Kemampuan Awal Peserta Didik
Fondasi Strategis dalam Perencanaan dan Implementasi
Pembelajaran
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Kemampuan awal peserta didik merupakan elemen
fundamental dalam merancang pembelajaran yang efektif, adaptif, dan
berkeadilan. Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep, landasan
teoretis, jenis, serta strategi identifikasi kemampuan awal dalam konteks
pendidikan dasar dan menengah. Ditekankan bahwa kemampuan awal mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang harus diidentifikasi secara holistik
melalui asesmen diagnostik, observasi, wawancara, serta pemanfaatan teknologi
digital. Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi di lapangan meliputi
keterbatasan waktu, kompetensi guru, validitas instrumen, serta rendahnya
pemanfaatan data asesmen. Artikel ini menyajikan solusi praktis, termasuk
pelatihan guru, integrasi asesmen dalam perencanaan pembelajaran, dan dukungan
sistemik melalui kebijakan pendidikan. Studi kasus dari satuan pendidikan di
berbagai daerah dan praktik baik dari Platform Merdeka Mengajar memperlihatkan
bahwa asesmen kemampuan awal yang dilakukan secara inovatif dan kontekstual
dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan kualitas pembelajaran. Dengan
demikian, penguatan peran kemampuan awal menjadi kunci dalam mewujudkan
pembelajaran yang bermakna dan berorientasi pada perkembangan peserta didik
secara optimal.
Kata Kunci: Kemampuan awal, asesmen diagnostik, pembelajaran
berdiferensiasi, perencanaan pembelajaran, Kurikulum Merdeka, strategi
pembelajaran, pendidikan berbasis peserta didik.
PEMBAHASAN
Menelaah Kemampuan Awal Peserta Didik
1.
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, pembelajaran yang bermakna
tidak dapat dilepaskan dari pemahaman menyeluruh terhadap karakteristik peserta
didik. Salah satu aspek penting dari karakteristik tersebut adalah kemampuan
awal peserta didik, yakni serangkaian pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang telah dimiliki sebelum proses pembelajaran dimulai. Kemampuan awal menjadi
fondasi utama dalam menentukan titik tolak pengajaran, arah perkembangan
pembelajaran, serta strategi pembelajaran yang tepat dan adaptif.
Pentingnya mengidentifikasi kemampuan awal
ditegaskan dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menyatakan bahwa guru perlu merancang
pembelajaran berdasarkan karakteristik, kemampuan awal, dan latar belakang
peserta didik sebagai bagian dari prinsip penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP). Hal ini menegaskan bahwa asesmen terhadap kemampuan awal
bukan hanya aktivitas tambahan, tetapi merupakan komponen strategis dalam
perencanaan pembelajaran yang efektif dan efisien.¹
Secara teoritis, kemampuan awal merupakan bagian
dari konsep prior knowledge yang dikembangkan dalam berbagai pendekatan
pendidikan. Menurut Ausubel, pembelajaran yang paling efektif adalah ketika
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang telah dimiliki
peserta didik sebelumnya.² Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan bukan
sesuatu yang dipindahkan dari guru ke siswa, tetapi dibangun secara aktif
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.³ Oleh karena itu, mengabaikan
kemampuan awal sama artinya dengan mengabaikan konteks belajar yang dimiliki
oleh setiap individu.
Di sisi lain, tantangan pendidikan abad ke-21
menuntut pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada materi, tetapi juga
pada proses, adaptasi, dan keberagaman. Kurikulum Merdeka yang dicanangkan oleh
Kemendikbudristek Indonesia, misalnya, menekankan pentingnya pembelajaran
berdiferensiasi yang disesuaikan dengan kesiapan belajar, minat, dan profil
belajar peserta didik.⁴ Dalam kerangka ini, kemampuan awal menjadi titik
sentral yang menentukan relevansi konten, pendekatan, dan kedalaman
pembelajaran.
Dengan demikian, pemahaman terhadap kemampuan awal
peserta didik tidak hanya memiliki nilai praktis dalam perencanaan
pembelajaran, tetapi juga bernilai filosofis sebagai wujud penghormatan
terhadap kodrat keunikan peserta didik. Melalui artikel ini, akan diuraikan
secara mendalam konsep kemampuan awal, strategi identifikasi, implikasinya
dalam proses pembelajaran, serta solusi atas tantangan yang dihadapi dalam
praktik di lapangan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemdikbud, 2016).
[2]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.
[3]
Jerome Bruner, The Process of Education
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1960), 72.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 19.
2.
Konsep
Dasar Kemampuan Awal
Kemampuan awal peserta didik merujuk pada tingkat penguasaan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki sebelum mereka mengikuti suatu
proses pembelajaran tertentu. Kemampuan ini mencakup hasil dari pengalaman
belajar sebelumnya, baik yang bersifat formal maupun informal, yang akan
memengaruhi kesiapan dan cara peserta didik memahami materi pembelajaran baru.
Dalam perspektif psikologi pendidikan, kemampuan
awal dikenal sebagai prior knowledge, yang merupakan salah satu
prediktor paling kuat dari keberhasilan belajar peserta didik.¹ Gagné
menjelaskan bahwa kemampuan awal merupakan "kemampuan prasyarat" (entry
behaviors) yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.²
Tanpa pemenuhan kemampuan ini, peserta didik berisiko mengalami hambatan
kognitif dalam memahami materi lanjutan.
Secara konseptual, kemampuan awal tidak hanya
terbatas pada aspek kognitif (pengetahuan dan pemahaman), tetapi juga mencakup
aspek afektif (minat, sikap, motivasi) dan psikomotorik (keterampilan awal yang
berkaitan dengan aktivitas praktis).³ Oleh karena itu, asesmen terhadap
kemampuan awal harus dilakukan secara holistik, tidak hanya dengan tes tulis,
tetapi juga melalui observasi, wawancara, atau penggunaan angket.
Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan
Krathwohl dapat dijadikan kerangka kerja untuk mengidentifikasi kemampuan awal
dalam ranah kognitif secara lebih rinci, mulai dari level ingatan (remember)
hingga evaluasi dan kreasi (create).⁴ Dalam konteks Kurikulum Merdeka, identifikasi
kemampuan awal juga menjadi elemen penting dalam merancang pembelajaran
berdiferensiasi, yang mempertimbangkan kesiapan belajar setiap individu.⁵
Di samping itu, pendekatan konstruktivis dalam
pendidikan menegaskan bahwa setiap peserta didik membawa background
knowledge yang unik ke dalam ruang kelas. Bransford dkk. menyatakan bahwa
semua pembelajaran baru dibangun di atas fondasi pengetahuan yang telah ada,
dan kegagalan dalam mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal peserta
didik dapat menghambat proses pemahaman.⁶ Maka dari itu, kemampuan awal bukan
sekadar “pra-syarat administratif”, melainkan komponen kognitif-psikologis yang
esensial untuk pembelajaran yang efektif.
Dengan memahami konsep ini, guru dapat menyusun
strategi pembelajaran yang lebih adaptif, responsif, dan sesuai dengan tingkat
kesiapan peserta didik. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan yang
menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses belajar.
Footnotes
[1]
John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R.
Cocking, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School
(Washington, DC: National Academy Press, 2000), 10.
[2]
Robert M. Gagné, The Conditions of Learning
(New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 92.
[3]
Benjamin S. Bloom, Taxonomy of Educational
Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive
Domain (New York: David McKay Company, 1956), xxv.
[4]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy
of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 21.
[6]
Bransford, Brown, dan Cocking, How People Learn,
11.
3.
Landasan
Teoretis dan Psikopedagogis
Pemahaman mengenai kemampuan
awal peserta didik berakar dari berbagai teori pendidikan dan
psikologi perkembangan yang telah lama dikembangkan oleh para ahli. Setiap
pendekatan teoritis memberikan sumbangsih penting dalam menjelaskan bagaimana
kemampuan awal memengaruhi proses belajar dan bagaimana guru seharusnya
meresponsnya dalam praktik pembelajaran.
3.1. Perspektif Behavioristik
Dalam pendekatan
behavioristik, pembelajaran dianggap sebagai hasil dari stimulus dan respons
yang dapat diamati dan diukur. Teori ini menekankan pentingnya penguatan (reinforcement)
dalam membentuk perilaku belajar yang diinginkan. Kemampuan awal dalam konteks
ini dipandang sebagai keterampilan atau respons yang sudah terbentuk melalui
pengalaman sebelumnya.⁽¹⁾ Guru berperan sebagai pengendali lingkungan belajar
yang memberikan stimulus tepat untuk memunculkan respons yang diharapkan, berdasarkan
tingkat kemampuan yang telah dimiliki peserta didik.
3.2. Perspektif Kognitivistik
Pendekatan
kognitivistik menekankan proses mental internal dalam pembelajaran. Menurut
teori ini, peserta didik bukan sekadar responden pasif terhadap stimulus,
melainkan pemroses aktif informasi. Kemampuan awal dianggap sebagai struktur
kognitif yang sudah ada dalam skema berpikir siswa, yang menjadi dasar untuk
menyerap dan mengorganisasi informasi baru. Jean Piaget, salah satu tokoh utama
pendekatan ini, berpendapat bahwa peserta didik harus mengalami proses
asimilasi dan akomodasi untuk mencapai keseimbangan kognitif (equilibration)
dalam belajar.⁽²⁾ Oleh karena itu, pembelajaran akan lebih berhasil apabila
materi baru disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual dan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa.
3.3. Perspektif Konstruktivistik
Teori
konstruktivisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Vygotsky dan Bruner,
melihat peserta didik sebagai pembangun aktif makna dari pengalaman belajarnya.
Dalam kerangka ini, kemampuan awal merupakan fondasi utama dalam konstruksi
pengetahuan baru. Vygotsky memperkenalkan konsep Zona
Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development/ZPD),
yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditunjukkan oleh kemampuan
mandiri peserta didik dan tingkat potensi perkembangan yang dapat dicapai
dengan bantuan.⁽³⁾ Untuk itu, pembelajaran yang efektif adalah yang berlangsung
di dalam ZPD, dengan mengacu pada kemampuan awal sebagai titik awal intervensi
pendidik.
3.4. Perspektif Humanistik dan Sosiokultural
Pendekatan
humanistik menekankan pentingnya motivasi, aktualisasi diri, dan pengalaman
personal dalam belajar. Dalam pandangan ini, kemampuan awal tidak hanya dilihat
dari aspek kognitif, tetapi juga dari kesiapan emosional dan sosial peserta
didik.⁽⁴⁾ Sementara itu, perspektif sosiokultural menekankan bahwa pengetahuan
dan kemampuan seseorang dipengaruhi secara signifikan oleh konteks sosial dan
budaya tempat mereka tumbuh.⁽⁵⁾ Oleh sebab itu, pemetaan kemampuan awal harus
mempertimbangkan konteks kehidupan siswa, latar belakang keluarga, bahasa, dan
lingkungan sosial.
3.5. Implikasi Psikopedagogis
Dari sudut pandang
pedagogis, pemahaman terhadap kemampuan awal memiliki implikasi langsung
terhadap pendekatan, strategi, dan media pembelajaran yang akan digunakan. Guru
yang mampu memetakan kemampuan awal dengan baik akan lebih mudah menerapkan
pembelajaran diferensiasi, remedial, ataupun pengayaan sesuai dengan kebutuhan
nyata peserta didik. Hal ini juga menjadi cerminan dari prinsip assessment
for learning, yang menempatkan asesmen sebagai alat untuk merancang
pengalaman belajar, bukan sekadar mengukur hasil akhir.⁽⁶⁾
Dengan demikian,
landasan teoretis dan psikopedagogis ini menegaskan bahwa kemampuan awal
bukanlah sekadar data tambahan, melainkan titik pijak yang sangat strategis
dalam merancang pembelajaran yang bermakna, adil, dan inklusif.
Footnotes
[1]
B.F. Skinner, The Technology of Teaching (New York:
Appleton-Century-Crofts, 1968), 28–35.
[2]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–4.
[3]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86.
[4]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill
Publishing Company, 1969), 106–108.
[5]
James V. Wertsch, Vygotsky and the Social Formation of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 14.
[6]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment
in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.
4.
Jenis
dan Aspek Kemampuan Awal
Kemampuan awal
peserta didik tidak bersifat tunggal, melainkan multidimensional. Untuk
memahami dan mengidentifikasinya secara tepat, guru perlu mengenali berbagai jenis
dan aspek
kemampuan awal yang mencerminkan kompleksitas kesiapan belajar peserta didik.
Klasifikasi ini tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga berdampak
langsung pada penyusunan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
4.1. Jenis Kemampuan Awal
Secara umum,
kemampuan awal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis utama:
1)
Kemampuan Kognitif
Meliputi pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan
berpikir yang telah dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Termasuk di
dalamnya adalah prior knowledge tentang konsep, prinsip, atau prosedur
yang berkaitan dengan materi baru.¹ Asesmen kemampuan kognitif dapat dilakukan
melalui pre-test, diskusi awal, atau penggalian pemahaman konseptual.
2)
Kemampuan Afektif
Mencakup aspek sikap, minat, motivasi, dan nilai
yang dianut peserta didik dalam konteks belajar.² Peserta didik yang memiliki
sikap positif terhadap mata pelajaran tertentu cenderung menunjukkan kesiapan
belajar yang lebih tinggi. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada minat
belajar dapat meningkatkan efektivitas penyampaian materi.
3)
Kemampuan Psikomotorik
Berkaitan dengan keterampilan awal dalam
melakukan tugas-tugas praktis atau manipulatif yang relevan dengan topik
pembelajaran.³ Misalnya, dalam pelajaran seni atau IPA, keterampilan
menggunting, menggambar, menggunakan alat ukur, atau melakukan eksperimen
menjadi indikator kemampuan awal psikomotorik.
4.2. Aspek-Aspek Kemampuan Awal dalam Taksonomi
Pendidikan
Mengacu pada taksonomi
tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Bloom dan diperbarui
oleh Anderson & Krathwohl, kemampuan awal dapat dianalisis melalui tiga
domain utama:
1)
Domain Kognitif:
mencakup level berpikir mulai dari mengingat (remembering) hingga mencipta
(creating).⁴
2)
Domain Afektif:
mencakup penerimaan, respon, penghargaan nilai, hingga internalisasi nilai.⁵
3)
Domain Psikomotorik:
seperti yang dijelaskan oleh Simpson, meliputi persepsi, kesiapan, gerakan
terpimpin, dan keterampilan terbiasa.⁶
Aspek-aspek ini
perlu diperhitungkan secara menyeluruh dalam asesmen kemampuan awal karena
ketidaktepatan dalam mengidentifikasi salah satu aspek bisa berakibat pada
kesenjangan antara materi yang diajarkan dengan tingkat kesiapan peserta didik.
4.3. Keterkaitan Antaraspek
Dalam praktik pembelajaran,
ketiga aspek kemampuan awal ini saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan.
Misalnya, seorang peserta didik dengan kemampuan kognitif tinggi dalam
matematika mungkin mengalami kesulitan dalam pembelajaran jika tidak memiliki
sikap positif terhadap mata pelajaran tersebut (aspek afektif) atau jika belum
menguasai keterampilan dasar penggunaan alat ukur (aspek psikomotorik).
Untuk itu, guru
dituntut tidak hanya fokus pada pengukuran kemampuan kognitif semata, tetapi
juga melakukan observasi dan penggalian terhadap faktor afektif dan
psikomotorik yang menyertainya. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran
holistik dan berpusat pada peserta didik
yang ditekankan dalam Kurikulum Merdeka.⁷
Footnotes
[1]
John D. Bransford, Ann L. Brown, dan Rodney R. Cocking, How People
Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Washington, DC: National
Academy Press, 2000), 10–12.
[2]
Benjamin S. Bloom et al., Taxonomy of Educational Objectives: The
Classification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain (New
York: David McKay Company, 1964), 8–10.
[3]
Elizabeth J. Simpson, “The Classification of Educational Objectives in
the Psychomotor Domain,” The Behavioral Objectives Approach to Curriculum
Development (Washington, DC: Gryphon House, 1972), 50–52.
[4]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational
Objectives (New York: Longman, 2001), 67.
[5]
Bloom et al., Taxonomy of Educational Objectives, Affective
Domain, 15–20.
[6]
Simpson, “The Classification of Educational Objectives,” 54–57.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 22–24.
5.
Strategi
Identifikasi Kemampuan Awal
Agar proses
pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, guru perlu memahami tingkat
kemampuan awal yang dimiliki oleh peserta didik sebelum memasuki materi
pembelajaran baru. Proses identifikasi ini merupakan langkah krusial dalam
perencanaan pembelajaran yang adaptif dan diferensiatif. Kurikulum Merdeka
secara eksplisit menekankan pentingnya pemetaan kesiapan belajar peserta didik
sebagai dasar perancangan pembelajaran berdiferensiasi.¹ Oleh karena itu,
dibutuhkan strategi yang tepat, terencana, dan sistematis untuk menggali
informasi mengenai kemampuan awal secara komprehensif.
5.1. Asesmen Diagnostik
Asesmen diagnostik
adalah alat utama dalam mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik. Asesmen
ini dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat penguasaan prasyarat pengetahuan, keterampilan, serta
kesiapan belajar siswa terhadap materi yang akan diajarkan.² Instrumen asesmen
diagnostik dapat berupa:
·
Tes
tertulis (pilihan ganda, uraian singkat, atau isian) untuk
mengukur pengetahuan konseptual.
·
Tes
praktik untuk keterampilan psikomotorik awal.
·
Angket
atau kuesioner untuk mengevaluasi aspek afektif seperti minat,
motivasi, dan sikap terhadap pembelajaran.³
5.2. Wawancara dan Diskusi Terbimbing
Guru juga dapat
menggunakan metode wawancara atau diskusi
terarah untuk mengeksplorasi latar belakang pengetahuan dan
pengalaman belajar peserta didik. Strategi ini sangat bermanfaat dalam konteks
pembelajaran yang bersifat kualitatif, seperti dalam pelajaran humaniora atau
seni. Teknik ini memungkinkan guru memahami bagaimana siswa mengaitkan
informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.⁴
5.3. Observasi Langsung
Observasi merupakan
teknik non-tes yang memberikan gambaran nyata mengenai kemampuan awal peserta
didik dalam konteks perilaku belajar. Guru dapat mengamati cara siswa
berinteraksi, menyelesaikan tugas, menggunakan alat bantu belajar, atau
menunjukkan minat terhadap suatu topik.⁵ Teknik ini dapat dipadukan dengan
lembar observasi yang memuat indikator keterampilan, sikap, dan kebiasaan
belajar yang relevan.
5.4. Analisis Hasil Belajar Sebelumnya
Data dari rapor,
hasil
asesmen formatif sebelumnya, atau portofolio
belajar juga dapat digunakan sebagai sumber informasi penting
dalam memetakan kemampuan awal. Analisis longitudinal terhadap hasil belajar
ini memungkinkan guru melihat pola perkembangan peserta didik dan memperkirakan
kesiapan mereka dalam menerima materi selanjutnya.⁶
5.5. Penggunaan Teknologi dan Platform Digital
Dalam konteks
pembelajaran abad ke-21, pemanfaatan platform digital seperti
Learning Management System (LMS), aplikasi kuis daring (misalnya Kahoot,
Quizizz, atau Google Forms), serta asesmen berbasis AI dapat mempercepat dan
mempermudah proses identifikasi kemampuan awal. Strategi ini juga dapat
memberikan umpan balik cepat (instant
feedback) dan data analitik yang membantu guru dalam mengambil keputusan
pembelajaran.⁷
5.6. Prinsip-Prinsip Identifikasi Kemampuan Awal
Dalam penerapannya,
identifikasi kemampuan awal harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
·
Validitas:
instrumen harus mengukur apa yang memang ingin diketahui.
·
Reliabilitas:
hasil asesmen konsisten bila digunakan dalam waktu dan situasi berbeda.
·
Keadilan:
memperhitungkan keberagaman latar belakang siswa.
·
Keterpaduan:
informasi dikumpulkan dari berbagai sumber dan metode asesmen.⁸
Dengan penerapan
strategi yang tepat dan beragam, guru akan memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai kemampuan awal peserta didik. Hasil dari proses ini akan menjadi dasar
dalam menyusun pembelajaran yang tidak hanya efektif, tetapi juga berkeadilan
dan inklusif.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 20–22.
[2]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 104.
[3]
Peter W. Airasian dan Michael K. Russell, Classroom Assessment:
Concepts and Applications, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2012), 92–95.
[4]
Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching: A Comprehensive
Framework for Effective Instruction (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 44–46.
[5]
J. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for
Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014),
118–120.
[6]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 51.
[7]
OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with
AI, Blockchain and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 37–40.
[8]
Nitko, Anthony J., dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment
of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 129–132.
6.
Peran
Kemampuan Awal dalam Perencanaan Pembelajaran
Kemampuan awal
peserta didik memegang peranan sentral dalam perencanaan pembelajaran yang
efektif, terstruktur, dan berorientasi pada kebutuhan belajar yang beragam.
Perencanaan pembelajaran bukan sekadar penyusunan RPP atau kegiatan
administratif, melainkan sebuah proses strategis yang bertujuan menciptakan
pengalaman belajar yang bermakna dan relevan bagi setiap individu. Dalam
konteks tersebut, kemampuan awal berfungsi sebagai baseline untuk menentukan titik
awal pengajaran, serta acuan dalam menyusun strategi pembelajaran yang adaptif
dan berdiferensiasi.
6.1. Dasar dalam Merancang Tujuan Pembelajaran
Kemampuan awal
menjadi dasar penting dalam merumuskan tujuan pembelajaran yang realistis,
terukur, dan sesuai dengan tingkat kesiapan peserta didik.
Perencanaan yang mengabaikan kemampuan awal berisiko menetapkan target yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah, yang pada akhirnya menghambat pencapaian
kompetensi.¹ Taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl dapat digunakan
untuk mengarahkan tujuan berdasarkan level kemampuan awal yang teridentifikasi,
dari mengingat hingga mencipta.²
6.2. Penentu Strategi, Model, dan Pendekatan
Pembelajaran
Guru dapat memilih pendekatan
pembelajaran yang sesuai (seperti kontekstual, saintifik, atau
inquiry-based) berdasarkan hasil identifikasi kemampuan awal. Misalnya, peserta
didik yang telah memiliki pengetahuan konseptual kuat dapat diajak untuk
mengeksplorasi topik secara lebih mendalam melalui pembelajaran berbasis proyek
(project-based
learning), sedangkan yang masih rendah dapat diberikan pendekatan direct
instruction terlebih dahulu.³
Kemampuan awal juga
memengaruhi pemilihan model pembelajaran,
seperti kooperatif, diferensiasi, atau blended learning, sesuai dengan kesiapan
dan profil belajar siswa. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran
diferensiatif dalam Kurikulum Merdeka yang menyesuaikan pembelajaran dengan
kesiapan, minat, dan gaya belajar peserta didik.⁴
6.3. Landasan untuk Mendesain Materi dan Media
Pembelajaran
Guru perlu mengadaptasi
bahan ajar dan media pembelajaran berdasarkan tingkat kemampuan
awal. Siswa yang sudah familiar dengan topik tertentu dapat diberikan sumber
belajar yang menantang dan eksploratif, sedangkan siswa dengan kemampuan awal
rendah membutuhkan media yang lebih konkret, visual, dan interaktif.⁵
Penggunaan teknologi pendidikan juga dapat disesuaikan: platform digital dapat
mendukung kebutuhan belajar yang bervariasi dengan fitur personalisasi dan
interaktivitas.
6.4. Panduan Penentuan Kegiatan Pembelajaran dan
Penilaian
Kemampuan awal
memberikan informasi penting dalam menyusun langkah-langkah kegiatan pembelajaran,
mulai dari kegiatan pendahuluan hingga penutup. Guru dapat menyusun kegiatan
awal yang membangun koneksi antara pengetahuan lama dan baru, sebagai bentuk
aktivasi skemata. Selain itu, dalam hal penilaian, asesmen formatif maupun
sumatif harus disesuaikan dengan profil kemampuan awal agar valid dalam
mengukur perkembangan belajar.⁶
6.5. Instrumen dalam Pemetaan Kebutuhan Remedial dan
Pengayaan
Peserta didik dengan
kemampuan awal yang belum memadai dapat segera diberikan intervensi
berupa pembelajaran remedial, sementara mereka yang sudah
menguasai materi dapat diarahkan pada pengayaan (enrichment). Dengan
cara ini, pembelajaran menjadi lebih inklusif dan tidak menyamaratakan kecepatan
belajar semua siswa.⁷
6.6. Relevansi terhadap Standar Nasional dan Regulasi
Pendidikan
Permendikbud No. 22
Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan menyatakan bahwa guru wajib
memperhatikan kemampuan awal siswa dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran.⁸ Dalam Kurikulum Merdeka, hal ini diperkuat dengan prinsip
pembelajaran yang fleksibel, berbasis asesmen diagnostik, dan berpusat pada
peserta didik.⁹
Dengan demikian,
kemampuan awal berfungsi sebagai kompas pedagogis dalam perencanaan
pembelajaran. Ia menuntun guru dalam mengambil keputusan instruksional yang
tepat dan responsif terhadap kebutuhan nyata siswa, serta memastikan bahwa
proses pembelajaran berlangsung secara adil, efektif, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA:
ASCD, 2008), 28.
[2]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives (New York: Longman, 2001), 67–70.
[3]
Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching: A Comprehensive
Framework for Effective Instruction (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 61.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 22–24.
[5]
Heinich, Robert et al., Instructional Media and Technologies for
Learning, 9th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2008), 85–87.
[6]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards
Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998):
139–148.
[7]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
53–55.
[8]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016
tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2016).
[9]
Kemendikbudristek, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka, 19–21.
7.
Tantangan
dan Permasalahan dalam Mengidentifikasi Kemampuan Awal
Meskipun pengenalan
kemampuan awal peserta didik menjadi fondasi penting dalam proses perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran, implementasi di lapangan tidak selalu berjalan
mulus. Terdapat sejumlah tantangan dan permasalahan yang
kerap dihadapi guru, baik yang bersifat teknis, metodologis, maupun struktural.
Memahami kendala-kendala ini penting untuk merumuskan strategi yang lebih
realistis dan kontekstual dalam pendidikan.
7.1. Keterbatasan Waktu dan Beban Administratif Guru
Salah satu tantangan
utama adalah keterbatasan waktu yang
dimiliki guru untuk melakukan asesmen diagnostik secara menyeluruh. Dalam
praktiknya, guru kerap dihadapkan pada tekanan kurikulum, beban administratif,
serta jumlah peserta didik yang banyak dalam satu kelas.¹ Akibatnya,
identifikasi kemampuan awal sering kali dilakukan secara umum dan terburu-buru,
atau bahkan diabaikan sama sekali.
7.2. Kurangnya Keterampilan Guru dalam Asesmen
Diagnostik
Tidak semua guru
memiliki kompetensi yang memadai dalam merancang dan
menerapkan instrumen asesmen diagnostik. Banyak di antara
mereka lebih terbiasa menggunakan asesmen sumatif yang berorientasi pada hasil
akhir, daripada asesmen formatif atau diagnostik yang memetakan proses dan
kesiapan belajar.² Hal ini juga diperparah oleh kurangnya pelatihan khusus
tentang pengembangan asesmen berbasis kemampuan awal dalam program pendidikan
guru.³
7.3. Tidak Tersedianya Instrumen yang Valid dan Andal
Instrumen asesmen
yang tersedia di sekolah sering kali belum disesuaikan dengan karakteristik
lokal peserta didik, sehingga kurang valid dalam mengukur
kemampuan awal secara akurat. Di samping itu, keterbatasan sumber daya digital
atau teknologi juga membuat pelaksanaan asesmen berbasis platform digital sulit
dilakukan secara merata, terutama di daerah dengan keterbatasan infrastruktur.⁴
7.4. Heterogenitas Latar Belakang Peserta Didik
Dalam satu kelas,
peserta didik memiliki latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan
pendidikan yang sangat beragam. Tingkat literasi awal, akses
terhadap sumber belajar, serta pengalaman belajar di rumah sangat memengaruhi
kemampuan awal siswa.⁵ Guru harus mampu menavigasi kompleksitas ini untuk
memastikan asesmen tidak bias terhadap kelompok tertentu.
7.5. Persepsi Keliru tentang Fungsi Asesmen
Masih banyak guru
yang menganggap asesmen hanya sebagai alat penilaian akhir, bukan
sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.⁶ Paradigma ini menghambat
pemanfaatan asesmen sebagai alat diagnosis awal untuk perencanaan pembelajaran
yang efektif. Perubahan paradigma ini membutuhkan pembinaan berkelanjutan serta
dukungan kebijakan yang kuat.
7.6. Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik
Meskipun regulasi
seperti Permendikbud No. 22 Tahun 2016
dan panduan Kurikulum Merdeka telah menekankan pentingnya kemampuan awal dalam
perencanaan pembelajaran, implementasi di tingkat satuan pendidikan
sering belum optimal.⁷ Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya
pengawasan, terbatasnya supervisi akademik, serta kurangnya insentif untuk
menerapkan pembelajaran berbasis asesmen awal.
7.7. Minimnya Pemanfaatan Data Asesmen
Data hasil asesmen
diagnostik yang telah dikumpulkan sering kali tidak digunakan secara maksimal
untuk perancangan
strategi pembelajaran lanjutan. Guru terkadang tidak memiliki
waktu atau keterampilan untuk menganalisis data secara mendalam dan
menjadikannya sebagai dasar pengambilan keputusan instruksional.⁸
Mengatasi berbagai
tantangan ini membutuhkan sinergi antara guru, kepala sekolah, pengawas,
dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk dengan dukungan
sistem pelatihan dan regulasi yang lebih aplikatif. Tanpa penanganan yang
sistematis dan berkelanjutan, upaya mengenali kemampuan awal peserta didik
berisiko menjadi formalitas belaka, yang jauh dari esensi pedagogisnya.
Footnotes
[1]
Robert J. Marzano, Classroom Assessment and Grading That Work
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 79.
[2]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
48–50.
[3]
Linda Darling-Hammond, Powerful Teacher Education: Lessons from
Exemplary Programs (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 156.
[4]
OECD, Teachers and School Leaders as Valued Professionals: Status,
Working Conditions and Continuing Professional Learning, TALIS 2018
Results (Paris: OECD Publishing, 2020), 112.
[5]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to
the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 13.
[6]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN:
Solution Tree Press, 2011), 12.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016
tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2016).
[8]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Developing the Theory of Formative
Assessment,” Educational Assessment, Evaluation and Accountability 21,
no. 1 (2009): 5–31.
8.
Solusi
dan Rekomendasi Praktis
Untuk mengoptimalkan
peran kemampuan awal dalam proses pembelajaran, diperlukan solusi yang tidak
hanya konseptual tetapi juga operasional, kontekstual, dan aplikatif.
Strategi-strategi berikut bertujuan menjawab tantangan-tantangan yang telah
diuraikan sebelumnya, serta memperkuat praktik pedagogis yang berbasis asesmen awal
secara menyeluruh.
8.1. Penguatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan
Berbasis Praktik
Guru perlu dibekali
dengan pelatihan khusus yang tidak hanya teoritis, tetapi juga berbasis
praktik langsung di kelas, khususnya dalam hal perencanaan,
pelaksanaan, dan pemanfaatan asesmen diagnostik. Materi pelatihan harus
mencakup desain instrumen asesmen awal, analisis data asesmen, serta penerapan
hasilnya dalam pembelajaran berdiferensiasi.¹ Penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan profesional guru yang berkelanjutan dan kontekstual berpengaruh
signifikan terhadap efektivitas asesmen formatif.²
8.2. Pengembangan Instrumen Asesmen Diagnostik yang
Valid dan Kontekstual
Instrumen asesmen
awal yang dikembangkan harus mengakomodasi keragaman latar belakang peserta
didik dan bersifat fleksibel. Idealnya, instrumen dirancang
dalam berbagai bentuk — tes objektif, lembar observasi, angket, hingga asesmen
berbasis proyek — dan disesuaikan dengan karakteristik lokal serta kebutuhan
spesifik mata pelajaran.³ Dalam konteks Kurikulum Merdeka, guru juga dianjurkan
untuk memanfaatkan platform digital seperti Platform Merdeka Mengajar untuk
mengakses dan memodifikasi instrumen sesuai dengan kebutuhan.⁴
8.3. Integrasi Asesmen Awal dalam Perencanaan Rutin
Pembelajaran
Kemampuan awal harus
menjadi bagian integral dari proses perencanaan pembelajaran,
bukan sekadar tambahan atau formalitas. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
atau Modul Ajar perlu memuat strategi identifikasi kemampuan awal secara
eksplisit dan terukur, serta menunjukkan bagaimana hasil identifikasi tersebut
memengaruhi pemilihan pendekatan, metode, dan aktivitas belajar.⁵
8.4. Pemanfaatan Teknologi untuk Asesmen Berbasis Data
Pemanfaatan teknologi
pendidikan dapat mempermudah pelaksanaan asesmen awal secara
efisien dan efektif. Platform seperti Google Forms, Kahoot, atau Learning
Management System (LMS) memungkinkan guru memperoleh umpan balik instan dan
analisis data secara otomatis, yang dapat langsung digunakan untuk merancang
tindak lanjut pembelajaran.⁶ Di daerah dengan keterbatasan akses internet,
teknologi lokal atau semi-digital seperti aplikasi offline assessment tools tetap
dapat dikembangkan.
8.5. Kolaborasi Antarguru dan Dukungan Kepemimpinan
Sekolah
Identifikasi
kemampuan awal akan lebih efektif jika dilakukan dalam kerangka
kolaboratif, misalnya melalui komunitas belajar guru (KLG),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau tim pengembang sekolah. Kepala
sekolah dan pengawas akademik juga perlu memberikan dukungan nyata dalam bentuk
supervisi, fasilitasi pengembangan instrumen, serta kebijakan sekolah yang
mendorong pembelajaran berbasis asesmen.⁷
8.6. Reformulasi Kebijakan Berbasis Praktik Baik
Di tingkat sistemik,
diperlukan reformulasi kebijakan pendidikan
yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga berorientasi pada praktik baik yang
telah terbukti berhasil. Pemerintah daerah dan pusat perlu mendukung sekolah
dengan sumber daya, regulasi yang luwes, serta penghargaan terhadap guru yang
mampu mengembangkan pembelajaran berbasis identifikasi kemampuan awal secara
efektif.⁸
Dengan penerapan
solusi-solusi di atas, diharapkan pengenalan kemampuan awal tidak lagi menjadi
hambatan, tetapi justru menjadi pengungkit keberhasilan pembelajaran.
Kolaborasi antara guru, sekolah, dan sistem pendidikan secara luas menjadi
kunci dalam mewujudkan pembelajaran yang adil, adaptif, dan bermakna.
Footnotes
[1]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing
World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco:
Jossey-Bass, 2005), 152.
[2]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN:
Solution Tree Press, 2011), 38–40.
[3]
J. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for
Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014),
101–103.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 28–30.
[5]
Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching (Alexandria,
VA: ASCD, 2007), 66.
[6]
OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with
AI, Blockchain and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 40–42.
[7]
Andy Hargreaves dan Michael Fullan, Professional Capital:
Transforming Teaching in Every School (New York: Teachers College Press,
2012), 96.
[8]
World Bank, Successful Teachers, Successful Students: Recruiting
and Supporting Society’s Most Crucial Profession (Washington, DC: World
Bank Group, 2019), 72.
9.
Studi
Kasus dan Praktik Baik
Untuk memperkuat
argumentasi teoritis dan regulatif mengenai pentingnya kemampuan awal dalam
proses pembelajaran, bagian ini menyajikan studi kasus dan praktik baik
yang telah terbukti efektif dalam konteks satuan pendidikan. Praktik-praktik
ini menunjukkan bagaimana asesmen terhadap kemampuan awal dapat diterapkan
secara nyata dan memberikan dampak positif terhadap mutu pembelajaran,
keterlibatan siswa, dan pencapaian kompetensi.
9.1. Studi Kasus 1: Pemanfaatan Asesmen Diagnostik dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia (SMP Negeri di Sleman, Yogyakarta)
Sebuah studi
tindakan kelas yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP
Negeri di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa penerapan asesmen
diagnostik berbasis literasi awal dapat meningkatkan
keterlibatan siswa dalam membaca teks naratif. Guru menggunakan pre-test
sederhana berupa isian dan refleksi singkat tentang pengalaman membaca siswa.
Hasilnya dimanfaatkan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat
penguasaan keterampilan membaca dan memberikan perlakuan yang
berbeda (remedial dan pengayaan). Implementasi ini meningkatkan rata-rata skor
hasil belajar dari 68 menjadi 82 dalam tiga siklus pembelajaran.¹
Praktik ini sejalan
dengan prinsip pembelajaran berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka yang
menekankan pentingnya penyesuaian strategi berdasarkan kesiapan
belajar siswa.² Guru juga mencatat bahwa keterlibatan emosional
siswa meningkat karena merasa materi disesuaikan dengan kemampuannya.
9.2. Studi Kasus 2: Integrasi Platform Digital untuk
Identifikasi Kemampuan Awal (SD Negeri di Surabaya)
Di sebuah SD Negeri
di Kota Surabaya, guru kelas tinggi memanfaatkan Google
Forms dan Quizizz untuk melakukan asesmen
kemampuan awal sebelum memulai tema pelajaran “Energi dan Perubahannya”.
Instrumen tersebut mencakup pertanyaan pilihan ganda sederhana, video pendek,
dan pertanyaan reflektif. Guru memperoleh data instan yang menunjukkan
bahwa sekitar 45% siswa belum memahami konsep dasar energi.
Berdasarkan hasil
tersebut, guru menyusun dua model kegiatan awal: kegiatan remedial berupa
eksperimen sederhana tentang energi panas dan pengayaan berupa proyek mini
tentang sumber energi alternatif. Langkah ini meningkatkan efektivitas
pembelajaran karena siswa lebih siap mengikuti kegiatan lanjutan.³
Praktik ini juga memperlihatkan
pentingnya penggunaan teknologi dalam mendiagnosis kesiapan belajar secara cepat dan
berbasis data, sebagaimana ditekankan dalam pendekatan assessment
for learning.⁴
9.3. Praktik Baik dari Platform Merdeka Mengajar (PMM)
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Platform
Merdeka Mengajar telah mendokumentasikan berbagai praktik baik
guru di seluruh Indonesia yang memanfaatkan asesmen diagnostik secara
kontekstual. Misalnya, guru di Kabupaten Kutai Barat menggunakan asesmen berbasis
permainan (gamifikasi) untuk mengenali kemampuan awal siswa dalam matematika
dasar. Permainan dirancang agar siswa secara tidak langsung menunjukkan
pemahaman tentang bilangan dan operasi dasar. Guru kemudian menganalisis
respons siswa sebagai dasar perencanaan pembelajaran.⁵
Praktik ini
membuktikan bahwa identifikasi kemampuan awal tidak harus dilakukan dengan cara
konvensional. Inovasi dan kreativitas guru
menjadi kunci keberhasilan, selama tetap mempertahankan validitas dan tujuan
pedagogis dari asesmen tersebut.
9.4. Implikasi dari Studi Kasus
Dari berbagai studi kasus di atas, dapat disimpulkan beberapa elemen kunci
praktik baik:
·
Guru memiliki kesadaran
pedagogis yang tinggi terhadap pentingnya asesmen awal.
·
Asesmen awal dilakukan
dengan instrumen yang sederhana, kontekstual,
dan sesuai kebutuhan.
·
Hasil asesmen digunakan
secara konkret dalam pengambilan keputusan instruksional.
·
Terdapat dukungan
kepemimpinan sekolah dan integrasi penggunaan teknologi.
Hal ini membuktikan
bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, selama guru memiliki komitmen, inovasi,
dan pemahaman mendalam terhadap esensi pembelajaran berpusat pada peserta
didik.
Footnotes
[1]
Siti Aminah, “Penerapan Asesmen Diagnostik untuk Meningkatkan Kemampuan
Membaca Siswa,” Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia 8, no. 2 (2022):
110–116.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 21.
[3]
Dwi Wulandari, “Pemanfaatan Media Digital dalam Asesmen Awal
Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar,” Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar
5, no. 1 (2023): 45–49.
[4]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington, IN:
Solution Tree Press, 2011), 23.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, “Cerita Praktik Baik: Mengenal Kemampuan Siswa Melalui Permainan
Matematika,” Platform Merdeka Mengajar, diakses 23 Mei 2025, https://guru.kemdikbud.go.id.
10. Penutup
Kemampuan awal peserta didik merupakan elemen
esensial dalam proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Ia bukan
hanya sekadar titik mula dari perjalanan belajar, melainkan juga fondasi yang
menentukan arah, kecepatan, dan efektivitas pembelajaran itu sendiri. Ketika
guru mengenali dan memetakan kemampuan awal secara akurat, maka proses
pembelajaran dapat dirancang secara adaptif, diferensiatif, dan inklusif sesuai
dengan kebutuhan nyata siswa.
Berbagai teori psikopedagogis seperti behaviorisme,
kognitivisme, dan konstruktivisme telah menegaskan pentingnya membangun
pembelajaran berdasarkan pengalaman dan struktur pengetahuan yang telah
dimiliki peserta didik.¹ Dalam regulasi nasional, khususnya Permendikbud No.
22 Tahun 2016 tentang Standar Proses dan Panduan Pembelajaran dan
Asesmen Kurikulum Merdeka, pemetaan kemampuan awal telah menjadi bagian
dari prinsip dasar perencanaan pembelajaran.²
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa
implementasi asesmen kemampuan awal masih menghadapi berbagai tantangan,
seperti keterbatasan waktu, kompetensi guru, validitas instrumen, hingga
minimnya dukungan sistemik.³ Oleh karena itu, solusi-solusi konkret seperti
pelatihan guru, pengembangan instrumen kontekstual, pemanfaatan teknologi
digital, serta kolaborasi antarpendidik perlu terus digalakkan.
Studi kasus dan praktik baik yang telah dibahas
menunjukkan bahwa inovasi dan komitmen guru mampu mengubah asesmen awal dari
sekadar formalitas menjadi alat strategis dalam meningkatkan mutu
pembelajaran. Pendekatan kreatif seperti penggunaan gamifikasi, teknologi
sederhana, hingga asesmen berbasis proyek dapat menjadi inspirasi dalam
memperluas penerapan yang efektif di berbagai satuan pendidikan.
Lebih jauh, kemampuan awal seharusnya tidak hanya
dilihat sebagai aspek teknis dalam perencanaan pembelajaran, tetapi juga
sebagai cermin dari filosofi pendidikan yang menghargai keragaman, potensi,
dan titik berangkat unik dari setiap peserta didik. Pendidikan yang
bermakna tidak dimulai dari apa yang ingin diajarkan guru, tetapi dari apa yang
sudah diketahui dan dialami siswa.
Dengan demikian, penguatan peran kemampuan awal
dalam sistem pendidikan Indonesia adalah investasi jangka panjang yang tidak
hanya meningkatkan capaian pembelajaran, tetapi juga memperkuat keadilan,
keberpihakan, dan relevansi pendidikan dalam menjawab tantangan abad ke-21.
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127–129.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses (Jakarta: Kemdikbud, 2016);
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 19–22.
[3]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Developing the Theory
of Formative Assessment,” Educational Assessment, Evaluation and
Accountability 21, no. 1 (2009): 6–9; Linda Darling-Hammond, The Right
to Learn: A Blueprint for Creating Schools that Work (San Francisco:
Jossey-Bass, 1997), 212–214.
Daftar Pustaka
Aminah, S. (2022).
Penerapan asesmen diagnostik untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa. Jurnal
Pendidikan Bahasa Indonesia, 8(2), 110–116.
Anderson, L. W., &
Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and
assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives.
Longman.
Airasian, P. W., &
Russell, M. K. (2012). Classroom assessment: Concepts and applications
(8th ed.). McGraw-Hill.
Ausubel, D. P. (1968). Educational
psychology: A cognitive view. Holt, Rinehart and Winston.
Black, P., & Wiliam, D.
(1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education:
Principles, Policy & Practice, 5(1), 7–74.
Black, P., & Wiliam, D.
(2009). Developing the theory of formative assessment. Educational
Assessment, Evaluation and Accountability, 21(1), 5–31. https://doi.org/10.1007/s11092-008-9068-5
Bloom, B. S. (Ed.). (1956).
Taxonomy of educational objectives: The classification of educational
goals. Handbook I: Cognitive domain. David McKay Company.
Bloom, B. S., Krathwohl, D.
R., & Masia, B. B. (1964). Taxonomy of educational objectives: The
classification of educational goals. Handbook II: Affective domain. David
McKay Company.
Bransford, J. D., Brown, A.
L., & Cocking, R. R. (Eds.). (2000). How people learn: Brain, mind,
experience, and school. National Academy Press.
Bruner, J. S. (1960). The
process of education. Harvard University Press.
Darling-Hammond, L. (1997).
The right to learn: A blueprint for creating schools that work.
Jossey-Bass.
Darling-Hammond, L., Banks,
J., Zumwalt, K., Gomez, L., Sherin, M. G., Griesdorn, J., & Finn, L.-E.
(2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn
and be able to do. Jossey-Bass.
Dick, W., Carey, L., &
Carey, J. O. (2015). The systematic design of instruction (8th ed.).
Pearson.
Earl, L. M. (2003). Assessment
as learning: Using classroom assessment to maximize student learning.
Corwin Press.
Gagné, R. M. (1985). The
conditions of learning (4th ed.). Holt, Rinehart and Winston.
Hargreaves, A., &
Fullan, M. (2012). Professional capital: Transforming teaching in every
school. Teachers College Press.
Heinich, R., Molenda, M.,
Russell, J. D., & Smaldino, S. E. (2008). Instructional media and
technologies for learning (9th ed.). Pearson.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemdikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan
pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Cerita praktik
baik: Mengenal kemampuan siswa melalui permainan matematika. Platform
Merdeka Mengajar. https://guru.kemdikbud.go.id
Marzano, R. J. (2006). Classroom
assessment and grading that work. ASCD.
Marzano, R. J. (2007). The
art and science of teaching: A comprehensive framework for effective
instruction. ASCD.
McMillan, J. H. (2014). Classroom
assessment: Principles and practice for effective standards-based instruction
(6th ed.). Pearson.
Nitko, A. J., &
Brookhart, S. M. (2011). Educational assessment of students (7th ed.).
Pearson.
OECD. (2020). Teachers
and school leaders as valued professionals: Status, working conditions and
continuing professional learning (TALIS 2018 results, Volume II). OECD
Publishing. https://doi.org/10.1787/19cf08df-en
OECD. (2021). Digital
education outlook 2021: Pushing the frontiers with AI, blockchain and robots.
OECD Publishing.
Piaget, J. (1952). The
origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). International Universities
Press.
Popham, W. J. (2008). Transformative
assessment. ASCD.
Popham, W. J. (2017). Classroom
assessment: What teachers need to know (8th ed.). Pearson.
Rogers, C. R. (1969). Freedom
to learn. Merrill.
Simpson, E. J. (1972). The
classification of educational objectives in the psychomotor domain. In The
behavioral objectives approach to curriculum development (pp. 50–57).
Gryphon House.
Tomlinson, C. A. (2014). The
differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd
ed.). ASCD.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V.
John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.
Wertsch, J. V. (1985). Vygotsky
and the social formation of mind. Harvard University Press.
Wiliam, D. (2011). Embedded
formative assessment. Solution Tree Press.
Wulandari, D. (2023).
Pemanfaatan media digital dalam asesmen awal pembelajaran tematik di sekolah
dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar, 5(1), 45–49.
World Bank. (2019). Successful
teachers, successful students: Recruiting and supporting society’s most crucial
profession. World Bank Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar