membentuk kaidah hukum baru yang mengisi kekosongan hukum atau menafsirkan ketentuan hukum secara kontekstual⁶.

6.6.       Menjaga Keseimbangan Kekuasaan (Checks and Balances)

Fungsi strategis lainnya adalah sebagai penjaga keseimbangan kekuasaan antar cabang negara (checks and balances). Dalam banyak sistem demokrasi, termasuk Indonesia, yudikatif memiliki kewenangan untuk menguji tindakan-tindakan eksekutif dan legislatif yang dianggap menyimpang dari norma hukum dan konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif menjadi alat kontrol yang mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut dan otoriter⁷.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 132–134.

[2]                Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 011-017/PUU-I/2003 (Jakarta: MKRI, 2003), 1–9.

[3]                Bruce Ackerman, We the People: Transformations (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 267–271.

[4]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 303–308.

[5]                Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Fungsi Legislasi Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2010), 86–94.

[6]                Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Putusan Yurisprudensi 2015–2020 (Jakarta: MA RI, 2021), xi–xiii.

[7]                A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan, 1885), 112–115.


7.           Tantangan Kekuasaan Yudikatif di Era Kontemporer

Di tengah dinamika globalisasi, kemajuan teknologi, dan kompleksitas tata kelola negara demokratis, kekuasaan yudikatif menghadapi berbagai tantangan yang menguji integritas, efektivitas, dan relevansinya. Tantangan ini tidak hanya bersifat teknis dan kelembagaan, tetapi juga menyangkut aspek normatif dan etis dalam penyelenggaraan fungsi peradilan. Di era kontemporer, masyarakat semakin menuntut lembaga yudikatif yang bersih, transparan, akuntabel, serta mampu memberikan akses keadilan secara inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.

7.1.       Ancaman terhadap Integritas dan Profesionalisme Hakim

Salah satu tantangan serius adalah masih adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam lingkungan peradilan. Meskipun telah dilakukan berbagai reformasi, lembaga yudikatif, terutama di tingkat bawah, masih rentan terhadap intervensi eksternal maupun penyalahgunaan wewenang internal. Laporan Komisi Yudisial tahun 2023 mencatat ratusan pengaduan masyarakat terhadap perilaku hakim, yang mencerminkan belum optimalnya penegakan etika dan pengawasan internal¹. Hal ini mengikis kepercayaan publik terhadap institusi peradilan sebagai penjaga keadilan.

7.2.       Intervensi Politik dan Tekanan Eksternal

Meskipun independensi yudikatif telah dijamin secara konstitusional, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tekanan politik masih menjadi tantangan nyata. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk intervensi terhadap proses seleksi dan pengangkatan hakim, tekanan terhadap isi putusan, hingga manipulasi opini publik melalui media untuk memengaruhi hasil persidangan². Ketiadaan batas tegas antara ruang politik dan ruang yudisial dapat membahayakan prinsip separation of powers yang menjadi dasar negara demokrasi.

7.3.       Kesenjangan Akses terhadap Keadilan (Access to Justice)

Persoalan lain yang signifikan adalah keterbatasan akses masyarakat, terutama kelompok rentan, terhadap layanan peradilan. Hambatan ini bisa berupa biaya tinggi, keterbatasan informasi hukum, minimnya bantuan hukum, serta prosedur yang rumit dan formalistis. Dalam survei Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat miskin tidak mampu mengakses peradilan secara layak karena kendala ekonomi dan geografis³. Tantangan ini memperbesar jurang ketidakadilan dan mengurangi efektivitas fungsi yudikatif sebagai penjaga hak konstitusional setiap warga negara.

7.4.       Kompleksitas Hukum dan Beban Perkara

Modernisasi sistem hukum nasional telah menghasilkan ribuan peraturan perundang-undangan yang sering kali saling tumpang tindih, tidak sinkron, bahkan bertentangan satu sama lain. Hal ini menciptakan kompleksitas hukum yang menyulitkan proses penegakan keadilan. Ditambah lagi, Mahkamah Agung setiap tahun menerima lebih dari 20.000 perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK), yang menyebabkan penumpukan perkara dan menghambat kecepatan penyelesaian⁴. Situasi ini mengancam prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009.

7.5.       Tantangan Digitalisasi dan Kecanggihan Teknologi

Revolusi digital juga membawa tantangan baru bagi kekuasaan yudikatif, baik dalam hal digitalisasi sistem peradilan maupun dalam menghadapi kejahatan berbasis teknologi (cybercrime). Di satu sisi, pengadilan dituntut untuk mengembangkan sistem e-court dan e-litigation yang efisien dan ramah pengguna. Di sisi lain, lembaga yudikatif harus membekali aparatnya dengan kompetensi dalam menangani perkara-perkara yang melibatkan teknologi canggih, seperti pelanggaran data pribadi, peretasan, dan transaksi digital lintas negara⁵.

7.6.       Persepsi Publik dan Kepercayaan terhadap Lembaga Peradilan

Di era keterbukaan informasi, persepsi publik terhadap lembaga peradilan menjadi sangat penting. Ketika putusan-putusan pengadilan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan publik, muncul gejala "trial by media" yang bisa mendistorsi proses hukum dan menciptakan ketegangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan strategi komunikasi yang efektif dan keterbukaan informasi yang terukur untuk menjaga legitimasi peradilan di mata masyarakat⁶.

7.7.       Tantangan Etis dalam Peran Judicial Activism

Meningkatnya peran yudikatif dalam judicial review dan pengembangan hukum menimbulkan dilema antara judicial activism dan judicial restraint. Di satu sisi, hakim konstitusi dituntut untuk proaktif dalam menafsirkan nilai-nilai keadilan substansial. Namun di sisi lain, tindakan yang terlalu intervensionis dapat dituding sebagai pelampauan kewenangan legislatif. Dilema ini membutuhkan kehati-hatian, kepekaan konstitusional, dan integritas intelektual yang tinggi dari para hakim⁷.


Footnotes

[1]                Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial RI 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 34–39.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Independensi Kekuasaan Kehakiman: Perspektif Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 88–92.

[3]                Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Akses terhadap Keadilan di Indonesia: Studi dan Rekomendasi (Jakarta: LeIP, 2020), 15–22.

[4]                Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan MA RI 2023 (Jakarta: MA RI, 2024), 12–14.

[5]                Agus Rahardjo et al., Tantangan Digitalisasi Peradilan di Era 4.0 (Jakarta: Badan Litbang MA RI, 2022), 45–56.

[6]                Hadjon, Philipus M., Keterbukaan Informasi dan Peradilan Modern (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 2020), 77–83.

[7]                Ronald Dworkin, A Matter of Principle (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 9–10, 71–72.


8.           Reformasi dan Inovasi dalam Sistem Yudikatif

Reformasi sistem yudikatif merupakan bagian integral dari agenda pembaruan ketatanegaraan pasca-Reformasi 1998. Dalam kerangka demokrasi konstitusional, reformasi ini diarahkan untuk memperkuat prinsip independensi, akuntabilitas, dan efektivitas kekuasaan kehakiman. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan peradilan yang bersih dan responsif, sistem yudikatif Indonesia tidak hanya dituntut untuk berbenah dari sisi normatif dan kelembagaan, tetapi juga harus mampu menghadirkan inovasi sistemik dan teknologi guna menjawab tantangan zaman.

8.1.       Amandemen Konstitusi dan Pembentukan Lembaga Baru

Langkah awal reformasi yudikatif dilakukan melalui amandemen UUD 1945 antara tahun 1999–2002, yang menghasilkan perubahan fundamental terhadap sistem kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut meliputi:

·                     Penegasan prinsip independensi kekuasaan kehakiman (Pasal 24),

·                     Pembentukan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C), dan

·                     Pembentukan Komisi Yudisial (Pasal 24B)¹.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi membawa paradigma baru dalam pengawasan konstitusional terhadap produk legislasi dan tindakan negara, sedangkan Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga penjaga etika hakim, menciptakan mekanisme pengawasan yang tidak mengganggu independensi yudisial².

8.2.       Implementasi One Roof System

Salah satu terobosan kelembagaan penting dalam reformasi peradilan adalah implementasi sistem satu atap (one roof system) sejak tahun 2004, di mana kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan pengadilan dialihkan dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Tujuannya adalah untuk menghilangkan dominasi eksekutif terhadap lembaga peradilan dan memperkuat otonomi yudikatif³. Sistem ini dianggap sebagai prasyarat teknis untuk memastikan kebebasan struktural peradilan dari tekanan birokrasi negara.

8.3.       Reformasi Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

Reformasi yudikatif juga mencakup restrukturisasi kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat peradilan. Berbagai pelatihan etik dan teknis yudisial telah diselenggarakan oleh Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, bekerja sama dengan institusi nasional dan internasional. Upaya ini mencakup peningkatan standar rekrutmen hakim, sistem merit dalam promosi, serta penguatan kapasitas intelektual hakim dalam menangani perkara-perkara konstitusional, ekonomi, dan teknologi⁴.

8.4.       Inovasi Digital: Menuju e-Court dan e-Litigation

Perkembangan teknologi informasi menjadi katalis penting dalam modernisasi sistem peradilan. Sejak 2018, Mahkamah Agung meluncurkan e-Court sebagai sistem digital yang memungkinkan:

·                     Pendaftaran perkara secara daring,

·                     Pembayaran biaya perkara secara elektronik,

·                     Pemanggilan pihak melalui media elektronik, dan

·                     Pengajuan dokumen secara digital.

Pada 2019, sistem ini dikembangkan lebih lanjut menjadi e-Litigation, yang memungkinkan persidangan secara elektronik dalam perkara perdata, agama, dan TUN⁵. Inovasi ini terbukti signifikan dalam menjamin akses terhadap peradilan, terutama di masa pandemi COVID-19, serta meningkatkan efisiensi dan transparansi proses hukum.

8.5.       Transparansi dan Keterbukaan Informasi Peradilan

Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas publik, Mahkamah Agung telah mengadopsi Kebijakan Keterbukaan Informasi melalui SK KMA No. 1-144/KMA/SK/I/2011. Melalui kebijakan ini, pengadilan diwajibkan menyediakan akses publik terhadap:

·                     Putusan pengadilan secara daring,

·                     Jadwal persidangan,

·                     Biaya perkara,

·                     Profil hakim, dan

·                     Kinerja lembaga.

Inisiatif ini sejalan dengan prinsip open justice, di mana transparansi dianggap sebagai sarana utama untuk mengawasi penyalahgunaan kewenangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat⁶.

8.6.       Kolaborasi Internasional dan Reformasi Berbasis HAM

Reformasi sistem yudikatif di Indonesia juga dipengaruhi oleh standar internasional, terutama dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM). Kerja sama Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga-lembaga internasional seperti UNDP, ADB, dan GIZ telah mendorong adopsi nilai-nilai universal seperti fair trial, due process of law, dan non-discrimination⁷. Prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi penyusunan pedoman etik, prosedur peradilan ramah disabilitas, dan mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban.

8.7.       Evaluasi dan Tantangan Reformasi

Meskipun telah banyak capaian, reformasi yudikatif di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi publik. Beberapa tantangan yang masih mengemuka antara lain:

·                     Resistensi terhadap perubahan di internal lembaga,

·                     Kesenjangan implementasi antara pusat dan daerah,

·                     Masih lemahnya sistem pengawasan etik yang independen.

Oleh karena itu, reformasi dan inovasi dalam sistem yudikatif harus dipahami sebagai proses berkelanjutan (continuous reform) yang membutuhkan komitmen politik, dukungan publik, serta kepemimpinan yudisial yang visioner⁸.


Footnotes

[1]                Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Jilid VI (Jakarta: Sekretariat Jenderal MK, 2010), 5–12.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 132–139.

[3]                Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 (Yogyakarta: UII Press, 2004), 102–105.

[4]                Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Laporan Kinerja dan Pengembangan Kompetensi Hakim (Jakarta: MA RI, 2023), 27–30.

[5]                Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panduan Implementasi E-Court dan E-Litigation (Jakarta: Dirjen Badilum MA RI, 2020), 8–15.

[6]                Komisi Informasi Pusat, Panduan Keterbukaan Informasi di Lembaga Yudikatif (Jakarta: KIP, 2021), 13–17.

[7]                United Nations Development Programme (UNDP), Judicial Reform in Indonesia: Partnership for Justice (Jakarta: UNDP Indonesia, 2019), 34–36.

[8]                LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), Catatan Akhir Tahun Reformasi Peradilan 2022 (Jakarta: LeIP, 2023), 44–49.


9.           Studi Kasus Komparatif

Studi komparatif mengenai kekuasaan yudikatif di berbagai negara memberikan perspektif penting untuk memahami variasi struktur, peran, dan tingkat independensi lembaga peradilan dalam sistem ketatanegaraan yang berbeda. Perbandingan ini tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan sistem yudikatif, melainkan untuk mengidentifikasi praktik-praktik baik (best practices) yang dapat dijadikan referensi dalam memperkuat sistem peradilan nasional. Dalam bagian ini, akan ditelaah tiga studi kasus: Amerika Serikat, Jerman, dan India, yang masing-masing merepresentasikan pendekatan khas terhadap kekuasaan kehakiman dalam kerangka negara demokrasi konstitusional.

9.1.       Amerika Serikat: Judicial Review dan Judicial Activism

Sistem peradilan Amerika Serikat merupakan model klasik dalam doktrin judicial review, yang pertama kali ditegaskan dalam kasus Marbury v. Madison (1803). Mahkamah Agung AS memiliki wewenang untuk membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, menjadikannya sebagai lembaga penjaga supremasi konstitusi⁽¹⁾. Keistimewaan sistem ini adalah common law tradition yang memungkinkan terciptanya binding precedent, sehingga keputusan hakim dapat membentuk hukum baru.

Mahkamah Agung AS juga dikenal karena praktik judicial activism, yakni keterlibatan aktif dalam mengarahkan kebijakan publik melalui tafsir konstitusional yang progresif. Contoh penting adalah kasus Brown v. Board of Education (1954) yang menghapus segregasi rasial di sekolah publik, serta Roe v. Wade (1973) yang menetapkan hak atas aborsi⁽²⁾. Meskipun judicial activism kerap menuai kritik karena dianggap mengganggu fungsi legislatif, namun pendekatan ini membuktikan bahwa kekuasaan yudikatif dapat berperan sebagai agen perubahan sosial.

9.2.       Jerman: Dualisme Peradilan dan Peran Mahkamah Konstitusi Federal

Jerman menerapkan sistem hukum civil law yang menekankan kodifikasi dan struktur peradilan yang hierarkis. Namun, kekuatan sistem yudikatif Jerman terletak pada keberadaan Bundesverfassungsgericht (Mahkamah Konstitusi Federal), yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi dengan wewenang luas untuk menguji undang-undang, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara, dan membubarkan partai politik⁽³⁾.

Mahkamah ini dikenal karena putusannya yang berani namun berbasis pada argumen hukum yang kuat. Misalnya, dalam Lissabon-Urteil (2009), Mahkamah Konstitusi Jerman menegaskan batas-batas integrasi Uni Eropa agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan demokratis nasional⁽⁴⁾. Sistem peradilan Jerman juga dicirikan oleh independensi administratif dan sistem pelatihan hakim yang ketat, sehingga menjamin profesionalisme tinggi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan keadilan.

9.3.       India: Peradilan Konstitusional dan Aktivisme Hak Asasi

Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, India menunjukkan dinamika menarik dalam relasi antara yudikatif dan cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung India memegang kewenangan konstitusional dan memainkan peran vital dalam memperluas cakupan hak-hak asasi manusia melalui doktrin expansive interpretation⁽⁵⁾. Contohnya, dalam kasus Maneka Gandhi v. Union of India (1978), Mahkamah menegaskan bahwa hak atas kebebasan tidak hanya terbatas pada hukum formal, tetapi juga harus selaras dengan prinsip keadilan dan kewajaran⁽⁶⁾.

Mahkamah Agung India juga memelopori konsep Public Interest Litigation (PIL) yang memungkinkan warga negara atau organisasi sipil mengajukan gugatan atas nama kepentingan umum. Mekanisme ini meningkatkan akses keadilan bagi kelompok marginal dan memperkuat kontrol terhadap kekuasaan negara. Namun, Mahkamah juga menghadapi kritik karena kadang-kadang dianggap terlalu jauh mencampuri wilayah eksekutif, terutama dalam kebijakan lingkungan dan ekonomi⁽⁷⁾.

Refleksi bagi Indonesia

Dari ketiga studi kasus di atas, terdapat sejumlah pelajaran penting yang dapat diambil oleh Indonesia:

·                     Dari Amerika Serikat, pentingnya rule of law dan kekuatan judicial review dalam menjaga konstitusi dan hak sipil.

·                     Dari Jerman, relevansi profesionalisme hakim dan pembentukan pengadilan konstitusi yang kuat dan terpisah dari struktur MA.

·                     Dari India, keberanian yudisial dalam menjangkau kelompok rentan dan inovasi prosedural seperti PIL untuk memperluas akses terhadap keadilan.

Indonesia telah mengadopsi sebagian unsur tersebut, seperti pendirian Mahkamah Konstitusi dan implementasi e-court. Namun, tantangan masih ada dalam bentuk keterbatasan SDM, budaya hukum yang belum partisipatif, serta tekanan terhadap independensi hakim. Oleh karena itu, penguatan kekuasaan yudikatif tidak dapat dilepaskan dari perbaikan struktur, budaya, dan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan⁽⁸⁾.


Footnotes

[1]                Marbury v. Madison, 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803), dalam Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, 6th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2019), 33–36.

[2]                Laurence H. Tribe, American Constitutional Law, 2nd ed. (Mineola, NY: Foundation Press, 1988), 1143–1145.

[3]                Donald P. Kommers and Russell A. Miller, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 3rd ed. (Durham: Duke University Press, 2012), 19–35.

[4]                Bundesverfassungsgericht, Judgment of the Second Senate of 30 June 2009 – 2 BvE 2/08, paras. 229–240.

[5]                M.P. Jain, Indian Constitutional Law, 7th ed. (Nagpur: LexisNexis Butterworths, 2014), 1194–1213.

[6]                Maneka Gandhi v. Union of India, AIR 1978 SC 597, dalam S.P. Sathe, Judicial Activism in India: Transgressing Borders and Enforcing Limits (Oxford: Oxford University Press, 2002), 80–83.

[7]                Upendra Baxi, The Indian Supreme Court and Politics (New Delhi: Eastern Book Company, 1980), 149–155.

[8]                Saldi Isra, Perkembangan Judicial Review dan Konstitusionalisme di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 134–137.


10.       Penutup

Kekuasaan yudikatif merupakan pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan demokratis yang bertumpu pada prinsip rule of law, supremasi konstitusi, dan perlindungan hak asasi manusia. Sebagai cabang kekuasaan yang mandiri, yudikatif memiliki fungsi strategis tidak hanya dalam menyelesaikan sengketa hukum, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan kekuasaan negara dan menegakkan nilai-nilai keadilan konstitusional. Dalam konteks negara hukum modern, kekuasaan yudikatif harus diposisikan sebagai penjaga moral konstitusi (guardian of the constitution) dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara¹.

Pembahasan dalam artikel ini menunjukkan bahwa secara normatif, Indonesia telah memiliki kerangka konstitusional dan kelembagaan yang memadai untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel. Amandemen UUD 1945, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, serta implementasi one roof system merupakan pencapaian penting dalam arsitektur ketatanegaraan pasca-reformasi². Inovasi teknologi seperti sistem e-court dan e-litigation juga menunjukkan bahwa lembaga peradilan Indonesia berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat akan keadilan yang cepat, transparan, dan efisien³.

Namun demikian, berbagai tantangan masih membayangi. Korupsi yudisial, intervensi politik, kesenjangan akses terhadap keadilan, serta keterbatasan kapasitas sumber daya manusia peradilan merupakan persoalan nyata yang membutuhkan perhatian serius. Tanpa integritas moral dan profesionalisme hakim, independensi yudikatif hanya akan menjadi slogan formal tanpa makna substantif⁴. Selain itu, dalam menghadapi perkembangan global dan kompleksitas hukum modern, kekuasaan yudikatif dituntut untuk semakin adaptif, terbuka terhadap perubahan, dan peka terhadap keadilan substantif di luar kerangka legalistik semata⁵.

Dari perspektif komparatif, pelajaran dari Amerika Serikat, Jerman, dan India memperlihatkan bahwa kekuasaan yudikatif yang kuat dan independen sangat bergantung pada:

·                     komitmen konstitusional terhadap separation of powers,

·                     penguatan budaya hukum (legal culture),

·                     sistem rekrutmen dan pelatihan hakim yang profesional, dan

·                     dukungan masyarakat sipil yang aktif dalam mengawasi kinerja peradilan⁶.

Ke depan, penguatan kekuasaan yudikatif di Indonesia harus diarahkan pada reformasi kelembagaan yang berkelanjutan, inovasi teknologi yang inklusif, dan peningkatan integritas sumber daya manusia. Diperlukan juga sinergi antara lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif untuk menjamin supremasi hukum dan menjauhkan peradilan dari tarik-menarik kepentingan politik.

Dengan komitmen tersebut, kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara optimal sebagai pelindung konstitusi, penegak keadilan, serta penjaga integritas demokrasi Indonesia di era modern yang penuh tantangan.


Footnotes

[1]                Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective (Oxford: Clarendon Press, 1989), 5–7.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 122–134.

[3]                Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panduan Implementasi E-Court dan E-Litigation (Jakarta: Dirjen Badilum MA RI, 2020), 8–15.

[4]                Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial RI 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 34–39.

[5]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 255–272.

[6]                Donald P. Kommers and Russell A. Miller, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 3rd ed. (Durham: Duke University Press, 2012), 62–65.


Daftar Pustaka

Ackerman, B. (1998). We the people: Transformations. Harvard University Press.

Asshiddiqie, J. (2004). Format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. FH UI Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi. Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar ilmu hukum tata negara. Rajawali Pers.

Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI. (2023). Laporan kinerja dan pengembangan kompetensi hakim. Mahkamah Agung RI.

Bagir, M. (1995). Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945. FH UII Press.

Baxi, U. (1980). The Indian Supreme Court and politics. Eastern Book Company.

Bundesverfassungsgericht. (2009). Judgment of the Second Senate of 30 June 2009 – 2 BvE 2/08.

Cappelletti, M. (1989). The judicial process in comparative perspective. Clarendon Press.

Chemerinsky, E. (2019). Constitutional law: Principles and policies (6th ed.). Wolters Kluwer.

Dicey, A. V. (1885). Introduction to the study of the law of the constitution. Macmillan.

Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Harvard University Press.

Dworkin, R. (1985). A matter of principle. Harvard University Press.

Hadjon, P. M., & Rubaie, T. S. (2011). Independensi kekuasaan kehakiman. Universitas Airlangga Press.

Hadjon, P. M. (2020). Keterbukaan informasi dan peradilan modern. Universitas Airlangga Press.

Indrati, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan: Jenis, fungsi, dan materi muatan. Kanisius.

Isra, S. (2010). Pergeseran fungsi legislasi: Menguatnya fungsi legislasi Mahkamah Konstitusi. Rajawali Pers.

Isra, S. (2016). Perkembangan judicial review dan konstitusionalisme di Indonesia. Rajawali Pers.

Jain, M. P. (2014). Indian constitutional law (7th ed.). LexisNexis Butterworths.

Komisi Informasi Pusat. (2021). Panduan keterbukaan informasi di lembaga yudikatif. KIP RI.

Komisi Yudisial RI. (2023). Laporan tahunan Komisi Yudisial RI 2023. KY RI.

Komisi Yudisial RI. (2023). Panduan etik dan pedoman perilaku hakim. KY RI.

Kommers, D. P., & Miller, R. A. (2012). The constitutional jurisprudence of the Federal Republic of Germany (3rd ed.). Duke University Press.

Langbein, J. H. (2003). The origins of adversary criminal trial. Oxford University Press.

LeIP. (2020). Akses terhadap keadilan di Indonesia: Studi dan rekomendasi. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.

LeIP. (2023). Catatan akhir tahun reformasi peradilan 2022. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.

Mahkamah Agung RI. (2020). Panduan implementasi e-Court dan e-Litigation. Dirjen Badilum MA RI.

Mahkamah Agung RI. (2021). Kompilasi putusan yurisprudensi 2015–2020. MA RI.

Mahkamah Agung RI. (2022). Buku saku Mahkamah Agung Republik Indonesia. MA RI.

Mahkamah Agung RI. (2024). Laporan tahunan MA RI 2023. MA RI.

Mahkamah Konstitusi RI. (2003). Risalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 011-017/PUU-I/2003. MK RI.

Mahkamah Konstitusi RI. (2010). Naskah komprehensif perubahan UUD 1945: Latar belakang, proses, dan hasil pembahasan 1999–2002 (Jilid VI). Sekretariat Jenderal MK RI.

Sathe, S. P. (2002). Judicial activism in India: Transgressing borders and enforcing limits. Oxford University Press.

Tribe, L. H. (1988). American constitutional law (2nd ed.). Foundation Press.

UNDP Indonesia. (2019). Judicial reform in Indonesia: Partnership for justice. UNDP Indonesia.

United Nations. (1985). Basic principles on the independence of the judiciary. United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.

Watson, A. (1995). The spirit of Roman law. University of Georgia Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar