Selasa, 03 Juni 2025

Kecerdasan Majemuk: Menelusuri Teori Multiple Intelligence Howard Gardner dan Implikasinya dalam Pendidikan Kontemporer

Multiple Intelligence

Menelusuri Teori Multiple Intelligence Howard Gardner dan Implikasinya dalam Pendidikan Kontemporer


Alihkan ke: Karakteristik Peserta Didik.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif teori Multiple Intelligence (MI) yang dikembangkan oleh Howard Gardner sebagai respons terhadap keterbatasan konsep kecerdasan tunggal yang diukur melalui tes IQ. Melalui kajian literatur yang mendalam, artikel ini menguraikan latar belakang historis dan teoritis munculnya konsep MI, klasifikasi delapan hingga sembilan jenis kecerdasan yang diusulkan Gardner, serta implikasi pedagogisnya dalam konteks pendidikan modern. Pendekatan MI diposisikan sebagai paradigma pendidikan yang inklusif dan humanistik, yang mendorong pembelajaran diferensiatif dan pengakuan terhadap keragaman potensi peserta didik. Di samping mengulas kekuatan dan kontribusi teorinya, artikel ini juga membahas kritik-kritik yang ditujukan kepada MI dari kalangan psikologi kognitif dan psikometri, termasuk isu validitas ilmiah dan kesulitan implementasi. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa meskipun tidak lepas dari keterbatasan, teori MI tetap relevan dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21 yang menuntut fleksibilitas, personalisasi, dan penguatan kecakapan non-kognitif dalam masyarakat global dan digital.

Kata Kunci: Kecerdasan Majemuk, Howard Gardner, Pendidikan Inklusif, Pembelajaran Diferensiatif, Kecerdasan Abad ke-21, Psikologi Pendidikan, Teori Multiple Intelligence (MI).


PEMBAHASAN

Memahami Variasi Kecerdasan Manusia Melalui Teori Multiple Intelligence


1.           Pendahuluan

Selama berabad-abad, kecerdasan manusia sering kali dipahami sebagai suatu entitas tunggal yang dapat diukur secara objektif melalui angka—terutama melalui tes IQ (Intelligence Quotient). Pendekatan ini berkembang pesat pada abad ke-20 dan mendominasi berbagai praktik dalam pendidikan, psikologi, dan manajemen sumber daya manusia. Model tradisional kecerdasan ini, yang umumnya mengutamakan logika dan kemampuan linguistik, menjadi tolok ukur utama dalam menilai potensi dan kapasitas seseorang. Namun, paradigma tersebut mulai mendapat tantangan sejak paruh akhir abad ke-20 ketika sejumlah ilmuwan mengusulkan pendekatan yang lebih pluralistik terhadap kecerdasan manusia. Salah satu pendekatan paling berpengaruh berasal dari Howard Gardner, seorang psikolog dan profesor di Harvard University, yang pada tahun 1983 memperkenalkan teori Multiple Intelligence (MI) dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences¹.

Gardner menolak pandangan bahwa kecerdasan merupakan kapasitas intelektual tunggal yang dapat direduksi menjadi skor IQ. Ia mengusulkan bahwa terdapat setidaknya delapan bentuk kecerdasan yang berbeda, yang masing-masing mencerminkan cara manusia memahami dan berinteraksi dengan dunia secara unik². Konsep ini menekankan bahwa setiap individu memiliki profil kecerdasan yang berbeda-beda, dan oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya menyesuaikan diri dengan keanekaragaman tersebut, bukan sebaliknya.

Kemunculan teori kecerdasan majemuk menjadi tonggak penting dalam dunia pendidikan karena secara radikal mengubah cara pandang terhadap peserta didik. Jika sebelumnya siswa yang tidak unggul dalam bidang logika atau bahasa dianggap “kurang cerdas,” teori ini memberikan legitimasi bagi potensi di bidang lain seperti seni, musik, kemampuan fisik, atau bahkan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal. Hal ini membuka ruang bagi pendekatan pembelajaran yang lebih personal, holistik, dan inklusif³.

Dalam konteks pendidikan kontemporer yang menuntut fleksibilitas, kreativitas, dan keterampilan abad ke-21, relevansi teori MI semakin kuat. Sistem pendidikan kini dituntut untuk tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik, serta kemampuan untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan berpikir kritis⁴. Oleh karena itu, kajian terhadap teori Multiple Intelligence menjadi sangat penting, tidak hanya untuk memahami kompleksitas kecerdasan manusia, tetapi juga untuk merumuskan strategi pendidikan yang lebih relevan, adil, dan efektif.

Melalui artikel ini, akan dikaji secara sistematis pemikiran Howard Gardner mengenai kecerdasan majemuk, jenis-jenis kecerdasan yang ia kemukakan, penerapannya dalam praktik pendidikan, serta kritik dan relevansi teorinya dalam era pendidikan modern. Dengan pendekatan ilmiah dan komprehensif, diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan paradigma pendidikan yang menghargai keberagaman potensi peserta didik.


Footnotes

[1]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983).

[2]                Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 6–9.

[3]                David Lazear, Seven Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, 2nd ed. (Palatine, IL: IRI/Skylight Training and Publishing, 1999), 3–5.

[4]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for Deeper Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2017), 22–25.


2.           Landasan Teori dan Konseptualisasi Kecerdasan

2.1.       Definisi Umum Kecerdasan

Kecerdasan merupakan salah satu konsep paling kompleks dalam psikologi. Secara umum, kecerdasan sering didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk belajar dari pengalaman, menyesuaikan diri terhadap lingkungan, berpikir secara abstrak, dan menyelesaikan masalah⁽¹⁾. Definisi ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan kognitif, yang menekankan aspek-aspek mental seperti penalaran, ingatan, dan persepsi sebagai dasar dari kecerdasan.

2.2.       Sejarah dan Dominasi Paradigma Kecerdasan Tunggal

Selama sebagian besar abad ke-20, paradigma yang dominan dalam psikologi pendidikan adalah pandangan bahwa kecerdasan bersifat tunggal dan dapat diukur secara kuantitatif. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam hal ini adalah Charles Spearman, yang memperkenalkan konsep general intelligence atau g factor—suatu kapasitas umum yang mendasari seluruh bentuk kemampuan kognitif⁽²⁾. Tes IQ modern dikembangkan berdasarkan asumsi ini, dengan asumsi bahwa kemampuan seseorang dapat dirangkum dalam satu angka yang menunjukkan tingkat kecerdasan mereka.

Kemudian, perkembangan dilanjutkan oleh para ahli seperti Lewis Terman, yang mengadaptasi dan menyempurnakan tes Binet menjadi Stanford-Binet Intelligence Scale. Pendekatan ini menjadikan skor IQ sebagai tolok ukur utama dalam seleksi pendidikan, penempatan kerja, dan penilaian prestasi siswa⁽³⁾. Meskipun memberikan kontribusi besar dalam praktik psikometri, pendekatan ini dikritik karena cenderung menyederhanakan kompleksitas potensi manusia.

2.3.       Kritik terhadap Pandangan Tradisional tentang Kecerdasan

Sejak tahun 1960-an, kritik terhadap paradigma IQ mulai bermunculan. Salah satu kritik utama datang dari kalangan psikologi perkembangan dan pendidikan yang menilai bahwa pendekatan IQ terlalu sempit, bias budaya, dan gagal menangkap keragaman cara berpikir dan belajar manusia. Robert Sternberg, misalnya, mengembangkan teori triarchic intelligence yang mencakup kecerdasan analitik, kreatif, dan praktis⁽⁴⁾. Sementara itu, Daniel Goleman mengangkat pentingnya emotional intelligence dalam memahami keberhasilan seseorang dalam kehidupan sosial dan emosional⁽⁵⁾.

Namun, kritik paling sistematis dan revolusioner datang dari Howard Gardner, yang dalam bukunya Frames of Mind (1983), menyatakan bahwa kecerdasan bukanlah satu kapasitas tunggal, melainkan sebuah kumpulan kemampuan otonom yang dapat berkembang secara berbeda-beda pada setiap individu⁽⁶⁾. Ia menyatakan bahwa sistem pendidikan seharusnya tidak hanya mengakomodasi dua jenis kecerdasan dominan (logika dan bahasa), tetapi juga memberi ruang bagi kecerdasan lain yang selama ini terabaikan.

2.4.       Konsep Dasar dalam Teori Multiple Intelligence

Dalam teori Multiple Intelligence, Gardner mengusulkan bahwa suatu kecerdasan harus memenuhi kriteria tertentu untuk diakui sebagai bentuk kecerdasan yang sah, seperti: potensi untuk diisolasi dalam kerusakan otak, adanya simbol atau sistem representasi, sejarah perkembangan evolusioner, dan dukungan dari studi psikologis dan antropologis⁽⁷⁾. Pendekatan ini menandai pergeseran dari pengukuran kuantitatif menuju pengakuan akan kompleksitas dan keberagaman ekspresi intelektual manusia.

Dengan demikian, landasan teoritis kecerdasan majemuk dibangun atas kritik terhadap keterbatasan pendekatan IQ serta kebutuhan untuk menyesuaikan konsep kecerdasan dengan realitas kehidupan manusia yang multidimensional. Pendekatan ini memiliki implikasi mendalam tidak hanya dalam teori psikologi, tetapi juga dalam pembaruan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Robert J. Sternberg, The Nature of Human Intelligence (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 4.

[2]                Charles Spearman, “General Intelligence,” American Journal of Psychology 15, no. 2 (1904): 201–293.

[3]                Lewis M. Terman, The Measurement of Intelligence (Boston: Houghton Mifflin, 1916), 79–81.

[4]                Robert J. Sternberg, Beyond IQ: A Triarchic Theory of Human Intelligence (New York: Cambridge University Press, 1985), 45–50.

[5]                Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 34–39.

[6]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 7–9.

[7]                Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 34–38.


3.           Lahirnya Teori Multiple Intelligence

Teori Multiple Intelligence (MI) lahir dari sebuah proses refleksi intelektual yang panjang dan lintas disiplin, yang digagas oleh Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan di Harvard Graduate School of Education. Gardner pertama kali memperkenalkan teori ini kepada publik melalui karyanya yang monumental, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), yang kemudian merevolusi cara kita memahami kecerdasan manusia⁽¹⁾.

Latar belakang kelahiran teori ini tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan Gardner dalam Project Zero, sebuah proyek penelitian yang berfokus pada seni, pembelajaran, dan perkembangan kognitif, yang didirikan di Harvard pada tahun 1967. Sebagai bagian dari tim peneliti, Gardner terlibat dalam studi-studi tentang bagaimana anak-anak berpikir, belajar, dan mengekspresikan diri melalui berbagai media non-verbal seperti seni dan musik. Ia melihat bahwa pendekatan pendidikan konvensional sering kali gagal mengakomodasi keragaman potensi dan gaya belajar yang dimiliki setiap individu⁽²⁾.

Gardner juga dipengaruhi oleh temuan neurologis dan antropologis yang menunjukkan bahwa kerusakan pada bagian tertentu otak dapat mengganggu satu kemampuan tanpa mempengaruhi kemampuan lainnya. Misalnya, seorang individu yang mengalami kerusakan di area Broca mungkin kehilangan kemampuan bicara, namun tetap dapat menggambar dengan sangat baik. Hal ini menyiratkan bahwa kecerdasan tidak bersifat tunggal atau monolitik, melainkan terdiri dari sejumlah kemampuan yang relatif otonom satu sama lain⁽³⁾.

Dalam menyusun kerangka teorinya, Gardner menggunakan kriteria yang ketat untuk menetapkan apa yang dapat dianggap sebagai suatu kecerdasan. Ia mengidentifikasi delapan kecerdasan awal berdasarkan kombinasi dari hasil studi psikologi kognitif, neuropsikologi, sejarah evolusi, dan bukti budaya. Kriteria tersebut antara lain mencakup: adanya basis neurologis yang jelas, bukti dari studi perkembangan, keterkaitan dengan simbol sistem budaya, serta validasi lintas budaya dan sejarah⁽⁴⁾.

Kedelapan kecerdasan yang diusulkan Gardner adalah: (1) kecerdasan linguistik, (2) logika-matematis, (3) musikal, (4) spasial, (5) kinestetik-tubuh, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan (8) naturalis. Kemudian, Gardner juga membuka kemungkinan adanya kecerdasan kesembilan, yaitu kecerdasan eksistensial, yang berkaitan dengan refleksi mendalam tentang makna hidup dan eksistensi manusia⁽⁵⁾.

Salah satu kekuatan fundamental teori ini adalah pendekatannya yang humanistik dan pluralistik terhadap kecerdasan. Gardner menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kombinasi unik dari kecerdasan-kecerdasan tersebut, dan bahwa tidak ada hierarki yang memosisikan satu kecerdasan lebih “tinggi” dari yang lain. Dengan demikian, nilai utama dari teori ini terletak pada pengakuan akan keberagaman potensi manusia dan pentingnya pendidikan yang menghargai perbedaan⁽⁶⁾.

Kelahiran teori Multiple Intelligence menjadi titik balik dalam wacana pendidikan dan psikologi, karena membuka ruang bagi pendekatan pedagogis yang lebih inklusif, diferensiatif, dan berorientasi pada pengembangan potensi individual. Teori ini tidak hanya mengubah cara guru memandang peserta didik, tetapi juga memberikan dasar epistemologis bagi reformasi sistem pendidikan secara lebih luas.


Footnotes

[1]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), xi–xii.

[2]                Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (New York: Basic Books, 1991), 5–8.

[3]                Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 15–18.

[4]                Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 33–35.

[5]                Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 45–48.

[6]                David Lazear, Seven Pathways of Learning: Teaching Students and Parents About Multiple Intelligences (Tucson, AZ: Zephyr Press, 1994), 9–11.


4.           Klasifikasi Kecerdasan Majemuk

Howard Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan bukanlah satu kemampuan tunggal yang dapat diukur dengan satu tes standar, melainkan terdiri dari beragam potensi kognitif yang berdiri secara relatif otonom. Berdasarkan hasil penelitiannya yang menggabungkan pendekatan neurologis, psikologis, dan antropologis, Gardner mengidentifikasi delapan jenis kecerdasan utama, yang masing-masing memiliki sistem representasi, cara kerja, dan karakteristik perkembangan yang unik⁽¹⁾. Berikut adalah uraian ringkas dari tiap jenis kecerdasan yang termasuk dalam kerangka Multiple Intelligence:

4.1.       Kecerdasan Linguistik

Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Individu dengan kecerdasan linguistik tinggi umumnya pandai dalam membaca, menulis, berbicara, dan memahami bahasa. Profesi yang menonjol dalam kecerdasan ini meliputi penulis, jurnalis, pengacara, dan orator⁽²⁾.

4.2.       Kecerdasan Logika-Matematis

Tipe ini merujuk pada kapasitas untuk berpikir logis, menganalisis pola, memahami hubungan sebab-akibat, dan memecahkan persoalan abstrak, terutama dalam bentuk angka atau simbol. Ini adalah jenis kecerdasan yang sangat dihargai dalam sains, teknik, dan matematika⁽³⁾.

4.3.       Kecerdasan Spasial

Kecerdasan spasial melibatkan kemampuan membayangkan bentuk dalam ruang, memanipulasi citra visual secara mental, serta mengenali hubungan spasial. Seniman, arsitek, desainer, pilot, dan navigator biasanya memiliki kecerdasan ini secara menonjol⁽⁴⁾.

4.4.       Kecerdasan Kinestetik-Tubuh

Jenis kecerdasan ini ditandai dengan keterampilan menggunakan tubuh secara terampil untuk mengekspresikan ide, perasaan, atau menyelesaikan tugas tertentu. Atlet, penari, aktor, dan pengrajin termasuk mereka yang memanfaatkan kecerdasan ini dalam pekerjaan mereka⁽⁵⁾.

4.5.       Kecerdasan Musikal

Ini merupakan kapasitas untuk memahami, membedakan, mengomposisi, dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik. Kecerdasan musikal mencakup kepekaan terhadap nada, ritme, melodi, dan timbre. Komposer, penyanyi, dan musisi adalah contoh individu dengan kecerdasan musikal tinggi⁽⁶⁾.

4.6.       Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan ini berfokus pada kemampuan memahami dan merespons perasaan, motivasi, serta niat orang lain. Individu dengan kecerdasan interpersonal yang tinggi biasanya empatik dan pandai dalam kerja sama sosial. Guru, konselor, pemimpin, dan negosiator seringkali memiliki keunggulan dalam kecerdasan ini⁽⁷⁾.

4.7.       Kecerdasan Intrapersonal

Berbeda dengan interpersonal, kecerdasan intrapersonal merujuk pada kemampuan untuk memahami diri sendiri secara mendalam: emosi, tujuan hidup, motivasi, dan nilai pribadi. Orang dengan kecerdasan ini umumnya memiliki reflektivitas tinggi dan orientasi hidup yang kuat⁽⁸⁾.

4.8.       Kecerdasan Naturalis

Kecerdasan naturalis menyangkut kemampuan mengenali, mengelompokkan, dan memahami objek-objek dalam alam, seperti tumbuhan, hewan, dan fenomena lingkungan. Kecerdasan ini dominan dalam profesi seperti ahli biologi, ekolog, petani, atau pecinta alam⁽⁹⁾.

4.9.       Kecerdasan Eksistensial (Opsional)

Meskipun tidak secara resmi dimasukkan dalam daftar awal, Gardner kemudian mengusulkan kecerdasan eksistensial sebagai kandidat kecerdasan kesembilan. Kecerdasan ini berkaitan dengan kapasitas untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendalam seputar makna hidup, kematian, dan realitas transendental⁽¹⁰⁾.


Tinjauan Holistik

Menurut Gardner, setiap individu memiliki semua kecerdasan tersebut, tetapi dengan profil kombinasi yang berbeda-beda. Tidak ada satu kecerdasan yang lebih “unggul” daripada yang lain. Dalam konteks pendidikan, klasifikasi ini menantang pendekatan homogen dan membuka ruang bagi pembelajaran yang beragam, diferensiatif, dan menghargai kekuatan unik setiap peserta didik⁽¹¹⁾.


Footnotes

[1]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 8–10.

[2]                Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 30–34.

[3]                Gardner, Frames of Mind, 14–16.

[4]                Ibid., 17–18.

[5]                Ibid., 19–20.

[6]                Ibid., 21–22.

[7]                Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 45–46.

[8]                Gardner, Frames of Mind, 23–24.

[9]                Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 49–51.

[10]             Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 60–63.

[11]             David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 10–12.


5.           Penerapan Teori Multiple Intelligence dalam Pendidikan

Sejak diperkenalkan pada awal 1980-an, teori Multiple Intelligence (MI) Howard Gardner telah memberikan pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Salah satu kontribusi utama teori ini adalah upayanya merombak paradigma tradisional pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek linguistik dan logika-matematis, dan sebaliknya, mengadvokasi pendekatan yang lebih inklusif, holistik, dan berpusat pada potensi unik setiap peserta didik⁽¹⁾.

5.1.       Pembelajaran yang Terpersonalisasi dan Diferensiatif

Dalam kerangka MI, peserta didik dipandang sebagai individu dengan profil kecerdasan yang unik. Hal ini mendorong lahirnya pendekatan pembelajaran terdiferensiasi, yaitu suatu strategi pengajaran yang menyesuaikan materi, proses, dan produk belajar sesuai dengan karakteristik kecerdasan dominan siswa⁽²⁾. Misalnya, siswa dengan kecerdasan kinestetik dapat lebih optimal belajar melalui aktivitas fisik seperti drama atau eksperimen langsung, sementara siswa dengan kecerdasan musikal dapat menyerap materi dengan lebih baik melalui nyanyian atau irama.

Menurut Armstrong, guru yang menerapkan teori MI dituntut untuk menciptakan lingkungan belajar yang kaya dan beragam, di mana setiap kecerdasan diberi ruang untuk berkembang. Ia menyebutkan bahwa guru sebaiknya menyediakan berbagai pilihan tugas dan kegiatan yang mencerminkan delapan (atau sembilan) jenis kecerdasan, sehingga siswa dapat mengakses materi pelajaran melalui jalur kecerdasan yang paling sesuai bagi mereka⁽³⁾.

5.2.       Identifikasi dan Asesmen Kecerdasan

Salah satu langkah awal dalam penerapan MI adalah mengenali profil kecerdasan peserta didik. Meskipun Gardner sendiri menolak pendekatan pengukuran kuantitatif yang kaku sebagaimana dalam tes IQ tradisional, banyak pendidik dan peneliti telah mengembangkan instrumen asesmen non-standar yang bersifat observasional dan reflektif, seperti kuisioner, jurnal belajar, portofolio, serta wawancara⁽⁴⁾. Alat-alat ini membantu guru untuk memahami potensi siswa secara lebih menyeluruh dan tidak terbatas pada hasil akademik konvensional.

Lebih lanjut, pendekatan MI dalam asesmen menekankan penilaian otentik, yaitu penilaian yang berbasis pada tugas nyata dan konteks kehidupan sehari-hari. Penilaian ini memungkinkan siswa menampilkan kompetensinya secara konkret melalui proyek, pementasan, atau karya kreatif lainnya, bukan hanya melalui tes tulis⁽⁵⁾.

5.3.       Desain Kurikulum dan Kegiatan Belajar

Implementasi MI dalam desain kurikulum menuntut keterbukaan dan fleksibilitas. Kurikulum tidak boleh bersifat linier dan seragam, melainkan harus dirancang secara interdisipliner dan multimodal, mencakup pengalaman belajar yang melibatkan berbagai kecerdasan. Misalnya, dalam pembelajaran sejarah, siswa tidak hanya diminta menghafal fakta, tetapi juga dapat menulis cerita sejarah (linguistik), membuat peta waktu (spasial), menampilkan drama sejarah (kinestetik), atau menganalisis sebab-akibat konflik sejarah (logika-matematis)⁽⁶⁾.

Dalam praktiknya, guru juga dapat merancang pusat-pusat belajar berbasis kecerdasan (intelligence centers), yaitu area atau stasiun pembelajaran di dalam kelas yang masing-masing disusun untuk merangsang kecerdasan tertentu. Strategi ini membantu siswa belajar secara aktif, mandiri, dan sesuai gaya belajarnya sendiri⁽⁷⁾.

5.4.       Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Pelatihan Guru

Meskipun teori MI menawarkan pendekatan yang progresif, implementasinya tidak lepas dari tantangan. Beberapa di antaranya adalah keterbatasan waktu dan sumber daya dalam menyusun rencana pembelajaran diferensiatif, serta kurangnya pelatihan guru dalam memahami dan menerapkan pendekatan MI secara konsisten. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas profesional guru menjadi faktor kunci dalam keberhasilan penerapan MI di kelas⁽⁸⁾.

Guru yang kompeten dalam pendekatan ini perlu mengembangkan sensitivitas terhadap potensi siswa, kemampuan refleksi, serta keterampilan dalam menyusun variasi metode dan media pembelajaran yang sesuai. Dalam jangka panjang, teori MI menuntut reformasi sistemik dalam pendidikan, termasuk dalam kebijakan, kurikulum, dan penilaian.


Footnotes

[1]                Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 76–78.

[2]                Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms, 3rd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 8–10.

[3]                Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 80–84.

[4]                Linda Campbell et al., Teaching and Learning Through Multiple Intelligences, 3rd ed. (Boston: Allyn & Bacon, 2009), 45–47.

[5]                Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 154–157.

[6]                David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 37–40.

[7]                Susan Baum, Julie Viens, and Barbara Slatin, Multiple Intelligences in the Elementary Classroom: A Teacher's Toolkit (New York: Teachers College Press, 2005), 59–60.

[8]                Linda Darling-Hammond et al., Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 112–114.


6.           Kekuatan dan Keunggulan Teori Multiple Intelligence

Teori Multiple Intelligence (MI) karya Howard Gardner telah menjadi salah satu paradigma paling berpengaruh dalam pendidikan modern, terutama karena pendekatannya yang inklusif terhadap keragaman potensi manusia. Berbeda dengan teori kecerdasan tradisional yang cenderung menghomogenkan kemampuan intelektual ke dalam satu dimensi (IQ), teori MI membuka cakrawala baru dengan menegaskan bahwa kecerdasan adalah plural, kontekstual, dan multidimensional. Kekuatan dan keunggulan teori ini dapat dilihat dalam beberapa aspek utama berikut:

6.1.       Pendekatan Humanistik terhadap Peserta Didik

Salah satu keunggulan paling signifikan dari teori MI adalah orientasinya yang berbasis pada penghargaan terhadap martabat dan potensi individual manusia. Gardner mengemukakan bahwa setiap individu memiliki kombinasi kecerdasan yang unik, dan bahwa semua kecerdasan tersebut memiliki nilai yang setara dalam kehidupan sosial maupun pendidikan⁽¹⁾. Pendekatan ini menjadikan teori MI sangat cocok diterapkan dalam sistem pendidikan yang menghargai keberagaman dan keunikan peserta didik, serta mendorong pengembangan diri secara utuh (holistik).

6.2.       Mendorong Pembelajaran yang Bermakna dan Kontekstual

Dengan mengakomodasi berbagai gaya belajar dan bentuk ekspresi, MI memberikan ruang bagi pembelajaran yang lebih bermakna, karena peserta didik dapat menyerap dan mengolah informasi melalui jalur kecerdasan yang paling sesuai bagi mereka. Ketika siswa diberi kesempatan untuk belajar dengan cara yang sesuai dengan kekuatannya—misalnya melalui musik, gerakan tubuh, atau aktivitas sosial—maka motivasi belajar, retensi informasi, dan keterlibatan emosional akan meningkat secara signifikan⁽²⁾.

6.3.       Menumbuhkan Kepercayaan Diri dan Citra Diri Positif

Sistem pendidikan tradisional sering kali hanya menilai keberhasilan siswa dari kecerdasan linguistik dan logika-matematis. Akibatnya, banyak siswa dengan potensi di bidang lain merasa “tidak cerdas” dan mengalami krisis kepercayaan diri. Teori MI menawarkan redefinisi kecerdasan, yang membuat siswa merasa diakui dan dihargai berdasarkan kekuatan unik mereka. Hal ini berdampak positif terhadap pembentukan citra diri yang sehat dan rasa percaya diri dalam proses pembelajaran⁽³⁾.

6.4.       Membuka Inovasi dalam Desain Pembelajaran

Teori MI juga memiliki keunggulan dalam menginspirasi kreativitas pedagogis. Dengan memahami keragaman kecerdasan, guru didorong untuk merancang pembelajaran yang beragam, interaktif, dan integratif. Misalnya, topik pembelajaran dapat dikembangkan ke dalam proyek lintas kecerdasan, seperti membuat peta visual (spasial), menulis esai (linguistik), menciptakan lagu (musikal), atau melakukan debat (interpersonal)⁽⁴⁾. Inovasi-inovasi ini menciptakan ruang belajar yang dinamis dan memperkaya pengalaman belajar siswa.

6.5.       Relevan dengan Tuntutan Abad ke-21

Di era globalisasi dan revolusi digital, dunia kerja semakin menghargai keterampilan non-kognitif seperti kreativitas, kolaborasi, empati, dan adaptabilitas. Teori MI memberikan kerangka konseptual yang mendukung pengembangan berbagai kecakapan abad ke-21, karena secara eksplisit menekankan pentingnya kecerdasan interpersonal, intrapersonal, kinestetik, dan musikal—kecakapan yang tidak selalu tercakup dalam kurikulum konvensional⁽⁵⁾.

6.6.       Fleksibel dan Adaptif dalam Berbagai Konteks Budaya

Keunggulan lainnya dari teori MI adalah sifatnya yang lintas budaya dan kontekstual. Gardner menegaskan bahwa kecerdasan dapat diekspresikan secara berbeda tergantung pada konteks sosial dan kultural seseorang. Dengan demikian, teori MI memungkinkan sistem pendidikan untuk lebih relevan secara lokal, serta mendorong pedagogi yang sensitif terhadap keragaman latar belakang peserta didik⁽⁶⁾.


Footnotes

[1]                Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 5–6.

[2]                Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 22–25.

[3]                Linda Campbell, Bruce Campbell, and Dee Dickinson, Teaching and Learning Through Multiple Intelligences, 3rd ed. (Boston: Allyn and Bacon, 2009), 48–51.

[4]                David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 41–44.

[5]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for Deeper Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2017), 38–41.

[6]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), xvi–xviii.


7.           Kritik dan Batasan Teori Multiple Intelligence

Meskipun teori Multiple Intelligence (MI) Howard Gardner telah memperoleh pengakuan luas di dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran yang bersifat inklusif dan diferensiatif, teori ini juga tidak luput dari kritik, terutama dari kalangan ilmuwan kognitif, psikolog eksperimental, dan ahli psikometri. Kritik-kritik tersebut umumnya berfokus pada validitas ilmiah, pengukuran kecerdasan, serta implikasi praktisnya dalam pendidikan formal.

7.1.       Kritik terhadap Dasar Ilmiah dan Empiris

Salah satu kritik paling mendasar datang dari kurangnya bukti empiris yang kuat untuk mendukung klasifikasi kecerdasan sebagaimana dikemukakan Gardner. Para kritikus menyatakan bahwa delapan (atau sembilan) kecerdasan dalam teori MI lebih menyerupai “bakat” atau “gaya belajar” daripada kecerdasan dalam pengertian psikometrik tradisional.¹ Robert J. Sternberg, misalnya, menyebut bahwa teori Gardner tidak memenuhi standar ilmiah untuk dijadikan sebagai teori kognitif karena tidak didukung oleh data kuantitatif yang dapat diukur dan diuji secara sistematis.²

Lebih lanjut, para ahli psikometri menyoroti bahwa tidak ada instrumen pengukuran kecerdasan majemuk yang valid dan reliabel secara konsisten. Hal ini menyulitkan penerapan MI dalam asesmen pendidikan formal, karena sulit memverifikasi kecerdasan individu secara objektif berdasarkan kerangka Gardner.³

7.2.       Ambiguitas Konseptual

Kritik lain menyangkut ambiguitas terminologis dalam teori MI. Gardner menggunakan istilah “kecerdasan” dalam arti yang berbeda dari definisi konvensional dalam psikologi, yakni sebagai kapasitas umum untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, banyak yang mempertanyakan apakah semua kategori dalam MI—seperti musikalitas atau kemampuan tubuh—layak disebut sebagai “kecerdasan” dan bukan hanya “kemampuan” atau “preferensi”.⁴

Daniel T. Willingham, seorang psikolog kognitif, berargumen bahwa teori MI sebenarnya tidak memiliki implikasi yang kuat dalam praktik pengajaran, karena guru pada dasarnya mengajarkan konten, bukan kecerdasan. Menurutnya, terlalu menekankan gaya belajar justru dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam strategi pedagogis.⁵

7.3.       Tantangan Implementatif di Sekolah

Meskipun teori MI menjanjikan pendekatan yang lebih humanistik, implementasinya dalam konteks pendidikan formal menghadapi kendala struktural dan praktis. Guru sering kali dibatasi oleh kurikulum yang padat, tuntutan ujian standar, serta keterbatasan sumber daya untuk merancang pembelajaran yang menyesuaikan delapan atau sembilan jenis kecerdasan. Bahkan di sekolah-sekolah progresif, pembelajaran berbasis MI kerap tereduksi menjadi kegiatan yang bersifat kosmetik atau artifisial, bukan transformasional.⁶

Selain itu, dalam praktiknya, guru juga menghadapi tantangan dalam mengidentifikasi profil kecerdasan siswa tanpa alat ukur yang terstandardisasi. Hal ini berpotensi menimbulkan bias subjektif dalam proses pengajaran dan evaluasi.⁷

7.4.       Tanggapan Gardner terhadap Kritik

Howard Gardner sendiri telah merespons berbagai kritik tersebut secara terbuka. Ia mengakui bahwa teori MI tidak dimaksudkan untuk menjadi teori psikometrik, melainkan sebagai kerangka kerja alternatif dalam memahami potensi manusia. Gardner menyatakan bahwa fokus utama MI bukanlah pada pengukuran, melainkan pada pengakuan terhadap keragaman kapasitas kognitif dan cara-cara belajar yang beragam.⁸

Lebih lanjut, Gardner juga menekankan bahwa teori MI bukanlah “resep ajar,” tetapi panduan filosofis dan pedagogis untuk menciptakan pendidikan yang lebih adil, bermakna, dan menghargai keunikan setiap individu. Dengan demikian, kendati memiliki keterbatasan empiris, kekuatan teorinya justru terletak pada daya transformasi paradigma dalam pendidikan.⁹


Footnotes

[1]                John White, “Howard Gardner: The Myth of Multiple Intelligences,” London Review of Education 6, no. 3 (2008): 245–255.

[2]                Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 42–44.

[3]                Linda S. Gottfredson, “Mainstream Science on Intelligence: An Editorial With 52 Signatories,” Intelligence 24, no. 1 (1997): 13–23.

[4]                James Traub, “Multiple Intelligence Disorder,” The New Republic, October 1998.

[5]                Daniel T. Willingham, Why Don’t Students Like School? (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 119–123.

[6]                David Perkins, Making Learning Whole: How Seven Principles of Teaching Can Transform Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 87–89.

[7]                Susan M. Brookhart, How to Use Grading to Improve Learning (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 52–53.

[8]                Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 91–95.

[9]                Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 205–209.


8.           Relevansi Teori Multiple Intelligence dalam Konteks Kontemporer

Di tengah perubahan sosial, teknologi, dan pendidikan yang sangat cepat, teori Multiple Intelligence (MI) karya Howard Gardner tetap memiliki relevansi yang kuat dalam menjawab tantangan dan kebutuhan abad ke-21. Ketika dunia bergerak menuju masyarakat yang semakin kompleks, teori MI menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel, personal, dan inklusif dalam memahami kecerdasan serta menyusun strategi pendidikan.

8.1.       Menjawab Tantangan Pendidikan Abad ke-21

Model pendidikan kontemporer tidak lagi semata-mata bertumpu pada penguasaan konten, melainkan lebih menekankan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi (4C). Teori MI sejalan dengan kerangka ini karena mendorong pengakuan atas keberagaman gaya belajar dan kecerdasan peserta didik. Pendekatan ini memungkinkan pendidikan untuk lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata di dunia kerja dan kehidupan global yang semakin kompleks⁽¹⁾.

Misalnya, kecerdasan interpersonal dan intrapersonal menjadi sangat penting dalam membentuk kemampuan empati, kepemimpinan, dan regulasi diri—atribut yang semakin dibutuhkan dalam dunia kerja berbasis tim dan kepemimpinan kolaboratif. Demikian pula, kecerdasan spasial dan musikal terbukti relevan dalam era ekonomi kreatif dan digital yang berkembang pesat⁽²⁾.

8.2.       Mendorong Pendidikan yang Inklusif dan Berkeadilan

Di banyak negara, sistem pendidikan masih didominasi oleh penilaian berbasis akademik tradisional yang mengutamakan kemampuan logika-matematis dan linguistik. Hal ini mengakibatkan marjinalisasi terhadap peserta didik yang memiliki kecerdasan dominan di luar dua aspek tersebut. Dalam konteks ini, teori MI berperan sebagai kerangka etis dan pedagogis untuk mendorong pendidikan yang lebih inklusif, dengan memberi ruang bagi semua jenis potensi manusia untuk berkembang secara optimal⁽³⁾.

Teori ini juga menjadi landasan untuk pendidikan yang sensitif terhadap keragaman latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi. Gardner sendiri menyatakan bahwa setiap budaya memiliki ekspresi kecerdasan yang khas, dan karenanya pendidikan harus dirancang secara kontekstual agar dapat mengakomodasi keberagaman tersebut⁽⁴⁾.

8.3.       Transformasi Desain Kurikulum dan Pembelajaran

Kurikulum berbasis MI tidak hanya memuat konten kognitif, tetapi juga memperhatikan pengalaman belajar yang multi-dimensional. Pendekatan ini relevan dalam upaya mereformasi pendidikan agar lebih menekankan pembelajaran aktif, reflektif, dan integratif. Misalnya, kurikulum tematik yang menggabungkan unsur seni, sains, sosial, dan spiritual secara interdisipliner menjadi bentuk konkret dari prinsip MI dalam praktik⁽⁵⁾.

Di beberapa negara seperti Finlandia, Australia, dan Kanada, pendekatan berbasis kecerdasan majemuk telah diintegrasikan dalam desain kurikulum nasional melalui strategi pembelajaran berbasis proyek, portofolio, dan pembelajaran kolaboratif yang mengaktifkan berbagai bentuk kecerdasan siswa⁽⁶⁾.

8.4.       Relevansi dalam Era Digital dan Teknologi Pendidikan

Kemajuan teknologi pendidikan juga memperkuat relevansi teori MI. Aplikasi digital, perangkat multimedia, dan platform pembelajaran daring kini memungkinkan guru merancang pengalaman belajar yang multimodal, seperti video interaktif (visual-spasial), simulasi (logika-kinestetik), audio-pembelajaran (musikal), hingga forum diskusi (interpersonal). Teknologi dengan demikian menjadi alat penting untuk mengaktivasi berbagai bentuk kecerdasan secara lebih fleksibel dan personal⁽⁷⁾.

Selain itu, perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan big data dalam pendidikan kini membuka peluang untuk mengidentifikasi profil kecerdasan siswa secara lebih presisi, sehingga pendekatan MI dapat diintegrasikan ke dalam sistem pembelajaran adaptif dan personalisasi yang berbasis data⁽⁸⁾.


Kesimpulan Sub-Bagian

Relevansi teori MI dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menjembatani antara humanisme dan teknologi, antara diferensiasi potensi dan tuntutan global, serta antara personalisasi pendidikan dan keadilan sosial. Meskipun menghadapi kritik metodologis, kontribusinya sebagai kerangka kerja etis, filosofis, dan pedagogis tetap penting dalam membentuk masa depan pendidikan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                P21 (Partnership for 21st Century Learning), Framework for 21st Century Learning, revised 2019, https://battelleforkids.org/networks/p21.

[2]                Thomas Armstrong, The Power of the Adolescent Brain: Strategies for Teaching Middle and High School Students (Alexandria, VA: ASCD, 2016), 58–61.

[3]                Linda Campbell, Bruce Campbell, and Dee Dickinson, Teaching and Learning through Multiple Intelligences, 3rd ed. (Boston: Allyn & Bacon, 2009), 45–47.

[4]                Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 125–128.

[5]                David Lazear, Eight Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, 3rd ed. (Tucson, AZ: Zephyr Press, 2000), 50–53.

[6]                Lyn Sharratt and Michael Fullan, Putting Faces on the Data: What Great Leaders Do! (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2012), 102–104.

[7]                Susan Hallam and Evangelos Himonides, eds., The Oxford Handbook of Music Education, vol. 2 (New York: Oxford University Press, 2012), 387–390.

[8]                Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in Education (London: Pearson Education, 2016), 15–18.


9.           Kesimpulan

Teori Multiple Intelligence (MI) yang dikembangkan oleh Howard Gardner merupakan salah satu tonggak penting dalam transformasi pemikiran mengenai kecerdasan manusia. Berangkat dari kritik terhadap reduksionisme intelektual dalam konsep IQ tradisional, Gardner menegaskan bahwa kecerdasan bersifat plural, dan setiap individu memiliki profil kecerdasan yang unik, mencakup setidaknya delapan domain utama—linguistik, logika-matematis, musikal, spasial, kinestetik-tubuh, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis⁽¹⁾. Penambahan opsional kecerdasan eksistensial bahkan memperluas cakrawala pemahaman terhadap dimensi reflektif dan filosofis manusia⁽²⁾.

Dalam dunia pendidikan, teori MI telah memberikan kerangka berpikir yang revolusioner dan humanistik, yang menekankan pentingnya pendekatan diferensiatif, personalisasi pembelajaran, dan pengakuan terhadap keberagaman potensi peserta didik. Hal ini sangat relevan dalam konteks pendidikan kontemporer yang menuntut keterampilan abad ke-21 serta penyesuaian dengan kebutuhan psikososial siswa dari berbagai latar belakang budaya dan sosial⁽³⁾. Teori ini juga menjadi landasan etis dalam pendidikan inklusif, dengan menolak hierarki kecerdasan dan mendorong sistem pendidikan yang berkeadilan.

Meskipun demikian, teori MI tidak luput dari kritik. Para ahli psikologi kognitif dan psikometri mempertanyakan validitas empiris, kesulitan dalam pengukuran objektif, serta keambiguan terminologis dalam membedakan kecerdasan dari bakat atau gaya belajar⁽⁴⁾. Gardner sendiri mengakui bahwa MI bukanlah teori psikometrik, melainkan kerangka konseptual dan pedagogis yang ditujukan untuk memperluas pemahaman dan praktik pendidikan⁽⁵⁾.

Keunggulan teori ini terletak pada daya dorongnya terhadap reformasi pendidikan yang lebih manusiawi, kreatif, dan adaptif. Dengan mendorong guru untuk melihat siswa secara utuh—bukan hanya sebagai entitas akademik, tetapi sebagai pribadi yang kompleks dan multidimensi—MI membuka jalan bagi pembelajaran yang lebih bermakna, menyenangkan, dan relevan.

Di era teknologi, disrupsi digital, dan globalisasi nilai, relevansi MI justru semakin menguat. Penggunaan teknologi memungkinkan aktivasi berbagai kecerdasan melalui media digital yang variatif, sementara tuntutan dunia kerja menuntut kecakapan non-kognitif yang justru ditekankan oleh teori MI, seperti empati, refleksi diri, komunikasi, dan fleksibilitas⁽⁶⁾.

Dengan demikian, meskipun masih menyisakan ruang untuk pengujian lebih lanjut, teori Multiple Intelligence tetap merupakan kontribusi besar dalam pendidikan modern, baik secara filosofis, praktis, maupun moral. Ia mengingatkan dunia pendidikan bahwa setiap anak adalah cerdas dengan caranya sendiri, dan tugas utama pendidik adalah menggali, menumbuhkan, dan menghargai keberagaman itu sebagai kekuatan, bukan hambatan.


Footnotes

[1]                Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 6–7.

[2]                Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 60–63.

[3]                Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 92–97.

[4]                Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 42–44.

[5]                Howard Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), 94–95.

[6]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for Deeper Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2017), 33–37.


Daftar Pustaka

Armstrong, T. (2016). The power of the adolescent brain: Strategies for teaching middle and high school students. ASCD.

Armstrong, T. (2017). Multiple intelligences in the classroom (4th ed.). ASCD.

Brookhart, S. M. (2017). How to use grading to improve learning. ASCD.

Campbell, L., Campbell, B., & Dickinson, D. (2009). Teaching and learning through multiple intelligences (3rd ed.). Allyn & Bacon.

Darling-Hammond, L., Flook, L., Cook-Harvey, C., Barron, B., & Osher, D. (2017). Preparing teachers for deeper learning. Harvard Education Press.

Darling-Hammond, L., Hammerness, K., Grossman, P., Rust, F., & Shulman, L. (2006). Powerful teacher education: Lessons from exemplary programs. Jossey-Bass.

Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.

Gardner, H. (1999). Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21st century. Basic Books.

Gardner, H. (2006). Multiple intelligences: New horizons in theory and practice. Basic Books.

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.

Gottfredson, L. S. (1997). Mainstream science on intelligence: An editorial with 52 signatories. Intelligence, 24(1), 13–23. https://doi.org/10.1016/S0160-2896(97)90011-8

Hallam, S., & Himonides, E. (Eds.). (2012). The Oxford handbook of music education (Vol. 2). Oxford University Press.

Lazear, D. (2000). Eight ways of knowing: Teaching for multiple intelligences (3rd ed.). Zephyr Press.

Luckin, R., Holmes, W., Griffiths, M., & Forcier, L. B. (2016). Intelligence unleashed: An argument for AI in education. Pearson Education.

Perkins, D. (2009). Making learning whole: How seven principles of teaching can transform education. Jossey-Bass.

P21: Partnership for 21st Century Learning. (2019). Framework for 21st century learning. Retrieved from https://battelleforkids.org/networks/p21

Sharratt, L., & Fullan, M. (2012). Putting faces on the data: What great leaders do!. Corwin.

Sternberg, R. J. (1985). Beyond IQ: A triarchic theory of human intelligence. Cambridge University Press.

Sternberg, R. J. (2003). Wisdom, intelligence, and creativity synthesized. Cambridge University Press.

Terman, L. M. (1916). The measurement of intelligence. Houghton Mifflin.

Tomlinson, C. A. (2017). How to differentiate instruction in academically diverse classrooms (3rd ed.). ASCD.

Traub, J. (1998, October). Multiple intelligence disorder. The New Republic.

White, J. (2008). Howard Gardner: The myth of multiple intelligences. London Review of Education, 6(3), 245–255.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design (2nd ed.). ASCD.

Willingham, D. T. (2009). Why don’t students like school?. Jossey-Bass.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar