Pemikiran Montesquieu
Kebebasan, Hukum, dan Kekuasaan
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
politik Charles-Louis de Secondat, baron de Montesquieu, seorang filsuf utama
Era Pencerahan yang berpengaruh besar dalam pengembangan teori
konstitusionalisme modern. Melalui karya utamanya De l’esprit des lois
(1748), Montesquieu merumuskan konsep-konsep kunci seperti pemisahan kekuasaan,
kebebasan politik, relativisme hukum, dan prinsip negara hukum. Kajian ini
menelaah latar historis dan intelektual pemikirannya, struktur konseptual utama
dalam teorinya, kontribusi terhadap pembangunan demokrasi modern, serta
kritik-kritik yang ditujukan terhadap gagasan-gagasannya, termasuk soal
determinisme geografis dan orientalisme. Artikel ini juga menyoroti relevansi
pemikiran Montesquieu dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti pelemahan
lembaga demokrasi, krisis supremasi hukum, dan dinamika pluralisme hukum dalam
masyarakat global. Melalui pendekatan historis-analitis dan referensi akademik
yang kredibel, tulisan ini menyimpulkan bahwa warisan Montesquieu tetap relevan
sebagai landasan etik dan institusional bagi pengembangan masyarakat politik
yang demokratis, pluralis, dan berkeadaban.
Kata Kunci; Montesquieu, pemisahan kekuasaan, kebebasan
politik, konstitusionalisme, negara hukum, relativisme hukum, demokrasi modern,
Pencerahan.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif atas Pemikiran Politik Montesquieu
dalam Konteks Pencerahan
1.
Pendahuluan
Abad ke-18, yang
dikenal sebagai Era Pencerahan (Lumières), merupakan masa kebangkitan
rasionalitas dan kritik terhadap otoritas tradisional, terutama dalam bidang
politik, agama, dan hukum. Pada masa ini, lahirlah banyak pemikir yang
mendorong transformasi besar dalam cara manusia memandang dunia dan tata
masyarakat, salah satunya adalah Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède
et de Montesquieu, yang dikenal luas dengan nama Montesquieu.
Ia menjadi salah satu arsitek utama teori politik modern melalui karya
monumentalnya De l’esprit des lois (The
Spirit of the Laws, 1748), yang telah menandai pergeseran besar dari
pandangan absolutistik menuju prinsip-prinsip konstitusionalisme, pemisahan
kekuasaan, dan kebebasan politik.1
Montesquieu muncul
dalam konteks sejarah Prancis yang masih didominasi oleh kekuasaan monarki
absolut, dengan Louis XIV sebagai simbol supremasi negara yang nyaris tak
terbatas. Keadaan tersebut memunculkan keresahan intelektual di kalangan para
filsuf Pencerahan yang mengkritisi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan
pengabaian terhadap hukum-hukum alam maupun akal.2 Berangkat dari
tradisi humanisme klasik dan terinspirasi oleh sistem hukum serta institusi
politik Inggris pasca-Revolusi 1688, Montesquieu memformulasikan suatu teori
politik yang menekankan pentingnya sistem hukum yang adil, kebebasan warga
negara, dan perlunya kekuasaan yang dibatasi serta dipisahkan secara
institusional.3
Karya-karya
Montesquieu, khususnya The Spirit of the Laws, tidak hanya
menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat politik Barat, tetapi juga
berpengaruh besar dalam pembentukan sistem pemerintahan modern, termasuk di
Amerika Serikat dan negara-negara demokratis lainnya. Teorinya mengenai pemisahan
kekuasaan (separation of powers), misalnya, telah menjadi
fondasi utama bagi sistem checks and balances dalam negara konstitusional
modern.4 Meskipun tidak lepas dari kritik dan perdebatan, pemikiran
Montesquieu tetap dianggap sebagai pencapaian intelektual yang fundamental
dalam upaya membangun sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum,
rasionalitas, dan penghormatan terhadap kebebasan individu.
Kajian ini bertujuan
untuk menguraikan secara komprehensif pemikiran politik Montesquieu dengan
menelaah latar belakang historis dan intelektualnya, konsep-konsep kunci yang
ia kembangkan, serta kontribusinya terhadap perkembangan teori politik dan
hukum modern. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya mengungkap signifikansi
pemikiran Montesquieu dalam konteks masa lalu, tetapi juga merefleksikan
relevansinya bagi wacana politik kontemporer, terutama dalam merespons
tantangan terhadap kebebasan dan supremasi hukum di era modern.
Footnotes
[1]
Charles-Louis de Secondat Montesquieu, The Spirit of the Laws,
trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), xxii–xxv.
[2]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 332–335.
[3]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 26–30.
[4]
Pierre Manent, An Intellectual History of Liberalism, trans.
Rebecca Balinski (Princeton: Princeton University Press, 1994), 47–49.
2.
Biografi Singkat Montesquieu
Charles-Louis de
Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu, lahir pada 18 Januari 1689 di
Château de La Brède, wilayah Bordeaux, Prancis, dalam keluarga bangsawan yang
memiliki kedudukan cukup tinggi di lingkungan sosial dan hukum. Ia mewarisi
gelar baron de La Brède dari ibunya dan kemudian menggantikan pamannya sebagai Président
à Mortier di Parlement Bordeaux, sebuah jabatan
yudisial yang berpengaruh di Prancis sebelum Revolusi.1 Latar
belakang sosial ini memberinya akses pada pendidikan tinggi dan kehidupan
intelektual yang menonjol, dua hal yang kelak sangat mempengaruhi arah
pemikiran politik dan hukumnya.
Montesquieu
mengenyam pendidikan di Collège de Juilly, sebuah
institusi terkemuka yang terkenal dengan penekanan pada studi sastra klasik,
filsafat, dan retorika. Ia kemudian melanjutkan studi hukum di Universitas
Bordeaux dan memperoleh gelar sarjana hukum pada 1708.2 Setelah
kematian ayahnya dan pamannya pada 1713 dan 1716, Montesquieu mewarisi kekayaan
dan jabatan kehakiman keluarga, menjadikannya bagian dari elit politik lokal
yang terlibat langsung dalam proses peradilan dan administrasi publik.
Karya intelektual
pertamanya yang mencuri perhatian publik adalah Lettres persanes (1721), sebuah
karya satiris dalam bentuk surat-surat imajiner antara dua pengelana Persia
yang mengamati kehidupan sosial, agama, dan politik di Prancis dan Eropa.
Melalui karya ini, Montesquieu melontarkan kritik tajam terhadap absolutisme,
intoleransi agama, dan kemunafikan sosial masyarakat Eropa, tetapi dengan gaya
yang ringan dan ironis.3 Keberhasilan karya ini memperkuat posisinya
sebagai pemikir pencerahan yang orisinal.
Namun, pencapaian
intelektual terbesarnya tercermin dalam karyanya yang monumental, De
l’esprit des lois (1748), yang ia susun selama lebih dari dua
dekade. Buku ini merupakan hasil dari observasi empiris dan komparatif terhadap
sistem hukum, bentuk pemerintahan, serta kondisi sosial dari berbagai bangsa
dan zaman. Montesquieu memadukan pendekatan historis, hukum, dan politik dalam
satu sistem teoritik yang menekankan pentingnya kebebasan politik dan pemisahan
kekuasaan sebagai prinsip dasar pemerintahan yang adil.4
Selama hidupnya,
Montesquieu tidak hanya berperan sebagai filsuf dan yuris, tetapi juga sebagai anggota
Académie Française sejak 1728 dan pengamat kehidupan politik
Eropa, termasuk melalui perjalanannya ke Italia, Austria, Hungaria, dan
terutama Inggris. Kunjungan ke Inggris memberikan pengaruh yang mendalam
terhadap pemikirannya, terutama dalam pengembangan konsep konstitusionalisme
dan checks
and balances, sebagaimana diterapkan dalam sistem parlemen Inggris
pasca-Revolusi Agung 1688.5
Montesquieu wafat
pada 10 Februari 1755 di Paris. Namun warisan pemikirannya tetap hidup dan
terus menjadi rujukan utama dalam studi filsafat politik, hukum tata negara,
dan teori demokrasi modern. Ia dikenang sebagai salah satu figur kunci dalam
sejarah Pencerahan yang berhasil menyatukan idealisme kebebasan dengan
rasionalitas hukum dalam sebuah kerangka politik yang tahan uji.
Footnotes
[1]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 6–9.
[2]
David W. Carrithers, “Introduction: Montesquieu and the Spirit of
Modernity,” dalam Montesquieu’s Science of Politics: Essays on The Spirit
of Laws, ed. David W. Carrithers, Michael A. Mosher, dan Paul A. Rahe
(Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 3–4.
[3]
Charles-Louis de Secondat Montesquieu, Persian Letters, trans.
Margaret Mauldon and ed. Andrew Kahn (Oxford: Oxford University Press, 2008),
xx–xxii.
[4]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), xix–xxiv.
[5]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 340–343.
3.
Konteks Historis dan Intelektual
Pemikiran Montesquieu
tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan intelektual yang
membentuk lanskap Eropa pada awal abad ke-18. Ia hidup dalam periode transisi
penting dari struktur kekuasaan monarki absolut menuju munculnya kesadaran baru
tentang hukum, kebebasan, dan rasionalitas sebagai dasar tatanan masyarakat. Di
Prancis, kekuasaan masih tersentralisasi di tangan raja, dan warisan
absolutisme Louis XIV mendominasi kehidupan politik. Raja dianggap sebagai
perwujudan negara itu sendiri—"L’État, c’est moi"—sebuah
konsepsi yang menempatkan kekuasaan eksekutif dan legislatif pada satu tangan,
serta menundukkan hukum pada kehendak monarki.1
Dalam konteks ini,
pemikiran Montesquieu muncul sebagai respons terhadap ekses kekuasaan absolut
dan kegagalan sistem hukum untuk menjamin kebebasan individu. Karya-karyanya
menantang dasar-dasar ideologis monarki absolut dan mencoba merumuskan struktur
pemerintahan yang rasional dan adil. Ia dipengaruhi oleh arus besar Pencerahan
(Enlightenment), sebuah gerakan intelektual yang menekankan
penggunaan akal, empirisme, dan ilmu pengetahuan sebagai landasan perubahan
sosial. Di antara tokoh-tokoh utama Pencerahan, Montesquieu mengambil posisi
unik: ia menggabungkan pendekatan historis dan komparatif dengan idealisme
politik, menciptakan sintesis yang lebih empiris dibandingkan Rousseau namun
lebih normatif dibandingkan Hobbes.2
Secara intelektual,
Montesquieu mendapat inspirasi dari tradisi filsafat klasik, khususnya dari Aristoteles,
yang membagi bentuk pemerintahan berdasarkan siapa yang memerintah dan untuk
kepentingan siapa. Dalam Politics, Aristoteles
mengidentifikasi monarki, aristokrasi, dan politeia sebagai bentuk pemerintahan
yang baik, dengan tirani, oligarki, dan demokrasi langsung sebagai bentuk
rusaknya. Montesquieu mengadopsi klasifikasi ini dan memperluasnya menjadi tiga
tipe utama pemerintahan: republik, monarki, dan despotisme.3 Ia juga
terpengaruh oleh pemikiran Cicero mengenai hukum alam dan
keadilan, serta ide tentang “keutamaan republik” yang harus dijaga oleh
warganya.4
Namun, sumber
pengaruh paling signifikan terhadap gagasannya datang dari pengamatannya
terhadap sistem politik Inggris. Setelah kunjungannya
ke Inggris pada awal 1729, Montesquieu sangat terkesan dengan stabilitas
politik, pembagian kekuasaan antara Raja, Parlemen, dan pengadilan, serta
kebebasan sipil yang relatif lebih luas dibandingkan Prancis. Ia melihat
Inggris sebagai contoh keberhasilan dalam menciptakan sistem pemerintahan yang
menyeimbangkan kekuasaan dan menjamin kebebasan. Hal ini menjadi landasan bagi
pengembangannya atas teori pemisahan kekuasaan (separation of powers)
dalam De
l’esprit des lois.5
Lebih dari sekadar
pemikir hukum, Montesquieu juga mewakili semangat ilmiah zaman Pencerahan dalam
cara ia membangun teorinya secara komparatif, empiris, dan lintas budaya.
Ia tidak membatasi kajiannya pada Eropa saja, tetapi juga mengamati sistem
hukum dan pemerintahan dari berbagai peradaban seperti Cina, Persia, dan
Kekhalifahan Islam. Meskipun beberapa analisisnya hari ini dipandang problematis
karena prasangka orientalis, pendekatannya yang luas menunjukkan komitmen pada
metode induktif dan perhatian terhadap faktor-faktor geografis, sosial, serta
ekonomi dalam membentuk hukum dan pemerintahan.6
Dengan demikian,
pemikiran politik Montesquieu lahir dari persilangan kompleks antara situasi
domestik Prancis yang represif, pengalaman empirisnya di Inggris, warisan
filsafat klasik, serta semangat rasional dan ilmiah dari Era Pencerahan.
Konteks historis dan intelektual inilah yang memberinya kerangka untuk
merumuskan konsep-konsep kunci tentang kebebasan, hukum, dan kekuasaan yang
terus mempengaruhi teori politik hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 330–335.
[2]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 22–24.
[3]
Aristotle, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford
University Press, 1995), Book III, 1279a–1289a.
[4]
Cicero, De Re Publica, trans. Clinton Walker Keyes (Cambridge:
Harvard University Press, 1928), Book I.
[5]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book XI, Chapter 6.
[6]
David W. Carrithers, “Montesquieu’s Philosophy of History,” dalam Montesquieu’s
Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws, ed. David W. Carrithers
et al. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 13–18.
4.
Konsep Dasar Pemikiran Politik Montesquieu
Pemikiran politik
Montesquieu dibangun di atas fondasi rasional dan empiris yang khas dari Era
Pencerahan. Ia berusaha menjelaskan bagaimana hukum dan kekuasaan dapat
diorganisasi secara adil demi menjamin kebebasan politik serta mencegah tirani.
Dalam karyanya De l’esprit des lois (1748),
Montesquieu tidak hanya menciptakan teori tentang bentuk-bentuk pemerintahan,
tetapi juga menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur dinamika hukum dan
kekuasaan dalam masyarakat manusia.
4.1.
Hukum sebagai Produk
Rasional dan Kontekstual
Montesquieu memulai
dengan mendefinisikan hukum secara luas sebagai “hubungan yang perlu timbul
dari kodrat segala sesuatu.”1 Hukum bukanlah entitas abstrak
yang terlepas dari kehidupan sosial, melainkan terbentuk dari interaksi antara
faktor-faktor seperti iklim, geografi, agama, ekonomi, dan kebiasaan lokal. Ia
menolak universalitas hukum yang bersifat kaku, sebagaimana diajarkan oleh para
filsuf skolastik, dan lebih menekankan pendekatan kontekstual dan empiris
terhadap sistem hukum. Dalam pandangannya, tidak ada satu sistem hukum yang
cocok untuk semua bangsa karena hukum harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat yang bersangkutan.2
Gagasan ini
merepresentasikan semangat pluralisme hukum dan menandai pergeseran dari
pendekatan normatif-dogmatis ke arah pendekatan sosiologis dan komparatif.
Hukum, bagi Montesquieu, adalah refleksi dari struktur masyarakat dan harus
sejalan dengan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat tersebut.
4.2.
Kebebasan Politik
sebagai Tujuan Utama Pemerintahan
Salah satu gagasan
fundamental dalam pemikiran Montesquieu adalah kebebasan politik, yang
menurutnya hanya dapat terwujud jika warga negara merasa aman dan bebas dari
ketakutan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Namun, ia membedakan antara
kebebasan politik yang sejati dan kebebasan bertindak sesuka hati. Kebebasan
yang sah, menurut Montesquieu, adalah “hak untuk melakukan segala sesuatu
yang diizinkan oleh hukum.”3 Oleh karena itu, kebebasan tidak
terletak pada ketiadaan hukum, tetapi justru pada keberadaan hukum yang adil
dan kekuasaan yang terbatas oleh hukum.
Konsepsi ini
menempatkan Montesquieu dalam garis pemikiran liberal klasik, serupa dengan
John Locke, meskipun dengan penekanan yang berbeda. Jika Locke berbicara
mengenai hak-hak alamiah, Montesquieu lebih fokus pada desain institusional
yang mampu melindungi kebebasan melalui pembatasan kekuasaan negara.
4.3.
Tipologi Bentuk
Pemerintahan dan Prinsip Moral yang Menopangnya
Dalam The
Spirit of the Laws, Montesquieu membagi bentuk pemerintahan menjadi
tiga jenis utama: republik, monarki, dan despotisme. Setiap bentuk pemerintahan
memiliki prinsip moral yang menopangnya:
·
Republik
didasarkan pada keutamaan (virtue), yaitu
cinta terhadap tanah air dan hukum.
·
Monarki
ditopang oleh kehormatan (honor), yaitu
kesetiaan kepada raja dan hierarki.
·
Despotisme
digerakkan oleh ketakutan (fear), yaitu
ketaatan mutlak kepada penguasa tunggal tanpa hukum.4
Analisis ini
memperlihatkan pendekatan Montesquieu yang bukan hanya struktural, tetapi juga
moral dan psikologis. Ia percaya bahwa stabilitas pemerintahan tidak hanya
ditentukan oleh bentuknya, tetapi juga oleh nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Oleh karena itu, perubahan bentuk pemerintahan tanpa
transformasi moral masyarakat tidak akan menghasilkan kebebasan sejati.
4.4.
Relativisme Politik
dan Kritik terhadap Absolutisme
Montesquieu sangat
kritis terhadap sistem absolutisme yang mengonsentrasikan kekuasaan di tangan
satu orang, tanpa pembatasan hukum maupun partisipasi publik. Ia melihat bahwa
sistem semacam itu cenderung menuju kekerasan dan ketidakadilan. Dengan
menekankan pentingnya kesesuaian antara hukum dan kondisi sosial, Montesquieu
mengembangkan pendekatan yang bisa disebut sebagai relativisme
politik, di mana sistem pemerintahan dinilai bukan berdasarkan
doktrin metafisik, tetapi pada kesesuaiannya dengan konteks historis dan
kultural masing-masing negara.5
Gagasannya ini
merupakan cikal bakal pendekatan komparatif dalam ilmu politik modern, yang
tidak mencari bentuk pemerintahan yang “ideal” secara universal, tetapi
yang paling sesuai bagi suatu bangsa dalam kondisi tertentu.
Kesimpulan Sementara
Konsep dasar
pemikiran politik Montesquieu mencerminkan integrasi antara hukum, kebebasan,
dan moralitas politik. Ia menolak absolutisme, menekankan pentingnya hukum
sebagai pembatas kekuasaan, dan membangun fondasi bagi sistem pemerintahan yang
rasional, kontekstual, dan pluralistik. Dengan kerangka ini, Montesquieu tidak
hanya memberikan kontribusi besar terhadap filsafat politik, tetapi juga
terhadap perkembangan hukum tata negara dan teori demokrasi konstitusional.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book I, Chapter 1.
[2]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 32–35.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book XI, Chapter 3.
[4]
Ibid., Book III, Chapters 3–9.
[5]
David W. Carrithers, “Montesquieu’s Philosophy of History,” in Montesquieu’s
Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws, ed. David W.
Carrithers, Michael A. Mosher, and Paul A. Rahe (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2001), 17–19.
5.
Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers)
Salah satu
kontribusi paling berpengaruh dari pemikiran Montesquieu terhadap teori politik
modern adalah gagasannya mengenai pemisahan kekuasaan (la
séparation des pouvoirs), yang pertama kali dirumuskan secara
sistematis dalam De l’esprit des lois (1748). Teori
ini lahir dari kekhawatiran mendalam terhadap potensi tirani dalam sistem
pemerintahan absolut, di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
terkonsentrasi pada satu entitas atau individu. Montesquieu melihat bahwa
kebebasan politik hanya dapat dijamin apabila kekuasaan negara dibagi secara institusional
dan saling mengimbangi satu sama lain.1
Montesquieu membagi
kekuasaan negara ke dalam tiga fungsi utama:
1)
Legislatif
– kekuasaan untuk membuat hukum;
2)
Eksekutif
– kekuasaan untuk melaksanakan hukum dan mengelola urusan luar negeri;
3)
Yudikatif
– kekuasaan untuk mengadili dan menerapkan hukum pada kasus-kasus konkret.2
Menurut Montesquieu,
bila kekuasaan legislatif dan eksekutif berada di tangan orang atau badan yang
sama, tidak akan ada kebebasan karena tidak ada pemisahan antara pembuat dan
pelaksana hukum. Demikian pula, jika kekuasaan yudikatif tidak terpisah, maka
akan timbul potensi penyalahgunaan kekuasaan, di mana hakim dapat bertindak
sebagai legislator atau eksekutor.3
Pemikiran ini
terinspirasi oleh sistem politik Inggris
pasca-Glorious Revolution 1688, yang menurut Montesquieu berhasil membagi
kekuasaan secara relatif antara Raja (eksekutif), Parlemen (legislatif), dan
pengadilan independen (yudikatif). Ia mengagumi model Inggris karena mampu
menjaga keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan kebebasan warga negara,
meskipun para ahli menilai bahwa interpretasi Montesquieu terhadap Inggris agak
idealistik dan tidak sepenuhnya akurat.4
Namun, esensi dari
argumen Montesquieu bukan pada imitasi literal terhadap sistem Inggris,
melainkan pada prinsip umum bahwa kekuasaan harus membatasi kekuasaan
(le
pouvoir arrête le pouvoir). Dalam The Spirit of the Laws, ia
menyatakan dengan tegas: “Pour qu'on ne puisse abuser du pouvoir, il faut
que, par la disposition des choses, le pouvoir arrête le pouvoir” (“Agar
kekuasaan tidak disalahgunakan, maka perlu diatur sedemikian rupa agar
kekuasaan membatasi kekuasaan”).5 Inilah yang kemudian
berkembang menjadi konsep checks and balances dalam
konstitusi modern, khususnya dalam sistem presidensial seperti Amerika Serikat.
Teori pemisahan
kekuasaan Montesquieu telah menjadi pilar utama dalam konstitusionalisme
liberal, yang menekankan pembatasan kekuasaan negara melalui
struktur hukum dan institusi. Teori ini juga berperan penting dalam
perkembangan negara hukum (Rechtsstaat), di
mana hukum menjadi rambu bagi jalannya kekuasaan dan pelindung bagi kebebasan
sipil.6
Meski gagasannya
banyak dipuji, Montesquieu juga menerima kritik, terutama dari pemikir
kontemporer yang menilai bahwa pemisahan kekuasaan secara kaku tidak selalu
efisien dalam konteks pemerintahan modern yang kompleks dan saling terhubung.
Namun demikian, prinsip dasarnya tetap relevan sebagai dasar etika dan
institusional untuk mencegah dominasi satu cabang kekuasaan atas yang lain.
Kesimpulan Sementara
Konsep pemisahan
kekuasaan dalam pemikiran Montesquieu merupakan inovasi politik yang membentuk
wajah konstitusi modern. Dengan mengedepankan prinsip keseimbangan kekuasaan
sebagai syarat bagi kebebasan politik, Montesquieu tidak hanya merespons tantangan
pada zamannya, tetapi juga merumuskan prinsip yang menjadi warisan abadi bagi
teori dan praktik pemerintahan demokratis di seluruh dunia.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book XI, Chapter 6.
[4]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 58–60.
[5]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book XI, Chapter 4.
[6]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 345–348.
6.
Relativisme Hukum dan Sosial
Salah satu dimensi
paling orisinal dalam pemikiran Montesquieu adalah gagasannya tentang relativisme
hukum dan sosial, yang menjadi dasar pendekatan komparatif dan
empiris dalam De l’esprit des lois (1748). Tidak
seperti para pemikir sebelumnya yang cenderung merumuskan hukum sebagai prinsip
universal dan statis, Montesquieu memandang hukum sebagai produk dari interaksi
kompleks antara berbagai kondisi sosial, geografis, ekonomi, dan budaya. Dengan
kata lain, hukum tidak berdiri sendiri secara normatif, tetapi harus dibaca
dalam konteks struktur masyarakat tempat ia berlaku.1
Montesquieu
menyatakan bahwa “hukum harus berhubungan erat dengan struktur masyarakat,
sifat pemerintahan, adat istiadat, agama, dan kondisi ekonomi negara.”2
Hal ini berarti bahwa hukum yang sesuai bagi satu bangsa belum tentu dapat
diterapkan secara efektif di negara lain. Misalnya, sistem hukum yang berhasil
diterapkan di negara-negara beriklim dingin mungkin tidak relevan di wilayah
tropis dengan struktur sosial dan kebutuhan ekonomi yang berbeda. Dalam
pandangannya, berbagai bentuk hukum dan pemerintahan merupakan hasil dari
adaptasi historis terhadap lingkungan alami dan sosial tempat masyarakat itu
hidup.
Gagasan ini dikenal
sebagai bentuk awal relativisme institusional,
yaitu pandangan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan atau sistem hukum yang
ideal secara universal. Sebaliknya, sistem-sistem tersebut harus dinilai
berdasarkan kecocokannya dengan kondisi objektif masyarakat yang bersangkutan.
Montesquieu secara eksplisit menolak gagasan absolutisme normatif yang
mengabaikan keragaman manusia dan realitas sosiokultural.3 Ia juga
menolak pendekatan rasionalistik yang terlalu menyederhanakan masyarakat
menjadi model-model teoritis tunggal.
Montesquieu
menekankan bahwa hukum tidak boleh didasarkan semata-mata pada kehendak
penguasa, melainkan harus memperhitungkan karakter masyarakat, termasuk
nilai-nilai moral, agama, dan tradisi lokal. Misalnya, ia mengakui peran agama
dalam menjaga stabilitas masyarakat, tetapi juga mengkritik kecenderungan
teokrasi atau dominasi agama yang mengabaikan rasionalitas dan kebebasan
individu.4
Dengan demikian,
relativisme hukum yang ditawarkan oleh Montesquieu bukanlah relativisme moral
nihilistik, tetapi suatu pendekatan metodologis yang menghormati pluralitas
budaya dan mendorong analisis yang empatik terhadap keunikan tiap masyarakat.
Pendekatan ini membuka jalan bagi munculnya ilmu politik dan hukum yang
berbasis pada pengamatan perbandingan (comparative analysis),
serta menjadi pelopor bagi perkembangan teori sosial dan antropologi hukum
modern.
Namun, sebagian
analisis Montesquieu juga telah dikritik oleh para akademisi kontemporer karena
kadang mencerminkan bias orientalis dan stereotip budaya. Beberapa pandangannya
tentang masyarakat Timur, seperti Cina dan dunia Islam, dituduh mereproduksi
asumsi superioritas Eropa.5 Meskipun demikian, keberanian
Montesquieu dalam menolak universalisme dogmatis dan mengakui pentingnya
kontekstualitas dalam perumusan hukum merupakan warisan penting bagi
perkembangan ilmu sosial modern.
Kesimpulan Sementara
Konsep relativisme
hukum dan sosial dalam pemikiran Montesquieu menandai terobosan metodologis
dalam studi politik dan hukum. Dengan menekankan bahwa hukum harus sesuai
dengan kondisi masyarakat, Montesquieu menggabungkan empirisme dengan
humanisme—menghasilkan teori yang tidak hanya rasional secara intelektual,
tetapi juga relevan secara sosial. Dalam konteks global yang plural dan
majemuk, warisan pemikirannya tetap relevan sebagai dasar pendekatan hukum yang
inklusif, responsif, dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book I, Chapter 3.
[2]
Ibid., Book XIX, Chapter 4.
[3]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 48–50.
[4]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 339–342.
[5]
Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton:
Princeton University Press, 2003), 126–130.
7.
Kontribusi terhadap Teori Konstitusi dan
Demokrasi Modern
Montesquieu diakui
secara luas sebagai salah satu pemikir politik paling berpengaruh dalam
pembentukan fondasi konstitusionalisme modern.
Melalui karyanya De l’esprit des lois (1748), ia
memberikan kontribusi teoritis yang menentukan bagi perkembangan sistem
demokrasi yang berlandaskan hukum dan institusi. Konsep-konsep seperti pemisahan
kekuasaan, keseimbangan kekuasaan (checks and balances),
serta penekanan pada kebebasan politik dan supremasi
hukum telah menjadi pilar penting dalam arsitektur
negara-negara demokratis modern.
7.1.
Model bagi
Konstitusi Amerika Serikat
Salah satu bentuk
konkret pengaruh Montesquieu dapat dilihat dalam penyusunan Konstitusi
Amerika Serikat tahun 1787. Para Bapak Pendiri Amerika, seperti
James Madison, Alexander Hamilton, dan John Adams, secara eksplisit mengakui
peran penting Montesquieu dalam merumuskan struktur pemerintahan yang menghindari
konsentrasi kekuasaan. Dalam The Federalist Papers, Madison
menekankan perlunya pemisahan kekuasaan antar cabang pemerintahan sebagaimana
diajarkan oleh Montesquieu, sebagai prasyarat mutlak bagi kebebasan.1
Montesquieu dianggap
telah menyediakan kerangka institusional yang
memampukan demokrasi modern menjaga kebebasan warga tanpa mengorbankan
ketertiban. Sistem tripartit — legislatif, eksekutif, dan yudikatif — yang
independen dan saling mengawasi telah dijadikan model dalam sistem pemerintahan
presidensial dan semi-presidensial di berbagai belahan dunia.2
7.2.
Konsep Negara Hukum
dan Supremasi Konstitusi
Kontribusi
Montesquieu juga signifikan dalam membentuk prinsip negara
hukum (rule of law). Ia menolak pemerintahan yang bertumpu pada
kehendak sewenang-wenang penguasa dan menyatakan bahwa hukum harus mengatur dan
membatasi kekuasaan negara. Dalam The Spirit of the Laws, ia menulis
bahwa "kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang
diizinkan oleh hukum"—menunjukkan bahwa hukum adalah pelindung, bukan
penghambat kebebasan.3
Dalam kerangka ini,
Montesquieu berperan dalam mengartikulasikan konsep konstitusi
sebagai norma tertinggi, yang harus ditaati oleh semua lembaga
negara. Hal ini menjadi prinsip dasar dalam banyak sistem konstitusi tertulis
di dunia, di mana kekuasaan pemerintahan tidak bersumber dari kehendak raja
atau kelompok tertentu, melainkan dari norma-norma hukum yang dirancang untuk
menjamin hak dan kebebasan rakyat.4
7.3.
Dasar Etis dan Moral
Demokrasi Representatif
Montesquieu juga
menegaskan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan bila dilandasi oleh keutamaan
moral warga negara dan lembaga yang menjunjung nilai-nilai
keadilan, tanggung jawab, serta kecintaan terhadap hukum. Dalam analisisnya
tentang bentuk pemerintahan republik, ia menyatakan bahwa "keutamaan"
adalah prinsip penggeraknya. Tanpa keutamaan moral, republik akan jatuh ke
dalam korupsi dan tirani mayoritas.5 Pandangan ini menempatkan
Montesquieu tidak hanya sebagai arsitek sistem institusional, tetapi juga sebagai
pendidik
politik, yang menyadari bahwa demokrasi memerlukan budaya
politik yang sehat.
Pemikiran ini
memberi dasar etis bagi demokrasi representatif: bukan
hanya soal pemilihan umum, tetapi juga bagaimana warga negara dan
wakil-wakilnya berperilaku dalam menjalankan kewenangannya. Dalam hal ini,
Montesquieu memberi peringatan dini terhadap bahaya demokrasi tanpa kebajikan,
yakni demokrasi yang berubah menjadi populisme atau otoritarianisme
terselubung.
7.4.
Inspirasi Global
dalam Reformasi Konstitusi
Pemikiran
Montesquieu tidak hanya memengaruhi Amerika Serikat, tetapi juga menjadi
referensi penting dalam berbagai proses reformasi konstitusi di
negara-negara Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Banyak negara
pasca-kolonial mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan sebagai upaya untuk
menata ulang sistem pemerintahan yang lebih akuntabel dan demokratis. Di
Prancis, pemikiran Montesquieu menginspirasi reformasi institusional yang
mengarah pada transisi dari monarki absolut ke republik konstitusional.6
Kesimpulan Sementara
Montesquieu bukan
hanya seorang teoritikus kekuasaan, tetapi juga arsitek normatif bagi demokrasi modern.
Kontribusinya dalam membangun prinsip-prinsip konstitusionalisme, supremasi
hukum, pemisahan kekuasaan, dan etika politik masih menjadi referensi penting
dalam perdebatan kontemporer mengenai tata kelola pemerintahan. Dalam dunia
yang terus bergulat antara kebebasan dan kekuasaan, pemikiran Montesquieu tetap
menjadi cahaya pencerahan yang tak kunjung redup.
Footnotes
[1]
James Madison, The Federalist Papers, No. 47, ed. Clinton
Rossiter (New York: Signet Classics, 2003), 301–305.
[2]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 73–76.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book XI, Chapter 3.
[4]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 348–350.
[5]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book III, Chapter 3.
[6]
David W. Carrithers, Michael A. Mosher, and Paul A. Rahe, eds., Montesquieu’s
Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2001), 22–26.
8.
Kritik terhadap Pemikiran Montesquieu
Meskipun Montesquieu
diakui sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah teori
politik modern, pemikirannya tidak luput dari kritik, baik dari sudut pandang
konseptual, metodologis, maupun historis. Kritik-kritik tersebut tidak selalu
meruntuhkan kontribusinya, tetapi justru memperkaya pemahaman tentang batasan
dan tantangan dalam penerapan ide-idenya dalam konteks modern.
8.1.
Kelemahan dalam
Kategori Tipologi Pemerintahan
Montesquieu membagi
bentuk pemerintahan menjadi tiga jenis utama—republik, monarki, dan
despotisme—dengan masing-masing didorong oleh prinsip moral yang berbeda:
keutamaan, kehormatan, dan ketakutan.1 Namun, para kritikus menilai
bahwa klasifikasi ini terlalu kaku dan tidak sepenuhnya mencerminkan
kompleksitas sistem politik yang berkembang, terutama dalam konteks masyarakat
kontemporer yang plural dan dinamis.
Beberapa ilmuwan
politik modern berpendapat bahwa pembagian Montesquieu mengabaikan kemungkinan
adanya bentuk hibrida atau campuran pemerintahan yang sulit dikategorikan
secara definitif. Dalam praktiknya, banyak negara memiliki sistem pemerintahan
yang memadukan unsur-unsur republik dan monarki konstitusional, atau
mempraktikkan otoritarianisme terselubung di balik institusi demokratis.2
8.2.
Kritik terhadap
Determinisme Geografis dan Iklim
Salah satu bagian
paling kontroversial dalam The Spirit of the Laws adalah
argumentasi Montesquieu mengenai pengaruh iklim terhadap karakter bangsa dan
bentuk pemerintahan. Ia berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang tinggal di iklim
panas cenderung lebih patuh dan pasif, sedangkan mereka yang hidup di wilayah
beriklim sedang lebih bebas dan aktif secara politik.3
Meskipun pendapat
ini merupakan bagian dari upaya Montesquieu untuk menjelaskan variasi
sosial-politik secara empiris, banyak akademisi kontemporer mengecamnya sebagai
bentuk determinisme
geografis yang problematis. Kritik ini datang dari berbagai
disiplin, termasuk antropologi, sosiologi, dan postkolonialisme, karena
dianggap menyederhanakan kompleksitas budaya dan memperkuat stereotip etnis
serta wilayah.4
8.3.
Orientalisme dan
Representasi Dunia Non-Barat
Montesquieu
menunjukkan ketertarikan besar terhadap peradaban Timur, termasuk Cina, Persia,
dan dunia Islam. Dalam Lettres persanes, ia mengembangkan
karakter-karakter fiksi dari Persia untuk mengkritik masyarakat Eropa.
Sementara pendekatan ini inovatif, sebagian pemikir postkolonial seperti Edward
Said dan Sankar Muthu menilai bahwa karya-karya Montesquieu juga mereproduksi
struktur pemikiran orientalis, yaitu representasi
tentang Timur sebagai statis, tidak rasional, dan inferior dibanding Barat.5
Di satu sisi,
Montesquieu tampak mengagumi struktur kekuasaan dan tata hukum beberapa bangsa
Timur; di sisi lain, ia seringkali menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan
mereka bersifat despotik dan tidak mengenal kebebasan. Representasi semacam
ini, menurut para kritikus, turut mendukung konstruksi superioritas Eropa yang
kelak dimanfaatkan dalam proyek-proyek kolonialisme.6
8.4.
Ketidakjelasan
tentang Kedaulatan Rakyat dan Partisipasi Politik
Walaupun Montesquieu
dianggap sebagai pelopor konstitusionalisme liberal, ia sebenarnya tidak
memberikan perhatian besar terhadap konsep kedaulatan rakyat dan
partisipasi politik secara langsung. Ia lebih menekankan pembatasan kekuasaan
melalui desain institusional daripada penguatan agensi politik rakyat. Dalam
konteks demokrasi modern yang menekankan partisipasi luas, pemikiran Montesquieu
dianggap belum memberikan jawaban yang memadai terhadap tuntutan
egalitarianisme dan inklusi.7
Hal ini mengundang
kritik dari pemikir demokrasi deliberatif maupun egalitarian, yang menilai
bahwa kebebasan politik tidak cukup dijamin hanya dengan pemisahan kekuasaan,
tetapi juga memerlukan ruang partisipasi aktif dari warga negara dalam proses
pengambilan keputusan publik.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik
terhadap pemikiran Montesquieu menunjukkan bahwa meskipun teorinya bersifat
fundamental dalam pembangunan sistem politik modern, ia tidak bebas dari
kelemahan konseptual dan bias kontekstual. Kelemahan dalam klasifikasi bentuk
pemerintahan, determinisme geografis, orientalisme, serta keterbatasan dalam
pandangan tentang rakyat sebagai subjek politik, menjadi catatan penting dalam
evaluasi kritis terhadap warisan intelektualnya. Namun demikian, sebagian besar
kritik ini tidak membatalkan signifikansi kontribusinya, melainkan mendorong
reinterpretasi dan pembaruan gagasan Montesquieu dalam cahaya tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book III, Chapters 3–9.
[2]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 57–61.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book XIV, Chapters 2–5.
[4]
Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The
Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press,
1980), 341–344.
[5]
Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton:
Princeton University Press, 2003), 125–130.
[6]
Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
48–51.
[7]
Pierre Manent, An Intellectual History of Liberalism, trans.
Rebecca Balinski (Princeton: Princeton University Press, 1994), 53–55.
9.
Relevansi Kontemporer
Pemikiran politik
Montesquieu, yang lahir lebih dari dua setengah abad lalu, tetap menunjukkan
vitalitasnya dalam wacana politik dan hukum kontemporer. Prinsip-prinsip dasar
yang ia rumuskan—terutama tentang pemisahan kekuasaan, kebebasan
politik, dan relativisme hukum—masih menjadi
rujukan utama dalam merespons tantangan-tantangan demokrasi modern,
otoritarianisme baru, serta dinamika pluralisme hukum dan sosial di era
globalisasi.
9.1.
Pemisahan Kekuasaan
dan Ancaman Otoritarianisme
Dalam konteks
kontemporer, pemikiran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan tetap
sangat relevan, terutama dalam menghadapi tren konsentrasi kekuasaan di tangan
eksekutif yang marak di banyak negara. Gejala “eksekutifisme” atau “presidensialisme
otoriter” telah mengancam prinsip checks and balances yang
dirancang untuk menjaga kebebasan politik dan mencegah tirani hukum.1
Montesquieu mengingatkan bahwa kebebasan hanya dapat dipertahankan jika
kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga kekuasaan membatasi kekuasaan (le
pouvoir arrête le pouvoir).2
Peringatan ini
semakin relevan di tengah krisis demokrasi liberal, di mana lembaga legislatif
dan yudikatif di beberapa negara mengalami pelemahan oleh eksekutif yang
populistik dan anti-institusional. Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu menjadi
semacam “sistem alarm intelektual” untuk mempertahankan prinsip dasar
demokrasi konstitusional.
9.2.
Supremasi Hukum dan
Negara Hukum
Konsepsi Montesquieu
tentang kebebasan sebagai ketaatan terhadap hukum yang
adil menjadi landasan bagi ide negara hukum (rule of law) yang
terus menjadi cita-cita sistem politik modern. Dalam negara hukum, tidak hanya
warga negara, tetapi juga pejabat publik, termasuk kepala negara, tunduk pada
hukum. Prinsip ini sangat penting untuk melawan praktik-praktik impunitas,
korupsi sistemik, dan pelemahan institusi peradilan di banyak negara.3
Kembali pada
Montesquieu, supremasi hukum bukanlah sekadar soal penegakan aturan, tetapi
tentang pembatasan kekuasaan agar tidak
melampaui mandat legal dan moral yang diembannya. Relevansi ini terlihat jelas
dalam perdebatan tentang konstitusionalitas keputusan politik, kekuasaan
darurat, hingga independensi lembaga yudisial dalam menghadapi tekanan
kekuasaan.
9.3.
Relativisme Sosial
dan Tantangan Multikulturalisme
Dalam dunia yang
semakin plural dan kompleks, pemikiran Montesquieu tentang relativisme
hukum dan sosial menawarkan pendekatan yang inklusif terhadap
keanekaragaman. Ia menolak pandangan absolutis mengenai satu bentuk hukum atau
pemerintahan yang ideal dan mendorong analisis kontekstual yang
mempertimbangkan budaya, adat, agama, dan iklim sosial masyarakat tertentu.4
Gagasan ini memberi
landasan bagi pendekatan multikultural dalam pengembangan hukum dan kebijakan
publik. Di tengah tantangan integrasi sosial dalam masyarakat multietnis dan
multireligius, prinsip-prinsip Montesquieu membuka ruang untuk akomodasi
perbedaan tanpa kehilangan kerangka hukum bersama, sebuah isu
yang menjadi krusial dalam demokrasi kontemporer.
9.4.
Etika Politik dan
Pendidikan Kewarganegaraan
Montesquieu juga
menekankan pentingnya etika politik dan keutamaan
moral dalam menopang republik dan kebebasan. Ia percaya bahwa institusi tidak
akan berjalan dengan baik tanpa fondasi keutamaan yang hidup dalam diri
warganya. Dalam konteks ini, pemikirannya sangat relevan bagi pengembangan pendidikan
kewarganegaraan yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi
juga substantif dan etis.5
Dengan menanamkan
nilai-nilai seperti keadilan, tanggung jawab, dan keterbukaan terhadap hukum,
pendidikan politik berbasis pemikiran Montesquieu dapat menjadi penangkal
terhadap apatisme demokratis, populisme, dan kecenderungan anti-rasional dalam
masyarakat digital saat ini.
Kesimpulan Sementara
Pemikiran
Montesquieu tetap menjadi kompas intelektual dalam menghadapi
tantangan-tantangan fundamental abad ke-21: dari pelemahan institusi demokrasi,
ancaman terhadap supremasi hukum, hingga krisis pluralisme dan etika politik.
Meskipun dikembangkan dalam konteks Pencerahan abad ke-18, prinsip-prinsip yang
ia ajukan mengandung fleksibilitas konseptual yang memungkinkannya untuk terus
dibaca ulang dan diaplikasikan dalam konteks kontemporer yang terus berubah.
Dengan demikian, warisan intelektual Montesquieu tetap hidup—bukan sebagai
dogma, tetapi sebagai alat reflektif bagi pembangunan masyarakat politik yang
beradab.
Footnotes
[1]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018),
58–62.
[2]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book XI, Chapter 4.
[3]
Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2010),
37–41.
[4]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 48–51.
[5]
Pierre Manent, An Intellectual History of Liberalism, trans.
Rebecca Balinski (Princeton: Princeton University Press, 1994), 55–57.
10.
Penutup
Pemikiran
Montesquieu menempati posisi sentral dalam sejarah filsafat politik modern.
Dalam De
l’esprit des lois (1748), ia berhasil merumuskan sebuah teori yang
menggabungkan pendekatan rasional, empiris, dan historis untuk memahami
bagaimana hukum, kekuasaan, dan kebebasan berinteraksi dalam suatu tatanan
masyarakat. Ia bukan hanya menyumbangkan konsep-konsep fundamental seperti pemisahan
kekuasaan dan checks and balances, tetapi
juga memperkenalkan metode relativisme hukum dan sosial
yang menekankan perlunya memahami sistem hukum dalam kerangka budaya dan
struktur masyarakat yang spesifik.1
Sebagai seorang
pemikir Pencerahan, Montesquieu membawa semangat kebebasan dan akal ke dalam
wacana kenegaraan. Ia menolak kekuasaan absolut dan menggantinya dengan visi
konstitusionalisme yang menghormati kebebasan individu. Dengan menempatkan kebebasan
sebagai ketaatan terhadap hukum yang adil, Montesquieu menjadikan
hukum bukan alat dominasi, tetapi fondasi bagi kebebasan politik.2
Kontribusinya
terhadap perkembangan teori konstitusi dan negara hukum
sangat besar. Pemisahan kekuasaan tidak hanya menjadi prinsip dalam sistem
pemerintahan Amerika Serikat dan banyak konstitusi modern lainnya, tetapi juga
menjadi standar normatif dalam menilai kualitas demokrasi suatu negara. Lebih
jauh, peringatan Montesquieu tentang bahaya konsentrasi kekuasaan tetap relevan
di tengah gejala kemunduran demokrasi (democratic backsliding) di
berbagai belahan dunia saat ini.3
Meskipun demikian,
pemikirannya tidak luput dari kritik. Kategorisasi bentuk pemerintahan yang
terlalu kaku, asumsi deterministik terhadap iklim dan budaya, serta
kecenderungan orientalis dalam memandang dunia non-Barat, merupakan bagian dari
keterbatasan konseptual yang harus dibaca secara kritis.4 Namun,
kritik-kritik ini lebih bersifat konstruktif dan mendorong pembaruan pemikiran,
bukan pembatalan warisan intelektualnya.
Di era kontemporer
yang ditandai oleh kompleksitas globalisasi, keragaman budaya, dan krisis
legitimasi lembaga-lembaga politik, pemikiran Montesquieu masih menyediakan kerangka
reflektif dan normatif yang kuat. Gagasan bahwa kekuasaan harus
dibatasi oleh hukum, bahwa hukum harus disesuaikan dengan kondisi sosial, dan
bahwa kebebasan harus dipelihara oleh institusi yang adil—semua itu tetap
menjadi kompas moral dan intelektual dalam membangun masyarakat politik yang
demokratis dan beradab.5
Dengan demikian,
kajian atas pemikiran Montesquieu bukan semata studi historis, melainkan juga dialog
lintas zaman yang terus relevan. Ia mengajarkan bahwa
stabilitas dan kebebasan politik bukan hasil dari dominasi satu kekuatan,
tetapi dari keseimbangan, keterbukaan, dan keutamaan hukum dalam kehidupan
bersama.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Book I, Chapter 3.
[2]
Ibid., Book XI, Chapter 3.
[3]
Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in
Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018),
113–118.
[4]
Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton:
Princeton University Press, 2003), 125–130.
[5]
Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University
Press, 1987), 73–75.
Daftar Pustaka
Bingham, T. (2010). The rule of law. Penguin
Books.
Carrithers, D. W., Mosher, M. A., & Rahe, P. A.
(Eds.). (2001). Montesquieu’s science of politics: Essays on The Spirit of
Laws. Rowman & Littlefield.
Cicero. (1928). De re publica (C. W. Keyes,
Trans.). Harvard University Press.
Keohane, N. O. (1980). Philosophy and the state
in France: The Renaissance to the Enlightenment. Princeton University
Press.
Madison, J. (2003). The Federalist Papers
(C. Rossiter, Ed.). Signet Classics. (Original work published 1788)
Manent, P. (1994). An intellectual history of
liberalism (R. Balinski, Trans.). Princeton University Press.
Montesquieu. (1989). The spirit of the laws
(A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans. & Eds.). Cambridge
University Press. (Original work published 1748)
Montesquieu. (2008). Persian letters (M.
Mauldon, Trans.; A. Kahn, Ed.). Oxford University Press. (Original work
published 1721)
Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why
our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.
Muthu, S. (2003). Enlightenment against empire.
Princeton University Press.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon
Books.
Shklar, J. N. (1987). Montesquieu. Oxford
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar