Multiple Intelligence
Menelusuri Teori Multiple
Intelligence Howard Gardner dan Implikasinya dalam Pendidikan Kontemporer
Alihkan ke: Karakteristik Peserta Didik.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori Multiple
Intelligence (MI) yang dikembangkan oleh Howard Gardner sebagai respons
terhadap keterbatasan konsep kecerdasan tunggal yang diukur melalui tes IQ.
Melalui kajian literatur yang mendalam, artikel ini menguraikan latar belakang
historis dan teoritis munculnya konsep MI, klasifikasi delapan hingga sembilan
jenis kecerdasan yang diusulkan Gardner, serta implikasi pedagogisnya dalam
konteks pendidikan modern. Pendekatan MI diposisikan sebagai paradigma
pendidikan yang inklusif dan humanistik, yang mendorong pembelajaran diferensiatif dan pengakuan terhadap keragaman potensi peserta didik. Di
samping mengulas kekuatan dan kontribusi teorinya, artikel ini juga membahas
kritik-kritik yang ditujukan kepada MI dari kalangan psikologi kognitif dan
psikometri, termasuk isu validitas ilmiah dan kesulitan implementasi. Pada
akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa meskipun tidak lepas dari keterbatasan,
teori MI tetap relevan dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21 yang
menuntut fleksibilitas, personalisasi, dan penguatan kecakapan non-kognitif
dalam masyarakat global dan digital.
Kata Kunci: Kecerdasan Majemuk, Howard Gardner, Pendidikan
Inklusif, Pembelajaran Diferensiatif, Kecerdasan Abad ke-21, Psikologi Pendidikan, Teori Multiple Intelligence (MI).
PEMBAHASAN
Memahami Variasi Kecerdasan Manusia Melalui Teori Multiple
Intelligence
1.
Pendahuluan
Selama berabad-abad,
kecerdasan manusia sering kali dipahami sebagai suatu entitas tunggal yang
dapat diukur secara objektif melalui angka—terutama melalui tes IQ
(Intelligence Quotient). Pendekatan ini berkembang pesat pada abad ke-20 dan
mendominasi berbagai praktik dalam pendidikan, psikologi, dan manajemen sumber
daya manusia. Model tradisional kecerdasan ini, yang umumnya mengutamakan
logika dan kemampuan linguistik, menjadi tolok ukur utama dalam menilai potensi
dan kapasitas seseorang. Namun, paradigma tersebut mulai mendapat tantangan
sejak paruh akhir abad ke-20 ketika sejumlah ilmuwan mengusulkan pendekatan
yang lebih pluralistik terhadap kecerdasan manusia. Salah satu pendekatan
paling berpengaruh berasal dari Howard Gardner, seorang psikolog dan profesor
di Harvard University, yang pada tahun 1983 memperkenalkan teori Multiple
Intelligence (MI) dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences¹.
Gardner menolak
pandangan bahwa kecerdasan merupakan kapasitas intelektual tunggal yang dapat
direduksi menjadi skor IQ. Ia mengusulkan bahwa terdapat setidaknya delapan
bentuk kecerdasan yang berbeda, yang masing-masing mencerminkan cara manusia
memahami dan berinteraksi dengan dunia secara unik². Konsep ini menekankan
bahwa setiap individu memiliki profil kecerdasan yang berbeda-beda, dan oleh
karena itu, sistem pendidikan seharusnya menyesuaikan diri dengan
keanekaragaman tersebut, bukan sebaliknya.
Kemunculan teori
kecerdasan majemuk menjadi tonggak penting dalam dunia pendidikan karena secara
radikal mengubah cara pandang terhadap peserta didik. Jika sebelumnya siswa
yang tidak unggul dalam bidang logika atau bahasa dianggap “kurang cerdas,”
teori ini memberikan legitimasi bagi potensi di bidang lain seperti seni,
musik, kemampuan fisik, atau bahkan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal.
Hal ini membuka ruang bagi pendekatan pembelajaran yang lebih personal,
holistik, dan inklusif³.
Dalam konteks
pendidikan kontemporer yang menuntut fleksibilitas, kreativitas, dan
keterampilan abad ke-21, relevansi teori MI semakin kuat. Sistem pendidikan
kini dituntut untuk tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga aspek
afektif dan psikomotorik, serta kemampuan untuk bekerja sama, berkomunikasi,
dan berpikir kritis⁴. Oleh karena itu, kajian terhadap teori Multiple
Intelligence menjadi sangat penting, tidak hanya untuk memahami
kompleksitas kecerdasan manusia, tetapi juga untuk merumuskan strategi
pendidikan yang lebih relevan, adil, dan efektif.
Melalui artikel ini,
akan dikaji secara sistematis pemikiran Howard Gardner mengenai kecerdasan
majemuk, jenis-jenis kecerdasan yang ia kemukakan, penerapannya dalam praktik
pendidikan, serta kritik dan relevansi teorinya dalam era pendidikan modern.
Dengan pendekatan ilmiah dan komprehensif, diharapkan tulisan ini dapat
memberikan kontribusi dalam pengembangan paradigma pendidikan yang menghargai
keberagaman potensi peserta didik.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences
(New York: Basic Books, 1983).
[2]
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 6–9.
[3]
David Lazear, Seven Ways of Knowing: Teaching for Multiple
Intelligences, 2nd ed. (Palatine, IL: IRI/Skylight Training and
Publishing, 1999), 3–5.
[4]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for Deeper
Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2017), 22–25.
2.
Landasan
Teori dan Konseptualisasi Kecerdasan
2.1.
Definisi Umum Kecerdasan
Kecerdasan merupakan
salah satu konsep paling kompleks dalam psikologi. Secara umum, kecerdasan
sering didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk belajar dari pengalaman,
menyesuaikan diri terhadap lingkungan, berpikir secara abstrak, dan
menyelesaikan masalah⁽¹⁾. Definisi ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan
kognitif, yang menekankan aspek-aspek mental seperti penalaran, ingatan, dan persepsi
sebagai dasar dari kecerdasan.
2.2.
Sejarah dan Dominasi Paradigma Kecerdasan
Tunggal
Selama sebagian
besar abad ke-20, paradigma yang dominan dalam psikologi pendidikan adalah
pandangan bahwa kecerdasan bersifat tunggal dan dapat diukur secara kuantitatif.
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam hal ini adalah Charles Spearman, yang
memperkenalkan konsep general intelligence atau g factor—suatu
kapasitas umum yang mendasari seluruh bentuk kemampuan kognitif⁽²⁾. Tes IQ
modern dikembangkan berdasarkan asumsi ini, dengan asumsi bahwa kemampuan
seseorang dapat dirangkum dalam satu angka yang menunjukkan tingkat kecerdasan
mereka.
Kemudian,
perkembangan dilanjutkan oleh para ahli seperti Lewis Terman, yang mengadaptasi
dan menyempurnakan tes Binet menjadi Stanford-Binet Intelligence Scale.
Pendekatan ini menjadikan skor IQ sebagai tolok ukur utama dalam seleksi
pendidikan, penempatan kerja, dan penilaian prestasi siswa⁽³⁾. Meskipun
memberikan kontribusi besar dalam praktik psikometri, pendekatan ini dikritik
karena cenderung menyederhanakan kompleksitas potensi manusia.
2.3.
Kritik terhadap Pandangan Tradisional tentang
Kecerdasan
Sejak tahun 1960-an,
kritik terhadap paradigma IQ mulai bermunculan. Salah satu kritik utama datang
dari kalangan psikologi perkembangan dan pendidikan yang menilai bahwa
pendekatan IQ terlalu sempit, bias budaya, dan gagal menangkap keragaman cara
berpikir dan belajar manusia. Robert Sternberg, misalnya, mengembangkan teori triarchic
intelligence yang mencakup kecerdasan analitik, kreatif, dan
praktis⁽⁴⁾. Sementara itu, Daniel Goleman mengangkat pentingnya emotional
intelligence dalam memahami keberhasilan seseorang dalam kehidupan
sosial dan emosional⁽⁵⁾.
Namun, kritik paling
sistematis dan revolusioner datang dari Howard Gardner, yang dalam bukunya Frames
of Mind (1983), menyatakan bahwa kecerdasan bukanlah satu kapasitas
tunggal, melainkan sebuah kumpulan kemampuan otonom yang dapat berkembang
secara berbeda-beda pada setiap individu⁽⁶⁾. Ia menyatakan bahwa sistem
pendidikan seharusnya tidak hanya mengakomodasi dua jenis kecerdasan dominan
(logika dan bahasa), tetapi juga memberi ruang bagi kecerdasan lain yang selama
ini terabaikan.
2.4.
Konsep Dasar dalam Teori Multiple Intelligence
Dalam teori Multiple
Intelligence, Gardner mengusulkan bahwa suatu kecerdasan harus memenuhi
kriteria tertentu untuk diakui sebagai bentuk kecerdasan yang sah, seperti:
potensi untuk diisolasi dalam kerusakan otak, adanya simbol atau sistem
representasi, sejarah perkembangan evolusioner, dan dukungan dari studi
psikologis dan antropologis⁽⁷⁾. Pendekatan ini menandai pergeseran dari
pengukuran kuantitatif menuju pengakuan akan kompleksitas dan keberagaman
ekspresi intelektual manusia.
Dengan demikian,
landasan teoritis kecerdasan majemuk dibangun atas kritik terhadap keterbatasan
pendekatan IQ serta kebutuhan untuk menyesuaikan konsep kecerdasan dengan
realitas kehidupan manusia yang multidimensional. Pendekatan ini memiliki
implikasi mendalam tidak hanya dalam teori psikologi, tetapi juga dalam pembaruan
sistem pendidikan yang lebih inklusif dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Robert J. Sternberg, The Nature of Human Intelligence
(Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 4.
[2]
Charles Spearman, “General Intelligence,” American Journal of
Psychology 15, no. 2 (1904): 201–293.
[3]
Lewis M. Terman, The Measurement of Intelligence (Boston:
Houghton Mifflin, 1916), 79–81.
[4]
Robert J. Sternberg, Beyond IQ: A Triarchic Theory of Human
Intelligence (New York: Cambridge University Press, 1985), 45–50.
[5]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 34–39.
[6]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 7–9.
[7]
Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 34–38.
3.
Lahirnya
Teori Multiple Intelligence
Teori Multiple
Intelligence (MI) lahir dari sebuah proses refleksi intelektual
yang panjang dan lintas disiplin, yang digagas oleh Howard
Gardner, seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan
di Harvard
Graduate School of Education. Gardner pertama kali
memperkenalkan teori ini kepada publik melalui karyanya yang monumental, Frames
of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), yang kemudian
merevolusi cara kita memahami kecerdasan manusia⁽¹⁾.
Latar belakang
kelahiran teori ini tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan Gardner dalam Project
Zero, sebuah proyek penelitian yang berfokus pada seni,
pembelajaran, dan perkembangan kognitif, yang didirikan di Harvard pada tahun
1967. Sebagai bagian dari tim peneliti, Gardner terlibat dalam studi-studi
tentang bagaimana anak-anak berpikir, belajar, dan mengekspresikan diri melalui
berbagai media non-verbal seperti seni dan musik. Ia melihat bahwa pendekatan
pendidikan konvensional sering kali gagal mengakomodasi keragaman potensi dan
gaya belajar yang dimiliki setiap individu⁽²⁾.
Gardner juga
dipengaruhi oleh temuan neurologis dan antropologis yang menunjukkan bahwa
kerusakan pada bagian tertentu otak dapat mengganggu satu kemampuan tanpa
mempengaruhi kemampuan lainnya. Misalnya, seorang individu yang mengalami
kerusakan di area Broca mungkin kehilangan kemampuan bicara, namun tetap dapat
menggambar dengan sangat baik. Hal ini menyiratkan bahwa kecerdasan tidak
bersifat tunggal atau monolitik, melainkan terdiri dari sejumlah kemampuan yang
relatif otonom satu sama lain⁽³⁾.
Dalam menyusun
kerangka teorinya, Gardner menggunakan kriteria yang ketat untuk menetapkan apa
yang dapat dianggap sebagai suatu kecerdasan. Ia mengidentifikasi delapan
kecerdasan awal berdasarkan kombinasi dari hasil studi psikologi kognitif,
neuropsikologi, sejarah evolusi, dan bukti budaya. Kriteria tersebut antara
lain mencakup: adanya basis neurologis yang jelas, bukti dari studi
perkembangan, keterkaitan dengan simbol sistem budaya, serta validasi lintas
budaya dan sejarah⁽⁴⁾.
Kedelapan kecerdasan
yang diusulkan Gardner adalah: (1) kecerdasan linguistik, (2) logika-matematis,
(3) musikal, (4) spasial, (5) kinestetik-tubuh, (6) interpersonal, (7)
intrapersonal, dan (8) naturalis. Kemudian, Gardner juga membuka kemungkinan
adanya kecerdasan kesembilan, yaitu kecerdasan eksistensial, yang
berkaitan dengan refleksi mendalam tentang makna hidup dan eksistensi
manusia⁽⁵⁾.
Salah satu kekuatan
fundamental teori ini adalah pendekatannya yang humanistik dan pluralistik
terhadap kecerdasan. Gardner menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kombinasi
unik dari kecerdasan-kecerdasan tersebut, dan bahwa tidak ada hierarki yang
memosisikan satu kecerdasan lebih “tinggi” dari yang lain. Dengan
demikian, nilai utama dari teori ini terletak pada pengakuan akan keberagaman
potensi manusia dan pentingnya pendidikan yang menghargai perbedaan⁽⁶⁾.
Kelahiran teori
Multiple Intelligence menjadi titik balik dalam wacana pendidikan dan
psikologi, karena membuka ruang bagi pendekatan pedagogis yang lebih inklusif,
diferensiatif, dan berorientasi pada pengembangan potensi individual. Teori ini
tidak hanya mengubah cara guru memandang peserta didik, tetapi juga memberikan
dasar epistemologis bagi reformasi sistem pendidikan secara lebih luas.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), xi–xii.
[2]
Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How
Schools Should Teach (New York: Basic Books, 1991), 5–8.
[3]
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 15–18.
[4]
Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for
the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 33–35.
[5]
Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 45–48.
[6]
David Lazear, Seven Pathways of Learning: Teaching Students and
Parents About Multiple Intelligences (Tucson, AZ: Zephyr Press, 1994),
9–11.
4.
Klasifikasi
Kecerdasan Majemuk
Howard Gardner
mengemukakan bahwa kecerdasan bukanlah satu kemampuan tunggal yang dapat diukur
dengan satu tes standar, melainkan terdiri dari beragam potensi kognitif yang berdiri secara
relatif otonom. Berdasarkan hasil penelitiannya yang
menggabungkan pendekatan neurologis, psikologis, dan antropologis, Gardner
mengidentifikasi delapan jenis kecerdasan utama,
yang masing-masing memiliki sistem representasi, cara kerja, dan karakteristik
perkembangan yang unik⁽¹⁾. Berikut adalah uraian ringkas dari tiap jenis
kecerdasan yang termasuk dalam kerangka Multiple Intelligence:
4.1.
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan ini
berkaitan dengan kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara
lisan maupun tulisan. Individu dengan kecerdasan linguistik tinggi umumnya
pandai dalam membaca, menulis, berbicara, dan memahami bahasa. Profesi yang
menonjol dalam kecerdasan ini meliputi penulis, jurnalis, pengacara, dan
orator⁽²⁾.
4.2.
Kecerdasan Logika-Matematis
Tipe ini merujuk
pada kapasitas untuk berpikir logis, menganalisis pola, memahami hubungan
sebab-akibat, dan memecahkan persoalan abstrak, terutama dalam bentuk angka
atau simbol. Ini adalah jenis kecerdasan yang sangat dihargai dalam sains,
teknik, dan matematika⁽³⁾.
4.3.
Kecerdasan Spasial
Kecerdasan spasial
melibatkan kemampuan membayangkan bentuk dalam ruang, memanipulasi citra visual
secara mental, serta mengenali hubungan spasial. Seniman, arsitek, desainer,
pilot, dan navigator biasanya memiliki kecerdasan ini secara menonjol⁽⁴⁾.
4.4.
Kecerdasan Kinestetik-Tubuh
Jenis kecerdasan ini
ditandai dengan keterampilan menggunakan tubuh secara terampil untuk
mengekspresikan ide, perasaan, atau menyelesaikan tugas tertentu. Atlet,
penari, aktor, dan pengrajin termasuk mereka yang memanfaatkan kecerdasan ini
dalam pekerjaan mereka⁽⁵⁾.
4.5.
Kecerdasan Musikal
Ini merupakan
kapasitas untuk memahami, membedakan, mengomposisi, dan mengekspresikan
bentuk-bentuk musik. Kecerdasan musikal mencakup kepekaan terhadap nada, ritme,
melodi, dan timbre. Komposer, penyanyi, dan musisi adalah contoh individu
dengan kecerdasan musikal tinggi⁽⁶⁾.
4.6.
Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan ini
berfokus pada kemampuan memahami dan merespons perasaan, motivasi, serta niat
orang lain. Individu dengan kecerdasan interpersonal yang tinggi biasanya
empatik dan pandai dalam kerja sama sosial. Guru, konselor, pemimpin, dan
negosiator seringkali memiliki keunggulan dalam kecerdasan ini⁽⁷⁾.
4.7.
Kecerdasan Intrapersonal
Berbeda dengan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal merujuk pada kemampuan untuk memahami
diri sendiri secara mendalam: emosi, tujuan hidup, motivasi, dan nilai pribadi.
Orang dengan kecerdasan ini umumnya memiliki reflektivitas tinggi dan orientasi
hidup yang kuat⁽⁸⁾.
4.8.
Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan naturalis
menyangkut kemampuan mengenali, mengelompokkan, dan memahami objek-objek dalam
alam, seperti tumbuhan, hewan, dan fenomena lingkungan. Kecerdasan ini dominan
dalam profesi seperti ahli biologi, ekolog, petani, atau pecinta alam⁽⁹⁾.
4.9.
Kecerdasan Eksistensial (Opsional)
Meskipun tidak
secara resmi dimasukkan dalam daftar awal, Gardner kemudian mengusulkan kecerdasan
eksistensial sebagai kandidat kecerdasan kesembilan. Kecerdasan
ini berkaitan dengan kapasitas untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendalam
seputar makna hidup, kematian, dan realitas transendental⁽¹⁰⁾.
Tinjauan Holistik
Menurut Gardner,
setiap individu memiliki semua kecerdasan tersebut, tetapi dengan profil
kombinasi yang berbeda-beda. Tidak ada satu kecerdasan yang
lebih “unggul” daripada yang lain. Dalam konteks pendidikan, klasifikasi
ini menantang pendekatan homogen dan membuka ruang bagi pembelajaran yang
beragam, diferensiatif, dan menghargai kekuatan unik setiap peserta didik⁽¹¹⁾.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 8–10.
[2]
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 30–34.
[3]
Gardner, Frames of Mind, 14–16.
[4]
Ibid., 17–18.
[5]
Ibid., 19–20.
[6]
Ibid., 21–22.
[7]
Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 45–46.
[8]
Gardner, Frames of Mind, 23–24.
[9]
Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for
the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 49–51.
[10]
Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 60–63.
[11]
David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple
Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 10–12.
5.
Penerapan
Teori Multiple Intelligence dalam Pendidikan
Sejak diperkenalkan
pada awal 1980-an, teori Multiple Intelligence (MI) Howard
Gardner telah memberikan pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Salah satu
kontribusi utama teori ini adalah upayanya merombak paradigma tradisional
pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek linguistik dan logika-matematis,
dan sebaliknya, mengadvokasi pendekatan yang lebih inklusif, holistik, dan berpusat
pada potensi unik setiap peserta didik⁽¹⁾.
5.1.
Pembelajaran yang Terpersonalisasi dan
Diferensiatif
Dalam kerangka MI,
peserta didik dipandang sebagai individu dengan profil kecerdasan yang unik.
Hal ini mendorong lahirnya pendekatan pembelajaran terdiferensiasi,
yaitu suatu strategi pengajaran yang menyesuaikan materi, proses, dan produk
belajar sesuai dengan karakteristik kecerdasan dominan siswa⁽²⁾. Misalnya,
siswa dengan kecerdasan kinestetik dapat lebih optimal belajar melalui
aktivitas fisik seperti drama atau eksperimen langsung, sementara siswa dengan
kecerdasan musikal dapat menyerap materi dengan lebih baik melalui nyanyian
atau irama.
Menurut Armstrong,
guru yang menerapkan teori MI dituntut untuk menciptakan lingkungan
belajar yang kaya dan beragam, di mana setiap kecerdasan diberi
ruang untuk berkembang. Ia menyebutkan bahwa guru sebaiknya menyediakan
berbagai pilihan tugas dan kegiatan yang mencerminkan delapan (atau sembilan)
jenis kecerdasan, sehingga siswa dapat mengakses materi pelajaran melalui jalur
kecerdasan yang paling sesuai bagi mereka⁽³⁾.
5.2.
Identifikasi dan Asesmen Kecerdasan
Salah satu langkah
awal dalam penerapan MI adalah mengenali profil kecerdasan peserta didik.
Meskipun Gardner sendiri menolak pendekatan pengukuran kuantitatif yang kaku
sebagaimana dalam tes IQ tradisional, banyak pendidik dan peneliti telah
mengembangkan instrumen asesmen non-standar
yang bersifat observasional dan reflektif, seperti kuisioner, jurnal belajar,
portofolio, serta wawancara⁽⁴⁾. Alat-alat ini membantu guru untuk memahami
potensi siswa secara lebih menyeluruh dan tidak terbatas pada hasil akademik
konvensional.
Lebih lanjut,
pendekatan MI dalam asesmen menekankan penilaian otentik, yaitu
penilaian yang berbasis pada tugas nyata dan konteks kehidupan sehari-hari.
Penilaian ini memungkinkan siswa menampilkan kompetensinya secara konkret
melalui proyek, pementasan, atau karya kreatif lainnya, bukan hanya melalui tes
tulis⁽⁵⁾.
5.3.
Desain Kurikulum dan Kegiatan Belajar
Implementasi MI
dalam desain kurikulum menuntut keterbukaan dan fleksibilitas. Kurikulum tidak
boleh bersifat linier dan seragam, melainkan harus dirancang secara interdisipliner
dan multimodal, mencakup pengalaman belajar yang melibatkan
berbagai kecerdasan. Misalnya, dalam pembelajaran sejarah, siswa tidak hanya
diminta menghafal fakta, tetapi juga dapat menulis cerita sejarah (linguistik),
membuat peta waktu (spasial), menampilkan drama sejarah (kinestetik), atau
menganalisis sebab-akibat konflik sejarah (logika-matematis)⁽⁶⁾.
Dalam praktiknya,
guru juga dapat merancang pusat-pusat belajar berbasis kecerdasan
(intelligence centers), yaitu area atau stasiun pembelajaran di dalam kelas
yang masing-masing disusun untuk merangsang kecerdasan tertentu. Strategi ini
membantu siswa belajar secara aktif, mandiri, dan sesuai gaya belajarnya
sendiri⁽⁷⁾.
5.4.
Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Pelatihan
Guru
Meskipun teori MI
menawarkan pendekatan yang progresif, implementasinya tidak lepas dari
tantangan. Beberapa di antaranya adalah keterbatasan waktu dan sumber daya
dalam menyusun rencana pembelajaran diferensiatif, serta kurangnya pelatihan
guru dalam memahami dan menerapkan pendekatan MI secara konsisten. Oleh karena
itu, pengembangan kapasitas profesional guru
menjadi faktor kunci dalam keberhasilan penerapan MI di kelas⁽⁸⁾.
Guru yang kompeten
dalam pendekatan ini perlu mengembangkan sensitivitas terhadap potensi siswa,
kemampuan refleksi, serta keterampilan dalam menyusun variasi metode dan media
pembelajaran yang sesuai. Dalam jangka panjang, teori MI menuntut reformasi
sistemik dalam pendidikan, termasuk dalam kebijakan, kurikulum, dan penilaian.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for
the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 76–78.
[2]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in
Academically Diverse Classrooms, 3rd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017),
8–10.
[3]
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 80–84.
[4]
Linda Campbell et al., Teaching and Learning Through Multiple
Intelligences, 3rd ed. (Boston: Allyn & Bacon, 2009), 45–47.
[5]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 154–157.
[6]
David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple
Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 37–40.
[7]
Susan Baum, Julie Viens, and Barbara Slatin, Multiple Intelligences
in the Elementary Classroom: A Teacher's Toolkit (New York: Teachers College
Press, 2005), 59–60.
[8]
Linda Darling-Hammond et al., Powerful Teacher Education: Lessons
from Exemplary Programs (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 112–114.
6.
Kekuatan
dan Keunggulan Teori Multiple Intelligence
Teori Multiple
Intelligence (MI) karya Howard Gardner telah menjadi salah satu
paradigma paling berpengaruh dalam pendidikan modern, terutama karena
pendekatannya yang inklusif terhadap keragaman potensi manusia. Berbeda dengan
teori kecerdasan tradisional yang cenderung menghomogenkan kemampuan
intelektual ke dalam satu dimensi (IQ), teori MI membuka cakrawala baru dengan
menegaskan bahwa kecerdasan adalah plural, kontekstual, dan
multidimensional. Kekuatan dan keunggulan teori ini dapat
dilihat dalam beberapa aspek utama berikut:
6.1.
Pendekatan Humanistik terhadap Peserta Didik
Salah satu
keunggulan paling signifikan dari teori MI adalah orientasinya yang berbasis
pada penghargaan terhadap martabat dan potensi individual manusia.
Gardner mengemukakan bahwa setiap individu memiliki kombinasi kecerdasan yang
unik, dan bahwa semua kecerdasan tersebut memiliki nilai yang setara dalam
kehidupan sosial maupun pendidikan⁽¹⁾. Pendekatan ini menjadikan teori MI
sangat cocok diterapkan dalam sistem pendidikan yang menghargai keberagaman dan
keunikan peserta didik, serta mendorong pengembangan diri secara utuh
(holistik).
6.2.
Mendorong Pembelajaran yang Bermakna dan
Kontekstual
Dengan mengakomodasi
berbagai gaya belajar dan bentuk ekspresi, MI memberikan ruang
bagi pembelajaran yang lebih bermakna, karena peserta didik
dapat menyerap dan mengolah informasi melalui jalur kecerdasan yang paling
sesuai bagi mereka. Ketika siswa diberi kesempatan untuk belajar dengan cara
yang sesuai dengan kekuatannya—misalnya melalui musik, gerakan tubuh, atau
aktivitas sosial—maka motivasi belajar, retensi informasi, dan keterlibatan
emosional akan meningkat secara signifikan⁽²⁾.
6.3.
Menumbuhkan Kepercayaan Diri dan Citra Diri
Positif
Sistem pendidikan
tradisional sering kali hanya menilai keberhasilan siswa dari kecerdasan
linguistik dan logika-matematis. Akibatnya, banyak siswa dengan potensi di
bidang lain merasa “tidak cerdas” dan mengalami krisis kepercayaan diri.
Teori MI menawarkan redefinisi kecerdasan, yang
membuat siswa merasa diakui dan dihargai berdasarkan kekuatan unik mereka. Hal
ini berdampak positif terhadap pembentukan citra diri yang sehat dan rasa percaya diri
dalam proses pembelajaran⁽³⁾.
6.4.
Membuka Inovasi dalam Desain Pembelajaran
Teori MI juga
memiliki keunggulan dalam menginspirasi kreativitas pedagogis. Dengan
memahami keragaman kecerdasan, guru didorong untuk merancang pembelajaran yang
beragam, interaktif, dan integratif. Misalnya, topik pembelajaran dapat dikembangkan
ke dalam proyek lintas kecerdasan, seperti membuat peta visual (spasial),
menulis esai (linguistik), menciptakan lagu (musikal), atau melakukan debat
(interpersonal)⁽⁴⁾. Inovasi-inovasi ini menciptakan ruang belajar yang dinamis
dan memperkaya pengalaman belajar siswa.
6.5.
Relevan dengan Tuntutan Abad ke-21
Di era globalisasi
dan revolusi digital, dunia kerja semakin menghargai keterampilan
non-kognitif seperti kreativitas, kolaborasi, empati, dan
adaptabilitas. Teori MI memberikan kerangka konseptual yang mendukung
pengembangan berbagai kecakapan abad ke-21, karena
secara eksplisit menekankan pentingnya kecerdasan interpersonal, intrapersonal,
kinestetik, dan musikal—kecakapan yang tidak selalu tercakup dalam kurikulum
konvensional⁽⁵⁾.
6.6.
Fleksibel dan Adaptif dalam Berbagai Konteks
Budaya
Keunggulan lainnya
dari teori MI adalah sifatnya yang lintas budaya dan kontekstual.
Gardner menegaskan bahwa kecerdasan dapat diekspresikan secara berbeda
tergantung pada konteks sosial dan kultural seseorang. Dengan demikian, teori
MI memungkinkan sistem pendidikan untuk lebih relevan secara lokal, serta
mendorong pedagogi yang sensitif terhadap keragaman latar belakang peserta
didik⁽⁶⁾.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 5–6.
[2]
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 22–25.
[3]
Linda Campbell, Bruce Campbell, and Dee Dickinson, Teaching and
Learning Through Multiple Intelligences, 3rd ed. (Boston: Allyn and Bacon,
2009), 48–51.
[4]
David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple
Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 41–44.
[5]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for Deeper
Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2017), 38–41.
[6]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), xvi–xviii.
7.
Kritik
dan Batasan Teori Multiple Intelligence
Meskipun teori Multiple
Intelligence (MI) Howard Gardner telah memperoleh pengakuan luas di
dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran yang bersifat inklusif dan
diferensiatif, teori ini juga tidak luput dari kritik, terutama dari kalangan
ilmuwan kognitif, psikolog eksperimental, dan ahli psikometri. Kritik-kritik
tersebut umumnya berfokus pada validitas ilmiah, pengukuran
kecerdasan, serta implikasi praktisnya dalam pendidikan formal.
7.1.
Kritik terhadap Dasar Ilmiah dan Empiris
Salah satu kritik paling mendasar datang dari kurangnya bukti empiris yang kuat untuk mendukung klasifikasi kecerdasan sebagaimana dikemukakan Gardner. Para kritikus menyatakan bahwa delapan (atau sembilan) kecerdasan dalam teori MI lebih menyerupai “bakat” atau “gaya belajar” daripada kecerdasan dalam pengertian psikometrik tradisional.¹ Robert J. Sternberg, misalnya, menyebut bahwa teori Gardner tidak memenuhi standar ilmiah untuk dijadikan sebagai teori kognitif karena tidak didukung oleh data kuantitatif yang dapat diukur dan diuji secara sistematis.²
Lebih lanjut, para ahli psikometri menyoroti bahwa tidak ada instrumen pengukuran kecerdasan majemuk yang valid dan reliabel secara konsisten. Hal ini menyulitkan penerapan MI dalam asesmen pendidikan formal, karena sulit memverifikasi kecerdasan individu secara objektif berdasarkan kerangka Gardner.³
7.2.
Ambiguitas Konseptual
Kritik lain menyangkut ambiguitas terminologis dalam teori MI. Gardner menggunakan istilah “kecerdasan” dalam arti yang berbeda dari definisi konvensional dalam psikologi, yakni sebagai kapasitas umum untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, banyak yang mempertanyakan apakah semua kategori dalam MI—seperti musikalitas atau kemampuan tubuh—layak disebut sebagai “kecerdasan” dan bukan hanya “kemampuan” atau “preferensi”.⁴
Daniel T. Willingham, seorang psikolog kognitif, berargumen bahwa teori MI sebenarnya tidak memiliki implikasi yang kuat dalam praktik pengajaran, karena guru pada dasarnya mengajarkan konten, bukan kecerdasan. Menurutnya, terlalu menekankan gaya belajar justru dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam strategi pedagogis.⁵
7.3.
Tantangan Implementatif di Sekolah
Meskipun teori MI menjanjikan pendekatan yang lebih humanistik, implementasinya dalam konteks pendidikan formal menghadapi kendala struktural dan praktis. Guru sering kali dibatasi oleh kurikulum yang padat, tuntutan ujian standar, serta keterbatasan sumber daya untuk merancang pembelajaran yang menyesuaikan delapan atau sembilan jenis kecerdasan. Bahkan di sekolah-sekolah progresif, pembelajaran berbasis MI kerap tereduksi menjadi kegiatan yang bersifat kosmetik atau artifisial, bukan transformasional.⁶
Selain itu, dalam praktiknya, guru juga menghadapi tantangan dalam mengidentifikasi profil kecerdasan siswa tanpa alat ukur yang terstandardisasi. Hal ini berpotensi menimbulkan bias subjektif dalam proses pengajaran dan evaluasi.⁷
7.4.
Tanggapan Gardner terhadap Kritik
Howard Gardner sendiri telah merespons berbagai kritik tersebut secara terbuka. Ia mengakui bahwa teori MI tidak dimaksudkan untuk menjadi teori psikometrik, melainkan sebagai kerangka kerja alternatif dalam memahami potensi manusia. Gardner menyatakan bahwa fokus utama MI bukanlah pada pengukuran, melainkan pada pengakuan terhadap keragaman kapasitas kognitif dan cara-cara belajar yang beragam.⁸
Lebih lanjut, Gardner juga menekankan bahwa teori MI bukanlah “resep ajar,” tetapi panduan filosofis dan pedagogis untuk menciptakan pendidikan yang lebih adil, bermakna, dan menghargai keunikan setiap individu. Dengan demikian, kendati memiliki keterbatasan empiris, kekuatan teorinya justru terletak pada daya transformasi paradigma dalam pendidikan.⁹
Footnotes
[1]
John White, “Howard Gardner: The Myth of Multiple Intelligences,” London
Review of Education 6, no. 3 (2008): 245–255.
[2]
Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity
Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 42–44.
[3]
Linda S. Gottfredson, “Mainstream Science on Intelligence: An Editorial
With 52 Signatories,” Intelligence 24, no. 1 (1997): 13–23.
[4]
James Traub, “Multiple Intelligence Disorder,” The New Republic,
October 1998.
[5]
Daniel T. Willingham, Why Don’t Students Like School? (San
Francisco: Jossey-Bass, 2009), 119–123.
[6]
David Perkins, Making Learning Whole: How Seven Principles of
Teaching Can Transform Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2009),
87–89.
[7]
Susan M. Brookhart, How to Use Grading to Improve Learning
(Alexandria, VA: ASCD, 2017), 52–53.
[8]
Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for
the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 91–95.
[9]
Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 205–209.
8.
Relevansi
Teori Multiple Intelligence dalam Konteks Kontemporer
Di tengah perubahan
sosial, teknologi, dan pendidikan yang sangat cepat, teori Multiple
Intelligence (MI) karya Howard Gardner tetap memiliki relevansi
yang kuat dalam menjawab tantangan dan kebutuhan abad ke-21. Ketika dunia
bergerak menuju masyarakat yang semakin kompleks, teori MI menawarkan
pendekatan yang lebih fleksibel, personal, dan inklusif dalam memahami
kecerdasan serta menyusun strategi pendidikan.
8.1.
Menjawab Tantangan Pendidikan Abad ke-21
Model pendidikan
kontemporer tidak lagi semata-mata bertumpu pada penguasaan konten, melainkan
lebih menekankan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis,
kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi (4C). Teori MI sejalan
dengan kerangka ini karena mendorong pengakuan atas keberagaman gaya belajar
dan kecerdasan peserta didik. Pendekatan ini memungkinkan pendidikan untuk
lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata di dunia kerja dan kehidupan global yang
semakin kompleks⁽¹⁾.
Misalnya, kecerdasan
interpersonal dan intrapersonal menjadi sangat penting dalam membentuk
kemampuan empati, kepemimpinan, dan regulasi diri—atribut yang semakin
dibutuhkan dalam dunia kerja berbasis tim dan kepemimpinan kolaboratif.
Demikian pula, kecerdasan spasial dan musikal terbukti relevan dalam era
ekonomi kreatif dan digital yang berkembang pesat⁽²⁾.
8.2.
Mendorong Pendidikan yang Inklusif dan
Berkeadilan
Di banyak negara,
sistem pendidikan masih didominasi oleh penilaian berbasis akademik tradisional
yang mengutamakan kemampuan logika-matematis dan linguistik. Hal ini
mengakibatkan marjinalisasi terhadap peserta didik yang memiliki kecerdasan
dominan di luar dua aspek tersebut. Dalam konteks ini, teori MI berperan
sebagai kerangka etis dan pedagogis
untuk mendorong pendidikan yang lebih inklusif, dengan memberi ruang bagi semua
jenis potensi manusia untuk berkembang secara optimal⁽³⁾.
Teori ini juga
menjadi landasan untuk pendidikan yang sensitif terhadap keragaman latar
belakang budaya, sosial, dan ekonomi. Gardner sendiri menyatakan bahwa setiap
budaya memiliki ekspresi kecerdasan yang khas, dan karenanya pendidikan harus
dirancang secara kontekstual agar dapat mengakomodasi keberagaman tersebut⁽⁴⁾.
8.3.
Transformasi Desain Kurikulum dan Pembelajaran
Kurikulum berbasis
MI tidak hanya memuat konten kognitif, tetapi juga memperhatikan pengalaman
belajar yang multi-dimensional. Pendekatan ini relevan dalam
upaya mereformasi pendidikan agar lebih menekankan pembelajaran aktif,
reflektif, dan integratif. Misalnya, kurikulum tematik yang menggabungkan unsur
seni, sains, sosial, dan spiritual secara interdisipliner menjadi bentuk
konkret dari prinsip MI dalam praktik⁽⁵⁾.
Di beberapa negara
seperti Finlandia, Australia, dan Kanada, pendekatan berbasis kecerdasan
majemuk telah diintegrasikan dalam desain kurikulum nasional melalui strategi
pembelajaran berbasis proyek, portofolio, dan pembelajaran kolaboratif yang
mengaktifkan berbagai bentuk kecerdasan siswa⁽⁶⁾.
8.4.
Relevansi dalam Era Digital dan Teknologi
Pendidikan
Kemajuan teknologi
pendidikan juga memperkuat relevansi teori MI. Aplikasi digital, perangkat
multimedia, dan platform pembelajaran daring kini memungkinkan guru merancang pengalaman
belajar yang multimodal, seperti video interaktif
(visual-spasial), simulasi (logika-kinestetik), audio-pembelajaran (musikal),
hingga forum diskusi (interpersonal). Teknologi dengan demikian menjadi alat
penting untuk mengaktivasi berbagai bentuk kecerdasan secara lebih fleksibel
dan personal⁽⁷⁾.
Selain itu,
perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan big data dalam pendidikan kini membuka
peluang untuk mengidentifikasi profil kecerdasan siswa secara
lebih presisi, sehingga pendekatan MI dapat diintegrasikan ke
dalam sistem pembelajaran adaptif dan personalisasi yang berbasis data⁽⁸⁾.
Kesimpulan Sub-Bagian
Relevansi teori MI
dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menjembatani
antara humanisme dan teknologi, antara diferensiasi potensi dan
tuntutan global, serta antara personalisasi pendidikan dan keadilan sosial.
Meskipun menghadapi kritik metodologis, kontribusinya sebagai kerangka kerja
etis, filosofis, dan pedagogis tetap penting dalam membentuk masa depan
pendidikan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
P21 (Partnership for 21st Century Learning), Framework for 21st
Century Learning, revised 2019, https://battelleforkids.org/networks/p21.
[2]
Thomas Armstrong, The Power of the Adolescent Brain: Strategies for
Teaching Middle and High School Students (Alexandria, VA: ASCD, 2016),
58–61.
[3]
Linda Campbell, Bruce Campbell, and Dee Dickinson, Teaching and
Learning through Multiple Intelligences, 3rd ed. (Boston: Allyn &
Bacon, 2009), 45–47.
[4]
Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for
the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 125–128.
[5]
David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple
Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 50–53.
[6]
Lyn Sharratt and Michael Fullan, Putting Faces on the Data: What
Great Leaders Do! (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2012), 102–104.
[7]
Susan Hallam and Evangelos Himonides, eds., The Oxford Handbook of
Music Education, vol. 2 (New York: Oxford University Press, 2012),
387–390.
[8]
Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in
Education (London: Pearson Education, 2016), 15–18.
9.
Kesimpulan
Teori Multiple
Intelligence (MI) yang dikembangkan oleh Howard
Gardner merupakan salah satu tonggak penting dalam transformasi
pemikiran mengenai kecerdasan manusia. Berangkat dari kritik terhadap
reduksionisme intelektual dalam konsep IQ tradisional, Gardner menegaskan bahwa
kecerdasan bersifat plural, dan setiap individu memiliki profil kecerdasan yang
unik, mencakup setidaknya delapan domain utama—linguistik, logika-matematis,
musikal, spasial, kinestetik-tubuh, interpersonal, intrapersonal, dan
naturalis⁽¹⁾. Penambahan opsional kecerdasan eksistensial bahkan memperluas
cakrawala pemahaman terhadap dimensi reflektif dan filosofis manusia⁽²⁾.
Dalam dunia
pendidikan, teori MI telah memberikan kerangka berpikir yang revolusioner
dan humanistik, yang menekankan pentingnya pendekatan
diferensiatif, personalisasi pembelajaran, dan pengakuan terhadap keberagaman
potensi peserta didik. Hal ini sangat relevan dalam konteks pendidikan
kontemporer yang menuntut keterampilan abad ke-21 serta penyesuaian dengan
kebutuhan psikososial siswa dari berbagai latar belakang budaya dan sosial⁽³⁾.
Teori ini juga menjadi landasan etis dalam pendidikan inklusif, dengan menolak
hierarki kecerdasan dan mendorong sistem pendidikan yang berkeadilan.
Meskipun demikian,
teori MI tidak luput dari kritik. Para ahli psikologi kognitif dan psikometri
mempertanyakan validitas empiris, kesulitan dalam pengukuran objektif, serta
keambiguan terminologis dalam membedakan kecerdasan dari bakat atau gaya
belajar⁽⁴⁾. Gardner sendiri mengakui bahwa MI bukanlah teori psikometrik,
melainkan kerangka konseptual dan pedagogis
yang ditujukan untuk memperluas pemahaman dan praktik pendidikan⁽⁵⁾.
Keunggulan teori ini
terletak pada daya dorongnya terhadap reformasi pendidikan yang lebih manusiawi,
kreatif, dan adaptif. Dengan mendorong guru untuk melihat siswa secara
utuh—bukan hanya sebagai entitas akademik, tetapi sebagai pribadi yang kompleks
dan multidimensi—MI membuka jalan bagi pembelajaran yang lebih bermakna,
menyenangkan, dan relevan.
Di era teknologi,
disrupsi digital, dan globalisasi nilai, relevansi MI justru semakin menguat.
Penggunaan teknologi memungkinkan aktivasi berbagai kecerdasan melalui media
digital yang variatif, sementara tuntutan dunia kerja menuntut kecakapan
non-kognitif yang justru ditekankan oleh teori MI, seperti empati, refleksi
diri, komunikasi, dan fleksibilitas⁽⁶⁾.
Dengan demikian,
meskipun masih menyisakan ruang untuk pengujian lebih lanjut, teori
Multiple Intelligence tetap merupakan kontribusi besar dalam pendidikan modern,
baik secara filosofis, praktis, maupun moral. Ia mengingatkan dunia pendidikan
bahwa setiap anak adalah cerdas dengan caranya sendiri, dan tugas utama
pendidik adalah menggali, menumbuhkan, dan menghargai
keberagaman itu sebagai kekuatan, bukan hambatan.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 6–7.
[2]
Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and
Practice (New York: Basic Books, 2006), 60–63.
[3]
Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 92–97.
[4]
Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity
Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 42–44.
[5]
Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for
the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 94–95.
[6]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for Deeper
Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2017), 33–37.
Daftar Pustaka
Armstrong, T. (2016). The power of the
adolescent brain: Strategies for teaching middle and high school students.
ASCD.
Armstrong, T. (2017). Multiple intelligences in
the classroom (4th ed.). ASCD.
Brookhart, S. M. (2017). How to use grading to
improve learning. ASCD.
Campbell, L., Campbell, B., & Dickinson, D.
(2009). Teaching and learning through multiple intelligences (3rd ed.).
Allyn & Bacon.
Darling-Hammond, L., Flook, L., Cook-Harvey, C.,
Barron, B., & Osher, D. (2017). Preparing teachers for deeper learning.
Harvard Education Press.
Darling-Hammond, L., Hammerness, K., Grossman, P.,
Rust, F., & Shulman, L. (2006). Powerful teacher education: Lessons from
exemplary programs. Jossey-Bass.
Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory
of multiple intelligences. Basic Books.
Gardner, H. (1999). Intelligence reframed:
Multiple intelligences for the 21st century. Basic Books.
Gardner, H. (2006). Multiple intelligences: New
horizons in theory and practice. Basic Books.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why
it can matter more than IQ. Bantam Books.
Gottfredson, L. S. (1997). Mainstream science on
intelligence: An editorial with 52 signatories. Intelligence, 24(1),
13–23. https://doi.org/10.1016/S0160-2896(97)90011-8
Hallam, S., & Himonides, E. (Eds.). (2012). The
Oxford handbook of music education (Vol. 2). Oxford University Press.
Lazear, D. (2000). Eight ways of knowing:
Teaching for multiple intelligences (3rd ed.). Zephyr Press.
Luckin, R., Holmes, W., Griffiths, M., &
Forcier, L. B. (2016). Intelligence unleashed: An argument for AI in
education. Pearson Education.
Perkins, D. (2009). Making learning whole: How
seven principles of teaching can transform education. Jossey-Bass.
P21: Partnership for 21st Century Learning. (2019).
Framework for 21st century learning. Retrieved from https://battelleforkids.org/networks/p21
Sharratt, L., & Fullan, M. (2012). Putting
faces on the data: What great leaders do!. Corwin.
Sternberg, R. J. (1985). Beyond IQ: A triarchic
theory of human intelligence. Cambridge University Press.
Sternberg, R. J. (2003). Wisdom, intelligence,
and creativity synthesized. Cambridge University Press.
Terman, L. M. (1916). The measurement of
intelligence. Houghton Mifflin.
Tomlinson, C. A. (2017). How to differentiate
instruction in academically diverse classrooms (3rd ed.). ASCD.
Traub, J. (1998, October). Multiple intelligence
disorder. The New Republic.
White, J. (2008). Howard Gardner: The myth of
multiple intelligences. London Review of Education, 6(3), 245–255.
Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding
by design (2nd ed.). ASCD.
Willingham, D. T. (2009). Why don’t students
like school?. Jossey-Bass.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar