Kamis, 06 November 2025

Logika Islam (al-Manṭiq): Genealogi, Ontologi, dan Relevansinya dalam Tradisi Intelektual Islam

Logika Islam (al-Manṭiq)

Genealogi, Ontologi, dan Relevansinya dalam Tradisi Intelektual Islam


Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.

Logika dalam Filsafat, Logika dalam Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Logika Islam (al-manṭiq) sebagai disiplin rasional dalam tradisi intelektual Islam, dengan menelusuri aspek historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, serta relevansi kontemporernya. Kajian ini menunjukkan bahwa al-manṭiq tidak sekadar merupakan warisan logika Yunani yang diadopsi secara pasif, melainkan hasil transformasi kreatif dalam kerangka tauḥīdī yang menegaskan kesatuan antara akal, wahyu, dan realitas. Melalui analisis terhadap pemikiran tokoh-tokoh utama seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī, Ibn Rushd, dan Mulla Ṣadrā, ditemukan bahwa logika Islam berfungsi ganda: sebagai instrumen berpikir rasional (ʿilm al-ālah) dan sebagai etika intelektual (adab al-fikr). Secara ontologis, manṭiq menegaskan bahwa akal adalah refleksi dari tatanan wujud Ilahi; secara epistemologis, ia menjembatani antara rasio dan wahyu; dan secara aksiologis, ia menuntun manusia menuju kebenaran dan kebijaksanaan (al-ḥikmah). Dalam konteks kontemporer, logika Islam memiliki relevansi mendalam dalam membangun paradigma berpikir yang kritis, etis, dan integratif di tengah krisis rasionalitas modern. Oleh karena itu, al-manṭiq bukan sekadar sistem silogistik, melainkan fondasi filosofis bagi rasionalitas beradab — rasionalitas yang memadukan ilmu, moralitas, dan spiritualitas dalam kesatuan tauhid yang menyeluruh.

Kata Kunci: al-manṭiq, logika Islam, rasionalitas Islam, filsafat Islam, epistemologi Islam, etika intelektual, tauhid, hikmah, rasionalitas beradab, integrasi akal dan wahyu.


PEMBAHASAN

Apakah mantiq merupakan adaptasi logika Yunani atau bentuk orisinalitas rasional Islam?


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah intelektual Islam, al-manṭiq atau logika telah menempati posisi yang sangat penting sebagai ilmu alat (ʿilm al-ālah) yang berfungsi menuntun akal agar berpikir secara benar dan konsisten.¹ Bagi para filsuf dan teolog Muslim klasik, logika bukan sekadar sistem simbolik formal seperti dalam tradisi Barat modern, melainkan sebuah disiplin normatif yang menuntun manusia untuk mencapai kebenaran rasional yang sejalan dengan kebenaran wahyu.² Oleh karena itu, kajian tentang manṭiq tidak dapat dilepaskan dari dimensi metafisik, epistemologis, dan etis yang membentuk keseluruhan pandangan dunia Islam (weltanschauung islāmīyah).³

Secara historis, kehadiran manṭiq dalam tradisi Islam merupakan hasil asimilasi dan transformasi atas logika Aristotelian yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sejak abad ke-8 M melalui proyek penerjemahan besar di Bayt al-Ḥikmah, Baghdad.⁴ Namun, alih-alih sekadar meniru, para pemikir Muslim seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Ibn Rushd melakukan reinterpretasi kreatif terhadap logika Yunani, dengan menempatkannya dalam kerangka epistemologi Islam yang berorientasi pada kebenaran ilahi (al-ḥaqq).⁵ Dalam hal ini, logika menjadi jembatan antara rasionalitas manusia dan petunjuk wahyu, antara filsafat dan teologi, antara analisis akal dan etika hati.⁶

Dalam konteks pendidikan Islam klasik, manṭiq telah menjadi bagian integral dari kurikulum di madrasah dan pesantren, dipandang sebagai sarana untuk melatih tartīb al-fikr (ketertiban berpikir).⁷ Karya seperti Isāghūjī karya al-Abharī dan al-Sullam al-Munāraqq karya al-Akhdarī menunjukkan bagaimana logika menjadi instrumen pedagogis yang menggabungkan kejelasan rasional dengan kedalaman spiritual.⁸ Bahkan, ulama seperti al-Ghazālī menegaskan bahwa seseorang yang tidak menguasai manṭiqtidak dapat dipercaya ilmunya,” karena logika adalah syarat bagi validitas pemikiran ilmiah.⁹

Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik penggunaan logika dalam teologi, seperti Ibn Taymiyyah yang menilai bahwa manṭiq cenderung mengabstraksi realitas dari hakikatnya dan berpotensi menjauhkan manusia dari intuisi wahyu.¹⁰ Kritik ini menandai dinamika intelektual Islam yang kaya: di satu sisi rasional, di sisi lain teosentris. Dari ketegangan ini lahir tradisi pemikiran Islam yang dinamis, di mana logika tidak hanya dipahami sebagai teknik argumentasi, tetapi juga sebagai etos berpikir yang etis dan spiritual.¹¹

Dalam konteks kontemporer, kajian manṭiq menjadi semakin relevan. Di tengah era digital yang sarat disinformasi dan penalaran instan, logika Islam dapat menawarkan paradigma berpikir kritis yang berakar pada integritas moral dan rasionalitas ilahiah.¹² Ia mengajarkan keseimbangan antara skeptisisme dan iman, antara nalar dan nilai, antara analisis dan hikmah. Dengan demikian, penelitian ini berupaya untuk menelusuri genealogi, ontologi, epistemologi, dan aksiologi logika Islam guna menunjukkan bagaimana manṭiq bukan hanya warisan masa lalu, tetapi fondasi bagi pembangunan rasionalitas dan kebudayaan Islam di masa depan.¹³


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿinda al-Falāsifah al-Muslimīn (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1969), 3.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 45.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 27.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries) (London: Routledge, 1998), 56–57.

[5]                Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 112.

[6]                Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 65–68.

[7]                Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), 112.

[8]                Al-Akhdarī, Al-Sullam al-Munāraqq, ed. Muhammad al-ʿAlawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 5–6.

[9]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 11.

[10]             Ibn Taymiyyah, Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, ed. Muhammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmiʿat al-Imām, 1998), 23–24.

[11]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 78.

[12]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 142.

[13]             Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1981), 21–22.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Perkembangan al-manṭiq (logika Islam) tidak dapat dipahami tanpa menelusuri akar historisnya yang berawal dari perjumpaan antara tradisi filsafat Yunani dan kebudayaan Islam pada masa kekhalifahan ʿAbbāsiyyah. Sejak abad ke-8 M, pusat intelektual Baghdad menjadi arena penting bagi proyek penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani, terutama karya Aristoteles dan komentator-komentatornya seperti Theophrastus dan Alexander dari Aphrodisias.¹ Proyek ini dipelopori oleh lembaga Bayt al-Ḥikmah (Rumah Kebijaksanaan), yang didirikan pada masa khalifah al-Maʾmūn (813–833 M), dan melibatkan para penerjemah terkenal seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan Yaḥyā ibn ʿAdī.²

Melalui proses penerjemahan tersebut, Organon Aristoteles — kumpulan karya yang menjadi dasar sistem logika formal Barat — diperkenalkan ke dunia Islam.³ Namun, para pemikir Muslim tidak hanya menerjemahkan, melainkan juga mengadaptasi dan mentransformasikan logika tersebut sesuai dengan semangat epistemologi Islam. Tokoh seperti al-Fārābī (w. 950 M) dianggap sebagai peletak dasar mantiq Islāmī karena ia menyusun sistem logika yang lebih luas daripada Aristoteles, dengan menambahkan aspek linguistik, semantik, dan metafisik yang relevan dengan bahasa Arab dan struktur pemikiran Islam.⁴ Dalam Kitāb al-Qiyās dan Kitāb al-Burhān, al-Fārābī menguraikan logika sebagai instrumen untuk memperoleh pengetahuan yang benar (ʿilm ṣaḥīḥ) sekaligus alat untuk menghindari kekeliruan berpikir.⁵

Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M) kemudian mengembangkan sistem al-Fārābī menjadi logika yang lebih matang dan terstruktur, dengan mengintegrasikan teori konsepsi (taṣawwur) dan afirmasi (taṣdīq).⁶ Baginya, logika adalah prasyarat semua ilmu pengetahuan karena memberikan dasar bagi validitas proposisi dan argumentasi.⁷ Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā menekankan bahwa logika berfungsi bukan hanya untuk membedakan antara yang benar dan salah, tetapi juga untuk membimbing akal menuju pengetahuan yang paling sempurna (al-ʿilm al-akmal).⁸

Sementara itu, Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M) berperan sebagai jembatan antara logika Islam dan Eropa Latin.⁹ Melalui karya-karya komentarnya atas Aristoteles, ia memengaruhi tradisi skolastik Barat, khususnya Thomas Aquinas, Albertus Magnus, dan para skolastikus lainnya.¹⁰ Dengan demikian, mantiq menjadi salah satu saluran penting dalam transmisi pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa, yang kelak melahirkan renaisans logika di Barat.

Namun, tidak semua kalangan Islam menerima logika Aristotelian tanpa kritik. Al-Ghazālī (w. 1111 M), meskipun dikenal sebagai seorang teolog dan sufi, membela penggunaan logika dalam teologi (ʿilm al-kalām) dan hukum Islam (uṣūl al-fiqh). Dalam Miʿyār al-ʿIlm dan al-Qisṭās al-Mustaqīm, ia menegaskan bahwa logika adalah alat netral yang dapat digunakan oleh siapa pun untuk menegakkan kebenaran.¹¹ Ia bahkan berpendapat bahwa siapa pun yang tidak menguasai logika tidak dapat dipercaya ilmunya (lā yuʾman ʿilmuh).¹²

Sebaliknya, Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) memandang logika Yunani sebagai produk rasionalitas asing yang terlalu mengandalkan premis-premis universal dan abstrak, sehingga tidak sesuai dengan epistemologi Islam yang bersandar pada realitas empiris dan wahyu.¹³ Dalam Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, ia menegaskan bahwa metode qiyās dalam fikih lebih rasional dan kontekstual daripada silogisme Aristotelian.¹⁴ Perdebatan ini menandai munculnya dialektika antara kalangan mutaʾakkhirīn (tradisionalis) dan falāsifah (rasionalis), yang memperkaya khazanah pemikiran Islam.¹⁵

Meski demikian, pengajaran mantiq terus bertahan di lembaga-lembaga pendidikan Islam hingga masa modern. Kitab Isāghūjī karya al-Abharī (w. 1265 M) dan syarah-syarahnya menjadi teks standar di madrasah dan pesantren selama berabad-abad.¹⁶ Karya ini menjadi simbol penerimaan logika sebagai bagian dari tradisi intelektual Islam yang tidak terpisah dari dimensi spiritual dan moral. Bahkan di dunia Melayu-Indonesia, mantiq dipelajari melalui teks seperti al-Sullam al-Munāraqq karya al-Akhdarī, menunjukkan kontinuitas historis logika Islam dalam dunia pendidikan tradisional.¹⁷

Dengan demikian, secara genealogis, mantiq Islam bukanlah sekadar turunan dari logika Yunani, melainkan hasil transformasi kreatif yang memadukan rasionalitas dan religiusitas. Ia tumbuh dalam interaksi antara filsafat, teologi, dan linguistik Arab, menjadikannya sebagai warisan epistemologis khas Islam yang berorientasi pada kebenaran, kebijaksanaan, dan etika berpikir.¹⁸


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries) (London: Routledge, 1998), 12–14.

[2]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 37.

[3]                Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators and Their Influence (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1990), 68–70.

[4]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 5–6.

[5]                Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Rafiq al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 22–24.

[6]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 45.

[7]                Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (London: Oxford University Press, 1959), 18.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 84–85.

[9]                Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect: Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect, and Theories of Human Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 134.

[10]             Charles E. Butterworth, “Averroes’ Three Commentaries on the Organon,” Journal of the History of Philosophy 22, no. 1 (1984): 18–21.

[11]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 11.

[12]             Al-Ghazālī, Al-Qisṭās al-Mustaqīm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1964), 9–10.

[13]             Ibn Taymiyyah, Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, ed. Muhammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmiʿat al-Imām, 1998), 19.

[14]             Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 56.

[15]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 81.

[16]             Al-Abharī, Isāghūjī, ed. Ahmad Zaid (Cairo: Dār al-Salām, 2001), 3–4.

[17]             Al-Akhdarī, Al-Sullam al-Munāraqq, ed. Muhammad al-ʿAlawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 5–7.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 99.


3.           Ontologi Logika Islam

Dalam kerangka filsafat Islam, al-manṭiq dipahami bukan sekadar sebagai seperangkat kaidah berpikir formal, tetapi sebagai ilmu ontologis tentang struktur kebenaran rasional. Ia tidak hanya mengatur bentuk argumentasi yang sah, melainkan juga menyingkap tatanan realitas sebagaimana ditangkap oleh akal manusia.¹ Dengan demikian, logika Islam berakar pada pandangan dunia (worldview) yang memandang akal (ʿaql) sebagai anugerah Ilahi untuk mengenali hakikat (ḥaqīqah) dan keteraturan ciptaan (niẓām al-wujūd).²

Bagi al-Fārābī, manṭiq adalah instrumen yang menuntun akal untuk mencapai pengetahuan yang benar, sebagaimana tata bahasa menuntun lidah agar berbicara dengan benar.³ Ia menegaskan bahwa logika bersifat universal karena bersandar pada struktur akal manusia yang bersifat kodrati, tetapi juga normatif karena mengandung aturan-aturan penalaran yang harus diikuti agar pengetahuan yang dihasilkan sesuai dengan realitas.⁴ Oleh sebab itu, manṭiq dalam pandangan Islam bukan sekadar logika formal (formal logic), melainkan logika realitas (logic of being) yang memediasi antara akal dan wujud.⁵

Dalam kerangka ini, Ibn Sīnā mengembangkan konsep taṣawwur (konsepsi) dan taṣdīq (pembenaran) sebagai dua aktivitas ontologis utama akal manusia.⁶ Taṣawwur berkaitan dengan pembentukan makna atau konsep tentang sesuatu, sedangkan taṣdīq berhubungan dengan afirmasi atau negasi terhadap suatu proposisi.⁷ Dengan kata lain, logika Islam bertumpu pada teori korespondensi antara pikiran dan wujud, di mana kebenaran (ṣidq) merupakan kesesuaian antara pengetahuan dan kenyataan yang ada.⁸

Ibn Sīnā juga membedakan antara mantiq ṭabīʿī (logika natural) dan mantiq ṣināʿī (logika teknis).⁹ Logika natural merupakan kemampuan bawaan akal untuk mengenali hubungan sebab-akibat dalam realitas, sedangkan logika teknis adalah bentuk terlatih dari kemampuan itu melalui sistem kaidah formal.¹⁰ Perbedaan ini menunjukkan bahwa bagi pemikir Islam, logika tidak terpisah dari fitrah manusia, melainkan merupakan ekspresi sadar dari kemampuan ontologis akal untuk menangkap struktur realitas ciptaan Tuhan.¹¹

Sementara itu, al-Ghazālī memandang logika sebagai “ilmu alat bagi seluruh ilmu”, yang validitasnya tidak bergantung pada sumber Yunani, tetapi pada kesesuaiannya dengan prinsip kebenaran universal yang juga terdapat dalam wahyu.¹² Ia menegaskan bahwa kebenaran rasional tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Benar (al-Ḥaqq).¹³ Ontologi logika Islam dengan demikian berakar pada tauhid epistemologis, yakni keyakinan bahwa realitas dan rasionalitas adalah dua sisi dari satu kebenaran Ilahi yang sama.¹⁴

Dalam dimensi ontologisnya, manṭiq juga berkaitan erat dengan metafisika. Ibn Rushd, misalnya, menolak pemisahan tajam antara logika dan ontologi.¹⁵ Bagi dia, berpikir logis berarti mengungkap tatanan wujud sebagaimana adanya (kama huwa fī al-nafs al-amr).¹⁶ Oleh sebab itu, kebenaran logis tidak hanya bersifat formal, tetapi juga ontologis dan teleologis, karena mencerminkan keteraturan rasional yang tertanam dalam ciptaan.¹⁷ Dalam konteks ini, manṭiq Islam berfungsi sebagai jembatan antara akal manusia dan realitas Ilahi — antara struktur berpikir dan struktur keberadaan.¹⁸

Lebih jauh, pandangan ontologis tentang logika dalam Islam menolak dikotomi antara “logika sebagai bentuk” dan “metafisika sebagai isi”.¹⁹ Keduanya saling berkelindan dalam tatanan pengetahuan Islam yang integral. Logika Islam tidak hanya mengajarkan how to think correctly, tetapi juga why we think — yaitu untuk memahami hakikat wujud dan menuju kebenaran Tuhan.²⁰ Dengan demikian, manṭiq menjadi bukan sekadar seni berpikir benar, melainkan jalan menuju al-ḥikmah, kebijaksanaan yang menyatukan rasio dan realitas.²¹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 102.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 89.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 66–68.

[4]                Richard C. Taylor, “Al-Fārābī and the Origins of Islamic Logic,” The Review of Metaphysics 44, no. 2 (1990): 289.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 57.

[6]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 45–46.

[7]                Fazlur Rahman, Avicenna’s De Anima: Being the Psychological Part of Kitāb al-Shifāʾ (London: Oxford University Press, 1959), 33.

[8]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 124.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 64.

[10]             Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 1988), 112.

[11]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 77.

[12]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 13.

[13]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 151.

[14]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 57.

[15]             Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Burhān, ed. Ahmad ʿAbd al-Raḥīm al-Sāyiḥ (Cairo: Dār al-Salām, 2001), 19.

[16]             Charles Genequand, Ibn Rushd’s Metaphysics: A Translation with Introduction (Leiden: Brill, 1986), 98.

[17]             F. E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 133.

[18]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Ḥikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 45.

[19]             Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1981), 72–73.

[20]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 49.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 91.


4.           Epistemologi Logika Islam

Epistemologi logika Islam berangkat dari prinsip bahwa akal (ʿaql) adalah anugerah Ilahi yang memungkinkan manusia mengenali kebenaran dan menyingkap realitas ciptaan.¹ Dalam pandangan Islam, akal bukan entitas otonom yang terpisah dari wahyu, melainkan alat rasional yang berfungsi dalam koridor etis dan metafisik yang diatur oleh Tuhan.² Oleh sebab itu, epistemologi al-manṭiq bersifat teosentris, berbeda dengan epistemologi sekuler modern yang menjadikan rasio sebagai pusat absolut.³

Para filsuf Muslim seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī memandang logika sebagai sarana metodologis untuk memperoleh pengetahuan yang sahih (ʿilm ṣaḥīḥ).⁴ Dalam hal ini, logika bukan hanya alat teknis, tetapi juga epistemologi normatif yang menentukan kriteria kebenaran dan validitas pengetahuan.⁵ Al-Fārābī menegaskan bahwa logika adalah miʿyār al-fikr (standar berpikir) yang membedakan antara pengetahuan yang benar (ṣidq) dan yang salah (khiṭāʾ).⁶

Ibn Sīnā mengembangkan struktur epistemologi logika melalui dua tahap fundamental: taṣawwur (konsepsi) dan taṣdīq (pembenaran).⁷ Pengetahuan bermula dari pembentukan konsep tentang sesuatu (taṣawwur), kemudian berkembang menjadi proposisi yang dapat dinilai benar atau salah (taṣdīq).⁸ Dalam pandangannya, pengetahuan yang benar terjadi ketika proposisi akal sesuai dengan kenyataan objektif (mutābaqat al-fikr li al-wāqiʿ).⁹ Dengan demikian, kebenaran bersifat korespondensial, tetapi tidak berhenti pada formalisme, sebab setiap kebenaran juga mengandung makna moral dan tujuan spiritual.¹⁰

Epistemologi logika Islam juga menempatkan wahyu (naql) dan akal (ʿaql) dalam relasi koheren, bukan kontradiktif.¹¹ Al-Ghazālī dalam al-Munqidh min al-ḍalāl menegaskan bahwa tidak ada kebenaran rasional yang sejati yang dapat bertentangan dengan wahyu yang benar, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Benar.¹² Ia memandang logika sebagai alat bantu untuk menafsirkan wahyu dengan metode yang sahih dan rasional.¹³ Dalam konteks ini, epistemologi Islam bersifat integratif, menggabungkan dimensi rasional, intuitif, dan transenden.¹⁴

Selain itu, logika Islam memperhatikan aspek metode penalaran yang bersifat deduktif dan induktif. Metode qiyās (silogisme) digunakan untuk menghasilkan pengetahuan rasional melalui penarikan kesimpulan dari premis yang sudah diketahui.¹⁵ Sedangkan metode istiqrāʾ (induksi) digunakan untuk menyusun prinsip-prinsip umum berdasarkan pengamatan empiris.¹⁶ Ibn Rushd dalam komentarnya terhadap Posterior Analytics Aristoteles menegaskan bahwa kombinasi kedua metode ini merupakan jalan paling sempurna menuju ilmu pengetahuan yang sejati (ʿilm al-yaqīn).¹⁷ Dengan demikian, logika Islam menolak dikotomi antara rasionalisme dan empirisme, dan menggantikannya dengan rasionalitas integral, yang menggabungkan akal, pengalaman, dan wahyu dalam satu kesatuan epistemik.¹⁸

Tradisi logika Islam juga melahirkan dimensi etis dalam epistemologi. Ibn Sīnā dan al-Ghazālī sama-sama menekankan bahwa berpikir benar tidak hanya persoalan metodologis, tetapi juga moral.¹⁹ Akal yang bersih dari hawa nafsu dan bias menjadi syarat bagi tercapainya kebenaran rasional.²⁰ Epistemologi logika Islam, dengan demikian, berfungsi untuk menumbuhkan adab al-fikr — tata nilai dalam berpikir yang menggabungkan objektivitas intelektual dengan integritas spiritual.²¹

Dalam konteks modern, epistemologi logika Islam memiliki relevansi yang besar. Di tengah krisis rasionalitas dan relativisme pengetahuan, manṭiq Islam menawarkan paradigma berpikir yang menyeimbangkan antara skeptisisme kritis dan keyakinan normatif.²² Ia menegaskan bahwa berpikir rasional tidak boleh terlepas dari nilai, dan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengantarkan manusia pada pengakuan terhadap kebenaran Ilahi.²³ Dengan demikian, epistemologi al-manṭiq Islam adalah rasionalitas yang beradab — suatu model berpikir yang menempatkan logika, moralitas, dan spiritualitas dalam harmoni yang utuh.²⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 27.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 45.

[3]                Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 139.

[4]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 7–8.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 61.

[6]                Rafiq al-ʿAjam, Al-Manṭiq ʿinda al-Fārābī (Beirut: Dār al-Fikr al-Lubnānī, 1998), 44.

[7]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 45.

[8]                Fazlur Rahman, Avicenna’s De Anima: Being the Psychological Part of Kitāb al-Shifāʾ (London: Oxford University Press, 1959), 36.

[9]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 114.

[10]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 72.

[11]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 96.

[12]             Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-ḍalāl, ed. J. Saliba and K. Ayyad (Beirut: Dār al-Andalus, 1969), 51.

[13]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 14.

[14]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 80.

[15]             Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Rafiq al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 29.

[16]             Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Burhān, ed. Ahmad ʿAbd al-Raḥīm al-Sāyiḥ (Cairo: Dār al-Salām, 2001), 17.

[17]             Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 144.

[18]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 53.

[19]             Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. ʿAbd al-Qādir ʿAṭā (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2002), 118.

[20]             Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1981), 90.

[21]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 66.

[22]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 108.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge, 1975), 62.

[24]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 161.


5.           Aksiologi Logika Islam

Dalam kerangka filsafat Islam, aksiologi al-manṭiq tidak hanya membahas nilai guna logika sebagai alat berpikir yang benar, tetapi juga menyingkap dimensi etis dan spiritual dari aktivitas rasional itu sendiri.¹ Logika Islam memandang berpikir bukan semata proses kognitif, melainkan bagian dari tanggung jawab moral manusia sebagai makhluk berakal (al-insān al-ʿāqil).² Oleh karena itu, nilai (aksiologis) logika Islam tidak terbatas pada ketepatan inferensi, tetapi juga pada kemaslahatan etis dan kesempurnaan spiritual yang dihasilkan dari penggunaan akal secara benar.³

Al-Fārābī menegaskan bahwa tujuan akhir logika bukan sekadar ketepatan argumentasi, melainkan pencapaian kebahagiaan (saʿādah) melalui pengetahuan yang benar.⁴ Dalam Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah, ia menjelaskan bahwa masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menjadikan berpikir logis dan benar sebagai dasar kehidupan moral dan politik.⁵ Dengan demikian, logika memiliki nilai aksiologis ganda: pertama, sebagai alat epistemik untuk menyingkap kebenaran; kedua, sebagai alat etis untuk menata kehidupan yang baik (al-ḥayāt al-ṭayyibah).⁶

Ibn Sīnā juga memandang logika sebagai sarana untuk menuntun jiwa menuju kesempurnaan akal.⁷ Dalam pandangannya, berpikir secara logis adalah bagian dari proses tahdhīb al-nafs (penyucian diri), karena hanya akal yang disiplin dan jujur yang dapat menangkap hakikat realitas.⁸ Ia menekankan adanya hubungan integral antara kebenaran rasional (ṣidq al-ʿaql) dan kejujuran moral (ṣidq al-nafs).⁹ Bagi Ibn Sīnā, kesalahan berpikir bukan hanya kesalahan logis, tetapi juga cacat moral, sebab menunjukkan ketidakdisiplinan jiwa terhadap tata kosmos Ilahi.¹⁰

Dalam tradisi teologis dan tasawuf, al-Ghazālī memberikan dimensi aksiologis yang lebih mendalam. Ia menegaskan bahwa penggunaan logika harus disertai dengan niyyah ṣāliḥah (niat yang baik) agar pengetahuan tidak menjadi sarana kesombongan intelektual.¹¹ Logika, dalam pandangannya, bernilai jika mengantarkan manusia kepada kebenaran yang mendekatkan diri kepada Allah.¹² Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, al-Ghazālī menulis bahwa ilmu yang tidak berbuah adab dan keikhlasan adalah ilmu yang tidak bermanfaat (ʿilm lā yanfaʿ).¹³ Dengan demikian, logika memiliki nilai moral bukan hanya dalam penalaran, tetapi juga dalam orientasi eksistensialnya.¹⁴

Dari perspektif sosial, logika Islam berperan membentuk adab al-ḥiwār (etika dialog).⁵ Dalam konteks perbedaan mazhab dan pandangan teologis, manṭiq menjadi sarana untuk menjaga ketertiban diskursus dan menghindari polemik destruktif.¹⁶ Ibn Rushd, misalnya, dalam Faṣl al-Maqāl menegaskan bahwa penggunaan logika dalam teologi dapat menjadi jalan kompromi antara para mutakallimīn dan falāsifah, asalkan dilakukan dengan adab intelektual dan orientasi mencari kebenaran, bukan kemenangan debat.¹⁷

Aksiologi logika Islam juga menegaskan pentingnya nilai keseimbangan (tawāzun) dan moderasi (wasatiyyah) dalam berpikir.⁸ Berpikir ekstrem — baik rasionalisme tanpa nilai maupun dogmatisme tanpa kritik — sama-sama bertentangan dengan tujuan manṭiq.¹⁹ Logika Islam mengajarkan bahwa kebenaran harus dicapai dengan kesabaran intelektual (ṣabr al-fikr), keterbukaan terhadap kritik (inṣāf), dan kejujuran epistemik (amānah ʿilmiyyah).²⁰

Dalam konteks kontemporer, nilai aksiologis logika Islam menemukan relevansi baru dalam pendidikan dan etika publik.²¹ Di era informasi yang penuh disinformasi, manṭiq dapat berfungsi sebagai fondasi moral untuk berpikir kritis yang beradab dan bertanggung jawab.²² Sebagaimana ditegaskan oleh Osman Bakar, rasionalitas Islam bukanlah rasionalitas bebas nilai, tetapi rasionalitas yang berpijak pada prinsip tawḥīd, yakni kesatuan antara pengetahuan, nilai, dan kebenaran.²³ Dengan demikian, aksiologi al-manṭiq Islam menegaskan bahwa berpikir benar harus sekaligus berpikir baik dan berpikir suci — sebab logika, dalam pandangan Islam, adalah jalan menuju hikmah (sabil al-ḥikmah), bukan sekadar permainan intelektual.²⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 91.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 71.

[3]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 102.

[4]                Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah, ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dār al-Mashriq, 1964), 53.

[5]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 118.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 67.

[7]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 47.

[8]                Fazlur Rahman, Avicenna’s De Anima: Being the Psychological Part of Kitāb al-Shifāʾ (London: Oxford University Press, 1959), 38.

[9]                M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 81.

[10]             Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 121.

[11]             Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. ʿAbd al-Qādir ʿAṭā (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2002), 118.

[12]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 15.

[13]             Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-ḍalāl, ed. J. Saliba and K. Ayyad (Beirut: Dār al-Andalus, 1969), 59.

[14]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 167.

[15]             Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 224.

[16]             A. K. Arani, Logic in Islamic Philosophy (Tehran: Institute for Humanities, 2000), 33.

[17]             Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 15.

[18]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 112.

[19]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 70.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1978), 44.

[21]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 93.

[22]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 170.

[23]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 107.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 102.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual

Dimensi sosial dan intelektual al-manṭiq dalam tradisi Islam memperlihatkan bahwa logika tidak pernah berdiri sebagai disiplin yang steril atau semata-mata teknis. Ia selalu berinteraksi dengan kehidupan sosial, tradisi pendidikan, dan struktur intelektual masyarakat Muslim.¹ Dalam konteks ini, manṭiq berfungsi bukan hanya sebagai perangkat berpikir individual, tetapi juga sebagai instrumen peradaban, yakni sarana pembentukan tata nalar kolektif yang rasional, beradab, dan terbuka terhadap dialog.²

Sejak abad ke-9 hingga ke-13 M, logika menjadi bagian sentral dalam pembentukan Bayt al-ʿIlm dan madrasah-madrasah besar di Baghdad, Damaskus, Nishapur, Kairo, dan Andalusia.³ Al-Fārābī dan Ibn Sīnā meletakkan dasar bagi pengajaran logika di bawah disiplin filsafat dan teologi, sementara al-Ghazālī menegaskan keharusannya sebagai ilmu alat bagi semua cabang keilmuan, termasuk uṣūl al-fiqh.⁴ Dengan integrasi ini, manṭiq berperan membentuk struktur intelektual Islam yang sistematis, rasional, dan koheren.⁵

Peran sosial logika juga tampak dalam tradisi ilmiah ḥiwār (dialog) dan munāẓarah (perdebatan).⁶ Keduanya menjadi ciri khas kehidupan ilmiah Islam abad pertengahan. Dalam majālis al-ʿilm dan ḥalaqah-halaqah, para ulama dan filsuf menggunakan prinsip logika untuk menjaga ketertiban argumentasi, menegakkan kejujuran epistemik, dan menghindari kekacauan berpikir.⁷ Prinsip qiyās, burhān, dan jadal menjadi model argumentasi sosial yang berakar pada akhlak intelektual Islam.⁸ Dengan demikian, logika berperan penting dalam melahirkan etika diskursus (adab al-ḥiwār), yakni budaya berpikir yang menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi.⁹

Ibn Rushd menegaskan dimensi sosial logika dalam karyanya Faṣl al-Maqāl, di mana ia berpendapat bahwa berpikir rasional adalah kewajiban sosial (farḍ kifāyah) bagi umat Islam.¹⁰ Baginya, masyarakat yang menolak logika akan terjerumus dalam kebingungan epistemik dan kehilangan orientasi terhadap kebenaran wahyu.¹¹ Dengan berpikir logis, masyarakat Islam dapat menjaga keseimbangan antara teks suci dan realitas empiris, serta mencegah lahirnya fanatisme buta.¹² Pandangan ini memperlihatkan bahwa logika tidak hanya berkaitan dengan epistemologi, tetapi juga dengan tanggung jawab sosial terhadap kebenaran.¹³

Selain berfungsi dalam teologi dan filsafat, logika juga berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu-ilmu rasional (ʿulūm ʿaqliyyah) dan ilmu-ilmu keagamaan (ʿulūm naqliyyah).¹⁴ Dalam bidang uṣūl al-fiqh, misalnya, para ulama menggunakan struktur silogistik untuk membangun kaidah penalaran hukum.¹⁵ Sedangkan dalam ilmu kalam, manṭiq digunakan untuk mempertahankan doktrin teologis melalui argumen rasional yang sistematis.¹⁶ Bahkan dalam tasawuf falsafi, seperti pada Suhrawardī dan Mulla Ṣadrā, logika dipandang sebagai jalan menuju penyucian intelek dan harmoni antara rasio dan intuisi.¹⁷

Dimensi sosial logika Islam juga tercermin dalam sistem pendidikan tradisional. Karya Isāghūjī karya al-Abharī dan al-Sullam al-Munāraqq karya al-Akhdarī diajarkan selama berabad-abad di madrasah dan pesantren di dunia Islam, termasuk di Nusantara.¹⁸ Para santri mempelajarinya bukan semata untuk tujuan filosofis, tetapi untuk melatih keteraturan berpikir dan disiplin moral.¹⁹ Hal ini menandakan bahwa logika telah menjadi bagian dari adab al-taʿlīm, yakni tata pendidikan Islam yang menumbuhkan kecerdasan rasional sekaligus kesantunan spiritual.²⁰

Di sisi lain, pengaruh intelektual manṭiq Islam juga menembus batas geografis dan kultural. Melalui karya Ibn Rushd dan penerjemahan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona, konsep logika Islam memengaruhi perkembangan rasionalitas Eropa abad pertengahan.²¹ Thomas Aquinas, misalnya, banyak mengadopsi argumen Ibn Rushd dalam struktur teologinya, khususnya mengenai hubungan antara akal dan wahyu.²² Dengan demikian, manṭiq Islāmī memiliki peran historis dalam pembentukan humanisme rasional Barat.²³

Dalam konteks modern, dimensi sosial dan intelektual logika Islam menuntut revitalisasi.²⁴ Di tengah krisis rasionalitas publik dan polarisasi sosial, manṭiq dapat berfungsi sebagai dasar bagi etika berpikir kritis dan komunikasi lintas tradisi.²⁵ Seperti ditegaskan oleh Syed Naquib al-Attas, masyarakat yang kehilangan adab al-fikr akan kehilangan panduan nilai dalam ilmu dan peradaban.²⁶ Oleh karena itu, menghidupkan kembali logika Islam berarti menegakkan kembali rasionalitas yang beradab — rasionalitas yang mengintegrasikan akal, moral, dan wahyu dalam satu tatanan sosial yang harmonis.²⁷


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 115.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 111.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 41.

[4]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 10.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 73.

[6]                Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), 113.

[7]                Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Rafiq al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 27.

[8]                Al-Ghazālī, Al-Qisṭās al-Mustaqīm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1964), 11.

[9]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 92.

[10]             Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 14.

[11]             Charles Genequand, Ibn Rushd’s Metaphysics: A Translation with Introduction (Leiden: Brill, 1986), 103.

[12]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 114.

[13]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 75.

[14]             Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿinda al-Falāsifah al-Muslimīn (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1969), 18.

[15]             Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Uṣūl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 67.

[16]             Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 91.

[17]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Ḥikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 54.

[18]             Al-Abharī, Isāghūjī, ed. Ahmad Zaid (Cairo: Dār al-Salām, 2001), 3–4.

[19]             Al-Akhdarī, Al-Sullam al-Munāraqq, ed. Muhammad al-ʿAlawī (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 6.

[20]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 97.

[21]             Richard C. Dales, The Scientific Achievement of the Middle Ages (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973), 64.

[22]             Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 146.

[23]             F. E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 137.

[24]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 175.

[25]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1978), 50.

[26]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 38.

[27]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 113.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Kajian tentang al-manṭiq dalam tradisi Islam tidak pernah bersifat tunggal atau monolitik. Sepanjang sejarahnya, ia selalu menjadi medan dialog antara penerimaan, kritik, dan rekonstruksi.¹ Kritik terhadap logika dalam Islam bukanlah penolakan terhadap rasionalitas itu sendiri, melainkan upaya untuk menegaskan batas-batas epistemologis dan ontologis akal manusia agar tetap selaras dengan prinsip tauhid.² Oleh karena itu, dinamika antara logika dan teologi Islam memperlihatkan sebuah proses dialektika kreatif, di mana nalar rasional berjumpa dengan nalar transenden untuk menghasilkan sintesis yang khas dalam khazanah intelektual Islam.³

Salah satu kritik paling berpengaruh datang dari Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111 M).⁴ Meskipun dikenal sebagai pembela penggunaan logika dalam uṣūl al-fiqh dan kalam, al-Ghazālī juga mengingatkan akan bahaya formalisme logika yang berlebihan.⁵ Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menolak klaim kaum filsuf bahwa kebenaran rasional dapat sepenuhnya menggantikan kebenaran wahyu.⁶ Menurutnya, logika hanya valid sebagai alat bantu, bukan sebagai sumber kebenaran tertinggi.⁷ Ia menegaskan bahwa berpikir benar secara logis belum tentu mengantarkan pada kebenaran eksistensial, sebab kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui pembersihan jiwa dan penyinaran ilahi (nūr ilāhī).⁸ Dengan demikian, al-Ghazālī memformulasikan posisi epistemologis yang menempatkan manṭiq sebagai alat rasional yang sah, namun subordinatif terhadap wahyu.⁹

Sebaliknya, Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) melontarkan kritik yang lebih radikal terhadap logika Aristotelian.¹⁰ Dalam Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, ia berargumen bahwa logika Yunani bersifat artifisial dan mengabstraksi realitas dari konteks empirisnya.¹¹ Baginya, struktur logika silogistik yang berpijak pada universalitas konsep tidak sesuai dengan cara manusia mengenal kenyataan secara langsung melalui pengalaman dan bahasa.¹² Ia menegaskan bahwa metode qiyās fiqhī dalam hukum Islam jauh lebih realistis karena berangkat dari contoh konkret, bukan asumsi universal.¹³ Kritik Ibn Taymiyyah ini mencerminkan keberatan epistemologis terhadap universalitas logika formal dan menegaskan perlunya logika kontekstual yang berpijak pada ʿurf (realitas sosial) dan wahy (realitas ilahi).¹⁴

Namun, klarifikasi filosofis atas kritik tersebut menunjukkan bahwa baik al-Ghazālī maupun Ibn Taymiyyah tidak menolak logika secara mutlak.¹⁵ Keduanya menolak formalisme logika yang terlepas dari tujuan moral dan spiritual, bukan logika itu sendiri.¹⁶ Dalam hal ini, manṭiq Islāmī mempertahankan dua pilar epistemik: pertama, validitas metode rasional sebagai instrumen berpikir benar; kedua, kesadaran metafisik bahwa rasionalitas manusia bersumber dari dan terikat pada kebenaran Ilahi.¹⁷

Dalam konteks ini, Ibn Rushd tampil sebagai pembela rasionalitas Islam yang seimbang.¹⁸ Dalam Faṣl al-Maqāl, ia menolak dikotomi antara wahyu dan akal, dengan menyatakan bahwa syariat mendorong manusia untuk menggunakan akal secara maksimal demi memahami ciptaan Tuhan.¹⁹ Menurutnya, logika adalah bentuk ketaatan intelektual terhadap perintah Qur’ani untuk “berpikir dan merenung” (yatafakkarūn).²⁰ Ibn Rushd membela logika bukan sebagai substitusi wahyu, tetapi sebagai aktualisasi potensi akal yang dikaruniakan oleh Tuhan.²¹

Sementara itu, pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan klarifikasi filosofis terhadap kritik klasik dengan menegaskan perlunya rekonsiliasi antara rasionalitas dan spiritualitas.²² Nasr berargumen bahwa logika Islam harus dipahami dalam konteks kosmologi sakral Islam, di mana akal (ʿaql) dipandang sebagai cahaya Ilahi yang merefleksikan keteraturan wujud (niẓām al-wujūd).²³ Sedangkan al-Attas menegaskan bahwa logika Islam merupakan bagian dari adab al-ʿaql — tata nilai akal — yang berfungsi menata cara berpikir agar selaras dengan tatanan ontologis yang ditetapkan oleh Tuhan.²⁴

Kritik filosofis terhadap manṭiq dalam Islam, dengan demikian, bukan destruktif melainkan konstruktif. Ia melahirkan refleksi epistemologis yang menjaga agar akal tidak menjadi absolut, dan agar logika tidak berubah menjadi ideologi.²⁵ Klarifikasi ini mengokohkan posisi al-manṭiq sebagai jembatan antara pengetahuan rasional dan kebenaran metafisik — antara burhān (demonstrasi) dan ḥikmah (kebijaksanaan).²⁶ Dalam horizon ini, logika Islam tampil bukan sekadar sistem berpikir, tetapi juga etika intelektual yang menuntun manusia menuju integrasi antara ilmu, iman, dan amal.²⁷


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿinda al-Falāsifah al-Muslimīn (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1969), 19.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 115.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 118.

[4]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 6.

[5]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 12.

[6]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, 8–9.

[7]                Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 158.

[8]                Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. ʿAbd al-Qādir ʿAṭā (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2002), 119.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 101.

[10]             Ibn Taymiyyah, Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, ed. Muhammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmiʿat al-Imām, 1998), 21.

[11]             Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 58.

[12]             Carl Sharif El-Tobgui, Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql (Leiden: Brill, 2020), 75.

[13]             Ibn Taymiyyah, Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, 30.

[14]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 78.

[15]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 91.

[16]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, 17.

[17]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 61.

[18]             Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 11.

[19]             Richard C. Taylor, “Averroes on the Harmony of Philosophy and Religion,” Medieval Philosophy and Theology 5 (1996): 21.

[20]             Qur’an 3:191.

[21]             F. E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 142.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1978), 47.

[23]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 122.

[24]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 40.

[25]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 118.

[26]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 79.

[27]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 117.


8.           Relevansi Kontemporer

Relevansi al-manṭiq (logika Islam) dalam konteks kontemporer tidak hanya bersifat historis atau teoretis, melainkan juga praksis dan paradigmatik. Di tengah krisis rasionalitas modern — yang ditandai oleh fragmentasi pengetahuan, relativisme moral, dan dominasi teknologi — logika Islam menawarkan paradigma berpikir yang integratif, bernilai, dan transenden.¹ Dalam tradisi Islam, logika tidak sekadar metode berpikir yang formal, tetapi juga etos rasionalitas yang berakar pada tawḥīd, yakni kesatuan antara akal, wahyu, dan realitas.²

Krisis epistemologis modern, yang dipicu oleh sekularisasi dan reduksionisme ilmiah, telah menjadikan rasionalitas terpisah dari nilai-nilai moral dan spiritual.³ Di sinilah manṭiq Islam menemukan kembali perannya sebagai fondasi bagi rasionalitas beradab (ʿaql adabī).⁴ Seperti ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, kebingungan intelektual dunia modern (confusion of knowledge) disebabkan oleh hilangnya adab al-fikr — tata moral dalam berpikir — yang dalam tradisi Islam dijaga melalui integrasi logika dan etika.⁵ Dengan demikian, logika Islam relevan bukan hanya untuk melatih penalaran, tetapi juga untuk membangun kepribadian ilmuwan yang berakhlak dan bertanggung jawab terhadap kebenaran.⁶

Dalam konteks pendidikan, revitalisasi logika Islam menjadi sangat mendesak.⁷ Di banyak lembaga pendidikan modern, kemampuan berpikir kritis sering diartikan secara sempit sebagai skeptisisme metodologis tanpa orientasi moral.⁸ Padahal, dalam paradigma Islam, berpikir kritis selalu diarahkan menuju al-ḥaqq (kebenaran yang hakiki), bukan sekadar menyoal kebenaran konvensional.⁹ Oleh karena itu, integrasi manṭiq Islāmī ke dalam kurikulum keislaman dan sains modern dapat melahirkan generasi pemikir yang tidak hanya rasional dan ilmiah, tetapi juga memiliki kesadaran etis dan spiritual.¹⁰

Dari perspektif sosial, logika Islam dapat berperan sebagai sarana pembentukan budaya dialog yang beradab di tengah masyarakat yang plural.¹¹ Prinsip-prinsip logika seperti qiyās (analogi rasional), burhān (demonstrasi argumentatif), dan jadal (diskursus kritis) dapat diaplikasikan dalam konteks komunikasi lintas agama dan budaya untuk menegakkan kebenaran tanpa meniadakan perbedaan.¹² Hal ini sejalan dengan semangat al-ḥiwār al-ḥaḍārī (dialog peradaban) yang dikembangkan oleh pemikir Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Ismail Raji al-Faruqi.¹³ Dalam dunia yang dilanda polarisasi opini dan disinformasi digital, manṭiq dapat menjadi basis epistemologis bagi etika komunikasi publik yang objektif dan konstruktif.¹⁴

Selain itu, manṭiq Islam memiliki relevansi yang signifikan dalam ranah filsafat ilmu dan teknologi.¹⁵ Pemikir seperti Osman Bakar menegaskan bahwa rasionalitas Islam yang berpijak pada tawḥīd dapat menjadi koreksi terhadap paradigma sains modern yang terfragmentasi.¹⁶ Dalam kerangka ini, logika Islam dapat membantu membangun epistemologi integratif, yaitu cara berpikir yang menghubungkan dimensi empiris, rasional, dan spiritual dari pengetahuan.¹⁷ Paradigma semacam ini penting untuk merumuskan arah baru bagi sains dan teknologi yang humanistik serta berorientasi pada kemaslahatan umat.¹⁸

Dalam ranah digital dan kecerdasan buatan (AI), prinsip-prinsip logika Islam juga dapat memberikan kontribusi etis dan epistemologis.¹⁹ Logika Islam yang menekankan keseimbangan antara ʿaql dan akhlaq dapat digunakan sebagai kerangka etika algoritmik yang mencegah bias, disinformasi, dan dehumanisasi dalam penggunaan teknologi.²⁰ Dengan memadukan kaidah berpikir rasional dan prinsip moral, manṭiq Islāmī berpotensi menjadi landasan bagi apa yang dapat disebut sebagai etika digital humanistik — sebuah paradigma yang menempatkan akal sebagai sarana memahami, bukan mendominasi, ciptaan.²¹

Akhirnya, relevansi kontemporer logika Islam juga bersifat peradaban (ḥaḍārī).²² Dalam era globalisasi yang menggerus makna dan kebenaran, manṭiq berfungsi untuk menegakkan kembali fondasi rasionalitas yang berakar pada nilai-nilai spiritual.²³ Seperti dikatakan oleh Nasr, hanya dengan mengembalikan akal kepada sumber ilahinya, manusia dapat menghindari kehancuran spiritual modernitas.²⁴ Dengan demikian, al-manṭiq bukan sekadar ilmu berpikir benar, tetapi jalan kebijaksanaan (ṭarīq al-ḥikmah) yang menghubungkan manusia modern dengan tradisi rasional-spiritual Islam.²⁵


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1978), 44.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 120.

[3]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 115.

[4]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 35.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 78.

[6]                Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 176.

[7]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 101.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge, 1975), 58.

[9]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 84.

[10]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 17.

[11]             Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 228.

[12]             Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Rafiq al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 33.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 127.

[14]             Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 54.

[15]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 122.

[16]             Ibid., 124.

[17]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 109.

[18]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 29.

[19]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam, 181.

[20]             Ziauddin Sardar, Cyberfutures: Culture and Politics on the Information Superhighway (London: Pluto Press, 1996), 67.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 104.

[22]             Osman Bakar, Tawhid and Science, 90.

[23]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 86.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature, 52.

[25]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 97.


9.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dalam al-manṭiq (logika Islam) menempati posisi penting dalam memahami bagaimana tradisi intelektual Islam memadukan rasionalitas, spiritualitas, dan moralitas dalam satu kesatuan epistemologis.¹ Logika dalam Islam tidak hanya merupakan teknik berpikir yang benar, melainkan juga ekspresi ontologis dari kesatuan akal dan wujud (ittiḥād al-ʿaql wa al-maʿqūl).² Dengan kata lain, berpikir logis dalam pandangan Islam bukanlah aktivitas netral, tetapi tindakan eksistensial yang menyatukan manusia dengan kebenaran Ilahi melalui daya intelektualnya.³

Sintesis ini tampak dalam cara pemikir Muslim klasik seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Ibn Rushd menghubungkan logika dengan metafisika dan etika.⁴ Bagi al-Fārābī, logika berfungsi sebagai miʿyār al-fikr — ukuran bagi kebenaran berpikir — sedangkan metafisika adalah ʿilm al-mawjūd — pengetahuan tentang yang ada.⁵ Hubungan keduanya bersifat organis: logika menata cara berpikir, sementara metafisika memberi arah dan tujuan berpikir.⁶ Dalam Kitāb al-Burhān, al-Fārābī menjelaskan bahwa berpikir yang benar secara logis harus bermuara pada pengetahuan yang membawa manusia kepada kesempurnaan akalnya dan kebahagiaan tertingginya (al-saʿādah al-quṣwā).⁷ Dengan demikian, logika menjadi sarana menuju kebijaksanaan (ḥikmah), bukan sekadar instrumen argumentasi.⁸

Ibn Sīnā mengembangkan sintesis ini dalam kerangka ontologis yang lebih mendalam.⁹ Baginya, akal (ʿaql) adalah entitas yang bersifat ganda: ia sekaligus rasional dan spiritual.¹⁰ Melalui logika, akal menstrukturkan realitas dalam bentuk proposisi dan silogisme, namun tujuan akhirnya bukan hanya memahami dunia, melainkan menyadari wujūd al-ḥaqq — keberadaan Tuhan sebagai sumber segala keberadaan.¹¹ Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, Ibn Sīnā menyebut logika sebagai “jalan menuju penyucian akal,” karena berpikir benar berarti meneladani tatanan kosmik yang diciptakan secara rasional oleh Tuhan.¹²

Sintesis rasionalitas dan spiritualitas juga dikembangkan oleh al-Ghazālī.¹³ Ia menolak dikotomi antara akal dan wahyu dengan menegaskan bahwa logika merupakan bagian dari nūr al-ʿaql (cahaya intelektual) yang berasal dari Tuhan.¹⁴ Dalam pandangan ini, berpikir logis adalah bentuk ibadah intelektual yang melibatkan ikhlāṣ al-niyyah dan taqwā al-fikr — keikhlasan niat dan ketakwaan berpikir.¹⁵ Ia menulis dalam Miʿyār al-ʿIlm bahwa “siapa pun yang menolak logika, sesungguhnya telah menolak keteraturan ciptaan Tuhan.”¹⁶ Dengan demikian, bagi al-Ghazālī, logika menjadi refleksi spiritual dari kosmos yang rasional.¹⁷

Sintesis filosofis tersebut mencapai bentuk metafisik tertingginya dalam filsafat al-ḥikmah al-mutaʿāliyah yang dikembangkan oleh Mulla Ṣadrā.¹⁸ Ia menegaskan bahwa akal, pengetahuan, dan wujud adalah satu kesatuan yang saling bertransformasi (al-wujūd mutaḥarrik fī marātibihi).¹⁹ Dalam kerangka ini, logika tidak hanya mengatur hubungan konseptual antara ide, tetapi juga merefleksikan struktur dinamis realitas itu sendiri.²⁰ Dengan berpikir logis, manusia sebenarnya sedang menapaki tangga ontologis menuju realitas tertinggi.²¹ Logika, dengan demikian, adalah ṭarīq al-ḥikmah — jalan menuju kebijaksanaan yang menyatukan akal manusia dengan Akal Universal (al-ʿaql al-kullī).²²

Sintesis filosofis al-manṭiq Islam juga membuka peluang dialog antara tradisi Islam dan filsafat modern.²³ Dalam konteks filsafat kontemporer yang cenderung memisahkan fakta dan nilai, logika Islam menghadirkan paradigma integratif: rasionalitas yang tidak nihilistik, spiritualitas yang tidak irasional, dan etika yang tidak subjektif.²⁴ Ia menolak relativisme epistemik sekaligus menegaskan bahwa kebenaran sejati bersifat hierarkis — dari kebenaran empiris menuju kebenaran metafisik dan akhirnya kebenaran ilahiah.²⁵

Secara sintetik, manṭiq Islāmī menegaskan bahwa berpikir benar (tafkīr ṣaḥīḥ) adalah berpikir dalam keteraturan Ilahi (niẓām ilāhī).²⁶ Dengan demikian, sintesis logika Islam menghasilkan paradigma rasionalitas integral — rasionalitas yang menyatukan akal, wahyu, dan nilai-nilai moral dalam satu struktur pengetahuan yang koheren.²⁷ Logika Islam, pada akhirnya, bukan hanya teori penalaran, tetapi juga metafisika kebenaran dan etika berpikir, yang menjadikan manusia bukan sekadar pencari ilmu, tetapi pencari hikmah.²⁸


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 103.

[2]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 58.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 62.

[4]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 128.

[5]                Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Rafiq al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 22.

[6]                Richard C. Taylor, “Al-Fārābī and the Foundations of Islamic Rationalism,” Medieval Studies 49 (1987): 91.

[7]                Al-Fārābī, Kitāb al-Saʿādah, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1964), 41.

[8]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 83.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 45.

[10]             Fazlur Rahman, Avicenna’s De Anima: Being the Psychological Part of Kitāb al-Shifāʾ (London: Oxford University Press, 1959), 38.

[11]             Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 119.

[12]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 48.

[13]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 17.

[14]             Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. ʿAbd al-Qādir ʿAṭā (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2002), 120.

[15]             Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 179.

[16]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, 19.

[17]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 91.

[18]             Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1981), 78.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 55.

[20]             Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Ḥikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 49.

[21]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 61.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 130.

[23]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 119.

[24]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 88.

[25]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 130.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 109.

[27]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 110.

[28]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 102.


10.       Kesimpulan

Kajian atas al-manṭiq (logika Islam) memperlihatkan bahwa logika dalam tradisi Islam tidak dapat dipahami secara terpisah dari keseluruhan kerangka metafisika dan epistemologi Islam.¹ Ia bukan sekadar sistem berpikir formal, melainkan refleksi rasional dari pandangan dunia yang berpusat pada Tuhan (theocentric worldview).² Dalam konteks ini, manṭiq berfungsi sebagai jembatan antara akal (ʿaql) dan wahyu (naql), antara kebenaran rasional dan kebenaran spiritual.³ Dengan demikian, logika Islam merupakan bagian integral dari upaya manusia untuk menegakkan kebenaran (al-ḥaqq) melalui cara berpikir yang tertib, etis, dan transendental.⁴

Secara historis, manṭiq tumbuh dari perjumpaan kreatif antara rasionalitas Yunani dan spiritualitas Islam.⁵ Para pemikir Muslim seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Ibn Rushd tidak hanya mengadopsi logika Aristotelian, tetapi juga mentransformasikannya dalam kerangka tauhid, sehingga melahirkan bentuk logika yang bercorak etis dan metafisik.⁶ Dalam tradisi teologis dan sufistik, seperti pada al-Ghazālī dan Suhrawardī, logika dihubungkan dengan pencerahan jiwa dan penyucian akal.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa berpikir benar dalam Islam bukan hanya kegiatan intelektual, tetapi juga bentuk ibadah rasional — suatu upaya mendekatkan diri kepada kebenaran Ilahi melalui tatanan berpikir yang lurus dan adil.⁸

Dari sisi epistemologis, logika Islam menegaskan bahwa pengetahuan yang sahih hanya dapat diperoleh melalui integrasi antara tiga sumber utama: akal, wahyu, dan pengalaman empiris.⁹ Akal menyediakan bentuk, wahyu memberikan arah, sedangkan pengalaman meneguhkan realitasnya.¹⁰ Ketiganya diikat oleh prinsip tawḥīd al-maʿrifah — kesatuan pengetahuan dalam kebenaran Tuhan.¹¹ Dengan demikian, logika berfungsi sebagai penjaga keseimbangan epistemik antara rasionalisme ekstrem dan dogmatisme sempit.¹²

Secara aksiologis, manṭiq memiliki nilai moral dan spiritual yang mendalam.¹³ Ia melatih manusia untuk berpikir secara jujur (ṣidq al-ʿaql), konsisten, dan terbuka terhadap kebenaran.¹⁴ Penguasaan logika bukan sekadar keterampilan intelektual, melainkan juga manifestasi dari adab al-fikr — kesopanan berpikir yang menuntut tanggung jawab moral atas setiap kesimpulan yang diambil.¹⁵ Dalam hal ini, manṭiq berfungsi membentuk karakter ilmuwan Muslim yang rasional, etis, dan berorientasi pada hikmah.¹⁶

Dalam konteks kontemporer, relevansi logika Islam menjadi semakin penting.¹⁷ Dunia modern yang diwarnai oleh krisis makna, disinformasi, dan relativisme membutuhkan paradigma berpikir yang tidak hanya kritis, tetapi juga bernilai.¹⁸ Manṭiq Islāmī menawarkan model berpikir integratif yang memadukan rasionalitas ilmiah dengan kesadaran moral dan spiritual.¹⁹ Ia dapat menjadi landasan bagi etika akademik, komunikasi publik, serta epistemologi sains yang humanistik dan berkeadilan.²⁰

Pada akhirnya, sintesis filosofis al-manṭiq mengajarkan bahwa berpikir benar adalah berpikir yang selaras dengan kebenaran wujud.²¹ Logika Islam menolak reduksi rasionalitas menjadi mekanisme tanpa nilai; ia mengembalikan akal pada fungsi asalnya sebagai cermin cahaya Ilahi.²² Dengan berpikir logis, manusia tidak hanya menata pikirannya, tetapi juga menata jiwanya, karena logika dalam Islam adalah seni untuk hidup dalam kebenaran (ḥayāt fī al-ḥaqq).²³ Maka, warisan al-manṭiq bukanlah sekadar sistem silogistik, tetapi visi intelektual Islam tentang kesatuan pengetahuan, kebenaran, dan kebajikan — sebuah visi rasionalitas yang sekaligus etis dan sakral.²⁴


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 131.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 64.

[3]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 132.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 105.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 17.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 86.

[7]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Ḥikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 55.

[8]                Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. ʿAbd al-Qādir ʿAṭā (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2002), 119.

[9]                Hamid Fahmy Zarkasyi, Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi (Gontor: ISID Press, 2012), 182.

[10]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 108.

[11]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 96.

[12]             Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), 118.

[13]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 42.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1978), 51.

[15]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 135.

[16]             Al-Fārābī, Kitāb al-Saʿādah, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1964), 43.

[17]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 120.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge, 1975), 61.

[19]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 92.

[20]             Osman Bakar, Tawhid and Science, 99.

[21]             Mulla Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1981), 82.

[22]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 65.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 111.

[24]             M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1982), 105.


Daftar Pustaka

Abharī, A. (2001). Isāghūjī (A. Zaid, Ed.). Cairo: Dār al-Salām.

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic World. Oxford: Oxford University Press.

Al-Akhdarī, A. (1983). Al-Sullam al-Munāraqq (M. al-ʿAlawī, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM.

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ABIM.

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Fārābī, A. N. (1964). Kitāb al-Saʿādah (M. Mahdi, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Fārābī, A. N. (1969). Kitāb al-Ḥurūf (M. Mahdi, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Fārābī, A. N. (1969). Kitāb al-Qiyās (M. Mahdi, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Fārābī, A. N. (1996). Kitāb al-Burhān (R. al-ʿAjam, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.

Al-Ghazālī, A. H. (1927). Tahāfut al-Falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazālī, A. H. (1961). Miʿyār al-ʿIlm (S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Ghazālī, A. H. (1964). Al-Qisṭās al-Mustaqīm (S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Ghazālī, A. H. (1969). Al-Munqidh min al-ḍalāl (J. Saliba & K. Ayyad, Eds.). Beirut: Dār al-Andalus.

Al-Ghazālī, A. H. (2002). Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn (ʿA. al-Qādir ʿAṭā, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Al-Faruqi, I. R. (1992). Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.

Bakar, O. (1991). Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science.

Bakar, O. (1998). Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization.

Butterworth, C. E. (1984). Averroes’ three commentaries on the Organon. Journal of the History of Philosophy, 22(1), 18–21.

Dales, R. C. (1973). The Scientific Achievement of the Middle Ages. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Davidson, H. A. (1992). Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect. New York: Oxford University Press.

El-Tobgui, C. S. (2020). Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql. Leiden: Brill.

Fārābī, A. N. (1964). Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah (F. Najjar, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Faruqi, I. R. al-. (1992). Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon, VA: IIIT.

Fazlur Rahman. (1959). Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI. London: Oxford University Press.

Fazlur Rahman. (1965). Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute of Islamic Research.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Genequand, C. (1986). Ibn Rushd’s Metaphysics: A Translation with Introduction. Leiden: Brill.

Ghazālī, A. H. (2002). Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London: Routledge.

Gutas, D. (1988). Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works. Leiden: Brill.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries). London: Routledge.

Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Uṣūl al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.

Hoover, J. (2007). Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism. Leiden: Brill.

Ibn Rushd. (1959). Faṣl al-Maqāl (G. F. Hourani, Ed.). Leiden: Brill.

Ibn Rushd. (2001). Talkhīṣ Kitāb al-Burhān (A. ʿA. al-R. al-Sāyiḥ, Ed.). Cairo: Dār al-Salām.

Ibn Sīnā. (1957). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Ibn Sīnā. (1985). Al-Najāt (M. Fakhry, Ed.). Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah.

Ibn Taymiyyah. (1998). Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn (M. R. Sālim, Ed.). Riyadh: Jāmiʿat al-Imām.

Izutsu, T. (1971). The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio University Press.

Kartanegara, M. (2005). Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy.

Leaman, O. (2001). An Introduction to Classical Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Madkour, I. (1969). Al-Manṭiq ʿinda al-Falāsifah al-Muslimīn. Cairo: Dār al-Maʿārif.

Mahdi, M. (Ed.). (1969). Kitāb al-Ḥurūf by al-Fārābī. Beirut: Dār al-Mashriq.

Nasr, S. H. (1978). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Unwin Paperbacks.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of Modern Man. London: Routledge.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Peters, F. E. (1968). Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam. New York: New York University Press.

Rahman, F. (1959). Avicenna’s De Anima: Being the Psychological Part of Kitāb al-Shifāʾ. London: Oxford University Press.

Rahman, F. (1965). Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute of Islamic Research.

Saeed Sheikh, M. (1982). Studies in Muslim Philosophy. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. Cambridge, MA: MIT Press.

Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. London: Mansell.

Sardar, Z. (1996). Cyberfutures: Culture and Politics on the Information Superhighway. London: Pluto Press.

Sharif, C. S. E. (2020). Ibn Taymiyya on Reason and Revelation. Leiden: Brill.

Shihadeh, A. (2006). The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Leiden: Brill.

Taylor, R. C. (1987). Al-Fārābī and the foundations of Islamic rationalism. Medieval Studies, 49, 89–110.

Taylor, R. C. (1990). Al-Fārābī and the origins of Islamic logic. The Review of Metaphysics, 44(2), 287–305.

Taylor, R. C. (1996). Averroes on the harmony of philosophy and religion. Medieval Philosophy and Theology, 5, 21–35.

Walzer, R. (1985). Al-Farabi on the Perfect State. Oxford: Clarendon Press.

Zarkasyi, H. F. (2012). Epistemologi Islam: Integrasi antara Akal, Wahyu dan Intuisi. Gontor: ISID Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Ḥikmat al-Ishrāq. Atlanta: Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar