Kamis, 05 Juni 2025

Pemikiran Montesquieu: Kebebasan, Hukum, dan Kekuasaan

Pemikiran Montesquieu

Kebebasan, Hukum, dan Kekuasaan


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran politik Charles-Louis de Secondat, baron de Montesquieu, seorang filsuf utama Era Pencerahan yang berpengaruh besar dalam pengembangan teori konstitusionalisme modern. Melalui karya utamanya De l’esprit des lois (1748), Montesquieu merumuskan konsep-konsep kunci seperti pemisahan kekuasaan, kebebasan politik, relativisme hukum, dan prinsip negara hukum. Kajian ini menelaah latar historis dan intelektual pemikirannya, struktur konseptual utama dalam teorinya, kontribusi terhadap pembangunan demokrasi modern, serta kritik-kritik yang ditujukan terhadap gagasan-gagasannya, termasuk soal determinisme geografis dan orientalisme. Artikel ini juga menyoroti relevansi pemikiran Montesquieu dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti pelemahan lembaga demokrasi, krisis supremasi hukum, dan dinamika pluralisme hukum dalam masyarakat global. Melalui pendekatan historis-analitis dan referensi akademik yang kredibel, tulisan ini menyimpulkan bahwa warisan Montesquieu tetap relevan sebagai landasan etik dan institusional bagi pengembangan masyarakat politik yang demokratis, pluralis, dan berkeadaban.

Kata Kunci; Montesquieu, pemisahan kekuasaan, kebebasan politik, konstitusionalisme, negara hukum, relativisme hukum, demokrasi modern, Pencerahan.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif atas Pemikiran Politik Montesquieu dalam Konteks Pencerahan


1.           Pendahuluan

Abad ke-18, yang dikenal sebagai Era Pencerahan (Lumières), merupakan masa kebangkitan rasionalitas dan kritik terhadap otoritas tradisional, terutama dalam bidang politik, agama, dan hukum. Pada masa ini, lahirlah banyak pemikir yang mendorong transformasi besar dalam cara manusia memandang dunia dan tata masyarakat, salah satunya adalah Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu, yang dikenal luas dengan nama Montesquieu. Ia menjadi salah satu arsitek utama teori politik modern melalui karya monumentalnya De l’esprit des lois (The Spirit of the Laws, 1748), yang telah menandai pergeseran besar dari pandangan absolutistik menuju prinsip-prinsip konstitusionalisme, pemisahan kekuasaan, dan kebebasan politik.1

Montesquieu muncul dalam konteks sejarah Prancis yang masih didominasi oleh kekuasaan monarki absolut, dengan Louis XIV sebagai simbol supremasi negara yang nyaris tak terbatas. Keadaan tersebut memunculkan keresahan intelektual di kalangan para filsuf Pencerahan yang mengkritisi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan pengabaian terhadap hukum-hukum alam maupun akal.2 Berangkat dari tradisi humanisme klasik dan terinspirasi oleh sistem hukum serta institusi politik Inggris pasca-Revolusi 1688, Montesquieu memformulasikan suatu teori politik yang menekankan pentingnya sistem hukum yang adil, kebebasan warga negara, dan perlunya kekuasaan yang dibatasi serta dipisahkan secara institusional.3

Karya-karya Montesquieu, khususnya The Spirit of the Laws, tidak hanya menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat politik Barat, tetapi juga berpengaruh besar dalam pembentukan sistem pemerintahan modern, termasuk di Amerika Serikat dan negara-negara demokratis lainnya. Teorinya mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers), misalnya, telah menjadi fondasi utama bagi sistem checks and balances dalam negara konstitusional modern.4 Meskipun tidak lepas dari kritik dan perdebatan, pemikiran Montesquieu tetap dianggap sebagai pencapaian intelektual yang fundamental dalam upaya membangun sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum, rasionalitas, dan penghormatan terhadap kebebasan individu.

Kajian ini bertujuan untuk menguraikan secara komprehensif pemikiran politik Montesquieu dengan menelaah latar belakang historis dan intelektualnya, konsep-konsep kunci yang ia kembangkan, serta kontribusinya terhadap perkembangan teori politik dan hukum modern. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya mengungkap signifikansi pemikiran Montesquieu dalam konteks masa lalu, tetapi juga merefleksikan relevansinya bagi wacana politik kontemporer, terutama dalam merespons tantangan terhadap kebebasan dan supremasi hukum di era modern.


Footnotes

[1]                Charles-Louis de Secondat Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. and ed. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), xxii–xxv.

[2]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 332–335.

[3]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 26–30.

[4]                Pierre Manent, An Intellectual History of Liberalism, trans. Rebecca Balinski (Princeton: Princeton University Press, 1994), 47–49.


2.           Biografi Singkat Montesquieu

Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu, lahir pada 18 Januari 1689 di Château de La Brède, wilayah Bordeaux, Prancis, dalam keluarga bangsawan yang memiliki kedudukan cukup tinggi di lingkungan sosial dan hukum. Ia mewarisi gelar baron de La Brède dari ibunya dan kemudian menggantikan pamannya sebagai Président à Mortier di Parlement Bordeaux, sebuah jabatan yudisial yang berpengaruh di Prancis sebelum Revolusi.1 Latar belakang sosial ini memberinya akses pada pendidikan tinggi dan kehidupan intelektual yang menonjol, dua hal yang kelak sangat mempengaruhi arah pemikiran politik dan hukumnya.

Montesquieu mengenyam pendidikan di Collège de Juilly, sebuah institusi terkemuka yang terkenal dengan penekanan pada studi sastra klasik, filsafat, dan retorika. Ia kemudian melanjutkan studi hukum di Universitas Bordeaux dan memperoleh gelar sarjana hukum pada 1708.2 Setelah kematian ayahnya dan pamannya pada 1713 dan 1716, Montesquieu mewarisi kekayaan dan jabatan kehakiman keluarga, menjadikannya bagian dari elit politik lokal yang terlibat langsung dalam proses peradilan dan administrasi publik.

Karya intelektual pertamanya yang mencuri perhatian publik adalah Lettres persanes (1721), sebuah karya satiris dalam bentuk surat-surat imajiner antara dua pengelana Persia yang mengamati kehidupan sosial, agama, dan politik di Prancis dan Eropa. Melalui karya ini, Montesquieu melontarkan kritik tajam terhadap absolutisme, intoleransi agama, dan kemunafikan sosial masyarakat Eropa, tetapi dengan gaya yang ringan dan ironis.3 Keberhasilan karya ini memperkuat posisinya sebagai pemikir pencerahan yang orisinal.

Namun, pencapaian intelektual terbesarnya tercermin dalam karyanya yang monumental, De l’esprit des lois (1748), yang ia susun selama lebih dari dua dekade. Buku ini merupakan hasil dari observasi empiris dan komparatif terhadap sistem hukum, bentuk pemerintahan, serta kondisi sosial dari berbagai bangsa dan zaman. Montesquieu memadukan pendekatan historis, hukum, dan politik dalam satu sistem teoritik yang menekankan pentingnya kebebasan politik dan pemisahan kekuasaan sebagai prinsip dasar pemerintahan yang adil.4

Selama hidupnya, Montesquieu tidak hanya berperan sebagai filsuf dan yuris, tetapi juga sebagai anggota Académie Française sejak 1728 dan pengamat kehidupan politik Eropa, termasuk melalui perjalanannya ke Italia, Austria, Hungaria, dan terutama Inggris. Kunjungan ke Inggris memberikan pengaruh yang mendalam terhadap pemikirannya, terutama dalam pengembangan konsep konstitusionalisme dan checks and balances, sebagaimana diterapkan dalam sistem parlemen Inggris pasca-Revolusi Agung 1688.5

Montesquieu wafat pada 10 Februari 1755 di Paris. Namun warisan pemikirannya tetap hidup dan terus menjadi rujukan utama dalam studi filsafat politik, hukum tata negara, dan teori demokrasi modern. Ia dikenang sebagai salah satu figur kunci dalam sejarah Pencerahan yang berhasil menyatukan idealisme kebebasan dengan rasionalitas hukum dalam sebuah kerangka politik yang tahan uji.


Footnotes

[1]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 6–9.

[2]                David W. Carrithers, “Introduction: Montesquieu and the Spirit of Modernity,” dalam Montesquieu’s Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws, ed. David W. Carrithers, Michael A. Mosher, dan Paul A. Rahe (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 3–4.

[3]                Charles-Louis de Secondat Montesquieu, Persian Letters, trans. Margaret Mauldon and ed. Andrew Kahn (Oxford: Oxford University Press, 2008), xx–xxii.

[4]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), xix–xxiv.

[5]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 340–343.


3.           Konteks Historis dan Intelektual

Pemikiran Montesquieu tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan intelektual yang membentuk lanskap Eropa pada awal abad ke-18. Ia hidup dalam periode transisi penting dari struktur kekuasaan monarki absolut menuju munculnya kesadaran baru tentang hukum, kebebasan, dan rasionalitas sebagai dasar tatanan masyarakat. Di Prancis, kekuasaan masih tersentralisasi di tangan raja, dan warisan absolutisme Louis XIV mendominasi kehidupan politik. Raja dianggap sebagai perwujudan negara itu sendiri—"L’État, c’est moi"—sebuah konsepsi yang menempatkan kekuasaan eksekutif dan legislatif pada satu tangan, serta menundukkan hukum pada kehendak monarki.1

Dalam konteks ini, pemikiran Montesquieu muncul sebagai respons terhadap ekses kekuasaan absolut dan kegagalan sistem hukum untuk menjamin kebebasan individu. Karya-karyanya menantang dasar-dasar ideologis monarki absolut dan mencoba merumuskan struktur pemerintahan yang rasional dan adil. Ia dipengaruhi oleh arus besar Pencerahan (Enlightenment), sebuah gerakan intelektual yang menekankan penggunaan akal, empirisme, dan ilmu pengetahuan sebagai landasan perubahan sosial. Di antara tokoh-tokoh utama Pencerahan, Montesquieu mengambil posisi unik: ia menggabungkan pendekatan historis dan komparatif dengan idealisme politik, menciptakan sintesis yang lebih empiris dibandingkan Rousseau namun lebih normatif dibandingkan Hobbes.2

Secara intelektual, Montesquieu mendapat inspirasi dari tradisi filsafat klasik, khususnya dari Aristoteles, yang membagi bentuk pemerintahan berdasarkan siapa yang memerintah dan untuk kepentingan siapa. Dalam Politics, Aristoteles mengidentifikasi monarki, aristokrasi, dan politeia sebagai bentuk pemerintahan yang baik, dengan tirani, oligarki, dan demokrasi langsung sebagai bentuk rusaknya. Montesquieu mengadopsi klasifikasi ini dan memperluasnya menjadi tiga tipe utama pemerintahan: republik, monarki, dan despotisme.3 Ia juga terpengaruh oleh pemikiran Cicero mengenai hukum alam dan keadilan, serta ide tentang “keutamaan republik” yang harus dijaga oleh warganya.4

Namun, sumber pengaruh paling signifikan terhadap gagasannya datang dari pengamatannya terhadap sistem politik Inggris. Setelah kunjungannya ke Inggris pada awal 1729, Montesquieu sangat terkesan dengan stabilitas politik, pembagian kekuasaan antara Raja, Parlemen, dan pengadilan, serta kebebasan sipil yang relatif lebih luas dibandingkan Prancis. Ia melihat Inggris sebagai contoh keberhasilan dalam menciptakan sistem pemerintahan yang menyeimbangkan kekuasaan dan menjamin kebebasan. Hal ini menjadi landasan bagi pengembangannya atas teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dalam De l’esprit des lois.5

Lebih dari sekadar pemikir hukum, Montesquieu juga mewakili semangat ilmiah zaman Pencerahan dalam cara ia membangun teorinya secara komparatif, empiris, dan lintas budaya. Ia tidak membatasi kajiannya pada Eropa saja, tetapi juga mengamati sistem hukum dan pemerintahan dari berbagai peradaban seperti Cina, Persia, dan Kekhalifahan Islam. Meskipun beberapa analisisnya hari ini dipandang problematis karena prasangka orientalis, pendekatannya yang luas menunjukkan komitmen pada metode induktif dan perhatian terhadap faktor-faktor geografis, sosial, serta ekonomi dalam membentuk hukum dan pemerintahan.6

Dengan demikian, pemikiran politik Montesquieu lahir dari persilangan kompleks antara situasi domestik Prancis yang represif, pengalaman empirisnya di Inggris, warisan filsafat klasik, serta semangat rasional dan ilmiah dari Era Pencerahan. Konteks historis dan intelektual inilah yang memberinya kerangka untuk merumuskan konsep-konsep kunci tentang kebebasan, hukum, dan kekuasaan yang terus mempengaruhi teori politik hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 330–335.

[2]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 22–24.

[3]                Aristotle, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford University Press, 1995), Book III, 1279a–1289a.

[4]                Cicero, De Re Publica, trans. Clinton Walker Keyes (Cambridge: Harvard University Press, 1928), Book I.

[5]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book XI, Chapter 6.

[6]                David W. Carrithers, “Montesquieu’s Philosophy of History,” dalam Montesquieu’s Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws, ed. David W. Carrithers et al. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 13–18.


4.           Konsep Dasar Pemikiran Politik Montesquieu

Pemikiran politik Montesquieu dibangun di atas fondasi rasional dan empiris yang khas dari Era Pencerahan. Ia berusaha menjelaskan bagaimana hukum dan kekuasaan dapat diorganisasi secara adil demi menjamin kebebasan politik serta mencegah tirani. Dalam karyanya De l’esprit des lois (1748), Montesquieu tidak hanya menciptakan teori tentang bentuk-bentuk pemerintahan, tetapi juga menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur dinamika hukum dan kekuasaan dalam masyarakat manusia.

4.1.       Hukum sebagai Produk Rasional dan Kontekstual

Montesquieu memulai dengan mendefinisikan hukum secara luas sebagai “hubungan yang perlu timbul dari kodrat segala sesuatu.”1 Hukum bukanlah entitas abstrak yang terlepas dari kehidupan sosial, melainkan terbentuk dari interaksi antara faktor-faktor seperti iklim, geografi, agama, ekonomi, dan kebiasaan lokal. Ia menolak universalitas hukum yang bersifat kaku, sebagaimana diajarkan oleh para filsuf skolastik, dan lebih menekankan pendekatan kontekstual dan empiris terhadap sistem hukum. Dalam pandangannya, tidak ada satu sistem hukum yang cocok untuk semua bangsa karena hukum harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang bersangkutan.2

Gagasan ini merepresentasikan semangat pluralisme hukum dan menandai pergeseran dari pendekatan normatif-dogmatis ke arah pendekatan sosiologis dan komparatif. Hukum, bagi Montesquieu, adalah refleksi dari struktur masyarakat dan harus sejalan dengan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat tersebut.

4.2.       Kebebasan Politik sebagai Tujuan Utama Pemerintahan

Salah satu gagasan fundamental dalam pemikiran Montesquieu adalah kebebasan politik, yang menurutnya hanya dapat terwujud jika warga negara merasa aman dan bebas dari ketakutan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Namun, ia membedakan antara kebebasan politik yang sejati dan kebebasan bertindak sesuka hati. Kebebasan yang sah, menurut Montesquieu, adalah “hak untuk melakukan segala sesuatu yang diizinkan oleh hukum.3 Oleh karena itu, kebebasan tidak terletak pada ketiadaan hukum, tetapi justru pada keberadaan hukum yang adil dan kekuasaan yang terbatas oleh hukum.

Konsepsi ini menempatkan Montesquieu dalam garis pemikiran liberal klasik, serupa dengan John Locke, meskipun dengan penekanan yang berbeda. Jika Locke berbicara mengenai hak-hak alamiah, Montesquieu lebih fokus pada desain institusional yang mampu melindungi kebebasan melalui pembatasan kekuasaan negara.

4.3.       Tipologi Bentuk Pemerintahan dan Prinsip Moral yang Menopangnya

Dalam The Spirit of the Laws, Montesquieu membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga jenis utama: republik, monarki, dan despotisme. Setiap bentuk pemerintahan memiliki prinsip moral yang menopangnya:

·                     Republik didasarkan pada keutamaan (virtue), yaitu cinta terhadap tanah air dan hukum.

·                     Monarki ditopang oleh kehormatan (honor), yaitu kesetiaan kepada raja dan hierarki.

·                     Despotisme digerakkan oleh ketakutan (fear), yaitu ketaatan mutlak kepada penguasa tunggal tanpa hukum.4

Analisis ini memperlihatkan pendekatan Montesquieu yang bukan hanya struktural, tetapi juga moral dan psikologis. Ia percaya bahwa stabilitas pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh bentuknya, tetapi juga oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, perubahan bentuk pemerintahan tanpa transformasi moral masyarakat tidak akan menghasilkan kebebasan sejati.

4.4.       Relativisme Politik dan Kritik terhadap Absolutisme

Montesquieu sangat kritis terhadap sistem absolutisme yang mengonsentrasikan kekuasaan di tangan satu orang, tanpa pembatasan hukum maupun partisipasi publik. Ia melihat bahwa sistem semacam itu cenderung menuju kekerasan dan ketidakadilan. Dengan menekankan pentingnya kesesuaian antara hukum dan kondisi sosial, Montesquieu mengembangkan pendekatan yang bisa disebut sebagai relativisme politik, di mana sistem pemerintahan dinilai bukan berdasarkan doktrin metafisik, tetapi pada kesesuaiannya dengan konteks historis dan kultural masing-masing negara.5

Gagasannya ini merupakan cikal bakal pendekatan komparatif dalam ilmu politik modern, yang tidak mencari bentuk pemerintahan yang “ideal” secara universal, tetapi yang paling sesuai bagi suatu bangsa dalam kondisi tertentu.


Kesimpulan Sementara

Konsep dasar pemikiran politik Montesquieu mencerminkan integrasi antara hukum, kebebasan, dan moralitas politik. Ia menolak absolutisme, menekankan pentingnya hukum sebagai pembatas kekuasaan, dan membangun fondasi bagi sistem pemerintahan yang rasional, kontekstual, dan pluralistik. Dengan kerangka ini, Montesquieu tidak hanya memberikan kontribusi besar terhadap filsafat politik, tetapi juga terhadap perkembangan hukum tata negara dan teori demokrasi konstitusional.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book I, Chapter 1.

[2]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 32–35.

[3]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book XI, Chapter 3.

[4]                Ibid., Book III, Chapters 3–9.

[5]                David W. Carrithers, “Montesquieu’s Philosophy of History,” in Montesquieu’s Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws, ed. David W. Carrithers, Michael A. Mosher, and Paul A. Rahe (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 17–19.


5.           Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers)

Salah satu kontribusi paling berpengaruh dari pemikiran Montesquieu terhadap teori politik modern adalah gagasannya mengenai pemisahan kekuasaan (la séparation des pouvoirs), yang pertama kali dirumuskan secara sistematis dalam De l’esprit des lois (1748). Teori ini lahir dari kekhawatiran mendalam terhadap potensi tirani dalam sistem pemerintahan absolut, di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terkonsentrasi pada satu entitas atau individu. Montesquieu melihat bahwa kebebasan politik hanya dapat dijamin apabila kekuasaan negara dibagi secara institusional dan saling mengimbangi satu sama lain.1

Montesquieu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga fungsi utama:

1)                  Legislatif – kekuasaan untuk membuat hukum;

2)                  Eksekutif – kekuasaan untuk melaksanakan hukum dan mengelola urusan luar negeri;

3)                  Yudikatif – kekuasaan untuk mengadili dan menerapkan hukum pada kasus-kasus konkret.2

Menurut Montesquieu, bila kekuasaan legislatif dan eksekutif berada di tangan orang atau badan yang sama, tidak akan ada kebebasan karena tidak ada pemisahan antara pembuat dan pelaksana hukum. Demikian pula, jika kekuasaan yudikatif tidak terpisah, maka akan timbul potensi penyalahgunaan kekuasaan, di mana hakim dapat bertindak sebagai legislator atau eksekutor.3

Pemikiran ini terinspirasi oleh sistem politik Inggris pasca-Glorious Revolution 1688, yang menurut Montesquieu berhasil membagi kekuasaan secara relatif antara Raja (eksekutif), Parlemen (legislatif), dan pengadilan independen (yudikatif). Ia mengagumi model Inggris karena mampu menjaga keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan kebebasan warga negara, meskipun para ahli menilai bahwa interpretasi Montesquieu terhadap Inggris agak idealistik dan tidak sepenuhnya akurat.4

Namun, esensi dari argumen Montesquieu bukan pada imitasi literal terhadap sistem Inggris, melainkan pada prinsip umum bahwa kekuasaan harus membatasi kekuasaan (le pouvoir arrête le pouvoir). Dalam The Spirit of the Laws, ia menyatakan dengan tegas: “Pour qu'on ne puisse abuser du pouvoir, il faut que, par la disposition des choses, le pouvoir arrête le pouvoir” (“Agar kekuasaan tidak disalahgunakan, maka perlu diatur sedemikian rupa agar kekuasaan membatasi kekuasaan”).5 Inilah yang kemudian berkembang menjadi konsep checks and balances dalam konstitusi modern, khususnya dalam sistem presidensial seperti Amerika Serikat.

Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu telah menjadi pilar utama dalam konstitusionalisme liberal, yang menekankan pembatasan kekuasaan negara melalui struktur hukum dan institusi. Teori ini juga berperan penting dalam perkembangan negara hukum (Rechtsstaat), di mana hukum menjadi rambu bagi jalannya kekuasaan dan pelindung bagi kebebasan sipil.6

Meski gagasannya banyak dipuji, Montesquieu juga menerima kritik, terutama dari pemikir kontemporer yang menilai bahwa pemisahan kekuasaan secara kaku tidak selalu efisien dalam konteks pemerintahan modern yang kompleks dan saling terhubung. Namun demikian, prinsip dasarnya tetap relevan sebagai dasar etika dan institusional untuk mencegah dominasi satu cabang kekuasaan atas yang lain.


Kesimpulan Sementara

Konsep pemisahan kekuasaan dalam pemikiran Montesquieu merupakan inovasi politik yang membentuk wajah konstitusi modern. Dengan mengedepankan prinsip keseimbangan kekuasaan sebagai syarat bagi kebebasan politik, Montesquieu tidak hanya merespons tantangan pada zamannya, tetapi juga merumuskan prinsip yang menjadi warisan abadi bagi teori dan praktik pemerintahan demokratis di seluruh dunia.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book XI, Chapter 6.

[2]                Ibid.

[3]                Ibid.

[4]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 58–60.

[5]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book XI, Chapter 4.

[6]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 345–348.


6.           Relativisme Hukum dan Sosial

Salah satu dimensi paling orisinal dalam pemikiran Montesquieu adalah gagasannya tentang relativisme hukum dan sosial, yang menjadi dasar pendekatan komparatif dan empiris dalam De l’esprit des lois (1748). Tidak seperti para pemikir sebelumnya yang cenderung merumuskan hukum sebagai prinsip universal dan statis, Montesquieu memandang hukum sebagai produk dari interaksi kompleks antara berbagai kondisi sosial, geografis, ekonomi, dan budaya. Dengan kata lain, hukum tidak berdiri sendiri secara normatif, tetapi harus dibaca dalam konteks struktur masyarakat tempat ia berlaku.1

Montesquieu menyatakan bahwa “hukum harus berhubungan erat dengan struktur masyarakat, sifat pemerintahan, adat istiadat, agama, dan kondisi ekonomi negara.”2 Hal ini berarti bahwa hukum yang sesuai bagi satu bangsa belum tentu dapat diterapkan secara efektif di negara lain. Misalnya, sistem hukum yang berhasil diterapkan di negara-negara beriklim dingin mungkin tidak relevan di wilayah tropis dengan struktur sosial dan kebutuhan ekonomi yang berbeda. Dalam pandangannya, berbagai bentuk hukum dan pemerintahan merupakan hasil dari adaptasi historis terhadap lingkungan alami dan sosial tempat masyarakat itu hidup.

Gagasan ini dikenal sebagai bentuk awal relativisme institusional, yaitu pandangan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan atau sistem hukum yang ideal secara universal. Sebaliknya, sistem-sistem tersebut harus dinilai berdasarkan kecocokannya dengan kondisi objektif masyarakat yang bersangkutan. Montesquieu secara eksplisit menolak gagasan absolutisme normatif yang mengabaikan keragaman manusia dan realitas sosiokultural.3 Ia juga menolak pendekatan rasionalistik yang terlalu menyederhanakan masyarakat menjadi model-model teoritis tunggal.

Montesquieu menekankan bahwa hukum tidak boleh didasarkan semata-mata pada kehendak penguasa, melainkan harus memperhitungkan karakter masyarakat, termasuk nilai-nilai moral, agama, dan tradisi lokal. Misalnya, ia mengakui peran agama dalam menjaga stabilitas masyarakat, tetapi juga mengkritik kecenderungan teokrasi atau dominasi agama yang mengabaikan rasionalitas dan kebebasan individu.4

Dengan demikian, relativisme hukum yang ditawarkan oleh Montesquieu bukanlah relativisme moral nihilistik, tetapi suatu pendekatan metodologis yang menghormati pluralitas budaya dan mendorong analisis yang empatik terhadap keunikan tiap masyarakat. Pendekatan ini membuka jalan bagi munculnya ilmu politik dan hukum yang berbasis pada pengamatan perbandingan (comparative analysis), serta menjadi pelopor bagi perkembangan teori sosial dan antropologi hukum modern.

Namun, sebagian analisis Montesquieu juga telah dikritik oleh para akademisi kontemporer karena kadang mencerminkan bias orientalis dan stereotip budaya. Beberapa pandangannya tentang masyarakat Timur, seperti Cina dan dunia Islam, dituduh mereproduksi asumsi superioritas Eropa.5 Meskipun demikian, keberanian Montesquieu dalam menolak universalisme dogmatis dan mengakui pentingnya kontekstualitas dalam perumusan hukum merupakan warisan penting bagi perkembangan ilmu sosial modern.


Kesimpulan Sementara

Konsep relativisme hukum dan sosial dalam pemikiran Montesquieu menandai terobosan metodologis dalam studi politik dan hukum. Dengan menekankan bahwa hukum harus sesuai dengan kondisi masyarakat, Montesquieu menggabungkan empirisme dengan humanisme—menghasilkan teori yang tidak hanya rasional secara intelektual, tetapi juga relevan secara sosial. Dalam konteks global yang plural dan majemuk, warisan pemikirannya tetap relevan sebagai dasar pendekatan hukum yang inklusif, responsif, dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book I, Chapter 3.

[2]                Ibid., Book XIX, Chapter 4.

[3]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 48–50.

[4]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 339–342.

[5]                Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton: Princeton University Press, 2003), 126–130.


7.           Kontribusi terhadap Teori Konstitusi dan Demokrasi Modern

Montesquieu diakui secara luas sebagai salah satu pemikir politik paling berpengaruh dalam pembentukan fondasi konstitusionalisme modern. Melalui karyanya De l’esprit des lois (1748), ia memberikan kontribusi teoritis yang menentukan bagi perkembangan sistem demokrasi yang berlandaskan hukum dan institusi. Konsep-konsep seperti pemisahan kekuasaan, keseimbangan kekuasaan (checks and balances), serta penekanan pada kebebasan politik dan supremasi hukum telah menjadi pilar penting dalam arsitektur negara-negara demokratis modern.

7.1.       Model bagi Konstitusi Amerika Serikat

Salah satu bentuk konkret pengaruh Montesquieu dapat dilihat dalam penyusunan Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787. Para Bapak Pendiri Amerika, seperti James Madison, Alexander Hamilton, dan John Adams, secara eksplisit mengakui peran penting Montesquieu dalam merumuskan struktur pemerintahan yang menghindari konsentrasi kekuasaan. Dalam The Federalist Papers, Madison menekankan perlunya pemisahan kekuasaan antar cabang pemerintahan sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu, sebagai prasyarat mutlak bagi kebebasan.1

Montesquieu dianggap telah menyediakan kerangka institusional yang memampukan demokrasi modern menjaga kebebasan warga tanpa mengorbankan ketertiban. Sistem tripartit — legislatif, eksekutif, dan yudikatif — yang independen dan saling mengawasi telah dijadikan model dalam sistem pemerintahan presidensial dan semi-presidensial di berbagai belahan dunia.2

7.2.       Konsep Negara Hukum dan Supremasi Konstitusi

Kontribusi Montesquieu juga signifikan dalam membentuk prinsip negara hukum (rule of law). Ia menolak pemerintahan yang bertumpu pada kehendak sewenang-wenang penguasa dan menyatakan bahwa hukum harus mengatur dan membatasi kekuasaan negara. Dalam The Spirit of the Laws, ia menulis bahwa "kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang diizinkan oleh hukum"—menunjukkan bahwa hukum adalah pelindung, bukan penghambat kebebasan.3

Dalam kerangka ini, Montesquieu berperan dalam mengartikulasikan konsep konstitusi sebagai norma tertinggi, yang harus ditaati oleh semua lembaga negara. Hal ini menjadi prinsip dasar dalam banyak sistem konstitusi tertulis di dunia, di mana kekuasaan pemerintahan tidak bersumber dari kehendak raja atau kelompok tertentu, melainkan dari norma-norma hukum yang dirancang untuk menjamin hak dan kebebasan rakyat.4

7.3.       Dasar Etis dan Moral Demokrasi Representatif

Montesquieu juga menegaskan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan bila dilandasi oleh keutamaan moral warga negara dan lembaga yang menjunjung nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, serta kecintaan terhadap hukum. Dalam analisisnya tentang bentuk pemerintahan republik, ia menyatakan bahwa "keutamaan" adalah prinsip penggeraknya. Tanpa keutamaan moral, republik akan jatuh ke dalam korupsi dan tirani mayoritas.5 Pandangan ini menempatkan Montesquieu tidak hanya sebagai arsitek sistem institusional, tetapi juga sebagai pendidik politik, yang menyadari bahwa demokrasi memerlukan budaya politik yang sehat.

Pemikiran ini memberi dasar etis bagi demokrasi representatif: bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga bagaimana warga negara dan wakil-wakilnya berperilaku dalam menjalankan kewenangannya. Dalam hal ini, Montesquieu memberi peringatan dini terhadap bahaya demokrasi tanpa kebajikan, yakni demokrasi yang berubah menjadi populisme atau otoritarianisme terselubung.

7.4.       Inspirasi Global dalam Reformasi Konstitusi

Pemikiran Montesquieu tidak hanya memengaruhi Amerika Serikat, tetapi juga menjadi referensi penting dalam berbagai proses reformasi konstitusi di negara-negara Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Banyak negara pasca-kolonial mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan sebagai upaya untuk menata ulang sistem pemerintahan yang lebih akuntabel dan demokratis. Di Prancis, pemikiran Montesquieu menginspirasi reformasi institusional yang mengarah pada transisi dari monarki absolut ke republik konstitusional.6


Kesimpulan Sementara

Montesquieu bukan hanya seorang teoritikus kekuasaan, tetapi juga arsitek normatif bagi demokrasi modern. Kontribusinya dalam membangun prinsip-prinsip konstitusionalisme, supremasi hukum, pemisahan kekuasaan, dan etika politik masih menjadi referensi penting dalam perdebatan kontemporer mengenai tata kelola pemerintahan. Dalam dunia yang terus bergulat antara kebebasan dan kekuasaan, pemikiran Montesquieu tetap menjadi cahaya pencerahan yang tak kunjung redup.


Footnotes

[1]                James Madison, The Federalist Papers, No. 47, ed. Clinton Rossiter (New York: Signet Classics, 2003), 301–305.

[2]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 73–76.

[3]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book XI, Chapter 3.

[4]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 348–350.

[5]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book III, Chapter 3.

[6]                David W. Carrithers, Michael A. Mosher, and Paul A. Rahe, eds., Montesquieu’s Science of Politics: Essays on The Spirit of Laws (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 22–26.


8.           Kritik terhadap Pemikiran Montesquieu

Meskipun Montesquieu diakui sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah teori politik modern, pemikirannya tidak luput dari kritik, baik dari sudut pandang konseptual, metodologis, maupun historis. Kritik-kritik tersebut tidak selalu meruntuhkan kontribusinya, tetapi justru memperkaya pemahaman tentang batasan dan tantangan dalam penerapan ide-idenya dalam konteks modern.

8.1.       Kelemahan dalam Kategori Tipologi Pemerintahan

Montesquieu membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga jenis utama—republik, monarki, dan despotisme—dengan masing-masing didorong oleh prinsip moral yang berbeda: keutamaan, kehormatan, dan ketakutan.1 Namun, para kritikus menilai bahwa klasifikasi ini terlalu kaku dan tidak sepenuhnya mencerminkan kompleksitas sistem politik yang berkembang, terutama dalam konteks masyarakat kontemporer yang plural dan dinamis.

Beberapa ilmuwan politik modern berpendapat bahwa pembagian Montesquieu mengabaikan kemungkinan adanya bentuk hibrida atau campuran pemerintahan yang sulit dikategorikan secara definitif. Dalam praktiknya, banyak negara memiliki sistem pemerintahan yang memadukan unsur-unsur republik dan monarki konstitusional, atau mempraktikkan otoritarianisme terselubung di balik institusi demokratis.2

8.2.       Kritik terhadap Determinisme Geografis dan Iklim

Salah satu bagian paling kontroversial dalam The Spirit of the Laws adalah argumentasi Montesquieu mengenai pengaruh iklim terhadap karakter bangsa dan bentuk pemerintahan. Ia berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang tinggal di iklim panas cenderung lebih patuh dan pasif, sedangkan mereka yang hidup di wilayah beriklim sedang lebih bebas dan aktif secara politik.3

Meskipun pendapat ini merupakan bagian dari upaya Montesquieu untuk menjelaskan variasi sosial-politik secara empiris, banyak akademisi kontemporer mengecamnya sebagai bentuk determinisme geografis yang problematis. Kritik ini datang dari berbagai disiplin, termasuk antropologi, sosiologi, dan postkolonialisme, karena dianggap menyederhanakan kompleksitas budaya dan memperkuat stereotip etnis serta wilayah.4

8.3.       Orientalisme dan Representasi Dunia Non-Barat

Montesquieu menunjukkan ketertarikan besar terhadap peradaban Timur, termasuk Cina, Persia, dan dunia Islam. Dalam Lettres persanes, ia mengembangkan karakter-karakter fiksi dari Persia untuk mengkritik masyarakat Eropa. Sementara pendekatan ini inovatif, sebagian pemikir postkolonial seperti Edward Said dan Sankar Muthu menilai bahwa karya-karya Montesquieu juga mereproduksi struktur pemikiran orientalis, yaitu representasi tentang Timur sebagai statis, tidak rasional, dan inferior dibanding Barat.5

Di satu sisi, Montesquieu tampak mengagumi struktur kekuasaan dan tata hukum beberapa bangsa Timur; di sisi lain, ia seringkali menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan mereka bersifat despotik dan tidak mengenal kebebasan. Representasi semacam ini, menurut para kritikus, turut mendukung konstruksi superioritas Eropa yang kelak dimanfaatkan dalam proyek-proyek kolonialisme.6

8.4.       Ketidakjelasan tentang Kedaulatan Rakyat dan Partisipasi Politik

Walaupun Montesquieu dianggap sebagai pelopor konstitusionalisme liberal, ia sebenarnya tidak memberikan perhatian besar terhadap konsep kedaulatan rakyat dan partisipasi politik secara langsung. Ia lebih menekankan pembatasan kekuasaan melalui desain institusional daripada penguatan agensi politik rakyat. Dalam konteks demokrasi modern yang menekankan partisipasi luas, pemikiran Montesquieu dianggap belum memberikan jawaban yang memadai terhadap tuntutan egalitarianisme dan inklusi.7

Hal ini mengundang kritik dari pemikir demokrasi deliberatif maupun egalitarian, yang menilai bahwa kebebasan politik tidak cukup dijamin hanya dengan pemisahan kekuasaan, tetapi juga memerlukan ruang partisipasi aktif dari warga negara dalam proses pengambilan keputusan publik.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap pemikiran Montesquieu menunjukkan bahwa meskipun teorinya bersifat fundamental dalam pembangunan sistem politik modern, ia tidak bebas dari kelemahan konseptual dan bias kontekstual. Kelemahan dalam klasifikasi bentuk pemerintahan, determinisme geografis, orientalisme, serta keterbatasan dalam pandangan tentang rakyat sebagai subjek politik, menjadi catatan penting dalam evaluasi kritis terhadap warisan intelektualnya. Namun demikian, sebagian besar kritik ini tidak membatalkan signifikansi kontribusinya, melainkan mendorong reinterpretasi dan pembaruan gagasan Montesquieu dalam cahaya tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book III, Chapters 3–9.

[2]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 57–61.

[3]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, Book XIV, Chapters 2–5.

[4]                Nannerl O. Keohane, Philosophy and the State in France: The Renaissance to the Enlightenment (Princeton: Princeton University Press, 1980), 341–344.

[5]                Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton: Princeton University Press, 2003), 125–130.

[6]                Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 48–51.

[7]                Pierre Manent, An Intellectual History of Liberalism, trans. Rebecca Balinski (Princeton: Princeton University Press, 1994), 53–55.


9.           Relevansi Kontemporer

Pemikiran politik Montesquieu, yang lahir lebih dari dua setengah abad lalu, tetap menunjukkan vitalitasnya dalam wacana politik dan hukum kontemporer. Prinsip-prinsip dasar yang ia rumuskan—terutama tentang pemisahan kekuasaan, kebebasan politik, dan relativisme hukum—masih menjadi rujukan utama dalam merespons tantangan-tantangan demokrasi modern, otoritarianisme baru, serta dinamika pluralisme hukum dan sosial di era globalisasi.

9.1.       Pemisahan Kekuasaan dan Ancaman Otoritarianisme

Dalam konteks kontemporer, pemikiran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan tetap sangat relevan, terutama dalam menghadapi tren konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif yang marak di banyak negara. Gejala “eksekutifisme” atau “presidensialisme otoriter” telah mengancam prinsip checks and balances yang dirancang untuk menjaga kebebasan politik dan mencegah tirani hukum.1 Montesquieu mengingatkan bahwa kebebasan hanya dapat dipertahankan jika kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga kekuasaan membatasi kekuasaan (le pouvoir arrête le pouvoir).2

Peringatan ini semakin relevan di tengah krisis demokrasi liberal, di mana lembaga legislatif dan yudikatif di beberapa negara mengalami pelemahan oleh eksekutif yang populistik dan anti-institusional. Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu menjadi semacam “sistem alarm intelektual” untuk mempertahankan prinsip dasar demokrasi konstitusional.

9.2.       Supremasi Hukum dan Negara Hukum

Konsepsi Montesquieu tentang kebebasan sebagai ketaatan terhadap hukum yang adil menjadi landasan bagi ide negara hukum (rule of law) yang terus menjadi cita-cita sistem politik modern. Dalam negara hukum, tidak hanya warga negara, tetapi juga pejabat publik, termasuk kepala negara, tunduk pada hukum. Prinsip ini sangat penting untuk melawan praktik-praktik impunitas, korupsi sistemik, dan pelemahan institusi peradilan di banyak negara.3

Kembali pada Montesquieu, supremasi hukum bukanlah sekadar soal penegakan aturan, tetapi tentang pembatasan kekuasaan agar tidak melampaui mandat legal dan moral yang diembannya. Relevansi ini terlihat jelas dalam perdebatan tentang konstitusionalitas keputusan politik, kekuasaan darurat, hingga independensi lembaga yudisial dalam menghadapi tekanan kekuasaan.

9.3.       Relativisme Sosial dan Tantangan Multikulturalisme

Dalam dunia yang semakin plural dan kompleks, pemikiran Montesquieu tentang relativisme hukum dan sosial menawarkan pendekatan yang inklusif terhadap keanekaragaman. Ia menolak pandangan absolutis mengenai satu bentuk hukum atau pemerintahan yang ideal dan mendorong analisis kontekstual yang mempertimbangkan budaya, adat, agama, dan iklim sosial masyarakat tertentu.4

Gagasan ini memberi landasan bagi pendekatan multikultural dalam pengembangan hukum dan kebijakan publik. Di tengah tantangan integrasi sosial dalam masyarakat multietnis dan multireligius, prinsip-prinsip Montesquieu membuka ruang untuk akomodasi perbedaan tanpa kehilangan kerangka hukum bersama, sebuah isu yang menjadi krusial dalam demokrasi kontemporer.

9.4.       Etika Politik dan Pendidikan Kewarganegaraan

Montesquieu juga menekankan pentingnya etika politik dan keutamaan moral dalam menopang republik dan kebebasan. Ia percaya bahwa institusi tidak akan berjalan dengan baik tanpa fondasi keutamaan yang hidup dalam diri warganya. Dalam konteks ini, pemikirannya sangat relevan bagi pengembangan pendidikan kewarganegaraan yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif dan etis.5

Dengan menanamkan nilai-nilai seperti keadilan, tanggung jawab, dan keterbukaan terhadap hukum, pendidikan politik berbasis pemikiran Montesquieu dapat menjadi penangkal terhadap apatisme demokratis, populisme, dan kecenderungan anti-rasional dalam masyarakat digital saat ini.


Kesimpulan Sementara

Pemikiran Montesquieu tetap menjadi kompas intelektual dalam menghadapi tantangan-tantangan fundamental abad ke-21: dari pelemahan institusi demokrasi, ancaman terhadap supremasi hukum, hingga krisis pluralisme dan etika politik. Meskipun dikembangkan dalam konteks Pencerahan abad ke-18, prinsip-prinsip yang ia ajukan mengandung fleksibilitas konseptual yang memungkinkannya untuk terus dibaca ulang dan diaplikasikan dalam konteks kontemporer yang terus berubah. Dengan demikian, warisan intelektual Montesquieu tetap hidup—bukan sebagai dogma, tetapi sebagai alat reflektif bagi pembangunan masyarakat politik yang beradab.


Footnotes

[1]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018), 58–62.

[2]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book XI, Chapter 4.

[3]                Tom Bingham, The Rule of Law (London: Penguin Books, 2010), 37–41.

[4]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 48–51.

[5]                Pierre Manent, An Intellectual History of Liberalism, trans. Rebecca Balinski (Princeton: Princeton University Press, 1994), 55–57.


10.       Penutup

Pemikiran Montesquieu menempati posisi sentral dalam sejarah filsafat politik modern. Dalam De l’esprit des lois (1748), ia berhasil merumuskan sebuah teori yang menggabungkan pendekatan rasional, empiris, dan historis untuk memahami bagaimana hukum, kekuasaan, dan kebebasan berinteraksi dalam suatu tatanan masyarakat. Ia bukan hanya menyumbangkan konsep-konsep fundamental seperti pemisahan kekuasaan dan checks and balances, tetapi juga memperkenalkan metode relativisme hukum dan sosial yang menekankan perlunya memahami sistem hukum dalam kerangka budaya dan struktur masyarakat yang spesifik.1

Sebagai seorang pemikir Pencerahan, Montesquieu membawa semangat kebebasan dan akal ke dalam wacana kenegaraan. Ia menolak kekuasaan absolut dan menggantinya dengan visi konstitusionalisme yang menghormati kebebasan individu. Dengan menempatkan kebebasan sebagai ketaatan terhadap hukum yang adil, Montesquieu menjadikan hukum bukan alat dominasi, tetapi fondasi bagi kebebasan politik.2

Kontribusinya terhadap perkembangan teori konstitusi dan negara hukum sangat besar. Pemisahan kekuasaan tidak hanya menjadi prinsip dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat dan banyak konstitusi modern lainnya, tetapi juga menjadi standar normatif dalam menilai kualitas demokrasi suatu negara. Lebih jauh, peringatan Montesquieu tentang bahaya konsentrasi kekuasaan tetap relevan di tengah gejala kemunduran demokrasi (democratic backsliding) di berbagai belahan dunia saat ini.3

Meskipun demikian, pemikirannya tidak luput dari kritik. Kategorisasi bentuk pemerintahan yang terlalu kaku, asumsi deterministik terhadap iklim dan budaya, serta kecenderungan orientalis dalam memandang dunia non-Barat, merupakan bagian dari keterbatasan konseptual yang harus dibaca secara kritis.4 Namun, kritik-kritik ini lebih bersifat konstruktif dan mendorong pembaruan pemikiran, bukan pembatalan warisan intelektualnya.

Di era kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas globalisasi, keragaman budaya, dan krisis legitimasi lembaga-lembaga politik, pemikiran Montesquieu masih menyediakan kerangka reflektif dan normatif yang kuat. Gagasan bahwa kekuasaan harus dibatasi oleh hukum, bahwa hukum harus disesuaikan dengan kondisi sosial, dan bahwa kebebasan harus dipelihara oleh institusi yang adil—semua itu tetap menjadi kompas moral dan intelektual dalam membangun masyarakat politik yang demokratis dan beradab.5

Dengan demikian, kajian atas pemikiran Montesquieu bukan semata studi historis, melainkan juga dialog lintas zaman yang terus relevan. Ia mengajarkan bahwa stabilitas dan kebebasan politik bukan hasil dari dominasi satu kekuatan, tetapi dari keseimbangan, keterbukaan, dan keutamaan hukum dalam kehidupan bersama.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia Carolyn Miller, and Harold Samuel Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), Book I, Chapter 3.

[2]                Ibid., Book XI, Chapter 3.

[3]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge: Harvard University Press, 2018), 113–118.

[4]                Sankar Muthu, Enlightenment against Empire (Princeton: Princeton University Press, 2003), 125–130.

[5]                Judith N. Shklar, Montesquieu (Oxford: Oxford University Press, 1987), 73–75.


Daftar Pustaka

Bingham, T. (2010). The rule of law. Penguin Books.

Carrithers, D. W., Mosher, M. A., & Rahe, P. A. (Eds.). (2001). Montesquieu’s science of politics: Essays on The Spirit of Laws. Rowman & Littlefield.

Cicero. (1928). De re publica (C. W. Keyes, Trans.). Harvard University Press.

Keohane, N. O. (1980). Philosophy and the state in France: The Renaissance to the Enlightenment. Princeton University Press.

Madison, J. (2003). The Federalist Papers (C. Rossiter, Ed.). Signet Classics. (Original work published 1788)

Manent, P. (1994). An intellectual history of liberalism (R. Balinski, Trans.). Princeton University Press.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans. & Eds.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)

Montesquieu. (2008). Persian letters (M. Mauldon, Trans.; A. Kahn, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1721)

Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.

Muthu, S. (2003). Enlightenment against empire. Princeton University Press.

Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.

Shklar, J. N. (1987). Montesquieu. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar