Selasa, 03 Juni 2025

Kemampuan Awal Peserta Didik: Fondasi Strategis dalam Perencanaan dan Implementasi Pembelajaran

Kemampuan Awal Peserta Didik

Fondasi Strategis dalam Perencanaan dan Implementasi Pembelajaran


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Kemampuan awal peserta didik merupakan elemen fundamental dalam merancang pembelajaran yang efektif, adaptif, dan berkeadilan. Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep, landasan teoretis, jenis, serta strategi identifikasi kemampuan awal dalam konteks pendidikan dasar dan menengah. Ditekankan bahwa kemampuan awal mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang harus diidentifikasi secara holistik melalui asesmen diagnostik, observasi, wawancara, serta pemanfaatan teknologi digital. Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi di lapangan meliputi keterbatasan waktu, kompetensi guru, validitas instrumen, serta rendahnya pemanfaatan data asesmen. Artikel ini menyajikan solusi praktis, termasuk pelatihan guru, integrasi asesmen dalam perencanaan pembelajaran, dan dukungan sistemik melalui kebijakan pendidikan. Studi kasus dari satuan pendidikan di berbagai daerah dan praktik baik dari Platform Merdeka Mengajar memperlihatkan bahwa asesmen kemampuan awal yang dilakukan secara inovatif dan kontekstual dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan kualitas pembelajaran. Dengan demikian, penguatan peran kemampuan awal menjadi kunci dalam mewujudkan pembelajaran yang bermakna dan berorientasi pada perkembangan peserta didik secara optimal.

Kata Kunci: Kemampuan awal, asesmen diagnostik, pembelajaran berdiferensiasi, perencanaan pembelajaran, Kurikulum Merdeka, strategi pembelajaran, pendidikan berbasis peserta didik.


PEMBAHASAN

Menelaah Kemampuan Awal Peserta Didik


1.           Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, pembelajaran yang bermakna tidak dapat dilepaskan dari pemahaman menyeluruh terhadap karakteristik peserta didik. Salah satu aspek penting dari karakteristik tersebut adalah kemampuan awal peserta didik, yakni serangkaian pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki sebelum proses pembelajaran dimulai. Kemampuan awal menjadi fondasi utama dalam menentukan titik tolak pengajaran, arah perkembangan pembelajaran, serta strategi pembelajaran yang tepat dan adaptif.

Pentingnya mengidentifikasi kemampuan awal ditegaskan dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menyatakan bahwa guru perlu merancang pembelajaran berdasarkan karakteristik, kemampuan awal, dan latar belakang peserta didik sebagai bagian dari prinsip penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Hal ini menegaskan bahwa asesmen terhadap kemampuan awal bukan hanya aktivitas tambahan, tetapi merupakan komponen strategis dalam perencanaan pembelajaran yang efektif dan efisien.¹

Secara teoritis, kemampuan awal merupakan bagian dari konsep prior knowledge yang dikembangkan dalam berbagai pendekatan pendidikan. Menurut Ausubel, pembelajaran yang paling efektif adalah ketika informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya.² Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan bukan sesuatu yang dipindahkan dari guru ke siswa, tetapi dibangun secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.³ Oleh karena itu, mengabaikan kemampuan awal sama artinya dengan mengabaikan konteks belajar yang dimiliki oleh setiap individu.

Di sisi lain, tantangan pendidikan abad ke-21 menuntut pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada materi, tetapi juga pada proses, adaptasi, dan keberagaman. Kurikulum Merdeka yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek Indonesia, misalnya, menekankan pentingnya pembelajaran berdiferensiasi yang disesuaikan dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik.⁴ Dalam kerangka ini, kemampuan awal menjadi titik sentral yang menentukan relevansi konten, pendekatan, dan kedalaman pembelajaran.

Dengan demikian, pemahaman terhadap kemampuan awal peserta didik tidak hanya memiliki nilai praktis dalam perencanaan pembelajaran, tetapi juga bernilai filosofis sebagai wujud penghormatan terhadap kodrat keunikan peserta didik. Melalui artikel ini, akan diuraikan secara mendalam konsep kemampuan awal, strategi identifikasi, implikasinya dalam proses pembelajaran, serta solusi atas tantangan yang dihadapi dalam praktik di lapangan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemdikbud, 2016).

[2]                David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.

[3]                Jerome Bruner, The Process of Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1960), 72.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 19.


2.           Konsep Dasar Kemampuan Awal

Kemampuan awal peserta didik merujuk pada tingkat penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki sebelum mereka mengikuti suatu proses pembelajaran tertentu. Kemampuan ini mencakup hasil dari pengalaman belajar sebelumnya, baik yang bersifat formal maupun informal, yang akan memengaruhi kesiapan dan cara peserta didik memahami materi pembelajaran baru.

Dalam perspektif psikologi pendidikan, kemampuan awal dikenal sebagai prior knowledge, yang merupakan salah satu prediktor paling kuat dari keberhasilan belajar peserta didik.¹ Gagné menjelaskan bahwa kemampuan awal merupakan "kemampuan prasyarat" (entry behaviors) yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.² Tanpa pemenuhan kemampuan ini, peserta didik berisiko mengalami hambatan kognitif dalam memahami materi lanjutan.

Secara konseptual, kemampuan awal tidak hanya terbatas pada aspek kognitif (pengetahuan dan pemahaman), tetapi juga mencakup aspek afektif (minat, sikap, motivasi) dan psikomotorik (keterampilan awal yang berkaitan dengan aktivitas praktis).³ Oleh karena itu, asesmen terhadap kemampuan awal harus dilakukan secara holistik, tidak hanya dengan tes tulis, tetapi juga melalui observasi, wawancara, atau penggunaan angket.

Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl dapat dijadikan kerangka kerja untuk mengidentifikasi kemampuan awal dalam ranah kognitif secara lebih rinci, mulai dari level ingatan (remember) hingga evaluasi dan kreasi (create).⁴ Dalam konteks Kurikulum Merdeka, identifikasi kemampuan awal juga menjadi elemen penting dalam merancang pembelajaran berdiferensiasi, yang mempertimbangkan kesiapan belajar setiap individu.⁵

Di samping itu, pendekatan konstruktivis dalam pendidikan menegaskan bahwa setiap peserta didik membawa background knowledge yang unik ke dalam ruang kelas. Bransford dkk. menyatakan bahwa semua pembelajaran baru dibangun di atas fondasi pengetahuan yang telah ada, dan kegagalan dalam mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal peserta didik dapat menghambat proses pemahaman.⁶ Maka dari itu, kemampuan awal bukan sekadar “pra-syarat administratif”, melainkan komponen kognitif-psikologis yang esensial untuk pembelajaran yang efektif.

Dengan memahami konsep ini, guru dapat menyusun strategi pembelajaran yang lebih adaptif, responsif, dan sesuai dengan tingkat kesiapan peserta didik. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses belajar.


Footnotes

[1]                John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R. Cocking, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC: National Academy Press, 2000), 10.

[2]                Robert M. Gagné, The Conditions of Learning (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 92.

[3]                Benjamin S. Bloom, Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain (New York: David McKay Company, 1956), xxv.

[4]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 21.

[6]                Bransford, Brown, dan Cocking, How People Learn, 11.


3.           Landasan Teoretis dan Psikopedagogis

Pemahaman mengenai kemampuan awal peserta didik berakar dari berbagai teori pendidikan dan psikologi perkembangan yang telah lama dikembangkan oleh para ahli. Setiap pendekatan teoritis memberikan sumbangsih penting dalam menjelaskan bagaimana kemampuan awal memengaruhi proses belajar dan bagaimana guru seharusnya meresponsnya dalam praktik pembelajaran.

3.1.       Perspektif Behavioristik

Dalam pendekatan behavioristik, pembelajaran dianggap sebagai hasil dari stimulus dan respons yang dapat diamati dan diukur. Teori ini menekankan pentingnya penguatan (reinforcement) dalam membentuk perilaku belajar yang diinginkan. Kemampuan awal dalam konteks ini dipandang sebagai keterampilan atau respons yang sudah terbentuk melalui pengalaman sebelumnya.⁽¹⁾ Guru berperan sebagai pengendali lingkungan belajar yang memberikan stimulus tepat untuk memunculkan respons yang diharapkan, berdasarkan tingkat kemampuan yang telah dimiliki peserta didik.

3.2.       Perspektif Kognitivistik

Pendekatan kognitivistik menekankan proses mental internal dalam pembelajaran. Menurut teori ini, peserta didik bukan sekadar responden pasif terhadap stimulus, melainkan pemroses aktif informasi. Kemampuan awal dianggap sebagai struktur kognitif yang sudah ada dalam skema berpikir siswa, yang menjadi dasar untuk menyerap dan mengorganisasi informasi baru. Jean Piaget, salah satu tokoh utama pendekatan ini, berpendapat bahwa peserta didik harus mengalami proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai keseimbangan kognitif (equilibration) dalam belajar.⁽²⁾ Oleh karena itu, pembelajaran akan lebih berhasil apabila materi baru disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.

3.3.       Perspektif Konstruktivistik

Teori konstruktivisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Vygotsky dan Bruner, melihat peserta didik sebagai pembangun aktif makna dari pengalaman belajarnya. Dalam kerangka ini, kemampuan awal merupakan fondasi utama dalam konstruksi pengetahuan baru. Vygotsky memperkenalkan konsep Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development/ZPD), yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditunjukkan oleh kemampuan mandiri peserta didik dan tingkat potensi perkembangan yang dapat dicapai dengan bantuan.⁽³⁾ Untuk itu, pembelajaran yang efektif adalah yang berlangsung di dalam ZPD, dengan mengacu pada kemampuan awal sebagai titik awal intervensi pendidik.

3.4.       Perspektif Humanistik dan Sosiokultural

Pendekatan humanistik menekankan pentingnya motivasi, aktualisasi diri, dan pengalaman personal dalam belajar. Dalam pandangan ini, kemampuan awal tidak hanya dilihat dari aspek kognitif, tetapi juga dari kesiapan emosional dan sosial peserta didik.⁽⁴⁾ Sementara itu, perspektif sosiokultural menekankan bahwa pengetahuan dan kemampuan seseorang dipengaruhi secara signifikan oleh konteks sosial dan budaya tempat mereka tumbuh.⁽⁵⁾ Oleh sebab itu, pemetaan kemampuan awal harus mempertimbangkan konteks kehidupan siswa, latar belakang keluarga, bahasa, dan lingkungan sosial.

3.5.       Implikasi Psikopedagogis

Dari sudut pandang pedagogis, pemahaman terhadap kemampuan awal memiliki implikasi langsung terhadap pendekatan, strategi, dan media pembelajaran yang akan digunakan. Guru yang mampu memetakan kemampuan awal dengan baik akan lebih mudah menerapkan pembelajaran diferensiasi, remedial, ataupun pengayaan sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik. Hal ini juga menjadi cerminan dari prinsip assessment for learning, yang menempatkan asesmen sebagai alat untuk merancang pengalaman belajar, bukan sekadar mengukur hasil akhir.⁽⁶⁾

Dengan demikian, landasan teoretis dan psikopedagogis ini menegaskan bahwa kemampuan awal bukanlah sekadar data tambahan, melainkan titik pijak yang sangat strategis dalam merancang pembelajaran yang bermakna, adil, dan inklusif.


Footnotes

[1]                B.F. Skinner, The Technology of Teaching (New York: Appleton-Century-Crofts, 1968), 28–35.

[2]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–4.

[3]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86.

[4]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill Publishing Company, 1969), 106–108.

[5]                James V. Wertsch, Vygotsky and the Social Formation of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 14.

[6]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.


4.           Jenis dan Aspek Kemampuan Awal

Kemampuan awal peserta didik tidak bersifat tunggal, melainkan multidimensional. Untuk memahami dan mengidentifikasinya secara tepat, guru perlu mengenali berbagai jenis dan aspek kemampuan awal yang mencerminkan kompleksitas kesiapan belajar peserta didik. Klasifikasi ini tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga berdampak langsung pada penyusunan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

4.1.       Jenis Kemampuan Awal

Secara umum, kemampuan awal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis utama:

1)                  Kemampuan Kognitif

Meliputi pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Termasuk di dalamnya adalah prior knowledge tentang konsep, prinsip, atau prosedur yang berkaitan dengan materi baru.¹ Asesmen kemampuan kognitif dapat dilakukan melalui pre-test, diskusi awal, atau penggalian pemahaman konseptual.

2)                  Kemampuan Afektif

Mencakup aspek sikap, minat, motivasi, dan nilai yang dianut peserta didik dalam konteks belajar.² Peserta didik yang memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran tertentu cenderung menunjukkan kesiapan belajar yang lebih tinggi. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada minat belajar dapat meningkatkan efektivitas penyampaian materi.

3)                  Kemampuan Psikomotorik

Berkaitan dengan keterampilan awal dalam melakukan tugas-tugas praktis atau manipulatif yang relevan dengan topik pembelajaran.³ Misalnya, dalam pelajaran seni atau IPA, keterampilan menggunting, menggambar, menggunakan alat ukur, atau melakukan eksperimen menjadi indikator kemampuan awal psikomotorik.

4.2.       Aspek-Aspek Kemampuan Awal dalam Taksonomi Pendidikan

Mengacu pada taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Bloom dan diperbarui oleh Anderson & Krathwohl, kemampuan awal dapat dianalisis melalui tiga domain utama:

1)                  Domain Kognitif: mencakup level berpikir mulai dari mengingat (remembering) hingga mencipta (creating).⁴

2)                  Domain Afektif: mencakup penerimaan, respon, penghargaan nilai, hingga internalisasi nilai.⁵

3)                  Domain Psikomotorik: seperti yang dijelaskan oleh Simpson, meliputi persepsi, kesiapan, gerakan terpimpin, dan keterampilan terbiasa.⁶

Aspek-aspek ini perlu diperhitungkan secara menyeluruh dalam asesmen kemampuan awal karena ketidaktepatan dalam mengidentifikasi salah satu aspek bisa berakibat pada kesenjangan antara materi yang diajarkan dengan tingkat kesiapan peserta didik.

4.3.       Keterkaitan Antaraspek

Dalam praktik pembelajaran, ketiga aspek kemampuan awal ini saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan. Misalnya, seorang peserta didik dengan kemampuan kognitif tinggi dalam matematika mungkin mengalami kesulitan dalam pembelajaran jika tidak memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran tersebut (aspek afektif) atau jika belum menguasai keterampilan dasar penggunaan alat ukur (aspek psikomotorik).

Untuk itu, guru dituntut tidak hanya fokus pada pengukuran kemampuan kognitif semata, tetapi juga melakukan observasi dan penggalian terhadap faktor afektif dan psikomotorik yang menyertainya. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran holistik dan berpusat pada peserta didik yang ditekankan dalam Kurikulum Merdeka.⁷


Footnotes

[1]                John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R. Cocking, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC: National Academy Press, 2000), 10–12.

[2]                Benjamin S. Bloom et al., Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain (New York: David McKay Company, 1964), 8–10.

[3]                Elizabeth J. Simpson, “The Classification of Educational Objectives in the Psychomotor Domain,” The Behavioral Objectives Approach to Curriculum Development (Washington, DC: Gryphon House, 1972), 50–52.

[4]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67.

[5]                Bloom et al., Taxonomy of Educational Objectives, Affective Domain, 15–20.

[6]                Simpson, “The Classification of Educational Objectives,” 54–57.

[7]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 22–24.


5.           Strategi Identifikasi Kemampuan Awal

Agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, guru perlu memahami tingkat kemampuan awal yang dimiliki oleh peserta didik sebelum memasuki materi pembelajaran baru. Proses identifikasi ini merupakan langkah krusial dalam perencanaan pembelajaran yang adaptif dan diferensiatif. Kurikulum Merdeka secara eksplisit menekankan pentingnya pemetaan kesiapan belajar peserta didik sebagai dasar perancangan pembelajaran berdiferensiasi.¹ Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang tepat, terencana, dan sistematis untuk menggali informasi mengenai kemampuan awal secara komprehensif.

5.1.       Asesmen Diagnostik

Asesmen diagnostik adalah alat utama dalam mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik. Asesmen ini dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai dengan tujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan prasyarat pengetahuan, keterampilan, serta kesiapan belajar siswa terhadap materi yang akan diajarkan.² Instrumen asesmen diagnostik dapat berupa:

·                     Tes tertulis (pilihan ganda, uraian singkat, atau isian) untuk mengukur pengetahuan konseptual.

·                     Tes praktik untuk keterampilan psikomotorik awal.

·                     Angket atau kuesioner untuk mengevaluasi aspek afektif seperti minat, motivasi, dan sikap terhadap pembelajaran.³

5.2.       Wawancara dan Diskusi Terbimbing

Guru juga dapat menggunakan metode wawancara atau diskusi terarah untuk mengeksplorasi latar belakang pengetahuan dan pengalaman belajar peserta didik. Strategi ini sangat bermanfaat dalam konteks pembelajaran yang bersifat kualitatif, seperti dalam pelajaran humaniora atau seni. Teknik ini memungkinkan guru memahami bagaimana siswa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.⁴

5.3.       Observasi Langsung

Observasi merupakan teknik non-tes yang memberikan gambaran nyata mengenai kemampuan awal peserta didik dalam konteks perilaku belajar. Guru dapat mengamati cara siswa berinteraksi, menyelesaikan tugas, menggunakan alat bantu belajar, atau menunjukkan minat terhadap suatu topik.⁵ Teknik ini dapat dipadukan dengan lembar observasi yang memuat indikator keterampilan, sikap, dan kebiasaan belajar yang relevan.

5.4.       Analisis Hasil Belajar Sebelumnya

Data dari rapor, hasil asesmen formatif sebelumnya, atau portofolio belajar juga dapat digunakan sebagai sumber informasi penting dalam memetakan kemampuan awal. Analisis longitudinal terhadap hasil belajar ini memungkinkan guru melihat pola perkembangan peserta didik dan memperkirakan kesiapan mereka dalam menerima materi selanjutnya.⁶

5.5.       Penggunaan Teknologi dan Platform Digital

Dalam konteks pembelajaran abad ke-21, pemanfaatan platform digital seperti Learning Management System (LMS), aplikasi kuis daring (misalnya Kahoot, Quizizz, atau Google Forms), serta asesmen berbasis AI dapat mempercepat dan mempermudah proses identifikasi kemampuan awal. Strategi ini juga dapat memberikan umpan balik cepat (instant feedback) dan data analitik yang membantu guru dalam mengambil keputusan pembelajaran.⁷

5.6.       Prinsip-Prinsip Identifikasi Kemampuan Awal

Dalam penerapannya, identifikasi kemampuan awal harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

·                     Validitas: instrumen harus mengukur apa yang memang ingin diketahui.

·                     Reliabilitas: hasil asesmen konsisten bila digunakan dalam waktu dan situasi berbeda.

·                     Keadilan: memperhitungkan keberagaman latar belakang siswa.

·                     Keterpaduan: informasi dikumpulkan dari berbagai sumber dan metode asesmen.⁸

Dengan penerapan strategi yang tepat dan beragam, guru akan memperoleh pemahaman yang utuh mengenai kemampuan awal peserta didik. Hasil dari proses ini akan menjadi dasar dalam menyusun pembelajaran yang tidak hanya efektif, tetapi juga berkeadilan dan inklusif.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 20–22.

[2]                W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 104.

[3]                Peter W. Airasian dan Michael K. Russell, Classroom Assessment: Concepts and Applications, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2012), 92–95.

[4]                Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching: A Comprehensive Framework for Effective Instruction (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 44–46.

[5]                J. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014), 118–120.

[6]                Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 51.

[7]                OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with AI, Blockchain and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 37–40.

[8]                Nitko, Anthony J., dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 129–132.


6.           Peran Kemampuan Awal dalam Perencanaan Pembelajaran

Kemampuan awal peserta didik memegang peranan sentral dalam perencanaan pembelajaran yang efektif, terstruktur, dan berorientasi pada kebutuhan belajar yang beragam. Perencanaan pembelajaran bukan sekadar penyusunan RPP atau kegiatan administratif, melainkan sebuah proses strategis yang bertujuan menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan relevan bagi setiap individu. Dalam konteks tersebut, kemampuan awal berfungsi sebagai baseline untuk menentukan titik awal pengajaran, serta acuan dalam menyusun strategi pembelajaran yang adaptif dan berdiferensiasi.

6.1.       Dasar dalam Merancang Tujuan Pembelajaran

Kemampuan awal menjadi dasar penting dalam merumuskan tujuan pembelajaran yang realistis, terukur, dan sesuai dengan tingkat kesiapan peserta didik. Perencanaan yang mengabaikan kemampuan awal berisiko menetapkan target yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, yang pada akhirnya menghambat pencapaian kompetensi.¹ Taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl dapat digunakan untuk mengarahkan tujuan berdasarkan level kemampuan awal yang teridentifikasi, dari mengingat hingga mencipta.²

6.2.       Penentu Strategi, Model, dan Pendekatan Pembelajaran

Guru dapat memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai (seperti kontekstual, saintifik, atau inquiry-based) berdasarkan hasil identifikasi kemampuan awal. Misalnya, peserta didik yang telah memiliki pengetahuan konseptual kuat dapat diajak untuk mengeksplorasi topik secara lebih mendalam melalui pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), sedangkan yang masih rendah dapat diberikan pendekatan direct instruction terlebih dahulu.³

Kemampuan awal juga memengaruhi pemilihan model pembelajaran, seperti kooperatif, diferensiasi, atau blended learning, sesuai dengan kesiapan dan profil belajar siswa. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran diferensiatif dalam Kurikulum Merdeka yang menyesuaikan pembelajaran dengan kesiapan, minat, dan gaya belajar peserta didik.⁴

6.3.       Landasan untuk Mendesain Materi dan Media Pembelajaran

Guru perlu mengadaptasi bahan ajar dan media pembelajaran berdasarkan tingkat kemampuan awal. Siswa yang sudah familiar dengan topik tertentu dapat diberikan sumber belajar yang menantang dan eksploratif, sedangkan siswa dengan kemampuan awal rendah membutuhkan media yang lebih konkret, visual, dan interaktif.⁵ Penggunaan teknologi pendidikan juga dapat disesuaikan: platform digital dapat mendukung kebutuhan belajar yang bervariasi dengan fitur personalisasi dan interaktivitas.

6.4.       Panduan Penentuan Kegiatan Pembelajaran dan Penilaian

Kemampuan awal memberikan informasi penting dalam menyusun langkah-langkah kegiatan pembelajaran, mulai dari kegiatan pendahuluan hingga penutup. Guru dapat menyusun kegiatan awal yang membangun koneksi antara pengetahuan lama dan baru, sebagai bentuk aktivasi skemata. Selain itu, dalam hal penilaian, asesmen formatif maupun sumatif harus disesuaikan dengan profil kemampuan awal agar valid dalam mengukur perkembangan belajar.⁶

6.5.       Instrumen dalam Pemetaan Kebutuhan Remedial dan Pengayaan

Peserta didik dengan kemampuan awal yang belum memadai dapat segera diberikan intervensi berupa pembelajaran remedial, sementara mereka yang sudah menguasai materi dapat diarahkan pada pengayaan (enrichment). Dengan cara ini, pembelajaran menjadi lebih inklusif dan tidak menyamaratakan kecepatan belajar semua siswa.⁷

6.6.       Relevansi terhadap Standar Nasional dan Regulasi Pendidikan

Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan menyatakan bahwa guru wajib memperhatikan kemampuan awal siswa dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.⁸ Dalam Kurikulum Merdeka, hal ini diperkuat dengan prinsip pembelajaran yang fleksibel, berbasis asesmen diagnostik, dan berpusat pada peserta didik.⁹

Dengan demikian, kemampuan awal berfungsi sebagai kompas pedagogis dalam perencanaan pembelajaran. Ia menuntun guru dalam mengambil keputusan instruksional yang tepat dan responsif terhadap kebutuhan nyata siswa, serta memastikan bahwa proses pembelajaran berlangsung secara adil, efektif, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA: ASCD, 2008), 28.

[2]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–70.

[3]                Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching: A Comprehensive Framework for Effective Instruction (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 61.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 22–24.

[5]                Heinich, Robert et al., Instructional Media and Technologies for Learning, 9th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2008), 85–87.

[6]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 139–148.

[7]                Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 53–55.

[8]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2016).

[9]                Kemendikbudristek, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, 19–21.


7.           Tantangan dan Permasalahan dalam Mengidentifikasi Kemampuan Awal

Meskipun pengenalan kemampuan awal peserta didik menjadi fondasi penting dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, implementasi di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Terdapat sejumlah tantangan dan permasalahan yang kerap dihadapi guru, baik yang bersifat teknis, metodologis, maupun struktural. Memahami kendala-kendala ini penting untuk merumuskan strategi yang lebih realistis dan kontekstual dalam pendidikan.

7.1.       Keterbatasan Waktu dan Beban Administratif Guru

Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan waktu yang dimiliki guru untuk melakukan asesmen diagnostik secara menyeluruh. Dalam praktiknya, guru kerap dihadapkan pada tekanan kurikulum, beban administratif, serta jumlah peserta didik yang banyak dalam satu kelas.¹ Akibatnya, identifikasi kemampuan awal sering kali dilakukan secara umum dan terburu-buru, atau bahkan diabaikan sama sekali.

7.2.       Kurangnya Keterampilan Guru dalam Asesmen Diagnostik

Tidak semua guru memiliki kompetensi yang memadai dalam merancang dan menerapkan instrumen asesmen diagnostik. Banyak di antara mereka lebih terbiasa menggunakan asesmen sumatif yang berorientasi pada hasil akhir, daripada asesmen formatif atau diagnostik yang memetakan proses dan kesiapan belajar.² Hal ini juga diperparah oleh kurangnya pelatihan khusus tentang pengembangan asesmen berbasis kemampuan awal dalam program pendidikan guru.³

7.3.       Tidak Tersedianya Instrumen yang Valid dan Andal

Instrumen asesmen yang tersedia di sekolah sering kali belum disesuaikan dengan karakteristik lokal peserta didik, sehingga kurang valid dalam mengukur kemampuan awal secara akurat. Di samping itu, keterbatasan sumber daya digital atau teknologi juga membuat pelaksanaan asesmen berbasis platform digital sulit dilakukan secara merata, terutama di daerah dengan keterbatasan infrastruktur.⁴

7.4.       Heterogenitas Latar Belakang Peserta Didik

Dalam satu kelas, peserta didik memiliki latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan yang sangat beragam. Tingkat literasi awal, akses terhadap sumber belajar, serta pengalaman belajar di rumah sangat memengaruhi kemampuan awal siswa.⁵ Guru harus mampu menavigasi kompleksitas ini untuk memastikan asesmen tidak bias terhadap kelompok tertentu.

7.5.       Persepsi Keliru tentang Fungsi Asesmen

Masih banyak guru yang menganggap asesmen hanya sebagai alat penilaian akhir, bukan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.⁶ Paradigma ini menghambat pemanfaatan asesmen sebagai alat diagnosis awal untuk perencanaan pembelajaran yang efektif. Perubahan paradigma ini membutuhkan pembinaan berkelanjutan serta dukungan kebijakan yang kuat.

7.6.       Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik

Meskipun regulasi seperti Permendikbud No. 22 Tahun 2016 dan panduan Kurikulum Merdeka telah menekankan pentingnya kemampuan awal dalam perencanaan pembelajaran, implementasi di tingkat satuan pendidikan sering belum optimal.⁷ Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya pengawasan, terbatasnya supervisi akademik, serta kurangnya insentif untuk menerapkan pembelajaran berbasis asesmen awal.

7.7.       Minimnya Pemanfaatan Data Asesmen

Data hasil asesmen diagnostik yang telah dikumpulkan sering kali tidak digunakan secara maksimal untuk perancangan strategi pembelajaran lanjutan. Guru terkadang tidak memiliki waktu atau keterampilan untuk menganalisis data secara mendalam dan menjadikannya sebagai dasar pengambilan keputusan instruksional.⁸


Mengatasi berbagai tantangan ini membutuhkan sinergi antara guru, kepala sekolah, pengawas, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk dengan dukungan sistem pelatihan dan regulasi yang lebih aplikatif. Tanpa penanganan yang sistematis dan berkelanjutan, upaya mengenali kemampuan awal peserta didik berisiko menjadi formalitas belaka, yang jauh dari esensi pedagogisnya.


Footnotes

[1]                Robert J. Marzano, Classroom Assessment and Grading That Work (Alexandria, VA: ASCD, 2006), 79.

[2]                Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 48–50.

[3]                Linda Darling-Hammond, Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 156.

[4]                OECD, Teachers and School Leaders as Valued Professionals: Status, Working Conditions and Continuing Professional Learning, TALIS 2018 Results (Paris: OECD Publishing, 2020), 112.

[5]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 13.

[6]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2011), 12.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2016).

[8]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Developing the Theory of Formative Assessment,” Educational Assessment, Evaluation and Accountability 21, no. 1 (2009): 5–31.


8.           Solusi dan Rekomendasi Praktis

Untuk mengoptimalkan peran kemampuan awal dalam proses pembelajaran, diperlukan solusi yang tidak hanya konseptual tetapi juga operasional, kontekstual, dan aplikatif. Strategi-strategi berikut bertujuan menjawab tantangan-tantangan yang telah diuraikan sebelumnya, serta memperkuat praktik pedagogis yang berbasis asesmen awal secara menyeluruh.

8.1.       Penguatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan Berbasis Praktik

Guru perlu dibekali dengan pelatihan khusus yang tidak hanya teoritis, tetapi juga berbasis praktik langsung di kelas, khususnya dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan asesmen diagnostik. Materi pelatihan harus mencakup desain instrumen asesmen awal, analisis data asesmen, serta penerapan hasilnya dalam pembelajaran berdiferensiasi.¹ Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan profesional guru yang berkelanjutan dan kontekstual berpengaruh signifikan terhadap efektivitas asesmen formatif.²

8.2.       Pengembangan Instrumen Asesmen Diagnostik yang Valid dan Kontekstual

Instrumen asesmen awal yang dikembangkan harus mengakomodasi keragaman latar belakang peserta didik dan bersifat fleksibel. Idealnya, instrumen dirancang dalam berbagai bentuk — tes objektif, lembar observasi, angket, hingga asesmen berbasis proyek — dan disesuaikan dengan karakteristik lokal serta kebutuhan spesifik mata pelajaran.³ Dalam konteks Kurikulum Merdeka, guru juga dianjurkan untuk memanfaatkan platform digital seperti Platform Merdeka Mengajar untuk mengakses dan memodifikasi instrumen sesuai dengan kebutuhan.⁴

8.3.       Integrasi Asesmen Awal dalam Perencanaan Rutin Pembelajaran

Kemampuan awal harus menjadi bagian integral dari proses perencanaan pembelajaran, bukan sekadar tambahan atau formalitas. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Modul Ajar perlu memuat strategi identifikasi kemampuan awal secara eksplisit dan terukur, serta menunjukkan bagaimana hasil identifikasi tersebut memengaruhi pemilihan pendekatan, metode, dan aktivitas belajar.⁵

8.4.       Pemanfaatan Teknologi untuk Asesmen Berbasis Data

Pemanfaatan teknologi pendidikan dapat mempermudah pelaksanaan asesmen awal secara efisien dan efektif. Platform seperti Google Forms, Kahoot, atau Learning Management System (LMS) memungkinkan guru memperoleh umpan balik instan dan analisis data secara otomatis, yang dapat langsung digunakan untuk merancang tindak lanjut pembelajaran.⁶ Di daerah dengan keterbatasan akses internet, teknologi lokal atau semi-digital seperti aplikasi offline assessment tools tetap dapat dikembangkan.

8.5.       Kolaborasi Antarguru dan Dukungan Kepemimpinan Sekolah

Identifikasi kemampuan awal akan lebih efektif jika dilakukan dalam kerangka kolaboratif, misalnya melalui komunitas belajar guru (KLG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau tim pengembang sekolah. Kepala sekolah dan pengawas akademik juga perlu memberikan dukungan nyata dalam bentuk supervisi, fasilitasi pengembangan instrumen, serta kebijakan sekolah yang mendorong pembelajaran berbasis asesmen.⁷

8.6.       Reformulasi Kebijakan Berbasis Praktik Baik

Di tingkat sistemik, diperlukan reformulasi kebijakan pendidikan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga berorientasi pada praktik baik yang telah terbukti berhasil. Pemerintah daerah dan pusat perlu mendukung sekolah dengan sumber daya, regulasi yang luwes, serta penghargaan terhadap guru yang mampu mengembangkan pembelajaran berbasis identifikasi kemampuan awal secara efektif.⁸


Dengan penerapan solusi-solusi di atas, diharapkan pengenalan kemampuan awal tidak lagi menjadi hambatan, tetapi justru menjadi pengungkit keberhasilan pembelajaran. Kolaborasi antara guru, sekolah, dan sistem pendidikan secara luas menjadi kunci dalam mewujudkan pembelajaran yang adil, adaptif, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), 152.

[2]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2011), 38–40.

[3]                J. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014), 101–103.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 28–30.

[5]                Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 66.

[6]                OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with AI, Blockchain and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 40–42.

[7]                Andy Hargreaves dan Michael Fullan, Professional Capital: Transforming Teaching in Every School (New York: Teachers College Press, 2012), 96.

[8]                World Bank, Successful Teachers, Successful Students: Recruiting and Supporting Society’s Most Crucial Profession (Washington, DC: World Bank Group, 2019), 72.


9.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Untuk memperkuat argumentasi teoritis dan regulatif mengenai pentingnya kemampuan awal dalam proses pembelajaran, bagian ini menyajikan studi kasus dan praktik baik yang telah terbukti efektif dalam konteks satuan pendidikan. Praktik-praktik ini menunjukkan bagaimana asesmen terhadap kemampuan awal dapat diterapkan secara nyata dan memberikan dampak positif terhadap mutu pembelajaran, keterlibatan siswa, dan pencapaian kompetensi.

9.1.       Studi Kasus 1: Pemanfaatan Asesmen Diagnostik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia (SMP Negeri di Sleman, Yogyakarta)

Sebuah studi tindakan kelas yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa penerapan asesmen diagnostik berbasis literasi awal dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam membaca teks naratif. Guru menggunakan pre-test sederhana berupa isian dan refleksi singkat tentang pengalaman membaca siswa. Hasilnya dimanfaatkan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat penguasaan keterampilan membaca dan memberikan perlakuan yang berbeda (remedial dan pengayaan). Implementasi ini meningkatkan rata-rata skor hasil belajar dari 68 menjadi 82 dalam tiga siklus pembelajaran.¹

Praktik ini sejalan dengan prinsip pembelajaran berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan pentingnya penyesuaian strategi berdasarkan kesiapan belajar siswa.² Guru juga mencatat bahwa keterlibatan emosional siswa meningkat karena merasa materi disesuaikan dengan kemampuannya.

9.2.       Studi Kasus 2: Integrasi Platform Digital untuk Identifikasi Kemampuan Awal (SD Negeri di Surabaya)

Di sebuah SD Negeri di Kota Surabaya, guru kelas tinggi memanfaatkan Google Forms dan Quizizz untuk melakukan asesmen kemampuan awal sebelum memulai tema pelajaran “Energi dan Perubahannya”. Instrumen tersebut mencakup pertanyaan pilihan ganda sederhana, video pendek, dan pertanyaan reflektif. Guru memperoleh data instan yang menunjukkan bahwa sekitar 45% siswa belum memahami konsep dasar energi.

Berdasarkan hasil tersebut, guru menyusun dua model kegiatan awal: kegiatan remedial berupa eksperimen sederhana tentang energi panas dan pengayaan berupa proyek mini tentang sumber energi alternatif. Langkah ini meningkatkan efektivitas pembelajaran karena siswa lebih siap mengikuti kegiatan lanjutan.³

Praktik ini juga memperlihatkan pentingnya penggunaan teknologi dalam mendiagnosis kesiapan belajar secara cepat dan berbasis data, sebagaimana ditekankan dalam pendekatan assessment for learning.⁴

9.3.       Praktik Baik dari Platform Merdeka Mengajar (PMM)

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Platform Merdeka Mengajar telah mendokumentasikan berbagai praktik baik guru di seluruh Indonesia yang memanfaatkan asesmen diagnostik secara kontekstual. Misalnya, guru di Kabupaten Kutai Barat menggunakan asesmen berbasis permainan (gamifikasi) untuk mengenali kemampuan awal siswa dalam matematika dasar. Permainan dirancang agar siswa secara tidak langsung menunjukkan pemahaman tentang bilangan dan operasi dasar. Guru kemudian menganalisis respons siswa sebagai dasar perencanaan pembelajaran.⁵

Praktik ini membuktikan bahwa identifikasi kemampuan awal tidak harus dilakukan dengan cara konvensional. Inovasi dan kreativitas guru menjadi kunci keberhasilan, selama tetap mempertahankan validitas dan tujuan pedagogis dari asesmen tersebut.

9.4.       Implikasi dari Studi Kasus

Dari berbagai studi kasus di atas, dapat disimpulkan beberapa elemen kunci praktik baik:

·                     Guru memiliki kesadaran pedagogis yang tinggi terhadap pentingnya asesmen awal.

·                     Asesmen awal dilakukan dengan instrumen yang sederhana, kontekstual, dan sesuai kebutuhan.

·                     Hasil asesmen digunakan secara konkret dalam pengambilan keputusan instruksional.

·                     Terdapat dukungan kepemimpinan sekolah dan integrasi penggunaan teknologi.

Hal ini membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, selama guru memiliki komitmen, inovasi, dan pemahaman mendalam terhadap esensi pembelajaran berpusat pada peserta didik.


Footnotes

[1]                Siti Aminah, “Penerapan Asesmen Diagnostik untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Siswa,” Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia 8, no. 2 (2022): 110–116.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 21.

[3]                Dwi Wulandari, “Pemanfaatan Media Digital dalam Asesmen Awal Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar,” Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar 5, no. 1 (2023): 45–49.

[4]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2011), 23.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, “Cerita Praktik Baik: Mengenal Kemampuan Siswa Melalui Permainan Matematika,” Platform Merdeka Mengajar, diakses 23 Mei 2025, https://guru.kemdikbud.go.id.


10.       Penutup

Kemampuan awal peserta didik merupakan elemen esensial dalam proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Ia bukan hanya sekadar titik mula dari perjalanan belajar, melainkan juga fondasi yang menentukan arah, kecepatan, dan efektivitas pembelajaran itu sendiri. Ketika guru mengenali dan memetakan kemampuan awal secara akurat, maka proses pembelajaran dapat dirancang secara adaptif, diferensiatif, dan inklusif sesuai dengan kebutuhan nyata siswa.

Berbagai teori psikopedagogis seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme telah menegaskan pentingnya membangun pembelajaran berdasarkan pengalaman dan struktur pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.¹ Dalam regulasi nasional, khususnya Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses dan Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, pemetaan kemampuan awal telah menjadi bagian dari prinsip dasar perencanaan pembelajaran.²

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi asesmen kemampuan awal masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan waktu, kompetensi guru, validitas instrumen, hingga minimnya dukungan sistemik.³ Oleh karena itu, solusi-solusi konkret seperti pelatihan guru, pengembangan instrumen kontekstual, pemanfaatan teknologi digital, serta kolaborasi antarpendidik perlu terus digalakkan.

Studi kasus dan praktik baik yang telah dibahas menunjukkan bahwa inovasi dan komitmen guru mampu mengubah asesmen awal dari sekadar formalitas menjadi alat strategis dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Pendekatan kreatif seperti penggunaan gamifikasi, teknologi sederhana, hingga asesmen berbasis proyek dapat menjadi inspirasi dalam memperluas penerapan yang efektif di berbagai satuan pendidikan.

Lebih jauh, kemampuan awal seharusnya tidak hanya dilihat sebagai aspek teknis dalam perencanaan pembelajaran, tetapi juga sebagai cermin dari filosofi pendidikan yang menghargai keragaman, potensi, dan titik berangkat unik dari setiap peserta didik. Pendidikan yang bermakna tidak dimulai dari apa yang ingin diajarkan guru, tetapi dari apa yang sudah diketahui dan dialami siswa.

Dengan demikian, penguatan peran kemampuan awal dalam sistem pendidikan Indonesia adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya meningkatkan capaian pembelajaran, tetapi juga memperkuat keadilan, keberpihakan, dan relevansi pendidikan dalam menjawab tantangan abad ke-21.


Footnotes

[1]                David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127–129.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2016); Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 19–22.

[3]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Developing the Theory of Formative Assessment,” Educational Assessment, Evaluation and Accountability 21, no. 1 (2009): 6–9; Linda Darling-Hammond, The Right to Learn: A Blueprint for Creating Schools that Work (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 212–214.


Daftar Pustaka

Aminah, S. (2022). Penerapan asesmen diagnostik untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa. Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia, 8(2), 110–116.

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. Longman.

Airasian, P. W., & Russell, M. K. (2012). Classroom assessment: Concepts and applications (8th ed.). McGraw-Hill.

Ausubel, D. P. (1968). Educational psychology: A cognitive view. Holt, Rinehart and Winston.

Black, P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education: Principles, Policy & Practice, 5(1), 7–74.

Black, P., & Wiliam, D. (2009). Developing the theory of formative assessment. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 21(1), 5–31. https://doi.org/10.1007/s11092-008-9068-5

Bloom, B. S. (Ed.). (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook I: Cognitive domain. David McKay Company.

Bloom, B. S., Krathwohl, D. R., & Masia, B. B. (1964). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook II: Affective domain. David McKay Company.

Bransford, J. D., Brown, A. L., & Cocking, R. R. (Eds.). (2000). How people learn: Brain, mind, experience, and school. National Academy Press.

Bruner, J. S. (1960). The process of education. Harvard University Press.

Darling-Hammond, L. (1997). The right to learn: A blueprint for creating schools that work. Jossey-Bass.

Darling-Hammond, L., Banks, J., Zumwalt, K., Gomez, L., Sherin, M. G., Griesdorn, J., & Finn, L.-E. (2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. Jossey-Bass.

Dick, W., Carey, L., & Carey, J. O. (2015). The systematic design of instruction (8th ed.). Pearson.

Earl, L. M. (2003). Assessment as learning: Using classroom assessment to maximize student learning. Corwin Press.

Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning (4th ed.). Holt, Rinehart and Winston.

Hargreaves, A., & Fullan, M. (2012). Professional capital: Transforming teaching in every school. Teachers College Press.

Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S. E. (2008). Instructional media and technologies for learning (9th ed.). Pearson.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemdikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Cerita praktik baik: Mengenal kemampuan siswa melalui permainan matematika. Platform Merdeka Mengajar. https://guru.kemdikbud.go.id

Marzano, R. J. (2006). Classroom assessment and grading that work. ASCD.

Marzano, R. J. (2007). The art and science of teaching: A comprehensive framework for effective instruction. ASCD.

McMillan, J. H. (2014). Classroom assessment: Principles and practice for effective standards-based instruction (6th ed.). Pearson.

Nitko, A. J., & Brookhart, S. M. (2011). Educational assessment of students (7th ed.). Pearson.

OECD. (2020). Teachers and school leaders as valued professionals: Status, working conditions and continuing professional learning (TALIS 2018 results, Volume II). OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/19cf08df-en

OECD. (2021). Digital education outlook 2021: Pushing the frontiers with AI, blockchain and robots. OECD Publishing.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). International Universities Press.

Popham, W. J. (2008). Transformative assessment. ASCD.

Popham, W. J. (2017). Classroom assessment: What teachers need to know (8th ed.). Pearson.

Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Merrill.

Simpson, E. J. (1972). The classification of educational objectives in the psychomotor domain. In The behavioral objectives approach to curriculum development (pp. 50–57). Gryphon House.

Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.

Wertsch, J. V. (1985). Vygotsky and the social formation of mind. Harvard University Press.

Wiliam, D. (2011). Embedded formative assessment. Solution Tree Press.

Wulandari, D. (2023). Pemanfaatan media digital dalam asesmen awal pembelajaran tematik di sekolah dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar, 5(1), 45–49.

World Bank. (2019). Successful teachers, successful students: Recruiting and supporting society’s most crucial profession. World Bank Group.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar