Kamis, 05 Juni 2025

Membela Palestina: Kekejaman yang Banal, Kehilangan Politik, dan Hak untuk Memiliki Hak

Membela Palestina

Kekejaman yang Banal, Kehilangan Politik, dan Hak untuk Memiliki Hak


Alihkan ke: Pemikiran Hannah Arendt.


Abstrak

Artikel ini menganalisis tragedi kemanusiaan yang dialami oleh rakyat Palestina dengan menggunakan pendekatan filosofis dari pemikiran Hannah Arendt. Melalui konsep-konsep kunci seperti totalitarianisme, banality of evil, statelessness, the right to have rights, dan natality, artikel ini membongkar struktur kekuasaan yang memungkinkan terjadinya kekejaman sistemik terhadap Palestina dan membedah pembiaran moral komunitas internasional atas kekerasan tersebut. Arendt mengajarkan bahwa kekuasaan totaliter berupaya menghapus pluralitas dan kebebasan, sedangkan banality of evil menjelaskan bagaimana kekerasan dapat berlangsung melalui rutinitas birokratis tanpa refleksi moral. Konsep statelessness menjelaskan kondisi politik rakyat Palestina yang kehilangan perlindungan hukum dan pengakuan internasional, sementara the right to have rights menekankan pentingnya komunitas politik dalam menjamin eksistensi manusia. Akhirnya, melalui natality, dibuka harapan baru akan munculnya politik solidaritas global sebagai respons terhadap penderitaan dan penyingkiran. Artikel ini menegaskan bahwa membela Palestina bukan hanya tindakan politis, tetapi juga kewajiban moral untuk menolak genosida dan membangun kembali dunia bersama yang berlandaskan pluralitas, tanggung jawab, dan keadilan.

Kata Kunci: Hannah Arendt; Palestina; genosida; totalitarianisme; statelessness; hak asasi manusia; solidaritas global; banality of evil; politik natalitas; tanggung jawab internasional.


PEMBAHASAN

Membela Palestina dari Genosida dalam Perspektif Hannah Arendt


1.           Pendahuluan: Menilik Tragedi Palestina melalui Lensa Arendt

Tragedi yang menimpa rakyat Palestina sejak pertengahan abad ke-20 hingga hari ini bukan sekadar konflik politik atau pertikaian etnis, melainkan sebuah bentuk dehumanisasi sistemik yang mengancam eksistensi kolektif suatu bangsa. Di tengah eskalasi kekerasan, blokade, dan disrupsi kehidupan sipil, muncul kebutuhan mendesak untuk membingkai kembali penderitaan rakyat Palestina tidak hanya dalam istilah geopolitik dan hukum internasional, tetapi juga dalam horizon filsafat politik yang lebih dalam. Di sinilah pemikiran Hannah Arendt—filsuf politik Yahudi-Jerman yang mengalami langsung kekejaman totalitarianisme dan status sebagai pengungsi tanpa negara—menyediakan kerangka konseptual yang tajam dan relevan.

Hannah Arendt dikenal luas melalui karyanya The Origins of Totalitarianism (1951), di mana ia menelaah secara mendalam bagaimana kekuasaan modern dapat berkembang menjadi sistem yang tidak hanya menindas tetapi juga menghancurkan keunikan manusia melalui logika totalisasi dan penyingkiran politik.1 Arendt juga memperkenalkan gagasan radikal mengenai “the right to have rights”, yaitu hak dasar bagi setiap manusia untuk memiliki hak, yang menurutnya hanya bisa dijamin melalui keikutsertaan dalam komunitas politik yang sah.2 Dalam konteks ini, penderitaan rakyat Palestina mencerminkan bentuk paling ekstrem dari kehilangan politik: mereka menjadi stateless—tidak hanya dalam arti legal-formal, tetapi juga dalam makna eksistensial, sebagai manusia yang disingkirkan dari ruang dunia tempat tindakan dan suara mereka bisa bermakna.

Lebih dari itu, pendekatan Arendt terhadap kekerasan negara tidak berhenti pada analisis legal-formal, tetapi menyelami dimensi etis dan struktural kekejaman yang beroperasi dalam bentuknya yang paling biasa dan rutin. Dalam Eichmann in Jerusalem (1963), Arendt menciptakan istilah banality of evil untuk menggambarkan bagaimana kekejaman dapat dilakukan oleh individu biasa dalam sistem yang menghilangkan refleksi moral dan menjadikan ketaatan birokratis sebagai nilai utama.3 Konsep ini sangat penting untuk memahami bagaimana kekerasan terhadap warga Palestina dapat dijustifikasi melalui wacana administratif, retorika keamanan, dan kerangka hukum yang dibentuk oleh kekuatan kolonial modern.

Realitas kontemporer menunjukkan bahwa penderitaan Palestina bukanlah akibat konflik yang simetris, tetapi hasil dari relasi kekuasaan yang timpang, di mana satu pihak menguasai secara militer, ekonomi, dan diplomatik, sementara pihak lain kehilangan ruang hidup, institusi politik, bahkan pengakuan eksistensial. Ini bukan hanya isu Palestina, tetapi ujian bagi kemanusiaan global untuk tidak mengulangi pembiaran moral yang pernah terjadi terhadap korban-korban totalitarianisme abad ke-20.

Maka, melalui lensa Arendt, tragedi Palestina bukan hanya masalah “hak-hak yang dilanggar”, tetapi adalah bentuk paling radikal dari penghapusan diri politik (political selfhood). Dengan menghidupkan kembali pemikiran Arendt, tulisan ini berupaya menegaskan kembali nilai pluralitas, tanggung jawab politik, dan harapan akan kebaruan dunia (natality)—sebuah harapan bahwa dunia masih dapat dimulai ulang dengan keadilan dan keberanian untuk bertindak.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 290–295.

[2]                Ibid., 296–297. Lihat juga Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 55–58.

[3]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 135–137.


2.           Konsep-Konsep Kunci Hannah Arendt dan Relevansinya bagi Palestina

Pemikiran Hannah Arendt dibangun dari refleksi filosofis yang mendalam atas pengalaman kekejaman politik pada abad ke-20, khususnya fenomena totalitarianisme, Holocaust, dan nasib para pengungsi tanpa negara. Konsep-konsep kunci yang dirumuskannya bukan sekadar kritik historis terhadap Nazi Jerman atau Stalinisme, melainkan juga landasan normatif untuk memahami dan membela martabat manusia di tengah ancaman kekuasaan yang melampaui batas. Dalam konteks perjuangan rakyat Palestina, konsep-konsep seperti totalitarianisme, banality of evil, statelessness, the right to have rights, dan natality menjadi sangat relevan untuk membongkar struktur kekerasan yang dialami dan membayangkan kemungkinan pembebasan politik yang lebih manusiawi.

2.1.       Totalitarianisme: Logika Penghapusan Keberagaman

Dalam The Origins of Totalitarianism, Arendt menjelaskan bahwa kekuasaan totaliter berusaha menghapus pluralitas manusia dan menjadikan semua individu tunduk pada logika ideologis yang menyeluruh dan absolut.1 Sistem semacam ini tidak hanya membatasi kebebasan, tetapi secara aktif menghancurkan kapasitas manusia untuk berpikir dan bertindak secara independen. Dalam konteks Palestina, dominasi kolonial yang dilanggengkan oleh pendudukan, segregasi spasial, dan kontrol militer dapat dibaca sebagai bentuk modern dari kekuasaan totaliter yang menolak eksistensi kolektif rakyat Palestina sebagai subjek politik yang otonom.

2.2.       The Banality of Evil: Kekejaman yang Biasa dan Sistemik

Konsep banality of evil muncul dalam karya Arendt Eichmann in Jerusalem, sebagai hasil pengamatannya terhadap proses peradilan Adolf Eichmann, pejabat Nazi yang memainkan peran sentral dalam pelaksanaan Holocaust. Arendt menggambarkan bahwa Eichmann bukanlah monster psikopat, melainkan seorang birokrat biasa yang menjalankan tugas tanpa refleksi moral terhadap akibat dari tindakannya.2 Dalam kasus Palestina, logika kekejaman yang banal ini tampak dalam kebijakan militer dan administratif yang mengakibatkan kematian, pengusiran, dan penghancuran hidup warga sipil, sambil dibenarkan atas nama “prosedur keamanan” atau “hukum negara.” Kekerasan menjadi rutin, dilembagakan, dan kehilangan dimensi etisnya.

2.3.       Statelessness: Ketelanjangan Manusia tanpa Proteksi Politik

Arendt mengalami sendiri status sebagai orang tanpa negara (stateless person) setelah melarikan diri dari Jerman Nazi. Ia menunjukkan bahwa manusia tanpa kewarganegaraan tidak hanya kehilangan hak-hak sipil, tetapi juga kehilangan tempat dalam dunia, yaitu dunia politik tempat mereka bisa didengar dan diakui.3 Rakyat Palestina yang diusir dari tanah airnya, hidup di pengungsian, atau di bawah kekuasaan militer tanpa hak politik, mengalami realitas statelessness ini dalam bentuk yang paling konkret dan sistemik. Mereka menjadi “telanjang secara politik”, terpapar kekuasaan tanpa perlindungan.

2.4.       The Right to Have Rights: Dasar Etis Hak Asasi Manusia

Salah satu pemikiran Arendt yang paling berpengaruh adalah gagasan tentang the right to have rights, yaitu hak fundamental untuk menjadi bagian dari komunitas politik yang menjamin eksistensi hak-hak lainnya.4 Ia mengkritik pendekatan universalistis yang menganggap hak asasi sebagai sesuatu yang melekat pada individu secara abstrak, karena dalam praktiknya hak hanya efektif ketika seseorang diakui oleh komunitas politik. Rakyat Palestina yang tidak diakui sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, mengalami bentuk paling akut dari kehilangan hak ini. Tanpa negara, tanpa perlindungan hukum yang efektif, mereka ditolak dari sistem hak global.

2.5.       Natality: Harapan akan Permulaan yang Baru

Berbeda dari banyak filsuf politik lainnya, Arendt menempatkan natality—kemampuan manusia untuk memulai sesuatu yang baru—sebagai inti dari tindakan politik.5 Ia melihat politik bukan sebagai reproduksi kekuasaan lama, tetapi sebagai kemungkinan kelahiran dunia baru melalui kebebasan, inisiatif, dan pluralitas. Dalam konteks Palestina, natality menjadi simbol harapan: bahwa meskipun rakyat Palestina mengalami penjajahan, pengusiran, dan kekerasan, mereka tetap mampu melahirkan bentuk-bentuk baru dari eksistensi politik melalui solidaritas, perjuangan damai, dan artikulasi identitas kolektif.


Dengan mengintegrasikan konsep-konsep tersebut, kita dapat membaca tragedi Palestina bukan sekadar sebagai isu kemanusiaan, melainkan sebagai penyangkalan terhadap dasar-dasar kehidupan politik yang memungkinkan keberadaan manusia sebagai makhluk yang setara, plural, dan mampu bertindak. Membela Palestina, dalam kerangka Arendt, berarti membela kemanusiaan itu sendiri—menolak banalitas kekerasan, mengakui hak untuk memiliki hak, dan membuka ruang bagi kelahiran politik yang lebih adil.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 461–474.

[2]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 287–289.

[3]                Ibid., Origins of Totalitarianism, 292–294; Giorgio Agamben juga mengembangkan kritik ini dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (Stanford: Stanford University Press, 1998), 128–134.

[4]                Arendt, Origins of Totalitarianism, 296; lihat juga Ayten Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights (Oxford: Oxford University Press, 2015), 72–75.

[5]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–179.


3.           Palestina sebagai “Bangsa Tanpa Status”: Aplikasi Konsep Statelessness

Konsep statelessness dalam pemikiran Hannah Arendt mencerminkan pengalaman historis para pengungsi Yahudi yang diasingkan dari komunitas politik mereka selama era totalitarianisme di Eropa. Dalam The Origins of Totalitarianism, Arendt menyoroti nasib para individu yang kehilangan status kewarganegaraan dan dengan itu juga kehilangan perlindungan hukum serta pengakuan politik atas keberadaan mereka sebagai manusia yang setara1. Bagi Arendt, orang yang stateless bukan hanya kehilangan hak sipil, tetapi juga kehilangan tempat di dunia di mana hak-hak tersebut dapat diklaim dan dijamin secara efektif2.

Konsep ini secara langsung relevan dengan tragedi rakyat Palestina yang, sejak 1948, mengalami bentuk paling nyata dari statelessness. Pengusiran massal warga Palestina (al-Nakba), pendudukan wilayah oleh Israel, dan fragmentasi teritorial yang menciptakan kondisi hidup tidak stabil telah melahirkan generasi demi generasi tanpa status politik yang pasti. Jutaan warga Palestina hidup sebagai pengungsi di kamp-kamp di Yordania, Lebanon, dan Suriah—tidak diakui sebagai warga negara oleh negara-negara tersebut dan juga tidak oleh Israel. Bahkan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, otoritas politik yang tersedia (seperti Otoritas Palestina) tidak memiliki kedaulatan penuh dan tidak mampu memberikan perlindungan yang dijamin oleh struktur negara nasional yang merdeka3.

Dalam kerangka Arendtian, ini bukan hanya permasalahan hukum atau administratif, tetapi perampasan eksistensial atas hak untuk menjadi seseorang di dunia (the right to have rights)4. Ketika warga Palestina tidak diakui sebagai bagian dari komunitas politik internasional yang sah, mereka tidak hanya kehilangan akses ke pengadilan, sistem pendidikan, dan pekerjaan, tetapi juga hak untuk berbicara, bertindak, dan diakui sebagai subjek politik yang sah. Mereka berada dalam kondisi yang Arendt sebut sebagai “telanjang secara politik” (naked in their humanity), di mana mereka dilihat bukan sebagai warga negara dengan hak, tetapi sebagai massa tanpa proteksi yang sah dari kekuasaan.

Lebih jauh lagi, Arendt memperingatkan bahwa masyarakat internasional sering kali gagal memahami bahwa hak asasi manusia hanya bermakna jika dijamin oleh komunitas politik konkret. Tanpa kerangka negara, deklarasi hak-hak universal tidak dapat berfungsi karena tidak ada institusi yang dapat menegakkannya5. Dalam kasus Palestina, meskipun berbagai resolusi PBB telah dikeluarkan untuk mengakui hak-hak rakyat Palestina, implementasi dari hak-hak tersebut tetap tidak efektif karena tidak ada sistem politik global yang mampu memaksakan pengakuan tersebut kepada kekuatan pendudukan.

Contoh paling mencolok dari statelessness adalah ketidakmampuan rakyat Palestina untuk bepergian bebas, mengakses layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas, serta membangun kehidupan ekonomi yang stabil. Bahkan identitas mereka ditentukan oleh klasifikasi administratif yang rumit: kartu pengungsi UNRWA, izin tinggal dari Israel, dokumen pengungsi dari negara-negara Arab, atau kewarganegaraan terbatas. Semua ini mengindikasikan kondisi Arendtian di mana rakyat Palestina tidak memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri karena mereka tidak diakui sebagai bagian dari komunitas politik manapun yang efektif.

Oleh karena itu, dalam kerangka pemikiran Arendt, tragedi Palestina bukan sekadar konflik teritorial atau agama, tetapi penghilangan politik—sebuah proyek yang mencabut kapasitas rakyat Palestina untuk hadir sebagai zoon politikon, makhluk politik yang setara di mata dunia. Konsekuensinya sangat serius: selama rakyat Palestina tetap dalam kondisi stateless, mereka akan terus menjadi korban dari logika kekuasaan yang menyingkirkan, membungkam, dan pada akhirnya membenarkan kekejaman terhadap mereka sebagai sesuatu yang sah.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 277–302.

[2]                Ibid., 296.

[3]                Rashid Khalidi, The Hundred Years' War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017 (New York: Metropolitan Books, 2020), 186–189.

[4]                Arendt, Origins of Totalitarianism, 296–297; lihat juga Ayten Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights (Oxford: Oxford University Press, 2015), 58–62.

[5]                Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 50–54.


4.           Banalitas Kekejaman: Pembiaran Dunia atas Kekerasan terhadap Palestina

Dalam karya monumentalnya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, Hannah Arendt memperkenalkan konsep “banality of evil” untuk menggambarkan bagaimana kekejaman luar biasa dapat dilakukan oleh individu biasa dalam sistem yang membungkam tanggung jawab moral dan memutlakkan ketaatan birokratis1. Adolf Eichmann, tokoh utama dalam implementasi Holocaust, tidak digambarkan sebagai seorang fanatik ideologis yang penuh kebencian, melainkan sebagai birokrat “normal” yang menjalankan tugasnya tanpa pertimbangan etis terhadap akibat dari tindakannya. Kekejaman dalam kerangka ini bukan berasal dari kebencian pribadi, melainkan dari ketidakhadiran berpikir dan kemandulan nurani dalam struktur kekuasaan yang terorganisir secara sistemik.

Konsep ini menjadi sangat relevan dalam memahami pola kekerasan yang terus-menerus dilakukan terhadap rakyat Palestina. Operasi militer terhadap wilayah sipil, blokade yang memperparah krisis kemanusiaan, penghancuran rumah-rumah dan infrastruktur dasar, serta penembakan terhadap warga sipil dan jurnalis merupakan fakta yang terdokumentasi luas oleh lembaga-lembaga internasional2. Namun, kekerasan ini sering kali dipresentasikan sebagai tindakan “resmi”, “defensif”, atau “prosedural” oleh otoritas yang melakukannya, dan diterima begitu saja oleh masyarakat internasional dalam suasana keacuhan yang menormalkan penderitaan kolektif Palestina. Ini adalah manifestasi kontemporer dari banalitas kekejaman: penderitaan manusia menjadi angka statistik, dan kekerasan menjadi praktik rutin yang kehilangan bobot moralnya.

Seperti dalam kasus Eichmann, banyak aktor yang terlibat dalam kekerasan terhadap rakyat Palestina bukanlah monster dalam bayangan kita, melainkan figur-figur teknokrat, juru bicara militer, pengambil kebijakan, atau aparat administratif yang menjalankan tugas dengan klaim netralitas profesional. Kekerasan dilegitimasi bukan melalui kebencian eksplisit, tetapi melalui “rasionalitas” teknis, seperti keamanan nasional, stabilitas regional, atau kepentingan strategis negara. Dengan cara ini, kekejaman tidak hanya dibenarkan, tetapi juga diabaikan oleh opini publik global, media arus utama, dan bahkan lembaga-lembaga internasional yang kerap memilih bahasa moderat untuk menghindari ketegangan diplomatik3.

Arendt menekankan bahwa akar dari banality of evil adalah ketidakhadiran berpikir—yakni kemampuan untuk menilai, mempertanyakan, dan menyadari akibat moral dari tindakan sendiri4. Ketika tindakan kekerasan dilakukan dalam atmosfer di mana pertimbangan etis diabaikan atau dibungkam, maka yang terjadi bukan lagi kejahatan sebagai penyimpangan, melainkan kejahatan sebagai kebiasaan. Dalam hal ini, dunia internasional tidak hanya pasif dalam menghadapi tragedi Palestina, tetapi secara struktural turut serta dalam banalitas kekejaman tersebut melalui pembiaran, sikap netral palsu, dan penghindaran tanggung jawab etis.

Lebih dari itu, banalitas kekejaman terhadap Palestina juga tercermin dalam sikap masyarakat internasional yang hanya bereaksi terhadap insiden ekstrem (seperti pemboman besar-besaran atau pembunuhan anak-anak), tetapi gagal membangun sistem perlindungan jangka panjang yang menjamin keadilan dan penghormatan atas hak-hak politik rakyat Palestina. Ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip-prinsip hukum internasional terhadap Israel dan Palestina memperlihatkan standar ganda yang berbahaya, di mana keadilan menjadi selektif dan penindasan dijadikan norma politik internasional yang dapat ditoleransi.

Dengan menggunakan lensa Arendt, kita menyadari bahwa kekerasan terhadap Palestina bukanlah kejahatan yang muncul dari kebrutalan langsung semata, tetapi dari sistem dan struktur kekuasaan yang mereduksi manusia menjadi obyek administratif, mengabaikan pertimbangan moral, dan menormalisasi penderitaan sebagai bagian dari “prosedur.” Maka, tanggung jawab dunia bukan hanya mengutuk kekejaman, tetapi juga membongkar banalitasnya—yakni struktur, bahasa, dan kebisuan yang memungkinkan kekejaman itu terus terjadi tanpa rasa bersalah.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 287–289.

[2]                Lihat Human Rights Watch, A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution, 2021, https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed/israeli-authorities-and-crimes-apartheid-and-persecution.

[3]                Richard Falk, Palestine’s Horizon: Toward a Just Peace (Atlanta: Just World Books, 2017), 115–118.

[4]                Arendt, Eichmann in Jerusalem, 294; lihat juga Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 2004), 346–349.


5.           Genosida sebagai Produk Totalitarianisme Modern

Hannah Arendt, dalam karya monumentalnya The Origins of Totalitarianism, menegaskan bahwa genosida bukanlah kecelakaan sejarah atau kegilaan sesaat, melainkan produk rasional dari sistem kekuasaan totaliter yang bertujuan untuk mendominasi total kehidupan manusia, bahkan hingga ke tingkat biologis dan eksistensial1. Dalam sistem semacam ini, tindakan genosida muncul dari logika internal yang ingin menghapus keberagaman, memusnahkan potensi kebebasan manusia, dan menghancurkan fondasi pluralitas yang menjadi dasar dari kehidupan politik.

Arendt menulis bahwa kekuasaan totaliter tidak puas hanya dengan menundukkan atau mendisiplinkan individu; ia bertujuan to eliminate the spontaneity and unpredictability of human action dengan cara mereduksi manusia menjadi bagian dari massa yang tidak punya identitas individual2. Dalam hal ini, genosida bukanlah hanya pembunuhan massal, tetapi bentuk ekstrem dari penghilangan politik—yakni penghancuran ruang eksistensial yang memungkinkan seseorang untuk hadir, berbicara, dan bertindak di dunia.

Pola-pola kekuasaan semacam ini dapat dikenali dalam dinamika kolonialisme pemukim (settler colonialism) yang berlangsung di Palestina. Praktik penghancuran desa, pengusiran sistematis warga sipil, pembatasan mobilitas, dan penghilangan hak-hak politik dasar warga Palestina mengarah pada struktur kekuasaan yang berupaya menghapus eksistensi kolektif suatu bangsa secara bertahap. Seperti yang dicatat oleh Rashid Khalidi, proyek kolonial Israel tidak hanya bertujuan untuk menguasai wilayah, tetapi juga untuk menggantikan secara permanen penduduk asli dengan populasi kolonial baru3. Dalam kerangka Arendtian, hal ini merepresentasikan logika totalitarian yang menganggap keberadaan kelompok tertentu sebagai ancaman yang harus dienyahkan secara sistematis.

Genosida, sebagaimana dipahami oleh Arendt, melibatkan proses dehumanisasi yang mendalam, di mana korban tidak lagi dianggap sebagai subjek yang memiliki hak, melainkan sebagai superfluous people—manusia-manusia yang dianggap surplus, tidak berguna, dan dapat dimusnahkan tanpa pertimbangan moral4. Proses ini sangat tampak dalam cara wacana publik internasional sering kali menormalkan kematian massal warga Palestina sebagai “dampak sampingan” dari operasi militer. Seperti halnya dalam sistem totaliter, kekejaman semacam ini sering dikemas dalam bahasa administratif dan legal formal untuk menutupi tujuan ideologis yang lebih dalam.

Arendt juga memperingatkan bahwa bentuk kekuasaan totaliter tidak selalu muncul dalam wujud negara fasis yang eksplisit, melainkan dapat berkembang dalam sistem demokratis yang secara diam-diam membiarkan atau mendukung kekerasan struktural terhadap kelompok tertentu5. Ketika komunitas internasional gagal bertindak tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik terhadap Palestina—atau malah memberikan legitimasi melalui normalisasi hubungan diplomatik tanpa menyelesaikan isu keadilan—maka dunia menjadi bagian dari struktur totalitarianisme global yang memproduksi dan memelihara kondisi genosida.

Lebih penting lagi, Arendt menyadari bahwa genosida tidak hanya menghilangkan nyawa manusia, tetapi juga menghapus jejak keberadaan politik mereka dari sejarah. Oleh karena itu, melawan genosida bukan hanya soal menghentikan kekerasan, tetapi juga merekonstruksi narasi dan pengakuan terhadap eksistensi rakyat Palestina sebagai subjek politik yang sah dan berdaulat.

Dalam kerangka ini, pembelaan terhadap Palestina tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi juga keharusan politis untuk menolak logika kekuasaan totaliter dalam bentuk modernnya—logika yang melihat pluralitas sebagai ancaman, dan menganggap pembersihan etnis sebagai solusi politik yang rasional.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 438–441.

[2]                Ibid., 457–460.

[3]                Rashid Khalidi, The Hundred Years’ War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017 (New York: Metropolitan Books, 2020), 205–210.

[4]                Arendt, Origins of Totalitarianism, 296, 438; lihat juga Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (Ithaca: Cornell University Press, 1989), 91–95.

[5]                Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt (Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 108–110.


6.           Hak untuk Memiliki Hak: Pembelaan Eksistensial terhadap Rakyat Palestina

Di antara kontribusi paling berpengaruh dari pemikiran Hannah Arendt terhadap filsafat politik modern adalah konsep “the right to have rights”—sebuah ungkapan yang pertama kali muncul dalam The Origins of Totalitarianism sebagai respon atas nasib para pengungsi, pengasing, dan stateless people pasca-Perang Dunia II. Arendt menyatakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dipahami sebagai hak-hak abstrak yang melekat pada individu secara metafisik, melainkan hanya menjadi nyata ketika seseorang menjadi bagian dari suatu komunitas politik yang sah1. Dengan kata lain, manusia hanya memiliki hak sejauh mereka diakui sebagai warga oleh suatu tatanan politik yang menjamin eksistensi mereka sebagai subjek hukum dan politik.

Dalam konteks Palestina, gagasan ini menjadi sangat mendesak. Rakyat Palestina, khususnya mereka yang hidup di wilayah pendudukan dan pengungsian, telah lama berada dalam kondisi “tanpa hak” secara praktis. Meskipun deklarasi internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (1948) dan berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa secara formal menjamin hak mereka, dalam kenyataannya mereka tidak memiliki komunitas politik berdaulat yang dapat melindungi dan menegakkan hak-hak tersebut. Sebagaimana dikatakan Arendt, The calamity of the rightless is not that they are deprived of life, liberty, and the pursuit of happiness, but that they no longer belong to any community whatsoever.”2

Palestina adalah salah satu contoh paling mencolok di era modern dari kegagalan sistem internasional dalam menjamin hak untuk memiliki hak. Tanpa kedaulatan penuh dan pengakuan negara yang utuh, rakyat Palestina berada dalam ketidakpastian hukum dan politik yang kronis. Mereka tidak memiliki akses penuh terhadap perlindungan hukum, kebebasan bergerak, hak untuk menentukan nasib sendiri, atau jaminan keamanan yang seharusnya diberikan oleh entitas politik yang sah. Seperti ditunjukkan oleh Ayten Gündoğdu dalam pembacaannya atas Arendt, the rightless are those who are excluded not only from citizenship but from political community itself—dan inilah yang terjadi pada rakyat Palestina hari ini3.

Ketiadaan “hak untuk memiliki hak” bukan hanya menciptakan penderitaan fisik dan psikologis, tetapi juga merusak integritas eksistensial rakyat Palestina sebagai subjek moral dan politik. Mereka tidak hanya dibungkam secara hukum, tetapi juga direduksi menjadi objek belas kasihan atau ancaman keamanan, tergantung pada wacana politik yang sedang dominan. Dalam kerangka Arendt, hal ini merupakan bentuk penghapusan paling radikal terhadap kemanusiaan, karena menolak seseorang dari dunia bersama (common world) di mana keberadaan manusia menjadi bermakna melalui relasi sosial, tindakan politik, dan pengakuan publik4.

Membela hak-hak rakyat Palestina, dalam hal ini, bukan sekadar tuntutan keadilan distributif, tetapi adalah perjuangan untuk memulihkan eksistensi politik mereka. Arendt percaya bahwa politik yang sejati bukanlah soal dominasi, tetapi ruang untuk tindakan, kebebasan, dan pluralitas. Oleh karena itu, mengembalikan “hak untuk memiliki hak” kepada rakyat Palestina berarti mengembalikan mereka ke dalam dunia di mana mereka dapat berbicara, berbuat, dan berpartisipasi dalam pembentukan tatanan bersama.

Lebih dari itu, kegagalan dunia internasional untuk menjamin hak-hak dasar rakyat Palestina merupakan refleksi dari krisis etis dan politis yang lebih luas: bahwa sistem global yang kita miliki belum mampu mengatasi situasi di mana jutaan manusia hidup dalam kondisi de jure atau de facto tanpa negara, tanpa perlindungan, dan tanpa partisipasi. Dalam kata-kata Arendt, No one wants to be just a human being without citizenship, without a place in the world.”5 Maka dari itu, perjuangan untuk rakyat Palestina adalah perjuangan universal: perjuangan untuk menjamin bahwa tidak seorang pun dicabut dari dunia politik yang menjadikan mereka manusia sepenuhnya.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 296–297.

[2]                Ibid., 295.

[3]                Ayten Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights: Hannah Arendt and the Contemporary Struggles of Migrants (Oxford: Oxford University Press, 2015), 19–21.

[4]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 182–186.

[5]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 2004), 284.


7.           Politik Natalitas: Harapan Baru dari Solidaritas Global

Salah satu aspek paling khas dan orisinal dari pemikiran politik Hannah Arendt adalah konsep natality (kelahiran), yang diperkenalkannya dalam The Human Condition. Berbeda dari banyak filsuf politik lainnya yang berfokus pada kematian sebagai pusat pemikiran etis dan eksistensial, Arendt menempatkan kelahiran—kemampuan manusia untuk memulai sesuatu yang baru—sebagai dasar ontologis dari tindakan dan kebebasan politik1. Dalam kerangka ini, natalitas bukan sekadar peristiwa biologis, tetapi simbol harapan: bahwa setiap manusia, karena lahir, memiliki potensi untuk mengubah dunia melalui tindakan kolektif dan kebebasan berpikir.

Arendt menulis bahwa tindakan politik sejati adalah “the capacity of beginning something anew” yang bersumber dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang lahir ke dunia dengan kemampuan untuk bertindak secara spontan dan tak terduga2. Dalam konteks Palestina, di tengah kekelaman penjajahan, kekerasan, dan penghilangan politik yang berlangsung puluhan tahun, konsep natality membuka jalan bagi suatu pembacaan alternatif: bahwa rakyat Palestina, dengan segala penderitaannya, tetap memelihara potensi untuk melahirkan dunia politik baru melalui perjuangan, keberanian, dan solidaritas.

Salah satu manifestasi nyata dari politik natalitas dalam perjuangan Palestina adalah munculnya berbagai bentuk perlawanan non-kekerasan, seperti gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), unjuk rasa damai, kampanye solidaritas lintas negara, dan produksi seni serta narasi yang mengklaim kembali hak untuk hadir di ruang publik global3. Ini adalah bentuk-bentuk tindakan yang, menurut Arendt, memperlihatkan keberanian untuk hadir di dunia, menyuarakan kebenaran, dan memulai sesuatu yang berbeda dari logika kekerasan yang dominan. Dengan cara ini, rakyat Palestina menolak untuk direduksi menjadi korban pasif dan justru tampil sebagai subjek politik yang aktif.

Lebih dari itu, natality juga mengundang tanggung jawab global. Arendt percaya bahwa dunia hanya dapat bertahan sebagai common world jika manusia bersedia bertindak demi keadilan, bukan sekadar bereaksi terhadap kekerasan. Gerakan solidaritas internasional yang mendukung kemerdekaan dan hak-hak rakyat Palestina dapat dilihat sebagai respon natalistik—yakni komitmen untuk tidak membiarkan dunia beku dalam tatanan kekuasaan yang timpang, melainkan membuka kemungkinan akan kelahiran dunia politik baru yang lebih adil dan plural. Seperti dikemukakan Bonnie Honig, natality menuntut kita tidak hanya untuk mengakui penderitaan, tetapi juga untuk membayangkan dan mewujudkan politik alternatif yang etis dan bertanggung jawab4.

Dalam situasi ketika sistem internasional tampak impoten menghadapi kekerasan struktural terhadap Palestina, natality menjadi prinsip yang membangkitkan harapan: bahwa perubahan tidak semata bergantung pada institusi, tetapi juga pada keberanian moral individu dan kolektif untuk bertindak, berbicara, dan membentuk dunia yang baru. Dalam istilah Arendt, setiap tindakan adalah “a miracle”—keajaiban yang lahir dari keberanian untuk melampaui determinisme sejarah dan membuka kemungkinan baru bagi kemanusiaan5.

Dengan demikian, solidaritas global terhadap Palestina tidak hanya menjadi aksi empatik, tetapi juga menjadi bagian dari proses politik yang lebih dalam: proses melahirkan kembali dunia melalui kesadaran akan tanggung jawab, pluralitas, dan harapan. Politik natalitas menegaskan bahwa sejarah penindasan bukanlah akhir, dan bahwa setiap bangsa, termasuk Palestina, memiliki hak untuk lahir kembali ke dalam komunitas dunia sebagai subjek politik yang utuh dan merdeka.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 176–179.

[2]                Ibid., 177.

[3]                Omar Barghouti, Boycott, Divestment, Sanctions: The Global Struggle for Palestinian Rights (Chicago: Haymarket Books, 2011), 93–100.

[4]                Bonnie Honig, Emergency Politics: Paradox, Law, Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2009), 105–107.

[5]                Arendt, The Human Condition, 178–180.


8.           Kritik atas Kebungkaman Internasional: Kekosongan Tanggung Jawab Politik

Hannah Arendt tidak hanya dikenal sebagai pemikir tentang totalitarianisme dan hak-hak manusia, tetapi juga sebagai kritikus tajam terhadap kebungkaman masyarakat internasional dalam menghadapi kejahatan kolektif. Dalam Eichmann in Jerusalem, ia menyindir bagaimana lembaga-lembaga hukum dan politik global sering kali bersikap impoten atau bahkan apatis terhadap kekejaman yang terjadi di depan mata, baik karena kepentingan politis maupun karena krisis moral yang lebih mendalam1. Kritik Arendt ini menemukan relevansinya secara mencolok dalam konteks tragedi yang terus menerus menimpa rakyat Palestina, di mana kekerasan sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan berlangsung dengan sedikit atau tanpa konsekuensi internasional yang berarti.

Arendt percaya bahwa dunia bersama (common world) hanya dapat dipertahankan jika manusia bertanggung jawab secara politik terhadap satu sama lain. Ketika komunitas internasional gagal merespons secara bermakna terhadap penderitaan rakyat yang tertindas—seperti Palestina—maka yang terjadi bukan hanya pengkhianatan terhadap hak-hak manusia, tetapi juga kehancuran terhadap fondasi dunia politik itu sendiri2. Kebungkaman negara-negara besar dan lembaga multilateral seperti Dewan Keamanan PBB terhadap serangan terhadap warga sipil, blokade kemanusiaan, dan penghancuran infrastruktur vital di Gaza mencerminkan vacuum of responsibility yang digambarkan Arendt sebagai ciri utama krisis politik modern.

Dalam kerangka Arendt, kekosongan tanggung jawab ini adalah bagian dari proses dehumanisasi: ketika penderitaan manusia tidak direspon sebagai panggilan untuk bertindak, melainkan sebagai peristiwa yang dapat dinegosiasikan secara strategis. Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah akar dari kejahatan politik, dan dalam dunia modern, bentuk paling berbahaya dari kekuasaan semacam itu adalah ketika kekerasan dilegitimasi oleh hukum atau diabaikan oleh struktur internasional yang seharusnya melindungi hak-hak fundamental3.

Lebih jauh, Arendt menyoroti bagaimana logika teknokratis dalam diplomasi internasional sering kali menggantikan pertimbangan moral dan tanggung jawab etis. Dalam hal Palestina, hal ini terlihat dalam narasi-narasi netral seperti “kedua belah pihak harus menahan diri” atau “diperlukan proses perdamaian yang inklusif” yang menutupi asimetri kekuasaan dan penderitaan struktural yang dialami oleh rakyat Palestina4. Alih-alih mendorong tindakan yang adil, bahasa diplomatik semacam itu justru memperpanjang status quo dengan menghindari posisi moral yang tegas.

Kebungkaman internasional juga memperlihatkan kegagalan komunitas dunia dalam menunaikan janji-janji universalitas hak asasi manusia. Arendt menyebut bahwa ketika masyarakat internasional tidak menjamin the right to have rights, maka “humanity itself ceases to exist as a political reality5. Dalam konteks ini, diamnya dunia atas penderitaan Palestina bukan hanya mencerminkan bias politik, tetapi juga krisis eksistensial dari ide universalitas hak-hak manusia itu sendiri. Hak menjadi tidak universal, tetapi selektif—ditentukan oleh geopolitik dan bukan oleh keadilan.

Oleh karena itu, menurut kerangka Arendtian, membela Palestina tidak hanya berarti membela korban ketidakadilan, tetapi juga memulihkan tanggung jawab politik global yang telah tereduksi menjadi kalkulasi kepentingan. Ini adalah ajakan untuk berpikir (thinking) dan bertindak (action)—dua dimensi yang menurut Arendt mendefinisikan manusia sebagai makhluk politik sejati. Dunia tidak bisa tetap menjadi “penonton rasional” di tengah kekejaman; ia harus menjadi ruang tindakan bersama untuk menjamin bahwa tidak ada kelompok yang dikeluarkan dari perlindungan politik global.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 252–255.

[2]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 198–201.

[3]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 2004), 298–300.

[4]                Richard Falk, Palestine: The Legitimacy of Hope (London: Just World Books, 2014), 121–125.

[5]                Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 296.


9.           Simpulan: Menolak Genosida, Merayakan Pluralitas

Dalam menghadapi tragedi yang terus berlangsung atas rakyat Palestina, pemikiran Hannah Arendt menawarkan lebih dari sekadar analisis teoretis; ia menyediakan lensa etis dan politis yang menuntut tanggung jawab untuk bertindak. Dari konsep banality of evil yang membongkar bagaimana kekerasan ekstrem dapat dilembagakan secara biasa, hingga gagasan right to have rights yang mengkritik hilangnya perlindungan politik atas manusia tanpa negara, Arendt secara konsisten menunjukkan bahwa kekejaman bukan sekadar akibat dari kebencian individu, tetapi juga dari sistem yang gagal mempertahankan pluralitas dan tanggung jawab politik1.

Tragedi Palestina, jika dilihat melalui perspektif Arendtian, bukanlah sekadar konflik bersenjata atau pertikaian antar entitas nasional, melainkan ekspresi dari proyek dehumanisasi dan penghilangan politik. Pendudukan, pengusiran, blokade, dan penghancuran kehidupan sipil bukan hanya menciptakan penderitaan fisik, tetapi juga menyingkirkan rakyat Palestina dari dunia bersama (common world) di mana eksistensi manusia memperoleh makna melalui pengakuan, tindakan, dan kebebasan2.

Menolak genosida berarti menolak struktur kekuasaan yang memandang pluralitas sebagai ancaman. Arendt mengajarkan bahwa pluralitas—yakni keberadaan manusia yang berbeda-beda namun setara—adalah prasyarat dari dunia politik yang otentik3. Dalam konteks ini, rakyat Palestina bukan sekadar korban, tetapi subjek politik yang sah, yang memiliki hak untuk menjadi bagian dari komunitas dunia tanpa harus menyerahkan identitas, tanah, dan kedaulatannya. Dengan kata lain, membela Palestina adalah membela pluralitas itu sendiri—bahwa dunia ini tidak dapat dipersatukan dengan menghapus keragaman, tetapi dengan merayakannya dalam keadilan.

Dalam The Human Condition, Arendt menyatakan bahwa tindakan manusia mengandung potensi untuk memulai sesuatu yang baru—inilah inti dari natality4. Maka harapan tetap terbuka: bahwa solidaritas global, keberanian untuk berpikir dan bertindak, serta kesediaan untuk mendengarkan suara-suara yang disingkirkan dapat melahirkan politik baru yang berpihak pada kehidupan, bukan pada penghancuran. Dalam kerangka inilah perjuangan untuk Palestina tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi cermin dari tanggung jawab kolektif umat manusia untuk menciptakan dunia yang lebih adil.

Akhirnya, dunia tidak boleh membiarkan genosida menjadi bahasa kekuasaan yang sah. Dunia tidak boleh membiarkan kebungkaman menggantikan politik, atau legalitas menggantikan keadilan. Seperti ditegaskan Arendt, satu-satunya cara untuk menghindari kembalinya totalitarianisme adalah dengan membangun kembali ruang politik yang hidup, di mana setiap manusia memiliki hak untuk bertindak, berbicara, dan diakui sebagai bagian dari umat manusia5. Maka, membela rakyat Palestina bukan hanya tindakan politis, tetapi juga pernyataan moral: bahwa kita menolak banalitas kekejaman, dan memilih untuk merayakan pluralitas sebagai dasar dari dunia bersama yang layak dihuni oleh semua.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 294–296.

[2]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace, 1951), 295–297.

[3]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 7–9.

[4]                Ibid., 177–179.

[5]                Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale University Press, 2004), 302–305.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt, Brace.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. Viking Press.

Barghouti, O. (2011). Boycott, divestment, sanctions: The global struggle for Palestinian rights. Haymarket Books.

Bauman, Z. (1989). Modernity and the Holocaust. Cornell University Press.

Benhabib, S. (2003). The reluctant modernism of Hannah Arendt (2nd ed.). Rowman & Littlefield.

Benhabib, S. (2004). The rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.

Falk, R. (2014). Palestine: The legitimacy of hope. Just World Books.

Falk, R. (2017). Palestine’s horizon: Toward a just peace. Just World Books.

Gündoğdu, A. (2015). Rightlessness in an age of rights: Hannah Arendt and the contemporary struggles of migrants. Oxford University Press.

Honig, B. (2009). Emergency politics: Paradox, law, democracy. Princeton University Press.

Human Rights Watch. (2021). A threshold crossed: Israeli authorities and the crimes of apartheid and persecution. https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed/israeli-authorities-and-crimes-apartheid-and-persecution

Khalidi, R. (2020). The hundred years’ war on Palestine: A history of settler colonialism and resistance, 1917–2017. Metropolitan Books.

Young-Bruehl, E. (2004). Hannah Arendt: For love of the world (2nd ed.). Yale University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar