Tazkiyatun Nafs
Konsep, Landasan, dan Implementasi dalam Kehidupan
Muslim
Abstrak
Tazkiyatun nafs merupakan salah satu konsep sentral dalam ajaran Islam yang menekankan
pentingnya penyucian jiwa sebagai jalan menuju kedekatan dengan Allah Swt dan
keberhasilan hidup di dunia maupun akhirat. Artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara komprehensif dimensi filosofis, teologis, dan praktis dari tazkiyah
dengan merujuk pada sumber-sumber utama Islam serta pemikiran ulama klasik dan
kontemporer. Dimulai dari pengertian dan landasannya dalam al-Qur’an dan
Sunnah, pembahasan ini meluas ke dimensi konseptual tazkiyah, metode dan
tahapan pelaksanaannya, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern yang
penuh tantangan spiritual. Artikel ini juga mengulas perbandingan tazkiyah
dengan konsep penyucian diri dalam tradisi filsafat Yunani, Kristen, Hindu, dan
Buddhisme, serta mengidentifikasi tantangan dan penyimpangan dalam praktik tazkiyah
di masa kini. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tazkiyatun nafs bukan
sekadar ibadah batin, melainkan suatu proyek peradaban yang mendalam dan
berkelanjutan, yang harus terus dikembangkan dalam pendidikan, keluarga, dan
kehidupan sosial umat Islam.
Kata Kunci: Tazkiyatun Nafs, penyucian jiwa, spiritualitas
Islam, tasawuf Sunni, pendidikan ruhani, etika Islam, modernitas, filsafat
perbandingan.
PEMBAHASAN
Konsep Tazkiyatun Nafs dalam khazanah Islam Klasik dan Kontemporer
1.
Pendahuluan
Istilah tazkiyatun
nafs (تزكية النفس) berasal dari akar kata Arab ز-ك-و yang memiliki makna
dasar menyucikan,
menumbuhkan,
atau meningkatkan.
Secara etimologis, kata tazkiyah berarti "pembersihan"
atau "penyucian", sedangkan nafs secara umum merujuk pada
"jiwa" atau "diri manusia" dalam keseluruhan
dimensi spiritual dan psikologisnya. Dalam kerangka Islam, tazkiyatun
nafs merujuk pada proses aktif penyucian jiwa dari sifat-sifat
tercela dan pengembangan akhlak yang mulia demi mencapai keridaan Allah Swt.¹
Konsep ini menempati
posisi sentral dalam ajaran Islam karena menyangkut misi utama kehidupan
manusia, yaitu menjadi hamba yang bersih hatinya dan lurus jalannya. Hal ini
tercermin dalam firman Allah Swt: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan
jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS.
Asy-Syams [91] ayat 9–10). Ayat ini tidak hanya menekankan pentingnya penyucian
jiwa, tetapi juga menyiratkan bahwa keberuntungan dan keselamatan seseorang di
dunia dan akhirat sangat bergantung pada keberhasilan dalam menjalani proses
tazkiyah.²
Dalam hadis Nabi
Muhammad Saw juga disebutkan bahwa “Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal
daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh
tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.”³ Hadis ini menegaskan
hubungan langsung antara kebersihan batin dan kebaikan lahiriah, sekaligus
menjadi dasar teologis yang kuat bagi pentingnya tazkiyatun nafs dalam Islam.
Sebagai konsep
integral dalam pendidikan Islam dan spiritualitas Muslim, tazkiyatun
nafs tidak hanya menjadi bagian dari ajaran tasawuf atau etika,
tetapi juga terhubung erat dengan pembentukan karakter, pembangunan moral
individu, dan tatanan sosial yang adil.⁴ Para ulama klasik seperti al-Ghazālī
dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah telah menulis karya-karya besar yang menjelaskan
pentingnya tazkiyah dalam membentuk manusia sempurna (al-insān al-kāmil) yang
memiliki keseimbangan antara dimensi spiritual dan rasional.⁵
Lebih dari itu,
dalam konteks kontemporer, tazkiyatun nafs juga dapat dilihat sebagai solusi
atas berbagai krisis moral dan spiritual yang dihadapi umat manusia saat ini,
seperti hedonisme, individualisme, materialisme, dan kekeringan rohani.
Tazkiyah bukanlah konsep kuno yang terasing dari realitas, tetapi justru sebuah
jalan menuju kematangan pribadi dan kebermaknaan hidup yang sesuai dengan
fitrah insani.
Maka dari itu,
pembahasan mengenai tazkiyatun nafs menjadi sangat
relevan untuk dikaji secara mendalam, baik dari segi konsep, landasan wahyu,
pemikiran ulama klasik, hingga penerapannya dalam kehidupan modern. Artikel ini
akan menguraikan secara sistematis tentang konsep tazkiyatun nafs, landasan-landasan
tekstual dan filosofisnya, serta langkah-langkah praktis untuk
merealisasikannya dalam kehidupan seorang Muslim.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Ithaca: Spoken Language Services, 1976), 408.
[2]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 434.
[3]
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb
al-Īmān, Bāb 39.
[4]
Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic
Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 64–67.
[5]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–49; Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij
al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003),
1:130–140.
2.
Landasan
Tazkiyatun Nafs dalam al-Qur’an dan Sunnah
Konsep tazkiyatun
nafs dalam Islam memiliki landasan yang kokoh dalam dua sumber
utama ajaran Islam: al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Keduanya tidak
hanya memuat perintah eksplisit untuk melakukan penyucian jiwa, tetapi juga
menekankan urgensinya dalam rangka mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
2.1.
Landasan dalam al-Qur’an
Al-Qur’an
menyebutkan tazkiyah dalam berbagai konteks
yang menunjukkan signifikansi dan keutamaannya. Ayat yang paling sering dirujuk
sebagai landasan utama tazkiyatun nafs adalah firman Allah
dalam surah Asy-Syams:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَنْ
دَسَّاهَا
"Sungguh beruntunglah orang yang
menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya, (10)"
(QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10).¹
Ayat ini menunjukkan
adanya korelasi langsung antara keberuntungan spiritual dan penyucian jiwa.
Dalam tafsirnya, al-Ṭabarī menegaskan bahwa "penyucian" di sini
bermakna membersihkan jiwa dari kekufuran, kefasikan, dan akhlak tercela,
sekaligus menghiasinya dengan iman dan amal saleh.² Dengan demikian, tazkiyah
tidak hanya bersifat negatif (menghilangkan kotoran jiwa), tetapi juga positif
(menumbuhkan kebaikan).
Ayat lain yang juga
sering dikutip adalah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّىٰ
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ
فَصَلَّىٰ
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman),
(14), dan dia ingat nama
Tuhannya, lalu dia sembahyang."
(QS. Al-A‘lā [87] ayat 14–15).³
Ayat ini menunjukkan
keterkaitan antara tazkiyah, dzikrullah,
dan ibadah lahiriah seperti salat. Artinya, penyucian jiwa adalah fondasi bagi
keberlangsungan ibadah yang bermakna dan khusyuk.
Dalam surah
Al-Baqarah, Allah menjelaskan bahwa salah satu misi utama kerasulan Nabi Muhammad
Saw adalah melakukan tazkiyah terhadap umat manusia:
كَمَا أَرْسَلْنَا
فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)
Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah."
(QS. Al-Baqarah [2] ayat 151).⁴
Menurut Fakhr al-Dīn
al-Rāzī, penempatan kata tazkiyah sebelum pengajaran ilmu
menunjukkan bahwa pembersihan hati lebih dahulu diperlukan sebelum seseorang
dapat menerima ilmu yang bermanfaat.⁵
2.2.
Landasan dalam Sunnah
Dalam tradisi hadis,
terdapat banyak riwayat yang menunjukkan pentingnya tazkiyah dan kondisi hati. Salah
satu hadis yang paling mendasar dan terkenal dalam konteks ini adalah sabda
Nabi Muhammad Saw:
أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.
"Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia
terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan baik. Jika ia
rusak, maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati."⁶
Hadis ini
mengajarkan bahwa hati adalah pusat moral dan spiritual manusia. Dengan
demikian, upaya membersihkan hati adalah kunci kebaikan perilaku secara
keseluruhan. Tazkiyatun nafs dalam konteks ini
menjadi fondasi bagi kehidupan yang lurus dan etis.
Dalam riwayat lain,
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa
kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian."⁷
Hadis ini kembali
menegaskan bahwa nilai sejati manusia di sisi Allah bergantung pada kebersihan
batin dan keikhlasan amal, bukan penampilan luar atau kekayaan duniawi. Oleh
karena itu, tazkiyah menjadi proses
internalisasi nilai-nilai Ilahiyah dalam diri manusia.
2.3.
Konsep Integratif antara Wahyu dan Jiwa
Berdasarkan
ayat-ayat dan hadis di atas, dapat dipahami bahwa tazkiyatun nafs bukan sekadar
proses psikologis atau etis, melainkan merupakan tugas spiritual yang bersumber
dari perintah wahyu. Proses ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi ubudiyah
(penghambaan) dan tazkiyah ilahiyah, karena Allah
sendiri menyatakan bahwa hanya Dia yang berhak dan mampu menyucikan siapa yang
dikehendaki-Nya:
وَلَوْلَا فَضْلُ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
ۗ
"Dan sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian akan
pernah bisa menyucikan dirinya, tetapi Allah menyucikan siapa yang Dia
kehendaki."
(QS. An-Nūr [24] ayat 21).⁸
Ayat ini menunjukkan
bahwa tazkiyatun
nafs sejati hanya mungkin terjadi dengan bantuan dan taufik dari
Allah Swt, bukan semata-mata
usaha manusia secara independen. Hal ini mengajarkan keseimbangan antara
ikhtiar spiritual dan ketergantungan mutlak kepada rahmat Ilahi.
Footnotes
[1]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 434.
[2]
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān,
ed. Mahmūd Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2000), 30:221.
[3]
The Qur’an, 430.
[4]
Ibid., 23.
[5]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār Iḥyā’
al-Turāth al-‘Arabī, 1999), 4:99.
[6]
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb
al-Īmān, Bāb 39.
[7]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Birr wa al-Ṣilah,
no. 2564.
[8]
The Qur’an, 296.
3.
Dimensi
Konseptual Tazkiyatun Nafs
3.1.
Tazkiyah sebagai Proses Takhliyah, Taḥliyah,
dan Taḥqīq
Secara konseptual, tazkiyatun
nafs mencakup proses bertahap yang terdiri dari tiga elemen utama: takhliyah
(pengosongan), taḥliyah (penghiasan), dan taḥqīq
(aktualisasi spiritual).
·
Takhliyah
merujuk pada proses pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti riya’,
hasad, sombong, marah berlebihan, cinta dunia, dan lainnya.¹ Proses ini
dianggap sebagai langkah awal dan paling mendasar, sebab jiwa yang penuh
penyakit tidak bisa dihiasi dengan kebajikan sebelum terlebih dahulu
dibersihkan.
·
Taḥliyah
adalah proses menghias jiwa dengan sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, sabar,
tawadhu‘, syukur, dan zuhud. Ini adalah tahapan konstruktif dalam membentuk
karakter spiritual yang sehat dan tangguh.²
·
Taḥqīq
merupakan puncak tazkiyah, yaitu pencapaian kesadaran spiritual yang tinggi dan
penyatuan orientasi diri sepenuhnya kepada Allah Swt, dengan membumikan
nilai-nilai tauhid secara total dalam seluruh aspek kehidupan.³
Ketiga tahapan ini
bukanlah proses linier yang sederhana, melainkan siklus dinamis yang
berlangsung sepanjang hidup. Seorang Muslim senantiasa berada dalam perjuangan
antara nafs
yang cenderung mengajak kepada kejahatan dan ruh yang mendambakan kedekatan
Ilahi.
3.2.
Relasi antara Nafs, Qalb, Ruh, dan ‘Aql
Dalam khazanah
spiritual Islam, jiwa manusia tidak dimaknai secara tunggal. Ulama
mengidentifikasi berbagai aspek yang saling berinteraksi dalam pembentukan
spiritualitas manusia, yakni:
·
Nafs (jiwa rendah
atau ego)
Entitas yang menjadi sumber dorongan hawa nafsu
dan kecenderungan duniawi. Dalam al-Qur’an disebutkan tiga tingkatan nafs: al-nafs
al-ammārah (jiwa yang memerintahkan kepada keburukan), al-nafs
al-lawwāmah (jiwa yang mencela dirinya), dan al-nafs al-muṭma’innah
(jiwa yang tenang).⁴
·
Qalb (hati
spiritual)
Pusat kesadaran batin yang bisa condong kepada
cahaya (iman) atau gelap (kufur). Hati inilah yang menjadi objek utama dalam
proses tazkiyah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis tentang segumpal
daging yang menentukan baik-buruknya seluruh jasad.⁵
·
Ruh (jiwa ilahiah)
Aspek dari diri manusia yang berasal dari Allah
dan memiliki potensi spiritual tertinggi. Allah berfirman, “Kemudian Aku
tiupkan ruh-Ku ke dalamnya” (QS. Ṣād [38] ayat 72).⁶ Ruh inilah yang
menjadi penghubung antara manusia dengan sumber spiritualitas transendental.
·
‘Aql (akal)
Instrumen rasional dalam diri manusia yang
digunakan untuk memahami, menimbang, dan memutuskan, serta memiliki peran
penting dalam mengarahkan nafs dan qalb. Dalam konteks Islam, akal berfungsi
bukan untuk mengendalikan ruh, tetapi untuk membantu hati mengenali kebenaran.⁷
Keempat unsur ini
bekerja secara sinergis. Tazkiyatun nafs sejati mengharuskan
adanya harmonisasi antara dorongan ruhani (melalui qalb dan ruh) dan kontrol
akal terhadap nafs.
3.3.
Jenis-Jenis Nafs dalam Perspektif al-Qur’an dan
Ulama
Al-Qur’an
menggambarkan nafs dalam tiga kategori utama
sebagai bagian dari perjalanan spiritual manusia:
1)
Al-Nafs al-Ammārah bi
al-Sū’
Jiwa yang mendorong kepada keburukan. Ini adalah
nafs yang paling rendah dan perlu ditundukkan. Allah berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ
لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Sesungguhnya nafs itu benar-benar menyuruh
kepada kejahatan, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS.
Yūsuf [12] ayat 53).⁸
2)
Al-Nafs al-Lawwāmah
Jiwa yang mencela dan menyesali perbuatan
salahnya. Ini menunjukkan adanya kesadaran moral dan awal dari proses perbaikan
diri. (QS. Al-Qiyāmah [75] ayat 2).⁹
3)
Al-Nafs al-Muṭma’innah
Jiwa yang tenang karena berserah diri sepenuhnya
kepada Allah. Jiwa ini mendapat sambutan Allah pada hari kiamat:
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ
رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang, (27) kembalilah
kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai (28)” (QS. Al-Fajr [89] ayat 27–28).¹⁰
Para ulama seperti
al-Ghazālī menafsirkan tiga jenis nafs ini sebagai spektrum yang menunjukkan
tahapan transformatif jiwa manusia, dari kondisi rendah menuju kondisi
spiritual tertinggi.¹¹
Footnotes
[1]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–46.
[2]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad
al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 2:320–324.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 119–122.
[4]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 151, 426, 464.
[5]
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb
al-Īmān, Bāb 39.
[6]
The Qur’an, 314.
[7]
Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic
Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 23–25.
[8]
The Qur’an, 166.
[9]
Ibid., 484.
[10]
Ibid., 493.
[11]
Al-Ghazālī, Iḥyā’, 3:52–54.
4.
Tazkiyatun
Nafs dalam Perspektif Ulama Klasik
Konsep tazkiyatun
nafs telah menjadi pusat perhatian para ulama Islam sepanjang
sejarah peradaban Islam, baik dari kalangan ahli tasawuf, ahli fikih, maupun
para teolog. Meskipun mereka menggunakan pendekatan yang berbeda, semua sepakat
bahwa penyucian jiwa merupakan pilar utama dalam pembentukan akhlak dan
kesempurnaan spiritual seorang Muslim. Di antara tokoh-tokoh utama yang menaruh
perhatian besar terhadap tazkiyah adalah Imam
al-Ghazālī, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, serta
ulama-ulama tasawuf Sunni lainnya.
4.1.
Al-Ghazālī dan Tazkiyatun Nafs sebagai Inti
Pendidikan Spiritual
Imam Abū Ḥāmid
al-Ghazālī (w. 1111 M) adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam
tradisi Islam klasik yang mengintegrasikan ilmu fikih, kalam, dan tasawuf
secara harmonis. Dalam karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, al-Ghazālī
menjadikan tazkiyatun
nafs sebagai fondasi pendidikan spiritual dan prasyarat utama untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt.¹
Menurut al-Ghazālī,
jiwa manusia secara fitrah memiliki potensi untuk mengenal dan mendekat kepada
Allah, tetapi potensi ini sering tertutup oleh karat dosa, nafsu, dan kesibukan
duniawi. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mujāhadah (perjuangan batin), murāqabah
(kesadaran akan pengawasan Allah), dan muhāsabah (introspeksi diri)
sebagai instrumen utama dalam proses penyucian jiwa.²
Ia mengembangkan
teori pendidikan spiritual yang bersifat sistematis: dari takhliyah
(mengosongkan jiwa dari penyakit hati), menuju taḥliyah (menghiasi jiwa dengan
akhlak mulia), hingga mencapai tajallī (pencerahan hati oleh
cahaya Ilahi).³ Menurutnya, seseorang belum dianggap berilmu hingga ilmunya
membuahkan tazkiyah,
karena ilmu yang tidak memperbaiki hati adalah hijab (penghalang) yang lebih
berbahaya dari kejahilan.⁴
4.2.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah: Harmoni Antara Ruh,
Akal, dan Syariat
Ibn Qayyim
al-Jawziyyah (w. 1350 M), murid utama dari Ibn Taymiyyah, juga memberikan
kontribusi besar dalam pengembangan konsep tazkiyatun nafs melalui pendekatan
yang sangat Qur’ani dan syar‘i. Dalam karya terkenalnya Madarij
al-Sālikīn, ia menyusun tahap-tahap perjalanan ruhani seorang salik
(penempuh jalan spiritual) berdasarkan interpretasi terhadap QS. al-Fātiḥah,
dengan kerangka ubudiyyah yang utuh.⁵
Baginya, tazkiyatun
nafs bukanlah upaya mistik yang terlepas dari hukum-hukum syariat,
melainkan bagian dari realisasi peribadatan yang sejati. Ia mengkritik
praktik-praktik tasawuf yang terlalu menekankan pengalaman batin tanpa disertai
komitmen terhadap ajaran syariat.⁶
Ibn Qayyim
menekankan keseimbangan antara akal dan ruh dalam penyucian jiwa. Ia juga
menyatakan bahwa tazkiyah hanya bisa dicapai jika
hati telah mengembangkan cinta sejati kepada Allah (maḥabbah), takut kepada-Nya
(khashyah), dan berharap kepada-Nya (rajā’). Tiga kondisi ini merupakan inti
dari perjalanan spiritual yang berhasil.⁷
4.3.
Tasawuf Sunni: Jalan Tazkiyah yang Terikat
Wahyu
Para ulama tasawuf
Sunni, seperti Junayd al-Baghdādī (w. 910 M) dan Abū Ṭālib al-Makkī (w. 996 M),
telah meletakkan dasar-dasar spiritualitas Islam yang mengedepankan kesucian
hati dan akhlak mulia tanpa keluar dari batasan syariat. Junayd, misalnya,
mendefinisikan tasawuf sebagai “masuk ke dalam segala akhlak yang mulia dan
keluar dari segala akhlak yang tercela”, yang pada dasarnya adalah
bentuk operasional dari tazkiyatun nafs.⁸
Abū Ṭālib al-Makkī
dalam Qūt
al-Qulūb menguraikan secara terperinci tahapan pembersihan jiwa,
termasuk peran zikir, shalat malam, dan ikhlas dalam membentuk jiwa yang tenang
dan berserah kepada Allah.⁹ Tasawuf yang mereka wariskan bukanlah jalan
spekulatif, melainkan transformasi batin yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah,
dan praktik sahabat.
4.4.
Pendekatan Fikih dan Kalam terhadap Tazkiyah
Selain kalangan
sufi, ulama fikih dan kalam juga mengakui pentingnya tazkiyatun
nafs sebagai bagian dari kesempurnaan keislaman seseorang. Dalam
kerangka fikih, misalnya, Imam al-Shafi‘i menekankan bahwa ilmu yang tidak
diiringi dengan wara‘ (kehati-hatian spiritual)
tidak akan membawa manfaat.¹⁰ Ulama kalam seperti al-Māturīdī juga menyatakan
bahwa kebersihan hati adalah tanda dari keimanan yang sahih dan stabil.
Namun, berbeda
dengan kaum sufi yang menekankan pengalaman batiniah, para teolog cenderung
mengaitkan tazkiyah
dengan kemantapan dalam tauhid dan ketaatan syariat.¹¹ Dengan demikian,
terlihat bahwa berbagai disiplin keilmuan Islam berkontribusi pada pemahaman
yang utuh terhadap penyucian jiwa.
Footnotes
[1]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–49.
[2]
Ibid., 3:55–60.
[3]
Ibid., 3:62–64.
[4]
Ibid., 1:37.
[5]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad
al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:120–145.
[6]
Ibid., 1:150–153.
[7]
Ibid., 2:320–328.
[8]
Abū al-Qāsim al-Junayd al-Baghdādī, dalam A.J. Arberry, Sufism: An
Account of the Mystics of Islam (London: George Allen & Unwin, 1950),
74.
[9]
Abū Ṭālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, ed. Maḥmūd bin al-Bishr
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 1:88–95.
[10]
Al-Shāfi‘ī, dalam Ibn Ḥajar al-Haythamī, Al-Fatāwā al-Ḥadīthiyyah
(Cairo: Dār al-Fikr, 1983), 210.
[11]
Abū Manṣūr al-Māturīdī, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalīf
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1970), 298.
5.
Metode
dan Tahapan dalam Proses Tazkiyatun Nafs
Tazkiyatun
nafs bukanlah proses spontan atau sekali jadi, melainkan sebuah
perjalanan spiritual yang sistematis, terus-menerus, dan bertingkat. Para ulama
Islam, khususnya dalam tradisi tasawuf Sunni dan pendidikan akhlak klasik,
telah merumuskan berbagai metode dan tahapan yang dapat dilalui oleh seorang
Muslim dalam upaya menyucikan jiwanya. Metode-metode ini tidak hanya bersifat
teoritis, tetapi juga telah teruji dalam praktik ribuan tahun melalui berbagai
madrasah ruhaniyah (ṭuruq) dan pembinaan kepribadian
dalam Islam.
5.1.
Muhāsabah (Introspeksi Diri)
Langkah awal dalam
proses tazkiyatun
nafs adalah muhāsabah, yaitu introspeksi diri
terhadap niat, pikiran, dan perbuatan. Al-Ghazālī menjelaskan bahwa muhāsabah
adalah sarana untuk menyadari dosa-dosa dan kekurangan diri, sekaligus
mendorong perbaikan moral secara berkelanjutan.¹ Ini bersesuaian dengan
perintah Allah dalam QS. al-Ḥasyr [59] ayat 18:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ
"Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)..."²
Dalam konteks ini, muhāsabah
menjadi cermin bagi jiwa untuk menyadari kelemahan dan memperbarui komitmen
menuju kebaikan.
5.2.
Mujāhadah (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu)
Setelah menyadari
kelemahan diri, seorang Muslim harus melakukan mujāhadah, yakni perjuangan aktif
melawan nafsu dan dorongan negatif. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa mujāhadah
adalah kunci tazkiyah, sebab jiwa tidak akan
berubah kecuali dengan perjuangan yang bersungguh-sungguh.³ Ia mengutip firman
Allah:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا
فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
ۚ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al-‘Ankabūt [29]
ayat 69).⁴
Mujāhadah
mencakup pengendalian syahwat, menghindari maksiat, melawan kemalasan dalam
ibadah, serta melawan rasa ujub dan takabbur.
5.3.
Taubat dan Istighfār
Taubat yang tulus
merupakan fondasi penyucian jiwa. Dalam Islam, taubat bukan sekadar permohonan
ampun, tetapi mencakup penyesalan mendalam, penghentian perbuatan dosa, dan
komitmen untuk tidak mengulanginya.⁵ QS. al-Taḥrīm [66] ayat 8 menyeru:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
"Wahai orang-orang yang beriman!
Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (taubat nasūḥa)..."⁶
Al-Ghazālī
menyatakan bahwa taubat adalah pintu gerbang segala kebajikan dan awal mula tazkiyah
yang sejati.⁷ Sedangkan istighfār menjadi praktik rutin
dalam menjaga kebersihan hati dan menghapus noda-noda dosa kecil yang melekat
dalam keseharian.
5.4.
Zikir, Doa, dan Ibadah-Ibadah Spiritual
Dzikir merupakan
alat utama untuk menghidupkan hati dan mengingat Allah secara terus-menerus.
Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah
hati menjadi tenteram." (QS. al-Ra‘d [13] ayat 28).⁸
Al-Junayd
al-Baghdādī menyebut dzikir sebagai “makanan ruh dan cahaya hati” yang dapat
mengusir kegelapan batin.⁹ Selain dzikir, ibadah-ibadah spiritual seperti qiyām
al-lail, shaum sunnah, membaca al-Qur’an, dan bersedekah, berperan penting
dalam menyuburkan nilai-nilai ruhani dalam jiwa.
5.5.
Sohbah dan Peran Murabbi Ruhani
Salah satu metode
paling efektif dalam tazkiyatun nafs adalah melalui sohbah ṣāliḥah
(bergaul dengan orang-orang saleh) dan bimbingan murabbi atau syaikh yang
terpercaya. Dalam tradisi tasawuf, sohbah bukan hanya pertemanan
biasa, tetapi merupakan lingkungan edukatif dan transformasional yang mendukung
pertumbuhan ruhani.¹⁰
Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī
dalam al-Ḥikam
menyatakan bahwa “tidaklah engkau melihat kebaikan dalam dirimu kecuali
karena keberkahan pertemanan dengan orang-orang yang baik.”¹¹ Peran guru
atau mursyid adalah memberikan bimbingan, koreksi, dan teladan konkret dalam
perjalanan ruhani yang sering kali kompleks dan penuh jebakan ego.
5.6.
Mujālasah al-Nafs (Dialog Batin dan Perenungan
Diri)
Beberapa ulama sufi
klasik seperti Abū Ṭālib al-Makkī menekankan pentingnya mujālasah
al-nafs, yaitu praktik kontemplatif untuk berdialog dengan diri
sendiri, mengungkap motif tersembunyi, dan mengarahkan batin kepada Allah.¹²
Hal ini dapat dilakukan melalui tafakur, yaitu perenungan mendalam terhadap
ciptaan Allah, hikmah kehidupan, dan nasib akhir manusia.
5.7.
Istiqāmah dan Tazkiyah Berkelanjutan
Tazkiyatun
nafs tidak akan bermakna tanpa istiqāmah, yakni keteguhan dalam
menjalankan jalan kebenaran secara konsisten. Al-Qur’an memuji orang-orang yang
istiqamah:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ
أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ
تُوعَدُونَ
" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,
maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu
takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Fuṣṣilat [41] ayat 30).¹³
Istiqamah merupakan
tantangan terbesar dalam tazkiyah, sebab hawa nafsu dan
godaan dunia bersifat dinamis. Oleh karena itu, keberlanjutan dalam ibadah,
pengawasan diri, dan lingkungan yang positif menjadi kunci agar penyucian jiwa
tidak berhenti di tengah jalan.
Footnotes
[1]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 5:114–117.
[2]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 296.
[3]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad
al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:220–225.
[4]
The Qur’an, 315.
[5]
Al-Ghazālī, Iḥyā’, 4:6–9.
[6]
The Qur’an, 428.
[7]
Al-Ghazālī, Iḥyā’, 4:11.
[8]
The Qur’an, 249.
[9]
Abū al-Qāsim al-Junayd al-Baghdādī, dalam A.J. Arberry, Sufism: An
Account of the Mystics of Islam (London: George Allen & Unwin, 1950),
71.
[10]
Muḥammad Zakariyya al-Kāndahlāwī, Fadhā’il al-A‘māl (Karachi:
Dār al-Ishā‘at, 1997), 1:85–90.
[11]
Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah, ed. ‘Abd
al-Ḥalīm Maḥmūd (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1980), 33.
[12]
Abū Ṭālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, ed. Maḥmūd bin al-Bishr
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 1:98–104.
[13]
The Qur’an, 318.
6.
Tazkiyatun
Nafs dalam Kehidupan Kontemporer
Dalam konteks
kehidupan kontemporer, tantangan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) tidak hanya
berasal dari dalam diri manusia, tetapi juga dari lingkungan sosial, budaya,
dan teknologi yang mempengaruhi orientasi moral dan spiritual. Di tengah era
modern yang ditandai oleh hedonisme, materialisme, dan relativisme moral, tazkiyah
bukan sekadar ajaran klasik, melainkan menjadi solusi transformatif untuk
menjaga keutuhan fitrah manusia dan membangun kehidupan yang bermakna.
6.1.
Relevansi Tazkiyah di Tengah Krisis
Spiritualitas Modern
Salah satu krisis
terbesar di era modern adalah kekosongan spiritual (spiritual
emptiness), yang muncul akibat dominasi pendekatan sekular dalam kehidupan.
Manusia modern disibukkan oleh pencapaian material, tetapi kehilangan arah
ruhani yang membimbing kehidupannya.² Hal ini menimbulkan fenomena stres
eksistensial, alienasi sosial, dan meningkatnya gangguan kejiwaan seperti
depresi dan kecemasan.
Menurut Seyyed
Hossein Nasr, hilangnya kesadaran transendental dalam peradaban modern telah
menjauhkan manusia dari jati dirinya yang sejati sebagai makhluk spiritual. Ia
menyebut bahwa tazkiyatun nafs adalah sarana untuk
mengembalikan manusia kepada “Pusat Ilahi” yang menjadi sumber makna sejati.³
Dengan demikian, tazkiyah
tidak hanya berfungsi untuk membentuk pribadi yang saleh, tetapi juga untuk
memulihkan dimensi ruhani manusia yang rusak akibat kerusakan sistem nilai
global.
6.2.
Tazkiyah sebagai Pilar Kesehatan Mental dan
Emosional
Dalam berbagai
kajian psikologi kontemporer, ditemukan bahwa praktik-praktik spiritual seperti
meditasi, refleksi diri, dan pengampunan memiliki korelasi positif dengan
kesehatan mental.⁴ Dalam tradisi Islam, tazkiyatun nafs mencakup semua
unsur tersebut dalam bingkai tauhid dan ibadah yang autentik.
Muhammad Uthman
Najati, seorang pakar psikologi Islam, menyatakan bahwa tazkiyah
berperan penting dalam stabilitas kejiwaan karena ia mengarahkan manusia untuk
berdamai dengan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.⁵ Dzikir, shalat, dan
muhasabah tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga terapi ruhani yang efektif
untuk menyembuhkan luka batin dan gangguan psikologis.
Dengan berkembangnya
pendekatan Islamic
psychology dewasa ini, tazkiyatun nafs semakin diakui sebagai
pendekatan integral terhadap penyembuhan mental dan penguatan karakter.
6.3.
Implementasi Tazkiyah dalam Pendidikan Islam
Salah satu medan
strategis dalam menerapkan tazkiyah secara sistematis adalah pendidikan
Islam. Sejak masa klasik, para ulama telah memandang bahwa
tujuan pendidikan bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga
mentransformasikan kepribadian melalui penyucian jiwa dan pembentukan akhlak
mulia.⁶
Imam al-Ghazālī
dalam Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn menekankan bahwa pendidikan yang tidak berujung pada tazkiyah
hanyalah pelatihan verbal tanpa hakikat.⁷ Dalam konteks modern, kurikulum
pendidikan Islam perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip tazkiyah
secara eksplisit, seperti latihan muhasabah, pembiasaan ibadah, serta penguatan
nilai-nilai kejujuran, kesabaran, dan empati.
Lembaga pendidikan
yang mempraktikkan pendidikan ruhani—bukan sekadar
akademik atau moral—akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas
intelektual, tetapi juga bersih hatinya dan lurus amalnya.
6.4.
Peran Tazkiyah dalam Keluarga dan Masyarakat
Tazkiyatun
nafs bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga harus
menjadi nilai kolektif dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga merupakan
madrasah pertama tempat nilai-nilai tazkiyah ditanamkan, melalui keteladanan
orang tua dalam ibadah, kesabaran, dan akhlak.
Di tingkat sosial, tazkiyah
dapat menjadi landasan dalam membangun masyarakat yang harmonis, berkeadilan,
dan bebas dari penyakit hati kolektif seperti korupsi, permusuhan, dan
permusuhan berbasis fanatisme kelompok. Seorang tokoh pendidikan Islam
kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebut bahwa “pembersihan jiwa
adalah syarat mutlak bagi terbangunnya adab dalam masyarakat.”⁸
Oleh karena itu,
gerakan tazkiyah
harus ditopang oleh institusi yang mendukung, termasuk masjid, majelis taklim,
media dakwah, dan program-program pembinaan karakter di ruang publik.
6.5.
Tantangan Global dan Urgensi Tazkiyah
Di tengah derasnya
arus globalisasi, media digital, dan budaya konsumerisme, umat Islam menghadapi
tantangan besar dalam menjaga kemurnian hati dan orientasi hidupnya. Platform
digital yang terbuka menghadirkan godaan masif terhadap syahwat dan syubhat, menjadikan
tazkiyah
sebagai benteng terakhir untuk menjaga integritas moral.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Ibn al-Qayyim, tazkiyah adalah jihad internal yang
lebih berat daripada jihad fisik, karena ia berlangsung sepanjang waktu dan tak
terlihat oleh mata manusia.⁹ Oleh karena itu, umat Islam kontemporer harus
membangun kesadaran kolektif bahwa tazkiyatun nafs bukan pilihan
opsional, melainkan kewajiban eksistensial.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 24–27.
[2]
Ziauddin Sardar, Postmodernism and the Other: The New Imperialism
of Western Culture (London: Pluto Press, 1998), 134.
[3]
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism (New
York: HarperOne, 2007), 118–122.
[4]
Harold G. Koenig, Medicine, Religion and Health: Where Science and
Spirituality Meet (West Conshohocken: Templeton Foundation Press, 2008),
87–90.
[5]
Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic
Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 92–96.
[6]
Rosnani Hashim and Wan Mohd Nor Wan Daud, The Integrated Curriculum
for Secondary Schools in Malaysia: Philosophy, Concepts and Implementation
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 45–50.
[7]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1:35–36.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 45–48.
[9]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad
al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:201–205.
7.
Perbandingan
dengan Konsep Penyucian Diri dalam Tradisi Lain
Konsep penyucian
diri merupakan tema universal yang hadir dalam hampir semua tradisi religius
dan filosofis. Meskipun terminologi dan kerangka metafisiknya berbeda, upaya
memperbaiki batin, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada
realitas transenden merupakan benang merah yang menghubungkan berbagai sistem
spiritual dunia. Bagian ini membandingkan konsep tazkiyatun nafs dalam Islam dengan
ajaran-ajaran serupa dalam tradisi Yunani Kuno, Kristen, Hindu, dan Buddhis,
guna memahami karakteristik unik serta titik temu universal dari ajaran
penyucian jiwa.
7.1.
Filsafat Yunani: Katharsis dan
Penguasaan Diri
Dalam filsafat
Yunani, terutama dalam pemikiran Plato dan Aristoteles, terdapat konsep katharsis
(κάθαρσις) yang berarti “pembersihan” atau “pemurnian”, terutama
dari dorongan emosional yang tidak terkendali.¹ Bagi Plato, jiwa manusia terdiri
dari tiga bagian: rasional (logos), berani (thymos),
dan nafsu (epithymia).
Jiwa yang sempurna adalah jiwa yang diatur oleh akal, dan penyucian berarti
menundukkan nafsu serta membina akhlak melalui filsafat dan pendidikan.²
Konsep ini sejalan
secara umum dengan tazkiyah, yang juga memandang bahwa
nafs perlu dikendalikan agar jiwa dapat kembali kepada fitrah. Namun, perbedaan
mendasar terletak pada orientasi transendental: tazkiyatun nafs adalah proses yang
bersumber dari wahyu dan ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah, bukan
semata-mata kebijaksanaan rasional atau harmoni internal.³
7.2.
Tradisi Kristiani: Purification of the Soul
Dalam ajaran
Kristen, khususnya dalam tradisi Katolik dan Ortodoks Timur, penyucian diri
dikenal melalui konsep purification of the soul, yang
merupakan bagian dari perjalanan menuju penyatuan dengan Tuhan (theosis).
Melalui doa, penyesalan (contrition), sakramen pengakuan
dosa, serta praktik asketisme, jiwa dibersihkan dari dosa dan disiapkan untuk
hidup kudus.⁴
Santo Yohanes dari
Salib (John of the Cross), seorang mistikus Katolik, mengajarkan tentang “Dark
Night of the Soul”, yaitu kondisi spiritual yang penuh penderitaan
tetapi perlu dilalui dalam rangka pemurnian jiwa.⁵ Ini mirip dengan mujāhadah
dalam tazkiyah,
yaitu perjuangan berat melawan diri sendiri demi mendekat kepada Tuhan.
Namun, dalam tradisi
Kristiani, penekanan sering kali lebih kuat pada aspek rahmat
(grace) sebagai faktor penentu penyucian, sementara Islam lebih menekankan
keseimbangan antara ikhtiar dan taufīq.⁶
7.3.
Hindu: Atman, Yoga, dan Jalan
Pembebasan
Dalam tradisi Hindu,
penyucian diri berkaitan erat dengan konsep moksha (pembebasan) dan penyatuan
antara ātman
(jiwa individu) dan Brahman (realitas absolut).
Penyucian dicapai melalui berbagai jalur spiritual, seperti karma
yoga (jalan pengabdian melalui amal), jñāna yoga (jalan pengetahuan), dan
bhakti
yoga (jalan cinta kepada Tuhan).⁷
Praktik-praktik
seperti meditasi,
pengendalian
indera, dan penolakan terhadap keinginan duniawi
merupakan bagian integral dari upaya menyucikan batin dan melepaskan diri dari
siklus kelahiran kembali (samsara).⁸
Konsep-konsep ini
memiliki kesamaan dalam hal disiplin spiritual dan pengendalian hawa nafsu,
namun berbeda secara teologis. Tazkiyatun nafs tidak bertujuan
untuk menyatu dengan Tuhan secara esensial, melainkan untuk mendekatkan diri
dalam kerangka penghambaan yang tetap mempertahankan perbedaan ontologis antara
hamba dan Khalik.⁹
7.4.
Buddhisme: Nirvana dan Pembersihan
Kilesa (Noda Batin)
Dalam ajaran
Buddhis, terutama dalam aliran Theravāda, penyucian jiwa berkaitan dengan
pencapaian nirvāṇa,
yaitu pembebasan total dari penderitaan dan lingkaran kelahiran kembali. Untuk
mencapainya, seseorang harus membersihkan batin dari kilesa
(noda-noda seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan).¹⁰
Melalui praktik meditasi,
penyadaran
diri (mindfulness), dan jalan
berunsur delapan (Eightfold Path), seorang praktisi
Buddhis melatih diri untuk mencapai kesadaran murni dan kebebasan batin.¹¹
Dalam tazkiyatun
nafs, penyucian juga dilakukan melalui disiplin diri, kesadaran
(murāqabah), dan pembinaan moral. Namun, perbedaannya terletak pada landasan
metafisik: Islam memandang eksistensi akhirat sebagai kelanjutan kehidupan,
bukan pelepasan total dari eksistensi seperti dalam konsep nirvāṇa.¹²
7.5.
Kesamaan dan Perbedaan Prinsipil
Meski berakar dari
kerangka teologis yang berbeda, konsep penyucian diri dalam tradisi-tradisi di
atas menunjukkan beberapa kesamaan prinsipil, antara lain:
·
Perlunya pengendalian
hawa nafsu
·
Pentingnya disiplin
spiritual dan etika
·
Proses yang bertahap
dan berkelanjutan
·
Tujuan untuk mencapai kebebasan
batin atau kedekatan dengan realitas transenden
Namun, terdapat perbedaan
prinsipil dalam hal tujuan akhir, epistemologi (wahyu vs.
spekulasi), dan relasi antara manusia dan Tuhan. Tazkiyatun nafs berakar pada tauhid,
dengan orientasi menuju keridhaan Allah melalui penghambaan yang sadar dan
bermakna.¹³
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 42–45.
[2]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 439–441.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 105–110.
[4]
Bernard McGinn, The Foundations of Mysticism: Origins to the Fifth
Century (New York: Crossroad, 1991), 211–213.
[5]
John of the Cross, The Dark Night of the Soul, trans. Mirabai
Starr (New York: Riverhead Books, 2002), 57–60.
[6]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1:38.
[7]
Radhakrishnan, Sarvepalli. The Hindu View of Life (New York:
Macmillan, 1963), 32–35.
[8]
Gavin Flood, An Introduction to Hinduism (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 84–88.
[9]
Al-Shahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid
Kailani (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1992), 2:251.
[10]
Bhikkhu Bodhi, In the Buddha’s Words: An Anthology of Discourses
from the Pali Canon (Boston: Wisdom Publications, 2005), 107–110.
[11]
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 49–55.
[12]
Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic
Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 103–107.
[13]
Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism
(New York: HarperOne, 2007), 118–123.
8.
Tantangan
dan Penyimpangan dalam Praktik Tazkiyah
Meskipun tazkiyatun
nafs merupakan inti dari ajaran Islam yang luhur, dalam praktiknya
tidak jarang mengalami tantangan dan penyimpangan, baik pada tingkat individu
maupun kelembagaan. Penyimpangan tersebut dapat berupa kesalahan metodologis,
manipulasi spiritual, hingga penyelewengan teologis. Oleh karena itu, pemahaman
yang lurus terhadap prinsip-prinsip tazkiyah sebagaimana dicontohkan
Nabi Saw dan para ulama Ahlus Sunnah sangat penting agar proses penyucian jiwa
tetap berada di atas manhaj yang benar.
8.1.
Tantangan Internal: Ego Rohani dan Kelalaian
Niat
Salah satu tantangan
utama dalam tazkiyah adalah ego
spiritual (al-kibr al-rūḥānī)—yakni perasaan
lebih suci, lebih mulia, atau lebih dekat dengan Allah dibandingkan orang lain
karena amal ibadah atau pengalaman spiritual.¹ Al-Ghazālī memperingatkan bahwa
setan mampu menipu orang yang sudah beramal dengan menanamkan rasa bangga
terhadap amalnya, yang pada akhirnya justru merusak amal itu sendiri.²
Niat yang tidak
lurus juga menjadi masalah besar. Banyak orang terjebak dalam riya’ (pamer) dan
ujub (kagum pada diri sendiri) saat menjalankan ibadah-ibadah tazkiyah.
Oleh karena itu, muhāsabah al-niyyah (introspeksi
niat) harus menjadi fondasi setiap amal spiritual.³
8.2.
Penyimpangan Metodologis: Ghuluw dan
Penyimpangan Tasawuf
Dalam sejarah Islam,
terdapat kelompok-kelompok yang melampaui batas dalam praktik tazkiyah,
seperti mengklaim bisa mencapai maqam fanā’ (lenyapnya diri) dan ittihād
(penyatuan dengan Tuhan) secara harfiah, sebagaimana ditemukan dalam sebagian
aliran ekstrem tasawuf.⁴
Ibn Taymiyyah dan
muridnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan tegas mengkritik klaim-klaim seperti
itu sebagai penyimpangan yang tidak sesuai dengan tauhid dan syariat.⁵ Menurut
mereka, penghayatan spiritual sejati tetap harus tunduk pada batasan-batasan
syariat dan tidak boleh keluar dari ajaran Rasulullah Saw.
Penyimpangan ini
kadang muncul karena praktik tazkiyah yang tidak berbasis ilmu
atau tidak dibimbing oleh guru yang berkompeten dan lurus aqidahnya. Dalam hal
ini, Al-Ghazālī menekankan pentingnya ‘ālim rabbānī—seorang pembimbing
yang tidak hanya berilmu tetapi juga warak dan berakhlak.⁶
8.3.
Komersialisasi dan Eksploitasi Spiritualitas
Dalam masyarakat
kontemporer, tantangan serius lainnya adalah komersialisasi ajaran spiritual,
termasuk tazkiyatun
nafs. Fenomena ini terlihat dalam bentuk pelatihan spiritual
berbayar, penggunaan istilah sufistik dalam industri motivasi tanpa kedalaman
makna, serta klaim-klaim keilmuan atau kewalian tanpa sanad dan legitimasi
ulama.⁷
Syed Muhammad Naquib
al-Attas memperingatkan bahwa de-sakralisasi konsep-konsep spiritual dalam
Islam merupakan bagian dari agenda sekularisme dan reduksi spiritualitas
menjadi sekadar alat manajemen diri atau produktivitas duniawi.⁸ Ini
bertentangan dengan ruh tazkiyah yang sejati, yang
berorientasi pada keridhaan Allah dan keselamatan akhirat, bukan kemapanan
psikologis semata.
8.4.
Kurangnya Pemahaman Ilmiah terhadap Konsep
Tazkiyah
Di banyak kalangan, tazkiyah
sering dipahami secara sempit sebagai sekadar dzikir, wirid, atau ritual
tertentu, tanpa menyadari bahwa ia merupakan proses holistik yang mencakup
akidah, akhlak, muamalah, dan ibadah.⁹
Kurangnya pengajaran
sistematis tentang tazkiyatun nafs dalam kurikulum
pendidikan Islam juga memperparah problem ini. Konsekuensinya, banyak orang
menjalankan ibadah tanpa pemahaman ruhani, atau sebaliknya, mencari pengalaman
ruhani tanpa akar keilmuan.
Imam Malik bin Anas
pernah berkata:
مَن
تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَن تَفَقَّهَ وَلَمْ
يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَن جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.
"Barang siapa yang bertasawuf tanpa
ilmu fikih, maka ia menjadi zindik. Dan barang siapa yang berilmu fikih tanpa
tasawuf, maka ia menjadi fasik. Dan barang siapa yang menggabungkan keduanya,
maka ia menjadi orang yang benar."¹⁰
8.5.
Jalan Tengah Ahlus Sunnah: Tazkiyah yang
Terbimbing
Sebagai respons
terhadap berbagai tantangan tersebut, para ulama Ahlus Sunnah telah menetapkan
prinsip-prinsip dasar untuk menjaga keabsahan tazkiyah, di antaranya:
·
Tazkiyah harus
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah
·
Dibimbing oleh guru
yang memiliki sanad keilmuan yang sahih
·
Tidak keluar dari batas akidah
tauhid dan hukum syariat
·
Dijiwai oleh niat
ikhlas dan kehambaan total kepada Allah
Dengan
prinsip-prinsip ini, tazkiyatun nafs akan tetap menjadi
sarana penyucian batin yang benar, bukan alat kekuasaan, eksklusivitas
spiritual, atau manipulasi massa.
Footnotes
[1]
Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah, ed. ‘Abd
al-Ḥalīm Maḥmūd (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1980), 71.
[2]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:52–55.
[3]
Ibid., 3:58.
[4]
Abū al-Futūḥ al-Tā’ī, al-Tasawwuf al-Islāmī, ed. Sa‘īd Ḥijāzī
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1998), 201–203.
[5]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad
al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:140–150.
[6]
Al-Ghazālī, Iḥyā’, 3:64–66.
[7]
Zain al-‘Abidin Bagir, Spiritualisme dan Krisis Modernitas
(Yogyakarta: Mizan, 2000), 93–95.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 123–127.
[9]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhū‘ī atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 222–225.
[10]
Dikutip dalam Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Alī ‘Abd
al-Wāḥid Wāfī (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), 448.
9.
Penutup
Tazkiyatun
nafs merupakan inti dari proyek spiritual Islam yang tidak hanya
bersifat individu, tetapi juga berdampak kolektif terhadap kualitas kehidupan
umat. Sebagai proses penyucian dan pengembangan jiwa, tazkiyah
memainkan peran krusial dalam membentuk pribadi Muslim yang sehat secara
spiritual, etis secara moral, dan utuh secara kemanusiaan. Ia adalah jantung
dari seluruh amal ibadah dan akhlak, serta menjadi fondasi bagi relasi manusia
dengan Allah, sesama makhluk, dan dirinya sendiri.¹
Seperti yang telah
diuraikan, landasan tazkiyatun nafs bersumber langsung
dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, diperkuat oleh warisan pemikiran ulama
klasik seperti al-Ghazālī dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, serta dimaknai ulang dalam
konteks kontemporer sebagai solusi terhadap krisis spiritual, etika, dan
psikososial yang melanda umat manusia.²
Dalam dunia modern
yang sarat dengan gempuran ideologi sekular, relativisme moral, dan alienasi
spiritual, tazkiyatun
nafs tidak hanya relevan, tetapi justru semakin mendesak. Ia bukan
sekadar ajaran tasawuf atau etika pribadi, tetapi sebuah sistem pembinaan
karakter dan peneguhan identitas ruhani yang mencakup seluruh dimensi
kehidupan: dari pendidikan dan keluarga, hingga politik dan ekonomi.³
Akan tetapi, praktik
tazkiyah
juga menghadapi tantangan signifikan, baik dalam bentuk penyimpangan teologis
dan metodologis, maupun dalam bentuk banalitas spiritual yang menjadikan konsep
ini sebagai komoditas atau klaim eksklusif tanpa landasan ilmiah dan akhlak.
Oleh karena itu, revitalisasi tazkiyatun nafs harus dilakukan
dengan pendekatan yang ilmiah, komprehensif, dan sesuai dengan manhaj Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur’an:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَنْ
دَسَّاهَا
"Sungguh beruntunglah orang yang
menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya, (10)"
(QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10).⁴
Ayat ini menjadi
panggilan abadi bagi setiap Muslim untuk menjadikan tazkiyah sebagai jihad terbesar
dalam hidupnya.⁵ Sebab, keberhasilan dalam tazkiyatun nafs bukan hanya
menentukan kualitas hidup di dunia, tetapi juga menjadi penentu utama
keselamatan di akhirat.
Penanaman
nilai-nilai tazkiyah dalam pendidikan,
keluarga, institusi dakwah, dan ruang publik harus dijadikan sebagai prioritas
strategis dalam membangun peradaban Islam yang beradab (madani)
dan berjiwa luhur. Sebab, peradaban yang agung tidak lahir dari kemajuan
materi, tetapi dari kejernihan hati dan keteguhan akhlak.
Dengan demikian, tazkiyatun
nafs harus dipahami bukan hanya sebagai konsep teologis, tetapi sebagai
proyek peradaban, sebagai jalan pengembalian manusia kepada fitrahnya, dan
sebagai usaha menyeluruh dalam membumikan nilai-nilai Ilahiyah dalam realitas
dunia yang sementara ini.
Footnotes
[1]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–49.
[2]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad
al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:140–145.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 78–81.
[4]
The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University
Press, 2004), 434.
[5]
Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb
al-Jihād, Bāb 1: "Afdhal al-jihād man jāhada nafsah fi ta‘at
Allāh."
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC).
Al-Baghdādī, A. al-Q. al-J. (1950). Sufism: An
account of the mystics of Islam (A. J. Arberry, Trans.). London: George
Allen & Unwin.
Al-Ghazālī, A. Ḥ. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn
(B. Ṭabānah, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Makkī, A. Ṭ. (1995). Qūt al-qulūb (M. bin
al-Bishr, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Shahrastānī, M. A. F. (1992). Al-milal wa
al-niḥal (M. S. Kailani, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Al-Ṭabarī, A. J. (2000). Jāmi‘ al-bayān fī
ta’wīl āy al-Qur’ān (M. Shākir, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Bagir, Z. A. (2000). Spiritualisme dan krisis
modernitas. Yogyakarta: Mizan.
Bodhi, B. (2005). In the Buddha’s words: An
anthology of discourses from the Pali Canon. Boston: Wisdom Publications.
Flood, G. (1996). An introduction to Hinduism.
Cambridge: Cambridge University Press.
Grube, G. M. A. (Trans.). (1992). Plato: The
Republic. Indianapolis: Hackett Publishing.
Haleem, M. A. S. A. (Trans.). (2004). The Qur’an.
Oxford: Oxford University Press.
Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī. (1980). Al-ḥikam
al-‘Aṭā’iyyah (‘A. Ḥ. Maḥmūd, Ed.). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Ibn Khaldūn. (2004). Al-muqaddimah (‘A. ‘A.
W. Wāfī, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2003). Madarij
al-sālikīn (M. al-Kandahlawi, Ed.). Cairo: Dār al-Ḥadīth.
John of the Cross. (2002). The dark night of the
soul (M. Starr, Trans.). New York: Riverhead Books.
Koenig, H. G. (2008). Medicine, religion and
health: Where science and spirituality meet. West Conshohocken: Templeton
Foundation Press.
McGinn, B. (1991). The foundations of mysticism:
Origins to the fifth century. New York: Crossroad.
Najati, M. U. (1980). Psychology in the light of
Islamic teachings. Jeddah: International Islamic Federation of Student
Organizations (IIFSO).
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual
crisis of modern man. Chicago: ABC International Group.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York:
HarperOne.
Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire:
Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton: Princeton University
Press.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught.
New York: Grove Press.
Radhakrishnan, S. (1963). The Hindu view of life.
New York: Macmillan.
Sardar, Z. (1998). Postmodernism and the other:
The new imperialism of Western culture. London: Pluto Press.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir
maudhū‘ī atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.
Wan Daud, W. M. N., & Hashim, R. (1992). The
integrated curriculum for secondary schools in Malaysia: Philosophy, concepts
and implementation. Kuala Lumpur: ISTAC.
Wehr, H. (1976). A dictionary of modern written
Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Ithaca: Spoken Language Services.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar