Kamis, 05 Juni 2025

Kekuasaan Legislatif: Fungsi, Perkembangan, dan Tantangan di Era Demokrasi Modern

Kekuasaan Legislatif

Fungsi, Perkembangan, dan Tantangan di Era Demokrasi Modern


Alihkan ke: Pemisahan Kekuasaan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji kekuasaan legislatif sebagai salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan demokratis. Dimulai dengan pembahasan teoritis mengenai asal-usul pemisahan kekuasaan, artikel ini menelusuri fungsi legislatif dalam konteks historis dan komparatif, mencakup peranannya dalam legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Melalui studi kasus terhadap sistem pemerintahan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris, artikel ini menunjukkan variasi struktur dan dinamika kekuasaan legislatif berdasarkan sistem presidensial, parlementer, dan semi-presidensial. Selain itu, artikel ini membahas tantangan kontemporer yang dihadapi lembaga legislatif, termasuk politisasi, korupsi, krisis kepercayaan publik, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses legislasi. Dengan pendekatan analitis dan berbasis literatur akademik, artikel ini menyimpulkan bahwa penguatan lembaga legislatif memerlukan reformasi kelembagaan, peningkatan kapasitas legislator, serta integrasi teknologi digital untuk mendukung transparansi dan partisipasi publik. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan demokrasi konstitusional yang lebih responsif, representatif, dan berkeadilan.

Kata Kunci: Kekuasaan Legislatif; Sistem Ketatanegaraan; Demokrasi; Legislasi; Pengawasan; Partisipasi Publik; Reformasi Politik; Perbandingan Sistem Pemerintahan.


PEMBAHASAN

Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan


1.           Pendahuluan

Kekuasaan legislatif merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers). Dalam doktrin klasik Montesquieu, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga cabang utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, masing-masing dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut dan tiranik dalam pemerintahan. Montesquieu menegaskan bahwa kebebasan politik hanya dapat dijamin apabila fungsi legislatif tidak bercampur dengan kekuasaan eksekutif atau yudikatif secara tidak sah, karena pencampuran ini dapat menimbulkan dominasi yang berbahaya bagi rakyat dan konstitusi negara.1

Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan legislatif tidak hanya berperan sebagai pembentuk hukum, tetapi juga sebagai representasi rakyat yang memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan kontrol atas anggaran negara. Kekuasaan ini mewakili kehendak rakyat dalam bentuk hukum yang mengikat seluruh warga negara, serta menjadi instrumen utama dalam menjamin akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan.2 Oleh karena itu, kekuasaan legislatif tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik, ideologi, dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Dalam konteks global, keberadaan dan kekuasaan legislatif telah mengalami berbagai bentuk transformasi, baik dalam sistem parlementer, presidensial, maupun semi-presidensial. Setiap sistem memiliki konfigurasi unik yang menentukan hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif. Misalnya, dalam sistem parlementer seperti di Inggris, parlemen memainkan peran utama sebagai sumber legitimasi pemerintah. Sementara itu, dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, legislatif berdiri sebagai lembaga independen yang secara formal terpisah dari kekuasaan eksekutif.3

Meskipun secara teoretis kekuasaan legislatif memiliki peran strategis dalam demokrasi, praktiknya di banyak negara menunjukkan beragam tantangan. Di antaranya adalah terjadinya kooptasi kekuasaan legislatif oleh elit politik, lemahnya kapasitas legislasi, rendahnya partisipasi publik dalam proses pembentukan hukum, serta munculnya berbagai kasus korupsi di kalangan anggota legislatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas dan integritas lembaga legislatif dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.4

Oleh karena itu, kajian tentang kekuasaan legislatif menjadi sangat penting dalam konteks demokrasi modern. Tidak hanya untuk memahami bagaimana lembaga ini berfungsi dalam kerangka konstitusi, tetapi juga untuk mengevaluasi sejauh mana kekuasaan legislatif mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, menanggapi tuntutan masyarakat, serta menjaga integritas dan supremasi hukum. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara menyeluruh tentang kekuasaan legislatif dari sisi fungsi, perkembangan historis, perbandingan sistem, serta tantangan yang dihadapi dalam realitas kontemporer.


Footnotes

[1]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–59.

[2]                Cheryl Saunders, “The Role of the Legislature in a Democracy,” Public Law Review 9, no. 2 (1998): 87–92.

[3]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 115–130.

[4]                Tom Ginsburg dan Aziz Huq, How to Save a Constitutional Democracy (Chicago: University of Chicago Press, 2018), 142–158.


2.           Landasan Teoretis: Teori Pemisahan Kekuasaan dan Fungsi Legislatif

Gagasan tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers) menjadi fondasi utama dalam teori dan praktik ketatanegaraan modern. Teori ini bertujuan mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu tangan dan memastikan adanya mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Akar konseptual dari pemisahan kekuasaan dapat ditelusuri pada pemikiran John Locke, yang membagi kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Locke menempatkan legislatif sebagai kekuasaan tertinggi karena berfungsi menetapkan hukum yang menjadi acuan bagi seluruh tindakan pemerintahan1.

Konseptualisasi pemisahan kekuasaan yang lebih sistematis dan berpengaruh secara luas dikembangkan oleh Montesquieu dalam karyanya De l'esprit des lois (The Spirit of the Laws). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang: legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan yudikatif (menafsirkan serta menegakkan hukum). Menurut Montesquieu, “kebebasan hanya dapat terjamin bila kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak digabungkan dalam satu lembaga atau individu2. Ia meyakini bahwa pemisahan ini tidak hanya penting untuk mencegah tirani, tetapi juga untuk menjaga supremasi hukum dan keadilan.

Dalam konteks demokrasi modern, fungsi legislatif secara konseptual tidak hanya terbatas pada pembentukan hukum. Sebagai lembaga representatif, legislatif juga menjalankan fungsi anggaran (power of the purse), yakni menentukan dan mengawasi penggunaan keuangan negara, serta fungsi pengawasan politik terhadap pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Hal ini ditegaskan oleh Hans Kelsen yang menekankan bahwa parlemen adalah organ yang paling mencerminkan kehendak rakyat dan oleh karenanya menjadi titik pusat dari demokrasi perwakilan3.

Lebih jauh, teori fungsionalisme kelembagaan yang berkembang dalam ilmu politik dan hukum tata negara modern menunjukkan bahwa fungsi legislatif tidak bersifat statis. Fungsi ini berkembang sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan kebutuhan negara. Di banyak negara, lembaga legislatif juga turut serta dalam fungsi-fungsi normatif dan pengambilan kebijakan strategis, termasuk dalam bidang hubungan luar negeri, penetapan keadaan darurat, serta reformasi konstitusional4.

Konsep pemisahan kekuasaan dan fungsi legislatif juga mengalami adaptasi dalam praktik ketatanegaraan. Dalam sistem presidensial, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, legislatif berdiri sebagai kekuasaan independen yang tidak dapat dijatuhkan oleh eksekutif, dan sebaliknya. Sementara dalam sistem parlementer, seperti di Inggris atau Jerman, terdapat fusi antara legislatif dan eksekutif, di mana kepala pemerintahan berasal dari dan bertanggung jawab kepada parlemen5. Namun, meskipun bentuknya berbeda, prinsip dasar mengenai fungsi legislatif sebagai pemegang otoritas normatif tetap menjadi ciri khas dari sistem demokrasi konstitusional.

Dengan demikian, landasan teoretis dari kekuasaan legislatif menunjukkan bahwa lembaga ini tidak sekadar berperan sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga sebagai pilar utama dalam mengartikulasikan kehendak rakyat, menjaga akuntabilitas kekuasaan, dan memastikan keberlangsungan pemerintahan berdasarkan hukum. Kajian terhadap teori-teori ini menjadi dasar penting untuk memahami kompleksitas dan signifikansi kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan kontemporer.


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 350–52.

[2]                Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Anne M. Cohler, Basia C. Miller, and Harold S. Stone (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 157–59.

[3]                Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders Wedberg (New York: Russell & Russell, 1961), 283–85.

[4]                Philip Norton, “Parliaments and Governments in Western Europe,” in The New Roles of Parliamentary Committees, ed. John D. Lees and Malcolm Shaw (London: Frank Cass, 1979), 1–26.

[5]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 90–106.


3.           Fungsi dan Wewenang Kekuasaan Legislatif

Dalam sistem ketatanegaraan modern, kekuasaan legislatif memainkan peranan yang sangat strategis sebagai pemegang otoritas normatif dan representatif dalam negara. Fungsi legislatif tidak hanya terbatas pada penyusunan undang-undang, tetapi juga mencakup pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan eksekutif, pengesahan anggaran negara, serta advokasi kepentingan rakyat dalam forum formal negara. Dalam konteks demokrasi konstitusional, kekuasaan legislatif merupakan simbol dari kedaulatan rakyat yang dijalankan secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan1.

3.1.       Fungsi Legislasi

Fungsi utama dari lembaga legislatif adalah membuat, mengubah, dan mencabut peraturan perundang-undangan. Fungsi ini menjadi landasan dari sistem hukum nasional, karena undang-undang merupakan bentuk konkret dari kehendak rakyat yang dilembagakan. Proses legislasi umumnya mencakup pengajuan rancangan undang-undang (RUU), pembahasan di tingkat komisi dan pleno, serta pengesahan dalam sidang paripurna. Dalam sistem bikameral seperti Amerika Serikat, fungsi legislasi dibagi antara dua kamar (House of Representatives dan Senate), sedangkan dalam sistem unikameral seperti di Swedia, hanya ada satu badan legislatif yang menjalankan fungsi ini2.

Di Indonesia, fungsi legislasi dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki hak inisiatif, hak amandemen, dan hak menyetujui rancangan undang-undang bersama presiden. Proses pembentukan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengedepankan asas kejelasan tujuan, keterbukaan, dan partisipasi publik3.

3.2.       Fungsi Anggaran (Budgeting)

Lembaga legislatif juga memegang kekuasaan dalam hal keuangan negara, yang sering disebut sebagai power of the purse. Fungsi ini meliputi hak untuk menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta mengawasi penggunaannya. Dengan fungsi ini, legislatif dapat mengontrol prioritas kebijakan fiskal dan memastikan bahwa alokasi dana publik digunakan sesuai dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan keadilan4.

Di banyak negara, badan legislatif memiliki kewenangan untuk menolak atau merevisi pengajuan anggaran dari eksekutif. Sebagai contoh, dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat, Kongres memiliki hak penuh untuk menyetujui setiap anggaran yang diajukan oleh Presiden, dan bahkan dapat menghentikan pendanaan untuk kebijakan tertentu sebagai bentuk kontrol politis5.

3.3.       Fungsi Pengawasan (Oversight)

Fungsi pengawasan adalah aspek penting dari kekuasaan legislatif dalam rangka menjaga keseimbangan kekuasaan. Fungsi ini memungkinkan parlemen untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah oleh eksekutif. Bentuk pengawasan ini bisa berupa pemanggilan pejabat pemerintah, pembentukan panitia khusus (panitia kerja atau panitia angket), investigasi publik, serta pengajuan mosi tidak percaya dalam sistem parlementer6.

Pengawasan legislatif bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mendorong transparansi birokrasi, serta menjamin bahwa kebijakan publik dilaksanakan sesuai dengan mandat hukum dan kepentingan rakyat. Dalam praktiknya, fungsi ini sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik, kekuatan partai, dan relasi antar cabang kekuasaan.

3.4.       Fungsi Representasi

Sebagai lembaga perwakilan, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi representasi politik atas nama rakyat yang memberikan mandat melalui pemilihan umum. Legislator bertugas untuk menyuarakan aspirasi konstituen, memperjuangkan kepentingan daerah atau kelompok tertentu, serta menjadi jembatan komunikasi antara rakyat dan negara. Fungsi ini merupakan inti dari demokrasi perwakilan, di mana parlemen tidak hanya menjadi institusi legal-formal, tetapi juga memiliki legitimasi sosial dan politik7.

Dalam sistem multipartai, fungsi representasi juga mencerminkan keberagaman ideologi dan aspirasi publik yang hadir dalam ruang deliberatif negara. Oleh karena itu, efektivitas fungsi ini sangat bergantung pada integritas anggota legislatif, mekanisme partisipasi publik, dan sistem pemilu yang adil serta kompetitif.


Footnotes

[1]                Giovanni Sartori, The Theory of Democracy Revisited, Vol. 1 (Chatham, NJ: Chatham House, 1987), 176–178.

[2]                Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 197–201.

[3]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82.

[4]                Cheryl Saunders, “Parliaments in Constitutional Democracies,” in Legislatures and the Budget Process, ed. Joachim Wehner (Washington, DC: World Bank Institute, 2007), 25–34.

[5]                Roger H. Davidson, Walter J. Oleszek, et al., Congress and Its Members, 16th ed. (Washington, DC: CQ Press, 2014), 316–319.

[6]                Paul G. Thomas, “Why Is Performance Accountability So Elusive?” Canadian Public Administration 49, no. 2 (2006): 165–190.

[7]                Hanna F. Pitkin, The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967), 55–90.


4.           Struktur dan Mekanisme Kerja Lembaga Legislatif

Struktur dan mekanisme kerja lembaga legislatif sangat bervariasi antar negara, bergantung pada sistem pemerintahan, konfigurasi kelembagaan, dan tradisi konstitusional yang dianut. Meskipun demikian, terdapat pola umum yang menjadi kerangka dasar kerja lembaga legislatif, baik dalam bentuk kelembagaan internal, tata kerja formal, maupun pola interaksi antar cabang kekuasaan.

4.1.       Bentuk Lembaga Legislatif: Unikameral dan Bikameral

Secara struktural, lembaga legislatif di dunia umumnya berbentuk unikameral atau bikameral. Sistem unikameral terdiri dari satu kamar legislatif yang mewakili keseluruhan rakyat, seperti yang diterapkan di Finlandia, Selandia Baru, dan Turki. Sementara itu, sistem bikameral terdiri dari dua kamar, yakni majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi (upper house), seperti dalam parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords) atau Kongres Amerika Serikat (House of Representatives dan Senate). Sistem bikameral umumnya dimaksudkan untuk menyeimbangkan representasi populasi dan wilayah, serta sebagai mekanisme pengawasan internal antar kamar1.

Di Indonesia, struktur legislatif nasional menganut sistem bikameral asimetris, yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai kamar utama dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai kamar tambahan. Meskipun DPD memiliki fungsi legislasi terbatas dan tidak setara dengan DPR, keberadaannya mencerminkan semangat representasi daerah dalam sistem demokrasi konstitusional2.

4.2.       Organisasi Internal dan Alat Kelengkapan

Lembaga legislatif umumnya terdiri atas beberapa alat kelengkapan untuk menjalankan fungsi secara efektif, seperti komisi-komisi tetap, badan legislasi, badan anggaran, dan badan kehormatan. Komisi berfungsi membahas isu-isu sektoral sesuai dengan bidang tugasnya, sedangkan badan legislasi bertanggung jawab menyusun program legislasi dan harmonisasi rancangan undang-undang. Mekanisme ini memungkinkan distribusi kerja yang efisien dan spesialisasi fungsi dalam proses pengambilan keputusan3.

Di parlemen modern, juga dikenal sistem fraksi atau kelompok partai politik yang membentuk unit kerja strategis di dalam lembaga legislatif. Fraksi memegang peranan penting dalam menyusun strategi politik, menentukan arah kebijakan legislatif, serta menjadi saluran koordinasi antara anggota legislatif dan partai pengusung4.

4.3.       Prosedur Kerja: Legislasi, Pengawasan, dan Penganggaran

Mekanisme kerja legislatif mengikuti siklus dan tahapan yang telah diatur secara formal dalam tata tertib (standing orders) atau peraturan perundang-undangan. Proses legislasi, misalnya, dimulai dari pengajuan RUU, pembahasan di tingkat komisi atau panitia khusus, hingga pengesahan di sidang pleno. Dalam sistem bikameral, RUU harus dibahas dan disetujui oleh kedua kamar, kecuali bila ditentukan lain oleh konstitusi atau undang-undang dasar5.

Fungsi pengawasan dijalankan melalui rapat dengar pendapat, investigasi legislatif, serta pengajuan interpelasi atau hak angket. Mekanisme ini memberikan ruang bagi parlemen untuk mengevaluasi kinerja eksekutif secara terbuka dan akuntabel. Sementara itu, fungsi penganggaran dijalankan melalui pembahasan RAPBN, penetapan postur anggaran, serta pengawasan terhadap pelaksanaannya melalui audit lembaga negara6.

4.4.       Relasi Kerja antara Lembaga Legislatif dan Eksekutif

Hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dianut. Dalam sistem parlementer, eksekutif (perdana menteri dan kabinet) bertanggung jawab langsung kepada legislatif dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Dalam sistem presidensial, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, hubungan legislatif dan eksekutif bersifat independen, tetapi saling mengawasi dan bekerja sama dalam penyusunan kebijakan publik dan anggaran negara7.

Namun demikian, dalam praktik politik kontemporer, relasi legislatif-eksekutif sering kali diwarnai oleh dinamika kekuatan partai politik. Koalisi mayoritas di parlemen dapat mempermudah agenda pemerintah, tetapi juga berpotensi menurunkan daya kritis legislatif terhadap kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, efektivitas mekanisme kerja legislatif sangat bergantung pada profesionalisme anggota, transparansi prosedur, serta kualitas institusi pendukung seperti sekretariat jenderal, pusat penelitian, dan media parlemen.


Footnotes

[1]                Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven: Yale University Press, 1989), 148–151.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 159–165.

[3]                Meg Russell, The Contemporary House of Lords: Westminster Bicameralism Revived (Oxford: Oxford University Press, 2013), 94–96.

[4]                Thomas Saalfeld, “Political Parties and Legislative Organization,” in The Oxford Handbook of Legislative Studies, ed. Shane Martin, Thomas Saalfeld, and Kaare Strøm (Oxford: Oxford University Press, 2014), 371–388.

[5]                Philip Norton, Parliament in British Politics, 2nd ed. (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2013), 112–117.

[6]                Joachim Wehner, Legislatures and the Budget Process: The Myth of Fiscal Control (London: Palgrave Macmillan, 2006), 53–59.

[7]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 109–121.


5.           Kekuasaan Legislatif dalam Berbagai Sistem Pemerintahan

Kedudukan dan peran kekuasaan legislatif sangat dipengaruhi oleh bentuk sistem pemerintahan yang diterapkan dalam suatu negara. Tiga model utama yang sering dijadikan rujukan dalam ilmu ketatanegaraan adalah sistem parlementer, presidensial, dan semi-presidensial. Setiap sistem memberikan konfigurasi kelembagaan yang berbeda dalam menentukan sejauh mana kekuasaan legislatif berperan dalam proses pengambilan keputusan politik dan pengawasan terhadap eksekutif.

5.1.       Sistem Parlementer

Dalam sistem parlementer, seperti yang diterapkan di Inggris, India, dan sebagian besar negara Eropa Barat, kekuasaan legislatif memegang peranan dominan dalam struktur pemerintahan. Pemerintah (eksekutif) dibentuk oleh dan bertanggung jawab langsung kepada parlemen. Perdana menteri, sebagai kepala pemerintahan, adalah anggota parlemen yang berasal dari partai atau koalisi mayoritas. Jika parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya, maka pemerintah wajib mengundurkan diri atau membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu baru1.

Dalam sistem ini, kekuasaan legislatif dan eksekutif memiliki hubungan yang erat dan saling tergantung. Meskipun tampak kuat, legislatif dalam sistem parlementer tidak sepenuhnya independen karena adanya dominasi partai mayoritas yang bisa mengontrol agenda parlemen. Di Inggris, misalnya, kekuasaan legislatif secara teoritis sangat kuat, tetapi dalam praktiknya parlemen seringkali mengikuti garis kebijakan kabinet, terutama jika partai pemerintah memiliki mayoritas besar di House of Commons2.

5.2.       Sistem Presidensial

Sistem presidensial, yang dikembangkan secara khas di Amerika Serikat dan diadopsi oleh negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan Brasil, didasarkan pada pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak berasal dari lembaga legislatif. Sebaliknya, parlemen sebagai kekuasaan legislatif menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran secara independen3.

Dalam sistem ini, tidak ada hubungan tanggung jawab langsung antara kabinet dan parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden melalui mosi tidak percaya, tetapi memiliki mekanisme impeachment untuk memberhentikan presiden dalam kondisi luar biasa seperti pelanggaran hukum berat. Di Amerika Serikat, Kongres memiliki dua kamar yang kuat dan independen: House of Representatives dan Senate, yang keduanya berperan aktif dalam legislasi, pengawasan, dan ratifikasi perjanjian internasional4.

Kelebihan sistem presidensial adalah stabilitas pemerintahan karena presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen kecuali melalui prosedur hukum. Namun, sistem ini juga rentan terhadap kebuntuan politik (gridlock) apabila presiden dan mayoritas legislatif berasal dari partai yang berbeda.

5.3.       Sistem Semi-Presidensial

Sistem semi-presidensial merupakan perpaduan antara unsur-unsur parlementer dan presidensial. Dalam sistem ini, terdapat presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan memiliki kekuasaan eksekutif yang signifikan, serta perdana menteri yang biasanya bertanggung jawab kepada parlemen. Contoh negara yang menganut sistem ini adalah Prancis, Rusia, dan Polandia5.

Kekuasaan legislatif dalam sistem semi-presidensial memiliki peran penting dalam menyeimbangkan dua pusat kekuasaan eksekutif, yaitu presiden dan perdana menteri. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif penuh, serta dapat memberikan atau menarik dukungan kepada pemerintah melalui mosi kepercayaan. Ketika presiden dan perdana menteri berasal dari partai yang berbeda (situasi cohabitation), maka keseimbangan kekuasaan legislatif menjadi semakin krusial dalam menjaga stabilitas pemerintahan6.

Sistem ini fleksibel dalam menanggapi dinamika politik, tetapi juga dapat menimbulkan dualisme eksekutif yang membingungkan dan konflik antara presiden dan parlemen, terutama dalam hal kebijakan luar negeri dan pertahanan.


Kesimpulan Perbandingan

Perbandingan antar sistem pemerintahan menunjukkan bahwa kekuasaan legislatif tidak bersifat seragam. Dalam sistem parlementer, kekuasaan legislatif lebih terintegrasi dengan eksekutif; dalam sistem presidensial, legislatif dan eksekutif berdiri sejajar dan independen; sementara dalam sistem semi-presidensial, terdapat keseimbangan relatif yang kompleks antara kedua lembaga. Efektivitas kekuasaan legislatif dalam setiap sistem sangat dipengaruhi oleh desain konstitusional, kekuatan partai politik, dan tradisi demokrasi yang berlaku.


Footnotes

[1]                Arend Lijphart, Parliamentary versus Presidential Government, ed. Arend Lijphart (Oxford: Oxford University Press, 1992), 1–15.

[2]                Vernon Bogdanor, The New British Constitution (Oxford: Hart Publishing, 2009), 67–75.

[3]                Scott Mainwaring and Matthew Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12–20.

[4]                Roger H. Davidson, Walter J. Oleszek, et al., Congress and Its Members, 16th ed. (Washington, DC: CQ Press, 2014), 89–104.

[5]                Robert Elgie, Semi-Presidentialism: Subtypes and Democratic Performance (Oxford: Oxford University Press, 2011), 25–38.

[6]                Jean Blondel and Maurizio Cotta, The Nature of Party Government: A Comparative European Perspective (New York: Palgrave Macmillan, 2000), 149–152.


6.           Dinamika dan Perkembangan Historis Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif merupakan institusi yang telah mengalami transformasi besar sepanjang sejarah, dari bentuk-bentuk awal majelis penasihat dalam sistem monarki feodal hingga menjadi lembaga representatif utama dalam sistem demokrasi modern. Dinamika ini tidak hanya mencerminkan perkembangan teori politik dan ketatanegaraan, tetapi juga menggambarkan perjuangan sosial atas partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan pembatasan kekuasaan absolut.

6.1.       Asal-Usul dan Lahirnya Parlemen Modern di Eropa

Cikal bakal lembaga legislatif dapat ditelusuri sejak zaman pertengahan di Eropa, terutama melalui institusi-institusi seperti Magna Carta (1215) di Inggris, yang memaksa Raja John untuk mengakui bahwa kekuasaannya dapat dibatasi oleh hukum dan bahwa bangsawan memiliki hak untuk diajak berkonsultasi dalam urusan fiskal dan pemerintahan1. Dokumen ini menjadi fondasi awal bagi berkembangnya Parlemen Inggris, yang secara bertahap berkembang dari lembaga penasihat raja menjadi lembaga legislatif yang kuat, khususnya setelah Revolusi Glorious (1688) yang menegaskan supremasi parlemen atas monarki2.

Perkembangan serupa terjadi di negara-negara lain di Eropa Barat, meskipun dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Di Prancis, lembaga États Généraux (States General) sempat memainkan peran penting dalam masa transisi menuju Revolusi Prancis, tetapi akhirnya tergantikan oleh sistem legislatif baru dalam kerangka republik. Perkembangan historis ini memperlihatkan bahwa keberadaan legislatif sebagai institusi representatif sering kali lahir dari konflik sosial dan tuntutan akan akuntabilitas kekuasaan3.

6.2.       Legislasi dalam Negara-Negara Kolonial dan Pascakolonial

Dalam konteks dunia kolonial, lembaga legislatif sering kali hadir secara terbatas sebagai alat legitimasi kekuasaan penjajah, tanpa memberikan representasi substantif kepada masyarakat lokal. Di Hindia Belanda, misalnya, Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk pada tahun 1918 hanyalah lembaga pseudo-parlemen dengan kewenangan terbatas dan keanggotaan dominan dari kalangan Belanda4. Baru setelah proses dekolonisasi, banyak negara-negara bekas jajahan mulai membentuk sistem legislatif yang lebih inklusif sebagai bagian dari pembangunan institusi demokrasi nasional.

Di Indonesia, pasca-kemerdekaan 1945, kekuasaan legislatif mulai diperkuat melalui pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan selanjutnya berkembang menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, dinamika politik pasca-1945, termasuk era Demokrasi Terpimpin (1959–1965) dan Orde Baru (1966–1998), memperlihatkan fluktuasi signifikan dalam kekuatan legislatif. Dalam masa Orde Baru, fungsi legislatif sangat lemah akibat dominasi eksekutif di bawah Presiden Soeharto dan peran hegemonik Golkar sebagai partai pemerintah5.

6.3.       Reformasi dan Kebangkitan Parlemen di Era Demokrasi Modern

Gelombang reformasi yang melanda berbagai belahan dunia sejak akhir abad ke-20 turut mengubah lanskap kekuasaan legislatif. Di negara-negara post-authoritarian, termasuk Indonesia, kekuasaan legislatif mulai mengalami revitalisasi seiring dengan tuntutan demokratisasi dan pembentukan institusi yang akuntabel. Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 hingga 2002 memperkuat posisi DPR sebagai lembaga legislatif dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang lebih mandiri6.

Demikian pula di berbagai negara Eropa Timur pasca-kejatuhan Uni Soviet, lembaga legislatif kembali diberdayakan untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif dan sebagai ruang deliberatif demokrasi. Perkembangan ini menunjukkan adanya kesadaran global akan pentingnya checks and balances dalam sistem politik yang sehat.

Namun, tantangan tetap ada. Banyak lembaga legislatif masih menghadapi persoalan internal seperti rendahnya kapasitas legislator, dominasi elite partai, praktik korupsi, dan lemahnya partisipasi publik. Di beberapa negara, parlemen juga berperan pasif dalam menghadapi isu-isu strategis nasional, yang mengurangi efektivitas fungsi representatifnya7.

6.4.       Era Digital dan Legislasi Responsif

Memasuki abad ke-21, kekuasaan legislatif menghadapi tuntutan baru dalam menjawab dinamika masyarakat digital dan globalisasi. Teknologi informasi telah membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dalam proses legislasi, mendorong parlemen untuk lebih transparan dan responsif. Inovasi seperti e-parliament, consultative platforms, dan open legislative data mulai diterapkan di banyak negara sebagai bentuk akomodasi terhadap aspirasi masyarakat yang semakin kritis dan terhubung8.

Transformasi ini menandai fase baru dari perkembangan kekuasaan legislatif yang tidak hanya bertumpu pada kekuasaan formal, tetapi juga pada legitimasi substantif yang dibangun melalui transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan rakyat dalam proses demokrasi.


Footnotes

[1]                J.C. Holt, Magna Carta, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 1–5.

[2]                Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford: Clarendon Press, 1995), 63–75.

[3]                William Doyle, The Oxford History of the French Revolution, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 43–49.

[4]                Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926 (Jakarta: Grafiti, 1997), 115–117.

[5]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2010), 37–42.

[6]                Tim Lindsey and Simon Butt, The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2012), 59–64.

[7]                Thomas Carothers, Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies (Washington, DC: Carnegie Endowment for International Peace, 2006), 123–129.

[8]                Cristina Leston-Bandeira and Sven T. Siefken, Parliaments and Citizens: Engagement in the Digital Era (London: Routledge, 2023), 34–42.


7.           Legislasi dan Partisipasi Publik

Partisipasi publik dalam proses legislasi merupakan elemen penting dalam mewujudkan prinsip demokrasi deliberatif dan memperkuat legitimasi substantif dari kebijakan hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif. Dalam sistem demokrasi modern, legislasi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas teknokratis oleh anggota parlemen, tetapi juga sebagai arena keterlibatan warga negara dalam merumuskan norma-norma yang mengatur kehidupan kolektif. Seiring berkembangnya demokratisasi dan teknologi informasi, ekspektasi terhadap keterbukaan dan responsivitas proses legislasi pun semakin tinggi.

7.1.       Dasar Teoretis Partisipasi Publik dalam Legislasi

Secara konseptual, partisipasi publik dalam legislasi berakar dari teori kedaulatan rakyat (popular sovereignty) yang menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi utama kekuasaan negara. Dalam pandangan Jürgen Habermas, deliberasi publik adalah mekanisme utama dalam membentuk kehendak politik yang rasional dan inklusif, di mana warga negara secara aktif terlibat dalam diskursus kebijakan melalui ruang publik yang terbuka1.

Partisipasi ini juga berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial terhadap lembaga legislatif agar tidak menyimpang dari mandat konstitusional dan aspirasi rakyat. Melalui partisipasi, masyarakat dapat menyampaikan masukan, kritik, maupun alternatif terhadap rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas.

7.2.       Bentuk-Bentuk Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi

Partisipasi publik dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain:

·                     Rapat dengar pendapat umum (public hearing): Forum formal yang memungkinkan masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya memberikan masukan kepada parlemen.

·                     Penyampaian aspirasi dan petisi tertulis: Saluran formal untuk menyampaikan usulan atau keberatan terhadap suatu RUU.

·                     Forum konsultasi dan dialog legislatif: Diskusi publik di tingkat lokal atau nasional yang diselenggarakan oleh DPR atau lembaga negara.

·                     Pemanfaatan teknologi digital (e-legislation): Situs web parlemen, survei daring, dan platform konsultasi terbuka yang memungkinkan masyarakat mengikuti proses legislasi secara transparan dan interaktif2.

Di negara-negara maju seperti Kanada, Australia, dan Finlandia, mekanisme partisipasi publik sudah terintegrasi dalam setiap tahap legislasi melalui sistem yang disebut legislative engagement portals, yang menyediakan akses terbuka terhadap dokumen hukum dan jadwal sidang, serta ruang komentar publik secara daring3.

7.3.       Praktik Partisipasi Publik di Indonesia

Di Indonesia, keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019), yang mengharuskan adanya partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan undang-undang4.

Badan Legislasi DPR RI secara berkala membuka ruang konsultasi publik dan melakukan uji publik terhadap RUU prioritas. Selain itu, berbagai organisasi masyarakat sipil seperti ICEL, ELSAM, dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Legislasi Progresif aktif terlibat dalam memberikan analisis dan advokasi terhadap legislasi yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan publik.

Namun, implementasi partisipasi publik di Indonesia belum berjalan optimal. Kritik tajam muncul, misalnya, dalam pembahasan cepat Omnibus Law Cipta Kerja, di mana banyak pihak menilai bahwa proses legislasi tidak melibatkan publik secara memadai dan cenderung eksklusif5. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara normatif telah diatur, pelaksanaan partisipasi publik masih menghadapi kendala struktural dan politis.

7.4.       Tantangan dan Prospek Legislasi Inklusif

Tantangan utama dalam memperkuat partisipasi publik adalah rendahnya literasi hukum masyarakat, minimnya akses terhadap informasi legislatif, serta budaya politik yang elitis dan patronistik. Di sisi lain, dominasi partai politik dalam proses legislasi kerap mengabaikan aspirasi warga negara non-partisan atau kelompok marjinal6.

Meski demikian, peluang untuk memperkuat legislasi inklusif tetap terbuka melalui pemanfaatan teknologi digital, penguatan kapasitas masyarakat sipil, serta reformasi internal parlemen dalam membuka ruang deliberatif yang lebih luas. Transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik yang bermakna adalah fondasi utama bagi pembentukan undang-undang yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 287–290.

[2]                Cristina Leston-Bandeira, “E-Petitions and Institutional Participation: Engaging Citizens in Policy Processes,” Parliamentary Affairs 70, no. 1 (2017): 1–25.

[3]                OECD, Innovative Citizen Participation and New Democratic Institutions: Catching the Deliberative Wave (Paris: OECD Publishing, 2020), 53–58.

[4]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 183.

[5]                Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Laporan Evaluasi Proses Legislasi Omnibus Law Cipta Kerja, 2021, 8–11.

[6]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 165–170.


8.           Tantangan Kekuasaan Legislatif di Era Kontemporer

Meskipun secara konstitusional kekuasaan legislatif diakui sebagai salah satu pilar utama demokrasi, realitas kontemporer menunjukkan bahwa lembaga legislatif di banyak negara menghadapi berbagai tantangan serius yang mengancam efektivitas, integritas, dan legitimasi publiknya. Tantangan ini bersifat multidimensional, mencakup aspek kelembagaan, politik, sosial, hingga teknologi, yang secara simultan mempengaruhi kinerja lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

8.1.       Politisasi dan Fragmentasi Kepartaian

Salah satu tantangan utama yang dihadapi lembaga legislatif modern adalah meningkatnya politisasi proses legislasi, yang sering kali didorong oleh kepentingan sempit partai politik atau kelompok elite. Dominasi partai atau koalisi mayoritas dalam parlemen sering mengakibatkan marginalisasi suara oposisi dan menghambat proses deliberatif yang sehat1. Hal ini dapat menurunkan kualitas legislasi karena undang-undang dibentuk bukan berdasarkan kajian substantif, melainkan demi kepentingan jangka pendek kelompok politik tertentu.

Lebih jauh, sistem multipartai dengan fragmentasi tinggi seperti yang terjadi di Indonesia dapat memperumit proses pembentukan koalisi yang stabil di parlemen. Koalisi yang bersifat pragmatis kerap menghasilkan negosiasi politik transaksional yang melemahkan independensi lembaga legislatif2.

8.2.       Rendahnya Kualitas Legislasi

Banyak lembaga legislatif menghadapi kritik atas rendahnya kualitas regulasi yang dihasilkan. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, persoalan seperti tumpang tindih aturan, ambiguitas norma hukum, dan lemahnya naskah akademik RUU masih menjadi persoalan mendasar dalam proses legislasi3. Lemahnya kajian empiris, minimnya partisipasi publik yang bermakna, serta tekanan waktu dan kepentingan politik memperburuk mutu peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh, evaluasi terhadap beberapa produk legislasi strategis seperti Undang-Undang Minerba (2020) dan Omnibus Law Cipta Kerja (2020) menunjukkan proses legislasi yang terburu-buru, minim konsultasi, serta cenderung tertutup terhadap kritik publik, sehingga memunculkan gugatan konstitusional di Mahkamah Konstitusi4.

8.3.       Korupsi dan Konflik Kepentingan

Isu korupsi legislatif menjadi tantangan serius yang merusak citra dan kepercayaan publik terhadap parlemen. Banyak anggota legislatif di berbagai negara terlibat dalam skandal korupsi, gratifikasi, atau praktik jual beli pasal. Menurut laporan Transparency International, korupsi legislatif merupakan salah satu bentuk korupsi politik yang paling sulit diberantas karena melibatkan elite kekuasaan yang memiliki kewenangan membuat dan mengubah hukum itu sendiri5.

Fenomena conflict of interest, terutama ketika legislator memiliki afiliasi bisnis atau relasi dekat dengan pengusaha, juga menjadi sorotan. Dalam banyak kasus, legislasi yang dilahirkan mencerminkan kepentingan oligarkis atau korporatisme, bukan kepentingan publik luas6.

8.4.       Keterbatasan Kapasitas Kelembagaan

Banyak parlemen, terutama di negara-negara berkembang, masih memiliki keterbatasan kapasitas kelembagaan dalam hal sumber daya manusia, dukungan riset, dan infrastruktur teknologi. Lembaga riset parlemen yang lemah menyebabkan legislator kurang memiliki basis data dan analisis yang memadai dalam menyusun kebijakan. Hal ini memperkuat ketergantungan terhadap pihak eksekutif atau kelompok kepentingan luar dalam proses legislasi7.

Selain itu, dukungan administratif dan teknis terhadap fungsi pengawasan juga masih terbatas, sehingga parlemen sering kesulitan mengevaluasi efektivitas program pemerintah secara sistematis.

8.5.       Tantangan Era Digital dan Disinformasi

Era digital membawa peluang sekaligus tantangan bagi kekuasaan legislatif. Di satu sisi, teknologi informasi membuka ruang transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas. Namun di sisi lain, parlemen juga menghadapi tantangan disinformasi, polarisasi digital, dan tekanan media sosial yang dapat mengganggu proses deliberatif rasional dan memperkuat populisme parlementer8.

Anggota parlemen kini tidak hanya dituntut untuk cakap dalam legislasi, tetapi juga dalam mengelola komunikasi politik secara digital dan menghadapi dinamika opini publik yang cepat berubah.

8.6.       Krisis Kepercayaan Publik

Akumulasi dari persoalan-persoalan di atas berkontribusi terhadap krisis legitimasi legislatif. Di berbagai negara, termasuk demokrasi mapan sekalipun, lembaga legislatif menjadi salah satu institusi dengan tingkat kepercayaan publik yang paling rendah. Menurut survei Edelman Trust Barometer (2023), kepercayaan terhadap parlemen sebagai institusi menurun tajam akibat persepsi publik atas inefisiensi, korupsi, dan keterputusan dari aspirasi rakyat9.

Jika tidak segera dibenahi, krisis ini dapat berimplikasi serius terhadap stabilitas sistem demokrasi, karena delegitimasi lembaga legislatif dapat mengundang munculnya alternatif populis atau otoritarian yang menjanjikan “efisiensi” di luar mekanisme parlemen.


Kesimpulan

Tantangan kekuasaan legislatif di era kontemporer bukan hanya bersifat internal, tetapi juga eksternal dan struktural. Diperlukan reformasi kelembagaan yang berkelanjutan, penguatan kapasitas legislator, partisipasi publik yang bermakna, serta sistem integritas yang ketat untuk memastikan agar lembaga legislatif tetap menjadi benteng demokrasi dan penegak kedaulatan rakyat.


Footnotes

[1]                Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (New Haven: Yale University Press, 2012), 130–138.

[2]                Edward Aspinall and Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta: PolGov UGM, 2015), 41–44.

[3]                Bivitri Susanti, “Masalah Kelembagaan dan Kualitas Legislasi di Indonesia,” Jurnal Konstitusi 14, no. 3 (2017): 554–573.

[4]                Tim KontraS, Telaah Kritis terhadap Proses Legislasi UU Cipta Kerja, (Jakarta: KontraS, 2021), 7–12.

[5]                Transparency International, Global Corruption Report 2021: Political Integrity, (Berlin: TI, 2021), 98–104.

[6]                Jeffrey A. Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 206–212.

[7]                Shane Martin, “Parliamentary Oversight and Legislative Capacity,” in The Oxford Handbook of Legislative Studies, ed. Martin, Saalfeld, and Strøm (Oxford: Oxford University Press, 2014), 297–314.

[8]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 95–102.

[9]                Edelman, Edelman Trust Barometer 2023: Navigating a Polarized World, https://www.edelman.com/trust/2023-trust-barometer (diakses 1 Juni 2025).


9.           Studi Kasus Komparatif

Untuk memahami dinamika kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan kontemporer, penting dilakukan studi komparatif terhadap praktik dan konfigurasi kelembagaan di berbagai negara. Studi ini memperlihatkan bahwa kekuasaan legislatif tidak bersifat seragam, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks historis, sistem pemerintahan, kekuatan partai politik, dan budaya politik. Tiga studi kasus berikut menyoroti variasi dan kompleksitas kekuasaan legislatif di negara demokrasi besar—Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris—yang masing-masing merepresentasikan sistem presidensial, parlementer, dan bentuk hibrida demokrasi konstitusional.

9.1.       Indonesia: Penguatan Legislatif Pasca-Reformasi

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia mengalami transformasi besar dalam konfigurasi kekuasaan legislatif. Amandemen UUD 1945 antara tahun 1999 hingga 2002 menegaskan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif yang independen dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang setara dengan presiden1. DPR juga diberikan sejumlah hak istimewa, seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Namun, penguatan konstitusional ini belum sepenuhnya diiringi oleh peningkatan efektivitas institusional. Beberapa evaluasi menunjukkan bahwa DPR masih menghadapi tantangan dalam kualitas legislasi, integritas anggota, dan dominasi partai dalam proses politik2. Meski demikian, DPR telah menjadi aktor penting dalam menginisiasi undang-undang strategis dan memainkan peran signifikan dalam pengawasan terhadap kebijakan eksekutif, seperti dalam penolakan terhadap RUU kontroversial maupun pembentukan panitia khusus hak angket dalam kasus-kasus besar.

9.2.       Amerika Serikat: Parlemen sebagai Pengimbang Kuat Eksekutif

Amerika Serikat menawarkan contoh ideal dari sistem presidensial murni, di mana Kongres sebagai lembaga legislatif terdiri atas dua kamar independen: House of Representatives dan Senate. Konstitusi AS (1787) secara eksplisit membatasi dan mendistribusikan kekuasaan antar cabang pemerintahan, dengan menempatkan Kongres sebagai pembentuk hukum dan pengontrol anggaran3. Sistem checks and balances memungkinkan Kongres untuk mengawasi presiden secara ketat, termasuk melalui proses impeachment, ratifikasi perjanjian internasional, dan persetujuan penunjukan pejabat tinggi negara.

Kekuatan legislatif AS juga terlihat dalam penggunaan hearings, committee investigations, dan kontrol terhadap lembaga eksekutif melalui pengaruh anggaran. Akan tetapi, sistem ini tidak bebas dari tantangan. Polarisasi partai yang ekstrem, khususnya antara Demokrat dan Republik, telah menyebabkan kebuntuan legislasi (gridlock) yang menghambat pengambilan keputusan nasional, terutama ketika presiden dan mayoritas legislatif berasal dari partai berbeda4.

9.3.       Inggris: Dominasi Eksekutif dalam Sistem Parlementer

Sebagai pelopor sistem parlementer, Parlemen Inggris secara historis merupakan simbol supremasi legislatif atas monarki. Dalam praktik kontemporer, kekuasaan legislatif dijalankan oleh House of Commons (majelis rendah) dan House of Lords (majelis tinggi), meskipun peran legislatif lebih dominan berada pada Commons yang dipilih melalui pemilu5. Dalam sistem parlementer, pemerintah (eksekutif) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga hubungan antara legislatif dan eksekutif sangat erat dan saling bergantung.

Meskipun secara teoritis parlemen memiliki kekuasaan tertinggi (parliamentary sovereignty), dalam praktiknya terdapat dominasi eksekutif yang kuat, terutama jika partai pemerintah memegang mayoritas besar. Perdana Menteri, sebagai pemimpin partai mayoritas, memiliki kontrol signifikan atas agenda legislatif, dan partai oposisi hanya memiliki ruang terbatas dalam proses legislasi. Hal ini sering dikritik sebagai bentuk "elective dictatorship" oleh akademisi seperti Lord Hailsham6.

Namun demikian, parlemen Inggris tetap menjaga tradisi deliberatif yang kuat, seperti melalui debates, select committees, dan sistem Prime Minister’s Questions (PMQs) yang memberikan ruang akuntabilitas langsung kepada kepala pemerintahan.

9.4.       Perbandingan Kritis

9.4.1.    Indonesia (Sistem Presidensial)

·                     Sistem Pemerintahan: Presidensial – Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat.

·                     Tipe Kelembagaan: Bikameral asimetris, terdiri dari DPR (kamar utama dengan kekuasaan legislatif penuh) dan DPD (kamar daerah dengan fungsi terbatas).

·                     Relasi dengan Eksekutif: Independen – Presiden dan DPR tidak saling bergantung dalam pembentukan atau pemberhentian jabatan.

·                     Mekanisme Pengawasan: DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat sebagai alat kontrol terhadap kebijakan pemerintah.

·                     Tantangan Utama:

þ Rendahnya partisipasi publik dalam legislasi.

þ Kualitas undang-undang yang belum konsisten.

þ Dominasi partai politik dalam agenda legislasi.

9.4.2.    Amerika Serikat (Sistem Presidensial)

·                     Sistem Pemerintahan: Presidensial – Presiden dan Kongres terpisah secara struktural dan fungsional.

·                     Tipe Kelembagaan: Bikameral simetris, terdiri dari House of Representatives dan Senate dengan kekuasaan yang setara dalam proses legislasi.

·                     Relasi dengan Eksekutif: Independen – Presiden tidak bergantung pada Kongres, tetapi kebijakan dan anggaran membutuhkan persetujuan legislatif.

·                     Mekanisme Pengawasan:

þ Impeachment untuk presiden dan pejabat tinggi.

þ Hearings dan investigasi parlemen oleh komite.

þ Ratifikasi perjanjian dan persetujuan penunjukan pejabat.

·                     Tantangan Utama:

þ Polarisasi partai yang ekstrem.

þ Kebuntuan kebijakan (legislative gridlock) ketika partai berbeda menguasai eksekutif dan legislatif.

9.4.3.    Inggris (Sistem Parlementer)

·                     Sistem Pemerintahan: Parlementer – Pemerintah dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen.

·                     Tipe Kelembagaan: Bikameral asimetris, terdiri dari House of Commons (lebih dominan) dan House of Lords (peran terbatas).

·                     Relasi dengan Eksekutif: Eksekutif berasal dari legislatif – Perdana Menteri adalah pemimpin partai mayoritas di House of Commons.

·                     Mekanisme Pengawasan:

þ Prime Minister’s Questions (PMQs) untuk akuntabilitas mingguan langsung.

þ Select Committees yang meneliti kebijakan pemerintah.

þ Debat dan voting di parlemen untuk evaluasi kebijakan.

·                     Tantangan Utama:

þ Dominasi partai mayoritas di parlemen yang mengurangi peran oposisi.

þ Risiko terjadinya “elective dictatorship” jika kontrol internal parlemen lemah.


Kesimpulan

Studi kasus di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan legislatif di berbagai negara berkembang secara berbeda tergantung pada desain konstitusional dan praktik politiknya. Meskipun terdapat perbedaan struktur dan relasi antar cabang kekuasaan, tantangan yang dihadapi relatif serupa: bagaimana meningkatkan kapasitas legislasi, memperkuat akuntabilitas, dan menjaga representasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Kajian komparatif ini penting sebagai bahan refleksi dalam memperkuat lembaga legislatif di negara-negara demokratis, khususnya dalam menghadapi kompleksitas abad ke-21.


Footnotes

[1]                Tim Lindsey dan Simon Butt, The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis (Oxford: Hart Publishing, 2012), 64–70.

[2]                Bivitri Susanti, “Kinerja DPR: Antara Fungsi Representasi dan Agenda Partisan,” Jurnal Konstitusi 14, no. 3 (2017): 551–572.

[3]                Donald A. Ritchie, Congress and the Nation: 2009–2012 (Washington, DC: CQ Press, 2014), 15–23.

[4]                Thomas E. Mann dan Norman J. Ornstein, It’s Even Worse Than It Looks: How the American Constitutional System Collided with the New Politics of Extremism (New York: Basic Books, 2012), 56–63.

[5]                Philip Norton, The British Polity, 5th ed. (New York: Longman, 2010), 127–134.

[6]                Lord Hailsham, The Dilemma of Democracy: Diagnosis and Prescription (London: Collins, 1978), 126.


10.       Penutup

Kekuasaan legislatif memainkan peran yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan modern sebagai pilar utama demokrasi konstitusional. Sebagai institusi pembentuk hukum, pengawas jalannya pemerintahan, dan representasi rakyat, lembaga legislatif menjadi cermin dari prinsip kedaulatan rakyat serta sarana utama untuk menjaga keseimbangan dan pembatasan kekuasaan (checks and balances). Fungsi dan kewenangan legislatif telah berkembang secara historis dari lembaga penasihat raja dalam sistem monarki feodal menjadi pusat deliberasi dan pengambilan keputusan dalam negara demokrasi modern1.

Seiring perjalanan waktu, lembaga legislatif mengalami berbagai dinamika. Di satu sisi, terjadi peningkatan peran legislatif dalam memperkuat proses demokratisasi, terutama di negara-negara pasca-otoritarian seperti Indonesia, di mana amandemen konstitusi telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam legislasi, anggaran, dan pengawasan2. Di sisi lain, lembaga ini juga menghadapi tantangan serius, seperti fragmentasi kepartaian, rendahnya kualitas legislasi, korupsi, serta minimnya partisipasi publik dalam proses hukum. Fenomena ini tidak hanya menghambat kinerja legislatif, tetapi juga berkontribusi terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini3.

Studi komparatif atas sistem ketatanegaraan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan struktur dan sistem pemerintahan, terdapat kesamaan tantangan: bagaimana memastikan lembaga legislatif tetap menjadi saluran representasi rakyat yang efektif, akuntabel, dan responsif terhadap perubahan zaman. Di Amerika Serikat, kekuatan legislatif dibatasi oleh polarisasi partai yang tajam. Di Inggris, parlemen menghadapi dominasi eksekutif melalui kontrol partai mayoritas. Di Indonesia, proses legislasi masih sering dikritik karena tertutup dan elitis4.

Dalam konteks demokrasi kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial, kemajuan teknologi, dan tantangan global seperti perubahan iklim, konflik geopolitik, serta krisis kepercayaan terhadap institusi negara, kekuasaan legislatif dituntut untuk lebih adaptif dan inklusif. Legislatif harus mampu membuka ruang deliberatif yang sejati, meningkatkan transparansi proses hukum, serta memperkuat kapasitas kelembagaan untuk menghasilkan regulasi yang berkualitas dan berpihak pada kepentingan umum5.

Ke depan, penguatan kekuasaan legislatif bukan sekadar persoalan teknis kelembagaan, melainkan bagian dari agenda besar pembangunan demokrasi yang berkelanjutan. Dibutuhkan sinergi antara reformasi hukum, pendidikan politik, penguatan masyarakat sipil, dan inovasi teknologi informasi untuk menciptakan legislatif yang tidak hanya kuat secara konstitusional, tetapi juga legitimate di mata rakyat. Hanya dengan demikian, kekuasaan legislatif dapat benar-benar menjalankan perannya sebagai pengawal demokrasi, penjaga keadilan, dan perumus kebijakan publik yang beradab dan berorientasi jangka panjang.


Footnotes

[1]                Philip Norton, Parliaments and Governments in Western Europe (London: Frank Cass, 1990), 3–5.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 143–146.

[3]                Transparency International, Global Corruption Report 2021: Political Integrity (Berlin: TI, 2021), 99–104.

[4]                Thomas E. Mann dan Norman J. Ornstein, It’s Even Worse Than It Looks: How the American Constitutional System Collided with the New Politics of Extremism (New York: Basic Books, 2012), 56–63; Lord Hailsham, The Dilemma of Democracy (London: Collins, 1978), 126; Bivitri Susanti, “Masalah Kelembagaan dan Kualitas Legislasi di Indonesia,” Jurnal Konstitusi 14, no. 3 (2017): 554–573.

[5]                Cristina Leston-Bandeira dan Sven T. Siefken, Parliaments and Citizens: Engagement in the Digital Era (London: Routledge, 2023), 34–42.


Daftar Pustaka

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press.

Aspinall, E., & Sukmajati, M. (Eds.). (2015). Politik uang di Indonesia: Patronase dan klientelisme pada Pemilu legislatif 2014. PolGov UGM.

Bogdanor, V. (2009). The new British constitution. Hart Publishing.

Carothers, T. (2006). Confronting the weakest link: Aiding political parties in new democracies. Carnegie Endowment for International Peace.

Crouch, H. (2010). Political reform in Indonesia after Soeharto. ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Davidson, R. H., Oleszek, W. J., Lee, F. E., & Schickler, E. (2014). Congress and its members (16th ed.). CQ Press.

Doyle, W. (2002). The Oxford history of the French Revolution (2nd ed.). Oxford University Press.

Edelman. (2023). Edelman trust barometer 2023: Navigating a polarized world. https://www.edelman.com/trust/2023-trust-barometer

Elgie, R. (2011). Semi-presidentialism: Subtypes and democratic performance. Oxford University Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Hailsham, Q. (1978). The dilemma of democracy: Diagnosis and prescription. Collins.

Holt, J. C. (1992). Magna Carta (2nd ed.). Cambridge University Press.

Indonesia. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82.

Indonesia. (2019). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 183.

Kelsen, H. (1961). General theory of law and state (A. Wedberg, Trans.). Russell & Russell.

Leston-Bandeira, C., & Siefken, S. T. (2023). Parliaments and citizens: Engagement in the digital era. Routledge.

Lijphart, A. (1992). Parliamentary versus presidential government. Oxford University Press.

Lijphart, A. (2012). Patterns of democracy: Government forms and performance in thirty-six countries (2nd ed.). Yale University Press.

Lindsey, T., & Butt, S. (2012). The Constitution of Indonesia: A contextual analysis. Hart Publishing.

Mainwaring, S., & Shugart, M. S. (1997). Presidentialism and democracy in Latin America. Cambridge University Press.

Mann, T. E., & Ornstein, N. J. (2012). It’s even worse than it looks: How the American constitutional system collided with the new politics of extremism. Basic Books.

Martin, S. (2014). Parliamentary oversight and legislative capacity. In S. Martin, T. Saalfeld, & K. Strøm (Eds.), The Oxford handbook of legislative studies (pp. 297–314). Oxford University Press.

Montesquieu. (1989). The spirit of the laws (A. M. Cohler, B. C. Miller, & H. S. Stone, Trans.). Cambridge University Press.

Norton, P. (1990). Parliaments and governments in Western Europe. Frank Cass.

Norton, P. (2010). The British polity (5th ed.). Longman.

OECD. (2020). Innovative citizen participation and new democratic institutions: Catching the deliberative wave. OECD Publishing.

Ritchie, D. A. (2014). Congress and the nation: 2009–2012. CQ Press.

Russell, M. (2013). The contemporary House of Lords: Westminster bicameralism revived. Oxford University Press.

Saalfeld, T. (2014). Political parties and legislative organization. In S. Martin, T. Saalfeld, & K. Strøm (Eds.), The Oxford handbook of legislative studies (pp. 371–388). Oxford University Press.

Sartori, G. (1987). The theory of democracy revisited: Vol. 1. The contemporary debate. Chatham House.

Saunders, C. (1998). The role of the legislature in a democracy. Public Law Review, 9(2), 87–92.

Shiraishi, T. (1997). Zaman bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926. Grafiti.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Susanti, B. (2017). Masalah kelembagaan dan kualitas legislasi di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 14(3), 554–573.

Thomas, P. G. (2006). Why is performance accountability so elusive? Canadian Public Administration, 49(2), 165–190.

Tim KontraS. (2021). Telaah kritis terhadap proses legislasi UU Cipta Kerja. KontraS.

Transparency International. (2021). Global corruption report 2021: Political integrity. Transparency International.

Wehner, J. (2006). Legislatures and the budget process: The myth of fiscal control. Palgrave Macmillan.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). (2021). Laporan evaluasi proses legislasi Omnibus Law Cipta Kerja.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar