Kamis, 05 Juni 2025

Dari Mitos ke Logos yang Tertunda: Kegagalan Masyarakat dalam Berpindah dari Mythos ke Logos Secara Utuh

Dari Mitos ke Logos yang Tertunda

Kegagalan Masyarakat dalam Berpindah dari Mythos ke Logos Secara Utuh


Alihkan ke: Etika dalam Filsafat.

Etika Islam, Etika Kepedulian, Etika dan Etiket.


Opini Penulis

Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, masyarakat Indonesia mengalami pergeseran budaya yang mencolok—yakni meninggalkan mitos sebagai landasan nilai dan pengendali perilaku, namun tanpa diiringi peralihan menuju logos, atau nalar kritis. Hal ini berbeda dari transformasi intelektual masyarakat Yunani kuno yang secara historis berpindah dari dominasi mitos menuju pemikiran rasional sebagai fondasi peradaban. Di Indonesia, mitos yang dahulu berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga etika dan tatanan perilaku, terutama di kalangan remaja, kini ditinggalkan karena dianggap ketinggalan zaman dan tidak relevan. Sayangnya, kekosongan ini tidak diisi oleh nalar kritis atau pendidikan etika berbasis rasionalitas. Guru dan orang tua berharap anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan beradab, namun kenyataannya, banyak remaja justru terjerumus ke dalam perilaku menyimpang. Masyarakat telah kehilangan kendali moral, karena kehilangan dua hal sekaligus: otoritas simbolik mitos dan kekuatan pencerahan logos. Inilah krisis nilai yang tengah kita hadapi—yakni kegagalan membangun jembatan dari 'tradisi' menuju 'rasionalitas', sehingga ruang kosong di antara keduanya dipenuhi oleh disorientasi moral yang tak mudah diperbaiki.


PEMBAHASAN

Perubahan Nilai dalam Masyarakat Indonesia


1.           Pendahuluan: Krisis Moral dalam Transformasi Budaya

Transformasi budaya yang terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir telah menimbulkan dinamika sosial yang kompleks dan kontradiktif. Di satu sisi, masyarakat semakin terbuka terhadap modernisasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi informasi. Namun di sisi lain, transformasi ini justru menyisakan kekosongan nilai yang signifikan—terutama dalam aspek moral dan etika generasi muda. Krisis ini bukan semata akibat dari kemajuan, tetapi lebih mendalam: masyarakat Indonesia tampaknya telah meninggalkan mitos sebagai instrumen pengatur nilai-nilai kolektif, tanpa beranjak secara utuh menuju logos atau rasionalitas kritis sebagai fondasi etis baru.

Dalam lintasan sejarah intelektual, masyarakat Yunani kuno pernah mengalami transisi mendalam dari mythos ke logos, dari narasi-narasi religio-kultural menuju rasionalitas sistematis dan berpikir kritis sebagai dasar pembentukan etika publik dan struktur pengetahuan. Pergeseran ini menandai kelahiran filsafat sebagai upaya manusia untuk memahami realitas dengan nalar, bukan sekadar warisan simbolik atau takhayul leluhur. Sejarawan seperti Jean-Pierre Vernant menegaskan bahwa logos dalam konteks Yunani bukan sekadar berpikir rasional, tetapi juga mencerminkan keteraturan, argumentasi, dan prinsip dialogis dalam kehidupan bersama¹.

Berbeda dengan model historis tersebut, masyarakat Indonesia justru mengalami transisi yang terputus. Mitos ditinggalkan sebagai "warisan masa lalu" yang dianggap tidak ilmiah dan irasional, namun penggantinya bukanlah logos yang mengandung kedalaman reflektif dan etis, melainkan seringkali sekadar rasionalitas teknologis, pragmatisme konsumtif, dan individualisme dangkal. Dalam kajian sosiologis, ini menunjukkan bentuk disenchantment atau penghilangan pesona makna, seperti yang pernah diungkap oleh Max Weber sebagai konsekuensi modernitas yang tidak dibarengi oleh re-enchantment melalui sistem nilai baru².

Kekosongan nilai ini terlihat nyata dalam kehidupan remaja yang mengalami disorientasi moral akut. Norma-norma yang dulu dijaga oleh mitos dan simbol budaya kini kehilangan daya pengikat. Di sisi lain, masyarakat belum secara serius membudayakan pendidikan moral berbasis refleksi kritis, padahal logos bukan hanya menyangkut kecerdasan intelektual, tetapi juga kemampuan etis dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Dalam kenyataan sehari-hari, banyak orang tua dan pendidik menginginkan anak-anak menjadi pribadi yang baik dan cerdas, namun pendekatan yang digunakan tidak membekali mereka dengan kesadaran moral yang dibangun atas dasar pemahaman rasional dan spiritual yang mendalam³.

Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia tampaknya terjebak dalam ruang hampa antara dua dunia: dunia lama yang ditanggalkan, dan dunia baru yang belum dihayati secara filosofis. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara historis, filosofis, kritis, etis, dan agamis mengenai kegagalan masyarakat dalam berpindah dari mythos ke logos secara utuh. Kajian ini penting bukan hanya untuk memahami akar dari krisis moral kontemporer, tetapi juga sebagai ikhtiar untuk merumuskan kembali strategi pembudayaan nilai yang kontekstual dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks, trans. Janet Lloyd and Jeff Fort (New York: Zone Books, 2006), 3–9.

[2]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 105–117.

[3]                Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 15–20.


2.           Mitos dan Logos dalam Sejarah Intelektual Yunani Kuno

Peradaban Yunani kuno memainkan peran krusial dalam sejarah perkembangan intelektual umat manusia, terutama melalui proses transformatif dari mythos ke logos—sebuah perubahan dari cara berpikir berbasis narasi mitologis menuju pendekatan rasional dan argumentatif. Pada awalnya, masyarakat Yunani menjelaskan realitas melalui kisah-kisah mitologis yang diwariskan secara turun-temurun, seperti yang terekam dalam karya-karya Homer dan Hesiod. Mitos digunakan untuk memberi makna atas fenomena alam, struktur sosial, dan eksistensi manusia secara umum. Dalam konteks ini, mythos berfungsi bukan hanya sebagai bentuk kepercayaan, tetapi juga sebagai fondasi bagi stabilitas budaya dan etika sosial¹.

Namun, seiring berkembangnya pemikiran di polis-polis Yunani, terjadi pergeseran radikal menuju cara berpikir yang menekankan pada rasionalitas, analisis, dan observasi sistematis—apa yang kemudian disebut sebagai logos. Pergeseran ini bukan berarti penolakan total terhadap mitos, tetapi sebuah penataan ulang cara berpikir yang menuntut koherensi logis dan pembuktian argumentatif. Para filsuf pra-Sokratik seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos memulai tradisi ini dengan mencari prinsip-prinsip dasar (archê) alam semesta bukan melalui mitos, tetapi melalui pengamatan rasional².

Salah satu tonggak penting dalam peralihan ini adalah munculnya metode dialektika yang diperkenalkan oleh Socrates dan dikembangkan secara sistematis oleh Plato dan Aristoteles. Logos, dalam pemahaman mereka, tidak hanya mencakup kemampuan bernalar, tetapi juga keterarahan pada kebenaran dan keadilan. Logos menjadi prinsip yang memungkinkan manusia menata kehidupan sosial dan politik secara rasional dan etis. Dengan demikian, pergeseran dari mythos ke logos merupakan proses intelektual yang kompleks, yang tidak hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga merumuskan ulang relasi manusia dengan alam, masyarakat, dan nilai-nilai moral³.

Jean-Pierre Vernant menunjukkan bahwa pergeseran ini bersifat struktural: mitos beroperasi dalam pola naratif tertutup yang memaparkan dunia dalam bentuk simbol dan personifikasi, sementara logos membuka ruang diskursus rasional di mana segala klaim dapat ditinjau kembali melalui argumen dan pembuktian. Dalam hal ini, mitos mengikat melalui konsensus budaya, sementara logos membebaskan melalui pertanyaan dan kritik⁴. Hal ini menunjukkan bahwa transisi dari mitos ke logos bukanlah sekadar perubahan isi pemikiran, tetapi juga transformasi cara berpikir yang memungkinkan lahirnya filsafat, ilmu pengetahuan, dan sistem hukum rasional.

Oleh karena itu, pengalaman Yunani kuno mengajarkan bahwa suatu masyarakat yang meninggalkan mitos harus memiliki kesiapan intelektual dan institusional untuk mengadopsi logos sebagai fondasi baru kehidupan bersama. Tanpa kesiapan ini, proses transisi justru dapat menimbulkan kekosongan nilai yang berujung pada disorientasi moral. Ini pula yang menjadi titik tolak penting bagi refleksi atas kondisi masyarakat Indonesia kontemporer, yang tampaknya gagal membangun jembatan filosofis dari mitos ke logos secara utuh.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 10–14.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 40–58.

[3]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 30–41.

[4]                Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks, trans. Janet Lloyd and Jeff Fort (New York: Zone Books, 2006), 23–37.


3.           Peran Mitos dalam Budaya Tradisional Nusantara

Dalam khazanah budaya tradisional Nusantara, mitos memegang peran yang sangat penting sebagai medium pembentuk identitas kolektif, sistem pengetahuan lokal, dan mekanisme pengendali perilaku sosial. Sebagai narasi sakral yang menjelaskan asal-usul kosmos, manusia, dan tatanan dunia, mitos menjadi fondasi budaya yang hidup dalam ritus, hukum adat, simbol-simbol, dan struktur sosial masyarakat. Dalam konteks ini, mitos tidak hanya berfungsi sebagai bentuk cerita tradisional, tetapi juga sebagai pedoman etis yang membimbing perilaku anggota masyarakat dari generasi ke generasi¹.

Dalam masyarakat agraris-tradisional seperti di Jawa, Bali, Sumatra, dan wilayah-wilayah timur Indonesia, mitos mengikat masyarakat melalui narasi leluhur, alam semesta, dan dunia gaib. Mitos Dewi Sri, misalnya, bukan hanya menjelaskan kesuburan tanah dan panen padi, tetapi juga mengajarkan nilai keselarasan antara manusia dan alam, serta pentingnya penghormatan terhadap kerja keras dan solidaritas sosial². Mitos semacam ini bersifat edukatif dan normatif—ia mendidik sekaligus mengatur. Di Minangkabau, mitos tentang asal-usul nenek moyang dari dataran tinggi dan aturan matrilineal yang diwariskan melalui narasi suci menjadi dasar legitimasi sistem sosial yang kompleks³.

Fungsi sosial dari mitos dalam budaya Nusantara dapat dilihat dari tiga aspek utama: (1) transmisi nilai moral, (2) legitimasi struktur kekuasaan, dan (3) mekanisme kontrol sosial. Dalam konteks transmisi nilai, mitos digunakan untuk menanamkan etika komunitas, seperti hormat kepada orang tua, menjauhi keserakahan, dan hidup selaras dengan lingkungan. Dalam hal legitimasi kekuasaan, banyak kerajaan tradisional seperti Majapahit atau Kerajaan Bugis-Makassar mengaitkan silsilah raja dengan figur-figur mitologis atau keturunan dewa, guna memperkuat otoritas simboliknya⁴. Sedangkan dalam mekanisme kontrol sosial, mitos berfungsi menakut-nakuti atau memperingatkan melalui narasi simbolik, seperti larangan memasuki hutan tertentu karena ada “penunggu” gaib, yang sebenarnya berfungsi menjaga kelestarian ekologis dan ketertiban wilayah.

Dengan demikian, mitos dalam tradisi Nusantara tidak hanya menghadirkan penjelasan atas dunia, tetapi juga membentuk struktur pemahaman tentang hidup yang integral. Clifford Geertz menyebut hal ini sebagai “weltanschauung” atau pandangan dunia, di mana mitos mengandung kekuatan simbolik yang menyatukan nilai, makna, dan praktik sosial ke dalam sistem budaya yang stabil⁵. Oleh karena itu, dalam masyarakat pra-modern, tidak ada pemisahan tajam antara mitos, agama, moralitas, dan hukum.

Namun, dalam proses modernisasi dan sekularisasi yang berlangsung pasca-kolonialisme dan pasca-Orde Baru, fungsi mitos ini mengalami disrupsi besar. Ketika pendidikan modern tidak menggantinya dengan kerangka logos yang rasional dan etis, maka ruang kosong yang ditinggalkan oleh mitos tersebut justru menjadi celah bagi lahirnya nihilisme nilai dan dekadensi moral. Kehilangan mitos tanpa hadirnya logos adalah kehilangan ganda: kita tidak lagi terikat oleh nilai tradisi, namun juga tidak dibekali kemampuan kritis untuk menilai baik-buruk secara rasional dan bertanggung jawab. Di sinilah terletak akar dari krisis nilai yang melanda masyarakat Indonesia kontemporer.


Footnotes

[1]                Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 115–118.

[2]                Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization (New York: Free Press, 1961), 45–49.

[3]                Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 72–76.

[4]                Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Jakarta: LP3ES, 1985), 28–32.

[5]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–93.


4.           Modernisasi dan Erosi Fungsi Mitos

Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur masyarakat Indonesia, baik secara sosial, budaya, maupun epistemologis. Dalam proses ini, fungsi mitos yang dahulu begitu vital dalam menjaga kohesi sosial dan moralitas publik mengalami erosi yang signifikan. Modernisasi, yang oleh Anthony Giddens dipahami sebagai “perubahan sistemik dalam organisasi kehidupan sosial yang berlangsung terus-menerus dalam skala besar”¹, tidak hanya menciptakan rasionalisasi institusi, tetapi juga menyebabkan dislokasi nilai-nilai tradisional yang sebelumnya diikat oleh narasi mitologis.

Modernisasi memperkenalkan cara pandang rasional-instrumental dan logika ilmiah sebagai tolok ukur kebenaran, sehingga bentuk-bentuk pengetahuan lama—termasuk mitos—dipinggirkan sebagai sesuatu yang irasional, usang, dan tidak relevan dengan realitas modern. Dalam kerangka modernitas yang cenderung teknokratis, kebenaran direduksi menjadi sesuatu yang terukur dan dapat dibuktikan secara empiris. Akibatnya, mitos sebagai ekspresi nilai-nilai simbolik, spiritual, dan kultural kehilangan kekuatan hegemoniknya².

Proses ini sangat terlihat dalam konteks pendidikan dan media. Sistem pendidikan nasional lebih menekankan rasionalitas saintifik dan logika fungsional tanpa menyeimbangkan dengan pembentukan karakter berbasis nilai-nilai kultural dan spiritual. Sementara itu, media massa dan media sosial memproduksi budaya instan, visual, dan konsumtif yang mempercepat desakralisasi ruang-ruang nilai³. Dalam ruang publik yang digerakkan oleh kapitalisme informasi, mitos-mitos lokal tidak hanya kehilangan relevansi, tetapi juga seringkali diposisikan sebagai bahan hiburan semata, bukan sebagai penopang moralitas atau kebijaksanaan lokal.

Proses globalisasi juga berperan dalam mempercepat erosi ini. Arus budaya global yang membawa nilai-nilai liberalisme individualistik telah menggantikan sistem nilai komunal yang dahulu dijaga oleh mitos. Seperti yang dicatat oleh Arjun Appadurai, globalisasi budaya menciptakan lanskap di mana imajinasi massa lebih dibentuk oleh media transnasional ketimbang narasi lokal⁴. Akibatnya, generasi muda Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang tercerabut dari akar budaya mereka sendiri. Mereka tidak lagi terikat oleh kisah-kisah mitologis yang sarat makna moral, tetapi lebih akrab dengan narasi pop global yang nihilistik, permisif, dan hedonistik.

Erosi fungsi mitos ini memiliki dampak serius terhadap struktur etika masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Emile Durkheim, ketika sistem simbolik dan kepercayaan bersama melemah, masyarakat mengalami anomie—kehilangan arah dan krisis norma yang menyebabkan kekacauan moral dan sosial⁵. Inilah yang mulai tampak dalam masyarakat Indonesia: meningkatnya kenakalan remaja, kekerasan di sekolah, krisis identitas, dan lemahnya rasa tanggung jawab sosial. Ironisnya, masyarakat meninggalkan mitos sebagai pengikat nilai, tetapi tidak menyediakan logos sebagai pengganti yang reflektif dan rasional.

Dengan demikian, modernisasi tanpa humanisasi telah melahirkan kekosongan nilai. Kehidupan modern yang dibangun di atas kemajuan teknologi dan efisiensi sistem ternyata gagal membentuk manusia yang bermoral, karena ia kehilangan makna—suatu hal yang dulu dihadirkan oleh mitos. Di sinilah letak tantangan besar masyarakat Indonesia: bagaimana membangun kembali landasan etika dan spiritualitas tanpa terjebak nostalgia terhadap masa lalu, dan tanpa menyerah pada kehampaan budaya modern.


Footnotes

[1]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 4–5.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 143–150.

[3]                Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 21–30.

[4]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27–48.

[5]                Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1997), 256–262.


5.           Kekosongan Logos: Kegagalan Rasionalisasi Moral

Jika modernisasi telah melemahkan posisi mitos dalam struktur budaya masyarakat Indonesia, maka persoalan berikutnya yang lebih krusial adalah gagalnya masyarakat—terutama dalam dunia pendidikan dan wacana publik—menggantikan posisi mitos dengan logos sebagai sumber nilai moral dan etika rasional. Dalam sejarah peradaban Yunani, peralihan dari mythos ke logos tidak sekadar perubahan isi, tetapi perubahan mendasar dalam metode berpikir dan menalar tentang dunia, kebaikan, dan kehidupan bersama. Logos hadir sebagai bentuk kesadaran kritis yang menyatukan antara nalar dan etika, antara berpikir dan bertindak secara bertanggung jawab¹.

Namun, dalam konteks Indonesia kontemporer, logos sebagai bentuk pemikiran rasional dan etis tidak berkembang secara utuh. Rasionalitas yang dikembangkan dalam masyarakat lebih cenderung bersifat teknis, pragmatis, dan instrumental—terutama dalam pendidikan, politik, dan ekonomi—tanpa menyentuh dimensi moral yang mendalam. Hal ini sesuai dengan kritik Jürgen Habermas bahwa modernitas seringkali hanya mengembangkan instrumental rationality (rasionalitas teknis) tanpa communicative rationality (rasionalitas dialogis dan etis)². Akibatnya, masyarakat cerdas secara teknologi, namun miskin secara etika.

Kegagalan rasionalisasi moral ini tampak nyata dalam sistem pendidikan nasional. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada penguasaan konten dan keterampilan teknis, serta penekanan pada hasil akademik, telah mengabaikan pendidikan etika, filsafat, dan logika sebagai dasar pembentukan kesadaran moral. Padahal, menurut Martha Nussbaum, tanpa pendidikan humanistik yang mengajarkan berpikir kritis dan empati, generasi muda akan tumbuh sebagai individu yang cakap secara intelektual namun tumpul secara moral³. Ini pula yang menjelaskan mengapa di tengah meningkatnya angka pendidikan formal, justru terjadi peningkatan perilaku menyimpang di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Lebih dari itu, kekosongan logos juga tercermin dalam lemahnya wacana publik yang sehat dan rasional. Diskursus di media sosial dan ruang-ruang politik sering kali dibanjiri oleh hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi emosional tanpa basis argumentasi yang rasional. Dalam masyarakat yang tidak terbiasa berpikir kritis dan dialogis, perbedaan pendapat mudah berubah menjadi konflik. Hal ini menandakan bahwa logos sebagai sarana deliberasi dan penyelesaian masalah kolektif belum menjadi budaya. Sebaliknya, masyarakat sering terjebak dalam pseudo-logos—yakni rasionalitas semu yang membungkus kepentingan pribadi atau kelompok dengan argumen yang tampak rasional namun kosong secara etik⁴.

Ketiadaan logos dalam makna filosofisnya juga berdampak pada hilangnya public reason atau “akal publik” yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi dan tatanan sosial yang adil. John Rawls menekankan bahwa masyarakat demokratis harus dibangun di atas prinsip akal publik yang memungkinkan warga negara mengambil keputusan moral berdasarkan prinsip yang dapat diterima oleh semua orang secara rasional dan terbuka⁵. Sayangnya, dalam konteks Indonesia, logika publik sering digantikan oleh populisme, sentimen kelompok, dan dogma-dogma yang tidak teruji secara rasional.

Dengan demikian, kekosongan logos bukan hanya menunjukkan absennya kemampuan berpikir kritis, tetapi juga kegagalan membentuk sistem nilai berbasis kesadaran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Masyarakat yang kehilangan mitos, namun tidak melatih diri dengan logos, akan berada dalam kondisi krisis ganda: kehilangan akar tradisi dan gagal membangun kesadaran moral modern. Untuk keluar dari krisis ini, diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan, budaya politik, dan ruang publik yang menjadikan logos sebagai fondasi hidup bersama—yakni logos yang bukan sekadar nalar teknis, tetapi logos yang mengandung phronesis atau kebijaksanaan etis dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, trans. Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1986), 285–297.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 95–112.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 2–3.

[4]                Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power, trans. Erik Butler (London: Verso, 2017), 44–46.

[5]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 212–225.


6.           Konsekuensi Sosial: Disorientasi Nilai di Kalangan Remaja

Salah satu dampak paling nyata dari melemahnya peran mitos dan kegagalan internalisasi logos dalam masyarakat Indonesia adalah terjadinya disorientasi nilai di kalangan remaja. Disorientasi ini ditandai oleh ketidakmampuan generasi muda dalam membedakan antara yang baik dan buruk, penting dan remeh, serta benar dan salah. Remaja hidup dalam arus perubahan sosial yang cepat, di mana fondasi nilai tradisional yang dulu relatif stabil telah terkikis, sementara nilai baru yang berbasis pada nalar kritis dan etika reflektif belum terbentuk secara memadai.

Dalam banyak kasus, remaja tidak lagi menjadikan mitos, adat, atau narasi budaya sebagai pedoman perilaku. Di sisi lain, mereka juga belum memiliki kapasitas intelektual yang cukup untuk menyaring dan merasionalisasi informasi yang diterima dari media digital dan pergaulan global. Hal ini menyebabkan mereka berada dalam situasi yang disebut oleh Zygmunt Bauman sebagai “kebudayaan cair” (liquid modernity), yaitu kondisi sosial yang tidak memiliki kepastian, arah, maupun struktur moral yang stabil¹.

Fenomena ini dapat dilihat dari meningkatnya angka kenakalan remaja, kekerasan di sekolah, penyalahgunaan narkoba, pornografi digital, dan keterlibatan dalam tindakan destruktif yang mencerminkan nihilisme nilai. Data dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan dalam kasus kekerasan seksual, perundungan, dan perilaku menyimpang lainnya yang melibatkan anak-anak dan remaja sebagai pelaku maupun korban². Kondisi ini menunjukkan lemahnya sistem internalisasi nilai moral dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.

Lebih jauh, disorientasi nilai ini tidak hanya bersifat perilaku, tetapi juga menyangkut krisis identitas. Erik Erikson menjelaskan bahwa masa remaja adalah periode pembentukan identitas yang krusial, di mana individu mencari makna dan jati diri melalui eksplorasi nilai dan peran sosial. Ketika lingkungan tidak menyediakan struktur nilai yang kokoh dan rasional, maka remaja cenderung mengalami role confusion atau kekacauan peran³. Mereka menjadi rentan terhadap ideologi destruktif, gaya hidup instan, dan ketergantungan pada validasi eksternal dari media sosial.

Media digital memainkan peran ambivalen dalam krisis ini. Di satu sisi, ia membuka akses terhadap informasi dan ekspresi diri; namun di sisi lain, ia juga menyebarkan budaya konsumtif, hedonistik, dan narsistik. Dalam ruang digital, algoritma memproduksi realitas yang bias dan mengarahkan preferensi remaja tanpa disadari. Sherry Turkle mencatat bahwa meskipun remaja tampak “terhubung” secara daring, mereka justru semakin kesepian dan terasing secara emosional⁴. Hal ini memperparah kerapuhan nilai karena mereka kehilangan rujukan otoritatif, baik dari tradisi maupun akal budi.

Ketidakhadiran mitos sebagai sistem nilai simbolik dan kegagalan pendidikan logos sebagai pembentuk nalar kritis menyebabkan terjadinya kekosongan moral struktural. Tanpa integrasi antara etika tradisional dan rasionalitas modern, remaja tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga mengalami keterputusan intergenerasional. Mereka tidak mampu menjangkau kebijaksanaan masa lalu, dan sekaligus tidak dibekali perangkat untuk membangun masa depan secara reflektif. Inilah tantangan utama dalam membina generasi muda Indonesia hari ini—yakni membangun sistem nilai yang hidup, kontekstual, dan bermakna di tengah dunia yang berubah secara cepat.


Footnotes

[1]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 2–5.

[2]                Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), “Laporan Tahunan Perlindungan Anak 2023,” diakses 20 Mei 2025, https://lpai.id/laporan2023.

[3]                Erik H. Erikson, Identity: Youth and Crisis (New York: W. W. Norton, 1968), 128–134.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 11–21.


7.           Perspektif Etika: Kebutuhan akan Kerangka Moral Baru

Di tengah kegagalan sistem nilai tradisional (mitos) dan tidak efektifnya rasionalisasi moral modern (logos), masyarakat Indonesia menghadapi kebutuhan mendesak untuk membangun kerangka moral baru yang mampu menjawab tantangan etis kontemporer secara kontekstual, reflektif, dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Kerangka moral ini bukan sekadar daftar larangan dan anjuran, tetapi sebuah fondasi etika yang memungkinkan individu dan komunitas menavigasi dunia yang kompleks dengan orientasi pada kebaikan bersama, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Dalam filsafat moral, ada tiga tradisi utama yang dapat menjadi inspirasi dalam merumuskan kerangka etika yang baru dan kontekstual: etika deontologis, etika utilitarian, dan etika kebajikan (virtue ethics). Masing-masing memiliki kekuatan dan keterbatasannya, namun dapat dipadukan untuk menghasilkan pendekatan etis yang lebih komprehensif.

Pertama, etika deontologis, yang dikembangkan secara sistematis oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang didasarkan pada kewajiban dan prinsip universal. Menurut Kant, seseorang bertindak secara moral jika ia bertindak seolah-olah prinsip tindakannya dapat dijadikan hukum umum bagi semua orang¹. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa memberi dasar moral yang kuat untuk menolak relativisme etis dan memperkuat prinsip-prinsip dasar seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak orang lain.

Kedua, etika utilitarian, seperti yang diajukan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, memandang bahwa tindakan moral adalah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak². Etika ini dapat memberikan orientasi pragmatis dalam pengambilan kebijakan publik yang mempertimbangkan kesejahteraan kolektif. Namun, pendekatan ini harus dikritisi agar tidak mengorbankan nilai-nilai fundamental demi efisiensi sosial atau mayoritas belaka.

Ketiga, etika kebajikan (virtue ethics), yang diwariskan dari Aristoteles, memusatkan perhatian bukan pada aturan atau akibat, tetapi pada pembentukan karakter moral manusia. Menurut Aristoteles, kebahagiaan (eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui praktik kebajikan seperti keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan³. Dalam konteks krisis nilai saat ini, etika kebajikan sangat relevan untuk menekankan pentingnya pendidikan karakter dan pembiasaan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, tantangan utama dalam penerapan pendekatan-pendekatan etis ini di Indonesia adalah kurangnya integrasi antara wacana etika dengan sistem pendidikan, kebijakan sosial, dan praktik budaya. Banyak pendekatan moral bersifat normatif tetapi tidak diinternalisasi dalam sistem sosial yang fungsional. Oleh karena itu, kebutuhan akan kerangka moral baru bukan hanya bersifat filosofis, tetapi juga institusional dan kultural.

Dalam kerangka ini, sejumlah pemikir kontemporer mengusulkan pendekatan etika dialogis dan kontekstual. Hans Küng, misalnya, melalui Declaration Toward a Global Ethic, menyerukan perlunya konsensus etis lintas agama dan budaya yang menekankan pada tanggung jawab bersama, toleransi, dan solidaritas global⁴. Di tingkat lokal, pendekatan ini dapat disesuaikan dengan kearifan tradisional seperti gotong royong, musyawarah, dan etika kepedulian komunitas, yang merupakan nilai-nilai hidup dalam budaya Indonesia.

Maka dari itu, kerangka moral baru yang dibutuhkan Indonesia bukanlah rekonstruksi total atau adopsi sepihak dari Barat, melainkan sintesis kreatif antara nilai-nilai lokal, ajaran agama, dan prinsip etika rasional yang universal. Hanya dengan landasan moral yang integratif ini, masyarakat Indonesia dapat keluar dari krisis nilai dan membangun peradaban yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–36.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 10–18.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1100b.

[4]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 65–78.


8.           Dimensi Agama: Spiritualitas sebagai Penjaga Moral Publik

Di tengah krisis nilai akibat melemahnya peran mitos dan belum mantapnya internalisasi logos sebagai kerangka moral, agama tampil sebagai kekuatan transenden yang potensial untuk menjaga moralitas publik dan membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih beradab, adil, dan bermakna. Dalam konteks Indonesia yang plural dan religius, spiritualitas agama bukan hanya menjadi dimensi privat, tetapi juga sumber etika kolektif yang mengatur relasi antarindividu, antara manusia dan alam, serta antara warga dan negara.

Agama, pada hakikatnya, mengandung sistem nilai yang menyatu antara etika dan makna hidup. Seperti dinyatakan oleh Max Scheler, agama memiliki daya “mengikat” yang mengatasi sekadar rasionalitas; ia memberikan orientasi hidup dalam bentuk nilai-nilai luhur seperti keadilan, kasih sayang, pengorbanan, dan pengampunan¹. Dalam masyarakat tradisional Nusantara, ajaran agama tidak hanya hadir sebagai doktrin, tetapi melebur dalam kehidupan sosial, budaya, dan ritus komunitas.

Di era modern, peran agama dalam ruang publik kerap mengalami ambiguitas. Di satu sisi, agama tetap menjadi rujukan moral yang kuat di tengah kerusakan nilai akibat sekularisasi dan individualisme. Di sisi lain, agama juga dapat tereduksi menjadi formalitas simbolik tanpa kedalaman spiritual, atau bahkan dikomodifikasi secara politik dan ekonomi. Karenanya, yang dibutuhkan bukan sekadar “agama luar” (ritual dan institusi), tetapi “agama batin” yang menumbuhkan kesadaran transenden dan empati sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Al-Ghazali bahwa agama sejati adalah agama yang menumbuhkan kebersihan hati (tazkiyah al-nafs), bukan sekadar kepatuhan lahiriah².

Dalam konteks Indonesia, spiritualitas agama memiliki peran historis dan strategis dalam pembentukan moral publik. Sejak masa perjuangan kemerdekaan, ajaran agama menjadi inspirasi etika kolektif untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan nilai kemanusiaan. Pancasila sebagai dasar negara pun merefleksikan semangat spiritual lintas agama yang menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber nilai dan moral kebangsaan. Bung Hatta bahkan menekankan bahwa pembangunan nasional tidak boleh kehilangan dimensi spiritual, karena masyarakat yang kehilangan Tuhan akan kehilangan arah hidup³.

Namun tantangan kontemporer muncul ketika spiritualitas agama tidak lagi diajarkan sebagai pengalaman yang transformatif, melainkan sebagai dogma yang tidak membentuk akhlak. Pendidikan agama di sekolah, misalnya, sering hanya menekankan hafalan dan pengetahuan kognitif, tanpa memperkuat dimensi afektif dan praksis etis. Akibatnya, banyak remaja yang secara formal religius tetapi secara moral kehilangan integritas. Menurut K.H. Sahal Mahfudh, agama harus tampil sebagai nilai hidup yang menyatu dalam tindakan sosial, bukan sebagai wacana normatif belaka⁴.

Dalam perspektif global, Hans Küng melalui proyek Global Ethic menyerukan pentingnya agama-agama dunia mengambil peran aktif dalam membangun peradaban etis bersama yang menolak kekerasan, ketidakadilan, dan degradasi moral⁵. Di tengah keterpurukan nilai akibat krisis modernitas, agama—melalui spiritualitasnya—dapat menjadi “penjaga nurani publik” yang menyuarakan kebaikan universal sekaligus membentuk karakter yang berlandaskan kasih sayang dan tanggung jawab.

Dengan demikian, spiritualitas agama yang hidup dan reflektif merupakan unsur vital dalam rekonstruksi moral masyarakat Indonesia. Ia bukan alternatif dari mitos dan logos, tetapi bisa menjadi titik temu antara keduanya: menghidupkan nilai simbolik yang bermakna (seperti mitos), namun sekaligus mengakar pada refleksi rasional dan etika tanggung jawab (seperti logos). Dalam konteks pluralisme dan dinamika sosial yang cepat, spiritualitas agama perlu terus dihidupkan dalam ruang pendidikan, budaya, dan kebijakan publik sebagai pilar utama pemulihan moral bangsa.


Footnotes

[1]                Max Scheler, On the Eternal in Man, trans. Bernard Noble (New York: Harper & Row, 1960), 79–82.

[2]                Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, Jilid I (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), 46–49.

[3]                Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Tintamas, 1960), 22–25.

[4]                Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), 18–21.

[5]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 11–15.


9.           Membangun Jalan Tengah: Pendidikan Humanis dan Transformatif

Menghadapi krisis nilai akibat keterputusan dari mitos dan kegagalan internalisasi logos, pendidikan menjadi ruang strategis untuk membangun jalan tengah yang mampu memulihkan kesadaran moral, etika sosial, dan kapasitas berpikir reflektif di kalangan generasi muda. Jalan tengah ini adalah pendidikan yang bersifat humanis dan transformatif—yakni pendidikan yang tidak hanya mentransfer pengetahuan teknis, tetapi juga menumbuhkan kepribadian utuh, kepekaan sosial, dan tanggung jawab etis.

Pendidikan humanis menempatkan manusia sebagai pusat perhatian dalam proses belajar, dengan memperhatikan aspek intelektual, emosional, spiritual, dan sosial peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pelopor pendidikan Indonesia, menekankan bahwa pendidikan sejati adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat¹. Pendekatan ini menolak pola pendidikan otoriter dan mekanistik, dan justru membangun kemandirian berpikir serta kematangan karakter.

Dalam skala global, pendekatan serupa dikembangkan oleh Paulo Freire melalui konsep “pendidikan yang membebaskan”, di mana peserta didik bukan dianggap sebagai objek pasif yang dijejali pengetahuan, melainkan subjek aktif yang berpartisipasi dalam proses reflektif dan transformatif. Menurut Freire, pendidikan harus mendorong kesadaran kritis (conscientização) agar individu mampu memahami realitas sosialnya dan berperan dalam mengubahnya². Model ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana banyak peserta didik tumbuh dalam lingkungan yang sarat ketimpangan, konflik nilai, dan tekanan budaya konsumtif.

Pendidikan transformatif juga mengandaikan kurikulum yang kaya akan dimensi etika, estetika, dan spiritualitas, bukan semata muatan kognitif. Martha Nussbaum menegaskan bahwa tanpa pendidikan humaniora—seperti filsafat, sejarah, dan seni—maka demokrasi akan kehilangan fondasi moral dan empatik yang dibutuhkan untuk menjaga kemanusiaan dalam masyarakat modern³. Sayangnya, dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, aspek-aspek tersebut justru semakin terpinggirkan oleh dominasi ujian berbasis angka, logika kompetitif, dan tekanan administratif.

Lebih jauh, pendidikan humanis harus menjadi medan integratif bagi dimensi-dimensi budaya, agama, dan rasionalitas kritis. Di sinilah konsep jalan tengah menemukan bentuk praksisnya: membina generasi yang mampu menghargai nilai-nilai luhur warisan budaya (mitos), berpikir kritis dan argumentatif (logos), serta bertindak dengan integritas moral dan empati sosial (etos). Ini berarti pendidikan harus melampaui dikotomi lama antara konservatisme tradisional dan modernisme teknokratis.

Dalam konteks ini, peran guru sangat menentukan. Guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan fasilitator perkembangan nilai, nalar, dan karakter peserta didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Nel Noddings dalam teori etika kepedulian (ethics of care), relasi pendidikan yang bermakna hanya dapat tumbuh jika berakar pada kepedulian autentik antara pendidik dan peserta didik⁴. Maka, sistem pendidikan perlu pula dibenahi agar menciptakan ekosistem yang manusiawi, kolaboratif, dan berorientasi pada pembangunan moralitas bersama.

Dengan demikian, pendidikan humanis dan transformatif adalah jalan tengah yang mampu menjembatani krisis antara mitos yang ditinggalkan dan logos yang belum terbangun. Ia bukan sekadar wacana, melainkan proyek sosial-kultural yang memerlukan dukungan kebijakan, partisipasi masyarakat, serta komitmen para pendidik dalam membentuk generasi yang bernalar, berbudaya, dan berakhlak.


Footnotes

[1]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1967), 10–12.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 30–39.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–12.

[4]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2003), 174–177.


10.       Penutup: Menuju Sintesis Baru antara Mitos, Logos, dan Etos

Krisis nilai yang melanda masyarakat Indonesia kontemporer bukanlah semata hasil dari degradasi moral individu, tetapi merupakan manifestasi dari kegagalan kolektif dalam melakukan transisi kultural yang utuh dari mitos ke logos, dari tatanan simbolik-tradisional ke nalar reflektif yang seharusnya menopang sistem etika publik. Masyarakat tidak lagi hidup dalam kepastian mitologis, namun juga belum mampu membangun rasionalitas etis yang mapan. Maka lahirlah kekosongan makna, disorientasi nilai, dan dekadensi moral, khususnya di kalangan generasi muda.

Namun demikian, situasi ini bukan akhir dari perjalanan sejarah budaya bangsa. Justru di sinilah peluang munculnya suatu sintesis baru yang produktif—sebuah integrasi kreatif antara kekuatan simbolik mitos, kejernihan nalar logos, dan praksis moral dalam bentuk etos. Mitos tidak harus ditolak sepenuhnya, karena dalam narasi-narasi kolektif tersebut tersimpan memori budaya, nilai-nilai kebijaksanaan, dan makna transendental yang masih relevan jika diinterpretasikan secara kontekstual dan kritis¹. Logos pun tidak boleh hanya menjadi rasionalitas teknis, tetapi harus dikembangkan sebagai rasionalitas komunikatif dan reflektif yang mampu membimbing tindakan moral². Etos, sebagai sistem nilai yang hidup dalam kebiasaan dan praksis sosial, harus dibangun melalui pendidikan, keteladanan, dan institusi yang berfungsi secara etis³.

Proyek besar ini mengharuskan Indonesia untuk melampaui dikotomi antara tradisionalisme kaku dan modernisme instrumental. Diperlukan paradigma kebudayaan yang inklusif, yang menghidupkan kembali kearifan lokal (local wisdom), memperkuat kapasitas nalar kritis (critical thinking), dan menumbuhkan etika tanggung jawab bersama (communal responsibility). Dalam konteks ini, pendidikan memegang peran sentral—bukan hanya sebagai media transmisi ilmu pengetahuan, tetapi sebagai medan formasi manusia seutuhnya: makhluk budaya, berpikir, dan bermoral⁴.

Inspirasi dapat diambil dari proyek-proyek pemikiran yang memadukan spiritualitas dan rasionalitas, seperti yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dalam gagasan tentang “Islam sebagai etika keadaban” yang memadukan dimensi keimanan, nalar, dan tanggung jawab sosial⁵. Demikian pula dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah alat untuk membentuk manusia merdeka yang tahu arah, punya hati, dan mampu bertindak secara bijak.

Oleh karena itu, masa depan bangsa ini sangat bergantung pada keberanian dan kecerdasan kolektif untuk merumuskan kembali sistem nilai yang tidak terjebak pada nostalgia masa lalu maupun euforia modernitas, melainkan membangun sintesis kreatif yang merekatkan identitas budaya, daya kritis, dan komitmen moral. Sintesis antara mitos, logos, dan etos bukanlah utopia, melainkan proyek kebudayaan yang harus dimulai sekarang—di ruang kelas, dalam keluarga, di media, dan di seluruh struktur masyarakat.


Footnotes

[1]                Mircea Eliade, Myth and Reality, trans. Willard R. Trask (New York: Harper & Row, 1963), 15–28.

[2]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 43–58.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 149–163.

[4]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, ed. Majelis Luhur Taman Siswa (Yogyakarta: MLTS, 1967), 18–21.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 133–138.


Daftar Pustaka

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Dewantara, K. H. (1967). Pendidikan. Majelis Luhur Taman Siswa.

Durkheim, E. (1997). The division of labor in society (W. D. Halls, Trans.). Free Press. (Original work published 1893)

Eliade, M. (1963). Myth and reality (W. R. Trask, Trans.). Harper & Row.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. W. W. Norton.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Geertz, H. (1961). The Javanese family: A study of kinship and socialization. Free Press.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Stanford University Press.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy: Vol. 1. The earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Hatta, M. (1960). Demokrasi kita. Tintamas.

Jaeger, W. (1986). Paideia: The ideals of Greek culture (G. Highet, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1934)

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan. Gramedia.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan peradaban. Paramadina.

Mattulada. (1985). Latoa: Satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis. LP3ES.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1861)

Noddings, N. (2003). Caring: A feminine approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya makna. Jalasutra.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Scheler, M. (1960). On the eternal in man (B. Noble, Trans.). Harper & Row.

Segal, R. A. (2004). Myth: A very short introduction. Oxford University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Vernant, J.-P. (2006). Myth and thought among the Greeks (J. Lloyd & J. Fort, Trans.). Zone Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar