Kamis, 05 Juni 2025

Pembagian Kekuasaan: Menjaga Keseimbangan dan Mencegah Tirani

Pembagian Kekuasaan

Menjaga Keseimbangan dan Mencegah Tirani


Alihkan ke: Sistem Pemerintahan.

Kekuasaan (Power), Otoritas (Authority), Kekuatan (Force).


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan dari perspektif historis, teoretis, dan aplikatif. Berangkat dari pemikiran klasik Montesquieu dan Locke, pembagian kekuasaan dipahami sebagai prinsip fundamental yang menjamin kebebasan warga negara serta mencegah konsentrasi kekuasaan yang berpotensi tiranik. Kajian ini mengeksplorasi struktur tiga cabang kekuasaan—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—serta implementasinya dalam berbagai model pemerintahan, seperti sistem presidensial, parlementer, dan semi-presidensial. Dengan mengkaji kasus-kasus negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Turki, artikel ini menyoroti bagaimana keberhasilan atau kegagalan dalam menerapkan prinsip pembagian kekuasaan sangat dipengaruhi oleh desain kelembagaan, budaya politik, dan kualitas demokrasi. Di Indonesia, meskipun terdapat kemajuan signifikan pascareformasi, pembagian kekuasaan masih menghadapi tantangan serius seperti politisasi lembaga, oligarki politik, dan lemahnya fungsi pengawasan. Dalam konteks kontemporer, artikel ini menegaskan bahwa pembagian kekuasaan tetap relevan untuk menghadapi tantangan globalisasi, disrupsi digital, dan kemunduran demokrasi. Oleh karena itu, revitalisasi prinsip ini melalui reformasi kelembagaan dan penguatan kontrol publik menjadi penting untuk menjaga keberlanjutan demokrasi yang sehat dan berkeadaban.

Kata Kunci: Pembagian kekuasaan, checks and balances, sistem pemerintahan, demokrasi, lembaga negara, presidensialisme, parlementarisme, Indonesia, konstitusi, supremasi hukum.


PEMBAHASAN

Telaah Pembagian Kekuasaan dalam Sistem pemerintahan


1.           Pendahuluan

Pembagian kekuasaan merupakan salah satu prinsip fundamental dalam teori dan praktik pemerintahan modern yang demokratis. Gagasan ini berangkat dari kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan bila seluruh wewenang negara terpusat pada satu entitas atau lembaga. Dalam sejarah pemikiran politik, prinsip ini pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh filsuf Prancis abad ke-18, Montesquieu, dalam karya monumentalnya De l’esprit des lois (The Spirit of the Laws, 1748). Dalam karya tersebut, Montesquieu mengemukakan bahwa kebebasan politik hanya dapat terjamin apabila kekuasaan negara dibagi menjadi tiga fungsi utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing beroperasi secara terpisah dan saling mengawasi satu sama lain demi mencegah tirani dan akumulasi kekuasaan yang sewenang-wenang.¹

Prinsip pembagian kekuasaan kemudian menjadi pilar utama dalam struktur konstitusi banyak negara modern, terutama yang menganut sistem demokrasi liberal. Melalui mekanisme checks and balances, masing-masing cabang kekuasaan diberikan kewenangan dan batasan tertentu guna menjamin stabilitas, akuntabilitas, serta penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak-hak warga negara.² Dalam konteks ini, pembagian kekuasaan tidak hanya bersifat struktural atau kelembagaan, tetapi juga mencerminkan filosofi politik tentang perlunya distribusi kekuasaan untuk menjamin keadilan dan kebebasan publik.

Meskipun demikian, implementasi prinsip ini tidaklah seragam di setiap negara. Perbedaan sistem pemerintahan—seperti sistem presidensial, parlementer, maupun campuran—mempengaruhi cara pembagian kekuasaan dijalankan. Di samping itu, dinamika politik, kekuatan partai, budaya hukum, dan kematangan demokrasi juga turut menentukan efektivitas pelaksanaan prinsip ini.³ Dalam praktiknya, pembagian kekuasaan sering kali menghadapi tantangan serius, seperti kecenderungan konsentrasi kekuasaan pada eksekutif, lemahnya lembaga legislatif, atau tidak independennya peradilan, yang kesemuanya dapat menggerus kualitas demokrasi itu sendiri.⁴

Di tengah arus globalisasi, gelombang populisme, dan kemunculan pemerintahan otoriter yang tersembunyi di balik prosedur demokratis, relevansi pembagian kekuasaan semakin dipertanyakan sekaligus diuji. Apakah prinsip klasik ini masih memadai untuk menjamin akuntabilitas dan perlindungan hak warga negara di abad ke-21? Bagaimana tantangan digitalisasi, krisis kepercayaan publik, dan kompleksitas birokrasi mempengaruhi mekanisme pengawasan antar lembaga negara? Artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif teori, implementasi, serta tantangan kontemporer dalam pembagian kekuasaan, dengan mengacu pada kerangka teoretis, contoh praktik di berbagai negara, serta dinamika terbaru dalam tata kelola pemerintahan.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–156.

[2]                Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, 4th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2015), 122–124.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2012), 118–123.

[4]                Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, How to Save a Constitutional Democracy (Chicago: University of Chicago Press, 2018), 55–59.


2.           Landasan Filosofis dan Teoretis

Prinsip pembagian kekuasaan berakar pada pemikiran filsafat politik yang mempersoalkan hakikat kekuasaan dan batasannya dalam kehidupan bernegara. Secara filosofis, kekuasaan negara dipahami sebagai suatu keharusan dalam menjaga ketertiban dan keadilan sosial, namun pada saat yang sama, kekuasaan juga mengandung potensi besar untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, filsuf-filsuf politik klasik telah merumuskan bahwa kekuasaan perlu dibatasi agar tidak berubah menjadi alat tirani. Seperti yang dinyatakan Lord Acton secara terkenal, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”¹

John Locke (1632–1704), sebagai salah satu pelopor liberalisme klasik, menjadi pemikir awal yang secara eksplisit merumuskan ide pembagian kekuasaan. Dalam Two Treatises of Government, Locke membagi kekuasaan negara ke dalam dua kategori utama: kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif.² Ia meyakini bahwa pembatasan kekuasaan adalah cara terbaik untuk menjamin hak-hak alamiah manusia seperti hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Dalam sistem yang ia bayangkan, kekuasaan legislatif harus memegang supremasi dalam membuat hukum, sementara kekuasaan eksekutif menjalankan hukum tersebut secara terbatas.

Namun, pembagian kekuasaan secara lebih sistematis dan lengkap baru dikembangkan oleh Montesquieu dalam De l’esprit des lois. Ia menambahkan kekuasaan yudikatif sebagai elemen ketiga yang tak kalah penting. Menurutnya, kebebasan politik hanya bisa terwujud bila kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak berada dalam satu tangan atau lembaga yang sama.³ Dengan kata lain, prinsip pembagian kekuasaan bukan sekadar soal efisiensi administrasi pemerintahan, tetapi merupakan perlindungan institusional terhadap kebebasan sipil dan instrumen untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang absolut.

Secara teoretis, konsep ini kemudian berkembang menjadi apa yang disebut dengan prinsip checks and balances—yakni mekanisme pengawasan dan penyeimbangan antarlembaga negara. Dalam pendekatan modern, gagasan ini tidak selalu berarti pembagian kekuasaan secara mutlak, melainkan pembedaan fungsi yang disertai sistem pengawasan timbal balik agar tidak terjadi dominasi satu lembaga terhadap yang lain.⁴ Prinsip ini menjadi landasan dalam teori konstitusional modern yang mementingkan limited government, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan lembaga-lembaga yang saling mengontrol.

Landasan teoretis dari pembagian kekuasaan juga diperkuat oleh teori institusionalis dalam ilmu politik modern. Institusionalisme menekankan pentingnya struktur formal dalam membentuk perilaku politik dan stabilitas sistem pemerintahan. Menurut teori ini, desain lembaga-lembaga negara, termasuk bagaimana kekuasaan dibagi, memiliki pengaruh besar terhadap hasil kebijakan dan kualitas demokrasi.⁵ Oleh karena itu, pembagian kekuasaan tidak semata-mata persoalan normatif, melainkan juga persoalan rekayasa institusional yang menentukan bagaimana kekuasaan dijalankan dan dibatasi secara efektif dalam praktik.

Dalam era kontemporer, gagasan pembagian kekuasaan tetap dipertahankan karena ia mengandung nilai-nilai fundamental demokrasi: penghormatan terhadap hukum, akuntabilitas kekuasaan, dan partisipasi politik yang setara. Oleh sebab itu, memahami landasan filosofis dan teoretis ini menjadi krusial dalam menilai bagaimana sebuah sistem pemerintahan mampu menjamin keadilan dan kebebasan bagi seluruh warganya.


Footnotes

[1]                Lord Acton, Letters of Lord Acton to Mary Gladstone, ed. Herbert Paul (London: George Allen, 1904), 290.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 352–354.

[3]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 156–157.

[4]                Andrew Heywood, Key Concepts in Politics and International Relations, 2nd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2015), 204–207.

[5]                Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 44–47.


3.           Sejarah Gagasan Pembagian Kekuasaan

Gagasan pembagian kekuasaan tidak muncul secara tiba-tiba dalam sejarah pemikiran politik. Ia berkembang sebagai respons terhadap problem konsentrasi kekuasaan yang kerap melahirkan tirani dan ketidakadilan, terutama dalam konteks pemerintahan absolut dan monarki yang dominan pada masa pramodern. Sejak zaman klasik, pemikiran tentang pentingnya membatasi kekuasaan negara sudah muncul, meskipun belum dalam bentuk yang sistematis seperti dalam teori modern.

Salah satu benih awal dari gagasan pembagian kekuasaan dapat ditelusuri dalam pemikiran Aristoteles (384–322 SM). Dalam Politics, Aristoteles membedakan tiga elemen utama dalam pemerintahan: deliberative, executive, dan judicial functions.¹ Meskipun belum secara eksplisit membahas pembagian kekuasaan dalam kerangka institusional, analisis ini menunjukkan kesadaran awal akan perlunya diferensiasi fungsi dalam tata kelola negara.

Perkembangan signifikan terjadi pada era modern, khususnya melalui karya John Locke (1632–1704), filsuf Inggris yang menjadi pelopor teori kontrak sosial dan pembatasan kekuasaan. Dalam Two Treatises of Government (1689), Locke membagi kekuasaan negara ke dalam dua bagian utama: legislatif dan eksekutif. Ia juga menyebut kekuasaan federatif yang berkaitan dengan hubungan luar negeri.² Locke menekankan bahwa kekuasaan legislatif harus lebih tinggi dari eksekutif karena ia merupakan perwujudan kehendak rakyat melalui hukum. Namun demikian, Locke belum mengembangkan gagasan tentang kekuasaan yudikatif sebagai lembaga yang independen.

Puncak formulasi sistematis tentang pembagian kekuasaan terjadi melalui pemikiran Baron de Montesquieu (1689–1755) dalam karya monumentalnya De l’esprit des lois (The Spirit of the Laws, 1748). Montesquieu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.³ Ia berpendapat bahwa apabila ketiga kekuasaan tersebut berada pada satu orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada kebebasan politik. Montesquieu tidak hanya membagi kekuasaan, tetapi juga menekankan pentingnya keseimbangan dan saling pengawasan (checks and balances) antar ketiganya. Gagasan ini merupakan refleksi dari kekagumannya terhadap sistem konstitusional Inggris pasca-Revolusi Glorious (1688), di mana Raja, Parlemen, dan Pengadilan memiliki fungsi yang berbeda dan saling membatasi.

Pemikiran Montesquieu memiliki dampak yang sangat luas dalam sejarah ketatanegaraan modern. Ia memberikan pengaruh besar terhadap perumusan Konstitusi Amerika Serikat (1787), yang dengan jelas mengadopsi prinsip pembagian kekuasaan dalam struktur pemerintahan federalnya. James Madison, salah satu penulis utama The Federalist Papers, mengafirmasi pentingnya distribusi kekuasaan demi menghindari dominasi satu kelompok atau individu terhadap negara.⁴ Selain itu, semangat Montesquieu juga memengaruhi revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Prancis (1789), di mana tuntutan atas keadilan dan pembatasan kekuasaan monarki menjadi pendorong utama perubahan sistem pemerintahan.

Pada abad ke-19 dan ke-20, gagasan pembagian kekuasaan terus mengalami adaptasi seiring dengan munculnya berbagai sistem pemerintahan baru—baik yang berbentuk presidensial, parlementer, maupun sistem campuran. Penerapannya disesuaikan dengan konteks sejarah, budaya politik, serta kebutuhan praktis di masing-masing negara. Meskipun tidak selalu dilaksanakan dalam bentuk yang identik, prinsip dasarnya tetap dipertahankan: kekuasaan negara harus dibagi dan diawasi untuk mencegah absolutisme dan menjamin kebebasan warga negara.⁵

Dengan demikian, sejarah gagasan pembagian kekuasaan mencerminkan evolusi panjang pemikiran politik tentang bagaimana kekuasaan negara harus disusun dan dibatasi. Ia bukan hanya warisan intelektual, tetapi juga landasan moral dan institusional dari demokrasi modern.


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 131–133.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 351–356.

[3]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–159.

[4]                James Madison, The Federalist Papers, ed. Clinton Rossiter (New York: Penguin Books, 2003), No. 51.

[5]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2012), 119–122.


4.           Tiga Cabang Kekuasaan dalam Negara

Dalam teori klasik pembagian kekuasaan yang dikembangkan Montesquieu, negara idealnya menyusun kekuasaannya ke dalam tiga cabang utama yang terpisah secara fungsional namun saling mengimbangi satu sama lain, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemisahan ini dimaksudkan bukan sekadar sebagai upaya administratif, tetapi sebagai mekanisme pengamanan politik untuk mencegah dominasi kekuasaan yang absolut dan memastikan perlindungan atas kebebasan individu.¹

4.1.       Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif merupakan cabang yang bertugas untuk membuat, mengubah, dan mencabut undang-undang. Dalam sistem demokrasi, lembaga legislatif menjadi representasi utama kehendak rakyat melalui proses elektoral.² Fungsi legislatif tidak hanya terbatas pada pembuatan hukum, tetapi juga mencakup fungsi pengawasan terhadap pemerintah (eksekutif) dan persetujuan atas anggaran negara.

Struktur lembaga legislatif berbeda-beda tergantung sistem pemerintahan yang dianut. Dalam sistem bikameral, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, parlemen terdiri dari dua kamar: majelis rendah (DPR/House of Representatives) dan majelis tinggi (DPD/Senate), sedangkan dalam sistem unikameral hanya terdapat satu kamar legislatif.³ Kekuatan legislatif menjadi indikator penting dari sejauh mana suatu negara menegakkan prinsip keterwakilan dan akuntabilitas kekuasaan.

4.2.       Kekuasaan Eksekutif

Cabang eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum, penyelenggaraan pemerintahan, dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan publik. Kekuasaan ini biasanya dijalankan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan (presiden, perdana menteri), serta para pembantunya dalam kabinet atau kementerian.⁴

Dalam sistem presidensial, eksekutif berdiri terpisah dari legislatif dan dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil. Sementara dalam sistem parlementer, kepala eksekutif (perdana menteri) dipilih dari dan oleh parlemen, sebagaimana diterapkan di Inggris, Jerman, dan India.⁵

Kekuasaan eksekutif sering kali menjadi pusat kekuasaan dalam praktik, terutama di negara-negara yang memiliki tradisi politik kuat dalam kepemimpinan eksekutif. Oleh karena itu, keberadaan mekanisme pengawasan dari legislatif dan yudikatif menjadi krusial agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga eksekutif.

4.3.       Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan yudikatif memiliki fungsi utama dalam menafsirkan hukum, menyelesaikan sengketa hukum, serta menjaga supremasi konstitusi dan hak-hak fundamental warga negara. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan yudikatif harus bersifat independen dan imparsial agar dapat menjalankan peran sebagai penjaga keadilan dan pengimbang kekuasaan politik.⁶

Lembaga-lembaga yudikatif mencakup pengadilan umum, pengadilan tinggi, dan di beberapa negara termasuk mahkamah konstitusi yang memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Di Amerika Serikat, Supreme Court memiliki kekuasaan judicial review yang kuat untuk membatalkan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.⁷ Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi serupa sebagai pengawal konstitusi dan pelindung hak konstitusional warga negara.

Kemandirian kekuasaan yudikatif merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan sistem pembagian kekuasaan. Tanpa peradilan yang bebas dan kuat, prinsip rule of law akan melemah, dan mekanisme pengimbangan terhadap cabang eksekutif maupun legislatif tidak dapat dijalankan secara efektif.


Dengan demikian, ketiga cabang kekuasaan tersebut merupakan pilar utama dalam arsitektur pemerintahan demokratis. Pemisahan dan saling pengawasan di antara ketiganya menjadi fondasi bagi penyelenggaraan pemerintahan yang adil, akuntabel, dan menjunjung tinggi kebebasan serta hak warga negara.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157.

[2]                Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2013), 318–320.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2012), 182–185.

[4]                Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010), 99–101.

[5]                B. Guy Peters dan Jon Pierre, Governance, Politics and the State (London: Macmillan, 2000), 91–93.

[6]                Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 18–22.

[7]                Mark Tushnet, Weak Courts, Strong Rights: Judicial Review and Social Welfare Rights in Comparative Constitutional Law (Princeton: Princeton University Press, 2008), 43–45.


5.           Model-Model Pembagian Kekuasaan dalam Praktik

Meskipun secara teoritis prinsip pembagian kekuasaan memiliki struktur dasar yang sama—yakni pemisahan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif—dalam praktiknya, model penerapannya sangat beragam. Variasi ini tergantung pada bentuk sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara, konteks historis, serta tradisi konstitusional yang berkembang. Tiga model utama yang menonjol dalam praktik sistem pemerintahan modern adalah sistem presidensial, sistem parlementer, dan sistem campuran (semi-presidensial).

5.1.       Sistem Presidensial

Dalam sistem presidensial, kekuasaan eksekutif dipisahkan secara tegas dari kekuasaan legislatif. Presiden menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan dipilih langsung oleh rakyat. Ciri utama dari sistem ini adalah tidak adanya ketergantungan langsung antara eksekutif dan legislatif; presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen kecuali dalam kondisi khusus seperti impeachment karena pelanggaran hukum berat.¹

Model ini banyak diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Indonesia, Brasil, dan Meksiko. Dalam sistem ini, prinsip checks and balances lebih menonjol karena antar cabang kekuasaan saling mengawasi dan memiliki kewenangan yang relatif seimbang.² Namun, dalam praktiknya, kekuasaan eksekutif dapat menjadi sangat dominan apabila tidak ada kontrol parlemen yang kuat atau independensi peradilan yang efektif.

5.2.       Sistem Parlementer

Sistem parlementer dicirikan oleh hubungan yang erat antara cabang legislatif dan eksekutif. Kepala pemerintahan (umumnya perdana menteri) berasal dari partai atau koalisi mayoritas di parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Dalam sistem ini, kepala negara biasanya bersifat simbolis (raja atau presiden seremonial), sedangkan kekuasaan eksekutif yang nyata berada pada perdana menteri dan kabinet.³

Model ini diterapkan di negara-negara seperti Inggris, India, Jerman, dan Australia. Kelebihan dari sistem ini adalah fleksibilitas dan efisiensi pengambilan keputusan karena adanya integrasi antara legislatif dan eksekutif. Namun, kekurangannya adalah potensi dominasi eksekutif apabila partai penguasa mengontrol mayoritas mutlak di parlemen.⁴ Dalam situasi seperti ini, mekanisme pengawasan terhadap pemerintah bisa menjadi lemah, dan pembagian kekuasaan menjadi tidak seimbang.

5.3.       Sistem Campuran (Semi-Presidensial)

Sistem semi-presidensial menggabungkan elemen-elemen dari sistem presidensial dan parlementer. Dalam model ini, terdapat presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Keduanya memiliki kewenangan eksekutif yang dibagi atau dibedakan berdasarkan ketentuan konstitusi.⁵

Contoh utama dari sistem ini adalah Prancis, di mana presiden memegang kekuasaan dalam urusan luar negeri dan pertahanan, sementara perdana menteri memimpin urusan domestik dan pemerintahan sehari-hari.⁶ Sistem ini memungkinkan distribusi kekuasaan eksekutif yang lebih fleksibel dan adaptif, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara presiden dan perdana menteri, terutama dalam kondisi koabitasi (cohabitation), yakni ketika keduanya berasal dari partai politik yang berbeda.


Perbandingan dan Dinamika Model

Ketiga model di atas tidak selalu diterapkan secara murni. Dalam praktiknya, banyak negara melakukan modifikasi sesuai kebutuhan nasional dan perkembangan politik domestik.⁷ Misalnya, Indonesia pascareformasi 1998 telah memperkuat sistem presidensialnya dengan berbagai elemen checks and balances yang meniru praktik parlemen, seperti mekanisme persetujuan legislatif atas penunjukan pejabat tinggi dan pengawasan anggaran.

Secara umum, keberhasilan penerapan model pembagian kekuasaan dalam praktik sangat tergantung pada faktor-faktor non-institusional seperti budaya politik, kematangan demokrasi, kekuatan masyarakat sipil, dan keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum yang independen. Oleh karena itu, desain konstitusi yang baik perlu didukung oleh praktik politik yang sehat dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi.


Footnotes

[1]                Juan J. Linz, "The Perils of Presidentialism," Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.

[2]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2012), 106–108.

[3]                Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford: Oxford University Press, 1997), 132–135.

[4]                Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU Press, 1997), 97–101.

[5]                Maurice Duverger, "A New Political System Model: Semi-Presidential Government," European Journal of Political Research 8, no. 2 (1980): 165–187.

[6]                Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Sub-Types and Democratic Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 45–49.

[7]                Tom Ginsburg dan Alberto Simpser, eds., Constitutions in Authoritarian Regimes (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 211–213.


6.           Pembagian Kekuasaan di Indonesia

Pembagian kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama setelah dilakukan serangkaian amendemen konstitusi pada periode 1999–2002. Sebelum reformasi, struktur kekuasaan negara cenderung bersifat sentralistik dengan dominasi cabang eksekutif, khususnya presiden. Namun, pasca-reformasi, Indonesia mengadopsi sistem presidensial yang lebih demokratis dan menekankan prinsip pemisahan serta keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara.¹

Dalam kerangka ini, kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga cabang utama, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta didukung oleh sejumlah lembaga negara independen yang memiliki fungsi pengawasan atau penguatan prinsip demokrasi dan konstitusionalisme.

6.1.       Kekuasaan Legislatif

Lembaga legislatif di Indonesia dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi utama rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan daerah. Bersama dengan Presiden, DPR menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 sampai 22C UUD 1945.²

Sementara DPD, meskipun merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), memiliki wewenang yang lebih terbatas. Peran legislatif Indonesia masih sering dikritik karena cenderung lemah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif, dan belum sepenuhnya mampu menjadi kekuatan penyeimbang.³

6.2.       Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, yang juga merangkap sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Presiden Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, yang menunjukkan karakter presidensial sistem pemerintahan Indonesia.⁴

Presiden memiliki wewenang yang luas sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 14 UUD 1945, termasuk dalam hal pengangkatan menteri, pengesahan undang-undang, serta peran dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan. Meskipun demikian, dalam praktik, kekuasaan Presiden tetap dibatasi oleh DPR, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga pengawasan lainnya.

6.3.       Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya, serta oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Dalam hal ini, Pasal 24 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan.⁵

MA memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan perkara perdata dan pidana serta fungsi kasasi, sedangkan MK menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.⁶ Sementara itu, KY berperan dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Meski struktur kelembagaan yudikatif telah mengalami penguatan, independensi lembaga peradilan Indonesia masih menghadapi tantangan serius, termasuk intervensi politik dan korupsi.⁷

6.4.       Lembaga Negara Lain sebagai Penyeimbang

Selain ketiga cabang utama, Indonesia juga memiliki sejumlah lembaga negara independen yang berfungsi sebagai penguatan prinsip pembagian kekuasaan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga-lembaga ini tidak termasuk dalam tiga cabang kekuasaan klasik Montesquieu, tetapi mereka menjalankan fungsi checks and balances dalam kerangka tata kelola pemerintahan demokratis.

6.5.       Dinamika dan Tantangan

Meskipun secara normatif pembagian kekuasaan di Indonesia telah diperkuat pasca-amendemen UUD 1945, dalam praktiknya masih terdapat sejumlah tantangan. Di antaranya adalah kecenderungan dominasi kekuasaan eksekutif, lemahnya fungsi pengawasan legislatif, serta kurangnya independensi peradilan dalam beberapa kasus penting.⁸ Selain itu, praktik politik transaksional, pengaruh oligarki, dan rendahnya integritas lembaga perwakilan rakyat sering kali melemahkan prinsip checks and balances.

Dengan demikian, meskipun desain konstitusional Indonesia mengarah pada sistem pembagian kekuasaan yang demokratis, efektivitasnya sangat bergantung pada kualitas kelembagaan, supremasi hukum, dan budaya politik yang berkembang di masyarakat.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 2nd ed. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 101–104.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20–22C.

[3]                Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Comprehensive Overview (Jakarta: Kompas, 2008), 77–80.

[4]                Tim Lindsey dan Simon Butt, The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2020), 93–95.

[5]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24.

[6]                Simon Butt, The Constitutional Court and Democracy in Indonesia (Leiden: Brill, 2015), 49–54.

[7]                Adnan Buyung Nasution, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Democracy, updated ed. (Jakarta: Equinox Publishing, 2007), 192–195.

[8]                Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 122–129.


7.           Kritik dan Tantangan dalam Pembagian Kekuasaan

Meskipun pembagian kekuasaan merupakan prinsip fundamental dalam teori dan praktik demokrasi modern, pelaksanaannya di berbagai negara tidak luput dari kritik dan tantangan serius. Kritik ini muncul baik dari aspek teoretis maupun dari dinamika praktis pemerintahan, terutama ketika prinsip tersebut gagal mencegah konsentrasi kekuasaan, atau justru menciptakan kebuntuan politik yang menghambat jalannya pemerintahan. Dalam konteks kontemporer, tantangan terhadap pembagian kekuasaan semakin kompleks seiring dengan munculnya pola-pola baru pemerintahan otoriter, disfungsi kelembagaan, dan persoalan legitimasi demokratis.

7.1.       Ketidakseimbangan Kekuasaan Antar Lembaga

Salah satu kritik paling umum terhadap pembagian kekuasaan adalah ketidakseimbangan aktual antar cabang kekuasaan, terutama dominasi eksekutif atas legislatif dan yudikatif. Dalam banyak negara dengan sistem presidensial, presiden sering kali memiliki pengaruh yang terlalu besar atas parlemen, baik melalui kekuatan politik partai, kontrol anggaran, maupun kewenangan eksekutif yang luas.¹ Hal ini dapat mengurangi efektivitas fungsi pengawasan legislatif dan menjadikan parlemen sebagai lembaga stempel belaka.

7.2.       Politisasi Yudikatif dan Lemahnya Independensi Peradilan

Di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, independensi yudikatif masih menghadapi tantangan besar. Intervensi politik dalam pengangkatan hakim, tekanan terhadap keputusan peradilan, dan praktik korupsi melemahkan posisi peradilan sebagai pengawal keadilan dan konstitusi.² Padahal, dalam kerangka pembagian kekuasaan, yudikatif berperan sebagai pengimbang yang krusial terhadap legislatif dan eksekutif. Ketika fungsi ini melemah, mekanisme checks and balances ikut terancam.

7.3.       Fragmentasi Kelembagaan dan Kebuntuan Politik

Kritik lain datang dari sisi efektivitas, terutama dalam sistem pemerintahan yang terlalu rigid dalam memisahkan kekuasaan. Dalam sistem presidensial, misalnya, pembagian kekuasaan yang terlalu ketat dapat menimbulkan gridlock atau kebuntuan politik, terutama ketika presiden dan parlemen berasal dari partai yang berbeda.³ Kebuntuan ini dapat menghambat pengambilan kebijakan publik yang strategis dan melemahkan respons negara terhadap krisis.

7.4.       Praktik Politik Oligarkis dan Transaksional

Dalam praktik, prinsip pembagian kekuasaan sering kali dirusak oleh praktek oligarki dan politik transaksional, di mana elite politik lintas lembaga saling berkompromi untuk kepentingan kelompok, bukan untuk kepentingan publik.⁴ Akibatnya, meskipun secara formal terdapat pembagian kekuasaan, secara substantif kekuasaan justru terpusat pada jaringan informal kekuasaan yang tertutup dari kontrol publik dan hukum.

7.5.       Ambiguitas dan Tumpang Tindih Kewenangan

Permasalahan lain yang sering terjadi adalah ambiguitas konstitusional dalam membagi fungsi dan kewenangan antar lembaga negara. Hal ini dapat memicu konflik antarlembaga dan memperlambat kinerja pemerintahan. Di Indonesia, misalnya, pernah terjadi perdebatan panjang antara DPR dan Mahkamah Konstitusi terkait wewenang pengawasan, serta antara KPK dan Polri terkait penegakan hukum.⁵

7.6.       Krisis Kepercayaan terhadap Lembaga Negara

Masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara ketika pembagian kekuasaan hanya berjalan secara formalistik tanpa disertai integritas dan akuntabilitas aktor-aktornya. Dalam situasi demikian, demokrasi menjadi dangkal (shallow democracy) karena tidak lagi mampu menjadi sistem yang efektif dalam menampung aspirasi dan menjamin keadilan.⁶

7.7.       Tantangan Era Digital dan Kompleksitas Pemerintahan

Di era digital, kompleksitas pemerintahan semakin tinggi dengan munculnya birokrasi teknokratik, lembaga non-pemerintah yang kuat, serta peran big data dalam proses pengambilan kebijakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah prinsip pembagian kekuasaan klasik masih memadai dalam menjawab tantangan zaman, atau perlu direformulasi dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang lebih adaptif dan partisipatif.⁷


Dengan demikian, pembagian kekuasaan bukanlah konsep yang statis. Ia harus senantiasa dikaji dan diperkuat, baik secara institusional maupun kultural. Reformasi lembaga, penegakan hukum, penguatan masyarakat sipil, dan literasi politik menjadi kunci dalam menjamin efektivitas prinsip ini sebagai fondasi negara demokratis.


Footnotes

[1]                Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy 1, no. 1 (1990): 60–63.

[2]                Simon Butt, Corruption and Law in Indonesia (London: Routledge, 2012), 45–47.

[3]                Arend Lijphart, Thinking about Democracy: Power Sharing and Majority Rule in Theory and Practice (London: Routledge, 2008), 124–126.

[4]                Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: RoutledgeCurzon, 2004), 38–42.

[5]                Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Comprehensive Overview (Jakarta: Kompas, 2008), 105–107.

[6]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Times Books, 2008), 151–155.

[7]                Stephen P. Osborne, The New Public Governance? Emerging Perspectives on the Theory and Practice of Public Governance (London: Routledge, 2010), 3–7.


8.           Relevansi Pembagian Kekuasaan di Era Modern

Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas globalisasi, kemajuan teknologi digital, serta dinamika politik yang semakin cepat berubah, prinsip pembagian kekuasaan tetap memegang posisi strategis sebagai fondasi dari sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadaban. Namun demikian, relevansi konsep ini kini tidak hanya diuji oleh tantangan internal berupa kelembagaan dan budaya politik, tetapi juga oleh transformasi eksternal yang menuntut penyesuaian dan reaktualisasi makna serta bentuknya.

8.1.       Penopang Demokrasi dan Supremasi Konstitusi

Prinsip pembagian kekuasaan merupakan elemen dasar dari negara hukum demokratis (constitutional democracy). Dalam sistem semacam ini, pembagian kekuasaan menjadi jaminan institusional terhadap pelaksanaan prinsip rule of law, perlindungan hak asasi manusia, dan kontrol terhadap kekuasaan politik.¹ Dengan memastikan bahwa tidak ada satu lembaga pun yang memonopoli kekuasaan, demokrasi menjadi lebih terlindungi dari kecenderungan otoritarianisme atau penyimpangan konstitusional.

Relevansi ini semakin nyata dalam situasi ketika banyak negara mengalami regresi demokrasi (democratic backsliding), di mana pemimpin yang dipilih secara demokratis justru menggunakan instrumen kekuasaan untuk memperkuat kediktatoran elektoral.² Dalam konteks ini, pembagian kekuasaan yang disertai dengan mekanisme checks and balances berperan sebagai pagar pembatas terhadap pelemahan institusi demokratis.

8.2.       Adaptasi terhadap Kompleksitas Pemerintahan Modern

Pemerintahan modern tidak lagi hanya melibatkan tiga cabang kekuasaan klasik, tetapi juga lembaga-lembaga independen, teknokrasi, serta aktor non-negara yang memengaruhi pengambilan keputusan publik.³ Oleh karena itu, konsep pembagian kekuasaan saat ini menuntut pendekatan yang lebih fleksibel dan multidimensional, mencakup pembagian horizontal (antar cabang negara) dan vertikal (antar tingkatan pemerintahan pusat dan daerah), serta penguatan kontrol horizontal dari masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawas.

Fenomena seperti pengaruh besar lembaga keuangan internasional, perusahaan teknologi global, serta sistem birokrasi yang transnasional mengharuskan pemikiran ulang terhadap cara negara mempertahankan otonomi kebijakan sambil menjaga akuntabilitas demokratis.⁴

8.3.       Menjawab Tantangan Era Digital dan Disinformasi

Era digital membawa tantangan baru bagi prinsip pembagian kekuasaan, khususnya dalam pengaturan dan pengawasan atas ruang publik digital, perlindungan data pribadi, serta penegakan hukum dalam dunia maya. Kekuasaan yang tidak terkendali atas algoritma, sistem kecerdasan buatan, dan pengumpulan data besar (big data) berisiko menciptakan bentuk kekuasaan baru yang tidak diawasi oleh struktur formal negara.⁵

Dalam konteks ini, pembagian kekuasaan harus diperluas untuk mengakomodasi pengawasan terhadap kekuasaan teknologi, serta memperkuat peran legislatif dan yudikatif dalam menjamin bahwa perkembangan digital tidak melampaui batas-batas demokrasi dan hak asasi manusia.

8.4.       Penyeimbang Terhadap Populisme dan Sentralisasi Kekuasaan

Kebangkitan populisme di berbagai belahan dunia dalam dekade terakhir menunjukkan adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan pada satu figur atau partai yang kuat, dengan retorika yang sering kali anti-elit dan anti-lembaga.⁶ Dalam situasi seperti ini, institusi pembagi kekuasaan seperti parlemen, peradilan, dan lembaga pengawas menjadi benteng terakhir bagi keberlangsungan demokrasi substantif.

Pengalaman di negara-negara seperti Hongaria, Turki, dan Filipina menunjukkan bahwa ketika mekanisme pembagian kekuasaan lemah, populisme dapat berkembang menjadi bentuk otoritarianisme elektoral yang menindas oposisi dan melemahkan hukum.⁷ Maka, memperkuat prinsip ini merupakan langkah penting dalam menjaga pluralisme politik dan keadilan sosial.

8.5.       Kontribusi terhadap Tata Kelola yang Akuntabel dan Responsif

Pembagian kekuasaan juga berkaitan erat dengan prinsip akuntabilitas dan responsivitas pemerintahan. Dengan memisahkan fungsi dan memberikan mekanisme pengawasan antarlembaga, keputusan politik dan kebijakan publik menjadi lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.⁸ Ini penting tidak hanya dalam sistem demokrasi liberal, tetapi juga dalam tata kelola pemerintahan yang inklusif dan partisipatif secara umum.


Dengan demikian, pembagian kekuasaan tetap relevan di era modern sebagai prinsip yang adaptif dan dinamis. Ia bukan sekadar warisan klasik dari pemikiran politik abad ke-18, melainkan fondasi etis dan praktis bagi penyelenggaraan negara yang menjunjung keadilan, kebebasan, dan martabat manusia dalam situasi sosial-politik yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, How to Save a Constitutional Democracy (Chicago: University of Chicago Press, 2018), 25–29.

[2]                Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 79–83.

[3]                Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010), 118–120.

[4]                Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 295–298.

[5]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 130–135.

[6]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 42–47.

[7]                Larry Diamond, “Facing Up to the Democratic Recession,” Journal of Democracy 26, no. 1 (2015): 141–155.

[8]                Mark Bovens, Thomas Schillemans, dan Paul ‘t Hart, “Does Public Accountability Work? An Assessment Tool,” Public Administration 86, no. 1 (2008): 225–242.


9.           Studi Kasus Komparatif

Untuk memahami implementasi prinsip pembagian kekuasaan dalam praktik ketatanegaraan kontemporer, analisis komparatif terhadap beberapa negara dapat memberikan wawasan penting tentang bagaimana struktur kelembagaan, budaya politik, dan dinamika kekuasaan membentuk efektivitas sistem tersebut. Kajian ini akan menyoroti tiga negara dengan model sistem pemerintahan yang berbeda: Amerika Serikat (presidensial murni), Prancis (semi-presidensial), dan Turki (transisi menuju konsolidasi otoritarianisme).

9.1.       Amerika Serikat: Model Ideal Checks and Balances

Amerika Serikat dianggap sebagai salah satu model paling awal dan konsisten dari prinsip separation of powers yang dikembangkan Montesquieu. Konstitusi AS (1787) secara tegas memisahkan kekuasaan menjadi tiga cabang: legislatif (Kongres), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (Mahkamah Agung). Ketiga cabang ini diberikan kewenangan yang jelas serta mekanisme saling mengawasi.¹

Kongres memiliki wewenang legislasi dan pengawasan yang kuat, termasuk hak veto atas kebijakan eksekutif dan kekuasaan anggaran. Presiden memiliki wewenang eksekutif yang luas, tetapi dibatasi oleh proses impeachment dan pengujian hukum oleh Mahkamah Agung.² Mahkamah Agung sendiri memainkan peran kunci dalam menafsirkan konstitusi dan membatalkan hukum atau kebijakan yang bertentangan dengan prinsip dasar negara.

Sistem ini telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, namun juga menghadirkan tantangan tersendiri dalam bentuk gridlock atau kebuntuan politik, terutama ketika cabang kekuasaan didominasi oleh partai politik yang saling berseberangan.³ Meskipun demikian, independensi kelembagaan tetap terjaga karena sistem rekrutmen dan mekanisme pengawasan yang kuat.

9.2.       Prancis: Semi-Presidensialisme dan Dualisme Eksekutif

Prancis mengadopsi sistem semi-presidensialisme melalui Konstitusi Republik Kelima (1958) yang dirancang oleh Charles de Gaulle. Dalam model ini, kekuasaan eksekutif dibagi antara Presiden dan Perdana Menteri, di mana Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki kekuasaan luas dalam urusan luar negeri dan pertahanan, sedangkan Perdana Menteri memimpin pemerintahan harian dan bertanggung jawab kepada parlemen.⁴

Pembagian kekuasaan di Prancis cenderung fleksibel, tetapi sering kali tergantung pada konfigurasi politik—terutama saat terjadi cohabitation, yaitu ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari partai politik yang berbeda. Dalam kondisi ini, mekanisme pembagian kekuasaan diuji, karena eksekutif terbelah antara dua kekuatan yang secara hukum setara namun secara politis bisa saling bertentangan.⁵

Secara umum, sistem ini berhasil menjaga stabilitas politik dan efisiensi pemerintahan, namun dalam beberapa kasus juga memperlihatkan potensi ambiguitas kewenangan dan ketegangan antar eksekutif.

9.3.       Turki: Konsentrasi Kekuasaan dalam Sistem Presidensial Baru

Turki merupakan contoh kontemporer dari erosi prinsip pembagian kekuasaan, terutama pasca-referendum konstitusi tahun 2017 yang mengubah sistem parlementer menjadi presidensial. Perubahan ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, termasuk hak mengangkat pejabat tinggi negara, membubarkan parlemen, dan mengontrol yudikatif melalui pengaruh atas Dewan Hakim dan Jaksa.⁶

Sejak reformasi tersebut, para pengamat mencatat terjadi kemunduran demokrasi dan penurunan independensi lembaga-lembaga negara.⁷ Presiden Recep Tayyip Erdoğan dianggap menggunakan kekuasaan barunya untuk melemahkan oposisi, mengendalikan media, dan menekan peradilan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran internasional bahwa prinsip checks and balances di Turki telah digantikan oleh konsentrasi kekuasaan dalam satu tangan, yang bertentangan dengan semangat pembagian kekuasaan klasik.

Kasus Turki menunjukkan bahwa perubahan desain konstitusional tanpa penguatan lembaga pengawasan dan budaya politik demokratis dapat menjerumuskan negara ke dalam otoritarianisme elektoral.⁸


Refleksi Komparatif

Dari ketiga studi kasus di atas, tampak bahwa efektivitas pembagian kekuasaan sangat ditentukan oleh:

·                     Desain konstitusional yang jelas dan konsisten.

·                     Lembaga pengawasan yang kuat dan independen.

·                     Kualitas budaya politik yang menjunjung akuntabilitas dan supremasi hukum.

·                     Partisipasi sipil yang aktif dalam mengawasi kekuasaan negara.

Tanpa elemen-elemen ini, prinsip pembagian kekuasaan berisiko menjadi sekadar formalitas, sementara kekuasaan nyata tetap terpusat dan tak terkendali.


Footnotes

[1]                The Federalist Papers, ed. Clinton Rossiter (New York: Signet Classics, 2003), No. 47–51.

[2]                Matthew Spalding, We Still Hold These Truths: Rediscovering Our Principles, Reclaiming Our Future (Wilmington: ISI Books, 2009), 73–76.

[3]                Gary W. Cox dan Mathew D. McCubbins, Legislative Leviathan: Party Government in the House (Berkeley: University of California Press, 2005), 182–185.

[4]                Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Sub-Types and Democratic Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 20–24.

[5]                Ezra Suleiman, Presidentialism and Political Stability in France (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 110–113.

[6]                Ziya Öniş, “Turkey under the Challenge of State Capitalism: The Political Economy of the AKP Era,” Southeast European and Black Sea Studies 19, no. 2 (2019): 201–225.

[7]                Human Rights Watch, “Turkey’s Human Rights Rollback,” accessed May 2025, https://www.hrw.org.

[8]                Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 127–130.


10.       Penutup

Pembagian kekuasaan merupakan prinsip dasar dalam teori pemerintahan modern yang bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan dan menjaga keseimbangan antar lembaga negara. Berakar dari pemikiran politik klasik seperti yang dirumuskan oleh Montesquieu dan Locke, prinsip ini tidak hanya menjadi kerangka kelembagaan, tetapi juga merupakan instrumen perlindungan terhadap kebebasan individu dan supremasi hukum.¹

Melalui kajian historis dan teoretis, terbukti bahwa pembagian kekuasaan berperan krusial dalam membentuk struktur pemerintahan yang demokratis. Penerapannya dalam berbagai model pemerintahan—presidensial, parlementer, maupun semi-presidensial—menunjukkan bahwa prinsip ini bersifat adaptif dan mampu disesuaikan dengan dinamika politik serta kebutuhan masing-masing negara.² Studi kasus komparatif pada Amerika Serikat, Prancis, dan Turki memperlihatkan bahwa keberhasilan pembagian kekuasaan sangat bergantung pada desain konstitusional yang matang, independensi lembaga, dan budaya politik yang menghormati norma demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, pembagian kekuasaan mengalami perkembangan signifikan sejak reformasi 1998. Perubahan konstitusi memperkuat pemisahan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta membentuk lembaga-lembaga pengimbang seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun demikian, tantangan tetap ada dalam bentuk disfungsi legislatif, politisasi yudikatif, dan dominasi eksekutif.³ Praktik politik yang oligarkis dan transaksional masih menjadi hambatan utama dalam mewujudkan pembagian kekuasaan yang substantif.

Di era modern yang ditandai oleh globalisasi, kemajuan teknologi, serta krisis kepercayaan terhadap institusi politik, prinsip pembagian kekuasaan tetap memiliki relevansi strategis. Ia menjadi benteng terhadap populisme, pelanggaran konstitusi, dan pemerintahan otoriter yang dibungkus dalam kemasan demokratis.⁴ Akan tetapi, agar tetap efektif, konsep ini harus dikembangkan secara kontekstual dengan memperhatikan dinamika kekuasaan baru, seperti kekuatan digital, lembaga supranasional, dan aktor-aktor non-negara.

Oleh karena itu, pembagian kekuasaan tidak cukup dipahami sebagai prinsip statis yang bersifat formalistik. Ia harus terus direfleksikan, disesuaikan, dan diperkuat melalui:

·                     Reformasi kelembagaan yang menjamin independensi dan akuntabilitas.

·                     Pendidikan politik dan literasi konstitusi untuk memperkuat kontrol publik.

·                     Penegakan hukum yang adil dan transparan sebagai dasar kepercayaan rakyat terhadap negara.

Dengan demikian, pembagian kekuasaan tetap relevan dan diperlukan sebagai jantung dari penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang sehat, inklusif, dan bertanggung jawab. Tanpa prinsip ini, negara berisiko kembali ke arah kekuasaan yang absolut, sewenang-wenang, dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan serta hak asasi manusia.⁵


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 155–159.

[2]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2012), 121–124.

[3]                Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Comprehensive Overview (Jakarta: Kompas, 2008), 81–86.

[4]                Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New York: Crown Publishing, 2018), 142–145.

[5]                Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, How to Save a Constitutional Democracy (Chicago: University of Chicago Press, 2018), 217–223.


Daftar Pustaka

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press.

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia (2nd ed.). Konstitusi Press.

Bogdanor, V. (1997). The monarchy and the constitution. Oxford University Press.

Bovens, M., Schillemans, T., & ‘t Hart, P. (2008). Does public accountability work? An assessment tool. Public Administration, 86(1), 225–242.

Butt, S. (2012). Corruption and law in Indonesia. Routledge.

Butt, S. (2015). The constitutional court and democracy in Indonesia. Brill.

Cox, G. W., & McCubbins, M. D. (2005). Legislative leviathan: Party government in the House (2nd ed.). University of California Press.

Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world. Times Books.

Diamond, L. (2015). Facing up to the democratic recession. Journal of Democracy, 26(1), 141–155.

Duverger, M. (1980). A new political system model: Semi-presidential government. European Journal of Political Research, 8(2), 165–187.

Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism: Sub-types and democratic performance. Oxford University Press.

Federalist Papers, The. (2003). (C. Rossiter, Ed.). Signet Classics.

Ginsburg, T. (2003). Judicial review in new democracies: Constitutional courts in Asian cases. Cambridge University Press.

Ginsburg, T., & Huq, A. Z. (2018). How to save a constitutional democracy. University of Chicago Press.

Ginsburg, T., & Simpser, A. (Eds.). (2014). Constitutions in authoritarian regimes. Cambridge University Press.

Hadiz, V. R., & Robison, R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. RoutledgeCurzon.

Heywood, A. (2013). Politics (5th ed.). Palgrave Macmillan.

Heywood, A. (2015). Key concepts in politics and international relations (2nd ed.). Palgrave Macmillan.

Human Rights Watch. (2025). Turkey’s human rights rollback. https://www.hrw.org

Indrayana, D. (2008). Indonesia constitution: A comprehensive overview. Kompas.

Lijphart, A. (2008). Thinking about democracy: Power sharing and majority rule in theory and practice. Routledge.

Lijphart, A. (2012). Patterns of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries (2nd ed.). Yale University Press.

Linz, J. J. (1990). The perils of presidentialism. Journal of Democracy, 1(1), 51–69.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Madison, J. (2003). The Federalist Papers (C. Rossiter, Ed.). Penguin Books.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)

Müller, J.-W. (2016). What is populism? University of Pennsylvania Press.

Nasution, A. B. (2007). A nation in waiting: Indonesia’s search for democracy (Updated ed.). Equinox Publishing.

Öniş, Z. (2019). Turkey under the challenge of state capitalism: The political economy of the AKP era. Southeast European and Black Sea Studies, 19(2), 201–225.

Osborne, S. P. (Ed.). (2010). The new public governance? Emerging perspectives on the theory and practice of public governance. Routledge.

Peters, B. G. (2010). The politics of bureaucracy: An introduction to comparative public administration (6th ed.). Routledge.

Peters, B. G., & Pierre, J. (2000). Governance, politics and the state. Macmillan.

Sartori, G. (1997). Comparative constitutional engineering: An inquiry into structures, incentives, and outcomes (2nd ed.). New York University Press.

Sassen, S. (2006). Territory, authority, rights: From medieval to global assemblages. Princeton University Press.

Spalding, M. (2009). We still hold these truths: Rediscovering our principles, reclaiming our future. ISI Books.

Suleiman, E. (1993). Presidentialism and political stability in France. Cornell University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar