Dari Mitos ke Logos yang Tertunda
Kegagalan Masyarakat dalam Berpindah dari Mythos ke Logos Secara Utuh
Alihkan ke: Etika
dalam Filsafat.
Etika
Islam, Etika
Kepedulian, Etika
dan Etiket.
Opini Penulis
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi,
masyarakat Indonesia mengalami pergeseran budaya yang mencolok—yakni
meninggalkan mitos sebagai landasan nilai dan pengendali perilaku, namun tanpa
diiringi peralihan menuju logos, atau nalar kritis. Hal ini berbeda dari
transformasi intelektual masyarakat Yunani kuno yang secara historis berpindah
dari dominasi mitos menuju pemikiran rasional sebagai fondasi peradaban. Di
Indonesia, mitos yang dahulu berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga
etika dan tatanan perilaku, terutama di kalangan remaja, kini ditinggalkan
karena dianggap ketinggalan zaman dan tidak relevan. Sayangnya, kekosongan ini
tidak diisi oleh nalar kritis atau pendidikan etika berbasis rasionalitas. Guru
dan orang tua berharap anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan
beradab, namun kenyataannya, banyak remaja justru terjerumus ke dalam perilaku
menyimpang. Masyarakat telah kehilangan kendali moral, karena kehilangan dua
hal sekaligus: otoritas simbolik mitos dan kekuatan pencerahan logos. Inilah
krisis nilai yang tengah kita hadapi—yakni kegagalan membangun jembatan dari 'tradisi' menuju 'rasionalitas', sehingga ruang kosong di antara keduanya dipenuhi
oleh disorientasi moral yang tak mudah diperbaiki.
PEMBAHASAN
Perubahan Nilai dalam Masyarakat Indonesia
1.
Pendahuluan:
Krisis Moral dalam Transformasi Budaya
Transformasi budaya yang terjadi di Indonesia dalam
beberapa dekade terakhir telah menimbulkan dinamika sosial yang kompleks dan
kontradiktif. Di satu sisi, masyarakat semakin terbuka terhadap modernisasi, globalisasi,
dan kemajuan teknologi informasi. Namun di sisi lain, transformasi ini justru
menyisakan kekosongan nilai yang signifikan—terutama dalam aspek moral dan
etika generasi muda. Krisis ini bukan semata akibat dari kemajuan, tetapi lebih
mendalam: masyarakat Indonesia tampaknya telah meninggalkan mitos
sebagai instrumen pengatur nilai-nilai kolektif, tanpa beranjak secara utuh
menuju logos atau rasionalitas kritis sebagai fondasi etis baru.
Dalam lintasan sejarah intelektual, masyarakat
Yunani kuno pernah mengalami transisi mendalam dari mythos ke logos,
dari narasi-narasi religio-kultural menuju rasionalitas sistematis dan berpikir
kritis sebagai dasar pembentukan etika publik dan struktur pengetahuan.
Pergeseran ini menandai kelahiran filsafat sebagai upaya manusia untuk memahami
realitas dengan nalar, bukan sekadar warisan simbolik atau takhayul leluhur.
Sejarawan seperti Jean-Pierre Vernant menegaskan bahwa logos dalam konteks
Yunani bukan sekadar berpikir rasional, tetapi juga mencerminkan keteraturan,
argumentasi, dan prinsip dialogis dalam kehidupan bersama¹.
Berbeda dengan model historis tersebut, masyarakat
Indonesia justru mengalami transisi yang terputus. Mitos ditinggalkan sebagai
"warisan masa lalu" yang dianggap tidak ilmiah dan irasional, namun
penggantinya bukanlah logos yang mengandung kedalaman reflektif dan etis,
melainkan seringkali sekadar rasionalitas teknologis, pragmatisme konsumtif,
dan individualisme dangkal. Dalam kajian sosiologis, ini menunjukkan bentuk disenchantment
atau penghilangan pesona makna, seperti yang pernah diungkap oleh Max Weber
sebagai konsekuensi modernitas yang tidak dibarengi oleh re-enchantment
melalui sistem nilai baru².
Kekosongan nilai ini terlihat nyata dalam kehidupan
remaja yang mengalami disorientasi moral akut. Norma-norma yang dulu dijaga
oleh mitos dan simbol budaya kini kehilangan daya pengikat. Di sisi lain,
masyarakat belum secara serius membudayakan pendidikan moral berbasis refleksi
kritis, padahal logos bukan hanya menyangkut kecerdasan intelektual, tetapi
juga kemampuan etis dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Dalam
kenyataan sehari-hari, banyak orang tua dan pendidik menginginkan anak-anak
menjadi pribadi yang baik dan cerdas, namun pendekatan yang digunakan tidak
membekali mereka dengan kesadaran moral yang dibangun atas dasar pemahaman
rasional dan spiritual yang mendalam³.
Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia tampaknya
terjebak dalam ruang hampa antara dua dunia: dunia lama yang ditanggalkan, dan
dunia baru yang belum dihayati secara filosofis. Artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara historis, filosofis, kritis, etis, dan agamis mengenai
kegagalan masyarakat dalam berpindah dari mythos ke logos secara
utuh. Kajian ini penting bukan hanya untuk memahami akar dari krisis moral
kontemporer, tetapi juga sebagai ikhtiar untuk merumuskan kembali strategi
pembudayaan nilai yang kontekstual dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the
Greeks, trans. Janet Lloyd and Jeff Fort (New York: Zone Books, 2006), 3–9.
[2]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 105–117.
[3]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 15–20.
2.
Mitos
dan Logos dalam Sejarah Intelektual Yunani Kuno
Peradaban Yunani kuno memainkan peran krusial dalam
sejarah perkembangan intelektual umat manusia, terutama melalui proses
transformatif dari mythos ke logos—sebuah perubahan dari cara
berpikir berbasis narasi mitologis menuju pendekatan rasional dan argumentatif.
Pada awalnya, masyarakat Yunani menjelaskan realitas melalui kisah-kisah
mitologis yang diwariskan secara turun-temurun, seperti yang terekam dalam
karya-karya Homer dan Hesiod. Mitos digunakan untuk memberi makna atas fenomena
alam, struktur sosial, dan eksistensi manusia secara umum. Dalam konteks ini, mythos
berfungsi bukan hanya sebagai bentuk kepercayaan, tetapi juga sebagai fondasi
bagi stabilitas budaya dan etika sosial¹.
Namun, seiring berkembangnya pemikiran di
polis-polis Yunani, terjadi pergeseran radikal menuju cara berpikir yang
menekankan pada rasionalitas, analisis, dan observasi sistematis—apa yang
kemudian disebut sebagai logos. Pergeseran ini bukan berarti penolakan
total terhadap mitos, tetapi sebuah penataan ulang cara berpikir yang menuntut
koherensi logis dan pembuktian argumentatif. Para filsuf pra-Sokratik seperti
Thales, Anaximandros, dan Herakleitos memulai tradisi ini dengan mencari
prinsip-prinsip dasar (archê) alam semesta bukan melalui mitos, tetapi
melalui pengamatan rasional².
Salah satu tonggak penting dalam peralihan ini
adalah munculnya metode dialektika yang diperkenalkan oleh Socrates dan
dikembangkan secara sistematis oleh Plato dan Aristoteles. Logos, dalam
pemahaman mereka, tidak hanya mencakup kemampuan bernalar, tetapi juga
keterarahan pada kebenaran dan keadilan. Logos menjadi prinsip yang
memungkinkan manusia menata kehidupan sosial dan politik secara rasional dan
etis. Dengan demikian, pergeseran dari mythos ke logos merupakan
proses intelektual yang kompleks, yang tidak hanya mengubah cara berpikir,
tetapi juga merumuskan ulang relasi manusia dengan alam, masyarakat, dan
nilai-nilai moral³.
Jean-Pierre Vernant menunjukkan bahwa pergeseran
ini bersifat struktural: mitos beroperasi dalam pola naratif tertutup yang
memaparkan dunia dalam bentuk simbol dan personifikasi, sementara logos membuka
ruang diskursus rasional di mana segala klaim dapat ditinjau kembali melalui
argumen dan pembuktian. Dalam hal ini, mitos mengikat melalui konsensus budaya,
sementara logos membebaskan melalui pertanyaan dan kritik⁴. Hal ini menunjukkan
bahwa transisi dari mitos ke logos bukanlah sekadar perubahan isi pemikiran,
tetapi juga transformasi cara berpikir yang memungkinkan lahirnya filsafat,
ilmu pengetahuan, dan sistem hukum rasional.
Oleh karena itu, pengalaman Yunani kuno mengajarkan
bahwa suatu masyarakat yang meninggalkan mitos harus memiliki kesiapan intelektual
dan institusional untuk mengadopsi logos sebagai fondasi baru kehidupan
bersama. Tanpa kesiapan ini, proses transisi justru dapat menimbulkan
kekosongan nilai yang berujung pada disorientasi moral. Ini pula yang menjadi
titik tolak penting bagi refleksi atas kondisi masyarakat Indonesia
kontemporer, yang tampaknya gagal membangun jembatan filosofis dari mitos ke
logos secara utuh.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 10–14.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 40–58.
[3]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 30–41.
[4]
Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the
Greeks, trans. Janet Lloyd and Jeff Fort (New York: Zone Books, 2006),
23–37.
3.
Peran
Mitos dalam Budaya Tradisional Nusantara
Dalam khazanah budaya tradisional Nusantara, mitos
memegang peran yang sangat penting sebagai medium pembentuk identitas kolektif,
sistem pengetahuan lokal, dan mekanisme pengendali perilaku sosial. Sebagai
narasi sakral yang menjelaskan asal-usul kosmos, manusia, dan tatanan dunia,
mitos menjadi fondasi budaya yang hidup dalam ritus, hukum adat, simbol-simbol,
dan struktur sosial masyarakat. Dalam konteks ini, mitos tidak hanya berfungsi
sebagai bentuk cerita tradisional, tetapi juga sebagai pedoman etis yang
membimbing perilaku anggota masyarakat dari generasi ke generasi¹.
Dalam masyarakat agraris-tradisional seperti di
Jawa, Bali, Sumatra, dan wilayah-wilayah timur Indonesia, mitos mengikat
masyarakat melalui narasi leluhur, alam semesta, dan dunia gaib. Mitos Dewi
Sri, misalnya, bukan hanya menjelaskan kesuburan tanah dan panen padi, tetapi
juga mengajarkan nilai keselarasan antara manusia dan alam, serta pentingnya
penghormatan terhadap kerja keras dan solidaritas sosial². Mitos semacam ini
bersifat edukatif dan normatif—ia mendidik sekaligus mengatur. Di Minangkabau,
mitos tentang asal-usul nenek moyang dari dataran tinggi dan aturan matrilineal
yang diwariskan melalui narasi suci menjadi dasar legitimasi sistem sosial yang
kompleks³.
Fungsi sosial dari mitos dalam budaya Nusantara
dapat dilihat dari tiga aspek utama: (1) transmisi nilai moral, (2)
legitimasi struktur kekuasaan, dan (3) mekanisme kontrol sosial.
Dalam konteks transmisi nilai, mitos digunakan untuk menanamkan etika
komunitas, seperti hormat kepada orang tua, menjauhi keserakahan, dan hidup
selaras dengan lingkungan. Dalam hal legitimasi kekuasaan, banyak kerajaan
tradisional seperti Majapahit atau Kerajaan Bugis-Makassar mengaitkan silsilah
raja dengan figur-figur mitologis atau keturunan dewa, guna memperkuat otoritas
simboliknya⁴. Sedangkan dalam mekanisme kontrol sosial, mitos berfungsi
menakut-nakuti atau memperingatkan melalui narasi simbolik, seperti larangan
memasuki hutan tertentu karena ada “penunggu” gaib, yang sebenarnya berfungsi
menjaga kelestarian ekologis dan ketertiban wilayah.
Dengan demikian, mitos dalam tradisi Nusantara
tidak hanya menghadirkan penjelasan atas dunia, tetapi juga membentuk
struktur pemahaman tentang hidup yang integral. Clifford Geertz menyebut hal
ini sebagai “weltanschauung” atau pandangan dunia, di mana mitos
mengandung kekuatan simbolik yang menyatukan nilai, makna, dan praktik sosial
ke dalam sistem budaya yang stabil⁵. Oleh karena itu, dalam masyarakat
pra-modern, tidak ada pemisahan tajam antara mitos, agama, moralitas, dan
hukum.
Namun, dalam proses modernisasi dan sekularisasi
yang berlangsung pasca-kolonialisme dan pasca-Orde Baru, fungsi mitos ini
mengalami disrupsi besar. Ketika pendidikan modern tidak menggantinya dengan
kerangka logos yang rasional dan etis, maka ruang kosong yang ditinggalkan oleh
mitos tersebut justru menjadi celah bagi lahirnya nihilisme nilai dan dekadensi
moral. Kehilangan mitos tanpa hadirnya logos adalah kehilangan ganda: kita
tidak lagi terikat oleh nilai tradisi, namun juga tidak dibekali kemampuan
kritis untuk menilai baik-buruk secara rasional dan bertanggung jawab. Di
sinilah terletak akar dari krisis nilai yang melanda masyarakat Indonesia
kontemporer.
Footnotes
[1]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan
Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 115–118.
[2]
Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of
Kinship and Socialization (New York: Free Press, 1961), 45–49.
[3]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan
Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 72–76.
[4]
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap
Antropologi Politik Orang Bugis (Jakarta: LP3ES, 1985), 28–32.
[5]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89–93.
4.
Modernisasi
dan Erosi Fungsi Mitos
Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur
masyarakat Indonesia, baik secara sosial, budaya, maupun epistemologis. Dalam
proses ini, fungsi mitos yang dahulu begitu vital dalam menjaga kohesi
sosial dan moralitas publik mengalami erosi yang signifikan. Modernisasi,
yang oleh Anthony Giddens dipahami sebagai “perubahan sistemik dalam organisasi
kehidupan sosial yang berlangsung terus-menerus dalam skala besar”¹, tidak
hanya menciptakan rasionalisasi institusi, tetapi juga menyebabkan dislokasi
nilai-nilai tradisional yang sebelumnya diikat oleh narasi mitologis.
Modernisasi memperkenalkan cara pandang
rasional-instrumental dan logika ilmiah sebagai tolok ukur kebenaran, sehingga
bentuk-bentuk pengetahuan lama—termasuk mitos—dipinggirkan sebagai sesuatu yang
irasional, usang, dan tidak relevan dengan realitas modern. Dalam kerangka
modernitas yang cenderung teknokratis, kebenaran direduksi menjadi sesuatu yang
terukur dan dapat dibuktikan secara empiris. Akibatnya, mitos sebagai ekspresi
nilai-nilai simbolik, spiritual, dan kultural kehilangan kekuatan
hegemoniknya².
Proses ini sangat terlihat dalam konteks pendidikan
dan media. Sistem pendidikan nasional lebih menekankan rasionalitas saintifik
dan logika fungsional tanpa menyeimbangkan dengan pembentukan karakter berbasis
nilai-nilai kultural dan spiritual. Sementara itu, media massa dan media sosial
memproduksi budaya instan, visual, dan konsumtif yang mempercepat desakralisasi
ruang-ruang nilai³. Dalam ruang publik yang digerakkan oleh kapitalisme
informasi, mitos-mitos lokal tidak hanya kehilangan relevansi, tetapi juga
seringkali diposisikan sebagai bahan hiburan semata, bukan sebagai penopang moralitas
atau kebijaksanaan lokal.
Proses globalisasi juga berperan dalam mempercepat
erosi ini. Arus budaya global yang membawa nilai-nilai liberalisme
individualistik telah menggantikan sistem nilai komunal yang dahulu dijaga oleh
mitos. Seperti yang dicatat oleh Arjun Appadurai, globalisasi budaya
menciptakan lanskap di mana imajinasi massa lebih dibentuk oleh media
transnasional ketimbang narasi lokal⁴. Akibatnya, generasi muda Indonesia
tumbuh dalam lingkungan yang tercerabut dari akar budaya mereka sendiri. Mereka
tidak lagi terikat oleh kisah-kisah mitologis yang sarat makna moral, tetapi
lebih akrab dengan narasi pop global yang nihilistik, permisif, dan hedonistik.
Erosi fungsi mitos ini memiliki dampak serius
terhadap struktur etika masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Emile Durkheim,
ketika sistem simbolik dan kepercayaan bersama melemah, masyarakat mengalami anomie—kehilangan
arah dan krisis norma yang menyebabkan kekacauan moral dan sosial⁵. Inilah yang
mulai tampak dalam masyarakat Indonesia: meningkatnya kenakalan remaja,
kekerasan di sekolah, krisis identitas, dan lemahnya rasa tanggung jawab
sosial. Ironisnya, masyarakat meninggalkan mitos sebagai pengikat nilai, tetapi
tidak menyediakan logos sebagai pengganti yang reflektif dan rasional.
Dengan demikian, modernisasi tanpa humanisasi telah
melahirkan kekosongan nilai. Kehidupan modern yang dibangun di atas kemajuan
teknologi dan efisiensi sistem ternyata gagal membentuk manusia yang bermoral,
karena ia kehilangan makna—suatu hal yang dulu dihadirkan oleh mitos. Di
sinilah letak tantangan besar masyarakat Indonesia: bagaimana membangun kembali
landasan etika dan spiritualitas tanpa terjebak nostalgia terhadap masa lalu,
dan tanpa menyerah pada kehampaan budaya modern.
Footnotes
[1]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity
(Stanford: Stanford University Press, 1990), 4–5.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 143–150.
[3]
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir
Cultural Studies atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 21–30.
[4]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 27–48.
[5]
Emile Durkheim, The Division of Labor in Society,
trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1997), 256–262.
5.
Kekosongan
Logos: Kegagalan Rasionalisasi Moral
Jika modernisasi telah melemahkan posisi mitos
dalam struktur budaya masyarakat Indonesia, maka persoalan berikutnya yang
lebih krusial adalah gagalnya masyarakat—terutama dalam dunia pendidikan dan
wacana publik—menggantikan posisi mitos dengan logos sebagai sumber
nilai moral dan etika rasional. Dalam sejarah peradaban Yunani, peralihan
dari mythos ke logos tidak sekadar perubahan isi, tetapi
perubahan mendasar dalam metode berpikir dan menalar tentang dunia, kebaikan,
dan kehidupan bersama. Logos hadir sebagai bentuk kesadaran kritis yang
menyatukan antara nalar dan etika, antara berpikir dan bertindak secara
bertanggung jawab¹.
Namun, dalam konteks Indonesia kontemporer, logos
sebagai bentuk pemikiran rasional dan etis tidak berkembang secara utuh.
Rasionalitas yang dikembangkan dalam masyarakat lebih cenderung bersifat
teknis, pragmatis, dan instrumental—terutama dalam pendidikan, politik, dan
ekonomi—tanpa menyentuh dimensi moral yang mendalam. Hal ini sesuai dengan
kritik Jürgen Habermas bahwa modernitas seringkali hanya mengembangkan instrumental
rationality (rasionalitas teknis) tanpa communicative rationality
(rasionalitas dialogis dan etis)². Akibatnya, masyarakat cerdas secara
teknologi, namun miskin secara etika.
Kegagalan rasionalisasi moral ini tampak nyata
dalam sistem pendidikan nasional. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada
penguasaan konten dan keterampilan teknis, serta penekanan pada hasil akademik,
telah mengabaikan pendidikan etika, filsafat, dan logika sebagai dasar
pembentukan kesadaran moral. Padahal, menurut Martha Nussbaum, tanpa pendidikan
humanistik yang mengajarkan berpikir kritis dan empati, generasi muda akan
tumbuh sebagai individu yang cakap secara intelektual namun tumpul secara
moral³. Ini pula yang menjelaskan mengapa di tengah meningkatnya angka
pendidikan formal, justru terjadi peningkatan perilaku menyimpang di kalangan
pelajar dan mahasiswa.
Lebih dari itu, kekosongan logos juga tercermin
dalam lemahnya wacana publik yang sehat dan rasional. Diskursus di media sosial
dan ruang-ruang politik sering kali dibanjiri oleh hoaks, ujaran kebencian, dan
polarisasi emosional tanpa basis argumentasi yang rasional. Dalam masyarakat
yang tidak terbiasa berpikir kritis dan dialogis, perbedaan pendapat mudah
berubah menjadi konflik. Hal ini menandakan bahwa logos sebagai sarana
deliberasi dan penyelesaian masalah kolektif belum menjadi budaya. Sebaliknya,
masyarakat sering terjebak dalam pseudo-logos—yakni rasionalitas semu
yang membungkus kepentingan pribadi atau kelompok dengan argumen yang tampak
rasional namun kosong secara etik⁴.
Ketiadaan logos dalam makna filosofisnya juga
berdampak pada hilangnya public reason atau “akal publik” yang
seharusnya menjadi fondasi demokrasi dan tatanan sosial yang adil. John Rawls
menekankan bahwa masyarakat demokratis harus dibangun di atas prinsip akal
publik yang memungkinkan warga negara mengambil keputusan moral berdasarkan
prinsip yang dapat diterima oleh semua orang secara rasional dan terbuka⁵.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, logika publik sering digantikan oleh
populisme, sentimen kelompok, dan dogma-dogma yang tidak teruji secara
rasional.
Dengan demikian, kekosongan logos bukan
hanya menunjukkan absennya kemampuan berpikir kritis, tetapi juga kegagalan
membentuk sistem nilai berbasis kesadaran, tanggung jawab, dan penghormatan
terhadap kemanusiaan. Masyarakat yang kehilangan mitos, namun tidak melatih
diri dengan logos, akan berada dalam kondisi krisis ganda: kehilangan akar
tradisi dan gagal membangun kesadaran moral modern. Untuk keluar dari krisis
ini, diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan, budaya politik, dan ruang
publik yang menjadikan logos sebagai fondasi hidup bersama—yakni logos yang
bukan sekadar nalar teknis, tetapi logos yang mengandung phronesis atau
kebijaksanaan etis dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek
Culture, trans. Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1986),
285–297.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 95–112.
[3]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why
Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press,
2010), 2–3.
[4]
Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism
and New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso, 2017),
44–46.
[5]
John Rawls, Political Liberalism (New York:
Columbia University Press, 1993), 212–225.
6.
Konsekuensi
Sosial: Disorientasi Nilai di Kalangan Remaja
Salah satu dampak paling nyata dari melemahnya
peran mitos dan kegagalan internalisasi logos dalam masyarakat Indonesia adalah
terjadinya disorientasi nilai di kalangan remaja. Disorientasi ini
ditandai oleh ketidakmampuan generasi muda dalam membedakan antara yang baik
dan buruk, penting dan remeh, serta benar dan salah. Remaja hidup dalam arus
perubahan sosial yang cepat, di mana fondasi nilai tradisional yang dulu
relatif stabil telah terkikis, sementara nilai baru yang berbasis pada nalar
kritis dan etika reflektif belum terbentuk secara memadai.
Dalam banyak kasus, remaja tidak lagi menjadikan
mitos, adat, atau narasi budaya sebagai pedoman perilaku. Di sisi lain, mereka
juga belum memiliki kapasitas intelektual yang cukup untuk menyaring dan
merasionalisasi informasi yang diterima dari media digital dan pergaulan
global. Hal ini menyebabkan mereka berada dalam situasi yang disebut oleh
Zygmunt Bauman sebagai “kebudayaan cair” (liquid modernity), yaitu
kondisi sosial yang tidak memiliki kepastian, arah, maupun struktur moral yang
stabil¹.
Fenomena ini dapat dilihat dari meningkatnya angka
kenakalan remaja, kekerasan di sekolah, penyalahgunaan narkoba, pornografi
digital, dan keterlibatan dalam tindakan destruktif yang mencerminkan nihilisme
nilai. Data dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mencatat
bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan dalam kasus
kekerasan seksual, perundungan, dan perilaku menyimpang lainnya yang melibatkan
anak-anak dan remaja sebagai pelaku maupun korban². Kondisi ini menunjukkan
lemahnya sistem internalisasi nilai moral dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat luas.
Lebih jauh, disorientasi nilai ini tidak hanya
bersifat perilaku, tetapi juga menyangkut krisis identitas. Erik Erikson
menjelaskan bahwa masa remaja adalah periode pembentukan identitas yang
krusial, di mana individu mencari makna dan jati diri melalui eksplorasi nilai
dan peran sosial. Ketika lingkungan tidak menyediakan struktur nilai yang kokoh
dan rasional, maka remaja cenderung mengalami role confusion atau
kekacauan peran³. Mereka menjadi rentan terhadap ideologi destruktif, gaya
hidup instan, dan ketergantungan pada validasi eksternal dari media sosial.
Media digital memainkan peran ambivalen dalam
krisis ini. Di satu sisi, ia membuka akses terhadap informasi dan ekspresi
diri; namun di sisi lain, ia juga menyebarkan budaya konsumtif, hedonistik, dan
narsistik. Dalam ruang digital, algoritma memproduksi realitas yang bias dan
mengarahkan preferensi remaja tanpa disadari. Sherry Turkle mencatat bahwa
meskipun remaja tampak “terhubung” secara daring, mereka justru semakin
kesepian dan terasing secara emosional⁴. Hal ini memperparah kerapuhan nilai
karena mereka kehilangan rujukan otoritatif, baik dari tradisi maupun akal
budi.
Ketidakhadiran mitos sebagai sistem nilai simbolik
dan kegagalan pendidikan logos sebagai pembentuk nalar kritis menyebabkan
terjadinya kekosongan moral struktural. Tanpa integrasi antara etika
tradisional dan rasionalitas modern, remaja tidak hanya kehilangan arah, tetapi
juga mengalami keterputusan intergenerasional. Mereka tidak mampu menjangkau
kebijaksanaan masa lalu, dan sekaligus tidak dibekali perangkat untuk membangun
masa depan secara reflektif. Inilah tantangan utama dalam membina generasi muda
Indonesia hari ini—yakni membangun sistem nilai yang hidup, kontekstual, dan
bermakna di tengah dunia yang berubah secara cepat.
Footnotes
[1]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 2–5.
[2]
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI),
“Laporan Tahunan Perlindungan Anak 2023,” diakses 20 Mei 2025, https://lpai.id/laporan2023.
[3]
Erik H. Erikson, Identity: Youth and Crisis
(New York: W. W. Norton, 1968), 128–134.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 11–21.
7.
Perspektif
Etika: Kebutuhan akan Kerangka Moral Baru
Di tengah kegagalan sistem nilai tradisional
(mitos) dan tidak efektifnya rasionalisasi moral modern (logos), masyarakat
Indonesia menghadapi kebutuhan mendesak untuk membangun kerangka moral baru
yang mampu menjawab tantangan etis kontemporer secara kontekstual, reflektif,
dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Kerangka moral ini
bukan sekadar daftar larangan dan anjuran, tetapi sebuah fondasi etika yang
memungkinkan individu dan komunitas menavigasi dunia yang kompleks dengan orientasi
pada kebaikan bersama, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap
martabat manusia.
Dalam filsafat moral, ada tiga tradisi utama yang
dapat menjadi inspirasi dalam merumuskan kerangka etika yang baru dan
kontekstual: etika deontologis, etika utilitarian, dan etika kebajikan (virtue ethics). Masing-masing memiliki kekuatan dan
keterbatasannya, namun dapat dipadukan untuk menghasilkan pendekatan etis yang
lebih komprehensif.
Pertama, etika deontologis, yang
dikembangkan secara sistematis oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan
moral adalah tindakan yang didasarkan pada kewajiban dan prinsip universal.
Menurut Kant, seseorang bertindak secara moral jika ia bertindak seolah-olah
prinsip tindakannya dapat dijadikan hukum umum bagi semua orang¹. Dalam konteks
Indonesia, pendekatan ini bisa memberi dasar moral yang kuat untuk menolak
relativisme etis dan memperkuat prinsip-prinsip dasar seperti kejujuran,
keadilan, dan penghormatan terhadap hak orang lain.
Kedua, etika utilitarian, seperti yang diajukan
oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, memandang bahwa tindakan moral adalah
tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak². Etika
ini dapat memberikan orientasi pragmatis dalam pengambilan kebijakan publik
yang mempertimbangkan kesejahteraan kolektif. Namun, pendekatan ini harus
dikritisi agar tidak mengorbankan nilai-nilai fundamental demi efisiensi sosial
atau mayoritas belaka.
Ketiga, etika kebajikan (virtue ethics),
yang diwariskan dari Aristoteles, memusatkan perhatian bukan pada aturan atau
akibat, tetapi pada pembentukan karakter moral manusia. Menurut Aristoteles,
kebahagiaan (eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui praktik kebajikan seperti
keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan³. Dalam konteks krisis nilai saat ini,
etika kebajikan sangat relevan untuk menekankan pentingnya pendidikan karakter
dan pembiasaan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, tantangan utama dalam penerapan
pendekatan-pendekatan etis ini di Indonesia adalah kurangnya integrasi
antara wacana etika dengan sistem pendidikan, kebijakan sosial, dan praktik
budaya. Banyak pendekatan moral bersifat normatif tetapi tidak
diinternalisasi dalam sistem sosial yang fungsional. Oleh karena itu, kebutuhan
akan kerangka moral baru bukan hanya bersifat filosofis, tetapi juga
institusional dan kultural.
Dalam kerangka ini, sejumlah pemikir kontemporer
mengusulkan pendekatan etika dialogis dan kontekstual. Hans Küng, misalnya,
melalui Declaration Toward a Global Ethic, menyerukan perlunya konsensus
etis lintas agama dan budaya yang menekankan pada tanggung jawab bersama,
toleransi, dan solidaritas global⁴. Di tingkat lokal, pendekatan ini dapat
disesuaikan dengan kearifan tradisional seperti gotong royong, musyawarah, dan
etika kepedulian komunitas, yang merupakan nilai-nilai hidup dalam budaya
Indonesia.
Maka dari itu, kerangka moral baru yang
dibutuhkan Indonesia bukanlah rekonstruksi total atau adopsi sepihak dari Barat,
melainkan sintesis kreatif antara nilai-nilai lokal, ajaran agama, dan prinsip
etika rasional yang universal. Hanya dengan landasan moral yang integratif ini,
masyarakat Indonesia dapat keluar dari krisis nilai dan membangun peradaban
yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
30–36.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George
Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 10–18.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1100b.
[4]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 65–78.
8.
Dimensi
Agama: Spiritualitas sebagai Penjaga Moral Publik
Di tengah krisis nilai akibat melemahnya peran
mitos dan belum mantapnya internalisasi logos sebagai kerangka moral, agama
tampil sebagai kekuatan transenden yang potensial untuk menjaga moralitas
publik dan membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih beradab, adil, dan
bermakna. Dalam konteks Indonesia yang plural dan religius, spiritualitas agama
bukan hanya menjadi dimensi privat, tetapi juga sumber etika kolektif yang
mengatur relasi antarindividu, antara manusia dan alam, serta antara warga dan
negara.
Agama, pada hakikatnya, mengandung sistem nilai
yang menyatu antara etika dan makna hidup. Seperti dinyatakan oleh Max Scheler,
agama memiliki daya “mengikat” yang mengatasi sekadar rasionalitas; ia
memberikan orientasi hidup dalam bentuk nilai-nilai luhur seperti keadilan,
kasih sayang, pengorbanan, dan pengampunan¹. Dalam masyarakat tradisional
Nusantara, ajaran agama tidak hanya hadir sebagai doktrin, tetapi melebur dalam
kehidupan sosial, budaya, dan ritus komunitas.
Di era modern, peran agama dalam ruang publik kerap
mengalami ambiguitas. Di satu sisi, agama tetap menjadi rujukan moral yang kuat
di tengah kerusakan nilai akibat sekularisasi dan individualisme. Di sisi lain,
agama juga dapat tereduksi menjadi formalitas simbolik tanpa kedalaman
spiritual, atau bahkan dikomodifikasi secara politik dan ekonomi. Karenanya,
yang dibutuhkan bukan sekadar “agama luar” (ritual dan institusi), tetapi “agama
batin” yang menumbuhkan kesadaran transenden dan empati sosial. Hal ini
sejalan dengan pandangan Al-Ghazali bahwa agama sejati adalah agama yang
menumbuhkan kebersihan hati (tazkiyah al-nafs), bukan sekadar kepatuhan
lahiriah².
Dalam konteks Indonesia, spiritualitas agama
memiliki peran historis dan strategis dalam pembentukan moral publik. Sejak
masa perjuangan kemerdekaan, ajaran agama menjadi inspirasi etika kolektif
untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan nilai kemanusiaan. Pancasila sebagai
dasar negara pun merefleksikan semangat spiritual lintas agama yang menjunjung
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber nilai dan moral kebangsaan. Bung Hatta
bahkan menekankan bahwa pembangunan nasional tidak boleh kehilangan dimensi
spiritual, karena masyarakat yang kehilangan Tuhan akan kehilangan arah hidup³.
Namun tantangan kontemporer muncul ketika
spiritualitas agama tidak lagi diajarkan sebagai pengalaman yang transformatif,
melainkan sebagai dogma yang tidak membentuk akhlak. Pendidikan agama di
sekolah, misalnya, sering hanya menekankan hafalan dan pengetahuan kognitif,
tanpa memperkuat dimensi afektif dan praksis etis. Akibatnya, banyak remaja
yang secara formal religius tetapi secara moral kehilangan integritas. Menurut
K.H. Sahal Mahfudh, agama harus tampil sebagai nilai hidup yang menyatu
dalam tindakan sosial, bukan sebagai wacana normatif belaka⁴.
Dalam perspektif global, Hans Küng melalui proyek Global
Ethic menyerukan pentingnya agama-agama dunia mengambil peran aktif dalam
membangun peradaban etis bersama yang menolak kekerasan, ketidakadilan, dan degradasi
moral⁵. Di tengah keterpurukan nilai akibat krisis modernitas, agama—melalui
spiritualitasnya—dapat menjadi “penjaga nurani publik” yang menyuarakan
kebaikan universal sekaligus membentuk karakter yang berlandaskan kasih sayang
dan tanggung jawab.
Dengan demikian, spiritualitas agama yang hidup
dan reflektif merupakan unsur vital dalam rekonstruksi moral masyarakat
Indonesia. Ia bukan alternatif dari mitos dan logos, tetapi bisa menjadi
titik temu antara keduanya: menghidupkan nilai simbolik yang bermakna (seperti
mitos), namun sekaligus mengakar pada refleksi rasional dan etika tanggung
jawab (seperti logos). Dalam konteks pluralisme dan dinamika sosial yang cepat,
spiritualitas agama perlu terus dihidupkan dalam ruang pendidikan, budaya, dan
kebijakan publik sebagai pilar utama pemulihan moral bangsa.
Footnotes
[1]
Max Scheler, On the Eternal in Man, trans.
Bernard Noble (New York: Harper & Row, 1960), 79–82.
[2]
Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, Jilid I
(Beirut: Dār al-Fikr, 1995), 46–49.
[3]
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta:
Tintamas, 1960), 22–25.
[4]
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial
(Yogyakarta: LKiS, 1994), 18–21.
[5]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 11–15.
9.
Membangun
Jalan Tengah: Pendidikan Humanis dan Transformatif
Menghadapi krisis nilai akibat keterputusan dari mitos
dan kegagalan internalisasi logos, pendidikan menjadi ruang strategis
untuk membangun jalan tengah yang mampu memulihkan kesadaran moral, etika
sosial, dan kapasitas berpikir reflektif di kalangan generasi muda. Jalan
tengah ini adalah pendidikan yang bersifat humanis dan transformatif—yakni
pendidikan yang tidak hanya mentransfer pengetahuan teknis, tetapi juga
menumbuhkan kepribadian utuh, kepekaan sosial, dan tanggung jawab etis.
Pendidikan humanis menempatkan manusia sebagai pusat perhatian dalam
proses belajar, dengan memperhatikan aspek intelektual, emosional, spiritual,
dan sosial peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pelopor pendidikan Indonesia,
menekankan bahwa pendidikan sejati adalah upaya menuntun segala kekuatan
kodrati yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat¹.
Pendekatan ini menolak pola pendidikan otoriter dan mekanistik, dan justru
membangun kemandirian berpikir serta kematangan karakter.
Dalam skala global, pendekatan serupa dikembangkan
oleh Paulo Freire melalui konsep “pendidikan yang membebaskan”, di mana
peserta didik bukan dianggap sebagai objek pasif yang dijejali pengetahuan,
melainkan subjek aktif yang berpartisipasi dalam proses reflektif dan
transformatif. Menurut Freire, pendidikan harus mendorong kesadaran kritis (conscientização)
agar individu mampu memahami realitas sosialnya dan berperan dalam
mengubahnya². Model ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana banyak
peserta didik tumbuh dalam lingkungan yang sarat ketimpangan, konflik nilai,
dan tekanan budaya konsumtif.
Pendidikan transformatif juga mengandaikan
kurikulum yang kaya akan dimensi etika, estetika, dan spiritualitas, bukan
semata muatan kognitif. Martha Nussbaum menegaskan bahwa tanpa pendidikan
humaniora—seperti filsafat, sejarah, dan seni—maka demokrasi akan kehilangan
fondasi moral dan empatik yang dibutuhkan untuk menjaga kemanusiaan dalam
masyarakat modern³. Sayangnya, dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini,
aspek-aspek tersebut justru semakin terpinggirkan oleh dominasi ujian berbasis
angka, logika kompetitif, dan tekanan administratif.
Lebih jauh, pendidikan humanis harus menjadi medan
integratif bagi dimensi-dimensi budaya, agama, dan rasionalitas kritis. Di
sinilah konsep jalan tengah menemukan bentuk praksisnya: membina generasi
yang mampu menghargai nilai-nilai luhur warisan budaya (mitos), berpikir kritis
dan argumentatif (logos), serta bertindak dengan integritas moral dan empati
sosial (etos). Ini berarti pendidikan harus melampaui dikotomi lama antara
konservatisme tradisional dan modernisme teknokratis.
Dalam konteks ini, peran guru sangat menentukan.
Guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan fasilitator perkembangan nilai,
nalar, dan karakter peserta didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Nel Noddings
dalam teori etika kepedulian (ethics of care), relasi pendidikan yang
bermakna hanya dapat tumbuh jika berakar pada kepedulian autentik antara
pendidik dan peserta didik⁴. Maka, sistem pendidikan perlu pula dibenahi agar
menciptakan ekosistem yang manusiawi, kolaboratif, dan berorientasi pada
pembangunan moralitas bersama.
Dengan demikian, pendidikan humanis dan
transformatif adalah jalan tengah yang mampu menjembatani krisis antara mitos
yang ditinggalkan dan logos yang belum terbangun. Ia bukan sekadar wacana,
melainkan proyek sosial-kultural yang memerlukan dukungan kebijakan,
partisipasi masyarakat, serta komitmen para pendidik dalam membentuk generasi
yang bernalar, berbudaya, dan berakhlak.
Footnotes
[1]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1967), 10–12.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 30–39.
[3]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why
Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press,
2010), 6–12.
[4]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to
Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press,
2003), 174–177.
10. Penutup: Menuju Sintesis Baru antara Mitos, Logos,
dan Etos
Krisis nilai yang melanda masyarakat Indonesia
kontemporer bukanlah semata hasil dari degradasi moral individu, tetapi
merupakan manifestasi dari kegagalan kolektif dalam melakukan transisi kultural
yang utuh dari mitos ke logos, dari tatanan simbolik-tradisional ke nalar
reflektif yang seharusnya menopang sistem etika publik. Masyarakat tidak lagi
hidup dalam kepastian mitologis, namun juga belum mampu membangun rasionalitas
etis yang mapan. Maka lahirlah kekosongan makna, disorientasi nilai, dan
dekadensi moral, khususnya di kalangan generasi muda.
Namun demikian, situasi ini bukan akhir dari
perjalanan sejarah budaya bangsa. Justru di sinilah peluang munculnya suatu sintesis
baru yang produktif—sebuah integrasi kreatif antara kekuatan simbolik
mitos, kejernihan nalar logos, dan praksis moral dalam bentuk etos. Mitos
tidak harus ditolak sepenuhnya, karena dalam narasi-narasi kolektif tersebut
tersimpan memori budaya, nilai-nilai kebijaksanaan, dan makna transendental
yang masih relevan jika diinterpretasikan secara kontekstual dan kritis¹. Logos
pun tidak boleh hanya menjadi rasionalitas teknis, tetapi harus dikembangkan
sebagai rasionalitas komunikatif dan reflektif yang mampu membimbing tindakan
moral². Etos, sebagai sistem nilai yang hidup dalam kebiasaan dan praksis
sosial, harus dibangun melalui pendidikan, keteladanan, dan institusi yang
berfungsi secara etis³.
Proyek besar ini mengharuskan Indonesia untuk melampaui
dikotomi antara tradisionalisme kaku dan modernisme instrumental.
Diperlukan paradigma kebudayaan yang inklusif, yang menghidupkan kembali
kearifan lokal (local wisdom), memperkuat kapasitas nalar kritis (critical
thinking), dan menumbuhkan etika tanggung jawab bersama (communal responsibility).
Dalam konteks ini, pendidikan memegang peran sentral—bukan hanya sebagai media
transmisi ilmu pengetahuan, tetapi sebagai medan formasi manusia seutuhnya:
makhluk budaya, berpikir, dan bermoral⁴.
Inspirasi dapat diambil dari proyek-proyek pemikiran
yang memadukan spiritualitas dan rasionalitas, seperti yang dikembangkan oleh
Nurcholish Madjid dalam gagasan tentang “Islam sebagai etika keadaban”
yang memadukan dimensi keimanan, nalar, dan tanggung jawab sosial⁵. Demikian
pula dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah alat untuk membentuk
manusia merdeka yang tahu arah, punya hati, dan mampu bertindak secara bijak.
Oleh karena itu, masa depan bangsa ini sangat
bergantung pada keberanian dan kecerdasan kolektif untuk merumuskan kembali
sistem nilai yang tidak terjebak pada nostalgia masa lalu maupun euforia
modernitas, melainkan membangun sintesis kreatif yang merekatkan
identitas budaya, daya kritis, dan komitmen moral. Sintesis antara mitos,
logos, dan etos bukanlah utopia, melainkan proyek kebudayaan yang harus dimulai
sekarang—di ruang kelas, dalam keluarga, di media, dan di seluruh struktur
masyarakat.
Footnotes
[1]
Mircea Eliade, Myth and Reality, trans.
Willard R. Trask (New York: Harper & Row, 1963), 15–28.
[2]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge: MIT Press, 1990), 43–58.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 149–163.
[4]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, ed. Majelis
Luhur Taman Siswa (Yogyakarta: MLTS, 1967), 18–21.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1992), 133–138.
Daftar Pustaka
Appadurai, A. (1996). Modernity at large:
Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity
Press.
Dewantara, K. H. (1967). Pendidikan. Majelis
Luhur Taman Siswa.
Durkheim, E. (1997). The division of labor in
society (W. D. Halls, Trans.). Free Press. (Original work published 1893)
Eliade, M. (1963). Myth and reality (W. R.
Trask, Trans.). Harper & Row.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and
crisis. W. W. Norton.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Geertz, H. (1961). The Javanese family: A study
of kinship and socialization. Free Press.
Giddens, A. (1990). The consequences of
modernity. Stanford University Press.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek
philosophy: Vol. 1. The earlier Presocratics and the Pythagoreans.
Cambridge University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.).
Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Hatta, M. (1960). Demokrasi kita. Tintamas.
Jaeger, W. (1986). Paideia: The ideals of Greek
culture (G. Highet, Trans.). Oxford University Press. (Original work
published 1934)
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1785)
Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan,
mentalitas, dan pembangunan. Gramedia.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In
search of a new world ethic. Crossroad.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan peradaban.
Paramadina.
Mattulada. (1985). Latoa: Satu lukisan analitis
terhadap antropologi politik orang Bugis. LP3ES.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher,
Ed.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1861)
Noddings, N. (2003). Caring: A feminine approach
to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir
cultural studies atas matinya makna. Jalasutra.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Scheler, M. (1960). On the eternal in man
(B. Noble, Trans.). Harper & Row.
Segal, R. A. (2004). Myth: A very short
introduction. Oxford University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Vernant, J.-P. (2006). Myth and thought among
the Greeks (J. Lloyd & J. Fort, Trans.). Zone Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar