Kekuasaan Yudikatif
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Pemisahan Kekuasaan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji kekuasaan yudikatif sebagai
salah satu cabang utama dalam sistem ketatanegaraan yang berfungsi menjamin tegaknya
hukum, keadilan, dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Kajian ini
disusun secara komprehensif, mulai dari landasan teoretis kekuasaan yudikatif
dalam kerangka separation of powers, perkembangan historis institusinya,
hingga struktur lembaga yudikatif di Indonesia pasca-reformasi 1998, yang
ditandai dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Artikel
ini juga membahas prinsip independensi yudikatif, fungsi strategis lembaga
peradilan dalam menegakkan hukum dan HAM, serta berbagai tantangan kontemporer
yang dihadapi, seperti korupsi, intervensi politik, dan keterbatasan akses
keadilan. Reformasi dan inovasi kelembagaan, termasuk digitalisasi sistem
peradilan, turut dikaji sebagai respons terhadap dinamika zaman. Melalui studi
komparatif terhadap sistem yudikatif di Amerika Serikat, Jerman, dan India,
artikel ini merefleksikan praktik-praktik terbaik yang dapat dijadikan rujukan
untuk memperkuat sistem peradilan nasional. Dengan pendekatan multidimensi yang
menggabungkan analisis normatif, historis, dan empiris, artikel ini menegaskan
bahwa kekuasaan yudikatif yang independen, profesional, dan akuntabel merupakan
prasyarat mutlak bagi tegaknya negara hukum dan keberlangsungan demokrasi di
Indonesia.
Kata Kunci: Kekuasaan yudikatif, independensi peradilan,
Mahkamah Konstitusi, reformasi hukum, access to justice, judicial review,
demokrasi konstitusional.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Kekuasaan yudikatif merupakan salah satu pilar
fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang menjamin tegaknya hukum,
keadilan, dan prinsip negara hukum (rechtstaat). Dalam kerangka pembagian
kekuasaan (separation of powers), yudikatif memiliki kedudukan yang setara
dengan legislatif dan eksekutif sebagai penjaga keseimbangan dan pengawasan
antar cabang kekuasaan. Konsep ini pertama kali secara sistematis dikemukakan
oleh filsuf Prancis, Montesquieu, dalam karyanya De l’esprit des lois
(1748), di mana ia menegaskan bahwa kebebasan politik hanya dapat terjamin jika
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipisahkan dan saling mengawasi
satu sama lain¹.
Dalam praktik ketatanegaraan, kekuasaan yudikatif
menjalankan fungsi penting dalam menafsirkan hukum, menyelesaikan sengketa,
menegakkan hak asasi manusia, serta menjaga konstitusionalitas peraturan
perundang-undangan melalui mekanisme judicial review. Kemandirian dan
independensi lembaga yudikatif menjadi prasyarat mutlak agar putusan-putusan
hukum dapat ditegakkan secara adil, objektif, dan bebas dari pengaruh kekuasaan
politik atau tekanan ekonomi. Oleh karena itu, independensi kekuasaan yudikatif
tidak hanya merupakan jaminan normatif dalam konstitusi banyak negara, tetapi
juga menjadi indikator utama kualitas demokrasi dan negara hukum yang sehat².
Dalam konteks Indonesia, kekuasaan yudikatif
memiliki peran yang semakin strategis sejak era reformasi 1998. Perubahan
mendasar dalam sistem ketatanegaraan membawa pembentukan lembaga-lembaga baru
seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang memperkuat fungsi
yudikatif tidak hanya dalam aspek penegakan hukum tetapi juga dalam menjaga
nilai-nilai konstitusional³. Namun demikian, berbagai tantangan tetap
mengemuka, seperti persoalan korupsi di lembaga peradilan, tekanan politik,
rendahnya akses keadilan bagi kelompok rentan, serta kebutuhan akan reformasi
berkelanjutan untuk memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas hakim⁴.
Kajian ini akan mengupas secara komprehensif
mengenai kekuasaan yudikatif dalam sistem ketatanegaraan, dengan menyoroti
peran strategisnya, prinsip-prinsip independensinya, serta tantangan-tantangan
yang dihadapi di era demokrasi modern. Dengan pendekatan historis, normatif,
dan empiris, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi bagi
pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya kekuasaan yudikatif dalam
menjaga stabilitas demokrasi dan supremasi hukum.
Footnotes
[1]
Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The
Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S.
Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–174.
[2]
Mauro Cappelletti, “The Judicial Process in
Comparative Perspective,” in The Judicial Process in Comparative Perspective,
ed. Cappelletti (Oxford: Clarendon Press, 1989), 3–18.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 122–134.
[4]
Adnan Buyung Nasution, A Nation in Waiting:
Indonesia’s Search for Democracy (Jakarta: Reform Institute, 2005),
201–205.
2.
Landasan
Teoretis Kekuasaan Yudikatif
Landasan teoretis kekuasaan yudikatif berakar pada
pemikiran klasik mengenai pembagian kekuasaan negara (separation of powers),
yang secara monumental dirumuskan oleh Montesquieu dalam De l’esprit des
lois. Dalam pandangannya, kekuasaan negara yang terkonsentrasi pada satu
tangan berpotensi menciptakan tirani dan ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pembagian kekuasaan ke dalam tiga cabang utama: legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan yudikatif, dalam kerangka ini, memiliki
fungsi esensial untuk mengadili sengketa hukum dan menjaga supremasi hukum
secara independen¹.
Secara konseptual, yudikatif didefinisikan sebagai
lembaga yang memiliki otoritas untuk menafsirkan hukum, memutus perkara, dan
menjamin perlindungan atas hak-hak warga negara melalui proses peradilan. Dalam
teori negara hukum (Rechtsstaat atau rule of law), kekuasaan yudikatif
merupakan simbol dari keadilan dan kepastian hukum yang harus berdiri di atas
kepentingan politik maupun kekuasaan administratif². Teori ini kemudian
dikembangkan oleh para pemikir seperti A.V. Dicey, yang menekankan pentingnya
supremasi hukum (supremacy of law) dan keharusan bahwa semua tindakan
pemerintah tunduk pada pengawasan lembaga peradilan³.
Kekuasaan yudikatif juga mendapat penguatan dalam
gagasan judicial review, yakni kewenangan lembaga peradilan, terutama
mahkamah konstitusi atau mahkamah agung, untuk menilai konstitusionalitas
undang-undang dan tindakan-tindakan pemerintahan. Model ini pertama kali
berkembang dalam sistem hukum Amerika Serikat melalui putusan bersejarah Marbury
v. Madison (1803), di mana Mahkamah Agung AS menetapkan dirinya sebagai
penafsir akhir konstitusi⁴. Dalam perkembangan selanjutnya, model judicial
review ini menjadi fondasi penting bagi banyak sistem peradilan modern,
termasuk di Indonesia setelah reformasi konstitusi pasca-1998.
Dalam konteks demokrasi modern, kekuasaan yudikatif
tidak hanya dipahami secara pasif sebagai “penegak hukum”, tetapi juga memiliki
peran aktif dalam membentuk norma, mengisi kekosongan hukum (judicial
law-making), dan mengoreksi kesewenang-wenangan lembaga negara lainnya. Hal ini
sesuai dengan perkembangan teori living constitution yang melihat hukum
sebagai instrumen yang dinamis, harus adaptif terhadap perubahan sosial, dan
mengandung nilai-nilai keadilan substansial⁵.
Oleh karena itu, secara teoritis, kekuasaan
yudikatif bukan hanya sebagai pelengkap dari struktur kekuasaan negara,
melainkan sebagai pilar utama yang menjamin tegaknya konstitusi, demokrasi, dan
hak asasi manusia. Penegakan prinsip independensi, akuntabilitas, dan
profesionalisme menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan teoretis ini, agar
kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara optimal dalam negara demokrasi
konstitusional.
Footnotes
[1]
Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The
Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S.
Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–174.
[2]
Friedrich Julius Stahl, Das Staatsrecht des
Königreichs Preußen (Tübingen: Verlag der H. Laupp'schen Buchhandlung,
1845), dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 77.
[3]
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law
of the Constitution (London: Macmillan, 1885), 110–113.
[4]
Marbury v. Madison, 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803),
dalam Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies,
6th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2019), 33–36.
[5]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge:
Harvard University Press, 1986), 255–272.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Institusi Yudikatif
Institusi yudikatif sebagai lembaga penegak hukum
dan keadilan memiliki akar sejarah yang panjang dan berkembang dalam berbagai
sistem pemerintahan di dunia. Sejak peradaban kuno, lembaga-lembaga peradilan
telah memainkan peran penting dalam menyelesaikan sengketa dan menjaga
keteraturan sosial. Dalam sistem hukum Romawi, misalnya, munculnya badan
peradilan seperti praetor dan judex menandai lahirnya praktik
yudisial formal yang membedakan antara hukum privat dan publik¹. Sementara itu,
dalam tradisi hukum Anglo-Saxon di Inggris, sistem common law berkembang
berdasarkan preseden yudisial (case law) yang diciptakan oleh pengadilan dan
dijadikan dasar hukum dalam putusan-putusan berikutnya².
Pada abad ke-18 hingga ke-19, pemikiran modern
tentang institusi yudikatif semakin menguat seiring dengan berkembangnya konsep
negara hukum dan pembagian kekuasaan. Peradilan mulai diposisikan sebagai
kekuasaan tersendiri yang berdiri sejajar dan independen terhadap cabang
eksekutif dan legislatif. Hal ini terlihat dalam sistem Amerika Serikat
pasca-Konstitusi 1787, di mana Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk melakukan
judicial review terhadap undang-undang yang bertentangan dengan
konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam putusan Marbury v. Madison
(1803)³. Peran strategis lembaga yudikatif sebagai penjaga konstitusi kemudian
diadopsi oleh banyak negara lain di abad ke-20, termasuk dalam sistem hukum
kontemporer Indonesia.
Di Indonesia, sejarah institusi yudikatif mengalami
berbagai fase perkembangan yang dipengaruhi oleh dinamika politik dan sistem
hukum kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, sistem peradilan dibagi menjadi
peradilan untuk bangsa Eropa dan peradilan untuk penduduk pribumi, mencerminkan
struktur hukum yang diskriminatif dan berjenjang⁴. Setelah proklamasi
kemerdekaan tahun 1945, sistem peradilan Indonesia mengalami transformasi
signifikan dengan mengadopsi prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD 1945,
khususnya dalam Pasal 24 yang menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan⁵.
Periode Orde Baru (1966–1998) menyaksikan
terjadinya intervensi yang cukup besar terhadap kekuasaan yudikatif, baik
secara struktural maupun politik. Mahkamah Agung diposisikan lebih sebagai
lembaga administratif yudisial daripada lembaga yang benar-benar independen.
Ketiadaan mekanisme judicial review terhadap produk legislatif dan
dominasi kekuasaan eksekutif menyebabkan lemahnya daya kontrol peradilan dalam
sistem pemerintahan⁶. Namun, momentum reformasi 1998 menjadi titik balik
penting dalam sejarah kekuasaan yudikatif Indonesia.
Pasca reformasi, amandemen UUD 1945 memperkuat
posisi kekuasaan kehakiman dengan pembentukan dua lembaga baru: Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). MK memiliki kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan
perselisihan hasil pemilu⁷. Sementara itu, KY berperan dalam menjaga integritas
dan perilaku hakim, serta mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain itu,
reformasi juga mendorong terwujudnya prinsip one roof system, yakni
pemusatan kekuasaan yudikatif di bawah Mahkamah Agung, yang bertujuan
memperkuat koordinasi dan efisiensi lembaga peradilan nasional⁸.
Sejak saat itu, kekuasaan yudikatif di Indonesia
semakin diarahkan untuk menjadi lembaga yang profesional, transparan, dan
akuntabel, meskipun masih menghadapi tantangan dalam hal integritas, sumber
daya manusia, serta kesenjangan akses terhadap keadilan. Namun demikian,
evolusi kelembagaan yang telah terjadi memberikan dasar yang kuat bagi
penguatan peran strategis yudikatif dalam menjaga supremasi hukum dan prinsip
demokrasi konstitusional.
Footnotes
[1]
Alan Watson, The Spirit of Roman Law
(Athens: University of Georgia Press, 1995), 32–48.
[2]
John H. Langbein, The Origins of Adversary
Criminal Trial (Oxford: Oxford University Press, 2003), 8–15.
[3]
Marbury v. Madison, 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803),
dalam Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies,
6th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2019), 33–36.
[4]
B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1981), 102–110.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 158.
[6]
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945
(Yogyakarta: FH UII Press, 1995), 87–91.
[7]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah
Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan
1999–2002, Jilid VI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK,
2010), 43–58.
[8]
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan
Komisi Yudisial RI 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 10–12.
4.
Struktur
Lembaga Yudikatif dalam Sistem Hukum Nasional
Struktur kekuasaan
yudikatif dalam sistem hukum nasional Indonesia dirancang untuk menjalankan
fungsi kehakiman secara independen, efektif, dan menjunjung tinggi prinsip
negara hukum. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK). Di samping itu, Komisi
Yudisial (KY) dibentuk sebagai lembaga pendukung guna menjaga
integritas dan akuntabilitas hakim. Ketiga lembaga ini secara bersama membentuk
pilar institusional kekuasaan yudikatif yang memiliki tugas dan kewenangan
berbeda namun saling melengkapi.
4.1. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung
merupakan lembaga peradilan tertinggi dalam sistem peradilan umum di Indonesia.
MA membawahi empat lingkungan peradilan, yaitu:
·
Peradilan Umum,
·
Peradilan Agama,
·
Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN), dan
·
Peradilan Militer¹.
Sebagai puncak dari kekuasaan
kehakiman, MA memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara kasasi,
melakukan peninjauan kembali (PK), dan memberikan putusan atas permohonan grasi
dari Presiden dalam perkara pidana. Selain itu, MA juga memiliki fungsi
pembinaan teknis terhadap seluruh peradilan di bawahnya dan kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
(judicial review terbatas)².
Reformasi sistem
peradilan pasca-1998 turut memperkuat posisi MA melalui penerapan sistem
satu atap (one roof system) yang menempatkan organisasi,
administrasi, dan keuangan pengadilan di bawah wewenang Mahkamah Agung.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan independensi, efisiensi, dan
integritas peradilan nasional³.
4.2. Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi
didirikan berdasarkan amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan diatur lebih
lanjut melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 (yang telah beberapa kali
diubah). MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution) dan
memiliki kewenangan utama:
·
Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar,
·
Memutus sengketa kewenangan
antar lembaga negara,
·
Memutus pembubaran partai
politik,
·
Memutus perselisihan hasil
pemilu, dan
·
Memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden⁴.
Keberadaan MK
menandai perluasan fungsi yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK
tidak sekadar menjadi lembaga yudisial, melainkan juga lembaga
politik-konstitusional yang berperan besar dalam menjaga keseimbangan antar
lembaga negara dan menjamin konstitusionalitas dalam kehidupan berbangsa⁵.
4.3. Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial
merupakan lembaga mandiri yang dibentuk melalui Amandemen Ketiga UUD 1945.
Fungsi utamanya adalah:
·
Mengusulkan pengangkatan hakim
agung kepada DPR,
·
Melakukan pengawasan
terhadap perilaku dan etika hakim, serta
·
Menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim⁶.
Meskipun KY tidak
memiliki kewenangan yudisial, peran lembaga ini penting dalam membangun integritas
dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Namun demikian, ruang
lingkup kewenangannya masih sering menjadi perdebatan, terutama terkait batasan
intervensi terhadap independensi hakim yang dijamin konstitusi⁷.
4.4. Relasi dan Koordinasi antar Lembaga
Secara struktural,
ketiga lembaga tersebut beroperasi secara independen namun berada dalam satu
sistem kekuasaan kehakiman. Relasi antara MA, MK, dan KY tidak bersifat
subordinatif, tetapi lebih kepada relasi koordinatif dan fungsional. Hal ini penting
untuk menjaga keseimbangan antara independensi dan akuntabilitas dalam
penyelenggaraan kekuasaan yudikatif⁸.
Dengan struktur yang
demikian, sistem yudikatif Indonesia berupaya menyeimbangkan antara
prinsip-prinsip konstitusional, kebutuhan akan profesionalisme kelembagaan,
serta tuntutan reformasi hukum dalam mewujudkan keadilan substantif.
Footnotes
[1]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Saku Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Jakarta: MA RI, 2022), 5–7.
[2]
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 31A.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945 (Jakarta: FH UI Press, 2004), 174.
[4]
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10.
[5]
Saldi Isra, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 89–91.
[6]
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Pasal 13 dan
Pasal 20.
[7]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 245.
[8]
Komisi Yudisial RI, Panduan Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(Jakarta: KY RI, 2023), vii–x.
5.
Prinsip
Independensi Kekuasaan Yudikatif
Independensi kekuasaan yudikatif merupakan prinsip
fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang menjamin tegaknya hukum,
keadilan, dan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Tanpa
independensi, fungsi yudikatif sebagai penafsir dan penegak hukum tidak akan
berjalan secara objektif dan berkeadilan. Oleh karena itu, dalam negara hukum (rechtsstaat),
kekuasaan kehakiman harus bebas dari segala bentuk campur tangan kekuasaan
lain, baik legislatif, eksekutif, maupun kepentingan non-negara seperti tekanan
ekonomi, politik, dan sosial¹.
Secara normatif, prinsip independensi yudikatif
telah diakui secara luas dalam berbagai instrumen hukum internasional. Basic
Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1985 menegaskan bahwa kebebasan peradilan
merupakan prasyarat untuk penegakan hukum dan jaminan hak asasi manusia.
Dokumen tersebut menyatakan bahwa “Independence of the judiciary shall be
guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the
country”². Di Indonesia, prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD
NRI 1945, yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan³.
Independensi yudikatif memiliki dua dimensi utama: independensi
institusional dan independensi personal.
·
Independensi institusional menyangkut kebebasan lembaga yudikatif secara struktural dari pengaruh
eksternal. Hal ini mencakup otonomi anggaran, pengelolaan administrasi, dan pembentukan
sistem rekrutmen serta promosi hakim yang transparan dan meritokratis⁴. Di
Indonesia, penerapan one roof system pada Mahkamah Agung sejak reformasi
merupakan upaya konkret untuk memperkuat aspek ini.
·
Independensi personal mengacu
pada kebebasan hakim secara individu dalam memutus perkara tanpa tekanan,
ancaman, atau intervensi. Prinsip ini dijamin melalui kode etik dan jaminan
tidak dapat diganggunya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap⁵.
Namun demikian, independensi yudikatif bukan berarti
imunitas mutlak. Hakim tetap harus tunduk pada prinsip akuntabilitas dan etika
profesi. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga seperti Komisi Yudisial
untuk mengawasi perilaku hakim tanpa mencampuri substansi putusan, guna menjaga
keseimbangan antara independensi dan tanggung jawab⁶. Model ini mencerminkan
prinsip independent yet accountable judiciary, yaitu bahwa kekuasaan
kehakiman bebas dalam tugas yudisial, namun tetap bertanggung jawab terhadap
publik secara etik dan administratif.
Tantangan terhadap independensi yudikatif tidak
hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam lembaga itu sendiri. Praktik
korupsi di lingkungan peradilan, keberpihakan hakim terhadap pihak tertentu,
atau lemahnya profesionalitas, merupakan bentuk-bentuk pelanggaran independensi
yang bersifat internal. Dalam konteks ini, reformasi berkelanjutan melalui
peningkatan kualitas pendidikan hakim, integritas kelembagaan, dan transparansi
dalam proses peradilan menjadi agenda penting untuk menjaga marwah independensi
yudikatif⁷.
Dengan demikian, prinsip independensi kekuasaan
yudikatif tidak hanya harus ditegaskan dalam norma hukum, tetapi juga
dihidupkan dalam praktik institusional dan budaya hukum yang mendukung
profesionalitas, integritas, serta kepercayaan publik terhadap lembaga
peradilan.
Footnotes
[1]
Mauro Cappelletti, The Judicial Process in
Comparative Perspective (Oxford: Clarendon Press, 1989), 5–9.
[2]
United Nations, Basic Principles on the
Independence of the Judiciary, adopted by the Seventh United Nations Congress
on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan, 1985,
Articles 1–2.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 24 ayat (1).
[4]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 190–192.
[5]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (Jakarta: MA RI dan KY RI, 2009), 6–10.
[6]
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Pasal 13A–20A.
[7]
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek S. Rubaie, Independensi
Kekuasaan Kehakiman (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 2011), 122–127.
6.
Fungsi
dan Peran Strategis Kekuasaan Yudikatif
Dalam kerangka
sistem ketatanegaraan modern, kekuasaan yudikatif memegang fungsi dan peran
yang sangat strategis dalam memastikan tegaknya prinsip negara hukum (rechtstaat),
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, serta stabilitas
sistem demokrasi. Kekuasaan ini tidak hanya berperan sebagai penegak hukum
dalam arti sempit, tetapi juga sebagai penjaga moral konstitusi dan penyeimbang
kekuasaan antar lembaga negara.
6.1. Penegakan Hukum dan Keadilan
Fungsi paling
mendasar dari kekuasaan yudikatif adalah menegakkan hukum secara adil dan obyektif
melalui proses peradilan. Hal ini mencakup penyelesaian sengketa perdata,
pidana, tata usaha negara, dan keagamaan dalam kerangka sistem peradilan yang
terstruktur. Keberadaan lembaga peradilan sebagai tempat terakhir untuk mencari
keadilan menjadikan kekuasaan yudikatif sebagai instrumen vital dalam menjamin
kepastian hukum dan kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law)¹.
6.2. Penjaga Konstitusi dan Pengawal Demokrasi
Di era demokrasi
konstitusional, kekuasaan yudikatif tidak hanya menjalankan hukum positif,
tetapi juga berperan sebagai guardian of the constitution. Peran
ini secara khusus dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi, yang
memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap
undang-undang, menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara, serta
memutus perselisihan hasil pemilu. Fungsi ini sangat penting dalam mengoreksi
produk hukum legislatif yang bertentangan dengan konstitusi dan memastikan
bahwa seluruh cabang kekuasaan negara beroperasi dalam batas-batas konstitusional².
Sebagaimana
dikemukakan oleh Bruce Ackerman, kekuasaan kehakiman modern telah berkembang
menjadi aktor penting dalam mewujudkan constitutional dialogue antara
rakyat, legislatif, dan lembaga yudikatif itu sendiri. Dalam kerangka ini,
yudikatif tidak lagi bersifat pasif, melainkan berpartisipasi aktif dalam
menafsirkan nilai-nilai konstitusional secara progresif untuk menjawab dinamika
sosial³.
6.3. Pelindung Hak Asasi Manusia (HAM)
Lembaga yudikatif
juga berperan sebagai pelindung hak asasi manusia, baik melalui mekanisme
pengujian konstitusionalitas undang-undang maupun melalui putusan-putusan
pengadilan yang menegakkan prinsip-prinsip keadilan substantif. Di Indonesia,
prinsip perlindungan HAM secara eksplisit dinyatakan dalam UUD 1945 dan menjadi
dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa kasus, MK
telah menegaskan bahwa pembatasan hak warga negara hanya dapat dibenarkan
apabila sejalan dengan prinsip proporsionalitas dan kepentingan umum⁴.
6.4. Fungsi Judicial Review dan Legislasi Negatif
Melalui mekanisme judicial
review, kekuasaan yudikatif memiliki fungsi legislasi negatif,
yakni membatalkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
konstitusi. Dalam praktiknya, hal ini berimplikasi besar terhadap dinamika
legislasi nasional karena putusan MK bersifat final dan mengikat (final
and binding). Dengan demikian, kekuasaan yudikatif memainkan peran
sebagai pengontrol substantif terhadap produk hukum legislatif dan menjamin
bahwa hukum nasional tidak menyimpang dari semangat konstitusi⁵.
6.5. Penciptaan Preseden dan Pengembangan Hukum
Dalam sistem hukum
Indonesia yang bercorak campuran (civil law dan common law), kekuasaan
yudikatif juga memiliki fungsi pengembangan hukum melalui penciptaan preseden
yurisprudensi. Meskipun tidak bersifat binding precedent seperti dalam
sistem common
law, namun putusan-putusan pengadilan, terutama dari Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi, kerap dijadikan rujukan dalam putusan berikutnya,
sehingga membentuk kaidah hukum baru yang mengisi kekosongan hukum atau
menafsirkan ketentuan hukum secara kontekstual⁶.
6.6. Menjaga Keseimbangan Kekuasaan (Checks and
Balances)
Fungsi strategis
lainnya adalah sebagai penjaga keseimbangan kekuasaan antar cabang negara (checks
and balances). Dalam banyak sistem demokrasi, termasuk Indonesia,
yudikatif memiliki kewenangan untuk menguji tindakan-tindakan eksekutif dan
legislatif yang dianggap menyimpang dari norma hukum dan konstitusi. Dengan
demikian, kekuasaan yudikatif menjadi alat kontrol yang mencegah terjadinya
kekuasaan yang absolut dan otoriter⁷.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), 132–134.
[2]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 011-017/PUU-I/2003 (Jakarta: MKRI, 2003), 1–9.
[3]
Bruce Ackerman, We the People: Transformations (Cambridge:
Harvard University Press, 1998), 267–271.
[4]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 303–308.
[5]
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Fungsi
Legislasi Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2010), 86–94.
[6]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Putusan Yurisprudensi
2015–2020 (Jakarta: MA RI, 2021), xi–xiii.
[7]
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the
Constitution (London: Macmillan, 1885), 112–115.
7.
Tantangan
Kekuasaan Yudikatif di Era Kontemporer
Di tengah dinamika
globalisasi, kemajuan teknologi, dan kompleksitas tata kelola negara
demokratis, kekuasaan yudikatif menghadapi berbagai tantangan yang menguji
integritas, efektivitas, dan relevansinya. Tantangan ini tidak hanya bersifat
teknis dan kelembagaan, tetapi juga menyangkut aspek normatif dan etis dalam
penyelenggaraan fungsi peradilan. Di era kontemporer, masyarakat semakin
menuntut lembaga yudikatif yang bersih, transparan, akuntabel,
serta mampu memberikan akses keadilan secara inklusif dan adaptif
terhadap perubahan zaman.
7.1. Ancaman terhadap Integritas dan Profesionalisme
Hakim
Salah satu tantangan
serius adalah masih adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam lingkungan peradilan. Meskipun telah dilakukan berbagai reformasi,
lembaga yudikatif, terutama di tingkat bawah, masih rentan terhadap intervensi
eksternal maupun penyalahgunaan wewenang internal. Laporan Komisi Yudisial
tahun 2023 mencatat ratusan pengaduan masyarakat terhadap perilaku hakim, yang
mencerminkan belum optimalnya penegakan etika dan pengawasan internal¹. Hal ini
mengikis kepercayaan publik terhadap institusi peradilan sebagai penjaga
keadilan.
7.2. Intervensi Politik dan Tekanan Eksternal
Meskipun
independensi yudikatif telah dijamin secara konstitusional, realitas di
lapangan menunjukkan bahwa tekanan politik masih menjadi tantangan nyata. Hal
ini dapat terjadi dalam bentuk intervensi terhadap proses seleksi dan
pengangkatan hakim, tekanan terhadap isi putusan, hingga manipulasi opini
publik melalui media untuk memengaruhi hasil persidangan². Ketiadaan batas
tegas antara ruang politik dan ruang yudisial dapat membahayakan prinsip separation
of powers yang menjadi dasar negara demokrasi.
7.3. Kesenjangan Akses terhadap Keadilan (Access to
Justice)
Persoalan lain yang
signifikan adalah keterbatasan akses masyarakat, terutama
kelompok rentan, terhadap layanan peradilan. Hambatan ini bisa
berupa biaya tinggi, keterbatasan informasi hukum, minimnya bantuan hukum,
serta prosedur yang rumit dan formalistis. Dalam survei Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), ditemukan bahwa sebagian besar
masyarakat miskin tidak mampu mengakses peradilan secara layak karena kendala
ekonomi dan geografis³. Tantangan ini memperbesar jurang ketidakadilan dan
mengurangi efektivitas fungsi yudikatif sebagai penjaga hak konstitusional
setiap warga negara.
7.4. Kompleksitas Hukum dan Beban Perkara
Modernisasi sistem hukum
nasional telah menghasilkan ribuan peraturan perundang-undangan yang sering
kali saling tumpang tindih, tidak sinkron, bahkan bertentangan satu sama lain.
Hal ini menciptakan kompleksitas hukum yang
menyulitkan proses penegakan keadilan. Ditambah lagi, Mahkamah Agung setiap
tahun menerima lebih dari 20.000 perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK),
yang menyebabkan penumpukan perkara dan menghambat kecepatan penyelesaian⁴.
Situasi ini mengancam prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009.
7.5. Tantangan Digitalisasi dan Kecanggihan Teknologi
Revolusi digital
juga membawa tantangan baru bagi kekuasaan yudikatif, baik dalam hal digitalisasi
sistem peradilan maupun dalam menghadapi kejahatan
berbasis teknologi (cybercrime). Di satu sisi, pengadilan
dituntut untuk mengembangkan sistem e-court dan e-litigation
yang efisien dan ramah pengguna. Di sisi lain, lembaga yudikatif harus
membekali aparatnya dengan kompetensi dalam menangani perkara-perkara yang
melibatkan teknologi canggih, seperti pelanggaran data pribadi, peretasan, dan
transaksi digital lintas negara⁵.
7.6. Persepsi Publik dan Kepercayaan terhadap Lembaga
Peradilan
Di era keterbukaan
informasi, persepsi publik terhadap lembaga peradilan menjadi sangat penting.
Ketika putusan-putusan pengadilan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan
publik, muncul gejala "trial by media" yang
bisa mendistorsi proses hukum dan menciptakan ketegangan sosial. Oleh karena
itu, diperlukan strategi komunikasi yang efektif dan keterbukaan informasi yang
terukur untuk menjaga legitimasi peradilan di mata masyarakat⁶.
7.7. Tantangan Etis dalam Peran Judicial Activism
Meningkatnya peran
yudikatif dalam judicial review dan pengembangan
hukum menimbulkan dilema antara judicial activism dan judicial
restraint. Di satu sisi, hakim konstitusi dituntut untuk
proaktif dalam menafsirkan nilai-nilai keadilan substansial. Namun di sisi
lain, tindakan yang terlalu intervensionis dapat dituding sebagai pelampauan
kewenangan legislatif. Dilema ini membutuhkan kehati-hatian, kepekaan
konstitusional, dan integritas intelektual yang tinggi dari para hakim⁷.
Footnotes
[1]
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial
RI 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 34–39.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Independensi Kekuasaan Kehakiman: Perspektif
Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 88–92.
[3]
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Akses
terhadap Keadilan di Indonesia: Studi dan Rekomendasi (Jakarta: LeIP,
2020), 15–22.
[4]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan MA RI 2023
(Jakarta: MA RI, 2024), 12–14.
[5]
Agus Rahardjo et al., Tantangan Digitalisasi Peradilan di Era 4.0
(Jakarta: Badan Litbang MA RI, 2022), 45–56.
[6]
Hadjon, Philipus M., Keterbukaan Informasi dan Peradilan Modern
(Surabaya: Universitas Airlangga Press, 2020), 77–83.
[7]
Ronald Dworkin, A Matter of Principle (Cambridge: Harvard
University Press, 1985), 9–10, 71–72.
8.
Reformasi
dan Inovasi dalam Sistem Yudikatif
Reformasi sistem
yudikatif merupakan bagian integral dari agenda pembaruan ketatanegaraan
pasca-Reformasi 1998. Dalam kerangka demokrasi konstitusional, reformasi ini
diarahkan untuk memperkuat prinsip independensi, akuntabilitas,
dan efektivitas
kekuasaan kehakiman. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan
peradilan yang bersih dan responsif, sistem yudikatif Indonesia tidak hanya
dituntut untuk berbenah dari sisi normatif dan kelembagaan, tetapi juga harus
mampu menghadirkan inovasi sistemik dan teknologi
guna menjawab tantangan zaman.
8.1. Amandemen Konstitusi dan Pembentukan Lembaga Baru
Langkah awal
reformasi yudikatif dilakukan melalui amandemen UUD 1945 antara tahun
1999–2002, yang menghasilkan perubahan fundamental terhadap sistem kekuasaan
kehakiman. Perubahan tersebut meliputi:
·
Penegasan prinsip independensi
kekuasaan kehakiman (Pasal 24),
·
Pembentukan Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24C), dan
·
Pembentukan Komisi
Yudisial (Pasal 24B)¹.
Kehadiran Mahkamah
Konstitusi membawa paradigma baru dalam pengawasan konstitusional terhadap
produk legislasi dan tindakan negara, sedangkan Komisi Yudisial berfungsi
sebagai lembaga penjaga etika hakim, menciptakan mekanisme pengawasan yang
tidak mengganggu independensi yudisial².
8.2. Implementasi One Roof System
Salah satu terobosan
kelembagaan penting dalam reformasi peradilan adalah implementasi sistem
satu atap (one roof system) sejak tahun 2004, di mana
kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan pengadilan dialihkan dari Departemen
Kehakiman ke Mahkamah Agung. Tujuannya adalah untuk menghilangkan dominasi
eksekutif terhadap lembaga peradilan dan memperkuat otonomi yudikatif³. Sistem
ini dianggap sebagai prasyarat teknis untuk memastikan kebebasan struktural
peradilan dari tekanan birokrasi negara.
8.3. Reformasi Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
Reformasi yudikatif
juga mencakup restrukturisasi kelembagaan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat peradilan. Berbagai
pelatihan etik dan teknis yudisial telah diselenggarakan oleh Badan Litbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung, bekerja sama dengan institusi nasional dan
internasional. Upaya ini mencakup peningkatan standar rekrutmen hakim, sistem
merit dalam promosi, serta penguatan kapasitas intelektual hakim dalam menangani
perkara-perkara konstitusional, ekonomi, dan teknologi⁴.
8.4. Inovasi Digital: Menuju e-Court dan e-Litigation
Perkembangan
teknologi informasi menjadi katalis penting dalam modernisasi sistem peradilan.
Sejak 2018, Mahkamah Agung meluncurkan e-Court sebagai sistem digital
yang memungkinkan:
·
Pendaftaran perkara secara
daring,
·
Pembayaran biaya perkara
secara elektronik,
·
Pemanggilan pihak melalui
media elektronik, dan
·
Pengajuan dokumen secara
digital.
Pada 2019, sistem
ini dikembangkan lebih lanjut menjadi e-Litigation, yang memungkinkan
persidangan secara elektronik dalam perkara perdata, agama, dan TUN⁵. Inovasi
ini terbukti signifikan dalam menjamin akses terhadap peradilan, terutama di
masa pandemi COVID-19, serta meningkatkan efisiensi dan transparansi proses
hukum.
8.5. Transparansi dan Keterbukaan Informasi Peradilan
Dalam rangka
meningkatkan akuntabilitas publik, Mahkamah Agung telah mengadopsi Kebijakan
Keterbukaan Informasi melalui SK KMA No. 1-144/KMA/SK/I/2011.
Melalui kebijakan ini, pengadilan diwajibkan menyediakan akses publik terhadap:
·
Putusan pengadilan secara
daring,
·
Jadwal persidangan,
·
Biaya perkara,
·
Profil hakim, dan
·
Kinerja lembaga.
Inisiatif ini
sejalan dengan prinsip open justice, di mana transparansi
dianggap sebagai sarana utama untuk mengawasi penyalahgunaan kewenangan dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat⁶.
8.6. Kolaborasi Internasional dan Reformasi Berbasis HAM
Reformasi sistem
yudikatif di Indonesia juga dipengaruhi oleh standar internasional, terutama
dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM). Kerja
sama Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga-lembaga
internasional seperti UNDP, ADB, dan GIZ telah mendorong adopsi nilai-nilai
universal seperti fair trial, due process of law, dan non-discrimination⁷.
Prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi penyusunan pedoman etik, prosedur
peradilan ramah disabilitas, dan mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban.
8.7. Evaluasi dan Tantangan Reformasi
Meskipun telah
banyak capaian, reformasi yudikatif di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi
ekspektasi publik. Beberapa tantangan yang masih mengemuka antara lain:
·
Resistensi terhadap
perubahan di internal lembaga,
·
Kesenjangan implementasi
antara pusat dan daerah,
·
Masih lemahnya sistem
pengawasan etik yang independen.
Oleh karena itu,
reformasi dan inovasi dalam sistem yudikatif harus dipahami sebagai proses
berkelanjutan (continuous reform) yang membutuhkan
komitmen politik, dukungan publik, serta kepemimpinan yudisial yang visioner⁸.
Footnotes
[1]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif
Perubahan UUD 1945, Jilid VI (Jakarta: Sekretariat Jenderal MK, 2010),
5–12.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 132–139.
[3]
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 (Yogyakarta:
UII Press, 2004), 102–105.
[4]
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Laporan Kinerja dan
Pengembangan Kompetensi Hakim (Jakarta: MA RI, 2023), 27–30.
[5]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panduan Implementasi E-Court dan
E-Litigation (Jakarta: Dirjen Badilum MA RI, 2020), 8–15.
[6]
Komisi Informasi Pusat, Panduan Keterbukaan Informasi di Lembaga
Yudikatif (Jakarta: KIP, 2021), 13–17.
[7]
United Nations Development Programme (UNDP), Judicial Reform in
Indonesia: Partnership for Justice (Jakarta: UNDP Indonesia, 2019), 34–36.
[8]
LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), Catatan
Akhir Tahun Reformasi Peradilan 2022 (Jakarta: LeIP, 2023), 44–49.
9.
Studi
Kasus Komparatif
Studi komparatif
mengenai kekuasaan yudikatif di berbagai negara memberikan perspektif penting
untuk memahami variasi struktur, peran, dan tingkat independensi lembaga
peradilan dalam sistem ketatanegaraan yang berbeda. Perbandingan ini tidak
dimaksudkan untuk menyeragamkan sistem yudikatif, melainkan untuk
mengidentifikasi praktik-praktik baik (best practices) yang dapat
dijadikan referensi dalam memperkuat sistem peradilan nasional. Dalam bagian
ini, akan ditelaah tiga studi kasus: Amerika Serikat, Jerman, dan India, yang
masing-masing merepresentasikan pendekatan khas terhadap kekuasaan kehakiman
dalam kerangka negara demokrasi konstitusional.
9.1. Amerika Serikat: Judicial Review dan Judicial
Activism
Sistem peradilan
Amerika Serikat merupakan model klasik dalam doktrin judicial
review, yang pertama kali ditegaskan dalam kasus Marbury
v. Madison (1803). Mahkamah Agung AS memiliki wewenang untuk
membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, menjadikannya
sebagai lembaga penjaga supremasi konstitusi⁽¹⁾. Keistimewaan sistem ini adalah
common
law tradition yang memungkinkan terciptanya binding
precedent, sehingga keputusan hakim dapat membentuk hukum baru.
Mahkamah Agung AS
juga dikenal karena praktik judicial activism, yakni
keterlibatan aktif dalam mengarahkan kebijakan publik melalui tafsir
konstitusional yang progresif. Contoh penting adalah kasus Brown v.
Board of Education (1954) yang menghapus segregasi rasial di
sekolah publik, serta Roe v. Wade (1973) yang menetapkan
hak atas aborsi⁽²⁾. Meskipun judicial activism kerap menuai kritik karena
dianggap mengganggu fungsi legislatif, namun pendekatan ini membuktikan bahwa
kekuasaan yudikatif dapat berperan sebagai agen perubahan sosial.
9.2. Jerman: Dualisme Peradilan dan Peran Mahkamah
Konstitusi Federal
Jerman menerapkan
sistem hukum civil law yang menekankan
kodifikasi dan struktur peradilan yang hierarkis. Namun, kekuatan sistem
yudikatif Jerman terletak pada keberadaan Bundesverfassungsgericht
(Mahkamah Konstitusi Federal), yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi
dengan wewenang luas untuk menguji undang-undang, menyelesaikan sengketa antar
lembaga negara, dan membubarkan partai politik⁽³⁾.
Mahkamah ini dikenal
karena putusannya yang berani namun berbasis pada argumen hukum yang kuat.
Misalnya, dalam Lissabon-Urteil (2009), Mahkamah
Konstitusi Jerman menegaskan batas-batas integrasi Uni Eropa agar tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan demokratis nasional⁽⁴⁾. Sistem
peradilan Jerman juga dicirikan oleh independensi administratif dan sistem
pelatihan hakim yang ketat, sehingga menjamin profesionalisme
tinggi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan keadilan.
9.3. India: Peradilan Konstitusional dan Aktivisme Hak
Asasi
Sebagai negara
demokrasi terbesar di dunia, India menunjukkan dinamika menarik dalam relasi
antara yudikatif dan cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung India memegang
kewenangan konstitusional dan memainkan peran vital dalam memperluas cakupan
hak-hak asasi manusia melalui doktrin expansive interpretation⁽⁵⁾.
Contohnya, dalam kasus Maneka Gandhi v. Union of India
(1978), Mahkamah menegaskan bahwa hak atas kebebasan tidak hanya terbatas pada
hukum formal, tetapi juga harus selaras dengan prinsip keadilan dan
kewajaran⁽⁶⁾.
Mahkamah Agung India
juga memelopori konsep Public Interest Litigation (PIL)
yang memungkinkan warga negara atau organisasi sipil mengajukan gugatan atas
nama kepentingan umum. Mekanisme ini meningkatkan akses keadilan bagi kelompok
marginal dan memperkuat kontrol terhadap kekuasaan negara. Namun, Mahkamah juga
menghadapi kritik karena kadang-kadang dianggap terlalu jauh mencampuri wilayah
eksekutif, terutama dalam kebijakan lingkungan dan ekonomi⁽⁷⁾.
Refleksi bagi Indonesia
Dari ketiga studi
kasus di atas, terdapat sejumlah pelajaran penting yang dapat diambil oleh
Indonesia:
·
Dari
Amerika Serikat, pentingnya rule of law dan kekuatan judicial
review dalam menjaga konstitusi dan hak sipil.
·
Dari
Jerman, relevansi profesionalisme hakim dan pembentukan
pengadilan konstitusi yang kuat dan terpisah dari struktur MA.
·
Dari
India, keberanian yudisial dalam menjangkau kelompok rentan dan
inovasi prosedural seperti PIL untuk memperluas akses terhadap
keadilan.
Indonesia telah
mengadopsi sebagian unsur tersebut, seperti pendirian Mahkamah Konstitusi dan
implementasi e-court. Namun, tantangan masih ada dalam bentuk keterbatasan SDM,
budaya hukum yang belum partisipatif, serta tekanan terhadap independensi
hakim. Oleh karena itu, penguatan kekuasaan yudikatif tidak dapat dilepaskan
dari perbaikan struktur, budaya, dan kapasitas kelembagaan secara
berkelanjutan⁽⁸⁾.
Footnotes
[1]
Marbury v. Madison, 5 U.S.
(1 Cranch) 137 (1803), dalam Erwin Chemerinsky, Constitutional Law:
Principles and Policies, 6th ed. (New York: Wolters Kluwer, 2019), 33–36.
[2]
Laurence H. Tribe, American Constitutional Law, 2nd ed.
(Mineola, NY: Foundation Press, 1988), 1143–1145.
[3]
Donald P. Kommers and Russell A. Miller, The Constitutional
Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 3rd ed. (Durham: Duke
University Press, 2012), 19–35.
[4]
Bundesverfassungsgericht, Judgment of the Second Senate of 30 June
2009 – 2 BvE 2/08, paras. 229–240.
[5]
M.P. Jain, Indian Constitutional Law, 7th ed. (Nagpur:
LexisNexis Butterworths, 2014), 1194–1213.
[6]
Maneka Gandhi v. Union of India,
AIR 1978 SC 597, dalam S.P. Sathe, Judicial Activism in India:
Transgressing Borders and Enforcing Limits (Oxford: Oxford University
Press, 2002), 80–83.
[7]
Upendra Baxi, The Indian Supreme Court and Politics (New
Delhi: Eastern Book Company, 1980), 149–155.
[8]
Saldi Isra, Perkembangan Judicial Review dan Konstitusionalisme di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 134–137.
10. Penutup
Kekuasaan yudikatif merupakan pilar fundamental
dalam sistem ketatanegaraan demokratis yang bertumpu pada prinsip rule of
law, supremasi konstitusi, dan perlindungan hak asasi manusia. Sebagai
cabang kekuasaan yang mandiri, yudikatif memiliki fungsi strategis tidak hanya
dalam menyelesaikan sengketa hukum, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan
kekuasaan negara dan menegakkan nilai-nilai keadilan konstitusional. Dalam
konteks negara hukum modern, kekuasaan yudikatif harus diposisikan sebagai
penjaga moral konstitusi (guardian of the constitution) dan pelindung
hak-hak konstitusional warga negara¹.
Pembahasan dalam artikel ini menunjukkan bahwa
secara normatif, Indonesia telah memiliki kerangka konstitusional dan
kelembagaan yang memadai untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen
dan akuntabel. Amandemen UUD 1945, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial, serta implementasi one roof system merupakan pencapaian
penting dalam arsitektur ketatanegaraan pasca-reformasi². Inovasi teknologi
seperti sistem e-court dan e-litigation juga menunjukkan bahwa
lembaga peradilan Indonesia berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman
dan kebutuhan masyarakat akan keadilan yang cepat, transparan, dan efisien³.
Namun demikian, berbagai tantangan masih
membayangi. Korupsi yudisial, intervensi politik, kesenjangan akses terhadap
keadilan, serta keterbatasan kapasitas sumber daya manusia peradilan merupakan
persoalan nyata yang membutuhkan perhatian serius. Tanpa integritas moral dan
profesionalisme hakim, independensi yudikatif hanya akan menjadi slogan formal
tanpa makna substantif⁴. Selain itu, dalam menghadapi perkembangan global dan
kompleksitas hukum modern, kekuasaan yudikatif dituntut untuk semakin adaptif,
terbuka terhadap perubahan, dan peka terhadap keadilan substantif di luar
kerangka legalistik semata⁵.
Dari perspektif komparatif, pelajaran dari Amerika
Serikat, Jerman, dan India memperlihatkan bahwa kekuasaan yudikatif yang kuat
dan independen sangat bergantung pada:
·
komitmen konstitusional terhadap separation of powers,
·
penguatan budaya hukum (legal culture),
·
sistem rekrutmen dan pelatihan hakim yang profesional, dan
·
dukungan masyarakat sipil yang aktif dalam mengawasi kinerja peradilan⁶.
Ke depan, penguatan kekuasaan yudikatif di
Indonesia harus diarahkan pada reformasi kelembagaan yang berkelanjutan,
inovasi teknologi yang inklusif, dan peningkatan integritas sumber daya
manusia. Diperlukan juga sinergi antara lembaga yudikatif, legislatif, dan
eksekutif untuk menjamin supremasi hukum dan menjauhkan peradilan dari
tarik-menarik kepentingan politik.
Dengan komitmen tersebut, kekuasaan yudikatif dapat
berfungsi secara optimal sebagai pelindung konstitusi, penegak keadilan, serta
penjaga integritas demokrasi Indonesia di era modern yang penuh tantangan.
Footnotes
[1]
Mauro Cappelletti, The Judicial Process in
Comparative Perspective (Oxford: Clarendon Press, 1989), 5–7.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 122–134.
[3]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panduan
Implementasi E-Court dan E-Litigation (Jakarta: Dirjen Badilum MA RI,
2020), 8–15.
[4]
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan
Tahunan Komisi Yudisial RI 2023 (Jakarta: KY RI, 2024), 34–39.
[5]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge:
Harvard University Press, 1986), 255–272.
[6]
Donald P. Kommers and Russell A. Miller, The
Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 3rd ed.
(Durham: Duke University Press, 2012), 62–65.
Daftar Pustaka
Ackerman, B. (1998). We the people:
Transformations. Harvard University Press.
Asshiddiqie, J. (2004). Format kelembagaan
negara dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. FH UI Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Perkembangan dan
konsolidasi lembaga negara pasca reformasi. Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar ilmu hukum
tata negara. Rajawali Pers.
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.
(2023). Laporan kinerja dan pengembangan kompetensi hakim. Mahkamah
Agung RI.
Bagir, M. (1995). Kekuasaan kehakiman dalam UUD
1945. FH UII Press.
Baxi, U. (1980). The Indian Supreme Court and politics.
Eastern Book Company.
Bundesverfassungsgericht. (2009). Judgment of
the Second Senate of 30 June 2009 – 2 BvE 2/08.
Cappelletti, M. (1989). The judicial process in
comparative perspective. Clarendon Press.
Chemerinsky, E. (2019). Constitutional law:
Principles and policies (6th ed.). Wolters Kluwer.
Dicey, A. V. (1885). Introduction to the study
of the law of the constitution. Macmillan.
Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Harvard
University Press.
Dworkin, R. (1985). A matter of principle.
Harvard University Press.
Hadjon, P. M., & Rubaie, T. S. (2011). Independensi
kekuasaan kehakiman. Universitas Airlangga Press.
Hadjon, P. M. (2020). Keterbukaan informasi dan
peradilan modern. Universitas Airlangga Press.
Indrati, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan:
Jenis, fungsi, dan materi muatan. Kanisius.
Isra, S. (2010). Pergeseran fungsi legislasi:
Menguatnya fungsi legislasi Mahkamah Konstitusi. Rajawali Pers.
Isra, S. (2016). Perkembangan judicial review
dan konstitusionalisme di Indonesia. Rajawali Pers.
Jain, M. P. (2014). Indian constitutional law
(7th ed.). LexisNexis Butterworths.
Komisi Informasi Pusat. (2021). Panduan
keterbukaan informasi di lembaga yudikatif. KIP RI.
Komisi Yudisial RI. (2023). Laporan tahunan
Komisi Yudisial RI 2023. KY RI.
Komisi Yudisial RI. (2023). Panduan etik dan
pedoman perilaku hakim. KY RI.
Kommers, D. P., & Miller, R. A. (2012). The
constitutional jurisprudence of the Federal Republic of Germany (3rd ed.).
Duke University Press.
Langbein, J. H. (2003). The origins of adversary
criminal trial. Oxford University Press.
LeIP. (2020). Akses terhadap keadilan di
Indonesia: Studi dan rekomendasi. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan.
LeIP. (2023). Catatan akhir tahun reformasi
peradilan 2022. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.
Mahkamah Agung RI. (2020). Panduan implementasi
e-Court dan e-Litigation. Dirjen Badilum MA RI.
Mahkamah Agung RI. (2021). Kompilasi putusan
yurisprudensi 2015–2020. MA RI.
Mahkamah Agung RI. (2022). Buku saku Mahkamah
Agung Republik Indonesia. MA RI.
Mahkamah Agung RI. (2024). Laporan tahunan MA RI
2023. MA RI.
Mahkamah Konstitusi RI. (2003). Risalah Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 011-017/PUU-I/2003. MK RI.
Mahkamah Konstitusi RI. (2010). Naskah
komprehensif perubahan UUD 1945: Latar belakang, proses, dan hasil pembahasan
1999–2002 (Jilid VI). Sekretariat Jenderal MK RI.
Sathe, S. P. (2002). Judicial activism in India:
Transgressing borders and enforcing limits. Oxford University Press.
Tribe, L. H. (1988). American constitutional law
(2nd ed.). Foundation Press.
UNDP Indonesia. (2019). Judicial reform in
Indonesia: Partnership for justice. UNDP Indonesia.
United Nations. (1985). Basic principles on the
independence of the judiciary. United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders.
Watson, A. (1995). The spirit of Roman law.
University of Georgia Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar