Senin, 06 Oktober 2025

Teori Reliabilisme: Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Teori Reliabilisme

Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kebenaran.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif teori reliabilisme sebagai salah satu pendekatan penting dalam epistemologi modern mengenai kebenaran dan justifikasi. Reliabilisme menekankan bahwa sebuah keyakinan dapat dikatakan benar atau terjustifikasi apabila dihasilkan oleh proses kognitif yang andal. Kajian ini diawali dengan penjelasan mengenai konsep dasar reliabilisme, perbedaannya dengan teori kebenaran lainnya, serta posisinya dalam kerangka eksternalisme epistemologis. Secara historis, reliabilisme berkembang sebagai respons terhadap problem Gettier dan dipelopori oleh Alvin Goldman, yang menekankan hubungan erat antara keandalan proses kognitif dengan pengetahuan yang sahih. Analisis konseptual dalam artikel ini mencakup diskusi tentang probabilitas reliabilitas, relasi antara reliabilitas dan kebenaran objektif, serta perdebatan internalisme-eksternalisme. Selanjutnya, artikel ini mengulas kritik utama terhadap reliabilisme, termasuk problem generalitas, kelemahan normatif dalam perspektif internalis, serta keterbatasannya dalam menjawab skeptisisme dan kasus Gettier lanjutan. Pada akhirnya, artikel ini menunjukkan relevansi kontemporer reliabilisme dalam filsafat ilmu, hukum, teknologi, kecerdasan buatan, hingga fenomena sosial-politik di era post-truth. Kesimpulannya, meskipun reliabilisme memiliki keterbatasan, ia tetap menjadi salah satu teori paling berpengaruh dalam epistemologi kontemporer, terutama karena potensinya untuk diintegrasikan dengan epistemologi kebajikan.

Kata Kunci: Reliabilisme; Kebenaran; Justifikasi Epistemik; Eksternalisme; Problem Gettier; Epistemologi Kebajikan; Post-Truth; Kecerdasan Buatan.


PEMBAHASAN

Teori Reliabilisme tentang Kebenaran


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang kebenaran merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat, khususnya epistemologi. Sejak era Yunani Kuno, para filsuf berupaya merumuskan kriteria yang dapat membedakan keyakinan yang benar dari yang salah. Berbagai teori kebenaran—seperti korespondensi, koherensi, pragmatisme, hingga konsensus—muncul untuk menjawab persoalan mendasar ini. Namun, perdebatan tidak berhenti pada definisi kebenaran itu sendiri, melainkan juga mencakup persoalan epistemologis tentang bagaimana sebuah keyakinan dapat dikatakan terjustifikasi atau dapat diandalkan. Di sinilah reliabilisme hadir sebagai salah satu teori penting dalam diskursus filsafat kontemporer tentang kebenaran dan justifikasi.

Secara umum, reliabilisme berangkat dari premis bahwa sebuah keyakinan dapat dianggap benar atau terjustifikasi jika dihasilkan oleh suatu proses kognitif yang andal (reliable cognitive process). Dengan kata lain, yang menjadi fokus reliabilisme bukan sekadar isi proposisi, melainkan mekanisme epistemik yang melatarbelakangi terbentuknya keyakinan tersebut.¹ Hal ini menempatkan reliabilisme dalam kerangka eksternalisme epistemologis, yakni posisi yang menegaskan bahwa seseorang tidak perlu memiliki akses internal terhadap bukti atau justifikasi, selama keyakinan yang ia miliki dihasilkan oleh mekanisme yang secara objektif dapat diandalkan.²

Gagasan reliabilisme mulai mendapatkan perhatian luas pada paruh kedua abad ke-20, terutama melalui karya Alvin Goldman. Dalam esainya yang berpengaruh, What Is Justified Belief? (1979), Goldman mengembangkan argumen bahwa syarat utama bagi justifikasi epistemik adalah reliabilitas proses kognitif yang menghasilkan keyakinan tersebut.³ Konsep ini memberikan arah baru dalam epistemologi, karena berupaya keluar dari jebakan internalisme yang menuntut akses penuh terhadap alasan atau bukti. Reliabilisme dianggap mampu menjembatani persoalan klasik tentang hubungan antara kebenaran, justifikasi, dan pengetahuan.

Dalam konteks lebih luas, reliabilisme tidak hanya relevan dalam teori pengetahuan, tetapi juga dalam berbagai bidang terapan, termasuk filsafat ilmu, etika informasi, hingga filsafat teknologi. Misalnya, reliabilisme dapat digunakan untuk menilai keandalan metode ilmiah, validitas kesaksian hukum, atau bahkan algoritma kecerdasan buatan dalam menghasilkan keputusan.⁴ Relevansi inilah yang membuat teori reliabilisme terus menjadi bahan diskusi serius, baik dalam kerangka akademis maupun praktik kontemporer.

Dengan demikian, pembahasan mengenai reliabilisme tidak dapat dilepaskan dari dua hal pokok: (1) konsep dasarnya yang berfokus pada reliabilitas proses kognitif sebagai syarat kebenaran atau justifikasi, dan (2) perannya dalam wacana epistemologi modern yang terus berhadapan dengan tantangan skeptisisme, problem generalitas, serta perkembangan teknologi informasi. Artikel ini bertujuan menguraikan secara sistematis konsep, sejarah, kritik, dan relevansi kontemporer dari teori reliabilisme, sehingga dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang posisi dan kontribusinya dalam perdebatan teori-teori kebenaran.


Footnotes

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–55.

[2]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 145–147.

[3]                Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.

[4]                Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 78–81.


2.           Konsep Dasar Reliabilisme

2.1.       Definisi Reliabilisme

Reliabilisme merupakan teori epistemologis yang menekankan bahwa suatu keyakinan dapat dikatakan benar atau terjustifikasi apabila ia dihasilkan oleh proses kognitif yang andal (reliable cognitive process).¹ Dengan demikian, ukuran kebenaran atau justifikasi tidak terletak pada ketersediaan bukti yang dapat diakses secara internal oleh subjek, melainkan pada kualitas objektif dari mekanisme yang menghasilkan keyakinan tersebut. Reliabilisme menolak tuntutan internalisme yang mensyaratkan individu harus mampu memberikan alasan atau bukti eksplisit bagi setiap keyakinan yang dianggap benar.²

2.2.       Reliabilisme tentang Justifikasi dan Kebenaran

Dalam epistemologi, reliabilisme kerap dibedakan menjadi dua bentuk utama: reliabilisme tentang justifikasi dan reliabilisme tentang kebenaran. Reliabilisme tentang justifikasi berpendapat bahwa sebuah keyakinan itu terjustifikasi apabila terbentuk melalui proses kognitif yang umumnya menghasilkan keyakinan yang benar dalam proporsi besar.³ Sementara itu, reliabilisme tentang kebenaran menekankan bahwa keandalan proses tersebut merupakan kriteria utama untuk memastikan bahwa sebuah keyakinan benar, bukan hanya terjustifikasi.⁴ Distingsi ini penting, sebab memungkinkan reliabilisme untuk berkontribusi tidak hanya pada epistemologi normatif, tetapi juga pada teori kebenaran secara umum.

2.3.       Prinsip Inti: Proses Kognitif yang Andal

Pusat dari teori reliabilisme adalah proses kognitif yang andal. Proses ini mencakup berbagai mekanisme mental seperti persepsi, memori, intuisi dasar, dan inferensi logis.⁵ Sebuah proses kognitif disebut andal apabila secara statistik ia menghasilkan keyakinan yang benar dalam sebagian besar kasusnya. Misalnya, persepsi visual dalam kondisi normal dianggap sebagai proses kognitif yang andal karena pada umumnya ia menghasilkan keyakinan yang benar tentang objek eksternal.⁶ Dengan demikian, reliabilisme memandang bahwa keandalan bersifat probabilistik: semakin tinggi tingkat keberhasilan sebuah proses dalam menghasilkan kebenaran, semakin kuat justifikasi keyakinan yang dihasilkannya.

2.4.       Eksternalisme Epistemologis

Reliabilisme ditempatkan dalam kerangka eksternalisme epistemologis, yang menegaskan bahwa seseorang tidak perlu memiliki akses reflektif terhadap bukti atau alasan yang mendasari keyakinannya agar keyakinan tersebut dapat dianggap terjustifikasi.⁷ Yang terpenting adalah bahwa keyakinan tersebut terbentuk melalui mekanisme yang dapat diandalkan dalam kondisi normal. Dalam hal ini, reliabilisme berlawanan dengan internalisme epistemologis, yang menuntut individu mampu mengakses dan mengartikulasikan alasan bagi keyakinan yang dipegang.⁸ Dengan posisi eksternalis ini, reliabilisme berusaha memberikan dasar yang lebih naturalistis bagi epistemologi, menekankan fungsi kognitif manusia dalam menghasilkan pengetahuan yang benar.

2.5.       Distingsi Reliabilisme Murni dan Hibrida

Seiring perkembangannya, muncul variasi dalam teori reliabilisme. Reliabilisme murni menekankan keandalan proses kognitif sebagai satu-satunya syarat justifikasi atau kebenaran.⁹ Namun, beberapa filsuf mengusulkan bentuk reliabilisme hibrida, yang memadukan elemen reliabilitas dengan tuntutan internalis, misalnya menambahkan syarat bahwa subjek tidak boleh mengabaikan adanya bukti penyangkal yang jelas.¹⁰ Model hibrida ini berusaha menutupi kelemahan reliabilisme murni, terutama dalam menghadapi problem skeptisisme dan generalitas.

Dengan uraian ini, jelas bahwa reliabilisme menempatkan keandalan sebagai inti dari pembahasan epistemologi dan teori kebenaran. Fokus pada “bagaimana keyakinan dihasilkan” memberikan perspektif baru dalam memahami hubungan antara justifikasi, kebenaran, dan pengetahuan, serta membedakannya secara signifikan dari teori-teori internalis yang lebih tradisional.


Footnotes

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 50–55.

[2]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 145–147.

[3]                Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.

[4]                Matthias Steup and John Turri, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N. Zalta, epistemology.

[5]                Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 131–135.

[6]                Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 78–80.

[7]                Hilary Kornblith, Knowledge and Its Place in Nature (Oxford: Oxford University Press, 2002), 115–118.

[8]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 41–45.

[9]                William Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 81–83.

[10]             Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford University Press, 1993), 195–198.


3.           Latar Historis dan Perkembangan Reliabilisme

3.1.       Akar Historis Gagasan Reliabilitas

Gagasan tentang reliabilitas dalam pembentukan pengetahuan sebenarnya memiliki akar jauh sebelum istilah reliabilisme muncul secara eksplisit. Dalam tradisi filsafat klasik, Aristoteles telah menekankan pentingnya fungsi akal dan persepsi yang dapat diandalkan sebagai dasar pengetahuan ilmiah (epistēmē).¹ Sementara itu, dalam filsafat modern, tokoh empiris seperti John Locke dan David Hume menekankan pentingnya pengalaman inderawi yang konsisten dan berulang sebagai sumber keyakinan yang benar.² Walaupun mereka tidak menggunakan istilah “reliabilisme,” gagasan tentang keandalan proses kognitif sudah tampak dalam kerangka epistemologis mereka.

3.2.       Reliabilisme dalam Epistemologi Analitik Abad ke-20

Reliabilisme mulai berkembang secara sistematis dalam konteks epistemologi analitik abad ke-20, khususnya sebagai respons terhadap tantangan yang diajukan oleh Edmund Gettier dalam artikelnya Is Justified True Belief Knowledge? (1963).³ Artikel Gettier mengguncang definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief, dengan menunjukkan bahwa seseorang bisa memiliki keyakinan yang benar dan terjustifikasi namun tetap gagal disebut sebagai pengetahuan karena faktor kebetulan.⁴

Dalam situasi ini, sejumlah filsuf mulai mencari teori alternatif yang dapat menjelaskan mengapa keyakinan yang benar dan terjustifikasi dalam kasus Gettier tetap tidak layak disebut pengetahuan. Salah satu solusi yang paling berpengaruh adalah yang ditawarkan oleh Alvin Goldman.

3.3.       Kontribusi Alvin Goldman

Alvin Goldman menjadi tokoh sentral dalam pengembangan reliabilisme. Dalam artikelnya yang monumental, What Is Justified Belief? (1979), Goldman mengajukan bahwa justifikasi epistemik tidak terletak pada akses internal terhadap alasan, melainkan pada reliabilitas proses kognitif yang menghasilkan keyakinan.⁵ Ia menegaskan bahwa jika suatu keyakinan dihasilkan oleh mekanisme yang secara statistik menghasilkan lebih banyak keyakinan benar daripada salah, maka keyakinan tersebut layak disebut terjustifikasi.⁶

Goldman kemudian memperluas gagasannya dalam karya Epistemology and Cognition (1986), di mana ia membangun model reliabilisme yang lebih sistematis.⁷ Dalam karya tersebut, ia juga menekankan pentingnya pendekatan naturalistis terhadap epistemologi, yakni mengaitkan kajian filsafat pengetahuan dengan ilmu kognitif dan psikologi, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih empiris tentang bagaimana pengetahuan diperoleh.⁸

3.4.       Perkembangan Lanjutan: Dari Reliabilisme Proses ke Virtue Epistemology

Setelah Goldman, reliabilisme terus berkembang melalui berbagai elaborasi. Salah satunya adalah reliabilisme proses (process reliabilism), yang tetap fokus pada evaluasi reliabilitas mekanisme kognitif tertentu seperti persepsi, memori, dan inferensi deduktif.⁹ Namun, sejumlah filsuf kemudian mengembangkan pendekatan yang lebih luas, seperti epistemologi kebajikan (virtue epistemology), yang berusaha menggabungkan reliabilisme dengan konsep kebajikan intelektual.¹⁰ Tokoh seperti Ernest Sosa dan Linda Zagzebski menekankan bahwa pengetahuan bukan hanya hasil dari proses yang andal, tetapi juga dari kapasitas intelektual subjek yang berfungsi dengan baik sesuai dengan standar epistemik.¹¹

3.5.       Reliabilisme dalam Konteks Kontemporer

Dalam perkembangannya, reliabilisme semakin menempati posisi penting dalam epistemologi kontemporer. Ia tidak hanya menawarkan solusi terhadap problem Gettier, tetapi juga menjadi landasan bagi diskusi-diskusi baru, seperti epistemologi sosial, teori kesaksian (testimony), serta epistemologi terapan di bidang hukum, sains, dan teknologi informasi.¹² Meskipun menghadapi berbagai kritik, reliabilisme tetap dianggap sebagai salah satu teori paling berpengaruh dalam filsafat pengetahuan modern.


Footnotes

[1]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1993), 71–75.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1975), 123–126; David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 34–37.

[3]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Matthias Steup, “The Analysis of Knowledge,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N. Zalta, knowledge-analysis.

[5]                Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.

[6]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 148–150.

[7]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–60.

[8]                Hilary Kornblith, Knowledge and Its Place in Nature (Oxford: Oxford University Press, 2002), 92–95.

[9]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 81–84.

[10]             Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 271–274.

[11]             Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–141.

[12]             Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 83–87.


4.           Analisis Konseptual

4.1.       Kriteria Proses Kognitif yang Andal

Inti dari reliabilisme terletak pada gagasan bahwa sebuah keyakinan hanya dapat dikatakan benar atau terjustifikasi jika dihasilkan oleh proses kognitif yang andal.¹ Proses kognitif yang dimaksud mencakup mekanisme mental seperti persepsi, memori, intuisi dasar, serta inferensi deduktif dan induktif.² Keandalan suatu proses biasanya diukur berdasarkan tingkat konsistensinya dalam menghasilkan keyakinan yang benar dibandingkan yang salah. Misalnya, persepsi visual normal dalam kondisi cahaya cukup dianggap sangat andal, berbeda dengan persepsi dalam kondisi ilusi optik yang sering menyesatkan.³ Dengan demikian, reliabilitas bukanlah sifat mutlak, melainkan bergantung pada konteks operasional proses kognitif tertentu.

4.2.       Reliabilitas: Absolut atau Probabilistik?

Pertanyaan konseptual penting adalah apakah reliabilitas harus dipahami secara absolut atau probabilistik. Sebagian filsuf menegaskan bahwa reliabilitas bersifat probabilistik, yakni sebuah proses dianggap andal jika menghasilkan mayoritas keyakinan yang benar dalam jangka panjang.⁴ Dengan kerangka ini, reliabilisme berakar pada prinsip statistik: semakin tinggi proporsi kebenaran yang dihasilkan, semakin kuat justifikasi keyakinan tersebut. Sebaliknya, pemahaman absolut akan menuntut bahwa suatu proses harus selalu menghasilkan kebenaran, yang secara praktis sulit dipertahankan.⁵ Oleh karena itu, sebagian besar literatur epistemologi cenderung menerima model probabilistik sebagai basis utama reliabilitas.

4.3.       Hubungan antara Reliabilitas dan Kebenaran Objektif

Reliabilisme tidak hanya berfokus pada keyakinan, tetapi juga mengaitkannya dengan kebenaran objektif. Dalam pandangan ini, reliabilitas dipahami sebagai jembatan antara kondisi internal subjek (keyakinan) dengan kondisi eksternal realitas (kebenaran).⁶ Proses kognitif dianggap andal jika mekanismenya cenderung selaras dengan struktur dunia eksternal. Misalnya, indra penglihatan bekerja dengan baik karena hukum optik di dunia nyata konsisten dengan cara mata menangkap cahaya.⁷ Dengan demikian, reliabilisme menegaskan adanya hubungan naturalistik antara kebenaran dan mekanisme epistemik manusia.

4.4.       Internalisme versus Eksternalisme: Posisi Reliabilisme

Salah satu aspek konseptual yang paling penting adalah perdebatan internalisme versus eksternalisme. Internalisme menuntut bahwa seseorang hanya memiliki justifikasi bila ia dapat mengakses secara reflektif alasan atau bukti yang mendukung keyakinannya.⁸ Sebaliknya, reliabilisme yang berposisi eksternalis menegaskan bahwa justifikasi tidak memerlukan akses semacam itu; cukup bahwa keyakinan dihasilkan oleh proses yang secara faktual andal.⁹ Misalnya, seorang anak kecil dapat memiliki pengetahuan bahwa ada seekor kucing di depannya meskipun ia tidak mampu mengemukakan alasan epistemologis mengapa persepsinya itu benar. Pandangan eksternalis inilah yang membuat reliabilisme sangat berbeda dari teori tradisional berbasis internalisme.

4.5.       Model Murni dan Hibrida

Dari segi konseptual, reliabilisme dapat dipahami dalam dua bentuk: murni dan hibrida. Reliabilisme murni menyatakan bahwa reliabilitas saja cukup untuk memberikan justifikasi epistemik.¹⁰ Namun, reliabilisme hibrida berpendapat bahwa selain reliabilitas, diperlukan juga kondisi tambahan, misalnya syarat bahwa subjek tidak mengabaikan bukti yang jelas-jelas membantah keyakinannya.¹¹ Model hibrida ini mencoba mengatasi kelemahan reliabilisme murni, terutama dalam menghadapi problem generalitas dan keberatan skeptis.¹² Dengan demikian, perdebatan konseptual ini memperlihatkan fleksibilitas reliabilisme dalam merespons berbagai tantangan epistemologis.


Footnotes

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–55.

[2]                Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 131–135.

[3]                Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 78–80.

[4]                Matthias Steup and John Turri, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N. Zalta, epistemology.

[5]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 148–150.

[6]                Hilary Kornblith, Knowledge and Its Place in Nature (Oxford: Oxford University Press, 2002), 115–118.

[7]                Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.

[8]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 41–45.

[9]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 81–84.

[10]             Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition, 56–58.

[11]             Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford University Press, 1993), 195–198.

[12]             Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–141.


5.           Kritik terhadap Reliabilisme

5.1.       Problem Generalitas (Generality Problem)

Salah satu kritik paling serius terhadap reliabilisme adalah problem generalitas, yakni kesulitan menentukan tingkat generalitas yang tepat dalam mendefinisikan suatu proses kognitif.¹ Misalnya, ketika seseorang melihat sebuah pohon, apakah proses yang relevan adalah “penglihatan manusia,” “penglihatan manusia pada siang hari,” atau “penglihatan manusia sehat di siang hari tanpa adanya gangguan optik”?² Tingkat spesifikasi yang berbeda dapat menghasilkan penilaian reliabilitas yang berbeda pula. Reliabilisme dianggap tidak memiliki kriteria jelas untuk memilih deskripsi yang tepat atas suatu proses kognitif, sehingga konsep reliabilitas berisiko menjadi kabur dan tidak dapat dioperasionalkan secara konsisten.³

5.2.       Kritik dari Perspektif Internalisme

Kritik lain datang dari para pendukung internalisme epistemologis. Internalisme berargumen bahwa reliabilisme gagal menjelaskan dimensi normatif dari justifikasi, sebab seorang individu bisa memiliki keyakinan yang benar melalui proses andal tanpa menyadari atau dapat memberikan alasan mengapa keyakinan itu sahih.⁴ Bagi internalisme, hal ini melemahkan status epistemik keyakinan tersebut, karena justifikasi seharusnya menuntut akses reflektif terhadap bukti atau alasan.⁵ Dengan kata lain, reliabilisme dinilai mereduksi justifikasi menjadi sekadar hubungan kausal atau statistik, tanpa mempertimbangkan tanggung jawab epistemik subjek.

5.3.       Tantangan Skeptisisme

Reliabilisme juga menghadapi tantangan dari skeptisisme radikal. Misalnya, dalam skenario otak dalam wadah (brain-in-a-vat), proses kognitif yang andal menurut standar internal subjek mungkin sebenarnya tidak selaras dengan realitas eksternal.⁶ Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah reliabilisme dapat membedakan antara dunia nyata dan skenario ilusi total? Para pengkritik menegaskan bahwa reliabilisme tidak mampu memberikan jawaban yang memadai terhadap keraguan mendasar ini, sebab reliabilitas sendiri hanya dapat dievaluasi jika kita sudah memiliki akses terhadap dunia eksternal—yang justru dipertanyakan dalam kerangka skeptisisme.⁷

5.4.       Keterbatasan dalam Kasus Gettier

Walaupun reliabilisme awalnya dikembangkan sebagai respons terhadap problem Gettier, sebagian filsuf berpendapat bahwa ia belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan tersebut.⁸ Beberapa kasus Gettier yang lebih kompleks menunjukkan bahwa keyakinan yang benar dapat terbentuk melalui proses andal, namun tetap dianggap sebagai pengetahuan yang cacat karena unsur keberuntungan epistemik masih berperan signifikan.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa reliabilisme memerlukan kriteria tambahan di luar reliabilitas semata agar dapat menjawab secara tuntas problem Gettier.

5.5.       Kritik dalam Konteks Kontemporer: AI dan Kognisi Non-Manusia

Dalam perkembangan terbaru, reliabilisme juga dikritik ketika diaplikasikan pada konteks kecerdasan buatan (AI) dan sistem kognitif non-manusia. Jika reliabilitas adalah satu-satunya syarat justifikasi, maka mesin yang menghasilkan output benar secara konsisten dapat dianggap memiliki pengetahuan.¹⁰ Kritik ini menimbulkan persoalan baru: apakah status epistemik manusia dapat disamakan dengan mesin semata-mata karena keduanya memiliki reliabilitas? Beberapa filsuf berargumen bahwa reliabilisme mengabaikan dimensi kesadaran, tanggung jawab, dan kebajikan intelektual yang membedakan pengetahuan manusia dari sekadar informasi benar yang dihasilkan mesin.¹¹


Footnotes

[1]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 151–153.

[2]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 73–75.

[3]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 90–92.

[4]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 45–48.

[5]                Matthias Steup and John Turri, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N. Zalta, epistemology.

[6]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 5–7.

[7]                Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 85–87.

[8]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[9]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–139.

[10]             Alvin I. Goldman, “Reliabilism and Contemporary Epistemology,” Episteme 4, no. 1 (2007): 25–28.

[11]             Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 277–279.


6.           Relevansi Kontemporer

6.1.       Reliabilisme dalam Epistemologi Terapan

Salah satu relevansi paling nyata dari reliabilisme adalah penerapannya dalam berbagai bidang praktis yang membutuhkan standar pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam filsafat ilmu, reliabilisme digunakan untuk menilai keandalan metode ilmiah: sebuah teori dianggap sahih sejauh ia dihasilkan melalui metode yang secara sistematis menghasilkan kebenaran.¹ Misalnya, eksperimen terkontrol dalam sains dinilai memiliki reliabilitas tinggi karena dapat direplikasi dan diverifikasi oleh pihak independen.² Dengan demikian, reliabilisme memberikan dasar normatif bagi praktik ilmiah modern.

6.2.       Reliabilisme dalam Konteks Hukum dan Kesaksian

Reliabilisme juga memiliki relevansi dalam bidang hukum, khususnya terkait dengan epistemologi kesaksian (epistemology of testimony). Dalam proses peradilan, pengetahuan hakim dan juri sering kali dibangun melalui kesaksian orang lain. Reliabilisme dapat digunakan untuk menilai apakah suatu kesaksian dapat dijadikan dasar pengetahuan, yakni dengan melihat apakah sumber kesaksian tersebut berasal dari proses kognitif yang dapat diandalkan.³ Misalnya, kesaksian seorang saksi mata dalam kondisi penglihatan normal dan tanpa tekanan psikologis dinilai lebih reliabel dibandingkan kesaksian di bawah kondisi stres atau manipulasi.⁴

6.3.       Reliabilisme, Teknologi, dan AI

Perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan pertanyaan baru bagi epistemologi. Jika reliabilitas adalah kriteria utama justifikasi, maka sistem AI yang secara konsisten menghasilkan output benar dapat dianggap sebagai “agen epistemik.”⁵ Hal ini memicu perdebatan tentang apakah mesin benar-benar “mengetahui” sesuatu, atau sekadar memproses data secara mekanis tanpa kesadaran.⁶ Meskipun demikian, reliabilisme memberi kerangka konseptual yang berguna untuk mengevaluasi algoritma pembelajaran mesin berdasarkan tingkat keandalannya dalam menghasilkan prediksi atau keputusan.⁷

6.4.       Reliabilisme dan Era Post-Truth

Di era post-truth, ketika opini pribadi sering kali lebih berpengaruh daripada fakta objektif, reliabilisme menawarkan perspektif kritis untuk memilah antara sumber informasi yang sahih dan yang menyesatkan.⁸ Misalnya, algoritma media sosial yang mendorong filter bubbles dapat dipandang sebagai proses kognitif kolektif yang tidak reliabel karena lebih banyak menghasilkan keyakinan salah atau bias.⁹ Reliabilisme, dalam konteks ini, dapat dijadikan dasar epistemologis untuk menuntut reformasi algoritmik dan literasi digital masyarakat, sehingga keyakinan yang terbentuk di ruang publik lebih banyak bersandar pada mekanisme informasi yang dapat dipercaya.

6.5.       Hubungan dengan Epistemologi Kebajikan

Akhirnya, reliabilisme menemukan relevansi baru ketika dikaitkan dengan epistemologi kebajikan (virtue epistemology). Para pemikir seperti Ernest Sosa dan Linda Zagzebski berusaha menggabungkan keandalan proses kognitif dengan karakter intelektual subjek.¹⁰ Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak hanya dihasilkan oleh proses andal, tetapi juga oleh kebajikan intelektual seperti kejujuran, keterbukaan terhadap bukti, dan kerendahan hati epistemik.¹¹ Dengan demikian, reliabilisme memperluas dirinya dari sekadar teori proses menuju kerangka yang lebih normatif, yang sesuai dengan tuntutan kehidupan intelektual di dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 180–183.

[2]                Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 62–64.

[3]                Elizabeth Fricker, “Testimony and Epistemic Autonomy,” in The Epistemology of Testimony, ed. Jennifer Lackey and Ernest Sosa (Oxford: Oxford University Press, 2006), 225–250.

[4]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 165–167.

[5]                Alvin I. Goldman, “Reliabilism and Contemporary Epistemology,” Episteme 4, no. 1 (2007): 25–28.

[6]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 104–106.

[7]                Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 90–92.

[8]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 11–15.

[9]                C. Thi Nguyen, “Echo Chambers and Epistemic Bubbles,” Episteme 17, no. 2 (2020): 141–161.

[10]             Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective Knowledge, Volume I (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–26.

[11]             Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–141.


7.           Penutup

Reliabilisme menempati posisi penting dalam perdebatan epistemologi modern karena menawarkan paradigma baru dalam memahami hubungan antara kebenaran, justifikasi, dan pengetahuan. Dengan menekankan keandalan proses kognitif, reliabilisme mengalihkan fokus dari tuntutan internalis yang mengharuskan subjek memiliki akses penuh terhadap alasan, menuju kerangka eksternalis yang lebih naturalistis.¹ Pendekatan ini terbukti berguna untuk menjawab tantangan epistemologis, terutama dalam konteks pasca-Gettier, ketika definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief terbukti bermasalah.²

Secara historis, perkembangan reliabilisme yang digagas Alvin Goldman memberikan fondasi penting bagi epistemologi kontemporer.³ Teori ini tidak hanya relevan dalam diskusi konseptual, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam praktik ilmiah, hukum, teknologi, dan bahkan dinamika sosial-politik era post-truth. Reliabilisme memberikan kerangka evaluatif yang menekankan bahwa pengetahuan dan kebenaran tidak dapat dilepaskan dari mekanisme yang menghasilkan keyakinan tersebut, baik berupa persepsi, memori, maupun sistem algoritmik dalam kecerdasan buatan.⁴

Namun, berbagai kritik menunjukkan bahwa reliabilisme bukanlah teori tanpa kelemahan. Problem generalitas membuktikan bahwa tidak mudah untuk menentukan batasan proses kognitif yang relevan.⁵ Sementara itu, kritik internalis menyoroti absennya dimensi normatif reflektif dalam teori ini, sehingga justifikasi epistemik menjadi terlalu bergantung pada faktor eksternal.⁶ Selain itu, reliabilisme juga belum sepenuhnya mampu mengatasi kasus Gettier yang lebih kompleks dan tantangan skeptisisme radikal.⁷

Kendati demikian, banyak filsuf menganggap reliabilisme tetap bernilai besar sebagai teori epistemologis. Perkembangannya menuju epistemologi kebajikan memperlihatkan potensi integratifnya dengan konsep kebajikan intelektual, sehingga memberikan jawaban lebih komprehensif terhadap tantangan epistemologi kontemporer.⁸ Dengan demikian, meskipun reliabilisme tidak sempurna, ia tetap merupakan salah satu kerangka paling berpengaruh dalam filsafat pengetahuan, yang relevansinya melintasi ranah konseptual dan praktis.


Footnotes

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–55.

[2]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[3]                Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.

[4]                Duncan Pritchard, Epistemology (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 83–87.

[5]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 90–92.

[6]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 45–48.

[7]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–139.

[8]                Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective Knowledge, Volume I (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–26.


Daftar Pustaka

Alston, W. P. (1989). Epistemic justification: Essays in the theory of knowledge. Cornell University Press.

Aristotle. (1993). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Clarendon Press.

BonJour, L. (1985). The structure of empirical knowledge. Harvard University Press.

Feldman, R. (2003). Epistemology. Prentice Hall.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Fricker, E. (2006). Testimony and epistemic autonomy. In J. Lackey & E. Sosa (Eds.), The epistemology of testimony (pp. 225–250). Oxford University Press.

Gettier, E. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.

Goldman, A. I. (1979). What is justified belief? In G. S. Pappas (Ed.), Justification and knowledge (pp. 1–23). D. Reidel.

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Goldman, A. I. (2007). Reliabilism and contemporary epistemology. Episteme, 4(1), 25–28.

Haack, S. (2003). Defending science—Within reason: Between scientism and cynicism. Prometheus Books.

Hume, D. (2007). An enquiry concerning human understanding. Oxford University Press.

Kornblith, H. (2002). Knowledge and its place in nature. Oxford University Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding. Clarendon Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Nguyen, C. T. (2020). Echo chambers and epistemic bubbles. Episteme, 17(2), 141–161.

Plantinga, A. (1993). Warrant and proper function. Oxford University Press.

Pritchard, D. (2014). Epistemology. Palgrave Macmillan.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Sosa, E. (1991). Knowledge in perspective: Selected essays in epistemology. Cambridge University Press.

Sosa, E. (2007). A virtue epistemology: Apt belief and reflective knowledge (Vol. 1). Oxford University Press.

Steup, M., & Turri, J. (2022). Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2022 Edition). Stanford University.

Steup, M. (2022). The analysis of knowledge. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2022 Edition). Stanford University.

Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar