Kolonialisme
Sejarah, Dinamika Kekuasaan, dan Warisannya dalam Dunia
Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji kolonialisme sebagai fenomena
historis dan struktur kekuasaan yang membentuk peradaban modern serta
meninggalkan jejak mendalam dalam dinamika global kontemporer. Kolonialisme
dipahami bukan semata sebagai penjajahan teritorial, melainkan sebagai proyek
sistemik yang mencakup dimensi ekonomi, politik, ideologis, dan epistemologis. Dengan
menelaah akar sejarah kolonialisme sejak abad ke-15, artikel ini menelusuri
motif utama ekspansi kolonial (ekonomi, religius, ideologis), strategi
kekuasaan yang diterapkan (seperti devide et impera dan pengendalian
pengetahuan), serta dampak multidimensionalnya terhadap masyarakat
terjajah—mulai dari kehancuran ekonomi lokal, marginalisasi budaya, pembentukan
identitas terjajah, hingga disrupsi sistem sosial-politik.
Selanjutnya, artikel ini membahas ragam bentuk
perlawanan terhadap kolonialisme, baik fisik, kultural, maupun intelektual, dan
menyoroti bagaimana kolonialisme berinteraksi dengan produksi ilmu pengetahuan
serta terus mewariskan struktur ketimpangan melalui mekanisme neo-kolonialisme
di abad ke-21. Identitas global kontemporer dianalisis dalam konteks warisan
kolonial yang membentuk wacana dominan dan struktur simbolik di ranah
pendidikan, media, dan politik internasional. Artikel ini ditutup dengan kritik
terhadap narasi kolonial yang masih hegemonik serta dorongan untuk dekolonisasi
pengetahuan, kurikulum, dan memori kolektif sebagai bagian dari perjuangan
global untuk keadilan historis dan epistemik.
Kata Kunci: Kolonialisme, Neo-kolonialisme, Identitas
Pascakolonial, Dekolonisasi, Epistemologi, Ilmu Pengetahuan Kolonial,
Perlawanan, Hegemoni Budaya, Narasi Sejarah, Keadilan Global.
PEMBAHASAN
Kajian Kolonialisme dalam Studi Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Kolonialisme
merupakan salah satu fenomena historis paling signifikan dalam membentuk
konfigurasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya dunia modern. Istilah ini
secara umum merujuk pada praktik penguasaan satu bangsa terhadap wilayah lain
dengan tujuan eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja, dan kekuasaan
politik. Edward Said mencatat bahwa kolonialisme bukan sekadar penjajahan
fisik, tetapi juga ekspansi kekuasaan epistemik yang mengkonstruksi cara
pandang dominan terhadap dunia non-Barat sebagai inferior dan “lain” (the
Other) dalam struktur pengetahuan modern Barat.¹
Sejarah kolonialisme
telah berlangsung sejak abad ke-15, seiring dengan era penjelajahan maritim
oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol, yang kemudian diikuti
oleh Inggris, Prancis, Belanda, dan lain-lain.² Kolonialisme tidak hanya
menciptakan kerajaan-kerajaan kolonial yang luas, tetapi juga mengubah lanskap
global melalui jaringan perdagangan, sistem birokrasi baru, relasi kekuasaan
global, serta proses asimilasi dan resistensi budaya.³ Kolonialisme menjelma
menjadi suatu sistem kekuasaan global yang memunculkan ketimpangan struktural antara
negara-negara “pusat” (core) dan “pinggiran” (periphery), yang dampaknya masih
dapat dirasakan hingga saat ini dalam bentuk ketergantungan ekonomi, warisan
sistem pendidikan, serta kerangka hukum dan politik di banyak negara bekas
jajahan.⁴
Dalam studi
sosial-kritis, kolonialisme juga dipahami bukan sebagai episode sejarah yang
telah selesai, melainkan sebagai struktur kekuasaan yang masih bekerja melalui
berbagai bentuk neo-kolonialisme, kapitalisme
global, dan hegemoni budaya.⁵ Dengan demikian, memahami kolonialisme tidak
cukup hanya sebagai studi sejarah konvensional, melainkan sebagai medan kajian
multidisipliner yang melibatkan sejarah, filsafat politik, studi budaya,
ekonomi-politik, hingga teori poskolonial. Hal ini memungkinkan kajian
kolonialisme berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih adil dan inklusif
mengenai dinamika global kontemporer.
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas secara komprehensif perjalanan kolonialisme dari akar
sejarahnya, bentuk dan strateginya, dampaknya terhadap masyarakat jajahan,
hingga warisan kolonial yang masih membentuk struktur sosial dan politik dunia
saat ini. Selain itu, artikel ini akan mengulas upaya-upaya perlawanan dan
dekonstruksi wacana kolonial melalui pendekatan kritis, khususnya melalui studi
poskolonial dan gerakan dekolonialisasi pengetahuan. Dengan pendekatan ini,
diharapkan pembaca memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan kritis terhadap
kolonialisme sebagai fenomena historis sekaligus struktur kontemporer yang
masih relevan untuk ditelusuri secara mendalam.
Footnotes
[1]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
2–3.
[2]
Jürgen Osterhammel, Colonialism: A Theoretical Overview,
trans. Shelley L. Frisch (Princeton: Markus Wiener Publishers, 2005), 15–17.
[3]
Anthony Pagden, Lords of All the World: Ideologies of Empire in
Spain, Britain and France c. 1500–c. 1800 (New Haven: Yale University
Press, 1995), 1–10.
[4]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist
Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century
(Berkeley: University of California Press, 2011), 347–360.
[5]
Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin
America,” Nepantla: Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.
2.
Asal-Usul dan Perkembangan Kolonialisme
Kolonialisme sebagai
praktik ekspansi kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya memiliki akar historis
yang dalam dan kompleks. Meskipun praktik dominasi suatu kelompok atas kelompok
lain telah dikenal sejak peradaban kuno—seperti kekaisaran Romawi dan
penaklukan Persia—kolonialisme modern baru mengambil bentuk sistematis pada
akhir abad ke-15, saat bangsa-bangsa Eropa mulai melakukan ekspedisi pelayaran
jarak jauh dengan tujuan dagang dan imperialis.¹
2.1.
Kolonialisme Awal:
Motif Eksplorasi dan Keagamaan
Periode awal
kolonialisme modern dimulai dengan ekspedisi Portugis dan Spanyol pada akhir
abad ke-15 dan awal abad ke-16, didorong oleh tiga motif utama yang dikenal
dengan semboyan “gold, glory, and gospel”—yakni pencarian kekayaan,
kejayaan politik, dan penyebaran agama Kristen.² Penemuan rute laut baru ke
Asia, Afrika, dan Amerika Latin memungkinkan terbentuknya koloni-koloni awal
yang dikuasai secara langsung oleh kekuatan monarki Eropa. Contoh awalnya
adalah pendirian koloni Portugis di Goa (India) dan Spanyol di Karibia.³
Peta kolonialisme
awal ini dipertegas oleh Perjanjian Tordesillas tahun 1494 yang membagi dunia
menjadi dua zona pengaruh antara Portugal dan Spanyol, atas restu Paus
Aleksander VI. Ini menandai keterlibatan institusi agama dalam melegitimasi
proyek kolonialisme sebagai “misi peradaban” yang dibenarkan secara moral dan
teologis.⁴
2.2.
Kolonialisme Modern:
Sistematisasi dan Industrialisasi
Memasuki abad ke-17
dan 18, kolonialisme memasuki fase modern dengan keterlibatan negara-negara
seperti Inggris, Belanda, dan Prancis, yang tidak hanya menaklukkan wilayah
tetapi juga membentuk administrasi kolonial yang terstruktur. Di sinilah
kolonialisme bertransformasi menjadi suatu sistem politik dan ekonomi yang
terintegrasi dalam proyek mercantilisme dan awal kapitalisme global.⁵ Koloni
bukan sekadar tanah jajahan, tetapi juga sumber bahan mentah dan pasar untuk
industri negara penjajah.
Perusahaan dagang
seperti Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) dan British East India Company menjadi
pelaku utama dalam ekspansi ini, menggabungkan kepentingan ekonomi privat
dengan legitimasi kekuasaan negara.⁶ Kolonialisme menjadi institusi kekuasaan
formal melalui perjanjian, kekerasan militer, serta pembentukan jaringan
birokrasi yang mencakup hukum, pendidikan, dan pengawasan sosial.
2.3.
Kolonialisme Abad
ke-19: Imperialisme Tinggi dan Rasionalisasi Ilmiah
Abad ke-19 dikenal
sebagai era high imperialism yang ditandai oleh
ekspansi besar-besaran ke Afrika dan Asia. Dorongan industrialisasi menciptakan
kebutuhan akan bahan mentah dan pasar baru, serta menajamkan persaingan
antarnegara Eropa. Proses ini didukung oleh legitimasi “ilmiah” melalui
teori rasial, Darwinisme sosial, dan ide superioritas bangsa Eropa atas ras
lain.⁷ Konferensi Berlin tahun 1884–1885 menjadi simbol politik pembagian Afrika
oleh kekuatan-kekuatan Eropa tanpa mempertimbangkan eksistensi masyarakat
lokal.⁸
Pada masa ini,
kolonialisme juga menjadi medan pengujian identitas Eropa itu sendiri: siapa
yang layak memimpin dunia, siapa yang “beradab” dan siapa yang “liar”.
Maka, kolonialisme bukan hanya dominasi fisik, tetapi juga struktur pemaknaan
dunia yang membentuk narasi sentral Eropa dalam sejarah dunia.⁹
2.4.
Menuju Dekolonisasi:
Perang Dunia dan Kebangkitan Nasionalisme
Dua perang dunia
pada abad ke-20 mengguncang fondasi kolonialisme. Keterlibatan bangsa-bangsa
jajahan dalam perang dan krisis ekonomi global menggeser persepsi tentang
superioritas kolonial. Bersamaan dengan itu, muncul kesadaran nasionalisme di
kalangan masyarakat jajahan yang memicu gerakan kemerdekaan di berbagai wilayah
dunia seperti India, Indonesia, Mesir, dan Vietnam.¹⁰ Proses dekolonisasi ini
merupakan hasil interaksi antara tekanan global, perubahan geopolitik, serta
keteguhan perjuangan rakyat tertindas.
Namun, meskipun
kolonialisme formal mengalami kemunduran sejak pertengahan abad ke-20,
warisannya tidak serta-merta hilang. Struktur ekonomi-politik dan epistemik
yang dibentuk kolonialisme masih terus hidup dalam bentuk dominasi simbolik,
ketimpangan global, serta apa yang disebut oleh para pemikir pascakolonial
sebagai “kolonialitas kekuasaan”.¹¹
Footnotes
[1]
Jürgen Osterhammel, Colonialism: A Theoretical Overview,
trans. Shelley L. Frisch (Princeton: Markus Wiener Publishers, 2005), 4–5.
[2]
Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 173–176.
[3]
Charles Ralph Boxer, The Portuguese Seaborne Empire 1415–1825
(New York: Alfred A. Knopf, 1969), 85–90.
[4]
Anthony Pagden, Lords of All the World: Ideologies of Empire in
Spain, Britain and France c. 1500–c. 1800 (New Haven: Yale University
Press, 1995), 27–30.
[5]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I (Berkeley:
University of California Press, 2011), 47–50.
[6]
K. N. Chaudhuri, The Trading World of Asia and the English East
India Company 1660–1760 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978),
2–5.
[7]
Alice Conklin, A Mission to Civilize: The Republican Idea of Empire
in France and West Africa, 1895–1930 (Stanford: Stanford University Press,
1997), 10–13.
[8]
Thomas Pakenham, The Scramble for Africa: White Man’s Conquest of
the Dark Continent from 1876 to 1912 (New York: HarperCollins, 1991),
242–250.
[9]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage,
1994), xviii–xxi.
[10]
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 113–118.
[11]
Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin
America,” Nepantla: Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.
3.
Motif
dan Strategi Kolonialisme
Kolonialisme tidak
pernah merupakan peristiwa yang netral atau kebetulan sejarah semata. Ia adalah
sebuah proyek kekuasaan yang didorong oleh berbagai motif
multidimensional—ekonomi, politik, ideologis, hingga religius—dan dijalankan
melalui strategi sistematis yang beragam sesuai konteks waktu dan wilayah.
Pemahaman terhadap motif dan strategi kolonialisme penting untuk menyingkap
bagaimana kekuasaan kolonial menancapkan dan mempertahankan dominasinya dalam
jangka panjang.
3.1.
Motif Ekonomi:
Eksploitasi dan Akses Pasar
Salah satu dorongan
utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi. Negara-negara Eropa mencari
wilayah jajahan untuk memperoleh bahan mentah murah, tenaga kerja terkooptasi,
serta pasar bagi produk-produk industrinya. Dalam kerangka ekonomi politik,
kolonialisme berfungsi sebagai instrumen akumulasi kapital global dan
pembentukan sistem ekonomi dunia yang berpusat pada Eropa Barat.¹
Immanuel Wallerstein
dalam The
Modern World-System menunjukkan bahwa kolonialisme memosisikan
wilayah jajahan sebagai “pinggiran” (periphery) yang dikondisikan
untuk melayani kebutuhan “pusat” (core) industri Eropa.²
Contohnya dapat dilihat pada sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia
Belanda, yang secara brutal mengarahkan ekonomi lokal untuk menyuplai kebutuhan
global kolonial.³
3.2.
Motif Politik: Perluasan
Kekuasaan dan Hegemoni Imperial
Kolonialisme juga
menjadi sarana ekspansi kekuasaan negara-negara imperialis untuk memperluas
wilayah dan mengukuhkan dominasi geopolitiknya. Di tengah rivalitas antara
kekuatan Eropa seperti Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman, pendirian koloni
merupakan bentuk proyeksi kekuasaan di panggung global.⁴
Koloni juga menjadi
simbol prestise dan kekuatan nasional. Politik kolonial menciptakan sistem
hierarki global yang melegitimasi supremasi politik Eropa atas dunia non-Eropa,
yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan kolonial, administrasi terpusat,
dan pemaksaan sistem hukum yang asing bagi masyarakat lokal.⁵
3.3.
Motif Ideologis:
Superioritas Rasial dan Misi Peradaban
Salah satu
justifikasi utama kolonialisme adalah ide tentang “misi peradaban” (civilizing
mission), di mana bangsa Eropa mengklaim dirinya sebagai pembawa
kemajuan dan moralitas bagi bangsa-bangsa “primitif.” Gagasan ini
berakar pada superioritas rasial yang dikembangkan melalui wacana ilmiah
seperti Darwinisme Sosial dan Antropologi Kolonial.⁶
Edward Said dalam Orientalism
menyoroti bahwa proyek kolonial dibingkai sebagai usaha membebaskan masyarakat
Timur dari keterbelakangan, padahal pada dasarnya justru menciptakan narasi
inferiorisasi yang meminggirkan identitas dan pengetahuan lokal.⁷ Ide ini
diperkuat dengan representasi visual, kurikulum pendidikan kolonial, dan
klasifikasi rasial dalam sistem administrasi.⁸
3.4.
Motif Religius: Misi
Evangelisasi dan Penyebaran Agama
Banyak ekspedisi kolonial
dilakukan dengan misi religius, terutama oleh Portugis, Spanyol, dan Prancis
yang membawa serta misionaris Katolik. Kolonialisme dalam hal ini menjadi
medium penyebaran agama Kristen yang dipadukan dengan kekuasaan politik dan
ekonomi.⁹ Gereja kerap kali berperan aktif dalam membangun sekolah, rumah
sakit, dan institusi sosial sebagai sarana “kristenisasi” masyarakat lokal.
Namun, misi religius
ini seringkali disertai dengan penghancuran simbol-simbol kepercayaan asli dan
penghapusan sistem nilai lokal.¹⁰ Dalam konteks ini, agama menjadi instrumen
domestikasi dan kontrol spiritual atas penduduk jajahan.
3.5.
Strategi Kolonialisme:
Kekuasaan dan Manipulasi Sosial
Strategi
kolonialisme mencakup serangkaian pendekatan militer, birokratik, dan kultural.
Salah satu strategi utama adalah devide et impera (politik pecah
belah), yaitu dengan memanfaatkan perbedaan etnis, agama, atau kelas sosial
untuk mencegah persatuan dan perlawanan.¹¹ Strategi ini terlihat jelas dalam
kebijakan pengelompokan sosial di India dan Hindia Belanda, di mana penguasa
kolonial menciptakan klasifikasi warga seperti pribumi, Eropa,
dan Timur
Asing.
Selain itu,
kolonialisme menggunakan pendidikan sebagai alat hegemonik, melalui kurikulum
yang mendewakan budaya Barat dan merendahkan pengetahuan lokal.¹² Kolonialisme
juga membangun infrastruktur dan institusi yang mempermudah kontrol atas
produksi, mobilitas sosial, serta pengawasan atas populasi—sebuah bentuk apa
yang disebut oleh Michel Foucault sebagai biopolitics dan governmentality.¹³
Kesimpulan
Sementara
Motif dan strategi
kolonialisme memperlihatkan bahwa kolonialisme bukan sekadar penjajahan
teritorial, tetapi proyek multidimensional yang terstruktur untuk melanggengkan
dominasi global. Kombinasi motif ekonomi, politik, ideologis, dan religius
dibungkus dalam strategi kekuasaan yang menyentuh seluruh aspek kehidupan
masyarakat jajahan. Oleh sebab itu, kritik terhadap kolonialisme harus
mempertimbangkan seluruh dimensi tersebut dalam analisis interdisipliner.
Footnotes
[1]
A. G. Hopkins, An Economic History of West Africa (New York:
Columbia University Press, 1973), 62–65.
[2]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist
Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth
Century (Berkeley: University of California Press, 2011), 15–17.
[3]
R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry:
Impact and Change in an East Java Residency, 1830–1940 (Singapore: Oxford
University Press, 1984), 22–25.
[4]
Ronald Robinson dan John Gallagher, Africa and the Victorians: The
Official Mind of Imperialism (London: Macmillan, 1961), 9–11.
[5]
Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge,
History (Berkeley: University of California Press, 2005), 33–36.
[6]
Alice L. Conklin, A Mission to Civilize: The Republican Idea of
Empire in France and West Africa, 1895–1930 (Stanford: Stanford University
Press, 1997), 18–21.
[7]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
7–9.
[8]
Nicholas B. Dirks, Castes of Mind: Colonialism and the Making of
Modern India (Princeton: Princeton University Press, 2001), 43–46.
[9]
Lamin Sanneh, Translating the Message: The Missionary Impact on
Culture (Maryknoll: Orbis Books, 1989), 102–105.
[10]
David Chidester, Empire of Religion: Imperialism and Comparative
Religion (Chicago: University of Chicago Press, 2014), 118–122.
[11]
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 149–151.
[12]
Gauri Viswanathan, Masks of Conquest: Literary Study and British
Rule in India (New York: Columbia University Press, 1989), 3–5.
[13]
Michel Foucault, Security, Territory, Population: Lectures at the
Collège de France, 1977–78, ed. Michel Senellart, trans. Graham Burchell
(New York: Palgrave Macmillan, 2007), 93–98.
4.
Dampak Kolonialisme terhadap Masyarakat
Terjajah
Kolonialisme membawa
perubahan struktural yang sangat luas dan mendalam terhadap
masyarakat-masyarakat yang dijajah. Dampaknya tidak hanya terbatas pada dimensi
ekonomi, tetapi juga mencakup aspek sosial, budaya, politik, dan psikologis.
Sebagian besar dari perubahan ini bersifat destruktif, meskipun dalam beberapa
kasus tertentu, kolonialisme juga memperkenalkan infrastruktur dan institusi
modern. Namun, analisis kritis menunjukkan bahwa dampak tersebut didesain untuk
melanggengkan dominasi kolonial, bukan untuk membangun kemandirian masyarakat
lokal.
4.1.
Dampak Ekonomi:
Eksploitasi dan Ketergantungan Struktural
Salah satu dampak
paling nyata dari kolonialisme adalah perubahan sistem ekonomi lokal menjadi
sistem ekonomi ekstraktif yang berorientasi pada kebutuhan metropol. Koloni
dijadikan sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah, sedangkan industri dan
pusat keuntungan tetap berada di negara penjajah.¹
Contohnya terlihat
jelas dalam sistem cultuurstelsel di Hindia Belanda,
di mana rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu, sementara
hasilnya diekspor untuk kepentingan ekonomi Belanda.² Sistem ini menyebabkan
kemiskinan struktural, kelaparan, dan kematian massal, seperti yang terjadi
pada krisis pangan di Jawa pada dekade 1840-an.³ Selain itu, pembangunan
infrastruktur kolonial (rel kereta api, pelabuhan, dan jalan raya) hanya
difokuskan untuk menunjang kegiatan ekspor, bukan untuk kesejahteraan
masyarakat lokal.⁴
4.2.
Dampak Sosial dan
Budaya: Disintegrasi dan Marginalisasi
Kolonialisme juga
mengguncang tatanan sosial dan budaya masyarakat jajahan. Struktur tradisional
yang sebelumnya otonom dirusak oleh intervensi kolonial yang mengganti pemimpin
lokal dengan aparat kolonial atau elite kolaborator.⁵ Masyarakat dijadikan
obyek klasifikasi sosial rasial—seperti yang diterapkan Belanda dengan kategori
Eropa,
Timur
Asing, dan Pribumi—yang menciptakan segregasi
dan diskriminasi dalam pendidikan, perumahan, dan pekerjaan.⁶
Nilai-nilai lokal
sering kali dilemahkan dan digantikan oleh nilai-nilai Barat yang dianggap
lebih “beradab.” Melalui institusi pendidikan kolonial dan media,
kolonialisme menyebarkan narasi superioritas budaya Eropa, membentuk apa yang
disebut Frantz Fanon sebagai “inferiorisasi budaya” yang melemahkan
identitas dan harga diri masyarakat jajahan.⁷ Proses ini sering kali melibatkan
penghancuran bahasa lokal, pelarangan ritual tradisional, dan reorientasi
pendidikan untuk menciptakan “pribumi yang setia” (loyal
native).⁸
4.3.
Dampak Politik: Erosi
Kedaulatan dan Keterasingan Kekuasaan
Dalam ranah politik,
kolonialisme menghapus kedaulatan lokal dan menggantinya dengan sistem
pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan kolonial. Kekuasaan yang
sebelumnya bersifat partisipatif atau berbasis komunitas dialihkan kepada
struktur birokrasi yang asing dan hirarkis.⁹
Negara kolonial
memonopoli hak untuk membuat hukum, menegakkan keadilan, dan menetapkan
kebijakan, tanpa melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini melahirkan keterasingan politik yang mendalam dan membentuk
fondasi bagi sistem otoritarian yang terus berlanjut bahkan setelah
kemerdekaan.¹⁰
4.4.
Dampak Psikologis dan
Epistemik: Pembentukan Mentalitas Terjajah
Dampak kolonialisme
juga menyentuh aspek psikologis dan epistemologis. Melalui dominasi simbolik
dan ideologis, kolonialisme menciptakan apa yang disebut oleh Ngũgĩ wa Thiong’o
sebagai mental
dekolonisasi, yaitu kondisi di mana masyarakat jajahan mulai
menerima inferioritas mereka sebagai sesuatu yang wajar.¹¹
Edward Said dalam Orientalism
menegaskan bahwa kolonialisme tidak hanya mengontrol tanah dan tubuh, tetapi
juga pikiran dan narasi sejarah.¹² Pengetahuan lokal dianggap tidak rasional,
mistis, dan tidak ilmiah, sementara pengetahuan Eropa diposisikan sebagai
standar universal. Akibatnya, kolonialisme menciptakan epistemologi yang
mendiskreditkan cara pandang pribumi dan menanamkan sistem berpikir kolonial di
dalam kurikulum pendidikan dan institusi ilmiah.¹³
Kesimpulan
Sementara
Kolonialisme
meninggalkan warisan multidimensi yang tidak dapat disederhanakan hanya sebagai
peralihan kekuasaan politik. Ia telah membentuk struktur ketimpangan ekonomi,
budaya, sosial, dan epistemik yang masih terasa dampaknya hingga hari ini.
Untuk memahami dan melampaui dampak ini, masyarakat pascakolonial perlu
melakukan pembacaan kritis atas sejarah kolonial, serta mengembangkan sistem
pengetahuan, budaya, dan politik yang berakar pada kedaulatan lokal dan
keadilan historis.
Footnotes
[1]
A. G. Hopkins, An Economic History of West Africa (New York:
Columbia University Press, 1973), 59–60.
[2]
R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry:
Impact and Change in an East Java Residency, 1830–1940 (Singapore: Oxford
University Press, 1984), 24–26.
[3]
Jan Breman, The Making and Unmaking of an Industrial Working Class:
Sliding Down the Labour Hierarchy in Ahmedabad, India (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 15.
[4]
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I (Berkeley:
University of California Press, 2011), 68–72.
[5]
Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge,
History (Berkeley: University of California Press, 2005), 36–39.
[6]
Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the
Intimate in Colonial Rule (Berkeley: University of California Press,
2002), 78–82.
[7]
Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Charles Lam
Markmann (New York: Grove Press, 1967), 9–10.
[8]
Gauri Viswanathan, Masks of Conquest: Literary Study and British
Rule in India (New York: Columbia University Press, 1989), 10–13.
[9]
Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the
Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996),
23–25.
[10]
Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and
Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press, 1993), 4–6.
[11]
Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language
in African Literature (Portsmouth, NH: Heinemann, 1986), 16–18.
[12]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
2–5.
[13]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 54–58.
5.
Perlawanan terhadap Kolonialisme
Perlawanan terhadap
kolonialisme merupakan bagian integral dari sejarah masyarakat terjajah di
berbagai belahan dunia. Perlawanan ini tidak hanya bersifat fisik atau militer,
tetapi juga mencakup bentuk-bentuk lain seperti resistensi kultural,
intelektual, spiritual, hingga diplomatik. Berbagai gerakan perlawanan
menunjukkan bahwa masyarakat kolonial tidak pasif terhadap penindasan,
melainkan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan, budaya, dan
martabat mereka. Dalam banyak kasus, perlawanan ini menjadi fondasi bagi
kebangkitan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan di abad ke-20.
5.1.
Perlawanan Fisik dan
Militer
Bentuk perlawanan
paling langsung terhadap kolonialisme adalah perlawanan fisik, baik dalam
bentuk pemberontakan spontan maupun perang berskala besar. Di Afrika,
perlawanan Mahdist di Sudan (1881–1898) dan Perang Zulu melawan Inggris (1879)
menunjukkan bahwa masyarakat lokal memiliki kapasitas organisasi dan strategi
perang yang serius.¹
Di Indonesia,
terdapat berbagai pemberontakan lokal seperti Perang Diponegoro (1825–1830),
yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan melibatkan perlawanan luas terhadap
kolonialisme Belanda.² Perlawanan ini merupakan ekspresi dari kekecewaan atas
intervensi Belanda dalam urusan adat, tanah, dan agama.³ Meskipun secara
militer sering kali berakhir dengan kekalahan, perlawanan ini meninggalkan
warisan penting dalam narasi nasional dan membentuk identitas perlawanan
kolektif.
5.2.
Perlawanan Kultural
dan Simbolik
Bentuk perlawanan
lain adalah resistensi budaya terhadap upaya kolonial dalam menghapus identitas
lokal. Ini tercermin dalam pelestarian bahasa, ritual keagamaan, seni, dan
narasi sejarah alternatif. James Scott menyebut bentuk ini sebagai “everyday
forms of resistance”, yakni tindakan kecil dan simbolik yang
melemahkan dominasi kolonial dalam kehidupan sehari-hari.⁴
Contohnya dapat
ditemukan dalam gerakan tarekat di dunia Islam yang mempertahankan tradisi dan
nilai spiritual di tengah tekanan modernisasi kolonial.⁵ Di India, Mahatma
Gandhi menghidupkan kembali penggunaan khadi (kain tenun tangan) sebagai
simbol perlawanan terhadap produk industri kolonial Inggris.⁶ Simbolisasi
budaya ini membentuk kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan budaya
sebagai basis perjuangan politik.
5.3.
Perlawanan Intelektual
dan Wacana Nasionalisme
Kolonialisme juga
dilawan di ranah wacana dan pemikiran. Kaum intelektual dari dunia kolonial
mulai memproduksi gagasan alternatif untuk menentang narasi kolonial yang
menggambarkan bangsa mereka sebagai “terbelakang” dan “tidak mampu
mengatur diri sendiri.” Di Asia dan Afrika, muncul generasi cendekiawan
yang menyuarakan ide-ide kebangsaan dan emansipasi.
Di Indonesia, tokoh
seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir menulis dan menyampaikan
pidato-pidato yang membangkitkan kesadaran nasional terhadap ketidakadilan
kolonial.⁷ Di Mesir, tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh
menggagas reformasi Islam sebagai bagian dari perlawanan terhadap dominasi
Barat.⁸ Sementara itu, di Karibia dan Afrika, pemikir seperti Aimé Césaire dan
Frantz Fanon mengembangkan kritik terhadap kolonialisme dari perspektif budaya,
psikis, dan filosofis.⁹
5.4.
Perlawanan Diplomatik
dan Lintas Negara
Selain perlawanan
domestik, banyak gerakan anti-kolonial membangun jaringan internasional untuk
memperkuat solidaritas global. Konferensi-konferensi antikolonial seperti Bandung
Conference tahun 1955 menjadi tonggak penting bagi solidaritas
negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, sekaligus menyuarakan hak-hak
bangsa yang masih berada dalam cengkeraman kolonialisme.¹⁰
Gerakan diaspora juga
memainkan peran penting dalam menyebarkan gagasan kemerdekaan. Misalnya,
organisasi Pan-Afrikanisme yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti W.E.B. Du
Bois dan Kwame Nkrumah memobilisasi wacana pembebasan dari luar benua Afrika.¹¹
Dengan memanfaatkan media, universitas, dan organisasi internasional, gerakan
ini memperluas spektrum perlawanan menjadi fenomena global yang mempercepat
proses dekolonisasi.
5.5.
Studi Kasus Perlawanan
Kolonial
Beberapa studi kasus
penting yang menggambarkan kompleksitas perlawanan kolonial antara lain:
·
India:
Gerakan Swadeshi dan Satyagraha yang digagas Gandhi menjadi
bentuk perlawanan damai namun efektif melawan imperialisme Inggris.¹²
·
Aljazair:
Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962) melibatkan perjuangan bersenjata yang disertai
dengan dukungan internasional dan kampanye wacana anti-kolonial.¹³
·
Indonesia:
Pergerakan nasional dari Budi Utomo hingga Proklamasi 1945 mencerminkan
transisi dari perlawanan lokal menuju konsolidasi kesadaran nasional.¹⁴
Kesimpulan
Sementara
Perlawanan terhadap
kolonialisme tidak tunggal dan linier, melainkan beragam dalam bentuk,
strategi, dan latar belakangnya. Baik melalui kekuatan militer, resistensi
budaya, perjuangan wacana, maupun diplomasi global, masyarakat jajahan telah
menunjukkan kapasitas luar biasa untuk melawan dominasi imperial. Perlawanan
ini membentuk fondasi penting bagi identitas nasional dan pemikiran
pascakolonial kontemporer, serta memberikan warisan etis tentang perjuangan
melawan penindasan dalam segala bentuknya.
Footnotes
[1]
P.M. Holt, The Mahdist State in the Sudan, 1881–1898 (Oxford:
Clarendon Press, 1958), 3–7.
[2]
Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End
of an Old Order in Java, 1785–1855 (Leiden: KITLV Press, 2007), 383–390.
[3]
Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its
Conditions, Course and Sequel (The Hague: Martinus Nijhoff, 1966), 57–60.
[4]
James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant
Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985), xv–xxiii.
[5]
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei
Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994), 22–26.
[6]
Judith M. Brown, Gandhi: Prisoner of Hope (New Haven: Yale
University Press, 1991), 124–127.
[7]
Mohammad Hatta, Menuju Indonesia Merdeka (Jakarta: Pustaka
Antara, 1954), 10–13.
[8]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 132–135.
[9]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–10.
[10]
Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung
Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 9–12.
[11]
Hakim Adi, Pan-Africanism and Communism: The Communist
International, Africa and the Diaspora, 1919–1939 (Trenton: Africa World
Press, 2013), 49–55.
[12]
Bipan Chandra, India’s Struggle for Independence, 1857–1947
(New Delhi: Penguin Books India, 1989), 257–259.
[13]
Alistair Horne, A Savage War of Peace: Algeria 1954–1962 (New
York: New York Review Books, 2006), 25–29.
[14]
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912–1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), 64–67.
6.
Kolonialisme dan Ilmu Pengetahuan
Salah satu aspek
paling krusial namun sering terabaikan dalam pembahasan kolonialisme adalah
relasinya dengan produksi ilmu pengetahuan. Kolonialisme bukan hanya sistem
kekuasaan politik dan ekonomi, melainkan juga sistem epistemik yang membentuk,
mengatur, dan mengarahkan cara pandang terhadap dunia—khususnya dunia
non-Barat. Melalui kolonialisme, ilmu pengetahuan diproduksi dan
didistribusikan secara asimetris: pengetahuan Barat dianggap universal dan
normatif, sementara pengetahuan lokal dianggap inferior, irasional, atau bahkan
tak layak disebut sebagai “ilmu.”
6.1.
Ilmu Pengetahuan
sebagai Alat Kekuasaan
Kolonialisme tidak
bisa dilepaskan dari proyek pencerahan dan modernitas Eropa yang mengklaim diri
sebagai pusat pengetahuan dan rasionalitas. Melalui ilmu antropologi, geografi,
sejarah, dan linguistik, bangsa kolonial mengklasifikasikan, menamai, dan
menstrukturkan pengetahuan tentang masyarakat jajahan. Seperti ditegaskan oleh
Michel Foucault, pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power)
merupakan dua sisi dari koin yang sama: “knowledge is not made for understanding; it is made for cutting.”¹
Dalam konteks
kolonial, ini berarti bahwa klasifikasi etnis, hukum adat, sistem bahasa,
hingga sejarah lokal dikonstruksi melalui sudut pandang kolonial. Contohnya,
sistem kasta di India diperkukuh oleh studi etnografis kolonial, bukan berasal
dari kesadaran masyarakat India sendiri.² Pengetahuan ini bukan netral,
melainkan berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menormalisasi struktur
kekuasaan kolonial.
6.2.
Orientalisme dan
Pembentukan Narasi Timur
Edward Said dalam Orientalism
menjelaskan bagaimana kolonialisme membentuk narasi tentang dunia Timur
(Orient) sebagai wilayah yang eksotik, pasif, dan inferior—berlawanan dengan
dunia Barat (Occident) yang rasional, aktif, dan superior.³ Wacana ini menjadi
dasar legitimasi kolonial: bahwa penjajahan merupakan “tugas moral” untuk
membawa peradaban kepada bangsa-bangsa yang dianggap tidak mampu mengatur
dirinya sendiri.⁴
Orientalisme tidak
hanya hadir dalam karya sastra dan seni, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan
yang diinstitusionalisasikan melalui pusat-pusat studi kolonial di
universitas-universitas Eropa. Penelitian tentang bahasa Arab, Persia, atau
Sanskerta, misalnya, sering dilakukan bukan untuk membangun pemahaman yang
sejajar, melainkan untuk mengontrol populasi dan budaya lokal.⁵
6.3.
Penghapusan dan
Delegitimasi Pengetahuan Lokal
Kolonialisme juga
berperan dalam penghapusan, pengaburan, dan delegitimasi pengetahuan lokal.
Sistem pendidikan kolonial hanya mengajarkan ilmu Barat dan mengesampingkan
tradisi intelektual lokal, seperti pesantren di Indonesia, sistem ulama
di dunia Islam, atau lembaga pengetahuan adat di Afrika.⁶
Walter Mignolo
menyebut proses ini sebagai “epistemicide”, yaitu pembunuhan
sistem pengetahuan alternatif yang tidak sesuai dengan logika kolonial.⁷
Akibatnya, generasi terjajah terputus dari warisan intelektualnya sendiri dan
mengalami proses “de-subjektivisasi,” di mana mereka hanya mengenal
dunia melalui bahasa, kategori, dan paradigma yang dibentuk oleh kolonialisme.
6.4.
Institusionalisasi
Pengetahuan Kolonial
Kolonialisme
mendirikan berbagai institusi penelitian seperti Royal Asiatic Society, École
Coloniale, dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde (KITLV) di Belanda yang menjadi pusat produksi
pengetahuan kolonial.⁸ Institusi-institusi ini menjadi tempat pengolahan
informasi tentang masyarakat jajahan untuk kepentingan kebijakan kolonial,
sering kali tanpa keterlibatan subjek yang diteliti.
Pengetahuan kolonial
juga dijadikan dasar dalam penyusunan hukum adat, pemetaan etnografis, dan
sistem klasifikasi sosial yang bersifat tetap dan membekukan dinamika sosial
masyarakat lokal.⁹ Dengan demikian, kolonialisme membentuk struktur pengetahuan
yang bersifat hegemonik dan membatasi ruang artikulasi dari suara-suara
non-Barat.
6.5.
Respon Intelektual dan
Dekolonisasi Pengetahuan
Munculnya
teori-teori poskolonial dan gerakan dekolonisasi pengetahuan merupakan bentuk
perlawanan terhadap hegemoni epistemik kolonial. Tokoh-tokoh seperti Frantz
Fanon, Ngũgĩ wa Thiong’o, Boaventura de Sousa Santos, dan Gayatri Chakravorty
Spivak mengkritik dominasi pengetahuan Barat dan mendorong revitalisasi sistem
pengetahuan lokal.¹⁰
Di banyak negara
pascakolonial, muncul gerakan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan yang
merefleksikan sejarah, budaya, dan epistemologi lokal. Dalam konteks Indonesia,
upaya ini tampak dalam revitalisasi warisan keilmuan pesantren, tradisi
keislaman Nusantara, serta pelibatan masyarakat adat dalam pengembangan
kebijakan pendidikan dan riset.¹¹
Kesimpulan
Sementara
Kolonialisme dan
ilmu pengetahuan memiliki relasi simbiotik yang kompleks. Pengetahuan dalam
konteks kolonial bukanlah hasil kontemplasi murni, melainkan bagian dari
strategi dominasi dan pengaturan sosial. Oleh karena itu, dekolonisasi tidak cukup
hanya pada level politik dan ekonomi, tetapi juga harus menyentuh dimensi
epistemik. Menggali kembali pengetahuan lokal dan mengkritisi warisan kolonial
dalam sistem pendidikan, penelitian, dan akademia menjadi langkah penting untuk
membangun tatanan pengetahuan yang lebih adil, setara, dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27.
[2]
Nicholas B. Dirks, Castes of Mind: Colonialism and the Making of
Modern India (Princeton: Princeton University Press, 2001), 13–17.
[3]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
1–5.
[4]
Bernard S. Cohn, Colonialism and Its Forms of Knowledge: The
British in India (Princeton: Princeton University Press, 1996), 4–6.
[5]
Ronald Inden, Imagining India (Oxford: Basil Blackwell, 1990),
57–59.
[6]
Gauri Viswanathan, Masks of Conquest: Literary Study and British
Rule in India (New York: Columbia University Press, 1989), 3–8.
[7]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 20–23.
[8]
Jean-François Bayart, The Illusion of Cultural Identity
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 41–44.
[9]
David Scott, Colonialism and Postcolonialism (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 92–96.
[10]
Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Charles Lam
Markmann (New York: Grove Press, 1967), 12–15.
[11]
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:
Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern “Ulama” in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004),
103–105.
7.
Warisan dan Jejak Kolonialisme di Abad ke-21
Meskipun
kolonialisme formal telah berakhir pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya
gelombang dekolonisasi, jejak dan warisannya masih kuat terasa dalam berbagai
aspek kehidupan global di abad ke-21. Warisan ini tidak hanya bersifat material
atau institusional, tetapi juga kultural dan epistemik. Dalam konteks
globalisasi, kolonialisme sering bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk baru
yang disebut neo-kolonialisme, di mana relasi
ketergantungan, dominasi, dan ketimpangan tetap dipertahankan melalui mekanisme
yang lebih tersamar.
7.1.
Neo-Kolonialisme:
Dominasi Ekonomi Global dan Ketergantungan Struktural
Neo-kolonialisme
merujuk pada bentuk dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara bekas
jajahan melalui mekanisme ekonomi, politik, dan budaya tanpa keterlibatan
langsung secara militer. Kwame Nkrumah menegaskan bahwa meskipun bendera dan
lagu kebangsaan telah berubah, banyak negara masih terjebak dalam struktur
ketergantungan terhadap negara bekas penjajahnya.¹
Melalui institusi
seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade
Organization (WTO), negara-negara berkembang seringkali harus mengikuti
kebijakan ekonomi neoliberal yang ditentukan oleh kepentingan negara-negara
industri Barat.² Hal ini memperkuat struktur ketimpangan global, di mana
negara-negara di “Selatan Global” tetap menjadi penyedia bahan mentah dan
tenaga kerja murah, sementara nilai tambah dan kekayaan menumpuk di “Utara
Global.”³
7.2.
Warisan Institusional:
Sistem Politik, Hukum, dan Pendidikan
Banyak negara
pascakolonial masih mewarisi sistem hukum, pendidikan, dan birokrasi yang
dirancang oleh kekuatan kolonial. Di banyak negara di Asia dan Afrika,
konstitusi, sistem hukum, dan model pendidikan tetap berakar pada model Eropa,
tanpa rekonseptualisasi sesuai dengan konteks lokal.⁴
Misalnya, sistem common
law Inggris tetap digunakan di banyak bekas koloni Inggris seperti
India, Malaysia, dan Nigeria, meskipun konteks sosial-budaya mereka sangat
berbeda. Sistem pendidikan kolonial yang mengutamakan bahasa kolonial sebagai
medium utama pengajaran juga masih dominan, sehingga menghambat perkembangan
bahasa lokal sebagai bahasa ilmu pengetahuan.⁵ Hal ini menyebabkan keterputusan
generasi muda dari warisan budaya dan kearifan lokalnya sendiri.
7.3.
Ketimpangan
Pembangunan dan Ketidakadilan Historis
Kolonialisme menciptakan
fondasi bagi ketimpangan pembangunan yang masih mencolok hingga kini. Dalam
banyak kasus, wilayah-wilayah yang sebelumnya dieksploitasi secara brutal kini
menghadapi persoalan kemiskinan struktural, konflik sosial, dan lemahnya
infrastruktur dasar.⁶ Warisan ini merupakan akibat dari orientasi ekonomi
kolonial yang lebih menekankan pada ekstraksi daripada pembangunan internal.
Diskursus mengenai keadilan
historis mulai mengemuka, mencakup isu-isu seperti permintaan
reparasi, pengembalian artefak budaya yang dijarah, serta pengakuan atas
kekerasan kolonial dalam bentuk permintaan maaf resmi dari negara penjajah.⁷
Contoh penting adalah kampanye dari negara-negara Afrika dan Karibia untuk
menuntut kompensasi atas perbudakan dan penjajahan yang telah berlangsung
selama berabad-abad.⁸
7.4.
Hegemoni Budaya dan
Epistemik
Warisan kolonial
juga dapat dilihat dalam bentuk dominasi budaya Barat dalam ranah film, media,
literasi, hingga ilmu pengetahuan. Bahasa kolonial seperti Inggris, Prancis,
dan Spanyol masih mendominasi publikasi ilmiah dan produksi wacana global.⁹
Akibatnya, banyak pengetahuan dan narasi dari dunia non-Barat tidak mendapat
tempat dalam sistem akademik internasional.
Gayatri Spivak dalam
esainya “Can the
Subaltern Speak?” mengkritik bagaimana suara kelompok
terpinggirkan—terutama perempuan dan masyarakat adat—seringkali tidak hanya
diremehkan tetapi juga disenyapkan dalam diskursus global.¹⁰ Dekolonisasi
pengetahuan menjadi agenda penting dalam menghadapi warisan epistemik kolonial
ini, dengan mengangkat kembali narasi lokal, bahasa ibu, serta bentuk-bentuk
pengetahuan yang selama ini dianggap “tidak sah.”
7.5.
Identitas
Pascakolonial dan Resistensi Budaya
Masyarakat
pascakolonial di abad ke-21 menghadapi tantangan dalam membangun identitas
kolektif yang bebas dari bayang-bayang kolonial. Banyak negara mencoba menafsir
ulang sejarah, menghidupkan kembali budaya lokal, dan mendorong pendidikan
berbasis nilai-nilai asli sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni warisan
kolonial.
Gerakan dekolonisasi
kurikulum di universitas-universitas Afrika Selatan, India, dan Amerika Latin
merupakan upaya kontemporer untuk menegaskan kedaulatan intelektual dan
budaya.¹¹ Di Indonesia, inisiatif untuk mengembangkan studi lokal dan kearifan
Nusantara juga menunjukkan usaha serius untuk merekonstruksi identitas
pascakolonial yang lebih autentik dan kontekstual.¹²
Kesimpulan
Sementara
Warisan kolonialisme
di abad ke-21 hadir dalam bentuk yang lebih kompleks dan subtil dibandingkan
dengan kolonialisme klasik. Ia menyusup dalam sistem ekonomi global,
lembaga-lembaga negara, epistemologi dominan, dan konstruksi identitas. Oleh
karena itu, memahami kolonialisme hari ini membutuhkan analisis yang
lintas-disipliner dan sensitif terhadap dimensi struktural, simbolik, dan
kultural. Upaya dekolonisasi tidak hanya merupakan proyek historis, tetapi juga
agenda kontemporer untuk keadilan global, kebudayaan, dan pengetahuan yang
lebih inklusif dan adil.
Footnotes
[1]
Kwame Nkrumah, Neo-Colonialism: The Last Stage of Imperialism
(London: Thomas Nelson & Sons, 1965), ix–x.
[2]
Samir Amin, Unequal Development: An Essay on the Social Formations
of Peripheral Capitalism (New York: Monthly Review Press, 1976), 63–67.
[3]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1989), 98–102.
[4]
Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the
Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996),
67–70.
[5]
Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language
in African Literature (Portsmouth, NH: Heinemann, 1986), 28–31.
[6]
Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa (Washington,
D.C.: Howard University Press, 1981), 205–210.
[7]
Bonny Ibhawoh, Imperial Justice: Africans in Empire’s Court
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 153–155.
[8]
Hilary Beckles, Britain’s Black Debt: Reparations for Caribbean
Slavery and Native Genocide (Kingston: University of the West Indies
Press, 2013), 39–42.
[9]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 2–5.
[10]
Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? in Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory, ed. Patrick Williams and Laura
Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–67.
[11]
Achille Mbembe, Decolonizing Knowledge and the Question of the
Archive, WISER Lecture, University of the Witwatersrand, 2015.
[12]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Berbasis Budaya Lokal dalam
Konteks Keindonesiaan (Jakarta: Kompas, 2019), 77–81.
8.
Kolonialisme dan Identitas Global
Kolonialisme tidak
hanya meninggalkan jejak dalam bentuk struktur ekonomi dan politik, tetapi juga
membentuk identitas individu dan kolektif secara mendalam. Identitas global
kontemporer—baik pada level nasional maupun individual—tidak dapat dipisahkan
dari konfigurasi kolonial yang telah memetakan siapa yang disebut "modern",
"beradab", "tradisional", atau bahkan "terbelakang".
Proses ini berlangsung melalui dinamika representasi, relasi kuasa, dan
hegemonisasi nilai-nilai yang menjadikan kolonialisme sebagai kekuatan
pembentuk identitas global bahkan setelah kolonialisme formal berakhir.
8.1.
Penjajahan atas
Identitas: Representasi, Stereotip, dan ‘Othering’
Dalam proyek
kolonial, pembentukan identitas merupakan bagian dari sistem kekuasaan. Masyarakat
jajahan tidak hanya dikuasai secara fisik dan institusional, tetapi juga secara
simbolik—dengan dikonstruksikan sebagai "yang lain" (the
Other) yang irasional, eksotis, dan inferior. Edward Said dalam Orientalism
menjelaskan bahwa Barat membentuk Timur bukan berdasarkan kenyataan objektif,
melainkan berdasarkan imajinasi kolonial yang menjustifikasi dominasi.¹
Representasi ini
melahirkan stereotip yang tertanam dalam wacana global: bangsa-bangsa Timur
digambarkan sebagai pasif, penuh kekacauan, atau tidak mampu memimpin diri
sendiri.² Bahkan hingga kini, warisan stereotip tersebut terus direproduksi
dalam media global, pendidikan, dan diplomasi internasional.³
8.2.
Hybriditas dan
Ambivalensi Identitas Pascakolonial
Kolonialisme
menciptakan dinamika ambivalensi dalam pembentukan identitas di negara-negara
bekas jajahan. Kolonialisme menciptakan subjek yang berupaya meniru budaya
penjajah, namun pada saat yang sama tidak pernah sepenuhnya diterima sebagai
"bagian dari mereka." Homi K. Bhabha menyebut kondisi ini
sebagai hybridity—identitas
ganda yang muncul dari pertemuan budaya kolonial dan lokal, yang penuh
ketegangan dan ambiguitas.⁴
Identitas
pascakolonial kerap diwarnai oleh kebutuhan untuk menegaskan kembali keaslian
budaya lokal, namun dalam kerangka yang tidak bisa lepas sepenuhnya dari
warisan kolonial. Hal ini menghasilkan ekspresi identitas yang terfragmentasi:
misalnya dalam bahasa, busana, sistem nilai, bahkan dalam perumusan
nasionalisme itu sendiri.⁵
8.3.
Nasionalisme dan
Identitas Pascakolonial
Gerakan kemerdekaan
di dunia kolonial seringkali membangun identitas nasional sebagai antitesis
terhadap kolonialisme. Nasionalisme menjadi alat untuk menyatukan masyarakat
yang terpecah oleh klasifikasi kolonial dan untuk membentuk narasi kolektif
tentang masa depan. Namun, identitas nasional yang dibentuk dalam konteks
pascakolonial kerap mengadopsi model negara-bangsa Eropa sebagai rujukan, tanpa
mempertimbangkan kompleksitas lokal.⁶
Akibatnya, banyak
negara bekas koloni menghadapi tantangan identitas berkelanjutan, terutama
ketika keberagaman etnis, bahasa, dan agama tidak tercermin dalam narasi
nasional dominan. Alih-alih menjadi wadah inklusif, negara nasional
pascakolonial kadang melanjutkan praktik eksklusi yang diwarisi dari sistem kolonial.⁷
8.4.
Globalisasi dan
Komodifikasi Identitas Pascakolonial
Di era globalisasi,
identitas tidak hanya dibentuk melalui sejarah dan politik, tetapi juga melalui
sirkulasi kapital dan budaya pop. Komodifikasi budaya lokal dalam bentuk
pariwisata, fashion, atau seni sering kali mereproduksi relasi kolonial dalam
kemasan baru—menjadikan identitas lokal sebagai objek eksotik konsumsi global.⁸
Hal ini terlihat
dalam cara identitas tertentu dikonstruksi untuk pasar internasional, seperti
“eksotisme Bali” atau “misteri Timur” dalam industri pariwisata. Arjun
Appadurai menekankan bahwa globalisasi budaya seringkali tidak menghapus
kolonialisme, tetapi justru mereproduksi bentuk-bentuk baru dari
ketidaksetaraan representasi dan pemaknaan identitas.⁹
8.5.
Resistensi Kultural
dan Politik Identitas Global
Namun demikian,
identitas global yang dibentuk oleh kolonialisme tidak bersifat statis. Di
banyak tempat, muncul gerakan resistensi yang menuntut pengakuan atas identitas
kultural dan sejarah alternatif dari narasi dominan. Gerakan dekolonisasi
kurikulum, kebangkitan bahasa-bahasa lokal, hingga ekspresi seni kontemporer
dari Global South merupakan contoh perlawanan terhadap hegemoni representasi
kolonial.¹⁰
Gerakan seperti Black
Lives Matter, Idle No More (Indigenous Canada),
atau Rhodes
Must Fall di Afrika Selatan tidak hanya memperjuangkan keadilan
sosial, tetapi juga menggugat fondasi kolonial dari identitas global yang
mapan.¹¹ Identitas dalam konteks ini dipahami bukan sebagai sesuatu yang
esensial dan tetap, melainkan sebagai medan perjuangan kultural, politik, dan
epistemik.
Kesimpulan
Sementara
Kolonialisme telah
membentuk cara dunia mendefinisikan diri dan yang lain. Identitas global hari
ini tidak terlepas dari kerangka kolonial yang mengkonstruksi norma, otoritas,
dan validitas budaya tertentu. Namun, identitas juga merupakan medan kontestasi
yang terbuka terhadap reinterpretasi, negosiasi, dan perlawanan. Dalam dunia
yang semakin saling terhubung, pengakuan terhadap sejarah kolonial dan upaya
aktif untuk mendekolonisasi identitas menjadi kunci menuju tatanan global yang
lebih adil dan setara.
Footnotes
[1]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
2–5.
[2]
Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism (London: Routledge,
2005), 76–79.
[3]
Ella Shohat dan Robert Stam, Unthinking Eurocentrism:
Multiculturalism and the Media (London: Routledge, 1994), 100–104.
[4]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 112–118.
[5]
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction
(New York: Columbia University Press, 1998), 104–107.
[6]
Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and
Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press, 1993), 5–8.
[7]
Mahmood Mamdani, Define and Rule: Native as Political Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 2012), 43–45.
[8]
Edward M. Bruner, Culture on Tour: Ethnographies of Travel
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 85–90.
[9]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of
Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 4–6.
[10]
Boaventura de Sousa Santos, The End of the Cognitive Empire: The
Coming of Age of Epistemologies of the South (Durham: Duke University
Press, 2018), 74–77.
[11]
Achille Mbembe, Critique of Black Reason, trans. Laurent
Dubois (Durham: Duke University Press, 2017), 110–115.
9.
Kritik Kontemporer terhadap Narasi Kolonial
Narasi kolonial
tidak sekadar kisah masa lalu, melainkan suatu konstruksi historis dan
epistemologis yang terus direproduksi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
pendidikan, media, kebijakan publik, dan wacana akademik. Narasi ini umumnya
menyajikan kolonialisme sebagai misi modernisasi dan pemberadaban, sekaligus
mengaburkan kekerasan struktural dan penghancuran budaya lokal yang
dilakukannya. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai kritik
kontemporer—khususnya dari tradisi pascakolonial dan dekolonial—telah mengemuka
untuk mendekonstruksi narasi dominan tersebut dan menawarkan pembacaan ulang
yang lebih adil dan historis.
9.1.
Dekonstruksi terhadap
Narasi Heroik Kolonialisme
Narasi kolonial
klasik cenderung memposisikan bangsa penjajah sebagai pembawa kemajuan dan
masyarakat terjajah sebagai pasif, tidak berbudaya, atau belum berkembang.
Pendekatan ini sering diabadikan dalam buku-buku sejarah kolonial yang ditulis
dari sudut pandang Eropa, serta dalam museum, monumen, dan arsip kolonial.¹
Para pemikir
pascakolonial seperti Edward Said, Homi Bhabha, dan Gayatri Spivak menunjukkan
bahwa narasi ini bersifat hegemonik karena menyamarkan kekerasan dan penindasan
di balik klaim “peradaban.”² Dalam konteks ini, Said mengungkapkan
bagaimana literatur dan studi akademik Barat berperan aktif dalam membangun
wacana orientalis yang mendiskreditkan Timur sebagai “lain” yang perlu
didominasi.³
9.2.
Kritik atas Kurikulum
dan Historiografi Kolonial
Salah satu arena
terpenting dalam reproduksi narasi kolonial adalah dunia pendidikan. Di banyak
negara pascakolonial, kurikulum sekolah masih menyimpan warisan sejarah yang
bias kolonial—baik melalui penggunaan sumber Barat, penekanan pada tokoh-tokoh
kolonial, maupun pengabaian terhadap narasi lokal dan bentuk perlawanan.⁴
Gerakan decolonize
the curriculum muncul di banyak universitas, terutama di Afrika
Selatan, India, dan Eropa, sebagai bentuk penolakan terhadap dominasi epistemik
yang menjadikan Barat sebagai pusat pengetahuan universal.⁵ Kritik ini tidak
hanya menuntut perubahan materi, tetapi juga pendekatan pedagogis yang lebih
pluralistik dan reflektif terhadap kolonialisme sebagai trauma kolektif.⁶
9.3.
Penghapusan Simbol dan
Monumen Kolonial
Dalam ruang publik,
kritik kontemporer juga diarahkan pada keberadaan simbol-simbol kolonial yang
masih dipertahankan tanpa konteks kritis. Monumen tokoh-tokoh kolonial, patung
penakluk, dan nama jalan peninggalan kolonial sering dianggap sebagai bentuk
perayaan atas penindasan dan pelupaan terhadap penderitaan rakyat jajahan.⁷
Gerakan seperti Rhodes
Must Fall di University of Cape Town dan penggulingan patung Edward
Colston di Bristol (2020) merupakan contoh konkret dari upaya untuk merevisi
ruang publik agar mencerminkan kesadaran sejarah yang lebih adil.⁸ Perdebatan
ini juga merambah ke museum, yang dituntut untuk mengembalikan artefak yang
dijarah selama masa kolonialisme, seperti kasus Benin Bronzes di Inggris dan
Jerman.⁹
9.4.
Penolakan terhadap
Narasi “Kolonialisme yang Menguntungkan”
Sebagian pihak,
terutama dalam wacana konservatif, masih mempertahankan klaim bahwa
kolonialisme membawa manfaat bagi bangsa terjajah—seperti pembangunan
infrastruktur, sistem hukum modern, dan pendidikan Barat.¹⁰ Namun klaim ini
dikritik sebagai bentuk colonial apologia karena
mengabaikan kerusakan sosial, kultural, dan ekonomi yang terjadi sebagai akibat
dari kolonialisme itu sendiri.
Historikus seperti
Walter Rodney dan Samir Amin menegaskan bahwa pembangunan kolonial bukanlah
demi kesejahteraan masyarakat lokal, melainkan untuk memperkuat sistem
eksploitasi dan ekstraksi yang berpihak pada kepentingan imperial.¹¹ Perspektif
ini menuntut kita untuk membedakan antara “modernisasi” sebagai alat kekuasaan
dan “kemajuan” sebagai nilai universal.
9.5.
Pemulihan Narasi
Alternatif dan Suara Subaltern
Kritik terhadap
narasi kolonial juga berfokus pada perlunya mengangkat kembali narasi-narasi
yang selama ini disenyapkan, terutama dari kelompok subaltern—yakni mereka yang
tidak memiliki posisi bicara dalam sistem dominasi kolonial. Gayatri Spivak
dalam esainya Can the Subaltern Speak? menekankan
bahwa pemulihan narasi subaltern harus dilakukan secara hati-hati agar tidak
jatuh pada apropriasi epistemik oleh kalangan akademik dominan.¹²
Dalam konteks ini,
studi sejarah lisan, sastra pribumi, dan arsip alternatif menjadi media penting
untuk membangun sejarah yang lebih demokratis. Pemulihan narasi perempuan dalam
kolonialisme, misalnya, membuka ruang baru untuk memahami kolonialisme sebagai
kekuasaan gender sekaligus rasial.¹³
Kesimpulan
Sementara
Kritik kontemporer
terhadap narasi kolonial membuka ruang reflektif yang mendalam bagi masyarakat
global untuk mengevaluasi warisan masa lalu yang terus hidup dalam bentuk
simbolik, struktural, dan epistemik. Melampaui kritik, gerakan ini juga membawa
semangat transformatif untuk membangun tatanan pengetahuan, ruang publik, dan
pendidikan yang lebih adil. Di tengah ketegangan antara pelupaan dan pengakuan
sejarah, proyek dekolonisasi narasi menjadi langkah kunci untuk membebaskan
masa kini dari bayang-bayang kolonial masa lalu.
Footnotes
[1]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
3–5.
[2]
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction
(New York: Columbia University Press, 1998), 14–17.
[3]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
6–7.
[4]
Priya Lal, “Decolonial Education and the Politics of Historical
Knowledge in Africa,” Africa Is a Country, 2019.
[5]
Achille Mbembe, Decolonizing Knowledge and the Question of the
Archive, WISER Lecture, University of the Witwatersrand, 2015.
[6]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 34–37.
[7]
Zoé Samudzi, “Monuments Are Not History,” The New Inquiry,
June 2020.
[8]
Simukai Chigudu, “Rhodes Must Fall: The Struggle to Decolonise the
Racist Heart of Empire,” The Guardian, March 2021.
[9]
Dan Hicks, The Brutish Museums: The Benin Bronzes, Colonial
Violence and Cultural Restitution (London: Pluto Press, 2020), 12–18.
[10]
Bruce Gilley, “The Case for Colonialism,” Third World Quarterly
38, no. 10 (2017): 1–15.
[11]
Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa (Washington,
D.C.: Howard University Press, 1981), 107–110.
[12]
Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? in Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory, ed. Patrick Williams and Laura
Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–69.
[13]
Antoinette Burton, Burdens of History: British Feminists, Indian
Women, and Imperial Culture, 1865–1915 (Chapel Hill: University of North
Carolina Press, 1994), 91–95.
10.
Penutup
Kolonialisme
merupakan salah satu kekuatan sejarah paling berpengaruh dalam membentuk
tatanan dunia modern. Sebagai sebuah proyek kekuasaan multidimensi,
kolonialisme tidak hanya menciptakan dominasi teritorial, tetapi juga membangun
struktur ekonomi global, merusak pranata sosial lokal, mendistorsi representasi
budaya, dan mengarahkan produksi pengetahuan. Dampaknya tidak berhenti pada
momen dekolonisasi formal, tetapi terus berlanjut dalam bentuk ketimpangan
struktural, ketergantungan ekonomi, hegemoni epistemik, serta krisis identitas
di negara-negara bekas koloni.
Sejarah kolonialisme
bukan hanya tentang siapa yang menjajah dan siapa yang dijajah, melainkan juga
tentang bagaimana narasi, simbol, dan pengetahuan dikonstruksi untuk
melegitimasi relasi kuasa yang timpang. Edward Said menunjukkan bahwa dominasi
kolonial tidak dapat dilepaskan dari produksi representasi yang menyudutkan
masyarakat non-Barat sebagai objek subordinasi budaya dan politik.¹ Dengan
demikian, upaya untuk memahami kolonialisme secara komprehensif harus mencakup
tidak hanya dimensi politik dan ekonomi, tetapi juga dimensi diskursif dan
simbolik.
Melalui kajian ini,
telah diuraikan secara sistematis bagaimana kolonialisme berakar dari motivasi
ekonomi, religius, dan ideologis; bagaimana ia dijalankan melalui strategi
devide et impera, kekerasan simbolik, dan institusionalisasi kekuasaan; serta
bagaimana masyarakat terjajah menanggapinya melalui perlawanan fisik, kultural,
dan intelektual.² Warisan kolonialisme di abad ke-21 pun tidak terhapuskan,
melainkan hadir dalam bentuk neo-kolonialisme, ketimpangan global, serta krisis
identitas dalam kerangka globalisasi dan modernitas yang dibentuk oleh logika
kolonial.³
Kritik kontemporer
terhadap narasi kolonial menjadi penting sebagai bagian dari upaya untuk
membongkar warisan historis yang bias dan hegemonik. Gerakan dekolonisasi
pengetahuan, revisi kurikulum, penghapusan simbol kolonial, serta pengembalian
artefak budaya, merupakan manifestasi dari kesadaran bahwa kolonialisme
bukanlah sekadar masa lalu, melainkan juga bagian dari tantangan masa kini.⁴
Dalam konteks ini, tugas akademik dan moral kita adalah membangun pembacaan
yang lebih inklusif, reflektif, dan adil terhadap sejarah kolonial dan
dampaknya.
Dengan memahami
kolonialisme dalam kompleksitas historis dan kontemporernya, kita dapat
mengembangkan kesadaran kritis yang lebih tajam terhadap akar-akar
ketidaksetaraan global. Upaya dekolonisasi tidak berhenti pada pembongkaran
narasi dominan, tetapi harus dibarengi dengan pembangunan epistemologi
alternatif yang menghargai pengetahuan lokal, memperkuat kedaulatan budaya, dan
mendorong solidaritas lintas bangsa untuk menciptakan masa depan dunia yang
lebih adil, setara, dan bebas dari warisan penindasan kolonial.
Footnotes
[1]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
2–5.
[2]
Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge,
History (Berkeley: University of California Press, 2005), 17–20.
[3]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–60.
[4]
Achille Mbembe, Decolonizing Knowledge and the Question of the
Archive, WISER Lecture, University of the Witwatersrand, 2015.
Daftar Pustaka
Amin, S. (1976). Unequal
development: An essay on the social formations of peripheral capitalism.
Monthly Review Press.
Appadurai, A. (1996). Modernity
at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota
Press.
Azra, A. (2004). The
origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian
and Middle Eastern “ulama” in the seventeenth and eighteenth centuries.
University of Hawai‘i Press.
Azra, A. (2019). Islam
Nusantara: Islam berbasis budaya lokal dalam konteks keindonesiaan.
Kompas.
Bayart, J.-F. (2005). The
illusion of cultural identity. University of Chicago Press.
Beckles, H. (2013). Britain’s
black debt: Reparations for Caribbean slavery and native genocide.
University of the West Indies Press.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bruner, E. M. (2005). Culture
on tour: Ethnographies of travel. University of Chicago Press.
Burton, A. (1994). Burdens
of history: British feminists, Indian women, and imperial culture, 1865–1915.
University of North Carolina Press.
Carey, P. (2007). The
power of prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java,
1785–1855. KITLV Press.
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing
Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton
University Press.
Chaudhuri, K. N. (1978). The
trading world of Asia and the English East India Company 1660–1760.
Cambridge University Press.
Chatterjee, P. (1993). The
nation and its fragments: Colonial and postcolonial histories. Princeton
University Press.
Chigudu, S. (2021, March).
Rhodes Must Fall: The struggle to decolonise the racist heart of empire. The
Guardian. https://www.theguardian.com/
Cohn, B. S. (1996). Colonialism
and its forms of knowledge: The British in India. Princeton University
Press.
Conklin, A. L. (1997). A
mission to civilize: The republican idea of empire in France and West Africa,
1895–1930. Stanford University Press.
Cooper, F. (2005). Colonialism
in question: Theory, knowledge, history. University of California Press.
Dirks, N. B. (2001). Castes
of mind: Colonialism and the making of modern India. Princeton University
Press.
Elson, R. E. (1984). Javanese
peasants and the colonial sugar industry: Impact and change in an East Java
residency, 1830–1940. Oxford University Press.
Fan, C. L. M. (2004). The
wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.
Fanon, F. (1967). Black
skin, white masks (C. L. M. Markmann, Trans.). Grove Press.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (2007). Security,
territory, population: Lectures at the Collège de France, 1977–78 (G.
Burchell, Trans.; M. Senellart, Ed.). Palgrave Macmillan.
Gandhi, L. (1998). Postcolonial
theory: A critical introduction. Columbia University Press.
Gilley, B. (2017). The case
for colonialism. Third World Quarterly, 38(10), 1–15.
Hicks, D. (2020). The
brutish museums: The Benin bronzes, colonial violence and cultural restitution.
Pluto Press.
Holt, P. M. (1958). The
Mahdist state in the Sudan, 1881–1898. Clarendon Press.
Horne, A. (2006). A
savage war of peace: Algeria 1954–1962. New York Review Books.
Hourani, A. (1983). Arabic
thought in the liberal age, 1798–1939. Cambridge University Press.
Ibhawoh, B. (2013). Imperial
justice: Africans in empire’s court. Oxford University Press.
Inden, R. (1990). Imagining
India. Basil Blackwell.
Kartodirdjo, S. (1966). The
peasants’ revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel.
Martinus Nijhoff.
Lal, P. (2019). Decolonial
education and the politics of historical knowledge in Africa. Africa Is a
Country. https://africasacountry.com/
Loomba, A. (2005). Colonialism/postcolonialism
(2nd ed.). Routledge.
Mamdani, M. (1996). Citizen
and subject: Contemporary Africa and the legacy of late colonialism.
Princeton University Press.
Mamdani, M. (2012). Define
and rule: Native as political identity. Harvard University Press.
Mbembe, A. (2015). Decolonizing
knowledge and the question of the archive. WISER Lecture.
Mbembe, A. (2017). Critique
of black reason (L. Dubois, Trans.). Duke University Press.
Mignolo, W. D. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke
University Press.
Mignolo, W. D. (2014). The
end of the cognitive empire: The coming of age of epistemologies of the South.
Duke University Press.
Ngũgĩ wa Thiong’o. (1986). Decolonising
the mind: The politics of language in African literature. Heinemann.
Nkrumah, K. (1965). Neo-colonialism:
The last stage of imperialism. Thomas Nelson & Sons.
Osterhammel, J. (2005). Colonialism:
A theoretical overview (S. L. Frisch, Trans.). Markus Wiener Publishers.
Pagden, A. (1995). Lords
of all the world: Ideologies of empire in Spain, Britain and France c. 1500–c.
1800. Yale University Press.
Rodney, W. (1981). How
Europe underdeveloped Africa. Howard University Press.
Said, E. W. (1978). Orientalism.
Pantheon Books.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies
of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.
Scott, D. (1999). Colonialism
and postcolonialism. Oxford University Press.
Scott, J. C. (1985). Weapons
of the weak: Everyday forms of peasant resistance. Yale University Press.
Shohat, E., & Stam, R.
(1994). Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the media.
Routledge.
Shiraishi, T. (1997). Zaman
bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926. Pustaka Utama Grafiti.
Spivak, G. C. (1994). Can
the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial
discourse and post-colonial theory (pp. 66–111). Columbia University
Press.
Stoler, A. L. (2002). Carnal
knowledge and imperial power: Race and the intimate in colonial rule.
University of California Press.
Viswanathan, G. (1989). Masks
of conquest: Literary study and British rule in India. Columbia University
Press.
Wallerstein, I. (2011). The
modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European
world-economy in the sixteenth century. University of California Press.
Wright, R. (1956). The
color curtain: A report on the Bandung Conference. World Publishing
Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar