Membela Palestina
Kekejaman yang Banal, Kehilangan Politik, dan Hak untuk
Memiliki Hak
Alihkan ke: Pemikiran Hannah Arendt.
Abstrak
Artikel ini menganalisis tragedi kemanusiaan yang
dialami oleh rakyat Palestina dengan menggunakan pendekatan filosofis dari
pemikiran Hannah Arendt. Melalui konsep-konsep kunci seperti totalitarianisme,
banality of evil, statelessness, the right to have rights,
dan natality, artikel ini membongkar struktur kekuasaan yang
memungkinkan terjadinya kekejaman sistemik terhadap Palestina dan membedah
pembiaran moral komunitas internasional atas kekerasan tersebut. Arendt
mengajarkan bahwa kekuasaan totaliter berupaya menghapus pluralitas dan
kebebasan, sedangkan banality of evil menjelaskan bagaimana kekerasan
dapat berlangsung melalui rutinitas birokratis tanpa refleksi moral. Konsep statelessness
menjelaskan kondisi politik rakyat Palestina yang kehilangan perlindungan hukum
dan pengakuan internasional, sementara the right to have rights
menekankan pentingnya komunitas politik dalam menjamin eksistensi manusia.
Akhirnya, melalui natality, dibuka harapan baru akan munculnya politik
solidaritas global sebagai respons terhadap penderitaan dan penyingkiran.
Artikel ini menegaskan bahwa membela Palestina bukan hanya tindakan politis,
tetapi juga kewajiban moral untuk menolak genosida dan membangun kembali dunia
bersama yang berlandaskan pluralitas, tanggung jawab, dan keadilan.
Kata Kunci: Hannah Arendt; Palestina; genosida;
totalitarianisme; statelessness; hak asasi manusia; solidaritas global;
banality of evil; politik natalitas; tanggung jawab internasional.
PEMBAHASAN
Membela Palestina dari Genosida dalam Perspektif Hannah
Arendt
1.
Pendahuluan: Menilik Tragedi Palestina melalui
Lensa Arendt
Tragedi yang menimpa
rakyat Palestina sejak pertengahan abad ke-20 hingga hari ini bukan sekadar
konflik politik atau pertikaian etnis, melainkan sebuah bentuk dehumanisasi
sistemik yang mengancam eksistensi kolektif suatu bangsa. Di tengah
eskalasi kekerasan, blokade, dan disrupsi kehidupan sipil, muncul kebutuhan
mendesak untuk membingkai kembali penderitaan rakyat Palestina tidak hanya
dalam istilah geopolitik dan hukum internasional, tetapi juga dalam horizon
filsafat politik yang lebih dalam. Di sinilah pemikiran Hannah Arendt—filsuf politik Yahudi-Jerman yang mengalami langsung
kekejaman totalitarianisme dan status sebagai pengungsi tanpa
negara—menyediakan kerangka konseptual yang tajam dan relevan.
Hannah Arendt
dikenal luas melalui karyanya The Origins of Totalitarianism
(1951), di mana ia menelaah secara mendalam bagaimana kekuasaan modern dapat
berkembang menjadi sistem yang tidak hanya menindas tetapi juga menghancurkan
keunikan manusia melalui logika totalisasi dan penyingkiran politik.1
Arendt juga memperkenalkan gagasan radikal mengenai “the
right to have rights”, yaitu hak dasar bagi setiap manusia untuk
memiliki hak, yang menurutnya hanya bisa dijamin melalui keikutsertaan dalam
komunitas politik yang sah.2 Dalam konteks ini, penderitaan rakyat
Palestina mencerminkan bentuk paling ekstrem dari kehilangan politik: mereka
menjadi stateless—tidak hanya dalam arti legal-formal, tetapi juga dalam makna
eksistensial, sebagai manusia yang disingkirkan dari ruang dunia tempat
tindakan dan suara mereka bisa bermakna.
Lebih dari itu,
pendekatan Arendt terhadap kekerasan negara tidak berhenti pada analisis
legal-formal, tetapi menyelami dimensi etis dan struktural kekejaman yang
beroperasi dalam bentuknya yang paling biasa dan rutin. Dalam Eichmann
in Jerusalem (1963), Arendt menciptakan istilah banality
of evil untuk menggambarkan bagaimana kekejaman dapat dilakukan
oleh individu biasa dalam sistem yang menghilangkan refleksi moral dan
menjadikan ketaatan birokratis sebagai nilai utama.3 Konsep ini
sangat penting untuk memahami bagaimana kekerasan terhadap warga Palestina
dapat dijustifikasi melalui wacana administratif, retorika keamanan, dan
kerangka hukum yang dibentuk oleh kekuatan kolonial modern.
Realitas kontemporer
menunjukkan bahwa penderitaan Palestina bukanlah akibat konflik yang simetris,
tetapi hasil dari relasi kekuasaan yang timpang, di mana satu pihak menguasai
secara militer, ekonomi, dan diplomatik, sementara pihak lain kehilangan ruang
hidup, institusi politik, bahkan pengakuan eksistensial. Ini bukan hanya isu
Palestina, tetapi ujian bagi kemanusiaan global untuk tidak mengulangi
pembiaran moral yang pernah terjadi terhadap korban-korban totalitarianisme
abad ke-20.
Maka, melalui lensa
Arendt, tragedi Palestina bukan hanya masalah “hak-hak yang dilanggar”,
tetapi adalah bentuk paling radikal dari penghapusan diri
politik (political selfhood). Dengan menghidupkan kembali pemikiran
Arendt, tulisan ini berupaya menegaskan kembali nilai pluralitas, tanggung
jawab politik, dan harapan akan kebaruan dunia (natality)—sebuah
harapan bahwa dunia masih dapat dimulai ulang dengan keadilan dan keberanian
untuk bertindak.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, Brace, 1951), 290–295.
[2]
Ibid., 296–297. Lihat juga Seyla Benhabib, The Rights of Others:
Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press,
2004), 55–58.
[3]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Viking Press, 1963), 135–137.
2.
Konsep-Konsep Kunci Hannah Arendt dan
Relevansinya bagi Palestina
Pemikiran Hannah Arendt dibangun dari refleksi filosofis yang mendalam atas pengalaman kekejaman
politik pada abad ke-20, khususnya fenomena totalitarianisme, Holocaust, dan
nasib para pengungsi tanpa negara. Konsep-konsep kunci yang dirumuskannya bukan
sekadar kritik historis terhadap Nazi Jerman atau Stalinisme, melainkan juga
landasan normatif untuk memahami dan membela martabat manusia di tengah ancaman
kekuasaan yang melampaui batas. Dalam konteks perjuangan rakyat Palestina,
konsep-konsep seperti totalitarianisme, banality
of evil, statelessness, the
right to have rights, dan natality menjadi sangat relevan
untuk membongkar struktur kekerasan yang dialami dan membayangkan kemungkinan
pembebasan politik yang lebih manusiawi.
2.1.
Totalitarianisme:
Logika Penghapusan Keberagaman
Dalam The
Origins of Totalitarianism, Arendt menjelaskan bahwa kekuasaan
totaliter berusaha menghapus pluralitas manusia dan menjadikan semua individu
tunduk pada logika ideologis yang menyeluruh dan absolut.1 Sistem
semacam ini tidak hanya membatasi kebebasan, tetapi secara aktif menghancurkan
kapasitas manusia untuk berpikir dan bertindak secara independen. Dalam konteks
Palestina, dominasi kolonial yang dilanggengkan oleh pendudukan, segregasi
spasial, dan kontrol militer dapat dibaca sebagai bentuk modern dari kekuasaan
totaliter yang menolak eksistensi kolektif rakyat Palestina sebagai subjek
politik yang otonom.
2.2.
The Banality of
Evil: Kekejaman yang Biasa dan Sistemik
Konsep banality
of evil muncul dalam karya Arendt Eichmann in Jerusalem, sebagai
hasil pengamatannya terhadap proses peradilan Adolf Eichmann, pejabat Nazi yang
memainkan peran sentral dalam pelaksanaan Holocaust. Arendt menggambarkan bahwa
Eichmann bukanlah monster psikopat, melainkan seorang birokrat biasa yang
menjalankan tugas tanpa refleksi moral terhadap akibat dari tindakannya.2
Dalam kasus Palestina, logika kekejaman yang banal ini tampak dalam kebijakan
militer dan administratif yang mengakibatkan kematian, pengusiran, dan
penghancuran hidup warga sipil, sambil dibenarkan atas nama “prosedur
keamanan” atau “hukum negara.” Kekerasan menjadi rutin,
dilembagakan, dan kehilangan dimensi etisnya.
2.3.
Statelessness:
Ketelanjangan Manusia tanpa Proteksi Politik
Arendt mengalami
sendiri status sebagai orang tanpa negara (stateless person) setelah melarikan
diri dari Jerman Nazi. Ia menunjukkan bahwa manusia tanpa kewarganegaraan tidak
hanya kehilangan hak-hak sipil, tetapi juga kehilangan tempat dalam dunia,
yaitu dunia politik tempat mereka bisa didengar dan diakui.3 Rakyat
Palestina yang diusir dari tanah airnya, hidup di pengungsian, atau di bawah
kekuasaan militer tanpa hak politik, mengalami realitas statelessness
ini dalam bentuk yang paling konkret dan sistemik. Mereka menjadi “telanjang
secara politik”, terpapar kekuasaan tanpa perlindungan.
2.4.
The Right to Have
Rights: Dasar Etis Hak Asasi Manusia
Salah satu pemikiran
Arendt yang paling berpengaruh adalah gagasan tentang the
right to have rights, yaitu hak fundamental untuk menjadi bagian
dari komunitas politik yang menjamin eksistensi hak-hak lainnya.4 Ia
mengkritik pendekatan universalistis yang menganggap hak asasi sebagai sesuatu
yang melekat pada individu secara abstrak, karena dalam praktiknya hak hanya
efektif ketika seseorang diakui oleh komunitas politik. Rakyat Palestina yang
tidak diakui sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, mengalami bentuk paling
akut dari kehilangan hak ini. Tanpa negara, tanpa perlindungan hukum yang
efektif, mereka ditolak dari sistem hak global.
2.5.
Natality: Harapan
akan Permulaan yang Baru
Berbeda dari banyak
filsuf politik lainnya, Arendt menempatkan natality—kemampuan manusia untuk
memulai sesuatu yang baru—sebagai inti dari tindakan politik.5 Ia
melihat politik bukan sebagai reproduksi kekuasaan lama, tetapi sebagai
kemungkinan kelahiran dunia baru melalui kebebasan, inisiatif, dan pluralitas.
Dalam konteks Palestina, natality menjadi simbol harapan:
bahwa meskipun rakyat Palestina mengalami penjajahan, pengusiran, dan kekerasan,
mereka tetap mampu melahirkan bentuk-bentuk baru dari eksistensi politik
melalui solidaritas, perjuangan damai, dan artikulasi identitas kolektif.
Dengan
mengintegrasikan konsep-konsep tersebut, kita dapat membaca tragedi Palestina
bukan sekadar sebagai isu kemanusiaan, melainkan sebagai penyangkalan terhadap
dasar-dasar kehidupan politik yang memungkinkan keberadaan manusia sebagai
makhluk yang setara, plural, dan mampu bertindak. Membela Palestina, dalam
kerangka Arendt, berarti membela kemanusiaan itu sendiri—menolak banalitas
kekerasan, mengakui hak untuk memiliki hak, dan membuka ruang bagi kelahiran
politik yang lebih adil.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, Brace, 1951), 461–474.
[2]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Viking Press, 1963), 287–289.
[3]
Ibid., Origins of Totalitarianism, 292–294; Giorgio Agamben
juga mengembangkan kritik ini dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare
Life (Stanford: Stanford University Press, 1998), 128–134.
[4]
Arendt, Origins of Totalitarianism, 296; lihat juga Ayten
Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights (Oxford: Oxford University
Press, 2015), 72–75.
[5]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 175–179.
3.
Palestina sebagai “Bangsa Tanpa Status”:
Aplikasi Konsep Statelessness
Konsep statelessness
dalam pemikiran Hannah Arendt mencerminkan pengalaman historis para pengungsi
Yahudi yang diasingkan dari komunitas politik mereka selama era
totalitarianisme di Eropa. Dalam The Origins of Totalitarianism,
Arendt menyoroti nasib para individu yang kehilangan status kewarganegaraan dan
dengan itu juga kehilangan perlindungan hukum serta pengakuan politik atas
keberadaan mereka sebagai manusia yang setara1. Bagi Arendt, orang
yang stateless bukan hanya kehilangan hak sipil, tetapi juga kehilangan tempat
di dunia di mana hak-hak tersebut dapat diklaim dan dijamin secara efektif2.
Konsep ini secara
langsung relevan dengan tragedi rakyat Palestina yang, sejak 1948, mengalami
bentuk paling nyata dari statelessness. Pengusiran massal
warga Palestina (al-Nakba), pendudukan wilayah oleh Israel, dan fragmentasi
teritorial yang menciptakan kondisi hidup tidak stabil telah melahirkan
generasi demi generasi tanpa status politik yang pasti. Jutaan warga Palestina
hidup sebagai pengungsi di kamp-kamp di Yordania, Lebanon, dan Suriah—tidak
diakui sebagai warga negara oleh negara-negara tersebut dan juga tidak oleh
Israel. Bahkan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, otoritas politik yang tersedia
(seperti Otoritas Palestina) tidak memiliki kedaulatan penuh dan tidak mampu
memberikan perlindungan yang dijamin oleh struktur negara nasional yang merdeka3.
Dalam kerangka
Arendtian, ini bukan hanya permasalahan hukum atau administratif, tetapi
perampasan eksistensial atas hak untuk menjadi seseorang di dunia
(the
right to have rights)4. Ketika warga Palestina tidak
diakui sebagai bagian dari komunitas politik internasional yang sah, mereka
tidak hanya kehilangan akses ke pengadilan, sistem pendidikan, dan pekerjaan,
tetapi juga hak untuk berbicara, bertindak, dan diakui sebagai subjek politik
yang sah. Mereka berada dalam kondisi yang Arendt sebut sebagai “telanjang secara
politik” (naked in their humanity), di mana
mereka dilihat bukan sebagai warga negara dengan hak, tetapi sebagai massa
tanpa proteksi yang sah dari kekuasaan.
Lebih jauh lagi,
Arendt memperingatkan bahwa masyarakat internasional sering kali gagal memahami
bahwa hak asasi manusia hanya bermakna jika dijamin oleh komunitas politik
konkret. Tanpa kerangka negara, deklarasi hak-hak universal tidak dapat
berfungsi karena tidak ada institusi yang dapat menegakkannya5.
Dalam kasus Palestina, meskipun berbagai resolusi PBB telah dikeluarkan untuk
mengakui hak-hak rakyat Palestina, implementasi dari hak-hak tersebut tetap
tidak efektif karena tidak ada sistem politik global yang mampu memaksakan
pengakuan tersebut kepada kekuatan pendudukan.
Contoh paling
mencolok dari statelessness adalah ketidakmampuan
rakyat Palestina untuk bepergian bebas, mengakses layanan kesehatan dan
pendidikan berkualitas, serta membangun kehidupan ekonomi yang stabil. Bahkan
identitas mereka ditentukan oleh klasifikasi administratif yang rumit: kartu
pengungsi UNRWA, izin tinggal dari Israel, dokumen pengungsi dari negara-negara
Arab, atau kewarganegaraan terbatas. Semua ini mengindikasikan kondisi
Arendtian di mana rakyat Palestina tidak memiliki hak untuk menentukan nasib
mereka sendiri karena mereka tidak diakui sebagai bagian dari komunitas politik
manapun yang efektif.
Oleh karena itu,
dalam kerangka pemikiran Arendt, tragedi Palestina bukan sekadar konflik
teritorial atau agama, tetapi penghilangan politik—sebuah proyek yang mencabut
kapasitas rakyat Palestina untuk hadir sebagai zoon politikon, makhluk politik
yang setara di mata dunia. Konsekuensinya sangat serius: selama rakyat
Palestina tetap dalam kondisi stateless, mereka akan terus
menjadi korban dari logika kekuasaan yang menyingkirkan, membungkam, dan pada
akhirnya membenarkan kekejaman terhadap mereka sebagai sesuatu yang sah.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, Brace, 1951), 277–302.
[2]
Ibid., 296.
[3]
Rashid Khalidi, The Hundred Years' War on Palestine: A History of
Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017 (New York: Metropolitan
Books, 2020), 186–189.
[4]
Arendt, Origins of Totalitarianism, 296–297; lihat juga Ayten
Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights (Oxford: Oxford University
Press, 2015), 58–62.
[5]
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and
Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 50–54.
4.
Banalitas Kekejaman: Pembiaran Dunia atas
Kekerasan terhadap Palestina
Dalam karya
monumentalnya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality
of Evil, Hannah Arendt memperkenalkan konsep “banality
of evil” untuk menggambarkan bagaimana kekejaman luar biasa dapat
dilakukan oleh individu biasa dalam sistem yang membungkam tanggung jawab moral
dan memutlakkan ketaatan birokratis1. Adolf Eichmann, tokoh utama
dalam implementasi Holocaust, tidak digambarkan sebagai seorang fanatik
ideologis yang penuh kebencian, melainkan sebagai birokrat “normal” yang
menjalankan tugasnya tanpa pertimbangan etis terhadap akibat dari tindakannya.
Kekejaman dalam kerangka ini bukan berasal dari kebencian pribadi, melainkan
dari ketidakhadiran berpikir dan kemandulan nurani dalam struktur kekuasaan
yang terorganisir secara sistemik.
Konsep ini menjadi
sangat relevan dalam memahami pola kekerasan yang terus-menerus dilakukan
terhadap rakyat Palestina. Operasi militer terhadap wilayah sipil, blokade yang
memperparah krisis kemanusiaan, penghancuran rumah-rumah dan infrastruktur
dasar, serta penembakan terhadap warga sipil dan jurnalis merupakan fakta yang
terdokumentasi luas oleh lembaga-lembaga internasional2. Namun,
kekerasan ini sering kali dipresentasikan sebagai tindakan “resmi”, “defensif”,
atau “prosedural” oleh otoritas yang melakukannya, dan diterima begitu
saja oleh masyarakat internasional dalam suasana keacuhan yang menormalkan
penderitaan kolektif Palestina. Ini adalah manifestasi kontemporer dari
banalitas kekejaman: penderitaan manusia menjadi angka statistik, dan kekerasan
menjadi praktik rutin yang kehilangan bobot moralnya.
Seperti dalam kasus
Eichmann, banyak aktor yang terlibat dalam kekerasan terhadap rakyat Palestina
bukanlah monster dalam bayangan kita, melainkan figur-figur teknokrat, juru
bicara militer, pengambil kebijakan, atau aparat administratif yang menjalankan
tugas dengan klaim netralitas profesional. Kekerasan dilegitimasi bukan melalui
kebencian eksplisit, tetapi melalui “rasionalitas” teknis, seperti
keamanan nasional, stabilitas regional, atau kepentingan strategis negara. Dengan
cara ini, kekejaman tidak hanya dibenarkan, tetapi juga diabaikan oleh opini
publik global, media arus utama, dan bahkan lembaga-lembaga internasional yang
kerap memilih bahasa moderat untuk menghindari ketegangan diplomatik3.
Arendt menekankan
bahwa akar dari banality of evil adalah
ketidakhadiran berpikir—yakni kemampuan untuk
menilai, mempertanyakan, dan menyadari akibat moral dari tindakan sendiri4.
Ketika tindakan kekerasan dilakukan dalam atmosfer di mana pertimbangan etis
diabaikan atau dibungkam, maka yang terjadi bukan lagi kejahatan sebagai
penyimpangan, melainkan kejahatan sebagai kebiasaan. Dalam hal ini, dunia
internasional tidak hanya pasif dalam menghadapi tragedi Palestina, tetapi
secara struktural turut serta dalam banalitas kekejaman tersebut melalui
pembiaran, sikap netral palsu, dan penghindaran tanggung jawab etis.
Lebih dari itu,
banalitas kekejaman terhadap Palestina juga tercermin dalam sikap masyarakat
internasional yang hanya bereaksi terhadap insiden ekstrem (seperti pemboman besar-besaran
atau pembunuhan anak-anak), tetapi gagal membangun sistem perlindungan jangka
panjang yang menjamin keadilan dan penghormatan atas hak-hak politik rakyat
Palestina. Ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip-prinsip hukum
internasional terhadap Israel dan Palestina memperlihatkan standar ganda yang
berbahaya, di mana keadilan menjadi selektif dan penindasan dijadikan norma
politik internasional yang dapat ditoleransi.
Dengan menggunakan
lensa Arendt, kita menyadari bahwa kekerasan terhadap Palestina bukanlah
kejahatan yang muncul dari kebrutalan langsung semata, tetapi dari sistem dan
struktur kekuasaan yang mereduksi manusia menjadi obyek administratif,
mengabaikan pertimbangan moral, dan menormalisasi penderitaan sebagai bagian
dari “prosedur.” Maka, tanggung jawab dunia bukan hanya mengutuk
kekejaman, tetapi juga membongkar banalitasnya—yakni struktur, bahasa, dan
kebisuan yang memungkinkan kekejaman itu terus terjadi tanpa rasa bersalah.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Viking Press, 1963), 287–289.
[2]
Lihat Human Rights Watch, A Threshold Crossed: Israeli Authorities
and the Crimes of Apartheid and Persecution, 2021, https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed/israeli-authorities-and-crimes-apartheid-and-persecution.
[3]
Richard Falk, Palestine’s Horizon: Toward a Just Peace
(Atlanta: Just World Books, 2017), 115–118.
[4]
Arendt, Eichmann in Jerusalem, 294; lihat juga Elisabeth
Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World (New Haven: Yale
University Press, 2004), 346–349.
5.
Genosida sebagai Produk Totalitarianisme Modern
Hannah Arendt, dalam
karya monumentalnya The Origins of Totalitarianism,
menegaskan bahwa genosida bukanlah kecelakaan sejarah atau kegilaan sesaat,
melainkan produk
rasional dari sistem kekuasaan totaliter yang bertujuan untuk
mendominasi total kehidupan manusia, bahkan hingga ke tingkat biologis dan
eksistensial1. Dalam sistem semacam ini, tindakan genosida muncul
dari logika internal yang ingin menghapus keberagaman, memusnahkan potensi
kebebasan manusia, dan menghancurkan fondasi pluralitas yang menjadi dasar dari
kehidupan politik.
Arendt menulis bahwa
kekuasaan totaliter tidak puas hanya dengan menundukkan atau mendisiplinkan
individu; ia bertujuan to eliminate the spontaneity and
unpredictability of human action dengan cara mereduksi manusia
menjadi bagian dari massa yang tidak punya identitas individual2.
Dalam hal ini, genosida bukanlah hanya pembunuhan massal, tetapi bentuk ekstrem
dari penghilangan
politik—yakni penghancuran ruang eksistensial yang memungkinkan
seseorang untuk hadir, berbicara, dan bertindak di dunia.
Pola-pola kekuasaan
semacam ini dapat dikenali dalam dinamika kolonialisme pemukim (settler
colonialism) yang berlangsung di Palestina. Praktik penghancuran desa,
pengusiran sistematis warga sipil, pembatasan mobilitas, dan penghilangan
hak-hak politik dasar warga Palestina mengarah pada struktur kekuasaan yang
berupaya menghapus eksistensi kolektif suatu bangsa secara bertahap. Seperti
yang dicatat oleh Rashid Khalidi, proyek kolonial Israel tidak hanya bertujuan
untuk menguasai wilayah, tetapi juga untuk menggantikan secara permanen penduduk
asli dengan populasi kolonial baru3. Dalam kerangka Arendtian, hal
ini merepresentasikan logika totalitarian yang menganggap
keberadaan kelompok tertentu sebagai ancaman yang harus dienyahkan secara
sistematis.
Genosida,
sebagaimana dipahami oleh Arendt, melibatkan proses dehumanisasi yang mendalam,
di mana korban tidak lagi dianggap sebagai subjek yang memiliki hak, melainkan
sebagai superfluous
people—manusia-manusia yang dianggap surplus, tidak berguna, dan
dapat dimusnahkan tanpa pertimbangan moral4. Proses ini sangat
tampak dalam cara wacana publik internasional sering kali menormalkan kematian
massal warga Palestina sebagai “dampak sampingan” dari operasi militer.
Seperti halnya dalam sistem totaliter, kekejaman semacam ini sering dikemas
dalam bahasa administratif dan legal formal untuk menutupi tujuan ideologis
yang lebih dalam.
Arendt juga
memperingatkan bahwa bentuk kekuasaan totaliter tidak selalu muncul dalam wujud
negara fasis yang eksplisit, melainkan dapat berkembang dalam sistem demokratis
yang secara diam-diam membiarkan atau mendukung kekerasan struktural terhadap
kelompok tertentu5. Ketika komunitas internasional gagal bertindak
tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik terhadap
Palestina—atau malah memberikan legitimasi melalui normalisasi hubungan
diplomatik tanpa menyelesaikan isu keadilan—maka dunia menjadi bagian dari
struktur totalitarianisme global yang memproduksi dan memelihara kondisi
genosida.
Lebih penting lagi,
Arendt menyadari bahwa genosida tidak hanya menghilangkan nyawa manusia, tetapi
juga menghapus
jejak keberadaan politik mereka dari sejarah. Oleh karena itu,
melawan genosida bukan hanya soal menghentikan kekerasan, tetapi juga
merekonstruksi narasi dan pengakuan terhadap eksistensi rakyat Palestina sebagai
subjek politik yang sah dan berdaulat.
Dalam kerangka ini,
pembelaan terhadap Palestina tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi juga
keharusan politis untuk menolak logika kekuasaan totaliter dalam bentuk
modernnya—logika yang melihat pluralitas sebagai ancaman, dan menganggap
pembersihan etnis sebagai solusi politik yang rasional.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, Brace, 1951), 438–441.
[2]
Ibid., 457–460.
[3]
Rashid Khalidi, The Hundred Years’ War on Palestine: A History of
Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017 (New York: Metropolitan
Books, 2020), 205–210.
[4]
Arendt, Origins of Totalitarianism, 296, 438; lihat juga
Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (Ithaca: Cornell
University Press, 1989), 91–95.
[5]
Seyla Benhabib, The Reluctant Modernism of Hannah Arendt
(Lanham: Rowman & Littlefield, 2003), 108–110.
6.
Hak untuk Memiliki Hak: Pembelaan Eksistensial
terhadap Rakyat Palestina
Di antara kontribusi
paling berpengaruh dari pemikiran Hannah Arendt terhadap filsafat politik
modern adalah konsep “the right to have rights”—sebuah
ungkapan yang pertama kali muncul dalam The Origins of Totalitarianism
sebagai respon atas nasib para pengungsi, pengasing, dan stateless people
pasca-Perang Dunia II. Arendt menyatakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat
dipahami sebagai hak-hak abstrak yang melekat pada individu secara metafisik,
melainkan hanya menjadi nyata ketika seseorang menjadi bagian dari suatu
komunitas politik yang sah1. Dengan kata lain, manusia hanya
memiliki hak sejauh mereka diakui sebagai warga oleh suatu tatanan politik
yang menjamin eksistensi mereka sebagai subjek hukum dan politik.
Dalam konteks
Palestina, gagasan ini menjadi sangat mendesak. Rakyat Palestina, khususnya
mereka yang hidup di wilayah pendudukan dan pengungsian, telah lama berada
dalam kondisi “tanpa hak” secara praktis. Meskipun deklarasi
internasional seperti Universal Declaration of Human Rights
(1948) dan berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa secara formal menjamin
hak mereka, dalam kenyataannya mereka tidak memiliki komunitas politik
berdaulat yang dapat melindungi dan menegakkan hak-hak tersebut. Sebagaimana
dikatakan Arendt, “The calamity of the rightless is not that
they are deprived of life, liberty, and the pursuit of happiness, but that they
no longer belong to any community whatsoever.”2
Palestina adalah
salah satu contoh paling mencolok di era modern dari kegagalan sistem
internasional dalam menjamin hak untuk memiliki hak. Tanpa
kedaulatan penuh dan pengakuan negara yang utuh, rakyat Palestina berada dalam
ketidakpastian hukum dan politik yang kronis. Mereka tidak memiliki akses penuh
terhadap perlindungan hukum, kebebasan bergerak, hak untuk menentukan nasib
sendiri, atau jaminan keamanan yang seharusnya diberikan oleh entitas politik
yang sah. Seperti ditunjukkan oleh Ayten Gündoğdu dalam pembacaannya atas
Arendt, “the
rightless are those who are excluded not only from citizenship but from
political community itself”—dan inilah yang terjadi pada rakyat
Palestina hari ini3.
Ketiadaan “hak
untuk memiliki hak” bukan hanya menciptakan penderitaan fisik dan
psikologis, tetapi juga merusak integritas eksistensial rakyat Palestina
sebagai subjek moral dan politik. Mereka tidak hanya dibungkam secara hukum,
tetapi juga direduksi menjadi objek belas kasihan atau ancaman keamanan,
tergantung pada wacana politik yang sedang dominan. Dalam kerangka Arendt, hal
ini merupakan bentuk penghapusan paling radikal terhadap kemanusiaan, karena
menolak seseorang dari dunia bersama (common
world) di mana keberadaan manusia menjadi bermakna melalui relasi
sosial, tindakan politik, dan pengakuan publik4.
Membela hak-hak
rakyat Palestina, dalam hal ini, bukan sekadar tuntutan keadilan distributif,
tetapi adalah perjuangan untuk memulihkan eksistensi politik mereka. Arendt
percaya bahwa politik yang sejati bukanlah soal dominasi, tetapi ruang untuk
tindakan, kebebasan, dan pluralitas. Oleh karena itu, mengembalikan “hak
untuk memiliki hak” kepada rakyat Palestina berarti mengembalikan
mereka ke dalam dunia di mana mereka dapat berbicara, berbuat, dan
berpartisipasi dalam pembentukan tatanan bersama.
Lebih dari itu,
kegagalan dunia internasional untuk menjamin hak-hak dasar rakyat Palestina
merupakan refleksi dari krisis etis dan politis yang lebih luas: bahwa sistem
global yang kita miliki belum mampu mengatasi situasi di mana jutaan manusia
hidup dalam kondisi de jure atau de facto
tanpa negara, tanpa perlindungan, dan tanpa partisipasi. Dalam kata-kata
Arendt, “No
one wants to be just a human being without citizenship, without a place in the
world.”5 Maka dari itu, perjuangan untuk rakyat
Palestina adalah perjuangan universal: perjuangan untuk menjamin bahwa tidak
seorang pun dicabut dari dunia politik yang menjadikan mereka manusia
sepenuhnya.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, Brace, 1951), 296–297.
[2]
Ibid., 295.
[3]
Ayten Gündoğdu, Rightlessness in an Age of Rights: Hannah Arendt
and the Contemporary Struggles of Migrants (Oxford: Oxford University
Press, 2015), 19–21.
[4]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 182–186.
[5]
Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World
(New Haven: Yale University Press, 2004), 284.
7.
Politik Natalitas: Harapan Baru dari
Solidaritas Global
Salah satu aspek
paling khas dan orisinal dari pemikiran politik Hannah Arendt adalah konsep natality
(kelahiran), yang diperkenalkannya dalam The Human Condition. Berbeda dari
banyak filsuf politik lainnya yang berfokus pada kematian sebagai pusat
pemikiran etis dan eksistensial, Arendt menempatkan kelahiran—kemampuan manusia
untuk memulai sesuatu yang baru—sebagai dasar ontologis dari tindakan dan
kebebasan politik1. Dalam kerangka ini, natalitas bukan sekadar peristiwa
biologis, tetapi simbol harapan: bahwa setiap manusia, karena lahir, memiliki
potensi untuk mengubah dunia melalui tindakan kolektif dan kebebasan berpikir.
Arendt menulis bahwa
tindakan politik sejati adalah “the capacity of beginning something anew”
yang bersumber dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang lahir ke dunia
dengan kemampuan untuk bertindak secara spontan dan tak terduga2.
Dalam konteks Palestina, di tengah kekelaman penjajahan, kekerasan, dan
penghilangan politik yang berlangsung puluhan tahun, konsep natality
membuka jalan bagi suatu pembacaan alternatif: bahwa rakyat Palestina, dengan
segala penderitaannya, tetap memelihara potensi untuk melahirkan dunia politik
baru melalui perjuangan, keberanian, dan solidaritas.
Salah satu
manifestasi nyata dari politik natalitas dalam perjuangan
Palestina adalah munculnya berbagai bentuk perlawanan non-kekerasan, seperti
gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), unjuk rasa damai, kampanye
solidaritas lintas negara, dan produksi seni serta narasi yang mengklaim
kembali hak untuk hadir di ruang publik global3. Ini adalah
bentuk-bentuk tindakan yang, menurut Arendt, memperlihatkan keberanian untuk
hadir di dunia, menyuarakan kebenaran, dan memulai sesuatu yang berbeda dari
logika kekerasan yang dominan. Dengan cara ini, rakyat Palestina menolak untuk
direduksi menjadi korban pasif dan justru tampil sebagai subjek politik yang
aktif.
Lebih dari itu, natality
juga mengundang tanggung jawab global. Arendt percaya bahwa dunia hanya dapat
bertahan sebagai common world jika manusia bersedia
bertindak demi keadilan, bukan sekadar bereaksi terhadap kekerasan. Gerakan
solidaritas internasional yang mendukung kemerdekaan dan hak-hak rakyat
Palestina dapat dilihat sebagai respon natalistik—yakni komitmen
untuk tidak membiarkan dunia beku dalam tatanan kekuasaan yang timpang,
melainkan membuka kemungkinan akan kelahiran dunia politik baru yang lebih adil
dan plural. Seperti dikemukakan Bonnie Honig, natality menuntut kita tidak hanya
untuk mengakui penderitaan, tetapi juga untuk membayangkan dan mewujudkan
politik alternatif yang etis dan bertanggung jawab4.
Dalam situasi ketika
sistem internasional tampak impoten menghadapi kekerasan struktural terhadap
Palestina, natality
menjadi prinsip yang membangkitkan harapan: bahwa perubahan tidak semata
bergantung pada institusi, tetapi juga pada keberanian moral individu dan
kolektif untuk bertindak, berbicara, dan membentuk dunia yang baru. Dalam
istilah Arendt, setiap tindakan adalah “a miracle”—keajaiban yang lahir
dari keberanian untuk melampaui determinisme sejarah dan membuka kemungkinan
baru bagi kemanusiaan5.
Dengan demikian,
solidaritas global terhadap Palestina tidak hanya menjadi aksi empatik, tetapi
juga menjadi bagian dari proses politik yang lebih dalam: proses melahirkan
kembali dunia melalui kesadaran akan tanggung jawab, pluralitas,
dan harapan. Politik natalitas menegaskan bahwa sejarah
penindasan bukanlah akhir, dan bahwa setiap bangsa, termasuk Palestina,
memiliki hak untuk lahir kembali ke dalam komunitas dunia sebagai subjek
politik yang utuh dan merdeka.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 176–179.
[2]
Ibid., 177.
[3]
Omar Barghouti, Boycott, Divestment, Sanctions: The Global Struggle
for Palestinian Rights (Chicago: Haymarket Books, 2011), 93–100.
[4]
Bonnie Honig, Emergency Politics: Paradox, Law, Democracy
(Princeton: Princeton University Press, 2009), 105–107.
[5]
Arendt, The Human Condition, 178–180.
8.
Kritik atas Kebungkaman Internasional:
Kekosongan Tanggung Jawab Politik
Hannah Arendt tidak
hanya dikenal sebagai pemikir tentang totalitarianisme dan hak-hak manusia,
tetapi juga sebagai kritikus tajam terhadap kebungkaman masyarakat internasional
dalam menghadapi kejahatan kolektif. Dalam Eichmann in Jerusalem, ia menyindir
bagaimana lembaga-lembaga hukum dan politik global sering kali bersikap impoten
atau bahkan apatis terhadap kekejaman yang terjadi di depan mata, baik karena kepentingan
politis maupun karena krisis moral yang lebih mendalam1. Kritik
Arendt ini menemukan relevansinya secara mencolok dalam konteks tragedi yang
terus menerus menimpa rakyat Palestina, di mana kekerasan sistemik dan
pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan berlangsung dengan sedikit atau tanpa
konsekuensi internasional yang berarti.
Arendt percaya bahwa
dunia bersama (common world) hanya dapat
dipertahankan jika manusia bertanggung jawab secara politik terhadap satu sama
lain. Ketika komunitas internasional gagal merespons secara bermakna terhadap
penderitaan rakyat yang tertindas—seperti Palestina—maka yang terjadi bukan
hanya pengkhianatan terhadap hak-hak manusia, tetapi juga kehancuran terhadap
fondasi dunia politik itu sendiri2. Kebungkaman negara-negara besar
dan lembaga multilateral seperti Dewan Keamanan PBB terhadap serangan terhadap
warga sipil, blokade kemanusiaan, dan penghancuran infrastruktur vital di Gaza
mencerminkan vacuum of responsibility yang
digambarkan Arendt sebagai ciri utama krisis politik modern.
Dalam kerangka
Arendt, kekosongan tanggung jawab ini adalah bagian dari proses dehumanisasi:
ketika penderitaan manusia tidak direspon sebagai panggilan untuk bertindak,
melainkan sebagai peristiwa yang dapat dinegosiasikan secara strategis.
Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah akar dari
kejahatan politik, dan dalam dunia modern, bentuk paling berbahaya dari
kekuasaan semacam itu adalah ketika kekerasan dilegitimasi oleh hukum atau
diabaikan oleh struktur internasional yang seharusnya melindungi hak-hak
fundamental3.
Lebih jauh, Arendt
menyoroti bagaimana logika teknokratis dalam diplomasi internasional sering
kali menggantikan pertimbangan moral dan tanggung jawab etis. Dalam hal
Palestina, hal ini terlihat dalam narasi-narasi netral seperti “kedua belah
pihak harus menahan diri” atau “diperlukan proses perdamaian yang
inklusif” yang menutupi asimetri kekuasaan dan penderitaan struktural yang
dialami oleh rakyat Palestina4. Alih-alih mendorong tindakan yang adil,
bahasa diplomatik semacam itu justru memperpanjang status quo dengan
menghindari posisi moral yang tegas.
Kebungkaman
internasional juga memperlihatkan kegagalan komunitas dunia dalam menunaikan
janji-janji universalitas hak asasi manusia. Arendt menyebut bahwa ketika
masyarakat internasional tidak menjamin the right to have rights, maka “humanity
itself ceases to exist as a political reality”5. Dalam
konteks ini, diamnya dunia atas penderitaan Palestina bukan hanya mencerminkan
bias politik, tetapi juga krisis eksistensial dari ide universalitas hak-hak
manusia itu sendiri. Hak menjadi tidak universal, tetapi selektif—ditentukan
oleh geopolitik dan bukan oleh keadilan.
Oleh karena itu,
menurut kerangka Arendtian, membela Palestina tidak hanya berarti membela
korban ketidakadilan, tetapi juga memulihkan tanggung jawab politik global yang
telah tereduksi menjadi kalkulasi kepentingan. Ini adalah ajakan untuk berpikir
(thinking) dan bertindak (action)—dua dimensi yang
menurut Arendt mendefinisikan manusia sebagai makhluk politik sejati. Dunia
tidak bisa tetap menjadi “penonton rasional” di tengah kekejaman; ia
harus menjadi ruang tindakan bersama untuk
menjamin bahwa tidak ada kelompok yang dikeluarkan dari perlindungan politik
global.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Viking Press, 1963), 252–255.
[2]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 198–201.
[3]
Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World
(New Haven: Yale University Press, 2004), 298–300.
[4]
Richard Falk, Palestine: The Legitimacy of Hope (London: Just
World Books, 2014), 121–125.
[5]
Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt,
Brace, 1951), 296.
9.
Simpulan: Menolak Genosida, Merayakan
Pluralitas
Dalam menghadapi
tragedi yang terus berlangsung atas rakyat Palestina, pemikiran Hannah Arendt
menawarkan lebih dari sekadar analisis teoretis; ia menyediakan lensa etis dan
politis yang menuntut tanggung jawab untuk bertindak. Dari konsep banality
of evil yang membongkar bagaimana kekerasan ekstrem dapat
dilembagakan secara biasa, hingga gagasan right to have rights yang
mengkritik hilangnya perlindungan politik atas manusia tanpa negara, Arendt
secara konsisten menunjukkan bahwa kekejaman bukan sekadar akibat dari
kebencian individu, tetapi juga dari sistem yang gagal mempertahankan
pluralitas dan tanggung jawab politik1.
Tragedi Palestina,
jika dilihat melalui perspektif Arendtian, bukanlah sekadar konflik bersenjata
atau pertikaian antar entitas nasional, melainkan ekspresi dari proyek
dehumanisasi dan penghilangan politik. Pendudukan, pengusiran, blokade, dan
penghancuran kehidupan sipil bukan hanya menciptakan penderitaan fisik, tetapi
juga menyingkirkan rakyat Palestina dari dunia bersama (common
world) di mana eksistensi manusia memperoleh makna melalui
pengakuan, tindakan, dan kebebasan2.
Menolak genosida
berarti menolak struktur kekuasaan yang memandang pluralitas sebagai ancaman.
Arendt mengajarkan bahwa pluralitas—yakni keberadaan manusia yang berbeda-beda
namun setara—adalah prasyarat dari dunia politik yang otentik3.
Dalam konteks ini, rakyat Palestina bukan sekadar korban, tetapi subjek politik
yang sah, yang memiliki hak untuk menjadi bagian dari komunitas dunia tanpa
harus menyerahkan identitas, tanah, dan kedaulatannya. Dengan kata lain,
membela Palestina adalah membela pluralitas itu sendiri—bahwa dunia ini tidak
dapat dipersatukan dengan menghapus keragaman, tetapi dengan merayakannya dalam
keadilan.
Dalam The
Human Condition, Arendt menyatakan bahwa tindakan manusia
mengandung potensi untuk memulai sesuatu yang baru—inilah
inti dari natality4.
Maka harapan tetap terbuka: bahwa solidaritas global, keberanian untuk berpikir
dan bertindak, serta kesediaan untuk mendengarkan suara-suara yang disingkirkan
dapat melahirkan politik baru yang berpihak pada kehidupan, bukan pada
penghancuran. Dalam kerangka inilah perjuangan untuk Palestina tidak hanya
menjadi isu lokal, tetapi cermin dari tanggung jawab kolektif umat manusia
untuk menciptakan dunia yang lebih adil.
Akhirnya, dunia
tidak boleh membiarkan genosida menjadi bahasa kekuasaan yang sah. Dunia tidak
boleh membiarkan kebungkaman menggantikan politik, atau legalitas menggantikan
keadilan. Seperti ditegaskan Arendt, satu-satunya cara untuk menghindari
kembalinya totalitarianisme adalah dengan membangun kembali ruang politik yang
hidup, di mana setiap manusia memiliki hak untuk bertindak, berbicara, dan
diakui sebagai bagian dari umat manusia5. Maka, membela rakyat
Palestina bukan hanya tindakan politis, tetapi juga pernyataan moral: bahwa
kita menolak banalitas kekejaman, dan memilih untuk merayakan pluralitas
sebagai dasar dari dunia bersama yang layak dihuni oleh semua.
Footnotes
[1]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Viking Press, 1963), 294–296.
[2]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, Brace, 1951), 295–297.
[3]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 7–9.
[5]
Elisabeth Young-Bruehl, Hannah Arendt: For Love of the World
(New Haven: Yale University Press, 2004), 302–305.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1951). The
origins of totalitarianism. Harcourt, Brace.
Arendt, H. (1958). The
human condition. University of Chicago Press.
Arendt, H. (1963). Eichmann
in Jerusalem: A report on the banality of evil. Viking Press.
Barghouti, O. (2011). Boycott,
divestment, sanctions: The global struggle for Palestinian rights.
Haymarket Books.
Bauman, Z. (1989). Modernity
and the Holocaust. Cornell University Press.
Benhabib, S. (2003). The
reluctant modernism of Hannah Arendt (2nd ed.). Rowman & Littlefield.
Benhabib, S. (2004). The
rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University
Press.
Falk, R. (2014). Palestine:
The legitimacy of hope. Just World Books.
Falk, R. (2017). Palestine’s
horizon: Toward a just peace. Just World Books.
Gündoğdu, A. (2015). Rightlessness
in an age of rights: Hannah Arendt and the contemporary struggles of migrants.
Oxford University Press.
Honig, B. (2009). Emergency
politics: Paradox, law, democracy. Princeton University Press.
Human Rights Watch. (2021).
A threshold crossed: Israeli authorities and the crimes of apartheid and
persecution. https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed/israeli-authorities-and-crimes-apartheid-and-persecution
Khalidi, R. (2020). The
hundred years’ war on Palestine: A history of settler colonialism and
resistance, 1917–2017. Metropolitan Books.
Young-Bruehl, E. (2004). Hannah
Arendt: For love of the world (2nd ed.). Yale University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar