Jumat, 06 Juni 2025

Kritik terhadap Demokrasi: Kajian Filsafat Historis dan Tekstual

Kritik terhadap Demokrasi

Kajian Filsafat Historis dan Tekstual


Alihkan ke: Sistem PemerintahanDemokrasi Dalam Sistem PemerintahanKegagalan Demokrasi.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian historis-filosofis yang komprehensif mengenai kritik terhadap demokrasi, dimulai dari pemikiran klasik Socrates dan Plato di Yunani kuno hingga refleksi kontemporer dari pemikir postmodern seperti Chantal Mouffe, Slavoj Žižek, dan Noam Chomsky. Demokrasi, meskipun sering dipuja sebagai bentuk pemerintahan paling ideal, sejak awal telah menjadi sasaran kritik tajam terkait rasionalitas mayoritas, kerentanan terhadap demagogi, dominasi ideologi, dan kooptasi ekonomi-politik. Socrates menolak pemerintahan oleh opini massa yang tidak berpengetahuan; Plato mencurigai demokrasi sebagai cikal bakal tirani; sementara Aristoteles menawarkan model moderat melalui politeia. Di masa modern, Edmund Burke menyoroti bahaya demokrasi radikal pasca-Revolusi Prancis, sedangkan Tocqueville mengidentifikasi fenomena tirani mayoritas dalam masyarakat egaliter. Mazhab Frankfurt mengkritik demokrasi dalam bingkai kapitalisme industri dan budaya massa, sementara pemikir kontemporer mempertanyakan demokrasi prosedural yang telah terserap dalam logika pasar dan representasi simbolik. Artikel ini menutup dengan refleksi normatif tentang masa depan demokrasi: bahwa demokrasi tetap layak dipertahankan, namun hanya jika ia membuka ruang bagi kritik, konflik yang produktif, dan pembaruan yang transformatif.

Kata Kunci: Demokrasi, kritik filsafat, tirani mayoritas, Mazhab Frankfurt, demokrasi liberal, demokrasi agonistik, kapitalisme laten, partisipasi politik, Chantal Mouffe, Noam Chomsky, Slavoj Žižek.


PEMBAHASAN

Kritik terhadap Demokrasi dari Socrates hingga Pemikir Kontemporer


1.           Pendahuluan: Demokrasi dan Problematika Dasarnya

Demokrasi telah lama dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang ideal di mata banyak pemikir modern karena menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Secara etimologis, istilah demokratia berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), yang berarti “kekuasaan rakyat.” Sistem ini pertama kali dipraktikkan dalam bentuk awalnya di polis Athena sekitar abad ke-5 SM, meskipun dengan keterbatasan partisipasi yang signifikan karena hanya warga pria dewasa yang memiliki hak politik penuh, sementara perempuan, budak, dan orang asing dikecualikan dari proses politik.1

Namun, sejak awal kemunculannya, demokrasi tidak pernah luput dari kritik, bahkan dari para pemikir besar yang hidup dalam sistem tersebut. Para filsuf seperti Socrates dan Plato memandang demokrasi bukan sebagai bentuk pemerintahan yang menjunjung kebijaksanaan atau keadilan, tetapi sebagai suatu sistem yang terlalu bergantung pada opini massa yang tidak terdidik dan mudah dimanipulasi oleh retorika. Dalam pandangan mereka, demokrasi berisiko besar melahirkan demagogi—yakni kekuasaan yang dipegang oleh mereka yang mampu menghasut publik, bukan oleh mereka yang paling bijaksana atau berintegritas.2

Masalah mendasar demokrasi terletak pada ketegangan antara kuantitas (jumlah suara mayoritas) dan kualitas (kebijaksanaan dalam keputusan). Demokrasi sering diasumsikan memberi tempat bagi semua suara, tetapi hal ini tidak menjamin bahwa keputusan yang diambil selalu baik atau benar. Inilah yang disebut sebagai masalah epistemologis dalam demokrasi: apakah kebenaran bisa ditentukan oleh mayoritas? John Stuart Mill dalam On Liberty memperingatkan bahaya “tirani mayoritas” yang dapat menindas hak individu dan minoritas melalui kehendak kolektif yang tidak selalu rasional atau adil.3

Selain itu, dalam perkembangannya di dunia modern, demokrasi telah mengalami transformasi menjadi bentuk yang prosedural dan liberal, yang menekankan mekanisme pemilu dan perlindungan hak individu. Namun, para kritikus seperti Noam Chomsky dan Sheldon Wolin melihat bahwa demokrasi liberal telah direduksi menjadi formalitas yang dikendalikan oleh elit ekonomi dan media, sehingga melemahkan partisipasi publik yang sejati dan menyuburkan bentuk baru dari otoritarianisme tersembunyi atau inverted totalitarianism.4

Oleh karena itu, meskipun demokrasi seringkali dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling “wajar” dalam wacana politik kontemporer, kritik filosofis terhadapnya tetap relevan dan penting untuk dikaji. Kritik tersebut tidak selalu bertujuan untuk menolak demokrasi secara total, melainkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan struktural maupun moral yang inheren dalam sistem ini. Dengan memahami akar dan jenis kritik dari masa Yunani klasik hingga pemikir kontemporer, kita dapat menilai kembali fondasi teoritis dan praksis demokrasi secara lebih mendalam dan reflektif.


Footnotes

[1]                Josiah Ober, Democracy and Knowledge: Innovation and Learning in Classical Athens (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2008), 5–9.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VIII, 557a–562a.

[3]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 8–12.

[4]                Sheldon S. Wolin, Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Specter of Inverted Totalitarianism (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2008), 19–25; Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda (New York: Seven Stories Press, 2002), 16–20.


2.           Socrates dan Demokrasi: Kritik Awal terhadap Pemerintahan Mayoritas

Socrates (470–399 SM) dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat, dan pemikirannya mengenai demokrasi sering dianggap sebagai bentuk kritik awal terhadap sistem pemerintahan mayoritas. Meskipun Socrates tidak meninggalkan karya tulis sendiri, ajaran dan pandangannya dapat ditelusuri melalui karya-karya muridnya, terutama Plato dan Xenophon. Melalui dialog-dialog ini, tampak bahwa Socrates memiliki sikap skeptis terhadap demokrasi Athena yang kala itu sedang berada pada puncak kejayaannya, namun juga tengah menghadapi krisis pasca-Perang Peloponnesos.

2.1.       Konteks Demokrasi Athena dan Pengadilan Socrates

Demokrasi Athena memberikan hak politik langsung kepada warga negaranya, yakni pria dewasa berstatus warga, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan melalui majelis (ekklēsia), dewan lima ratus (boule), dan pengadilan rakyat (dikasteria). Dalam pengadilan ini, ratusan warga dipilih melalui undian untuk memutuskan perkara—sebuah sistem yang menegaskan supremasi kehendak mayoritas dalam proses hukum dan politik.1

Namun, justru dalam sistem inilah Socrates dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 SM, dengan tuduhan “merusak moral pemuda” dan “tidak menghormati dewa-dewa kota.” Dalam Apologia, Plato menggambarkan Socrates sebagai tokoh yang menantang arus mayoritas dan lebih tunduk pada suara nurani dan akal budi ketimbang opini massa.2 Fakta bahwa 280 dari 501 juri memilih menghukumnya menunjukkan bahwa kehendak mayoritas bisa keliru, terutama jika dipengaruhi oleh retorika emosional dan prasangka politik.

2.2.       Kritik Epistemologis: Opini vs Pengetahuan

Salah satu kritik utama Socrates terhadap demokrasi bersifat epistemologis. Ia menolak anggapan bahwa semua warga negara memiliki kapasitas intelektual yang memadai untuk mengambil keputusan yang rumit tentang hukum, keadilan, dan kebijakan negara. Dalam analogi terkenal dalam Gorgias, Socrates membandingkan demokrasi dengan kapal yang dinakhodai oleh awak yang tidak memahami ilmu pelayaran, hanya karena mereka memiliki suara terbanyak.3 Menurutnya, pemerintahan harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan (epistēmē), bukan sekadar opini (doxa).

Hal ini terlihat pula dalam Republic, meskipun lebih merefleksikan pandangan Plato, namun tetap berakar pada ajaran Socratic. Di sana, digambarkan bahwa demokrasi memberi kebebasan tanpa batas dan memperlakukan semua orang sebagai setara dalam kemampuan memerintah, padahal tidak semua orang memiliki kebajikan atau kapasitas intelektual untuk memimpin.4 Demokrasi, bagi Socrates, adalah sistem yang menciptakan ilusi kesetaraan dalam pengetahuan, yang akhirnya membuka jalan bagi kemunculan demagog dan ketidakstabilan sosial.

2.3.       Keutamaan Moral dan Peran Individu

Socrates menekankan bahwa tujuan hidup bukanlah kekuasaan atau kenikmatan, melainkan kebaikan jiwa (psychē). Oleh karena itu, ia menolak menjadi bagian dari politik praktis yang didasarkan pada kompromi moral dan persetujuan massa. Dalam Crito, ketika sahabatnya mendorongnya untuk melarikan diri dari hukuman mati, Socrates menolaknya dengan alasan bahwa keadilan tidak bisa ditentukan oleh mayoritas, melainkan oleh kebenaran moral yang objektif.5 Sikap ini menunjukkan bahwa bagi Socrates, legitimasi suatu keputusan tidak ditentukan oleh jumlah yang menyetujui, melainkan oleh kebajikan dan kebenaran.


Dengan demikian, Socrates telah meletakkan dasar kritik filosofis terhadap demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas yang tidak selalu sejalan dengan rasionalitas, kebajikan, dan keadilan. Kritiknya bukan sekadar penolakan terhadap demokrasi sebagai sistem, tetapi lebih merupakan peringatan bahwa keputusan politik harus dilandasi oleh kebijaksanaan, bukan oleh suara terbanyak yang mudah dimanipulasi. Warisan pemikirannya menjadi fondasi penting dalam perdebatan panjang mengenai legitimasi demokrasi hingga zaman kontemporer.


Footnotes

[1]                Mogens Herman Hansen, The Athenian Democracy in the Age of Demosthenes: Structure, Principles and Ideology (Oxford: Blackwell, 1991), 182–200.

[2]                Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 17a–35d.

[3]                Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton and Chris Emlyn-Jones (London: Penguin Classics, 2004), 488a–489e.

[4]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VIII, 557a–562a.

[5]                Plato, Crito, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50a–54d.


3.           Plato: Demokrasi sebagai Jalan Menuju Kekacauan

Plato (427–347 SM), murid langsung Socrates, merupakan salah satu filsuf paling awal yang mengajukan kritik sistematis terhadap demokrasi. Dalam dialog Republic (Politeia), ia mengembangkan suatu teori politik yang mencerminkan ketidakpercayaannya terhadap pemerintahan yang didasarkan pada kehendak mayoritas. Baginya, demokrasi bukanlah bentuk tertinggi pemerintahan, melainkan satu tahap dalam proses degeneratif yang berujung pada tirani. Pandangan ini berakar pada pengalaman pribadi dan konteks sejarah—yakni kematian Socrates akibat putusan demokratis, serta kekacauan politik pasca-Perang Peloponnesos.

3.1.       Demokrasi sebagai Pemerintahan yang Terdistorsi

Dalam Republic, Plato menyusun tipologi lima bentuk pemerintahan dalam urutan hierarkis moral dan rasional: aristokrasi (pemerintahan orang bijak), timokrasi (pemerintahan orang yang mencintai kehormatan), oligarki (pemerintahan kaum kaya), demokrasi (pemerintahan mayoritas), dan tirani (pemerintahan satu orang tiran). Demokrasi, dalam urutan ini, muncul setelah kehancuran oligarki dan ditandai oleh kebebasan yang tanpa batas dan kesetaraan yang ekstrem—yakni ketika “orang merdeka hidup seenaknya, tanpa kendali dan disiplin.”1

Plato melihat bahwa dalam demokrasi, semua bentuk otoritas tradisional dihancurkan atas nama kebebasan. Orang tua tidak lagi dihormati oleh anak, guru tidak lagi disegani oleh murid, dan hukum tidak lagi ditaati dengan sukarela. Dalam suasana semacam ini, menurut Plato, kebebasan berubah menjadi anarki, dan kekacauan membuka jalan bagi kemunculan tirani. Demokrasi dengan demikian tidak stabil secara internal, karena gagal membentuk struktur kekuasaan yang berbasis pada keutamaan dan pengetahuan.2

3.2.       Kritisisme terhadap Kebebasan yang Tidak Terkendali

Kebebasan yang tidak terkendali dalam demokrasi adalah titik sentral kritik Plato. Ia menilai bahwa sistem ini mempromosikan kehidupan yang didasarkan pada kesenangan dan keinginan individual, bukan pada kebaikan bersama atau keadilan. Dalam dialog tersebut, Plato menciptakan gambaran tentang manusia demokratis yang hidup menurut nafsu, berpindah dari satu kenikmatan ke kenikmatan lain tanpa arah hidup yang stabil dan rasional. Ia menulis:

Kebebasan besar-besaran tampaknya menjadi ciri khusus demokrasi... namun jika seseorang menjadikan kebebasan semacam itu sebagai satu-satunya tujuan, tidak peduli dalam masyarakat maupun individu, hasil akhirnya adalah perbudakan.”3

Plato khawatir bahwa masyarakat yang menempatkan kebebasan pribadi di atas ketertiban akan melahirkan kekosongan moral, yang pada akhirnya membuat rakyat menginginkan penguasa kuat untuk mengatasi kekacauan. Di sinilah letak paradoks demokrasi: sistem yang dimulai dengan kebebasan berakhir dalam tirani.

3.3.       Demokrasi dan Munculnya Demagogi

Salah satu aspek yang paling ditakuti Plato dari demokrasi adalah potensi munculnya demagog—yakni tokoh populis yang memanfaatkan retorika untuk memperoleh kekuasaan, bukan berdasarkan kebajikan, tetapi popularitas. Demagogi tumbuh subur dalam masyarakat yang mengagungkan kebebasan namun tidak memiliki standar kebijaksanaan. Plato menulis bahwa “tirani biasanya tumbuh dari akar demokrasi yang paling ekstrem.”4 Dengan kata lain, demokrasi menciptakan kondisi psikologis dan sosial yang memudahkan seseorang yang karismatik namun berbahaya untuk mengambil alih kekuasaan melalui hasutan massa.

Fenomena ini sangat relevan dalam banyak peristiwa politik modern, di mana populisme dan manipulasi media sering menggantikan pertimbangan rasional dalam pemilu. Kritik Plato terhadap demagogi dapat dibaca sebagai peringatan bahwa sistem demokratis tanpa mekanisme penyaringan berbasis kebajikan berisiko melahirkan otoritarianisme dengan legitimasi elektoral.

3.4.       Solusi Ideal: Pemerintahan Para Filsuf

Sebagai alternatif dari demokrasi, Plato mengusulkan bentuk pemerintahan ideal berupa aristokrasi filosofis, di mana kekuasaan dipegang oleh para filsuf yang telah menjalani pendidikan panjang dan memahami ide tentang keadilan, kebaikan, serta hakikat realitas. Dalam pandangannya, hanya mereka yang mencintai kebenaran dan tidak terikat oleh nafsu kekuasaan yang layak memerintah. Pemerintahan tidak seharusnya berada di tangan mayoritas yang tidak berpengetahuan, melainkan di tangan minoritas yang telah mencapai pemahaman filosofis tentang logos dan keadilan.5


Dengan demikian, Plato memandang demokrasi bukan sebagai sistem yang menjamin keadilan, melainkan sebagai bentuk pemerintahan yang rapuh, penuh ilusi kebebasan, dan berpotensi menghasilkan tirani. Kritiknya didasarkan pada analisis mendalam mengenai psikologi massa, dinamika kekuasaan, dan pentingnya pendidikan moral dalam masyarakat. Meskipun pandangan Plato sering dianggap elitis, warisannya tetap relevan dalam diskusi tentang krisis demokrasi di era modern, terutama dalam menghadapi tantangan populisme dan erosi kepercayaan publik terhadap rasionalitas politik.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VIII, 562b–564a.

[2]                Ibid., 562e–563d.

[3]                Ibid., 562c–563a.

[4]                Ibid., 565d.

[5]                Plato, Republic, Book V, 473c–480a.


4.           Aristoteles: Kritik Moderat terhadap Demokrasi dan Usulan Politeia

Berbeda dengan Plato yang memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menuju kekacauan dan tirani, Aristoteles (384–322 SM) menawarkan pendekatan yang lebih empiris, realistis, dan moderat dalam menilai sistem pemerintahan. Dalam karya monumentalnya, Politics, Aristoteles tidak serta-merta menolak demokrasi, tetapi mengkaji berbagai bentuk pemerintahan berdasarkan asas keadilan dan kepentingan umum. Ia mengakui bahwa semua bentuk pemerintahan memiliki potensi untuk memburuk, dan bahwa stabilitas negara bergantung pada keseimbangan antara kepentingan mayoritas dan minoritas.

4.1.       Tipologi Pemerintahan: Bentuk Ideal dan Menyimpang

Aristoteles membagi sistem pemerintahan ke dalam dua kategori besar: yang berorientasi pada kebaikan bersama (true forms) dan yang melayani kepentingan penguasa sendiri (deviant forms). Dalam kategori pertama, ia mencatat tiga bentuk utama: monarki (pemerintahan satu orang untuk kebaikan bersama), aristokrasi (kelompok kecil berkuasa demi keadilan), dan politeia (gabungan dari demokrasi dan oligarki). Sebaliknya, bentuk-bentuk yang menyimpang adalah tiran, oligarki, dan demokrasi dalam bentuk ekstremnya, yang hanya mengejar kepentingan kelas penguasa masing-masing.1

Demokrasi dalam pengertian menyimpang menurut Aristoteles adalah ketika mayoritas miskin menggunakan kekuasaan untuk kepentingan kelasnya sendiri, dan bukan demi keseluruhan polis. Ia menulis bahwa dalam sistem seperti ini, “yang menjadi hukum bukanlah keadilan, melainkan suara terbanyak, dan ini bisa merugikan pihak minoritas.”2 Oleh karena itu, bagi Aristoteles, demokrasi dalam bentuk ekstremnya tidak dapat dipertahankan tanpa menghasilkan ketidakstabilan sosial.

4.2.       Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi menurut Aristoteles

Kendati demikian, Aristoteles juga tidak menolak seluruh unsur demokrasi. Ia mencatat bahwa warga negara biasa dapat berkontribusi secara positif dalam pemerintahan apabila mereka berpartisipasi dalam proses deliberatif yang berdasarkan hukum. Ia berpendapat bahwa “banyak orang, meskipun secara individual kurang cakap, namun secara kolektif dapat membuat keputusan yang lebih baik dibanding satu orang yang sangat cakap.”3 Pandangan ini mencerminkan kepercayaannya terhadap potensi kebijaksanaan kolektif, dengan syarat bahwa sistem hukum ditegakkan dan hasrat individual dibatasi oleh norma-norma kebajikan sipil.

Dengan kata lain, demokrasi bisa berguna jika dibatasi dan dikombinasikan dengan elemen lain yang memperkuat stabilitas dan keadilan. Dalam hal ini, peran pendidikan politik, hukum, dan konstitusi menjadi sangat penting.

4.3.       Politeia: Jalan Tengah antara Demokrasi dan Oligarki

Sebagai solusi atas ketegangan antara kekuasaan mayoritas (demokrasi) dan minoritas kaya (oligarki), Aristoteles mengusulkan bentuk pemerintahan yang ia sebut politeia. Sistem ini merupakan perpaduan dari elemen demokratis dan oligarkis yang menyeimbangkan kekuasaan dan mencegah dominasi satu kelas sosial terhadap yang lain. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa politeia adalah bentuk pemerintahan “di mana kelas menengah berkuasa atau berperan dominan,” karena kelas ini cenderung moderat, tidak ekstrem seperti kaum sangat miskin atau sangat kaya.4

Aristoteles percaya bahwa kelas menengah adalah fondasi bagi stabilitas politik. Kelas ini, karena tidak memiliki kepentingan ekstrem, mampu menjaga harmoni dan menghindari konflik kelas. Oleh karena itu, politeia merupakan bentuk pemerintahan yang paling mungkin bertahan lama dan menciptakan keadilan yang seimbang di antara berbagai golongan masyarakat.

4.4.       Keadilan dan Kepentingan Umum sebagai Ukuran Legitimasi

Bagi Aristoteles, legitimasi suatu sistem pemerintahan tidak ditentukan oleh jumlah orang yang berkuasa, melainkan oleh apakah pemerintahan itu diarahkan pada kepentingan umum atau kepentingan diri sendiri. Maka, bahkan demokrasi sekalipun bisa menjadi bentuk pemerintahan yang dapat diterima jika diarahkan pada keadilan dan kemaslahatan polis secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan fleksibilitas filsafat politik Aristoteles, yang tidak memutlakkan satu bentuk pemerintahan ideal, melainkan mengukur kebaikan suatu sistem berdasarkan praktik keadilannya.


Dengan demikian, Aristoteles menawarkan kritik terhadap demokrasi yang bersifat konstruktif, bukan destruktif. Ia menyadari bahwa setiap bentuk pemerintahan memiliki kelemahan, dan karena itu menawarkan politeia sebagai jalan tengah yang dapat menyatukan kebebasan politik dan stabilitas sosial. Warisan pemikiran Aristoteles tetap relevan dalam konteks demokrasi modern yang tengah bergulat dengan ketimpangan sosial, polarisasi, dan krisis representasi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), Book III, 1279a–1280a.

[2]                Ibid., Book IV, 1292a.

[3]                Ibid., Book III, 1281b.

[4]                Ibid., Book IV, 1295b–1296a.


5.           Para Filsuf Abad Pertengahan dan Awal Modern: Ketiadaan Demokrasi sebagai Pilihan Filsafati

Jika filsuf-filsuf klasik seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles secara aktif memperdebatkan keunggulan dan kelemahan berbagai bentuk pemerintahan termasuk demokrasi, maka situasi berubah secara drastis pada Abad Pertengahan dan awal era modern. Pada masa ini, demokrasi praktis tidak muncul sebagai alternatif yang signifikan dalam diskursus filsafat politik. Ketiadaan demokrasi sebagai pilihan filsafati mencerminkan perubahan orientasi pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh doktrin teologis, struktur hierarkis feodal, dan kemudian oleh konsepsi baru tentang kekuasaan negara dan otoritas absolut.

5.1.       Dominasi Teologi Politik: Augustinus dan Thomas Aquinas

Dalam konteks Kristen Abad Pertengahan, pemikiran politik didominasi oleh pandangan teosentris. Santo Augustinus (354–430 M), dalam karya besarnya De Civitate Dei (Kota Allah), membagi dunia ke dalam dua kota: Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Duniawi). Ia menganggap bahwa semua pemerintahan duniawi, termasuk demokrasi, tidak memiliki legitimasi penuh karena bersifat sementara dan terikat pada kehendak manusia yang cenderung berdosa.1 Oleh karena itu, Augustinus tidak membela bentuk pemerintahan tertentu, tetapi lebih menekankan perlunya ketundukan pada tatanan ilahi sebagai sumber kedamaian dan keadilan sejati.

Sementara itu, Thomas Aquinas (1225–1274), dalam Summa Theologiae dan De Regno, cenderung lebih akomodatif terhadap gagasan politik duniawi. Ia menerima bahwa bentuk pemerintahan bisa bermacam-macam selama bertujuan pada kebaikan bersama (bonum commune). Meski demikian, ia tetap menunjukkan preferensi terhadap bentuk monarki, karena menurutnya pemerintahan satu orang yang bijak dan adil lebih efisien dalam menjamin keadilan daripada pemerintahan banyak orang.2 Demokrasi, dalam pengertian pemerintahan oleh massa, tidak mendapat tempat dalam sistem filsafat politik skolastik yang menekankan hierarki, keteraturan, dan ilham ilahi.

5.2.       Pandangan Realistis Machiavelli: Kekuasaan tanpa Ilusi Moral

Berpindah ke awal zaman modern, Niccolò Machiavelli (1469–1527) muncul sebagai sosok yang merevolusi cara berpikir tentang politik. Dalam Il Principe dan Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli tidak menilai sistem politik berdasarkan moralitas atau wahyu, melainkan berdasarkan efektivitas dalam mempertahankan kekuasaan. Ia memang tidak menolak peran rakyat secara total, terutama dalam Discorsi, tetapi tetap tidak menganjurkan bentuk demokrasi dalam arti pemerintahan oleh kehendak mayoritas yang bebas dan egaliter. Sebaliknya, ia lebih tertarik pada republica mista, yakni sistem campuran antara aristokrasi dan partisipasi rakyat yang dikendalikan oleh hukum dan kekuatan militer.3

Machiavelli menegaskan bahwa dalam politik, kebajikan bukan berarti moral, melainkan kemampuan untuk bertindak secara strategis dalam situasi konkret. Oleh karena itu, bagi Machiavelli, rakyat bisa berguna untuk menahan ambisi elite, tetapi tidak cukup rasional untuk memerintah sendiri tanpa arah. Ini menunjukkan bahwa sekalipun pemikiran Machiavelli bersifat sekuler dan anti-teokratis, ia tetap skeptis terhadap demokrasi sebagai sistem yang stabil.

5.3.       Warisan Filsafat Politik Awal Modern: Antara Absolutisme dan Kontrak Sosial

Para pemikir awal modern lainnya, seperti Jean Bodin dan Thomas Hobbes, juga tidak menaruh harapan besar pada demokrasi. Jean Bodin (1530–1596) dalam Six Livres de la République mendukung konsep kedaulatan tunggal yang tak terbagi dan berpihak pada monarki sebagai bentuk pemerintahan yang paling efektif untuk mempertahankan ketertiban dan hukum.4

Thomas Hobbes (1588–1679), dalam Leviathan, melihat negara sebagai hasil kontrak sosial yang dibentuk untuk menghindari kekacauan dan perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes). Bagi Hobbes, rakyat memang sumber legitimasi kekuasaan, tetapi setelah kekuasaan diberikan kepada Leviathan (penguasa tunggal), rakyat kehilangan hak campur tangan dalam urusan negara. Demokrasi langsung tidak mungkin dilakukan karena akan mengembalikan manusia pada keadaan alam yang brutal dan tidak aman.5


Kesimpulan

Sepanjang Abad Pertengahan hingga awal modern, demokrasi nyaris tidak pernah dianggap sebagai pilihan rasional atau moral yang layak oleh para filsuf besar. Dalam dunia yang dipengaruhi oleh teologi, feodalisme, dan ketakutan terhadap anarki, para pemikir lebih memilih sistem pemerintahan yang menjamin stabilitas, keteraturan, dan legitimasi hierarkis. Kritik terhadap demokrasi pada masa ini bukanlah kritik eksplisit seperti yang dikembangkan Plato atau Aristoteles, tetapi lebih berupa pengabaian terhadapnya sebagai alternatif filosofis yang layak. Baru pada pencerahan dan era revolusi modern, demokrasi kembali memperoleh tempat dalam wacana filsafat politik.


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX.

[2]                Thomas Aquinas, De Regno: On Kingship, trans. Gerald B. Phelan (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), I.1–3.

[3]                Niccolò Machiavelli, Discourses on Livy, trans. Harvey C. Mansfield and Nathan Tarcov (Chicago: University of Chicago Press, 1996), Book I, chapters 2–4.

[4]                Jean Bodin, Six Books of the Commonwealth, trans. M. J. Tooley (Oxford: Blackwell, 1955), Book I, chapter 8.

[5]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), chapters XIII–XVIII.


6.           Kritik Konservatif Modern: Edmund Burke dan Ketakutan terhadap Revolusi

Dalam sejarah kritik terhadap demokrasi modern, Edmund Burke (1729–1797) menempati posisi penting sebagai pelopor pemikiran konservatif. Ia bukan hanya mengkritik demokrasi secara abstrak, tetapi secara khusus menanggapi bentuk radikal dari demokrasi yang lahir dalam Revolusi Prancis (1789), yang menurutnya telah mengoyak tatanan sosial dan moral masyarakat Eropa. Kritik Burke mencerminkan ketakutan kaum konservatif terhadap gagasan kebebasan politik yang dilepaskan dari tradisi, agama, dan institusi historis yang mapan. Bukunya yang terkenal, Reflections on the Revolution in France (1790), menjadi manifestasi awal dari konservatisme modern dan kritik filosofis terhadap demokrasi radikal berbasis rasionalitas abstrak dan kehendak mayoritas tanpa batas.

6.1.       Tradisi dan Otoritas: Pilar Tatanan Sosial

Bagi Burke, masyarakat adalah hasil konstruksi sejarah panjang yang dibentuk melalui kebiasaan, adat istiadat, dan warisan moral. Ia menolak pandangan revolusioner bahwa masyarakat dapat dibangun kembali dari nol berdasarkan prinsip-prinsip rasional yang diklaim universal. Demokrasi dalam bentuknya yang revolusioner, menurut Burke, membahayakan kontinuitas sejarah dan membongkar lembaga-lembaga seperti monarki, agama, dan aristokrasi yang telah menjadi penopang stabilitas sosial dan moral.1

Burke menulis:

People will not look forward to posterity who never look backward to their ancestors.”2

Pernyataan ini menekankan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menghormati akar historisnya, bukan yang mengabaikannya demi utopia abstrak.

6.2.       Kritik terhadap Demokrasi Radikal: Kebebasan Tanpa Kendali

Burke tidak menolak prinsip representasi politik atau pemerintahan yang mendengarkan rakyat. Namun, ia sangat kritis terhadap bentuk demokrasi radikal yang tidak dibatasi oleh hukum dan norma-norma tradisional. Demokrasi semacam ini dianggap terlalu percaya pada rasionalitas individu dan menggantikan otoritas yang teruji dengan kehendak massa yang mudah berubah. Bagi Burke, revolusi bukanlah reformasi, melainkan pengkhianatan terhadap tatanan moral dan sosial yang telah diwariskan antar generasi.

Burke menulis bahwa kebebasan sejati bukanlah “melakukan apa pun yang diinginkan,” tetapi “bertindak dalam kerangka institusi yang menjamin kebajikan dan ketertiban.3 Dengan demikian, demokrasi harus dibatasi oleh prinsip-prinsip moral yang tertanam dalam struktur masyarakat, bukan semata-mata kehendak mayoritas yang fluktuatif dan dapat dipolitisasi.

6.3.       Kecaman terhadap Kekerasan dan Anarki Revolusioner

Burke juga mengkritik keras kekerasan politik yang menyertai revolusi. Ia menyamakan Revolusi Prancis dengan kejahatan moral dan kehancuran spiritual. Ia menyebut para revolusioner sebagai “manusia baru yang kehilangan semua rasa malu dan ikatan dengan peradaban.”4 Kekhawatiran ini muncul karena demokrasi radikal cenderung mengabaikan hukum dan legitimasi konstitusional demi kehendak populer yang dibungkus dalam jargon kesetaraan dan kebebasan.

Sebagai alternatif, Burke lebih mendukung perubahan bertahap melalui proses evolusi sosial, bukan revolusi. Ia percaya bahwa reformasi hanya sah apabila dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku dan dengan penghormatan pada institusi yang ada. Dalam pandangannya, kehendak publik bukanlah dasar kebenaran moral, melainkan harus dibimbing oleh kebajikan dan pengalaman historis.

6.4.       Warisan Burke dalam Kritik Demokrasi Kontemporer

Pemikiran Burke terus memengaruhi kritik konservatif terhadap demokrasi hingga abad ke-21, terutama dalam wacana tentang populisme, erosi tradisi, dan krisis otoritas institusional. Konservatisme politik modern—seperti dalam gagasan Roger Scruton—menggemakan banyak gagasan Burke tentang pentingnya warisan budaya, institusi perantara, dan kecurigaan terhadap eksperimen sosial berskala besar.5

Meskipun Burke hidup dalam konteks sejarah yang sangat berbeda dari demokrasi liberal kontemporer, kritiknya tetap relevan sebagai pengingat bahwa sistem politik tidak hanya membutuhkan legitimasi demokratis, tetapi juga fondasi moral, historis, dan institusional yang kuat. Tanpa itu, demokrasi berisiko terjerumus pada anarkisme, demagogi, dan dekadensi moral.


Footnotes

[1]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France, ed. Frank M. Turner (New Haven: Yale University Press, 2003), 19–25.

[2]                Ibid., 96.

[3]                Ibid., 109–110.

[4]                Ibid., 132.

[5]                Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury, 2014), 45–60.


7.           Filsafat Modern: Alexis de Tocqueville dan Tirani Mayoritas

Dalam sejarah pemikiran politik modern, Alexis de Tocqueville (1805–1859) dikenal sebagai salah satu pengamat paling tajam terhadap dinamika demokrasi, terutama dalam konteks Amerika Serikat. Karya utamanya, Democracy in America (1835–1840), bukan hanya sebuah catatan perjalanan, melainkan juga analisis filosofis yang mendalam tentang kekuatan, kelemahan, dan paradoks dalam sistem demokrasi modern. Salah satu konsep penting yang ia rumuskan adalah tirani mayoritas—yakni situasi di mana suara terbanyak dalam masyarakat demokratis justru menindas kebebasan individu dan pluralisme pandangan.

7.1.       Demokrasi Amerika sebagai Laboratorium Sosial

Tocqueville melakukan perjalanan ke Amerika Serikat pada awal 1830-an dan mengamati bahwa demokrasi di sana bukan sekadar sistem politik, melainkan suatu kondisi sosial yang merata. Ia terkesan dengan egalitarianisme yang meluas, partisipasi politik yang tinggi, dan semangat kesukarelaan masyarakat sipil. Namun, di balik kekagumannya, Tocqueville mencatat bahaya tersembunyi: ketika kesetaraan menjadi ideologi dominan, masyarakat cenderung menekan perbedaan demi konformitas sosial dan politik.1

Menurut Tocqueville, masyarakat demokratis lebih mungkin menyerah pada tekanan opini publik, bukan karena paksaan negara, tetapi karena rasa malu sosial yang kuat terhadap pandangan yang menyimpang dari mayoritas. Ini berbeda dari otoritarianisme klasik yang menggunakan kekuatan negara; demokrasi bisa menindas melalui norma-norma sosial yang tersembunyi namun efektif.

7.2.       Konsep Tirani Mayoritas

Tocqueville menciptakan istilah "tyranny of the majority" untuk menggambarkan situasi di mana suara terbanyak bukan hanya mengatur hukum dan kebijakan, tetapi juga membentuk norma moral dan opini publik sedemikian rupa sehingga kebebasan berpikir dan berekspresi menjadi terancam. Ia menulis:

Di bawah absolutisme, despotisme mengendalikan tubuh; tetapi demokrasi cenderung menguasai jiwa.”2

Menurut Tocqueville, dalam masyarakat yang sangat egaliter, mayoritas tidak hanya memiliki kekuasaan politik, tetapi juga otoritas moral yang nyaris tak terbantahkan. Ini menciptakan kondisi psikologis di mana individu takut berpikir berbeda karena khawatir dikucilkan secara sosial. Dalam konteks ini, demokrasi berpotensi menjadi sistem totaliter yang halus.

7.3.       Kelemahan Demokrasi: Keseragaman dan Anti-Intelektualisme

Tocqueville juga memperingatkan bahwa semangat kesetaraan dalam demokrasi bisa menimbulkan anti-intelektualisme, yakni kecurigaan terhadap keahlian dan otoritas intelektual. Karena setiap orang merasa setara dalam penilaian, otoritas pemikiran dianggap mencurigakan atau bahkan elitis. Ini bisa menyebabkan penurunan kualitas dalam debat publik dan keputusan politik yang didasarkan pada preferensi populer, bukan kebijaksanaan.3

Selain itu, dalam sistem yang sangat egaliter, kecenderungan untuk mencari kenyamanan dan stabilitas dapat menggerus keberanian moral untuk mempertahankan pendapat yang berbeda. Tocqueville menulis bahwa demokrasi cenderung menciptakan “massa yang pasif dan puas diri,” yang lebih tertarik pada kesejahteraan material daripada kebebasan berpikir.4

7.4.       Solusi Tocqueville: Pluralisme dan Masyarakat Sipil

Meskipun mengkritik aspek-aspek tertentu dari demokrasi, Tocqueville bukanlah penentang demokrasi secara keseluruhan. Sebaliknya, ia percaya bahwa demokrasi bisa menjadi sistem yang stabil dan adil jika didampingi oleh masyarakat sipil yang kuat, kebebasan pers, dan lembaga-lembaga perantara yang menghalangi sentralisasi kekuasaan. Gereja, asosiasi, dan komunitas lokal berperan penting dalam menumbuhkan partisipasi aktif dan kebajikan sipil.

Ia juga menekankan pentingnya pendidikan politik dan budaya kebebasan, agar warga negara tidak hanya menjadi partisipan pasif dalam pemilu, tetapi juga menjadi pelindung nilai-nilai kebebasan dan pluralisme. Dalam hal ini, Tocqueville lebih dekat pada demokrasi deliberatif daripada demokrasi mayoritarian yang kaku.


Kesimpulan

Tocqueville menyadari potensi besar demokrasi dalam memajukan kesetaraan dan partisipasi, tetapi juga mengingatkan bahaya laten yang melekat di dalamnya. Tirani mayoritas, dalam pemikirannya, bukan sekadar dominasi politik, melainkan dominasi psikologis dan budaya yang dapat melumpuhkan kebebasan individu. Pemikirannya tetap relevan di era modern, terutama ketika demokrasi dihadapkan pada polarisasi, tekanan sosial media, dan penurunan kualitas deliberasi publik.


Footnotes

[1]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), Vol. I, Part 2, Chapter 5.

[2]                Ibid., Vol. I, Part 2, Chapter 7, 244.

[3]                Ibid., Vol. II, Part 1, Chapter 2.

[4]                Ibid., Vol. II, Part 2, Chapter 14.


8.           Kritik dari Mazhab Frankfurt: Demokrasi dalam Kapitalisme Laten

Mazhab Frankfurt, yang lahir dari Institut für Sozialforschung di Universitas Frankfurt pada awal abad ke-20, menawarkan salah satu bentuk kritik paling tajam dan radikal terhadap demokrasi liberal modern. Tokoh-tokoh utama seperti Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, dan kemudian Jürgen Habermas, mengembangkan teori kritis sebagai upaya untuk membongkar ilusi kebebasan, rasionalitas, dan emansipasi yang dijanjikan oleh sistem demokrasi kapitalistik. Bagi mereka, demokrasi di masyarakat modern telah kehilangan esensinya sebagai ruang deliberatif yang bebas dan setara, dan malah berfungsi sebagai alat legitimasi bagi dominasi ekonomi dan ideologis dalam tatanan kapitalisme lanjut (late capitalism).

8.1.       Demokrasi sebagai Alat Ideologi dalam Masyarakat Industri

Dalam Dialectic of Enlightenment (1944), Adorno dan Horkheimer menunjukkan bahwa rasionalitas dalam masyarakat modern telah tereduksi menjadi instrumental rationality—rasionalitas yang hanya berorientasi pada efisiensi teknis dan kontrol, bukan pada nilai-nilai etis dan emansipatif. Mereka mengamati bahwa demokrasi liberal modern tidak membebaskan manusia, tetapi justru memperkuat keterasingan dengan menciptakan ilusi kebebasan melalui konsumsi, hiburan massal, dan birokrasi politik yang kering dari partisipasi sejati.1

Menurut mereka, dalam sistem seperti ini, warga negara direduksi menjadi objek dari manajemen sosial alih-alih menjadi subjek politik yang otonom. Demokrasi tidak lagi bersifat deliberatif, tetapi menjadi semacam prosedur formal yang dikendalikan oleh struktur ekonomi dan media massa, yang menanamkan nilai-nilai hegemonik melalui apa yang mereka sebut sebagai industri budaya (culture industry).2

8.2.       Herbert Marcuse dan Manusia Satu Dimensi

Herbert Marcuse, dalam karyanya One-Dimensional Man (1964), melanjutkan kritik Mazhab Frankfurt terhadap demokrasi dalam konteks masyarakat industri maju. Menurutnya, masyarakat modern telah menciptakan manusia yang “satu dimensi” (one-dimensional), yakni individu yang kehilangan kapasitas untuk berpikir kritis karena telah terserap dalam struktur sosial yang mempromosikan kenyamanan, efisiensi, dan kepatuhan pasif terhadap status quo.3

Marcuse berargumen bahwa sistem demokrasi liberal telah menjinakkan potensi revolusioner rakyat melalui integrasi sosial dan ideologisasi kebutuhan. Dalam demokrasi kapitalistik, rakyat memang memiliki hak suara, tetapi pilihan-pilihan politik yang tersedia telah terlebih dahulu dikonstruksi secara ideologis sehingga hanya memperkuat sistem dominasi. Demokrasi di sini hanya tampak bebas, tetapi sejatinya tidak memiliki ruang sejati untuk oposisi radikal.

8.3.       Jürgen Habermas dan Demokrasi Deliberatif

Sebagai tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas mengembangkan kritik yang lebih konstruktif terhadap demokrasi. Ia mengakui bahwa demokrasi liberal telah mengalami kolonisasi dunia kehidupan (Lebenswelt) oleh sistem pasar dan birokrasi, namun ia tetap percaya bahwa demokrasi bisa diselamatkan melalui revitalisasi ruang publik yang rasional dan deliberatif.4

Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), Habermas menggambarkan bagaimana ruang publik borjuis pada abad ke-18 awalnya berfungsi sebagai arena diskusi kritis dan partisipatif yang tidak terikat oleh kekuasaan negara atau pasar. Namun, seiring berkembangnya kapitalisme dan media massa, ruang publik mengalami komersialisasi dan manipulasi, sehingga melemahkan fungsi demokrasi sebagai sarana diskusi dan pencapaian konsensus rasional.5

Untuk itu, Habermas mengusulkan demokrasi deliberatif, yaitu bentuk demokrasi yang menekankan pentingnya partisipasi wacana (discourse participation), argumen rasional, dan pencarian kesepakatan tanpa dominasi. Dalam sistem seperti ini, kekuasaan tidak sah kecuali dapat dipertanggungjawabkan melalui proses komunikasi yang bebas dan setara.

8.4.       Kritik terhadap Demokrasi Prosedural

Baik Marcuse maupun Habermas sepakat bahwa demokrasi prosedural, yakni demokrasi yang semata-mata bertumpu pada pemilu dan legalitas formal, tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang bebas. Dalam konteks kapitalisme lanjut, demokrasi justru tereduksi menjadi teknik manajemen sosial dan bukan alat emansipasi. Oleh karena itu, mereka menuntut bentuk demokrasi yang lebih radikal dan substantif—demokrasi yang tidak hanya menghitung suara, tetapi mendengarkan suara; yang tidak hanya memberi hak, tetapi membuka ruang kritik dan pembebasan.


Kesimpulan

Kritik Mazhab Frankfurt terhadap demokrasi mengungkap kontradiksi mendalam dalam sistem modern: bahwa kebebasan bisa menjadi penjara, bahwa suara mayoritas bisa dimanipulasi, dan bahwa partisipasi bisa menjadi bentuk pasivitas terlembaga. Namun, warisan pemikiran mereka juga membuka jalan bagi rekonstruksi demokrasi yang lebih emansipatoris—yang tidak hanya demokratis dalam prosedur, tetapi juga dalam struktur sosial dan budaya yang melingkupinya.


Footnotes

[1]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford, CA: Stanford University Press, 2002), 94–136.

[2]                Ibid., 120–128.

[3]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 3–18.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 287–328.

[5]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas Burger and Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 141–180.


9.           Kritik Postmodern dan Kontemporer: Chantal Mouffe, Žižek, dan Noam Chomsky

Kritik terhadap demokrasi tidak berhenti pada era modern dan teori kritis Frankfurt. Dalam konteks postmodernisme dan pemikiran kontemporer, muncul gelombang baru kritik yang menyoroti kerapuhan demokrasi liberal, manipulasi wacana politik, dan domestikasi oposisi dalam masyarakat global yang semakin kompleks. Tiga tokoh penting yang menonjol dalam arus kritik ini adalah Chantal Mouffe, Slavoj Žižek, dan Noam Chomsky. Ketiganya, meskipun berbeda dalam pendekatan, menawarkan telaah tajam terhadap ilusi demokrasi liberal kontemporer, serta menyuarakan pentingnya perlawanan terhadap konsensus yang menyingkirkan konflik, subordinasi media, dan kooptasi ideologis dalam sistem politik global.

9.1.       Chantal Mouffe: Demokrasi Agonistik dan Kritik terhadap Konsensus Liberal

Chantal Mouffe mengembangkan konsep demokrasi agonistik sebagai kritik terhadap model demokrasi deliberatif dan liberal yang terlalu menekankan konsensus. Dalam The Democratic Paradox (2000), Mouffe menegaskan bahwa pluralisme politik yang sehat justru membutuhkan pengakuan terhadap konflik permanen di antara pandangan dunia yang berbeda. Demokrasi yang terlalu menekankan kesepakatan, menurutnya, justru menghapus ruang oposisi dan menghasilkan depolitisasi masyarakat.1

Mouffe membedakan antara antagonisme—pertarungan eksistensial antara musuh yang saling meniadakan—dan agonisme—persaingan antara lawan yang sah dalam kerangka institusi demokratis. Ia berargumen bahwa demokrasi seharusnya tidak menghilangkan konflik, melainkan menyalurkannya secara konstruktif dalam ruang publik. Dalam sistem liberal saat ini, banyak pertarungan ideologis direduksi menjadi soal manajemen teknokratis, sehingga melemahkan daya kritis rakyat terhadap struktur kekuasaan dominan.2

9.2.       Slavoj Žižek: Demokrasi sebagai Ideologi Penyangkal Kekuasaan

Filsuf Slovenia Slavoj Žižek dikenal karena gaya postmarxis dan pendekatannya yang menggabungkan Hegelianisme, psikoanalisis Lacanian, dan kritik budaya populer. Dalam karya-karyanya seperti Living in the End Times (2010), Žižek mengkritik demokrasi liberal sebagai ideologi dominan yang menyembunyikan realitas eksploitasi dan kekerasan simbolik kapitalisme global. Ia berpendapat bahwa demokrasi saat ini telah menjadi semacam formalisme kosong yang menjaga stabilitas sistem, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk mengubah struktur sosial-ekonomi yang eksploitatif.3

Menurut Žižek, sistem demokrasi liberal menjadikan semua persoalan sebagai permasalahan administratif, menutupi antagonisme kelas, dan memproduksi kesadaran palsu yang membuat rakyat menerima ketidakadilan sebagai “keniscayaan ekonomi.” Demokrasi di era globalisasi tidak membebaskan rakyat, melainkan menyisipkan mekanisme kendali melalui konsumsi, media, dan wacana “kebebasan” yang sudah dikooptasi oleh pasar.4 Ia menyebut sistem ini sebagai post-political condition, di mana politik sejati dibungkam atas nama stabilitas dan harmoni sosial.

9.3.       Noam Chomsky: Demokrasi Prosedural dan Kontrol Korporasi

Noam Chomsky, linguistikawan dan intelektual publik asal Amerika Serikat, mengembangkan kritik tajam terhadap demokrasi liberal dari perspektif kiri-libertarian. Dalam Manufacturing Consent (1988), bersama Edward S. Herman, Chomsky menunjukkan bagaimana media arus utama tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi membentuk opini publik melalui kerangka (framing) yang melayani kepentingan elite politik dan ekonomi.5 Demokrasi, dalam pengamatannya, telah direduksi menjadi ritual pemilu yang dikendalikan oleh modal dan propaganda.

Chomsky menekankan bahwa sistem demokrasi Amerika—dan Barat secara umum—hanyalah demokrasi prosedural, yakni demokrasi yang secara formal menjamin hak-hak politik, tetapi dalam praktiknya diintervensi oleh kekuasaan korporasi besar, lembaga keuangan, dan kelompok pelobi. Hal ini menciptakan apa yang ia sebut sebagai ilusi partisipasi, di mana rakyat seolah memiliki kontrol melalui suara mereka, padahal agenda publik telah ditentukan sebelumnya oleh elite ekonomi dan politik.6

9.4.       Menuju Demokrasi Radikal dan Partisipatif

Ketiga pemikir ini—Mouffe, Žižek, dan Chomsky—mengkritik demokrasi liberal bukan karena menolak demokrasi, tetapi karena menghendaki bentuk demokrasi yang lebih substantif, partisipatif, dan transformatif. Mouffe mengajak masyarakat untuk mengakui dan mengelola konflik secara produktif. Žižek menuntut demokrasi yang tidak sekadar melestarikan status quo, melainkan terbuka terhadap intervensi radikal. Sementara Chomsky mendesak perlunya demokrasi yang benar-benar berbasis partisipasi warga, bebas dari dominasi korporasi dan media.

Secara bersama, mereka menunjukkan bahwa tantangan utama demokrasi kontemporer bukan terletak pada kelembagaan prosedural, tetapi pada ketimpangan struktural, penghilangan antagonisme, dan penguasaan ideologi oleh elite dominan. Demokrasi, jika ingin tetap relevan, harus membebaskan diri dari kooptasi kekuasaan dan membuka ruang bagi konflik, kritik, dan pembaruan radikal.


Footnotes

[1]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 2–5.

[2]                Ibid., 101–119.

[3]                Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 79–90.

[4]                Slavoj Žižek, The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology (London: Verso, 1999), 336–339.

[5]                Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 1–35.

[6]                Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda, 2nd ed. (New York: Seven Stories Press, 2002), 16–27.


10.       Penutup: Apakah Demokrasi Layak Dipertahankan?

Dari Socrates di Athena kuno hingga pemikir kontemporer seperti Chantal Mouffe, Slavoj Žižek, dan Noam Chomsky, kritik terhadap demokrasi telah menempuh lintasan yang panjang dan beragam. Kritik tersebut muncul dari berbagai sudut: epistemologis, etis, institusional, ekonomi, hingga budaya. Namun, yang menarik dari telaah historis ini adalah bahwa meskipun banyak pemikir mengajukan kritik keras terhadap demokrasi, sangat sedikit dari mereka yang sepenuhnya menolaknya. Sebaliknya, mayoritas mendorong reformulasi bentuk dan praktik demokrasi agar lebih substansial dan menjawab tantangan zamannya.

10.1.    Demokrasi sebagai Sistem yang Tidak Sempurna, tetapi Fleksibel

Demokrasi sering kali diibaratkan sebagai sistem pemerintahan yang “paling tidak buruk” di antara semua bentuk yang tersedia. Winston Churchill secara terkenal menyatakan bahwa, “Democracy is the worst form of government—except for all the others that have been tried.”1 Meskipun kutipan ini bersifat retoris, ia menggambarkan kenyataan bahwa demokrasi tetap menjadi satu-satunya sistem politik yang menyediakan ruang untuk koreksi diri melalui kebebasan berpikir, partisipasi publik, dan akuntabilitas.

Kritik dari Plato tentang bahaya kebebasan tak terkendali, atau dari Tocqueville tentang tirani mayoritas, tidak serta-merta menjatuhkan legitimasi demokrasi, tetapi lebih sebagai peringatan atas kecenderungan degeneratif yang bisa muncul bila prinsip-prinsip demokrasi tidak diiringi dengan kebajikan sipil, pendidikan politik, dan struktur yang adil.2

10.2.    Demokrasi Liberal di Tengah Krisis Kontemporer

Di era kontemporer, demokrasi menghadapi tantangan yang tidak kecil: populisme kanan dan kiri, krisis kepercayaan terhadap lembaga, dominasi kapitalisme global, serta disinformasi digital. Pemilu, sebagai mekanisme utama demokrasi prosedural, sering kali menjadi ajang manipulasi opini melalui algoritma dan media sosial, memperkuat polarisasi dan merusak deliberasi publik.3

Namun, justru karena keterbukaannya terhadap kritik, demokrasi memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri. Gagasan seperti demokrasi deliberatif (Habermas), demokrasi agonistik (Mouffe), dan demokrasi partisipatif (Pateman) menunjukkan adanya alternatif bentuk demokrasi yang lebih inklusif, reflektif, dan partisipatif. Model-model ini mengusulkan pergeseran dari demokrasi sebagai prosedur ke demokrasi sebagai proyek etis-politik yang berkelanjutan.4

10.3.    Membayangkan Demokrasi yang Transformatif

Jika demokrasi ingin tetap layak dipertahankan, maka ia harus mampu melampaui bentuk formalnya dan menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, distribusi kekuasaan yang adil, dan pengakuan atas pluralitas pandangan hidup. Demokrasi sejati bukan hanya soal pemilu dan mayoritas, tetapi tentang ruang publik yang hidup, institusi yang adil, dan kesediaan untuk mendengar perbedaan.

Dalam hal ini, kritik yang telah disampaikan oleh berbagai filsuf sepanjang sejarah tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi justru sebagai sumber energi pembaruan. Sebagaimana disampaikan oleh Cornel West, “Democracy matters because justice matters. And justice is never given; it is fought for.”5


Kesimpulan

Maka, apakah demokrasi layak dipertahankan? Jawabannya adalah ya, tetapi tidak tanpa syarat. Demokrasi harus dipertahankan bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia mampu memperbaiki dirinya melalui kritik dan partisipasi warga. Kritik-kritik filsafat dari Socrates hingga hari ini berfungsi bukan untuk membongkar demokrasi, tetapi untuk menyelamatkannya dari kemacetan moral, kooptasi ideologis, dan stagnasi institusional. Di tengah dunia yang berubah cepat, demokrasi harus terus ditransformasikan agar tetap relevan sebagai alat emansipasi dan keadilan bersama.


Footnotes

[1]                Winston Churchill, quoted in The International Churchill Society, “Churchill on Democracy,” https://winstonchurchill.org/resources/quotes/the-best-democracy-quote/.

[2]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), Vol. I, Part 2, Chapter 7.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 132–149.

[4]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 304–328; Carole Pateman, Participation and Democratic Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 43–74.

[5]                Cornel West, Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperialism (New York: Penguin Books, 2005), xi.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1944)

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books. (Original work published ca. 426)

Burke, E. (2003). Reflections on the revolution in France (F. M. Turner, Ed.). Yale University Press. (Original work published 1790)

Chomsky, N. (2002). Media control: The spectacular achievements of propaganda (2nd ed.). Seven Stories Press.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger & F. Lawrence, Trans.). MIT Press. (Original work published 1962)

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Hansen, M. H. (1991). The Athenian democracy in the age of Demosthenes: Structure, principles and ideology (J. A. Crook, Trans.). Blackwell.

Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the mass media. Pantheon Books.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)

Machiavelli, N. (1996). Discourses on Livy (H. C. Mansfield & N. Tarcov, Trans.). University of Chicago Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1859)

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.

Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory. Cambridge University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Plato. (1997). Apology, Crito, Gorgias. In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works (Various trans.). Hackett Publishing.

Scruton, R. (2014). How to be a conservative. Bloomsbury.

Tocqueville, A. de. (2000). Democracy in America (H. C. Mansfield & D. Winthrop, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1835/1840)

West, C. (2005). Democracy matters: Winning the fight against imperialism. Penguin Books.

Žižek, S. (1999). The ticklish subject: The absent centre of political ontology. Verso.

Žižek, S. (2010). Living in the end times. Verso.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar