Imperialisme
Genealogi Kekuasaan Global, Dimensi Ideologis, dan
Dampaknya dalam Tatanan Dunia Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang
imperialisme sebagai struktur kekuasaan global yang tidak hanya berakar pada
praktik kolonial masa lampau, tetapi juga mengalami transformasi menjadi
berbagai bentuk dominasi kontemporer. Kajian ini diawali dengan penelusuran
historis mengenai asal-usul dan evolusi imperialisme dari zaman klasik hingga
modern, serta membedah berbagai teori yang menjelaskan motif, mekanisme, dan
dampaknya—termasuk pendekatan Marxis, liberal, realis, dan postkolonial.
Imperialisme dipahami bukan hanya sebagai ekspansi teritorial, tetapi juga
sebagai proyek ideologis dan kultural yang melibatkan produksi makna,
hegemonisasi wacana, dan dominasi simbolik. Artikel ini menyoroti keterkaitan
erat antara imperialisme dan kapitalisme global, menjelaskan bagaimana kekuatan
ekonomi dan korporasi transnasional menjadi alat dominasi pascakolonial. Selain
itu, dibahas pula dimensi perlawanan terhadap imperialisme, baik dalam bentuk
perjuangan politik, gerakan intelektual, hingga dekolonisasi epistemik. Dalam
konteks abad ke-21, imperialisme hadir dalam wajah baru melalui globalisasi
neoliberal, intervensi geopolitik, kolonisasi digital, dan hegemoni budaya
global. Oleh karena itu, pemahaman kritis terhadap imperialisme tetap relevan
untuk membaca ketimpangan global, merumuskan perlawanan strategis, dan
membangun tatanan dunia yang lebih adil dan setara.
Kata Kunci: Imperialisme, kolonialisme, kapitalisme global,
dominasi ideologis, postkolonialisme, dekolonisasi, globalisasi, hegemoni,
perlawanan, epistemologi Selatan.
PEMBAHASAN
Kajian Imperialisme dalam Konteks Sejarah dan Dunia
Modern
1.
Pendahuluan
Imperialisme merupakan salah
satu konsep kunci dalam pemahaman sejarah hubungan internasional, dinamika
kekuasaan global, serta proses pembentukan tatanan dunia modern. Secara
etimologis, istilah imperialisme berasal dari kata Latin imperium
yang berarti kekuasaan atau dominasi, khususnya dalam konteks politik dan
militer. Dalam terminologi modern, imperialisme merujuk pada praktik atau
kebijakan suatu negara yang memperluas dan mempertahankan pengaruhnya atas
wilayah atau bangsa lain melalui dominasi ekonomi, politik, militer, atau
budaya. Hal ini membedakannya dari kolonialisme yang lebih merujuk pada bentuk
penguasaan fisik dan administratif atas suatu wilayah asing.1
Dalam perkembangan sejarah,
imperialisme tidak dapat dilepaskan dari ekspansi kekuatan-kekuatan besar
dunia, baik pada masa klasik seperti Kekaisaran Romawi dan Dinasti Qing, maupun
pada masa modern seperti imperium Inggris, Prancis, dan Jepang. Namun, fenomena
ini tidak hanya bersifat fisik dan geografis. Imperialisme juga merupakan
proyek ideologis yang menyisipkan nilai-nilai, narasi peradaban, dan sistem
ekonomi dominan ke dalam struktur sosial masyarakat yang dikuasai.2
Penting untuk membedakan
antara berbagai bentuk dominasi global yang berkaitan tetapi tidak identik.
Misalnya, kolonialisme kerap dipahami sebagai praktik teritorial langsung,
sedangkan imperialisme lebih luas mencakup juga hegemoni ekonomi dan simbolik.
Istilah hegemoni, yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, merujuk pada
dominasi ideologis di mana kelas atau negara dominan memaksakan konsensus
sosial yang menguntungkan mereka kepada kelompok subordinat tanpa selalu
menggunakan kekuatan koersif langsung.3
Kajian tentang imperialisme
menjadi semakin relevan dalam konteks kontemporer karena transformasi
bentuk-bentuk dominasi global yang tidak lagi bersandar pada kolonialisme
klasik, tetapi mengambil wajah baru seperti intervensi militer, dominasi
ekonomi global, eksploitasi sumber daya, dan bahkan penetrasi teknologi
digital. Dalam hal ini, banyak pemikir menyatakan bahwa imperialisme tetap
eksis meski tampil dalam bentuk neoimperialisme atau imperialisme
terselubung.4
Oleh karena itu, pembahasan
tentang imperialisme tidak hanya bersifat historis, tetapi juga merupakan upaya
untuk memahami bagaimana kekuasaan global bekerja, berevolusi, dan menyesuaikan
diri dalam dunia yang terus berubah. Kajian ini memungkinkan kita untuk melihat
hubungan antara negara, ekonomi global, ideologi, dan resistensi—sehingga
membuka ruang untuk refleksi kritis atas tatanan dunia kontemporer.
Footnotes
[1]
John M. Hobson, The Eastern Origins of Western Civilisation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 271.
[2]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Alfred A.
Knopf, 1993), xii–xiv.
[3]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 12–13.
[4]
David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 5–7.
2.
Asal-Usul dan Evolusi Sejarah Imperialisme
Imperialisme bukanlah
fenomena baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak zaman kuno, dorongan untuk
menaklukkan wilayah lain telah menjadi bagian dari dinamika politik dan militer
banyak kekaisaran. Dalam pengertian klasik, imperialisme merujuk pada ekspansi
teritorial yang dilakukan oleh kekaisaran-kekaisaran besar seperti Mesir kuno,
Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Kekaisaran Romawi, misalnya, bukan hanya
memperluas wilayahnya secara militer tetapi juga menyebarkan hukum, bahasa, dan
budaya Latin sebagai bagian dari proyek integrasi imperialis yang luas1.
Dalam konteks Asia, Dinasti
Han dan Dinasti Tang di Tiongkok menjalankan politik ekspansionis yang kompleks
melalui sistem tributary states, sementara Kekaisaran Islam pada masa
Umayyah dan Abbasiyah menggabungkan penaklukan dengan penyebaran hukum Islam
dan budaya Arab sebagai bagian dari proyek hegemonik religio-politik2.
Dengan demikian, bentuk-bentuk imperialisme awal seringkali melebur antara
dominasi militer, politik, ekonomi, dan religius.
Perubahan besar terjadi pada
era modern, khususnya mulai abad ke-15 dengan dimulainya Age of Discovery,
ketika bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol mulai melakukan
pelayaran jarak jauh, mendirikan koloni di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Proses ini ditandai oleh dua hal utama: eksplorasi dan eksploitas—sebuah pola
yang kemudian diintensifkan oleh Inggris, Belanda, dan Prancis pada abad ke-17
hingga ke-19. Inilah fase yang oleh banyak sejarawan disebut sebagai imperialisme
modern, yaitu dominasi sistematis negara-negara Eropa atas wilayah-wilayah
non-Eropa dengan tujuan ekonomi dan strategis jangka panjang3.
Puncak dari imperialisme
modern terjadi pada abad ke-19, terutama setelah Revolusi Industri.
Negara-negara imperialis seperti Inggris dan Prancis menggunakan keunggulan
teknologinya untuk memperluas pengaruhnya ke hampir seluruh penjuru dunia.
Dalam Konferensi Berlin (1884–1885), misalnya, kekuatan-kekuatan Eropa secara
resmi membagi wilayah Afrika tanpa mempertimbangkan struktur sosial maupun
budaya masyarakat pribumi, menandai bentuk kolonialisme terorganisasi yang
didasarkan atas logika kapitalis dan supremasi rasial4.
Namun, imperialisme tidak
berhenti pada batas militer dan kolonialisme klasik. Pada abad ke-20, bentuk
imperialisme mengalami transformasi dengan munculnya praktik neoimperialisme.
Negara-negara kuat tidak lagi mendirikan koloni secara langsung, tetapi tetap
mengontrol ekonomi, politik, dan kebudayaan negara-negara berkembang melalui
lembaga internasional, intervensi militer, dan dominasi pasar global.
Sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan Eric Hobsbawm, imperialisme modern
berubah menjadi bentuk dominasi struktural yang mengaburkan batas antara
kolonisasi fisik dan hegemoni ideologis5.
Dengan demikian, sejarah
imperialisme menunjukkan adanya evolusi dari dominasi militer langsung menuju
mekanisme kontrol yang semakin kompleks dan terselubung. Dari ekspansi
kekaisaran klasik hingga dominasi neoliberalisme global, imperialisme tetap
menjadi kekuatan pengatur yang membentuk struktur relasi global hingga hari
ini.
Footnotes
[1]
Edward Gibbon, The History of the Decline and Fall of the Roman
Empire, vol. 1 (London: Strahan & Cadell, 1776), 52–53.
[2]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and
History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago
Press, 1974), 252–255.
[3]
J. R. Seeley, The Expansion of England: Two Courses of Lectures
(London: Macmillan, 1883), 10–12.
[4]
Pakenham, Thomas. The Scramble for Africa: White Man's Conquest of
the Dark Continent from 1876 to 1912 (New York: Random House, 1991),
74–76.
[5]
Eric Hobsbawm, The Age of Empire: 1875–1914 (New York: Vintage
Books, 1989), 9–11.
3.
Teori-Teori tentang Imperialisme
Imperialisme sebagai fenomena
historis dan struktural telah melahirkan berbagai teori yang mencoba
menjelaskan sebab, tujuan, serta dampaknya dalam konteks global. Setiap teori
membawa pendekatan ideologis dan metodologis yang berbeda, mencerminkan
kompleksitas relasi kekuasaan antara negara pusat (core) dan wilayah pinggiran
(periphery). Setidaknya ada empat pendekatan utama yang dominan dalam wacana
akademik tentang imperialisme: Marxis, liberal, realis, dan postkolonial.
3.1.
Teori Marxis tentang
Imperialisme
Pemikiran Marxis tentang
imperialisme mendapat artikulasi teoretis yang kuat melalui karya Vladimir
Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916). Dalam
kerangka ini, imperialisme dipahami sebagai ekspresi lanjut dari kapitalisme
monopoli, yakni tahap ketika kapital industri dan keuangan bersatu, dan
negara-negara kapitalis maju mencari pasar baru, bahan mentah, serta peluang
investasi di luar negeri untuk mengatasi krisis surplus produksi di dalam
negeri1. Lenin menekankan bahwa imperialisme bukan
sekadar kebijakan luar negeri, tetapi bagian integral dari sistem ekonomi
kapitalis global.
Lenin membangun argumen ini
dengan mengkritik ekonomi borjuis yang memisahkan antara ekspansi ekonomi dan
ekspansi militer. Ia melihat bahwa perang antarimperialis, seperti Perang Dunia
I, adalah konsekuensi dari persaingan ekonomi antara negara-negara kapitalis
besar untuk memperebutkan koloni dan sumber daya2.
3.2.
Teori Liberal: Pasar
Bebas dan Strategi Ekspansi Ekonomi
Teori liberal, berbeda dengan
pendekatan Marxis, memandang imperialisme sebagai anomali dalam sistem pasar
bebas. Para pemikir liberal klasik seperti John A. Hobson dalam Imperialism:
A Study (1902) mengkritik imperialisme sebagai hasil dari distorsi ekonomi
domestik, seperti konsentrasi kekayaan dan rendahnya konsumsi masyarakat kelas
bawah, yang mendorong ekspansi luar negeri sebagai pelampiasan surplus kapital3.
Namun, tidak semua pemikir
liberal bersikap kritis terhadap imperialisme. Beberapa menganggapnya sebagai
sarana untuk memperluas perdagangan bebas, menyebarkan peradaban, serta
membangun infrastruktur ekonomi global. Dalam sudut pandang ini, imperialisme
bisa dilihat sebagai alat rasional untuk memperluas keterhubungan antarnegara
dan memperkenalkan institusi modern ke daerah-daerah yang dianggap “belum
berkembang”.
3.3.
Teori Realis dan
Neorealis: Keseimbangan Kekuatan dan Strategi Geopolitik
Dalam tradisi hubungan
internasional, pendekatan realis menekankan bahwa negara bertindak berdasarkan
kepentingan nasional dan perimbangan kekuatan (balance of power). Teori ini
melihat imperialisme sebagai instrumen strategis untuk memperkuat posisi negara
dalam sistem internasional yang anarkis. Hans Morgenthau, dalam Politics
Among Nations, menyatakan bahwa dominasi atas wilayah lain adalah cara
logis untuk meningkatkan keamanan nasional dan kapabilitas geopolitik suatu
negara4.
Neorealisme, sebagaimana
dikembangkan oleh Kenneth Waltz, juga menekankan pentingnya struktur
internasional dalam menjelaskan perilaku imperialis negara-negara besar. Dalam
sistem multipolar, negara cenderung memperluas pengaruhnya agar tidak terancam
oleh kekuatan lain. Imperialisme, dalam kerangka ini, bukanlah pilihan
ideologis tetapi keniscayaan struktural dari sistem internasional yang
kompetitif5.
3.4.
Teori Postkolonial
dan Kritik Wacana Imperialisme
Pendekatan postkolonial
menawarkan kritik mendalam terhadap narasi dan simbolisme dalam praktik
imperialisme. Edward W. Said, melalui karyanya Orientalism (1978),
mengungkap bagaimana imperialisme Barat tidak hanya mengandalkan kekuatan
militer dan ekonomi, tetapi juga produksi pengetahuan dan representasi budaya
yang memosisikan Timur sebagai “yang lain” (the Other) yang
inferior, eksotis, dan perlu dikendalikan6.
Pendekatan ini menggeser fokus dari struktur ekonomi-politik ke wacana, bahasa,
dan imajinasi budaya.
Gayatri Chakravorty Spivak
dan Homi K. Bhabha menambahkan bahwa imperialisme juga menciptakan subyek yang
terpinggirkan secara epistemologis. Mereka menyoroti bagaimana kolonialisme
meninggalkan warisan psikis dan identitas yang kompleks dalam masyarakat bekas
jajahan, serta bagaimana resistensi terhadap imperialisme dapat terjadi melalui
ekspresi budaya dan hibriditas identitas7.
Dengan demikian, teori-teori
tentang imperialisme mencerminkan beragam pendekatan dalam memahami fenomena
ini: dari kritik ekonomi-politik (Marxis), penekanan pada efisiensi dan
peradaban (liberal), fokus pada kekuasaan strategis (realis), hingga
pembongkaran ideologis dan epistemologis (postkolonial). Keempat pendekatan ini
membantu merumuskan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana imperialisme
bekerja dalam berbagai dimensi historis, struktural, dan simbolik.
Footnotes
[1]
Vladimir I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism
(New York: International Publishers, 1939), 88–89.
[2]
Ibid., 93–95.
[3]
John A. Hobson, Imperialism: A Study (London: James Nisbet,
1902), 85–87.
[4]
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power
and Peace, 5th ed. (New York: Knopf, 1973), 36–38.
[5]
Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Reading,
MA: Addison-Wesley, 1979), 118–121.
[6]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
1–3.
[7]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 86–88; Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
4.
Imperialisme dan Kapitalisme Global
Keterkaitan antara
imperialisme dan kapitalisme global merupakan salah satu aspek yang paling
menonjol dalam analisis historis dan struktural terhadap dinamika kekuasaan
dunia. Imperialisme modern tidak dapat dipahami terlepas dari logika ekspansi
kapitalis yang melekat pada sistem ekonomi global sejak era kolonialisme hingga
kini. Di balik proyek-proyek ekspansi teritorial dan dominasi politik, terdapat
dorongan ekonomi yang bersumber pada kebutuhan kapitalisme untuk memperluas
pasar, mengamankan bahan baku, dan mencari lahan investasi baru.
4.1.
Kapitalisme Monopoli
dan Ekspansi Imperialis
Sebagaimana dijelaskan oleh
Vladimir Lenin, imperialisme merupakan “tahap tertinggi kapitalisme”—yakni
fase ketika kapital produktif beralih menjadi kapital finansial dan dikuasai
oleh segelintir monopoli yang membutuhkan ekspansi global untuk mempertahankan
akumulasi keuntungan1. Dalam pandangan Lenin,
krisis overproduksi di negara-negara kapitalis mendorong mereka untuk mencari
pasar luar negeri guna menyerap kelebihan barang dan modal. Hal ini menciptakan
situasi persaingan antarnegara imperialis yang pada akhirnya bermuara pada
pembagian dunia melalui kolonialisme dan perang antar imperium.
Teori ini juga diadopsi dan
dikembangkan oleh para pemikir Mazhab Frankfurt dan Marxisme lanjut seperti
Rosa Luxemburg, yang menekankan bahwa akumulasi kapital tidak bisa berlangsung
hanya dalam batasan internal masyarakat kapitalis, tetapi membutuhkan wilayah
non-kapitalis sebagai ruang ekspansi eksternal2.
4.2.
Struktur
Ketergantungan Global dan Negara Pinggiran
Dalam pendekatan
ekonomi-politik yang lebih modern, teori dependencia (ketergantungan)
dari para pemikir Amerika Latin seperti Andre Gunder Frank dan Samir Amin
menggambarkan bahwa sistem kapitalisme global menciptakan ketimpangan
struktural antara negara-negara pusat (core) dan pinggiran (periphery). Negara
pusat, yang biasanya adalah negara imperialis, mengekspor kapital dan
teknologi, sedangkan negara pinggiran menjadi penyedia bahan mentah dan tenaga
kerja murah yang terintegrasi dalam rantai nilai global yang timpang3.
Hubungan ini tidak bersifat
simetris atau adil, melainkan memperkuat ketergantungan negara-negara
berkembang terhadap pasar dan lembaga keuangan global yang dikendalikan negara
maju. Bahkan setelah era dekolonisasi formal, ketergantungan ekonomi tersebut
tetap berlanjut dalam bentuk neoimperialisme melalui utang luar
negeri, pengaruh lembaga internasional (IMF, Bank Dunia), serta kekuatan
korporasi multinasional4.
4.3.
Perusahaan
Multinasional dan Kapitalisme Imperialis
Perusahaan multinasional
(MNCs) memainkan peran kunci dalam imperialisme kontemporer. Melalui investasi
langsung asing (FDI), kontrol terhadap teknologi, dan pengaruh terhadap
kebijakan ekonomi negara-negara berkembang, perusahaan-perusahaan ini
memperkuat struktur kekuasaan global yang mirip dengan sistem kolonial lama.
David Harvey menyebut fenomena ini sebagai “akumulasi melalui perampasan”
(accumulation by dispossession)—yakni proses pengambilalihan aset
publik atau komunitas oleh kapital privat global, seringkali melalui mekanisme
legal, pasar, atau kekerasan simbolik5.
Contoh paling nyata dari
proses ini dapat dilihat dalam industri ekstraktif (pertambangan, energi,
agribisnis), di mana perusahaan asing mengeruk sumber daya alam negara
berkembang dengan sedikit nilai tambah yang tinggal di dalam negeri. Dalam hal
ini, imperialisme bukan hanya soal batas teritorial, tetapi tentang kuasa atas
distribusi kekayaan dan kontrol atas proses produksi global.
4.4.
Globalisasi
Neoliberal sebagai Wajah Baru Imperialisme
Dengan runtuhnya blok Soviet
dan kemenangan ideologi neoliberal pada akhir abad ke-20, imperialisme
mengalami transformasi dalam bentuk yang lebih halus dan terselubung. Kebijakan
privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan deregulasi yang didorong oleh
lembaga internasional dianggap sebagai “konsensus global” yang
menguntungkan semua pihak. Namun, banyak analis kritis menunjukkan bahwa agenda
neoliberal tersebut justru memperkuat dominasi ekonomi global oleh kekuatan
imperialis, menciptakan ketimpangan sosial-ekonomi, dan melemahkan kedaulatan
negara-negara dunia ketiga6.
Dalam konteks ini,
imperialisme tidak lagi tampil melalui kolonisasi langsung, melainkan melalui
arsitektur institusional dan hukum internasional yang mendukung kepentingan
kapital global. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme global tetap menjadi
mesin penggerak utama imperialisme dalam wajah barunya di abad ke-21.
Footnotes
[1]
Vladimir I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism
(New York: International Publishers, 1939), 88–90.
[2]
Rosa Luxemburg, The Accumulation of Capital (London:
Routledge, 2003), 396–400.
[3]
Samir Amin, Unequal Development: An Essay on the Social Formations
of Peripheral Capitalism (New York: Monthly Review Press, 1976), 205–207.
[4]
Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin
America (New York: Monthly Review Press, 1967), 20–23.
[5]
David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 137–139.
[6]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New
York: W. W. Norton & Company, 2002), 19–22.
5.
Imperialisme dan Proyek Peradaban
Salah satu aspek yang paling
kompleks dari imperialisme adalah dimensi ideologisnya, yang tampil melalui apa
yang disebut sebagai “proyek peradaban” (civilizing
mission). Dalam kerangka ini, imperialisme tidak sekadar merupakan
ekspansi politik atau ekonomi, melainkan juga sebuah upaya “memajukan”
masyarakat lain dengan membawa nilai-nilai budaya, agama, pendidikan, dan
moralitas dari bangsa penjajah. Proyek ini berakar pada asumsi superioritas
peradaban Barat, dan menjadi justifikasi moral untuk dominasi imperialis atas
dunia non-Barat.
5.1.
Misi Peradaban dan
Superioritas Budaya
Imperialisme modern, terutama
sejak abad ke-19, sering dibingkai sebagai bentuk altruistik: menyebarkan
kemajuan, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai modernitas kepada masyarakat “primitif”.
Ide ini sangat nyata dalam slogan Prancis mission civilisatrice dan
gagasan Inggris tentang White Man’s Burden, yang dipopulerkan oleh
puisi Rudyard Kipling tahun 1899. Narasi ini meyakinkan publik Eropa bahwa
kolonialisme adalah bentuk “pengabdian moral” untuk membebaskan masyarakat
Timur dari keterbelakangan, kekacauan, dan ketidakteraturan sosial1.
Namun, narasi ini bersifat
sangat problematik karena bertumpu pada ideologi rasialisme yang menempatkan
bangsa Eropa sebagai pusat peradaban dunia. Dalam pandangan Edward Said, konsep
semacam ini adalah bagian dari orientalisme—sebuah cara pandang dan
wacana dominatif yang memosisikan Timur sebagai “yang lain” (the
Other), eksotis, pasif, dan membutuhkan pengendalian oleh Barat2.
5.2.
Agama dan
Penginjilan sebagai Alat Imperialisme
Dalam banyak kasus, misi
peradaban dibarengi dengan misi religius. Para misionaris Kristen dari Eropa
aktif menyebarkan ajaran agama bersamaan dengan ekspansi kekuasaan kolonial. Di
Afrika, Asia, dan Pasifik, agama Kristen diperkenalkan bukan hanya sebagai
sistem keyakinan, tetapi sebagai simbol kemajuan, modernitas, dan moralitas “superior”.
Hal ini menjadikan agama sebagai salah satu instrumen ideologis yang
memperhalus dominasi kolonial, dengan merombak sistem kepercayaan lokal dan
memperkenalkan struktur sosial baru yang pro-kolonial3.
Para peneliti seperti Jean
Comaroff dan John Comaroff menyoroti bagaimana penginjilan dan imperialisme
saling menguatkan. Proses konversi ke agama Kristen bukan hanya mempengaruhi
aspek spiritual, tetapi juga sistem hukum, pakaian, pendidikan, dan bahkan cara
hidup masyarakat lokal, sehingga mempercepat internalisasi nilai-nilai kolonial
di kalangan pribumi4.
5.3.
Pendidikan Kolonial
dan Produksi Elite Pribumi
Pendidikan menjadi instrumen
penting dalam proyek peradaban imperialis. Di berbagai koloni, pemerintah
kolonial mendirikan sekolah-sekolah dengan kurikulum yang menekankan bahasa dan
budaya penjajah. Tujuannya bukan semata-mata mencerdaskan, melainkan membentuk
elite lokal yang loyal terhadap kekuasaan kolonial. Tokoh seperti Frantz Fanon
dalam The Wretched of the Earth menegaskan bahwa pendidikan kolonial
menciptakan “manusia terjajah yang terideologisasi”—yakni kelompok
terpelajar lokal yang berpikir dengan kerangka Barat dan secara tidak sadar
menjadi agen perpanjangan kekuasaan kolonial5.
Pendidikan kolonial juga mereduksi
warisan budaya dan epistemologi lokal, yang dianggap irasional atau inferior.
Ini menciptakan dualisme antara “ilmu modern” dan “kebudayaan
tradisional”, yang terus berlanjut dalam sistem pendidikan pascakolonial di
banyak negara berkembang.
5.4.
Imperialisme
Simbolik: Bahasa, Seni, dan Representasi Budaya
Proyek peradaban juga
termanifestasi dalam dominasi simbolik dan budaya. Bahasa penjajah (seperti
Inggris, Prancis, atau Belanda) menjadi alat utama dalam membentuk pola pikir
kolonial. Penggunaan bahasa kolonial dalam administrasi, hukum, dan pendidikan
menggantikan bahasa lokal dan memperkuat hierarki simbolik antara budaya
penjajah dan yang dijajah6.
Lebih jauh, seni, pameran
dunia (world exhibitions), dan museologi kolonial menampilkan artefak budaya
dari koloni sebagai objek eksotisme dan pembuktian “keunggulan”
peradaban Barat. Representasi ini membentuk imajinasi global tentang “Timur”
sebagai wilayah yang membutuhkan bimbingan dan pengendalian. Dalam konteks ini,
proyek peradaban bukan hanya proses dominasi material, tetapi juga “penaklukan
makna” dan penciptaan narasi besar tentang siapa yang dianggap “beradab”
dan “biadab”7.
Dengan demikian, proyek
peradaban dalam konteks imperialisme adalah dimensi ideologis yang kompleks, di
mana dominasi politik dan ekonomi diperkuat melalui narasi moral, simbolik, dan
budaya. Meskipun tampil dalam wujud "kemajuan", proyek ini
sarat dengan kolonialisasi epistemologis yang merusak identitas dan struktur
sosial masyarakat terjajah. Pemahaman terhadap dimensi ini penting untuk
membongkar warisan imperialisme yang masih memengaruhi tata pikir dan tata
nilai masyarakat pascakolonial.
Footnotes
[1]
Rudyard Kipling, “The White Man’s Burden,” McClure’s Magazine,
February 1899.
[2]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
1–3.
[3]
Andrew Porter, Religion versus Empire? British Protestant
Missionaries and Overseas Expansion, 1700–1914 (Manchester: Manchester
University Press, 2004), 45–47.
[4]
Jean Comaroff and John L. Comaroff, Of Revelation and Revolution:
Christianity, Colonialism, and Consciousness in South Africa, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1991), 16–19.
[5]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 148–149.
[6]
Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language
in African Literature (London: James Currey, 1986), 4–5.
[7]
Timothy Mitchell, Colonising Egypt (Berkeley: University of
California Press, 1991), 33–36.
6.
Perlawanan terhadap Imperialisme
Perlawanan terhadap
imperialisme merupakan bagian integral dari sejarah perjuangan umat manusia
untuk kebebasan, keadilan, dan martabat. Sejak awal ekspansi imperialis,
masyarakat yang ditaklukkan tidak pernah sepenuhnya tunduk; mereka merespons
dengan berbagai bentuk resistensi, mulai dari pemberontakan bersenjata hingga
perjuangan intelektual dan budaya. Resistensi ini tidak hanya bersifat lokal
dan sporadis, tetapi juga berkembang menjadi gerakan transnasional yang
menyuarakan kemerdekaan, kesetaraan, dan hak menentukan nasib sendiri.
6.1.
Perlawanan Awal dan
Gerakan Anti-Kolonial
Bentuk-bentuk awal perlawanan
terhadap imperialisme biasanya bersifat reaktif dan berakar pada semangat
mempertahankan tanah, budaya, dan sistem nilai tradisional. Contoh penting adalah
Perang Aceh melawan kolonialisme Belanda (1873–1904), Revolusi Sepoy di India
(1857), dan Perang Mahdist di Sudan (1881–1898). Meskipun banyak dari gerakan
ini mengalami kekalahan militer, mereka meninggalkan jejak sejarah penting
sebagai simbol perlawanan dan ketahanan lokal1.
Pada awal abad ke-20, gerakan
perlawanan berkembang menjadi gerakan nasionalisme modern yang lebih
terorganisir dan ideologis. Tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi di India,
Soekarno di Indonesia, Kwame Nkrumah di Ghana, dan Ho Chi Minh di Vietnam
menjadi ikon perjuangan anti-imperialis. Mereka memadukan strategi politik,
mobilisasi massa, dan taktik diplomasi internasional untuk menuntut kemerdekaan
dari kekuasaan kolonial2.
6.2.
Resistensi
Intelektual dan Wacana Pembebasan
Perlawanan terhadap
imperialisme juga berlangsung dalam ranah pemikiran dan budaya. Frantz Fanon,
dalam karyanya The Wretched of the Earth, menegaskan pentingnya
dekolonisasi sebagai proses total, baik secara politik maupun psikologis. Ia
menekankan bahwa kolonialisme tidak hanya menjajah tanah, tetapi juga
kesadaran—dan bahwa kekerasan bisa menjadi sarana yang sah dalam membebaskan
diri dari struktur penjajahan yang opresif3.
Edward Said mengkritik cara
Barat menciptakan konstruksi pengetahuan tentang Timur yang justru memperkuat
relasi kuasa imperialistik. Karyanya Orientalism menginspirasi
generasi intelektual postkolonial untuk membongkar narasi dominatif dan merebut
kembali hak untuk mendefinisikan diri sendiri4. Tokoh
lain seperti Aimé Césaire dan Ngũgĩ wa Thiong’o juga memainkan peran penting
dalam menyoroti pentingnya bahasa, budaya, dan sastra lokal sebagai sarana
pembebasan dari penjajahan simbolik.
6.3.
Solidaritas Global
dan Internasionalisme Anti-Imperialis
Selain perjuangan lokal, abad
ke-20 juga menyaksikan terbentuknya solidaritas global antikolonial yang
menghubungkan perjuangan di berbagai wilayah dunia. Konferensi Bandung tahun
1955, yang mempertemukan negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka,
menjadi tonggak dalam membangun blok solidaritas anti-imperialis di tengah
Perang Dingin5. Semangat ini kemudian
melahirkan Gerakan Non-Blok, yang menolak ikut dalam poros kekuatan besar dan
menekankan kedaulatan, pembangunan mandiri, dan keadilan global.
Gerakan anti-imperialisme
juga mendapatkan dukungan dari kelompok progresif di negara-negara imperialis
sendiri. Contohnya adalah aktivisme anti-perang Vietnam di Amerika Serikat atau
solidaritas intelektual Prancis terhadap perjuangan Aljazair. Hal ini
menunjukkan bahwa resistensi terhadap imperialisme tidak bersifat eksklusif
terhadap dunia ketiga, tetapi juga melibatkan kelompok-kelompok kritis di pusat
kekuasaan imperialis6.
6.4.
Perlawanan Budaya
dan Dekolonisasi Simbolik
Dalam era pascakolonial,
bentuk perlawanan mengalami transformasi. Meskipun banyak negara telah meraih
kemerdekaan formal, bentuk-bentuk dominasi simbolik, epistemologis, dan ekonomi
tetap berlangsung. Oleh karena itu, muncul gerakan dekolonisasi pengetahuan
dan dekolonisasi kurikulum yang bertujuan menghapus warisan kolonial
dalam sistem pendidikan, sejarah, dan produksi ilmu pengetahuan7.
Seni, sastra, film, dan
teater menjadi medan perjuangan penting dalam menantang narasi kolonial.
Karya-karya sastra postkolonial dari Chinua Achebe, Pramoedya Ananta Toer, atau
Arundhati Roy menjadi bagian dari upaya merebut kembali suara yang telah
dibungkam oleh dominasi kolonial dan imperialisme budaya.
Dengan demikian, perlawanan
terhadap imperialisme bukan hanya perjuangan untuk kemerdekaan politik, tetapi
juga sebuah proyek pembebasan multidimensi—yang mencakup aspek sosial,
kultural, ideologis, dan simbolik. Sejarah menunjukkan bahwa dominasi
imperialis tidak pernah sepenuhnya diterima secara pasif, dan bahwa kekuatan
resistensi rakyat, ketika digerakkan secara kolektif dan visioner, mampu menggoyahkan
bahkan kekuasaan imperium yang tampaknya tak tergoyahkan.
Footnotes
[1]
Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories
of Sumatra (Singapore: Singapore University Press, 2005), 98–100.
[2]
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 119–122.
[3]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–6.
[4]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
xvii–xviii.
[5]
Christopher J. Lee, ed., Making a World After Empire: The Bandung
Moment and Its Political Afterlives (Athens: Ohio University Press, 2010),
23–25.
[6]
James McDougall, History and the Culture of Nationalism in Algeria
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 203–206.
[7]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011),
10–14.
7.
Imperialisme dalam Wajah Kontemporer
Meskipun kolonialisme dalam
bentuk klasik telah berakhir di banyak bagian dunia, struktur kekuasaan
imperial tidak benar-benar punah. Sebaliknya, imperialisme justru berevolusi
menjadi bentuk-bentuk dominasi baru yang lebih kompleks dan terselubung,
sejalan dengan perkembangan kapitalisme global, teknologi informasi, dan
arsitektur kekuasaan neoliberal. Imperialisme kontemporer tidak lagi
mengandalkan penguasaan teritorial secara langsung, melainkan bekerja melalui
mekanisme ekonomi, politik, militer, teknologi, dan budaya yang tetap
mempertahankan ketimpangan antara negara-negara pusat dan pinggiran.
7.1.
Neoimperialisme
Ekonomi: Utang, Perdagangan, dan Korporasi Global
Salah satu bentuk
imperialisme modern adalah neoimperialisme ekonomi,
yakni dominasi struktural negara-negara maju atas negara-negara berkembang
melalui instrumen pasar dan keuangan global. Negara-negara Dunia Ketiga sering
kali terjebak dalam siklus ketergantungan utang kepada lembaga-lembaga
internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang
disertai syarat-syarat ketat berupa liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan
pengurangan subsidi sosial1.
Kritikus seperti Joseph
Stiglitz menyoroti bahwa “konsensus Washington” yang mempromosikan pasar
bebas justru memperparah ketimpangan dan memperkuat dominasi negara-negara maju
atas negara-negara lemah2. Selain itu, perusahaan
multinasional (MNCs) dari negara-negara kapitalis global kerap mengeksploitasi
sumber daya alam dan tenaga kerja murah di negara berkembang, sambil tetap
mengendalikan nilai tambah dan keuntungan melalui sistem hak paten, regulasi
dagang, dan transfer harga3.
7.2.
Intervensi Militer
dan Rezim Hegemonik Global
Imperialisme kontemporer juga
termanifestasi dalam bentuk intervensi militer, baik
secara langsung maupun terselubung, oleh negara-negara adikuasa dengan dalih
menjaga stabilitas global, melawan terorisme, atau menyebarkan demokrasi.
Intervensi NATO di Libya (2011), pendudukan Irak oleh koalisi pimpinan AS
(2003), dan keterlibatan militer Barat di Afghanistan merupakan contoh dari
bentuk dominasi yang sering dikritik sebagai “imperialisme kemanusiaan”
atau humanitarian imperialism4.
Dalam analisis Noam Chomsky,
kebijakan luar negeri Amerika Serikat secara konsisten mengikuti pola
imperialistik: campur tangan dalam politik domestik negara lain, mendukung
rezim otoriter yang pro-kepentingan ekonomi Barat, dan menindak keras setiap
bentuk sosialisme atau nasionalisme ekonomi yang mengancam dominasi pasar
global5.
7.3.
Teknologi Digital
dan Imperialisme Siber
Kemajuan teknologi digital
telah membuka medan baru bagi dominasi global, yaitu imperialisme
siber. Dalam konteks ini, negara dan perusahaan teknologi besar
dari Global North (seperti Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft)
memonopoli infrastruktur data global, mengendalikan alur informasi, serta
mengeksploitasi data pribadi pengguna dari negara-negara berkembang. Ini
menimbulkan bentuk kolonisasi baru yang tidak bersifat fisik, tetapi digital
dan simbolik6.
Shoshana Zuboff dalam
konsepnya surveillance capitalism menunjukkan bagaimana kapitalisme
digital bekerja dengan mengumpulkan data perilaku individu untuk memprediksi
dan memanipulasi keputusan ekonomi dan sosial, seringkali tanpa persetujuan
sadar dari pengguna7. Dominasi teknologi ini
memperdalam jurang digital antara negara maju dan berkembang, sekaligus
memperlemah kedaulatan informasi negara-negara pinggiran.
7.4.
Hegemoni Budaya dan
Produksi Makna Global
Aspek lain dari imperialisme
kontemporer adalah hegemoni budaya, yaitu
dominasi nilai, norma, dan gaya hidup yang disebarluaskan melalui media global,
film, musik, dan mode konsumsi. Budaya pop Barat menjadi standar global melalui
kekuatan industri hiburan, membentuk aspirasi dan identitas generasi muda di
seluruh dunia, sekaligus mengikis keberagaman budaya lokal8.
Dalam hal ini, imperialisme
bekerja sebagai sistem produksi makna yang menciptakan ilusi kesetaraan global,
padahal tetap mempertahankan struktur hierarki kultural dan ekonomi. Jean
Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacra, di mana
representasi dominatif menggantikan kenyataan dan memperkuat ketundukan
terhadap sistem hegemonik global9.
Dengan demikian, imperialisme
dalam wajah kontemporer tidak lagi hadir melalui panji kolonial dan senjata,
melainkan melalui pasar bebas, jaringan digital, intervensi geopolitik, serta
pengaruh budaya dan informasi. Bentuk-bentuk baru ini menuntut kewaspadaan
kritis dan strategi resistensi yang tidak hanya bersifat politis dan ekonomis,
tetapi juga epistemologis dan kultural. Pemahaman terhadap imperialisme hari
ini membutuhkan lensa multidisipliner yang mampu membongkar cara-cara baru
kekuasaan bekerja dalam dunia yang tampaknya terbuka tetapi tetap timpang.
Footnotes
[1]
Susan George, A Fate Worse Than Debt: A Radical New Analysis of the
Third World Debt Crisis (London: Penguin, 1990), 45–47.
[2]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New
York: W. W. Norton & Company, 2002), 53–56.
[3]
Saskia Sassen, Globalization and Its Discontents: Essays on the New
Mobility of People and Money (New York: The New Press, 1998), 121–125.
[4]
Jean Bricmont, Humanitarian Imperialism: Using Human Rights to Sell
War (New York: Monthly Review Press, 2006), 22–25.
[5]
Noam Chomsky, Hegemony or Survival: America’s Quest for Global
Dominance (New York: Henry Holt and Company, 2003), 101–103.
[6]
Nick Couldry and Ulises A. Mejias, The Costs of Connection: How
Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism
(Stanford: Stanford University Press, 2019), 89–92.
[7]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–11.
[8]
Toby Miller et al., Global Hollywood 2 (London: British Film
Institute, 2005), 4–7.
[9]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–3.
8.
Dampak Imperialisme terhadap Dunia Global
Dampak imperialisme terhadap
dunia global sangat luas, kompleks, dan berjangka panjang. Pengaruhnya tidak
hanya tercermin dalam batas-batas teritorial yang dipetakan ulang, tetapi juga
dalam struktur ekonomi dunia, hubungan sosial antarbangsa, sistem politik
global, serta formasi budaya dan identitas masyarakat. Meskipun banyak negara
telah meraih kemerdekaan formal, bekas luka imperialisme tetap terasa dalam
ketimpangan global, krisis lingkungan, alienasi budaya, dan dominasi
institusional.
8.1.
Ketimpangan Ekonomi
Global
Salah satu warisan paling
nyata dari imperialisme adalah ketimpangan pembangunan
antara negara-negara Global North dan Global South. Selama
berabad-abad, sumber daya alam dan tenaga kerja dari dunia non-Barat
dieksploitasi untuk memperkaya pusat-pusat kekuasaan imperialis. Ini
menciptakan pola akumulasi kapital yang timpang, di mana negara-negara bekas
penjajah mengendalikan struktur perdagangan, teknologi, dan sistem keuangan
dunia hingga hari ini1.
Data dari Bank Dunia dan
UNCTAD menunjukkan bahwa negara-negara bekas koloni cenderung bergantung pada
ekspor bahan mentah, memiliki utang luar negeri yang tinggi, dan mengalami
defisit perdagangan kronis2. Hal ini memperkuat pola dependencia,
yakni relasi ekonomi global yang membuat negara pinggiran tetap berada dalam
posisi subordinat terhadap pusat kapitalisme dunia3.
8.2.
Dislokasi Sosial dan
Krisis Identitas
Imperialisme juga
meninggalkan dampak sosial dan kultural
yang mendalam. Penjajahan tidak hanya mengatur ulang struktur politik dan
ekonomi lokal, tetapi juga menggantikan sistem nilai, bahasa, dan budaya dengan
model-model yang diimpor dari Barat. Dalam banyak kasus, identitas etnis dan
nasional masyarakat pribumi dirusak oleh pembagian administratif kolonial yang
tidak memperhatikan realitas sosiokultural lokal.
Akibatnya, banyak negara
pascakolonial mengalami dislokasi sosial, konflik etno-religius, dan krisis
integrasi nasional. Contoh yang paling mencolok adalah pembagian kolonial atas
wilayah Afrika melalui Konferensi Berlin (1884–1885), yang memicu konflik
perbatasan dan perang saudara pasca-kemerdekaan di banyak negara4.
Selain itu, proses internalisasi nilai-nilai Barat sering kali memunculkan
dilema identitas yang kompleks di kalangan elite terdidik, sebagaimana
diungkapkan dalam karya-karya Frantz Fanon dan Chinua Achebe5.
8.3.
Krisis Ekologi dan
Ekspansi Ekstraktif
Model pembangunan yang
diperkenalkan melalui imperialisme juga membawa konsekuensi ekologis
yang serius. Penebangan hutan, pertambangan besar-besaran,
konversi lahan untuk perkebunan komersial, serta eksploitasi bahan baku
merupakan bagian dari warisan sistem ekonomi kolonial yang masih dilestarikan
dalam bentuk kapitalisme ekstraktif modern. Banyak wilayah di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin mengalami degradasi lingkungan yang parah karena terus menjadi
lokasi eksploitasi sumber daya oleh perusahaan multinasional6.
Sejarawan lingkungan seperti
Alfred Crosby dan Richard Grove telah mencatat bagaimana imperialisme
bertanggung jawab atas penciptaan “ekologi imperial” yang mengubah
lanskap, keanekaragaman hayati, serta sistem pertanian lokal demi kepentingan
ekspor dan pasar dunia7. Akibatnya, negara-negara
bekas koloni kerap menghadapi kerusakan lingkungan sekaligus ketergantungan
pada ekspor bahan mentah.
8.4.
Diaspora, Migrasi
Global, dan Urbanisasi Asimetris
Imperialisme juga memicu mobilitas
manusia dalam skala besar. Perbudakan trans-Atlantik, migrasi
paksa buruh kontrak dari India dan Cina, serta kolonisasi pemukim Eropa
menciptakan diaspora dan transformasi demografis yang bertahan hingga hari ini.
Selain itu, ketimpangan pembangunan pascakolonial memicu gelombang migrasi
ekonomi dan pencarian suaka dari Global South ke Global North8.
Fenomena ini menyebabkan
urbanisasi asimetris dan tekanan sosial di kota-kota besar di dunia Barat,
sekaligus memunculkan ketegangan politik, xenofobia, dan marginalisasi kelompok
migran. Namun di sisi lain, diaspora juga memainkan peran penting dalam
pembentukan identitas hibrida dan munculnya wacana transnasional yang menantang
batas-batas negara bangsa dan etnosentrisme warisan imperial9.
8.5.
Warisan
Institusional dan Kekuasaan Simbolik
Akhirnya, imperialisme
mewariskan struktur institusional
yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai masyarakat lokal.
Banyak negara pascakolonial masih menggunakan sistem hukum, pendidikan, dan
pemerintahan yang dirancang oleh penjajah. Ini menciptakan sistem birokrasi
yang alienatif, kurang partisipatif, dan tidak efisien dalam menjawab tantangan
lokal10.
Selain itu, imperialisme juga
mempertahankan kekuasaan simbolik melalui bahasa, sejarah resmi, dan arsitektur
pengetahuan. Bahasa penjajah sering kali menjadi bahasa resmi dan elit,
sementara sejarah lokal ditekan atau disisihkan. Produksi pengetahuan pun masih
didominasi oleh universitas dan pusat riset Barat, yang menciptakan asimetri
epistemik antara Utara dan Selatan11.
Dengan demikian, imperialisme
bukan hanya warisan masa lalu, tetapi realitas yang terus mengonstruksi relasi
global hari ini. Dampaknya merambah ke dalam struktur sosial, ekonomi, ekologi,
kultural, dan epistemik masyarakat global. Menghadapi warisan ini memerlukan
upaya reflektif dan rekonstruktif yang tidak hanya bersifat politis, tetapi
juga bersifat moral dan epistemologis—untuk membangun dunia yang lebih adil,
berdaulat, dan setara.
Footnotes
[1]
Samir Amin, Imperialism and Unequal Development (New York:
Monthly Review Press, 1977), 19–21.
[2]
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Trade
and Development Report 2023 (Geneva: UNCTAD, 2023), 12–15.
[3]
Theotonio Dos Santos, “The Structure of Dependence,” American
Economic Review 60, no. 2 (1970): 231–236.
[4]
Thomas Pakenham, The Scramble for Africa: White Man’s Conquest of
the Dark Continent from 1876 to 1912 (New York: Random House, 1991),
320–324.
[5]
Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Richard Philcox
(New York: Grove Press, 2008), 14–17; Chinua Achebe, Things Fall Apart
(London: Heinemann, 1958).
[6]
Michael Watts, Silent Violence: Food, Famine, and Peasantry in Northern
Nigeria (Berkeley: University of California Press, 1983), 41–45.
[7]
Alfred W. Crosby, Ecological Imperialism: The Biological Expansion
of Europe, 900–1900 (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 23–26;
Richard Grove, Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island Edens
and the Origins of Environmentalism, 1600–1860 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 88–92.
[8]
Robin Cohen, Global Diasporas: An Introduction (London:
Routledge, 2008), 67–70.
[9]
Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” in Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and
Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 392–403.
[10]
Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the
Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996),
22–25.
[11]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 19–21.
9.
Kritik Kontemporer terhadap Narasi Imperialisme
Dalam era globalisasi dan
dominasi neoliberal, kritik terhadap narasi imperialisme tidak hanya berfokus
pada praktik material dan kekuasaan struktural, tetapi juga pada cara
imperialisme dipahami, dijelaskan, dan dibenarkan dalam wacana
intelektual, budaya, dan media arus utama. Narasi imperialisme kontemporer
kerap dikemas dalam bentuk "intervensi kemanusiaan", "penyebaran
demokrasi", atau "modernisasi", yang menyamarkan
sifat dominatif dari tindakan-tindakan tersebut. Oleh karena itu, kritik
kontemporer terhadap imperialisme berupaya membongkar logika ideologis,
epistemik, dan simbolik yang menopang hegemoni global saat ini.
9.1.
Kritik Postkolonial:
Membongkar Wacana dan Representasi
Salah satu kontribusi utama
terhadap kritik imperialisme kontemporer datang dari mazhab
postkolonial, yang berfokus pada bagaimana pengetahuan, bahasa,
dan representasi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan imperial. Edward Said,
dalam karyanya Culture and Imperialism, menunjukkan bagaimana sastra
dan budaya populer Barat menciptakan narasi kebesaran imperium sembari
memarjinalkan suara dan agensi masyarakat kolonial1.
Menurut Said, imperialisme
bukan hanya praktik ekonomi dan militer, tetapi juga sistem produksi
pengetahuan yang menempatkan "Barat" sebagai pusat
rasionalitas dan peradaban, sementara "Timur" diposisikan
sebagai pasif, terbelakang, dan membutuhkan bimbingan2.
Kritik ini diperluas oleh Gayatri Spivak dalam esainya yang terkenal Can
the Subaltern Speak?, yang mempertanyakan apakah kelompok-kelompok
tertindas benar-benar dapat bersuara dalam kerangka diskursif yang didominasi
Barat3.
9.2.
Dekolonisasi
Pengetahuan dan Epistemologi Alternatif
Kritik kontemporer juga
diarahkan kepada epistemologi dominan yang
berasal dari tradisi pencerahan Eropa, yang dianggap tidak netral dan
universal, melainkan berakar pada pengalaman historis kolonialisme. Boaventura
de Sousa Santos mengembangkan konsep epistemicide, yakni penghancuran
sistem pengetahuan lokal oleh ilmu pengetahuan kolonial yang mengklaim
kebenaran tunggal dan superior4.
Gerakan dekolonisasi
pengetahuan berupaya menghidupkan kembali cara-cara berpikir alternatif yang
berbasis pada pengalaman, spiritualitas, dan kosmologi masyarakat dunia ketiga.
Ini termasuk filsafat Afrika, pengetahuan adat Amerika Latin, serta pendekatan
Islam dalam ilmu sosial dan humaniora yang selama ini dimarginalkan dalam
narasi akademik arus utama5.
9.3.
Kritik Marxis Baru:
Imperialisme sebagai Ekspansi Kapitalisme Global
Dalam tradisi Marxis
kontemporer, para pemikir seperti David Harvey menyoroti bagaimana imperialisme
hari ini bersifat spasial dan finansial, ditandai oleh "akumulasi
melalui perampasan" (accumulation by dispossession)—yakni
proses pengambilalihan aset publik oleh kapital swasta global, seperti dalam
privatisasi air, tanah, dan layanan publik6.
Menurut Harvey, imperialisme
tidak lagi membutuhkan pendudukan fisik, tetapi terjadi melalui logika pasar,
utang, dan instrumen keuangan global. Dengan demikian, kritik terhadap
imperialisme hari ini harus melampaui aspek militer dan fokus pada
bentuk-bentuk kapitalisme global yang menciptakan ketimpangan, kerentanan
ekologis, dan krisis sosial yang berulang7.
9.4.
Feminis dan Kritik
Interseksional terhadap Imperialisme
Para teoretisi
feminis postkolonial seperti Chandra Talpade Mohanty dan Lila
Abu-Lughod juga mengajukan kritik terhadap bagaimana narasi imperialisme sering
kali melibatkan penggunaan tubuh perempuan sebagai medan
ideologis. Mereka menunjukkan bagaimana proyek imperialisme
kerap membungkus intervensinya dalam jargon “membebaskan perempuan Timur”,
sambil mengabaikan suara dan agensi perempuan lokal8.
Kritik ini juga menyoroti
bahwa perempuan dalam konteks pascakolonial sering mengalami penindasan
ganda—baik sebagai korban patriarki lokal maupun sebagai subjek dari agenda
global yang homogen dan berbasis nilai-nilai liberal Barat. Oleh karena itu,
pendekatan interseksional diperlukan untuk memahami bagaimana gender, ras,
kelas, dan kolonialitas saling berkaitan dalam dinamika kekuasaan imperial9.
9.5.
Kritik Terhadap Teknokrasi
dan Wacana Pembangunan
Narasi pembangunan global
juga menjadi sasaran kritik kontemporer. Dipengaruhi oleh imperialisme lama,
diskursus pembangunan kerap melihat negara-negara Selatan sebagai tertinggal
dan perlu “dikembangkan” oleh teknokrat Barat. James Ferguson, dalam The
Anti-Politics Machine, menunjukkan bahwa proyek-proyek pembangunan sering
gagal karena mengabaikan konteks lokal dan justru memperkuat kekuasaan negara
atau elit tertentu10.
Dalam hal ini, pembangunan
menjadi kelanjutan dari logika kolonial—menyediakan legitimasi moral untuk
intervensi teknokratik yang sering kali meminggirkan rakyat dan menciptakan
ketergantungan baru. Kritik ini mendorong munculnya alternatif seperti development
from below, pendekatan berbasis komunitas, dan demokratisasi produksi
kebijakan publik.
Dengan demikian, kritik
kontemporer terhadap narasi imperialisme tidak hanya berupaya membongkar
praktik dominasi secara material, tetapi juga mengungkap struktur ideologis,
simbolik, dan epistemik yang menyertainya. Melalui pendekatan
multidisipliner—postkolonial, Marxis, feminis, dan dekolonial—kritik ini
memberikan alat konseptual untuk memahami dan menantang bentuk-bentuk
imperialisme baru yang tersembunyi di balik wajah modernitas, globalisasi, dan
kemajuan.
Footnotes
[1]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Alfred A.
Knopf, 1993), xii–xv.
[2]
Ibid., 7–9.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[4]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 19–21.
[5]
Walter D. Mignolo, The Idea of Latin America (Malden, MA:
Blackwell, 2005), 12–14.
[6]
David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 137–145.
[7]
Ibid., 156–158.
[8]
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses,” Feminist Review 30 (1988): 61–88.
[9]
Lila Abu-Lughod, Do Muslim Women Need Saving? (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2013), 35–38.
[10]
James Ferguson, The Anti-Politics Machine: Development,
Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1994), 13–16.
10.
Relevansi Kajian Imperialisme dalam Abad ke-21
Di tengah kompleksitas
tatanan dunia yang terus berubah, kajian tentang
imperialisme tetap relevan dan mendesak untuk dilakukan.
Meskipun bentuk-bentuk klasik kolonialisme telah banyak berakhir secara formal,
struktur dan logika kekuasaan imperial tidak benar-benar lenyap. Sebaliknya,
mereka mengalami transformasi dan adaptasi dalam bentuk dominasi ekonomi,
teknologi, budaya, dan geopolitik yang lebih halus namun efektif. Di abad
ke-21, tantangan terhadap kedaulatan, keadilan global, dan kesetaraan lintas
bangsa tidak dapat dilepaskan dari analisis kritis terhadap warisan dan praktik
imperialisme kontemporer.
10.1.
Imperialisme dalam
Konteks Globalisasi dan Neoliberalisme
Globalisasi sering
dipromosikan sebagai era keterbukaan dan pertukaran setara antarbangsa, namun
pada kenyataannya kerap melestarikan pola-pola dominasi
imperialis dalam format baru. Di bawah sistem neoliberal,
negara-negara Global South mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dengan
pasar global yang dikendalikan oleh kekuatan modal dan institusi keuangan
internasional. Joseph Stiglitz menyebut bahwa globalisasi, dalam bentuk yang
tidak diatur secara adil, telah menjadi instrumen yang memperkuat ketimpangan
dan memperpanjang subordinasi ekonomi negara-negara berkembang1.
Bentuk baru ini sering
disebut sebagai imperialisme pasar—di mana logika akumulasi kapital
global menundukkan negara dan masyarakat lokal dalam kerangka kompetisi,
deregulasi, dan privatisasi. Negara kehilangan kedaulatannya atas kebijakan
ekonomi, sementara kekuasaan mengalir kepada korporasi transnasional dan
aktor-aktor global yang tidak akuntabel2.
10.2.
Geopolitik Baru dan
“Imperialisme Kemanusiaan”
Abad ke-21 juga menyaksikan
kemunculan berbagai intervensi militer dan politik
yang dilakukan dengan dalih menegakkan demokrasi, menjaga hak asasi manusia,
atau memberantas terorisme. Namun, banyak pengamat mengkritik bahwa retorika
ini sering menyembunyikan kepentingan geopolitik dan ekonomi yang khas
imperialistik. Jean Bricmont, dalam analisisnya tentang humanitarian
imperialism, menegaskan bahwa kekuatan besar seperti Amerika Serikat telah
menggunakan alasan moral untuk mempertahankan dominasi global melalui perang
dan intervensi selektif3.
Perang di Irak (2003),
intervensi NATO di Libya (2011), dan konflik yang berlangsung di Suriah
merupakan contoh kontemporer dari bagaimana kekuatan militer digunakan untuk
membentuk ulang wilayah dan sistem politik negara lain sesuai kepentingan
hegemon global. Ini menunjukkan bahwa imperialisme hari ini tetap aktif dalam
bentuk kontrol politik dan militer yang dibungkus dalam wacana legal dan moral.
10.3.
Tantangan Teknologi
Digital dan Kolonisasi Siber
Di era digital, dominasi
imperial tidak hanya bersifat teritorial atau ekonomi, tetapi juga berpindah
ke ranah data dan informasi. Negara-negara Global North dan
perusahaan teknologi besar mengendalikan infrastruktur digital dunia, termasuk
server data, platform media sosial, dan algoritma yang menentukan akses serta
distribusi informasi. Nick Couldry dan Ulises Mejias menyebut ini sebagai data
colonialism—bentuk kolonisasi baru yang mengekstrak nilai dari aktivitas
digital manusia sebagaimana kolonialisme lama mengekstrak sumber daya fisik4.
Fenomena ini mengarah pada
bentuk baru dari imperialisme digital, di mana negara-negara
berkembang menjadi pasar data dan laboratorium eksperimen teknologi tanpa
kontrol atau kedaulatan atas ruang sibernya sendiri. Dalam konteks ini,
dekolonisasi digital menjadi isu penting yang perlu ditelaah dalam diskursus
imperialisme kontemporer.
10.4.
Bangkitnya
Nasionalisme dan Reposisi Global South
Sementara itu, bangkitnya
nasionalisme politik dan ekonomi di berbagai negara berkembang
menjadi bentuk respons terhadap dominasi global yang masih bercorak imperialis.
Negara-negara seperti Tiongkok, India, Brasil, dan Afrika Selatan (BRICS) mulai
menegosiasikan posisi mereka dalam tatanan global dengan cara yang lebih tegas
dan mandiri, sekaligus menantang monopoli kekuasaan Barat dalam lembaga-lembaga
dunia.
Namun, dinamika ini juga
memunculkan pertanyaan: apakah kekuatan-kekuatan baru ini akan mereproduksi
logika imperialisme lama dalam bentuk baru, ataukah mereka mampu mengusung
model alternatif yang lebih adil? Kajian imperialisme menjadi sangat penting
untuk membedah arah perkembangan ini, serta menilai apakah multipolaritas dunia
benar-benar mengakhiri sistem hierarkis yang sudah mapan sejak era kolonial5.
10.5.
Relevansi Kritis
dalam Pendidikan, Media, dan Kesadaran Global
Akhirnya, kajian imperialisme
di abad ke-21 juga penting untuk membangun kesadaran
kritis masyarakat global. Dalam konteks pendidikan dan media,
pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan struktur imperialisme membantu
mengidentifikasi bias, membongkar narasi dominatif, serta mendorong solidaritas
lintas budaya dan bangsa.
Gerakan dekolonisasi
kurikulum, pembacaan kritis terhadap sejarah dunia, dan pemanfaatan teknologi
untuk memperkuat suara-suara dari Global South merupakan bagian dari strategi
intelektual untuk mengoreksi ketimpangan epistemik. Dalam dunia yang makin
terhubung, pemahaman terhadap imperialisme menjadi kunci untuk membangun tata
dunia yang berbasis pada keadilan, kedaulatan, dan kemanusiaan universal6.
Footnotes
[1]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New
York: W. W. Norton & Company, 2002), 15–18.
[2]
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of
Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 48–50.
[3]
Jean Bricmont, Humanitarian Imperialism: Using Human Rights to Sell
War (New York: Monthly Review Press, 2006), 1–3.
[4]
Nick Couldry and Ulises A. Mejias, The Costs of Connection: How
Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism
(Stanford: Stanford University Press, 2019), 24–27.
[5]
Vijay Prashad, The Poorer Nations: A Possible History of the Global
South (London: Verso, 2012), 223–225.
[6]
Walter D. Mignolo and Catherine E. Walsh, On Decoloniality:
Concepts, Analytics, Praxis (Durham, NC: Duke University Press, 2018),
109–113.
11.
Penutup
Kajian tentang imperialisme
bukanlah sekadar penelusuran historis terhadap ekspansi kolonial masa lampau,
melainkan juga sebuah upaya kritis untuk memahami struktur
kekuasaan yang masih berlangsung dalam wajah-wajah baru di abad
ke-21. Sebagaimana telah ditelaah dalam bagian-bagian sebelumnya, imperialisme
adalah fenomena multidimensional yang tidak hanya bekerja secara militer dan
ekonomi, tetapi juga melalui jalur ideologis, simbolik, dan epistemologis. Ia
hadir sebagai logika yang merasuki globalisasi, pembangunan, teknologi, bahkan
bahasa dan sistem pendidikan.
Dari imperialisme
klasik yang mewujud dalam pendudukan teritorial, perbudakan,
dan kolonisasi eksplisit, hingga bentuk-bentuk neoimperialisme
seperti dominasi pasar global, intervensi militer berkedok kemanusiaan, dan
kolonisasi digital, seluruhnya menunjukkan bahwa relasi
kekuasaan global tidak pernah netral atau seimbang.
Negara-negara yang pernah menjadi imperium kolonial tetap mempertahankan
pengaruhnya melalui jaringan keuangan, perusahaan multinasional, media global,
dan institusi internasional yang didesain untuk melanggengkan ketimpangan
struktural1.
Dalam konteks ini, relevansi
kajian imperialisme sangat krusial untuk membangun kesadaran
kritis terhadap ketidaksetaraan global dan untuk merumuskan strategi alternatif
dalam menghadapi dominasi terselubung. Kajian ini juga membuka ruang untuk
membangun solidaritas lintas negara, etnis, dan kelas—sebuah solidaritas yang
tidak dibangun atas dasar dominasi atau penyelamatan, melainkan atas prinsip
kesetaraan, martabat, dan keadilan sosial.
Di sisi lain, resistensi
terhadap imperialisme juga mengalami evolusi. Jika dahulu ia
mengambil bentuk perlawanan bersenjata atau nasionalisme antikolonial, hari ini
ia hadir dalam bentuk gerakan sosial transnasional, dekolonisasi kurikulum,
penguatan ekonomi lokal, pengembalian narasi sejarah, dan pengembangan
epistemologi alternatif. Seperti yang ditegaskan oleh Walter D. Mignolo,
dekolonisasi tidak semata-mata tentang merebut kekuasaan dari pusat dominasi,
tetapi juga tentang membongkar cara berpikir yang telah lama mengakar dan
membatasi kemungkinan dunia yang lebih adil2.
Kesimpulannya, imperialisme
tidak boleh dipandang sebagai fenomena masa lalu yang telah selesai, tetapi
sebagai struktur dan logika yang terus aktif dalam membentuk dunia kontemporer.
Memahami dan mengkritisi imperialisme secara holistik menjadi langkah awal
menuju rekonstruksi tatanan global yang lebih
adil, inklusif, dan setara. Dengan mengungkap wajah-wajah
tersembunyi dari imperialisme dan menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri, kajian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap
perjuangan global untuk kebebasan dan kemanusiaan universal.
Footnotes
[1]
David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University
Press, 2003), 187–190.
[2]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011),
274–277.
Daftar Pustaka
Achebe, C. (1958). Things
fall apart. Heinemann.
Abu-Lughod, L. (2013). Do
Muslim women need saving? Harvard University Press.
Amin, S. (1977). Imperialism
and unequal development. Monthly Review Press.
Anderson, B. (2006). Imagined
communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Revised
ed.). Verso.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bricmont, J. (2006). Humanitarian
imperialism: Using human rights to sell war. Monthly Review Press.
Chomsky, N. (2003). Hegemony
or survival: America’s quest for global dominance. Henry Holt and Company.
Cohen, R. (2008). Global
diasporas: An introduction (2nd ed.). Routledge.
Comaroff, J., &
Comaroff, J. L. (1991). Of revelation and revolution: Christianity,
colonialism, and consciousness in South Africa (Vol. 1). University of
Chicago Press.
Couldry, N., & Mejias,
U. A. (2019). The costs of connection: How data is colonizing human life
and appropriating it for capitalism. Stanford University Press.
Crosby, A. W. (1986). Ecological
imperialism: The biological expansion of Europe, 900–1900. Cambridge
University Press.
de Sousa Santos, B. (2014).
Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm
Publishers.
Dos Santos, T. (1970). The
structure of dependence. American Economic Review, 60(2), 231–236.
Fanon, F. (2004). The
wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.
Fanon, F. (2008). Black
skin, white masks (R. Philcox, Trans.). Grove Press.
Ferguson, J. (1994). The
anti-politics machine: Development, depoliticization, and bureaucratic power in
Lesotho. University of Minnesota Press.
Frank, A. G. (1967). Capitalism
and underdevelopment in Latin America. Monthly Review Press.
Grove, R. (1995). Green
imperialism: Colonial expansion, tropical island edens and the origins of
environmentalism, 1600–1860. Cambridge University Press.
Hall, S. (1994). Cultural
identity and diaspora. In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial
discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 392–403). Columbia
University Press.
Harvey, D. (2003). The
new imperialism. Oxford University Press.
Hobson, J. A. (1902). Imperialism:
A study. James Nisbet.
Hobsbawm, E. (1989). The
age of empire: 1875–1914. Vintage Books.
Kipling, R. (1899,
February). The white man’s burden. McClure’s Magazine.
Lee, C. J. (Ed.). (2010). Making
a world after empire: The Bandung moment and its political afterlives.
Ohio University Press.
Lenin, V. I. (1939). Imperialism:
The highest stage of capitalism. International Publishers.
Luxemburg, R. (2003). The
accumulation of capital (A. Schwarzschild, Trans.). Routledge. (Original
work published 1913)
McDougall, J. (2006). History
and the culture of nationalism in Algeria. Cambridge University Press.
Mignolo, W. D. (2005). The
idea of Latin America. Blackwell.
Mignolo, W. D. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke
University Press.
Mignolo, W. D., &
Walsh, C. E. (2018). On decoloniality: Concepts, analytics, praxis.
Duke University Press.
Miller, T., Govil, N.,
McMurria, J., & Maxwell, R. (2005). Global Hollywood 2. British
Film Institute.
Mitchell, T. (1991). Colonising
Egypt. University of California Press.
Mohanty, C. T. (1988).
Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Feminist
Review, 30, 61–88.
Morgenthau, H. J. (1973). Politics
among nations: The struggle for power and peace (5th ed.). Knopf.
Ngũgĩ wa Thiong’o. (1986). Decolonising
the mind: The politics of language in African literature. James Currey.
Pakenham, T. (1991). The
scramble for Africa: White man’s conquest of the dark continent from 1876 to
1912. Random House.
Porter, A. (2004). Religion
versus empire? British Protestant missionaries and overseas expansion,
1700–1914. Manchester University Press.
Prashad, V. (2012). The
poorer nations: A possible history of the Global South. Verso.
Reid, A. (2005). An
Indonesian frontier: Acehnese and other histories of Sumatra. Singapore
University Press.
Said, E. W. (1978). Orientalism.
Pantheon Books.
Said, E. W. (1993). Culture
and imperialism. Alfred A. Knopf.
Sassen, S. (1996). Losing
control? Sovereignty in an age of globalization. Columbia University
Press.
Seeley, J. R. (1883). The
expansion of England: Two courses of lectures. Macmillan.
Spivak, G. C. (1988). Can
the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and
the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization
and its discontents. W. W. Norton & Company.
UNCTAD. (2023). Trade
and development report 2023. United Nations Conference on Trade and
Development. https://unctad.org
Waltz, K. N. (1979). Theory
of international politics. Addison-Wesley.
Watts, M. (1983). Silent
violence: Food, famine, and peasantry in northern Nigeria. University of
California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar