Kekuasaan Legislatif
Fungsi, Perkembangan, dan Tantangan di Era Demokrasi
Modern
Alihkan ke: Pemisahan Kekuasaan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji kekuasaan legislatif sebagai
salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan demokratis. Dimulai dengan pembahasan
teoritis mengenai asal-usul pemisahan kekuasaan, artikel ini menelusuri fungsi
legislatif dalam konteks historis dan komparatif, mencakup peranannya dalam
legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Melalui studi kasus terhadap sistem
pemerintahan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris, artikel ini
menunjukkan variasi struktur dan dinamika kekuasaan legislatif berdasarkan
sistem presidensial, parlementer, dan semi-presidensial. Selain itu, artikel
ini membahas tantangan kontemporer yang dihadapi lembaga legislatif, termasuk
politisasi, korupsi, krisis kepercayaan publik, serta rendahnya partisipasi
masyarakat dalam proses legislasi. Dengan pendekatan analitis dan berbasis
literatur akademik, artikel ini menyimpulkan bahwa penguatan lembaga legislatif
memerlukan reformasi kelembagaan, peningkatan kapasitas legislator, serta
integrasi teknologi digital untuk mendukung transparansi dan partisipasi
publik. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
demokrasi konstitusional yang lebih responsif, representatif, dan berkeadilan.
Kata Kunci: Kekuasaan Legislatif; Sistem Ketatanegaraan;
Demokrasi; Legislasi; Pengawasan; Partisipasi Publik; Reformasi Politik;
Perbandingan Sistem Pemerintahan.
PEMBAHASAN
Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan
1.
Pendahuluan
Kekuasaan legislatif
merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang
menganut prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Dalam doktrin klasik Montesquieu, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga cabang
utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, masing-masing dengan fungsi dan
kewenangan yang berbeda untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut dan
tiranik dalam pemerintahan. Montesquieu menegaskan bahwa kebebasan politik
hanya dapat dijamin apabila fungsi legislatif tidak bercampur dengan kekuasaan
eksekutif atau yudikatif secara tidak sah, karena pencampuran ini dapat
menimbulkan dominasi yang berbahaya bagi rakyat dan konstitusi negara.1
Dalam sistem
demokrasi konstitusional, kekuasaan legislatif tidak hanya berperan sebagai
pembentuk hukum, tetapi juga sebagai representasi rakyat yang memiliki fungsi
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan kontrol atas anggaran negara.
Kekuasaan ini mewakili kehendak rakyat dalam bentuk hukum yang mengikat seluruh
warga negara, serta menjadi instrumen utama dalam menjamin akuntabilitas dan
transparansi penyelenggaraan pemerintahan.2 Oleh karena itu,
kekuasaan legislatif tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik, ideologi,
dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Dalam konteks
global, keberadaan dan kekuasaan legislatif telah mengalami berbagai bentuk
transformasi, baik dalam sistem parlementer, presidensial, maupun
semi-presidensial. Setiap sistem memiliki konfigurasi unik yang menentukan
hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif. Misalnya, dalam sistem
parlementer seperti di Inggris, parlemen memainkan peran utama sebagai sumber
legitimasi pemerintah. Sementara itu, dalam sistem presidensial seperti di
Amerika Serikat dan Indonesia, legislatif berdiri sebagai lembaga independen
yang secara formal terpisah dari kekuasaan eksekutif.3
Meskipun secara
teoretis kekuasaan legislatif memiliki peran strategis dalam demokrasi,
praktiknya di banyak negara menunjukkan beragam tantangan. Di antaranya adalah
terjadinya kooptasi kekuasaan legislatif oleh elit politik, lemahnya kapasitas
legislasi, rendahnya partisipasi publik dalam proses pembentukan hukum, serta
munculnya berbagai kasus korupsi di kalangan anggota legislatif. Hal ini
menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas dan integritas lembaga
legislatif dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.4
Oleh karena itu,
kajian tentang kekuasaan legislatif menjadi sangat penting dalam konteks
demokrasi modern. Tidak hanya untuk memahami bagaimana lembaga ini berfungsi
dalam kerangka konstitusi, tetapi juga untuk mengevaluasi sejauh mana kekuasaan
legislatif mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, menanggapi tuntutan
masyarakat, serta menjaga integritas dan supremasi hukum. Artikel ini bertujuan
untuk mengkaji secara menyeluruh tentang kekuasaan legislatif dari sisi fungsi,
perkembangan historis, perbandingan sistem, serta tantangan yang dihadapi dalam
realitas kontemporer.
Footnotes
[1]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler,
Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 157–59.
[2]
Cheryl Saunders, “The Role of the Legislature in a Democracy,” Public
Law Review 9, no. 2 (1998): 87–92.
[3]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
2012), 115–130.
[4]
Tom Ginsburg dan Aziz Huq, How to Save a Constitutional Democracy
(Chicago: University of Chicago Press, 2018), 142–158.
2.
Landasan Teoretis: Teori Pemisahan Kekuasaan
dan Fungsi Legislatif
Gagasan tentang
pemisahan kekuasaan (separation of powers) menjadi fondasi utama dalam teori
dan praktik ketatanegaraan modern. Teori ini bertujuan mencegah konsentrasi
kekuasaan pada satu tangan dan memastikan adanya mekanisme checks and balances
antar lembaga negara. Akar konseptual dari pemisahan kekuasaan dapat ditelusuri
pada pemikiran John Locke, yang membagi
kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Locke menempatkan
legislatif sebagai kekuasaan tertinggi karena berfungsi menetapkan hukum yang
menjadi acuan bagi seluruh tindakan pemerintahan1.
Konseptualisasi
pemisahan kekuasaan yang lebih sistematis dan berpengaruh secara luas
dikembangkan oleh Montesquieu dalam karyanya De
l'esprit des lois (The Spirit of the Laws). Ia membagi kekuasaan
negara menjadi tiga cabang: legislatif (membuat undang-undang), eksekutif
(melaksanakan undang-undang), dan yudikatif (menafsirkan serta menegakkan
hukum). Menurut Montesquieu, “kebebasan hanya dapat terjamin bila kekuasaan
legislatif dan eksekutif tidak digabungkan dalam satu lembaga atau individu”2.
Ia meyakini bahwa pemisahan ini tidak hanya penting untuk mencegah tirani,
tetapi juga untuk menjaga supremasi hukum dan keadilan.
Dalam konteks
demokrasi modern, fungsi legislatif secara konseptual tidak hanya terbatas pada
pembentukan hukum. Sebagai lembaga representatif, legislatif juga menjalankan
fungsi anggaran
(power of the purse), yakni menentukan dan mengawasi penggunaan keuangan
negara, serta fungsi pengawasan politik terhadap
pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Hal ini ditegaskan oleh Hans Kelsen yang
menekankan bahwa parlemen adalah organ yang paling mencerminkan kehendak rakyat
dan oleh karenanya menjadi titik pusat dari demokrasi perwakilan3.
Lebih jauh, teori
fungsionalisme kelembagaan yang berkembang dalam ilmu politik
dan hukum tata negara modern menunjukkan bahwa fungsi legislatif tidak bersifat
statis. Fungsi ini berkembang sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan
kebutuhan negara. Di banyak negara, lembaga legislatif juga turut serta dalam
fungsi-fungsi normatif dan pengambilan kebijakan strategis, termasuk dalam
bidang hubungan luar negeri, penetapan keadaan darurat, serta reformasi
konstitusional4.
Konsep pemisahan
kekuasaan dan fungsi legislatif juga mengalami adaptasi dalam praktik
ketatanegaraan. Dalam sistem presidensial, seperti di
Amerika Serikat dan Indonesia, legislatif berdiri sebagai kekuasaan independen
yang tidak dapat dijatuhkan oleh eksekutif, dan sebaliknya. Sementara dalam
sistem parlementer,
seperti di Inggris atau Jerman, terdapat fusi antara legislatif dan eksekutif,
di mana kepala pemerintahan berasal dari dan bertanggung jawab kepada parlemen5.
Namun, meskipun bentuknya berbeda, prinsip dasar mengenai fungsi legislatif
sebagai pemegang otoritas normatif tetap menjadi ciri khas dari sistem
demokrasi konstitusional.
Dengan demikian,
landasan teoretis dari kekuasaan legislatif menunjukkan bahwa lembaga ini tidak
sekadar berperan sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga sebagai pilar utama
dalam mengartikulasikan kehendak rakyat, menjaga akuntabilitas kekuasaan, dan
memastikan keberlangsungan pemerintahan berdasarkan hukum. Kajian terhadap
teori-teori ini menjadi dasar penting untuk memahami kompleksitas dan signifikansi
kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan kontemporer.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of
Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 350–52.
[2]
Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold
S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–59.
[3]
Hans Kelsen, General Theory of Law
and State, trans. Anders Wedberg
(New York: Russell & Russell, 1961), 283–85.
[4]
Philip Norton, “Parliaments and Governments in Western Europe,” in The New Roles of Parliamentary Committees, ed. John D. Lees and Malcolm Shaw (London: Frank
Cass, 1979), 1–26.
[5]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 90–106.
3.
Fungsi dan Wewenang Kekuasaan Legislatif
Dalam sistem
ketatanegaraan modern, kekuasaan legislatif memainkan peranan yang sangat
strategis sebagai pemegang otoritas normatif dan representatif dalam negara.
Fungsi legislatif tidak hanya terbatas pada penyusunan undang-undang, tetapi
juga mencakup pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan eksekutif, pengesahan
anggaran negara, serta advokasi kepentingan rakyat dalam forum formal negara.
Dalam konteks demokrasi konstitusional, kekuasaan legislatif merupakan simbol
dari kedaulatan rakyat yang dijalankan secara tidak langsung melalui lembaga
perwakilan1.
3.1.
Fungsi Legislasi
Fungsi utama dari
lembaga legislatif adalah membuat, mengubah, dan mencabut peraturan
perundang-undangan. Fungsi ini menjadi landasan dari sistem hukum nasional,
karena undang-undang merupakan bentuk konkret dari kehendak rakyat yang
dilembagakan. Proses legislasi umumnya mencakup pengajuan rancangan
undang-undang (RUU), pembahasan di tingkat komisi dan pleno, serta pengesahan
dalam sidang paripurna. Dalam sistem bikameral seperti Amerika Serikat, fungsi
legislasi dibagi antara dua kamar (House of Representatives dan Senate),
sedangkan dalam sistem unikameral seperti di Swedia, hanya ada satu badan
legislatif yang menjalankan fungsi ini2.
Di Indonesia, fungsi
legislasi dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki hak
inisiatif, hak amandemen, dan hak menyetujui rancangan undang-undang bersama
presiden. Proses pembentukan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengedepankan asas
kejelasan tujuan, keterbukaan, dan partisipasi publik3.
3.2.
Fungsi Anggaran
(Budgeting)
Lembaga legislatif
juga memegang kekuasaan dalam hal keuangan negara, yang sering disebut sebagai power of
the purse. Fungsi ini meliputi hak untuk menyetujui rancangan
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta mengawasi penggunaannya.
Dengan fungsi ini, legislatif dapat mengontrol prioritas kebijakan fiskal dan
memastikan bahwa alokasi dana publik digunakan sesuai dengan prinsip efisiensi,
efektivitas, dan keadilan4.
Di banyak negara,
badan legislatif memiliki kewenangan untuk menolak atau merevisi pengajuan
anggaran dari eksekutif. Sebagai contoh, dalam sistem pemerintahan Amerika
Serikat, Kongres memiliki hak penuh untuk menyetujui setiap anggaran yang
diajukan oleh Presiden, dan bahkan dapat menghentikan pendanaan untuk kebijakan
tertentu sebagai bentuk kontrol politis5.
3.3.
Fungsi Pengawasan
(Oversight)
Fungsi pengawasan
adalah aspek penting dari kekuasaan legislatif dalam rangka menjaga
keseimbangan kekuasaan. Fungsi ini memungkinkan parlemen untuk mengawasi
pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah oleh eksekutif. Bentuk
pengawasan ini bisa berupa pemanggilan pejabat pemerintah, pembentukan panitia
khusus (panitia kerja atau panitia angket), investigasi publik, serta pengajuan
mosi tidak percaya dalam sistem parlementer6.
Pengawasan
legislatif bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mendorong
transparansi birokrasi, serta menjamin bahwa kebijakan publik dilaksanakan
sesuai dengan mandat hukum dan kepentingan rakyat. Dalam praktiknya, fungsi ini
sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik, kekuatan partai, dan relasi
antar cabang kekuasaan.
3.4.
Fungsi Representasi
Sebagai lembaga
perwakilan, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi representasi politik atas
nama rakyat yang memberikan mandat melalui pemilihan umum. Legislator bertugas
untuk menyuarakan aspirasi konstituen, memperjuangkan kepentingan daerah atau
kelompok tertentu, serta menjadi jembatan komunikasi antara rakyat dan negara.
Fungsi ini merupakan inti dari demokrasi perwakilan, di mana parlemen tidak
hanya menjadi institusi legal-formal, tetapi juga memiliki legitimasi sosial
dan politik7.
Dalam sistem
multipartai, fungsi representasi juga mencerminkan keberagaman ideologi dan
aspirasi publik yang hadir dalam ruang deliberatif negara. Oleh karena itu,
efektivitas fungsi ini sangat bergantung pada integritas anggota legislatif,
mekanisme partisipasi publik, dan sistem pemilu yang adil serta kompetitif.
Footnotes
[1]
Giovanni Sartori, The Theory of Democracy Revisited, Vol. 1
(Chatham, NJ: Chatham House, 1987), 176–178.
[2]
Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in
Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 197–201.
[3]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara RI Tahun
2011 Nomor 82.
[4]
Cheryl Saunders, “Parliaments in Constitutional Democracies,” in Legislatures
and the Budget Process, ed. Joachim Wehner (Washington, DC: World Bank
Institute, 2007), 25–34.
[5]
Roger H. Davidson, Walter J. Oleszek, et al., Congress and Its
Members, 16th ed. (Washington, DC: CQ Press, 2014), 316–319.
[6]
Paul G. Thomas, “Why Is Performance Accountability So Elusive?” Canadian
Public Administration 49, no. 2 (2006): 165–190.
[7]
Hanna F. Pitkin, The Concept of Representation (Berkeley:
University of California Press, 1967), 55–90.
4.
Struktur dan Mekanisme Kerja Lembaga Legislatif
Struktur dan
mekanisme kerja lembaga legislatif sangat bervariasi antar negara, bergantung
pada sistem pemerintahan, konfigurasi kelembagaan, dan tradisi konstitusional
yang dianut. Meskipun demikian, terdapat pola umum yang menjadi kerangka dasar
kerja lembaga legislatif, baik dalam bentuk kelembagaan internal, tata kerja
formal, maupun pola interaksi antar cabang kekuasaan.
4.1.
Bentuk Lembaga
Legislatif: Unikameral dan Bikameral
Secara struktural,
lembaga legislatif di dunia umumnya berbentuk unikameral atau bikameral.
Sistem unikameral terdiri dari satu kamar legislatif yang mewakili keseluruhan
rakyat, seperti yang diterapkan di Finlandia, Selandia Baru, dan Turki.
Sementara itu, sistem bikameral terdiri dari dua kamar, yakni majelis
rendah (lower house) dan majelis tinggi (upper house),
seperti dalam parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords) atau Kongres
Amerika Serikat (House of Representatives dan Senate). Sistem bikameral umumnya
dimaksudkan untuk menyeimbangkan representasi populasi dan wilayah, serta
sebagai mekanisme pengawasan internal antar kamar1.
Di Indonesia,
struktur legislatif nasional menganut sistem bikameral asimetris, yang
terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai kamar utama dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
sebagai kamar tambahan. Meskipun DPD memiliki fungsi legislasi terbatas dan
tidak setara dengan DPR, keberadaannya mencerminkan semangat representasi
daerah dalam sistem demokrasi konstitusional2.
4.2.
Organisasi Internal
dan Alat Kelengkapan
Lembaga legislatif
umumnya terdiri atas beberapa alat kelengkapan untuk
menjalankan fungsi secara efektif, seperti komisi-komisi tetap, badan
legislasi, badan anggaran, dan badan
kehormatan. Komisi berfungsi membahas isu-isu sektoral sesuai
dengan bidang tugasnya, sedangkan badan legislasi bertanggung jawab menyusun
program legislasi dan harmonisasi rancangan undang-undang. Mekanisme ini
memungkinkan distribusi kerja yang efisien dan spesialisasi fungsi dalam proses
pengambilan keputusan3.
Di parlemen modern,
juga dikenal sistem fraksi atau kelompok partai
politik yang membentuk unit kerja strategis di dalam lembaga legislatif. Fraksi
memegang peranan penting dalam menyusun strategi politik, menentukan arah
kebijakan legislatif, serta menjadi saluran koordinasi antara anggota
legislatif dan partai pengusung4.
4.3.
Prosedur Kerja:
Legislasi, Pengawasan, dan Penganggaran
Mekanisme kerja
legislatif mengikuti siklus dan tahapan yang telah diatur secara formal dalam
tata tertib (standing orders) atau peraturan perundang-undangan. Proses
legislasi, misalnya, dimulai dari pengajuan RUU, pembahasan di tingkat komisi
atau panitia khusus, hingga pengesahan di sidang pleno. Dalam sistem bikameral,
RUU harus dibahas dan disetujui oleh kedua kamar, kecuali bila ditentukan lain
oleh konstitusi atau undang-undang dasar5.
Fungsi pengawasan
dijalankan melalui rapat dengar pendapat, investigasi legislatif, serta
pengajuan interpelasi atau hak angket. Mekanisme ini memberikan ruang bagi
parlemen untuk mengevaluasi kinerja eksekutif secara terbuka dan akuntabel.
Sementara itu, fungsi penganggaran dijalankan melalui pembahasan RAPBN,
penetapan postur anggaran, serta pengawasan terhadap pelaksanaannya melalui
audit lembaga negara6.
4.4.
Relasi Kerja antara
Lembaga Legislatif dan Eksekutif
Hubungan antara
lembaga legislatif dan eksekutif sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan
yang dianut. Dalam sistem parlementer, eksekutif (perdana
menteri dan kabinet) bertanggung jawab langsung kepada legislatif dan dapat
dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Dalam sistem presidensial,
seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, hubungan legislatif dan eksekutif
bersifat independen, tetapi saling mengawasi dan bekerja sama dalam penyusunan
kebijakan publik dan anggaran negara7.
Namun demikian,
dalam praktik politik kontemporer, relasi legislatif-eksekutif sering kali
diwarnai oleh dinamika kekuatan partai politik. Koalisi mayoritas di parlemen
dapat mempermudah agenda pemerintah, tetapi juga berpotensi menurunkan daya
kritis legislatif terhadap kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, efektivitas
mekanisme kerja legislatif sangat bergantung pada profesionalisme anggota, transparansi
prosedur, serta kualitas institusi pendukung seperti sekretariat jenderal,
pusat penelitian, dan media parlemen.
Footnotes
[1]
Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven: Yale
University Press, 1989), 148–151.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 159–165.
[3]
Meg Russell, The Contemporary House of Lords: Westminster
Bicameralism Revived (Oxford: Oxford University Press, 2013), 94–96.
[4]
Thomas Saalfeld, “Political Parties and Legislative Organization,” in The
Oxford Handbook of Legislative Studies, ed. Shane Martin, Thomas Saalfeld,
and Kaare Strøm (Oxford: Oxford University Press, 2014), 371–388.
[5]
Philip Norton, Parliament in British Politics, 2nd ed.
(Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2013), 112–117.
[6]
Joachim Wehner, Legislatures and the Budget Process: The Myth of
Fiscal Control (London: Palgrave Macmillan, 2006), 53–59.
[7]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
2012), 109–121.
5.
Kekuasaan Legislatif dalam Berbagai Sistem
Pemerintahan
Kedudukan dan peran
kekuasaan legislatif sangat dipengaruhi oleh bentuk sistem pemerintahan yang
diterapkan dalam suatu negara. Tiga model utama yang sering dijadikan rujukan
dalam ilmu ketatanegaraan adalah sistem parlementer, presidensial,
dan semi-presidensial.
Setiap sistem memberikan konfigurasi kelembagaan yang berbeda dalam menentukan
sejauh mana kekuasaan legislatif berperan dalam proses pengambilan keputusan
politik dan pengawasan terhadap eksekutif.
5.1.
Sistem Parlementer
Dalam sistem
parlementer, seperti yang diterapkan di Inggris, India,
dan sebagian besar negara Eropa Barat, kekuasaan legislatif memegang peranan
dominan dalam struktur pemerintahan. Pemerintah (eksekutif) dibentuk oleh dan
bertanggung jawab langsung kepada parlemen. Perdana menteri, sebagai kepala
pemerintahan, adalah anggota parlemen yang berasal dari partai atau koalisi
mayoritas. Jika parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya, maka pemerintah wajib
mengundurkan diri atau membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu baru1.
Dalam sistem ini,
kekuasaan legislatif dan eksekutif memiliki hubungan yang erat dan saling
tergantung. Meskipun tampak kuat, legislatif dalam sistem parlementer tidak
sepenuhnya independen karena adanya dominasi partai mayoritas yang bisa
mengontrol agenda parlemen. Di Inggris, misalnya, kekuasaan legislatif secara
teoritis sangat kuat, tetapi dalam praktiknya parlemen seringkali mengikuti
garis kebijakan kabinet, terutama jika partai pemerintah memiliki mayoritas
besar di House of Commons2.
5.2.
Sistem Presidensial
Sistem presidensial,
yang dikembangkan secara khas di Amerika Serikat dan diadopsi
oleh negara-negara seperti Indonesia, Filipina,
dan Brasil,
didasarkan pada pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif.
Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dipilih secara
langsung oleh rakyat dan tidak berasal dari lembaga legislatif. Sebaliknya,
parlemen sebagai kekuasaan legislatif menjalankan fungsi legislasi, pengawasan,
dan anggaran secara independen3.
Dalam sistem ini,
tidak ada hubungan tanggung jawab langsung antara kabinet dan parlemen
sebagaimana dalam sistem parlementer. Parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden
melalui mosi tidak percaya, tetapi memiliki mekanisme impeachment untuk
memberhentikan presiden dalam kondisi luar biasa seperti pelanggaran hukum
berat. Di Amerika Serikat, Kongres memiliki dua kamar yang kuat dan independen:
House of
Representatives dan Senate, yang keduanya berperan
aktif dalam legislasi, pengawasan, dan ratifikasi perjanjian internasional4.
Kelebihan sistem
presidensial adalah stabilitas pemerintahan karena presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh parlemen kecuali melalui prosedur hukum. Namun, sistem ini juga
rentan terhadap kebuntuan politik (gridlock) apabila presiden dan
mayoritas legislatif berasal dari partai yang berbeda.
5.3.
Sistem
Semi-Presidensial
Sistem
semi-presidensial merupakan perpaduan antara unsur-unsur parlementer dan
presidensial. Dalam sistem ini, terdapat presiden yang dipilih secara langsung
oleh rakyat dan memiliki kekuasaan eksekutif yang signifikan, serta perdana
menteri yang biasanya bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh negara yang
menganut sistem ini adalah Prancis, Rusia,
dan Polandia5.
Kekuasaan legislatif
dalam sistem semi-presidensial memiliki peran penting dalam menyeimbangkan dua
pusat kekuasaan eksekutif, yaitu presiden dan perdana menteri. Parlemen
memiliki kekuasaan legislatif penuh, serta dapat memberikan atau menarik
dukungan kepada pemerintah melalui mosi kepercayaan. Ketika presiden dan
perdana menteri berasal dari partai yang berbeda (situasi cohabitation),
maka keseimbangan kekuasaan legislatif menjadi semakin krusial dalam menjaga
stabilitas pemerintahan6.
Sistem ini fleksibel
dalam menanggapi dinamika politik, tetapi juga dapat menimbulkan dualisme
eksekutif yang membingungkan dan konflik antara presiden dan parlemen, terutama
dalam hal kebijakan luar negeri dan pertahanan.
Kesimpulan Perbandingan
Perbandingan antar
sistem pemerintahan menunjukkan bahwa kekuasaan legislatif tidak bersifat
seragam. Dalam sistem parlementer, kekuasaan legislatif lebih terintegrasi
dengan eksekutif; dalam sistem presidensial, legislatif dan eksekutif berdiri sejajar
dan independen; sementara dalam sistem semi-presidensial, terdapat keseimbangan
relatif yang kompleks antara kedua lembaga. Efektivitas kekuasaan legislatif
dalam setiap sistem sangat dipengaruhi oleh desain konstitusional, kekuatan
partai politik, dan tradisi demokrasi yang berlaku.
Footnotes
[1]
Arend Lijphart, Parliamentary versus Presidential Government,
ed. Arend Lijphart (Oxford: Oxford University Press, 1992), 1–15.
[2]
Vernon Bogdanor, The New British Constitution (Oxford: Hart
Publishing, 2009), 67–75.
[3]
Scott Mainwaring and Matthew Shugart, Presidentialism and Democracy
in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–20.
[4]
Roger H. Davidson, Walter J. Oleszek, et al., Congress and Its
Members, 16th ed. (Washington, DC: CQ Press, 2014), 89–104.
[5]
Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Subtypes and Democratic
Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 25–38.
[6]
Jean Blondel and Maurizio Cotta, The Nature of Party Government: A
Comparative European Perspective (New York: Palgrave Macmillan, 2000),
149–152.
6.
Dinamika dan Perkembangan Historis Kekuasaan
Legislatif
Kekuasaan legislatif
merupakan institusi yang telah mengalami transformasi besar sepanjang sejarah,
dari bentuk-bentuk awal majelis penasihat dalam sistem monarki feodal hingga
menjadi lembaga representatif utama dalam sistem demokrasi modern. Dinamika ini
tidak hanya mencerminkan perkembangan teori politik dan ketatanegaraan, tetapi
juga menggambarkan perjuangan sosial atas partisipasi rakyat dalam pemerintahan
dan pembatasan kekuasaan absolut.
6.1.
Asal-Usul dan
Lahirnya Parlemen Modern di Eropa
Cikal bakal lembaga
legislatif dapat ditelusuri sejak zaman pertengahan di Eropa, terutama melalui
institusi-institusi seperti Magna Carta (1215) di Inggris,
yang memaksa Raja John untuk mengakui bahwa kekuasaannya dapat dibatasi oleh
hukum dan bahwa bangsawan memiliki hak untuk diajak berkonsultasi dalam urusan
fiskal dan pemerintahan1. Dokumen ini menjadi fondasi awal bagi
berkembangnya Parlemen Inggris, yang secara
bertahap berkembang dari lembaga penasihat raja menjadi lembaga legislatif yang
kuat, khususnya setelah Revolusi Glorious (1688) yang menegaskan supremasi
parlemen atas monarki2.
Perkembangan serupa
terjadi di negara-negara lain di Eropa Barat, meskipun dengan tingkat
keberhasilan yang berbeda. Di Prancis, lembaga États Généraux (States General)
sempat memainkan peran penting dalam masa transisi menuju Revolusi Prancis,
tetapi akhirnya tergantikan oleh sistem legislatif baru dalam kerangka
republik. Perkembangan historis ini memperlihatkan bahwa keberadaan legislatif
sebagai institusi representatif sering kali lahir dari konflik sosial dan
tuntutan akan akuntabilitas kekuasaan3.
6.2.
Legislasi dalam
Negara-Negara Kolonial dan Pascakolonial
Dalam konteks dunia
kolonial, lembaga legislatif sering kali hadir secara terbatas sebagai alat
legitimasi kekuasaan penjajah, tanpa memberikan representasi substantif kepada
masyarakat lokal. Di Hindia Belanda, misalnya, Volksraad (Dewan Rakyat) yang
dibentuk pada tahun 1918 hanyalah lembaga pseudo-parlemen dengan kewenangan
terbatas dan keanggotaan dominan dari kalangan Belanda4. Baru
setelah proses dekolonisasi, banyak negara-negara bekas jajahan mulai membentuk
sistem legislatif yang lebih inklusif sebagai bagian dari pembangunan institusi
demokrasi nasional.
Di Indonesia,
pasca-kemerdekaan 1945, kekuasaan legislatif mulai diperkuat melalui
pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan selanjutnya berkembang
menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, dinamika politik pasca-1945, termasuk era Demokrasi Terpimpin
(1959–1965) dan Orde Baru (1966–1998), memperlihatkan fluktuasi signifikan
dalam kekuatan legislatif. Dalam masa Orde Baru, fungsi legislatif sangat lemah
akibat dominasi eksekutif di bawah Presiden Soeharto dan peran hegemonik Golkar
sebagai partai pemerintah5.
6.3.
Reformasi dan
Kebangkitan Parlemen di Era Demokrasi Modern
Gelombang reformasi
yang melanda berbagai belahan dunia sejak akhir abad ke-20 turut mengubah
lanskap kekuasaan legislatif. Di negara-negara post-authoritarian, termasuk
Indonesia, kekuasaan legislatif mulai mengalami revitalisasi seiring dengan
tuntutan demokratisasi dan pembentukan institusi yang akuntabel. Amandemen UUD
1945 sejak tahun 1999 hingga 2002 memperkuat posisi DPR sebagai lembaga
legislatif dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang lebih mandiri6.
Demikian pula di
berbagai negara Eropa Timur pasca-kejatuhan Uni Soviet, lembaga legislatif
kembali diberdayakan untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif dan
sebagai ruang deliberatif demokrasi. Perkembangan ini menunjukkan adanya
kesadaran global akan pentingnya checks and balances dalam sistem politik yang
sehat.
Namun, tantangan
tetap ada. Banyak lembaga legislatif masih menghadapi persoalan internal
seperti rendahnya kapasitas legislator, dominasi elite partai, praktik korupsi,
dan lemahnya partisipasi publik. Di beberapa negara, parlemen juga berperan
pasif dalam menghadapi isu-isu strategis nasional, yang mengurangi efektivitas
fungsi representatifnya7.
6.4.
Era Digital dan
Legislasi Responsif
Memasuki abad ke-21,
kekuasaan legislatif menghadapi tuntutan baru dalam menjawab dinamika
masyarakat digital dan globalisasi. Teknologi informasi telah membuka ruang
partisipasi publik yang lebih luas dalam proses legislasi, mendorong parlemen
untuk lebih transparan dan responsif. Inovasi seperti e-parliament,
consultative
platforms, dan open legislative data mulai
diterapkan di banyak negara sebagai bentuk akomodasi terhadap aspirasi
masyarakat yang semakin kritis dan terhubung8.
Transformasi ini
menandai fase baru dari perkembangan kekuasaan legislatif yang tidak hanya
bertumpu pada kekuasaan formal, tetapi juga pada legitimasi substantif yang
dibangun melalui transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan rakyat dalam
proses demokrasi.
Footnotes
[1]
J.C. Holt, Magna Carta, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 1992), 1–5.
[2]
Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford:
Clarendon Press, 1995), 63–75.
[3]
William Doyle, The Oxford History of the French Revolution,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 43–49.
[4]
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912–1926 (Jakarta: Grafiti, 1997), 115–117.
[5]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2010), 37–42.
[6]
Tim Lindsey and Simon Butt, The Constitution of Indonesia: A
Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2012), 59–64.
[7]
Thomas Carothers, Confronting the Weakest Link: Aiding Political
Parties in New Democracies (Washington, DC: Carnegie Endowment for
International Peace, 2006), 123–129.
[8]
Cristina Leston-Bandeira and Sven T. Siefken, Parliaments and
Citizens: Engagement in the Digital Era (London: Routledge, 2023), 34–42.
7.
Legislasi dan Partisipasi Publik
Partisipasi publik
dalam proses legislasi merupakan elemen penting dalam mewujudkan prinsip demokrasi
deliberatif dan memperkuat legitimasi substantif dari kebijakan
hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif. Dalam sistem demokrasi modern,
legislasi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas teknokratis oleh anggota
parlemen, tetapi juga sebagai arena keterlibatan warga negara dalam merumuskan
norma-norma yang mengatur kehidupan kolektif. Seiring berkembangnya
demokratisasi dan teknologi informasi, ekspektasi terhadap keterbukaan dan
responsivitas proses legislasi pun semakin tinggi.
7.1.
Dasar Teoretis
Partisipasi Publik dalam Legislasi
Secara konseptual,
partisipasi publik dalam legislasi berakar dari teori kedaulatan
rakyat (popular sovereignty) yang menempatkan rakyat sebagai
sumber legitimasi utama kekuasaan negara. Dalam pandangan Jürgen
Habermas, deliberasi publik adalah mekanisme utama dalam
membentuk kehendak politik yang rasional dan inklusif, di mana warga negara
secara aktif terlibat dalam diskursus kebijakan melalui ruang publik yang
terbuka1.
Partisipasi ini juga
berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial terhadap lembaga legislatif agar tidak
menyimpang dari mandat konstitusional dan aspirasi rakyat. Melalui partisipasi,
masyarakat dapat menyampaikan masukan, kritik, maupun alternatif terhadap
rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas.
7.2.
Bentuk-Bentuk
Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi
Partisipasi publik
dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain:
·
Rapat
dengar pendapat umum (public hearing): Forum formal yang
memungkinkan masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku
kepentingan lainnya memberikan masukan kepada parlemen.
·
Penyampaian
aspirasi dan petisi tertulis: Saluran formal untuk menyampaikan
usulan atau keberatan terhadap suatu RUU.
·
Forum
konsultasi dan dialog legislatif: Diskusi publik di tingkat
lokal atau nasional yang diselenggarakan oleh DPR atau lembaga negara.
·
Pemanfaatan
teknologi digital (e-legislation): Situs web parlemen, survei
daring, dan platform konsultasi terbuka yang memungkinkan masyarakat mengikuti
proses legislasi secara transparan dan interaktif2.
Di negara-negara
maju seperti Kanada, Australia, dan Finlandia, mekanisme partisipasi publik
sudah terintegrasi dalam setiap tahap legislasi melalui sistem yang disebut legislative
engagement portals, yang menyediakan akses terbuka terhadap
dokumen hukum dan jadwal sidang, serta ruang komentar publik secara daring3.
7.3.
Praktik Partisipasi
Publik di Indonesia
Di Indonesia,
keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019), yang mengharuskan
adanya partisipasi
masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan
undang-undang4.
Badan Legislasi DPR
RI secara berkala membuka ruang konsultasi publik dan melakukan uji publik
terhadap RUU prioritas. Selain itu, berbagai organisasi masyarakat sipil
seperti ICEL, ELSAM,
dan Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Legislasi Progresif aktif terlibat dalam
memberikan analisis dan advokasi terhadap legislasi yang dianggap tidak
berpihak pada kepentingan publik.
Namun, implementasi
partisipasi publik di Indonesia belum berjalan optimal. Kritik tajam muncul,
misalnya, dalam pembahasan cepat Omnibus Law Cipta Kerja, di
mana banyak pihak menilai bahwa proses legislasi tidak melibatkan publik secara
memadai dan cenderung eksklusif5. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
secara normatif telah diatur, pelaksanaan partisipasi publik masih menghadapi
kendala struktural dan politis.
7.4.
Tantangan dan
Prospek Legislasi Inklusif
Tantangan utama
dalam memperkuat partisipasi publik adalah rendahnya literasi hukum masyarakat,
minimnya akses terhadap informasi legislatif, serta budaya politik yang elitis
dan patronistik. Di sisi lain, dominasi partai politik dalam proses legislasi
kerap mengabaikan aspirasi warga negara non-partisan atau kelompok marjinal6.
Meski demikian,
peluang untuk memperkuat legislasi inklusif tetap terbuka melalui pemanfaatan
teknologi digital, penguatan kapasitas masyarakat sipil, serta reformasi
internal parlemen dalam membuka ruang deliberatif yang lebih luas.
Transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik yang bermakna adalah
fondasi utama bagi pembentukan undang-undang yang demokratis dan responsif
terhadap kebutuhan rakyat.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT
Press, 1996), 287–290.
[2]
Cristina Leston-Bandeira, “E-Petitions and Institutional Participation:
Engaging Citizens in Policy Processes,” Parliamentary Affairs 70, no.
1 (2017): 1–25.
[3]
OECD, Innovative Citizen Participation and New Democratic
Institutions: Catching the Deliberative Wave (Paris: OECD Publishing,
2020), 53–58.
[4]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 183.
[5]
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Laporan Evaluasi
Proses Legislasi Omnibus Law Cipta Kerja, 2021, 8–11.
[6]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 165–170.
8.
Tantangan Kekuasaan Legislatif di Era
Kontemporer
Meskipun secara
konstitusional kekuasaan legislatif diakui sebagai salah satu pilar utama
demokrasi, realitas kontemporer menunjukkan bahwa lembaga legislatif di banyak
negara menghadapi berbagai tantangan serius yang mengancam efektivitas,
integritas, dan legitimasi publiknya. Tantangan ini bersifat multidimensional,
mencakup aspek kelembagaan, politik, sosial, hingga teknologi, yang secara
simultan mempengaruhi kinerja lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan.
8.1.
Politisasi dan
Fragmentasi Kepartaian
Salah satu tantangan
utama yang dihadapi lembaga legislatif modern adalah meningkatnya politisasi
proses legislasi, yang sering kali didorong oleh kepentingan sempit partai
politik atau kelompok elite. Dominasi partai atau koalisi mayoritas dalam
parlemen sering mengakibatkan marginalisasi suara oposisi dan menghambat proses
deliberatif yang sehat1. Hal ini dapat menurunkan kualitas legislasi
karena undang-undang dibentuk bukan berdasarkan kajian substantif, melainkan
demi kepentingan jangka pendek kelompok politik tertentu.
Lebih jauh, sistem
multipartai dengan fragmentasi tinggi seperti yang terjadi di Indonesia dapat
memperumit proses pembentukan koalisi yang stabil di parlemen. Koalisi yang
bersifat pragmatis kerap menghasilkan negosiasi politik transaksional yang
melemahkan independensi lembaga legislatif2.
8.2.
Rendahnya Kualitas
Legislasi
Banyak lembaga
legislatif menghadapi kritik atas rendahnya kualitas regulasi
yang dihasilkan. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, persoalan seperti
tumpang tindih aturan, ambiguitas norma hukum, dan lemahnya naskah akademik RUU
masih menjadi persoalan mendasar dalam proses legislasi3. Lemahnya
kajian empiris, minimnya partisipasi publik yang bermakna, serta tekanan waktu
dan kepentingan politik memperburuk mutu peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh,
evaluasi terhadap beberapa produk legislasi strategis seperti Undang-Undang
Minerba (2020) dan Omnibus Law Cipta Kerja (2020) menunjukkan proses legislasi
yang terburu-buru, minim konsultasi, serta cenderung tertutup terhadap kritik
publik, sehingga memunculkan gugatan konstitusional di Mahkamah Konstitusi4.
8.3.
Korupsi dan Konflik
Kepentingan
Isu korupsi
legislatif menjadi tantangan serius yang merusak citra dan
kepercayaan publik terhadap parlemen. Banyak anggota legislatif di berbagai
negara terlibat dalam skandal korupsi, gratifikasi, atau praktik jual beli
pasal. Menurut laporan Transparency International, korupsi legislatif merupakan
salah satu bentuk korupsi politik yang paling sulit diberantas karena
melibatkan elite kekuasaan yang memiliki kewenangan membuat dan mengubah hukum
itu sendiri5.
Fenomena conflict
of interest, terutama ketika legislator memiliki afiliasi
bisnis atau relasi dekat dengan pengusaha, juga menjadi sorotan. Dalam banyak
kasus, legislasi yang dilahirkan mencerminkan kepentingan oligarkis atau
korporatisme, bukan kepentingan publik luas6.
8.4.
Keterbatasan
Kapasitas Kelembagaan
Banyak parlemen,
terutama di negara-negara berkembang, masih memiliki keterbatasan kapasitas
kelembagaan dalam hal sumber daya manusia, dukungan riset, dan infrastruktur
teknologi. Lembaga riset parlemen yang lemah menyebabkan legislator kurang
memiliki basis data dan analisis yang memadai dalam menyusun kebijakan. Hal ini
memperkuat ketergantungan terhadap pihak eksekutif atau kelompok kepentingan
luar dalam proses legislasi7.
Selain itu, dukungan
administratif dan teknis terhadap fungsi pengawasan juga masih terbatas,
sehingga parlemen sering kesulitan mengevaluasi efektivitas program pemerintah
secara sistematis.
8.5.
Tantangan Era
Digital dan Disinformasi
Era digital membawa
peluang sekaligus tantangan bagi kekuasaan legislatif. Di satu sisi, teknologi
informasi membuka ruang transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas.
Namun di sisi lain, parlemen juga menghadapi tantangan disinformasi, polarisasi
digital, dan tekanan media sosial yang dapat mengganggu proses deliberatif
rasional dan memperkuat populisme parlementer8.
Anggota parlemen
kini tidak hanya dituntut untuk cakap dalam legislasi, tetapi juga dalam
mengelola komunikasi politik secara digital dan menghadapi dinamika opini
publik yang cepat berubah.
8.6.
Krisis Kepercayaan
Publik
Akumulasi dari persoalan-persoalan
di atas berkontribusi terhadap krisis legitimasi legislatif.
Di berbagai negara, termasuk demokrasi mapan sekalipun, lembaga legislatif
menjadi salah satu institusi dengan tingkat kepercayaan publik yang paling
rendah. Menurut survei Edelman Trust Barometer (2023), kepercayaan terhadap
parlemen sebagai institusi menurun tajam akibat persepsi publik atas
inefisiensi, korupsi, dan keterputusan dari aspirasi rakyat9.
Jika tidak segera
dibenahi, krisis ini dapat berimplikasi serius terhadap stabilitas sistem
demokrasi, karena delegitimasi lembaga legislatif dapat mengundang munculnya
alternatif populis atau otoritarian yang menjanjikan “efisiensi” di luar
mekanisme parlemen.
Kesimpulan
Tantangan kekuasaan
legislatif di era kontemporer bukan hanya bersifat internal, tetapi juga
eksternal dan struktural. Diperlukan reformasi kelembagaan yang berkelanjutan,
penguatan kapasitas legislator, partisipasi publik yang bermakna, serta sistem
integritas yang ketat untuk memastikan agar lembaga legislatif tetap menjadi
benteng demokrasi dan penegak kedaulatan rakyat.
Footnotes
[1]
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and
Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press,
2012), 130–138.
[2]
Edward Aspinall and Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia:
Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta: PolGov
UGM, 2015), 41–44.
[3]
Bivitri Susanti, “Masalah Kelembagaan dan Kualitas Legislasi di
Indonesia,” Jurnal Konstitusi 14, no. 3 (2017): 554–573.
[4]
Tim KontraS, Telaah Kritis terhadap Proses Legislasi UU Cipta Kerja,
(Jakarta: KontraS, 2021), 7–12.
[5]
Transparency International, Global Corruption Report 2021:
Political Integrity, (Berlin: TI, 2021), 98–104.
[6]
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2011), 206–212.
[7]
Shane Martin, “Parliamentary Oversight and Legislative Capacity,” in The
Oxford Handbook of Legislative Studies, ed. Martin, Saalfeld, and Strøm
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 297–314.
[8]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 95–102.
[9]
Edelman, Edelman Trust Barometer 2023: Navigating a Polarized World,
https://www.edelman.com/trust/2023-trust-barometer (diakses 1 Juni 2025).
9.
Studi Kasus Komparatif
Untuk memahami
dinamika kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan kontemporer, penting
dilakukan studi komparatif terhadap praktik dan konfigurasi kelembagaan di
berbagai negara. Studi ini memperlihatkan bahwa kekuasaan legislatif tidak
bersifat seragam, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks historis, sistem
pemerintahan, kekuatan partai politik, dan budaya politik. Tiga studi kasus
berikut menyoroti variasi dan kompleksitas kekuasaan legislatif di negara demokrasi
besar—Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris—yang masing-masing
merepresentasikan sistem presidensial, parlementer, dan bentuk hibrida
demokrasi konstitusional.
9.1.
Indonesia: Penguatan
Legislatif Pasca-Reformasi
Setelah runtuhnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia mengalami transformasi besar dalam
konfigurasi kekuasaan legislatif. Amandemen UUD 1945 antara tahun 1999 hingga
2002 menegaskan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai lembaga legislatif yang independen dengan fungsi legislasi, anggaran,
dan pengawasan yang setara dengan presiden1. DPR juga diberikan
sejumlah hak istimewa, seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat.
Namun, penguatan
konstitusional ini belum sepenuhnya diiringi oleh peningkatan efektivitas institusional.
Beberapa evaluasi menunjukkan bahwa DPR masih menghadapi tantangan dalam
kualitas legislasi, integritas anggota, dan dominasi partai dalam proses
politik2. Meski demikian, DPR telah menjadi aktor penting dalam
menginisiasi undang-undang strategis dan memainkan peran signifikan dalam
pengawasan terhadap kebijakan eksekutif, seperti dalam penolakan terhadap RUU
kontroversial maupun pembentukan panitia khusus hak angket dalam kasus-kasus
besar.
9.2.
Amerika Serikat:
Parlemen sebagai Pengimbang Kuat Eksekutif
Amerika Serikat
menawarkan contoh ideal dari sistem presidensial murni, di mana Kongres
sebagai lembaga legislatif terdiri atas dua kamar independen: House of
Representatives dan Senate. Konstitusi AS (1787)
secara eksplisit membatasi dan mendistribusikan kekuasaan antar cabang
pemerintahan, dengan menempatkan Kongres sebagai pembentuk hukum dan pengontrol
anggaran3. Sistem checks and balances memungkinkan Kongres untuk
mengawasi presiden secara ketat, termasuk melalui proses impeachment,
ratifikasi perjanjian internasional, dan persetujuan penunjukan pejabat tinggi
negara.
Kekuatan legislatif
AS juga terlihat dalam penggunaan hearings, committee
investigations, dan kontrol terhadap lembaga eksekutif melalui
pengaruh anggaran. Akan tetapi, sistem ini tidak bebas dari tantangan.
Polarisasi partai yang ekstrem, khususnya antara Demokrat dan Republik, telah
menyebabkan kebuntuan legislasi (gridlock) yang menghambat
pengambilan keputusan nasional, terutama ketika presiden dan mayoritas
legislatif berasal dari partai berbeda4.
9.3.
Inggris: Dominasi
Eksekutif dalam Sistem Parlementer
Sebagai pelopor
sistem parlementer, Parlemen Inggris secara
historis merupakan simbol supremasi legislatif atas monarki. Dalam praktik
kontemporer, kekuasaan legislatif dijalankan oleh House of
Commons (majelis rendah) dan House of Lords (majelis
tinggi), meskipun peran legislatif lebih dominan berada pada Commons yang
dipilih melalui pemilu5. Dalam sistem parlementer, pemerintah
(eksekutif) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga
hubungan antara legislatif dan eksekutif sangat erat dan saling bergantung.
Meskipun secara
teoritis parlemen memiliki kekuasaan tertinggi (parliamentary sovereignty), dalam
praktiknya terdapat dominasi eksekutif yang kuat,
terutama jika partai pemerintah memegang mayoritas besar. Perdana Menteri,
sebagai pemimpin partai mayoritas, memiliki kontrol signifikan atas agenda
legislatif, dan partai oposisi hanya memiliki ruang terbatas dalam proses
legislasi. Hal ini sering dikritik sebagai bentuk "elective
dictatorship" oleh akademisi seperti Lord Hailsham6.
Namun demikian,
parlemen Inggris tetap menjaga tradisi deliberatif yang kuat, seperti melalui debates,
select
committees, dan sistem Prime Minister’s Questions (PMQs)
yang memberikan ruang akuntabilitas langsung kepada kepala pemerintahan.
9.4.
Perbandingan Kritis
9.4.1.
Indonesia (Sistem Presidensial)
·
Sistem Pemerintahan:
Presidensial – Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang
dipilih langsung oleh rakyat.
·
Tipe Kelembagaan: Bikameral
asimetris, terdiri dari DPR (kamar utama dengan kekuasaan legislatif
penuh) dan DPD (kamar daerah dengan fungsi terbatas).
·
Relasi dengan Eksekutif: Independen – Presiden dan DPR tidak saling bergantung dalam
pembentukan atau pemberhentian jabatan.
·
Mekanisme Pengawasan: DPR
memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat sebagai alat kontrol terhadap kebijakan pemerintah.
·
Tantangan Utama:
þ Rendahnya partisipasi publik dalam legislasi.
þ Kualitas undang-undang yang belum konsisten.
þ Dominasi partai politik dalam agenda legislasi.
9.4.2.
Amerika Serikat (Sistem
Presidensial)
·
Sistem Pemerintahan:
Presidensial – Presiden dan Kongres terpisah secara struktural dan fungsional.
·
Tipe Kelembagaan: Bikameral
simetris, terdiri dari House of Representatives dan Senate dengan
kekuasaan yang setara dalam proses legislasi.
·
Relasi dengan Eksekutif: Independen – Presiden tidak bergantung pada Kongres, tetapi kebijakan
dan anggaran membutuhkan persetujuan legislatif.
·
Mekanisme Pengawasan:
þ Impeachment untuk presiden dan pejabat
tinggi.
þ Hearings dan investigasi parlemen oleh
komite.
þ Ratifikasi perjanjian dan persetujuan penunjukan
pejabat.
·
Tantangan Utama:
þ Polarisasi partai yang ekstrem.
þ Kebuntuan kebijakan (legislative gridlock)
ketika partai berbeda menguasai eksekutif dan legislatif.
9.4.3.
Inggris (Sistem Parlementer)
·
Sistem Pemerintahan:
Parlementer – Pemerintah dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen.
·
Tipe Kelembagaan: Bikameral asimetris,
terdiri dari House of Commons (lebih dominan) dan House of Lords
(peran terbatas).
·
Relasi dengan Eksekutif: Eksekutif berasal dari legislatif – Perdana Menteri adalah pemimpin
partai mayoritas di House of Commons.
·
Mekanisme Pengawasan:
þ Prime Minister’s Questions (PMQs) untuk
akuntabilitas mingguan langsung.
þ Select Committees yang meneliti kebijakan
pemerintah.
þ Debat dan voting di parlemen untuk evaluasi
kebijakan.
·
Tantangan Utama:
þ Dominasi partai mayoritas di parlemen yang mengurangi
peran oposisi.
þ Risiko terjadinya “elective dictatorship”
jika kontrol internal parlemen lemah.
Kesimpulan
Studi kasus di atas
memperlihatkan bahwa kekuasaan legislatif di berbagai negara berkembang secara
berbeda tergantung pada desain konstitusional dan praktik politiknya. Meskipun
terdapat perbedaan struktur dan relasi antar cabang kekuasaan, tantangan yang
dihadapi relatif serupa: bagaimana meningkatkan kapasitas legislasi, memperkuat
akuntabilitas, dan menjaga representasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan. Kajian komparatif ini penting sebagai bahan refleksi dalam
memperkuat lembaga legislatif di negara-negara demokratis, khususnya dalam
menghadapi kompleksitas abad ke-21.
Footnotes
[1]
Tim Lindsey dan Simon Butt, The Constitution of Indonesia: A
Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2012), 64–70.
[2]
Bivitri Susanti, “Kinerja DPR: Antara Fungsi Representasi dan Agenda
Partisan,” Jurnal Konstitusi 14, no. 3 (2017): 551–572.
[3]
Donald A. Ritchie, Congress and the Nation: 2009–2012
(Washington, DC: CQ Press, 2014), 15–23.
[4]
Thomas E. Mann dan Norman J. Ornstein, It’s Even Worse Than It
Looks: How the American Constitutional System Collided with the New Politics of
Extremism (New York: Basic Books, 2012), 56–63.
[5]
Philip Norton, The British Polity, 5th ed. (New York: Longman,
2010), 127–134.
[6]
Lord Hailsham, The Dilemma of Democracy: Diagnosis and Prescription
(London: Collins, 1978), 126.
10.
Penutup
Kekuasaan legislatif
memainkan peran yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan modern
sebagai pilar utama demokrasi konstitusional. Sebagai institusi pembentuk
hukum, pengawas jalannya pemerintahan, dan representasi rakyat, lembaga
legislatif menjadi cermin dari prinsip kedaulatan rakyat serta sarana utama
untuk menjaga keseimbangan dan pembatasan kekuasaan (checks
and balances). Fungsi dan kewenangan legislatif telah berkembang
secara historis dari lembaga penasihat raja dalam sistem monarki feodal menjadi
pusat deliberasi dan pengambilan keputusan dalam negara demokrasi modern1.
Seiring perjalanan
waktu, lembaga legislatif mengalami berbagai dinamika. Di satu sisi, terjadi
peningkatan peran legislatif dalam memperkuat proses demokratisasi, terutama di
negara-negara pasca-otoritarian seperti Indonesia, di mana amandemen konstitusi
telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dalam legislasi, anggaran, dan pengawasan2. Di sisi lain,
lembaga ini juga menghadapi tantangan serius, seperti fragmentasi kepartaian,
rendahnya kualitas legislasi, korupsi, serta minimnya partisipasi publik dalam
proses hukum. Fenomena ini tidak hanya menghambat kinerja legislatif, tetapi
juga berkontribusi terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
institusi ini3.
Studi komparatif
atas sistem ketatanegaraan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris,
dan Indonesia menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan struktur dan sistem
pemerintahan, terdapat kesamaan tantangan: bagaimana memastikan lembaga
legislatif tetap menjadi saluran representasi rakyat yang efektif, akuntabel,
dan responsif terhadap perubahan zaman. Di Amerika Serikat, kekuatan legislatif
dibatasi oleh polarisasi partai yang tajam. Di Inggris, parlemen menghadapi
dominasi eksekutif melalui kontrol partai mayoritas. Di Indonesia, proses
legislasi masih sering dikritik karena tertutup dan elitis4.
Dalam konteks
demokrasi kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial, kemajuan
teknologi, dan tantangan global seperti perubahan iklim, konflik geopolitik,
serta krisis kepercayaan terhadap institusi negara, kekuasaan legislatif
dituntut untuk lebih adaptif dan inklusif. Legislatif harus mampu membuka ruang
deliberatif yang sejati, meningkatkan transparansi proses hukum, serta
memperkuat kapasitas kelembagaan untuk menghasilkan regulasi yang berkualitas
dan berpihak pada kepentingan umum5.
Ke depan, penguatan
kekuasaan legislatif bukan sekadar persoalan teknis kelembagaan, melainkan
bagian dari agenda besar pembangunan demokrasi yang berkelanjutan. Dibutuhkan
sinergi antara reformasi hukum, pendidikan politik, penguatan masyarakat sipil,
dan inovasi teknologi informasi untuk menciptakan legislatif yang tidak hanya
kuat secara konstitusional, tetapi juga legitimate di mata rakyat. Hanya dengan
demikian, kekuasaan legislatif dapat benar-benar menjalankan perannya sebagai
pengawal demokrasi, penjaga keadilan, dan perumus kebijakan publik yang beradab
dan berorientasi jangka panjang.
Footnotes
[1]
Philip Norton, Parliaments and Governments in Western Europe
(London: Frank Cass, 1990), 3–5.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 143–146.
[3]
Transparency International, Global Corruption Report 2021:
Political Integrity (Berlin: TI, 2021), 99–104.
[4]
Thomas E. Mann dan Norman J. Ornstein, It’s Even Worse Than It
Looks: How the American Constitutional System Collided with the New Politics of
Extremism (New York: Basic Books, 2012), 56–63; Lord Hailsham, The
Dilemma of Democracy (London: Collins, 1978), 126; Bivitri Susanti,
“Masalah Kelembagaan dan Kualitas Legislasi di Indonesia,” Jurnal
Konstitusi 14, no. 3 (2017): 554–573.
[5]
Cristina Leston-Bandeira dan Sven T. Siefken, Parliaments and
Citizens: Engagement in the Digital Era (London: Routledge, 2023), 34–42.
Daftar Pustaka
Aspinall, E., &
Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the
state in Indonesia. Cornell University Press.
Aspinall, E., &
Sukmajati, M. (Eds.). (2015). Politik uang di Indonesia: Patronase dan
klientelisme pada Pemilu legislatif 2014. PolGov UGM.
Bogdanor, V. (2009). The
new British constitution. Hart Publishing.
Carothers, T. (2006). Confronting
the weakest link: Aiding political parties in new democracies. Carnegie
Endowment for International Peace.
Crouch, H. (2010). Political
reform in Indonesia after Soeharto. ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Davidson, R. H., Oleszek,
W. J., Lee, F. E., & Schickler, E. (2014). Congress and its members
(16th ed.). CQ Press.
Doyle, W. (2002). The
Oxford history of the French Revolution (2nd ed.). Oxford University
Press.
Edelman. (2023). Edelman
trust barometer 2023: Navigating a polarized world. https://www.edelman.com/trust/2023-trust-barometer
Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism:
Subtypes and democratic performance. Oxford University Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Hailsham, Q. (1978). The
dilemma of democracy: Diagnosis and prescription. Collins.
Holt, J. C. (1992). Magna
Carta (2nd ed.). Cambridge University Press.
Indonesia. (2011). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82.
Indonesia. (2019). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 183.
Kelsen, H. (1961). General
theory of law and state (A. Wedberg, Trans.). Russell & Russell.
Leston-Bandeira, C., &
Siefken, S. T. (2023). Parliaments and citizens: Engagement in the digital
era. Routledge.
Lijphart, A. (1992). Parliamentary
versus presidential government. Oxford University Press.
Lijphart, A. (2012). Patterns
of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries
(2nd ed.). Yale University Press.
Lindsey, T., & Butt, S.
(2012). The Constitution of Indonesia: A contextual analysis. Hart
Publishing.
Mainwaring, S., &
Shugart, M. S. (1997). Presidentialism and democracy in Latin America.
Cambridge University Press.
Mann, T. E., &
Ornstein, N. J. (2012). It’s even worse than it looks: How the American
constitutional system collided with the new politics of extremism. Basic
Books.
Martin, S. (2014).
Parliamentary oversight and legislative capacity. In S. Martin, T. Saalfeld,
& K. Strøm (Eds.), The Oxford handbook of legislative studies (pp.
297–314). Oxford University Press.
Montesquieu. (1989). The
spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone,
Trans.). Cambridge University Press.
Norton, P. (1990). Parliaments
and governments in Western Europe. Frank Cass.
Norton, P. (2010). The
British polity (5th ed.). Longman.
OECD. (2020). Innovative
citizen participation and new democratic institutions: Catching the
deliberative wave. OECD Publishing.
Ritchie, D. A. (2014). Congress
and the nation: 2009–2012. CQ Press.
Russell, M. (2013). The
contemporary House of Lords: Westminster bicameralism revived. Oxford
University Press.
Saalfeld, T. (2014).
Political parties and legislative organization. In S. Martin, T. Saalfeld,
& K. Strøm (Eds.), The Oxford handbook of legislative studies (pp.
371–388). Oxford University Press.
Sartori, G. (1987). The
theory of democracy revisited: Vol. 1. The contemporary debate. Chatham
House.
Saunders, C. (1998). The
role of the legislature in a democracy. Public Law Review, 9(2),
87–92.
Shiraishi, T. (1997). Zaman
bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926. Grafiti.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Susanti, B. (2017). Masalah
kelembagaan dan kualitas legislasi di Indonesia. Jurnal Konstitusi,
14(3), 554–573.
Thomas, P. G. (2006). Why
is performance accountability so elusive? Canadian Public Administration,
49(2), 165–190.
Tim KontraS. (2021). Telaah
kritis terhadap proses legislasi UU Cipta Kerja. KontraS.
Transparency International.
(2021). Global corruption report 2021: Political integrity.
Transparency International.
Wehner, J. (2006). Legislatures
and the budget process: The myth of fiscal control. Palgrave Macmillan.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy.
Cambridge University Press.
Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI). (2021). Laporan evaluasi proses legislasi Omnibus
Law Cipta Kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar