Teori Reliabilisme
Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori reliabilisme sebagai
salah satu pendekatan penting dalam epistemologi modern mengenai kebenaran dan
justifikasi. Reliabilisme menekankan bahwa sebuah keyakinan dapat dikatakan
benar atau terjustifikasi apabila dihasilkan oleh proses kognitif yang andal.
Kajian ini diawali dengan penjelasan mengenai konsep dasar reliabilisme,
perbedaannya dengan teori kebenaran lainnya, serta posisinya dalam kerangka
eksternalisme epistemologis. Secara historis, reliabilisme berkembang sebagai
respons terhadap problem Gettier dan dipelopori oleh Alvin Goldman, yang
menekankan hubungan erat antara keandalan proses kognitif dengan pengetahuan
yang sahih. Analisis konseptual dalam artikel ini mencakup diskusi tentang
probabilitas reliabilitas, relasi antara reliabilitas dan kebenaran objektif,
serta perdebatan internalisme-eksternalisme. Selanjutnya, artikel ini mengulas
kritik utama terhadap reliabilisme, termasuk problem generalitas, kelemahan
normatif dalam perspektif internalis, serta keterbatasannya dalam menjawab
skeptisisme dan kasus Gettier lanjutan. Pada akhirnya, artikel ini menunjukkan
relevansi kontemporer reliabilisme dalam filsafat ilmu, hukum, teknologi,
kecerdasan buatan, hingga fenomena sosial-politik di era post-truth.
Kesimpulannya, meskipun reliabilisme memiliki keterbatasan, ia tetap menjadi
salah satu teori paling berpengaruh dalam epistemologi kontemporer, terutama
karena potensinya untuk diintegrasikan dengan epistemologi kebajikan.
Kata Kunci: Reliabilisme;
Kebenaran; Justifikasi Epistemik; Eksternalisme; Problem Gettier; Epistemologi
Kebajikan; Post-Truth; Kecerdasan Buatan.
PEMBAHASAN
Teori Reliabilisme tentang Kebenaran
1.          
Pendahuluan
Pertanyaan tentang kebenaran merupakan
salah satu tema sentral dalam filsafat, khususnya epistemologi. Sejak era
Yunani Kuno, para filsuf berupaya merumuskan kriteria yang dapat membedakan
keyakinan yang benar dari yang salah. Berbagai teori kebenaran—seperti
korespondensi, koherensi, pragmatisme, hingga konsensus—muncul untuk menjawab
persoalan mendasar ini. Namun, perdebatan tidak berhenti pada definisi
kebenaran itu sendiri, melainkan juga mencakup persoalan epistemologis tentang bagaimana
sebuah keyakinan dapat dikatakan terjustifikasi atau dapat diandalkan. Di
sinilah reliabilisme hadir sebagai salah satu teori penting dalam
diskursus filsafat kontemporer tentang kebenaran dan justifikasi.
Secara umum, reliabilisme berangkat
dari premis bahwa sebuah keyakinan dapat dianggap benar atau terjustifikasi
jika dihasilkan oleh suatu proses kognitif yang andal (reliable cognitive
process). Dengan kata lain, yang menjadi fokus reliabilisme bukan sekadar
isi proposisi, melainkan mekanisme epistemik yang melatarbelakangi terbentuknya
keyakinan tersebut.¹ Hal ini menempatkan reliabilisme dalam kerangka eksternalisme
epistemologis, yakni posisi yang menegaskan bahwa seseorang tidak perlu
memiliki akses internal terhadap bukti atau justifikasi, selama keyakinan yang
ia miliki dihasilkan oleh mekanisme yang secara objektif dapat diandalkan.²
Gagasan reliabilisme mulai mendapatkan
perhatian luas pada paruh kedua abad ke-20, terutama melalui karya Alvin
Goldman. Dalam esainya yang berpengaruh, What Is Justified Belief?
(1979), Goldman mengembangkan argumen bahwa syarat utama bagi justifikasi
epistemik adalah reliabilitas proses kognitif yang menghasilkan keyakinan
tersebut.³ Konsep ini memberikan arah baru dalam epistemologi, karena berupaya
keluar dari jebakan internalisme yang menuntut akses penuh terhadap alasan atau
bukti. Reliabilisme dianggap mampu menjembatani persoalan klasik tentang
hubungan antara kebenaran, justifikasi, dan pengetahuan.
Dalam konteks lebih luas, reliabilisme
tidak hanya relevan dalam teori pengetahuan, tetapi juga dalam berbagai bidang
terapan, termasuk filsafat ilmu, etika informasi, hingga filsafat teknologi.
Misalnya, reliabilisme dapat digunakan untuk menilai keandalan metode ilmiah,
validitas kesaksian hukum, atau bahkan algoritma kecerdasan buatan dalam
menghasilkan keputusan.⁴ Relevansi inilah yang membuat teori reliabilisme terus
menjadi bahan diskusi serius, baik dalam kerangka akademis maupun praktik
kontemporer.
Dengan demikian, pembahasan mengenai
reliabilisme tidak dapat dilepaskan dari dua hal pokok: (1) konsep dasarnya
yang berfokus pada reliabilitas proses kognitif sebagai syarat kebenaran atau
justifikasi, dan (2) perannya dalam wacana epistemologi modern yang terus
berhadapan dengan tantangan skeptisisme, problem generalitas, serta perkembangan
teknologi informasi. Artikel ini bertujuan menguraikan secara sistematis
konsep, sejarah, kritik, dan relevansi kontemporer dari teori reliabilisme,
sehingga dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang posisi dan kontribusinya
dalam perdebatan teori-teori kebenaran.
Footnotes
[1]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–55.
[2]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 145–147.
[3]               
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification
and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
[4]               
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 78–81.
2.          
Konsep Dasar
Reliabilisme
2.1.      
Definisi
Reliabilisme
Reliabilisme merupakan teori
epistemologis yang menekankan bahwa suatu keyakinan dapat dikatakan benar
atau terjustifikasi apabila ia dihasilkan oleh proses kognitif yang
andal (reliable cognitive process).¹ Dengan demikian, ukuran kebenaran
atau justifikasi tidak terletak pada ketersediaan bukti yang dapat diakses
secara internal oleh subjek, melainkan pada kualitas objektif dari mekanisme
yang menghasilkan keyakinan tersebut. Reliabilisme menolak tuntutan
internalisme yang mensyaratkan individu harus mampu memberikan alasan atau bukti
eksplisit bagi setiap keyakinan yang dianggap benar.²
2.2.      
Reliabilisme tentang
Justifikasi dan Kebenaran
Dalam epistemologi, reliabilisme kerap
dibedakan menjadi dua bentuk utama: reliabilisme tentang justifikasi dan
reliabilisme tentang kebenaran. Reliabilisme tentang justifikasi
berpendapat bahwa sebuah keyakinan itu terjustifikasi apabila terbentuk melalui
proses kognitif yang umumnya menghasilkan keyakinan yang benar dalam proporsi
besar.³ Sementara itu, reliabilisme tentang kebenaran menekankan bahwa keandalan
proses tersebut merupakan kriteria utama untuk memastikan bahwa sebuah
keyakinan benar, bukan hanya terjustifikasi.⁴ Distingsi ini penting, sebab
memungkinkan reliabilisme untuk berkontribusi tidak hanya pada epistemologi
normatif, tetapi juga pada teori kebenaran secara umum.
2.3.      
Prinsip Inti: Proses
Kognitif yang Andal
Pusat dari teori reliabilisme adalah proses
kognitif yang andal. Proses ini mencakup berbagai mekanisme mental seperti
persepsi, memori, intuisi dasar, dan inferensi logis.⁵ Sebuah proses kognitif
disebut andal apabila secara statistik ia menghasilkan keyakinan yang benar
dalam sebagian besar kasusnya. Misalnya, persepsi visual dalam kondisi normal
dianggap sebagai proses kognitif yang andal karena pada umumnya ia menghasilkan
keyakinan yang benar tentang objek eksternal.⁶ Dengan demikian, reliabilisme
memandang bahwa keandalan bersifat probabilistik: semakin tinggi tingkat
keberhasilan sebuah proses dalam menghasilkan kebenaran, semakin kuat
justifikasi keyakinan yang dihasilkannya.
2.4.      
Eksternalisme
Epistemologis
Reliabilisme ditempatkan dalam kerangka
eksternalisme epistemologis, yang menegaskan bahwa seseorang tidak perlu
memiliki akses reflektif terhadap bukti atau alasan yang mendasari keyakinannya
agar keyakinan tersebut dapat dianggap terjustifikasi.⁷ Yang terpenting adalah
bahwa keyakinan tersebut terbentuk melalui mekanisme yang dapat diandalkan
dalam kondisi normal. Dalam hal ini, reliabilisme berlawanan dengan internalisme
epistemologis, yang menuntut individu mampu mengakses dan mengartikulasikan
alasan bagi keyakinan yang dipegang.⁸ Dengan posisi eksternalis ini,
reliabilisme berusaha memberikan dasar yang lebih naturalistis bagi
epistemologi, menekankan fungsi kognitif manusia dalam menghasilkan pengetahuan
yang benar.
2.5.      
Distingsi
Reliabilisme Murni dan Hibrida
Seiring perkembangannya, muncul variasi
dalam teori reliabilisme. Reliabilisme murni menekankan keandalan proses
kognitif sebagai satu-satunya syarat justifikasi atau kebenaran.⁹ Namun,
beberapa filsuf mengusulkan bentuk reliabilisme hibrida, yang memadukan
elemen reliabilitas dengan tuntutan internalis, misalnya menambahkan syarat
bahwa subjek tidak boleh mengabaikan adanya bukti penyangkal yang jelas.¹⁰
Model hibrida ini berusaha menutupi kelemahan reliabilisme murni, terutama
dalam menghadapi problem skeptisisme dan generalitas.
Dengan uraian ini, jelas bahwa
reliabilisme menempatkan keandalan sebagai inti dari pembahasan epistemologi
dan teori kebenaran. Fokus pada “bagaimana keyakinan dihasilkan” memberikan
perspektif baru dalam memahami hubungan antara justifikasi, kebenaran, dan
pengetahuan, serta membedakannya secara signifikan dari teori-teori internalis
yang lebih tradisional.
Footnotes
[1]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 50–55.
[2]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 145–147.
[3]               
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification
and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
[4]               
Matthias Steup and John Turri, “Epistemology,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N.
Zalta, epistemology.
[5]               
Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected
Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
131–135.
[6]               
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 78–80.
[7]               
Hilary Kornblith, Knowledge and Its Place in Nature
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 115–118.
[8]               
Laurence BonJour, The Structure of Empirical
Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 41–45.
[9]               
William Alston, Epistemic Justification: Essays in
the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989),
81–83.
[10]            
Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 195–198.
3.          
Latar Historis dan
Perkembangan Reliabilisme
3.1.      
Akar Historis
Gagasan Reliabilitas
Gagasan tentang reliabilitas dalam
pembentukan pengetahuan sebenarnya memiliki akar jauh sebelum istilah reliabilisme
muncul secara eksplisit. Dalam tradisi filsafat klasik, Aristoteles telah
menekankan pentingnya fungsi akal dan persepsi yang dapat diandalkan sebagai
dasar pengetahuan ilmiah (epistēmē).¹ Sementara itu, dalam filsafat
modern, tokoh empiris seperti John Locke dan David Hume menekankan pentingnya
pengalaman inderawi yang konsisten dan berulang sebagai sumber keyakinan yang
benar.² Walaupun mereka tidak menggunakan istilah “reliabilisme,”
gagasan tentang keandalan proses kognitif sudah tampak dalam kerangka
epistemologis mereka.
3.2.      
Reliabilisme dalam
Epistemologi Analitik Abad ke-20
Reliabilisme mulai berkembang secara
sistematis dalam konteks epistemologi analitik abad ke-20, khususnya sebagai
respons terhadap tantangan yang diajukan oleh Edmund Gettier dalam artikelnya Is
Justified True Belief Knowledge? (1963).³ Artikel Gettier mengguncang
definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief, dengan
menunjukkan bahwa seseorang bisa memiliki keyakinan yang benar dan
terjustifikasi namun tetap gagal disebut sebagai pengetahuan karena faktor
kebetulan.⁴
Dalam situasi ini, sejumlah filsuf
mulai mencari teori alternatif yang dapat menjelaskan mengapa keyakinan yang
benar dan terjustifikasi dalam kasus Gettier tetap tidak layak disebut
pengetahuan. Salah satu solusi yang paling berpengaruh adalah yang ditawarkan
oleh Alvin Goldman.
3.3.      
Kontribusi Alvin
Goldman
Alvin Goldman menjadi tokoh sentral
dalam pengembangan reliabilisme. Dalam artikelnya yang monumental, What Is
Justified Belief? (1979), Goldman mengajukan bahwa justifikasi epistemik
tidak terletak pada akses internal terhadap alasan, melainkan pada reliabilitas
proses kognitif yang menghasilkan keyakinan.⁵ Ia menegaskan bahwa jika suatu
keyakinan dihasilkan oleh mekanisme yang secara statistik menghasilkan lebih
banyak keyakinan benar daripada salah, maka keyakinan tersebut layak disebut
terjustifikasi.⁶
Goldman kemudian memperluas gagasannya
dalam karya Epistemology and Cognition (1986), di mana ia membangun
model reliabilisme yang lebih sistematis.⁷ Dalam karya tersebut, ia juga
menekankan pentingnya pendekatan naturalistis terhadap epistemologi, yakni mengaitkan
kajian filsafat pengetahuan dengan ilmu kognitif dan psikologi, sehingga dapat
memberikan gambaran yang lebih empiris tentang bagaimana pengetahuan
diperoleh.⁸
3.4.      
Perkembangan
Lanjutan: Dari Reliabilisme Proses ke Virtue Epistemology
Setelah Goldman, reliabilisme terus
berkembang melalui berbagai elaborasi. Salah satunya adalah reliabilisme
proses (process reliabilism), yang tetap fokus pada evaluasi
reliabilitas mekanisme kognitif tertentu seperti persepsi, memori, dan
inferensi deduktif.⁹ Namun, sejumlah filsuf kemudian mengembangkan pendekatan
yang lebih luas, seperti epistemologi kebajikan (virtue epistemology),
yang berusaha menggabungkan reliabilisme dengan konsep kebajikan intelektual.¹⁰
Tokoh seperti Ernest Sosa dan Linda Zagzebski menekankan bahwa pengetahuan
bukan hanya hasil dari proses yang andal, tetapi juga dari kapasitas
intelektual subjek yang berfungsi dengan baik sesuai dengan standar
epistemik.¹¹
3.5.      
Reliabilisme dalam
Konteks Kontemporer
Dalam perkembangannya, reliabilisme
semakin menempati posisi penting dalam epistemologi kontemporer. Ia tidak hanya
menawarkan solusi terhadap problem Gettier, tetapi juga menjadi landasan bagi
diskusi-diskusi baru, seperti epistemologi sosial, teori kesaksian (testimony),
serta epistemologi terapan di bidang hukum, sains, dan teknologi informasi.¹²
Meskipun menghadapi berbagai kritik, reliabilisme tetap dianggap sebagai salah
satu teori paling berpengaruh dalam filsafat pengetahuan modern.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan
Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1993), 71–75.
[2]               
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(Oxford: Clarendon Press, 1975), 123–126; David Hume, An Enquiry Concerning
Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 34–37.
[3]               
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]               
Matthias Steup, “The Analysis of Knowledge,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N.
Zalta, knowledge-analysis.
[5]               
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification
and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
[6]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 148–150.
[7]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–60.
[8]               
Hilary Kornblith, Knowledge and Its Place in Nature
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 92–95.
[9]               
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays
in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989),
81–84.
[10]            
Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected
Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
271–274.
[11]            
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–141.
[12]            
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 83–87.
4.          
Analisis Konseptual
4.1.      
Kriteria Proses
Kognitif yang Andal
Inti dari reliabilisme terletak pada
gagasan bahwa sebuah keyakinan hanya dapat dikatakan benar atau terjustifikasi
jika dihasilkan oleh proses kognitif yang andal.¹ Proses kognitif yang
dimaksud mencakup mekanisme mental seperti persepsi, memori, intuisi dasar,
serta inferensi deduktif dan induktif.² Keandalan suatu proses biasanya diukur
berdasarkan tingkat konsistensinya dalam menghasilkan keyakinan yang benar
dibandingkan yang salah. Misalnya, persepsi visual normal dalam kondisi cahaya
cukup dianggap sangat andal, berbeda dengan persepsi dalam kondisi ilusi optik
yang sering menyesatkan.³ Dengan demikian, reliabilitas bukanlah sifat mutlak,
melainkan bergantung pada konteks operasional proses kognitif tertentu.
4.2.      
Reliabilitas:
Absolut atau Probabilistik?
Pertanyaan konseptual penting adalah
apakah reliabilitas harus dipahami secara absolut atau probabilistik.
Sebagian filsuf menegaskan bahwa reliabilitas bersifat probabilistik, yakni
sebuah proses dianggap andal jika menghasilkan mayoritas keyakinan yang benar
dalam jangka panjang.⁴ Dengan kerangka ini, reliabilisme berakar pada prinsip
statistik: semakin tinggi proporsi kebenaran yang dihasilkan, semakin kuat
justifikasi keyakinan tersebut. Sebaliknya, pemahaman absolut akan menuntut
bahwa suatu proses harus selalu menghasilkan kebenaran, yang secara praktis
sulit dipertahankan.⁵ Oleh karena itu, sebagian besar literatur epistemologi
cenderung menerima model probabilistik sebagai basis utama reliabilitas.
4.3.      
Hubungan antara
Reliabilitas dan Kebenaran Objektif
Reliabilisme tidak hanya berfokus pada
keyakinan, tetapi juga mengaitkannya dengan kebenaran objektif. Dalam
pandangan ini, reliabilitas dipahami sebagai jembatan antara kondisi internal
subjek (keyakinan) dengan kondisi eksternal realitas (kebenaran).⁶ Proses
kognitif dianggap andal jika mekanismenya cenderung selaras dengan struktur
dunia eksternal. Misalnya, indra penglihatan bekerja dengan baik karena hukum
optik di dunia nyata konsisten dengan cara mata menangkap cahaya.⁷ Dengan
demikian, reliabilisme menegaskan adanya hubungan naturalistik antara kebenaran
dan mekanisme epistemik manusia.
4.4.      
Internalisme versus
Eksternalisme: Posisi Reliabilisme
Salah satu aspek konseptual yang paling
penting adalah perdebatan internalisme versus eksternalisme. Internalisme
menuntut bahwa seseorang hanya memiliki justifikasi bila ia dapat mengakses
secara reflektif alasan atau bukti yang mendukung keyakinannya.⁸ Sebaliknya,
reliabilisme yang berposisi eksternalis menegaskan bahwa justifikasi tidak
memerlukan akses semacam itu; cukup bahwa keyakinan dihasilkan oleh proses yang
secara faktual andal.⁹ Misalnya, seorang anak kecil dapat memiliki pengetahuan
bahwa ada seekor kucing di depannya meskipun ia tidak mampu mengemukakan alasan
epistemologis mengapa persepsinya itu benar. Pandangan eksternalis inilah yang
membuat reliabilisme sangat berbeda dari teori tradisional berbasis
internalisme.
4.5.      
Model Murni dan
Hibrida
Dari segi konseptual, reliabilisme
dapat dipahami dalam dua bentuk: murni dan hibrida. Reliabilisme
murni menyatakan bahwa reliabilitas saja cukup untuk memberikan justifikasi
epistemik.¹⁰ Namun, reliabilisme hibrida berpendapat bahwa selain reliabilitas,
diperlukan juga kondisi tambahan, misalnya syarat bahwa subjek tidak
mengabaikan bukti yang jelas-jelas membantah keyakinannya.¹¹ Model hibrida ini
mencoba mengatasi kelemahan reliabilisme murni, terutama dalam menghadapi problem
generalitas dan keberatan skeptis.¹² Dengan demikian, perdebatan konseptual
ini memperlihatkan fleksibilitas reliabilisme dalam merespons berbagai
tantangan epistemologis.
Footnotes
[1]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–55.
[2]               
Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected
Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
131–135.
[3]               
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 78–80.
[4]               
Matthias Steup and John Turri, “Epistemology,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N.
Zalta, epistemology.
[5]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 148–150.
[6]               
Hilary Kornblith, Knowledge and Its Place in Nature
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 115–118.
[7]               
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification
and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
[8]               
Laurence BonJour, The Structure of Empirical
Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 41–45.
[9]               
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays
in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989),
81–84.
[10]            
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition,
56–58.
[11]            
Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 195–198.
[12]            
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–141.
5.          
Kritik terhadap
Reliabilisme
5.1.      
Problem Generalitas
(Generality Problem)
Salah satu kritik paling serius
terhadap reliabilisme adalah problem generalitas, yakni kesulitan
menentukan tingkat generalitas yang tepat dalam mendefinisikan suatu proses
kognitif.¹ Misalnya, ketika seseorang melihat sebuah pohon, apakah proses yang
relevan adalah “penglihatan manusia,” “penglihatan manusia pada siang
hari,” atau “penglihatan manusia sehat di siang hari tanpa adanya
gangguan optik”?² Tingkat spesifikasi yang berbeda dapat menghasilkan
penilaian reliabilitas yang berbeda pula. Reliabilisme dianggap tidak memiliki
kriteria jelas untuk memilih deskripsi yang tepat atas suatu proses kognitif,
sehingga konsep reliabilitas berisiko menjadi kabur dan tidak dapat
dioperasionalkan secara konsisten.³
5.2.      
Kritik dari
Perspektif Internalisme
Kritik lain datang dari para pendukung internalisme
epistemologis. Internalisme berargumen bahwa reliabilisme gagal menjelaskan
dimensi normatif dari justifikasi, sebab seorang individu bisa memiliki
keyakinan yang benar melalui proses andal tanpa menyadari atau dapat memberikan
alasan mengapa keyakinan itu sahih.⁴ Bagi internalisme, hal ini melemahkan
status epistemik keyakinan tersebut, karena justifikasi seharusnya menuntut
akses reflektif terhadap bukti atau alasan.⁵ Dengan kata lain, reliabilisme
dinilai mereduksi justifikasi menjadi sekadar hubungan kausal atau statistik,
tanpa mempertimbangkan tanggung jawab epistemik subjek.
5.3.      
Tantangan
Skeptisisme
Reliabilisme juga menghadapi tantangan
dari skeptisisme radikal. Misalnya, dalam skenario otak dalam wadah (brain-in-a-vat),
proses kognitif yang andal menurut standar internal subjek mungkin sebenarnya
tidak selaras dengan realitas eksternal.⁶ Hal ini menimbulkan pertanyaan:
apakah reliabilisme dapat membedakan antara dunia nyata dan skenario ilusi
total? Para pengkritik menegaskan bahwa reliabilisme tidak mampu memberikan
jawaban yang memadai terhadap keraguan mendasar ini, sebab reliabilitas sendiri
hanya dapat dievaluasi jika kita sudah memiliki akses terhadap dunia
eksternal—yang justru dipertanyakan dalam kerangka skeptisisme.⁷
5.4.      
Keterbatasan dalam
Kasus Gettier
Walaupun reliabilisme awalnya
dikembangkan sebagai respons terhadap problem Gettier, sebagian filsuf
berpendapat bahwa ia belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan tersebut.⁸
Beberapa kasus Gettier yang lebih kompleks menunjukkan bahwa keyakinan yang
benar dapat terbentuk melalui proses andal, namun tetap dianggap sebagai
pengetahuan yang cacat karena unsur keberuntungan epistemik masih berperan
signifikan.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa reliabilisme memerlukan kriteria
tambahan di luar reliabilitas semata agar dapat menjawab secara tuntas problem
Gettier.
5.5.      
Kritik dalam Konteks
Kontemporer: AI dan Kognisi Non-Manusia
Dalam perkembangan terbaru,
reliabilisme juga dikritik ketika diaplikasikan pada konteks kecerdasan
buatan (AI) dan sistem kognitif non-manusia. Jika reliabilitas adalah
satu-satunya syarat justifikasi, maka mesin yang menghasilkan output benar
secara konsisten dapat dianggap memiliki pengetahuan.¹⁰ Kritik ini menimbulkan
persoalan baru: apakah status epistemik manusia dapat disamakan dengan mesin
semata-mata karena keduanya memiliki reliabilitas? Beberapa filsuf berargumen
bahwa reliabilisme mengabaikan dimensi kesadaran, tanggung jawab, dan kebajikan
intelektual yang membedakan pengetahuan manusia dari sekadar informasi benar
yang dihasilkan mesin.¹¹
Footnotes
[1]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 151–153.
[2]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 73–75.
[3]               
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays
in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989),
90–92.
[4]               
Laurence BonJour, The Structure of Empirical
Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 45–48.
[5]               
Matthias Steup and John Turri, “Epistemology,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), ed. Edward N.
Zalta, epistemology.
[6]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 5–7.
[7]               
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 85–87.
[8]               
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[9]               
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–139.
[10]            
Alvin I. Goldman, “Reliabilism and Contemporary
Epistemology,” Episteme 4, no. 1 (2007): 25–28.
[11]            
Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected
Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
277–279.
6.          
Relevansi
Kontemporer
6.1.      
Reliabilisme dalam
Epistemologi Terapan
Salah satu relevansi paling nyata dari
reliabilisme adalah penerapannya dalam berbagai bidang praktis yang membutuhkan
standar pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam filsafat ilmu,
reliabilisme digunakan untuk menilai keandalan metode ilmiah: sebuah teori
dianggap sahih sejauh ia dihasilkan melalui metode yang secara sistematis
menghasilkan kebenaran.¹ Misalnya, eksperimen terkontrol dalam sains dinilai
memiliki reliabilitas tinggi karena dapat direplikasi dan diverifikasi oleh
pihak independen.² Dengan demikian, reliabilisme memberikan dasar normatif bagi
praktik ilmiah modern.
6.2.      
Reliabilisme dalam
Konteks Hukum dan Kesaksian
Reliabilisme juga memiliki relevansi
dalam bidang hukum, khususnya terkait dengan epistemologi kesaksian (epistemology
of testimony). Dalam proses peradilan, pengetahuan hakim dan juri sering
kali dibangun melalui kesaksian orang lain. Reliabilisme dapat digunakan untuk
menilai apakah suatu kesaksian dapat dijadikan dasar pengetahuan, yakni dengan
melihat apakah sumber kesaksian tersebut berasal dari proses kognitif yang
dapat diandalkan.³ Misalnya, kesaksian seorang saksi mata dalam kondisi
penglihatan normal dan tanpa tekanan psikologis dinilai lebih reliabel
dibandingkan kesaksian di bawah kondisi stres atau manipulasi.⁴
6.3.      
Reliabilisme,
Teknologi, dan AI
Perkembangan teknologi informasi dan
kecerdasan buatan (AI) menimbulkan pertanyaan baru bagi epistemologi. Jika
reliabilitas adalah kriteria utama justifikasi, maka sistem AI yang secara
konsisten menghasilkan output benar dapat dianggap sebagai “agen epistemik.”⁵
Hal ini memicu perdebatan tentang apakah mesin benar-benar “mengetahui”
sesuatu, atau sekadar memproses data secara mekanis tanpa kesadaran.⁶ Meskipun
demikian, reliabilisme memberi kerangka konseptual yang berguna untuk
mengevaluasi algoritma pembelajaran mesin berdasarkan tingkat keandalannya
dalam menghasilkan prediksi atau keputusan.⁷
6.4.      
Reliabilisme dan Era
Post-Truth
Di era post-truth, ketika opini
pribadi sering kali lebih berpengaruh daripada fakta objektif, reliabilisme
menawarkan perspektif kritis untuk memilah antara sumber informasi yang sahih
dan yang menyesatkan.⁸ Misalnya, algoritma media sosial yang mendorong filter
bubbles dapat dipandang sebagai proses kognitif kolektif yang tidak
reliabel karena lebih banyak menghasilkan keyakinan salah atau bias.⁹
Reliabilisme, dalam konteks ini, dapat dijadikan dasar epistemologis untuk
menuntut reformasi algoritmik dan literasi digital masyarakat, sehingga
keyakinan yang terbentuk di ruang publik lebih banyak bersandar pada mekanisme
informasi yang dapat dipercaya.
6.5.      
Hubungan dengan
Epistemologi Kebajikan
Akhirnya, reliabilisme menemukan
relevansi baru ketika dikaitkan dengan epistemologi kebajikan (virtue
epistemology). Para pemikir seperti Ernest Sosa dan Linda Zagzebski
berusaha menggabungkan keandalan proses kognitif dengan karakter intelektual
subjek.¹⁰ Dalam kerangka ini, pengetahuan tidak hanya dihasilkan oleh proses
andal, tetapi juga oleh kebajikan intelektual seperti kejujuran, keterbukaan
terhadap bukti, dan kerendahan hati epistemik.¹¹ Dengan demikian, reliabilisme
memperluas dirinya dari sekadar teori proses menuju kerangka yang lebih normatif,
yang sesuai dengan tuntutan kehidupan intelektual di dunia kontemporer.
Footnotes
[1]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 180–183.
[2]               
Susan Haack, Defending Science—Within Reason:
Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003),
62–64.
[3]               
Elizabeth Fricker, “Testimony and Epistemic Autonomy,”
in The Epistemology of Testimony, ed. Jennifer Lackey and Ernest Sosa
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 225–250.
[4]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 165–167.
[5]               
Alvin I. Goldman, “Reliabilism and Contemporary
Epistemology,” Episteme 4, no. 1 (2007): 25–28.
[6]               
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 104–106.
[7]               
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 90–92.
[8]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 11–15.
[9]               
C. Thi Nguyen, “Echo Chambers and Epistemic Bubbles,” Episteme
17, no. 2 (2020): 141–161.
[10]            
Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and
Reflective Knowledge, Volume I (Oxford: Oxford University Press, 2007),
23–26.
[11]            
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–141.
7.          
Penutup
Reliabilisme menempati posisi penting
dalam perdebatan epistemologi modern karena menawarkan paradigma baru dalam
memahami hubungan antara kebenaran, justifikasi, dan pengetahuan. Dengan
menekankan keandalan proses kognitif, reliabilisme mengalihkan fokus
dari tuntutan internalis yang mengharuskan subjek memiliki akses penuh terhadap
alasan, menuju kerangka eksternalis yang lebih naturalistis.¹ Pendekatan
ini terbukti berguna untuk menjawab tantangan epistemologis, terutama dalam
konteks pasca-Gettier, ketika definisi klasik pengetahuan sebagai justified
true belief terbukti bermasalah.²
Secara historis, perkembangan
reliabilisme yang digagas Alvin Goldman memberikan fondasi penting bagi
epistemologi kontemporer.³ Teori ini tidak hanya relevan dalam diskusi
konseptual, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam praktik ilmiah, hukum,
teknologi, dan bahkan dinamika sosial-politik era post-truth.
Reliabilisme memberikan kerangka evaluatif yang menekankan bahwa pengetahuan
dan kebenaran tidak dapat dilepaskan dari mekanisme yang menghasilkan keyakinan
tersebut, baik berupa persepsi, memori, maupun sistem algoritmik dalam
kecerdasan buatan.⁴
Namun, berbagai kritik menunjukkan
bahwa reliabilisme bukanlah teori tanpa kelemahan. Problem generalitas
membuktikan bahwa tidak mudah untuk menentukan batasan proses kognitif yang
relevan.⁵ Sementara itu, kritik internalis menyoroti absennya dimensi normatif
reflektif dalam teori ini, sehingga justifikasi epistemik menjadi terlalu
bergantung pada faktor eksternal.⁶ Selain itu, reliabilisme juga belum
sepenuhnya mampu mengatasi kasus Gettier yang lebih kompleks dan tantangan
skeptisisme radikal.⁷
Kendati demikian, banyak filsuf
menganggap reliabilisme tetap bernilai besar sebagai teori epistemologis.
Perkembangannya menuju epistemologi kebajikan memperlihatkan potensi
integratifnya dengan konsep kebajikan intelektual, sehingga memberikan jawaban
lebih komprehensif terhadap tantangan epistemologi kontemporer.⁸ Dengan
demikian, meskipun reliabilisme tidak sempurna, ia tetap merupakan salah satu
kerangka paling berpengaruh dalam filsafat pengetahuan, yang relevansinya
melintasi ranah konseptual dan praktis.
Footnotes
[1]               
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–55.
[2]               
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[3]               
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification
and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
[4]               
Duncan Pritchard, Epistemology (New York:
Palgrave Macmillan, 2014), 83–87.
[5]               
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays
in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989),
90–92.
[6]               
Laurence BonJour, The Structure of Empirical
Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 45–48.
[7]               
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry
into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 137–139.
[8]               
Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and
Reflective Knowledge, Volume I (Oxford: Oxford University Press, 2007),
23–26.
Daftar Pustaka
Alston, W. P. (1989). Epistemic
justification: Essays in the theory of knowledge. Cornell University Press.
Aristotle. (1993). Posterior
analytics (J. Barnes, Trans.). Clarendon Press.
BonJour, L. (1985). The structure
of empirical knowledge. Harvard University Press.
Feldman, R. (2003). Epistemology.
Prentice Hall.
Floridi, L. (2011). The philosophy
of information. Oxford University Press.
Fricker, E. (2006). Testimony and
epistemic autonomy. In J. Lackey & E. Sosa (Eds.), The epistemology of
testimony (pp. 225–250). Oxford University Press.
Gettier, E. (1963). Is justified true
belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.
Goldman, A. I. (1979). What is
justified belief? In G. S. Pappas (Ed.), Justification and knowledge
(pp. 1–23). D. Reidel.
Goldman, A. I. (1986). Epistemology
and cognition. Harvard University Press.
Goldman, A. I. (2007). Reliabilism
and contemporary epistemology. Episteme, 4(1), 25–28.
Haack, S. (2003). Defending
science—Within reason: Between scientism and cynicism. Prometheus Books.
Hume, D. (2007). An enquiry
concerning human understanding. Oxford University Press.
Kornblith, H. (2002). Knowledge
and its place in nature. Oxford University Press.
Locke, J. (1975). An essay
concerning human understanding. Clarendon Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Nguyen, C. T. (2020). Echo chambers
and epistemic bubbles. Episteme, 17(2), 141–161.
Plantinga, A. (1993). Warrant and
proper function. Oxford University Press.
Pritchard, D. (2014). Epistemology.
Palgrave Macmillan.
Putnam, H. (1981). Reason, truth
and history. Cambridge University Press.
Sosa, E. (1991). Knowledge in
perspective: Selected essays in epistemology. Cambridge University Press.
Sosa, E. (2007). A virtue
epistemology: Apt belief and reflective knowledge (Vol. 1). Oxford
University Press.
Steup, M., & Turri, J. (2022).
Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2022 Edition). Stanford
University.
Steup, M. (2022). The analysis of
knowledge. In E. N. Zalta (Ed.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2022 Edition). Stanford
University.
Zagzebski, L. (1996). Virtues of
the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of
knowledge. Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar