Kompetensi Guru
Pilar Profesionalisme dalam Pendidikan Abad 21
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pentingnya
kompetensi guru sebagai fondasi utama dalam peningkatan kualitas pendidikan,
khususnya dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Berangkat dari regulasi
nasional seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 16
Tahun 2007, artikel ini membedah empat dimensi utama kompetensi guru—pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional—serta menelaah dinamika dan tantangan
dalam pengembangannya. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi strategi-strategi
penguatan kompetensi, mulai dari pengembangan profesional berkelanjutan,
pemanfaatan teknologi digital, hingga kolaborasi dengan LPTK dan mitra
internasional. Dengan mengadopsi perspektif global melalui studi kasus dari
negara-negara seperti Finlandia, Singapura, dan Jepang, artikel ini menyoroti
pentingnya kompetensi guru dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik,
membangun budaya sekolah yang positif, dan mencapai tujuan pendidikan nasional.
Penutup artikel menekankan bahwa penguatan kompetensi guru bukan hanya tanggung
jawab individu, tetapi juga agenda strategis nasional yang menentukan arah masa
depan pendidikan Indonesia.
Kata Kunci: Kompetensi guru, profesionalisme, pendidikan abad
21, kualitas pendidikan, pengembangan profesional berkelanjutan, Kurikulum
Merdeka, kebijakan pendidikan, pendidikan global.
PEMBAHASAN
Urgensi Kualitas Guru dalam Transformasi Pendidikan
1.
Pendahuluan
Guru merupakan
komponen sentral dalam sistem pendidikan yang menentukan arah dan kualitas
proses pembelajaran di sekolah. Peran guru tidak hanya terbatas pada penyampai
pengetahuan, tetapi juga sebagai fasilitator, motivator, pembimbing, dan
teladan yang membentuk karakter serta kompetensi peserta didik. Dalam konteks
pendidikan abad ke-21 yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan globalisasi, tuntutan terhadap kualitas dan profesionalisme guru
menjadi semakin kompleks dan mendesak.
Di Indonesia,
urgensi peningkatan kompetensi guru telah menjadi perhatian utama dalam
berbagai kebijakan pendidikan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyebutkan bahwa guru harus memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kompetensi yang dimaksud mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial,
dan profesional yang harus dimiliki secara terpadu oleh setiap guru sebagai
tenaga profesional dalam pendidikan formal.¹
Namun, dalam
praktiknya, tantangan terhadap kompetensi guru masih signifikan. Hasil Uji
Kompetensi Guru (UKG) nasional menunjukkan bahwa banyak guru belum mencapai
standar minimal yang diharapkan dalam penguasaan materi maupun strategi
pembelajaran.² Hal ini diperparah oleh ketimpangan akses terhadap pelatihan
yang bermutu, kurangnya pendampingan profesional, dan masih rendahnya budaya
refleksi dalam komunitas guru.³
Di tengah perubahan
sosial dan teknologi yang cepat, guru dituntut untuk mampu beradaptasi dengan
pendekatan pembelajaran yang berbasis kompetensi, kolaboratif, serta
memanfaatkan teknologi informasi secara efektif. Pendidikan berbasis abad ke-21
menekankan pada keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikasi, dan
kolaborasi (4C), yang kesemuanya menuntut peran guru sebagai pendidik yang
tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga visioner dan inovatif.⁴
Oleh karena itu,
pembahasan tentang kompetensi guru menjadi sangat penting untuk dikaji secara
komprehensif. Tidak hanya untuk menegaskan kembali standar yang harus dimiliki
oleh seorang guru profesional, tetapi juga untuk mengidentifikasi tantangan dan
strategi pengembangan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Artikel
ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis berbagai aspek kompetensi
guru, sekaligus menyajikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat
profesionalisme guru di era global.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Pasal 10.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hasil Uji Kompetensi Guru
Nasional Tahun 2019, Pusat Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud,
2020).
[3]
Lantip Diat Prasojo dan Sudarwan Danim, Profesionalisme Guru dan
Implementasi Kurikulum 2013 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 72–74.
[4]
Trilling, Bernie dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 45.
2.
Konsep Kompetensi Guru
Secara etimologis,
istilah “kompetensi” berasal dari bahasa Latin competentia, yang berarti
kewenangan atau kemampuan. Dalam konteks profesional, kompetensi merujuk pada
seperangkat pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang harus dimiliki
oleh seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu secara efektif dan bertanggung
jawab. Menurut Spencer dan Spencer (1993), kompetensi adalah karakteristik
dasar seseorang yang berkaitan secara langsung dengan kinerja unggul dalam
suatu pekerjaan.¹
Dalam ranah
pendidikan, kompetensi guru tidak hanya berarti kemampuan mengajar, tetapi
melibatkan kemampuan pedagogis, etika profesional, relasi sosial, dan
penguasaan substansi keilmuan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan kompetensi guru sebagai “seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.”² Definisi ini
menegaskan bahwa kompetensi guru bersifat integratif, bukan sekadar teknis, dan
mencakup tiga domain utama dalam taksonomi Bloom: kognitif (pengetahuan),
afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan).
Kementerian
Pendidikan Nasional melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16
Tahun 2007 mengelompokkan kompetensi guru ke dalam empat dimensi utama, yaitu:
(1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial,
dan (4) kompetensi profesional.³ Masing-masing kompetensi ini bersifat
komplementer, saling melengkapi, dan tidak dapat dipisahkan dalam praktik
pendidikan.
Pentingnya
kompetensi guru juga ditegaskan dalam berbagai kajian internasional. Laporan OECD
Education and Training Policy menunjukkan bahwa kualitas guru
adalah faktor paling berpengaruh terhadap pencapaian siswa di sekolah, bahkan lebih
besar daripada faktor kurikulum atau fasilitas.⁴ Oleh karena itu, banyak negara
maju, seperti Finlandia dan Singapura, menempatkan pengembangan kompetensi guru
sebagai strategi utama dalam reformasi pendidikan mereka.
Selain itu, dalam
perspektif kontemporer, kompetensi guru juga harus mencakup kemampuan adaptive
expertise, yakni kesiapan untuk belajar, mengubah strategi
pembelajaran sesuai konteks, serta memanfaatkan teknologi informasi untuk
mendukung proses belajar yang lebih personal, interaktif, dan bermakna.⁵
Dengan demikian,
konsep kompetensi guru harus dipahami secara utuh sebagai kombinasi antara
keahlian profesional, tanggung jawab etis, kecakapan sosial, dan orientasi
belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Guru abad ke-21 tidak cukup hanya
menguasai materi pelajaran, tetapi juga harus mampu mengelola proses
pembelajaran yang responsif, reflektif, dan inovatif.
Footnotes
[1]
Spencer, Lyle M., and Signe M. Spencer. Competence at Work: Models
for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, 1993.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Pasal 1 Ayat 10.
[3]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Lampiran.
[4]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Teachers
Matter: Attracting, Developing and Retaining Effective Teachers (Paris:
OECD Publishing, 2005), 19.
[5]
Darling-Hammond, Linda et al. Preparing Teachers for a Changing
World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco:
Jossey-Bass, 2005), 88–89.
3.
Empat Pilar Kompetensi Guru
Kompetensi guru
sebagai pilar profesionalisme dalam pendidikan dirumuskan secara resmi dalam Permendiknas
No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru. Regulasi ini mengelompokkan kompetensi guru ke dalam empat
domain utama yang bersifat integratif dan komplementer, yaitu: kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional.¹
Keempat aspek ini menjadi fondasi bagi guru untuk menjalankan tugasnya secara
efektif, etis, dan berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran.
3.1.
Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik
merujuk pada kemampuan guru dalam memahami karakteristik peserta didik,
merancang pembelajaran yang mendidik, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi
hasil belajar, dan mengembangkan potensi siswa secara optimal.² Guru dituntut
untuk mampu menerapkan pendekatan pembelajaran yang bervariasi, berbasis
konteks, serta mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang kultural siswa.
Di era digital,
kompetensi pedagogik juga mencakup penguasaan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan tuntutan
Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pembelajaran berdiferensiasi dan
pengembangan kompetensi abad 21.³ Guru bukan lagi sekadar penyampai informasi,
melainkan fasilitator dan desainer pengalaman belajar yang kontekstual dan
bermakna.
3.2.
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi
kepribadian berkaitan dengan integritas moral, kemandirian, etos kerja, dan
kematangan emosi guru.⁴ Guru harus menjadi teladan dalam bersikap, berbicara,
dan bertindak, baik di dalam maupun di luar kelas. Kepribadian guru yang kuat
akan menciptakan suasana belajar yang positif, aman, dan penuh penghargaan.
Aspek ini sangat
penting karena menyangkut kepercayaan masyarakat dan peserta didik terhadap
profesi guru. Guru dengan kepribadian yang kokoh tidak mudah terpengaruh oleh
tekanan eksternal dan mampu menjaga profesionalisme meskipun menghadapi
tantangan yang kompleks dalam dunia pendidikan.⁵
3.3.
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial
mencakup kemampuan guru untuk berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan
siswa, rekan sejawat, orang tua, dan masyarakat. Guru harus memiliki kepekaan
sosial dan keterampilan interpersonal yang tinggi untuk membangun relasi yang
harmonis dan kolaboratif.⁶
Dalam konteks
keberagaman budaya, bahasa, dan agama di Indonesia, guru harus mampu
menunjukkan sikap toleran dan menghargai perbedaan. Guru juga perlu aktif dalam
komunitas sekolah dan menjadi bagian dari jejaring pembelajaran profesional
agar tercipta ekosistem pendidikan yang suportif.
3.4.
Kompetensi Profesional
Kompetensi
profesional mengacu pada penguasaan materi pelajaran secara mendalam dan luas,
termasuk metodologi keilmuannya, serta penguasaan terhadap struktur dan konsep
dasar keilmuan tersebut.⁷ Guru dituntut untuk terus mengembangkan diri melalui
kegiatan penelitian, pelatihan, dan praktik reflektif agar mampu mengikuti
dinamika keilmuan dan kebutuhan peserta didik.
Selain itu, guru
profesional juga harus mampu mengembangkan perangkat ajar, melakukan asesmen
pembelajaran, serta merefleksikan praktiknya secara berkelanjutan (reflective
teaching). Dalam kerangka pendidikan global, kompetensi ini menuntut guru untuk
menjadi pembelajar sepanjang hayat yang terbuka terhadap inovasi dan pembaruan
pedagogik.⁸
Dengan memahami dan
mengimplementasikan keempat pilar kompetensi tersebut, guru dapat menjalankan
peran strategisnya sebagai agen perubahan, pelaku transformasi sosial, dan
penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan. Kompetensi guru bukan hanya
sebuah kewajiban profesional, tetapi juga panggilan etis dalam membentuk masa
depan bangsa melalui pendidikan yang bermutu.
Footnotes
[1]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Lampiran.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Pasal 10 Ayat (1).
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 16–18.
[4]
Lestari, Sri dan Rochmadi, Etika Profesi Guru (Yogyakarta:
Deepublish, 2020), 45.
[5]
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan
Kualitas Guru di Era Global (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 88.
[6]
Hargreaves, Andy, Teaching in the Knowledge Society: Education in
the Age of Insecurity (New York: Teachers College Press, 2003), 121–123.
[7]
Darling-Hammond, Linda et al., Preparing Teachers for a Changing
World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco:
Jossey-Bass, 2005), 44.
[8]
OECD, The Future of Education and Skills: Education 2030 Framework
(Paris: OECD Publishing, 2018), 27.
4.
Dinamika dan Tantangan Pengembangan Kompetensi
Guru
Pengembangan
kompetensi guru merupakan proses berkelanjutan yang sangat dipengaruhi oleh
dinamika kebijakan, kondisi sosial-ekonomi, budaya sekolah, serta perkembangan
teknologi informasi. Di satu sisi, tuntutan terhadap profesionalisme guru
semakin meningkat seiring dengan transformasi kurikulum, digitalisasi
pembelajaran, dan harapan masyarakat terhadap layanan pendidikan yang
berkualitas. Di sisi lain, masih terdapat berbagai tantangan struktural dan
kultural yang menghambat optimalisasi pengembangan kompetensi guru secara
merata dan berkesinambungan.
4.1.
Tantangan Struktural
Salah satu kendala
utama dalam pengembangan kompetensi guru adalah ketimpangan akses terhadap
pelatihan yang bermutu. Sebagian besar pelatihan masih bersifat sentralistik,
dengan pendekatan top-down yang kurang mempertimbangkan kebutuhan kontekstual
guru di daerah. Hal ini berdampak pada rendahnya relevansi dan efektivitas
pelatihan dalam meningkatkan kinerja pembelajaran di kelas.¹
Selain itu, beban
administratif yang tinggi turut menghambat waktu dan energi guru untuk berfokus
pada pengembangan diri. Laporan World Bank tahun 2020 menunjukkan bahwa guru di
Indonesia menghabiskan proporsi waktu yang cukup besar untuk mengisi dokumen
dan laporan administratif, yang tidak berkontribusi langsung pada pembelajaran
siswa.² Beban ini sering kali memperlemah semangat guru dalam mengikuti
pelatihan lanjutan atau kegiatan reflektif.
4.2.
Tantangan Kultural
Dari sisi budaya
kerja, masih ditemukan resistensi terhadap perubahan di kalangan sebagian guru,
terutama dalam menerima inovasi pembelajaran dan penggunaan teknologi digital.³
Budaya belajar berkelanjutan atau lifelong learning belum
terinternalisasi secara luas dalam komunitas pendidikan. Banyak guru mengikuti
pelatihan hanya untuk memenuhi syarat administratif, bukan karena dorongan
intrinsik untuk meningkatkan kualitas pengajaran.
Kebiasaan berbagi
praktik baik, diskusi reflektif, dan kolaborasi profesional juga belum menjadi
budaya dominan di banyak satuan pendidikan. Padahal, menurut Hargreaves dan
Fullan, budaya kolaboratif di antara guru merupakan fondasi penting bagi
peningkatan kualitas sekolah dan pengembangan profesional yang berkelanjutan.⁴
4.3.
Tantangan Teknologis
dan Literasi Digital
Di era transformasi
digital, kompetensi literasi digital menjadi kebutuhan utama guru. Namun,
survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa
sebagian besar guru di Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam mengakses, mengadaptasi,
dan memanfaatkan teknologi secara efektif dalam pembelajaran daring maupun
luring.⁵ Kesenjangan digital, terutama antara daerah urban dan rural,
memperparah kondisi ini.
Kurangnya pelatihan
teknologi yang aplikatif dan berkelanjutan menyebabkan banyak guru merasa asing
atau tidak percaya diri dalam mengintegrasikan teknologi secara kreatif dan
pedagogis. Padahal, penguasaan teknologi merupakan bagian penting dari
kompetensi pedagogik dan profesional di abad 21.
4.4.
Evaluasi dan
Standarisasi Kompetensi
Instrumen evaluasi
kompetensi guru seperti Uji Kompetensi Guru (UKG) dan Asesmen
Kompetensi Minimum (AKM) guru sejauh ini masih menghadapi
tantangan metodologis dan implementatif. UKG, misalnya, dinilai belum
sepenuhnya mencerminkan kompleksitas kompetensi guru yang sesungguhnya di ruang
kelas.⁶ Selain itu, tindak lanjut hasil evaluasi sering kali tidak disertai
dengan program pembinaan yang tepat sasaran.
Hal ini menunjukkan
perlunya reformulasi strategi penilaian kompetensi guru yang lebih holistik dan
berbasis praktik nyata, bukan semata pengukuran kognitif. Evaluasi seharusnya
menjadi bagian dari pembelajaran reflektif dan perencanaan pengembangan yang
bersifat individual maupun institusional.
Kesimpulan
Sementara
Dinamika
pengembangan kompetensi guru mencerminkan tantangan sistemik yang membutuhkan
pendekatan strategis dan kolaboratif. Penguatan ekosistem pendidikan, dukungan
kebijakan yang adaptif, serta perubahan budaya profesional menjadi kunci untuk
menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Tanpa perhatian serius terhadap
dimensi struktural, kultural, dan teknologi, pengembangan kompetensi guru akan
berjalan stagnan dan jauh dari harapan reformasi pendidikan nasional.
Footnotes
[1]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pelatih Guru, Lampiran I.
[2]
World Bank, Teacher Reform in Indonesia: The Role of Politics and
Evidence in Policy Making (Jakarta: World Bank Office, 2020), 22–23.
[3]
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(PPPPTK), Laporan Evaluasi Pelatihan Guru dalam Jaringan Tahun 2020
(Jakarta: Kemendikbud, 2021), 11–12.
[4]
Hargreaves, Andy, and Michael Fullan. Professional Capital: Transforming
Teaching in Every School (New York: Teachers College Press, 2012), 102.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Guru Indonesia Tahun
2020 (Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemendikbud, 2021), 37.
[6]
Direktorat Jenderal GTK, Refleksi Pelaksanaan Uji Kompetensi Guru
Nasional (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 9–10.
5.
Strategi Penguatan Kompetensi Guru
Penguatan kompetensi
guru memerlukan strategi yang sistematis, berkelanjutan, dan berbasis kebutuhan
nyata di lapangan. Dalam konteks pendidikan nasional dan global, berbagai
pendekatan telah dikembangkan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru
secara menyeluruh. Strategi-strategi ini tidak hanya mencakup pelatihan formal,
tetapi juga transformasi budaya kerja, penguatan komunitas profesional, serta
pemanfaatan teknologi secara adaptif.
5.1.
Pengembangan
Profesional Berkelanjutan (Continuous Professional Development/CPD)
Konsep Continuous
Professional Development (CPD) menekankan pentingnya pembelajaran
sepanjang hayat bagi guru. CPD mencakup berbagai bentuk kegiatan seperti
pelatihan, lokakarya, seminar, supervisi klinis, studi lanjut, dan kegiatan
reflektif berbasis praktik.¹
Di Indonesia, CPD
diakomodasi dalam program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program ini
bertujuan memberikan ruang bagi guru untuk meningkatkan kompetensi sesuai hasil
penilaian kinerja dan kebutuhan individu.² Namun, pelaksanaan CPD harus
disesuaikan dengan konteks lokal agar tidak menjadi beban administratif semata,
melainkan benar-benar meningkatkan kapabilitas profesional guru.
5.2.
Penguatan Komunitas
Belajar Guru (KKG/MGMP/Komunitas Praktisi)
Komunitas guru
seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan wadah penting untuk
penguatan kompetensi secara kolaboratif. Dalam komunitas ini, guru dapat
berbagi praktik baik, mendiskusikan masalah pembelajaran, serta menyusun
perangkat ajar secara kolektif.³
Model Professional
Learning Community (PLC) yang diterapkan di negara-negara maju
telah terbukti efektif meningkatkan mutu guru melalui kolaborasi
berkelanjutan.⁴ Dalam konteks Indonesia, penguatan komunitas ini harus diiringi
dengan pelatihan fasilitator, insentif, serta dukungan sumber daya agar dapat
berfungsi optimal sebagai pusat pembelajaran profesional.
5.3.
Pemanfaatan Teknologi
dan Platform Digital
Digitalisasi
pendidikan membuka peluang baru bagi penguatan kompetensi guru melalui platform
daring seperti SIMPKB, Guru
Belajar & Berbagi, Merdeka Mengajar, dan berbagai
Learning Management System (LMS). Platform ini menyediakan konten pelatihan
yang fleksibel, mandiri, dan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran modern.⁵
Selain pelatihan
daring, teknologi juga dapat digunakan untuk pengembangan e-portfolio,
dokumentasi praktik mengajar, dan refleksi kinerja. Namun, pemanfaatan
teknologi perlu diimbangi dengan peningkatan literasi digital serta
pendampingan agar tidak menciptakan kesenjangan akses bagi guru di daerah
tertinggal.⁶
5.4.
Kolaborasi dengan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Mitra Internasional
Kerja sama antara
sekolah, LPTK, dan lembaga mitra seperti UNESCO, SEAMEO, atau lembaga donor
pendidikan internasional menjadi strategi penting dalam mengembangkan model
pelatihan guru berbasis riset dan kebutuhan nyata.⁷ Kolaborasi ini dapat
memperkuat proses rekrutmen, pelatihan awal, dan pelatihan dalam jabatan yang
lebih kontekstual dan inovatif.
Sebagai contoh,
program Pendidikan Profesi Guru (PPG)
yang diselenggarakan oleh LPTK telah menjadi komponen penting dalam sertifikasi
guru, meskipun perlu penguatan dalam aspek praktik lapangan dan mentoring.⁸
5.5.
Reformasi Kebijakan
dan Insentif Profesional
Agar strategi
penguatan kompetensi berdampak jangka panjang, dibutuhkan dukungan regulasi
yang konsisten serta sistem insentif yang mendorong motivasi intrinsik dan
pertumbuhan profesional. Kebijakan berbasis kinerja (performance-based policy)
dapat mendorong guru untuk lebih aktif mengembangkan diri, dengan tetap
mempertimbangkan prinsip keadilan dan keberpihakan pada daerah 3T (tertinggal,
terdepan, dan terluar).⁹
Pengakuan terhadap
guru sebagai profesional juga harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan,
stabilitas kerja, dan otonomi dalam pengambilan keputusan pembelajaran di
kelas. Guru yang dihargai secara moral dan material akan lebih termotivasi
untuk meningkatkan kompetensinya secara mandiri.
Kesimpulan
Sementara
Penguatan kompetensi
guru tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan pendekatan menyeluruh yang
mencakup aspek individual, institusional, dan sistemik. Kombinasi antara
pelatihan berkelanjutan, kolaborasi profesional, integrasi teknologi, dan
dukungan kebijakan akan menjadi jalan strategis untuk membentuk guru yang
adaptif, reflektif, dan inovatif—sesuai dengan tantangan pendidikan abad 21.
Footnotes
[1]
Evans, Linda. Professionalism and Professional Development in
Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 37–38.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan bagi Guru, edisi 2021 (Jakarta: Kemendikbud,
2021), 12.
[3]
Suryosubroto, B. Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010), 101.
[4]
DuFour, Richard et al. Learning by Doing: A Handbook for
Professional Learning Communities at Work (Bloomington: Solution Tree
Press, 2016), 22.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Pemetaan
Digitalisasi Guru (Jakarta: Pusdatin, 2021), 17.
[6]
UNESCO, ICT in Education: A Critical Literature Review and Its
Implications (Paris: UNESCO Institute for Statistics, 2019), 9.
[7]
OECD, Supporting Teacher Professionalism: Insights from TALIS 2013
(Paris: OECD Publishing, 2016), 53.
[8]
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Evaluasi PPG
dalam Jabatan (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 14–15.
[9]
World Bank, Transforming the Teaching Profession in Indonesia: A
Policy Brief (Jakarta: World Bank Office, 2021), 7–8.
6.
Kompetensi Guru dalam Perspektif Global
Dalam lanskap
pendidikan global, kompetensi guru merupakan salah satu determinan utama
kualitas pembelajaran dan pencapaian peserta didik. Negara-negara dengan sistem
pendidikan yang unggul menempatkan pengembangan kompetensi guru sebagai inti
dari reformasi pendidikan mereka. Standar kompetensi guru dikembangkan bukan
hanya untuk memenuhi kualifikasi profesional, tetapi juga untuk mendorong
inovasi, otonomi, dan kolaborasi dalam praktik pendidikan.
6.1.
Standar Internasional
Kompetensi Guru
Berbagai lembaga
internasional telah merumuskan kerangka kerja kompetensi guru yang dapat
dijadikan acuan global. Salah satunya adalah InTASC Model Core Teaching Standards
(Interstate Teacher Assessment and Support Consortium) yang dikembangkan oleh Council
of Chief State School Officers di Amerika Serikat. Standar ini
mencakup sepuluh kompetensi inti, antara lain: memahami perkembangan peserta
didik, mengelola lingkungan belajar, penguasaan materi, perencanaan
pembelajaran, penggunaan asesmen, dan refleksi profesional.¹
Selain itu, UNESCO
juga mengembangkan ICT Competency Framework for Teachers (ICT-CFT)
yang menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam pembelajaran dan peran
guru sebagai agen perubahan dalam era digital.² Standar ini diadopsi dalam
berbagai pelatihan guru di negara berkembang sebagai bagian dari strategi
peningkatan kualitas pendidikan berbasis TIK.
6.2.
Praktik Terbaik dari
Negara-Negara Maju
Beberapa negara
seperti Finlandia, Singapura, dan Jepang sering dijadikan rujukan dalam
pengembangan kompetensi guru karena keberhasilan mereka dalam menciptakan
ekosistem pendidikan yang unggul.
·
Finlandia
menempatkan guru sebagai profesi elit dengan seleksi masuk LPTK yang sangat
ketat dan program pendidikan guru berbasis riset selama lima tahun. Guru diberi
otonomi tinggi dalam menyusun kurikulum dan pendekatan pembelajaran, yang
didukung oleh budaya refleksi dan kolaborasi.³
·
Singapura
menerapkan sistem Career Ladder yang memungkinkan guru berkembang
melalui jalur spesialis, kepemimpinan, atau pengajaran. Guru menerima pelatihan
berkelanjutan yang dirancang oleh National Institute of Education (NIE)
yang terintegrasi dengan kebijakan nasional.⁴
·
Jepang
mengembangkan budaya jugyou kenkyuu atau lesson study, di mana guru
secara kolektif merancang, mengamati, dan merefleksikan proses pembelajaran.
Kegiatan ini mendorong pembelajaran sejawat dan peningkatan profesional yang
sistematis.⁵
Ketiga negara
tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan penguatan kompetensi guru tidak hanya
bergantung pada pelatihan teknis, tetapi juga pada penghargaan terhadap profesi
guru, kejelasan karier, dan budaya belajar kolektif.
6.3.
Implikasi bagi
Indonesia
Meskipun konteks
sosial dan budaya Indonesia berbeda, prinsip-prinsip dasar dari praktik global
tersebut relevan untuk diadaptasi. Kebutuhan akan guru yang tidak hanya
terampil secara teknis, tetapi juga reflektif, inovatif, dan kolaboratif,
menjadi semakin mendesak di tengah tuntutan Kurikulum Merdeka dan transformasi
digital.
Pemerintah Indonesia
dapat mengadopsi pendekatan berbasis kompetensi dan refleksi profesional dalam
pelatihan guru, memperkuat otonomi dan akuntabilitas guru, serta menciptakan
jalur karier yang transparan dan progresif. Selain itu, kerja sama
internasional perlu diperluas, baik melalui pertukaran guru, pengembangan
kurikulum bersama, maupun riset kolaboratif lintas negara.
Kesimpulan
Sementara
Kompetensi guru
dalam perspektif global menuntut adanya keseimbangan antara penguasaan teknis,
pembelajaran reflektif, dan kolaborasi profesional. Praktik dari negara-negara
maju menunjukkan bahwa keberhasilan penguatan kompetensi guru bertumpu pada
kebijakan yang terintegrasi, budaya profesional yang kuat, serta investasi jangka
panjang dalam kualitas guru. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari
pengalaman tersebut dan mengadaptasikannya secara kontekstual demi memperkuat
daya saing pendidikan nasional.
Footnotes
[1]
Council of Chief State School Officers, InTASC Model Core Teaching
Standards: A Resource for State Dialogue (Washington, DC: CCSSO, 2011),
7–18.
[2]
UNESCO, ICT Competency Framework for Teachers Version 3
(Paris: UNESCO, 2018), 4–6.
[3]
Sahlberg, Pasi. Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2015),
89–90.
[4]
Tan, Charlene, Education Policy Borrowing in China: Looking West or
Looking East? (New York: Routledge, 2016), 63–64.
[5]
Lewis, Catherine. Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led
Instructional Change (Philadelphia: Research for Better Schools, 2002),
22–24.
7.
Implikasi Kompetensi Guru terhadap Kualitas
Pendidikan
Kompetensi guru
memiliki hubungan kausal yang signifikan terhadap kualitas pendidikan secara
keseluruhan. Sebagai ujung tombak dalam proses pembelajaran, guru yang kompeten
mampu menciptakan pengalaman belajar yang efektif, bermakna, dan transformatif
bagi peserta didik. Implikasi dari penguasaan kompetensi guru tidak hanya
tercermin dalam capaian akademik siswa, tetapi juga dalam terbentuknya
karakter, keterampilan hidup, dan kesiapan mereka menghadapi tantangan abad 21.
7.1.
Dampak terhadap Hasil
Belajar Siswa
Penelitian global
menunjukkan bahwa kualitas guru adalah faktor paling berpengaruh terhadap
prestasi belajar siswa di sekolah, bahkan lebih besar dibanding faktor
kurikulum atau lingkungan fisik sekolah.¹ Guru yang menguasai kompetensi
pedagogik dan profesional secara memadai dapat menyesuaikan metode dan
pendekatan pembelajaran dengan kebutuhan individual siswa, yang berdampak pada
peningkatan keterlibatan dan hasil belajar.²
Di Indonesia,
analisis data Ujian Nasional dan hasil asesmen internasional seperti PISA
menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara rendahnya kompetensi guru dengan
capaian akademik siswa yang belum optimal.³ Hal ini menegaskan bahwa penguatan
kompetensi guru adalah prasyarat fundamental bagi peningkatan mutu pendidikan
nasional.
7.2.
Pengaruh terhadap
Budaya Sekolah
Kompetensi
kepribadian dan sosial guru berkontribusi besar terhadap terbentuknya budaya
sekolah yang sehat, inklusif, dan kolaboratif. Guru yang berintegritas dan
memiliki kemampuan interpersonal yang baik akan menciptakan iklim belajar yang
kondusif dan aman secara emosional.⁴
Selain itu, guru
yang menunjukkan sikap reflektif dan terbuka terhadap masukan akan mendorong
munculnya budaya learning organization di sekolah.
Dalam lingkungan seperti ini, seluruh warga sekolah terdorong untuk terus
belajar dan saling mendukung, yang pada akhirnya meningkatkan performa
kelembagaan secara kolektif.⁵
7.3.
Peran dalam
Kepemimpinan Pembelajaran
Guru yang kompeten
secara profesional dan pedagogik memiliki potensi menjadi instructional
leaders, yakni pemimpin pembelajaran di ruang kelas maupun di komunitas
sekolah. Kepemimpinan ini tidak harus bersifat struktural, tetapi lebih pada
peran strategis dalam menginisiasi perubahan, memfasilitasi inovasi, dan
membimbing rekan sejawat.⁶
Dalam sistem
pendidikan Finlandia dan Singapura, misalnya, guru senior yang kompeten sering
difungsikan sebagai mentor atau coach bagi guru pemula, sehingga transfer
pengetahuan dan budaya profesional dapat berlangsung secara organik.⁷
Pendekatan ini sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia dalam rangka
membangun komunitas belajar guru yang dinamis dan produktif.
7.4.
Kontribusi terhadap
Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
Kompetensi guru
sangat berkaitan erat dengan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, dan
mandiri.⁸
Guru yang
mengintegrasikan seluruh dimensi kompetensi dalam praktik pembelajarannya akan
lebih mampu menanamkan nilai-nilai karakter, melatih keterampilan berpikir
kritis dan kolaboratif, serta menumbuhkan semangat kebangsaan dan tanggung
jawab sosial. Dengan demikian, guru tidak hanya berkontribusi pada pencapaian
tujuan kognitif, tetapi juga membentuk insan yang utuh dan berdaya saing.
Kesimpulan
Sementara
Implikasi dari
kompetensi guru terhadap kualitas pendidikan sangat luas dan mendalam. Dari
peningkatan hasil belajar, pembentukan budaya sekolah, hingga kontribusi
terhadap tujuan pendidikan nasional, semuanya bergantung pada kapasitas
profesional guru. Oleh sebab itu, investasi dalam pengembangan kompetensi guru
bukan hanya isu teknis, tetapi merupakan strategi nasional dalam membangun masa
depan bangsa melalui pendidikan yang bermutu dan transformatif.
Footnotes
[1]
Barber, Michael, and Mona Mourshed. How the World's Best-Performing
School Systems Come Out on Top (London: McKinsey & Company, 2007), 15.
[2]
Hattie, John. Visible Learning: A Synthesis of Over 800
Meta-Analyses Relating to Achievement (New York: Routledge, 2009),
109–111.
[3]
OECD, PISA 2018 Results: What Students Know and Can Do (Paris:
OECD Publishing, 2019), 44.
[4]
Suyanto, M. Menjadi Guru Profesional (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), 76.
[5]
Senge, Peter M. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the
Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 6–10.
[6]
Leithwood, Kenneth et al., How Leadership Influences Student
Learning (New York: Wallace Foundation, 2004), 21.
[7]
OECD, Innovative Learning Environments (Paris: OECD
Publishing, 2013), 94–95.
[8]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 3.
8.
Penutup
Kompetensi guru
merupakan fondasi utama dalam mewujudkan sistem pendidikan yang berkualitas,
inklusif, dan berdaya saing di era global. Dalam konteks Indonesia, tantangan
dalam penguatan kompetensi guru tidak hanya terletak pada aspek teknis dan
akademik, tetapi juga pada faktor struktural, kultural, dan kebijakan. Oleh
karena itu, pengembangan kompetensi guru harus dipahami sebagai proses
berkelanjutan yang melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan—mulai dari
pemerintah, lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), sekolah, hingga
komunitas profesional guru.
Regulasi nasional
seperti Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen serta Permendiknas No. 16 Tahun 2007
telah memberikan kerangka yang jelas mengenai empat dimensi kompetensi guru,
yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.¹ Namun
implementasi dari regulasi tersebut masih menghadapi tantangan besar di
lapangan, terutama dalam hal pemerataan akses terhadap pelatihan, pembinaan
yang kontekstual, dan budaya kolaboratif antar guru.
Praktik terbaik dari
negara-negara dengan sistem pendidikan maju menunjukkan bahwa keberhasilan
pembangunan kompetensi guru sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang konsisten,
dukungan sistemik, serta penghargaan terhadap profesi guru sebagai agen
perubahan sosial.² Di Finlandia, misalnya, profesionalisme guru dibangun
melalui seleksi ketat, pelatihan berbasis riset, dan kepercayaan tinggi
terhadap otonomi guru.³ Sementara di Jepang dan Singapura, penguatan kompetensi
difasilitasi melalui komunitas belajar dan jenjang karier yang terstruktur.
Sejalan dengan
transformasi pendidikan di Indonesia melalui Kurikulum Merdeka, guru
dituntut untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman, mengembangkan strategi pembelajaran yang berpihak pada
murid, serta mengintegrasikan teknologi informasi secara efektif dalam proses
mengajar.⁴ Oleh sebab itu, penguatan kompetensi guru harus dipandang sebagai
investasi strategis, bukan sekadar kewajiban administratif.
Dengan meneguhkan
kembali peran guru sebagai pilar utama dalam transformasi pendidikan, maka
peningkatan kompetensi mereka bukan hanya menjadi kepentingan profesi,
melainkan kebutuhan bangsa. Pendidikan yang bermutu hanya akan lahir dari
guru-guru yang kompeten, berintegritas, dan memiliki semangat untuk terus
tumbuh bersama zaman. Dengan demikian, masa depan pendidikan Indonesia akan
ditentukan oleh keseriusan kita hari ini dalam membangun dan memperkuat
kompetensi guru sebagai ujung tombak perubahan.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Pasal 10; Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
[2]
OECD, Teachers Matter: Attracting, Developing and Retaining
Effective Teachers (Paris: OECD Publishing, 2005), 22–25.
[3]
Sahlberg, Pasi. Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2015),
93–96.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Implementasi Kurikulum Merdeka, edisi 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 20–22.
Daftar Pustaka
Barber, M., & Mourshed,
M. (2007). How the world’s best-performing school systems come out on top.
McKinsey & Company.
Council of Chief State
School Officers. (2011). InTASC model core teaching standards: A resource
for state dialogue. https://ccsso.org
Darling-Hammond, L., Banks,
J., Zumwalt, K., Gomez, L., Sherin, M. G., Griesdorn, J., & Finn, L. E.
(2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn
and be able to do. Jossey-Bass.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2019). Refleksi pelaksanaan Uji Kompetensi Guru
nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2020). Evaluasi PPG dalam jabatan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
DuFour, R., DuFour, R.,
Eaker, R., Many, T., & Mattos, M. (2016). Learning by doing: A handbook
for professional learning communities at work (3rd ed.). Solution Tree
Press.
Evans, L. (2008). Professionalism
and professional development in education. Cambridge University Press.
Hargreaves, A. (2003). Teaching
in the knowledge society: Education in the age of insecurity. Teachers
College Press.
Hargreaves, A., & Fullan,
M. (2012). Professional capital: Transforming teaching in every school.
Teachers College Press.
Hattie, J. (2009). Visible
learning: A synthesis of over 800 meta-analyses relating to achievement.
Routledge.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Profil guru Indonesia tahun 2020.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2021). Panduan pengembangan keprofesian
berkelanjutan bagi guru.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Panduan implementasi Kurikulum
Merdeka.
Lewis, C. (2002). Lesson
study: A handbook of teacher-led instructional change. Research for Better
Schools.
Leithwood, K., Louis, K.
S., Anderson, S., & Wahlstrom, K. (2004). How leadership influences
student learning. The Wallace Foundation.
Mulyasa, E. (2013). Menjadi
guru profesional: Strategi meningkatkan kualitas guru di era global.
Remaja Rosdakarya.
OECD. (2005). Teachers
matter: Attracting, developing and retaining effective teachers. OECD
Publishing.
OECD. (2013). Innovative
learning environments. OECD Publishing.
OECD. (2016). Supporting
teacher professionalism: Insights from TALIS 2013. OECD Publishing.
OECD. (2018). The
future of education and skills: Education 2030 framework. OECD Publishing.
OECD. (2019). PISA 2018
results: What students know and can do (Vol. 1). OECD Publishing.
Prasojo, L. D., &
Danim, S. (2015). Profesionalisme guru dan implementasi Kurikulum 2013.
Ar-Ruzz Media.
Sahlberg, P. (2015). Finnish
lessons 2.0: What can the world learn from educational change in Finland?
Teachers College Press.
Senge, P. M. (1990). The
fifth discipline: The art and practice of the learning organization.
Doubleday.
Spencer, L. M., &
Spencer, S. M. (1993). Competence at work: Models for superior performance.
John Wiley & Sons.
Suryosubroto, B. (2010). Proses
belajar mengajar di sekolah. Rineka Cipta.
Suyanto, M. (2014). Menjadi
guru profesional. Pustaka Pelajar.
Tan, C. (2016). Education
policy borrowing in China: Looking West or looking East? Routledge.
UNESCO. (2018). ICT
competency framework for teachers (Version 3). United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization.
UNESCO Institute for
Statistics. (2019). ICT in education: A critical literature review and its
implications.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
World Bank. (2020). Teacher
professional development in Indonesia: A policy brief. World Bank Office
Jakarta.
World Bank. (2021). Transforming
the teaching profession in Indonesia: A policy brief. World Bank Office
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar