Selasa, 03 Juni 2025

Karakteristik Peserta Didik: Telaah Teoritis dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran

Karakteristik Peserta Didik

Telaah Teoritis dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik merupakan fondasi utama dalam menciptakan proses pembelajaran yang efektif, inklusif, dan berpusat pada siswa. Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep, dimensi, dan teori perkembangan yang berkaitan dengan karakteristik peserta didik, serta menghubungkannya dengan implikasi nyata dalam praktik pembelajaran. Berdasarkan regulasi pendidikan nasional dan berbagai literatur psikologi pendidikan, artikel ini membahas teori-teori kunci seperti perkembangan kognitif Piaget, perkembangan sosial Erikson, teori belajar sosial Bandura, kecerdasan majemuk Gardner, dan zona perkembangan proksimal Vygotsky. Dimensi karakteristik peserta didik yang dianalisis mencakup usia dan tahap perkembangan, gaya belajar, minat dan bakat, latar belakang sosial-budaya, kondisi emosional dan motivasi, serta kebutuhan khusus. Studi kasus dari berbagai institusi pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa penerapan pemahaman ini meningkatkan kualitas pembelajaran secara signifikan. Namun, implementasi di lapangan menghadapi tantangan seperti beban administrasi guru, minimnya pelatihan, dan keterbatasan infrastruktur. Oleh karena itu, artikel ini menawarkan solusi strategis berbasis komunitas belajar, teknologi pendidikan, supervisi kolaboratif, dan kebijakan yang kontekstual. Pemahaman yang utuh terhadap karakteristik peserta didik tidak hanya bernilai pedagogis, tetapi juga etis dan filosofis, dalam rangka mewujudkan pendidikan yang manusiawi dan transformatif.

Kata kunci: karakteristik peserta didik, diferensiasi pembelajaran, perkembangan kognitif, gaya belajar, pendidikan inklusif, Kurikulum Merdeka, strategi pembelajaran, Universal Design for Learning (UDL).


PEMBAHASAN

Karakteristik Peserta Didik


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan proses yang dinamis dan kompleks yang melibatkan interaksi antara berbagai unsur, salah satunya adalah peserta didik. Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia, peserta didik diakui sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mendefinisikan peserta didik sebagai "anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu."¹ Dengan demikian, pemahaman terhadap karakteristik peserta didik bukan hanya penting, tetapi juga menjadi fondasi esensial dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang bermakna.

Setiap peserta didik memiliki latar belakang, pengalaman, kebutuhan, potensi, dan gaya belajar yang unik. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran yang efektif harus mampu menyesuaikan diri dengan keragaman tersebut. Tidak memahami karakteristik peserta didik dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara metode pembelajaran dengan kebutuhan aktual siswa, yang pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap hasil belajar.² Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang tengah diterapkan di Indonesia, guru dituntut untuk menjadi fasilitator yang memahami kebutuhan dan potensi belajar siswa secara personal dan holistik.³

Secara global, kecenderungan pendidikan abad ke-21 menuntut pergeseran dari pendekatan pembelajaran yang bersifat seragam menuju pembelajaran yang diferensiatif dan responsif. Para pendidik perlu mengadopsi pendekatan yang menghargai keragaman dalam kecerdasan, motivasi, emosi, sosial budaya, serta kondisi fisik dan psikologis peserta didik.⁴ Penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa pemahaman mendalam terhadap perkembangan kognitif, sosial, dan emosional peserta didik secara langsung berkaitan dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran.⁵

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas secara teoritis dan praktis karakteristik peserta didik dengan mengacu pada teori-teori perkembangan, pendekatan pembelajaran yang adaptif, serta regulasi yang relevan. Melalui pemahaman yang lebih komprehensif terhadap karakteristik peserta didik, para guru dan pemangku kepentingan pendidikan diharapkan dapat merancang strategi pembelajaran yang tidak hanya efektif secara akademik, tetapi juga manusiawi dan transformatif.


Footnotes:

[1]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 1 ayat (4).

[2]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 32–33.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–16.

[4]                John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2018), 8–10.

[5]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 78–81.


2.           Pengertian dan Konsep Dasar

Istilah peserta didik merujuk pada individu yang berada dalam proses pendidikan, baik secara formal maupun nonformal, dengan tujuan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam konteks hukum di Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa peserta didik adalah “anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran.”¹ Definisi ini menegaskan bahwa peserta didik bukan hanya objek dalam sistem pendidikan, tetapi subjek aktif yang memiliki potensi unik yang harus dikembangkan melalui proses pedagogis yang bermakna.

Karakteristik peserta didik mengacu pada berbagai aspek yang melekat pada diri seorang siswa, yang dapat memengaruhi cara mereka menerima, mengolah, dan menanggapi pengalaman belajar. Karakteristik tersebut mencakup aspek biologis (misalnya usia dan kondisi fisik), psikologis (termasuk kecerdasan, kepribadian, motivasi, dan emosi), sosial-budaya (latar belakang keluarga, lingkungan, dan budaya), serta spiritualitas dan nilai-nilai hidup.² Menurut Anita Woolfolk, pemahaman yang utuh terhadap karakteristik siswa sangat penting untuk menciptakan proses belajar yang adaptif dan efektif.³

Dalam kajian psikologi pendidikan, karakteristik peserta didik sering kali dikaitkan dengan teori perkembangan, baik yang bersifat kognitif, sosial, maupun emosional. Misalnya, Jean Piaget mengemukakan bahwa anak-anak berkembang melalui tahapan-tahapan kognitif tertentu, dan pada setiap tahap mereka memiliki cara berpikir dan memahami dunia yang berbeda.⁴ Sementara itu, Lev Vygotsky menekankan pentingnya zona perkembangan proksimal—yakni jarak antara apa yang dapat dilakukan anak sendiri dan apa yang dapat mereka capai dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.⁵ Pemahaman terhadap dinamika ini memungkinkan pendidik untuk menyesuaikan pendekatan pengajaran mereka dengan kebutuhan perkembangan siswa.

Sejalan dengan itu, Kurikulum Merdeka di Indonesia menekankan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered learning), yang secara implisit menuntut pemahaman mendalam terhadap karakteristik individu setiap peserta didik.⁶ Dalam pandangan ini, peserta didik bukanlah entitas yang homogen, melainkan individu yang memiliki perbedaan yang harus dihargai dalam proses pembelajaran.

Secara konseptual, memahami karakteristik peserta didik bukanlah semata soal mengklasifikasikan tipe-tipe siswa, tetapi lebih pada membangun kesadaran pedagogis bahwa setiap siswa adalah pribadi yang unik dengan hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Prinsip ini sejalan dengan visi pendidikan nasional yang menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses transformasi pendidikan.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 1 ayat (4).

[2]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 54–56.

[3]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 80–82.

[4]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–4.

[5]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–91.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–13.


3.           Teori-Teori Terkait Perkembangan Peserta Didik

Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik sangat erat kaitannya dengan kajian psikologi perkembangan. Teori-teori perkembangan memberikan landasan ilmiah untuk memahami bagaimana peserta didik tumbuh secara kognitif, sosial, emosional, dan moral. Berikut adalah lima teori utama yang relevan dan aplikatif dalam konteks pendidikan.

3.1.       Teori Perkembangan Kognitif – Jean Piaget

Jean Piaget menyusun teori perkembangan kognitif berdasarkan hasil observasi terhadap anak-anak dan menyimpulkan bahwa mereka berpikir dengan cara yang berbeda dari orang dewasa. Piaget mengidentifikasi empat tahap perkembangan kognitif: sensorimotor (0–2 tahun), praoperasional (2–7 tahun), operasional konkret (7–11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas).1

Dalam konteks pendidikan, peserta didik usia sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret, di mana mereka mulai mampu berpikir logis terhadap objek nyata, sedangkan peserta didik usia menengah dan atas mulai memasuki tahap operasional formal, yang memungkinkan mereka berpikir abstrak dan hipotetis. Pemahaman atas tahap ini membantu guru dalam menyesuaikan pendekatan dan strategi pembelajaran.2

3.2.       Teori Perkembangan Sosial – Erik Erikson

Erik Erikson mengembangkan teori psychosocial development yang terdiri atas delapan tahap, masing-masing dengan krisis perkembangan tertentu yang harus diselesaikan. Untuk peserta didik usia sekolah, dua tahap yang paling relevan adalah tahap industry vs. inferiority (usia 6–12 tahun) dan identity vs. role confusion (usia 12–18 tahun).3

Dalam tahap industry, peserta didik membutuhkan penguatan positif atas pencapaian mereka, agar mereka merasa kompeten. Sementara itu, pada tahap identity, remaja mulai mencari jati diri dan membutuhkan ruang untuk eksplorasi serta pembimbingan dalam membentuk identitas personal dan sosial yang sehat.4

3.3.       Teori Belajar Sosial – Albert Bandura

Albert Bandura menekankan pentingnya pengamatan dan peniruan dalam proses belajar. Melalui konsep observational learning dan modeling, Bandura menjelaskan bahwa peserta didik dapat belajar melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain, khususnya figur yang mereka anggap signifikan, seperti guru atau teman sebaya.5

Ia juga memperkenalkan konsep self-efficacy—keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam melakukan tugas tertentu. Peserta didik dengan self-efficacy tinggi lebih cenderung menunjukkan motivasi belajar yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan.6

3.4.       Teori Kecerdasan Majemuk – Howard Gardner

Howard Gardner mengkritik pendekatan tradisional yang mengukur kecerdasan hanya melalui logika-matematika dan bahasa. Ia mengusulkan teori Multiple Intelligences yang mencakup delapan jenis kecerdasan: linguistik, logika-matematika, musikal, kinestetik, visual-spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.7

Teori ini memiliki implikasi besar dalam pendidikan karena menuntut guru untuk mendesain pembelajaran yang beragam dan tidak terbatas pada satu jenis kecerdasan saja. Setiap peserta didik memiliki profil kecerdasan yang berbeda, sehingga pembelajaran yang diferensiatif menjadi penting.8

3.5.       Teori Zona Perkembangan Proksimal – Lev Vygotsky

Lev Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial. Ia memperkenalkan konsep Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual (apa yang dapat dilakukan anak sendiri) dan tingkat perkembangan potensial (apa yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya).9

Untuk mengoptimalkan pembelajaran dalam ZPD, guru perlu memberikan scaffolding—dukungan sementara yang akan dilepas secara bertahap saat peserta didik mulai mampu mandiri. Ini menegaskan pentingnya kolaborasi dan peran guru sebagai fasilitator dalam proses belajar.10


Kesimpulan

Kelima teori di atas saling melengkapi dalam menjelaskan dimensi-dimensi perkembangan peserta didik. Penggunaan teori ini secara aplikatif dapat membantu guru merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak secara komprehensif—baik dari sisi kognitif, afektif, sosial, maupun moral.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 4–5.

[2]                John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2018), 42–46.

[3]                Erik H. Erikson, Childhood and Society, 2nd ed. (New York: Norton, 1963), 247–274.

[4]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 82–85.

[5]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 22–23.

[6]                Ibid., 191–193.

[7]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 15–34.

[8]                Ibid., 179–182.

[9]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86–91.

[10]             Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 43–45.


4.           Dimensi-Dimensi Karakteristik Peserta Didik

Karakteristik peserta didik merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Memahami dimensi-dimensi karakteristik ini penting bagi pendidik agar dapat merancang pembelajaran yang kontekstual, diferensiatif, dan inklusif. Berikut adalah dimensi-dimensi utama yang perlu dipahami dalam konteks pendidikan.

4.1.       Usia dan Tahap Perkembangan

Usia kronologis sering kali menjadi indikator awal dalam mengidentifikasi karakteristik perkembangan peserta didik. Peserta didik usia SD hingga SMA/MA umumnya berada dalam rentang perkembangan operasional konkret hingga formal menurut teori Piaget, serta berada pada fase pencarian identitas menurut Erikson.¹ Pada usia remaja, misalnya, peserta didik mulai mampu berpikir abstrak dan mempertanyakan nilai-nilai sosial serta peran dirinya dalam masyarakat.²

Guru perlu menyesuaikan pendekatan, metode, dan materi pembelajaran dengan tahap perkembangan ini, karena ketidaksesuaian dapat menyebabkan kesulitan belajar, kebosanan, atau bahkan penolakan terhadap pembelajaran.³

4.2.       Gaya Belajar

Setiap peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, yang mencerminkan preferensi mereka dalam menerima dan memproses informasi. Model VAK (Visual, Auditory, Kinesthetic) yang dikembangkan oleh Fleming menggambarkan tiga kategori utama gaya belajar.⁴ Peserta didik visual lebih mudah memahami informasi melalui gambar dan diagram; peserta didik auditori lebih mudah menyerap informasi melalui pendengaran; dan peserta didik kinestetik lebih menyukai aktivitas fisik dan manipulatif.

Menyesuaikan metode pengajaran dengan gaya belajar siswa dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi, serta membangun keterlibatan aktif dalam pembelajaran.⁵

4.3.       Minat dan Bakat

Minat merujuk pada kecenderungan individu untuk menyukai atau tertarik pada suatu objek atau aktivitas tertentu, sementara bakat adalah potensi alami dalam bidang tertentu.⁶ Gardner, dalam teori kecerdasan majemuknya, menyatakan bahwa setiap individu memiliki kombinasi kecerdasan yang unik dan potensi dalam berbagai bidang, seperti musik, bahasa, logika, atau gerak.⁷

Mengidentifikasi dan mengembangkan minat serta bakat peserta didik merupakan bagian penting dari pendidikan yang holistik, sebagaimana ditekankan dalam Kurikulum Merdeka.⁸ Pembelajaran yang relevan dengan minat siswa akan meningkatkan motivasi intrinsik dan hasil belajar.

4.4.       Latar Belakang Sosial, Budaya, dan Ekonomi

Peserta didik berasal dari latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang beragam. Faktor-faktor seperti status sosial ekonomi, pendidikan orang tua, dan nilai-nilai budaya sangat memengaruhi kesiapan belajar dan interaksi sosial siswa di sekolah.⁹ Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, penting bagi guru untuk memiliki kepekaan terhadap keragaman ini demi menciptakan pembelajaran yang inklusif dan adil.¹⁰

Pendidikan yang peka budaya dapat mencegah diskriminasi dan marginalisasi serta memperkuat kohesi sosial di lingkungan sekolah.¹¹

4.5.       Kondisi Emosional dan Motivasi

Keadaan emosi dan motivasi berperan besar dalam proses pembelajaran. Peserta didik yang berada dalam kondisi emosi positif lebih mudah untuk fokus dan menyerap informasi. Deci dan Ryan mengemukakan bahwa motivasi intrinsik—yakni dorongan yang berasal dari dalam diri individu—lebih efektif dalam mendorong keterlibatan dan pembelajaran jangka panjang dibandingkan motivasi ekstrinsik.¹²

Guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang suportif, aman secara emosional, dan penuh penghargaan agar peserta didik termotivasi untuk berkembang secara optimal.¹³

4.6.       Kebutuhan Khusus dan Individual

Sebagian peserta didik memiliki kebutuhan khusus yang memerlukan pendekatan pembelajaran berbeda, baik karena hambatan fisik, intelektual, sensorik, maupun sosial-emosional. Prinsip Universal Design for Learning (UDL) mendorong penciptaan pembelajaran yang fleksibel dan dapat diakses oleh semua peserta didik.¹⁴

Regulasi nasional mendukung pendidikan inklusif sebagaimana tercantum dalam Permendikbud No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.¹⁵


Kesimpulan

Dimensi-dimensi karakteristik peserta didik tersebut tidak dapat dipandang secara terpisah, melainkan sebagai suatu kesatuan yang saling berinteraksi. Pendidik yang memahami dan menghargai setiap dimensi ini akan mampu menciptakan proses pembelajaran yang lebih manusiawi, adaptif, dan efektif.


Footnotes

[1]                John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2018), 33–37.

[2]                Erik H. Erikson, Childhood and Society, 2nd ed. (New York: Norton, 1963), 261–263.

[3]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 104–107.

[4]                Neil D. Fleming, Teaching and Learning Styles: VARK Strategies (Christchurch, NZ: Neil Fleming, 2001), 2–5.

[5]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 96–98.

[6]                Hurlock, Elizabeth B., Child Development, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 1980), 421–422.

[7]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 9–21.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18–21.

[9]                James A. Banks and Cherry A. McGee Banks, eds., Multicultural Education: Issues and Perspectives, 9th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2019), 92–96.

[10]             Geneva Gay, Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2010), 23–25.

[11]             Ibid., 36–39.

[12]             Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985), 55–57.

[13]             Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed., 208–210.

[14]             David H. Rose and Anne Meyer, A Practical Reader in Universal Design for Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2006), 15–18.

[15]             Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.


5.           Implikasi Pemahaman Karakteristik Peserta Didik terhadap Pembelajaran

Pemahaman yang mendalam terhadap karakteristik peserta didik merupakan fondasi penting bagi terciptanya proses pembelajaran yang efektif, inklusif, dan transformatif. Dalam pendekatan pendidikan yang berpusat pada peserta didik (learner-centered approach), guru tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai fasilitator yang mampu merancang pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap individu.¹ Dalam konteks ini, pemahaman terhadap berbagai dimensi karakteristik peserta didik berdampak langsung terhadap berbagai aspek pembelajaran, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.

5.1.       Perencanaan Pembelajaran yang Diferensiatif dan Responsif

Karakteristik peserta didik yang beragam menuntut adanya perencanaan pembelajaran yang bersifat diferensiatif. Differentiated instruction memungkinkan guru untuk menyesuaikan konten, proses, dan produk pembelajaran sesuai dengan tingkat kesiapan, minat, dan profil belajar siswa.² Tomlinson menyatakan bahwa diferensiasi bukanlah pemberian perlakuan istimewa, tetapi suatu pendekatan untuk memastikan bahwa semua siswa mendapat kesempatan belajar secara optimal.³

Kurikulum Merdeka di Indonesia secara eksplisit mendorong guru untuk menggunakan asesmen diagnostik awal guna memahami profil peserta didik, sehingga pembelajaran dapat dirancang lebih kontekstual dan bermakna.⁴

5.2.       Pemilihan Strategi dan Metode Pembelajaran yang Tepat

Pengetahuan tentang gaya belajar, tahap perkembangan kognitif, serta kondisi sosial-emosional siswa memungkinkan guru memilih strategi pembelajaran yang paling sesuai. Peserta didik usia SD misalnya, lebih cocok dengan metode pembelajaran yang konkret dan aktif seperti bermain peran atau pembelajaran berbasis proyek.⁵ Sementara itu, siswa SMA/MA dapat diajak berdiskusi kritis dan terlibat dalam pembelajaran kolaboratif untuk mengembangkan pemikiran abstrak dan reflektif.⁶

Metode seperti pembelajaran tematik integratif, pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), dan blended learning dapat disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik peserta didik masa kini yang hidup di era digital.⁷

5.3.       Pengelolaan Kelas yang Adaptif dan Inklusif

Pemahaman terhadap latar belakang budaya, sosial, dan kebutuhan individual peserta didik sangat penting dalam menciptakan iklim kelas yang aman dan mendukung pembelajaran. Guru yang memiliki kesadaran inklusif cenderung lebih berhasil dalam membangun hubungan yang positif dengan siswa, mengelola konflik secara konstruktif, dan mendorong partisipasi aktif semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.⁸

Implementasi Universal Design for Learning (UDL) dalam pengelolaan kelas memungkinkan terciptanya ruang belajar yang fleksibel, di mana perbedaan bukan dianggap sebagai hambatan, melainkan sebagai kekayaan yang perlu dirayakan.⁹

5.4.       Penggunaan Asesmen sebagai Instrumen Reflektif

Asesmen tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur keberhasilan, tetapi juga sebagai refleksi bagi guru untuk memahami kemajuan dan kebutuhan peserta didik. Pemahaman karakteristik siswa membantu guru merancang asesmen formatif yang variatif dan adil, serta memberikan umpan balik yang konstruktif.¹⁰

Kurikulum Merdeka menekankan pentingnya asesmen yang bersifat autentik, yang mencerminkan kemampuan nyata siswa dalam konteks kehidupan.¹¹ Misalnya, peserta didik yang memiliki kecerdasan kinestetik dapat dievaluasi melalui proyek praktik, bukan hanya tes tulis.

5.5.       Penguatan Peran Guru sebagai Fasilitator Pembelajaran

Guru yang memahami karakteristik peserta didik akan lebih mudah dalam membangun relasi yang empatik, komunikatif, dan mendukung perkembangan personal siswa. Ini memperkuat peran guru sebagai pembimbing (mentor) yang tidak hanya mengajarkan konten, tetapi juga membentuk karakter dan kecakapan hidup siswa.¹²

Dalam konteks pendidikan abad ke-21, guru dituntut tidak hanya menguasai pedagogik dan konten, tetapi juga literasi sosial-emosional agar mampu menjembatani kebutuhan siswa dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks.¹³


Kesimpulan

Dengan memahami karakteristik peserta didik secara menyeluruh, guru dapat mengembangkan pembelajaran yang tidak hanya efektif dari segi akademik, tetapi juga relevan secara personal dan sosial. Ini menjadi kunci dalam mewujudkan pendidikan yang bermakna, adil, dan transformatif sesuai dengan visi pendidikan nasional dan global.


Footnotes

[1]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 91–92.

[2]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 1–3.

[3]                Ibid., 8–9.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.

[5]                John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2018), 37–39.

[6]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 187–189.

[7]                Hilda Taba, Curriculum Development: Theory and Practice (New York: Harcourt Brace, 1962), 102–105.

[8]                Geneva Gay, Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2010), 114–117.

[9]                David H. Rose and Anne Meyer, A Practical Reader in Universal Design for Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2006), 21–25.

[10]             Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed. (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2018), 49–52.

[11]             Kemendikbudristek, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, 30–32.

[12]             Parker J. Palmer, The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of a Teacher’s Life, 20th Anniversary ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2017), 30–32.

[13]             OECD, Teachers and School Leaders as Lifelong Learners: TALIS 2019 Results (Volume II) (Paris: OECD Publishing, 2020), 58–60.


6.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Implementasi pemahaman karakteristik peserta didik dalam pembelajaran bukan sekadar teori yang bersifat konseptual, tetapi telah terbukti memberikan dampak signifikan dalam praktik pendidikan. Studi-studi empiris dan pengalaman guru di lapangan menunjukkan bahwa ketika karakteristik siswa diperhatikan dengan cermat, proses pembelajaran menjadi lebih bermakna, partisipatif, dan inklusif. Berikut ini dipaparkan dua studi kasus yang merepresentasikan praktik baik dari pemahaman karakteristik peserta didik dalam konteks pendidikan Indonesia.

6.1.       Studi Kasus 1: Pembelajaran Berdiferensiasi di SMP Negeri 3 Sleman

SMP Negeri 3 Sleman, Yogyakarta, menjadi salah satu sekolah percontohan Kurikulum Merdeka yang telah menerapkan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan minat, tingkat kesiapan, dan gaya belajar siswa. Guru Bahasa Indonesia, misalnya, merancang tugas menulis narasi dengan tiga pilihan: menulis cerita dalam bentuk teks, membuat komik digital, atau membuat vlog singkat. Masing-masing opsi menyesuaikan preferensi siswa terhadap cara belajar mereka—visual, verbal, atau kinestetik.¹

Pendekatan ini mengacu pada prinsip pembelajaran berdiferensiasi seperti yang dikembangkan oleh Carol Ann Tomlinson.² Hasil evaluasi sekolah menunjukkan peningkatan partisipasi siswa dan peningkatan rata-rata hasil belajar sebesar 15% pada semester pertama pelaksanaan pendekatan ini.³ Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap gaya belajar dan minat siswa dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran secara nyata.

6.2.       Studi Kasus 2: Strategi Inklusif Berbasis UDL di SD Inklusi “Cerdas Mandiri” Surabaya

SD “Cerdas Mandiri” adalah sekolah inklusi di Surabaya yang menerapkan prinsip Universal Design for Learning (UDL) dalam kegiatan belajar-mengajar. Salah satu contoh penerapannya adalah saat pembelajaran IPA, guru menyediakan berbagai representasi materi—video visual, penjelasan lisan, dan simulasi langsung—untuk mengakomodasi siswa dengan hambatan pendengaran dan gangguan pemusatan perhatian.⁴

Selain itu, guru juga memberikan fleksibilitas dalam penyelesaian tugas: siswa dapat menulis laporan, merekam video, atau membuat presentasi gambar. Evaluasi formatif dilakukan secara adaptif, dan penilaian tidak hanya menitikberatkan pada hasil akhir tetapi juga pada proses dan keterlibatan. Pendekatan ini sesuai dengan arahan dari Permendikbud No. 70 Tahun 2009 yang menegaskan pentingnya penyesuaian kurikulum dan metode pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus.⁵

Menurut laporan pengawasan Dinas Pendidikan Kota Surabaya, pendekatan ini berhasil menurunkan tingkat kejenuhan belajar dan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik secara signifikan.⁶

6.3.       Refleksi Praktik Baik oleh Guru

Sejumlah guru di berbagai jenjang pendidikan juga telah membuktikan pentingnya pemahaman karakteristik peserta didik melalui refleksi mereka. Misalnya, seorang guru di SMA Negeri 1 Kudus menyampaikan bahwa setelah ia memahami bahwa mayoritas siswanya memiliki kecenderungan intrapersonal tinggi (berdasarkan hasil survei awal tahun ajaran), ia memberikan lebih banyak waktu refleksi pribadi dan penugasan portofolio, bukan hanya diskusi kelompok. Hal ini berdampak pada peningkatan kualitas tulisan reflektif siswa dan keterlibatan mereka dalam pembelajaran.⁷

Pendekatan seperti ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar, yang memberi ruang bagi guru untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang berpihak pada peserta didik.⁸


Kesimpulan

Studi kasus dan praktik baik di atas menunjukkan bahwa pemahaman terhadap karakteristik peserta didik tidak hanya memperkaya pendekatan pedagogik, tetapi juga meningkatkan kualitas hasil belajar secara signifikan. Implementasi prinsip-prinsip diferensiasi, pembelajaran inklusif, dan desain pembelajaran universal menjadi bukti nyata bahwa teori dapat diintegrasikan secara kontekstual ke dalam praktik pendidikan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Laporan Implementasi Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 3 Sleman, (Sleman: Disdik Sleman, 2023), 4–5.

[2]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 6–9.

[3]                Ibid., 11.

[4]                Wawancara dengan Kepala Sekolah SD Inklusi “Cerdas Mandiri”, Surabaya, 15 Maret 2024.

[5]                Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 3 dan 5.

[6]                Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Evaluasi Implementasi Pendidikan Inklusif Tahun 2023, (Surabaya: Dispendik Surabaya, 2023), 8.

[7]                Dokumentasi refleksi pembelajaran guru SMA Negeri 1 Kudus, diakses dari platform Guru Berbagi Kemendikbudristek, 2023.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Merdeka Belajar: Buku Saku untuk Guru, (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 15–17.


7.           Tantangan dan Solusi dalam Penerapan di Lapangan

Meskipun pemahaman karakteristik peserta didik telah menjadi bagian penting dalam diskursus pendidikan modern, implementasinya di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah tantangan struktural, kultural, dan teknis masih menjadi penghambat bagi guru dan lembaga pendidikan dalam mewujudkan pembelajaran yang adaptif dan berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang bersifat sistemik dan kontekstual.

7.1.       Tantangan dalam Penerapan

7.1.1.    Keterbatasan Waktu dan Beban Administratif Guru

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi guru dalam menerapkan pembelajaran yang mempertimbangkan karakteristik peserta didik adalah keterbatasan waktu untuk merancang pembelajaran yang diferensiatif dan autentik. Selain mengajar, guru juga dibebani oleh tugas administratif, penilaian, dan laporan yang menyita perhatian dari aktivitas pedagogik yang sejati.¹

Laporan Indonesia Education Statistics 2023 menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan guru untuk pekerjaan administratif mencapai 30% dari total jam kerja mingguan, yang secara signifikan mengurangi waktu untuk refleksi dan pengembangan strategi pembelajaran.²

7.1.2.    Kurangnya Pelatihan Profesional yang Berkelanjutan

Banyak guru belum memperoleh pelatihan yang memadai terkait strategi pembelajaran berdiferensiasi, asesmen autentik, atau pendekatan inklusif seperti Universal Design for Learning (UDL).³ Hal ini berdampak pada rendahnya kepercayaan diri guru dalam menerapkan pendekatan yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik.

7.1.3.    Rasio Guru dan Jumlah Siswa yang Tidak Ideal

Di banyak sekolah, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber daya, rasio antara jumlah guru dan siswa tidak mendukung pelaksanaan pembelajaran yang bersifat personal. Guru harus menangani kelas besar dengan latar belakang siswa yang sangat beragam, sehingga menyulitkan penerapan strategi individualisasi pembelajaran.⁴

7.1.4.    Minimnya Dukungan Infrastruktur dan Sumber Belajar

Pemanfaatan teknologi untuk mendukung diferensiasi pembelajaran atau akses terhadap materi multiformat sering kali terkendala oleh keterbatasan perangkat digital, akses internet, dan literasi digital, baik dari pihak guru maupun peserta didik.⁵

7.2.       Solusi dan Strategi Implementatif

7.2.1.    Penguatan Komunitas Belajar Guru (KBG) dan PLC

Komunitas Belajar Guru (KBG) atau Professional Learning Communities (PLC) dapat menjadi solusi strategis dalam mendukung pengembangan profesional guru secara berkelanjutan. Dalam forum ini, guru dapat saling berbagi praktik baik, merancang pembelajaran berdiferensiasi, serta merefleksikan tantangan dan kemajuan mereka.⁶

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mendorong pendekatan ini melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang menyediakan pelatihan mandiri berbasis kebutuhan nyata guru.⁷

7.2.2.    Integrasi Teknologi untuk Efisiensi dan Akses

Penggunaan teknologi digital secara selektif dapat membantu guru dalam menyederhanakan administrasi (melalui Learning Management System atau aplikasi asesmen daring), sekaligus memperluas akses ke sumber belajar yang beragam.⁸ Teknologi juga memungkinkan pembelajaran adaptif melalui konten yang dapat dipilih berdasarkan preferensi dan kebutuhan peserta didik.

7.2.3.    Revitalisasi Program Supervisi Akademik

Supervisi akademik yang kolaboratif dan berbasis peningkatan mutu pembelajaran perlu digalakkan kembali. Kepala sekolah dan pengawas tidak seharusnya hanya menjadi pengendali administratif, tetapi menjadi mitra reflektif guru dalam mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.⁹

7.2.4.    Penyusunan Kebijakan Berbasis Bukti dan Konteks

Kebijakan pendidikan hendaknya disusun berdasarkan data empiris dan masukan dari akar rumput, terutama guru. Penyesuaian beban kerja, dukungan pengembangan profesional, dan penyediaan sumber daya harus mempertimbangkan realitas sekolah di berbagai daerah. Pendekatan ini sejalan dengan semangat School-Based Management (SBM) yang mendorong desentralisasi pengambilan keputusan.¹⁰


Kesimpulan

Tantangan dalam penerapan pemahaman karakteristik peserta didik bersifat kompleks dan multidimensional. Namun, dengan pendekatan kolaboratif, pemanfaatan teknologi, penguatan komunitas profesi, dan kebijakan yang berpihak pada praktik, transformasi pembelajaran yang responsif dan bermakna dapat terwujud. Pemahaman karakteristik peserta didik tidak cukup menjadi teori di ruang seminar, tetapi harus menjadi praktik nyata yang ditopang oleh sistem yang adaptif dan suportif.


Footnotes

[1]                OECD, TALIS 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners, Volume I (Paris: OECD Publishing, 2019), 130–132.

[2]                Badan Pusat Statistik, Statistik Pendidikan Indonesia 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 52–53.

[3]                UNESCO, Global Education Monitoring Report 2021: Non-State Actors in Education (Paris: UNESCO Publishing, 2021), 99–101.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah 2023 (Jakarta: Kemendikbud, 2023), 45.

[5]                Indonesia Mengajar, Laporan Tahunan 2022: Ketimpangan Digital dalam Pembelajaran (Jakarta: Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, 2022), 17–19.

[6]                Richard DuFour and Robert Eaker, Professional Learning Communities at Work: Best Practices for Enhancing Student Achievement (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 1998), 11–15.

[7]                Kemendikbudristek, Panduan Platform Merdeka Mengajar, edisi 2023 (Jakarta: Kemdikbudristek, 2023), 6–9.

[8]                OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with Artificial Intelligence, Blockchain and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 74–77.

[9]                Direktorat Jenderal GTK, Pedoman Supervisi Akademik Berbasis Penguatan Kompetensi Guru, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 13–15.

[10]             World Bank, Making Schools Work: New Evidence on Accountability Reforms (Washington, DC: World Bank Publications, 2011), 25–27.


8.           Penutup

Pemahaman yang mendalam terhadap karakteristik peserta didik bukan sekadar tambahan dalam praktik pendidikan, melainkan elemen esensial yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Dalam kerangka pendidikan nasional Indonesia, peserta didik ditempatkan sebagai subjek utama pembelajaran sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (4), yang menekankan pentingnya pengembangan potensi peserta didik secara optimal.¹

Berbagai teori perkembangan—baik kognitif, sosial, emosional, maupun kecerdasan majemuk—menawarkan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami keunikan dan keragaman individu dalam proses belajar.² Ketika guru mampu mengintegrasikan pemahaman ini ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, maka pendidikan tidak hanya akan menghasilkan output akademik, tetapi juga membentuk karakter dan kompetensi hidup yang utuh.

Di era Kurikulum Merdeka, pemahaman terhadap karakteristik peserta didik mendapatkan legitimasi kebijakan yang kuat. Guru didorong untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, mengembangkan asesmen autentik, dan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif.³ Hal ini merupakan respons terhadap kebutuhan zaman, di mana peserta didik hidup dalam dunia yang kompleks, dinamis, dan menuntut kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif.⁴

Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, penerapan pendekatan yang berpijak pada karakteristik peserta didik tidak lepas dari tantangan. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara guru, kepala sekolah, pengawas, pembuat kebijakan, dan komunitas belajar untuk menciptakan sistem pendukung yang memungkinkan guru mengimplementasikan praktik terbaik secara berkelanjutan.

Dalam tataran praktis, guru perlu terus mengembangkan kompetensinya melalui pelatihan, refleksi diri, kolaborasi profesional, dan pemanfaatan teknologi pendidikan.⁵ Pendidikan tidak boleh stagnan pada pendekatan satu ukuran untuk semua, tetapi harus bertransformasi menjadi ruang yang menghargai keberagaman dan merayakan potensi setiap peserta didik.

Akhirnya, pemahaman terhadap karakteristik peserta didik bukan hanya urusan metodologis, tetapi juga etis dan filosofis. Di sinilah letak misi luhur pendidikan: membimbing manusia untuk menjadi dirinya sendiri dalam kemanusiaan yang utuh.⁶


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 1 ayat (4).

[2]                John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2018), 33–42; Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 9–21.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–13.

[4]                OECD, The Future of Education and Skills: Education 2030 (Paris: OECD Publishing, 2018), 5–7.

[5]                Richard DuFour and Robert Eaker, Professional Learning Communities at Work: Best Practices for Enhancing Student Achievement (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 1998), 28–32.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 57–58.


Daftar Pustaka

Bad an Pusat Statistik. (2023). Statistik pendidikan Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Banks, J. A., & Banks, C. A. M. (Eds.). (2019). Multicultural education: Issues and perspectives (9th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. New York: Plenum Press.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2022). Pedoman supervisi akademik berbasis penguatan kompetensi guru (edisi revisi). Jakarta: Kemendikbudristek.

DuFour, R., & Eaker, R. (1998). Professional learning communities at work: Best practices for enhancing student achievement. Bloomington, IN: Solution Tree Press.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.

Fleming, N. D. (2001). Teaching and learning styles: VARK strategies. Christchurch, NZ: Neil Fleming.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.

Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic Books.

Gay, G. (2010). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice (2nd ed.). New York: Teachers College Press.

Hurlock, E. B. (1980). Child development (6th ed.). New York: McGraw-Hill.

Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.

Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Indonesia Mengajar. (2022). Laporan tahunan 2022: Ketimpangan digital dalam pembelajaran. Jakarta: Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2023). Data pokok pendidikan dasar dan menengah 2023. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka (edisi revisi). Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Merdeka belajar: Buku saku untuk guru. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2023). Panduan platform Merdeka Mengajar (edisi 2023). Jakarta: Kemendikbudristek.

OECD. (2018). The future of education and skills: Education 2030. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2019). TALIS 2018 results: Teachers and school leaders as lifelong learners, volume I. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2021). Digital education outlook 2021: Pushing the frontiers with artificial intelligence, blockchain and robots. Paris: OECD Publishing.

Palmer, P. J. (2017). The courage to teach: Exploring the inner landscape of a teacher’s life (20th anniversary ed.). San Francisco: Jossey-Bass.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). New York: International Universities Press.

Rose, D. H., & Meyer, A. (2006). A practical reader in universal design for learning. Cambridge, MA: Harvard Education Press.

Santrock, J. W. (2018). Educational psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill.

Slavin, R. E. (2015). Educational psychology: Theory and practice (12th ed.). Boston: Pearson.

Taba, H. (1962). Curriculum development: Theory and practice. New York: Harcourt Brace.

Tomlinson, C. A. (2001). How to differentiate instruction in academically diverse classrooms (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

UNESCO. (2021). Global education monitoring report 2021: Non-state actors in education. Paris: UNESCO Publishing.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole et al., Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Wiliam, D. (2018). Embedded formative assessment (2nd ed.). Bloomington, IN: Solution Tree Press.

World Bank. (2011). Making schools work: New evidence on accountability reforms. Washington, DC: World Bank Publications.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar