Kamis, 01 Mei 2025

Etika Teknologi: Tanggung Jawab Moral, Risiko Sosial, dan Tantangan Kemanusiaan

Etika Teknologi

Tanggung Jawab Moral, Risiko Sosial, dan Tantangan Kemanusiaan


Alihkan ke: Etika Terapan.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dimensi moral dan tantangan etis yang muncul akibat perkembangan teknologi digital di era kontemporer. Dalam lanskap teknologi yang semakin kompleks—meliputi kecerdasan buatan, big data, sistem algoritmik, dan bio-teknologi—diperlukan pendekatan etika yang tidak hanya normatif, tetapi juga kontekstual dan adaptif terhadap dinamika sosial global. Dengan mengkaji landasan konseptual, pendekatan filosofis (utilitarianisme, deontologi, etika kebajikan, dan religius), serta isu-isu kontemporer seperti privasi, bias algoritmik, dan tanggung jawab AI, artikel ini menyoroti urgensi integrasi nilai-nilai moral dalam desain, regulasi, dan penggunaan teknologi.

Selain itu, artikel ini menganalisis tantangan global seperti kesenjangan digital, kolonialisme data, dan dampak lingkungan, serta mengkaji respon etis melalui kebijakan publik, tata kelola korporasi, dan metodologi Value Sensitive Design. Pada bagian akhir, dikemukakan tantangan masa depan seperti Artificial General Intelligence, posthumanisme, dan teknologi kuantum, yang menuntut reorientasi paradigma etika ke arah foresight, inklusivitas global, dan tanggung jawab antargenerasi. Artikel ini menawarkan kerangka reflektif dan interdisipliner untuk membentuk masa depan teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga manusiawi dan berkeadilan.

Kata Kunci: Etika Teknologi, Kecerdasan Buatan, Privasi Digital, Keadilan Algoritmik, Tanggung Jawab Moral, Kebijakan Publik, Value Sensitive Design, Risiko Eksistensial, Posthumanisme, Etika Global.


PEMBAHASAN

Etika Teknologi dalam Era Digital


1.           Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah menghadirkan perubahan mendalam dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari komunikasi, pendidikan, ekonomi, hingga kesehatan dan pemerintahan. Era yang sering disebut sebagai era digital atau Revolusi Industri 4.0 ini telah mempercepat laju otomatisasi, memperluas penggunaan kecerdasan buatan (AI), serta menormalisasi pengumpulan dan pemrosesan data berskala besar (big data). Namun, kemajuan ini juga membawa serta pertanyaan-pertanyaan moral yang kompleks dan mendesak, terutama terkait dengan tanggung jawab, keadilan, privasi, dan dampaknya terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Istilah etika teknologi mengacu pada bidang dalam etika terapan yang membahas prinsip-prinsip moral dalam pengembangan, penggunaan, dan dampak teknologi terhadap individu dan masyarakat. Etika teknologi berupaya menjawab pertanyaan: apakah semua yang mungkin dilakukan oleh teknologi juga seharusnya dilakukan? James H. Moor menyatakan bahwa “kemajuan teknologi menciptakan kekosongan kebijakan,” yaitu situasi di mana teknologi melampaui batas norma-norma etis dan hukum yang berlaku, sehingga menuntut perumusan nilai-nilai baru untuk mengisi kekosongan tersebut¹.

Kemunculan teknologi digital telah memperluas cakupan isu etis yang perlu dianalisis secara serius. Contohnya, pemanfaatan AI dalam pengambilan keputusan—baik dalam sistem peradilan, perbankan, maupun medis—menimbulkan dilema terkait transparansi algoritmik dan pertanggungjawaban moral ketika terjadi kesalahan². Selain itu, maraknya praktik pengawasan digital dan monetisasi data pribadi dalam model bisnis surveillance capitalism menunjukkan bahwa teknologi tidak netral secara moral, melainkan memiliki implikasi normatif yang signifikan terhadap kebebasan individu dan struktur kekuasaan sosial³.

Di sisi lain, terdapat pula potensi besar teknologi untuk memajukan kesejahteraan manusia, meningkatkan efisiensi pelayanan publik, dan menciptakan solusi inovatif terhadap tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan kesenjangan sosial. Namun, manfaat ini hanya dapat dicapai bila teknologi diarahkan oleh nilai-nilai etis yang kuat dan disertai dengan regulasi yang berpihak pada kemanusiaan⁴.

Karena itu, pendekatan etis terhadap teknologi bukan sekadar pelengkap, melainkan suatu kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa teknologi melayani tujuan-tujuan yang manusiawi dan berkeadilan. Etika teknologi menjadi medan refleksi kritis yang menjembatani antara potensi teknis dan nilai-nilai moral, antara inovasi dan tanggung jawab. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis prinsip-prinsip, pendekatan, dan isu-isu sentral dalam etika teknologi, dengan fokus pada tanggung jawab moral, risiko sosial, dan tantangan kemanusiaan di era digital.


Footnotes

[1]                James H. Moor, “What is Computer Ethics?” Metaphilosophy 16, no. 4 (1985): 269.

[2]                Deborah G. Johnson, Computer Ethics, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2009), 94–96.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–9.

[4]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 21–25.


2.           Konsep Dasar Etika Teknologi

Etika teknologi merupakan cabang dari etika terapan yang secara khusus menyoroti dimensi moral dari pengembangan dan penggunaan teknologi. Istilah ini mencakup analisis terhadap bagaimana teknologi memengaruhi nilai-nilai sosial, hak individu, dan tatanan moral masyarakat, serta bagaimana keputusan-keputusan teknologis harus dinilai secara normatif. Sebagai bidang interdisipliner, etika teknologi melibatkan filosofi moral, ilmu komputer, studi sosioteknis, hingga kebijakan publik.

Secara historis, perhatian terhadap aspek etis dari teknologi muncul seiring meningkatnya kompleksitas dan dampak sosial dari teknologi modern, terutama setelah Revolusi Industri dan—secara lebih tajam—di era informasi. Teknologi bukan lagi sekadar alat netral yang mempercepat aktivitas manusia, tetapi telah menjadi sistem otonom yang secara aktif membentuk preferensi, kebiasaan, dan bahkan keputusan moral penggunanya¹.

2.1.       Teknologi sebagai Entitas Normatif

Salah satu gagasan utama dalam etika teknologi adalah bahwa teknologi memiliki sifat normatif—yakni, ia membawa serta nilai-nilai dan asumsi moral tertentu. Don Ihde dan kelompok teori mediasi teknologi (postphenomenology) menunjukkan bahwa teknologi tidak hanya "digunakan", melainkan juga “mengarahkan” perilaku dan pengalaman manusia². Misalnya, desain antarmuka aplikasi media sosial tidak hanya memfasilitasi komunikasi, tetapi juga mendorong pola adiksi, kebutuhan validasi, dan pembentukan identitas digital.

Dalam konteks ini, muncul gagasan bahwa rekayasa teknologi seharusnya tidak bebas nilai. Sebaliknya, nilai-nilai seperti keadilan, privasi, transparansi, dan kebajikan sosial harus diintegrasikan dalam desain sistem teknologi sejak awal. Pendekatan ini dikenal sebagai Value Sensitive Design (VSD), yang dipelopori oleh Batya Friedman dan rekan-rekannya³.

2.2.       Etika Terapan vs. Etika Umum dalam Teknologi

Etika teknologi sering diklasifikasikan sebagai bagian dari etika terapan karena berupaya menerapkan prinsip-prinsip etis umum—seperti utilitarianisme, deontologi, atau etika kebajikan—ke dalam konteks-konteks spesifik penggunaan teknologi. Namun, banyak ahli berpendapat bahwa kompleksitas masalah teknologi membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif dan kontekstual, tidak cukup hanya dengan menerapkan kerangka normatif klasik secara kaku⁴.

Sebagai contoh, pemrosesan data biometrik dalam sistem pengenalan wajah tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang privasi (sebagaimana dijawab oleh pendekatan deontologis), tetapi juga tentang distribusi risiko, bias algoritmik, dan potensi diskriminasi sistematis—yang semuanya memerlukan pendekatan multidimensional.

2.3.       Nilai-Nilai Etis Kunci dalam Teknologi

Terdapat sejumlah nilai moral kunci yang menjadi pusat perhatian dalam etika teknologi, antara lain:

·                     Privasi: Hak individu untuk mengontrol informasi pribadi dalam era digital yang penuh pengawasan⁵.

·                     Keamanan: Perlindungan terhadap ancaman teknologis, baik secara siber maupun fisik.

·                     Keadilan: Pencegahan terhadap ketimpangan akses, bias algoritmik, dan diskriminasi digital.

·                     Otonomi: Kemampuan individu untuk membuat keputusan bebas dari manipulasi sistem otomatis.

·                     Tanggung Jawab Moral: Pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab ketika teknologi menyebabkan kerugian—perancang, pengguna, atau sistem itu sendiri?

Nilai-nilai ini sering kali saling berkonflik. Sebagai contoh, peningkatan keamanan melalui sistem pengawasan publik dapat mengorbankan privasi individu. Karena itu, etika teknologi juga melibatkan proses penyeimbangan normatif antara nilai-nilai tersebut.

2.4.       Relasi antara Manusia, Teknologi, dan Masyarakat

Etika teknologi tidak berdiri sendiri sebagai teori abstrak, tetapi selalu berakar dalam konteks sosial dan budaya. Teknologi membentuk dan dibentuk oleh norma sosial, ekonomi politik, serta struktur kekuasaan. Oleh karena itu, etika teknologi perlu mempertimbangkan aspek keadilan distributif, suara komunitas terdampak, serta dampak global dari inovasi teknologi, khususnya di negara-negara berkembang⁶.

Dengan memahami bahwa teknologi bersifat normatif, kontekstual, dan multiaktor, maka etika teknologi menjadi alat penting untuk menavigasi tantangan moral di era digital. Ia tidak hanya berfungsi sebagai penilai (adjudicator) terhadap tindakan teknologis, tetapi juga sebagai panduan etik dalam proses inovasi itu sendiri.


Footnotes

[1]                Philip Brey, “Ethics of Emerging Technologies,” in The International Encyclopedia of Ethics, ed. Hugh LaFollette (Chichester, UK: Wiley-Blackwell, 2013), 1–9.

[2]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 72–75.

[3]                Batya Friedman, Peter H. Kahn Jr., and Alan Borning, “Value Sensitive Design and Information Systems,” in Human-Computer Interaction and Management Information Systems: Foundations, ed. Ping Zhang and Dennis Galletta (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2006), 348–372.

[4]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 30–34.

[5]                Charles Ess, Digital Media Ethics, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2020), 45–50.

[6]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 88–95.


3.           Pendekatan Filosofis terhadap Etika Teknologi

Untuk memahami dimensi normatif dari teknologi secara mendalam, diperlukan kerangka filosofis yang mampu menjelaskan dasar moral dari berbagai kebijakan, praktik, dan desain teknologi. Etika teknologi tidak hanya membahas "apa yang dilakukan oleh teknologi", tetapi juga "apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan teknologi". Dalam konteks ini, sejumlah pendekatan filosofis klasik—seperti utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan—telah diadaptasi untuk menjawab tantangan moral di era digital.

3.1.       Utilitarianisme dan Konsekuensialisme Teknologis

Utilitarianisme, yang berakar pada pemikiran Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menilai tindakan berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan, khususnya dalam hal manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Dalam etika teknologi, pendekatan ini berguna untuk mengevaluasi kebijakan publik berbasis teknologi, seperti sistem pengawasan, distribusi vaksin berbasis algoritma, atau otomatisasi tenaga kerja.

Namun, pendekatan utilitarian sering dikritik karena kecenderungannya mengabaikan hak individu demi keuntungan kolektif. Misalnya, sistem AI yang mengorbankan privasi individu untuk keamanan publik dapat dinilai "bermanfaat" dalam kerangka utilitarian, tetapi secara etis problematik bila tidak diimbangi dengan perlindungan hak asasi manusia¹.

3.2.       Deontologi dan Hak Asasi Manusia Digital

Deontologi, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, menekankan prinsip moral universal dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam konteks teknologi, pendekatan ini menolak tindakan yang secara intrinsik melanggar hak—sekalipun hasilnya menguntungkan. Misalnya, pelacakan lokasi tanpa persetujuan eksplisit dianggap tidak etis karena melanggar prinsip otonomi dan privasi².

Pendekatan deontologis menjadi dasar bagi pengembangan berbagai kode etik digital, seperti prinsip privasi data, informed consent, dan desain yang menghormati hak pengguna. Organisasi seperti European Union dengan kebijakan General Data Protection Regulation (GDPR) mengadopsi banyak elemen deontologis dalam perlindungan digital³.

3.3.       Etika Kebajikan dan Karakter Teknologis

Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, etika kebajikan (virtue ethics) tidak berfokus pada tindakan atau akibatnya, melainkan pada pembentukan karakter moral yang baik. Didasarkan pada pemikiran Aristoteles, etika ini menilai apakah suatu teknologi mendukung atau menghambat pengembangan kebajikan manusia seperti kebijaksanaan, empati, dan keadilan⁴.

Shannon Vallor, dalam karya pentingnya Technology and the Virtues, berargumen bahwa teknologi modern harus dievaluasi berdasarkan kemampuannya untuk memelihara kehidupan yang bermakna dan bermoral. Ia mengajukan kebajikan digital seperti kehati-hatian (prudence), keberanian moral, dan keadilan sebagai kompas etis dalam merancang dan menggunakan teknologi⁵. Dengan pendekatan ini, penggunaan teknologi media sosial, misalnya, akan dinilai dari sejauh mana ia membentuk kebiasaan dan karakter yang mendukung kehidupan sosial yang sehat.

3.4.       Pendekatan Teologis dan Etika Religius

Etika teknologi juga dapat dikaji dari perspektif keagamaan, yang membawa prinsip-prinsip moral yang bersumber dari wahyu dan tradisi spiritual. Dalam Islam, misalnya, penggunaan teknologi harus selaras dengan prinsip maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang menjamin perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta⁶. Demikian pula, dalam tradisi Kristen dan Yahudi, penggunaan teknologi dipertimbangkan dalam kerangka tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan dan nilai kehidupan yang kudus.

Pendekatan religius ini sering kali mengedepankan prinsip tanggung jawab, amanah, dan keadilan antar generasi—terutama dalam isu seperti perubahan iklim, rekayasa genetika, dan dominasi korporasi digital.


Kesimpulan Sementara

Beragam pendekatan filosofis tersebut menunjukkan bahwa etika teknologi bukan hanya soal teknis atau legal, tetapi sangat terkait dengan visi tentang apa artinya menjadi manusia yang bermoral dalam dunia yang makin dikuasai oleh sistem digital. Dengan mengintegrasikan perspektif utilitarian, deontologis, kebajikan, dan religius, kita dapat membangun kerangka etis yang lebih utuh dan reflektif dalam merespons kompleksitas teknologi modern.


Footnotes

[1]                James Moor, “What is Computer Ethics?” Metaphilosophy 16, no. 4 (1985): 270.

[2]                Deborah G. Johnson, Computer Ethics, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2009), 52–55.

[3]                European Commission, General Data Protection Regulation (GDPR), Regulation (EU) 2016/679, April 27, 2016.

[4]                Rosalind Hursthouse and Glen Pettigrove, “Virtue Ethics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2018 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2018/entries/ethics-virtue/.

[5]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 15–18.

[6]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 32–37.


4.           Isu-Isu Etis dalam Teknologi Kontemporer

Perkembangan teknologi digital dalam berbagai ranah kehidupan—mulai dari kecerdasan buatan (AI), internet of things (IoT), hingga platform digital—telah melahirkan sejumlah persoalan etis yang semakin kompleks. Isu-isu ini tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga berdampak langsung terhadap hak asasi manusia, struktur sosial, dan nilai-nilai demokrasi. Berikut ini adalah empat isu etis sentral yang mencerminkan tantangan utama dalam etika teknologi kontemporer.

4.1.       Privasi dan Pengawasan Digital

Salah satu tantangan terbesar dalam masyarakat digital adalah erosinya hak atas privasi. Dalam ekosistem digital yang terhubung secara permanen, data pribadi pengguna dikumpulkan, dianalisis, dan dimonetisasi oleh perusahaan teknologi dan bahkan oleh institusi negara. Praktik ini melahirkan bentuk baru kapitalisme data yang dikenal dengan istilah surveillance capitalism, sebagaimana dikemukakan oleh Shoshana Zuboff¹.

Penggunaan sistem pengenalan wajah, pelacakan lokasi GPS, dan pengawasan siber berbasis AI telah mengaburkan batas antara keamanan publik dan pelanggaran hak individu. Negara-negara otoriter kerap memanfaatkan teknologi ini untuk membungkam oposisi, sedangkan perusahaan komersial menggunakannya untuk mengarahkan perilaku konsumen, sering kali tanpa persetujuan eksplisit dari pengguna². Ketidakseimbangan kekuasaan antara pengumpul data dan subjek data menjadi pusat persoalan etis yang harus ditanggapi secara serius.

4.2.       Keadilan Algoritmik dan Bias Data

Sistem algoritmik yang digunakan dalam penilaian kredit, rekrutmen kerja, hingga sistem peradilan pidana telah terbukti memperkuat diskriminasi struktural akibat bias dalam data pelatihan atau model statistik yang digunakan³. Cathy O’Neil menyebut sistem semacam ini sebagai Weapons of Math Destruction, karena bersifat tidak transparan, beroperasi dalam skala besar, dan cenderung memperburuk ketidakadilan sosial⁴.

Masalah keadilan algoritmik mencakup pertanyaan mendasar: Siapa yang bertanggung jawab ketika sistem membuat keputusan yang merugikan kelompok tertentu? Bagaimana kita memastikan bahwa model AI mencerminkan prinsip keadilan dan inklusivitas? Etika teknologi dalam hal ini harus menekankan pentingnya transparansi, audit algoritmik, dan partisipasi publik dalam merancang sistem cerdas.

4.3.       Kecerdasan Buatan dan Tanggung Jawab Moral

Meningkatnya otonomi sistem kecerdasan buatan—mulai dari mobil otonom hingga chatbot medis dan sistem pertahanan berbasis AI—menimbulkan pertanyaan serius tentang tanggung jawab moral. Ketika sistem mengambil keputusan kritis secara mandiri, siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kegagalan atau dampak negatif?

Nick Bostrom dan Eliezer Yudkowsky memperingatkan tentang alignment problem, yaitu kesenjangan antara tujuan AI dan nilai-nilai manusia, yang bisa berakibat fatal jika tidak diantisipasi sejak awal dalam tahap desain⁵. Selain itu, muncul pula dilema moral dalam konteks militer, seperti penggunaan lethal autonomous weapons systems (LAWS) yang dapat membunuh tanpa campur tangan manusia. Etika teknologi harus hadir sebagai kerangka normatif untuk membatasi dan mengarahkan penggunaan AI sesuai nilai-nilai kemanusiaan.

4.4.       Teknologi Digital dan Kesejahteraan Psikologis

Kemudahan akses informasi dan komunikasi yang ditawarkan oleh media sosial ternyata memiliki sisi gelap yang signifikan. Berbagai riset menunjukkan korelasi antara penggunaan platform seperti Instagram, TikTok, atau X (sebelumnya Twitter) dengan peningkatan kecemasan, depresi, serta gangguan citra diri pada remaja dan dewasa muda⁶. Algoritma yang dirancang untuk mempertahankan atensi pengguna melalui infinite scroll atau notifikasi impulsif justru memicu ketergantungan digital dan penurunan kualitas interaksi sosial.

Eleanor Gordon-Smith mencatat bahwa teknologi saat ini tidak sekadar memperkuat kebiasaan manusia, melainkan membentuknya secara struktural dan halus melalui nudging, yakni dorongan perilaku yang tidak disadari namun efektif⁷. Di sinilah urgensi pendekatan etika kebajikan menjadi relevan, yakni mendorong penggunaan teknologi yang memperkuat karakter moral dan kehidupan bermakna.


Kesimpulan Sementara

Isu-isu etis dalam teknologi kontemporer menunjukkan bahwa inovasi digital bukanlah proses netral, melainkan selalu sarat dengan kepentingan, asumsi moral, dan dampak sosial. Oleh karena itu, etika teknologi harus menjadi bagian integral dalam perencanaan, pengembangan, dan pengawasan sistem teknologi. Tidak cukup bagi teknologi sekadar “berfungsi”, ia juga harus “benar secara moral”.


Footnotes

[1]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 8–12.

[2]                David Lyon, Surveillance After Snowden (Cambridge: Polity Press, 2015), 45–49.

[3]                Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 91–95.

[4]                Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 18–22.

[5]                Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial Intelligence,” in The Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed. Keith Frankish and William Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 316–334.

[6]                Jean M. Twenge et al., “Increases in Depressive Symptoms, Suicide-Related Outcomes, and Suicide Rates Among U.S. Adolescents After 2010 and Links to Increased New Media Screen Time,” Clinical Psychological Science 6, no. 1 (2018): 3–17.

[7]                Eleanor Gordon-Smith, Stop Being Reasonable: How We Really Change Our Minds (London: PublicAffairs, 2019), 144–150.


5.           Etika Teknologi dalam Konteks Sosial-Global

Etika teknologi tidak hanya relevan dalam lingkup individu atau institusi lokal, tetapi juga memiliki dimensi sosial-global yang mendalam. Perkembangan teknologi informasi, sistem kecerdasan buatan, serta infrastruktur digital lintas negara telah menciptakan kondisi di mana keputusan teknologis satu pihak dapat berdampak luas terhadap komunitas lain di belahan dunia berbeda. Dalam konteks globalisasi dan interdependensi digital ini, muncul tantangan-tantangan etis yang menuntut pendekatan lintas budaya, multinasional, dan berkeadilan distributif.

5.1.       Kesenjangan Digital dan Ketidakadilan Global

Salah satu isu paling mendesak adalah kesenjangan digital (digital divide)—yakni disparitas dalam akses terhadap teknologi dan informasi antara negara maju dan negara berkembang, serta antara masyarakat urban dan pedesaan. Akses yang tidak merata terhadap internet, perangkat keras, dan literasi digital telah menciptakan eksklusi sosial dalam bidang pendidikan, layanan kesehatan, dan partisipasi ekonomi⁽¹⁾.

UNESCO dan World Bank telah menekankan bahwa kesenjangan ini bukan hanya soal teknis atau infrastruktur, tetapi juga soal keadilan sosial, karena akses digital menentukan peluang mobilitas sosial dan ekonomi di abad ke-21⁽²⁾. Dalam konteks ini, etika teknologi menuntut adanya prinsip distribusi yang adil dalam perumusan kebijakan pembangunan digital—agar inovasi teknologi tidak memperdalam ketimpangan global.

5.2.       Etika Teknologi di Negara Berkembang

Di negara-negara berkembang, teknologi kerap diimpor tanpa refleksi kritis atas konteks sosial-budaya lokal. Proyek digitalisasi yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan norma komunitas lokal sering kali justru memperkuat dominasi budaya dan ekonomi negara-negara global utara. Hal ini menciptakan bentuk baru kolonialisme digital atau data colonialism⁽³⁾, di mana data komunitas lokal dimanfaatkan oleh korporasi asing tanpa kontrol atau keuntungan yang proporsional bagi pihak lokal.

Pendekatan etika teknologi dalam konteks ini harus memperhitungkan prinsip agency lokal, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan teknologi, serta perlindungan terhadap nilai-nilai kultural yang rentan tererosi oleh modernisasi digital.

5.3.       Hak Kekayaan Intelektual dan Akses Terbuka

Perkembangan teknologi digital juga memunculkan debat etis seputar hak kekayaan intelektual (HKI), terutama terkait dengan informasi ilmiah, obat-obatan, dan software. Di satu sisi, perlindungan HKI dianggap penting untuk mendorong inovasi. Namun, dalam konteks global, sistem HKI yang terlalu ketat dapat menghambat akses negara miskin terhadap informasi penting atau sumber daya medis, seperti vaksin dan alat diagnostik⁽⁴⁾.

Sebagai respons etis, muncul gerakan akses terbuka (open access) yang mendorong distribusi pengetahuan dan inovasi digital secara lebih merata. Model ini menekankan bahwa teknologi harus digunakan untuk kepentingan bersama (common good), bukan hanya keuntungan korporasi.

5.4.       Teknologi dan Krisis Iklim Global

Teknologi digital tidak bebas dari konsekuensi lingkungan. Produksi perangkat elektronik, server data, dan konsumsi energi untuk kebutuhan komputasi awan (cloud computing) memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi karbon dan limbah elektronik⁽⁵⁾. Ironisnya, banyak inovasi teknologi dikembangkan dengan janji keberlanjutan, namun proses produksinya justru memperparah krisis ekologis.

Etika teknologi dalam konteks ini harus melibatkan prinsip keadilan antargenerasi, yaitu tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang agar tidak mewarisi planet yang rusak. Perlu juga diterapkan prinsip teknologi berkelanjutan (sustainable tech) yang mengintegrasikan dampak lingkungan dalam siklus hidup teknologi sejak tahap desain hingga daur ulang.

5.5.       Etika Global dan Standar Internasional

Ketiadaan kesepakatan global atas norma dan standar etis dalam pengembangan teknologi, terutama AI, memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi opini publik, dan eksploitasi data. Inisiatif seperti AI Ethics Guidelines oleh OECD, UNESCO, dan European Commission menjadi langkah awal penting dalam membangun kerangka etika global yang inklusif⁽⁶⁾.

Namun demikian, pendekatan etika global juga harus terbuka terhadap pluralisme budaya, agar tidak terjebak dalam dominasi nilai-nilai Barat yang homogen. Dalam hal ini, dialog antarbudaya menjadi penting agar etika teknologi tidak hanya bersifat universal, tetapi juga kontekstual dan menghormati keragaman pandangan moral.


Kesimpulan Sementara

Dalam skala global, etika teknologi harus mencakup lebih dari sekadar desain dan penggunaan sistem digital. Ia harus menjadi bagian integral dari perjuangan global untuk keadilan, keberlanjutan, dan solidaritas antarmanusia. Etika yang mementingkan distribusi manfaat teknologi secara adil dan berkelanjutan adalah landasan penting bagi masa depan digital yang benar-benar manusiawi.


Footnotes

[1]                Jan A.G.M. van Dijk, The Deepening Divide: Inequality in the Information Society (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2005), 17–19.

[2]                UNESCO, Global Education Monitoring Report 2023: Technology in Education (Paris: UNESCO, 2023), 34–36.

[3]                Nick Couldry and Ulises A. Mejias, The Costs of Connection: How Data is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism (Stanford: Stanford University Press, 2019), 2–6.

[4]                Peter Drahos and John Braithwaite, Information Feudalism: Who Owns the Knowledge Economy? (London: Earthscan, 2002), 85–92.

[5]                Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021), 133–137.

[6]                UNESCO, Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence (Paris: UNESCO, 2021), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380455.


6.           Kebijakan Publik dan Regulasi Etis Teknologi

Perkembangan teknologi digital yang begitu cepat telah melampaui kemampuan banyak negara dan institusi dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi yang memadai. Di tengah berbagai potensi dan risiko yang dihadirkan teknologi—mulai dari pelanggaran privasi hingga diskriminasi algoritmik—regulasi etis menjadi kebutuhan yang mendesak. Kebijakan publik tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan dampak negatif, tetapi juga untuk memastikan bahwa perkembangan teknologi berpihak pada kepentingan publik, keadilan sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan.

6.1.       Peran Negara dalam Etika Teknologi

Negara memiliki tanggung jawab penting dalam menciptakan regulasi yang menjamin perlindungan hak-hak digital warga negara. Peraturan ini meliputi keamanan data pribadi, transparansi algoritma, pertanggungjawaban AI, hingga perlindungan dari penyalahgunaan teknologi oleh institusi maupun korporasi. Salah satu contoh penting adalah regulasi General Data Protection Regulation (GDPR) yang diterapkan di Uni Eropa sejak 2018. GDPR mewajibkan transparansi dalam pengumpulan data, hak untuk dilupakan (right to be forgotten), serta persetujuan eksplisit dalam pengelolaan data pribadi¹.

Kebijakan publik berbasis etika harus melampaui pendekatan reaktif terhadap pelanggaran, dan mulai mengadopsi prinsip etik-by-design, di mana nilai-nilai moral diintegrasikan dalam tahap perencanaan dan implementasi teknologi sejak awal².

6.2.       Peran Korporasi Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial

Selain negara, perusahaan teknologi merupakan aktor utama yang membentuk lanskap etika digital. Tanggung jawab etis korporasi (corporate digital responsibility) menuntut agar perusahaan tidak hanya tunduk pada hukum, tetapi juga memegang prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan. Konsep ini sejalan dengan Environmental, Social, and Governance (ESG) yang semakin menjadi standar global dalam penilaian keberlanjutan perusahaan teknologi³.

Beberapa inisiatif menunjukkan bahwa etika dapat menjadi bagian dari tata kelola internal perusahaan. Google, misalnya, sempat membentuk “AI Ethics Board” (meskipun kemudian dibubarkan), sementara Microsoft merilis kerangka Responsible AI untuk menavigasi pengembangan teknologi secara etis⁴. Namun, banyak pengamat menyatakan bahwa regulasi mandiri tidak cukup dan cenderung bersifat kosmetik jika tidak disertai dengan pengawasan independen.

6.3.       Etika dalam Desain Teknologi: Value Sensitive Design (VSD)

Salah satu pendekatan yang semakin populer adalah Value Sensitive Design (VSD), yaitu metodologi pengembangan teknologi yang secara sistematis mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam proses desain. Pendekatan ini menekankan bahwa nilai seperti privasi, keadilan, keamanan, dan otonomi bukanlah tambahan eksternal, melainkan harus menjadi bagian inheren dari sistem teknologi yang dibangun⁵.

Dalam praktiknya, VSD melibatkan aktor-aktor berkepentingan sejak tahap awal, melakukan analisis konteks sosial dan kultural, serta menguji desain dengan pendekatan etnografis dan partisipatif. Pendekatan ini sangat penting terutama dalam proyek-proyek teknologi publik, seperti sistem e-government, platform pendidikan, atau sistem kesehatan digital.

6.4.       Tantangan Regulasi dalam Era Teknologi Global

Tantangan terbesar dalam regulasi etis teknologi adalah sifatnya yang transnasional. Teknologi digital melampaui batas-batas yuridiksi negara, sehingga peraturan nasional sering kali tidak memadai. Misalnya, penyalahgunaan data oleh perusahaan global yang berkantor pusat di negara berbeda menyulitkan proses litigasi dan pertanggungjawaban hukum.

Karena itu, penting adanya kerja sama multilateral dan harmonisasi standar etika internasional. Upaya seperti OECD AI Principles, UNESCO Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence, dan EU AI Act adalah langkah awal yang signifikan, namun belum sepenuhnya efektif tanpa komitmen politik dan sumber daya yang memadai⁶.

Lebih dari itu, etika teknologi global harus bersifat inklusif dan dialogis—tidak mendikte standar tunggal dari Barat, tetapi terbuka terhadap pandangan dan nilai lokal yang kontekstual.

6.5.       Keterlibatan Masyarakat Sipil dan Pendidikan Etika Digital

Kebijakan etika teknologi tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil. NGO, jurnalis data, akademisi, dan komunitas teknologi berperan penting sebagai pengawas independen dan pengembang wacana kritis terhadap kebijakan teknologi. Selain itu, pendidikan etika digital—baik formal di sekolah dan universitas, maupun informal melalui kampanye publik—harus digalakkan untuk membangun kesadaran moral di tengah masyarakat yang semakin terdigitalisasi⁷.


Kesimpulan Sementara

Kebijakan publik dan regulasi etis teknologi harus bersifat holistik, adaptif, dan partisipatif. Ia tidak cukup hanya mengatur konsekuensi teknologi, tetapi juga harus membentuk budaya teknologi yang berpihak pada kemanusiaan. Di sinilah peran negara, korporasi, akademisi, dan masyarakat sipil bertemu dalam membangun tata kelola digital yang adil dan etis di era global.


Footnotes

[1]                European Commission, General Data Protection Regulation (GDPR), Regulation (EU) 2016/679, April 27, 2016.

[2]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.

[3]                Maria Savona et al., “Digitalisation and Corporate Social Responsibility: The Role of ESG Strategies in the Tech Sector,” Journal of Business Ethics (2023): 1–20.

[4]                Mark Latonero, “Governing Artificial Intelligence: Upholding Human Rights & Dignity,” Data & Society Research Institute, October 2018, 14–16.

[5]                Batya Friedman, Peter H. Kahn Jr., and Alan Borning, “Value Sensitive Design and Information Systems,” in Human-Computer Interaction and Management Information Systems: Foundations, ed. Ping Zhang and Dennis Galletta (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2006), 348–372.

[6]                UNESCO, Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence (Paris: UNESCO, 2021), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380455.

[7]                Charles Ess, Digital Media Ethics, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2020), 118–124.


7.           Tantangan Masa Depan dan Reorientasi Etika Teknologi

Seiring dengan akselerasi perkembangan teknologi, kita dihadapkan pada tantangan-tantangan etis baru yang belum memiliki jawaban mapan dalam kerangka etika konvensional. Masa depan teknologi membawa serta kemungkinan-kemungkinan luar biasa, mulai dari kecerdasan buatan tingkat lanjut (AGI), rekayasa genetika, realitas virtual dan augmentasi manusia, hingga teknologi kuantum. Namun, semua potensi ini juga mengandung risiko eksistensial dan moral yang signifikan. Karena itu, diperlukan reorientasi paradigma dalam etika teknologi—yakni suatu pendekatan yang mampu merespons kompleksitas masa depan secara lebih visioner, reflektif, dan interdisipliner.

7.1.       Artificial General Intelligence dan Risiko Eksistensial

Salah satu tantangan paling menonjol adalah potensi munculnya Artificial General Intelligence (AGI)—yakni sistem kecerdasan buatan yang setara atau bahkan melampaui kecerdasan manusia dalam berbagai bidang. AGI, jika tercapai, dapat memberikan manfaat besar dalam memecahkan krisis global. Namun, banyak ahli memperingatkan bahwa jika tidak dirancang secara etis, AGI juga dapat menimbulkan risiko eksistensial (existential risks) terhadap umat manusia¹.

Nick Bostrom mengingatkan bahwa tantangan utama bukan sekadar membuat AGI yang cerdas, tetapi memastikan bahwa sistem tersebut terarah dengan nilai-nilai manusia (alignment problem)². Kegagalan dalam hal ini bisa menyebabkan AI bertindak di luar kendali, dengan konsekuensi sosial dan biologis yang tak terbayangkan. Maka, etika masa depan perlu bergerak ke arah foresight ethics, yaitu kerangka etis yang mampu memprediksi, menilai, dan mengarahkan teknologi yang belum sepenuhnya hadir.

7.2.       Posthumanisme dan Teknologi Augmentatif

Kemajuan dalam bidang bioteknologi, neuroteknologi, dan antarmuka otak-komputer telah memunculkan wacana posthumanisme—yakni gagasan bahwa teknologi dapat mentransformasi batas-batas biologis manusia dan menciptakan entitas baru yang melampaui kapasitas alamiah³. Proyek seperti Neuralink, CRISPR-Cas9, dan pengembangan enhancement technologies memunculkan pertanyaan: sampai sejauh mana kita dapat atau boleh mengubah kodrat manusia?

Etika teknologi ke depan harus mampu menjawab dilema ontologis dan moral: Apakah manusia masih menjadi subjek etis ketika telah diperluas oleh mesin? Apakah keadilan masih berlaku ketika hanya sebagian manusia yang bisa mengakses teknologi augmentatif?⁴ Maka dari itu, pendekatan etis masa depan perlu beralih dari sekadar “hak pengguna” ke pertanyaan yang lebih fundamental: apa arti menjadi manusia dalam dunia yang pasca-manusia?

7.3.       Teknologi Kuantum dan Kompleksitas Etis Baru

Teknologi kuantum, terutama komputasi kuantum, membuka babak baru dalam pemrosesan informasi dan keamanan digital. Dengan kemampuannya memecahkan enkripsi konvensional dalam hitungan detik, teknologi ini berpotensi mengganggu sistem keamanan global dan privasi digital secara drastis⁵. Di sisi lain, ia juga dapat menjadi alat penting untuk memajukan sains dan kesehatan.

Kompleksitas teknologi semacam ini menuntut etika yang bersifat teknosofis—yakni tidak hanya normatif, tetapi juga melek terhadap substansi teknologinya. Etika yang bersifat generik tidak lagi memadai untuk menilai dampak moral dari sistem teknis yang begitu canggih dan abstrak.

7.4.       Perluasan Cakupan Etika: Dari Antroposentris ke Ekosentris

Selama ini, etika teknologi umumnya berfokus pada dampak terhadap manusia. Namun, di masa depan, semakin terlihat urgensinya untuk mengembangkan pendekatan yang ekosentris atau bahkan biosentris—yakni memperluas pertimbangan moral terhadap lingkungan, makhluk hidup lain, dan sistem ekologi secara keseluruhan⁶. Teknologi masa depan tidak boleh sekadar menguntungkan manusia, tetapi juga harus menjaga keberlanjutan planet.

Pendekatan ini menuntut integrasi antara etika lingkungan, etika teknologi, dan filsafat sistem kompleks, yang bersama-sama menciptakan dasar etis untuk keberlanjutan teknologi di bumi yang terbatas sumber dayanya.

7.5.       Membangun Etika Teknologi yang Progresif dan Adaptif

Untuk menjawab tantangan-tantangan di atas, dibutuhkan reorientasi paradigma etika teknologi ke arah yang lebih adaptif, dialogis, dan lintas disiplin. Etika masa depan harus:

1)                  Bersifat anticipatif, tidak hanya reaktif terhadap dampak.

2)                  Inklusif secara global dan kultural, tidak hegemonik.

3)                  Berbasis kebajikan digital, bukan hanya regulasi legal.

4)                  Mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan humaniora, agar tidak tercerabut dari konteks sosial dan kultural.

Seperti dinyatakan oleh Shannon Vallor, etika teknologi yang baik adalah etika yang mampu membentuk masa depan yang “layak untuk diinginkan,” bukan hanya “mungkin untuk diciptakan”⁷.


Kesimpulan Sementara

Tantangan masa depan dalam etika teknologi bukan sekadar tentang menjinakkan teknologi yang berbahaya, tetapi tentang mengarahkan visi kolektif umat manusia ke arah yang selaras dengan nilai-nilai luhur. Dalam dunia yang semakin kompleks dan tidak pasti, etika teknologi harus menjadi panduan moral yang reflektif, adaptif, dan transformatif, bukan sekadar penjaga batas-batas hukum.


Footnotes

[1]                Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence (New York: Alfred A. Knopf, 2017), 118–123.

[2]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 177–179.

[3]                Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of Uncertainty (Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 64–67.

[4]                Steve Fuller and Veronika Lipinska, The Proactionary Imperative: A Foundation for Transhumanism (London: Palgrave Macmillan, 2014), 41–46.

[5]                Jonathan Katz and Yehuda Lindell, Introduction to Modern Cryptography, 3rd ed. (Boca Raton: CRC Press, 2020), 489–493.

[6]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 251–253.

[7]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 6–9.


8.           Penutup

Etika teknologi bukan lagi sekadar cabang etika terapan yang bersifat marginal, melainkan telah menjadi medan refleksi utama dalam menjawab dilema moral abad ke-21. Di tengah laju inovasi yang begitu pesat, mulai dari kecerdasan buatan, digitalisasi kehidupan sosial, hingga bio-teknologi dan komputasi kuantum, muncul berbagai persoalan etis yang menuntut jawaban tidak hanya dari para teknolog, tetapi juga dari filsuf, pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan komunitas global secara kolektif.

Sebagaimana ditunjukkan sepanjang pembahasan artikel ini, teknologi tidak bersifat netral. Ia membawa serta nilai-nilai, asumsi, dan konsekuensi moral yang berdampak pada struktur sosial, hubungan antarmanusia, serta relasi antara manusia dan lingkungan⁽¹⁾. Oleh karena itu, penting untuk menegaskan bahwa pertanyaan yang paling krusial bukanlah apa yang bisa dilakukan oleh teknologi, tetapi apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan teknologi.

Dalam menghadapi tantangan kontemporer dan masa depan, etika teknologi harus dibangun dengan pendekatan yang:

·                     Normatif dan kritis, dalam mengevaluasi dampak teknologi terhadap nilai-nilai moral.

·                     Kontekstual dan transdisipliner, agar mampu menjawab kompleksitas persoalan teknologi dalam ragam budaya dan struktur sosial.

·                     Foresight-oriented, yakni proaktif dalam mengantisipasi risiko-risiko yang belum hadir, sebagaimana dikembangkan dalam kerangka anticipatory ethics⁽²⁾.

·                     Partisipatif dan dialogis, dengan melibatkan suara masyarakat yang terdampak oleh teknologi, termasuk kelompok rentan, komunitas adat, dan negara-negara berkembang.

Komitmen terhadap etika teknologi harus tercermin dalam kebijakan publik, tata kelola korporasi, desain sistem, serta budaya digital masyarakat. Upaya ini tidak dapat bergantung semata pada regulasi formal, tetapi harus didorong pula oleh pendidikan etika digital dan literasi moral sejak dini⁽³⁾.

Lebih jauh, sebagaimana dinyatakan oleh Luciano Floridi, tantangan terbesar dalam etika teknologi bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan “bagaimana kita, sebagai manusia, memilih untuk hidup bersama teknologi”⁽⁴⁾. Dengan demikian, etika teknologi harus dilihat sebagai proyek kemanusiaan yang berkelanjutan—proyek untuk membangun masa depan yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga luhur secara moral.


Footnotes

[1]                Philip Brey, “The Strategic Role of Technology in a Good Society,” Technology in Society 52 (2018): 39–45.

[2]                Rafael A. Calvo, Dorian Peters, and James Buchanan, “Ethical Design of AI Systems for Health and Well-Being,” in The Oxford Handbook of Digital Ethics, ed. Carissa Véliz (Oxford: Oxford University Press, 2022), 455–474.

[3]                Charles Ess, Digital Media Ethics, 2nd ed. (Cambridge: Polity Press, 2020), 132–135.

[4]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 253.


Daftar Pustaka

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Bostrom, N., & Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K. Frankish & W. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial intelligence (pp. 316–334). Cambridge University Press.

Brey, P. (2013). Ethics of emerging technologies. In H. LaFollette (Ed.), The international encyclopedia of ethics (pp. 1–9). Wiley-Blackwell.

Brey, P. (2018). The strategic role of technology in a good society. Technology in Society, 52, 39–45. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2017.12.003

Calvo, R. A., Peters, D., & Buchanan, J. (2022). Ethical design of AI systems for health and well-being. In C. Véliz (Ed.), The Oxford handbook of digital ethics (pp. 455–474). Oxford University Press.

Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). The costs of connection: How data is colonizing human life and appropriating it for capitalism. Stanford University Press.

Crawford, K. (2021). Atlas of AI: Power, politics, and the planetary costs of artificial intelligence. Yale University Press.

Drahos, P., & Braithwaite, J. (2002). Information feudalism: Who owns the knowledge economy? Earthscan.

Ess, C. (2020). Digital media ethics (2nd ed.). Polity Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L., Cowls, J., Beltrametti, M., Chatila, R., Chazerand, P., Dignum, V., ... & Vayena, E. (2018). AI4People—An ethical framework for a good AI society: Opportunities, risks, principles, and recommendations. Minds and Machines, 28(4), 689–707. https://doi.org/10.1007/s11023-018-9482-5

Friedman, B., Kahn, P. H., Jr., & Borning, A. (2006). Value sensitive design and information systems. In P. Zhang & D. Galletta (Eds.), Human-computer interaction and management information systems: Foundations (pp. 348–372). M.E. Sharpe.

Fuller, S., & Lipinska, V. (2014). The proactionary imperative: A foundation for transhumanism. Palgrave Macmillan.

Johnson, D. G. (2009). Computer ethics (4th ed.). Pearson.

Katz, J., & Lindell, Y. (2020). Introduction to modern cryptography (3rd ed.). CRC Press.

Latonero, M. (2018). Governing artificial intelligence: Upholding human rights & dignity. Data & Society Research Institute. https://datasociety.net/pubs/ia/DataSociety_Governing_Artificial_Intelligence.pdf

Lyon, D. (2015). Surveillance after Snowden. Polity Press.

Miah, A. (2008). Human futures: Art in an age of uncertainty. Liverpool University Press.

Moor, J. H. (1985). What is computer ethics? Metaphilosophy, 16(4), 266–275. https://doi.org/10.1111/j.1467-9973.1985.tb00173.x

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. Crown Publishing Group.

Savona, M., Jona-Lasinio, C., & Rossi, A. (2023). Digitalisation and corporate social responsibility: The role of ESG strategies in the tech sector. Journal of Business Ethics. https://doi.org/10.1007/s10551-023-05358-w

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Tegmark, M. (2017). Life 3.0: Being human in the age of artificial intelligence. Alfred A. Knopf.

Twenge, J. M., Joiner, T. E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2018). Increases in depressive symptoms, suicide-related outcomes, and suicide rates among U.S. adolescents after 2010 and links to increased new media screen time. Clinical Psychological Science, 6(1), 3–17. https://doi.org/10.1177/2167702617723376

UNESCO. (2021). Recommendation on the ethics of artificial intelligence. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380455

UNESCO. (2023). Global education monitoring report 2023: Technology in education. https://www.unesco.org/reports/gem/2023

van Dijk, J. A. G. M. (2005). The deepening divide: Inequality in the information society. Sage Publications.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar