Jumat, 06 Juni 2025

Tazkiyatun Nafs: Konsep, Landasan, dan Implementasi dalam Kehidupan Muslim

Tazkiyatun Nafs

Konsep, Landasan, dan Implementasi dalam Kehidupan Muslim


Abstrak

Tazkiyatun nafs merupakan salah satu konsep sentral dalam ajaran Islam yang menekankan pentingnya penyucian jiwa sebagai jalan menuju kedekatan dengan Allah Swt dan keberhasilan hidup di dunia maupun akhirat. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif dimensi filosofis, teologis, dan praktis dari tazkiyah dengan merujuk pada sumber-sumber utama Islam serta pemikiran ulama klasik dan kontemporer. Dimulai dari pengertian dan landasannya dalam al-Qur’an dan Sunnah, pembahasan ini meluas ke dimensi konseptual tazkiyah, metode dan tahapan pelaksanaannya, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern yang penuh tantangan spiritual. Artikel ini juga mengulas perbandingan tazkiyah dengan konsep penyucian diri dalam tradisi filsafat Yunani, Kristen, Hindu, dan Buddhisme, serta mengidentifikasi tantangan dan penyimpangan dalam praktik tazkiyah di masa kini. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tazkiyatun nafs bukan sekadar ibadah batin, melainkan suatu proyek peradaban yang mendalam dan berkelanjutan, yang harus terus dikembangkan dalam pendidikan, keluarga, dan kehidupan sosial umat Islam.

Kata Kunci: Tazkiyatun Nafs, penyucian jiwa, spiritualitas Islam, tasawuf Sunni, pendidikan ruhani, etika Islam, modernitas, filsafat perbandingan.


PEMBAHASAN

Konsep Tazkiyatun Nafs dalam khazanah Islam Klasik dan Kontemporer


1.           Pendahuluan

Istilah tazkiyatun nafs (تزكية النفس) berasal dari akar kata Arab ز-ك-و yang memiliki makna dasar menyucikan, menumbuhkan, atau meningkatkan. Secara etimologis, kata tazkiyah berarti "pembersihan" atau "penyucian", sedangkan nafs secara umum merujuk pada "jiwa" atau "diri manusia" dalam keseluruhan dimensi spiritual dan psikologisnya. Dalam kerangka Islam, tazkiyatun nafs merujuk pada proses aktif penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela dan pengembangan akhlak yang mulia demi mencapai keridaan Allah Swt.¹

Konsep ini menempati posisi sentral dalam ajaran Islam karena menyangkut misi utama kehidupan manusia, yaitu menjadi hamba yang bersih hatinya dan lurus jalannya. Hal ini tercermin dalam firman Allah Swt: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10). Ayat ini tidak hanya menekankan pentingnya penyucian jiwa, tetapi juga menyiratkan bahwa keberuntungan dan keselamatan seseorang di dunia dan akhirat sangat bergantung pada keberhasilan dalam menjalani proses tazkiyah.²

Dalam hadis Nabi Muhammad Saw juga disebutkan bahwa “Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.”³ Hadis ini menegaskan hubungan langsung antara kebersihan batin dan kebaikan lahiriah, sekaligus menjadi dasar teologis yang kuat bagi pentingnya tazkiyatun nafs dalam Islam.

Sebagai konsep integral dalam pendidikan Islam dan spiritualitas Muslim, tazkiyatun nafs tidak hanya menjadi bagian dari ajaran tasawuf atau etika, tetapi juga terhubung erat dengan pembentukan karakter, pembangunan moral individu, dan tatanan sosial yang adil.⁴ Para ulama klasik seperti al-Ghazālī dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah telah menulis karya-karya besar yang menjelaskan pentingnya tazkiyah dalam membentuk manusia sempurna (al-insān al-kāmil) yang memiliki keseimbangan antara dimensi spiritual dan rasional.⁵

Lebih dari itu, dalam konteks kontemporer, tazkiyatun nafs juga dapat dilihat sebagai solusi atas berbagai krisis moral dan spiritual yang dihadapi umat manusia saat ini, seperti hedonisme, individualisme, materialisme, dan kekeringan rohani. Tazkiyah bukanlah konsep kuno yang terasing dari realitas, tetapi justru sebuah jalan menuju kematangan pribadi dan kebermaknaan hidup yang sesuai dengan fitrah insani.

Maka dari itu, pembahasan mengenai tazkiyatun nafs menjadi sangat relevan untuk dikaji secara mendalam, baik dari segi konsep, landasan wahyu, pemikiran ulama klasik, hingga penerapannya dalam kehidupan modern. Artikel ini akan menguraikan secara sistematis tentang konsep tazkiyatun nafs, landasan-landasan tekstual dan filosofisnya, serta langkah-langkah praktis untuk merealisasikannya dalam kehidupan seorang Muslim.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Ithaca: Spoken Language Services, 1976), 408.

[2]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 434.

[3]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, Bāb 39.

[4]                Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 64–67.

[5]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–49; Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:130–140.


2.           Landasan Tazkiyatun Nafs dalam al-Qur’an dan Sunnah

Konsep tazkiyatun nafs dalam Islam memiliki landasan yang kokoh dalam dua sumber utama ajaran Islam: al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Keduanya tidak hanya memuat perintah eksplisit untuk melakukan penyucian jiwa, tetapi juga menekankan urgensinya dalam rangka mencapai keselamatan dunia dan akhirat.

2.1.       Landasan dalam al-Qur’an

Al-Qur’an menyebutkan tazkiyah dalam berbagai konteks yang menunjukkan signifikansi dan keutamaannya. Ayat yang paling sering dirujuk sebagai landasan utama tazkiyatun nafs adalah firman Allah dalam surah Asy-Syams:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

"Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya, (10)"

(QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10).¹

Ayat ini menunjukkan adanya korelasi langsung antara keberuntungan spiritual dan penyucian jiwa. Dalam tafsirnya, al-Ṭabarī menegaskan bahwa "penyucian" di sini bermakna membersihkan jiwa dari kekufuran, kefasikan, dan akhlak tercela, sekaligus menghiasinya dengan iman dan amal saleh.² Dengan demikian, tazkiyah tidak hanya bersifat negatif (menghilangkan kotoran jiwa), tetapi juga positif (menumbuhkan kebaikan).

Ayat lain yang juga sering dikutip adalah:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ

وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), (14), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang."

(QS. Al-A‘lā [87] ayat 14–15).³

Ayat ini menunjukkan keterkaitan antara tazkiyah, dzikrullah, dan ibadah lahiriah seperti salat. Artinya, penyucian jiwa adalah fondasi bagi keberlangsungan ibadah yang bermakna dan khusyuk.

Dalam surah Al-Baqarah, Allah menjelaskan bahwa salah satu misi utama kerasulan Nabi Muhammad Saw adalah melakukan tazkiyah terhadap umat manusia:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah."

(QS. Al-Baqarah [2] ayat 151).⁴

Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, penempatan kata tazkiyah sebelum pengajaran ilmu menunjukkan bahwa pembersihan hati lebih dahulu diperlukan sebelum seseorang dapat menerima ilmu yang bermanfaat.⁵

2.2.       Landasan dalam Sunnah

Dalam tradisi hadis, terdapat banyak riwayat yang menunjukkan pentingnya tazkiyah dan kondisi hati. Salah satu hadis yang paling mendasar dan terkenal dalam konteks ini adalah sabda Nabi Muhammad Saw:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.

"Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati."⁶

Hadis ini mengajarkan bahwa hati adalah pusat moral dan spiritual manusia. Dengan demikian, upaya membersihkan hati adalah kunci kebaikan perilaku secara keseluruhan. Tazkiyatun nafs dalam konteks ini menjadi fondasi bagi kehidupan yang lurus dan etis.

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian."⁷

Hadis ini kembali menegaskan bahwa nilai sejati manusia di sisi Allah bergantung pada kebersihan batin dan keikhlasan amal, bukan penampilan luar atau kekayaan duniawi. Oleh karena itu, tazkiyah menjadi proses internalisasi nilai-nilai Ilahiyah dalam diri manusia.

2.3.       Konsep Integratif antara Wahyu dan Jiwa

Berdasarkan ayat-ayat dan hadis di atas, dapat dipahami bahwa tazkiyatun nafs bukan sekadar proses psikologis atau etis, melainkan merupakan tugas spiritual yang bersumber dari perintah wahyu. Proses ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi ubudiyah (penghambaan) dan tazkiyah ilahiyah, karena Allah sendiri menyatakan bahwa hanya Dia yang berhak dan mampu menyucikan siapa yang dikehendaki-Nya:

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ

"Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian akan pernah bisa menyucikan dirinya, tetapi Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki."

(QS. An-Nūr [24] ayat 21).⁸

Ayat ini menunjukkan bahwa tazkiyatun nafs sejati hanya mungkin terjadi dengan bantuan dan taufik dari Allah Swt, bukan semata-mata usaha manusia secara independen. Hal ini mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar spiritual dan ketergantungan mutlak kepada rahmat Ilahi.


Footnotes

[1]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 434.

[2]                Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Mahmūd Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2000), 30:221.

[3]                The Qur’an, 430.

[4]                Ibid., 23.

[5]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1999), 4:99.

[6]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, Bāb 39.

[7]                Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Birr wa al-Ṣilah, no. 2564.

[8]                The Qur’an, 296.


3.           Dimensi Konseptual Tazkiyatun Nafs

3.1.       Tazkiyah sebagai Proses Takhliyah, Taḥliyah, dan Taḥqīq

Secara konseptual, tazkiyatun nafs mencakup proses bertahap yang terdiri dari tiga elemen utama: takhliyah (pengosongan), taḥliyah (penghiasan), dan taḥqīq (aktualisasi spiritual).

·                     Takhliyah merujuk pada proses pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti riya’, hasad, sombong, marah berlebihan, cinta dunia, dan lainnya.¹ Proses ini dianggap sebagai langkah awal dan paling mendasar, sebab jiwa yang penuh penyakit tidak bisa dihiasi dengan kebajikan sebelum terlebih dahulu dibersihkan.

·                     Taḥliyah adalah proses menghias jiwa dengan sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, sabar, tawadhu‘, syukur, dan zuhud. Ini adalah tahapan konstruktif dalam membentuk karakter spiritual yang sehat dan tangguh.²

·                     Taḥqīq merupakan puncak tazkiyah, yaitu pencapaian kesadaran spiritual yang tinggi dan penyatuan orientasi diri sepenuhnya kepada Allah Swt, dengan membumikan nilai-nilai tauhid secara total dalam seluruh aspek kehidupan.³

Ketiga tahapan ini bukanlah proses linier yang sederhana, melainkan siklus dinamis yang berlangsung sepanjang hidup. Seorang Muslim senantiasa berada dalam perjuangan antara nafs yang cenderung mengajak kepada kejahatan dan ruh yang mendambakan kedekatan Ilahi.

3.2.       Relasi antara Nafs, Qalb, Ruh, dan ‘Aql

Dalam khazanah spiritual Islam, jiwa manusia tidak dimaknai secara tunggal. Ulama mengidentifikasi berbagai aspek yang saling berinteraksi dalam pembentukan spiritualitas manusia, yakni:

·                     Nafs (jiwa rendah atau ego)

Entitas yang menjadi sumber dorongan hawa nafsu dan kecenderungan duniawi. Dalam al-Qur’an disebutkan tiga tingkatan nafs: al-nafs al-ammārah (jiwa yang memerintahkan kepada keburukan), al-nafs al-lawwāmah (jiwa yang mencela dirinya), dan al-nafs al-muṭma’innah (jiwa yang tenang).⁴

·                     Qalb (hati spiritual)

Pusat kesadaran batin yang bisa condong kepada cahaya (iman) atau gelap (kufur). Hati inilah yang menjadi objek utama dalam proses tazkiyah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis tentang segumpal daging yang menentukan baik-buruknya seluruh jasad.⁵

·                     Ruh (jiwa ilahiah)

Aspek dari diri manusia yang berasal dari Allah dan memiliki potensi spiritual tertinggi. Allah berfirman, “Kemudian Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya” (QS. Ṣād [38] ayat 72).⁶ Ruh inilah yang menjadi penghubung antara manusia dengan sumber spiritualitas transendental.

·                     ‘Aql (akal)

Instrumen rasional dalam diri manusia yang digunakan untuk memahami, menimbang, dan memutuskan, serta memiliki peran penting dalam mengarahkan nafs dan qalb. Dalam konteks Islam, akal berfungsi bukan untuk mengendalikan ruh, tetapi untuk membantu hati mengenali kebenaran.⁷

Keempat unsur ini bekerja secara sinergis. Tazkiyatun nafs sejati mengharuskan adanya harmonisasi antara dorongan ruhani (melalui qalb dan ruh) dan kontrol akal terhadap nafs.

3.3.       Jenis-Jenis Nafs dalam Perspektif al-Qur’an dan Ulama

Al-Qur’an menggambarkan nafs dalam tiga kategori utama sebagai bagian dari perjalanan spiritual manusia:

1)                  Al-Nafs al-Ammārah bi al-Sū’

Jiwa yang mendorong kepada keburukan. Ini adalah nafs yang paling rendah dan perlu ditundukkan. Allah berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

“Sesungguhnya nafs itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS. Yūsuf [12] ayat 53).⁸

2)                  Al-Nafs al-Lawwāmah

Jiwa yang mencela dan menyesali perbuatan salahnya. Ini menunjukkan adanya kesadaran moral dan awal dari proses perbaikan diri. (QS. Al-Qiyāmah [75] ayat 2).⁹

3)                  Al-Nafs al-Muṭma’innah

Jiwa yang tenang karena berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Jiwa ini mendapat sambutan Allah pada hari kiamat:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Wahai jiwa yang tenang, (27) kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai (28)” (QS. Al-Fajr [89] ayat 27–28).¹⁰

Para ulama seperti al-Ghazālī menafsirkan tiga jenis nafs ini sebagai spektrum yang menunjukkan tahapan transformatif jiwa manusia, dari kondisi rendah menuju kondisi spiritual tertinggi.¹¹


Footnotes

[1]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–46.

[2]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 2:320–324.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 119–122.

[4]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 151, 426, 464.

[5]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, Bāb 39.

[6]                The Qur’an, 314.

[7]                Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 23–25.

[8]                The Qur’an, 166.

[9]                Ibid., 484.

[10]             Ibid., 493.

[11]             Al-Ghazālī, Iḥyā’, 3:52–54.


4.           Tazkiyatun Nafs dalam Perspektif Ulama Klasik

Konsep tazkiyatun nafs telah menjadi pusat perhatian para ulama Islam sepanjang sejarah peradaban Islam, baik dari kalangan ahli tasawuf, ahli fikih, maupun para teolog. Meskipun mereka menggunakan pendekatan yang berbeda, semua sepakat bahwa penyucian jiwa merupakan pilar utama dalam pembentukan akhlak dan kesempurnaan spiritual seorang Muslim. Di antara tokoh-tokoh utama yang menaruh perhatian besar terhadap tazkiyah adalah Imam al-Ghazālī, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, serta ulama-ulama tasawuf Sunni lainnya.

4.1.       Al-Ghazālī dan Tazkiyatun Nafs sebagai Inti Pendidikan Spiritual

Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111 M) adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam tradisi Islam klasik yang mengintegrasikan ilmu fikih, kalam, dan tasawuf secara harmonis. Dalam karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, al-Ghazālī menjadikan tazkiyatun nafs sebagai fondasi pendidikan spiritual dan prasyarat utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.¹

Menurut al-Ghazālī, jiwa manusia secara fitrah memiliki potensi untuk mengenal dan mendekat kepada Allah, tetapi potensi ini sering tertutup oleh karat dosa, nafsu, dan kesibukan duniawi. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mujāhadah (perjuangan batin), murāqabah (kesadaran akan pengawasan Allah), dan muhāsabah (introspeksi diri) sebagai instrumen utama dalam proses penyucian jiwa.²

Ia mengembangkan teori pendidikan spiritual yang bersifat sistematis: dari takhliyah (mengosongkan jiwa dari penyakit hati), menuju taḥliyah (menghiasi jiwa dengan akhlak mulia), hingga mencapai tajallī (pencerahan hati oleh cahaya Ilahi).³ Menurutnya, seseorang belum dianggap berilmu hingga ilmunya membuahkan tazkiyah, karena ilmu yang tidak memperbaiki hati adalah hijab (penghalang) yang lebih berbahaya dari kejahilan.⁴

4.2.       Ibn Qayyim al-Jawziyyah: Harmoni Antara Ruh, Akal, dan Syariat

Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350 M), murid utama dari Ibn Taymiyyah, juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan konsep tazkiyatun nafs melalui pendekatan yang sangat Qur’ani dan syar‘i. Dalam karya terkenalnya Madarij al-Sālikīn, ia menyusun tahap-tahap perjalanan ruhani seorang salik (penempuh jalan spiritual) berdasarkan interpretasi terhadap QS. al-Fātiḥah, dengan kerangka ubudiyyah yang utuh.⁵

Baginya, tazkiyatun nafs bukanlah upaya mistik yang terlepas dari hukum-hukum syariat, melainkan bagian dari realisasi peribadatan yang sejati. Ia mengkritik praktik-praktik tasawuf yang terlalu menekankan pengalaman batin tanpa disertai komitmen terhadap ajaran syariat.⁶

Ibn Qayyim menekankan keseimbangan antara akal dan ruh dalam penyucian jiwa. Ia juga menyatakan bahwa tazkiyah hanya bisa dicapai jika hati telah mengembangkan cinta sejati kepada Allah (maḥabbah), takut kepada-Nya (khashyah), dan berharap kepada-Nya (rajā’). Tiga kondisi ini merupakan inti dari perjalanan spiritual yang berhasil.⁷

4.3.       Tasawuf Sunni: Jalan Tazkiyah yang Terikat Wahyu

Para ulama tasawuf Sunni, seperti Junayd al-Baghdādī (w. 910 M) dan Abū Ṭālib al-Makkī (w. 996 M), telah meletakkan dasar-dasar spiritualitas Islam yang mengedepankan kesucian hati dan akhlak mulia tanpa keluar dari batasan syariat. Junayd, misalnya, mendefinisikan tasawuf sebagai “masuk ke dalam segala akhlak yang mulia dan keluar dari segala akhlak yang tercela”, yang pada dasarnya adalah bentuk operasional dari tazkiyatun nafs.⁸

Abū Ṭālib al-Makkī dalam Qūt al-Qulūb menguraikan secara terperinci tahapan pembersihan jiwa, termasuk peran zikir, shalat malam, dan ikhlas dalam membentuk jiwa yang tenang dan berserah kepada Allah.⁹ Tasawuf yang mereka wariskan bukanlah jalan spekulatif, melainkan transformasi batin yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan praktik sahabat.

4.4.       Pendekatan Fikih dan Kalam terhadap Tazkiyah

Selain kalangan sufi, ulama fikih dan kalam juga mengakui pentingnya tazkiyatun nafs sebagai bagian dari kesempurnaan keislaman seseorang. Dalam kerangka fikih, misalnya, Imam al-Shafi‘i menekankan bahwa ilmu yang tidak diiringi dengan wara‘ (kehati-hatian spiritual) tidak akan membawa manfaat.¹⁰ Ulama kalam seperti al-Māturīdī juga menyatakan bahwa kebersihan hati adalah tanda dari keimanan yang sahih dan stabil.

Namun, berbeda dengan kaum sufi yang menekankan pengalaman batiniah, para teolog cenderung mengaitkan tazkiyah dengan kemantapan dalam tauhid dan ketaatan syariat.¹¹ Dengan demikian, terlihat bahwa berbagai disiplin keilmuan Islam berkontribusi pada pemahaman yang utuh terhadap penyucian jiwa.


Footnotes

[1]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–49.

[2]                Ibid., 3:55–60.

[3]                Ibid., 3:62–64.

[4]                Ibid., 1:37.

[5]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:120–145.

[6]                Ibid., 1:150–153.

[7]                Ibid., 2:320–328.

[8]                Abū al-Qāsim al-Junayd al-Baghdādī, dalam A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam (London: George Allen & Unwin, 1950), 74.

[9]                Abū Ṭālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, ed. Maḥmūd bin al-Bishr (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 1:88–95.

[10]             Al-Shāfi‘ī, dalam Ibn Ḥajar al-Haythamī, Al-Fatāwā al-Ḥadīthiyyah (Cairo: Dār al-Fikr, 1983), 210.

[11]             Abū Manṣūr al-Māturīdī, Kitāb al-Tawḥīd, ed. Fathallah Khalīf (Beirut: Dār al-Mashriq, 1970), 298.


5.           Metode dan Tahapan dalam Proses Tazkiyatun Nafs

Tazkiyatun nafs bukanlah proses spontan atau sekali jadi, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang sistematis, terus-menerus, dan bertingkat. Para ulama Islam, khususnya dalam tradisi tasawuf Sunni dan pendidikan akhlak klasik, telah merumuskan berbagai metode dan tahapan yang dapat dilalui oleh seorang Muslim dalam upaya menyucikan jiwanya. Metode-metode ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga telah teruji dalam praktik ribuan tahun melalui berbagai madrasah ruhaniyah (ṭuruq) dan pembinaan kepribadian dalam Islam.

5.1.       Muhāsabah (Introspeksi Diri)

Langkah awal dalam proses tazkiyatun nafs adalah muhāsabah, yaitu introspeksi diri terhadap niat, pikiran, dan perbuatan. Al-Ghazālī menjelaskan bahwa muhāsabah adalah sarana untuk menyadari dosa-dosa dan kekurangan diri, sekaligus mendorong perbaikan moral secara berkelanjutan.¹ Ini bersesuaian dengan perintah Allah dalam QS. al-Ḥasyr [59] ayat 18:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)...

Dalam konteks ini, muhāsabah menjadi cermin bagi jiwa untuk menyadari kelemahan dan memperbarui komitmen menuju kebaikan.

5.2.       Mujāhadah (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu)

Setelah menyadari kelemahan diri, seorang Muslim harus melakukan mujāhadah, yakni perjuangan aktif melawan nafsu dan dorongan negatif. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa mujāhadah adalah kunci tazkiyah, sebab jiwa tidak akan berubah kecuali dengan perjuangan yang bersungguh-sungguh.³ Ia mengutip firman Allah:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al-‘Ankabūt [29] ayat 69).⁴

Mujāhadah mencakup pengendalian syahwat, menghindari maksiat, melawan kemalasan dalam ibadah, serta melawan rasa ujub dan takabbur.

5.3.       Taubat dan Istighfār

Taubat yang tulus merupakan fondasi penyucian jiwa. Dalam Islam, taubat bukan sekadar permohonan ampun, tetapi mencakup penyesalan mendalam, penghentian perbuatan dosa, dan komitmen untuk tidak mengulanginya.⁵ QS. al-Taḥrīm [66] ayat 8 menyeru:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (taubat nasūḥa)..."⁶

Al-Ghazālī menyatakan bahwa taubat adalah pintu gerbang segala kebajikan dan awal mula tazkiyah yang sejati.⁷ Sedangkan istighfār menjadi praktik rutin dalam menjaga kebersihan hati dan menghapus noda-noda dosa kecil yang melekat dalam keseharian.

5.4.       Zikir, Doa, dan Ibadah-Ibadah Spiritual

Dzikir merupakan alat utama untuk menghidupkan hati dan mengingat Allah secara terus-menerus. Allah berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. al-Ra‘d [13] ayat 28).⁸

Al-Junayd al-Baghdādī menyebut dzikir sebagai “makanan ruh dan cahaya hati” yang dapat mengusir kegelapan batin.⁹ Selain dzikir, ibadah-ibadah spiritual seperti qiyām al-lail, shaum sunnah, membaca al-Qur’an, dan bersedekah, berperan penting dalam menyuburkan nilai-nilai ruhani dalam jiwa.

5.5.       Sohbah dan Peran Murabbi Ruhani

Salah satu metode paling efektif dalam tazkiyatun nafs adalah melalui sohbah ṣāliḥah (bergaul dengan orang-orang saleh) dan bimbingan murabbi atau syaikh yang terpercaya. Dalam tradisi tasawuf, sohbah bukan hanya pertemanan biasa, tetapi merupakan lingkungan edukatif dan transformasional yang mendukung pertumbuhan ruhani.¹⁰

Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī dalam al-Ḥikam menyatakan bahwa “tidaklah engkau melihat kebaikan dalam dirimu kecuali karena keberkahan pertemanan dengan orang-orang yang baik.”¹¹ Peran guru atau mursyid adalah memberikan bimbingan, koreksi, dan teladan konkret dalam perjalanan ruhani yang sering kali kompleks dan penuh jebakan ego.

5.6.       Mujālasah al-Nafs (Dialog Batin dan Perenungan Diri)

Beberapa ulama sufi klasik seperti Abū Ṭālib al-Makkī menekankan pentingnya mujālasah al-nafs, yaitu praktik kontemplatif untuk berdialog dengan diri sendiri, mengungkap motif tersembunyi, dan mengarahkan batin kepada Allah.¹² Hal ini dapat dilakukan melalui tafakur, yaitu perenungan mendalam terhadap ciptaan Allah, hikmah kehidupan, dan nasib akhir manusia.

5.7.       Istiqāmah dan Tazkiyah Berkelanjutan

Tazkiyatun nafs tidak akan bermakna tanpa istiqāmah, yakni keteguhan dalam menjalankan jalan kebenaran secara konsisten. Al-Qur’an memuji orang-orang yang istiqamah:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Fuṣṣilat [41] ayat 30).¹³

Istiqamah merupakan tantangan terbesar dalam tazkiyah, sebab hawa nafsu dan godaan dunia bersifat dinamis. Oleh karena itu, keberlanjutan dalam ibadah, pengawasan diri, dan lingkungan yang positif menjadi kunci agar penyucian jiwa tidak berhenti di tengah jalan.


Footnotes

[1]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 5:114–117.

[2]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 296.

[3]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:220–225.

[4]                The Qur’an, 315.

[5]                Al-Ghazālī, Iḥyā’, 4:6–9.

[6]                The Qur’an, 428.

[7]                Al-Ghazālī, Iḥyā’, 4:11.

[8]                The Qur’an, 249.

[9]                Abū al-Qāsim al-Junayd al-Baghdādī, dalam A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam (London: George Allen & Unwin, 1950), 71.

[10]             Muḥammad Zakariyya al-Kāndahlāwī, Fadhā’il al-A‘māl (Karachi: Dār al-Ishā‘at, 1997), 1:85–90.

[11]             Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah, ed. ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1980), 33.

[12]             Abū Ṭālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, ed. Maḥmūd bin al-Bishr (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 1:98–104.

[13]             The Qur’an, 318.


6.           Tazkiyatun Nafs dalam Kehidupan Kontemporer

Dalam konteks kehidupan kontemporer, tantangan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) tidak hanya berasal dari dalam diri manusia, tetapi juga dari lingkungan sosial, budaya, dan teknologi yang mempengaruhi orientasi moral dan spiritual. Di tengah era modern yang ditandai oleh hedonisme, materialisme, dan relativisme moral, tazkiyah bukan sekadar ajaran klasik, melainkan menjadi solusi transformatif untuk menjaga keutuhan fitrah manusia dan membangun kehidupan yang bermakna.

6.1.       Relevansi Tazkiyah di Tengah Krisis Spiritualitas Modern

Salah satu krisis terbesar di era modern adalah kekosongan spiritual (spiritual emptiness), yang muncul akibat dominasi pendekatan sekular dalam kehidupan. Manusia modern disibukkan oleh pencapaian material, tetapi kehilangan arah ruhani yang membimbing kehidupannya.² Hal ini menimbulkan fenomena stres eksistensial, alienasi sosial, dan meningkatnya gangguan kejiwaan seperti depresi dan kecemasan.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, hilangnya kesadaran transendental dalam peradaban modern telah menjauhkan manusia dari jati dirinya yang sejati sebagai makhluk spiritual. Ia menyebut bahwa tazkiyatun nafs adalah sarana untuk mengembalikan manusia kepada “Pusat Ilahi” yang menjadi sumber makna sejati.³

Dengan demikian, tazkiyah tidak hanya berfungsi untuk membentuk pribadi yang saleh, tetapi juga untuk memulihkan dimensi ruhani manusia yang rusak akibat kerusakan sistem nilai global.

6.2.       Tazkiyah sebagai Pilar Kesehatan Mental dan Emosional

Dalam berbagai kajian psikologi kontemporer, ditemukan bahwa praktik-praktik spiritual seperti meditasi, refleksi diri, dan pengampunan memiliki korelasi positif dengan kesehatan mental.⁴ Dalam tradisi Islam, tazkiyatun nafs mencakup semua unsur tersebut dalam bingkai tauhid dan ibadah yang autentik.

Muhammad Uthman Najati, seorang pakar psikologi Islam, menyatakan bahwa tazkiyah berperan penting dalam stabilitas kejiwaan karena ia mengarahkan manusia untuk berdamai dengan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.⁵ Dzikir, shalat, dan muhasabah tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga terapi ruhani yang efektif untuk menyembuhkan luka batin dan gangguan psikologis.

Dengan berkembangnya pendekatan Islamic psychology dewasa ini, tazkiyatun nafs semakin diakui sebagai pendekatan integral terhadap penyembuhan mental dan penguatan karakter.

6.3.       Implementasi Tazkiyah dalam Pendidikan Islam

Salah satu medan strategis dalam menerapkan tazkiyah secara sistematis adalah pendidikan Islam. Sejak masa klasik, para ulama telah memandang bahwa tujuan pendidikan bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga mentransformasikan kepribadian melalui penyucian jiwa dan pembentukan akhlak mulia.⁶

Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menekankan bahwa pendidikan yang tidak berujung pada tazkiyah hanyalah pelatihan verbal tanpa hakikat.⁷ Dalam konteks modern, kurikulum pendidikan Islam perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip tazkiyah secara eksplisit, seperti latihan muhasabah, pembiasaan ibadah, serta penguatan nilai-nilai kejujuran, kesabaran, dan empati.

Lembaga pendidikan yang mempraktikkan pendidikan ruhani—bukan sekadar akademik atau moral—akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga bersih hatinya dan lurus amalnya.

6.4.       Peran Tazkiyah dalam Keluarga dan Masyarakat

Tazkiyatun nafs bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga harus menjadi nilai kolektif dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga merupakan madrasah pertama tempat nilai-nilai tazkiyah ditanamkan, melalui keteladanan orang tua dalam ibadah, kesabaran, dan akhlak.

Di tingkat sosial, tazkiyah dapat menjadi landasan dalam membangun masyarakat yang harmonis, berkeadilan, dan bebas dari penyakit hati kolektif seperti korupsi, permusuhan, dan permusuhan berbasis fanatisme kelompok. Seorang tokoh pendidikan Islam kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebut bahwa “pembersihan jiwa adalah syarat mutlak bagi terbangunnya adab dalam masyarakat.”⁸

Oleh karena itu, gerakan tazkiyah harus ditopang oleh institusi yang mendukung, termasuk masjid, majelis taklim, media dakwah, dan program-program pembinaan karakter di ruang publik.

6.5.       Tantangan Global dan Urgensi Tazkiyah

Di tengah derasnya arus globalisasi, media digital, dan budaya konsumerisme, umat Islam menghadapi tantangan besar dalam menjaga kemurnian hati dan orientasi hidupnya. Platform digital yang terbuka menghadirkan godaan masif terhadap syahwat dan syubhat, menjadikan tazkiyah sebagai benteng terakhir untuk menjaga integritas moral.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn al-Qayyim, tazkiyah adalah jihad internal yang lebih berat daripada jihad fisik, karena ia berlangsung sepanjang waktu dan tak terlihat oleh mata manusia.⁹ Oleh karena itu, umat Islam kontemporer harus membangun kesadaran kolektif bahwa tazkiyatun nafs bukan pilihan opsional, melainkan kewajiban eksistensial.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 24–27.

[2]                Ziauddin Sardar, Postmodernism and the Other: The New Imperialism of Western Culture (London: Pluto Press, 1998), 134.

[3]                Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism (New York: HarperOne, 2007), 118–122.

[4]                Harold G. Koenig, Medicine, Religion and Health: Where Science and Spirituality Meet (West Conshohocken: Templeton Foundation Press, 2008), 87–90.

[5]                Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 92–96.

[6]                Rosnani Hashim and Wan Mohd Nor Wan Daud, The Integrated Curriculum for Secondary Schools in Malaysia: Philosophy, Concepts and Implementation (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 45–50.

[7]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1:35–36.

[8]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 45–48.

[9]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:201–205.


7.           Perbandingan dengan Konsep Penyucian Diri dalam Tradisi Lain

Konsep penyucian diri merupakan tema universal yang hadir dalam hampir semua tradisi religius dan filosofis. Meskipun terminologi dan kerangka metafisiknya berbeda, upaya memperbaiki batin, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada realitas transenden merupakan benang merah yang menghubungkan berbagai sistem spiritual dunia. Bagian ini membandingkan konsep tazkiyatun nafs dalam Islam dengan ajaran-ajaran serupa dalam tradisi Yunani Kuno, Kristen, Hindu, dan Buddhis, guna memahami karakteristik unik serta titik temu universal dari ajaran penyucian jiwa.

7.1.       Filsafat Yunani: Katharsis dan Penguasaan Diri

Dalam filsafat Yunani, terutama dalam pemikiran Plato dan Aristoteles, terdapat konsep katharsis (κάθαρσις) yang berarti “pembersihan” atau “pemurnian”, terutama dari dorongan emosional yang tidak terkendali.¹ Bagi Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga bagian: rasional (logos), berani (thymos), dan nafsu (epithymia). Jiwa yang sempurna adalah jiwa yang diatur oleh akal, dan penyucian berarti menundukkan nafsu serta membina akhlak melalui filsafat dan pendidikan.²

Konsep ini sejalan secara umum dengan tazkiyah, yang juga memandang bahwa nafs perlu dikendalikan agar jiwa dapat kembali kepada fitrah. Namun, perbedaan mendasar terletak pada orientasi transendental: tazkiyatun nafs adalah proses yang bersumber dari wahyu dan ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah, bukan semata-mata kebijaksanaan rasional atau harmoni internal.³

7.2.       Tradisi Kristiani: Purification of the Soul

Dalam ajaran Kristen, khususnya dalam tradisi Katolik dan Ortodoks Timur, penyucian diri dikenal melalui konsep purification of the soul, yang merupakan bagian dari perjalanan menuju penyatuan dengan Tuhan (theosis). Melalui doa, penyesalan (contrition), sakramen pengakuan dosa, serta praktik asketisme, jiwa dibersihkan dari dosa dan disiapkan untuk hidup kudus.⁴

Santo Yohanes dari Salib (John of the Cross), seorang mistikus Katolik, mengajarkan tentang “Dark Night of the Soul”, yaitu kondisi spiritual yang penuh penderitaan tetapi perlu dilalui dalam rangka pemurnian jiwa.⁵ Ini mirip dengan mujāhadah dalam tazkiyah, yaitu perjuangan berat melawan diri sendiri demi mendekat kepada Tuhan.

Namun, dalam tradisi Kristiani, penekanan sering kali lebih kuat pada aspek rahmat (grace) sebagai faktor penentu penyucian, sementara Islam lebih menekankan keseimbangan antara ikhtiar dan taufīq.⁶

7.3.       Hindu: Atman, Yoga, dan Jalan Pembebasan

Dalam tradisi Hindu, penyucian diri berkaitan erat dengan konsep moksha (pembebasan) dan penyatuan antara ātman (jiwa individu) dan Brahman (realitas absolut). Penyucian dicapai melalui berbagai jalur spiritual, seperti karma yoga (jalan pengabdian melalui amal), jñāna yoga (jalan pengetahuan), dan bhakti yoga (jalan cinta kepada Tuhan).⁷

Praktik-praktik seperti meditasi, pengendalian indera, dan penolakan terhadap keinginan duniawi merupakan bagian integral dari upaya menyucikan batin dan melepaskan diri dari siklus kelahiran kembali (samsara).⁸

Konsep-konsep ini memiliki kesamaan dalam hal disiplin spiritual dan pengendalian hawa nafsu, namun berbeda secara teologis. Tazkiyatun nafs tidak bertujuan untuk menyatu dengan Tuhan secara esensial, melainkan untuk mendekatkan diri dalam kerangka penghambaan yang tetap mempertahankan perbedaan ontologis antara hamba dan Khalik.⁹

7.4.       Buddhisme: Nirvana dan Pembersihan Kilesa (Noda Batin)

Dalam ajaran Buddhis, terutama dalam aliran Theravāda, penyucian jiwa berkaitan dengan pencapaian nirvāṇa, yaitu pembebasan total dari penderitaan dan lingkaran kelahiran kembali. Untuk mencapainya, seseorang harus membersihkan batin dari kilesa (noda-noda seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan).¹⁰

Melalui praktik meditasi, penyadaran diri (mindfulness), dan jalan berunsur delapan (Eightfold Path), seorang praktisi Buddhis melatih diri untuk mencapai kesadaran murni dan kebebasan batin.¹¹

Dalam tazkiyatun nafs, penyucian juga dilakukan melalui disiplin diri, kesadaran (murāqabah), dan pembinaan moral. Namun, perbedaannya terletak pada landasan metafisik: Islam memandang eksistensi akhirat sebagai kelanjutan kehidupan, bukan pelepasan total dari eksistensi seperti dalam konsep nirvāṇa.¹²

7.5.       Kesamaan dan Perbedaan Prinsipil

Meski berakar dari kerangka teologis yang berbeda, konsep penyucian diri dalam tradisi-tradisi di atas menunjukkan beberapa kesamaan prinsipil, antara lain:

·                     Perlunya pengendalian hawa nafsu

·                     Pentingnya disiplin spiritual dan etika

·                     Proses yang bertahap dan berkelanjutan

·                     Tujuan untuk mencapai kebebasan batin atau kedekatan dengan realitas transenden

Namun, terdapat perbedaan prinsipil dalam hal tujuan akhir, epistemologi (wahyu vs. spekulasi), dan relasi antara manusia dan Tuhan. Tazkiyatun nafs berakar pada tauhid, dengan orientasi menuju keridhaan Allah melalui penghambaan yang sadar dan bermakna.¹³


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 42–45.

[2]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 439–441.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 105–110.

[4]                Bernard McGinn, The Foundations of Mysticism: Origins to the Fifth Century (New York: Crossroad, 1991), 211–213.

[5]                John of the Cross, The Dark Night of the Soul, trans. Mirabai Starr (New York: Riverhead Books, 2002), 57–60.

[6]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1:38.

[7]                Radhakrishnan, Sarvepalli. The Hindu View of Life (New York: Macmillan, 1963), 32–35.

[8]                Gavin Flood, An Introduction to Hinduism (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 84–88.

[9]                Al-Shahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1992), 2:251.

[10]             Bhikkhu Bodhi, In the Buddha’s Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon (Boston: Wisdom Publications, 2005), 107–110.

[11]             Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 49–55.

[12]             Muhammad Uthman Najati, Psychology in the Light of Islamic Teachings (Jeddah: I.I.F.S.O., 1980), 103–107.

[13]             Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism (New York: HarperOne, 2007), 118–123.


8.           Tantangan dan Penyimpangan dalam Praktik Tazkiyah

Meskipun tazkiyatun nafs merupakan inti dari ajaran Islam yang luhur, dalam praktiknya tidak jarang mengalami tantangan dan penyimpangan, baik pada tingkat individu maupun kelembagaan. Penyimpangan tersebut dapat berupa kesalahan metodologis, manipulasi spiritual, hingga penyelewengan teologis. Oleh karena itu, pemahaman yang lurus terhadap prinsip-prinsip tazkiyah sebagaimana dicontohkan Nabi Saw dan para ulama Ahlus Sunnah sangat penting agar proses penyucian jiwa tetap berada di atas manhaj yang benar.

8.1.       Tantangan Internal: Ego Rohani dan Kelalaian Niat

Salah satu tantangan utama dalam tazkiyah adalah ego spiritual (al-kibr al-rūḥānī)—yakni perasaan lebih suci, lebih mulia, atau lebih dekat dengan Allah dibandingkan orang lain karena amal ibadah atau pengalaman spiritual.¹ Al-Ghazālī memperingatkan bahwa setan mampu menipu orang yang sudah beramal dengan menanamkan rasa bangga terhadap amalnya, yang pada akhirnya justru merusak amal itu sendiri.²

Niat yang tidak lurus juga menjadi masalah besar. Banyak orang terjebak dalam riya’ (pamer) dan ujub (kagum pada diri sendiri) saat menjalankan ibadah-ibadah tazkiyah. Oleh karena itu, muhāsabah al-niyyah (introspeksi niat) harus menjadi fondasi setiap amal spiritual.³

8.2.       Penyimpangan Metodologis: Ghuluw dan Penyimpangan Tasawuf

Dalam sejarah Islam, terdapat kelompok-kelompok yang melampaui batas dalam praktik tazkiyah, seperti mengklaim bisa mencapai maqam fanā’ (lenyapnya diri) dan ittihād (penyatuan dengan Tuhan) secara harfiah, sebagaimana ditemukan dalam sebagian aliran ekstrem tasawuf.⁴

Ibn Taymiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan tegas mengkritik klaim-klaim seperti itu sebagai penyimpangan yang tidak sesuai dengan tauhid dan syariat.⁵ Menurut mereka, penghayatan spiritual sejati tetap harus tunduk pada batasan-batasan syariat dan tidak boleh keluar dari ajaran Rasulullah Saw.

Penyimpangan ini kadang muncul karena praktik tazkiyah yang tidak berbasis ilmu atau tidak dibimbing oleh guru yang berkompeten dan lurus aqidahnya. Dalam hal ini, Al-Ghazālī menekankan pentingnya ‘ālim rabbānī—seorang pembimbing yang tidak hanya berilmu tetapi juga warak dan berakhlak.⁶

8.3.       Komersialisasi dan Eksploitasi Spiritualitas

Dalam masyarakat kontemporer, tantangan serius lainnya adalah komersialisasi ajaran spiritual, termasuk tazkiyatun nafs. Fenomena ini terlihat dalam bentuk pelatihan spiritual berbayar, penggunaan istilah sufistik dalam industri motivasi tanpa kedalaman makna, serta klaim-klaim keilmuan atau kewalian tanpa sanad dan legitimasi ulama.⁷

Syed Muhammad Naquib al-Attas memperingatkan bahwa de-sakralisasi konsep-konsep spiritual dalam Islam merupakan bagian dari agenda sekularisme dan reduksi spiritualitas menjadi sekadar alat manajemen diri atau produktivitas duniawi.⁸ Ini bertentangan dengan ruh tazkiyah yang sejati, yang berorientasi pada keridhaan Allah dan keselamatan akhirat, bukan kemapanan psikologis semata.

8.4.       Kurangnya Pemahaman Ilmiah terhadap Konsep Tazkiyah

Di banyak kalangan, tazkiyah sering dipahami secara sempit sebagai sekadar dzikir, wirid, atau ritual tertentu, tanpa menyadari bahwa ia merupakan proses holistik yang mencakup akidah, akhlak, muamalah, dan ibadah.⁹

Kurangnya pengajaran sistematis tentang tazkiyatun nafs dalam kurikulum pendidikan Islam juga memperparah problem ini. Konsekuensinya, banyak orang menjalankan ibadah tanpa pemahaman ruhani, atau sebaliknya, mencari pengalaman ruhani tanpa akar keilmuan.

Imam Malik bin Anas pernah berkata:

مَن تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَن تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَن جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.

"Barang siapa yang bertasawuf tanpa ilmu fikih, maka ia menjadi zindik. Dan barang siapa yang berilmu fikih tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasik. Dan barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia menjadi orang yang benar."¹⁰

8.5.       Jalan Tengah Ahlus Sunnah: Tazkiyah yang Terbimbing

Sebagai respons terhadap berbagai tantangan tersebut, para ulama Ahlus Sunnah telah menetapkan prinsip-prinsip dasar untuk menjaga keabsahan tazkiyah, di antaranya:

·                     Tazkiyah harus berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah

·                     Dibimbing oleh guru yang memiliki sanad keilmuan yang sahih

·                     Tidak keluar dari batas akidah tauhid dan hukum syariat

·                     Dijiwai oleh niat ikhlas dan kehambaan total kepada Allah

Dengan prinsip-prinsip ini, tazkiyatun nafs akan tetap menjadi sarana penyucian batin yang benar, bukan alat kekuasaan, eksklusivitas spiritual, atau manipulasi massa.


Footnotes

[1]                Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah, ed. ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1980), 71.

[2]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:52–55.

[3]                Ibid., 3:58.

[4]                Abū al-Futūḥ al-Tā’ī, al-Tasawwuf al-Islāmī, ed. Sa‘īd Ḥijāzī (Cairo: Maktabah Wahbah, 1998), 201–203.

[5]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:140–150.

[6]                Al-Ghazālī, Iḥyā’, 3:64–66.

[7]                Zain al-‘Abidin Bagir, Spiritualisme dan Krisis Modernitas (Yogyakarta: Mizan, 2000), 93–95.

[8]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 123–127.

[9]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhū‘ī atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 222–225.

[10]             Dikutip dalam Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Alī ‘Abd al-Wāḥid Wāfī (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), 448.


9.           Penutup

Tazkiyatun nafs merupakan inti dari proyek spiritual Islam yang tidak hanya bersifat individu, tetapi juga berdampak kolektif terhadap kualitas kehidupan umat. Sebagai proses penyucian dan pengembangan jiwa, tazkiyah memainkan peran krusial dalam membentuk pribadi Muslim yang sehat secara spiritual, etis secara moral, dan utuh secara kemanusiaan. Ia adalah jantung dari seluruh amal ibadah dan akhlak, serta menjadi fondasi bagi relasi manusia dengan Allah, sesama makhluk, dan dirinya sendiri.¹

Seperti yang telah diuraikan, landasan tazkiyatun nafs bersumber langsung dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, diperkuat oleh warisan pemikiran ulama klasik seperti al-Ghazālī dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, serta dimaknai ulang dalam konteks kontemporer sebagai solusi terhadap krisis spiritual, etika, dan psikososial yang melanda umat manusia.²

Dalam dunia modern yang sarat dengan gempuran ideologi sekular, relativisme moral, dan alienasi spiritual, tazkiyatun nafs tidak hanya relevan, tetapi justru semakin mendesak. Ia bukan sekadar ajaran tasawuf atau etika pribadi, tetapi sebuah sistem pembinaan karakter dan peneguhan identitas ruhani yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: dari pendidikan dan keluarga, hingga politik dan ekonomi.³

Akan tetapi, praktik tazkiyah juga menghadapi tantangan signifikan, baik dalam bentuk penyimpangan teologis dan metodologis, maupun dalam bentuk banalitas spiritual yang menjadikan konsep ini sebagai komoditas atau klaim eksklusif tanpa landasan ilmiah dan akhlak. Oleh karena itu, revitalisasi tazkiyatun nafs harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah, komprehensif, dan sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

"Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, (9) dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya, (10)" (QS. Asy-Syams [91] ayat 9–10).⁴

Ayat ini menjadi panggilan abadi bagi setiap Muslim untuk menjadikan tazkiyah sebagai jihad terbesar dalam hidupnya.⁵ Sebab, keberhasilan dalam tazkiyatun nafs bukan hanya menentukan kualitas hidup di dunia, tetapi juga menjadi penentu utama keselamatan di akhirat.

Penanaman nilai-nilai tazkiyah dalam pendidikan, keluarga, institusi dakwah, dan ruang publik harus dijadikan sebagai prioritas strategis dalam membangun peradaban Islam yang beradab (madani) dan berjiwa luhur. Sebab, peradaban yang agung tidak lahir dari kemajuan materi, tetapi dari kejernihan hati dan keteguhan akhlak.

Dengan demikian, tazkiyatun nafs harus dipahami bukan hanya sebagai konsep teologis, tetapi sebagai proyek peradaban, sebagai jalan pengembalian manusia kepada fitrahnya, dan sebagai usaha menyeluruh dalam membumikan nilai-nilai Ilahiyah dalam realitas dunia yang sementara ini.


Footnotes

[1]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 3:45–49.

[2]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Sālikīn, ed. Muhammad al-Kandahlawi (Cairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 1:140–145.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 78–81.

[4]                The Qur’an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 434.

[5]                Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Jihād, Bāb 1: "Afdhal al-jihād man jāhada nafsah fi ta‘at Allāh."


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Baghdādī, A. al-Q. al-J. (1950). Sufism: An account of the mystics of Islam (A. J. Arberry, Trans.). London: George Allen & Unwin.

Al-Ghazālī, A. Ḥ. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (B. Ṭabānah, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Makkī, A. Ṭ. (1995). Qūt al-qulūb (M. bin al-Bishr, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Shahrastānī, M. A. F. (1992). Al-milal wa al-niḥal (M. S. Kailani, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Al-Ṭabarī, A. J. (2000). Jāmi‘ al-bayān fī ta’wīl āy al-Qur’ān (M. Shākir, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Bagir, Z. A. (2000). Spiritualisme dan krisis modernitas. Yogyakarta: Mizan.

Bodhi, B. (2005). In the Buddha’s words: An anthology of discourses from the Pali Canon. Boston: Wisdom Publications.

Flood, G. (1996). An introduction to Hinduism. Cambridge: Cambridge University Press.

Grube, G. M. A. (Trans.). (1992). Plato: The Republic. Indianapolis: Hackett Publishing.

Haleem, M. A. S. A. (Trans.). (2004). The Qur’an. Oxford: Oxford University Press.

Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī. (1980). Al-ḥikam al-‘Aṭā’iyyah (‘A. Ḥ. Maḥmūd, Ed.). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Ibn Khaldūn. (2004). Al-muqaddimah (‘A. ‘A. W. Wāfī, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2003). Madarij al-sālikīn (M. al-Kandahlawi, Ed.). Cairo: Dār al-Ḥadīth.

John of the Cross. (2002). The dark night of the soul (M. Starr, Trans.). New York: Riverhead Books.

Koenig, H. G. (2008). Medicine, religion and health: Where science and spirituality meet. West Conshohocken: Templeton Foundation Press.

McGinn, B. (1991). The foundations of mysticism: Origins to the fifth century. New York: Crossroad.

Najati, M. U. (1980). Psychology in the light of Islamic teachings. Jeddah: International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO).

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago: ABC International Group.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York: HarperOne.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton: Princeton University Press.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. New York: Grove Press.

Radhakrishnan, S. (1963). The Hindu view of life. New York: Macmillan.

Sardar, Z. (1998). Postmodernism and the other: The new imperialism of Western culture. London: Pluto Press.

Shihab, M. Q. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhū‘ī atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

Wan Daud, W. M. N., & Hashim, R. (1992). The integrated curriculum for secondary schools in Malaysia: Philosophy, concepts and implementation. Kuala Lumpur: ISTAC.

Wehr, H. (1976). A dictionary of modern written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Ithaca: Spoken Language Services.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar