Etika Teknologi
Tanggung Jawab Moral, Risiko Sosial, dan Tantangan
Kemanusiaan
Alihkan ke: Etika Terapan.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif dimensi
moral dan tantangan etis yang muncul akibat perkembangan teknologi digital di
era kontemporer. Dalam lanskap teknologi yang semakin kompleks—meliputi
kecerdasan buatan, big data, sistem algoritmik, dan bio-teknologi—diperlukan
pendekatan etika yang tidak hanya normatif, tetapi juga kontekstual dan adaptif
terhadap dinamika sosial global. Dengan mengkaji landasan konseptual,
pendekatan filosofis (utilitarianisme, deontologi, etika kebajikan, dan
religius), serta isu-isu kontemporer seperti privasi, bias algoritmik, dan
tanggung jawab AI, artikel ini menyoroti urgensi integrasi nilai-nilai moral
dalam desain, regulasi, dan penggunaan teknologi.
Selain itu, artikel ini menganalisis tantangan
global seperti kesenjangan digital, kolonialisme data, dan dampak lingkungan,
serta mengkaji respon etis melalui kebijakan publik, tata kelola korporasi, dan
metodologi Value Sensitive Design. Pada bagian akhir, dikemukakan
tantangan masa depan seperti Artificial General Intelligence, posthumanisme,
dan teknologi kuantum, yang menuntut reorientasi paradigma etika ke arah
foresight, inklusivitas global, dan tanggung jawab antargenerasi. Artikel ini
menawarkan kerangka reflektif dan interdisipliner untuk membentuk masa depan
teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga manusiawi dan berkeadilan.
Kata Kunci: Etika Teknologi, Kecerdasan Buatan, Privasi
Digital, Keadilan Algoritmik, Tanggung Jawab Moral, Kebijakan Publik, Value
Sensitive Design, Risiko Eksistensial, Posthumanisme, Etika Global.
PEMBAHASAN
Etika Teknologi dalam Era Digital
1.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade
terakhir telah menghadirkan perubahan mendalam dalam hampir seluruh aspek
kehidupan manusia, mulai dari komunikasi, pendidikan, ekonomi, hingga kesehatan
dan pemerintahan. Era yang sering disebut sebagai era digital atau Revolusi
Industri 4.0 ini telah mempercepat laju otomatisasi, memperluas penggunaan
kecerdasan buatan (AI), serta menormalisasi pengumpulan dan pemrosesan data
berskala besar (big data). Namun, kemajuan ini juga membawa serta
pertanyaan-pertanyaan moral yang kompleks dan mendesak, terutama terkait dengan
tanggung jawab, keadilan, privasi, dan dampaknya terhadap nilai-nilai
kemanusiaan.
Istilah etika teknologi mengacu pada bidang
dalam etika terapan yang membahas prinsip-prinsip moral dalam pengembangan,
penggunaan, dan dampak teknologi terhadap individu dan masyarakat. Etika
teknologi berupaya menjawab pertanyaan: apakah semua yang mungkin
dilakukan oleh teknologi juga seharusnya dilakukan? James H. Moor
menyatakan bahwa “kemajuan teknologi menciptakan kekosongan kebijakan,”
yaitu situasi di mana teknologi melampaui batas norma-norma etis dan hukum yang
berlaku, sehingga menuntut perumusan nilai-nilai baru untuk mengisi kekosongan
tersebut¹.
Kemunculan teknologi digital telah memperluas
cakupan isu etis yang perlu dianalisis secara serius. Contohnya, pemanfaatan AI
dalam pengambilan keputusan—baik dalam sistem peradilan, perbankan, maupun
medis—menimbulkan dilema terkait transparansi algoritmik dan pertanggungjawaban
moral ketika terjadi kesalahan². Selain itu, maraknya praktik pengawasan
digital dan monetisasi data pribadi dalam model bisnis surveillance
capitalism menunjukkan bahwa teknologi tidak netral secara moral, melainkan
memiliki implikasi normatif yang signifikan terhadap kebebasan individu dan
struktur kekuasaan sosial³.
Di sisi lain, terdapat pula potensi besar teknologi
untuk memajukan kesejahteraan manusia, meningkatkan efisiensi pelayanan publik,
dan menciptakan solusi inovatif terhadap tantangan global seperti perubahan
iklim, pandemi, dan kesenjangan sosial. Namun, manfaat ini hanya dapat dicapai
bila teknologi diarahkan oleh nilai-nilai etis yang kuat dan disertai dengan
regulasi yang berpihak pada kemanusiaan⁴.
Karena itu, pendekatan etis terhadap teknologi
bukan sekadar pelengkap, melainkan suatu kebutuhan mendasar untuk memastikan
bahwa teknologi melayani tujuan-tujuan yang manusiawi dan berkeadilan. Etika
teknologi menjadi medan refleksi kritis yang menjembatani antara potensi teknis
dan nilai-nilai moral, antara inovasi dan tanggung jawab. Artikel ini bertujuan
untuk mengkaji secara sistematis prinsip-prinsip, pendekatan, dan isu-isu
sentral dalam etika teknologi, dengan fokus pada tanggung jawab moral, risiko
sosial, dan tantangan kemanusiaan di era digital.
Footnotes
[1]
James H. Moor, “What is Computer Ethics?” Metaphilosophy
16, no. 4 (1985): 269.
[2]
Deborah G. Johnson, Computer Ethics, 4th ed.
(Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2009), 94–96.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New
York: PublicAffairs, 2019), 8–9.
[4]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University
Press, 2016), 21–25.
2.
Konsep Dasar Etika Teknologi
Etika teknologi merupakan
cabang dari etika terapan yang secara khusus menyoroti dimensi moral dari
pengembangan dan penggunaan teknologi. Istilah ini mencakup analisis terhadap
bagaimana teknologi memengaruhi nilai-nilai sosial, hak individu, dan tatanan
moral masyarakat, serta bagaimana keputusan-keputusan teknologis harus dinilai
secara normatif. Sebagai bidang interdisipliner, etika teknologi melibatkan
filosofi moral, ilmu komputer, studi sosioteknis, hingga kebijakan publik.
Secara historis,
perhatian terhadap aspek etis dari teknologi muncul seiring meningkatnya
kompleksitas dan dampak sosial dari teknologi modern, terutama setelah Revolusi
Industri dan—secara lebih tajam—di era informasi. Teknologi bukan lagi sekadar
alat netral yang mempercepat aktivitas manusia, tetapi telah menjadi sistem
otonom yang secara aktif membentuk preferensi, kebiasaan, dan bahkan keputusan
moral penggunanya¹.
2.1.
Teknologi sebagai Entitas Normatif
Salah satu gagasan
utama dalam etika teknologi adalah bahwa teknologi memiliki sifat normatif—yakni,
ia membawa serta nilai-nilai dan asumsi moral tertentu. Don Ihde dan kelompok
teori mediasi teknologi (postphenomenology) menunjukkan bahwa teknologi tidak
hanya "digunakan", melainkan juga “mengarahkan”
perilaku dan pengalaman manusia². Misalnya, desain antarmuka aplikasi media
sosial tidak hanya memfasilitasi komunikasi, tetapi juga mendorong pola adiksi,
kebutuhan validasi, dan pembentukan identitas digital.
Dalam konteks ini,
muncul gagasan bahwa rekayasa teknologi seharusnya tidak bebas nilai.
Sebaliknya, nilai-nilai seperti keadilan, privasi, transparansi, dan kebajikan
sosial harus diintegrasikan dalam desain sistem teknologi sejak awal.
Pendekatan ini dikenal sebagai Value Sensitive Design (VSD), yang
dipelopori oleh Batya Friedman dan rekan-rekannya³.
2.2.
Etika Terapan vs. Etika Umum dalam
Teknologi
Etika teknologi
sering diklasifikasikan sebagai bagian dari etika terapan karena berupaya
menerapkan prinsip-prinsip etis umum—seperti utilitarianisme, deontologi, atau
etika kebajikan—ke dalam konteks-konteks spesifik penggunaan teknologi. Namun,
banyak ahli berpendapat bahwa kompleksitas masalah teknologi membutuhkan
pendekatan yang lebih adaptif dan kontekstual, tidak cukup hanya dengan
menerapkan kerangka normatif klasik secara kaku⁴.
Sebagai contoh,
pemrosesan data biometrik dalam sistem pengenalan wajah tidak hanya menimbulkan
pertanyaan tentang privasi (sebagaimana dijawab oleh pendekatan deontologis),
tetapi juga tentang distribusi risiko, bias algoritmik, dan potensi
diskriminasi sistematis—yang semuanya memerlukan pendekatan multidimensional.
2.3.
Nilai-Nilai Etis Kunci dalam
Teknologi
Terdapat sejumlah
nilai moral kunci yang menjadi pusat perhatian dalam etika teknologi, antara
lain:
·
Privasi:
Hak individu untuk mengontrol informasi pribadi dalam era digital yang penuh
pengawasan⁵.
·
Keamanan:
Perlindungan terhadap ancaman teknologis, baik secara siber maupun fisik.
·
Keadilan:
Pencegahan terhadap ketimpangan akses, bias algoritmik, dan diskriminasi
digital.
·
Otonomi:
Kemampuan individu untuk membuat keputusan bebas dari manipulasi sistem
otomatis.
·
Tanggung Jawab
Moral: Pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab ketika
teknologi menyebabkan kerugian—perancang, pengguna, atau sistem itu sendiri?
Nilai-nilai ini
sering kali saling berkonflik. Sebagai contoh, peningkatan keamanan melalui
sistem pengawasan publik dapat mengorbankan privasi individu. Karena itu, etika
teknologi juga melibatkan proses penyeimbangan normatif antara nilai-nilai
tersebut.
2.4.
Relasi antara Manusia, Teknologi,
dan Masyarakat
Etika teknologi
tidak berdiri sendiri sebagai teori abstrak, tetapi selalu berakar dalam
konteks sosial dan budaya. Teknologi membentuk dan dibentuk oleh norma sosial,
ekonomi politik, serta struktur kekuasaan. Oleh karena itu, etika teknologi
perlu mempertimbangkan aspek keadilan distributif, suara komunitas terdampak,
serta dampak global dari inovasi teknologi, khususnya di negara-negara
berkembang⁶.
Dengan memahami
bahwa teknologi bersifat normatif, kontekstual, dan multiaktor, maka etika
teknologi menjadi alat penting untuk menavigasi tantangan moral di era digital.
Ia tidak hanya berfungsi sebagai penilai (adjudicator) terhadap tindakan
teknologis, tetapi juga sebagai panduan etik dalam proses inovasi itu sendiri.
Footnotes
[1]
Philip Brey, “Ethics of Emerging Technologies,” in The
International Encyclopedia of Ethics, ed. Hugh LaFollette (Chichester, UK:
Wiley-Blackwell, 2013), 1–9.
[2]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 72–75.
[3]
Batya Friedman, Peter H. Kahn Jr., and Alan Borning, “Value Sensitive
Design and Information Systems,” in Human-Computer Interaction and
Management Information Systems: Foundations, ed. Ping Zhang and Dennis
Galletta (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2006), 348–372.
[4]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 30–34.
[5]
Charles Ess, Digital Media Ethics, 2nd ed. (Cambridge: Polity
Press, 2020), 45–50.
[6]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 88–95.
3.
Pendekatan Filosofis terhadap Etika Teknologi
Untuk memahami
dimensi normatif dari teknologi secara mendalam, diperlukan kerangka filosofis
yang mampu menjelaskan dasar moral dari berbagai kebijakan, praktik, dan desain
teknologi. Etika teknologi tidak hanya membahas "apa yang dilakukan
oleh teknologi", tetapi juga "apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dengan teknologi". Dalam konteks ini, sejumlah pendekatan
filosofis klasik—seperti utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan—telah
diadaptasi untuk menjawab tantangan moral di era digital.
3.1.
Utilitarianisme dan
Konsekuensialisme Teknologis
Utilitarianisme,
yang berakar pada pemikiran Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menilai
tindakan berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan, khususnya dalam hal manfaat
terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Dalam etika teknologi, pendekatan ini
berguna untuk mengevaluasi kebijakan publik berbasis teknologi, seperti sistem
pengawasan, distribusi vaksin berbasis algoritma, atau otomatisasi tenaga
kerja.
Namun, pendekatan
utilitarian sering dikritik karena kecenderungannya mengabaikan hak individu
demi keuntungan kolektif. Misalnya, sistem AI yang mengorbankan privasi
individu untuk keamanan publik dapat dinilai "bermanfaat" dalam
kerangka utilitarian, tetapi secara etis problematik bila tidak diimbangi
dengan perlindungan hak asasi manusia¹.
3.2.
Deontologi dan Hak Asasi Manusia
Digital
Deontologi, yang
dikembangkan oleh Immanuel Kant, menekankan prinsip moral universal dan
penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam konteks teknologi, pendekatan ini
menolak tindakan yang secara intrinsik melanggar hak—sekalipun hasilnya
menguntungkan. Misalnya, pelacakan lokasi tanpa persetujuan eksplisit dianggap
tidak etis karena melanggar prinsip otonomi dan privasi².
Pendekatan
deontologis menjadi dasar bagi pengembangan berbagai kode etik digital, seperti
prinsip privasi data, informed consent, dan desain yang menghormati hak
pengguna. Organisasi seperti European Union dengan kebijakan General
Data Protection Regulation (GDPR) mengadopsi banyak elemen
deontologis dalam perlindungan digital³.
3.3.
Etika Kebajikan dan Karakter
Teknologis
Berbeda dengan dua
pendekatan sebelumnya, etika kebajikan (virtue ethics) tidak berfokus pada
tindakan atau akibatnya, melainkan pada pembentukan karakter moral yang baik.
Didasarkan pada pemikiran Aristoteles, etika ini menilai apakah suatu teknologi
mendukung atau menghambat pengembangan kebajikan manusia seperti kebijaksanaan,
empati, dan keadilan⁴.
Shannon Vallor,
dalam karya pentingnya Technology and the Virtues,
berargumen bahwa teknologi modern harus dievaluasi berdasarkan kemampuannya
untuk memelihara kehidupan yang bermakna dan bermoral. Ia mengajukan kebajikan
digital seperti kehati-hatian (prudence), keberanian moral, dan
keadilan sebagai kompas etis dalam merancang dan menggunakan teknologi⁵. Dengan
pendekatan ini, penggunaan teknologi media sosial, misalnya, akan dinilai dari
sejauh mana ia membentuk kebiasaan dan karakter yang mendukung kehidupan sosial
yang sehat.
3.4.
Pendekatan Teologis dan Etika
Religius
Etika teknologi juga
dapat dikaji dari perspektif keagamaan, yang membawa prinsip-prinsip moral yang
bersumber dari wahyu dan tradisi spiritual. Dalam Islam, misalnya, penggunaan
teknologi harus selaras dengan prinsip maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan
syariat) yang menjamin perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta⁶. Demikian pula, dalam tradisi Kristen dan Yahudi, penggunaan teknologi dipertimbangkan
dalam kerangka tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan dan nilai kehidupan yang
kudus.
Pendekatan religius
ini sering kali mengedepankan prinsip tanggung jawab, amanah, dan keadilan
antar generasi—terutama dalam isu seperti perubahan iklim, rekayasa genetika,
dan dominasi korporasi digital.
Kesimpulan
Sementara
Beragam pendekatan
filosofis tersebut menunjukkan bahwa etika teknologi bukan hanya soal teknis
atau legal, tetapi sangat terkait dengan visi tentang apa artinya menjadi
manusia yang bermoral dalam dunia yang makin dikuasai oleh sistem digital.
Dengan mengintegrasikan perspektif utilitarian, deontologis, kebajikan, dan
religius, kita dapat membangun kerangka etis yang lebih utuh dan reflektif
dalam merespons kompleksitas teknologi modern.
Footnotes
[1]
James Moor, “What is Computer Ethics?” Metaphilosophy 16, no.
4 (1985): 270.
[2]
Deborah G. Johnson, Computer Ethics, 4th ed. (Upper Saddle
River, NJ: Pearson, 2009), 52–55.
[3]
European Commission, General Data Protection Regulation (GDPR),
Regulation (EU) 2016/679, April 27, 2016.
[4]
Rosalind Hursthouse and Glen Pettigrove, “Virtue Ethics,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2018
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2018/entries/ethics-virtue/.
[5]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 15–18.
[6]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: IIIT, 2008), 32–37.
4.
Isu-Isu Etis dalam Teknologi Kontemporer
Perkembangan
teknologi digital dalam berbagai ranah kehidupan—mulai dari kecerdasan buatan
(AI), internet of things (IoT), hingga platform digital—telah melahirkan
sejumlah persoalan etis yang semakin kompleks. Isu-isu ini tidak hanya
menyentuh aspek teknis, tetapi juga berdampak langsung terhadap hak asasi
manusia, struktur sosial, dan nilai-nilai demokrasi. Berikut ini adalah empat
isu etis sentral yang mencerminkan tantangan utama dalam etika teknologi
kontemporer.
4.1.
Privasi dan Pengawasan Digital
Salah satu tantangan
terbesar dalam masyarakat digital adalah erosinya hak atas privasi. Dalam
ekosistem digital yang terhubung secara permanen, data pribadi pengguna
dikumpulkan, dianalisis, dan dimonetisasi oleh perusahaan teknologi dan bahkan
oleh institusi negara. Praktik ini melahirkan bentuk baru kapitalisme data yang
dikenal dengan istilah surveillance capitalism,
sebagaimana dikemukakan oleh Shoshana Zuboff¹.
Penggunaan sistem
pengenalan wajah, pelacakan lokasi GPS, dan pengawasan siber berbasis AI telah
mengaburkan batas antara keamanan publik dan pelanggaran hak individu.
Negara-negara otoriter kerap memanfaatkan teknologi ini untuk membungkam
oposisi, sedangkan perusahaan komersial menggunakannya untuk mengarahkan
perilaku konsumen, sering kali tanpa persetujuan eksplisit dari pengguna².
Ketidakseimbangan kekuasaan antara pengumpul data dan subjek data menjadi pusat
persoalan etis yang harus ditanggapi secara serius.
4.2.
Keadilan Algoritmik dan Bias Data
Sistem algoritmik
yang digunakan dalam penilaian kredit, rekrutmen kerja, hingga sistem peradilan
pidana telah terbukti memperkuat diskriminasi struktural akibat bias dalam data
pelatihan atau model statistik yang digunakan³. Cathy O’Neil menyebut sistem
semacam ini sebagai Weapons of Math Destruction, karena
bersifat tidak transparan, beroperasi dalam skala besar, dan cenderung
memperburuk ketidakadilan sosial⁴.
Masalah keadilan
algoritmik mencakup pertanyaan mendasar: Siapa yang bertanggung jawab ketika
sistem membuat keputusan yang merugikan kelompok tertentu? Bagaimana kita
memastikan bahwa model AI mencerminkan prinsip keadilan dan inklusivitas? Etika
teknologi dalam hal ini harus menekankan pentingnya transparansi, audit
algoritmik, dan partisipasi publik dalam merancang sistem cerdas.
4.3.
Kecerdasan Buatan dan Tanggung Jawab
Moral
Meningkatnya otonomi
sistem kecerdasan buatan—mulai dari mobil otonom hingga chatbot medis dan
sistem pertahanan berbasis AI—menimbulkan pertanyaan serius tentang tanggung
jawab moral. Ketika sistem mengambil keputusan kritis secara mandiri, siapa
yang harus dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kegagalan atau dampak
negatif?
Nick Bostrom dan
Eliezer Yudkowsky memperingatkan tentang alignment problem, yaitu
kesenjangan antara tujuan AI dan nilai-nilai manusia, yang bisa berakibat fatal
jika tidak diantisipasi sejak awal dalam tahap desain⁵. Selain itu, muncul pula
dilema moral dalam konteks militer, seperti penggunaan lethal
autonomous weapons systems (LAWS) yang dapat membunuh tanpa campur
tangan manusia. Etika teknologi harus hadir sebagai kerangka normatif untuk
membatasi dan mengarahkan penggunaan AI sesuai nilai-nilai kemanusiaan.
4.4.
Teknologi Digital dan Kesejahteraan
Psikologis
Kemudahan akses
informasi dan komunikasi yang ditawarkan oleh media sosial ternyata memiliki
sisi gelap yang signifikan. Berbagai riset menunjukkan korelasi antara
penggunaan platform seperti Instagram, TikTok, atau X (sebelumnya Twitter) dengan
peningkatan kecemasan, depresi, serta gangguan citra diri pada remaja dan
dewasa muda⁶. Algoritma yang dirancang untuk mempertahankan atensi pengguna
melalui infinite
scroll atau notifikasi impulsif justru memicu ketergantungan
digital dan penurunan kualitas interaksi sosial.
Eleanor Gordon-Smith
mencatat bahwa teknologi saat ini tidak sekadar memperkuat kebiasaan manusia,
melainkan membentuknya secara struktural dan halus melalui nudging,
yakni dorongan perilaku yang tidak disadari namun efektif⁷. Di sinilah urgensi
pendekatan etika kebajikan menjadi relevan, yakni mendorong penggunaan
teknologi yang memperkuat karakter moral dan kehidupan bermakna.
Kesimpulan
Sementara
Isu-isu etis dalam
teknologi kontemporer menunjukkan bahwa inovasi digital bukanlah proses netral,
melainkan selalu sarat dengan kepentingan, asumsi moral, dan dampak sosial.
Oleh karena itu, etika teknologi harus menjadi bagian integral dalam
perencanaan, pengembangan, dan pengawasan sistem teknologi. Tidak cukup bagi
teknologi sekadar “berfungsi”, ia juga harus “benar secara moral”.
Footnotes
[1]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 8–12.
[2]
David Lyon, Surveillance After Snowden (Cambridge: Polity
Press, 2015), 45–49.
[3]
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools
Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018),
91–95.
[4]
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases
Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 18–22.
[5]
Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial
Intelligence,” in The Cambridge Handbook of Artificial Intelligence,
ed. Keith Frankish and William Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 316–334.
[6]
Jean M. Twenge et al., “Increases in Depressive Symptoms,
Suicide-Related Outcomes, and Suicide Rates Among U.S. Adolescents After 2010
and Links to Increased New Media Screen Time,” Clinical Psychological
Science 6, no. 1 (2018): 3–17.
[7]
Eleanor Gordon-Smith, Stop Being Reasonable: How We Really Change
Our Minds (London: PublicAffairs, 2019), 144–150.
5.
Etika Teknologi dalam Konteks Sosial-Global
Etika teknologi
tidak hanya relevan dalam lingkup individu atau institusi lokal, tetapi juga
memiliki dimensi sosial-global yang mendalam. Perkembangan teknologi informasi,
sistem kecerdasan buatan, serta infrastruktur digital lintas negara telah
menciptakan kondisi di mana keputusan teknologis satu pihak dapat berdampak
luas terhadap komunitas lain di belahan dunia berbeda. Dalam konteks
globalisasi dan interdependensi digital ini, muncul tantangan-tantangan etis
yang menuntut pendekatan lintas budaya, multinasional, dan berkeadilan
distributif.
5.1.
Kesenjangan Digital dan
Ketidakadilan Global
Salah satu isu
paling mendesak adalah kesenjangan digital (digital
divide)—yakni disparitas dalam akses terhadap teknologi dan
informasi antara negara maju dan negara berkembang, serta antara masyarakat
urban dan pedesaan. Akses yang tidak merata terhadap internet, perangkat keras,
dan literasi digital telah menciptakan eksklusi sosial dalam bidang pendidikan,
layanan kesehatan, dan partisipasi ekonomi⁽¹⁾.
UNESCO dan World
Bank telah menekankan bahwa kesenjangan ini bukan hanya soal teknis atau
infrastruktur, tetapi juga soal keadilan sosial, karena akses
digital menentukan peluang mobilitas sosial dan ekonomi di abad ke-21⁽²⁾. Dalam
konteks ini, etika teknologi menuntut adanya prinsip distribusi yang adil dalam
perumusan kebijakan pembangunan digital—agar inovasi teknologi tidak
memperdalam ketimpangan global.
5.2.
Etika Teknologi di Negara Berkembang
Di negara-negara
berkembang, teknologi kerap diimpor tanpa refleksi kritis atas konteks
sosial-budaya lokal. Proyek digitalisasi yang tidak disesuaikan dengan
kebutuhan dan norma komunitas lokal sering kali justru memperkuat dominasi
budaya dan ekonomi negara-negara global utara. Hal ini menciptakan bentuk baru
kolonialisme digital atau data colonialism⁽³⁾, di mana data
komunitas lokal dimanfaatkan oleh korporasi asing tanpa kontrol atau keuntungan
yang proporsional bagi pihak lokal.
Pendekatan etika
teknologi dalam konteks ini harus memperhitungkan prinsip agency
lokal, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
teknologi, serta perlindungan terhadap nilai-nilai kultural yang rentan
tererosi oleh modernisasi digital.
5.3.
Hak Kekayaan Intelektual dan Akses
Terbuka
Perkembangan
teknologi digital juga memunculkan debat etis seputar hak
kekayaan intelektual (HKI), terutama terkait dengan informasi
ilmiah, obat-obatan, dan software. Di satu sisi, perlindungan HKI dianggap
penting untuk mendorong inovasi. Namun, dalam konteks global, sistem HKI yang
terlalu ketat dapat menghambat akses negara miskin terhadap informasi penting
atau sumber daya medis, seperti vaksin dan alat diagnostik⁽⁴⁾.
Sebagai respons
etis, muncul gerakan akses terbuka (open access)
yang mendorong distribusi pengetahuan dan inovasi digital secara lebih merata.
Model ini menekankan bahwa teknologi harus digunakan untuk kepentingan bersama
(common
good), bukan hanya keuntungan korporasi.
5.4.
Teknologi dan Krisis Iklim Global
Teknologi digital
tidak bebas dari konsekuensi lingkungan. Produksi perangkat elektronik, server
data, dan konsumsi energi untuk kebutuhan komputasi awan (cloud computing)
memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi karbon dan limbah
elektronik⁽⁵⁾. Ironisnya, banyak inovasi teknologi dikembangkan dengan janji
keberlanjutan, namun proses produksinya justru memperparah krisis ekologis.
Etika teknologi
dalam konteks ini harus melibatkan prinsip keadilan antargenerasi, yaitu
tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang agar tidak mewarisi planet
yang rusak. Perlu juga diterapkan prinsip teknologi berkelanjutan (sustainable tech)
yang mengintegrasikan dampak lingkungan dalam siklus hidup teknologi sejak
tahap desain hingga daur ulang.
5.5.
Etika Global dan Standar
Internasional
Ketiadaan
kesepakatan global atas norma dan standar etis dalam pengembangan teknologi,
terutama AI, memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi opini
publik, dan eksploitasi data. Inisiatif seperti AI Ethics Guidelines oleh OECD,
UNESCO, dan European Commission menjadi langkah awal penting dalam membangun
kerangka etika global yang inklusif⁽⁶⁾.
Namun demikian,
pendekatan etika global juga harus terbuka terhadap pluralisme
budaya, agar tidak terjebak dalam dominasi nilai-nilai Barat
yang homogen. Dalam hal ini, dialog antarbudaya menjadi
penting agar etika teknologi tidak hanya bersifat universal, tetapi juga
kontekstual dan menghormati keragaman pandangan moral.
Kesimpulan
Sementara
Dalam skala global,
etika teknologi harus mencakup lebih dari sekadar desain dan penggunaan sistem
digital. Ia harus menjadi bagian integral dari perjuangan global untuk keadilan,
keberlanjutan, dan solidaritas antarmanusia. Etika yang mementingkan distribusi
manfaat teknologi secara adil dan berkelanjutan adalah landasan penting bagi
masa depan digital yang benar-benar manusiawi.
Footnotes
[1]
Jan A.G.M. van Dijk, The Deepening Divide: Inequality in the
Information Society (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2005), 17–19.
[2]
UNESCO, Global Education Monitoring Report 2023: Technology in
Education (Paris: UNESCO, 2023), 34–36.
[3]
Nick Couldry and Ulises A. Mejias, The Costs of Connection: How
Data is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism
(Stanford: Stanford University Press, 2019), 2–6.
[4]
Peter Drahos and John Braithwaite, Information Feudalism: Who Owns
the Knowledge Economy? (London: Earthscan, 2002), 85–92.
[5]
Kate Crawford, Atlas of AI: Power, Politics, and the Planetary
Costs of Artificial Intelligence (New Haven: Yale University Press, 2021),
133–137.
[6]
UNESCO, Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence
(Paris: UNESCO, 2021), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380455.
6.
Kebijakan Publik dan Regulasi Etis Teknologi
Perkembangan
teknologi digital yang begitu cepat telah melampaui kemampuan banyak negara dan
institusi dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi yang memadai. Di tengah
berbagai potensi dan risiko yang dihadirkan teknologi—mulai dari pelanggaran
privasi hingga diskriminasi algoritmik—regulasi etis menjadi kebutuhan yang
mendesak. Kebijakan publik tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan dampak
negatif, tetapi juga untuk memastikan bahwa perkembangan teknologi berpihak
pada kepentingan publik, keadilan sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan.
6.1.
Peran Negara dalam Etika Teknologi
Negara memiliki
tanggung jawab penting dalam menciptakan regulasi yang menjamin perlindungan
hak-hak digital warga negara. Peraturan ini meliputi keamanan data pribadi,
transparansi algoritma, pertanggungjawaban AI, hingga perlindungan dari
penyalahgunaan teknologi oleh institusi maupun korporasi. Salah satu contoh
penting adalah regulasi General Data Protection Regulation (GDPR)
yang diterapkan di Uni Eropa sejak 2018. GDPR mewajibkan transparansi dalam
pengumpulan data, hak untuk dilupakan (right to be forgotten), serta
persetujuan eksplisit dalam pengelolaan data pribadi¹.
Kebijakan publik
berbasis etika harus melampaui pendekatan reaktif terhadap pelanggaran, dan
mulai mengadopsi prinsip etik-by-design, di mana
nilai-nilai moral diintegrasikan dalam tahap perencanaan dan implementasi teknologi
sejak awal².
6.2.
Peran Korporasi Teknologi dan
Tanggung Jawab Sosial
Selain negara,
perusahaan teknologi merupakan aktor utama yang membentuk lanskap etika
digital. Tanggung jawab etis korporasi (corporate digital responsibility)
menuntut agar perusahaan tidak hanya tunduk pada hukum, tetapi juga memegang
prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan. Konsep ini sejalan dengan Environmental,
Social, and Governance (ESG) yang semakin menjadi standar
global dalam penilaian keberlanjutan perusahaan teknologi³.
Beberapa inisiatif
menunjukkan bahwa etika dapat menjadi bagian dari tata kelola internal
perusahaan. Google, misalnya, sempat membentuk “AI Ethics Board”
(meskipun kemudian dibubarkan), sementara Microsoft merilis kerangka Responsible
AI untuk menavigasi pengembangan teknologi secara etis⁴. Namun,
banyak pengamat menyatakan bahwa regulasi mandiri tidak cukup dan cenderung
bersifat kosmetik jika tidak disertai dengan pengawasan independen.
6.3.
Etika dalam Desain Teknologi: Value
Sensitive Design (VSD)
Salah satu
pendekatan yang semakin populer adalah Value Sensitive Design (VSD),
yaitu metodologi pengembangan teknologi yang secara sistematis mengintegrasikan
nilai-nilai moral ke dalam proses desain. Pendekatan ini menekankan bahwa nilai
seperti privasi, keadilan, keamanan, dan otonomi bukanlah tambahan eksternal,
melainkan harus menjadi bagian inheren dari sistem teknologi yang dibangun⁵.
Dalam praktiknya,
VSD melibatkan aktor-aktor berkepentingan sejak tahap awal, melakukan analisis
konteks sosial dan kultural, serta menguji desain dengan pendekatan etnografis
dan partisipatif. Pendekatan ini sangat penting terutama dalam proyek-proyek
teknologi publik, seperti sistem e-government, platform pendidikan, atau sistem
kesehatan digital.
6.4.
Tantangan Regulasi dalam Era
Teknologi Global
Tantangan terbesar
dalam regulasi etis teknologi adalah sifatnya yang transnasional. Teknologi
digital melampaui batas-batas yuridiksi negara, sehingga peraturan nasional
sering kali tidak memadai. Misalnya, penyalahgunaan data oleh perusahaan global
yang berkantor pusat di negara berbeda menyulitkan proses litigasi dan
pertanggungjawaban hukum.
Karena itu, penting
adanya kerja
sama multilateral dan harmonisasi standar etika internasional.
Upaya seperti OECD AI Principles, UNESCO Recommendation
on the Ethics of Artificial Intelligence, dan EU AI
Act adalah langkah awal yang signifikan, namun belum sepenuhnya
efektif tanpa komitmen politik dan sumber daya yang memadai⁶.
Lebih dari itu,
etika teknologi global harus bersifat inklusif dan dialogis—tidak mendikte
standar tunggal dari Barat, tetapi terbuka terhadap pandangan dan nilai lokal
yang kontekstual.
6.5.
Keterlibatan Masyarakat Sipil dan
Pendidikan Etika Digital
Kebijakan etika
teknologi tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil. NGO,
jurnalis data, akademisi, dan komunitas teknologi berperan penting sebagai
pengawas independen dan pengembang wacana kritis terhadap kebijakan teknologi.
Selain itu, pendidikan etika digital—baik formal di sekolah dan universitas,
maupun informal melalui kampanye publik—harus digalakkan untuk membangun
kesadaran moral di tengah masyarakat yang semakin terdigitalisasi⁷.
Kesimpulan
Sementara
Kebijakan publik dan
regulasi etis teknologi harus bersifat holistik, adaptif, dan partisipatif. Ia
tidak cukup hanya mengatur konsekuensi teknologi, tetapi juga harus membentuk
budaya teknologi yang berpihak pada kemanusiaan. Di sinilah peran negara,
korporasi, akademisi, dan masyarakat sipil bertemu dalam membangun tata kelola
digital yang adil dan etis di era global.
Footnotes
[1]
European Commission, General Data Protection Regulation (GDPR),
Regulation (EU) 2016/679, April 27, 2016.
[2]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI
Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and
Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.
[3]
Maria Savona et al., “Digitalisation and Corporate Social
Responsibility: The Role of ESG Strategies in the Tech Sector,” Journal of
Business Ethics (2023): 1–20.
[4]
Mark Latonero, “Governing Artificial Intelligence: Upholding Human
Rights & Dignity,” Data & Society Research Institute, October
2018, 14–16.
[5]
Batya Friedman, Peter H. Kahn Jr., and Alan Borning, “Value Sensitive
Design and Information Systems,” in Human-Computer Interaction and
Management Information Systems: Foundations, ed. Ping Zhang and Dennis
Galletta (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2006), 348–372.
[6]
UNESCO, Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence
(Paris: UNESCO, 2021), https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380455.
[7]
Charles Ess, Digital Media Ethics, 2nd ed. (Cambridge: Polity
Press, 2020), 118–124.
7.
Tantangan Masa Depan dan Reorientasi Etika
Teknologi
Seiring dengan
akselerasi perkembangan teknologi, kita dihadapkan pada tantangan-tantangan
etis baru yang belum memiliki jawaban mapan dalam kerangka etika konvensional.
Masa depan teknologi membawa serta kemungkinan-kemungkinan luar biasa, mulai
dari kecerdasan buatan tingkat lanjut (AGI), rekayasa genetika, realitas
virtual dan augmentasi manusia, hingga teknologi kuantum. Namun, semua potensi
ini juga mengandung risiko eksistensial dan moral yang signifikan. Karena itu,
diperlukan reorientasi paradigma dalam etika teknologi—yakni
suatu pendekatan yang mampu merespons kompleksitas masa depan secara lebih
visioner, reflektif, dan interdisipliner.
7.1.
Artificial General Intelligence dan
Risiko Eksistensial
Salah satu tantangan
paling menonjol adalah potensi munculnya Artificial General Intelligence (AGI)—yakni
sistem kecerdasan buatan yang setara atau bahkan melampaui kecerdasan manusia
dalam berbagai bidang. AGI, jika tercapai, dapat memberikan manfaat besar dalam
memecahkan krisis global. Namun, banyak ahli memperingatkan bahwa jika tidak
dirancang secara etis, AGI juga dapat menimbulkan risiko
eksistensial (existential risks) terhadap umat manusia¹.
Nick Bostrom
mengingatkan bahwa tantangan utama bukan sekadar membuat AGI yang cerdas,
tetapi memastikan bahwa sistem tersebut terarah dengan nilai-nilai manusia
(alignment
problem)². Kegagalan dalam hal ini bisa menyebabkan AI bertindak di
luar kendali, dengan konsekuensi sosial dan biologis yang tak terbayangkan.
Maka, etika masa depan perlu bergerak ke arah foresight ethics, yaitu
kerangka etis yang mampu memprediksi, menilai, dan mengarahkan teknologi yang
belum sepenuhnya hadir.
7.2.
Posthumanisme dan Teknologi
Augmentatif
Kemajuan dalam
bidang bioteknologi,
neuroteknologi,
dan antarmuka
otak-komputer telah memunculkan wacana posthumanisme—yakni
gagasan bahwa teknologi dapat mentransformasi batas-batas biologis manusia dan
menciptakan entitas baru yang melampaui kapasitas alamiah³. Proyek seperti Neuralink,
CRISPR-Cas9,
dan pengembangan enhancement technologies
memunculkan pertanyaan: sampai sejauh mana kita dapat atau boleh mengubah
kodrat manusia?
Etika teknologi ke
depan harus mampu menjawab dilema ontologis dan moral: Apakah manusia masih
menjadi subjek etis ketika telah diperluas oleh mesin? Apakah keadilan masih
berlaku ketika hanya sebagian manusia yang bisa mengakses teknologi
augmentatif?⁴ Maka dari itu, pendekatan etis masa depan perlu beralih dari
sekadar “hak pengguna” ke pertanyaan yang lebih fundamental: apa arti
menjadi manusia dalam dunia yang pasca-manusia?
7.3.
Teknologi Kuantum dan Kompleksitas
Etis Baru
Teknologi kuantum,
terutama komputasi kuantum, membuka
babak baru dalam pemrosesan informasi dan keamanan digital. Dengan kemampuannya
memecahkan enkripsi konvensional dalam hitungan detik, teknologi ini berpotensi
mengganggu sistem keamanan global dan privasi digital secara drastis⁵. Di sisi
lain, ia juga dapat menjadi alat penting untuk memajukan sains dan kesehatan.
Kompleksitas
teknologi semacam ini menuntut etika yang bersifat teknosofis—yakni
tidak hanya normatif, tetapi juga melek terhadap substansi teknologinya.
Etika yang bersifat generik tidak lagi memadai untuk menilai dampak moral dari
sistem teknis yang begitu canggih dan abstrak.
7.4.
Perluasan Cakupan Etika: Dari
Antroposentris ke Ekosentris
Selama ini, etika
teknologi umumnya berfokus pada dampak terhadap manusia. Namun, di masa depan,
semakin terlihat urgensinya untuk mengembangkan pendekatan yang ekosentris
atau bahkan biosentris—yakni memperluas
pertimbangan moral terhadap lingkungan, makhluk hidup lain, dan sistem ekologi
secara keseluruhan⁶. Teknologi masa depan tidak boleh sekadar menguntungkan
manusia, tetapi juga harus menjaga keberlanjutan planet.
Pendekatan ini menuntut
integrasi antara etika lingkungan, etika
teknologi, dan filsafat sistem kompleks, yang
bersama-sama menciptakan dasar etis untuk keberlanjutan teknologi di bumi yang
terbatas sumber dayanya.
7.5.
Membangun Etika Teknologi yang
Progresif dan Adaptif
Untuk menjawab
tantangan-tantangan di atas, dibutuhkan reorientasi paradigma etika teknologi
ke arah yang lebih adaptif, dialogis, dan lintas disiplin. Etika masa depan
harus:
1)
Bersifat anticipatif,
tidak hanya reaktif terhadap dampak.
2)
Inklusif secara global dan
kultural, tidak hegemonik.
3)
Berbasis kebajikan digital,
bukan hanya regulasi legal.
4)
Mengintegrasikan ilmu
pengetahuan dan humaniora, agar tidak tercerabut dari konteks sosial
dan kultural.
Seperti dinyatakan
oleh Shannon Vallor, etika teknologi yang baik adalah etika yang mampu
membentuk masa depan yang “layak untuk diinginkan,” bukan hanya “mungkin
untuk diciptakan”⁷.
Kesimpulan
Sementara
Tantangan masa depan
dalam etika teknologi bukan sekadar tentang menjinakkan teknologi yang
berbahaya, tetapi tentang mengarahkan visi kolektif umat manusia
ke arah yang selaras dengan nilai-nilai luhur. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan tidak pasti, etika teknologi harus menjadi panduan
moral yang reflektif, adaptif, dan transformatif, bukan sekadar
penjaga batas-batas hukum.
Footnotes
[1]
Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial
Intelligence (New York: Alfred A. Knopf, 2017), 118–123.
[2]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 177–179.
[3]
Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of Uncertainty
(Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 64–67.
[4]
Steve Fuller and Veronika Lipinska, The Proactionary Imperative: A
Foundation for Transhumanism (London: Palgrave Macmillan, 2014), 41–46.
[5]
Jonathan Katz and Yehuda Lindell, Introduction to Modern
Cryptography, 3rd ed. (Boca Raton: CRC Press, 2020), 489–493.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 251–253.
[7]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 6–9.
8.
Penutup
Etika teknologi bukan lagi sekadar cabang etika
terapan yang bersifat marginal, melainkan telah menjadi medan refleksi utama
dalam menjawab dilema moral abad ke-21. Di tengah laju inovasi yang begitu
pesat, mulai dari kecerdasan buatan, digitalisasi kehidupan sosial, hingga
bio-teknologi dan komputasi kuantum, muncul berbagai persoalan etis yang
menuntut jawaban tidak hanya dari para teknolog, tetapi juga dari filsuf,
pembuat kebijakan, masyarakat sipil, dan komunitas global secara kolektif.
Sebagaimana ditunjukkan sepanjang pembahasan
artikel ini, teknologi tidak bersifat netral. Ia membawa serta nilai-nilai,
asumsi, dan konsekuensi moral yang berdampak pada struktur sosial, hubungan
antarmanusia, serta relasi antara manusia dan lingkungan⁽¹⁾. Oleh karena itu,
penting untuk menegaskan bahwa pertanyaan yang paling krusial bukanlah apa
yang bisa dilakukan oleh teknologi, tetapi apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dengan teknologi.
Dalam menghadapi tantangan kontemporer dan masa
depan, etika teknologi harus dibangun dengan pendekatan yang:
·
Normatif dan kritis, dalam
mengevaluasi dampak teknologi terhadap nilai-nilai moral.
·
Kontekstual dan transdisipliner, agar mampu menjawab kompleksitas persoalan teknologi dalam ragam
budaya dan struktur sosial.
·
Foresight-oriented, yakni
proaktif dalam mengantisipasi risiko-risiko yang belum hadir, sebagaimana dikembangkan
dalam kerangka anticipatory ethics⁽²⁾.
·
Partisipatif dan dialogis, dengan melibatkan suara masyarakat yang terdampak oleh teknologi,
termasuk kelompok rentan, komunitas adat, dan negara-negara berkembang.
Komitmen terhadap etika teknologi harus tercermin
dalam kebijakan publik, tata kelola korporasi, desain sistem, serta budaya
digital masyarakat. Upaya ini tidak dapat bergantung semata pada regulasi
formal, tetapi harus didorong pula oleh pendidikan etika digital dan literasi
moral sejak dini⁽³⁾.
Lebih jauh, sebagaimana dinyatakan oleh Luciano
Floridi, tantangan terbesar dalam etika teknologi bukanlah teknologi itu
sendiri, melainkan “bagaimana kita, sebagai manusia, memilih untuk hidup
bersama teknologi”⁽⁴⁾. Dengan demikian, etika teknologi harus dilihat sebagai
proyek kemanusiaan yang berkelanjutan—proyek untuk membangun masa depan yang
tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga luhur secara moral.
Footnotes
[1]
Philip Brey, “The Strategic Role of Technology in a
Good Society,” Technology in Society 52 (2018): 39–45.
[2]
Rafael A. Calvo, Dorian Peters, and James Buchanan,
“Ethical Design of AI Systems for Health and Well-Being,” in The Oxford
Handbook of Digital Ethics, ed. Carissa Véliz (Oxford: Oxford University
Press, 2022), 455–474.
[3]
Charles Ess, Digital Media Ethics, 2nd ed.
(Cambridge: Polity Press, 2020), 132–135.
[4]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 253.
Daftar Pustaka
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.
Bostrom, N., &
Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K. Frankish
& W. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial intelligence
(pp. 316–334). Cambridge University Press.
Brey, P. (2013). Ethics of
emerging technologies. In H. LaFollette (Ed.), The international
encyclopedia of ethics (pp. 1–9). Wiley-Blackwell.
Brey, P. (2018). The
strategic role of technology in a good society. Technology in Society, 52,
39–45. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2017.12.003
Calvo, R. A., Peters, D.,
& Buchanan, J. (2022). Ethical design of AI systems for health and
well-being. In C. Véliz (Ed.), The Oxford handbook of digital ethics
(pp. 455–474). Oxford University Press.
Couldry, N., & Mejias,
U. A. (2019). The costs of connection: How data is colonizing human life
and appropriating it for capitalism. Stanford University Press.
Crawford, K. (2021). Atlas
of AI: Power, politics, and the planetary costs of artificial intelligence.
Yale University Press.
Drahos, P., &
Braithwaite, J. (2002). Information feudalism: Who owns the knowledge
economy? Earthscan.
Ess, C. (2020). Digital
media ethics (2nd ed.). Polity Press.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Floridi, L., Cowls, J.,
Beltrametti, M., Chatila, R., Chazerand, P., Dignum, V., ... & Vayena, E.
(2018). AI4People—An ethical framework for a good AI society: Opportunities,
risks, principles, and recommendations. Minds and Machines, 28(4),
689–707. https://doi.org/10.1007/s11023-018-9482-5
Friedman, B., Kahn, P. H.,
Jr., & Borning, A. (2006). Value sensitive design and information systems.
In P. Zhang & D. Galletta (Eds.), Human-computer interaction and
management information systems: Foundations (pp. 348–372). M.E. Sharpe.
Fuller, S., & Lipinska,
V. (2014). The proactionary imperative: A foundation for transhumanism.
Palgrave Macmillan.
Johnson, D. G. (2009). Computer
ethics (4th ed.). Pearson.
Katz, J., & Lindell, Y.
(2020). Introduction to modern cryptography (3rd ed.). CRC Press.
Latonero, M. (2018). Governing
artificial intelligence: Upholding human rights & dignity. Data &
Society Research Institute. https://datasociety.net/pubs/ia/DataSociety_Governing_Artificial_Intelligence.pdf
Lyon, D. (2015). Surveillance
after Snowden. Polity Press.
Miah, A. (2008). Human
futures: Art in an age of uncertainty. Liverpool University Press.
Moor, J. H. (1985). What is
computer ethics? Metaphilosophy, 16(4), 266–275. https://doi.org/10.1111/j.1467-9973.1985.tb00173.x
O’Neil, C. (2016). Weapons
of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy.
Crown Publishing Group.
Savona, M., Jona-Lasinio,
C., & Rossi, A. (2023). Digitalisation and corporate social responsibility:
The role of ESG strategies in the tech sector. Journal of Business Ethics.
https://doi.org/10.1007/s10551-023-05358-w
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Tegmark, M. (2017). Life
3.0: Being human in the age of artificial intelligence. Alfred A. Knopf.
Twenge, J. M., Joiner, T.
E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2018). Increases in depressive
symptoms, suicide-related outcomes, and suicide rates among U.S. adolescents
after 2010 and links to increased new media screen time. Clinical
Psychological Science, 6(1), 3–17. https://doi.org/10.1177/2167702617723376
UNESCO. (2021). Recommendation
on the ethics of artificial intelligence. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380455
UNESCO. (2023). Global
education monitoring report 2023: Technology in education. https://www.unesco.org/reports/gem/2023
van Dijk, J. A. G. M.
(2005). The deepening divide: Inequality in the information society.
Sage Publications.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar