Hak untuk Malas
Kritik Paul Lafargue terhadap Mitos Kerja dalam
Kapitalisme
Alihkan ke: Pemikiran Lafargue.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis gagasan hak
untuk malas yang dikemukakan oleh Paul Lafargue sebagai bentuk penolakan
terhadap budaya kerja keras dalam sistem kapitalisme industri. Melalui analisis
historis dan filosofis, artikel ini menelusuri latar belakang sosial-politik
yang melahirkan esai The Right to Be Lazy (1883), serta membedah konsep
“malas” bukan sebagai kemalasan pasif, melainkan sebagai protes terhadap
fetisisme kerja dan eksploitasi tenaga kerja. Lafargue menyerukan pengurangan
jam kerja, redistribusi hasil produksi, dan pemanfaatan teknologi untuk
membebaskan manusia dari kerja paksa. Dalam konteks kontemporer, gagasan ini
menemukan kembali relevansinya di tengah krisis kesehatan mental akibat budaya overwork,
perkembangan otomatisasi, dan kemunculan wacana alternatif seperti empat hari
kerja seminggu dan pendapatan dasar universal. Artikel ini juga mengulas
berbagai kritik terhadap Lafargue, baik dari sudut pandang liberal,
konservatif, maupun Marxis ortodoks, serta menekankan pentingnya membaca
gagasan tersebut dalam kerangka emansipasi sosial kolektif. Dengan demikian, hak
untuk malas diartikulasikan sebagai wacana pembebasan dari nilai-nilai
dominan yang menjadikan kerja sebagai pusat kehidupan manusia modern.
Kata Kunci: Paul Lafargue, hak untuk malas, budaya kerja keras,
kapitalisme, kerja dan waktu luang, kritik sosial, emansipasi, produktivitas,
alienasi kerja.
PEMBAHASAN
Mengeksplorasi Gagasan Lafargue dan Relevansinya terhadap
Kondisi Kerja Kontemporer
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
panjang perkembangan ekonomi modern, kerja dipandang sebagai pilar utama
peradaban. Ide bahwa kerja keras adalah suatu kebajikan moral telah meresap ke
dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Kerja tidak lagi
semata-mata menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan juga
dijadikan ukuran integritas dan nilai seseorang. Dalam masyarakat kapitalistik,
orang yang bekerja keras dianggap lebih mulia, produktif, dan pantas
mendapatkan tempat yang tinggi di mata publik. Pandangan ini berakar pada etika
Protestan tentang kerja, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber dalam The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, di mana kerja keras,
disiplin, dan pengendalian diri merupakan ekspresi iman dan tanda-tanda
keselamatan dalam pandangan Calvinis.¹
Namun, tidak semua
pemikir setuju bahwa kerja keras selalu berdampak positif bagi manusia. Salah
satu tokoh yang secara radikal menentang kultus kerja ini adalah Paul
Lafargue, seorang sosialis Prancis dan menantu Karl Marx. Dalam
esainya yang berjudul Le Droit à la Paresse (1883) atau The
Right to Be Lazy, Lafargue mengajukan tesis kontroversial bahwa
kerja, sebagaimana dijalankan dalam sistem kapitalis, justru menjadi alat
perbudakan baru yang mengasingkan manusia dari kehidupannya sendiri.² Menurut
Lafargue, masyarakat modern telah menciptakan mitos kerja sebagai kewajiban
moral, padahal kerja berlebihan justru merugikan kaum pekerja secara fisik,
psikis, dan spiritual. Ia menulis dengan nada satir, menyindir bagaimana
proletariat mengorbankan kebahagiaan dan waktu hidupnya demi sistem yang tidak
pernah benar-benar membalas jasa mereka secara adil.³
Lafargue tidak
menyerukan kemalasan dalam arti kemalasan pasif atau pembiaran, melainkan
memperjuangkan hak setiap manusia untuk hidup tanpa dipaksa oleh logika kerja
yang menindas. Bagi Lafargue, manusia seharusnya tidak diukur dari
produktivitas semata, tetapi dari kemampuannya untuk menikmati hidup secara
bebas dan kreatif. Ia membayangkan suatu masyarakat di mana manusia tidak
diperbudak oleh mesin dan waktu kerja, melainkan memiliki kebebasan untuk
menentukan irama hidupnya sendiri.⁴
Gagasan Lafargue
muncul pada masa transformasi besar dalam masyarakat industri Eropa, di mana
eksploitasi terhadap kelas pekerja mencapai titik ekstrem. Pada masa itu, jam
kerja bisa mencapai 14 hingga 16 jam per hari tanpa jaminan kesejahteraan.⁵
Dalam konteks itulah, hak untuk malas menjadi semacam
provokasi intelektual untuk mengguncang asumsi dasar kapitalisme tentang nilai
dan tujuan kerja. Walaupun gagasan ini sempat dilupakan, belakangan muncul
kembali dalam wacana kontemporer tentang kerja, terutama di tengah krisis
kesehatan mental, budaya overwork, dan ketimpangan
distribusi kekayaan global.
Maka, membahas hak
untuk malas bukanlah semata-mata soal pembelaan terhadap kemalasan,
tetapi merupakan kritik struktural terhadap sistem yang memaksa manusia bekerja
melebihi batas kemanusiaannya. Dengan membongkar mitos kerja dalam kapitalisme,
Lafargue mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali: apakah kerja selalu
membawa kebebasan, atau justru menjadi bentuk baru dari perbudakan yang
tersamar?
Footnotes
[1]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (New York: Routledge, 2001), 39–40.
[2]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 9.
[3]
Ibid., 14.
[4]
Michael Löwy, Redemption and Utopia: Jewish Libertarian Thought in
Central Europe (Stanford: Stanford University Press, 1992), 62.
[5]
Eric Hobsbawm, Industry and Empire: The Birth of the Industrial
Revolution (New York: The New Press, 1999), 156.
2.
Profil Singkat Paul Lafargue
Paul Lafargue
(1842–1911) merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah sosialisme
revolusioner di Eropa, sekaligus dikenal luas karena gagasan eksentriknya
tentang hak
untuk malas. Lahir di Santiago de Cuba, wilayah jajahan Spanyol
saat itu, Lafargue memiliki latar belakang multietnis yang cukup kompleks: ia
berdarah Prancis, Haiti, dan Yahudi.¹ Kondisi ini menjadikan Lafargue tumbuh
dalam suasana yang akrab dengan pengalaman kolonialisme, perbedaan rasial, dan
ketimpangan sosial—semua elemen yang kelak sangat mewarnai pemikirannya tentang
keadilan sosial dan pembebasan kelas pekerja.
Lafargue menempuh
pendidikan kedokteran di Universitas Paris, tetapi ketertarikannya pada
filsafat, politik, dan teori sosial membawa dia aktif dalam pergerakan mahasiswa
dan sosialisme radikal. Ia terlibat dalam International Workingmen’s
Association (IWA), atau lebih dikenal sebagai Internasional Pertama, dan mulai
menulis artikel-artikel untuk mendukung perjuangan kaum proletar.² Dalam ruang
intelektual ini pula, ia berkenalan dengan Karl Marx dan kemudian menikahi
putri ketiganya, Laura Marx, pada tahun 1868.³ Hubungan personal dan ideologis
ini memperkuat posisinya sebagai penerus pemikiran Marxis, walaupun Lafargue
sering memberi warna tersendiri pada gagasan-gagasannya.
Sebagai seorang
teoretikus sosialis, Lafargue memiliki gaya penulisan yang satiris, tajam, dan
penuh ironi. Ia tidak segan-segan menyerang nilai-nilai borjuis yang menurutnya
hipokrit dan menindas. Salah satu kontribusi paling dikenal darinya adalah esai
Le Droit
à la Paresse (1883), di mana ia melancarkan kritik radikal terhadap
glorifikasi kerja dalam sistem kapitalisme industri.⁴ Dalam pandangannya,
pekerja justru harus menuntut hak untuk hidup tanpa dihisap tenaganya secara
berlebihan, dan masyarakat harus dibebaskan dari ilusi bahwa kerja keras selalu
mendatangkan kebahagiaan.
Selain aktivitas
intelektual, Lafargue juga aktif dalam politik praktis. Ia menjadi anggota
Partai Pekerja Prancis (Parti Ouvrier Français), partai
sosialis pertama di Prancis yang didirikan pada tahun 1880 bersama Jules
Guesde.⁵ Partai ini berupaya mengintegrasikan doktrin Marxis ke dalam
perjuangan kelas pekerja Prancis, sekaligus melawan pendekatan reformis yang
dianggap terlalu kompromistis dengan sistem kapitalisme.
Tragisnya, kehidupan
Lafargue berakhir dengan cara yang mencerminkan pandangan hidupnya. Pada tahun
1911, pada usia 69 tahun, Lafargue dan istrinya Laura memutuskan mengakhiri
hidup mereka secara sukarela. Dalam surat perpisahannya, Lafargue menulis bahwa
ia tidak ingin hidup menjadi beban karena usia tua dan ketidakmampuan fisik.⁶
Tindakan ini bagi sebagian orang dianggap tragis, namun bagi Lafargue dan
kalangan sosialis radikal, hal itu merupakan ekspresi kebebasan terakhir:
menolak sistem yang memaksa manusia hidup tanpa kendali atas tubuh dan waktunya
sendiri.
Dengan demikian,
Paul Lafargue bukan hanya tokoh yang menulis ide-ide subversif terhadap
kapitalisme, tetapi juga menjalani hidupnya sebagai bentuk perlawanan terhadap
nilai-nilai dominan zamannya. Melalui tulisan-tulisannya, ia terus menantang
asumsi dasar masyarakat modern tentang kerja, produktivitas, dan kebebasan
manusia.
Footnotes
[1]
William A. Pelz, A People’s History of Modern Europe (London:
Pluto Press, 2016), 99.
[2]
Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution, Volume IV: Critique
of Other Socialisms (New York: Monthly Review Press, 1989), 48.
[3]
David McLellan, Karl Marx: A Biography (London: Macmillan,
1973), 465.
[4]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 9.
[5]
Geoff Eley, Forging Democracy: The History of the Left in Europe,
1850–2000 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 41.
[6]
Jean-François Sirinelli, Intellectuals and Politics in France
(New York: Routledge, 2003), 73.
3.
Asal-usul Gagasan “Hak untuk Malas”
Gagasan “hak untuk
malas” (le droit
à la paresse) pertama kali diperkenalkan oleh Paul
Lafargue dalam esainya yang diterbitkan tahun 1883. Esai ini
tidak hanya menyentil, tetapi juga secara frontal menyerang nilai-nilai dominan
dalam masyarakat industri modern, terutama glorifikasi terhadap kerja sebagai
sesuatu yang suci dan bermoral. Lafargue menyusun argumen tersebut sebagai
kritik terhadap dogma borjuis yang telah menempatkan kerja sebagai pusat
kehidupan manusia, bahkan hingga titik di mana manusia kehilangan makna
kemanusiaannya sendiri.¹
Lafargue menulis Le Droit
à la Paresse pada masa ketika Revolusi Industri telah mengubah
wajah masyarakat Eropa secara drastis. Di Prancis, Inggris, dan negara-negara
industri lainnya, jam kerja pekerja pabrik bisa mencapai 14 hingga 16 jam
sehari, dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi.² Dalam situasi seperti ini,
Lafargue menyaksikan bagaimana kaum proletar terjebak dalam logika kerja yang
eksploitatif, namun ironisnya mereka juga menginternalisasi nilai-nilai
tersebut, seolah-olah kerja keras adalah kebajikan moral tertinggi. Ia menyebut
hal ini sebagai “delusi” atau khayalan yang ditanamkan oleh kelas
penguasa demi kelangsungan sistem kapitalisme.³
Gagasan ini lahir
sebagai anti-tesis terhadap etika kerja Protestan dan
etos kapitalistik, yang telah menanamkan ide bahwa
produktivitas merupakan panggilan ilahi dan simbol keutamaan pribadi. Lafargue
menyebut bahwa para buruh telah melupakan bahwa mereka seharusnya tidak hanya bekerja
untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk hidup secara utuh—dengan waktu untuk
beristirahat, mencipta, bersenang-senang, dan mengembangkan diri.⁴ Ia menulis
dengan nada satiris: “A strange
delusion possesses the working classes... the love of work, the furious passion
for work, pushed even to the exhaustion of the individual and his progeny.”⁵
Melalui esai ini,
Lafargue memutarbalikkan logika moral borjuis dengan menuntut “hak
untuk malas”—sebuah ekspresi radikal untuk membebaskan manusia dari
paksaan kerja yang melelahkan. Baginya, kemalasan bukanlah sikap pasif, tetapi
pilihan aktif untuk menolak eksploitasi. Ia percaya bahwa kemajuan teknologi
semestinya memungkinkan manusia bekerja lebih sedikit, bukan lebih lama. Dalam
hal ini, Lafargue menunjukkan gagasan yang sangat progresif: bahwa
produktivitas manusia tidak harus ditentukan oleh durasi kerja, melainkan oleh
kapasitas kolektif untuk menciptakan sistem kerja yang manusiawi dan
berkelanjutan.⁶
Dalam konteks lebih
luas, hak
untuk malas adalah bagian dari kritik Marxis terhadap alienasi—konsep
bahwa dalam masyarakat kapitalistik, pekerja tercerabut dari hasil kerjanya,
dari dirinya sendiri, dan dari sesama manusia.⁷ Dengan menyerang akar ideologis
yang memuliakan kerja, Lafargue berusaha mengembalikan kesadaran kaum buruh
bahwa kerja bukanlah takdir ilahi, melainkan produk dari struktur sosial yang
bisa dan harus diubah. Ia juga ingin membuka ruang imajinasi untuk masyarakat
alternatif, di mana hidup tidak ditentukan oleh nilai tukar dan jam kerja,
melainkan oleh nilai-nilai humanistik dan kebebasan sejati.
Footnotes
[1]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 7–9.
[2]
Eric Hobsbawm, Industry and Empire: The Birth of the Industrial
Revolution (New York: The New Press, 1999), 154–157.
[3]
Lafargue, The Right to Be Lazy, 10.
[4]
Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2005), 98–99.
[5]
Lafargue, The Right to Be Lazy, 7.
[6]
Anselm Jappe, The Writing on the Wall: On the Decomposition of
Capitalism and Its Critics (Alresford: Zero Books, 2017), 43.
[7]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 71–74.
4.
Konsep “Malas” dalam Pandangan Lafargue
Istilah malas
dalam judul esai Paul Lafargue, Le Droit à la Paresse (The
Right to Be Lazy), seringkali disalahpahami. Dalam masyarakat
modern yang didominasi etika produktivitas, kemalasan hampir selalu dimaknai
secara negatif: sebagai kebodohan, kelemahan moral, atau beban sosial. Namun,
bagi Lafargue, “malas” tidaklah identik dengan kemalasan mutlak atau
penghindaran total terhadap kerja. Sebaliknya, malas adalah bentuk kritik tajam
terhadap fetishisme kerja—yakni anggapan
bahwa kerja memiliki nilai intrinsik yang suci, bahkan ketika kerja itu sendiri
merusak tubuh dan jiwa manusia.¹
Lafargue memaknai
kemalasan sebagai hak untuk membebaskan diri dari kerja yang
tidak manusiawi, yakni kerja yang terlalu panjang, monoton, dan
semata-mata untuk mempertahankan eksistensi dalam sistem kapitalisme. Ia
menulis: “A strange delusion possesses the working classes... this mad love
of work is the cause of the present industrial barbarism.”² Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Lafargue menganggap kecintaan terhadap kerja sebagai sesuatu
yang dipaksakan
dan ditanamkan oleh ideologi borjuis, bukan sebagai
kecenderungan alami manusia.
Dalam kerangka ini, malas
menjadi tindakan pembebasan. Ia
menuntut agar manusia memperoleh kembali haknya untuk tidak bekerja tanpa henti
demi akumulasi kapital. Konsep ini paralel dengan gagasan waktu
luang sebagai prasyarat kebebasan sejati, sebagaimana juga
dikembangkan oleh Marx dan Engels, yang menganggap waktu bebas sebagai medan
aktualisasi manusia sebagai makhluk kreatif.³ Lafargue melanjutkan gagasan ini
dengan menyoroti bahwa mesin dan teknologi seharusnya mampu mengurangi waktu
kerja, bukan memperpanjangnya seperti yang terjadi dalam praktik kapitalisme.⁴
Dengan demikian, malas
dalam pandangan Lafargue bukanlah antitesis dari kerja, melainkan antitesis
dari kerja yang mengasingkan. Ia tidak menolak kerja sebagai
aktivitas manusiawi, melainkan menolak kerja sebagai paksaan dan perbudakan
terselubung. Lafargue bahkan menegaskan bahwa dalam masyarakat yang sehat,
kerja harus menjadi bagian kecil dari kehidupan manusia, bukan pusatnya. Dalam
dunia idealnya, manusia memiliki waktu untuk berpikir, beristirahat, bermain,
dan menikmati hidup tanpa dikontrol oleh jam kerja.⁵
Lebih jauh, Lafargue
menganggap kemalasan sebagai tuntutan revolusioner, sebuah
pernyataan politik yang menolak struktur dominasi kapitalistik. Hak untuk malas
adalah cara untuk mengklaim kembali tubuh, waktu, dan kehidupan dari sistem
produksi yang mementingkan profit atas kesejahteraan manusia.⁶ Dalam hal ini, “malas”
adalah konsep politis, bukan sekadar kondisi pasif atau mentalitas lemah. Ia
merupakan hak yang harus diperjuangkan oleh kaum pekerja sebagai bagian dari
emansipasi diri mereka.
Melalui pembalikan
makna ini, Lafargue membuka ruang wacana yang radikal: bahwa kebahagiaan
manusia tidak tergantung pada seberapa keras ia bekerja, melainkan pada
kemampuannya untuk mengelola hidup dengan bermakna dan bebas dari tekanan
ekonomi yang terus-menerus.
Footnotes
[1]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 10–11.
[2]
Ibid., 7.
[3]
Karl Marx, Grundrisse: Foundations of the Critique of Political
Economy, trans. Martin Nicolaus (London: Penguin Books, 1973), 611–612.
[4]
Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2005), 102.
[5]
Anselm Jappe, The Writing on the Wall: On the Decomposition of
Capitalism and Its Critics (Alresford: Zero Books, 2017), 45.
[6]
Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork
Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011),
36.
5.
Kritik terhadap Budaya Kerja Keras
Budaya kerja keras
telah lama menjadi pilar ideologis masyarakat modern, khususnya dalam sistem
kapitalisme industri. Kerja diposisikan bukan hanya sebagai kewajiban ekonomi,
tetapi juga sebagai nilai moral tertinggi—sebuah bentuk pengabdian sosial dan
pembuktian etis tentang kelayakan seseorang. Budaya ini berakar kuat pada
tradisi etika Protestan, sebagaimana
dijelaskan oleh Max Weber dalam karyanya yang
monumental The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber
mengidentifikasi bagaimana paham Calvinisme membentuk mentalitas kerja modern:
kesuksesan duniawi dianggap sebagai pertanda keselamatan rohani, sehingga kerja
menjadi suatu bentuk spiritualitas terselubung.¹
Paul Lafargue
melihat konstruksi moral semacam ini sebagai alat dominasi kelas. Dalam esainya
The
Right to Be Lazy, ia menuduh bahwa kelas borjuis telah menyebarkan
“agama kerja” di kalangan proletariat, bukan untuk membebaskan mereka,
tetapi untuk melanggengkan eksploitasi.²
Pekerja diajari untuk bangga atas kerja keras mereka, walaupun kenyataannya
kerja itu sering kali menghancurkan tubuh, waktu, dan kehidupan sosial mereka.
Alih-alih memberontak, para buruh justru membenarkan nasib mereka sendiri
dengan menyerap nilai-nilai kerja keras yang dikonstruksi oleh kelas penguasa.
Lafargue menyoroti
kontradiksi mendasar dalam sistem ini: kerja berlebihan tidak meningkatkan kualitas
hidup, justru sebaliknya. Ia mengutip contoh sejarah bahwa
masyarakat kuno, seperti bangsa Yunani dan Romawi, menganggap kerja sebagai
beban yang layak dilakukan oleh budak, bukan oleh warga bebas.³ Dalam dunia modern,
justru kaum pekerja bebas yang dipaksa bekerja seperti budak. Lafargue dengan
tajam menyatakan bahwa: “The Greek philosophers taught contempt for work...
in capitalist society, work is glorified to hide the servitude it creates.”⁴
Kritik terhadap
budaya kerja keras juga tidak berhenti pada aspek sejarah dan ideologis, tetapi
menyentuh ranah psikologis dan sosial. Budaya overwork
telah menyebabkan stres kronis, depresi, dan kehancuran hubungan sosial.⁵ Dalam
konteks kontemporer, gejala seperti burnout dan workaholism
menunjukkan bahwa etika kerja keras bukan lagi menjadi instrumen pembangunan,
melainkan penyakit struktural yang melumpuhkan masyarakat. Gagasan Lafargue
tentang hak
untuk malas kini menemukan relevansinya kembali, terutama dalam
kritik-kritik modern terhadap apa yang disebut sebagai “hustle
culture”—budaya yang merayakan kerja non-stop sebagai gaya
hidup ideal.⁶
Di sisi lain,
teknologi yang semestinya membebaskan manusia dari kerja justru sering
digunakan untuk mempercepat ritme produksi dan memperpanjang jam kerja. Dalam
banyak industri, otomatisasi malah meningkatkan pengawasan terhadap pekerja dan
memperkuat tekanan agar tetap produktif setiap detik.⁷ Lafargue telah
mengantisipasi hal ini dalam esainya, dengan menekankan bahwa kemajuan
teknologi seharusnya digunakan untuk mengurangi kerja,
bukan untuk memperbudak manusia lebih jauh.
Singkatnya, kritik
Lafargue terhadap budaya kerja keras adalah kritik terhadap seluruh struktur
nilai kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai alat produksi. Ia mengajak
pembaca untuk membayangkan ulang cara hidup yang tidak
dikendalikan oleh jam kerja, tetapi oleh prinsip kebebasan,
kreativitas, dan kemanusiaan. Dalam hal ini, hak untuk malas bukanlah hak untuk
menjadi tidak produktif, melainkan hak untuk menentukan sendiri makna produktivitas
di luar kerangka eksploitasi.
Footnotes
[1]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (New York: Routledge, 2001), 39–43.
[2]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 11–13.
[3]
Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2005), 102.
[4]
Lafargue, The Right to Be Lazy, 15.
[5]
Jonathan Crary, 24/7: Late Capitalism and the Ends of Sleep
(London: Verso, 2013), 24–26.
[6]
Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork
Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011),
65–68.
[7]
Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future:
Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 80–83.
6.
Alternatif Sosial dan Ekonomi yang Diusulkan
Lafargue
Dalam The
Right to Be Lazy, Paul Lafargue tidak hanya melontarkan kritik
terhadap eksploitasi tenaga kerja dalam kapitalisme, tetapi juga mengusulkan
berbagai alternatif sosial dan ekonomi yang ia pandang lebih manusiawi dan
rasional. Berbeda dari propaganda kapitalis yang mengagungkan kerja tanpa
henti, Lafargue menyerukan perombakan radikal terhadap struktur waktu kerja,
pemanfaatan teknologi, dan tujuan produksi ekonomi secara keseluruhan.¹
Salah satu usulan
utama Lafargue adalah pengurangan jam kerja secara drastis,
bahkan hingga tiga jam per hari.² Ia percaya bahwa dengan kemajuan teknologi
dan efisiensi produksi industri, masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan waktu
kerja panjang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Baginya, kerja keras
bukanlah keharusan biologis atau moral, melainkan hasil dari sistem distribusi
kekayaan yang timpang dan pengelolaan produksi yang salah arah.³ Dalam sistem
alternatif yang ia bayangkan, produksi akan didasarkan pada kebutuhan
kolektif, bukan pada akumulasi laba pribadi, sehingga
memungkinkan distribusi hasil kerja yang lebih adil dan rasional.
Lafargue menempatkan
teknologi
sebagai alat pembebasan, bukan sebagai instrumen eksploitasi. Ia melihat
potensi mesin untuk mengurangi beban kerja manusia, bukan mempercepat irama
kerja yang melelahkan.⁴ Dalam hal ini, pemikiran Lafargue selaras dengan
pandangan Marx dalam Grundrisse, yang menyatakan bahwa
perkembangan kekuatan produktif akan menjadi dasar bagi pembebasan manusia dari
kerja paksa.⁵ Namun, berbeda dari sistem kapitalisme yang terus menekan manusia
untuk tetap bekerja penuh waktu meskipun produksi telah menjadi jauh lebih
efisien, Lafargue mengusulkan sistem di mana hasil produksi kolektif digunakan untuk
membebaskan manusia dari keharusan bekerja sepanjang hari.
Lebih lanjut,
Lafargue menyarankan agar waktu luang digunakan untuk aktivitas
kreatif, intelektual, dan sosial. Ia membayangkan masyarakat di
mana manusia tidak lagi diperbudak oleh jam kerja, tetapi dapat menjalani hidup
dengan lebih seimbang—melibatkan seni, pendidikan, kebersamaan, dan
pengembangan diri.⁶ Dengan demikian, “kemalasan” yang ia maksud bukanlah
stagnasi, melainkan kondisi di mana manusia memperoleh kendali atas waktunya
untuk menjadi lebih utuh secara spiritual dan intelektual.
Secara struktural,
sistem yang diusulkan Lafargue menuntut perombakan mendasar terhadap kepemilikan alat
produksi. Ia berpihak pada sosialisme kolektivis, yang
menempatkan kepemilikan bersama atas sarana produksi sebagai syarat bagi
pembebasan sejati. Produksi tidak boleh lagi ditentukan oleh pasar bebas atau
kepentingan individu kapitalis, melainkan oleh kehendak kolektif masyarakat.⁷
Dalam kerangka ini, tujuan ekonomi bukanlah pertumbuhan tanpa batas, tetapi pemenuhan
kebutuhan manusia yang berkelanjutan.
Meskipun tampak
utopis, gagasan-gagasan ini memiliki gema kuat dalam diskursus kontemporer
mengenai kerja dan distribusi kekayaan. Wacana tentang universal
basic income, pekerjaan empat hari seminggu,
dan ekonomi
pasca-kerja (post-work economy) secara tidak langsung
menghidupkan kembali impian Lafargue tentang masyarakat di mana waktu, energi,
dan kreativitas manusia tidak lagi dikorbankan demi akumulasi modal.⁸
Dengan demikian,
alternatif sosial dan ekonomi yang ditawarkan Lafargue adalah suatu visi
tentang masyarakat emansipatoris—masyarakat yang melepaskan diri dari belenggu
kerja paksa, menata ulang tujuan produksi, dan membebaskan potensi manusia
untuk hidup secara lebih bermakna.
Footnotes
[1]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 14–15.
[2]
Ibid., 16.
[3]
Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2005), 103.
[4]
Anselm Jappe, The Writing on the Wall: On the Decomposition of
Capitalism and Its Critics (Alresford: Zero Books, 2017), 46.
[5]
Karl Marx, Grundrisse: Foundations of the Critique of Political
Economy, trans. Martin Nicolaus (London: Penguin Books, 1973), 705–706.
[6]
Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork
Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011),
82.
[7]
Geoff Eley, Forging Democracy: The History of the Left in Europe,
1850–2000 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 43.
[8]
Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future:
Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 110–117.
7.
Relevansi Gagasan “Hak untuk Malas” di Era
Modern
Lebih dari satu abad
setelah Paul Lafargue menerbitkan The Right to Be Lazy (1883),
gagasan kontroversial ini kembali mendapatkan perhatian dalam wacana sosial,
ekonomi, dan budaya kerja kontemporer. Meskipun konteks historis telah berubah
drastis sejak zaman Revolusi Industri, banyak aspek dari kritik Lafargue
terhadap kerja—sebagai kewajiban yang disakralkan dan dipaksakan—tetap relevan,
bahkan semakin mengemuka di tengah krisis kapitalisme abad ke-21.
Salah satu indikator
kuat relevansi gagasan Lafargue adalah krisis kesehatan mental yang
kini melanda masyarakat kerja global. Di banyak negara maju dan berkembang,
fenomena burnout,
stres kerja kronis, dan gangguan kecemasan yang terkait dengan tekanan kerja
telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.¹ Dalam laporan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), kelelahan kerja kini diakui sebagai sindrom medis yang memengaruhi
jutaan pekerja di seluruh dunia.² Lafargue, dengan visinya tentang “kemalasan”
sebagai bentuk pembebasan dari logika kerja yang merusak, tampil sebagai suara
yang sangat relevan dalam menghadapi situasi ini.
Selain itu, kemajuan
teknologi digital dan otomatisasi telah mengubah lanskap produksi secara
fundamental. Dengan hadirnya kecerdasan buatan, robot
industri, dan platform kerja daring,
produktivitas telah meningkat pesat. Namun, alih-alih membebaskan manusia dari
beban kerja seperti yang dibayangkan Lafargue, teknologi justru sering
digunakan untuk memperpanjang jam kerja, memperluas pengawasan, dan menuntut
respons 24/7 dari para pekerja.³ Fenomena ini disebut oleh Jonathan Crary
sebagai era “kapitalisme tanpa jeda” (24/7 capitalism), di mana waktu
tidur, waktu pribadi, dan ruang hidup ikut dikuasai oleh logika produksi.⁴
Di sisi lain,
berbagai gerakan sosial dan eksperimen kebijakan publik mulai menghidupkan
kembali semangat pemikiran Lafargue, meskipun tidak selalu secara langsung
menyebut namanya. Inisiatif pekerjaan empat hari seminggu
(4-day work week), misalnya, mulai diadopsi dan diuji coba di sejumlah negara
seperti Islandia, Inggris, Jepang, dan Selandia Baru dengan hasil positif
terhadap produktivitas dan kesejahteraan pekerja.⁵ Demikian pula, gagasan pendapatan
dasar universal (universal basic income/UBI)
mencerminkan upaya untuk melepaskan kelangsungan hidup manusia dari keterikatan
langsung pada kerja upahan.⁶
Di lingkungan
akademik dan aktivisme kiri kontemporer, kritik terhadap budaya
kerja keras dan ideologi produktivisme juga berkembang pesat.
Tokoh-tokoh seperti Kathi Weeks dan David
Graeber menyatakan bahwa banyak pekerjaan modern bersifat tidak
perlu, bahkan kontraproduktif. Graeber menyebutnya sebagai “bullshit
jobs”—pekerjaan yang bahkan pelakunya pun merasa tidak ada manfaat
nyatanya.⁷ Lafargue telah lebih awal menangkap esensi ini dalam kritiknya
terhadap kerja sebagai sarana dominasi dan pemborosan kehidupan manusia.
Terakhir, relevansi hak
untuk malas juga muncul dalam konteks krisis ekologi global. Model
ekonomi berbasis pertumbuhan tanpa henti telah menyebabkan degradasi lingkungan
dalam skala besar. Dalam hal ini, tuntutan untuk memperlambat ritme produksi
dan konsumsi—sering disebut sebagai gerakan degrowth—mendekati pandangan
Lafargue bahwa masyarakat seharusnya tidak didorong oleh logika kerja dan
pertumbuhan, melainkan oleh keseimbangan hidup dan keberlanjutan.⁸
Dengan demikian,
meskipun dikemas dalam gaya satiris pada abad ke-19, gagasan Lafargue tentang hak
untuk malas kini menemukan kembali signifikansinya dalam berbagai
isu kontemporer—dari kesehatan mental, ketimpangan ekonomi, otomatisasi, hingga
krisis lingkungan. Ia menantang kita untuk mempertanyakan secara radikal nilai
kerja itu sendiri: Apakah kerja masih merupakan sarana pembebasan, atau justru
alat pembungkaman dalam bentuk baru?
Footnotes
[1]
David Frayne, The Refusal of Work: The Theory and Practice of
Resistance to Work (London: Zed Books, 2015), 3–4.
[2]
World Health Organization, “Burn-out an ‘Occupational Phenomenon’:
International Classification of Diseases,” WHO, May 28, 2019, https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases.
[3]
Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future:
Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 92–93.
[4]
Jonathan Crary, 24/7: Late Capitalism and the Ends of Sleep
(London: Verso, 2013), 9–10.
[5]
Autonomy, The Four Day Week: How the Flexible Work Revolution Can
Increase Productivity, Profitability and Wellbeing and Create a Sustainable Future
(London: Autonomy UK, 2019), 14–15.
[6]
Philippe Van Parijs and Yannick Vanderborght, Basic Income: A
Radical Proposal for a Free Society and a Sane Economy (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2017), 61–63.
[7]
David Graeber, Bullshit Jobs: A Theory (New York: Simon &
Schuster, 2018), 10–12.
[8]
Giorgos Kallis, In Defense of Degrowth: Opinions and Minifestos
(London: Uneven Earth Press, 2017), 28–29.
8.
Kritik terhadap Gagasan Lafargue
Meskipun gagasan
Paul Lafargue tentang hak untuk malas menawarkan kritik
tajam terhadap kapitalisme dan mitos kerja, pemikirannya tidak lepas dari
berbagai kritik yang datang dari beragam arah—baik dari kubu liberal, konservatif,
maupun dari kalangan Marxis sendiri. Kritik-kritik ini menyasar sejumlah aspek
fundamental dalam pandangan Lafargue, mulai dari asumsi antropologisnya hingga
realitas praktis ekonomi-politik yang menjadi latar belakangnya.
8.1.
Tuduhan Utopisme dan
Ketidakpraktisan
Salah satu kritik
paling umum terhadap Lafargue adalah bahwa gagasannya bersifat utopis
dan mengabaikan kompleksitas sistem ekonomi modern. Banyak ekonom liberal
menilai bahwa mengurangi jam kerja secara drastis atau mendorong hak untuk tidak
bekerja akan mengganggu produktivitas ekonomi,
memperlebar defisit fiskal, dan melemahkan daya saing industri.¹ Dalam
pandangan ini, kerja dipahami sebagai bentuk partisipasi dalam kehidupan sosial
dan ekonomi yang tidak hanya mendatangkan penghasilan, tetapi juga kontribusi
moral terhadap masyarakat.² Oleh karena itu, menuntut "hak
untuk malas" dianggap sebagai langkah regresif yang dapat merusak etos
kerja dan tanggung jawab sosial individu.
8.2.
Kritik dari
Perspektif Etika Sosial
Dari sudut pandang etika
sosial konservatif, kemalasan dianggap sebagai kelemahan
moral, bukan bentuk pembebasan. Kritik ini mengakar pada
warisan budaya dan agama yang melihat kerja sebagai bagian integral dari
kehidupan yang bermartabat.⁴ Pandangan semacam ini tercermin dalam
tulisan-tulisan tokoh seperti Reinhold Niebuhr, yang
memandang kerja sebagai panggilan etis dan ekspresi dari komitmen terhadap
sesama manusia.⁵ Dalam kerangka ini, gagasan Lafargue dinilai terlalu sinis
terhadap kerja dan terlalu optimistis terhadap kemungkinan manusia mengatur
hidupnya secara bebas tanpa disiplin kerja.
8.3.
Penolakan dari
Marxisme Ortodoks
Menariknya, tidak
semua kalangan kiri atau Marxis mendukung gagasan Lafargue secara penuh.
Beberapa Marxis ortodoks menilai bahwa
penekanannya pada pengurangan kerja cenderung mengaburkan tujuan revolusi kelas pekerja,
yaitu pengambilalihan alat produksi dan kontrol atas proses kerja, bukan
penghindaran kerja itu sendiri.⁶ Lafargue dianggap menyederhanakan persoalan
kerja menjadi sekadar persoalan waktu luang, padahal dalam tradisi Marxis,
kerja juga dipandang sebagai proses penting untuk pembentukan
subjek kolektif dan transformasi dunia material.⁷ Kritik ini
menggarisbawahi bahwa pembebasan tidak terletak dalam penghapusan kerja, tetapi
dalam pengubahan
karakter kerja itu sendiri.
8.4.
Risiko Disalahpahami
dalam Konteks Modern
Di era kontemporer,
gagasan “hak untuk malas” juga berisiko disalahpahami jika tidak
diletakkan dalam kerangka kritik terhadap struktur kapitalistik. Dalam iklim
neoliberal yang menekankan individualisme dan konsumerisme, gagasan Lafargue
bisa saja direduksi menjadi pembenaran terhadap apatisme sosial
atau bahkan gaya hidup hedonistik yang terlepas dari solidaritas kelas.⁸
Padahal Lafargue berbicara dari kerangka sosialisme kolektivis yang
berorientasi pada pembebasan kolektif, bukan kepentingan individual semata.
Oleh karena itu, penting untuk membaca gagasannya secara kontekstual dan tidak
mengabaikan dimensi politis yang mendasarinya.
8.5.
Ketimpangan Global
dan Realitas Dunia Ketiga
Kritik juga muncul
dari perspektif ekonomi global, terutama ketika
gagasan hak
untuk malas diterapkan di luar konteks Eropa industrial abad ke-19.
Banyak negara di Global South (Dunia Ketiga) masih bergulat dengan persoalan pengangguran
struktural, kemiskinan ekstrem, dan kurangnya
akses terhadap pekerjaan layak.⁹ Dalam situasi semacam ini,
menyerukan hak untuk malas bisa tampak tidak peka terhadap realitas material,
bahkan kontra-produktif dalam perjuangan melawan ketimpangan global. Beberapa
sarjana postkolonial menilai bahwa Lafargue tidak cukup memperhitungkan
perbedaan historis dan geopolitik dalam struktur kerja global.¹⁰
Dengan demikian,
meskipun gagasan Lafargue memberikan kritik tajam terhadap mitos kerja,
ide-idenya tetap mengundang kontroversi. Kritik-kritik ini menunjukkan perlunya
membaca
ulang Lafargue secara dialektis—menghargai visi
emansipatorisnya, tetapi juga menyadari keterbatasan dan tantangan praktisnya.
Justru dalam ketegangan antara gagasan dan kenyataan inilah hak
untuk malas menjadi bahan renungan kritis tentang masa depan kerja,
produktivitas, dan kebebasan manusia.
Footnotes
[1]
Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago:
University of Chicago Press, 1960), 217–219.
[2]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books,
1999), 112–113.
[3]
Daniel Bell, The Cultural Contradictions of Capitalism (New
York: Basic Books, 1976), 27–30.
[4]
Max Scheler, Work and the Worker in Essays Toward a
Sociology of Knowledge (London: Routledge, 1980), 45.
[5]
Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society (New York:
Scribner’s, 1932), 84–85.
[6]
Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution, Vol. II: The Politics
of Social Classes (New York: Monthly Review Press, 1978), 162–164.
[7]
Moishe Postone, Time, Labor, and Social Domination: A Reinterpretation
of Marx's Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1993),
195.
[8]
Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork
Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011),
87–88.
[9]
Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in
Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 39–40.
[10]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
92.
9.
Penutup
Gagasan Paul
Lafargue tentang hak untuk malas merupakan salah
satu kritik paling tajam dan provokatif terhadap mitos kerja dalam kapitalisme
modern. Melalui pendekatan satiris dan retoris yang kuat, Lafargue tidak hanya
mengejek penghormatan berlebihan terhadap kerja keras, tetapi juga mengungkap
struktur ideologis yang menopang eksploitasi kelas pekerja.¹ Ia menantang
asumsi bahwa kerja adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan dan martabat
manusia, serta mengusulkan visi alternatif tentang masyarakat yang dibangun
atas dasar waktu luang, kebebasan, dan kemanusiaan.
Meski ditulis dalam
konteks abad ke-19, esai The Right to Be Lazy tetap relevan
hingga hari ini. Di tengah krisis kesehatan mental akibat budaya overwork,
pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, serta otomatisasi yang merombak pasar
kerja global, tuntutan Lafargue agar manusia tidak lagi diperbudak oleh kerja
menemukan gema baru.² Lebih dari sekadar pembelaan terhadap “kemalasan”
dalam arti sempit, Lafargue mengajak kita untuk merenungkan ulang makna produktivitas,
serta mempertanyakan sistem yang mengukur nilai manusia berdasarkan
kemampuannya menghasilkan nilai tukar.³
Namun, seperti telah
dijelaskan dalam bagian sebelumnya, ide-ide Lafargue juga mengandung paradoks
dan keterbatasan. Tidak semua masyarakat dapat mengadopsi hak
untuk malas tanpa memperhitungkan realitas struktural, geopolitik,
dan kultural yang kompleks.⁴ Oleh karena itu, kontribusi Lafargue harus dibaca
secara dialektis: sebagai upaya membuka ruang imajinasi politik, bukan sebagai
formula ekonomi yang siap diterapkan secara universal.⁵
Meski demikian, daya
tarik utama dari gagasan Lafargue bukan terletak pada rincian programatiknya,
melainkan pada radikalisme etis dan moralnya.
Dalam dunia yang semakin mengaburkan batas antara hidup dan kerja, Lafargue
mengingatkan bahwa waktu, tubuh, dan kesadaran manusia bukanlah aset yang bisa
dimiliki sistem produksi. Hak untuk malas, dalam pengertian
Lafargue, adalah hak untuk menjadi manusia secara utuh—bukan
sekadar pekerja, tetapi makhluk yang bebas bermimpi, mencipta, dan hidup tanpa
dikekang oleh diktum produktivitas.⁶
Dengan demikian,
warisan pemikiran Lafargue masih menjadi sumbangan penting dalam diskusi
kontemporer tentang kerja, kebebasan, dan martabat manusia. Ia tidak hanya
menantang tatanan ekonomi yang ada, tetapi juga mengajak kita membayangkan cara
hidup yang lebih beradab, lebih seimbang, dan lebih manusiawi.
Footnotes
[1]
Paul Lafargue, The Right to Be Lazy, trans. Charles Kerr
(Chicago: Charles H. Kerr & Co., 1907), 7–9.
[2]
Kathi Weeks, The Problem with Work: Feminism, Marxism, Antiwork
Politics, and Postwork Imaginaries (Durham: Duke University Press, 2011),
82–84.
[3]
David Frayne, The Refusal of Work: The Theory and Practice of
Resistance to Work (London: Zed Books, 2015), 12–13.
[4]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
93–95.
[5]
Moishe Postone, Time, Labor, and Social Domination: A
Reinterpretation of Marx’s Critical Theory (Cambridge: Cambridge
University Press, 1993), 196–198.
[6]
Michael Löwy, The Theory of Revolution in the Young Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2005), 104–105.
Daftar Pustaka
Autonomy. (2019). The
four day week: How the flexible work revolution can increase productivity, profitability
and wellbeing and create a sustainable future. Autonomy UK. https://www.autonomy.work
Bell, D. (1976). The
cultural contradictions of capitalism. Basic Books.
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing
Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton
University Press.
Chang, H.-J. (2002). Kicking
away the ladder: Development strategy in historical perspective. Anthem
Press.
Crary, J. (2013). 24/7:
Late capitalism and the ends of sleep. Verso Books.
Draper, H. (1978). Karl
Marx’s theory of revolution (Vol. 2): The politics of social classes.
Monthly Review Press.
Draper, H. (1989). Karl
Marx’s theory of revolution (Vol. 4): Critique of other socialisms.
Monthly Review Press.
Eley, G. (2002). Forging
democracy: The history of the Left in Europe, 1850–2000. Oxford University
Press.
Frayne, D. (2015). The
refusal of work: The theory and practice of resistance to work. Zed Books.
Graeber, D. (2018). Bullshit
jobs: A theory. Simon & Schuster.
Hayek, F. A. (1960). The
constitution of liberty. University of Chicago Press.
Hobsbawm, E. (1999). Industry
and empire: The birth of the Industrial Revolution. The New Press.
Jappe, A. (2017). The
writing on the wall: On the decomposition of capitalism and its critics.
Zero Books.
Kallis, G. (2017). In
defense of degrowth: Opinions and manifestos. Uneven Earth Press.
Lafargue, P. (1907). The
right to be lazy (C. H. Kerr, Trans.). Charles H. Kerr & Co. (Original
work published 1883)
Löwy, M. (2005). The
theory of revolution in the young Marx. Haymarket Books.
Marx, K. (1964). Economic
and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International
Publishers. (Original work written 1844)
Marx, K. (1973). Grundrisse:
Foundations of the critique of political economy (M. Nicolaus, Trans.).
Penguin Books. (Original work written 1857–1858)
McLellan, D. (1973). Karl
Marx: A biography. Macmillan.
Niebuhr, R. (1932). Moral
man and immoral society. Scribner’s.
Pelz, W. A. (2016). A
people’s history of modern Europe. Pluto Press.
Postone, M. (1993). Time,
labor, and social domination: A reinterpretation of Marx’s critical theory.
Cambridge University Press.
Scheler, M. (1980). Work
and the worker. In Essays toward a sociology of knowledge (pp. 43–55).
Routledge.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Anchor Books.
Sirinelli, J.-F. (2003). Intellectuals
and politics in France. Routledge.
Srnicek, N., &
Williams, A. (2015). Inventing the future: Postcapitalism and a world
without work. Verso Books.
Van Parijs, P., &
Vanderborght, Y. (2017). Basic income: A radical proposal for a free
society and a sane economy. Harvard University Press.
Weber, M. (2001). The
Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.).
Routledge. (Original work published 1905)
Weeks, K. (2011). The
problem with work: Feminism, Marxism, antiwork politics, and postwork
imaginaries. Duke University Press.
World Health Organization.
(2019, May 28). Burn-out an “occupational phenomenon”: International
classification of diseases. https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases
Tidak ada komentar:
Posting Komentar