Pembagian Kekuasaan
Menjaga Keseimbangan dan Mencegah Tirani
Alihkan ke: Sistem
Pemerintahan.
Kekuasaan (Power), Otoritas (Authority), Kekuatan (Force).
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep
pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan dari perspektif historis,
teoretis, dan aplikatif. Berangkat dari pemikiran klasik Montesquieu dan Locke,
pembagian kekuasaan dipahami sebagai prinsip fundamental yang menjamin
kebebasan warga negara serta mencegah konsentrasi kekuasaan yang berpotensi
tiranik. Kajian ini mengeksplorasi struktur tiga cabang kekuasaan—legislatif,
eksekutif, dan yudikatif—serta implementasinya dalam berbagai model
pemerintahan, seperti sistem presidensial, parlementer, dan semi-presidensial.
Dengan mengkaji kasus-kasus negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Turki,
artikel ini menyoroti bagaimana keberhasilan atau kegagalan dalam menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan sangat dipengaruhi oleh desain kelembagaan, budaya
politik, dan kualitas demokrasi. Di Indonesia, meskipun terdapat kemajuan
signifikan pascareformasi, pembagian kekuasaan masih menghadapi tantangan
serius seperti politisasi lembaga, oligarki politik, dan lemahnya fungsi
pengawasan. Dalam konteks kontemporer, artikel ini menegaskan bahwa pembagian kekuasaan
tetap relevan untuk menghadapi tantangan globalisasi, disrupsi digital, dan
kemunduran demokrasi. Oleh karena itu, revitalisasi prinsip ini melalui
reformasi kelembagaan dan penguatan kontrol publik menjadi penting untuk
menjaga keberlanjutan demokrasi yang sehat dan berkeadaban.
Kata Kunci: Pembagian kekuasaan, checks and balances, sistem
pemerintahan, demokrasi, lembaga negara, presidensialisme, parlementarisme,
Indonesia, konstitusi, supremasi hukum.
PEMBAHASAN
Telaah Pembagian Kekuasaan dalam Sistem pemerintahan
1.
Pendahuluan
Pembagian kekuasaan
merupakan salah satu prinsip fundamental dalam teori dan praktik pemerintahan
modern yang demokratis. Gagasan ini berangkat dari kekhawatiran terhadap
potensi penyalahgunaan kekuasaan bila seluruh wewenang negara terpusat pada
satu entitas atau lembaga. Dalam sejarah pemikiran politik, prinsip ini pertama
kali dirumuskan secara sistematis oleh filsuf Prancis abad ke-18, Montesquieu,
dalam karya monumentalnya De l’esprit des lois (The
Spirit of the Laws, 1748). Dalam karya tersebut, Montesquieu mengemukakan
bahwa kebebasan politik hanya dapat terjamin apabila kekuasaan negara dibagi
menjadi tiga fungsi utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang
masing-masing beroperasi secara terpisah dan saling mengawasi satu sama lain
demi mencegah tirani dan akumulasi kekuasaan yang sewenang-wenang.¹
Prinsip pembagian
kekuasaan kemudian menjadi pilar utama dalam struktur konstitusi banyak negara
modern, terutama yang menganut sistem demokrasi liberal. Melalui mekanisme
checks and balances, masing-masing cabang kekuasaan diberikan kewenangan dan
batasan tertentu guna menjamin stabilitas, akuntabilitas, serta penghormatan
terhadap supremasi hukum dan hak-hak warga negara.² Dalam konteks ini,
pembagian kekuasaan tidak hanya bersifat struktural atau kelembagaan, tetapi
juga mencerminkan filosofi politik tentang perlunya distribusi kekuasaan untuk
menjamin keadilan dan kebebasan publik.
Meskipun demikian,
implementasi prinsip ini tidaklah seragam di setiap negara. Perbedaan sistem
pemerintahan—seperti sistem presidensial, parlementer, maupun
campuran—mempengaruhi cara pembagian kekuasaan dijalankan. Di samping itu,
dinamika politik, kekuatan partai, budaya hukum, dan kematangan demokrasi juga
turut menentukan efektivitas pelaksanaan prinsip ini.³ Dalam praktiknya, pembagian
kekuasaan sering kali menghadapi tantangan serius, seperti kecenderungan
konsentrasi kekuasaan pada eksekutif, lemahnya lembaga legislatif, atau tidak
independennya peradilan, yang kesemuanya dapat menggerus kualitas demokrasi itu
sendiri.⁴
Di tengah arus
globalisasi, gelombang populisme, dan kemunculan pemerintahan otoriter yang
tersembunyi di balik prosedur demokratis, relevansi pembagian kekuasaan semakin
dipertanyakan sekaligus diuji. Apakah prinsip klasik ini masih memadai untuk
menjamin akuntabilitas dan perlindungan hak warga negara di abad ke-21?
Bagaimana tantangan digitalisasi, krisis kepercayaan publik, dan kompleksitas
birokrasi mempengaruhi mekanisme pengawasan antar lembaga negara? Artikel ini
bertujuan untuk membahas secara komprehensif teori, implementasi, serta
tantangan kontemporer dalam pembagian kekuasaan, dengan mengacu pada kerangka
teoretis, contoh praktik di berbagai negara, serta dinamika terbaru dalam tata
kelola pemerintahan.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 155–156.
[2]
Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, 4th ed.
(London: Palgrave Macmillan, 2015), 122–124.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University
Press, 2012), 118–123.
[4]
Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, How to Save a Constitutional
Democracy (Chicago: University of Chicago Press, 2018), 55–59.
2.
Landasan Filosofis dan Teoretis
Prinsip pembagian
kekuasaan berakar pada pemikiran filsafat politik yang mempersoalkan hakikat
kekuasaan dan batasannya dalam kehidupan bernegara. Secara filosofis, kekuasaan
negara dipahami sebagai suatu keharusan dalam menjaga ketertiban dan keadilan sosial,
namun pada saat yang sama, kekuasaan juga mengandung potensi besar untuk
disalahgunakan. Oleh karena itu, filsuf-filsuf politik klasik telah merumuskan
bahwa kekuasaan perlu dibatasi agar tidak berubah menjadi alat tirani. Seperti
yang dinyatakan Lord Acton secara terkenal, “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely.”¹
John Locke
(1632–1704), sebagai salah satu pelopor liberalisme klasik, menjadi pemikir
awal yang secara eksplisit merumuskan ide pembagian kekuasaan. Dalam Two
Treatises of Government, Locke membagi kekuasaan negara ke dalam
dua kategori utama: kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif.² Ia meyakini
bahwa pembatasan kekuasaan adalah cara terbaik untuk menjamin hak-hak alamiah
manusia seperti hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Dalam sistem yang ia
bayangkan, kekuasaan legislatif harus memegang supremasi dalam membuat hukum,
sementara kekuasaan eksekutif menjalankan hukum tersebut secara terbatas.
Namun, pembagian kekuasaan secara lebih sistematis dan lengkap baru dikembangkan oleh
Montesquieu dalam De l’esprit des lois. Ia
menambahkan kekuasaan yudikatif sebagai elemen ketiga yang tak kalah penting.
Menurutnya, kebebasan politik hanya bisa terwujud bila kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif tidak berada dalam satu tangan atau lembaga yang
sama.³ Dengan kata lain, prinsip pembagian kekuasaan bukan sekadar soal
efisiensi administrasi pemerintahan, tetapi merupakan perlindungan
institusional terhadap kebebasan sipil dan instrumen untuk mencegah konsentrasi
kekuasaan yang absolut.
Secara teoretis,
konsep ini kemudian berkembang menjadi apa yang disebut dengan prinsip checks
and balances—yakni mekanisme pengawasan dan penyeimbangan
antarlembaga negara. Dalam pendekatan modern, gagasan ini tidak selalu berarti
pembagian kekuasaan secara mutlak, melainkan pembedaan fungsi yang disertai
sistem pengawasan timbal balik agar tidak terjadi dominasi satu lembaga
terhadap yang lain.⁴ Prinsip ini menjadi landasan dalam teori konstitusional
modern yang mementingkan limited government, yaitu
pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan lembaga-lembaga yang saling
mengontrol.
Landasan teoretis
dari pembagian kekuasaan juga diperkuat oleh teori institusionalis dalam ilmu
politik modern. Institusionalisme menekankan pentingnya struktur formal dalam
membentuk perilaku politik dan stabilitas sistem pemerintahan. Menurut teori
ini, desain lembaga-lembaga negara, termasuk bagaimana kekuasaan dibagi,
memiliki pengaruh besar terhadap hasil kebijakan dan kualitas demokrasi.⁵ Oleh
karena itu, pembagian kekuasaan tidak semata-mata persoalan normatif, melainkan
juga persoalan rekayasa institusional yang menentukan bagaimana kekuasaan
dijalankan dan dibatasi secara efektif dalam praktik.
Dalam era
kontemporer, gagasan pembagian kekuasaan tetap dipertahankan karena ia
mengandung nilai-nilai fundamental demokrasi: penghormatan terhadap hukum,
akuntabilitas kekuasaan, dan partisipasi politik yang setara. Oleh sebab itu,
memahami landasan filosofis dan teoretis ini menjadi krusial dalam menilai
bagaimana sebuah sistem pemerintahan mampu menjamin keadilan dan kebebasan bagi
seluruh warganya.
Footnotes
[1]
Lord Acton, Letters of Lord Acton to Mary Gladstone, ed.
Herbert Paul (London: George Allen, 1904), 290.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 352–354.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 156–157.
[4]
Andrew Heywood, Key Concepts in Politics and International
Relations, 2nd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2015), 204–207.
[5]
Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New
Institutionalism, 3rd ed. (London: Continuum, 2012), 44–47.
3.
Sejarah Gagasan Pembagian Kekuasaan
Gagasan pembagian
kekuasaan tidak muncul secara tiba-tiba dalam sejarah pemikiran politik. Ia
berkembang sebagai respons terhadap problem konsentrasi kekuasaan yang kerap melahirkan
tirani dan ketidakadilan, terutama dalam konteks pemerintahan absolut dan
monarki yang dominan pada masa pramodern. Sejak zaman klasik, pemikiran tentang
pentingnya membatasi kekuasaan negara sudah muncul, meskipun belum dalam bentuk
yang sistematis seperti dalam teori modern.
Salah satu benih
awal dari gagasan pembagian kekuasaan dapat ditelusuri dalam pemikiran Aristoteles
(384–322 SM). Dalam Politics, Aristoteles membedakan
tiga elemen utama dalam pemerintahan: deliberative, executive,
dan judicial
functions.¹ Meskipun belum secara eksplisit membahas pembagian kekuasaan dalam
kerangka institusional, analisis ini menunjukkan kesadaran awal akan perlunya
diferensiasi fungsi dalam tata kelola negara.
Perkembangan
signifikan terjadi pada era modern, khususnya melalui karya John Locke (1632–1704), filsuf Inggris yang menjadi pelopor teori
kontrak sosial dan pembatasan kekuasaan. Dalam Two Treatises of Government (1689),
Locke membagi kekuasaan negara ke dalam dua bagian utama: legislatif dan
eksekutif. Ia juga menyebut kekuasaan federatif yang berkaitan dengan hubungan
luar negeri.² Locke menekankan bahwa kekuasaan legislatif harus lebih tinggi
dari eksekutif karena ia merupakan perwujudan kehendak rakyat melalui hukum.
Namun demikian, Locke belum mengembangkan gagasan tentang kekuasaan yudikatif
sebagai lembaga yang independen.
Puncak formulasi
sistematis tentang pembagian kekuasaan terjadi melalui pemikiran Baron de
Montesquieu (1689–1755) dalam karya monumentalnya De
l’esprit des lois (The Spirit of the Laws, 1748).
Montesquieu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk: legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.³ Ia berpendapat bahwa apabila ketiga kekuasaan
tersebut berada pada satu orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada
kebebasan politik. Montesquieu tidak hanya membagi kekuasaan, tetapi juga
menekankan pentingnya keseimbangan dan saling pengawasan (checks and balances)
antar ketiganya. Gagasan ini merupakan refleksi dari kekagumannya terhadap
sistem konstitusional Inggris pasca-Revolusi Glorious (1688), di mana Raja,
Parlemen, dan Pengadilan memiliki fungsi yang berbeda dan saling membatasi.
Pemikiran
Montesquieu memiliki dampak yang sangat luas dalam sejarah ketatanegaraan
modern. Ia memberikan pengaruh besar terhadap perumusan Konstitusi
Amerika Serikat (1787), yang dengan jelas mengadopsi prinsip
pembagian kekuasaan dalam struktur pemerintahan federalnya. James Madison,
salah satu penulis utama The Federalist Papers, mengafirmasi
pentingnya distribusi kekuasaan demi menghindari dominasi satu kelompok atau
individu terhadap negara.⁴ Selain itu, semangat Montesquieu juga memengaruhi
revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Prancis (1789), di mana tuntutan atas
keadilan dan pembatasan kekuasaan monarki menjadi pendorong utama perubahan
sistem pemerintahan.
Pada abad ke-19 dan
ke-20, gagasan pembagian kekuasaan terus mengalami adaptasi seiring dengan
munculnya berbagai sistem pemerintahan baru—baik yang berbentuk presidensial,
parlementer, maupun sistem campuran. Penerapannya disesuaikan dengan konteks
sejarah, budaya politik, serta kebutuhan praktis di masing-masing negara.
Meskipun tidak selalu dilaksanakan dalam bentuk yang identik, prinsip dasarnya
tetap dipertahankan: kekuasaan negara harus dibagi dan diawasi untuk mencegah
absolutisme dan menjamin kebebasan warga negara.⁵
Dengan demikian,
sejarah gagasan pembagian kekuasaan mencerminkan evolusi panjang pemikiran
politik tentang bagaimana kekuasaan negara harus disusun dan dibatasi. Ia bukan
hanya warisan intelektual, tetapi juga landasan moral dan institusional dari
demokrasi modern.
Footnotes
[1]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover
Publications, 2000), 131–133.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 351–356.
[3]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 155–159.
[4]
James Madison, The Federalist Papers, ed. Clinton Rossiter
(New York: Penguin Books, 2003), No. 51.
[5]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University
Press, 2012), 119–122.
4.
Tiga Cabang Kekuasaan dalam Negara
Dalam teori klasik
pembagian kekuasaan yang dikembangkan Montesquieu, negara idealnya menyusun
kekuasaannya ke dalam tiga cabang utama yang terpisah secara fungsional namun
saling mengimbangi satu sama lain, yaitu legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.
Pemisahan ini dimaksudkan bukan sekadar sebagai upaya administratif, tetapi
sebagai mekanisme pengamanan politik untuk mencegah dominasi kekuasaan yang
absolut dan memastikan perlindungan atas kebebasan individu.¹
4.1.
Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif
merupakan cabang yang bertugas untuk membuat, mengubah, dan mencabut
undang-undang. Dalam sistem demokrasi, lembaga legislatif menjadi representasi
utama kehendak rakyat melalui proses elektoral.² Fungsi legislatif tidak hanya
terbatas pada pembuatan hukum, tetapi juga mencakup fungsi pengawasan terhadap
pemerintah (eksekutif) dan persetujuan atas anggaran negara.
Struktur lembaga
legislatif berbeda-beda tergantung sistem pemerintahan yang dianut. Dalam
sistem bikameral,
seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, parlemen terdiri dari dua kamar:
majelis rendah (DPR/House of Representatives) dan majelis tinggi (DPD/Senate),
sedangkan dalam sistem unikameral hanya terdapat satu
kamar legislatif.³ Kekuatan legislatif menjadi indikator penting dari sejauh
mana suatu negara menegakkan prinsip keterwakilan dan akuntabilitas kekuasaan.
4.2.
Kekuasaan Eksekutif
Cabang eksekutif
bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum, penyelenggaraan pemerintahan, dan
perumusan serta pelaksanaan kebijakan publik. Kekuasaan ini biasanya dijalankan
oleh kepala negara atau kepala pemerintahan (presiden, perdana menteri), serta
para pembantunya dalam kabinet atau kementerian.⁴
Dalam sistem presidensial,
eksekutif berdiri terpisah dari legislatif dan dipilih secara langsung oleh
rakyat, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil.
Sementara dalam sistem parlementer, kepala eksekutif
(perdana menteri) dipilih dari dan oleh parlemen, sebagaimana diterapkan di
Inggris, Jerman, dan India.⁵
Kekuasaan eksekutif
sering kali menjadi pusat kekuasaan dalam praktik, terutama di negara-negara
yang memiliki tradisi politik kuat dalam kepemimpinan eksekutif. Oleh karena
itu, keberadaan mekanisme pengawasan dari legislatif dan yudikatif menjadi
krusial agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga eksekutif.
4.3.
Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan yudikatif
memiliki fungsi utama dalam menafsirkan hukum, menyelesaikan sengketa hukum,
serta menjaga supremasi konstitusi dan hak-hak fundamental warga negara. Dalam
sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan yudikatif harus bersifat independen
dan imparsial agar dapat menjalankan peran sebagai penjaga keadilan dan
pengimbang kekuasaan politik.⁶
Lembaga-lembaga
yudikatif mencakup pengadilan umum, pengadilan tinggi, dan di beberapa negara
termasuk mahkamah konstitusi yang
memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Di Amerika
Serikat, Supreme
Court memiliki kekuasaan judicial review yang kuat untuk
membatalkan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.⁷ Di
Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi serupa sebagai pengawal
konstitusi dan pelindung hak konstitusional warga negara.
Kemandirian
kekuasaan yudikatif merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan sistem
pembagian kekuasaan. Tanpa peradilan yang bebas dan kuat, prinsip rule of
law akan melemah, dan mekanisme pengimbangan terhadap cabang
eksekutif maupun legislatif tidak dapat dijalankan secara efektif.
Dengan demikian,
ketiga cabang kekuasaan tersebut merupakan pilar utama dalam arsitektur
pemerintahan demokratis. Pemisahan dan saling pengawasan di antara ketiganya
menjadi fondasi bagi penyelenggaraan pemerintahan yang adil, akuntabel, dan
menjunjung tinggi kebebasan serta hak warga negara.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 157.
[2]
Andrew Heywood, Politics, 5th ed. (London: Palgrave Macmillan,
2013), 318–320.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance
in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2012),
182–185.
[4]
Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to
Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010),
99–101.
[5]
B. Guy Peters dan Jon Pierre, Governance, Politics and the State
(London: Macmillan, 2000), 91–93.
[6]
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional
Courts in Asian Cases (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
18–22.
[7]
Mark Tushnet, Weak Courts, Strong Rights: Judicial Review and
Social Welfare Rights in Comparative Constitutional Law (Princeton:
Princeton University Press, 2008), 43–45.
5.
Model-Model Pembagian Kekuasaan dalam Praktik
Meskipun secara
teoritis prinsip pembagian kekuasaan memiliki struktur dasar yang sama—yakni
pemisahan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif—dalam praktiknya, model
penerapannya sangat beragam. Variasi ini tergantung pada bentuk sistem
pemerintahan yang dianut oleh suatu negara, konteks historis, serta tradisi
konstitusional yang berkembang. Tiga model utama yang menonjol dalam praktik
sistem pemerintahan modern adalah sistem presidensial, sistem
parlementer, dan sistem campuran
(semi-presidensial).
5.1.
Sistem Presidensial
Dalam sistem
presidensial, kekuasaan eksekutif dipisahkan secara tegas dari kekuasaan legislatif. Presiden menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan dan dipilih langsung oleh rakyat. Ciri utama dari sistem ini
adalah tidak adanya ketergantungan langsung antara eksekutif dan legislatif;
presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen kecuali dalam kondisi khusus
seperti impeachment karena pelanggaran hukum berat.¹
Model ini banyak
diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Indonesia,
Brasil,
dan Meksiko.
Dalam sistem ini, prinsip checks and balances lebih menonjol karena antar
cabang kekuasaan saling mengawasi dan memiliki kewenangan yang relatif
seimbang.² Namun, dalam praktiknya, kekuasaan eksekutif dapat menjadi sangat
dominan apabila tidak ada kontrol parlemen yang kuat atau independensi
peradilan yang efektif.
5.2.
Sistem Parlementer
Sistem parlementer
dicirikan oleh hubungan yang erat antara cabang legislatif dan eksekutif.
Kepala pemerintahan (umumnya perdana menteri) berasal dari partai atau koalisi
mayoritas di parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Dalam
sistem ini, kepala negara biasanya bersifat simbolis (raja atau presiden
seremonial), sedangkan kekuasaan eksekutif yang nyata berada pada perdana
menteri dan kabinet.³
Model ini diterapkan
di negara-negara seperti Inggris, India,
Jerman,
dan Australia.
Kelebihan dari sistem ini adalah fleksibilitas dan efisiensi pengambilan
keputusan karena adanya integrasi antara legislatif dan eksekutif. Namun,
kekurangannya adalah potensi dominasi eksekutif apabila partai penguasa
mengontrol mayoritas mutlak di parlemen.⁴ Dalam situasi seperti ini, mekanisme
pengawasan terhadap pemerintah bisa menjadi lemah, dan pembagian kekuasaan
menjadi tidak seimbang.
5.3.
Sistem Campuran (Semi-Presidensial)
Sistem
semi-presidensial menggabungkan elemen-elemen dari sistem presidensial dan
parlementer. Dalam model ini, terdapat presiden yang dipilih langsung oleh
rakyat dan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Keduanya
memiliki kewenangan eksekutif yang dibagi atau dibedakan berdasarkan ketentuan
konstitusi.⁵
Contoh utama dari
sistem ini adalah Prancis, di mana presiden
memegang kekuasaan dalam urusan luar negeri dan pertahanan, sementara perdana
menteri memimpin urusan domestik dan pemerintahan sehari-hari.⁶ Sistem ini
memungkinkan distribusi kekuasaan eksekutif yang lebih fleksibel dan adaptif,
tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara presiden dan perdana
menteri, terutama dalam kondisi koabitasi (cohabitation), yakni ketika keduanya
berasal dari partai politik yang berbeda.
Perbandingan dan Dinamika Model
Ketiga model di atas
tidak selalu diterapkan secara murni. Dalam praktiknya, banyak negara melakukan
modifikasi sesuai kebutuhan nasional dan perkembangan politik domestik.⁷
Misalnya, Indonesia pascareformasi 1998 telah memperkuat sistem presidensialnya
dengan berbagai elemen checks and balances yang meniru praktik parlemen,
seperti mekanisme persetujuan legislatif atas penunjukan pejabat tinggi dan
pengawasan anggaran.
Secara umum,
keberhasilan penerapan model pembagian kekuasaan dalam praktik sangat tergantung
pada faktor-faktor non-institusional seperti budaya politik, kematangan
demokrasi, kekuatan masyarakat sipil, dan keberadaan lembaga-lembaga penegak
hukum yang independen. Oleh karena itu, desain konstitusi yang baik perlu
didukung oleh praktik politik yang sehat dan penghormatan terhadap
prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Footnotes
[1]
Juan J. Linz, "The Perils of Presidentialism," Journal of
Democracy 1, no. 1 (1990): 51–69.
[2]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University
Press, 2012), 106–108.
[3]
Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford:
Oxford University Press, 1997), 132–135.
[4]
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An
Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nd ed. (New York: NYU
Press, 1997), 97–101.
[5]
Maurice Duverger, "A New Political System Model: Semi-Presidential
Government," European Journal of Political Research 8, no. 2 (1980):
165–187.
[6]
Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Sub-Types and Democratic
Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 45–49.
[7]
Tom Ginsburg dan Alberto Simpser, eds., Constitutions in
Authoritarian Regimes (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
211–213.
6.
Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Pembagian kekuasaan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama
setelah dilakukan serangkaian amendemen konstitusi pada
periode 1999–2002. Sebelum reformasi, struktur kekuasaan negara cenderung
bersifat sentralistik dengan dominasi cabang eksekutif, khususnya presiden.
Namun, pasca-reformasi, Indonesia mengadopsi sistem presidensial yang lebih
demokratis dan menekankan prinsip pemisahan serta keseimbangan kekuasaan
antar lembaga negara.¹
Dalam kerangka ini,
kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga cabang utama, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta didukung oleh sejumlah lembaga
negara independen yang memiliki fungsi pengawasan atau penguatan prinsip
demokrasi dan konstitusionalisme.
6.1.
Kekuasaan Legislatif
Lembaga legislatif
di Indonesia dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai representasi utama rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang mewakili kepentingan daerah. Bersama dengan Presiden, DPR menjalankan
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20
sampai 22C UUD 1945.²
Sementara DPD, meskipun
merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
memiliki wewenang yang lebih terbatas. Peran legislatif Indonesia masih sering
dikritik karena cenderung lemah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap
eksekutif, dan belum sepenuhnya mampu menjadi kekuatan penyeimbang.³
6.2.
Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif
dipegang oleh Presiden, yang juga merangkap
sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Presiden Indonesia dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, yang menunjukkan karakter
presidensial sistem pemerintahan Indonesia.⁴
Presiden memiliki
wewenang yang luas sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 14 UUD 1945,
termasuk dalam hal pengangkatan menteri, pengesahan undang-undang, serta peran
dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan. Meskipun demikian, dalam praktik,
kekuasaan Presiden tetap dibatasi oleh DPR, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga
pengawasan lainnya.
6.3.
Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan kehakiman
dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan
peradilan di bawahnya, serta oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi
Yudisial (KY). Dalam hal ini, Pasal 24 UUD 1945 secara
eksplisit menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan.⁵
MA memiliki yurisdiksi
untuk menyelesaikan perkara perdata dan pidana serta fungsi kasasi, sedangkan
MK menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.⁶ Sementara itu, KY
berperan dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Meski struktur
kelembagaan yudikatif telah mengalami penguatan, independensi lembaga peradilan
Indonesia masih menghadapi tantangan serius, termasuk intervensi politik dan
korupsi.⁷
6.4.
Lembaga Negara Lain sebagai Penyeimbang
Selain ketiga cabang
utama, Indonesia juga memiliki sejumlah lembaga negara independen yang
berfungsi sebagai penguatan prinsip pembagian kekuasaan, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman RI, dan Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Lembaga-lembaga ini tidak termasuk dalam
tiga cabang kekuasaan klasik Montesquieu, tetapi mereka menjalankan fungsi
checks and balances dalam kerangka tata kelola pemerintahan demokratis.
6.5.
Dinamika dan Tantangan
Meskipun secara
normatif pembagian kekuasaan di Indonesia telah diperkuat pasca-amendemen UUD
1945, dalam praktiknya masih terdapat sejumlah tantangan. Di antaranya adalah kecenderungan
dominasi kekuasaan eksekutif, lemahnya fungsi pengawasan
legislatif, serta kurangnya independensi peradilan
dalam beberapa kasus penting.⁸ Selain itu, praktik politik transaksional,
pengaruh oligarki, dan rendahnya integritas lembaga perwakilan rakyat sering
kali melemahkan prinsip checks and balances.
Dengan demikian,
meskipun desain konstitusional Indonesia mengarah pada sistem pembagian
kekuasaan yang demokratis, efektivitasnya sangat bergantung pada kualitas
kelembagaan, supremasi hukum, dan budaya politik yang berkembang di masyarakat.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
2nd ed. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 101–104.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20–22C.
[3]
Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Comprehensive Overview
(Jakarta: Kompas, 2008), 77–80.
[4]
Tim Lindsey dan Simon Butt, The Constitution of Indonesia: A
Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2020), 93–95.
[5]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24.
[6]
Simon Butt, The Constitutional Court and Democracy in Indonesia
(Leiden: Brill, 2015), 49–54.
[7]
Adnan Buyung Nasution, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for
Democracy, updated ed. (Jakarta: Equinox Publishing, 2007), 192–195.
[8]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 122–129.
7.
Kritik dan Tantangan dalam Pembagian Kekuasaan
Meskipun pembagian
kekuasaan merupakan prinsip fundamental dalam teori dan praktik demokrasi
modern, pelaksanaannya di berbagai negara tidak luput dari kritik dan tantangan
serius. Kritik ini muncul baik dari aspek teoretis maupun dari dinamika praktis
pemerintahan, terutama ketika prinsip tersebut gagal mencegah konsentrasi
kekuasaan, atau justru menciptakan kebuntuan politik yang menghambat jalannya
pemerintahan. Dalam konteks kontemporer, tantangan terhadap pembagian kekuasaan
semakin kompleks seiring dengan munculnya pola-pola baru pemerintahan otoriter,
disfungsi kelembagaan, dan persoalan legitimasi demokratis.
7.1.
Ketidakseimbangan Kekuasaan Antar Lembaga
Salah satu kritik
paling umum terhadap pembagian kekuasaan adalah ketidakseimbangan aktual antar cabang kekuasaan,
terutama dominasi eksekutif atas legislatif dan yudikatif. Dalam banyak negara
dengan sistem presidensial, presiden sering kali memiliki pengaruh yang terlalu
besar atas parlemen, baik melalui kekuatan politik partai, kontrol anggaran,
maupun kewenangan eksekutif yang luas.¹ Hal ini dapat mengurangi efektivitas
fungsi pengawasan legislatif dan menjadikan parlemen sebagai lembaga stempel
belaka.
7.2.
Politisasi Yudikatif dan Lemahnya Independensi
Peradilan
Di berbagai negara
berkembang, termasuk Indonesia, independensi yudikatif masih menghadapi
tantangan besar. Intervensi politik dalam pengangkatan hakim, tekanan terhadap
keputusan peradilan, dan praktik korupsi melemahkan posisi peradilan sebagai
pengawal keadilan dan konstitusi.² Padahal, dalam kerangka pembagian kekuasaan,
yudikatif berperan sebagai pengimbang yang krusial terhadap legislatif dan
eksekutif. Ketika fungsi ini melemah, mekanisme checks and balances ikut
terancam.
7.3.
Fragmentasi Kelembagaan dan Kebuntuan Politik
Kritik lain datang
dari sisi efektivitas, terutama dalam sistem pemerintahan yang terlalu rigid
dalam memisahkan kekuasaan. Dalam sistem presidensial, misalnya, pembagian
kekuasaan yang terlalu ketat dapat menimbulkan gridlock atau kebuntuan
politik, terutama ketika presiden dan parlemen berasal dari partai yang
berbeda.³ Kebuntuan ini dapat menghambat pengambilan kebijakan publik yang
strategis dan melemahkan respons negara terhadap krisis.
7.4.
Praktik Politik Oligarkis dan Transaksional
Dalam praktik,
prinsip pembagian kekuasaan sering kali dirusak oleh praktek
oligarki dan politik transaksional, di mana elite politik
lintas lembaga saling berkompromi untuk kepentingan kelompok, bukan untuk
kepentingan publik.⁴ Akibatnya, meskipun secara formal terdapat pembagian kekuasaan, secara substantif kekuasaan justru terpusat pada jaringan informal
kekuasaan yang tertutup dari kontrol publik dan hukum.
7.5.
Ambiguitas dan Tumpang Tindih Kewenangan
Permasalahan lain
yang sering terjadi adalah ambiguitas konstitusional dalam
membagi fungsi dan kewenangan antar lembaga negara. Hal ini dapat memicu
konflik antarlembaga dan memperlambat kinerja pemerintahan. Di Indonesia,
misalnya, pernah terjadi perdebatan panjang antara DPR dan Mahkamah Konstitusi
terkait wewenang pengawasan, serta antara KPK dan Polri terkait penegakan
hukum.⁵
7.6.
Krisis Kepercayaan terhadap Lembaga Negara
Masyarakat cenderung
kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara ketika pembagian
kekuasaan hanya berjalan secara formalistik tanpa disertai integritas dan
akuntabilitas aktor-aktornya. Dalam situasi demikian, demokrasi menjadi dangkal
(shallow democracy) karena tidak lagi mampu menjadi sistem yang efektif dalam
menampung aspirasi dan menjamin keadilan.⁶
7.7.
Tantangan Era Digital dan Kompleksitas
Pemerintahan
Di era digital,
kompleksitas pemerintahan semakin tinggi dengan munculnya birokrasi
teknokratik, lembaga non-pemerintah yang kuat, serta peran big data dalam
proses pengambilan kebijakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah prinsip
pembagian kekuasaan klasik masih memadai dalam menjawab tantangan zaman, atau
perlu direformulasi dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang lebih adaptif
dan partisipatif.⁷
Dengan demikian,
pembagian kekuasaan bukanlah konsep yang statis. Ia harus senantiasa dikaji dan
diperkuat, baik secara institusional maupun kultural. Reformasi lembaga,
penegakan hukum, penguatan masyarakat sipil, dan literasi politik menjadi kunci
dalam menjamin efektivitas prinsip ini sebagai fondasi negara demokratis.
Footnotes
[1]
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy
1, no. 1 (1990): 60–63.
[2]
Simon Butt, Corruption and Law in Indonesia (London:
Routledge, 2012), 45–47.
[3]
Arend Lijphart, Thinking about Democracy: Power Sharing and
Majority Rule in Theory and Practice (London: Routledge, 2008), 124–126.
[4]
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia:
The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: RoutledgeCurzon,
2004), 38–42.
[5]
Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Comprehensive Overview
(Jakarta: Kompas, 2008), 105–107.
[6]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free
Societies Throughout the World (New York: Times Books, 2008), 151–155.
[7]
Stephen P. Osborne, The New Public Governance? Emerging
Perspectives on the Theory and Practice of Public Governance (London:
Routledge, 2010), 3–7.
8.
Relevansi Pembagian Kekuasaan di Era Modern
Dalam konteks abad
ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas globalisasi, kemajuan teknologi digital,
serta dinamika politik yang semakin cepat berubah, prinsip pembagian
kekuasaan tetap memegang posisi strategis sebagai fondasi dari
sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadaban. Namun demikian, relevansi
konsep ini kini tidak hanya diuji oleh tantangan internal berupa kelembagaan
dan budaya politik, tetapi juga oleh transformasi eksternal yang menuntut
penyesuaian dan reaktualisasi makna serta bentuknya.
8.1.
Penopang Demokrasi dan Supremasi Konstitusi
Prinsip pembagian
kekuasaan merupakan elemen dasar dari negara hukum demokratis (constitutional
democracy). Dalam sistem semacam ini, pembagian kekuasaan menjadi
jaminan institusional terhadap pelaksanaan prinsip rule of law, perlindungan hak asasi
manusia, dan kontrol terhadap kekuasaan politik.¹ Dengan memastikan bahwa tidak
ada satu lembaga pun yang memonopoli kekuasaan, demokrasi menjadi lebih
terlindungi dari kecenderungan otoritarianisme atau penyimpangan
konstitusional.
Relevansi ini
semakin nyata dalam situasi ketika banyak negara mengalami regresi demokrasi (democratic
backsliding), di mana pemimpin yang dipilih secara demokratis
justru menggunakan instrumen kekuasaan untuk memperkuat kediktatoran elektoral.²
Dalam konteks ini, pembagian kekuasaan yang disertai dengan mekanisme checks
and balances berperan sebagai pagar pembatas terhadap pelemahan institusi
demokratis.
8.2.
Adaptasi terhadap Kompleksitas Pemerintahan Modern
Pemerintahan modern
tidak lagi hanya melibatkan tiga cabang kekuasaan klasik, tetapi juga lembaga-lembaga
independen, teknokrasi, serta aktor
non-negara yang memengaruhi pengambilan keputusan publik.³ Oleh
karena itu, konsep pembagian kekuasaan saat ini menuntut pendekatan
yang lebih fleksibel dan multidimensional, mencakup pembagian
horizontal (antar cabang negara) dan vertikal (antar tingkatan pemerintahan
pusat dan daerah), serta penguatan kontrol horizontal dari masyarakat sipil,
media, dan lembaga pengawas.
Fenomena seperti
pengaruh besar lembaga keuangan internasional, perusahaan teknologi global,
serta sistem birokrasi yang transnasional mengharuskan pemikiran ulang terhadap
cara negara mempertahankan otonomi kebijakan sambil menjaga akuntabilitas
demokratis.⁴
8.3.
Menjawab Tantangan Era Digital dan Disinformasi
Era digital membawa
tantangan baru bagi prinsip pembagian kekuasaan, khususnya dalam pengaturan dan
pengawasan atas ruang publik digital, perlindungan data pribadi, serta
penegakan hukum dalam dunia maya. Kekuasaan yang tidak terkendali atas
algoritma, sistem kecerdasan buatan, dan pengumpulan data besar (big data)
berisiko menciptakan bentuk kekuasaan baru yang tidak diawasi oleh struktur
formal negara.⁵
Dalam konteks ini,
pembagian kekuasaan harus diperluas untuk mengakomodasi pengawasan
terhadap kekuasaan teknologi, serta memperkuat peran legislatif
dan yudikatif dalam menjamin bahwa perkembangan digital tidak melampaui
batas-batas demokrasi dan hak asasi manusia.
8.4.
Penyeimbang Terhadap Populisme dan Sentralisasi
Kekuasaan
Kebangkitan
populisme di berbagai belahan dunia dalam dekade terakhir menunjukkan adanya
kecenderungan pemusatan kekuasaan pada satu figur atau partai yang kuat, dengan
retorika yang sering kali anti-elit dan anti-lembaga.⁶ Dalam situasi seperti
ini, institusi pembagi kekuasaan seperti parlemen, peradilan, dan lembaga
pengawas menjadi benteng terakhir bagi keberlangsungan demokrasi substantif.
Pengalaman di
negara-negara seperti Hongaria, Turki, dan Filipina menunjukkan bahwa ketika
mekanisme pembagian kekuasaan lemah, populisme dapat berkembang menjadi bentuk otoritarianisme
elektoral yang menindas oposisi dan melemahkan hukum.⁷ Maka,
memperkuat prinsip ini merupakan langkah penting dalam menjaga pluralisme
politik dan keadilan sosial.
8.5.
Kontribusi terhadap Tata Kelola yang Akuntabel
dan Responsif
Pembagian kekuasaan
juga berkaitan erat dengan prinsip akuntabilitas dan responsivitas pemerintahan.
Dengan memisahkan fungsi dan memberikan mekanisme pengawasan antarlembaga,
keputusan politik dan kebijakan publik menjadi lebih transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.⁸ Ini penting tidak hanya dalam sistem
demokrasi liberal, tetapi juga dalam tata kelola pemerintahan yang inklusif dan
partisipatif secara umum.
Dengan demikian,
pembagian kekuasaan tetap relevan di era modern sebagai prinsip yang adaptif
dan dinamis. Ia bukan sekadar warisan klasik dari pemikiran politik abad ke-18,
melainkan fondasi etis dan praktis bagi penyelenggaraan negara yang menjunjung
keadilan, kebebasan, dan martabat manusia dalam situasi sosial-politik yang
terus berubah.
Footnotes
[1]
Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, How to Save a Constitutional
Democracy (Chicago: University of Chicago Press, 2018), 25–29.
[2]
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 79–83.
[3]
Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: An Introduction to
Comparative Public Administration, 6th ed. (London: Routledge, 2010),
118–120.
[4]
Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to
Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 295–298.
[5]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 130–135.
[6]
Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University
of Pennsylvania Press, 2016), 42–47.
[7]
Larry Diamond, “Facing Up to the Democratic Recession,” Journal of
Democracy 26, no. 1 (2015): 141–155.
[8]
Mark Bovens, Thomas Schillemans, dan Paul ‘t Hart, “Does Public
Accountability Work? An Assessment Tool,” Public Administration 86,
no. 1 (2008): 225–242.
9.
Studi Kasus Komparatif
Untuk memahami
implementasi prinsip pembagian kekuasaan dalam praktik ketatanegaraan
kontemporer, analisis komparatif terhadap beberapa negara dapat memberikan
wawasan penting tentang bagaimana struktur kelembagaan, budaya politik, dan
dinamika kekuasaan membentuk efektivitas sistem tersebut. Kajian ini akan
menyoroti tiga negara dengan model sistem pemerintahan yang berbeda: Amerika
Serikat (presidensial murni), Prancis (semi-presidensial),
dan Turki
(transisi menuju konsolidasi otoritarianisme).
9.1.
Amerika Serikat: Model Ideal Checks and
Balances
Amerika Serikat
dianggap sebagai salah satu model paling awal dan konsisten dari prinsip separation
of powers yang dikembangkan Montesquieu. Konstitusi AS (1787)
secara tegas memisahkan kekuasaan menjadi tiga cabang: legislatif (Kongres),
eksekutif (Presiden), dan yudikatif (Mahkamah Agung). Ketiga cabang ini
diberikan kewenangan yang jelas serta mekanisme saling mengawasi.¹
Kongres memiliki
wewenang legislasi dan pengawasan yang kuat, termasuk hak veto atas kebijakan
eksekutif dan kekuasaan anggaran. Presiden memiliki wewenang eksekutif yang
luas, tetapi dibatasi oleh proses impeachment dan pengujian hukum oleh Mahkamah
Agung.² Mahkamah Agung sendiri memainkan peran kunci dalam menafsirkan
konstitusi dan membatalkan hukum atau kebijakan yang bertentangan dengan
prinsip dasar negara.
Sistem ini telah
terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, namun juga menghadirkan
tantangan tersendiri dalam bentuk gridlock atau kebuntuan
politik, terutama ketika cabang kekuasaan didominasi oleh partai politik yang
saling berseberangan.³ Meskipun demikian, independensi kelembagaan tetap
terjaga karena sistem rekrutmen dan mekanisme pengawasan yang kuat.
9.2.
Prancis: Semi-Presidensialisme dan Dualisme
Eksekutif
Prancis mengadopsi
sistem semi-presidensialisme
melalui Konstitusi Republik Kelima (1958) yang dirancang oleh Charles de
Gaulle. Dalam model ini, kekuasaan eksekutif dibagi antara Presiden
dan Perdana
Menteri, di mana Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan
memiliki kekuasaan luas dalam urusan luar negeri dan pertahanan, sedangkan
Perdana Menteri memimpin pemerintahan harian dan bertanggung jawab kepada
parlemen.⁴
Pembagian kekuasaan
di Prancis cenderung fleksibel, tetapi sering kali tergantung pada konfigurasi
politik—terutama saat terjadi cohabitation, yaitu ketika
Presiden dan Perdana Menteri berasal dari partai politik yang berbeda. Dalam
kondisi ini, mekanisme pembagian kekuasaan diuji, karena eksekutif terbelah
antara dua kekuatan yang secara hukum setara namun secara politis bisa saling
bertentangan.⁵
Secara umum, sistem
ini berhasil menjaga stabilitas politik dan efisiensi pemerintahan, namun dalam
beberapa kasus juga memperlihatkan potensi ambiguitas kewenangan dan ketegangan
antar eksekutif.
9.3.
Turki: Konsentrasi Kekuasaan dalam Sistem
Presidensial Baru
Turki merupakan
contoh kontemporer dari erosi prinsip pembagian kekuasaan,
terutama pasca-referendum konstitusi tahun 2017 yang mengubah sistem
parlementer menjadi presidensial. Perubahan ini memberikan kekuasaan yang
sangat besar kepada Presiden, termasuk hak mengangkat pejabat tinggi negara,
membubarkan parlemen, dan mengontrol yudikatif melalui pengaruh atas Dewan
Hakim dan Jaksa.⁶
Sejak reformasi
tersebut, para pengamat mencatat terjadi kemunduran demokrasi dan penurunan
independensi lembaga-lembaga negara.⁷ Presiden Recep Tayyip Erdoğan dianggap
menggunakan kekuasaan barunya untuk melemahkan oposisi, mengendalikan media,
dan menekan peradilan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran internasional bahwa
prinsip checks and balances di Turki telah digantikan oleh konsentrasi
kekuasaan dalam satu tangan, yang bertentangan dengan semangat pembagian
kekuasaan klasik.
Kasus Turki
menunjukkan bahwa perubahan desain konstitusional tanpa penguatan lembaga
pengawasan dan budaya politik demokratis dapat menjerumuskan negara ke dalam
otoritarianisme elektoral.⁸
Refleksi Komparatif
Dari ketiga studi
kasus di atas, tampak bahwa efektivitas pembagian kekuasaan sangat ditentukan
oleh:
·
Desain
konstitusional yang jelas dan konsisten.
·
Lembaga pengawasan
yang kuat dan independen.
·
Kualitas budaya
politik yang menjunjung akuntabilitas dan supremasi hukum.
·
Partisipasi sipil
yang aktif dalam mengawasi kekuasaan negara.
Tanpa elemen-elemen
ini, prinsip pembagian kekuasaan berisiko menjadi sekadar formalitas, sementara
kekuasaan nyata tetap terpusat dan tak terkendali.
Footnotes
[1]
The Federalist Papers, ed. Clinton Rossiter (New York: Signet Classics,
2003), No. 47–51.
[2]
Matthew Spalding, We Still Hold These Truths: Rediscovering Our
Principles, Reclaiming Our Future (Wilmington: ISI Books, 2009), 73–76.
[3]
Gary W. Cox dan Mathew D. McCubbins, Legislative Leviathan: Party
Government in the House (Berkeley: University of California Press, 2005),
182–185.
[4]
Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Sub-Types and Democratic
Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 20–24.
[5]
Ezra Suleiman, Presidentialism and Political Stability in France
(Ithaca: Cornell University Press, 1993), 110–113.
[6]
Ziya Öniş, “Turkey under the Challenge of State Capitalism: The
Political Economy of the AKP Era,” Southeast European and Black Sea Studies
19, no. 2 (2019): 201–225.
[7]
Human Rights Watch, “Turkey’s Human Rights Rollback,” accessed May
2025, https://www.hrw.org.
[8]
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 127–130.
10.
Penutup
Pembagian kekuasaan
merupakan prinsip dasar dalam teori pemerintahan modern yang bertujuan untuk
mencegah konsentrasi kekuasaan dan menjaga keseimbangan antar lembaga negara.
Berakar dari pemikiran politik klasik seperti yang dirumuskan oleh Montesquieu
dan Locke, prinsip ini tidak hanya menjadi kerangka kelembagaan, tetapi juga
merupakan instrumen perlindungan terhadap kebebasan individu dan supremasi
hukum.¹
Melalui kajian
historis dan teoretis, terbukti bahwa pembagian kekuasaan berperan krusial
dalam membentuk struktur pemerintahan yang demokratis. Penerapannya dalam
berbagai model pemerintahan—presidensial, parlementer, maupun semi-presidensial—menunjukkan
bahwa prinsip ini bersifat adaptif dan mampu disesuaikan dengan dinamika
politik serta kebutuhan masing-masing negara.² Studi kasus komparatif pada
Amerika Serikat, Prancis, dan Turki memperlihatkan bahwa keberhasilan pembagian
kekuasaan sangat bergantung pada desain konstitusional yang matang,
independensi lembaga, dan budaya politik yang menghormati norma demokrasi.
Dalam konteks
Indonesia, pembagian kekuasaan mengalami perkembangan signifikan sejak
reformasi 1998. Perubahan konstitusi memperkuat pemisahan fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif serta membentuk lembaga-lembaga pengimbang seperti
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun demikian, tantangan
tetap ada dalam bentuk disfungsi legislatif, politisasi yudikatif, dan dominasi
eksekutif.³ Praktik politik yang oligarkis dan transaksional masih menjadi
hambatan utama dalam mewujudkan pembagian kekuasaan yang substantif.
Di era modern yang
ditandai oleh globalisasi, kemajuan teknologi, serta krisis kepercayaan terhadap
institusi politik, prinsip pembagian kekuasaan tetap memiliki relevansi
strategis. Ia menjadi benteng terhadap populisme, pelanggaran konstitusi, dan
pemerintahan otoriter yang dibungkus dalam kemasan demokratis.⁴ Akan tetapi,
agar tetap efektif, konsep ini harus dikembangkan secara kontekstual dengan
memperhatikan dinamika kekuasaan baru, seperti kekuatan digital, lembaga
supranasional, dan aktor-aktor non-negara.
Oleh karena itu,
pembagian kekuasaan tidak cukup dipahami sebagai prinsip statis yang bersifat
formalistik. Ia harus terus direfleksikan, disesuaikan, dan diperkuat melalui:
·
Reformasi kelembagaan yang
menjamin independensi dan akuntabilitas.
·
Pendidikan politik dan
literasi konstitusi untuk memperkuat kontrol publik.
·
Penegakan hukum yang adil
dan transparan sebagai dasar kepercayaan rakyat terhadap negara.
Dengan demikian,
pembagian kekuasaan tetap relevan dan diperlukan sebagai jantung dari
penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang sehat, inklusif, dan bertanggung
jawab. Tanpa prinsip ini, negara berisiko kembali ke arah kekuasaan yang
absolut, sewenang-wenang, dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan serta
hak asasi manusia.⁵
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, dan Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 155–159.
[2]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries, 2nd ed. (New Haven: Yale University
Press, 2012), 121–124.
[3]
Denny Indrayana, Indonesia Constitution: A Comprehensive Overview
(Jakarta: Kompas, 2008), 81–86.
[4]
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (New
York: Crown Publishing, 2018), 142–145.
[5]
Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, How to Save a Constitutional Democracy
(Chicago: University of Chicago Press, 2018), 217–223.
Daftar Pustaka
Aspinall, E., &
Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the
state in Indonesia. Cornell University Press.
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi
dan konstitusionalisme Indonesia (2nd ed.). Konstitusi Press.
Bogdanor, V. (1997). The
monarchy and the constitution. Oxford University Press.
Bovens, M., Schillemans,
T., & ‘t Hart, P. (2008). Does public accountability work? An assessment
tool. Public Administration, 86(1), 225–242.
Butt, S. (2012). Corruption
and law in Indonesia. Routledge.
Butt, S. (2015). The
constitutional court and democracy in Indonesia. Brill.
Cox, G. W., &
McCubbins, M. D. (2005). Legislative leviathan: Party government in the
House (2nd ed.). University of California Press.
Diamond, L. (2008). The
spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world.
Times Books.
Diamond, L. (2015). Facing
up to the democratic recession. Journal of Democracy, 26(1), 141–155.
Duverger, M. (1980). A new
political system model: Semi-presidential government. European Journal of
Political Research, 8(2), 165–187.
Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism:
Sub-types and democratic performance. Oxford University Press.
Federalist Papers, The.
(2003). (C. Rossiter, Ed.). Signet Classics.
Ginsburg, T. (2003). Judicial
review in new democracies: Constitutional courts in Asian cases. Cambridge
University Press.
Ginsburg, T., & Huq, A.
Z. (2018). How to save a constitutional democracy. University of
Chicago Press.
Ginsburg, T., &
Simpser, A. (Eds.). (2014). Constitutions in authoritarian regimes.
Cambridge University Press.
Hadiz, V. R., &
Robison, R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of
oligarchy in an age of markets. RoutledgeCurzon.
Heywood, A. (2013). Politics
(5th ed.). Palgrave Macmillan.
Heywood, A. (2015). Key
concepts in politics and international relations (2nd ed.). Palgrave
Macmillan.
Human Rights Watch. (2025).
Turkey’s human rights rollback. https://www.hrw.org
Indrayana, D. (2008). Indonesia
constitution: A comprehensive overview. Kompas.
Lijphart, A. (2008). Thinking
about democracy: Power sharing and majority rule in theory and practice.
Routledge.
Lijphart, A. (2012). Patterns
of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries (2nd
ed.). Yale University Press.
Linz, J. J. (1990). The
perils of presidentialism. Journal of Democracy, 1(1), 51–69.
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.
(Original work published 1689)
Madison, J. (2003). The
Federalist Papers (C. Rossiter, Ed.). Penguin Books.
Montesquieu. (1989). The
spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone,
Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1748)
Müller, J.-W. (2016). What
is populism? University of Pennsylvania Press.
Nasution, A. B. (2007). A
nation in waiting: Indonesia’s search for democracy (Updated ed.). Equinox
Publishing.
Öniş, Z. (2019). Turkey
under the challenge of state capitalism: The political economy of the AKP era. Southeast
European and Black Sea Studies, 19(2), 201–225.
Osborne, S. P. (Ed.).
(2010). The new public governance? Emerging perspectives on the theory and
practice of public governance. Routledge.
Peters, B. G. (2010). The
politics of bureaucracy: An introduction to comparative public administration
(6th ed.). Routledge.
Peters, B. G., &
Pierre, J. (2000). Governance, politics and the state. Macmillan.
Sartori, G. (1997). Comparative
constitutional engineering: An inquiry into structures, incentives, and
outcomes (2nd ed.). New York University Press.
Sassen, S. (2006). Territory,
authority, rights: From medieval to global assemblages. Princeton
University Press.
Spalding, M. (2009). We
still hold these truths: Rediscovering our principles, reclaiming our future.
ISI Books.
Suleiman, E. (1993). Presidentialism
and political stability in France. Cornell University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar