Rabu, 04 Juni 2025

Imperialisme: Genealogi Kekuasaan Global, Dimensi Ideologis, dan Dampaknya dalam Tatanan Dunia Kontemporer

Imperialisme

Genealogi Kekuasaan Global, Dimensi Ideologis, dan Dampaknya dalam Tatanan Dunia Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang imperialisme sebagai struktur kekuasaan global yang tidak hanya berakar pada praktik kolonial masa lampau, tetapi juga mengalami transformasi menjadi berbagai bentuk dominasi kontemporer. Kajian ini diawali dengan penelusuran historis mengenai asal-usul dan evolusi imperialisme dari zaman klasik hingga modern, serta membedah berbagai teori yang menjelaskan motif, mekanisme, dan dampaknya—termasuk pendekatan Marxis, liberal, realis, dan postkolonial. Imperialisme dipahami bukan hanya sebagai ekspansi teritorial, tetapi juga sebagai proyek ideologis dan kultural yang melibatkan produksi makna, hegemonisasi wacana, dan dominasi simbolik. Artikel ini menyoroti keterkaitan erat antara imperialisme dan kapitalisme global, menjelaskan bagaimana kekuatan ekonomi dan korporasi transnasional menjadi alat dominasi pascakolonial. Selain itu, dibahas pula dimensi perlawanan terhadap imperialisme, baik dalam bentuk perjuangan politik, gerakan intelektual, hingga dekolonisasi epistemik. Dalam konteks abad ke-21, imperialisme hadir dalam wajah baru melalui globalisasi neoliberal, intervensi geopolitik, kolonisasi digital, dan hegemoni budaya global. Oleh karena itu, pemahaman kritis terhadap imperialisme tetap relevan untuk membaca ketimpangan global, merumuskan perlawanan strategis, dan membangun tatanan dunia yang lebih adil dan setara.

Kata Kunci: Imperialisme, kolonialisme, kapitalisme global, dominasi ideologis, postkolonialisme, dekolonisasi, globalisasi, hegemoni, perlawanan, epistemologi Selatan.


PEMBAHASAN

Kajian Imperialisme dalam Konteks Sejarah dan Dunia Modern


1.            Pendahuluan

Imperialisme merupakan salah satu konsep kunci dalam pemahaman sejarah hubungan internasional, dinamika kekuasaan global, serta proses pembentukan tatanan dunia modern. Secara etimologis, istilah imperialisme berasal dari kata Latin imperium yang berarti kekuasaan atau dominasi, khususnya dalam konteks politik dan militer. Dalam terminologi modern, imperialisme merujuk pada praktik atau kebijakan suatu negara yang memperluas dan mempertahankan pengaruhnya atas wilayah atau bangsa lain melalui dominasi ekonomi, politik, militer, atau budaya. Hal ini membedakannya dari kolonialisme yang lebih merujuk pada bentuk penguasaan fisik dan administratif atas suatu wilayah asing.1

Dalam perkembangan sejarah, imperialisme tidak dapat dilepaskan dari ekspansi kekuatan-kekuatan besar dunia, baik pada masa klasik seperti Kekaisaran Romawi dan Dinasti Qing, maupun pada masa modern seperti imperium Inggris, Prancis, dan Jepang. Namun, fenomena ini tidak hanya bersifat fisik dan geografis. Imperialisme juga merupakan proyek ideologis yang menyisipkan nilai-nilai, narasi peradaban, dan sistem ekonomi dominan ke dalam struktur sosial masyarakat yang dikuasai.2

Penting untuk membedakan antara berbagai bentuk dominasi global yang berkaitan tetapi tidak identik. Misalnya, kolonialisme kerap dipahami sebagai praktik teritorial langsung, sedangkan imperialisme lebih luas mencakup juga hegemoni ekonomi dan simbolik. Istilah hegemoni, yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, merujuk pada dominasi ideologis di mana kelas atau negara dominan memaksakan konsensus sosial yang menguntungkan mereka kepada kelompok subordinat tanpa selalu menggunakan kekuatan koersif langsung.3

Kajian tentang imperialisme menjadi semakin relevan dalam konteks kontemporer karena transformasi bentuk-bentuk dominasi global yang tidak lagi bersandar pada kolonialisme klasik, tetapi mengambil wajah baru seperti intervensi militer, dominasi ekonomi global, eksploitasi sumber daya, dan bahkan penetrasi teknologi digital. Dalam hal ini, banyak pemikir menyatakan bahwa imperialisme tetap eksis meski tampil dalam bentuk neoimperialisme atau imperialisme terselubung.4

Oleh karena itu, pembahasan tentang imperialisme tidak hanya bersifat historis, tetapi juga merupakan upaya untuk memahami bagaimana kekuasaan global bekerja, berevolusi, dan menyesuaikan diri dalam dunia yang terus berubah. Kajian ini memungkinkan kita untuk melihat hubungan antara negara, ekonomi global, ideologi, dan resistensi—sehingga membuka ruang untuk refleksi kritis atas tatanan dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                John M. Hobson, The Eastern Origins of Western Civilisation (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 271.

[2]                Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Alfred A. Knopf, 1993), xii–xiv.

[3]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–13.

[4]                David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 5–7.


2.           Asal-Usul dan Evolusi Sejarah Imperialisme

Imperialisme bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak zaman kuno, dorongan untuk menaklukkan wilayah lain telah menjadi bagian dari dinamika politik dan militer banyak kekaisaran. Dalam pengertian klasik, imperialisme merujuk pada ekspansi teritorial yang dilakukan oleh kekaisaran-kekaisaran besar seperti Mesir kuno, Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Kekaisaran Romawi, misalnya, bukan hanya memperluas wilayahnya secara militer tetapi juga menyebarkan hukum, bahasa, dan budaya Latin sebagai bagian dari proyek integrasi imperialis yang luas1.

Dalam konteks Asia, Dinasti Han dan Dinasti Tang di Tiongkok menjalankan politik ekspansionis yang kompleks melalui sistem tributary states, sementara Kekaisaran Islam pada masa Umayyah dan Abbasiyah menggabungkan penaklukan dengan penyebaran hukum Islam dan budaya Arab sebagai bagian dari proyek hegemonik religio-politik2. Dengan demikian, bentuk-bentuk imperialisme awal seringkali melebur antara dominasi militer, politik, ekonomi, dan religius.

Perubahan besar terjadi pada era modern, khususnya mulai abad ke-15 dengan dimulainya Age of Discovery, ketika bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol mulai melakukan pelayaran jarak jauh, mendirikan koloni di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Proses ini ditandai oleh dua hal utama: eksplorasi dan eksploitas—sebuah pola yang kemudian diintensifkan oleh Inggris, Belanda, dan Prancis pada abad ke-17 hingga ke-19. Inilah fase yang oleh banyak sejarawan disebut sebagai imperialisme modern, yaitu dominasi sistematis negara-negara Eropa atas wilayah-wilayah non-Eropa dengan tujuan ekonomi dan strategis jangka panjang3.

Puncak dari imperialisme modern terjadi pada abad ke-19, terutama setelah Revolusi Industri. Negara-negara imperialis seperti Inggris dan Prancis menggunakan keunggulan teknologinya untuk memperluas pengaruhnya ke hampir seluruh penjuru dunia. Dalam Konferensi Berlin (1884–1885), misalnya, kekuatan-kekuatan Eropa secara resmi membagi wilayah Afrika tanpa mempertimbangkan struktur sosial maupun budaya masyarakat pribumi, menandai bentuk kolonialisme terorganisasi yang didasarkan atas logika kapitalis dan supremasi rasial4.

Namun, imperialisme tidak berhenti pada batas militer dan kolonialisme klasik. Pada abad ke-20, bentuk imperialisme mengalami transformasi dengan munculnya praktik neoimperialisme. Negara-negara kuat tidak lagi mendirikan koloni secara langsung, tetapi tetap mengontrol ekonomi, politik, dan kebudayaan negara-negara berkembang melalui lembaga internasional, intervensi militer, dan dominasi pasar global. Sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan Eric Hobsbawm, imperialisme modern berubah menjadi bentuk dominasi struktural yang mengaburkan batas antara kolonisasi fisik dan hegemoni ideologis5.

Dengan demikian, sejarah imperialisme menunjukkan adanya evolusi dari dominasi militer langsung menuju mekanisme kontrol yang semakin kompleks dan terselubung. Dari ekspansi kekaisaran klasik hingga dominasi neoliberalisme global, imperialisme tetap menjadi kekuatan pengatur yang membentuk struktur relasi global hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Edward Gibbon, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, vol. 1 (London: Strahan & Cadell, 1776), 52–53.

[2]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 252–255.

[3]                J. R. Seeley, The Expansion of England: Two Courses of Lectures (London: Macmillan, 1883), 10–12.

[4]                Pakenham, Thomas. The Scramble for Africa: White Man's Conquest of the Dark Continent from 1876 to 1912 (New York: Random House, 1991), 74–76.

[5]                Eric Hobsbawm, The Age of Empire: 1875–1914 (New York: Vintage Books, 1989), 9–11.


3.           Teori-Teori tentang Imperialisme

Imperialisme sebagai fenomena historis dan struktural telah melahirkan berbagai teori yang mencoba menjelaskan sebab, tujuan, serta dampaknya dalam konteks global. Setiap teori membawa pendekatan ideologis dan metodologis yang berbeda, mencerminkan kompleksitas relasi kekuasaan antara negara pusat (core) dan wilayah pinggiran (periphery). Setidaknya ada empat pendekatan utama yang dominan dalam wacana akademik tentang imperialisme: Marxis, liberal, realis, dan postkolonial.

3.1.       Teori Marxis tentang Imperialisme

Pemikiran Marxis tentang imperialisme mendapat artikulasi teoretis yang kuat melalui karya Vladimir Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916). Dalam kerangka ini, imperialisme dipahami sebagai ekspresi lanjut dari kapitalisme monopoli, yakni tahap ketika kapital industri dan keuangan bersatu, dan negara-negara kapitalis maju mencari pasar baru, bahan mentah, serta peluang investasi di luar negeri untuk mengatasi krisis surplus produksi di dalam negeri1. Lenin menekankan bahwa imperialisme bukan sekadar kebijakan luar negeri, tetapi bagian integral dari sistem ekonomi kapitalis global.

Lenin membangun argumen ini dengan mengkritik ekonomi borjuis yang memisahkan antara ekspansi ekonomi dan ekspansi militer. Ia melihat bahwa perang antarimperialis, seperti Perang Dunia I, adalah konsekuensi dari persaingan ekonomi antara negara-negara kapitalis besar untuk memperebutkan koloni dan sumber daya2.

3.2.       Teori Liberal: Pasar Bebas dan Strategi Ekspansi Ekonomi

Teori liberal, berbeda dengan pendekatan Marxis, memandang imperialisme sebagai anomali dalam sistem pasar bebas. Para pemikir liberal klasik seperti John A. Hobson dalam Imperialism: A Study (1902) mengkritik imperialisme sebagai hasil dari distorsi ekonomi domestik, seperti konsentrasi kekayaan dan rendahnya konsumsi masyarakat kelas bawah, yang mendorong ekspansi luar negeri sebagai pelampiasan surplus kapital3.

Namun, tidak semua pemikir liberal bersikap kritis terhadap imperialisme. Beberapa menganggapnya sebagai sarana untuk memperluas perdagangan bebas, menyebarkan peradaban, serta membangun infrastruktur ekonomi global. Dalam sudut pandang ini, imperialisme bisa dilihat sebagai alat rasional untuk memperluas keterhubungan antarnegara dan memperkenalkan institusi modern ke daerah-daerah yang dianggap “belum berkembang”.

3.3.       Teori Realis dan Neorealis: Keseimbangan Kekuatan dan Strategi Geopolitik

Dalam tradisi hubungan internasional, pendekatan realis menekankan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional dan perimbangan kekuatan (balance of power). Teori ini melihat imperialisme sebagai instrumen strategis untuk memperkuat posisi negara dalam sistem internasional yang anarkis. Hans Morgenthau, dalam Politics Among Nations, menyatakan bahwa dominasi atas wilayah lain adalah cara logis untuk meningkatkan keamanan nasional dan kapabilitas geopolitik suatu negara4.

Neorealisme, sebagaimana dikembangkan oleh Kenneth Waltz, juga menekankan pentingnya struktur internasional dalam menjelaskan perilaku imperialis negara-negara besar. Dalam sistem multipolar, negara cenderung memperluas pengaruhnya agar tidak terancam oleh kekuatan lain. Imperialisme, dalam kerangka ini, bukanlah pilihan ideologis tetapi keniscayaan struktural dari sistem internasional yang kompetitif5.

3.4.       Teori Postkolonial dan Kritik Wacana Imperialisme

Pendekatan postkolonial menawarkan kritik mendalam terhadap narasi dan simbolisme dalam praktik imperialisme. Edward W. Said, melalui karyanya Orientalism (1978), mengungkap bagaimana imperialisme Barat tidak hanya mengandalkan kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga produksi pengetahuan dan representasi budaya yang memosisikan Timur sebagai “yang lain” (the Other) yang inferior, eksotis, dan perlu dikendalikan6. Pendekatan ini menggeser fokus dari struktur ekonomi-politik ke wacana, bahasa, dan imajinasi budaya.

Gayatri Chakravorty Spivak dan Homi K. Bhabha menambahkan bahwa imperialisme juga menciptakan subyek yang terpinggirkan secara epistemologis. Mereka menyoroti bagaimana kolonialisme meninggalkan warisan psikis dan identitas yang kompleks dalam masyarakat bekas jajahan, serta bagaimana resistensi terhadap imperialisme dapat terjadi melalui ekspresi budaya dan hibriditas identitas7.


Dengan demikian, teori-teori tentang imperialisme mencerminkan beragam pendekatan dalam memahami fenomena ini: dari kritik ekonomi-politik (Marxis), penekanan pada efisiensi dan peradaban (liberal), fokus pada kekuasaan strategis (realis), hingga pembongkaran ideologis dan epistemologis (postkolonial). Keempat pendekatan ini membantu merumuskan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana imperialisme bekerja dalam berbagai dimensi historis, struktural, dan simbolik.


Footnotes

[1]                Vladimir I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 88–89.

[2]                Ibid., 93–95.

[3]                John A. Hobson, Imperialism: A Study (London: James Nisbet, 1902), 85–87.

[4]                Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, 5th ed. (New York: Knopf, 1973), 36–38.

[5]                Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Reading, MA: Addison-Wesley, 1979), 118–121.

[6]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 1–3.

[7]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 86–88; Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.


4.           Imperialisme dan Kapitalisme Global

Keterkaitan antara imperialisme dan kapitalisme global merupakan salah satu aspek yang paling menonjol dalam analisis historis dan struktural terhadap dinamika kekuasaan dunia. Imperialisme modern tidak dapat dipahami terlepas dari logika ekspansi kapitalis yang melekat pada sistem ekonomi global sejak era kolonialisme hingga kini. Di balik proyek-proyek ekspansi teritorial dan dominasi politik, terdapat dorongan ekonomi yang bersumber pada kebutuhan kapitalisme untuk memperluas pasar, mengamankan bahan baku, dan mencari lahan investasi baru.

4.1.       Kapitalisme Monopoli dan Ekspansi Imperialis

Sebagaimana dijelaskan oleh Vladimir Lenin, imperialisme merupakan “tahap tertinggi kapitalisme”—yakni fase ketika kapital produktif beralih menjadi kapital finansial dan dikuasai oleh segelintir monopoli yang membutuhkan ekspansi global untuk mempertahankan akumulasi keuntungan1. Dalam pandangan Lenin, krisis overproduksi di negara-negara kapitalis mendorong mereka untuk mencari pasar luar negeri guna menyerap kelebihan barang dan modal. Hal ini menciptakan situasi persaingan antarnegara imperialis yang pada akhirnya bermuara pada pembagian dunia melalui kolonialisme dan perang antar imperium.

Teori ini juga diadopsi dan dikembangkan oleh para pemikir Mazhab Frankfurt dan Marxisme lanjut seperti Rosa Luxemburg, yang menekankan bahwa akumulasi kapital tidak bisa berlangsung hanya dalam batasan internal masyarakat kapitalis, tetapi membutuhkan wilayah non-kapitalis sebagai ruang ekspansi eksternal2.

4.2.       Struktur Ketergantungan Global dan Negara Pinggiran

Dalam pendekatan ekonomi-politik yang lebih modern, teori dependencia (ketergantungan) dari para pemikir Amerika Latin seperti Andre Gunder Frank dan Samir Amin menggambarkan bahwa sistem kapitalisme global menciptakan ketimpangan struktural antara negara-negara pusat (core) dan pinggiran (periphery). Negara pusat, yang biasanya adalah negara imperialis, mengekspor kapital dan teknologi, sedangkan negara pinggiran menjadi penyedia bahan mentah dan tenaga kerja murah yang terintegrasi dalam rantai nilai global yang timpang3.

Hubungan ini tidak bersifat simetris atau adil, melainkan memperkuat ketergantungan negara-negara berkembang terhadap pasar dan lembaga keuangan global yang dikendalikan negara maju. Bahkan setelah era dekolonisasi formal, ketergantungan ekonomi tersebut tetap berlanjut dalam bentuk neoimperialisme melalui utang luar negeri, pengaruh lembaga internasional (IMF, Bank Dunia), serta kekuatan korporasi multinasional4.

4.3.       Perusahaan Multinasional dan Kapitalisme Imperialis

Perusahaan multinasional (MNCs) memainkan peran kunci dalam imperialisme kontemporer. Melalui investasi langsung asing (FDI), kontrol terhadap teknologi, dan pengaruh terhadap kebijakan ekonomi negara-negara berkembang, perusahaan-perusahaan ini memperkuat struktur kekuasaan global yang mirip dengan sistem kolonial lama. David Harvey menyebut fenomena ini sebagai “akumulasi melalui perampasan” (accumulation by dispossession)—yakni proses pengambilalihan aset publik atau komunitas oleh kapital privat global, seringkali melalui mekanisme legal, pasar, atau kekerasan simbolik5.

Contoh paling nyata dari proses ini dapat dilihat dalam industri ekstraktif (pertambangan, energi, agribisnis), di mana perusahaan asing mengeruk sumber daya alam negara berkembang dengan sedikit nilai tambah yang tinggal di dalam negeri. Dalam hal ini, imperialisme bukan hanya soal batas teritorial, tetapi tentang kuasa atas distribusi kekayaan dan kontrol atas proses produksi global.

4.4.       Globalisasi Neoliberal sebagai Wajah Baru Imperialisme

Dengan runtuhnya blok Soviet dan kemenangan ideologi neoliberal pada akhir abad ke-20, imperialisme mengalami transformasi dalam bentuk yang lebih halus dan terselubung. Kebijakan privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan deregulasi yang didorong oleh lembaga internasional dianggap sebagai “konsensus global” yang menguntungkan semua pihak. Namun, banyak analis kritis menunjukkan bahwa agenda neoliberal tersebut justru memperkuat dominasi ekonomi global oleh kekuatan imperialis, menciptakan ketimpangan sosial-ekonomi, dan melemahkan kedaulatan negara-negara dunia ketiga6.

Dalam konteks ini, imperialisme tidak lagi tampil melalui kolonisasi langsung, melainkan melalui arsitektur institusional dan hukum internasional yang mendukung kepentingan kapital global. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme global tetap menjadi mesin penggerak utama imperialisme dalam wajah barunya di abad ke-21.


Footnotes

[1]                Vladimir I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 88–90.

[2]                Rosa Luxemburg, The Accumulation of Capital (London: Routledge, 2003), 396–400.

[3]                Samir Amin, Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism (New York: Monthly Review Press, 1976), 205–207.

[4]                Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin America (New York: Monthly Review Press, 1967), 20–23.

[5]                David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 137–139.

[6]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 19–22.


5.           Imperialisme dan Proyek Peradaban

Salah satu aspek yang paling kompleks dari imperialisme adalah dimensi ideologisnya, yang tampil melalui apa yang disebut sebagai “proyek peradaban” (civilizing mission). Dalam kerangka ini, imperialisme tidak sekadar merupakan ekspansi politik atau ekonomi, melainkan juga sebuah upaya “memajukan” masyarakat lain dengan membawa nilai-nilai budaya, agama, pendidikan, dan moralitas dari bangsa penjajah. Proyek ini berakar pada asumsi superioritas peradaban Barat, dan menjadi justifikasi moral untuk dominasi imperialis atas dunia non-Barat.

5.1.       Misi Peradaban dan Superioritas Budaya

Imperialisme modern, terutama sejak abad ke-19, sering dibingkai sebagai bentuk altruistik: menyebarkan kemajuan, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai modernitas kepada masyarakat “primitif”. Ide ini sangat nyata dalam slogan Prancis mission civilisatrice dan gagasan Inggris tentang White Man’s Burden, yang dipopulerkan oleh puisi Rudyard Kipling tahun 1899. Narasi ini meyakinkan publik Eropa bahwa kolonialisme adalah bentuk “pengabdian moral” untuk membebaskan masyarakat Timur dari keterbelakangan, kekacauan, dan ketidakteraturan sosial1.

Namun, narasi ini bersifat sangat problematik karena bertumpu pada ideologi rasialisme yang menempatkan bangsa Eropa sebagai pusat peradaban dunia. Dalam pandangan Edward Said, konsep semacam ini adalah bagian dari orientalisme—sebuah cara pandang dan wacana dominatif yang memosisikan Timur sebagai “yang lain” (the Other), eksotis, pasif, dan membutuhkan pengendalian oleh Barat2.

5.2.       Agama dan Penginjilan sebagai Alat Imperialisme

Dalam banyak kasus, misi peradaban dibarengi dengan misi religius. Para misionaris Kristen dari Eropa aktif menyebarkan ajaran agama bersamaan dengan ekspansi kekuasaan kolonial. Di Afrika, Asia, dan Pasifik, agama Kristen diperkenalkan bukan hanya sebagai sistem keyakinan, tetapi sebagai simbol kemajuan, modernitas, dan moralitas “superior”. Hal ini menjadikan agama sebagai salah satu instrumen ideologis yang memperhalus dominasi kolonial, dengan merombak sistem kepercayaan lokal dan memperkenalkan struktur sosial baru yang pro-kolonial3.

Para peneliti seperti Jean Comaroff dan John Comaroff menyoroti bagaimana penginjilan dan imperialisme saling menguatkan. Proses konversi ke agama Kristen bukan hanya mempengaruhi aspek spiritual, tetapi juga sistem hukum, pakaian, pendidikan, dan bahkan cara hidup masyarakat lokal, sehingga mempercepat internalisasi nilai-nilai kolonial di kalangan pribumi4.

5.3.       Pendidikan Kolonial dan Produksi Elite Pribumi

Pendidikan menjadi instrumen penting dalam proyek peradaban imperialis. Di berbagai koloni, pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah dengan kurikulum yang menekankan bahasa dan budaya penjajah. Tujuannya bukan semata-mata mencerdaskan, melainkan membentuk elite lokal yang loyal terhadap kekuasaan kolonial. Tokoh seperti Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth menegaskan bahwa pendidikan kolonial menciptakan “manusia terjajah yang terideologisasi”—yakni kelompok terpelajar lokal yang berpikir dengan kerangka Barat dan secara tidak sadar menjadi agen perpanjangan kekuasaan kolonial5.

Pendidikan kolonial juga mereduksi warisan budaya dan epistemologi lokal, yang dianggap irasional atau inferior. Ini menciptakan dualisme antara “ilmu modern” dan “kebudayaan tradisional”, yang terus berlanjut dalam sistem pendidikan pascakolonial di banyak negara berkembang.

5.4.       Imperialisme Simbolik: Bahasa, Seni, dan Representasi Budaya

Proyek peradaban juga termanifestasi dalam dominasi simbolik dan budaya. Bahasa penjajah (seperti Inggris, Prancis, atau Belanda) menjadi alat utama dalam membentuk pola pikir kolonial. Penggunaan bahasa kolonial dalam administrasi, hukum, dan pendidikan menggantikan bahasa lokal dan memperkuat hierarki simbolik antara budaya penjajah dan yang dijajah6.

Lebih jauh, seni, pameran dunia (world exhibitions), dan museologi kolonial menampilkan artefak budaya dari koloni sebagai objek eksotisme dan pembuktian “keunggulan” peradaban Barat. Representasi ini membentuk imajinasi global tentang “Timur” sebagai wilayah yang membutuhkan bimbingan dan pengendalian. Dalam konteks ini, proyek peradaban bukan hanya proses dominasi material, tetapi juga “penaklukan makna” dan penciptaan narasi besar tentang siapa yang dianggap “beradab” dan “biadab7.


Dengan demikian, proyek peradaban dalam konteks imperialisme adalah dimensi ideologis yang kompleks, di mana dominasi politik dan ekonomi diperkuat melalui narasi moral, simbolik, dan budaya. Meskipun tampil dalam wujud "kemajuan", proyek ini sarat dengan kolonialisasi epistemologis yang merusak identitas dan struktur sosial masyarakat terjajah. Pemahaman terhadap dimensi ini penting untuk membongkar warisan imperialisme yang masih memengaruhi tata pikir dan tata nilai masyarakat pascakolonial.


Footnotes

[1]                Rudyard Kipling, “The White Man’s Burden,” McClure’s Magazine, February 1899.

[2]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 1–3.

[3]                Andrew Porter, Religion versus Empire? British Protestant Missionaries and Overseas Expansion, 1700–1914 (Manchester: Manchester University Press, 2004), 45–47.

[4]                Jean Comaroff and John L. Comaroff, Of Revelation and Revolution: Christianity, Colonialism, and Consciousness in South Africa, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 16–19.

[5]                Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 148–149.

[6]                Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 4–5.

[7]                Timothy Mitchell, Colonising Egypt (Berkeley: University of California Press, 1991), 33–36.


6.           Perlawanan terhadap Imperialisme

Perlawanan terhadap imperialisme merupakan bagian integral dari sejarah perjuangan umat manusia untuk kebebasan, keadilan, dan martabat. Sejak awal ekspansi imperialis, masyarakat yang ditaklukkan tidak pernah sepenuhnya tunduk; mereka merespons dengan berbagai bentuk resistensi, mulai dari pemberontakan bersenjata hingga perjuangan intelektual dan budaya. Resistensi ini tidak hanya bersifat lokal dan sporadis, tetapi juga berkembang menjadi gerakan transnasional yang menyuarakan kemerdekaan, kesetaraan, dan hak menentukan nasib sendiri.

6.1.       Perlawanan Awal dan Gerakan Anti-Kolonial

Bentuk-bentuk awal perlawanan terhadap imperialisme biasanya bersifat reaktif dan berakar pada semangat mempertahankan tanah, budaya, dan sistem nilai tradisional. Contoh penting adalah Perang Aceh melawan kolonialisme Belanda (1873–1904), Revolusi Sepoy di India (1857), dan Perang Mahdist di Sudan (1881–1898). Meskipun banyak dari gerakan ini mengalami kekalahan militer, mereka meninggalkan jejak sejarah penting sebagai simbol perlawanan dan ketahanan lokal1.

Pada awal abad ke-20, gerakan perlawanan berkembang menjadi gerakan nasionalisme modern yang lebih terorganisir dan ideologis. Tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi di India, Soekarno di Indonesia, Kwame Nkrumah di Ghana, dan Ho Chi Minh di Vietnam menjadi ikon perjuangan anti-imperialis. Mereka memadukan strategi politik, mobilisasi massa, dan taktik diplomasi internasional untuk menuntut kemerdekaan dari kekuasaan kolonial2.

6.2.       Resistensi Intelektual dan Wacana Pembebasan

Perlawanan terhadap imperialisme juga berlangsung dalam ranah pemikiran dan budaya. Frantz Fanon, dalam karyanya The Wretched of the Earth, menegaskan pentingnya dekolonisasi sebagai proses total, baik secara politik maupun psikologis. Ia menekankan bahwa kolonialisme tidak hanya menjajah tanah, tetapi juga kesadaran—dan bahwa kekerasan bisa menjadi sarana yang sah dalam membebaskan diri dari struktur penjajahan yang opresif3.

Edward Said mengkritik cara Barat menciptakan konstruksi pengetahuan tentang Timur yang justru memperkuat relasi kuasa imperialistik. Karyanya Orientalism menginspirasi generasi intelektual postkolonial untuk membongkar narasi dominatif dan merebut kembali hak untuk mendefinisikan diri sendiri4. Tokoh lain seperti Aimé Césaire dan Ngũgĩ wa Thiong’o juga memainkan peran penting dalam menyoroti pentingnya bahasa, budaya, dan sastra lokal sebagai sarana pembebasan dari penjajahan simbolik.

6.3.       Solidaritas Global dan Internasionalisme Anti-Imperialis

Selain perjuangan lokal, abad ke-20 juga menyaksikan terbentuknya solidaritas global antikolonial yang menghubungkan perjuangan di berbagai wilayah dunia. Konferensi Bandung tahun 1955, yang mempertemukan negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka, menjadi tonggak dalam membangun blok solidaritas anti-imperialis di tengah Perang Dingin5. Semangat ini kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok, yang menolak ikut dalam poros kekuatan besar dan menekankan kedaulatan, pembangunan mandiri, dan keadilan global.

Gerakan anti-imperialisme juga mendapatkan dukungan dari kelompok progresif di negara-negara imperialis sendiri. Contohnya adalah aktivisme anti-perang Vietnam di Amerika Serikat atau solidaritas intelektual Prancis terhadap perjuangan Aljazair. Hal ini menunjukkan bahwa resistensi terhadap imperialisme tidak bersifat eksklusif terhadap dunia ketiga, tetapi juga melibatkan kelompok-kelompok kritis di pusat kekuasaan imperialis6.

6.4.       Perlawanan Budaya dan Dekolonisasi Simbolik

Dalam era pascakolonial, bentuk perlawanan mengalami transformasi. Meskipun banyak negara telah meraih kemerdekaan formal, bentuk-bentuk dominasi simbolik, epistemologis, dan ekonomi tetap berlangsung. Oleh karena itu, muncul gerakan dekolonisasi pengetahuan dan dekolonisasi kurikulum yang bertujuan menghapus warisan kolonial dalam sistem pendidikan, sejarah, dan produksi ilmu pengetahuan7.

Seni, sastra, film, dan teater menjadi medan perjuangan penting dalam menantang narasi kolonial. Karya-karya sastra postkolonial dari Chinua Achebe, Pramoedya Ananta Toer, atau Arundhati Roy menjadi bagian dari upaya merebut kembali suara yang telah dibungkam oleh dominasi kolonial dan imperialisme budaya.


Dengan demikian, perlawanan terhadap imperialisme bukan hanya perjuangan untuk kemerdekaan politik, tetapi juga sebuah proyek pembebasan multidimensi—yang mencakup aspek sosial, kultural, ideologis, dan simbolik. Sejarah menunjukkan bahwa dominasi imperialis tidak pernah sepenuhnya diterima secara pasif, dan bahwa kekuatan resistensi rakyat, ketika digerakkan secara kolektif dan visioner, mampu menggoyahkan bahkan kekuasaan imperium yang tampaknya tak tergoyahkan.


Footnotes

[1]                Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra (Singapore: Singapore University Press, 2005), 98–100.

[2]                Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 119–122.

[3]                Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–6.

[4]                Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), xvii–xviii.

[5]                Christopher J. Lee, ed., Making a World After Empire: The Bandung Moment and Its Political Afterlives (Athens: Ohio University Press, 2010), 23–25.

[6]                James McDougall, History and the Culture of Nationalism in Algeria (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 203–206.

[7]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011), 10–14.


7.           Imperialisme dalam Wajah Kontemporer

Meskipun kolonialisme dalam bentuk klasik telah berakhir di banyak bagian dunia, struktur kekuasaan imperial tidak benar-benar punah. Sebaliknya, imperialisme justru berevolusi menjadi bentuk-bentuk dominasi baru yang lebih kompleks dan terselubung, sejalan dengan perkembangan kapitalisme global, teknologi informasi, dan arsitektur kekuasaan neoliberal. Imperialisme kontemporer tidak lagi mengandalkan penguasaan teritorial secara langsung, melainkan bekerja melalui mekanisme ekonomi, politik, militer, teknologi, dan budaya yang tetap mempertahankan ketimpangan antara negara-negara pusat dan pinggiran.

7.1.       Neoimperialisme Ekonomi: Utang, Perdagangan, dan Korporasi Global

Salah satu bentuk imperialisme modern adalah neoimperialisme ekonomi, yakni dominasi struktural negara-negara maju atas negara-negara berkembang melalui instrumen pasar dan keuangan global. Negara-negara Dunia Ketiga sering kali terjebak dalam siklus ketergantungan utang kepada lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang disertai syarat-syarat ketat berupa liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan pengurangan subsidi sosial1.

Kritikus seperti Joseph Stiglitz menyoroti bahwa “konsensus Washington” yang mempromosikan pasar bebas justru memperparah ketimpangan dan memperkuat dominasi negara-negara maju atas negara-negara lemah2. Selain itu, perusahaan multinasional (MNCs) dari negara-negara kapitalis global kerap mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah di negara berkembang, sambil tetap mengendalikan nilai tambah dan keuntungan melalui sistem hak paten, regulasi dagang, dan transfer harga3.

7.2.       Intervensi Militer dan Rezim Hegemonik Global

Imperialisme kontemporer juga termanifestasi dalam bentuk intervensi militer, baik secara langsung maupun terselubung, oleh negara-negara adikuasa dengan dalih menjaga stabilitas global, melawan terorisme, atau menyebarkan demokrasi. Intervensi NATO di Libya (2011), pendudukan Irak oleh koalisi pimpinan AS (2003), dan keterlibatan militer Barat di Afghanistan merupakan contoh dari bentuk dominasi yang sering dikritik sebagai “imperialisme kemanusiaan” atau humanitarian imperialism4.

Dalam analisis Noam Chomsky, kebijakan luar negeri Amerika Serikat secara konsisten mengikuti pola imperialistik: campur tangan dalam politik domestik negara lain, mendukung rezim otoriter yang pro-kepentingan ekonomi Barat, dan menindak keras setiap bentuk sosialisme atau nasionalisme ekonomi yang mengancam dominasi pasar global5.

7.3.       Teknologi Digital dan Imperialisme Siber

Kemajuan teknologi digital telah membuka medan baru bagi dominasi global, yaitu imperialisme siber. Dalam konteks ini, negara dan perusahaan teknologi besar dari Global North (seperti Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft) memonopoli infrastruktur data global, mengendalikan alur informasi, serta mengeksploitasi data pribadi pengguna dari negara-negara berkembang. Ini menimbulkan bentuk kolonisasi baru yang tidak bersifat fisik, tetapi digital dan simbolik6.

Shoshana Zuboff dalam konsepnya surveillance capitalism menunjukkan bagaimana kapitalisme digital bekerja dengan mengumpulkan data perilaku individu untuk memprediksi dan memanipulasi keputusan ekonomi dan sosial, seringkali tanpa persetujuan sadar dari pengguna7. Dominasi teknologi ini memperdalam jurang digital antara negara maju dan berkembang, sekaligus memperlemah kedaulatan informasi negara-negara pinggiran.

7.4.       Hegemoni Budaya dan Produksi Makna Global

Aspek lain dari imperialisme kontemporer adalah hegemoni budaya, yaitu dominasi nilai, norma, dan gaya hidup yang disebarluaskan melalui media global, film, musik, dan mode konsumsi. Budaya pop Barat menjadi standar global melalui kekuatan industri hiburan, membentuk aspirasi dan identitas generasi muda di seluruh dunia, sekaligus mengikis keberagaman budaya lokal8.

Dalam hal ini, imperialisme bekerja sebagai sistem produksi makna yang menciptakan ilusi kesetaraan global, padahal tetap mempertahankan struktur hierarki kultural dan ekonomi. Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacra, di mana representasi dominatif menggantikan kenyataan dan memperkuat ketundukan terhadap sistem hegemonik global9.


Dengan demikian, imperialisme dalam wajah kontemporer tidak lagi hadir melalui panji kolonial dan senjata, melainkan melalui pasar bebas, jaringan digital, intervensi geopolitik, serta pengaruh budaya dan informasi. Bentuk-bentuk baru ini menuntut kewaspadaan kritis dan strategi resistensi yang tidak hanya bersifat politis dan ekonomis, tetapi juga epistemologis dan kultural. Pemahaman terhadap imperialisme hari ini membutuhkan lensa multidisipliner yang mampu membongkar cara-cara baru kekuasaan bekerja dalam dunia yang tampaknya terbuka tetapi tetap timpang.


Footnotes

[1]                Susan George, A Fate Worse Than Debt: A Radical New Analysis of the Third World Debt Crisis (London: Penguin, 1990), 45–47.

[2]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 53–56.

[3]                Saskia Sassen, Globalization and Its Discontents: Essays on the New Mobility of People and Money (New York: The New Press, 1998), 121–125.

[4]                Jean Bricmont, Humanitarian Imperialism: Using Human Rights to Sell War (New York: Monthly Review Press, 2006), 22–25.

[5]                Noam Chomsky, Hegemony or Survival: America’s Quest for Global Dominance (New York: Henry Holt and Company, 2003), 101–103.

[6]                Nick Couldry and Ulises A. Mejias, The Costs of Connection: How Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism (Stanford: Stanford University Press, 2019), 89–92.

[7]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–11.

[8]                Toby Miller et al., Global Hollywood 2 (London: British Film Institute, 2005), 4–7.

[9]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–3.


8.           Dampak Imperialisme terhadap Dunia Global

Dampak imperialisme terhadap dunia global sangat luas, kompleks, dan berjangka panjang. Pengaruhnya tidak hanya tercermin dalam batas-batas teritorial yang dipetakan ulang, tetapi juga dalam struktur ekonomi dunia, hubungan sosial antarbangsa, sistem politik global, serta formasi budaya dan identitas masyarakat. Meskipun banyak negara telah meraih kemerdekaan formal, bekas luka imperialisme tetap terasa dalam ketimpangan global, krisis lingkungan, alienasi budaya, dan dominasi institusional.

8.1.       Ketimpangan Ekonomi Global

Salah satu warisan paling nyata dari imperialisme adalah ketimpangan pembangunan antara negara-negara Global North dan Global South. Selama berabad-abad, sumber daya alam dan tenaga kerja dari dunia non-Barat dieksploitasi untuk memperkaya pusat-pusat kekuasaan imperialis. Ini menciptakan pola akumulasi kapital yang timpang, di mana negara-negara bekas penjajah mengendalikan struktur perdagangan, teknologi, dan sistem keuangan dunia hingga hari ini1.

Data dari Bank Dunia dan UNCTAD menunjukkan bahwa negara-negara bekas koloni cenderung bergantung pada ekspor bahan mentah, memiliki utang luar negeri yang tinggi, dan mengalami defisit perdagangan kronis2. Hal ini memperkuat pola dependencia, yakni relasi ekonomi global yang membuat negara pinggiran tetap berada dalam posisi subordinat terhadap pusat kapitalisme dunia3.

8.2.       Dislokasi Sosial dan Krisis Identitas

Imperialisme juga meninggalkan dampak sosial dan kultural yang mendalam. Penjajahan tidak hanya mengatur ulang struktur politik dan ekonomi lokal, tetapi juga menggantikan sistem nilai, bahasa, dan budaya dengan model-model yang diimpor dari Barat. Dalam banyak kasus, identitas etnis dan nasional masyarakat pribumi dirusak oleh pembagian administratif kolonial yang tidak memperhatikan realitas sosiokultural lokal.

Akibatnya, banyak negara pascakolonial mengalami dislokasi sosial, konflik etno-religius, dan krisis integrasi nasional. Contoh yang paling mencolok adalah pembagian kolonial atas wilayah Afrika melalui Konferensi Berlin (1884–1885), yang memicu konflik perbatasan dan perang saudara pasca-kemerdekaan di banyak negara4. Selain itu, proses internalisasi nilai-nilai Barat sering kali memunculkan dilema identitas yang kompleks di kalangan elite terdidik, sebagaimana diungkapkan dalam karya-karya Frantz Fanon dan Chinua Achebe5.

8.3.       Krisis Ekologi dan Ekspansi Ekstraktif

Model pembangunan yang diperkenalkan melalui imperialisme juga membawa konsekuensi ekologis yang serius. Penebangan hutan, pertambangan besar-besaran, konversi lahan untuk perkebunan komersial, serta eksploitasi bahan baku merupakan bagian dari warisan sistem ekonomi kolonial yang masih dilestarikan dalam bentuk kapitalisme ekstraktif modern. Banyak wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mengalami degradasi lingkungan yang parah karena terus menjadi lokasi eksploitasi sumber daya oleh perusahaan multinasional6.

Sejarawan lingkungan seperti Alfred Crosby dan Richard Grove telah mencatat bagaimana imperialisme bertanggung jawab atas penciptaan “ekologi imperial” yang mengubah lanskap, keanekaragaman hayati, serta sistem pertanian lokal demi kepentingan ekspor dan pasar dunia7. Akibatnya, negara-negara bekas koloni kerap menghadapi kerusakan lingkungan sekaligus ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

8.4.       Diaspora, Migrasi Global, dan Urbanisasi Asimetris

Imperialisme juga memicu mobilitas manusia dalam skala besar. Perbudakan trans-Atlantik, migrasi paksa buruh kontrak dari India dan Cina, serta kolonisasi pemukim Eropa menciptakan diaspora dan transformasi demografis yang bertahan hingga hari ini. Selain itu, ketimpangan pembangunan pascakolonial memicu gelombang migrasi ekonomi dan pencarian suaka dari Global South ke Global North8.

Fenomena ini menyebabkan urbanisasi asimetris dan tekanan sosial di kota-kota besar di dunia Barat, sekaligus memunculkan ketegangan politik, xenofobia, dan marginalisasi kelompok migran. Namun di sisi lain, diaspora juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas hibrida dan munculnya wacana transnasional yang menantang batas-batas negara bangsa dan etnosentrisme warisan imperial9.

8.5.       Warisan Institusional dan Kekuasaan Simbolik

Akhirnya, imperialisme mewariskan struktur institusional yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai masyarakat lokal. Banyak negara pascakolonial masih menggunakan sistem hukum, pendidikan, dan pemerintahan yang dirancang oleh penjajah. Ini menciptakan sistem birokrasi yang alienatif, kurang partisipatif, dan tidak efisien dalam menjawab tantangan lokal10.

Selain itu, imperialisme juga mempertahankan kekuasaan simbolik melalui bahasa, sejarah resmi, dan arsitektur pengetahuan. Bahasa penjajah sering kali menjadi bahasa resmi dan elit, sementara sejarah lokal ditekan atau disisihkan. Produksi pengetahuan pun masih didominasi oleh universitas dan pusat riset Barat, yang menciptakan asimetri epistemik antara Utara dan Selatan11.


Dengan demikian, imperialisme bukan hanya warisan masa lalu, tetapi realitas yang terus mengonstruksi relasi global hari ini. Dampaknya merambah ke dalam struktur sosial, ekonomi, ekologi, kultural, dan epistemik masyarakat global. Menghadapi warisan ini memerlukan upaya reflektif dan rekonstruktif yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga bersifat moral dan epistemologis—untuk membangun dunia yang lebih adil, berdaulat, dan setara.


Footnotes

[1]                Samir Amin, Imperialism and Unequal Development (New York: Monthly Review Press, 1977), 19–21.

[2]                United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Trade and Development Report 2023 (Geneva: UNCTAD, 2023), 12–15.

[3]                Theotonio Dos Santos, “The Structure of Dependence,” American Economic Review 60, no. 2 (1970): 231–236.

[4]                Thomas Pakenham, The Scramble for Africa: White Man’s Conquest of the Dark Continent from 1876 to 1912 (New York: Random House, 1991), 320–324.

[5]                Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2008), 14–17; Chinua Achebe, Things Fall Apart (London: Heinemann, 1958).

[6]                Michael Watts, Silent Violence: Food, Famine, and Peasantry in Northern Nigeria (Berkeley: University of California Press, 1983), 41–45.

[7]                Alfred W. Crosby, Ecological Imperialism: The Biological Expansion of Europe, 900–1900 (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 23–26; Richard Grove, Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island Edens and the Origins of Environmentalism, 1600–1860 (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 88–92.

[8]                Robin Cohen, Global Diasporas: An Introduction (London: Routledge, 2008), 67–70.

[9]                Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 392–403.

[10]             Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princeton: Princeton University Press, 1996), 22–25.

[11]             Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 19–21.


9.           Kritik Kontemporer terhadap Narasi Imperialisme

Dalam era globalisasi dan dominasi neoliberal, kritik terhadap narasi imperialisme tidak hanya berfokus pada praktik material dan kekuasaan struktural, tetapi juga pada cara imperialisme dipahami, dijelaskan, dan dibenarkan dalam wacana intelektual, budaya, dan media arus utama. Narasi imperialisme kontemporer kerap dikemas dalam bentuk "intervensi kemanusiaan", "penyebaran demokrasi", atau "modernisasi", yang menyamarkan sifat dominatif dari tindakan-tindakan tersebut. Oleh karena itu, kritik kontemporer terhadap imperialisme berupaya membongkar logika ideologis, epistemik, dan simbolik yang menopang hegemoni global saat ini.

9.1.       Kritik Postkolonial: Membongkar Wacana dan Representasi

Salah satu kontribusi utama terhadap kritik imperialisme kontemporer datang dari mazhab postkolonial, yang berfokus pada bagaimana pengetahuan, bahasa, dan representasi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan imperial. Edward Said, dalam karyanya Culture and Imperialism, menunjukkan bagaimana sastra dan budaya populer Barat menciptakan narasi kebesaran imperium sembari memarjinalkan suara dan agensi masyarakat kolonial1.

Menurut Said, imperialisme bukan hanya praktik ekonomi dan militer, tetapi juga sistem produksi pengetahuan yang menempatkan "Barat" sebagai pusat rasionalitas dan peradaban, sementara "Timur" diposisikan sebagai pasif, terbelakang, dan membutuhkan bimbingan2. Kritik ini diperluas oleh Gayatri Spivak dalam esainya yang terkenal Can the Subaltern Speak?, yang mempertanyakan apakah kelompok-kelompok tertindas benar-benar dapat bersuara dalam kerangka diskursif yang didominasi Barat3.

9.2.       Dekolonisasi Pengetahuan dan Epistemologi Alternatif

Kritik kontemporer juga diarahkan kepada epistemologi dominan yang berasal dari tradisi pencerahan Eropa, yang dianggap tidak netral dan universal, melainkan berakar pada pengalaman historis kolonialisme. Boaventura de Sousa Santos mengembangkan konsep epistemicide, yakni penghancuran sistem pengetahuan lokal oleh ilmu pengetahuan kolonial yang mengklaim kebenaran tunggal dan superior4.

Gerakan dekolonisasi pengetahuan berupaya menghidupkan kembali cara-cara berpikir alternatif yang berbasis pada pengalaman, spiritualitas, dan kosmologi masyarakat dunia ketiga. Ini termasuk filsafat Afrika, pengetahuan adat Amerika Latin, serta pendekatan Islam dalam ilmu sosial dan humaniora yang selama ini dimarginalkan dalam narasi akademik arus utama5.

9.3.       Kritik Marxis Baru: Imperialisme sebagai Ekspansi Kapitalisme Global

Dalam tradisi Marxis kontemporer, para pemikir seperti David Harvey menyoroti bagaimana imperialisme hari ini bersifat spasial dan finansial, ditandai oleh "akumulasi melalui perampasan" (accumulation by dispossession)—yakni proses pengambilalihan aset publik oleh kapital swasta global, seperti dalam privatisasi air, tanah, dan layanan publik6.

Menurut Harvey, imperialisme tidak lagi membutuhkan pendudukan fisik, tetapi terjadi melalui logika pasar, utang, dan instrumen keuangan global. Dengan demikian, kritik terhadap imperialisme hari ini harus melampaui aspek militer dan fokus pada bentuk-bentuk kapitalisme global yang menciptakan ketimpangan, kerentanan ekologis, dan krisis sosial yang berulang7.

9.4.       Feminis dan Kritik Interseksional terhadap Imperialisme

Para teoretisi feminis postkolonial seperti Chandra Talpade Mohanty dan Lila Abu-Lughod juga mengajukan kritik terhadap bagaimana narasi imperialisme sering kali melibatkan penggunaan tubuh perempuan sebagai medan ideologis. Mereka menunjukkan bagaimana proyek imperialisme kerap membungkus intervensinya dalam jargon “membebaskan perempuan Timur”, sambil mengabaikan suara dan agensi perempuan lokal8.

Kritik ini juga menyoroti bahwa perempuan dalam konteks pascakolonial sering mengalami penindasan ganda—baik sebagai korban patriarki lokal maupun sebagai subjek dari agenda global yang homogen dan berbasis nilai-nilai liberal Barat. Oleh karena itu, pendekatan interseksional diperlukan untuk memahami bagaimana gender, ras, kelas, dan kolonialitas saling berkaitan dalam dinamika kekuasaan imperial9.

9.5.       Kritik Terhadap Teknokrasi dan Wacana Pembangunan

Narasi pembangunan global juga menjadi sasaran kritik kontemporer. Dipengaruhi oleh imperialisme lama, diskursus pembangunan kerap melihat negara-negara Selatan sebagai tertinggal dan perlu “dikembangkan” oleh teknokrat Barat. James Ferguson, dalam The Anti-Politics Machine, menunjukkan bahwa proyek-proyek pembangunan sering gagal karena mengabaikan konteks lokal dan justru memperkuat kekuasaan negara atau elit tertentu10.

Dalam hal ini, pembangunan menjadi kelanjutan dari logika kolonial—menyediakan legitimasi moral untuk intervensi teknokratik yang sering kali meminggirkan rakyat dan menciptakan ketergantungan baru. Kritik ini mendorong munculnya alternatif seperti development from below, pendekatan berbasis komunitas, dan demokratisasi produksi kebijakan publik.


Dengan demikian, kritik kontemporer terhadap narasi imperialisme tidak hanya berupaya membongkar praktik dominasi secara material, tetapi juga mengungkap struktur ideologis, simbolik, dan epistemik yang menyertainya. Melalui pendekatan multidisipliner—postkolonial, Marxis, feminis, dan dekolonial—kritik ini memberikan alat konseptual untuk memahami dan menantang bentuk-bentuk imperialisme baru yang tersembunyi di balik wajah modernitas, globalisasi, dan kemajuan.


Footnotes

[1]                Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Alfred A. Knopf, 1993), xii–xv.

[2]                Ibid., 7–9.

[3]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[4]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 19–21.

[5]                Walter D. Mignolo, The Idea of Latin America (Malden, MA: Blackwell, 2005), 12–14.

[6]                David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 137–145.

[7]                Ibid., 156–158.

[8]                Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” Feminist Review 30 (1988): 61–88.

[9]                Lila Abu-Lughod, Do Muslim Women Need Saving? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 35–38.

[10]             James Ferguson, The Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1994), 13–16.


10.       Relevansi Kajian Imperialisme dalam Abad ke-21

Di tengah kompleksitas tatanan dunia yang terus berubah, kajian tentang imperialisme tetap relevan dan mendesak untuk dilakukan. Meskipun bentuk-bentuk klasik kolonialisme telah banyak berakhir secara formal, struktur dan logika kekuasaan imperial tidak benar-benar lenyap. Sebaliknya, mereka mengalami transformasi dan adaptasi dalam bentuk dominasi ekonomi, teknologi, budaya, dan geopolitik yang lebih halus namun efektif. Di abad ke-21, tantangan terhadap kedaulatan, keadilan global, dan kesetaraan lintas bangsa tidak dapat dilepaskan dari analisis kritis terhadap warisan dan praktik imperialisme kontemporer.

10.1.    Imperialisme dalam Konteks Globalisasi dan Neoliberalisme

Globalisasi sering dipromosikan sebagai era keterbukaan dan pertukaran setara antarbangsa, namun pada kenyataannya kerap melestarikan pola-pola dominasi imperialis dalam format baru. Di bawah sistem neoliberal, negara-negara Global South mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dengan pasar global yang dikendalikan oleh kekuatan modal dan institusi keuangan internasional. Joseph Stiglitz menyebut bahwa globalisasi, dalam bentuk yang tidak diatur secara adil, telah menjadi instrumen yang memperkuat ketimpangan dan memperpanjang subordinasi ekonomi negara-negara berkembang1.

Bentuk baru ini sering disebut sebagai imperialisme pasar—di mana logika akumulasi kapital global menundukkan negara dan masyarakat lokal dalam kerangka kompetisi, deregulasi, dan privatisasi. Negara kehilangan kedaulatannya atas kebijakan ekonomi, sementara kekuasaan mengalir kepada korporasi transnasional dan aktor-aktor global yang tidak akuntabel2.

10.2.    Geopolitik Baru dan “Imperialisme Kemanusiaan”

Abad ke-21 juga menyaksikan kemunculan berbagai intervensi militer dan politik yang dilakukan dengan dalih menegakkan demokrasi, menjaga hak asasi manusia, atau memberantas terorisme. Namun, banyak pengamat mengkritik bahwa retorika ini sering menyembunyikan kepentingan geopolitik dan ekonomi yang khas imperialistik. Jean Bricmont, dalam analisisnya tentang humanitarian imperialism, menegaskan bahwa kekuatan besar seperti Amerika Serikat telah menggunakan alasan moral untuk mempertahankan dominasi global melalui perang dan intervensi selektif3.

Perang di Irak (2003), intervensi NATO di Libya (2011), dan konflik yang berlangsung di Suriah merupakan contoh kontemporer dari bagaimana kekuatan militer digunakan untuk membentuk ulang wilayah dan sistem politik negara lain sesuai kepentingan hegemon global. Ini menunjukkan bahwa imperialisme hari ini tetap aktif dalam bentuk kontrol politik dan militer yang dibungkus dalam wacana legal dan moral.

10.3.    Tantangan Teknologi Digital dan Kolonisasi Siber

Di era digital, dominasi imperial tidak hanya bersifat teritorial atau ekonomi, tetapi juga berpindah ke ranah data dan informasi. Negara-negara Global North dan perusahaan teknologi besar mengendalikan infrastruktur digital dunia, termasuk server data, platform media sosial, dan algoritma yang menentukan akses serta distribusi informasi. Nick Couldry dan Ulises Mejias menyebut ini sebagai data colonialism—bentuk kolonisasi baru yang mengekstrak nilai dari aktivitas digital manusia sebagaimana kolonialisme lama mengekstrak sumber daya fisik4.

Fenomena ini mengarah pada bentuk baru dari imperialisme digital, di mana negara-negara berkembang menjadi pasar data dan laboratorium eksperimen teknologi tanpa kontrol atau kedaulatan atas ruang sibernya sendiri. Dalam konteks ini, dekolonisasi digital menjadi isu penting yang perlu ditelaah dalam diskursus imperialisme kontemporer.

10.4.    Bangkitnya Nasionalisme dan Reposisi Global South

Sementara itu, bangkitnya nasionalisme politik dan ekonomi di berbagai negara berkembang menjadi bentuk respons terhadap dominasi global yang masih bercorak imperialis. Negara-negara seperti Tiongkok, India, Brasil, dan Afrika Selatan (BRICS) mulai menegosiasikan posisi mereka dalam tatanan global dengan cara yang lebih tegas dan mandiri, sekaligus menantang monopoli kekuasaan Barat dalam lembaga-lembaga dunia.

Namun, dinamika ini juga memunculkan pertanyaan: apakah kekuatan-kekuatan baru ini akan mereproduksi logika imperialisme lama dalam bentuk baru, ataukah mereka mampu mengusung model alternatif yang lebih adil? Kajian imperialisme menjadi sangat penting untuk membedah arah perkembangan ini, serta menilai apakah multipolaritas dunia benar-benar mengakhiri sistem hierarkis yang sudah mapan sejak era kolonial5.

10.5.    Relevansi Kritis dalam Pendidikan, Media, dan Kesadaran Global

Akhirnya, kajian imperialisme di abad ke-21 juga penting untuk membangun kesadaran kritis masyarakat global. Dalam konteks pendidikan dan media, pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan struktur imperialisme membantu mengidentifikasi bias, membongkar narasi dominatif, serta mendorong solidaritas lintas budaya dan bangsa.

Gerakan dekolonisasi kurikulum, pembacaan kritis terhadap sejarah dunia, dan pemanfaatan teknologi untuk memperkuat suara-suara dari Global South merupakan bagian dari strategi intelektual untuk mengoreksi ketimpangan epistemik. Dalam dunia yang makin terhubung, pemahaman terhadap imperialisme menjadi kunci untuk membangun tata dunia yang berbasis pada keadilan, kedaulatan, dan kemanusiaan universal6.


Footnotes

[1]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W. W. Norton & Company, 2002), 15–18.

[2]                Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 48–50.

[3]                Jean Bricmont, Humanitarian Imperialism: Using Human Rights to Sell War (New York: Monthly Review Press, 2006), 1–3.

[4]                Nick Couldry and Ulises A. Mejias, The Costs of Connection: How Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism (Stanford: Stanford University Press, 2019), 24–27.

[5]                Vijay Prashad, The Poorer Nations: A Possible History of the Global South (London: Verso, 2012), 223–225.

[6]                Walter D. Mignolo and Catherine E. Walsh, On Decoloniality: Concepts, Analytics, Praxis (Durham, NC: Duke University Press, 2018), 109–113.


11.       Penutup

Kajian tentang imperialisme bukanlah sekadar penelusuran historis terhadap ekspansi kolonial masa lampau, melainkan juga sebuah upaya kritis untuk memahami struktur kekuasaan yang masih berlangsung dalam wajah-wajah baru di abad ke-21. Sebagaimana telah ditelaah dalam bagian-bagian sebelumnya, imperialisme adalah fenomena multidimensional yang tidak hanya bekerja secara militer dan ekonomi, tetapi juga melalui jalur ideologis, simbolik, dan epistemologis. Ia hadir sebagai logika yang merasuki globalisasi, pembangunan, teknologi, bahkan bahasa dan sistem pendidikan.

Dari imperialisme klasik yang mewujud dalam pendudukan teritorial, perbudakan, dan kolonisasi eksplisit, hingga bentuk-bentuk neoimperialisme seperti dominasi pasar global, intervensi militer berkedok kemanusiaan, dan kolonisasi digital, seluruhnya menunjukkan bahwa relasi kekuasaan global tidak pernah netral atau seimbang. Negara-negara yang pernah menjadi imperium kolonial tetap mempertahankan pengaruhnya melalui jaringan keuangan, perusahaan multinasional, media global, dan institusi internasional yang didesain untuk melanggengkan ketimpangan struktural1.

Dalam konteks ini, relevansi kajian imperialisme sangat krusial untuk membangun kesadaran kritis terhadap ketidaksetaraan global dan untuk merumuskan strategi alternatif dalam menghadapi dominasi terselubung. Kajian ini juga membuka ruang untuk membangun solidaritas lintas negara, etnis, dan kelas—sebuah solidaritas yang tidak dibangun atas dasar dominasi atau penyelamatan, melainkan atas prinsip kesetaraan, martabat, dan keadilan sosial.

Di sisi lain, resistensi terhadap imperialisme juga mengalami evolusi. Jika dahulu ia mengambil bentuk perlawanan bersenjata atau nasionalisme antikolonial, hari ini ia hadir dalam bentuk gerakan sosial transnasional, dekolonisasi kurikulum, penguatan ekonomi lokal, pengembalian narasi sejarah, dan pengembangan epistemologi alternatif. Seperti yang ditegaskan oleh Walter D. Mignolo, dekolonisasi tidak semata-mata tentang merebut kekuasaan dari pusat dominasi, tetapi juga tentang membongkar cara berpikir yang telah lama mengakar dan membatasi kemungkinan dunia yang lebih adil2.

Kesimpulannya, imperialisme tidak boleh dipandang sebagai fenomena masa lalu yang telah selesai, tetapi sebagai struktur dan logika yang terus aktif dalam membentuk dunia kontemporer. Memahami dan mengkritisi imperialisme secara holistik menjadi langkah awal menuju rekonstruksi tatanan global yang lebih adil, inklusif, dan setara. Dengan mengungkap wajah-wajah tersembunyi dari imperialisme dan menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, kajian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan global untuk kebebasan dan kemanusiaan universal.


Footnotes

[1]                David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187–190.

[2]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011), 274–277.


Daftar Pustaka

Achebe, C. (1958). Things fall apart. Heinemann.

Abu-Lughod, L. (2013). Do Muslim women need saving? Harvard University Press.

Amin, S. (1977). Imperialism and unequal development. Monthly Review Press.

Anderson, B. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Revised ed.). Verso.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bricmont, J. (2006). Humanitarian imperialism: Using human rights to sell war. Monthly Review Press.

Chomsky, N. (2003). Hegemony or survival: America’s quest for global dominance. Henry Holt and Company.

Cohen, R. (2008). Global diasporas: An introduction (2nd ed.). Routledge.

Comaroff, J., & Comaroff, J. L. (1991). Of revelation and revolution: Christianity, colonialism, and consciousness in South Africa (Vol. 1). University of Chicago Press.

Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). The costs of connection: How data is colonizing human life and appropriating it for capitalism. Stanford University Press.

Crosby, A. W. (1986). Ecological imperialism: The biological expansion of Europe, 900–1900. Cambridge University Press.

de Sousa Santos, B. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.

Dos Santos, T. (1970). The structure of dependence. American Economic Review, 60(2), 231–236.

Fanon, F. (2004). The wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.

Fanon, F. (2008). Black skin, white masks (R. Philcox, Trans.). Grove Press.

Ferguson, J. (1994). The anti-politics machine: Development, depoliticization, and bureaucratic power in Lesotho. University of Minnesota Press.

Frank, A. G. (1967). Capitalism and underdevelopment in Latin America. Monthly Review Press.

Grove, R. (1995). Green imperialism: Colonial expansion, tropical island edens and the origins of environmentalism, 1600–1860. Cambridge University Press.

Hall, S. (1994). Cultural identity and diaspora. In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 392–403). Columbia University Press.

Harvey, D. (2003). The new imperialism. Oxford University Press.

Hobson, J. A. (1902). Imperialism: A study. James Nisbet.

Hobsbawm, E. (1989). The age of empire: 1875–1914. Vintage Books.

Kipling, R. (1899, February). The white man’s burden. McClure’s Magazine.

Lee, C. J. (Ed.). (2010). Making a world after empire: The Bandung moment and its political afterlives. Ohio University Press.

Lenin, V. I. (1939). Imperialism: The highest stage of capitalism. International Publishers.

Luxemburg, R. (2003). The accumulation of capital (A. Schwarzschild, Trans.). Routledge. (Original work published 1913)

McDougall, J. (2006). History and the culture of nationalism in Algeria. Cambridge University Press.

Mignolo, W. D. (2005). The idea of Latin America. Blackwell.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Mignolo, W. D., & Walsh, C. E. (2018). On decoloniality: Concepts, analytics, praxis. Duke University Press.

Miller, T., Govil, N., McMurria, J., & Maxwell, R. (2005). Global Hollywood 2. British Film Institute.

Mitchell, T. (1991). Colonising Egypt. University of California Press.

Mohanty, C. T. (1988). Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Feminist Review, 30, 61–88.

Morgenthau, H. J. (1973). Politics among nations: The struggle for power and peace (5th ed.). Knopf.

Ngũgĩ wa Thiong’o. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature. James Currey.

Pakenham, T. (1991). The scramble for Africa: White man’s conquest of the dark continent from 1876 to 1912. Random House.

Porter, A. (2004). Religion versus empire? British Protestant missionaries and overseas expansion, 1700–1914. Manchester University Press.

Prashad, V. (2012). The poorer nations: A possible history of the Global South. Verso.

Reid, A. (2005). An Indonesian frontier: Acehnese and other histories of Sumatra. Singapore University Press.

Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.

Said, E. W. (1993). Culture and imperialism. Alfred A. Knopf.

Sassen, S. (1996). Losing control? Sovereignty in an age of globalization. Columbia University Press.

Seeley, J. R. (1883). The expansion of England: Two courses of lectures. Macmillan.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its discontents. W. W. Norton & Company.

UNCTAD. (2023). Trade and development report 2023. United Nations Conference on Trade and Development. https://unctad.org

Waltz, K. N. (1979). Theory of international politics. Addison-Wesley.

Watts, M. (1983). Silent violence: Food, famine, and peasantry in northern Nigeria. University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar