Selasa, 03 Juni 2025

Hak untuk Malas: Kritik Paul Lafargue terhadap Mitos Kerja dalam Kapitalisme

Hak untuk Malas

Kritik Paul Lafargue terhadap Mitos Kerja dalam Kapitalisme


Alihkan ke: Pemikiran Lafargue.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara kritis gagasan hak untuk malas yang dikemukakan oleh Paul Lafargue sebagai bentuk penolakan terhadap budaya kerja keras dalam sistem kapitalisme industri. Melalui analisis historis dan filosofis, artikel ini menelusuri latar belakang sosial-politik yang melahirkan esai The Right to Be Lazy (1883), serta membedah konsep “malas” bukan sebagai kemalasan pasif, melainkan sebagai protes terhadap fetisisme kerja dan eksploitasi tenaga kerja. Lafargue menyerukan pengurangan jam kerja, redistribusi hasil produksi, dan pemanfaatan teknologi untuk membebaskan manusia dari kerja paksa. Dalam konteks kontemporer, gagasan ini menemukan kembali relevansinya di tengah krisis kesehatan mental akibat budaya overwork, perkembangan otomatisasi, dan kemunculan wacana alternatif seperti empat hari kerja seminggu dan pendapatan dasar universal. Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap Lafargue, baik dari sudut pandang liberal, konservatif, maupun Marxis ortodoks, serta menekankan pentingnya membaca gagasan tersebut dalam kerangka emansipasi sosial kolektif. Dengan demikian, hak untuk malas diartikulasikan sebagai wacana pembebasan dari nilai-nilai dominan yang menjadikan kerja sebagai pusat kehidupan manusia modern.

Kata Kunci: Paul Lafargue, hak untuk malas, budaya kerja keras, kapitalisme, kerja dan waktu luang, kritik sosial, emansipasi, produktivitas, alienasi kerja.


PEMBAHASAN

Mengeksplorasi Gagasan Lafargue dan Relevansinya terhadap Kondisi Kerja Kontemporer


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah panjang perkembangan ekonomi modern, kerja dipandang sebagai pilar utama peradaban. Ide bahwa kerja keras adalah suatu kebajikan moral telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Kerja tidak lagi semata-mata menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan juga dijadikan ukuran integritas dan nilai seseorang. Dalam masyarakat kapitalistik, orang yang bekerja keras dianggap lebih mulia, produktif, dan pantas mendapatkan tempat yang tinggi di mata publik. Pandangan ini berakar pada etika Protestan tentang kerja, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, di mana kerja keras, disiplin, dan pengendalian diri merupakan ekspresi iman dan tanda-tanda keselamatan dalam pandangan Calvinis.¹

Namun, tidak semua pemikir setuju bahwa kerja keras selalu berdampak positif bagi manusia. Salah satu tokoh yang secara radikal menentang kultus kerja ini adalah Paul Lafargue, seorang sosialis Prancis dan menantu Karl Marx. Dalam esainya yang berjudul Le Droit à la Paresse (1883) atau The Right to Be Lazy, Lafargue mengajukan tesis kontroversial bahwa kerja, sebagaimana dijalankan dalam sistem kapitalis, justru menjadi alat perbudakan baru yang mengasingkan manusia dari kehidupannya sendiri.² Menurut Lafargue, masyarakat modern telah menciptakan mitos kerja sebagai kewajiban moral, padahal kerja berlebihan justru merugikan kaum pekerja secara fisik, psikis, dan spiritual. Ia menulis dengan nada satir, menyindir bagaimana proletariat mengorbankan kebahagiaan dan waktu hidupnya demi sistem yang tidak pernah benar-benar membalas jasa mereka secara adil.³

Lafargue tidak menyerukan kemalasan dalam arti kemalasan pasif atau pembiaran, melainkan memperjuangkan hak setiap manusia untuk hidup tanpa dipaksa oleh logika kerja yang menindas. Bagi Lafargue, manusia seharusnya tidak diukur dari produktivitas semata, tetapi dari kemampuannya untuk menikmati hidup secara bebas dan kreatif. Ia membayangkan suatu masyarakat di mana manusia tidak diperbudak oleh mesin dan waktu kerja, melainkan memiliki kebebasan untuk menentukan irama hidupnya sendiri.⁴

Gagasan Lafargue muncul pada masa transformasi besar dalam masyarakat industri Eropa, di mana eksploitasi terhadap kelas pekerja mencapai titik ekstrem. Pada masa itu, jam kerja bisa mencapai 14 hingga 16 jam per hari tanpa jaminan kesejahteraan.⁵ Dalam konteks itulah, hak untuk malas menjadi semacam provokasi intelektual untuk mengguncang asumsi dasar kapitalisme tentang nilai dan tujuan kerja. Walaupun gagasan ini sempat dilupakan, belakangan muncul kembali dalam wacana kontemporer tentang kerja, terutama di tengah krisis kesehatan mental, budaya overwork, dan ketimpangan distribusi kekayaan global.

Maka, membahas hak untuk malas bukanlah semata-mata soal pembelaan terhadap kemalasan, tetapi merupakan kritik struktural terhadap sistem yang memaksa manusia bekerja melebihi batas kemanusiaannya. Dengan membongkar mitos kerja dalam kapitalisme, Lafargue mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali: apakah kerja selalu membawa kebebasan, atau justru menjadi bentuk baru dari perbudakan yang tersamar?


Footnotes

[1]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Routledge, 2001), 39–40.

[2]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 9.

[3]                Ibid., 14.

[4]                Michael Löwy, Redemption and Utopia: Jewish Libertarian Thought in Central Europe (Stanford: Stanford University Press, 1992), 62.

[5]                Eric Hobsbawm, Industry and Empire: The Birth of the Industrial Revolution (New York: The New Press, 1999), 156.


2.           Profil Singkat Paul Lafargue

Paul Lafargue (1842–1911) merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah sosialisme revolusioner di Eropa, sekaligus dikenal luas karena gagasan eksentriknya tentang hak untuk malas. Lahir di Santiago de Cuba, wilayah jajahan Spanyol saat itu, Lafargue memiliki latar belakang multietnis yang cukup kompleks: ia berdarah Prancis, Haiti, dan Yahudi.¹ Kondisi ini menjadikan Lafargue tumbuh dalam suasana yang akrab dengan pengalaman kolonialisme, perbedaan rasial, dan ketimpangan sosial—semua elemen yang kelak sangat mewarnai pemikirannya tentang keadilan sosial dan pembebasan kelas pekerja.

Lafargue menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Paris, tetapi ketertarikannya pada filsafat, politik, dan teori sosial membawa dia aktif dalam pergerakan mahasiswa dan sosialisme radikal. Ia terlibat dalam International Workingmen’s Association (IWA), atau lebih dikenal sebagai Internasional Pertama, dan mulai menulis artikel-artikel untuk mendukung perjuangan kaum proletar.² Dalam ruang intelektual ini pula, ia berkenalan dengan Karl Marx dan kemudian menikahi putri ketiganya, Laura Marx, pada tahun 1868.³ Hubungan personal dan ideologis ini memperkuat posisinya sebagai penerus pemikiran Marxis, walaupun Lafargue sering memberi warna tersendiri pada gagasan-gagasannya.

Sebagai seorang teoretikus sosialis, Lafargue memiliki gaya penulisan yang satiris, tajam, dan penuh ironi. Ia tidak segan-segan menyerang nilai-nilai borjuis yang menurutnya hipokrit dan menindas. Salah satu kontribusi paling dikenal darinya adalah esai Le Droit à la Paresse (1883), di mana ia melancarkan kritik radikal terhadap glorifikasi kerja dalam sistem kapitalisme industri.⁴ Dalam pandangannya, pekerja justru harus menuntut hak untuk hidup tanpa dihisap tenaganya secara berlebihan, dan masyarakat harus dibebaskan dari ilusi bahwa kerja keras selalu mendatangkan kebahagiaan.

Selain aktivitas intelektual, Lafargue juga aktif dalam politik praktis. Ia menjadi anggota Partai Pekerja Prancis (Parti Ouvrier Français), partai sosialis pertama di Prancis yang didirikan pada tahun 1880 bersama Jules Guesde.⁵ Partai ini berupaya mengintegrasikan doktrin Marxis ke dalam perjuangan kelas pekerja Prancis, sekaligus melawan pendekatan reformis yang dianggap terlalu kompromistis dengan sistem kapitalisme.

Tragisnya, kehidupan Lafargue berakhir dengan cara yang mencerminkan pandangan hidupnya. Pada tahun 1911, pada usia 69 tahun, Lafargue dan istrinya Laura memutuskan mengakhiri hidup mereka secara sukarela. Dalam surat perpisahannya, Lafargue menulis bahwa ia tidak ingin hidup menjadi beban karena usia tua dan ketidakmampuan fisik.⁶ Tindakan ini bagi sebagian orang dianggap tragis, namun bagi Lafargue dan kalangan sosialis radikal, hal itu merupakan ekspresi kebebasan terakhir: menolak sistem yang memaksa manusia hidup tanpa kendali atas tubuh dan waktunya sendiri.

Dengan demikian, Paul Lafargue bukan hanya tokoh yang menulis ide-ide subversif terhadap kapitalisme, tetapi juga menjalani hidupnya sebagai bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai dominan zamannya. Melalui tulisan-tulisannya, ia terus menantang asumsi dasar masyarakat modern tentang kerja, produktivitas, dan kebebasan manusia.


Footnotes

[1]                William A. Pelz, A People’s History of Modern Europe (London: Pluto Press, 2016), 99.

[2]                Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution, Volume IV: Critique of Other Socialisms (New York: Monthly Review Press, 1989), 48.

[3]                David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Macmillan, 1973), 465.

[4]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 9.

[5]                Geoff Eley, Forging Democracy: The History of the Left in Europe, 1850–2000 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 41.

[6]                Jean-François Sirinelli, Intellectuals and Politics in France (New York: Routledge, 2003), 73.


3.           Asal-usul Gagasan “Hak untuk Malas”

Gagasan “hak untuk malas” (le droit à la paresse) pertama kali diperkenalkan oleh Paul Lafargue dalam esainya yang diterbitkan tahun 1883. Esai ini tidak hanya menyentil, tetapi juga secara frontal menyerang nilai-nilai dominan dalam masyarakat industri modern, terutama glorifikasi terhadap kerja sebagai sesuatu yang suci dan bermoral. Lafargue menyusun argumen tersebut sebagai kritik terhadap dogma borjuis yang telah menempatkan kerja sebagai pusat kehidupan manusia, bahkan hingga titik di mana manusia kehilangan makna kemanusiaannya sendiri.¹

Lafargue menulis Le Droit à la Paresse pada masa ketika Revolusi Industri telah mengubah wajah masyarakat Eropa secara drastis. Di Prancis, Inggris, dan negara-negara industri lainnya, jam kerja pekerja pabrik bisa mencapai 14 hingga 16 jam sehari, dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi.² Dalam situasi seperti ini, Lafargue menyaksikan bagaimana kaum proletar terjebak dalam logika kerja yang eksploitatif, namun ironisnya mereka juga menginternalisasi nilai-nilai tersebut, seolah-olah kerja keras adalah kebajikan moral tertinggi. Ia menyebut hal ini sebagai “delusi” atau khayalan yang ditanamkan oleh kelas penguasa demi kelangsungan sistem kapitalisme

Gagasan ini lahir sebagai anti-tesis terhadap etika kerja Protestan dan etos kapitalistik, yang telah menanamkan ide bahwa produktivitas merupakan panggilan ilahi dan simbol keutamaan pribadi. Lafargue menyebut bahwa para buruh telah melupakan bahwa mereka seharusnya tidak hanya bekerja untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk hidup secara utuh—dengan waktu untuk beristirahat, mencipta, bersenang-senang, dan mengembangkan diri.⁴ Ia menulis dengan nada satiris: “A strange delusion possesses the working classes... the love of work, the furious passion for work, pushed even to the exhaustion of the individual and his progeny.”⁵

Melalui esai ini, Lafargue memutarbalikkan logika moral borjuis dengan menuntut “hak untuk malas”—sebuah ekspresi radikal untuk membebaskan manusia dari paksaan kerja yang melelahkan. Baginya, kemalasan bukanlah sikap pasif, tetapi pilihan aktif untuk menolak eksploitasi. Ia percaya bahwa kemajuan teknologi semestinya memungkinkan manusia bekerja lebih sedikit, bukan lebih lama. Dalam hal ini, Lafargue menunjukkan gagasan yang sangat progresif: bahwa produktivitas manusia tidak harus ditentukan oleh durasi kerja, melainkan oleh kapasitas kolektif untuk menciptakan sistem kerja yang manusiawi dan berkelanjutan.⁶

Dalam konteks lebih luas, hak untuk malas adalah bagian dari kritik Marxis terhadap alienasi—konsep bahwa dalam masyarakat kapitalistik, pekerja tercerabut dari hasil kerjanya, dari dirinya sendiri, dan dari sesama manusia.⁷ Dengan menyerang akar ideologis yang memuliakan kerja, Lafargue berusaha mengembalikan kesadaran kaum buruh bahwa kerja bukanlah takdir ilahi, melainkan produk dari struktur sosial yang bisa dan harus diubah. Ia juga ingin membuka ruang imajinasi untuk masyarakat alternatif, di mana hidup tidak ditentukan oleh nilai tukar dan jam kerja, melainkan oleh nilai-nilai humanistik dan kebebasan sejati.


Footnotes

[1]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 7–9.

[2]                Eric Hobsbawm, Industry and Empire: The Birth of the Industrial Revolution (New York: The New Press, 1999), 154–157.

[3]                Lafargue, The Right to Be Lazy, 10.

[4]                Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx (Chicago: Haymarket Books, 2005), 98–99.

[5]                Lafargue, The Right to Be Lazy, 7.

[6]                Anselm Jappe, The Writing on the Wall: On the Decomposition of Capitalism and Its Critics (Alresford: Zero Books, 2017), 43.

[7]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 71–74.


4.           Konsep “Malas” dalam Pandangan Lafargue

Istilah malas dalam judul esai Paul Lafargue, Le Droit à la Paresse (The Right to Be Lazy), seringkali disalahpahami. Dalam masyarakat modern yang didominasi etika produktivitas, kemalasan hampir selalu dimaknai secara negatif: sebagai kebodohan, kelemahan moral, atau beban sosial. Namun, bagi Lafargue, “malas” tidaklah identik dengan kemalasan mutlak atau penghindaran total terhadap kerja. Sebaliknya, malas adalah bentuk kritik tajam terhadap fetishisme kerja—yakni anggapan bahwa kerja memiliki nilai intrinsik yang suci, bahkan ketika kerja itu sendiri merusak tubuh dan jiwa manusia.¹

Lafargue memaknai kemalasan sebagai hak untuk membebaskan diri dari kerja yang tidak manusiawi, yakni kerja yang terlalu panjang, monoton, dan semata-mata untuk mempertahankan eksistensi dalam sistem kapitalisme. Ia menulis: “A strange delusion possesses the working classes... this mad love of work is the cause of the present industrial barbarism.”² Pernyataan ini menunjukkan bahwa Lafargue menganggap kecintaan terhadap kerja sebagai sesuatu yang dipaksakan dan ditanamkan oleh ideologi borjuis, bukan sebagai kecenderungan alami manusia.

Dalam kerangka ini, malas menjadi tindakan pembebasan. Ia menuntut agar manusia memperoleh kembali haknya untuk tidak bekerja tanpa henti demi akumulasi kapital. Konsep ini paralel dengan gagasan waktu luang sebagai prasyarat kebebasan sejati, sebagaimana juga dikembangkan oleh Marx dan Engels, yang menganggap waktu bebas sebagai medan aktualisasi manusia sebagai makhluk kreatif.³ Lafargue melanjutkan gagasan ini dengan menyoroti bahwa mesin dan teknologi seharusnya mampu mengurangi waktu kerja, bukan memperpanjangnya seperti yang terjadi dalam praktik kapitalisme.⁴

Dengan demikian, malas dalam pandangan Lafargue bukanlah antitesis dari kerja, melainkan antitesis dari kerja yang mengasingkan. Ia tidak menolak kerja sebagai aktivitas manusiawi, melainkan menolak kerja sebagai paksaan dan perbudakan terselubung. Lafargue bahkan menegaskan bahwa dalam masyarakat yang sehat, kerja harus menjadi bagian kecil dari kehidupan manusia, bukan pusatnya. Dalam dunia idealnya, manusia memiliki waktu untuk berpikir, beristirahat, bermain, dan menikmati hidup tanpa dikontrol oleh jam kerja.⁵

Lebih jauh, Lafargue menganggap kemalasan sebagai tuntutan revolusioner, sebuah pernyataan politik yang menolak struktur dominasi kapitalistik. Hak untuk malas adalah cara untuk mengklaim kembali tubuh, waktu, dan kehidupan dari sistem produksi yang mementingkan profit atas kesejahteraan manusia.⁶ Dalam hal ini, “malas” adalah konsep politis, bukan sekadar kondisi pasif atau mentalitas lemah. Ia merupakan hak yang harus diperjuangkan oleh kaum pekerja sebagai bagian dari emansipasi diri mereka.

Melalui pembalikan makna ini, Lafargue membuka ruang wacana yang radikal: bahwa kebahagiaan manusia tidak tergantung pada seberapa keras ia bekerja, melainkan pada kemampuannya untuk mengelola hidup dengan bermakna dan bebas dari tekanan ekonomi yang terus-menerus.


Footnotes

[1]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 10–11.

[2]                Ibid., 7.

[3]                Karl Marx, Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy, trans. Martin Nicolaus (London: Penguin Books, 1973), 611–612.

[4]                Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx (Chicago: Haymarket Books, 2005), 102.

[5]                Anselm Jappe, The Writing on the Wall: On the Decomposition of Capitalism and Its Critics (Alresford: Zero Books, 2017), 45.

[6]                Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011), 36.


5.           Kritik terhadap Budaya Kerja Keras

Budaya kerja keras telah lama menjadi pilar ideologis masyarakat modern, khususnya dalam sistem kapitalisme industri. Kerja diposisikan bukan hanya sebagai kewajiban ekonomi, tetapi juga sebagai nilai moral tertinggi—sebuah bentuk pengabdian sosial dan pembuktian etis tentang kelayakan seseorang. Budaya ini berakar kuat pada tradisi etika Protestan, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber dalam karyanya yang monumental The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber mengidentifikasi bagaimana paham Calvinisme membentuk mentalitas kerja modern: kesuksesan duniawi dianggap sebagai pertanda keselamatan rohani, sehingga kerja menjadi suatu bentuk spiritualitas terselubung.¹

Paul Lafargue melihat konstruksi moral semacam ini sebagai alat dominasi kelas. Dalam esainya The Right to Be Lazy, ia menuduh bahwa kelas borjuis telah menyebarkan “agama kerja” di kalangan proletariat, bukan untuk membebaskan mereka, tetapi untuk melanggengkan eksploitasi.² Pekerja diajari untuk bangga atas kerja keras mereka, walaupun kenyataannya kerja itu sering kali menghancurkan tubuh, waktu, dan kehidupan sosial mereka. Alih-alih memberontak, para buruh justru membenarkan nasib mereka sendiri dengan menyerap nilai-nilai kerja keras yang dikonstruksi oleh kelas penguasa.

Lafargue menyoroti kontradiksi mendasar dalam sistem ini: kerja berlebihan tidak meningkatkan kualitas hidup, justru sebaliknya. Ia mengutip contoh sejarah bahwa masyarakat kuno, seperti bangsa Yunani dan Romawi, menganggap kerja sebagai beban yang layak dilakukan oleh budak, bukan oleh warga bebas.³ Dalam dunia modern, justru kaum pekerja bebas yang dipaksa bekerja seperti budak. Lafargue dengan tajam menyatakan bahwa: “The Greek philosophers taught contempt for work... in capitalist society, work is glorified to hide the servitude it creates.”⁴

Kritik terhadap budaya kerja keras juga tidak berhenti pada aspek sejarah dan ideologis, tetapi menyentuh ranah psikologis dan sosial. Budaya overwork telah menyebabkan stres kronis, depresi, dan kehancuran hubungan sosial.⁵ Dalam konteks kontemporer, gejala seperti burnout dan workaholism menunjukkan bahwa etika kerja keras bukan lagi menjadi instrumen pembangunan, melainkan penyakit struktural yang melumpuhkan masyarakat. Gagasan Lafargue tentang hak untuk malas kini menemukan relevansinya kembali, terutama dalam kritik-kritik modern terhadap apa yang disebut sebagai “hustle culture”—budaya yang merayakan kerja non-stop sebagai gaya hidup ideal.⁶

Di sisi lain, teknologi yang semestinya membebaskan manusia dari kerja justru sering digunakan untuk mempercepat ritme produksi dan memperpanjang jam kerja. Dalam banyak industri, otomatisasi malah meningkatkan pengawasan terhadap pekerja dan memperkuat tekanan agar tetap produktif setiap detik.⁷ Lafargue telah mengantisipasi hal ini dalam esainya, dengan menekankan bahwa kemajuan teknologi seharusnya digunakan untuk mengurangi kerja, bukan untuk memperbudak manusia lebih jauh.

Singkatnya, kritik Lafargue terhadap budaya kerja keras adalah kritik terhadap seluruh struktur nilai kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai alat produksi. Ia mengajak pembaca untuk membayangkan ulang cara hidup yang tidak dikendalikan oleh jam kerja, tetapi oleh prinsip kebebasan, kreativitas, dan kemanusiaan. Dalam hal ini, hak untuk malas bukanlah hak untuk menjadi tidak produktif, melainkan hak untuk menentukan sendiri makna produktivitas di luar kerangka eksploitasi.


Footnotes

[1]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Routledge, 2001), 39–43.

[2]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 11–13.

[3]                Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx (Chicago: Haymarket Books, 2005), 102.

[4]                Lafargue, The Right to Be Lazy, 15.

[5]                Jonathan Crary, 24/7: Late Capitalism and the Ends of Sleep (London: Verso, 2013), 24–26.

[6]                Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011), 65–68.

[7]                Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future: Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 80–83.


6.           Alternatif Sosial dan Ekonomi yang Diusulkan Lafargue

Dalam The Right to Be Lazy, Paul Lafargue tidak hanya melontarkan kritik terhadap eksploitasi tenaga kerja dalam kapitalisme, tetapi juga mengusulkan berbagai alternatif sosial dan ekonomi yang ia pandang lebih manusiawi dan rasional. Berbeda dari propaganda kapitalis yang mengagungkan kerja tanpa henti, Lafargue menyerukan perombakan radikal terhadap struktur waktu kerja, pemanfaatan teknologi, dan tujuan produksi ekonomi secara keseluruhan.¹

Salah satu usulan utama Lafargue adalah pengurangan jam kerja secara drastis, bahkan hingga tiga jam per hari.² Ia percaya bahwa dengan kemajuan teknologi dan efisiensi produksi industri, masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan waktu kerja panjang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Baginya, kerja keras bukanlah keharusan biologis atau moral, melainkan hasil dari sistem distribusi kekayaan yang timpang dan pengelolaan produksi yang salah arah.³ Dalam sistem alternatif yang ia bayangkan, produksi akan didasarkan pada kebutuhan kolektif, bukan pada akumulasi laba pribadi, sehingga memungkinkan distribusi hasil kerja yang lebih adil dan rasional.

Lafargue menempatkan teknologi sebagai alat pembebasan, bukan sebagai instrumen eksploitasi. Ia melihat potensi mesin untuk mengurangi beban kerja manusia, bukan mempercepat irama kerja yang melelahkan.⁴ Dalam hal ini, pemikiran Lafargue selaras dengan pandangan Marx dalam Grundrisse, yang menyatakan bahwa perkembangan kekuatan produktif akan menjadi dasar bagi pembebasan manusia dari kerja paksa.⁵ Namun, berbeda dari sistem kapitalisme yang terus menekan manusia untuk tetap bekerja penuh waktu meskipun produksi telah menjadi jauh lebih efisien, Lafargue mengusulkan sistem di mana hasil produksi kolektif digunakan untuk membebaskan manusia dari keharusan bekerja sepanjang hari.

Lebih lanjut, Lafargue menyarankan agar waktu luang digunakan untuk aktivitas kreatif, intelektual, dan sosial. Ia membayangkan masyarakat di mana manusia tidak lagi diperbudak oleh jam kerja, tetapi dapat menjalani hidup dengan lebih seimbang—melibatkan seni, pendidikan, kebersamaan, dan pengembangan diri.⁶ Dengan demikian, “kemalasan” yang ia maksud bukanlah stagnasi, melainkan kondisi di mana manusia memperoleh kendali atas waktunya untuk menjadi lebih utuh secara spiritual dan intelektual.

Secara struktural, sistem yang diusulkan Lafargue menuntut perombakan mendasar terhadap kepemilikan alat produksi. Ia berpihak pada sosialisme kolektivis, yang menempatkan kepemilikan bersama atas sarana produksi sebagai syarat bagi pembebasan sejati. Produksi tidak boleh lagi ditentukan oleh pasar bebas atau kepentingan individu kapitalis, melainkan oleh kehendak kolektif masyarakat.⁷ Dalam kerangka ini, tujuan ekonomi bukanlah pertumbuhan tanpa batas, tetapi pemenuhan kebutuhan manusia yang berkelanjutan.

Meskipun tampak utopis, gagasan-gagasan ini memiliki gema kuat dalam diskursus kontemporer mengenai kerja dan distribusi kekayaan. Wacana tentang universal basic income, pekerjaan empat hari seminggu, dan ekonomi pasca-kerja (post-work economy) secara tidak langsung menghidupkan kembali impian Lafargue tentang masyarakat di mana waktu, energi, dan kreativitas manusia tidak lagi dikorbankan demi akumulasi modal.⁸

Dengan demikian, alternatif sosial dan ekonomi yang ditawarkan Lafargue adalah suatu visi tentang masyarakat emansipatoris—masyarakat yang melepaskan diri dari belenggu kerja paksa, menata ulang tujuan produksi, dan membebaskan potensi manusia untuk hidup secara lebih bermakna.


Footnotes

[1]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 14–15.

[2]                Ibid., 16.

[3]                Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx (Chicago: Haymarket Books, 2005), 103.

[4]                Anselm Jappe, The Writing on the Wall: On the Decomposition of Capitalism and Its Critics (Alresford: Zero Books, 2017), 46.

[5]                Karl Marx, Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy, trans. Martin Nicolaus (London: Penguin Books, 1973), 705–706.

[6]                Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011), 82.

[7]                Geoff Eley, Forging Democracy: The History of the Left in Europe, 1850–2000 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 43.

[8]                Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future: Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 110–117.


7.           Relevansi Gagasan “Hak untuk Malas” di Era Modern

Lebih dari satu abad setelah Paul Lafargue menerbitkan The Right to Be Lazy (1883), gagasan kontroversial ini kembali mendapatkan perhatian dalam wacana sosial, ekonomi, dan budaya kerja kontemporer. Meskipun konteks historis telah berubah drastis sejak zaman Revolusi Industri, banyak aspek dari kritik Lafargue terhadap kerja—sebagai kewajiban yang disakralkan dan dipaksakan—tetap relevan, bahkan semakin mengemuka di tengah krisis kapitalisme abad ke-21.

Salah satu indikator kuat relevansi gagasan Lafargue adalah krisis kesehatan mental yang kini melanda masyarakat kerja global. Di banyak negara maju dan berkembang, fenomena burnout, stres kerja kronis, dan gangguan kecemasan yang terkait dengan tekanan kerja telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.¹ Dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kelelahan kerja kini diakui sebagai sindrom medis yang memengaruhi jutaan pekerja di seluruh dunia.² Lafargue, dengan visinya tentang “kemalasan” sebagai bentuk pembebasan dari logika kerja yang merusak, tampil sebagai suara yang sangat relevan dalam menghadapi situasi ini.

Selain itu, kemajuan teknologi digital dan otomatisasi telah mengubah lanskap produksi secara fundamental. Dengan hadirnya kecerdasan buatan, robot industri, dan platform kerja daring, produktivitas telah meningkat pesat. Namun, alih-alih membebaskan manusia dari beban kerja seperti yang dibayangkan Lafargue, teknologi justru sering digunakan untuk memperpanjang jam kerja, memperluas pengawasan, dan menuntut respons 24/7 dari para pekerja.³ Fenomena ini disebut oleh Jonathan Crary sebagai era “kapitalisme tanpa jeda” (24/7 capitalism), di mana waktu tidur, waktu pribadi, dan ruang hidup ikut dikuasai oleh logika produksi.⁴

Di sisi lain, berbagai gerakan sosial dan eksperimen kebijakan publik mulai menghidupkan kembali semangat pemikiran Lafargue, meskipun tidak selalu secara langsung menyebut namanya. Inisiatif pekerjaan empat hari seminggu (4-day work week), misalnya, mulai diadopsi dan diuji coba di sejumlah negara seperti Islandia, Inggris, Jepang, dan Selandia Baru dengan hasil positif terhadap produktivitas dan kesejahteraan pekerja.⁵ Demikian pula, gagasan pendapatan dasar universal (universal basic income/UBI) mencerminkan upaya untuk melepaskan kelangsungan hidup manusia dari keterikatan langsung pada kerja upahan.⁶

Di lingkungan akademik dan aktivisme kiri kontemporer, kritik terhadap budaya kerja keras dan ideologi produktivisme juga berkembang pesat. Tokoh-tokoh seperti Kathi Weeks dan David Graeber menyatakan bahwa banyak pekerjaan modern bersifat tidak perlu, bahkan kontraproduktif. Graeber menyebutnya sebagai “bullshit jobs”—pekerjaan yang bahkan pelakunya pun merasa tidak ada manfaat nyatanya.⁷ Lafargue telah lebih awal menangkap esensi ini dalam kritiknya terhadap kerja sebagai sarana dominasi dan pemborosan kehidupan manusia.

Terakhir, relevansi hak untuk malas juga muncul dalam konteks krisis ekologi global. Model ekonomi berbasis pertumbuhan tanpa henti telah menyebabkan degradasi lingkungan dalam skala besar. Dalam hal ini, tuntutan untuk memperlambat ritme produksi dan konsumsi—sering disebut sebagai gerakan degrowth—mendekati pandangan Lafargue bahwa masyarakat seharusnya tidak didorong oleh logika kerja dan pertumbuhan, melainkan oleh keseimbangan hidup dan keberlanjutan.⁸

Dengan demikian, meskipun dikemas dalam gaya satiris pada abad ke-19, gagasan Lafargue tentang hak untuk malas kini menemukan kembali signifikansinya dalam berbagai isu kontemporer—dari kesehatan mental, ketimpangan ekonomi, otomatisasi, hingga krisis lingkungan. Ia menantang kita untuk mempertanyakan secara radikal nilai kerja itu sendiri: Apakah kerja masih merupakan sarana pembebasan, atau justru alat pembungkaman dalam bentuk baru?


Footnotes

[1]                David Frayne, The Refusal of Work: The Theory and Practice of Resistance to Work (London: Zed Books, 2015), 3–4.

[2]                World Health Organization, “Burn-out an ‘Occupational Phenomenon’: International Classification of Diseases,” WHO, May 28, 2019, https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases.

[3]                Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future: Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 92–93.

[4]                Jonathan Crary, 24/7: Late Capitalism and the Ends of Sleep (London: Verso, 2013), 9–10.

[5]                Autonomy, The Four Day Week: How the Flexible Work Revolution Can Increase Productivity, Profitability and Wellbeing and Create a Sustainable Future (London: Autonomy UK, 2019), 14–15.

[6]                Philippe Van Parijs and Yannick Vanderborght, Basic Income: A Radical Proposal for a Free Society and a Sane Economy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2017), 61–63.

[7]                David Graeber, Bullshit Jobs: A Theory (New York: Simon & Schuster, 2018), 10–12.

[8]                Giorgos Kallis, In Defense of Degrowth: Opinions and Minifestos (London: Uneven Earth Press, 2017), 28–29.


8.           Kritik terhadap Gagasan Lafargue

Meskipun gagasan Paul Lafargue tentang hak untuk malas menawarkan kritik tajam terhadap kapitalisme dan mitos kerja, pemikirannya tidak lepas dari berbagai kritik yang datang dari beragam arah—baik dari kubu liberal, konservatif, maupun dari kalangan Marxis sendiri. Kritik-kritik ini menyasar sejumlah aspek fundamental dalam pandangan Lafargue, mulai dari asumsi antropologisnya hingga realitas praktis ekonomi-politik yang menjadi latar belakangnya.

8.1.       Tuduhan Utopisme dan Ketidakpraktisan

Salah satu kritik paling umum terhadap Lafargue adalah bahwa gagasannya bersifat utopis dan mengabaikan kompleksitas sistem ekonomi modern. Banyak ekonom liberal menilai bahwa mengurangi jam kerja secara drastis atau mendorong hak untuk tidak bekerja akan mengganggu produktivitas ekonomi, memperlebar defisit fiskal, dan melemahkan daya saing industri.¹ Dalam pandangan ini, kerja dipahami sebagai bentuk partisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang tidak hanya mendatangkan penghasilan, tetapi juga kontribusi moral terhadap masyarakat.² Oleh karena itu, menuntut "hak untuk malas" dianggap sebagai langkah regresif yang dapat merusak etos kerja dan tanggung jawab sosial individu.

8.2.       Kritik dari Perspektif Etika Sosial

Dari sudut pandang etika sosial konservatif, kemalasan dianggap sebagai kelemahan moral, bukan bentuk pembebasan. Kritik ini mengakar pada warisan budaya dan agama yang melihat kerja sebagai bagian integral dari kehidupan yang bermartabat.⁴ Pandangan semacam ini tercermin dalam tulisan-tulisan tokoh seperti Reinhold Niebuhr, yang memandang kerja sebagai panggilan etis dan ekspresi dari komitmen terhadap sesama manusia.⁵ Dalam kerangka ini, gagasan Lafargue dinilai terlalu sinis terhadap kerja dan terlalu optimistis terhadap kemungkinan manusia mengatur hidupnya secara bebas tanpa disiplin kerja.

8.3.       Penolakan dari Marxisme Ortodoks

Menariknya, tidak semua kalangan kiri atau Marxis mendukung gagasan Lafargue secara penuh. Beberapa Marxis ortodoks menilai bahwa penekanannya pada pengurangan kerja cenderung mengaburkan tujuan revolusi kelas pekerja, yaitu pengambilalihan alat produksi dan kontrol atas proses kerja, bukan penghindaran kerja itu sendiri.⁶ Lafargue dianggap menyederhanakan persoalan kerja menjadi sekadar persoalan waktu luang, padahal dalam tradisi Marxis, kerja juga dipandang sebagai proses penting untuk pembentukan subjek kolektif dan transformasi dunia material.⁷ Kritik ini menggarisbawahi bahwa pembebasan tidak terletak dalam penghapusan kerja, tetapi dalam pengubahan karakter kerja itu sendiri.

8.4.       Risiko Disalahpahami dalam Konteks Modern

Di era kontemporer, gagasan “hak untuk malas” juga berisiko disalahpahami jika tidak diletakkan dalam kerangka kritik terhadap struktur kapitalistik. Dalam iklim neoliberal yang menekankan individualisme dan konsumerisme, gagasan Lafargue bisa saja direduksi menjadi pembenaran terhadap apatisme sosial atau bahkan gaya hidup hedonistik yang terlepas dari solidaritas kelas.⁸ Padahal Lafargue berbicara dari kerangka sosialisme kolektivis yang berorientasi pada pembebasan kolektif, bukan kepentingan individual semata. Oleh karena itu, penting untuk membaca gagasannya secara kontekstual dan tidak mengabaikan dimensi politis yang mendasarinya.

8.5.       Ketimpangan Global dan Realitas Dunia Ketiga

Kritik juga muncul dari perspektif ekonomi global, terutama ketika gagasan hak untuk malas diterapkan di luar konteks Eropa industrial abad ke-19. Banyak negara di Global South (Dunia Ketiga) masih bergulat dengan persoalan pengangguran struktural, kemiskinan ekstrem, dan kurangnya akses terhadap pekerjaan layak.⁹ Dalam situasi semacam ini, menyerukan hak untuk malas bisa tampak tidak peka terhadap realitas material, bahkan kontra-produktif dalam perjuangan melawan ketimpangan global. Beberapa sarjana postkolonial menilai bahwa Lafargue tidak cukup memperhitungkan perbedaan historis dan geopolitik dalam struktur kerja global.¹⁰


Dengan demikian, meskipun gagasan Lafargue memberikan kritik tajam terhadap mitos kerja, ide-idenya tetap mengundang kontroversi. Kritik-kritik ini menunjukkan perlunya membaca ulang Lafargue secara dialektis—menghargai visi emansipatorisnya, tetapi juga menyadari keterbatasan dan tantangan praktisnya. Justru dalam ketegangan antara gagasan dan kenyataan inilah hak untuk malas menjadi bahan renungan kritis tentang masa depan kerja, produktivitas, dan kebebasan manusia.


Footnotes

[1]                Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 217–219.

[2]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 112–113.

[3]                Daniel Bell, The Cultural Contradictions of Capitalism (New York: Basic Books, 1976), 27–30.

[4]                Max Scheler, Work and the Worker in Essays Toward a Sociology of Knowledge (London: Routledge, 1980), 45.

[5]                Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society (New York: Scribner’s, 1932), 84–85.

[6]                Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution, Vol. II: The Politics of Social Classes (New York: Monthly Review Press, 1978), 162–164.

[7]                Moishe Postone, Time, Labor, and Social Domination: A Reinterpretation of Marx's Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 195.

[8]                Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011), 87–88.

[9]                Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 39–40.

[10]             Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 92.


9.           Penutup

Gagasan Paul Lafargue tentang hak untuk malas merupakan salah satu kritik paling tajam dan provokatif terhadap mitos kerja dalam kapitalisme modern. Melalui pendekatan satiris dan retoris yang kuat, Lafargue tidak hanya mengejek penghormatan berlebihan terhadap kerja keras, tetapi juga mengungkap struktur ideologis yang menopang eksploitasi kelas pekerja.¹ Ia menantang asumsi bahwa kerja adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan dan martabat manusia, serta mengusulkan visi alternatif tentang masyarakat yang dibangun atas dasar waktu luang, kebebasan, dan kemanusiaan.

Meski ditulis dalam konteks abad ke-19, esai The Right to Be Lazy tetap relevan hingga hari ini. Di tengah krisis kesehatan mental akibat budaya overwork, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, serta otomatisasi yang merombak pasar kerja global, tuntutan Lafargue agar manusia tidak lagi diperbudak oleh kerja menemukan gema baru.² Lebih dari sekadar pembelaan terhadap “kemalasan” dalam arti sempit, Lafargue mengajak kita untuk merenungkan ulang makna produktivitas, serta mempertanyakan sistem yang mengukur nilai manusia berdasarkan kemampuannya menghasilkan nilai tukar.³

Namun, seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, ide-ide Lafargue juga mengandung paradoks dan keterbatasan. Tidak semua masyarakat dapat mengadopsi hak untuk malas tanpa memperhitungkan realitas struktural, geopolitik, dan kultural yang kompleks.⁴ Oleh karena itu, kontribusi Lafargue harus dibaca secara dialektis: sebagai upaya membuka ruang imajinasi politik, bukan sebagai formula ekonomi yang siap diterapkan secara universal.⁵

Meski demikian, daya tarik utama dari gagasan Lafargue bukan terletak pada rincian programatiknya, melainkan pada radikalisme etis dan moralnya. Dalam dunia yang semakin mengaburkan batas antara hidup dan kerja, Lafargue mengingatkan bahwa waktu, tubuh, dan kesadaran manusia bukanlah aset yang bisa dimiliki sistem produksi. Hak untuk malas, dalam pengertian Lafargue, adalah hak untuk menjadi manusia secara utuh—bukan sekadar pekerja, tetapi makhluk yang bebas bermimpi, mencipta, dan hidup tanpa dikekang oleh diktum produktivitas.⁶

Dengan demikian, warisan pemikiran Lafargue masih menjadi sumbangan penting dalam diskusi kontemporer tentang kerja, kebebasan, dan martabat manusia. Ia tidak hanya menantang tatanan ekonomi yang ada, tetapi juga mengajak kita membayangkan cara hidup yang lebih beradab, lebih seimbang, dan lebih manusiawi.


Footnotes

[1]                Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr (Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 7–9.

[2]                Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011), 82–84.

[3]                David Frayne, The Refusal of Work: The Theory and Practice of Resistance to Work (London: Zed Books, 2015), 12–13.

[4]                Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000), 93–95.

[5]                Moishe Postone, Time, Labor, and Social Domination: A Reinterpretation of Marx’s Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 196–198.

[6]                Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx (Chicago: Haymarket Books, 2005), 104–105.


Daftar Pustaka

Autonomy. (2019). The four day week: How the flexible work revolution can increase productivity, profitability and wellbeing and create a sustainable future. Autonomy UK. https://www.autonomy.work

Bell, D. (1976). The cultural contradictions of capitalism. Basic Books.

Chakrabarty, D. (2000). Provincializing Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton University Press.

Chang, H.-J. (2002). Kicking away the ladder: Development strategy in historical perspective. Anthem Press.

Crary, J. (2013). 24/7: Late capitalism and the ends of sleep. Verso Books.

Draper, H. (1978). Karl Marx’s theory of revolution (Vol. 2): The politics of social classes. Monthly Review Press.

Draper, H. (1989). Karl Marx’s theory of revolution (Vol. 4): Critique of other socialisms. Monthly Review Press.

Eley, G. (2002). Forging democracy: The history of the Left in Europe, 1850–2000. Oxford University Press.

Frayne, D. (2015). The refusal of work: The theory and practice of resistance to work. Zed Books.

Graeber, D. (2018). Bullshit jobs: A theory. Simon & Schuster.

Hayek, F. A. (1960). The constitution of liberty. University of Chicago Press.

Hobsbawm, E. (1999). Industry and empire: The birth of the Industrial Revolution. The New Press.

Jappe, A. (2017). The writing on the wall: On the decomposition of capitalism and its critics. Zero Books.

Kallis, G. (2017). In defense of degrowth: Opinions and manifestos. Uneven Earth Press.

Lafargue, P. (1907). The right to be lazy (C. H. Kerr, Trans.). Charles H. Kerr & Co. (Original work published 1883)

Löwy, M. (2005). The theory of revolution in the young Marx. Haymarket Books.

Marx, K. (1964). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers. (Original work written 1844)

Marx, K. (1973). Grundrisse: Foundations of the critique of political economy (M. Nicolaus, Trans.). Penguin Books. (Original work written 1857–1858)

McLellan, D. (1973). Karl Marx: A biography. Macmillan.

Niebuhr, R. (1932). Moral man and immoral society. Scribner’s.

Pelz, W. A. (2016). A people’s history of modern Europe. Pluto Press.

Postone, M. (1993). Time, labor, and social domination: A reinterpretation of Marx’s critical theory. Cambridge University Press.

Scheler, M. (1980). Work and the worker. In Essays toward a sociology of knowledge (pp. 43–55). Routledge.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Anchor Books.

Sirinelli, J.-F. (2003). Intellectuals and politics in France. Routledge.

Srnicek, N., & Williams, A. (2015). Inventing the future: Postcapitalism and a world without work. Verso Books.

Van Parijs, P., & Vanderborght, Y. (2017). Basic income: A radical proposal for a free society and a sane economy. Harvard University Press.

Weber, M. (2001). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Routledge. (Original work published 1905)

Weeks, K. (2011). The problem with work: Feminism, Marxism, antiwork politics, and postwork imaginaries. Duke University Press.

World Health Organization. (2019, May 28). Burn-out an “occupational phenomenon”: International classification of diseases. https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar