Kritik terhadap Demokrasi
Kajian Filsafat Historis dan Tekstual
Alihkan ke: Sistem Pemerintahan, Demokrasi Dalam Sistem Pemerintahan, Kegagalan Demokrasi.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian historis-filosofis
yang komprehensif mengenai kritik terhadap demokrasi, dimulai dari pemikiran
klasik Socrates dan Plato di Yunani kuno hingga refleksi kontemporer dari
pemikir postmodern seperti Chantal Mouffe, Slavoj Žižek, dan Noam Chomsky.
Demokrasi, meskipun sering dipuja sebagai bentuk pemerintahan paling ideal,
sejak awal telah menjadi sasaran kritik tajam terkait rasionalitas mayoritas,
kerentanan terhadap demagogi, dominasi ideologi, dan kooptasi ekonomi-politik.
Socrates menolak pemerintahan oleh opini massa yang tidak berpengetahuan; Plato
mencurigai demokrasi sebagai cikal bakal tirani; sementara Aristoteles
menawarkan model moderat melalui politeia. Di masa modern, Edmund Burke
menyoroti bahaya demokrasi radikal pasca-Revolusi Prancis, sedangkan
Tocqueville mengidentifikasi fenomena tirani mayoritas dalam masyarakat
egaliter. Mazhab Frankfurt mengkritik demokrasi dalam bingkai kapitalisme
industri dan budaya massa, sementara pemikir kontemporer mempertanyakan
demokrasi prosedural yang telah terserap dalam logika pasar dan representasi
simbolik. Artikel ini menutup dengan refleksi normatif tentang masa depan
demokrasi: bahwa demokrasi tetap layak dipertahankan, namun hanya jika ia
membuka ruang bagi kritik, konflik yang produktif, dan pembaruan yang
transformatif.
Kata Kunci: Demokrasi, kritik filsafat, tirani mayoritas,
Mazhab Frankfurt, demokrasi liberal, demokrasi agonistik, kapitalisme laten,
partisipasi politik, Chantal Mouffe, Noam Chomsky, Slavoj Žižek.
PEMBAHASAN
Kritik terhadap Demokrasi dari Socrates hingga Pemikir
Kontemporer
1.
Pendahuluan: Demokrasi dan Problematika
Dasarnya
Demokrasi telah lama
dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang ideal di mata banyak pemikir modern
karena menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat dalam
pengambilan keputusan politik. Secara etimologis, istilah demokratia
berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos
(kekuasaan), yang berarti “kekuasaan rakyat.” Sistem ini pertama kali
dipraktikkan dalam bentuk awalnya di polis Athena sekitar abad ke-5 SM,
meskipun dengan keterbatasan partisipasi yang signifikan karena hanya warga
pria dewasa yang memiliki hak politik penuh, sementara perempuan, budak, dan
orang asing dikecualikan dari proses politik.1
Namun, sejak awal
kemunculannya, demokrasi tidak pernah luput dari kritik, bahkan dari para
pemikir besar yang hidup dalam sistem tersebut. Para filsuf seperti Socrates
dan Plato memandang demokrasi bukan sebagai bentuk pemerintahan yang menjunjung
kebijaksanaan atau keadilan, tetapi sebagai suatu sistem yang terlalu
bergantung pada opini massa yang tidak terdidik dan mudah dimanipulasi oleh
retorika. Dalam pandangan mereka, demokrasi berisiko besar melahirkan demagogi—yakni
kekuasaan yang dipegang oleh mereka yang mampu menghasut publik, bukan oleh
mereka yang paling bijaksana atau berintegritas.2
Masalah mendasar
demokrasi terletak pada ketegangan antara kuantitas (jumlah suara
mayoritas) dan kualitas (kebijaksanaan dalam
keputusan). Demokrasi sering diasumsikan memberi tempat bagi semua suara,
tetapi hal ini tidak menjamin bahwa keputusan yang diambil selalu baik atau
benar. Inilah yang disebut sebagai masalah epistemologis dalam demokrasi:
apakah kebenaran bisa ditentukan oleh mayoritas? John Stuart Mill dalam On
Liberty memperingatkan bahaya “tirani mayoritas” yang dapat
menindas hak individu dan minoritas melalui kehendak kolektif yang tidak selalu
rasional atau adil.3
Selain itu, dalam
perkembangannya di dunia modern, demokrasi telah mengalami transformasi menjadi
bentuk yang prosedural dan liberal, yang menekankan mekanisme pemilu dan
perlindungan hak individu. Namun, para kritikus seperti Noam Chomsky dan
Sheldon Wolin melihat bahwa demokrasi liberal telah direduksi menjadi
formalitas yang dikendalikan oleh elit ekonomi dan media, sehingga melemahkan
partisipasi publik yang sejati dan menyuburkan bentuk baru dari otoritarianisme
tersembunyi atau inverted totalitarianism.4
Oleh karena itu,
meskipun demokrasi seringkali dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling “wajar”
dalam wacana politik kontemporer, kritik filosofis terhadapnya tetap relevan dan
penting untuk dikaji. Kritik tersebut tidak selalu bertujuan untuk menolak
demokrasi secara total, melainkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki
kelemahan-kelemahan struktural maupun moral yang inheren dalam sistem ini.
Dengan memahami akar dan jenis kritik dari masa Yunani klasik hingga pemikir
kontemporer, kita dapat menilai kembali fondasi teoritis dan praksis demokrasi
secara lebih mendalam dan reflektif.
Footnotes
[1]
Josiah Ober, Democracy and Knowledge: Innovation and Learning in
Classical Athens (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2008), 5–9.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VIII, 557a–562a.
[3]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 8–12.
[4]
Sheldon S. Wolin, Democracy Incorporated: Managed Democracy and the
Specter of Inverted Totalitarianism (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 2008), 19–25; Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular
Achievements of Propaganda (New York: Seven Stories Press, 2002), 16–20.
2.
Socrates dan
Demokrasi: Kritik Awal terhadap Pemerintahan Mayoritas
Socrates (470–399
SM) dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat
Barat, dan pemikirannya mengenai demokrasi sering dianggap sebagai bentuk
kritik awal terhadap sistem pemerintahan mayoritas. Meskipun Socrates tidak
meninggalkan karya tulis sendiri, ajaran dan pandangannya dapat ditelusuri
melalui karya-karya muridnya, terutama Plato dan Xenophon. Melalui
dialog-dialog ini, tampak bahwa Socrates memiliki sikap skeptis terhadap
demokrasi Athena yang kala itu sedang berada pada puncak kejayaannya, namun
juga tengah menghadapi krisis pasca-Perang Peloponnesos.
2.1.
Konteks Demokrasi Athena
dan Pengadilan Socrates
Demokrasi Athena
memberikan hak politik langsung kepada warga negaranya, yakni pria dewasa
berstatus warga, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan melalui majelis
(ekklēsia), dewan lima ratus (boule), dan pengadilan rakyat (dikasteria). Dalam
pengadilan ini, ratusan warga dipilih melalui undian untuk memutuskan
perkara—sebuah sistem yang menegaskan supremasi kehendak mayoritas dalam proses
hukum dan politik.1
Namun, justru dalam
sistem inilah Socrates dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 SM, dengan tuduhan
“merusak moral pemuda” dan “tidak menghormati dewa-dewa kota.” Dalam Apologia,
Plato menggambarkan Socrates sebagai tokoh yang menantang arus mayoritas dan
lebih tunduk pada suara nurani dan akal budi ketimbang opini massa.2
Fakta bahwa 280 dari 501 juri memilih menghukumnya menunjukkan bahwa kehendak
mayoritas bisa keliru, terutama jika dipengaruhi oleh retorika emosional dan
prasangka politik.
2.2.
Kritik Epistemologis: Opini
vs Pengetahuan
Salah satu kritik
utama Socrates terhadap demokrasi bersifat epistemologis. Ia menolak anggapan
bahwa semua warga negara memiliki kapasitas intelektual yang memadai untuk
mengambil keputusan yang rumit tentang hukum, keadilan, dan kebijakan negara.
Dalam analogi terkenal dalam Gorgias, Socrates membandingkan
demokrasi dengan kapal yang dinakhodai oleh awak yang tidak memahami ilmu
pelayaran, hanya karena mereka memiliki suara terbanyak.3
Menurutnya, pemerintahan harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki
pengetahuan (epistēmē), bukan sekadar opini (doxa).
Hal ini terlihat
pula dalam Republic,
meskipun lebih merefleksikan pandangan Plato, namun tetap berakar pada ajaran
Socratic. Di sana, digambarkan bahwa demokrasi memberi kebebasan tanpa batas
dan memperlakukan semua orang sebagai setara dalam kemampuan memerintah,
padahal tidak semua orang memiliki kebajikan atau kapasitas intelektual untuk
memimpin.4 Demokrasi, bagi Socrates, adalah sistem yang menciptakan
ilusi kesetaraan dalam pengetahuan, yang akhirnya membuka jalan bagi kemunculan
demagog dan ketidakstabilan sosial.
2.3.
Keutamaan Moral dan Peran
Individu
Socrates menekankan
bahwa tujuan hidup bukanlah kekuasaan atau kenikmatan, melainkan kebaikan jiwa
(psychē). Oleh karena itu, ia menolak menjadi bagian dari politik praktis yang
didasarkan pada kompromi moral dan persetujuan massa. Dalam Crito,
ketika sahabatnya mendorongnya untuk melarikan diri dari hukuman mati, Socrates
menolaknya dengan alasan bahwa keadilan tidak bisa ditentukan oleh mayoritas,
melainkan oleh kebenaran moral yang objektif.5 Sikap ini menunjukkan
bahwa bagi Socrates, legitimasi suatu keputusan tidak ditentukan oleh jumlah
yang menyetujui, melainkan oleh kebajikan dan kebenaran.
Dengan demikian,
Socrates telah meletakkan dasar kritik filosofis terhadap demokrasi sebagai
pemerintahan mayoritas yang tidak selalu sejalan dengan rasionalitas,
kebajikan, dan keadilan. Kritiknya bukan sekadar penolakan terhadap demokrasi
sebagai sistem, tetapi lebih merupakan peringatan bahwa keputusan politik harus
dilandasi oleh kebijaksanaan, bukan oleh suara terbanyak yang mudah
dimanipulasi. Warisan pemikirannya menjadi fondasi penting dalam perdebatan
panjang mengenai legitimasi demokrasi hingga zaman kontemporer.
Footnotes
[1]
Mogens Herman Hansen, The Athenian Democracy in the Age of
Demosthenes: Structure, Principles and Ideology (Oxford: Blackwell, 1991),
182–200.
[2]
Plato, Apology, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 17a–35d.
[3]
Plato, Gorgias, trans. Walter Hamilton and Chris Emlyn-Jones
(London: Penguin Classics, 2004), 488a–489e.
[4]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VIII, 557a–562a.
[5]
Plato, Crito, in Plato: Complete Works, ed. John M.
Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50a–54d.
3.
Plato: Demokrasi sebagai Jalan Menuju Kekacauan
Plato (427–347 SM),
murid langsung Socrates, merupakan salah satu filsuf paling awal yang
mengajukan kritik sistematis terhadap demokrasi. Dalam dialog Republic
(Politeia), ia mengembangkan suatu teori politik yang mencerminkan
ketidakpercayaannya terhadap pemerintahan yang didasarkan pada kehendak
mayoritas. Baginya, demokrasi bukanlah bentuk tertinggi pemerintahan, melainkan
satu tahap dalam proses degeneratif yang berujung pada tirani. Pandangan ini
berakar pada pengalaman pribadi dan konteks sejarah—yakni kematian Socrates
akibat putusan demokratis, serta kekacauan politik pasca-Perang Peloponnesos.
3.1.
Demokrasi sebagai
Pemerintahan yang Terdistorsi
Dalam Republic,
Plato menyusun tipologi lima bentuk pemerintahan dalam urutan hierarkis moral
dan rasional: aristokrasi (pemerintahan orang bijak), timokrasi (pemerintahan
orang yang mencintai kehormatan), oligarki (pemerintahan kaum kaya), demokrasi
(pemerintahan mayoritas), dan tirani (pemerintahan satu orang tiran).
Demokrasi, dalam urutan ini, muncul setelah kehancuran oligarki dan ditandai
oleh kebebasan yang tanpa batas dan kesetaraan yang ekstrem—yakni ketika “orang
merdeka hidup seenaknya, tanpa kendali dan disiplin.”1
Plato melihat bahwa
dalam demokrasi, semua bentuk otoritas tradisional dihancurkan atas nama
kebebasan. Orang tua tidak lagi dihormati oleh anak, guru tidak lagi disegani
oleh murid, dan hukum tidak lagi ditaati dengan sukarela. Dalam suasana semacam
ini, menurut Plato, kebebasan berubah menjadi anarki, dan kekacauan membuka
jalan bagi kemunculan tirani. Demokrasi dengan demikian tidak stabil secara
internal, karena gagal membentuk struktur kekuasaan yang berbasis pada
keutamaan dan pengetahuan.2
3.2.
Kritisisme terhadap
Kebebasan yang Tidak Terkendali
Kebebasan yang tidak
terkendali dalam demokrasi adalah titik sentral kritik Plato. Ia menilai bahwa
sistem ini mempromosikan kehidupan yang didasarkan pada kesenangan dan
keinginan individual, bukan pada kebaikan bersama atau keadilan. Dalam dialog
tersebut, Plato menciptakan gambaran tentang manusia demokratis yang hidup
menurut nafsu, berpindah dari satu kenikmatan ke kenikmatan lain tanpa arah
hidup yang stabil dan rasional. Ia menulis:
“Kebebasan besar-besaran tampaknya menjadi
ciri khusus demokrasi... namun jika seseorang menjadikan kebebasan semacam itu
sebagai satu-satunya tujuan, tidak peduli dalam masyarakat maupun individu,
hasil akhirnya adalah perbudakan.”3
Plato khawatir bahwa
masyarakat yang menempatkan kebebasan pribadi di atas ketertiban akan
melahirkan kekosongan moral, yang pada akhirnya membuat rakyat menginginkan
penguasa kuat untuk mengatasi kekacauan. Di sinilah letak paradoks demokrasi:
sistem yang dimulai dengan kebebasan berakhir dalam tirani.
3.3.
Demokrasi dan Munculnya
Demagogi
Salah satu aspek
yang paling ditakuti Plato dari demokrasi adalah potensi munculnya demagog—yakni
tokoh populis yang memanfaatkan retorika untuk memperoleh kekuasaan, bukan
berdasarkan kebajikan, tetapi popularitas. Demagogi tumbuh subur dalam
masyarakat yang mengagungkan kebebasan namun tidak memiliki standar
kebijaksanaan. Plato menulis bahwa “tirani biasanya tumbuh dari akar
demokrasi yang paling ekstrem.”4 Dengan kata lain, demokrasi
menciptakan kondisi psikologis dan sosial yang memudahkan seseorang yang
karismatik namun berbahaya untuk mengambil alih kekuasaan melalui hasutan
massa.
Fenomena ini sangat
relevan dalam banyak peristiwa politik modern, di mana populisme dan manipulasi
media sering menggantikan pertimbangan rasional dalam pemilu. Kritik Plato
terhadap demagogi dapat dibaca sebagai peringatan bahwa sistem demokratis tanpa
mekanisme penyaringan berbasis kebajikan berisiko melahirkan otoritarianisme
dengan legitimasi elektoral.
3.4.
Solusi Ideal: Pemerintahan
Para Filsuf
Sebagai alternatif
dari demokrasi, Plato mengusulkan bentuk pemerintahan ideal berupa aristokrasi
filosofis, di mana kekuasaan dipegang oleh para filsuf yang
telah menjalani pendidikan panjang dan memahami ide tentang keadilan, kebaikan,
serta hakikat realitas. Dalam pandangannya, hanya mereka yang mencintai
kebenaran dan tidak terikat oleh nafsu kekuasaan yang layak memerintah.
Pemerintahan tidak seharusnya berada di tangan mayoritas yang tidak
berpengetahuan, melainkan di tangan minoritas yang telah mencapai pemahaman filosofis
tentang logos
dan keadilan.5
Dengan demikian,
Plato memandang demokrasi bukan sebagai sistem yang menjamin keadilan,
melainkan sebagai bentuk pemerintahan yang rapuh, penuh ilusi kebebasan, dan
berpotensi menghasilkan tirani. Kritiknya didasarkan pada analisis mendalam
mengenai psikologi massa, dinamika kekuasaan, dan pentingnya pendidikan moral
dalam masyarakat. Meskipun pandangan Plato sering dianggap elitis, warisannya
tetap relevan dalam diskusi tentang krisis demokrasi di era modern, terutama
dalam menghadapi tantangan populisme dan erosi kepercayaan publik terhadap
rasionalitas politik.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VIII, 562b–564a.
[2]
Ibid., 562e–563d.
[3]
Ibid., 562c–563a.
[4]
Ibid., 565d.
[5]
Plato, Republic, Book V, 473c–480a.
4.
Aristoteles: Kritik Moderat terhadap Demokrasi
dan Usulan Politeia
Berbeda dengan Plato
yang memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menuju kekacauan dan
tirani, Aristoteles (384–322 SM) menawarkan pendekatan yang lebih empiris,
realistis, dan moderat dalam menilai sistem pemerintahan. Dalam karya monumentalnya,
Politics,
Aristoteles tidak serta-merta menolak demokrasi, tetapi mengkaji berbagai
bentuk pemerintahan berdasarkan asas keadilan dan kepentingan umum. Ia mengakui
bahwa semua bentuk pemerintahan memiliki potensi untuk memburuk, dan bahwa
stabilitas negara bergantung pada keseimbangan antara kepentingan mayoritas dan
minoritas.
4.1.
Tipologi Pemerintahan:
Bentuk Ideal dan Menyimpang
Aristoteles membagi
sistem pemerintahan ke dalam dua kategori besar: yang berorientasi pada kebaikan
bersama (true forms) dan yang melayani kepentingan penguasa sendiri
(deviant forms). Dalam kategori pertama, ia mencatat tiga bentuk utama: monarki
(pemerintahan satu orang untuk kebaikan bersama), aristokrasi
(kelompok kecil berkuasa demi keadilan), dan politeia (gabungan dari
demokrasi dan oligarki). Sebaliknya, bentuk-bentuk yang menyimpang adalah tiran,
oligarki,
dan demokrasi
dalam bentuk ekstremnya, yang hanya mengejar kepentingan kelas penguasa
masing-masing.1
Demokrasi dalam
pengertian menyimpang menurut Aristoteles adalah ketika mayoritas miskin
menggunakan kekuasaan untuk kepentingan kelasnya sendiri, dan bukan demi
keseluruhan polis. Ia menulis bahwa dalam sistem seperti ini, “yang menjadi
hukum bukanlah keadilan, melainkan suara terbanyak, dan ini bisa merugikan
pihak minoritas.”2 Oleh karena itu, bagi Aristoteles, demokrasi
dalam bentuk ekstremnya tidak dapat dipertahankan tanpa menghasilkan
ketidakstabilan sosial.
4.2.
Kelebihan dan Kekurangan
Demokrasi menurut Aristoteles
Kendati demikian,
Aristoteles juga tidak menolak seluruh unsur demokrasi. Ia mencatat bahwa warga
negara biasa dapat berkontribusi secara positif dalam pemerintahan apabila
mereka berpartisipasi dalam proses deliberatif yang berdasarkan hukum. Ia
berpendapat bahwa “banyak orang, meskipun secara individual kurang cakap,
namun secara kolektif dapat membuat keputusan yang lebih baik dibanding satu
orang yang sangat cakap.”3 Pandangan ini mencerminkan
kepercayaannya terhadap potensi kebijaksanaan kolektif, dengan syarat bahwa
sistem hukum ditegakkan dan hasrat individual dibatasi oleh norma-norma
kebajikan sipil.
Dengan kata lain,
demokrasi bisa berguna jika dibatasi dan dikombinasikan dengan elemen lain yang
memperkuat stabilitas dan keadilan. Dalam hal ini, peran pendidikan politik,
hukum, dan konstitusi menjadi sangat penting.
4.3.
Politeia: Jalan Tengah
antara Demokrasi dan Oligarki
Sebagai solusi atas
ketegangan antara kekuasaan mayoritas (demokrasi) dan minoritas kaya
(oligarki), Aristoteles mengusulkan bentuk pemerintahan yang ia sebut politeia.
Sistem ini merupakan perpaduan dari elemen demokratis dan oligarkis yang
menyeimbangkan kekuasaan dan mencegah dominasi satu kelas sosial terhadap yang
lain. Dalam Politics, ia menyatakan bahwa
politeia adalah bentuk pemerintahan “di mana kelas menengah berkuasa atau
berperan dominan,” karena kelas ini cenderung moderat, tidak ekstrem
seperti kaum sangat miskin atau sangat kaya.4
Aristoteles percaya
bahwa kelas menengah adalah fondasi bagi stabilitas politik. Kelas ini, karena
tidak memiliki kepentingan ekstrem, mampu menjaga harmoni dan menghindari
konflik kelas. Oleh karena itu, politeia merupakan bentuk pemerintahan yang
paling mungkin bertahan lama dan menciptakan keadilan yang seimbang di antara
berbagai golongan masyarakat.
4.4.
Keadilan dan Kepentingan
Umum sebagai Ukuran Legitimasi
Bagi Aristoteles,
legitimasi suatu sistem pemerintahan tidak ditentukan oleh jumlah orang yang
berkuasa, melainkan oleh apakah pemerintahan itu diarahkan pada kepentingan
umum atau kepentingan diri sendiri. Maka, bahkan demokrasi sekalipun bisa
menjadi bentuk pemerintahan yang dapat diterima jika diarahkan pada keadilan
dan kemaslahatan polis secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan fleksibilitas
filsafat politik Aristoteles, yang tidak memutlakkan satu bentuk pemerintahan
ideal, melainkan mengukur kebaikan suatu sistem berdasarkan praktik
keadilannya.
Dengan demikian,
Aristoteles menawarkan kritik terhadap demokrasi yang bersifat konstruktif,
bukan destruktif.
Ia menyadari bahwa setiap bentuk pemerintahan memiliki kelemahan, dan karena
itu menawarkan politeia sebagai jalan tengah yang
dapat menyatukan kebebasan politik dan stabilitas sosial. Warisan pemikiran
Aristoteles tetap relevan dalam konteks demokrasi modern yang tengah bergulat
dengan ketimpangan sosial, polarisasi, dan krisis representasi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), Book III, 1279a–1280a.
[2]
Ibid., Book IV, 1292a.
[3]
Ibid., Book III, 1281b.
[4]
Ibid., Book IV, 1295b–1296a.
5.
Para Filsuf Abad Pertengahan dan Awal Modern:
Ketiadaan Demokrasi sebagai Pilihan Filsafati
Jika filsuf-filsuf
klasik seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles secara aktif memperdebatkan
keunggulan dan kelemahan berbagai bentuk pemerintahan termasuk demokrasi, maka
situasi berubah secara drastis pada Abad Pertengahan dan awal era modern. Pada
masa ini, demokrasi praktis tidak muncul sebagai alternatif yang signifikan
dalam diskursus filsafat politik. Ketiadaan demokrasi sebagai pilihan filsafati
mencerminkan perubahan orientasi pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh doktrin
teologis, struktur hierarkis feodal, dan kemudian oleh konsepsi baru tentang
kekuasaan negara dan otoritas absolut.
5.1.
Dominasi Teologi Politik:
Augustinus dan Thomas Aquinas
Dalam konteks
Kristen Abad Pertengahan, pemikiran politik didominasi oleh pandangan
teosentris. Santo Augustinus (354–430 M), dalam karya besarnya De
Civitate Dei (Kota Allah), membagi dunia ke dalam dua kota: Civitas
Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Duniawi). Ia
menganggap bahwa semua pemerintahan duniawi, termasuk demokrasi, tidak memiliki
legitimasi penuh karena bersifat sementara dan terikat pada kehendak manusia
yang cenderung berdosa.1 Oleh karena itu, Augustinus tidak membela
bentuk pemerintahan tertentu, tetapi lebih menekankan perlunya ketundukan pada
tatanan ilahi sebagai sumber kedamaian dan keadilan sejati.
Sementara itu,
Thomas Aquinas (1225–1274), dalam Summa Theologiae dan De Regno,
cenderung lebih akomodatif terhadap gagasan politik duniawi. Ia menerima bahwa
bentuk pemerintahan bisa bermacam-macam selama bertujuan pada kebaikan bersama
(bonum
commune). Meski demikian, ia tetap menunjukkan preferensi terhadap
bentuk monarki, karena menurutnya pemerintahan satu orang yang bijak dan adil
lebih efisien dalam menjamin keadilan daripada pemerintahan banyak orang.2
Demokrasi, dalam pengertian pemerintahan oleh massa, tidak mendapat tempat
dalam sistem filsafat politik skolastik yang menekankan hierarki, keteraturan,
dan ilham ilahi.
5.2.
Pandangan Realistis
Machiavelli: Kekuasaan tanpa Ilusi Moral
Berpindah ke awal
zaman modern, Niccolò Machiavelli (1469–1527) muncul sebagai sosok yang
merevolusi cara berpikir tentang politik. Dalam Il Principe dan Discorsi
sopra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli tidak menilai sistem
politik berdasarkan moralitas atau wahyu, melainkan berdasarkan efektivitas
dalam mempertahankan kekuasaan. Ia memang tidak menolak peran rakyat secara
total, terutama dalam Discorsi, tetapi tetap tidak
menganjurkan bentuk demokrasi dalam arti pemerintahan oleh kehendak mayoritas
yang bebas dan egaliter. Sebaliknya, ia lebih tertarik pada republica
mista, yakni sistem campuran antara aristokrasi dan partisipasi
rakyat yang dikendalikan oleh hukum dan kekuatan militer.3
Machiavelli
menegaskan bahwa dalam politik, kebajikan bukan berarti moral, melainkan
kemampuan untuk bertindak secara strategis dalam situasi konkret. Oleh karena itu,
bagi Machiavelli, rakyat bisa berguna untuk menahan ambisi elite, tetapi tidak
cukup rasional untuk memerintah sendiri tanpa arah. Ini menunjukkan bahwa
sekalipun pemikiran Machiavelli bersifat sekuler dan anti-teokratis, ia tetap
skeptis terhadap demokrasi sebagai sistem yang stabil.
5.3.
Warisan Filsafat Politik
Awal Modern: Antara Absolutisme dan Kontrak Sosial
Para pemikir awal
modern lainnya, seperti Jean Bodin dan Thomas Hobbes, juga tidak menaruh
harapan besar pada demokrasi. Jean Bodin (1530–1596) dalam Six
Livres de la République mendukung konsep kedaulatan tunggal yang
tak terbagi dan berpihak pada monarki sebagai bentuk pemerintahan yang paling
efektif untuk mempertahankan ketertiban dan hukum.4
Thomas Hobbes
(1588–1679), dalam Leviathan, melihat negara sebagai
hasil kontrak sosial yang dibentuk untuk menghindari kekacauan dan perang semua
melawan semua (bellum omnium contra omnes). Bagi
Hobbes, rakyat memang sumber legitimasi kekuasaan, tetapi setelah kekuasaan
diberikan kepada Leviathan (penguasa tunggal), rakyat kehilangan hak campur
tangan dalam urusan negara. Demokrasi langsung tidak mungkin dilakukan karena
akan mengembalikan manusia pada keadaan alam yang brutal dan tidak aman.5
Kesimpulan
Sepanjang Abad
Pertengahan hingga awal modern, demokrasi nyaris tidak pernah dianggap sebagai
pilihan rasional atau moral yang layak oleh para filsuf besar. Dalam dunia yang
dipengaruhi oleh teologi, feodalisme, dan ketakutan terhadap anarki, para
pemikir lebih memilih sistem pemerintahan yang menjamin stabilitas, keteraturan,
dan legitimasi hierarkis. Kritik terhadap demokrasi pada masa ini bukanlah
kritik eksplisit seperti yang dikembangkan Plato atau Aristoteles, tetapi lebih
berupa pengabaian terhadapnya sebagai alternatif filosofis yang layak. Baru
pada pencerahan dan era revolusi modern, demokrasi kembali memperoleh tempat
dalam wacana filsafat politik.
Footnotes
[1]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX.
[2]
Thomas Aquinas, De Regno: On Kingship, trans. Gerald B. Phelan
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), I.1–3.
[3]
Niccolò Machiavelli, Discourses on Livy, trans. Harvey C.
Mansfield and Nathan Tarcov (Chicago: University of Chicago Press, 1996), Book
I, chapters 2–4.
[4]
Jean Bodin, Six Books of the Commonwealth, trans. M. J. Tooley
(Oxford: Blackwell, 1955), Book I, chapter 8.
[5]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), chapters XIII–XVIII.
6.
Kritik Konservatif Modern: Edmund Burke dan
Ketakutan terhadap Revolusi
Dalam sejarah kritik
terhadap demokrasi modern, Edmund Burke (1729–1797)
menempati posisi penting sebagai pelopor pemikiran konservatif. Ia bukan hanya
mengkritik demokrasi secara abstrak, tetapi secara khusus menanggapi bentuk
radikal dari demokrasi yang lahir dalam Revolusi Prancis (1789), yang menurutnya
telah mengoyak tatanan sosial dan moral masyarakat Eropa. Kritik Burke
mencerminkan ketakutan kaum konservatif terhadap gagasan kebebasan politik yang
dilepaskan dari tradisi, agama, dan institusi historis yang mapan. Bukunya yang
terkenal, Reflections
on the Revolution in France (1790), menjadi manifestasi awal dari
konservatisme modern dan kritik filosofis terhadap demokrasi radikal berbasis
rasionalitas abstrak dan kehendak mayoritas tanpa batas.
6.1.
Tradisi dan Otoritas: Pilar
Tatanan Sosial
Bagi Burke,
masyarakat adalah hasil konstruksi sejarah panjang yang dibentuk melalui
kebiasaan, adat istiadat, dan warisan moral. Ia menolak pandangan revolusioner
bahwa masyarakat dapat dibangun kembali dari nol berdasarkan prinsip-prinsip
rasional yang diklaim universal. Demokrasi dalam bentuknya yang revolusioner,
menurut Burke, membahayakan kontinuitas sejarah dan membongkar lembaga-lembaga
seperti monarki, agama, dan aristokrasi yang telah menjadi penopang stabilitas
sosial dan moral.1
Burke menulis:
“People will not look forward to posterity
who never look backward to their ancestors.”2
Pernyataan ini
menekankan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menghormati akar
historisnya, bukan yang mengabaikannya demi utopia abstrak.
6.2.
Kritik terhadap Demokrasi
Radikal: Kebebasan Tanpa Kendali
Burke tidak menolak
prinsip representasi politik atau pemerintahan yang mendengarkan rakyat. Namun,
ia sangat kritis terhadap bentuk demokrasi radikal yang tidak dibatasi oleh
hukum dan norma-norma tradisional. Demokrasi semacam ini dianggap terlalu
percaya pada rasionalitas individu dan menggantikan otoritas yang teruji dengan kehendak
massa yang mudah berubah. Bagi Burke, revolusi bukanlah reformasi,
melainkan pengkhianatan terhadap tatanan moral dan sosial yang telah diwariskan
antar generasi.
Burke menulis bahwa
kebebasan sejati bukanlah “melakukan apa pun yang diinginkan,” tetapi “bertindak
dalam kerangka institusi yang menjamin kebajikan dan ketertiban.”3
Dengan demikian, demokrasi harus dibatasi oleh prinsip-prinsip moral yang
tertanam dalam struktur masyarakat, bukan semata-mata kehendak mayoritas yang
fluktuatif dan dapat dipolitisasi.
6.3.
Kecaman terhadap Kekerasan
dan Anarki Revolusioner
Burke juga
mengkritik keras kekerasan politik yang menyertai revolusi. Ia menyamakan
Revolusi Prancis dengan kejahatan moral dan kehancuran spiritual. Ia menyebut
para revolusioner sebagai “manusia baru yang kehilangan semua rasa malu dan
ikatan dengan peradaban.”4 Kekhawatiran ini muncul karena
demokrasi radikal cenderung mengabaikan hukum dan legitimasi konstitusional
demi kehendak populer yang dibungkus dalam jargon kesetaraan dan kebebasan.
Sebagai alternatif,
Burke lebih mendukung perubahan bertahap melalui proses evolusi sosial, bukan
revolusi. Ia percaya bahwa reformasi hanya sah apabila dilakukan dalam kerangka
hukum yang berlaku dan dengan penghormatan pada institusi yang ada. Dalam
pandangannya, kehendak publik bukanlah dasar kebenaran moral, melainkan harus
dibimbing oleh kebajikan dan pengalaman historis.
6.4.
Warisan Burke dalam Kritik
Demokrasi Kontemporer
Pemikiran Burke
terus memengaruhi kritik konservatif terhadap demokrasi hingga abad ke-21,
terutama dalam wacana tentang populisme, erosi
tradisi, dan krisis otoritas institusional.
Konservatisme politik modern—seperti dalam gagasan Roger Scruton—menggemakan
banyak gagasan Burke tentang pentingnya warisan budaya, institusi perantara,
dan kecurigaan terhadap eksperimen sosial berskala besar.5
Meskipun Burke hidup
dalam konteks sejarah yang sangat berbeda dari demokrasi liberal kontemporer,
kritiknya tetap relevan sebagai pengingat bahwa sistem politik tidak hanya
membutuhkan legitimasi demokratis, tetapi juga fondasi moral, historis, dan
institusional yang kuat. Tanpa itu, demokrasi berisiko terjerumus pada
anarkisme, demagogi, dan dekadensi moral.
Footnotes
[1]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France, ed.
Frank M. Turner (New Haven: Yale University Press, 2003), 19–25.
[2]
Ibid., 96.
[3]
Ibid., 109–110.
[4]
Ibid., 132.
[5]
Roger Scruton, How to Be a Conservative (London: Bloomsbury,
2014), 45–60.
7.
Filsafat Modern: Alexis de Tocqueville dan
Tirani Mayoritas
Dalam sejarah
pemikiran politik modern, Alexis de Tocqueville
(1805–1859) dikenal sebagai salah satu pengamat paling tajam terhadap dinamika
demokrasi, terutama dalam konteks Amerika Serikat. Karya utamanya, Democracy
in America (1835–1840), bukan hanya sebuah catatan perjalanan,
melainkan juga analisis filosofis yang mendalam tentang kekuatan, kelemahan,
dan paradoks dalam sistem demokrasi modern. Salah satu konsep penting yang ia
rumuskan adalah tirani mayoritas—yakni situasi
di mana suara terbanyak dalam masyarakat demokratis justru menindas kebebasan
individu dan pluralisme pandangan.
7.1.
Demokrasi Amerika sebagai
Laboratorium Sosial
Tocqueville
melakukan perjalanan ke Amerika Serikat pada awal 1830-an dan mengamati bahwa
demokrasi di sana bukan sekadar sistem politik, melainkan suatu kondisi sosial
yang merata. Ia terkesan dengan egalitarianisme yang meluas, partisipasi
politik yang tinggi, dan semangat kesukarelaan masyarakat sipil. Namun, di
balik kekagumannya, Tocqueville mencatat bahaya tersembunyi: ketika kesetaraan
menjadi ideologi dominan, masyarakat cenderung menekan perbedaan demi
konformitas sosial dan politik.1
Menurut Tocqueville,
masyarakat demokratis lebih mungkin menyerah pada tekanan opini publik, bukan
karena paksaan negara, tetapi karena rasa malu sosial yang kuat terhadap
pandangan yang menyimpang dari mayoritas. Ini berbeda dari otoritarianisme
klasik yang menggunakan kekuatan negara; demokrasi bisa menindas melalui
norma-norma sosial yang tersembunyi namun efektif.
7.2.
Konsep Tirani Mayoritas
Tocqueville
menciptakan istilah "tyranny of the majority"
untuk menggambarkan situasi di mana suara terbanyak bukan hanya mengatur hukum
dan kebijakan, tetapi juga membentuk norma moral dan opini publik sedemikian
rupa sehingga kebebasan berpikir dan berekspresi menjadi terancam. Ia menulis:
“Di bawah absolutisme, despotisme
mengendalikan tubuh; tetapi demokrasi cenderung menguasai jiwa.”2
Menurut Tocqueville,
dalam masyarakat yang sangat egaliter, mayoritas tidak hanya memiliki kekuasaan
politik, tetapi juga otoritas moral yang nyaris tak terbantahkan. Ini
menciptakan kondisi psikologis di mana individu takut berpikir berbeda karena
khawatir dikucilkan secara sosial. Dalam konteks ini, demokrasi berpotensi
menjadi sistem totaliter yang halus.
7.3.
Kelemahan Demokrasi:
Keseragaman dan Anti-Intelektualisme
Tocqueville juga
memperingatkan bahwa semangat kesetaraan dalam demokrasi bisa menimbulkan anti-intelektualisme,
yakni kecurigaan terhadap keahlian dan otoritas intelektual. Karena setiap
orang merasa setara dalam penilaian, otoritas pemikiran dianggap mencurigakan
atau bahkan elitis. Ini bisa menyebabkan penurunan kualitas dalam debat publik
dan keputusan politik yang didasarkan pada preferensi populer, bukan
kebijaksanaan.3
Selain itu, dalam
sistem yang sangat egaliter, kecenderungan untuk mencari kenyamanan dan
stabilitas dapat menggerus keberanian moral untuk mempertahankan pendapat yang
berbeda. Tocqueville menulis bahwa demokrasi cenderung menciptakan “massa
yang pasif dan puas diri,” yang lebih tertarik pada kesejahteraan material
daripada kebebasan berpikir.4
7.4.
Solusi Tocqueville: Pluralisme
dan Masyarakat Sipil
Meskipun mengkritik
aspek-aspek tertentu dari demokrasi, Tocqueville bukanlah penentang demokrasi
secara keseluruhan. Sebaliknya, ia percaya bahwa demokrasi bisa menjadi sistem
yang stabil dan adil jika didampingi oleh masyarakat sipil yang kuat,
kebebasan pers, dan lembaga-lembaga perantara yang menghalangi sentralisasi
kekuasaan. Gereja, asosiasi, dan komunitas lokal berperan penting dalam
menumbuhkan partisipasi aktif dan kebajikan sipil.
Ia juga menekankan
pentingnya pendidikan politik dan budaya
kebebasan, agar warga negara tidak hanya menjadi partisipan
pasif dalam pemilu, tetapi juga menjadi pelindung nilai-nilai kebebasan dan
pluralisme. Dalam hal ini, Tocqueville lebih dekat pada demokrasi deliberatif
daripada demokrasi mayoritarian yang kaku.
Kesimpulan
Tocqueville
menyadari potensi besar demokrasi dalam memajukan kesetaraan dan partisipasi,
tetapi juga mengingatkan bahaya laten yang melekat di dalamnya. Tirani
mayoritas, dalam pemikirannya, bukan sekadar dominasi politik,
melainkan dominasi psikologis dan budaya yang dapat melumpuhkan kebebasan
individu. Pemikirannya tetap relevan di era modern, terutama ketika demokrasi
dihadapkan pada polarisasi, tekanan sosial media, dan penurunan kualitas
deliberasi publik.
Footnotes
[1]
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C.
Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), Vol.
I, Part 2, Chapter 5.
[2]
Ibid., Vol. I, Part 2, Chapter 7, 244.
[3]
Ibid., Vol. II, Part 1, Chapter 2.
[4]
Ibid., Vol. II, Part 2, Chapter 14.
8.
Kritik dari Mazhab Frankfurt: Demokrasi dalam
Kapitalisme Laten
Mazhab Frankfurt,
yang lahir dari Institut für Sozialforschung di Universitas Frankfurt pada awal
abad ke-20, menawarkan salah satu bentuk kritik paling tajam dan radikal
terhadap demokrasi liberal modern. Tokoh-tokoh utama seperti Theodor
W. Adorno, Max Horkheimer, Herbert
Marcuse, dan kemudian Jürgen Habermas, mengembangkan teori
kritis sebagai upaya untuk membongkar ilusi kebebasan, rasionalitas,
dan emansipasi yang dijanjikan oleh sistem demokrasi kapitalistik. Bagi mereka,
demokrasi di masyarakat modern telah kehilangan esensinya sebagai ruang
deliberatif yang bebas dan setara, dan malah berfungsi sebagai alat
legitimasi bagi dominasi ekonomi dan ideologis dalam tatanan
kapitalisme lanjut (late capitalism).
8.1.
Demokrasi sebagai Alat
Ideologi dalam Masyarakat Industri
Dalam Dialectic
of Enlightenment (1944), Adorno dan Horkheimer menunjukkan bahwa rasionalitas
dalam masyarakat modern telah tereduksi menjadi instrumental rationality—rasionalitas
yang hanya berorientasi pada efisiensi teknis dan kontrol, bukan pada
nilai-nilai etis dan emansipatif. Mereka mengamati bahwa demokrasi liberal
modern tidak membebaskan manusia, tetapi justru memperkuat keterasingan dengan
menciptakan ilusi kebebasan melalui konsumsi, hiburan massal, dan birokrasi
politik yang kering dari partisipasi sejati.1
Menurut mereka,
dalam sistem seperti ini, warga negara direduksi menjadi objek dari manajemen
sosial alih-alih menjadi subjek politik yang otonom. Demokrasi
tidak lagi bersifat deliberatif, tetapi menjadi semacam prosedur formal yang
dikendalikan oleh struktur ekonomi dan media massa, yang menanamkan nilai-nilai
hegemonik melalui apa yang mereka sebut sebagai industri budaya (culture industry).2
8.2.
Herbert Marcuse dan Manusia
Satu Dimensi
Herbert Marcuse,
dalam karyanya One-Dimensional Man (1964),
melanjutkan kritik Mazhab Frankfurt terhadap demokrasi dalam konteks masyarakat
industri maju. Menurutnya, masyarakat modern telah menciptakan manusia yang “satu
dimensi” (one-dimensional), yakni individu
yang kehilangan kapasitas untuk berpikir kritis karena telah terserap dalam
struktur sosial yang mempromosikan kenyamanan, efisiensi, dan kepatuhan pasif
terhadap status quo.3
Marcuse berargumen
bahwa sistem demokrasi liberal telah menjinakkan potensi revolusioner rakyat
melalui integrasi sosial dan ideologisasi kebutuhan. Dalam demokrasi
kapitalistik, rakyat memang memiliki hak suara, tetapi pilihan-pilihan politik
yang tersedia telah terlebih dahulu dikonstruksi secara ideologis sehingga
hanya memperkuat sistem dominasi. Demokrasi di sini hanya tampak bebas, tetapi
sejatinya tidak memiliki ruang sejati untuk oposisi radikal.
8.3.
Jürgen Habermas dan
Demokrasi Deliberatif
Sebagai tokoh
generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas mengembangkan kritik yang
lebih konstruktif terhadap demokrasi. Ia mengakui bahwa demokrasi liberal telah
mengalami kolonisasi
dunia kehidupan (Lebenswelt) oleh sistem pasar dan
birokrasi, namun ia tetap percaya bahwa demokrasi bisa diselamatkan melalui
revitalisasi ruang publik yang rasional dan deliberatif.4
Dalam The
Structural Transformation of the Public Sphere (1962), Habermas
menggambarkan bagaimana ruang publik borjuis pada abad ke-18 awalnya berfungsi
sebagai arena diskusi kritis dan partisipatif yang tidak terikat oleh kekuasaan
negara atau pasar. Namun, seiring berkembangnya kapitalisme dan media massa,
ruang publik mengalami komersialisasi dan manipulasi, sehingga melemahkan
fungsi demokrasi sebagai sarana diskusi dan pencapaian konsensus rasional.5
Untuk itu, Habermas
mengusulkan demokrasi deliberatif, yaitu
bentuk demokrasi yang menekankan pentingnya partisipasi wacana (discourse
participation), argumen rasional, dan pencarian kesepakatan tanpa dominasi.
Dalam sistem seperti ini, kekuasaan tidak sah kecuali dapat
dipertanggungjawabkan melalui proses komunikasi yang bebas dan setara.
8.4.
Kritik terhadap Demokrasi
Prosedural
Baik Marcuse maupun
Habermas sepakat bahwa demokrasi prosedural, yakni
demokrasi yang semata-mata bertumpu pada pemilu dan legalitas formal, tidak
cukup untuk menciptakan masyarakat yang bebas. Dalam konteks kapitalisme
lanjut, demokrasi justru tereduksi menjadi teknik manajemen sosial dan bukan
alat emansipasi. Oleh karena itu, mereka menuntut bentuk demokrasi yang lebih
radikal dan substantif—demokrasi yang tidak hanya menghitung suara, tetapi
mendengarkan suara; yang tidak hanya memberi hak, tetapi membuka ruang kritik
dan pembebasan.
Kesimpulan
Kritik Mazhab
Frankfurt terhadap demokrasi mengungkap kontradiksi mendalam dalam sistem
modern: bahwa kebebasan bisa menjadi penjara, bahwa suara mayoritas bisa
dimanipulasi, dan bahwa partisipasi bisa menjadi bentuk pasivitas terlembaga.
Namun, warisan pemikiran mereka juga membuka jalan bagi rekonstruksi demokrasi
yang lebih emansipatoris—yang tidak hanya demokratis dalam prosedur, tetapi
juga dalam struktur sosial dan budaya yang melingkupinya.
Footnotes
[1]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford, CA: Stanford University Press, 2002), 94–136.
[2]
Ibid., 120–128.
[3]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press,
1964), 3–18.
[4]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 287–328.
[5]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas
Burger and Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 141–180.
9.
Kritik Postmodern dan Kontemporer: Chantal
Mouffe, Žižek, dan Noam Chomsky
Kritik terhadap
demokrasi tidak berhenti pada era modern dan teori kritis Frankfurt. Dalam
konteks postmodernisme dan pemikiran kontemporer, muncul gelombang baru kritik
yang menyoroti kerapuhan demokrasi liberal, manipulasi
wacana politik, dan domestikasi oposisi dalam
masyarakat global yang semakin kompleks. Tiga tokoh penting yang menonjol dalam
arus kritik ini adalah Chantal Mouffe, Slavoj
Žižek, dan Noam Chomsky. Ketiganya,
meskipun berbeda dalam pendekatan, menawarkan telaah tajam terhadap ilusi demokrasi
liberal kontemporer, serta menyuarakan pentingnya perlawanan terhadap konsensus
yang menyingkirkan konflik, subordinasi media, dan kooptasi ideologis dalam
sistem politik global.
9.1.
Chantal Mouffe: Demokrasi
Agonistik dan Kritik terhadap Konsensus Liberal
Chantal Mouffe
mengembangkan konsep demokrasi agonistik sebagai
kritik terhadap model demokrasi deliberatif dan liberal yang terlalu menekankan
konsensus. Dalam The Democratic Paradox (2000),
Mouffe menegaskan bahwa pluralisme politik yang sehat justru membutuhkan
pengakuan terhadap konflik permanen di antara
pandangan dunia yang berbeda. Demokrasi yang terlalu menekankan kesepakatan,
menurutnya, justru menghapus ruang oposisi dan menghasilkan depolitisasi
masyarakat.1
Mouffe membedakan
antara antagonisme—pertarungan
eksistensial antara musuh yang saling meniadakan—dan agonisme—persaingan
antara lawan yang sah dalam kerangka institusi demokratis. Ia berargumen bahwa
demokrasi seharusnya tidak menghilangkan konflik, melainkan menyalurkannya
secara konstruktif dalam ruang publik. Dalam sistem liberal saat ini, banyak
pertarungan ideologis direduksi menjadi soal manajemen teknokratis, sehingga
melemahkan daya kritis rakyat terhadap struktur kekuasaan dominan.2
9.2.
Slavoj Žižek: Demokrasi
sebagai Ideologi Penyangkal Kekuasaan
Filsuf Slovenia
Slavoj Žižek dikenal karena gaya postmarxis dan pendekatannya yang
menggabungkan Hegelianisme, psikoanalisis Lacanian, dan kritik budaya populer.
Dalam karya-karyanya seperti Living in the End Times (2010), Žižek
mengkritik demokrasi liberal sebagai ideologi dominan yang
menyembunyikan realitas eksploitasi dan kekerasan simbolik kapitalisme global.
Ia berpendapat bahwa demokrasi saat ini telah menjadi semacam formalisme
kosong yang menjaga stabilitas sistem, tetapi tidak memiliki
kapasitas untuk mengubah struktur sosial-ekonomi yang eksploitatif.3
Menurut Žižek,
sistem demokrasi liberal menjadikan semua persoalan sebagai permasalahan
administratif, menutupi antagonisme kelas, dan memproduksi kesadaran palsu yang
membuat rakyat menerima ketidakadilan sebagai “keniscayaan ekonomi.”
Demokrasi di era globalisasi tidak membebaskan rakyat, melainkan menyisipkan
mekanisme kendali melalui konsumsi, media, dan wacana “kebebasan” yang
sudah dikooptasi oleh pasar.4 Ia menyebut sistem ini sebagai post-political
condition, di mana politik sejati dibungkam atas nama
stabilitas dan harmoni sosial.
9.3.
Noam Chomsky: Demokrasi
Prosedural dan Kontrol Korporasi
Noam Chomsky,
linguistikawan dan intelektual publik asal Amerika Serikat, mengembangkan
kritik tajam terhadap demokrasi liberal dari perspektif kiri-libertarian. Dalam
Manufacturing
Consent (1988), bersama Edward S. Herman, Chomsky menunjukkan
bagaimana media arus utama tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi membentuk
opini publik melalui kerangka (framing) yang melayani
kepentingan elite politik dan ekonomi.5 Demokrasi, dalam
pengamatannya, telah direduksi menjadi ritual pemilu yang dikendalikan oleh
modal dan propaganda.
Chomsky menekankan
bahwa sistem demokrasi Amerika—dan Barat secara umum—hanyalah demokrasi
prosedural, yakni demokrasi yang secara formal menjamin hak-hak
politik, tetapi dalam praktiknya diintervensi oleh kekuasaan korporasi besar,
lembaga keuangan, dan kelompok pelobi. Hal ini menciptakan apa yang ia sebut
sebagai ilusi partisipasi, di mana
rakyat seolah memiliki kontrol melalui suara mereka, padahal agenda publik
telah ditentukan sebelumnya oleh elite ekonomi dan politik.6
9.4.
Menuju Demokrasi Radikal
dan Partisipatif
Ketiga pemikir
ini—Mouffe, Žižek, dan Chomsky—mengkritik demokrasi liberal bukan karena
menolak demokrasi, tetapi karena menghendaki bentuk demokrasi yang lebih
substantif, partisipatif, dan transformatif. Mouffe mengajak
masyarakat untuk mengakui dan mengelola konflik secara produktif. Žižek
menuntut demokrasi yang tidak sekadar melestarikan status quo, melainkan
terbuka terhadap intervensi radikal. Sementara Chomsky mendesak perlunya
demokrasi yang benar-benar berbasis partisipasi warga, bebas dari dominasi
korporasi dan media.
Secara bersama,
mereka menunjukkan bahwa tantangan utama demokrasi kontemporer bukan terletak
pada kelembagaan prosedural, tetapi pada ketimpangan struktural, penghilangan
antagonisme, dan penguasaan ideologi oleh elite dominan.
Demokrasi, jika ingin tetap relevan, harus membebaskan diri dari kooptasi
kekuasaan dan membuka ruang bagi konflik, kritik, dan pembaruan radikal.
Footnotes
[1]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000),
2–5.
[2]
Ibid., 101–119.
[3]
Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010),
79–90.
[4]
Slavoj Žižek, The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political
Ontology (London: Verso, 1999), 336–339.
[5]
Edward S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The
Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988),
1–35.
[6]
Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular Achievements of
Propaganda, 2nd ed. (New York: Seven Stories Press, 2002), 16–27.
10.
Penutup: Apakah Demokrasi Layak Dipertahankan?
Dari Socrates di
Athena kuno hingga pemikir kontemporer seperti Chantal Mouffe, Slavoj Žižek,
dan Noam Chomsky, kritik terhadap demokrasi telah menempuh lintasan yang
panjang dan beragam. Kritik tersebut muncul dari berbagai sudut: epistemologis,
etis, institusional, ekonomi, hingga budaya. Namun, yang menarik dari telaah
historis ini adalah bahwa meskipun banyak pemikir mengajukan kritik keras
terhadap demokrasi, sangat sedikit dari mereka yang sepenuhnya menolaknya.
Sebaliknya, mayoritas mendorong reformulasi bentuk dan praktik demokrasi agar lebih
substansial dan menjawab tantangan zamannya.
10.1.
Demokrasi sebagai Sistem
yang Tidak Sempurna, tetapi Fleksibel
Demokrasi sering
kali diibaratkan sebagai sistem pemerintahan yang “paling tidak buruk”
di antara semua bentuk yang tersedia. Winston Churchill secara terkenal
menyatakan bahwa, “Democracy is the worst form of government—except for all
the others that have been tried.”1 Meskipun kutipan ini bersifat
retoris, ia menggambarkan kenyataan bahwa demokrasi tetap menjadi satu-satunya
sistem politik yang menyediakan ruang untuk koreksi diri
melalui kebebasan berpikir, partisipasi publik, dan akuntabilitas.
Kritik dari Plato
tentang bahaya kebebasan tak terkendali, atau dari Tocqueville tentang tirani
mayoritas, tidak serta-merta menjatuhkan legitimasi demokrasi, tetapi lebih
sebagai peringatan atas kecenderungan degeneratif yang
bisa muncul bila prinsip-prinsip demokrasi tidak diiringi dengan kebajikan
sipil, pendidikan politik, dan struktur yang adil.2
10.2.
Demokrasi Liberal di Tengah
Krisis Kontemporer
Di era kontemporer,
demokrasi menghadapi tantangan yang tidak kecil: populisme
kanan dan kiri, krisis kepercayaan terhadap lembaga,
dominasi
kapitalisme global, serta disinformasi digital. Pemilu,
sebagai mekanisme utama demokrasi prosedural, sering kali menjadi ajang
manipulasi opini melalui algoritma dan media sosial, memperkuat polarisasi dan
merusak deliberasi publik.3
Namun, justru karena
keterbukaannya terhadap kritik, demokrasi memiliki kapasitas untuk memperbaiki
diri. Gagasan seperti demokrasi deliberatif
(Habermas), demokrasi agonistik (Mouffe),
dan demokrasi
partisipatif (Pateman) menunjukkan adanya alternatif bentuk
demokrasi yang lebih inklusif, reflektif, dan partisipatif. Model-model ini
mengusulkan pergeseran dari demokrasi sebagai prosedur ke demokrasi sebagai proyek
etis-politik yang berkelanjutan.4
10.3.
Membayangkan Demokrasi yang
Transformatif
Jika demokrasi ingin
tetap layak dipertahankan, maka ia harus mampu melampaui bentuk formalnya dan
menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, distribusi kekuasaan yang
adil, dan pengakuan atas pluralitas pandangan hidup. Demokrasi sejati bukan
hanya soal pemilu dan mayoritas, tetapi tentang ruang publik yang hidup, institusi
yang adil, dan kesediaan untuk mendengar perbedaan.
Dalam hal ini,
kritik yang telah disampaikan oleh berbagai filsuf sepanjang sejarah tidak
seharusnya dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi, tetapi justru sebagai sumber
energi pembaruan. Sebagaimana disampaikan oleh Cornel West, “Democracy matters because justice matters. And
justice is never given; it is fought for.”5
Kesimpulan
Maka, apakah
demokrasi layak dipertahankan? Jawabannya adalah ya,
tetapi tidak tanpa syarat. Demokrasi harus dipertahankan bukan
karena ia sempurna, melainkan karena ia mampu
memperbaiki dirinya melalui kritik dan partisipasi warga.
Kritik-kritik filsafat dari Socrates hingga hari ini berfungsi bukan untuk
membongkar demokrasi, tetapi untuk menyelamatkannya dari kemacetan moral, kooptasi
ideologis, dan stagnasi institusional. Di tengah dunia yang
berubah cepat, demokrasi harus terus ditransformasikan agar tetap relevan
sebagai alat emansipasi dan keadilan bersama.
Footnotes
[1]
Winston Churchill, quoted in The International Churchill Society,
“Churchill on Democracy,” https://winstonchurchill.org/resources/quotes/the-best-democracy-quote/.
[2]
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C.
Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), Vol.
I, Part 2, Chapter 7.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019),
132–149.
[4]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 304–328; Carole Pateman, Participation and Democratic
Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 43–74.
[5]
Cornel West, Democracy Matters: Winning the Fight Against
Imperialism (New York: Penguin Books, 2005), xi.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., &
Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1944)
Aristotle. (1998). Politics
(C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (2003). The
city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books. (Original work
published ca. 426)
Burke, E. (2003). Reflections
on the revolution in France (F. M. Turner, Ed.). Yale University Press.
(Original work published 1790)
Chomsky, N. (2002). Media
control: The spectacular achievements of propaganda (2nd ed.). Seven
Stories Press.
Habermas, J. (1989). The
structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of
bourgeois society (T. Burger & F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
(Original work published 1962)
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Hansen, M. H. (1991). The
Athenian democracy in the age of Demosthenes: Structure, principles and
ideology (J. A. Crook, Trans.). Blackwell.
Herman, E. S., &
Chomsky, N. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the
mass media. Pantheon Books.
Hobbes, T. (1996). Leviathan
(R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)
Machiavelli, N. (1996). Discourses
on Livy (H. C. Mansfield & N. Tarcov, Trans.). University of Chicago
Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional
man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Mill, J. S. (1978). On
liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published
1859)
Mouffe, C. (2000). The
democratic paradox. Verso.
Pateman, C. (1970). Participation
and democratic theory. Cambridge University Press.
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Plato. (1997). Apology,
Crito, Gorgias. In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete
works (Various trans.). Hackett Publishing.
Scruton, R. (2014). How
to be a conservative. Bloomsbury.
Tocqueville, A. de. (2000).
Democracy in America (H. C. Mansfield & D. Winthrop, Trans.).
University of Chicago Press. (Original work published 1835/1840)
West, C. (2005). Democracy
matters: Winning the fight against imperialism. Penguin Books.
Žižek, S. (1999). The
ticklish subject: The absent centre of political ontology. Verso.
Žižek, S. (2010). Living
in the end times. Verso.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar