Rabu, 04 Juni 2025

Kolonialisme: Sejarah, Dinamika Kekuasaan, dan Warisannya dalam Dunia Kontemporer

Kolonialisme

Sejarah, Dinamika Kekuasaan, dan Warisannya dalam Dunia Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji kolonialisme sebagai fenomena historis dan struktur kekuasaan yang membentuk peradaban modern serta meninggalkan jejak mendalam dalam dinamika global kontemporer. Kolonialisme dipahami bukan semata sebagai penjajahan teritorial, melainkan sebagai proyek sistemik yang mencakup dimensi ekonomi, politik, ideologis, dan epistemologis. Dengan menelaah akar sejarah kolonialisme sejak abad ke-15, artikel ini menelusuri motif utama ekspansi kolonial (ekonomi, religius, ideologis), strategi kekuasaan yang diterapkan (seperti devide et impera dan pengendalian pengetahuan), serta dampak multidimensionalnya terhadap masyarakat terjajah—mulai dari kehancuran ekonomi lokal, marginalisasi budaya, pembentukan identitas terjajah, hingga disrupsi sistem sosial-politik.

Selanjutnya, artikel ini membahas ragam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, baik fisik, kultural, maupun intelektual, dan menyoroti bagaimana kolonialisme berinteraksi dengan produksi ilmu pengetahuan serta terus mewariskan struktur ketimpangan melalui mekanisme neo-kolonialisme di abad ke-21. Identitas global kontemporer dianalisis dalam konteks warisan kolonial yang membentuk wacana dominan dan struktur simbolik di ranah pendidikan, media, dan politik internasional. Artikel ini ditutup dengan kritik terhadap narasi kolonial yang masih hegemonik serta dorongan untuk dekolonisasi pengetahuan, kurikulum, dan memori kolektif sebagai bagian dari perjuangan global untuk keadilan historis dan epistemik.

Kata Kunci: Kolonialisme, Neo-kolonialisme, Identitas Pascakolonial, Dekolonisasi, Epistemologi, Ilmu Pengetahuan Kolonial, Perlawanan, Hegemoni Budaya, Narasi Sejarah, Keadilan Global.


PEMBAHASAN

Kajian Kolonialisme dalam Studi Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Kolonialisme merupakan salah satu fenomena historis paling signifikan dalam membentuk konfigurasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya dunia modern. Istilah ini secara umum merujuk pada praktik penguasaan satu bangsa terhadap wilayah lain dengan tujuan eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja, dan kekuasaan politik. Edward Said mencatat bahwa kolonialisme bukan sekadar penjajahan fisik, tetapi juga ekspansi kekuasaan epistemik yang mengkonstruksi cara pandang dominan terhadap dunia non-Barat sebagai inferior dan “lain” (the Other) dalam struktur pengetahuan modern Barat.¹

Sejarah kolonialisme telah berlangsung sejak abad ke-15, seiring dengan era penjelajahan maritim oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol, yang kemudian diikuti oleh Inggris, Prancis, Belanda, dan lain-lain.² Kolonialisme tidak hanya menciptakan kerajaan-kerajaan kolonial yang luas, tetapi juga mengubah lanskap global melalui jaringan perdagangan, sistem birokrasi baru, relasi kekuasaan global, serta proses asimilasi dan resistensi budaya.³ Kolonialisme menjelma menjadi suatu sistem kekuasaan global yang memunculkan ketimpangan struktural antara negara-negara “pusat” (core) dan “pinggiran” (periphery), yang dampaknya masih dapat dirasakan hingga saat ini dalam bentuk ketergantungan ekonomi, warisan sistem pendidikan, serta kerangka hukum dan politik di banyak negara bekas jajahan.⁴

Dalam studi sosial-kritis, kolonialisme juga dipahami bukan sebagai episode sejarah yang telah selesai, melainkan sebagai struktur kekuasaan yang masih bekerja melalui berbagai bentuk neo-kolonialisme, kapitalisme global, dan hegemoni budaya.⁵ Dengan demikian, memahami kolonialisme tidak cukup hanya sebagai studi sejarah konvensional, melainkan sebagai medan kajian multidisipliner yang melibatkan sejarah, filsafat politik, studi budaya, ekonomi-politik, hingga teori poskolonial. Hal ini memungkinkan kajian kolonialisme berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih adil dan inklusif mengenai dinamika global kontemporer.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif perjalanan kolonialisme dari akar sejarahnya, bentuk dan strateginya, dampaknya terhadap masyarakat jajahan, hingga warisan kolonial yang masih membentuk struktur sosial dan politik dunia saat ini. Selain itu, artikel ini akan mengulas upaya-upaya perlawanan dan dekonstruksi wacana kolonial melalui pendekatan kritis, khususnya melalui studi poskolonial dan gerakan dekolonialisasi pengetahuan. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan kritis terhadap kolonialisme sebagai fenomena historis sekaligus struktur kontemporer yang masih relevan untuk ditelusuri secara mendalam.


Footnotes

[1]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 2–3.

[2]                Jürgen Osterhammel, Colonialism: A Theoretical Overview, trans. Shelley L. Frisch (Princeton: Markus Wiener Publishers, 2005), 15–17.

[3]                Anthony Pagden, Lords of All the World: Ideologies of Empire in Spain, Britain and France c. 1500–c. 1800 (New Haven: Yale University Press, 1995), 1–10.

[4]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (Berkeley: University of California Press, 2011), 347–360.

[5]                Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin America,” Nepantla: Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.


2.            Asal-Usul dan Perkembangan Kolonialisme

Kolonialisme sebagai praktik ekspansi kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya memiliki akar historis yang dalam dan kompleks. Meskipun praktik dominasi suatu kelompok atas kelompok lain telah dikenal sejak peradaban kuno—seperti kekaisaran Romawi dan penaklukan Persia—kolonialisme modern baru mengambil bentuk sistematis pada akhir abad ke-15, saat bangsa-bangsa Eropa mulai melakukan ekspedisi pelayaran jarak jauh dengan tujuan dagang dan imperialis.¹

2.1.       Kolonialisme Awal: Motif Eksplorasi dan Keagamaan

Periode awal kolonialisme modern dimulai dengan ekspedisi Portugis dan Spanyol pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, didorong oleh tiga motif utama yang dikenal dengan semboyan “gold, glory, and gospel”—yakni pencarian kekayaan, kejayaan politik, dan penyebaran agama Kristen.² Penemuan rute laut baru ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin memungkinkan terbentuknya koloni-koloni awal yang dikuasai secara langsung oleh kekuatan monarki Eropa. Contoh awalnya adalah pendirian koloni Portugis di Goa (India) dan Spanyol di Karibia.³

Peta kolonialisme awal ini dipertegas oleh Perjanjian Tordesillas tahun 1494 yang membagi dunia menjadi dua zona pengaruh antara Portugal dan Spanyol, atas restu Paus Aleksander VI. Ini menandai keterlibatan institusi agama dalam melegitimasi proyek kolonialisme sebagai “misi peradaban” yang dibenarkan secara moral dan teologis.⁴

2.2.       Kolonialisme Modern: Sistematisasi dan Industrialisasi

Memasuki abad ke-17 dan 18, kolonialisme memasuki fase modern dengan keterlibatan negara-negara seperti Inggris, Belanda, dan Prancis, yang tidak hanya menaklukkan wilayah tetapi juga membentuk administrasi kolonial yang terstruktur. Di sinilah kolonialisme bertransformasi menjadi suatu sistem politik dan ekonomi yang terintegrasi dalam proyek mercantilisme dan awal kapitalisme global.⁵ Koloni bukan sekadar tanah jajahan, tetapi juga sumber bahan mentah dan pasar untuk industri negara penjajah.

Perusahaan dagang seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan British East India Company menjadi pelaku utama dalam ekspansi ini, menggabungkan kepentingan ekonomi privat dengan legitimasi kekuasaan negara.⁶ Kolonialisme menjadi institusi kekuasaan formal melalui perjanjian, kekerasan militer, serta pembentukan jaringan birokrasi yang mencakup hukum, pendidikan, dan pengawasan sosial.

2.3.       Kolonialisme Abad ke-19: Imperialisme Tinggi dan Rasionalisasi Ilmiah

Abad ke-19 dikenal sebagai era high imperialism yang ditandai oleh ekspansi besar-besaran ke Afrika dan Asia. Dorongan industrialisasi menciptakan kebutuhan akan bahan mentah dan pasar baru, serta menajamkan persaingan antarnegara Eropa. Proses ini didukung oleh legitimasi “ilmiah” melalui teori rasial, Darwinisme sosial, dan ide superioritas bangsa Eropa atas ras lain.⁷ Konferensi Berlin tahun 1884–1885 menjadi simbol politik pembagian Afrika oleh kekuatan-kekuatan Eropa tanpa mempertimbangkan eksistensi masyarakat lokal.⁸

Pada masa ini, kolonialisme juga menjadi medan pengujian identitas Eropa itu sendiri: siapa yang layak memimpin dunia, siapa yang “beradab” dan siapa yang “liar”. Maka, kolonialisme bukan hanya dominasi fisik, tetapi juga struktur pemaknaan dunia yang membentuk narasi sentral Eropa dalam sejarah dunia.⁹

2.4.       Menuju Dekolonisasi: Perang Dunia dan Kebangkitan Nasionalisme

Dua perang dunia pada abad ke-20 mengguncang fondasi kolonialisme. Keterlibatan bangsa-bangsa jajahan dalam perang dan krisis ekonomi global menggeser persepsi tentang superioritas kolonial. Bersamaan dengan itu, muncul kesadaran nasionalisme di kalangan masyarakat jajahan yang memicu gerakan kemerdekaan di berbagai wilayah dunia seperti India, Indonesia, Mesir, dan Vietnam.¹⁰ Proses dekolonisasi ini merupakan hasil interaksi antara tekanan global, perubahan geopolitik, serta keteguhan perjuangan rakyat tertindas.

Namun, meskipun kolonialisme formal mengalami kemunduran sejak pertengahan abad ke-20, warisannya tidak serta-merta hilang. Struktur ekonomi-politik dan epistemik yang dibentuk kolonialisme masih terus hidup dalam bentuk dominasi simbolik, ketimpangan global, serta apa yang disebut oleh para pemikir pascakolonial sebagai “kolonialitas kekuasaan”.¹¹


Footnotes

[1]                Jürgen Osterhammel, Colonialism: A Theoretical Overview, trans. Shelley L. Frisch (Princeton: Markus Wiener Publishers, 2005), 4–5.

[2]                Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 173–176.

[3]                Charles Ralph Boxer, The Portuguese Seaborne Empire 1415–1825 (New York: Alfred A. Knopf, 1969), 85–90.

[4]                Anthony Pagden, Lords of All the World: Ideologies of Empire in Spain, Britain and France c. 1500–c. 1800 (New Haven: Yale University Press, 1995), 27–30.

[5]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I (Berkeley: University of California Press, 2011), 47–50.

[6]                K. N. Chaudhuri, The Trading World of Asia and the English East India Company 1660–1760 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 2–5.

[7]                Alice Conklin, A Mission to Civilize: The Republican Idea of Empire in France and West Africa, 1895–1930 (Stanford: Stanford University Press, 1997), 10–13.

[8]                Thomas Pakenham, The Scramble for Africa: White Man’s Conquest of the Dark Continent from 1876 to 1912 (New York: HarperCollins, 1991), 242–250.

[9]                Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage, 1994), xviii–xxi.

[10]             Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 113–118.

[11]             Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin America,” Nepantla: Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.


3.            Motif dan Strategi Kolonialisme

Kolonialisme tidak pernah merupakan peristiwa yang netral atau kebetulan sejarah semata. Ia adalah sebuah proyek kekuasaan yang didorong oleh berbagai motif multidimensional—ekonomi, politik, ideologis, hingga religius—dan dijalankan melalui strategi sistematis yang beragam sesuai konteks waktu dan wilayah. Pemahaman terhadap motif dan strategi kolonialisme penting untuk menyingkap bagaimana kekuasaan kolonial menancapkan dan mempertahankan dominasinya dalam jangka panjang.

3.1.       Motif Ekonomi: Eksploitasi dan Akses Pasar

Salah satu dorongan utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi. Negara-negara Eropa mencari wilayah jajahan untuk memperoleh bahan mentah murah, tenaga kerja terkooptasi, serta pasar bagi produk-produk industrinya. Dalam kerangka ekonomi politik, kolonialisme berfungsi sebagai instrumen akumulasi kapital global dan pembentukan sistem ekonomi dunia yang berpusat pada Eropa Barat.¹

Immanuel Wallerstein dalam The Modern World-System menunjukkan bahwa kolonialisme memosisikan wilayah jajahan sebagai “pinggiran” (periphery) yang dikondisikan untuk melayani kebutuhan “pusat” (core) industri Eropa.² Contohnya dapat dilihat pada sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda, yang secara brutal mengarahkan ekonomi lokal untuk menyuplai kebutuhan global kolonial.³

3.2.       Motif Politik: Perluasan Kekuasaan dan Hegemoni Imperial

Kolonialisme juga menjadi sarana ekspansi kekuasaan negara-negara imperialis untuk memperluas wilayah dan mengukuhkan dominasi geopolitiknya. Di tengah rivalitas antara kekuatan Eropa seperti Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman, pendirian koloni merupakan bentuk proyeksi kekuasaan di panggung global.⁴

Koloni juga menjadi simbol prestise dan kekuatan nasional. Politik kolonial menciptakan sistem hierarki global yang melegitimasi supremasi politik Eropa atas dunia non-Eropa, yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan kolonial, administrasi terpusat, dan pemaksaan sistem hukum yang asing bagi masyarakat lokal.⁵

3.3.       Motif Ideologis: Superioritas Rasial dan Misi Peradaban

Salah satu justifikasi utama kolonialisme adalah ide tentang “misi peradaban” (civilizing mission), di mana bangsa Eropa mengklaim dirinya sebagai pembawa kemajuan dan moralitas bagi bangsa-bangsa “primitif.” Gagasan ini berakar pada superioritas rasial yang dikembangkan melalui wacana ilmiah seperti Darwinisme Sosial dan Antropologi Kolonial.⁶

Edward Said dalam Orientalism menyoroti bahwa proyek kolonial dibingkai sebagai usaha membebaskan masyarakat Timur dari keterbelakangan, padahal pada dasarnya justru menciptakan narasi inferiorisasi yang meminggirkan identitas dan pengetahuan lokal.⁷ Ide ini diperkuat dengan representasi visual, kurikulum pendidikan kolonial, dan klasifikasi rasial dalam sistem administrasi.⁸

3.4.       Motif Religius: Misi Evangelisasi dan Penyebaran Agama

Banyak ekspedisi kolonial dilakukan dengan misi religius, terutama oleh Portugis, Spanyol, dan Prancis yang membawa serta misionaris Katolik. Kolonialisme dalam hal ini menjadi medium penyebaran agama Kristen yang dipadukan dengan kekuasaan politik dan ekonomi.⁹ Gereja kerap kali berperan aktif dalam membangun sekolah, rumah sakit, dan institusi sosial sebagai sarana “kristenisasi” masyarakat lokal.

Namun, misi religius ini seringkali disertai dengan penghancuran simbol-simbol kepercayaan asli dan penghapusan sistem nilai lokal.¹⁰ Dalam konteks ini, agama menjadi instrumen domestikasi dan kontrol spiritual atas penduduk jajahan.

3.5.       Strategi Kolonialisme: Kekuasaan dan Manipulasi Sosial

Strategi kolonialisme mencakup serangkaian pendekatan militer, birokratik, dan kultural. Salah satu strategi utama adalah devide et impera (politik pecah belah), yaitu dengan memanfaatkan perbedaan etnis, agama, atau kelas sosial untuk mencegah persatuan dan perlawanan.¹¹ Strategi ini terlihat jelas dalam kebijakan pengelompokan sosial di India dan Hindia Belanda, di mana penguasa kolonial menciptakan klasifikasi warga seperti pribumi, Eropa, dan Timur Asing.

Selain itu, kolonialisme menggunakan pendidikan sebagai alat hegemonik, melalui kurikulum yang mendewakan budaya Barat dan merendahkan pengetahuan lokal.¹² Kolonialisme juga membangun infrastruktur dan institusi yang mempermudah kontrol atas produksi, mobilitas sosial, serta pengawasan atas populasi—sebuah bentuk apa yang disebut oleh Michel Foucault sebagai biopolitics dan governmentality.¹³


Kesimpulan Sementara

Motif dan strategi kolonialisme memperlihatkan bahwa kolonialisme bukan sekadar penjajahan teritorial, tetapi proyek multidimensional yang terstruktur untuk melanggengkan dominasi global. Kombinasi motif ekonomi, politik, ideologis, dan religius dibungkus dalam strategi kekuasaan yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat jajahan. Oleh sebab itu, kritik terhadap kolonialisme harus mempertimbangkan seluruh dimensi tersebut dalam analisis interdisipliner.


Footnotes

[1]                A. G. Hopkins, An Economic History of West Africa (New York: Columbia University Press, 1973), 62–65.

[2]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (Berkeley: University of California Press, 2011), 15–17.

[3]                R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency, 1830–1940 (Singapore: Oxford University Press, 1984), 22–25.

[4]                Ronald Robinson dan John Gallagher, Africa and the Victorians: The Official Mind of Imperialism (London: Macmillan, 1961), 9–11.

[5]                Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge, History (Berkeley: University of California Press, 2005), 33–36.

[6]                Alice L. Conklin, A Mission to Civilize: The Republican Idea of Empire in France and West Africa, 1895–1930 (Stanford: Stanford University Press, 1997), 18–21.

[7]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 7–9.

[8]                Nicholas B. Dirks, Castes of Mind: Colonialism and the Making of Modern India (Princeton: Princeton University Press, 2001), 43–46.

[9]                Lamin Sanneh, Translating the Message: The Missionary Impact on Culture (Maryknoll: Orbis Books, 1989), 102–105.

[10]             David Chidester, Empire of Religion: Imperialism and Comparative Religion (Chicago: University of Chicago Press, 2014), 118–122.

[11]             Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 149–151.

[12]             Gauri Viswanathan, Masks of Conquest: Literary Study and British Rule in India (New York: Columbia University Press, 1989), 3–5.

[13]             Michel Foucault, Security, Territory, Population: Lectures at the Collège de France, 1977–78, ed. Michel Senellart, trans. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 93–98.


4.           Dampak Kolonialisme terhadap Masyarakat Terjajah

Kolonialisme membawa perubahan struktural yang sangat luas dan mendalam terhadap masyarakat-masyarakat yang dijajah. Dampaknya tidak hanya terbatas pada dimensi ekonomi, tetapi juga mencakup aspek sosial, budaya, politik, dan psikologis. Sebagian besar dari perubahan ini bersifat destruktif, meskipun dalam beberapa kasus tertentu, kolonialisme juga memperkenalkan infrastruktur dan institusi modern. Namun, analisis kritis menunjukkan bahwa dampak tersebut didesain untuk melanggengkan dominasi kolonial, bukan untuk membangun kemandirian masyarakat lokal.

4.1.       Dampak Ekonomi: Eksploitasi dan Ketergantungan Struktural

Salah satu dampak paling nyata dari kolonialisme adalah perubahan sistem ekonomi lokal menjadi sistem ekonomi ekstraktif yang berorientasi pada kebutuhan metropol. Koloni dijadikan sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah, sedangkan industri dan pusat keuntungan tetap berada di negara penjajah.¹

Contohnya terlihat jelas dalam sistem cultuurstelsel di Hindia Belanda, di mana rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu, sementara hasilnya diekspor untuk kepentingan ekonomi Belanda.² Sistem ini menyebabkan kemiskinan struktural, kelaparan, dan kematian massal, seperti yang terjadi pada krisis pangan di Jawa pada dekade 1840-an.³ Selain itu, pembangunan infrastruktur kolonial (rel kereta api, pelabuhan, dan jalan raya) hanya difokuskan untuk menunjang kegiatan ekspor, bukan untuk kesejahteraan masyarakat lokal.⁴

4.2.       Dampak Sosial dan Budaya: Disintegrasi dan Marginalisasi

Kolonialisme juga mengguncang tatanan sosial dan budaya masyarakat jajahan. Struktur tradisional yang sebelumnya otonom dirusak oleh intervensi kolonial yang mengganti pemimpin lokal dengan aparat kolonial atau elite kolaborator.⁵ Masyarakat dijadikan obyek klasifikasi sosial rasial—seperti yang diterapkan Belanda dengan kategori Eropa, Timur Asing, dan Pribumi—yang menciptakan segregasi dan diskriminasi dalam pendidikan, perumahan, dan pekerjaan.⁶

Nilai-nilai lokal sering kali dilemahkan dan digantikan oleh nilai-nilai Barat yang dianggap lebih “beradab.” Melalui institusi pendidikan kolonial dan media, kolonialisme menyebarkan narasi superioritas budaya Eropa, membentuk apa yang disebut Frantz Fanon sebagai “inferiorisasi budaya” yang melemahkan identitas dan harga diri masyarakat jajahan.⁷ Proses ini sering kali melibatkan penghancuran bahasa lokal, pelarangan ritual tradisional, dan reorientasi pendidikan untuk menciptakan “pribumi yang setia” (loyal native).⁸

4.3.       Dampak Politik: Erosi Kedaulatan dan Keterasingan Kekuasaan

Dalam ranah politik, kolonialisme menghapus kedaulatan lokal dan menggantinya dengan sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan kolonial. Kekuasaan yang sebelumnya bersifat partisipatif atau berbasis komunitas dialihkan kepada struktur birokrasi yang asing dan hirarkis.⁹

Negara kolonial memonopoli hak untuk membuat hukum, menegakkan keadilan, dan menetapkan kebijakan, tanpa melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini melahirkan keterasingan politik yang mendalam dan membentuk fondasi bagi sistem otoritarian yang terus berlanjut bahkan setelah kemerdekaan.¹⁰

4.4.       Dampak Psikologis dan Epistemik: Pembentukan Mentalitas Terjajah

Dampak kolonialisme juga menyentuh aspek psikologis dan epistemologis. Melalui dominasi simbolik dan ideologis, kolonialisme menciptakan apa yang disebut oleh Ngũgĩ wa Thiong’o sebagai mental dekolonisasi, yaitu kondisi di mana masyarakat jajahan mulai menerima inferioritas mereka sebagai sesuatu yang wajar.¹¹

Edward Said dalam Orientalism menegaskan bahwa kolonialisme tidak hanya mengontrol tanah dan tubuh, tetapi juga pikiran dan narasi sejarah.¹² Pengetahuan lokal dianggap tidak rasional, mistis, dan tidak ilmiah, sementara pengetahuan Eropa diposisikan sebagai standar universal. Akibatnya, kolonialisme menciptakan epistemologi yang mendiskreditkan cara pandang pribumi dan menanamkan sistem berpikir kolonial di dalam kurikulum pendidikan dan institusi ilmiah.¹³


Kesimpulan Sementara

Kolonialisme meninggalkan warisan multidimensi yang tidak dapat disederhanakan hanya sebagai peralihan kekuasaan politik. Ia telah membentuk struktur ketimpangan ekonomi, budaya, sosial, dan epistemik yang masih terasa dampaknya hingga hari ini. Untuk memahami dan melampaui dampak ini, masyarakat pascakolonial perlu melakukan pembacaan kritis atas sejarah kolonial, serta mengembangkan sistem pengetahuan, budaya, dan politik yang berakar pada kedaulatan lokal dan keadilan historis.


Footnotes

[1]                A. G. Hopkins, An Economic History of West Africa (New York: Columbia University Press, 1973), 59–60.

[2]                R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency, 1830–1940 (Singapore: Oxford University Press, 1984), 24–26.

[3]                Jan Breman, The Making and Unmaking of an Industrial Working Class: Sliding Down the Labour Hierarchy in Ahmedabad, India (Oxford: Oxford University Press, 2004), 15.

[4]                Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I (Berkeley: University of California Press, 2011), 68–72.

[5]                Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge, History (Berkeley: University of California Press, 2005), 36–39.

[6]                Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule (Berkeley: University of California Press, 2002), 78–82.

[7]                Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Charles Lam Markmann (New York: Grove Press, 1967), 9–10.

[8]                Gauri Viswanathan, Masks of Conquest: Literary Study and British Rule in India (New York: Columbia University Press, 1989), 10–13.

[9]                Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996), 23–25.

[10]             Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press, 1993), 4–6.

[11]             Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (Portsmouth, NH: Heinemann, 1986), 16–18.

[12]             Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 2–5.

[13]             Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 54–58.


5.           Perlawanan terhadap Kolonialisme

Perlawanan terhadap kolonialisme merupakan bagian integral dari sejarah masyarakat terjajah di berbagai belahan dunia. Perlawanan ini tidak hanya bersifat fisik atau militer, tetapi juga mencakup bentuk-bentuk lain seperti resistensi kultural, intelektual, spiritual, hingga diplomatik. Berbagai gerakan perlawanan menunjukkan bahwa masyarakat kolonial tidak pasif terhadap penindasan, melainkan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan, budaya, dan martabat mereka. Dalam banyak kasus, perlawanan ini menjadi fondasi bagi kebangkitan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan di abad ke-20.

5.1.       Perlawanan Fisik dan Militer

Bentuk perlawanan paling langsung terhadap kolonialisme adalah perlawanan fisik, baik dalam bentuk pemberontakan spontan maupun perang berskala besar. Di Afrika, perlawanan Mahdist di Sudan (1881–1898) dan Perang Zulu melawan Inggris (1879) menunjukkan bahwa masyarakat lokal memiliki kapasitas organisasi dan strategi perang yang serius.¹

Di Indonesia, terdapat berbagai pemberontakan lokal seperti Perang Diponegoro (1825–1830), yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan melibatkan perlawanan luas terhadap kolonialisme Belanda.² Perlawanan ini merupakan ekspresi dari kekecewaan atas intervensi Belanda dalam urusan adat, tanah, dan agama.³ Meskipun secara militer sering kali berakhir dengan kekalahan, perlawanan ini meninggalkan warisan penting dalam narasi nasional dan membentuk identitas perlawanan kolektif.

5.2.       Perlawanan Kultural dan Simbolik

Bentuk perlawanan lain adalah resistensi budaya terhadap upaya kolonial dalam menghapus identitas lokal. Ini tercermin dalam pelestarian bahasa, ritual keagamaan, seni, dan narasi sejarah alternatif. James Scott menyebut bentuk ini sebagai “everyday forms of resistance”, yakni tindakan kecil dan simbolik yang melemahkan dominasi kolonial dalam kehidupan sehari-hari.⁴

Contohnya dapat ditemukan dalam gerakan tarekat di dunia Islam yang mempertahankan tradisi dan nilai spiritual di tengah tekanan modernisasi kolonial.⁵ Di India, Mahatma Gandhi menghidupkan kembali penggunaan khadi (kain tenun tangan) sebagai simbol perlawanan terhadap produk industri kolonial Inggris.⁶ Simbolisasi budaya ini membentuk kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan budaya sebagai basis perjuangan politik.

5.3.       Perlawanan Intelektual dan Wacana Nasionalisme

Kolonialisme juga dilawan di ranah wacana dan pemikiran. Kaum intelektual dari dunia kolonial mulai memproduksi gagasan alternatif untuk menentang narasi kolonial yang menggambarkan bangsa mereka sebagai “terbelakang” dan “tidak mampu mengatur diri sendiri.” Di Asia dan Afrika, muncul generasi cendekiawan yang menyuarakan ide-ide kebangsaan dan emansipasi.

Di Indonesia, tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir menulis dan menyampaikan pidato-pidato yang membangkitkan kesadaran nasional terhadap ketidakadilan kolonial.⁷ Di Mesir, tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh menggagas reformasi Islam sebagai bagian dari perlawanan terhadap dominasi Barat.⁸ Sementara itu, di Karibia dan Afrika, pemikir seperti Aimé Césaire dan Frantz Fanon mengembangkan kritik terhadap kolonialisme dari perspektif budaya, psikis, dan filosofis.⁹

5.4.       Perlawanan Diplomatik dan Lintas Negara

Selain perlawanan domestik, banyak gerakan anti-kolonial membangun jaringan internasional untuk memperkuat solidaritas global. Konferensi-konferensi antikolonial seperti Bandung Conference tahun 1955 menjadi tonggak penting bagi solidaritas negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, sekaligus menyuarakan hak-hak bangsa yang masih berada dalam cengkeraman kolonialisme.¹⁰

Gerakan diaspora juga memainkan peran penting dalam menyebarkan gagasan kemerdekaan. Misalnya, organisasi Pan-Afrikanisme yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti W.E.B. Du Bois dan Kwame Nkrumah memobilisasi wacana pembebasan dari luar benua Afrika.¹¹ Dengan memanfaatkan media, universitas, dan organisasi internasional, gerakan ini memperluas spektrum perlawanan menjadi fenomena global yang mempercepat proses dekolonisasi.

5.5.       Studi Kasus Perlawanan Kolonial

Beberapa studi kasus penting yang menggambarkan kompleksitas perlawanan kolonial antara lain:

·                     India: Gerakan Swadeshi dan Satyagraha yang digagas Gandhi menjadi bentuk perlawanan damai namun efektif melawan imperialisme Inggris.¹²

·                     Aljazair: Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962) melibatkan perjuangan bersenjata yang disertai dengan dukungan internasional dan kampanye wacana anti-kolonial.¹³

·                     Indonesia: Pergerakan nasional dari Budi Utomo hingga Proklamasi 1945 mencerminkan transisi dari perlawanan lokal menuju konsolidasi kesadaran nasional.¹⁴


Kesimpulan Sementara

Perlawanan terhadap kolonialisme tidak tunggal dan linier, melainkan beragam dalam bentuk, strategi, dan latar belakangnya. Baik melalui kekuatan militer, resistensi budaya, perjuangan wacana, maupun diplomasi global, masyarakat jajahan telah menunjukkan kapasitas luar biasa untuk melawan dominasi imperial. Perlawanan ini membentuk fondasi penting bagi identitas nasional dan pemikiran pascakolonial kontemporer, serta memberikan warisan etis tentang perjuangan melawan penindasan dalam segala bentuknya.


Footnotes

[1]                P.M. Holt, The Mahdist State in the Sudan, 1881–1898 (Oxford: Clarendon Press, 1958), 3–7.

[2]                Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855 (Leiden: KITLV Press, 2007), 383–390.

[3]                Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel (The Hague: Martinus Nijhoff, 1966), 57–60.

[4]                James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985), xv–xxiii.

[5]                Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994), 22–26.

[6]                Judith M. Brown, Gandhi: Prisoner of Hope (New Haven: Yale University Press, 1991), 124–127.

[7]                Mohammad Hatta, Menuju Indonesia Merdeka (Jakarta: Pustaka Antara, 1954), 10–13.

[8]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 132–135.

[9]                Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–10.

[10]             Richard Wright, The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (Cleveland: World Publishing Company, 1956), 9–12.

[11]             Hakim Adi, Pan-Africanism and Communism: The Communist International, Africa and the Diaspora, 1919–1939 (Trenton: Africa World Press, 2013), 49–55.

[12]             Bipan Chandra, India’s Struggle for Independence, 1857–1947 (New Delhi: Penguin Books India, 1989), 257–259.

[13]             Alistair Horne, A Savage War of Peace: Algeria 1954–1962 (New York: New York Review Books, 2006), 25–29.

[14]             Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), 64–67.


6.           Kolonialisme dan Ilmu Pengetahuan

Salah satu aspek paling krusial namun sering terabaikan dalam pembahasan kolonialisme adalah relasinya dengan produksi ilmu pengetahuan. Kolonialisme bukan hanya sistem kekuasaan politik dan ekonomi, melainkan juga sistem epistemik yang membentuk, mengatur, dan mengarahkan cara pandang terhadap dunia—khususnya dunia non-Barat. Melalui kolonialisme, ilmu pengetahuan diproduksi dan didistribusikan secara asimetris: pengetahuan Barat dianggap universal dan normatif, sementara pengetahuan lokal dianggap inferior, irasional, atau bahkan tak layak disebut sebagai “ilmu.”

6.1.       Ilmu Pengetahuan sebagai Alat Kekuasaan

Kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari proyek pencerahan dan modernitas Eropa yang mengklaim diri sebagai pusat pengetahuan dan rasionalitas. Melalui ilmu antropologi, geografi, sejarah, dan linguistik, bangsa kolonial mengklasifikasikan, menamai, dan menstrukturkan pengetahuan tentang masyarakat jajahan. Seperti ditegaskan oleh Michel Foucault, pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power) merupakan dua sisi dari koin yang sama: “knowledge is not made for understanding; it is made for cutting.”¹

Dalam konteks kolonial, ini berarti bahwa klasifikasi etnis, hukum adat, sistem bahasa, hingga sejarah lokal dikonstruksi melalui sudut pandang kolonial. Contohnya, sistem kasta di India diperkukuh oleh studi etnografis kolonial, bukan berasal dari kesadaran masyarakat India sendiri.² Pengetahuan ini bukan netral, melainkan berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menormalisasi struktur kekuasaan kolonial.

6.2.       Orientalisme dan Pembentukan Narasi Timur

Edward Said dalam Orientalism menjelaskan bagaimana kolonialisme membentuk narasi tentang dunia Timur (Orient) sebagai wilayah yang eksotik, pasif, dan inferior—berlawanan dengan dunia Barat (Occident) yang rasional, aktif, dan superior.³ Wacana ini menjadi dasar legitimasi kolonial: bahwa penjajahan merupakan “tugas moral” untuk membawa peradaban kepada bangsa-bangsa yang dianggap tidak mampu mengatur dirinya sendiri.⁴

Orientalisme tidak hanya hadir dalam karya sastra dan seni, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan yang diinstitusionalisasikan melalui pusat-pusat studi kolonial di universitas-universitas Eropa. Penelitian tentang bahasa Arab, Persia, atau Sanskerta, misalnya, sering dilakukan bukan untuk membangun pemahaman yang sejajar, melainkan untuk mengontrol populasi dan budaya lokal.⁵

6.3.       Penghapusan dan Delegitimasi Pengetahuan Lokal

Kolonialisme juga berperan dalam penghapusan, pengaburan, dan delegitimasi pengetahuan lokal. Sistem pendidikan kolonial hanya mengajarkan ilmu Barat dan mengesampingkan tradisi intelektual lokal, seperti pesantren di Indonesia, sistem ulama di dunia Islam, atau lembaga pengetahuan adat di Afrika.⁶

Walter Mignolo menyebut proses ini sebagai “epistemicide”, yaitu pembunuhan sistem pengetahuan alternatif yang tidak sesuai dengan logika kolonial.⁷ Akibatnya, generasi terjajah terputus dari warisan intelektualnya sendiri dan mengalami proses “de-subjektivisasi,” di mana mereka hanya mengenal dunia melalui bahasa, kategori, dan paradigma yang dibentuk oleh kolonialisme.

6.4.       Institusionalisasi Pengetahuan Kolonial

Kolonialisme mendirikan berbagai institusi penelitian seperti Royal Asiatic Society, École Coloniale, dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Belanda yang menjadi pusat produksi pengetahuan kolonial.⁸ Institusi-institusi ini menjadi tempat pengolahan informasi tentang masyarakat jajahan untuk kepentingan kebijakan kolonial, sering kali tanpa keterlibatan subjek yang diteliti.

Pengetahuan kolonial juga dijadikan dasar dalam penyusunan hukum adat, pemetaan etnografis, dan sistem klasifikasi sosial yang bersifat tetap dan membekukan dinamika sosial masyarakat lokal.⁹ Dengan demikian, kolonialisme membentuk struktur pengetahuan yang bersifat hegemonik dan membatasi ruang artikulasi dari suara-suara non-Barat.

6.5.       Respon Intelektual dan Dekolonisasi Pengetahuan

Munculnya teori-teori poskolonial dan gerakan dekolonisasi pengetahuan merupakan bentuk perlawanan terhadap hegemoni epistemik kolonial. Tokoh-tokoh seperti Frantz Fanon, Ngũgĩ wa Thiong’o, Boaventura de Sousa Santos, dan Gayatri Chakravorty Spivak mengkritik dominasi pengetahuan Barat dan mendorong revitalisasi sistem pengetahuan lokal.¹⁰

Di banyak negara pascakolonial, muncul gerakan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan yang merefleksikan sejarah, budaya, dan epistemologi lokal. Dalam konteks Indonesia, upaya ini tampak dalam revitalisasi warisan keilmuan pesantren, tradisi keislaman Nusantara, serta pelibatan masyarakat adat dalam pengembangan kebijakan pendidikan dan riset.¹¹


Kesimpulan Sementara

Kolonialisme dan ilmu pengetahuan memiliki relasi simbiotik yang kompleks. Pengetahuan dalam konteks kolonial bukanlah hasil kontemplasi murni, melainkan bagian dari strategi dominasi dan pengaturan sosial. Oleh karena itu, dekolonisasi tidak cukup hanya pada level politik dan ekonomi, tetapi juga harus menyentuh dimensi epistemik. Menggali kembali pengetahuan lokal dan mengkritisi warisan kolonial dalam sistem pendidikan, penelitian, dan akademia menjadi langkah penting untuk membangun tatanan pengetahuan yang lebih adil, setara, dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27.

[2]                Nicholas B. Dirks, Castes of Mind: Colonialism and the Making of Modern India (Princeton: Princeton University Press, 2001), 13–17.

[3]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 1–5.

[4]                Bernard S. Cohn, Colonialism and Its Forms of Knowledge: The British in India (Princeton: Princeton University Press, 1996), 4–6.

[5]                Ronald Inden, Imagining India (Oxford: Basil Blackwell, 1990), 57–59.

[6]                Gauri Viswanathan, Masks of Conquest: Literary Study and British Rule in India (New York: Columbia University Press, 1989), 3–8.

[7]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 20–23.

[8]                Jean-François Bayart, The Illusion of Cultural Identity (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 41–44.

[9]                David Scott, Colonialism and Postcolonialism (Oxford: Oxford University Press, 1999), 92–96.

[10]             Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Charles Lam Markmann (New York: Grove Press, 1967), 12–15.

[11]             Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern “Ulama” in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 103–105.


7.           Warisan dan Jejak Kolonialisme di Abad ke-21

Meskipun kolonialisme formal telah berakhir pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi, jejak dan warisannya masih kuat terasa dalam berbagai aspek kehidupan global di abad ke-21. Warisan ini tidak hanya bersifat material atau institusional, tetapi juga kultural dan epistemik. Dalam konteks globalisasi, kolonialisme sering bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk baru yang disebut neo-kolonialisme, di mana relasi ketergantungan, dominasi, dan ketimpangan tetap dipertahankan melalui mekanisme yang lebih tersamar.

7.1.       Neo-Kolonialisme: Dominasi Ekonomi Global dan Ketergantungan Struktural

Neo-kolonialisme merujuk pada bentuk dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara bekas jajahan melalui mekanisme ekonomi, politik, dan budaya tanpa keterlibatan langsung secara militer. Kwame Nkrumah menegaskan bahwa meskipun bendera dan lagu kebangsaan telah berubah, banyak negara masih terjebak dalam struktur ketergantungan terhadap negara bekas penjajahnya.¹

Melalui institusi seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO), negara-negara berkembang seringkali harus mengikuti kebijakan ekonomi neoliberal yang ditentukan oleh kepentingan negara-negara industri Barat.² Hal ini memperkuat struktur ketimpangan global, di mana negara-negara di “Selatan Global” tetap menjadi penyedia bahan mentah dan tenaga kerja murah, sementara nilai tambah dan kekayaan menumpuk di “Utara Global.”³

7.2.       Warisan Institusional: Sistem Politik, Hukum, dan Pendidikan

Banyak negara pascakolonial masih mewarisi sistem hukum, pendidikan, dan birokrasi yang dirancang oleh kekuatan kolonial. Di banyak negara di Asia dan Afrika, konstitusi, sistem hukum, dan model pendidikan tetap berakar pada model Eropa, tanpa rekonseptualisasi sesuai dengan konteks lokal.⁴

Misalnya, sistem common law Inggris tetap digunakan di banyak bekas koloni Inggris seperti India, Malaysia, dan Nigeria, meskipun konteks sosial-budaya mereka sangat berbeda. Sistem pendidikan kolonial yang mengutamakan bahasa kolonial sebagai medium utama pengajaran juga masih dominan, sehingga menghambat perkembangan bahasa lokal sebagai bahasa ilmu pengetahuan.⁵ Hal ini menyebabkan keterputusan generasi muda dari warisan budaya dan kearifan lokalnya sendiri.

7.3.       Ketimpangan Pembangunan dan Ketidakadilan Historis

Kolonialisme menciptakan fondasi bagi ketimpangan pembangunan yang masih mencolok hingga kini. Dalam banyak kasus, wilayah-wilayah yang sebelumnya dieksploitasi secara brutal kini menghadapi persoalan kemiskinan struktural, konflik sosial, dan lemahnya infrastruktur dasar.⁶ Warisan ini merupakan akibat dari orientasi ekonomi kolonial yang lebih menekankan pada ekstraksi daripada pembangunan internal.

Diskursus mengenai keadilan historis mulai mengemuka, mencakup isu-isu seperti permintaan reparasi, pengembalian artefak budaya yang dijarah, serta pengakuan atas kekerasan kolonial dalam bentuk permintaan maaf resmi dari negara penjajah.⁷ Contoh penting adalah kampanye dari negara-negara Afrika dan Karibia untuk menuntut kompensasi atas perbudakan dan penjajahan yang telah berlangsung selama berabad-abad.⁸

7.4.       Hegemoni Budaya dan Epistemik

Warisan kolonial juga dapat dilihat dalam bentuk dominasi budaya Barat dalam ranah film, media, literasi, hingga ilmu pengetahuan. Bahasa kolonial seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol masih mendominasi publikasi ilmiah dan produksi wacana global.⁹ Akibatnya, banyak pengetahuan dan narasi dari dunia non-Barat tidak mendapat tempat dalam sistem akademik internasional.

Gayatri Spivak dalam esainya “Can the Subaltern Speak?” mengkritik bagaimana suara kelompok terpinggirkan—terutama perempuan dan masyarakat adat—seringkali tidak hanya diremehkan tetapi juga disenyapkan dalam diskursus global.¹⁰ Dekolonisasi pengetahuan menjadi agenda penting dalam menghadapi warisan epistemik kolonial ini, dengan mengangkat kembali narasi lokal, bahasa ibu, serta bentuk-bentuk pengetahuan yang selama ini dianggap “tidak sah.”

7.5.       Identitas Pascakolonial dan Resistensi Budaya

Masyarakat pascakolonial di abad ke-21 menghadapi tantangan dalam membangun identitas kolektif yang bebas dari bayang-bayang kolonial. Banyak negara mencoba menafsir ulang sejarah, menghidupkan kembali budaya lokal, dan mendorong pendidikan berbasis nilai-nilai asli sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni warisan kolonial.

Gerakan dekolonisasi kurikulum di universitas-universitas Afrika Selatan, India, dan Amerika Latin merupakan upaya kontemporer untuk menegaskan kedaulatan intelektual dan budaya.¹¹ Di Indonesia, inisiatif untuk mengembangkan studi lokal dan kearifan Nusantara juga menunjukkan usaha serius untuk merekonstruksi identitas pascakolonial yang lebih autentik dan kontekstual.¹²


Kesimpulan Sementara

Warisan kolonialisme di abad ke-21 hadir dalam bentuk yang lebih kompleks dan subtil dibandingkan dengan kolonialisme klasik. Ia menyusup dalam sistem ekonomi global, lembaga-lembaga negara, epistemologi dominan, dan konstruksi identitas. Oleh karena itu, memahami kolonialisme hari ini membutuhkan analisis yang lintas-disipliner dan sensitif terhadap dimensi struktural, simbolik, dan kultural. Upaya dekolonisasi tidak hanya merupakan proyek historis, tetapi juga agenda kontemporer untuk keadilan global, kebudayaan, dan pengetahuan yang lebih inklusif dan adil.


Footnotes

[1]                Kwame Nkrumah, Neo-Colonialism: The Last Stage of Imperialism (London: Thomas Nelson & Sons, 1965), ix–x.

[2]                Samir Amin, Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism (New York: Monthly Review Press, 1976), 63–67.

[3]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 98–102.

[4]                Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996), 67–70.

[5]                Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (Portsmouth, NH: Heinemann, 1986), 28–31.

[6]                Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa (Washington, D.C.: Howard University Press, 1981), 205–210.

[7]                Bonny Ibhawoh, Imperial Justice: Africans in Empire’s Court (Oxford: Oxford University Press, 2013), 153–155.

[8]                Hilary Beckles, Britain’s Black Debt: Reparations for Caribbean Slavery and Native Genocide (Kingston: University of the West Indies Press, 2013), 39–42.

[9]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 2–5.

[10]             Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory, ed. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–67.

[11]             Achille Mbembe, Decolonizing Knowledge and the Question of the Archive, WISER Lecture, University of the Witwatersrand, 2015.

[12]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Berbasis Budaya Lokal dalam Konteks Keindonesiaan (Jakarta: Kompas, 2019), 77–81.


8.           Kolonialisme dan Identitas Global

Kolonialisme tidak hanya meninggalkan jejak dalam bentuk struktur ekonomi dan politik, tetapi juga membentuk identitas individu dan kolektif secara mendalam. Identitas global kontemporer—baik pada level nasional maupun individual—tidak dapat dipisahkan dari konfigurasi kolonial yang telah memetakan siapa yang disebut "modern", "beradab", "tradisional", atau bahkan "terbelakang". Proses ini berlangsung melalui dinamika representasi, relasi kuasa, dan hegemonisasi nilai-nilai yang menjadikan kolonialisme sebagai kekuatan pembentuk identitas global bahkan setelah kolonialisme formal berakhir.

8.1.       Penjajahan atas Identitas: Representasi, Stereotip, dan ‘Othering’

Dalam proyek kolonial, pembentukan identitas merupakan bagian dari sistem kekuasaan. Masyarakat jajahan tidak hanya dikuasai secara fisik dan institusional, tetapi juga secara simbolik—dengan dikonstruksikan sebagai "yang lain" (the Other) yang irasional, eksotis, dan inferior. Edward Said dalam Orientalism menjelaskan bahwa Barat membentuk Timur bukan berdasarkan kenyataan objektif, melainkan berdasarkan imajinasi kolonial yang menjustifikasi dominasi.¹

Representasi ini melahirkan stereotip yang tertanam dalam wacana global: bangsa-bangsa Timur digambarkan sebagai pasif, penuh kekacauan, atau tidak mampu memimpin diri sendiri.² Bahkan hingga kini, warisan stereotip tersebut terus direproduksi dalam media global, pendidikan, dan diplomasi internasional.³

8.2.       Hybriditas dan Ambivalensi Identitas Pascakolonial

Kolonialisme menciptakan dinamika ambivalensi dalam pembentukan identitas di negara-negara bekas jajahan. Kolonialisme menciptakan subjek yang berupaya meniru budaya penjajah, namun pada saat yang sama tidak pernah sepenuhnya diterima sebagai "bagian dari mereka." Homi K. Bhabha menyebut kondisi ini sebagai hybridity—identitas ganda yang muncul dari pertemuan budaya kolonial dan lokal, yang penuh ketegangan dan ambiguitas.⁴

Identitas pascakolonial kerap diwarnai oleh kebutuhan untuk menegaskan kembali keaslian budaya lokal, namun dalam kerangka yang tidak bisa lepas sepenuhnya dari warisan kolonial. Hal ini menghasilkan ekspresi identitas yang terfragmentasi: misalnya dalam bahasa, busana, sistem nilai, bahkan dalam perumusan nasionalisme itu sendiri.⁵

8.3.       Nasionalisme dan Identitas Pascakolonial

Gerakan kemerdekaan di dunia kolonial seringkali membangun identitas nasional sebagai antitesis terhadap kolonialisme. Nasionalisme menjadi alat untuk menyatukan masyarakat yang terpecah oleh klasifikasi kolonial dan untuk membentuk narasi kolektif tentang masa depan. Namun, identitas nasional yang dibentuk dalam konteks pascakolonial kerap mengadopsi model negara-bangsa Eropa sebagai rujukan, tanpa mempertimbangkan kompleksitas lokal.⁶

Akibatnya, banyak negara bekas koloni menghadapi tantangan identitas berkelanjutan, terutama ketika keberagaman etnis, bahasa, dan agama tidak tercermin dalam narasi nasional dominan. Alih-alih menjadi wadah inklusif, negara nasional pascakolonial kadang melanjutkan praktik eksklusi yang diwarisi dari sistem kolonial.⁷

8.4.       Globalisasi dan Komodifikasi Identitas Pascakolonial

Di era globalisasi, identitas tidak hanya dibentuk melalui sejarah dan politik, tetapi juga melalui sirkulasi kapital dan budaya pop. Komodifikasi budaya lokal dalam bentuk pariwisata, fashion, atau seni sering kali mereproduksi relasi kolonial dalam kemasan baru—menjadikan identitas lokal sebagai objek eksotik konsumsi global.⁸

Hal ini terlihat dalam cara identitas tertentu dikonstruksi untuk pasar internasional, seperti “eksotisme Bali” atau “misteri Timur” dalam industri pariwisata. Arjun Appadurai menekankan bahwa globalisasi budaya seringkali tidak menghapus kolonialisme, tetapi justru mereproduksi bentuk-bentuk baru dari ketidaksetaraan representasi dan pemaknaan identitas.⁹

8.5.       Resistensi Kultural dan Politik Identitas Global

Namun demikian, identitas global yang dibentuk oleh kolonialisme tidak bersifat statis. Di banyak tempat, muncul gerakan resistensi yang menuntut pengakuan atas identitas kultural dan sejarah alternatif dari narasi dominan. Gerakan dekolonisasi kurikulum, kebangkitan bahasa-bahasa lokal, hingga ekspresi seni kontemporer dari Global South merupakan contoh perlawanan terhadap hegemoni representasi kolonial.¹⁰

Gerakan seperti Black Lives Matter, Idle No More (Indigenous Canada), atau Rhodes Must Fall di Afrika Selatan tidak hanya memperjuangkan keadilan sosial, tetapi juga menggugat fondasi kolonial dari identitas global yang mapan.¹¹ Identitas dalam konteks ini dipahami bukan sebagai sesuatu yang esensial dan tetap, melainkan sebagai medan perjuangan kultural, politik, dan epistemik.


Kesimpulan Sementara

Kolonialisme telah membentuk cara dunia mendefinisikan diri dan yang lain. Identitas global hari ini tidak terlepas dari kerangka kolonial yang mengkonstruksi norma, otoritas, dan validitas budaya tertentu. Namun, identitas juga merupakan medan kontestasi yang terbuka terhadap reinterpretasi, negosiasi, dan perlawanan. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, pengakuan terhadap sejarah kolonial dan upaya aktif untuk mendekolonisasi identitas menjadi kunci menuju tatanan global yang lebih adil dan setara.


Footnotes

[1]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 2–5.

[2]                Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism (London: Routledge, 2005), 76–79.

[3]                Ella Shohat dan Robert Stam, Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the Media (London: Routledge, 1994), 100–104.

[4]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 112–118.

[5]                Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction (New York: Columbia University Press, 1998), 104–107.

[6]                Partha Chatterjee, The Nation and Its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories (Princeton: Princeton University Press, 1993), 5–8.

[7]                Mahmood Mamdani, Define and Rule: Native as Political Identity (Cambridge: Harvard University Press, 2012), 43–45.

[8]                Edward M. Bruner, Culture on Tour: Ethnographies of Travel (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 85–90.

[9]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 4–6.

[10]             Boaventura de Sousa Santos, The End of the Cognitive Empire: The Coming of Age of Epistemologies of the South (Durham: Duke University Press, 2018), 74–77.

[11]             Achille Mbembe, Critique of Black Reason, trans. Laurent Dubois (Durham: Duke University Press, 2017), 110–115.


9.           Kritik Kontemporer terhadap Narasi Kolonial

Narasi kolonial tidak sekadar kisah masa lalu, melainkan suatu konstruksi historis dan epistemologis yang terus direproduksi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, media, kebijakan publik, dan wacana akademik. Narasi ini umumnya menyajikan kolonialisme sebagai misi modernisasi dan pemberadaban, sekaligus mengaburkan kekerasan struktural dan penghancuran budaya lokal yang dilakukannya. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai kritik kontemporer—khususnya dari tradisi pascakolonial dan dekolonial—telah mengemuka untuk mendekonstruksi narasi dominan tersebut dan menawarkan pembacaan ulang yang lebih adil dan historis.

9.1.       Dekonstruksi terhadap Narasi Heroik Kolonialisme

Narasi kolonial klasik cenderung memposisikan bangsa penjajah sebagai pembawa kemajuan dan masyarakat terjajah sebagai pasif, tidak berbudaya, atau belum berkembang. Pendekatan ini sering diabadikan dalam buku-buku sejarah kolonial yang ditulis dari sudut pandang Eropa, serta dalam museum, monumen, dan arsip kolonial.¹

Para pemikir pascakolonial seperti Edward Said, Homi Bhabha, dan Gayatri Spivak menunjukkan bahwa narasi ini bersifat hegemonik karena menyamarkan kekerasan dan penindasan di balik klaim “peradaban.”² Dalam konteks ini, Said mengungkapkan bagaimana literatur dan studi akademik Barat berperan aktif dalam membangun wacana orientalis yang mendiskreditkan Timur sebagai “lain” yang perlu didominasi.³

9.2.       Kritik atas Kurikulum dan Historiografi Kolonial

Salah satu arena terpenting dalam reproduksi narasi kolonial adalah dunia pendidikan. Di banyak negara pascakolonial, kurikulum sekolah masih menyimpan warisan sejarah yang bias kolonial—baik melalui penggunaan sumber Barat, penekanan pada tokoh-tokoh kolonial, maupun pengabaian terhadap narasi lokal dan bentuk perlawanan.⁴

Gerakan decolonize the curriculum muncul di banyak universitas, terutama di Afrika Selatan, India, dan Eropa, sebagai bentuk penolakan terhadap dominasi epistemik yang menjadikan Barat sebagai pusat pengetahuan universal.⁵ Kritik ini tidak hanya menuntut perubahan materi, tetapi juga pendekatan pedagogis yang lebih pluralistik dan reflektif terhadap kolonialisme sebagai trauma kolektif.⁶

9.3.       Penghapusan Simbol dan Monumen Kolonial

Dalam ruang publik, kritik kontemporer juga diarahkan pada keberadaan simbol-simbol kolonial yang masih dipertahankan tanpa konteks kritis. Monumen tokoh-tokoh kolonial, patung penakluk, dan nama jalan peninggalan kolonial sering dianggap sebagai bentuk perayaan atas penindasan dan pelupaan terhadap penderitaan rakyat jajahan.⁷

Gerakan seperti Rhodes Must Fall di University of Cape Town dan penggulingan patung Edward Colston di Bristol (2020) merupakan contoh konkret dari upaya untuk merevisi ruang publik agar mencerminkan kesadaran sejarah yang lebih adil.⁸ Perdebatan ini juga merambah ke museum, yang dituntut untuk mengembalikan artefak yang dijarah selama masa kolonialisme, seperti kasus Benin Bronzes di Inggris dan Jerman.⁹

9.4.       Penolakan terhadap Narasi “Kolonialisme yang Menguntungkan”

Sebagian pihak, terutama dalam wacana konservatif, masih mempertahankan klaim bahwa kolonialisme membawa manfaat bagi bangsa terjajah—seperti pembangunan infrastruktur, sistem hukum modern, dan pendidikan Barat.¹⁰ Namun klaim ini dikritik sebagai bentuk colonial apologia karena mengabaikan kerusakan sosial, kultural, dan ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari kolonialisme itu sendiri.

Historikus seperti Walter Rodney dan Samir Amin menegaskan bahwa pembangunan kolonial bukanlah demi kesejahteraan masyarakat lokal, melainkan untuk memperkuat sistem eksploitasi dan ekstraksi yang berpihak pada kepentingan imperial.¹¹ Perspektif ini menuntut kita untuk membedakan antara “modernisasi” sebagai alat kekuasaan dan “kemajuan” sebagai nilai universal.

9.5.       Pemulihan Narasi Alternatif dan Suara Subaltern

Kritik terhadap narasi kolonial juga berfokus pada perlunya mengangkat kembali narasi-narasi yang selama ini disenyapkan, terutama dari kelompok subaltern—yakni mereka yang tidak memiliki posisi bicara dalam sistem dominasi kolonial. Gayatri Spivak dalam esainya Can the Subaltern Speak? menekankan bahwa pemulihan narasi subaltern harus dilakukan secara hati-hati agar tidak jatuh pada apropriasi epistemik oleh kalangan akademik dominan.¹²

Dalam konteks ini, studi sejarah lisan, sastra pribumi, dan arsip alternatif menjadi media penting untuk membangun sejarah yang lebih demokratis. Pemulihan narasi perempuan dalam kolonialisme, misalnya, membuka ruang baru untuk memahami kolonialisme sebagai kekuasaan gender sekaligus rasial.¹³


Kesimpulan Sementara

Kritik kontemporer terhadap narasi kolonial membuka ruang reflektif yang mendalam bagi masyarakat global untuk mengevaluasi warisan masa lalu yang terus hidup dalam bentuk simbolik, struktural, dan epistemik. Melampaui kritik, gerakan ini juga membawa semangat transformatif untuk membangun tatanan pengetahuan, ruang publik, dan pendidikan yang lebih adil. Di tengah ketegangan antara pelupaan dan pengakuan sejarah, proyek dekolonisasi narasi menjadi langkah kunci untuk membebaskan masa kini dari bayang-bayang kolonial masa lalu.


Footnotes

[1]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 3–5.

[2]                Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction (New York: Columbia University Press, 1998), 14–17.

[3]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 6–7.

[4]                Priya Lal, “Decolonial Education and the Politics of Historical Knowledge in Africa,” Africa Is a Country, 2019.

[5]                Achille Mbembe, Decolonizing Knowledge and the Question of the Archive, WISER Lecture, University of the Witwatersrand, 2015.

[6]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 34–37.

[7]                Zoé Samudzi, “Monuments Are Not History,” The New Inquiry, June 2020.

[8]                Simukai Chigudu, “Rhodes Must Fall: The Struggle to Decolonise the Racist Heart of Empire,” The Guardian, March 2021.

[9]                Dan Hicks, The Brutish Museums: The Benin Bronzes, Colonial Violence and Cultural Restitution (London: Pluto Press, 2020), 12–18.

[10]             Bruce Gilley, “The Case for Colonialism,” Third World Quarterly 38, no. 10 (2017): 1–15.

[11]             Walter Rodney, How Europe Underdeveloped Africa (Washington, D.C.: Howard University Press, 1981), 107–110.

[12]             Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory, ed. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–69.

[13]             Antoinette Burton, Burdens of History: British Feminists, Indian Women, and Imperial Culture, 1865–1915 (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1994), 91–95.


10.       Penutup

Kolonialisme merupakan salah satu kekuatan sejarah paling berpengaruh dalam membentuk tatanan dunia modern. Sebagai sebuah proyek kekuasaan multidimensi, kolonialisme tidak hanya menciptakan dominasi teritorial, tetapi juga membangun struktur ekonomi global, merusak pranata sosial lokal, mendistorsi representasi budaya, dan mengarahkan produksi pengetahuan. Dampaknya tidak berhenti pada momen dekolonisasi formal, tetapi terus berlanjut dalam bentuk ketimpangan struktural, ketergantungan ekonomi, hegemoni epistemik, serta krisis identitas di negara-negara bekas koloni.

Sejarah kolonialisme bukan hanya tentang siapa yang menjajah dan siapa yang dijajah, melainkan juga tentang bagaimana narasi, simbol, dan pengetahuan dikonstruksi untuk melegitimasi relasi kuasa yang timpang. Edward Said menunjukkan bahwa dominasi kolonial tidak dapat dilepaskan dari produksi representasi yang menyudutkan masyarakat non-Barat sebagai objek subordinasi budaya dan politik.¹ Dengan demikian, upaya untuk memahami kolonialisme secara komprehensif harus mencakup tidak hanya dimensi politik dan ekonomi, tetapi juga dimensi diskursif dan simbolik.

Melalui kajian ini, telah diuraikan secara sistematis bagaimana kolonialisme berakar dari motivasi ekonomi, religius, dan ideologis; bagaimana ia dijalankan melalui strategi devide et impera, kekerasan simbolik, dan institusionalisasi kekuasaan; serta bagaimana masyarakat terjajah menanggapinya melalui perlawanan fisik, kultural, dan intelektual.² Warisan kolonialisme di abad ke-21 pun tidak terhapuskan, melainkan hadir dalam bentuk neo-kolonialisme, ketimpangan global, serta krisis identitas dalam kerangka globalisasi dan modernitas yang dibentuk oleh logika kolonial.³

Kritik kontemporer terhadap narasi kolonial menjadi penting sebagai bagian dari upaya untuk membongkar warisan historis yang bias dan hegemonik. Gerakan dekolonisasi pengetahuan, revisi kurikulum, penghapusan simbol kolonial, serta pengembalian artefak budaya, merupakan manifestasi dari kesadaran bahwa kolonialisme bukanlah sekadar masa lalu, melainkan juga bagian dari tantangan masa kini.⁴ Dalam konteks ini, tugas akademik dan moral kita adalah membangun pembacaan yang lebih inklusif, reflektif, dan adil terhadap sejarah kolonial dan dampaknya.

Dengan memahami kolonialisme dalam kompleksitas historis dan kontemporernya, kita dapat mengembangkan kesadaran kritis yang lebih tajam terhadap akar-akar ketidaksetaraan global. Upaya dekolonisasi tidak berhenti pada pembongkaran narasi dominan, tetapi harus dibarengi dengan pembangunan epistemologi alternatif yang menghargai pengetahuan lokal, memperkuat kedaulatan budaya, dan mendorong solidaritas lintas bangsa untuk menciptakan masa depan dunia yang lebih adil, setara, dan bebas dari warisan penindasan kolonial.


Footnotes

[1]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 2–5.

[2]                Frederick Cooper, Colonialism in Question: Theory, Knowledge, History (Berkeley: University of California Press, 2005), 17–20.

[3]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–60.

[4]                Achille Mbembe, Decolonizing Knowledge and the Question of the Archive, WISER Lecture, University of the Witwatersrand, 2015.


Daftar Pustaka

Amin, S. (1976). Unequal development: An essay on the social formations of peripheral capitalism. Monthly Review Press.

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Azra, A. (2004). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern “ulama” in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawai‘i Press.

Azra, A. (2019). Islam Nusantara: Islam berbasis budaya lokal dalam konteks keindonesiaan. Kompas.

Bayart, J.-F. (2005). The illusion of cultural identity. University of Chicago Press.

Beckles, H. (2013). Britain’s black debt: Reparations for Caribbean slavery and native genocide. University of the West Indies Press.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bruner, E. M. (2005). Culture on tour: Ethnographies of travel. University of Chicago Press.

Burton, A. (1994). Burdens of history: British feminists, Indian women, and imperial culture, 1865–1915. University of North Carolina Press.

Carey, P. (2007). The power of prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785–1855. KITLV Press.

Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.

Chaudhuri, K. N. (1978). The trading world of Asia and the English East India Company 1660–1760. Cambridge University Press.

Chatterjee, P. (1993). The nation and its fragments: Colonial and postcolonial histories. Princeton University Press.

Chigudu, S. (2021, March). Rhodes Must Fall: The struggle to decolonise the racist heart of empire. The Guardian. https://www.theguardian.com/

Cohn, B. S. (1996). Colonialism and its forms of knowledge: The British in India. Princeton University Press.

Conklin, A. L. (1997). A mission to civilize: The republican idea of empire in France and West Africa, 1895–1930. Stanford University Press.

Cooper, F. (2005). Colonialism in question: Theory, knowledge, history. University of California Press.

Dirks, N. B. (2001). Castes of mind: Colonialism and the making of modern India. Princeton University Press.

Elson, R. E. (1984). Javanese peasants and the colonial sugar industry: Impact and change in an East Java residency, 1830–1940. Oxford University Press.

Fan, C. L. M. (2004). The wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.

Fanon, F. (1967). Black skin, white masks (C. L. M. Markmann, Trans.). Grove Press.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (2007). Security, territory, population: Lectures at the Collège de France, 1977–78 (G. Burchell, Trans.; M. Senellart, Ed.). Palgrave Macmillan.

Gandhi, L. (1998). Postcolonial theory: A critical introduction. Columbia University Press.

Gilley, B. (2017). The case for colonialism. Third World Quarterly, 38(10), 1–15.

Hicks, D. (2020). The brutish museums: The Benin bronzes, colonial violence and cultural restitution. Pluto Press.

Holt, P. M. (1958). The Mahdist state in the Sudan, 1881–1898. Clarendon Press.

Horne, A. (2006). A savage war of peace: Algeria 1954–1962. New York Review Books.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age, 1798–1939. Cambridge University Press.

Ibhawoh, B. (2013). Imperial justice: Africans in empire’s court. Oxford University Press.

Inden, R. (1990). Imagining India. Basil Blackwell.

Kartodirdjo, S. (1966). The peasants’ revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. Martinus Nijhoff.

Lal, P. (2019). Decolonial education and the politics of historical knowledge in Africa. Africa Is a Country. https://africasacountry.com/

Loomba, A. (2005). Colonialism/postcolonialism (2nd ed.). Routledge.

Mamdani, M. (1996). Citizen and subject: Contemporary Africa and the legacy of late colonialism. Princeton University Press.

Mamdani, M. (2012). Define and rule: Native as political identity. Harvard University Press.

Mbembe, A. (2015). Decolonizing knowledge and the question of the archive. WISER Lecture.

Mbembe, A. (2017). Critique of black reason (L. Dubois, Trans.). Duke University Press.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Mignolo, W. D. (2014). The end of the cognitive empire: The coming of age of epistemologies of the South. Duke University Press.

Ngũgĩ wa Thiong’o. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature. Heinemann.

Nkrumah, K. (1965). Neo-colonialism: The last stage of imperialism. Thomas Nelson & Sons.

Osterhammel, J. (2005). Colonialism: A theoretical overview (S. L. Frisch, Trans.). Markus Wiener Publishers.

Pagden, A. (1995). Lords of all the world: Ideologies of empire in Spain, Britain and France c. 1500–c. 1800. Yale University Press.

Rodney, W. (1981). How Europe underdeveloped Africa. Howard University Press.

Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.

Scott, D. (1999). Colonialism and postcolonialism. Oxford University Press.

Scott, J. C. (1985). Weapons of the weak: Everyday forms of peasant resistance. Yale University Press.

Shohat, E., & Stam, R. (1994). Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the media. Routledge.

Shiraishi, T. (1997). Zaman bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926. Pustaka Utama Grafiti.

Spivak, G. C. (1994). Can the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial theory (pp. 66–111). Columbia University Press.

Stoler, A. L. (2002). Carnal knowledge and imperial power: Race and the intimate in colonial rule. University of California Press.

Viswanathan, G. (1989). Masks of conquest: Literary study and British rule in India. Columbia University Press.

Wallerstein, I. (2011). The modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European world-economy in the sixteenth century. University of California Press.

Wright, R. (1956). The color curtain: A report on the Bandung Conference. World Publishing Company.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar