Karakteristik Peserta Didik
Telaah Teoritis dan Implikasinya dalam Proses
Pembelajaran
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik
merupakan fondasi utama dalam menciptakan proses pembelajaran yang efektif,
inklusif, dan berpusat pada siswa. Artikel ini mengkaji secara komprehensif
konsep, dimensi, dan teori perkembangan yang berkaitan dengan karakteristik
peserta didik, serta menghubungkannya dengan implikasi nyata dalam praktik
pembelajaran. Berdasarkan regulasi pendidikan nasional dan berbagai literatur
psikologi pendidikan, artikel ini membahas teori-teori kunci seperti
perkembangan kognitif Piaget, perkembangan sosial Erikson, teori belajar sosial
Bandura, kecerdasan majemuk Gardner, dan zona perkembangan proksimal Vygotsky.
Dimensi karakteristik peserta didik yang dianalisis mencakup usia dan tahap
perkembangan, gaya belajar, minat dan bakat, latar belakang sosial-budaya,
kondisi emosional dan motivasi, serta kebutuhan khusus. Studi kasus dari
berbagai institusi pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa penerapan pemahaman
ini meningkatkan kualitas pembelajaran secara signifikan. Namun, implementasi
di lapangan menghadapi tantangan seperti beban administrasi guru, minimnya
pelatihan, dan keterbatasan infrastruktur. Oleh karena itu, artikel ini
menawarkan solusi strategis berbasis komunitas belajar, teknologi pendidikan,
supervisi kolaboratif, dan kebijakan yang kontekstual. Pemahaman yang utuh
terhadap karakteristik peserta didik tidak hanya bernilai pedagogis, tetapi juga
etis dan filosofis, dalam rangka mewujudkan pendidikan yang manusiawi dan
transformatif.
Kata kunci: karakteristik
peserta didik, diferensiasi pembelajaran, perkembangan kognitif, gaya belajar,
pendidikan inklusif, Kurikulum Merdeka, strategi pembelajaran, Universal Design
for Learning (UDL).
PEMBAHASAN
Karakteristik Peserta Didik
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses
yang dinamis dan kompleks yang melibatkan interaksi antara berbagai unsur,
salah satunya adalah peserta didik. Dalam konteks pendidikan nasional
Indonesia, peserta didik diakui sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran.
Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang mendefinisikan peserta didik sebagai
"anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu."¹
Dengan demikian, pemahaman terhadap karakteristik peserta didik bukan hanya
penting, tetapi juga menjadi fondasi esensial dalam merancang dan melaksanakan
pembelajaran yang bermakna.
Setiap peserta didik memiliki
latar belakang, pengalaman, kebutuhan, potensi, dan gaya belajar yang unik.
Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran yang efektif harus mampu menyesuaikan
diri dengan keragaman tersebut. Tidak memahami karakteristik peserta didik
dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara metode pembelajaran dengan kebutuhan
aktual siswa, yang pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap hasil
belajar.² Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang tengah diterapkan di Indonesia,
guru dituntut untuk menjadi fasilitator yang memahami kebutuhan dan potensi belajar
siswa secara personal dan holistik.³
Secara global, kecenderungan
pendidikan abad ke-21 menuntut pergeseran dari pendekatan pembelajaran yang
bersifat seragam menuju pembelajaran yang diferensiatif dan responsif. Para
pendidik perlu mengadopsi pendekatan yang menghargai keragaman dalam
kecerdasan, motivasi, emosi, sosial budaya, serta kondisi fisik dan psikologis
peserta didik.⁴ Penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa pemahaman
mendalam terhadap perkembangan kognitif, sosial, dan emosional peserta didik
secara langsung berkaitan dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran.⁵
Oleh karena itu, artikel ini
bertujuan untuk membahas secara teoritis dan praktis karakteristik peserta
didik dengan mengacu pada teori-teori perkembangan, pendekatan pembelajaran
yang adaptif, serta regulasi yang relevan. Melalui pemahaman yang lebih
komprehensif terhadap karakteristik peserta didik, para guru dan pemangku
kepentingan pendidikan diharapkan dapat merancang strategi pembelajaran yang
tidak hanya efektif secara akademik, tetapi juga manusiawi dan transformatif.
Footnotes:
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 1 ayat (4).
[2]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 32–33.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–16.
[4]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2018), 8–10.
[5]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 78–81.
2.
Pengertian dan Konsep Dasar
Istilah peserta didik
merujuk pada individu yang berada dalam proses pendidikan, baik secara formal
maupun nonformal, dengan tujuan untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Dalam konteks hukum di Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa peserta didik adalah “anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran.”¹
Definisi ini menegaskan bahwa peserta didik bukan hanya objek dalam sistem
pendidikan, tetapi subjek aktif yang memiliki potensi unik yang harus
dikembangkan melalui proses pedagogis yang bermakna.
Karakteristik peserta didik
mengacu pada berbagai aspek yang melekat pada diri seorang siswa, yang dapat
memengaruhi cara mereka menerima, mengolah, dan menanggapi pengalaman belajar.
Karakteristik tersebut mencakup aspek biologis (misalnya usia dan kondisi
fisik), psikologis (termasuk kecerdasan, kepribadian, motivasi, dan emosi),
sosial-budaya (latar belakang keluarga, lingkungan, dan budaya), serta
spiritualitas dan nilai-nilai hidup.² Menurut Anita Woolfolk, pemahaman yang
utuh terhadap karakteristik siswa sangat penting untuk menciptakan proses
belajar yang adaptif dan efektif.³
Dalam kajian psikologi
pendidikan, karakteristik peserta didik sering kali dikaitkan dengan teori
perkembangan, baik yang bersifat kognitif, sosial, maupun emosional. Misalnya,
Jean Piaget mengemukakan bahwa anak-anak berkembang melalui tahapan-tahapan
kognitif tertentu, dan pada setiap tahap mereka memiliki cara berpikir dan
memahami dunia yang berbeda.⁴ Sementara itu, Lev Vygotsky menekankan pentingnya
zona perkembangan proksimal—yakni jarak antara apa yang dapat
dilakukan anak sendiri dan apa yang dapat mereka capai dengan bantuan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.⁵ Pemahaman terhadap dinamika ini
memungkinkan pendidik untuk menyesuaikan pendekatan pengajaran mereka dengan
kebutuhan perkembangan siswa.
Sejalan dengan itu, Kurikulum
Merdeka di Indonesia menekankan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered
learning), yang secara implisit menuntut pemahaman mendalam terhadap
karakteristik individu setiap peserta didik.⁶ Dalam pandangan ini, peserta
didik bukanlah entitas yang homogen, melainkan individu yang memiliki perbedaan
yang harus dihargai dalam proses pembelajaran.
Secara konseptual, memahami
karakteristik peserta didik bukanlah semata soal mengklasifikasikan tipe-tipe
siswa, tetapi lebih pada membangun kesadaran pedagogis bahwa setiap siswa
adalah pribadi yang unik dengan hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang
secara maksimal. Prinsip ini sejalan dengan visi pendidikan nasional yang
menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses transformasi
pendidikan.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 1 ayat (4).
[2]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 54–56.
[3]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 80–82.
[4]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–4.
[5]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–91.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–13.
3.
Teori-Teori Terkait Perkembangan Peserta Didik
Pemahaman terhadap
karakteristik peserta didik sangat erat kaitannya dengan kajian psikologi
perkembangan. Teori-teori perkembangan memberikan landasan ilmiah untuk
memahami bagaimana peserta didik tumbuh secara kognitif, sosial, emosional, dan
moral. Berikut adalah lima teori utama yang relevan dan aplikatif dalam konteks
pendidikan.
3.1.
Teori Perkembangan
Kognitif – Jean Piaget
Jean Piaget menyusun teori
perkembangan kognitif berdasarkan hasil observasi terhadap anak-anak dan
menyimpulkan bahwa mereka berpikir dengan cara yang berbeda dari orang dewasa.
Piaget mengidentifikasi empat tahap perkembangan kognitif: sensorimotor (0–2
tahun), praoperasional (2–7 tahun), operasional konkret (7–11 tahun), dan
operasional formal (11 tahun ke atas).1
Dalam konteks pendidikan,
peserta didik usia sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret, di mana
mereka mulai mampu berpikir logis terhadap objek nyata, sedangkan peserta didik
usia menengah dan atas mulai memasuki tahap operasional formal, yang
memungkinkan mereka berpikir abstrak dan hipotetis. Pemahaman atas tahap ini
membantu guru dalam menyesuaikan pendekatan dan strategi pembelajaran.2
3.2.
Teori Perkembangan
Sosial – Erik Erikson
Erik Erikson mengembangkan
teori psychosocial development yang terdiri atas delapan tahap,
masing-masing dengan krisis perkembangan tertentu yang harus diselesaikan.
Untuk peserta didik usia sekolah, dua tahap yang paling relevan adalah tahap industry
vs. inferiority (usia 6–12 tahun) dan identity vs. role confusion
(usia 12–18 tahun).3
Dalam tahap industry,
peserta didik membutuhkan penguatan positif atas pencapaian mereka, agar mereka
merasa kompeten. Sementara itu, pada tahap identity, remaja mulai
mencari jati diri dan membutuhkan ruang untuk eksplorasi serta pembimbingan
dalam membentuk identitas personal dan sosial yang sehat.4
3.3.
Teori Belajar Sosial –
Albert Bandura
Albert Bandura menekankan
pentingnya pengamatan dan peniruan dalam proses belajar. Melalui konsep observational
learning dan modeling, Bandura menjelaskan bahwa peserta didik
dapat belajar melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain, khususnya figur
yang mereka anggap signifikan, seperti guru atau teman sebaya.5
Ia juga memperkenalkan konsep
self-efficacy—keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam melakukan
tugas tertentu. Peserta didik dengan self-efficacy tinggi lebih cenderung
menunjukkan motivasi belajar yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam
menghadapi tantangan.6
3.4.
Teori Kecerdasan
Majemuk – Howard Gardner
Howard Gardner mengkritik
pendekatan tradisional yang mengukur kecerdasan hanya melalui logika-matematika
dan bahasa. Ia mengusulkan teori Multiple Intelligences yang mencakup
delapan jenis kecerdasan: linguistik, logika-matematika, musikal, kinestetik,
visual-spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.7
Teori ini memiliki implikasi
besar dalam pendidikan karena menuntut guru untuk mendesain pembelajaran yang
beragam dan tidak terbatas pada satu jenis kecerdasan saja. Setiap peserta
didik memiliki profil kecerdasan yang berbeda, sehingga pembelajaran yang
diferensiatif menjadi penting.8
3.5.
Teori Zona
Perkembangan Proksimal – Lev Vygotsky
Lev Vygotsky menyatakan bahwa
perkembangan kognitif sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial. Ia
memperkenalkan konsep Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu jarak
antara tingkat perkembangan aktual (apa yang dapat dilakukan anak sendiri) dan
tingkat perkembangan potensial (apa yang dapat dilakukan dengan bantuan orang
dewasa atau teman sebaya).9
Untuk mengoptimalkan
pembelajaran dalam ZPD, guru perlu memberikan scaffolding—dukungan
sementara yang akan dilepas secara bertahap saat peserta didik mulai mampu
mandiri. Ini menegaskan pentingnya kolaborasi dan peran guru sebagai
fasilitator dalam proses belajar.10
Kesimpulan
Kelima teori di atas saling
melengkapi dalam menjelaskan dimensi-dimensi perkembangan peserta didik.
Penggunaan teori ini secara aplikatif dapat membantu guru merancang strategi
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak secara
komprehensif—baik dari sisi kognitif, afektif, sosial, maupun moral.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 4–5.
[2]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2018), 42–46.
[3]
Erik H. Erikson, Childhood and Society, 2nd ed. (New York:
Norton, 1963), 247–274.
[4]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 82–85.
[5]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1977), 22–23.
[6]
Ibid., 191–193.
[7]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 15–34.
[8]
Ibid., 179–182.
[9]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86–91.
[10]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 43–45.
4.
Dimensi-Dimensi Karakteristik Peserta Didik
Karakteristik peserta didik
merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor biologis, psikologis,
sosial, dan budaya. Memahami dimensi-dimensi karakteristik ini penting bagi
pendidik agar dapat merancang pembelajaran yang kontekstual, diferensiatif, dan
inklusif. Berikut adalah dimensi-dimensi utama yang perlu dipahami dalam
konteks pendidikan.
4.1.
Usia dan Tahap
Perkembangan
Usia kronologis sering kali
menjadi indikator awal dalam mengidentifikasi karakteristik perkembangan
peserta didik. Peserta didik usia SD hingga SMA/MA umumnya berada dalam rentang
perkembangan operasional konkret hingga formal menurut teori Piaget, serta
berada pada fase pencarian identitas menurut Erikson.¹ Pada usia remaja,
misalnya, peserta didik mulai mampu berpikir abstrak dan mempertanyakan
nilai-nilai sosial serta peran dirinya dalam masyarakat.²
Guru perlu menyesuaikan
pendekatan, metode, dan materi pembelajaran dengan tahap perkembangan ini,
karena ketidaksesuaian dapat menyebabkan kesulitan belajar, kebosanan, atau
bahkan penolakan terhadap pembelajaran.³
4.2.
Gaya Belajar
Setiap peserta didik memiliki
gaya belajar yang berbeda, yang mencerminkan preferensi mereka dalam menerima
dan memproses informasi. Model VAK (Visual, Auditory, Kinesthetic) yang
dikembangkan oleh Fleming menggambarkan tiga kategori utama gaya belajar.⁴
Peserta didik visual lebih mudah memahami informasi melalui gambar dan diagram;
peserta didik auditori lebih mudah menyerap informasi melalui pendengaran; dan
peserta didik kinestetik lebih menyukai aktivitas fisik dan manipulatif.
Menyesuaikan metode
pengajaran dengan gaya belajar siswa dapat meningkatkan pemahaman dan retensi
informasi, serta membangun keterlibatan aktif dalam pembelajaran.⁵
4.3.
Minat dan Bakat
Minat merujuk pada
kecenderungan individu untuk menyukai atau tertarik pada suatu objek atau
aktivitas tertentu, sementara bakat adalah potensi alami dalam bidang
tertentu.⁶ Gardner, dalam teori kecerdasan majemuknya, menyatakan bahwa setiap
individu memiliki kombinasi kecerdasan yang unik dan potensi dalam berbagai
bidang, seperti musik, bahasa, logika, atau gerak.⁷
Mengidentifikasi dan
mengembangkan minat serta bakat peserta didik merupakan bagian penting dari
pendidikan yang holistik, sebagaimana ditekankan dalam Kurikulum Merdeka.⁸
Pembelajaran yang relevan dengan minat siswa akan meningkatkan motivasi
intrinsik dan hasil belajar.
4.4.
Latar Belakang Sosial,
Budaya, dan Ekonomi
Peserta didik berasal dari
latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang beragam. Faktor-faktor seperti
status sosial ekonomi, pendidikan orang tua, dan nilai-nilai budaya sangat
memengaruhi kesiapan belajar dan interaksi sosial siswa di sekolah.⁹ Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, penting bagi guru untuk memiliki
kepekaan terhadap keragaman ini demi menciptakan pembelajaran yang inklusif dan
adil.¹⁰
Pendidikan yang peka budaya
dapat mencegah diskriminasi dan marginalisasi serta memperkuat kohesi sosial di
lingkungan sekolah.¹¹
4.5.
Kondisi Emosional dan
Motivasi
Keadaan emosi dan motivasi
berperan besar dalam proses pembelajaran. Peserta didik yang berada dalam
kondisi emosi positif lebih mudah untuk fokus dan menyerap informasi. Deci dan
Ryan mengemukakan bahwa motivasi intrinsik—yakni dorongan yang berasal dari
dalam diri individu—lebih efektif dalam mendorong keterlibatan dan pembelajaran
jangka panjang dibandingkan motivasi ekstrinsik.¹²
Guru perlu menciptakan
lingkungan belajar yang suportif, aman secara emosional, dan penuh penghargaan
agar peserta didik termotivasi untuk berkembang secara optimal.¹³
4.6.
Kebutuhan Khusus dan
Individual
Sebagian peserta didik
memiliki kebutuhan khusus yang memerlukan pendekatan pembelajaran berbeda, baik
karena hambatan fisik, intelektual, sensorik, maupun sosial-emosional. Prinsip Universal
Design for Learning (UDL) mendorong penciptaan pembelajaran yang fleksibel
dan dapat diakses oleh semua peserta didik.¹⁴
Regulasi nasional mendukung
pendidikan inklusif sebagaimana tercantum dalam Permendikbud No. 70 Tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.¹⁵
Kesimpulan
Dimensi-dimensi karakteristik
peserta didik tersebut tidak dapat dipandang secara terpisah, melainkan sebagai
suatu kesatuan yang saling berinteraksi. Pendidik yang memahami dan menghargai
setiap dimensi ini akan mampu menciptakan proses pembelajaran yang lebih
manusiawi, adaptif, dan efektif.
Footnotes
[1]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2018), 33–37.
[2]
Erik H. Erikson, Childhood and Society, 2nd ed. (New York:
Norton, 1963), 261–263.
[3]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 104–107.
[4]
Neil D. Fleming, Teaching and Learning Styles: VARK Strategies
(Christchurch, NZ: Neil Fleming, 2001), 2–5.
[5]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 96–98.
[6]
Hurlock, Elizabeth B., Child Development, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 1980), 421–422.
[7]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 9–21.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18–21.
[9]
James A. Banks and Cherry A. McGee Banks, eds., Multicultural
Education: Issues and Perspectives, 9th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2019),
92–96.
[10]
Geneva Gay, Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and
Practice, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2010), 23–25.
[11]
Ibid., 36–39.
[12]
Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and
Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985),
55–57.
[13]
Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed., 208–210.
[14]
David H. Rose and Anne Meyer, A Practical Reader in Universal
Design for Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2006), 15–18.
[15]
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
5.
Implikasi Pemahaman Karakteristik Peserta Didik
terhadap Pembelajaran
Pemahaman yang mendalam
terhadap karakteristik peserta didik merupakan fondasi penting bagi terciptanya
proses pembelajaran yang efektif, inklusif, dan transformatif. Dalam pendekatan
pendidikan yang berpusat pada peserta didik (learner-centered approach),
guru tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai
fasilitator yang mampu merancang pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan dan
potensi setiap individu.¹ Dalam konteks ini, pemahaman terhadap berbagai
dimensi karakteristik peserta didik berdampak langsung terhadap berbagai aspek
pembelajaran, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.
5.1.
Perencanaan
Pembelajaran yang Diferensiatif dan Responsif
Karakteristik peserta didik
yang beragam menuntut adanya perencanaan pembelajaran yang bersifat
diferensiatif. Differentiated instruction memungkinkan guru untuk menyesuaikan
konten, proses, dan produk pembelajaran sesuai dengan tingkat kesiapan, minat,
dan profil belajar siswa.² Tomlinson menyatakan bahwa diferensiasi bukanlah
pemberian perlakuan istimewa, tetapi suatu pendekatan untuk memastikan bahwa
semua siswa mendapat kesempatan belajar secara optimal.³
Kurikulum Merdeka di
Indonesia secara eksplisit mendorong guru untuk menggunakan asesmen diagnostik
awal guna memahami profil peserta didik, sehingga pembelajaran dapat dirancang
lebih kontekstual dan bermakna.⁴
5.2.
Pemilihan Strategi dan
Metode Pembelajaran yang Tepat
Pengetahuan tentang gaya
belajar, tahap perkembangan kognitif, serta kondisi sosial-emosional siswa
memungkinkan guru memilih strategi pembelajaran yang paling sesuai. Peserta
didik usia SD misalnya, lebih cocok dengan metode pembelajaran yang konkret dan
aktif seperti bermain peran atau pembelajaran berbasis proyek.⁵ Sementara itu,
siswa SMA/MA dapat diajak berdiskusi kritis dan terlibat dalam pembelajaran
kolaboratif untuk mengembangkan pemikiran abstrak dan reflektif.⁶
Metode seperti pembelajaran
tematik integratif, pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning),
dan blended learning dapat disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik
peserta didik masa kini yang hidup di era digital.⁷
5.3.
Pengelolaan Kelas yang
Adaptif dan Inklusif
Pemahaman terhadap latar
belakang budaya, sosial, dan kebutuhan individual peserta didik sangat penting
dalam menciptakan iklim kelas yang aman dan mendukung pembelajaran. Guru yang
memiliki kesadaran inklusif cenderung lebih berhasil dalam membangun hubungan
yang positif dengan siswa, mengelola konflik secara konstruktif, dan mendorong
partisipasi aktif semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan
khusus.⁸
Implementasi Universal
Design for Learning (UDL) dalam pengelolaan kelas memungkinkan terciptanya
ruang belajar yang fleksibel, di mana perbedaan bukan dianggap sebagai
hambatan, melainkan sebagai kekayaan yang perlu dirayakan.⁹
5.4.
Penggunaan Asesmen
sebagai Instrumen Reflektif
Asesmen tidak hanya berfungsi
sebagai alat ukur keberhasilan, tetapi juga sebagai refleksi bagi guru untuk
memahami kemajuan dan kebutuhan peserta didik. Pemahaman karakteristik siswa
membantu guru merancang asesmen formatif yang variatif dan adil, serta
memberikan umpan balik yang konstruktif.¹⁰
Kurikulum Merdeka menekankan
pentingnya asesmen yang bersifat autentik, yang mencerminkan kemampuan nyata
siswa dalam konteks kehidupan.¹¹ Misalnya, peserta didik yang memiliki
kecerdasan kinestetik dapat dievaluasi melalui proyek praktik, bukan hanya tes
tulis.
5.5.
Penguatan Peran Guru
sebagai Fasilitator Pembelajaran
Guru yang memahami
karakteristik peserta didik akan lebih mudah dalam membangun relasi yang
empatik, komunikatif, dan mendukung perkembangan personal siswa. Ini memperkuat
peran guru sebagai pembimbing (mentor) yang tidak hanya mengajarkan
konten, tetapi juga membentuk karakter dan kecakapan hidup siswa.¹²
Dalam konteks pendidikan abad
ke-21, guru dituntut tidak hanya menguasai pedagogik dan konten, tetapi juga
literasi sosial-emosional agar mampu menjembatani kebutuhan siswa dalam
menghadapi tantangan zaman yang kompleks.¹³
Kesimpulan
Dengan memahami karakteristik
peserta didik secara menyeluruh, guru dapat mengembangkan pembelajaran yang
tidak hanya efektif dari segi akademik, tetapi juga relevan secara personal dan
sosial. Ini menjadi kunci dalam mewujudkan pendidikan yang bermakna, adil, dan
transformatif sesuai dengan visi pendidikan nasional dan global.
Footnotes
[1]
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice,
12th ed. (Boston: Pearson, 2015), 91–92.
[2]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in
Academically Diverse Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001),
1–3.
[3]
Ibid., 8–9.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.
[5]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2018), 37–39.
[6]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 187–189.
[7]
Hilda Taba, Curriculum Development: Theory and Practice (New
York: Harcourt Brace, 1962), 102–105.
[8]
Geneva Gay, Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and
Practice, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2010), 114–117.
[9]
David H. Rose and Anne Meyer, A Practical Reader in Universal
Design for Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2006), 21–25.
[10]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed.
(Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2018), 49–52.
[11]
Kemendikbudristek, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka,
30–32.
[12]
Parker J. Palmer, The Courage to Teach: Exploring the Inner
Landscape of a Teacher’s Life, 20th Anniversary ed. (San Francisco:
Jossey-Bass, 2017), 30–32.
[13]
OECD, Teachers and School Leaders as Lifelong Learners: TALIS 2019
Results (Volume II) (Paris: OECD Publishing, 2020), 58–60.
6.
Studi Kasus dan Praktik Baik
Implementasi pemahaman
karakteristik peserta didik dalam pembelajaran bukan sekadar teori yang
bersifat konseptual, tetapi telah terbukti memberikan dampak signifikan dalam
praktik pendidikan. Studi-studi empiris dan pengalaman guru di lapangan
menunjukkan bahwa ketika karakteristik siswa diperhatikan dengan cermat, proses
pembelajaran menjadi lebih bermakna, partisipatif, dan inklusif. Berikut ini
dipaparkan dua studi kasus yang merepresentasikan praktik baik dari pemahaman
karakteristik peserta didik dalam konteks pendidikan Indonesia.
6.1.
Studi Kasus 1:
Pembelajaran Berdiferensiasi di SMP Negeri 3 Sleman
SMP Negeri 3 Sleman,
Yogyakarta, menjadi salah satu sekolah percontohan Kurikulum Merdeka yang telah
menerapkan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan minat, tingkat kesiapan,
dan gaya belajar siswa. Guru Bahasa Indonesia, misalnya, merancang tugas
menulis narasi dengan tiga pilihan: menulis cerita dalam bentuk teks, membuat
komik digital, atau membuat vlog singkat. Masing-masing opsi menyesuaikan
preferensi siswa terhadap cara belajar mereka—visual, verbal, atau kinestetik.¹
Pendekatan ini mengacu pada
prinsip pembelajaran berdiferensiasi seperti yang dikembangkan oleh Carol Ann
Tomlinson.² Hasil evaluasi sekolah menunjukkan peningkatan partisipasi siswa
dan peningkatan rata-rata hasil belajar sebesar 15% pada semester pertama
pelaksanaan pendekatan ini.³ Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pemahaman
terhadap gaya belajar dan minat siswa dapat meningkatkan efektivitas
pembelajaran secara nyata.
6.2.
Studi Kasus 2:
Strategi Inklusif Berbasis UDL di SD Inklusi “Cerdas Mandiri” Surabaya
SD “Cerdas Mandiri” adalah
sekolah inklusi di Surabaya yang menerapkan prinsip Universal Design for
Learning (UDL) dalam kegiatan belajar-mengajar. Salah satu contoh
penerapannya adalah saat pembelajaran IPA, guru menyediakan berbagai representasi
materi—video visual, penjelasan lisan, dan simulasi langsung—untuk
mengakomodasi siswa dengan hambatan pendengaran dan gangguan pemusatan
perhatian.⁴
Selain itu, guru juga
memberikan fleksibilitas dalam penyelesaian tugas: siswa dapat menulis laporan,
merekam video, atau membuat presentasi gambar. Evaluasi formatif dilakukan
secara adaptif, dan penilaian tidak hanya menitikberatkan pada hasil akhir
tetapi juga pada proses dan keterlibatan. Pendekatan ini sesuai dengan arahan
dari Permendikbud No. 70 Tahun 2009 yang menegaskan pentingnya
penyesuaian kurikulum dan metode pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan
khusus.⁵
Menurut laporan pengawasan
Dinas Pendidikan Kota Surabaya, pendekatan ini berhasil menurunkan tingkat
kejenuhan belajar dan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik secara
signifikan.⁶
6.3.
Refleksi Praktik Baik
oleh Guru
Sejumlah guru di berbagai
jenjang pendidikan juga telah membuktikan pentingnya pemahaman karakteristik
peserta didik melalui refleksi mereka. Misalnya, seorang guru di SMA Negeri 1
Kudus menyampaikan bahwa setelah ia memahami bahwa mayoritas siswanya memiliki
kecenderungan intrapersonal tinggi (berdasarkan hasil survei awal tahun
ajaran), ia memberikan lebih banyak waktu refleksi pribadi dan penugasan
portofolio, bukan hanya diskusi kelompok. Hal ini berdampak pada peningkatan
kualitas tulisan reflektif siswa dan keterlibatan mereka dalam pembelajaran.⁷
Pendekatan seperti ini
sejalan dengan semangat Merdeka Belajar, yang memberi ruang bagi guru
untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang berpihak pada peserta didik.⁸
Kesimpulan
Studi kasus dan praktik baik
di atas menunjukkan bahwa pemahaman terhadap karakteristik peserta didik tidak
hanya memperkaya pendekatan pedagogik, tetapi juga meningkatkan kualitas hasil
belajar secara signifikan. Implementasi prinsip-prinsip diferensiasi,
pembelajaran inklusif, dan desain pembelajaran universal menjadi bukti nyata
bahwa teori dapat diintegrasikan secara kontekstual ke dalam praktik pendidikan
sehari-hari.
Footnotes
[1]
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Laporan Implementasi Kurikulum
Merdeka di SMP Negeri 3 Sleman, (Sleman: Disdik Sleman, 2023), 4–5.
[2]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in
Academically Diverse Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001),
6–9.
[3]
Ibid., 11.
[4]
Wawancara dengan Kepala Sekolah SD Inklusi “Cerdas Mandiri”, Surabaya,
15 Maret 2024.
[5]
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,
Pasal 3 dan 5.
[6]
Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Evaluasi Implementasi Pendidikan
Inklusif Tahun 2023, (Surabaya: Dispendik Surabaya, 2023), 8.
[7]
Dokumentasi refleksi pembelajaran guru SMA Negeri 1 Kudus, diakses dari
platform Guru Berbagi Kemendikbudristek, 2023.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Merdeka Belajar: Buku Saku untuk Guru, (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 15–17.
7.
Tantangan dan Solusi dalam Penerapan di
Lapangan
Meskipun pemahaman
karakteristik peserta didik telah menjadi bagian penting dalam diskursus
pendidikan modern, implementasinya di lapangan tidak selalu berjalan mulus.
Sejumlah tantangan struktural, kultural, dan teknis masih menjadi penghambat
bagi guru dan lembaga pendidikan dalam mewujudkan pembelajaran yang adaptif dan
berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang bersifat
sistemik dan kontekstual.
7.1.
Tantangan dalam
Penerapan
7.1.1.
Keterbatasan Waktu dan Beban Administratif Guru
Salah satu tantangan terbesar
yang dihadapi guru dalam menerapkan pembelajaran yang mempertimbangkan
karakteristik peserta didik adalah keterbatasan waktu untuk merancang
pembelajaran yang diferensiatif dan autentik. Selain mengajar, guru juga
dibebani oleh tugas administratif, penilaian, dan laporan yang menyita
perhatian dari aktivitas pedagogik yang sejati.¹
Laporan Indonesia
Education Statistics 2023 menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang
dihabiskan guru untuk pekerjaan administratif mencapai 30% dari total jam kerja
mingguan, yang secara signifikan mengurangi waktu untuk refleksi dan
pengembangan strategi pembelajaran.²
7.1.2.
Kurangnya Pelatihan Profesional yang
Berkelanjutan
Banyak guru belum memperoleh
pelatihan yang memadai terkait strategi pembelajaran berdiferensiasi, asesmen
autentik, atau pendekatan inklusif seperti Universal Design for Learning
(UDL).³ Hal ini berdampak pada rendahnya kepercayaan diri guru dalam
menerapkan pendekatan yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik.
7.1.3.
Rasio Guru dan Jumlah Siswa yang Tidak Ideal
Di banyak sekolah, terutama
di daerah dengan keterbatasan sumber daya, rasio antara jumlah guru dan siswa
tidak mendukung pelaksanaan pembelajaran yang bersifat personal. Guru harus
menangani kelas besar dengan latar belakang siswa yang sangat beragam, sehingga
menyulitkan penerapan strategi individualisasi pembelajaran.⁴
7.1.4.
Minimnya Dukungan Infrastruktur dan Sumber
Belajar
Pemanfaatan teknologi untuk
mendukung diferensiasi pembelajaran atau akses terhadap materi multiformat
sering kali terkendala oleh keterbatasan perangkat digital, akses internet, dan
literasi digital, baik dari pihak guru maupun peserta didik.⁵
7.2.
Solusi dan Strategi
Implementatif
7.2.1.
Penguatan Komunitas Belajar Guru (KBG) dan PLC
Komunitas Belajar Guru (KBG)
atau Professional Learning Communities (PLC) dapat menjadi solusi
strategis dalam mendukung pengembangan profesional guru secara berkelanjutan.
Dalam forum ini, guru dapat saling berbagi praktik baik, merancang pembelajaran
berdiferensiasi, serta merefleksikan tantangan dan kemajuan mereka.⁶
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mendorong pendekatan
ini melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang menyediakan pelatihan
mandiri berbasis kebutuhan nyata guru.⁷
7.2.2.
Integrasi Teknologi untuk Efisiensi dan Akses
Penggunaan teknologi digital
secara selektif dapat membantu guru dalam menyederhanakan administrasi (melalui
Learning Management System atau aplikasi asesmen daring), sekaligus
memperluas akses ke sumber belajar yang beragam.⁸ Teknologi juga memungkinkan
pembelajaran adaptif melalui konten yang dapat dipilih berdasarkan preferensi
dan kebutuhan peserta didik.
7.2.3.
Revitalisasi Program Supervisi Akademik
Supervisi akademik yang
kolaboratif dan berbasis peningkatan mutu pembelajaran perlu digalakkan
kembali. Kepala sekolah dan pengawas tidak seharusnya hanya menjadi pengendali
administratif, tetapi menjadi mitra reflektif guru dalam mengembangkan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.⁹
7.2.4. Penyusunan Kebijakan Berbasis
Bukti dan Konteks
Kebijakan pendidikan
hendaknya disusun berdasarkan data empiris dan masukan dari akar rumput,
terutama guru. Penyesuaian beban kerja, dukungan pengembangan profesional, dan
penyediaan sumber daya harus mempertimbangkan realitas sekolah di berbagai
daerah. Pendekatan ini sejalan dengan semangat School-Based Management
(SBM) yang mendorong desentralisasi pengambilan keputusan.¹⁰
Kesimpulan
Tantangan dalam penerapan
pemahaman karakteristik peserta didik bersifat kompleks dan multidimensional.
Namun, dengan pendekatan kolaboratif, pemanfaatan teknologi, penguatan
komunitas profesi, dan kebijakan yang berpihak pada praktik, transformasi
pembelajaran yang responsif dan bermakna dapat terwujud. Pemahaman karakteristik
peserta didik tidak cukup menjadi teori di ruang seminar, tetapi harus menjadi
praktik nyata yang ditopang oleh sistem yang adaptif dan suportif.
Footnotes
[1]
OECD, TALIS 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong
Learners, Volume I (Paris: OECD Publishing, 2019), 130–132.
[2]
Badan Pusat Statistik, Statistik Pendidikan Indonesia 2023
(Jakarta: BPS, 2023), 52–53.
[3]
UNESCO, Global Education Monitoring Report 2021: Non-State Actors
in Education (Paris: UNESCO Publishing, 2021), 99–101.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Data
Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah 2023 (Jakarta: Kemendikbud, 2023), 45.
[5]
Indonesia Mengajar, Laporan Tahunan 2022: Ketimpangan Digital dalam
Pembelajaran (Jakarta: Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, 2022), 17–19.
[6]
Richard DuFour and Robert Eaker, Professional Learning Communities
at Work: Best Practices for Enhancing Student Achievement (Bloomington,
IN: Solution Tree Press, 1998), 11–15.
[7]
Kemendikbudristek, Panduan Platform Merdeka Mengajar, edisi 2023
(Jakarta: Kemdikbudristek, 2023), 6–9.
[8]
OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with
Artificial Intelligence, Blockchain and Robots (Paris: OECD Publishing,
2021), 74–77.
[9]
Direktorat Jenderal GTK, Pedoman Supervisi Akademik Berbasis Penguatan
Kompetensi Guru, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 13–15.
[10]
World Bank, Making Schools Work: New Evidence on Accountability
Reforms (Washington, DC: World Bank Publications, 2011), 25–27.
8.
Penutup
Pemahaman yang mendalam
terhadap karakteristik peserta didik bukan sekadar tambahan dalam praktik
pendidikan, melainkan elemen esensial yang menentukan keberhasilan proses
pembelajaran. Dalam kerangka pendidikan nasional Indonesia, peserta didik
ditempatkan sebagai subjek utama pembelajaran sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (4),
yang menekankan pentingnya pengembangan potensi peserta didik secara optimal.¹
Berbagai teori perkembangan—baik
kognitif, sosial, emosional, maupun kecerdasan majemuk—menawarkan kerangka
konseptual yang kuat untuk memahami keunikan dan keragaman individu dalam
proses belajar.² Ketika guru mampu mengintegrasikan pemahaman ini ke dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, maka pendidikan tidak
hanya akan menghasilkan output akademik, tetapi juga membentuk karakter dan
kompetensi hidup yang utuh.
Di era Kurikulum Merdeka,
pemahaman terhadap karakteristik peserta didik mendapatkan legitimasi kebijakan
yang kuat. Guru didorong untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi,
mengembangkan asesmen autentik, dan menciptakan lingkungan belajar yang
inklusif.³ Hal ini merupakan respons terhadap kebutuhan zaman, di mana peserta
didik hidup dalam dunia yang kompleks, dinamis, dan menuntut kemampuan berpikir
kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif.⁴
Namun demikian, seperti yang
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, penerapan pendekatan yang berpijak
pada karakteristik peserta didik tidak lepas dari tantangan. Oleh karena itu,
dibutuhkan sinergi antara guru, kepala sekolah, pengawas, pembuat kebijakan,
dan komunitas belajar untuk menciptakan sistem pendukung yang memungkinkan guru
mengimplementasikan praktik terbaik secara berkelanjutan.
Dalam tataran praktis, guru
perlu terus mengembangkan kompetensinya melalui pelatihan, refleksi diri,
kolaborasi profesional, dan pemanfaatan teknologi pendidikan.⁵ Pendidikan tidak
boleh stagnan pada pendekatan satu ukuran untuk semua, tetapi harus
bertransformasi menjadi ruang yang menghargai keberagaman dan merayakan potensi
setiap peserta didik.
Akhirnya, pemahaman terhadap
karakteristik peserta didik bukan hanya urusan metodologis, tetapi juga etis
dan filosofis. Di sinilah letak misi luhur pendidikan: membimbing manusia untuk
menjadi dirinya sendiri dalam kemanusiaan yang utuh.⁶
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Pasal 1 ayat (4).
[2]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2018), 33–42; Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of
Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 9–21.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia,
Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi revisi (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 11–13.
[4]
OECD, The Future of Education and Skills: Education 2030
(Paris: OECD Publishing, 2018), 5–7.
[5]
Richard DuFour and Robert Eaker, Professional Learning Communities
at Work: Best Practices for Enhancing Student Achievement (Bloomington,
IN: Solution Tree Press, 1998), 28–32.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 57–58.
Daftar Pustaka
Bad an Pusat Statistik.
(2023). Statistik pendidikan Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Bandura, A. (1977). Social
learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Banks, J. A., & Banks,
C. A. M. (Eds.). (2019). Multicultural education: Issues and perspectives
(9th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.
Deci, E. L., & Ryan, R.
M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior.
New York: Plenum Press.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2022). Pedoman supervisi akademik berbasis
penguatan kompetensi guru (edisi revisi). Jakarta: Kemendikbudristek.
DuFour, R., & Eaker, R.
(1998). Professional learning communities at work: Best practices for
enhancing student achievement. Bloomington, IN: Solution Tree Press.
Erikson, E. H. (1963). Childhood
and society (2nd ed.). New York: Norton.
Fleming, N. D. (2001). Teaching
and learning styles: VARK strategies. Christchurch, NZ: Neil Fleming.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.
Gardner, H. (1983). Frames
of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic Books.
Gay, G. (2010). Culturally
responsive teaching: Theory, research, and practice (2nd ed.). New York:
Teachers College Press.
Hurlock, E. B. (1980). Child
development (6th ed.). New York: McGraw-Hill.
Indonesia. (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.
Indonesia. (2009). Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Indonesia Mengajar. (2022).
Laporan tahunan 2022: Ketimpangan digital dalam pembelajaran. Jakarta:
Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2023). Data pokok pendidikan dasar dan
menengah 2023. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan
implementasi Kurikulum Merdeka (edisi revisi). Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Merdeka
belajar: Buku saku untuk guru. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2023). Panduan
platform Merdeka Mengajar (edisi 2023). Jakarta: Kemendikbudristek.
OECD. (2018). The
future of education and skills: Education 2030. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2019). TALIS 2018
results: Teachers and school leaders as lifelong learners, volume I.
Paris: OECD Publishing.
OECD. (2021). Digital
education outlook 2021: Pushing the frontiers with artificial intelligence,
blockchain and robots. Paris: OECD Publishing.
Palmer, P. J. (2017). The
courage to teach: Exploring the inner landscape of a teacher’s life (20th
anniversary ed.). San Francisco: Jossey-Bass.
Piaget, J. (1952). The
origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). New York:
International Universities Press.
Rose, D. H., & Meyer,
A. (2006). A practical reader in universal design for learning.
Cambridge, MA: Harvard Education Press.
Santrock, J. W. (2018). Educational
psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill.
Slavin, R. E. (2015). Educational
psychology: Theory and practice (12th ed.). Boston: Pearson.
Taba, H. (1962). Curriculum
development: Theory and practice. New York: Harcourt Brace.
Tomlinson, C. A. (2001). How
to differentiate instruction in academically diverse classrooms (2nd ed.).
Alexandria, VA: ASCD.
UNESCO. (2021). Global
education monitoring report 2021: Non-state actors in education. Paris:
UNESCO Publishing.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole et
al., Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wiliam, D. (2018). Embedded
formative assessment (2nd ed.). Bloomington, IN: Solution Tree Press.
World Bank. (2011). Making
schools work: New evidence on accountability reforms. Washington, DC:
World Bank Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar